The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

AUREL SYAKIRA (E-BOOK pencemaran limbah cair)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by aurllsyakira10, 2021-12-19 20:45:18

AUREL SYAKIRA (E-BOOK pencemaran limbah cair)

AUREL SYAKIRA (E-BOOK pencemaran limbah cair)

I

\ DAFTAR PUSTAKA

PENDAHULUAN

KEMAMPUAN KOMBINASI ECENG GONDOK DAN LUMPUR AKTIF UNTUK
MENURUNKAN PENCEMARAN PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU................................ 1

KAJI ULANG SISTEM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI HASIL PERIKANAN
SECARA BIOLOGIS DENGAN LUMPUR AKTIF........................................................................... 8

KAJIAN BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KECIL MENENGAH (IKM)
BATIK KLASTER TRUSMI KABUPATEN CIREBON.................................................................. 19

ANALYSIS DAN PREDIKSI BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KAYULAPIS
PT. JATI DHARMA INDAH, SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS PERAIRAN
LAUT ............................................................................................................................................... 27

Pemanfaatan Simbiosis Mikroorganisme B-DECO3 dan Mikroalga Chlorella sp untuk Menurunkan
Pencemaran Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit ................................................................................. 36

ADSORPSI PENCEMARAN LIMBAh CAIR INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT OLEh
KITOSAN YANG MELAPISI ARANG AKTIF TEMPURUNG KELAPA...................................... 48

DAYA TAMPUNG SUNGAI GEDE AKIBAT PENCEMARANLIMBAH CAIR INDUSTRI
TEPUNG SINGKONG DI KECAMATAN NGADILUWIH KABUPATEN KEDIRI ...................... 58

TINGKAT PENCEMARAN LIMBAH CAIR DOMESTIK DI PERAIRAN PESISIR KECAMATAN
TANJUNGPINANG BARAT KOTA TANJUNGPINANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU......... 67

PENGENDALIAN PENCEMARAN LIMBAH DOMESTIK SEBAGAI UPAYA REHABILITASI
PESISIR DI DESA MALANGRAPAT, KABUPATEN BINTAN .................................................... 76

STUDI PENCEMARAN LIMBAH CAIR DENGAN PARAMETER BOD5 DAN PH DI PASAR
IKAN TRADISIONAL DAN PASAR MODERN DI KOTA SEMARANG ..................................... 82

STRATEGI PENURUNAN PENCEMARAN LIMBAH DOMESTIK DI SUNGAI CODE DIY...... 97

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR HOTEL DI
KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2017 ......................................................................................... 109

PENGARUH LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI PAAL 4
KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO ................................................................................. 118

PENYISIHAN PARAMETER PENCEMAR LINGKUNGAN PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI
TAHU MENGGUNAKAN EFEKTIF MIKROORGANISME 4 (EM4).......................................... 123

ZONASI KARAKTERISTIK PENCEMARAN UNTUK PENYUSUNAN STRATEGI DAN POLA AKSI
PENANGANAN SUNGAI MENUJU CITARUM HARUM (PEMETAAN DENGAN CITRA TEGAK
RESOLUSI TINGGI)…………………………………………………………………………………………135

PENCEMARAN PERAIRAN AKIBAT KADAR AMONIAK YANG TINGGI DARI LIMBAH CAIR
INDUSTRI TEMPE………………………… ……………………………………………………………. …144
BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU DAN ANALISIS ALTERNATIF STRATEGI
PENGELOLAANNYA……………………………………………………………………………………….150
Penurunan Parameter Pencemar Limbah Cair Industri Tekstil Secara Koagulasi Flokulasi………………….155

KEMAMPUAN KOMBINASI ECENG GONDOK
DAN LUMPUR AKTIF UNTUK MENURUNKAN
PENCEMARAN PADA LIMBAH CAIR INDUSTRI
TAHU

R. D. Ratnani, Eceng gondok telah diuji kemampuannya untuk menurunkan pencemaran
pada limbah cair tahu. Lumpur aktif juga telah diuji kemampuannya untuk
Program Studi Teknik Kimia menurunkan pencemaran pada limbah cair tahu. Sehingga pada penelitian ini
Fakultas Teknik Universitas akan dilihat kemampuan kombinasi eceng gondok dan lumpur aktif untuk
menurunkan pencemaran pada limbah cair tahu. Parameter utama yang diamati
Wahid Hasyim Semarang adalah CODnya. Metode yang digunakan pada penelitian ini eceng gondok dan
Jalan Menoreh Tengah X no 22 lumpur aktif yang telah diaklimatisasi ditanam dalam limbah cair tahu pada
konsentrasi tertentu. Proses penanaman dilakukan dalam bak dengan ukuran
Sampangan Semarang panjang 125 cm, lebar 76 cm, dan tinggi 35 cm. Limbah cair tahu yang telah
ditanami eceng gondok diamati perubahan ketinggian air, pH, kelembaban
Email: udara, DO, dan dianalisis konsentrasi CODnya. Pengamatan dilakukan setiap
[email protected] hari selama 8 hari. Hasil yang diperoleh penurunan konsentrasi COD awal
hingga akhir perlakuan adalah 720-287 ppm. Hal ini menunjukkan adanya zat
organik yang terserap oleh eceng gondok dan lumpur aktif sebagai sumber
energi. Limbah cair tahu yang diolah dengan menggunakan lumpur aktif dan
eceng gondok mengalami penurunan konsentrasi COD sampai 285 ppm. Dengan
demikian maka limbah cair tahu yang telah diolah dengan menggunakan
kombinasi sudah berada di bawah baku mutu limbah cair golongan II yaitu
sebesar 300 ppm, dan bau menyengat mulai hilang sejak perlakuan awal

Kata Kunci: eceng gondok, lumpur aktif, konsentras,
pencemaran

Pendahuluan zat organik, anorganik serta logam berat lain yang

Industri tahu banyak terdapat di Indonesia. merupakan bahan pencemar. Lumpur aktif juga dapat

Lokasi industri tahu kebanyakan menyatu dengan digunakan untuk mendegradasi zat organik yang

pemukiman penduduk, sehingga muncul terdapat dalam limbah cair tahu. Pada sistem ini,

permasalahan dengan warga sekitar. Industri tahu mikroorganisme akan menguraikan zat organik,

menghasilkan limbah cair yang dapat sehingga kandungan zat organik dalam limbah cair

mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan. tahu dapat dikurangi (Widajanti, 2007).

Pencemaran akibat limbah cair tahu dapat berupa:

oksigen terlarut rendah, air menjadi kotor, dan bau Eceng Gondok

yang menyengat. Menurut Jenie (1995), limbah Eceng gondok yang berkembang di Indonesia

cair tahu mengandung zat organik yang dapat berasal dari Amerika Selatan (Brazil). Tanaman ini

menyebabkan pesatnya pertumbuhan mikroba didatangkan tahun 1894 sebagai koleksi di Kebun

dalam air. Hal tersebut akan mengakibatkan kadar Raya Bogor. Pada umumnya eceng gondok

oksigen dalam air menurun tajam. Limbah cair tumbuh mengapung di atas permukaan air dan

tahu mengandung zat tersuspensi, sehingga lahan basah atau di antara tanaman pertanian yang

mengakibatkan air menjadi kotor/keruh. Salah satu dibudidayakan di lahan basah. Tanaman ini banyak

senyawa aktif dari bahan alam yang memiliki dijumpai di daerah rendah di pinggiran sawah,

aktivitas anti malaria adalah andrographolide yang danau, waduk, rawa, dan di kawasan industri di

berasal dari tanaman sambiloto (WHO, 2001). pinggir sungai dari hulu sampai hilir (Gerbono,

Eceng gondok merupakan gulma di air karena 2005; Thayagajaran, 1984).

pertumbuhannya yang begitu cepat. Karena Eceng gondok memiliki keunggulan dalam

pertumbuhan yang cepat, maka eceng gondok kegiatan fotosintesis, penyediaan oksigen dan

dapat menutupi permukaan air dan menimbulkan penyerapan sinar matahari. Bagian dinding

masalah pada lingkungan. Selain merugikan karena permukaan akar, batang dan daunnya memiliki

cepat menutupi permukaan air, eceng gondok lapisan yang sangat peka sehingga pada kedalaman

ternyata juga bermanfaat karena mampu menyerap yang ekstrem sampai 8 meter di bawah permukaan

1

air masih mampu menyerap sinar matahari serta kebutuhan minimum yang diperlukan mikroba di
zat-zat yang larut di bawah permukaan air. Akar,
batang, dan daunnya juga memiliki kantung-
kantung udara sehingga mampu mengapung di air.
Keunggulan lain dari eceng gondok adalah dapat
menyerap senyawa nitrogen dan fosfor dari air
yang tercemar, berpotensi untuk digunakan sebagai
komponen utama pembersih air limbah dari
berbagai industri dan rumah tangga. Karena
kemampuanya yang besar, tanaman ini diteliti oleh
NASA untuk digunakan sebagai tanaman
pembersih air di pesawat ruang angkasa (Little,
1979; Thayagajaran, 1984). Menurut Zimmel
(2006) dan Tripathi (1990) eceng gondok yang
dapat dilihat pada Gambar 1 juga dapat digunakan
untuk menurunkan konsentrasi COD dari air
limbah.

Menurut Widyaningsih (2007), struktur anatomi
eceng gondok terdiri dari struktur batang, struktur
daun dan struktur akar. Batang tanaman eceng
gondok (petiola) yang berbentuk bulat
menggembung, di dalamnya penuh dengan ruang-
ruang udara yang berfungsi untuk mengapung di
atas permukaan air. Lapisan terluar dari petiola
adalah epidermis. Lapisan epidermis pada eceng
gondok tidak berfungsi sebagai alat perlindungan
jaringan, tetapi berfungsi untuk mengabsorbsi gas-
gas dan zat-zat makanan secara langsung dari air.
Jaringan di sebelah dalam banyak terdapat jaringan
pengangkut yang terdiri dari xylem dan floem,
dengan letak yang tersebar merata di dalam
parenkim.

Gambar 1. Eceng Gondok

Lumpur Aktif
Sistem lumpur aktif termasuk salah satu jenis

pengolahan biologi, di mana mikroorganismenya
berada dalam pertumbuhan tersuspensi. Prosesnya
bersifat aerobik, artinya memerlukan oksigen
untuk reaksi biologinya. Kebutuhan oksigen dapat
dipenuhi dengan cara mengalirkan udara atau
oksigen murni ke dalam reaktor biologi, sehingga
cairan di dalam reaktor dapat melarutkan oksigen
lebih besar dari 2 mg/L. Jumlah ini merupakan

2

dalam lumpur aktif (Setiadi dan Dewi, 2003;

Antara 1993).

Dalam sistem biologi ini, mikroorganisme

hidup dan tumbuh secara koloni. Koloni ini
berupa gumpalan–gumpalan kecil yang

merupakan padatan yang mudah mengendap.

Dalam keadaan tersuspensi, koloni ini

menyerupai lumpur sehingga disebut lumpur

aktif. Tambahan kata aktif diberikan karena

selain mereduksi substrat (buangan), juga

mempunyai permukaan yang dapat menyerap

substrat secara aktif. Operasi ini bertujuan

untuk mengurangi konsentrasi zat organik

karena adanya aktivitas mikroorganisme.

Banyak modifikasi telah dilakukan terhadap

sistem lumpur aktif, tetapi secara keseluruhan

sistem pengolahan dengan lumpur aktif dapat

dicirikan dengan tanda-tanda: menggunakan

lumpur mikroorganisme yang dapat

mengkonversi zat organik terlarut dalam air

buangan menjadi biomassa baru, terjadi

pengendapan sehingga keluaran hanya sedikit

mengandung padatan mikroba, dapat mendaur

ulang sebagian lumpur mikroorganisme dari

tangki pengendap ke reaktor aerasi. Pada
reaktor alir yang teraduk baik, kadang–kadang

mikroorganisme tidak perlu didaur ulang.

Kinerja pengolahan dengan lumpur aktif

tergantung pada waktu tinggal sel rata-rata di

dalam reaktor.

Menurut Junaidi (2006), jenis mikroba yang

biasanya terdapat dalam lumpur umumnya

berupa Pseudomonas, Zooglea,

Achromobacter, Flavobacterium, Nocardia,

Bdellovobrio, Mycobacterium, Nitrosomonas,

dan Nitrobacter. Sistem pengolahan biologi

selain lumpur aktif ada beberapa macam yaitu:

laguna teraerasi (Aerated Lagoon), saringan

percik (Trickling Filters), kontaktor biologi

putar (Rotary Biological Contactor), dan lain-

lain.

Mekanisme Penyerapan Limbah Organik

Metode penurunan atau penghilangan

substansi toksis dalam air limbah dengan

media tanaman lebih dikenal dengan istilah

fitoremediasi. Fitoremediasi adalah

pemanfaatan tanaman untuk mengekstraksi, menghilangkan, dan mendetoksifikasi polutan dari lingkungan. Eceng gond

akan mengalami reaksi biologi dan

terakumulasi di dalam batang tanaman,

kemudian diteruskan ke daun (Sriyana, 2006).

3

Menurut Tchobanoglous dan Setiadi (2003), Bahan Penelitian
reaksi peruraian zat organik oleh bakteri secara Bahan penelitian yang digunakan adalah limbah
aerob dapat dilihat pada Persamaan reaksi (1)
berikut: cair tahu yang diambil dari pabrik tahu “Barokah”
di Semarang. Eceng gondok diambil dari sungai
COHNS + O2 CO2 + H2O + NH3 + dan lumpur aktif diambil dari Sari Husada
C5H7NO2 + H2S (1) Yogyakarta. Bahan–bahan kimia untuk analisis
COD berupa asam sulfat, kalium dikromat, perak
Peruraian zat organik pada proses anaerobik sulfat, mercury sulfat, ferro amonium sulfat, dan
merupakan proses mikroba yang rumit. Peruraian indikator ferroin dibeli dari CV. General Labora
zat organik terdiri dari beberapa reaksi berurutan Yogyakarta.
yang saling tergantung dan paralel. Proses tersebut
melibatkan berbagai macam mikroorganisme dan Sebelum dilakukan proses pengolahan, perlu
menghasilkan rantai makan mikroba pada tiga grup untuk diketahui karakter dari limbah cair tahu
trofik yang terdiri dari mikroorganisme hidrolisis, tersebut. Karakteristik limbah cair tahu dapat
asidogenesis, dan metanogenesis. dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Pada mikroorganisme hidrolisis, zat organik Tabel 1. Karakteristik Limbah Cair Pabrik
kompleks tidak dapat digunakan langsung sebagai
substrat oleh sel untuk pertumbuhan dan Tahu “Barokah” di Semarang.
pembentukan produk. Pada proses hidrolisis, zat Hasil
organik kompleks akan terhidrolisis menjadi Parameter
produk terlarut dan berubah menjadi molekul yang
lebih rendah ( berantai pendek) agar dapat Analisis
melewati membran sel. Reaksi yang terjadi akan
menghasilkan asam lemak, protein (asam amino), pH 4,26
dan karbohidrat (glukosa) seperti terlihat pada
Persamaan reaksi (2) di bawah ini: DO 4,5 ppm

COD 11628 ppm

Air 99,162 %

Abu 0.139 %

Karbohidrat 0.294%

Protein 0,155 %

COHNS + H2 asam lemak + protein + Lemak 0,058 %
karbohidrat (2)
Serat kasar 0.191 %
Temperatur 45 ◦C

Pada mikroorganisme asidogenesis, zat Warna Kuning keruh
organik sederhana produk dari proses hidrolisis
digunakan sebagai sumber karbon dan energi oleh Bau Berbau menyengat
mikroorganisme untuk melangsungkan proses
asidogenesis. Mikroorganisme yang berperan Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan
dalam proses asidogenesis disebut mikroorganisme bahan organik (COD) dalam limbah tahu sangat
asidogenesis. Reaksi yang terjadi adalah seperti tinggi. Hal ini diketahui setelah dilakukan uji
pada Persamaan reaksi (3) sebagai berikut: karakteristik di Laboratorium Teknologi Polimer di
Jurusan Teknik Kimia bahwa nilai COD sebesar
Asam lemak (Fatty acid) asetat (3) 11628 ppm. Konsentrasi limbah cair tahu pada
kondisi tersebut sudah berada di atas ambang batas
Mikroorganisme Metanogenesis (MM) adalah yang diperbolehkan. Hal ini dapat dilihat pada
grup trofik akhir yang penting dalam sistem baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri
anaerobik. MM tidak dapat menggunakan hasil (Kep/MENLH/10/1995), bahwa parameter COD
fermentasi grup trofik 1 yang mempunyai atom golongan baku mutu limbah cair golongan I adalah
karbon lebih dari 2 atom untuk pertumbuhannya 100 ppm dan golongan baku mutu limbah cair
maupun untuk produksi metana. MM golongan II adalah 300 ppm. Sementara untuk
menggunakan sumber energi sederhana seperti Perda Propinsi Jawa Tengah no.10 tahun 2004
asetat, CO2, H2 atau format untuk menghasilkan tentang baku mutu air limbah, kandungan COD
metana. Reaksi yang terjadi adalah seperti pada maksimum dalam air limbah adalah sebesar 275
Persamaan reaksi (4) sebagai berikut: ppm.

Asetat - + H2O CH4 + HCO3- (4) Alat yang digunakan adalah bak yang dibuat
dari kayu dengan ukuran panjang 115,5 cm, lebar

4

76,5 cm, dan tinggi 40,5 cm. Bak tersebut dilapisi ini disebabkan karena amoniak yang timbul saat
dengan pelapis plastik yang dilengkapi dengan
mistar dan pompa akuarium, seperti yang terlihat
pada Gambar 4. Alat lain yang digunakan untuk
pengamatan adalah pH meter, Thermohigrometer,
DO meter, dan peralatan untuk analisis konsentrasi
COD limbah cair tahu.

Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian secara urut dapat

dijelaskan sebagai berikut: tanaman eceng gondok
dibersihkan dari kotoran dan tanah yang ada pada
akarnya, kemudian diaklimatisasi selama satu
minggu. Tahap berikutnya adalah mengisi bak
dengan limbah cair tahu pada berbagai variasi
konsentrasi COD berdasarkan uji pendahuluan
ditambah dengan lumpur aktif dan diatasnya
ditanami eceng gondok. Sebelum dimasukkan
kedalam bak, eceng gondok ditimbang terlebih
dahulu untuk mengetahui massa awal dari eceng
gondok. Selanjutnya tanaman eceng gondok
ditanam dalam limbah cair tahu yang telah
bercampur dengan lumpur aktif diaduk dengan
pompa akuarium; diamati perubahan ketinggian
air, derajad keasaman (pH), kelembaban, DO, dan
dianalisis konsentrasi COD setiap hari selama 8
hari menggunakan metode refluk terbuka
(Novitasari, 2004). Setelah 8 hari pengamatan,
eceng gondok ditimbang untuk mengetahui massa
akhir eceng gondok.

Pada kondisi awal, lumpur aktif yang
digunakan untuk mengolah limbah cair tahu adalah
516 ppm. Pada penelitian ini lumpur aktif tumbuh
dengan subur, hal ini ditandai dengan
bertambahnya massa lumpur aktif. Pertumbuhan
lumpur aktif diamati setiap hari. Konsentrasi
lumpur awal 516 menjadi 968 ppm pada hari ke-
22. Setelah dilakukan analisis selama 22 hari,
dapat dilihat penurunan konsentrasi COD.
Penurunan konsentrasi COD awal hingga akhir
perlakuan adalah 720-287 ppm. Hal ini
menunjukkan adanya zat organik yang terserap
oleh eceng gondok dan lumpur aktif sebagai
sumber energi. Limbah cair tahu yang diolah
dengan menggunakan lumpur aktif dan eceng
gondok mengalami penurunan konsentrasi COD
sampai 285 ppm. Dengan demikian maka limbah
cair tahu yang telah diolah dengan menggunakan
kombinasi sudah berada di bawah baku mutu
limbah cair golongan II yiatu sebesar 300 ppm.
Pada perlakuan menggunakan kombinasi eceng
gondok dan lumpur aktif, bau menyengat mulai
hilang sejak pertama. Menurut Junaidi (2006) hal

5

penguraian protein oleh mikroba mengalami KONSENTRASILUMPUR [mg/L
proses nitrifikasi (menghasilkan NO2 dan NO3)
dan denitrifikasi (menghasilkan N2).
Mikroorganisme yang terdapat dalam lumpur
aktif juga dapat mengoksidasi H2S menjadi
sulfur sehingga bau busuk yang timbul karena
adanya H2S juga hilang (Effendi, 2003). Data
hasil pengamatan dapat dilihat pada gambar 2-
3.

Gambar 2. Perubahan COD setiap waktu

1200

1000

800

600

400

200

0
012345 67

WAKTU [hari]

Gambar 3. Perubahan konsentrasi
lumpur setiap waktu

Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis selama 22 hari,

dapat dilihat penurunan konsentrasi COD.
Penurunan konsentrasi COD awal hingga akhir
perlakuan adalah 720-287 ppm. Hal ini
menunjukkan adanya zat organik yang terserap
oleh eceng gondok dan lumpur aktif sebagai
sumber energi. Limbah cair tahu yang diolah
dengan menggunakan lumpur aktif dan eceng
gondok mengalami penurunan konsentrasi
COD sampai 285 ppm. Dengan demikian maka
limbah cair tahu yang telah diolah dengan
menggunakan kombinasi sudah berada di
bawah baku mutu limbah cair golongan II yiatu
sebesar 300 ppm. Pada perlakuan
menggunakan kombinasi eceng gondok dan
lumpur aktif, bau menyengat mulai hilang
sejak pertama. Hal tersebut disebabkan karena
amoniak yang timbul saat penguraian protein
oleh mikroba mengalami proses nitrifikasi dan
denitrifikasi. Mikroorganisme yang terdapat
dalam lumpur aktif

juga dapat mengoksidasi H2S menjadi sulfur Sriyana, H.Y., 2006, “Kemampuan Eceng Gondok

sehingga bau busuk yang timbul karena adanya dalam Menurunkan Kadar Pb(II) dan Cr (VI)

H2S juga hilang. Pada Limbah dengan Sistem Air Mengalir dan
Sistem Air Menggenang“, Tesis S2, Fakultas
Daftar Pustaka
Antara, N.Y., 1993, “Aklimasi Lumpur Aktif dan Teknik, Jurusan Teknik Kimia UGM,

Penerapannya dalam Pengolahan Limbah Cair Yogyakarta.
Industri Tahu”, Tesis S2, Ilmu dan Teknologi Thayagajaran, G., 1984, “Proseeding of the

Pangan UGM, Yogyakarta. International Conference on Water Hyacinth “,
Gerbono, A. dan Siregar, A., 2005, “Kerajinan
Hyderabad, Hindia, UNEP, Nairobi.
Eceng Gondok”, Kanisius, Yogyakarta. Tripathi B.D & Shukla S.C., 1991, “Biological
Jenie, B.S.L., 1995, “Utilization of Tofu and
Treatment of Wastewater by Selected Aquatic
Tapioca Solid Wastes and Rise Brand to Plants”, Environmental Pollution 69 : 69-78.
Widyaningsih, T.S., 2007, “Penyerapan Logam Cr
Produce Red Pigments by Monascus Pupureus total dan Cu2+ Dengan Eceng Gondok Pada
in Tofu Liquid Waste Medium“, Journal Sistem Air Mengalir”, Tesis S2, Fakultas

Indonesian Food and Nutrision Progress, Vol. Teknik, Jurusan Teknik Kimia UGM,
2, no.2, hal 24 – 29.
Junaidi, 2006, “Proses Pengolahan Air Limbah Yogyakarta.
Widajanti W.; Rizka R.;Melviana, “Studi
Secara Biologi Aerobik; Materi Pelatihan
Pengolahan Air Sirkulasi Proses Painting
Operator Instalasi Pengolahan Limbah
Industri”, Teknik Lingkungan, Universitas dengan Menggunakan Lumpur Aktif,

Diponegoro, Semarang. Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan
Little, L.C., 1979,“ Handbook of Utilization of
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Aquatic Plant”, FAO Fisheries Technical
Paper”, No. 187, FAO,Roma Kampus Depok.
Novitasari, D., 2004, “ Modul Praktikum MTPPL”,
Zimmels, Y., Kirzhner, F.A., and Malkovskaja,
Laboratorium Analisis Dengan Instrumen, 2005, “Application of Eichhornia crassipes and

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pistia stratiotes for treatment of urban sewage
Setiadi, T. dan Dewi, R.G., 2003, “Pengolahan in Israel”, Journal of Environmental

Limbah Industri“, Departemen Teknik Kimia , Management 81, 420-428.

ITB, Bandung.

7

KAJI ULANG SISTEM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI
HASIL PERIKANAN SECARA BIOLOGIS DENGAN LUMPUR
AKTIF

Bustami Ibrahim1

ABSTRAK
Industri pengolahan hasil perikanan mengkonsumsi air mencapai 20m3/ton produk yang
dihasilkan tergantung pada teknologi yang digunakan, jenis ikan yang diproses dan produk yang
dihasilkan. Limbah cair yang dihasilkannya mengandung bahan organik yang tinggi dengan beban
mencapai 20 kg BOD/ ton. Beban limbah yang tertinggi berasal dari industri pengalengan dan
pembuatan tepung ikan (fishmeal). Limbah yang baru diolah bertujuan untuk menyisihkan beban
organik, belum mencapai penyisihan total nitrogen yang terkandung didalamnya. Kandungan nitrit
dan nitrat yang masih tinggi akan menurunkan kualitas badan air penerima. Teknologi pengolahan
limbah cair perikanan dengan kombinasi proses aerobik dan anoksik menjadi pilihan yang baik
dikembangkan untuk penyisihan nitrogen yang ada di dalam limbah.

Keyword: Industri perikanan, limbah cair, lumpur aktif.

PENDAHULUAN

Berkembangnya agroindustri hasil perikanan selain membawa dampak positif
yaitu sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga
kerja, juga telah memberikan dampak negatif yaitu berupa buangan limbah. Limbah
hasil dari kegiatan tersebut dapat berupa limbah padat dan limbah cair.

Terlepas dari usaha-usaha untuk mendaur ulang (recycle) dan penggunaan
ulang (re-use) limbah sisa produksi tersebut, limbah cair yang dibuang ke badan air
masih mengandung nutrien organik yang cukup tinggi. Kandungan nutrien organik
yang tinggi ini apabila berada dalam badan air akan menyebabkan eutrofikasi pada
perairan umum, yang kemudian akan menyebabkan kematian organisme yang hidup
dalam air tesebut, pendangkalan, penyuburan ganggang dan bau yang tidak nyaman.

Masalah pencemaran lingkungan akibat limbah industri pertanian termasuk
industri perikanan sudah lama diwaspadai. Pemerintah Indonesia sudah mulai
bersikap tegas dengan dikeluarkannya peraturan bahwa semua industri di Indonesia

1 Staf Pengajar Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB
8

6

harus menangani limbahnya terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan bebas. Hal
ini telah diatur dalam beberapa peraturan yaitu: PP No. 20/1990 tentang pengendalian
pencemaran air; SK Menteri KLH tahun1988 dan beberapa peraturan daerah masing-
masing.

Untuk memenuhi persyaratan ini perlu dipilih metode penanganan limbah
yang tepat dan cocok dengan sifat limbah industri yang bersangkutan. Oleh karena

itu karakteristik limbah yang akan diberi perlakuan (treatment) perlu diketahui
terlebih dahulu. Sifat-sifat limbah industri pengolahan buah dan sayuran akan
berbeda dengan industri pengolahandaging sapi, unggas, susu dan hasil laut/perairan.

Kaji ulang ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui sampai seberapa jauh
limbah cair industri perikanan berpotensi dalam mencemari lingkungan, teknologi
yang digunakan untuk mengolah limbah cair yang dihasilkan dan kemungkinan
pengembangannya sesuai dengan kemajuan penelitian yang sudah dicapai.

KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR PERIKANAN

Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi.
Tingkat pencemaran limbah cair industri pengolahan perikanan sangat tergantung
pada tipe proses pengolahan dan spesies ikan yang diolah.

Menurut River et al., (1998) jumlah debit air limbah pada efluen umumnya
berasal dari proses pengolahan dan pencucian. Setiap operasi pengolahan ikan akan
menghasilkan cairan dari pemotongan, pencucian, dan pengolahan produk. Cairan ini
mengandung darah dan potongan-potongan kecil ikan dan kulit, isi perut, kondensat
dari operasi pemasakan, dan air pendinginan dari kondensor.

Selanjutnya River et al., (1998) menyatakan bahwa bagian terbesar kontribusi
beban organik pada limbah perikanan berasal dari industri pengalengan dengan beban
COD 37,56 kg/m3, disusul oleh industri pengolahan fillet ikan salmon yang
menghasilkan beban limbah 1,46 kg COD/m3. Kemudian industri krustasea dengan
beban COD yang kecil. Perbandingan beban organik yang disumbangkan oleh
industri pengalengan, pemfiletan salmon dan krustasea adalah 74,3%, 21,6% dan

9

6

4,1%. Peneliti yang lain juga melaporkan hal yang sama dengan indikator beban
pencemar organik yang lain yang berasal dari industri pengolahan perikanan. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Beban pencemaran limbah cair industri perikanan

Jenis Industri BOD COD Lemak/ Padatan
Tersuspensi
Minyak 1,42 kg/t

Pengolahan Ikan 3,32 kg/t - 0,348 kg/t 8,92 kg/t
(manual)1)
-
Pengolahan ikan 11,9 kg/t - 2,48 kg/t
(mekanis) 1) - 857-6000 mg/l 3,8-17 kg/t
5,41 kg/t
Pemiletan herring1) 3428–
0,7-0,78 kg/t
10000 mg/l
Pengalengan tuna1) 6,8–20 kg/t 14-64 kg/t 1,7-13 kg/t 10,2 kg/t

Pengolahan 9,22 kg/t 1,74 kg/t 6,35 kg/t
sardine1) 0,21-0,3 kg/t
4,8–5,5 kg/t 7,2-7,8 0,92 kg/t
Pengolahan kg/t
rajungan1) -

Pengolahan kerang 5,14 kg/t - 0,145 kg/t -
(mekanis) 1)
-
Pengolahan kerang 18,7 kg/t - 0,461 kg/t
(konvensional) 1)

Pabrik tepung ikan 2,96 kg/t - 0,56 kg/t
(fishmeal) 1) 0%-1,92%
23500– 93000 60-1560 mg/l
Bloodwater 34000 mg/l mg/l
(fishmeal) 1) 13000– -
76000 mg/l
Stickwater
(fishmeal) 1)

Udang Beku2) 160 mg/l 1780 mg/l -

Sumber : 1)Gonzales (1996); 2) Hayati (1998)

Dalam beban cemaran organik yang tinggi terkandung senyawa nitrogen yang
tinggi yang merupakan protein larut air setelah mengalami leaching selama
pencucian, defrost dan proses pemasakan (Battistoni et al., 1992;
Mendez et al., 1992; Veranita, 2001). Limbah cair ini dikeluarkan dalam jumlah
yang tidak sama setiap harinya. Pada waktu tertentu dalam jumlah yang banyak
tetapi encer terutama mengandung protein dan garam. Pada waktu yang lain
dikeluarkan limbah cair dalam jumlah sedikit tetapi pekat yang mengandung protein
dan lemak. Beban limbah cair tersebut berbeda-beda tergantung jenis
pengolahannya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.

10

6

Tabel 2. Jumlah pemanfaatan dan pengeluaran air dalam Industri pengolahan
hasil-hasil perikanan

Jenis Pembekuan Pengolahan Pengalengan Tepung Jumlah
Umum Ikan/
Minyak 178
Jumlah fasilitas 25 136 6 Ikan 2.194
30.371
Bahan yang diolah 725 983 161 11 29.380
(ton/hari) (A) 325 13,14

Air yang diperlukan 11.250 15.165 868 3.088
(m3/hari)
3.070
Air yang dikeluarkan 10.833 14.619 858
(m3/hari) (B) 9,4

Jumlah limbah cair per 14,9 14,9 5,3
setiap ton bahan (m3/t)

(B/A)

Sumber: Overseas Fishery Cooperation Foundation (1987)

Penyisihan Nutrien Secara Biologis
Tujuan pengolahan limbah cair secara biologis adalah menurunkan komponen

terlarut, khususnya senyawa organik sampai pada batas yang aman terhadap
lingkungan dengan memanfaatkan mikroba dan/atau tanaman. Dalam rangka
menyisihkan bahan organik yang terlarut, mikroorganisme yang ada akan
menggunakan bahan organik sebagai nutrien bagi pertumbuhannya menjadi sel-sel
baru dan karbondioksida. Proses biotransformasi terjadi dalam berbagai macam cara
sesuai dengan mikroorganisme yang berperan didalamnya, misalnya jenis mikroba
autotrof atau heterotrof (Loosdrecht dan Jetten, 1998). Secara konvensional
pengolahan limbah cair mencapai sukses menurunkan BOD dan COD, meskipun
penyisihan senyawa nutrien (nitrogen dan fosfor) masih terus dicarikan model dan
cara yang efisien (Grady dan Lim, 1980; Henze et al., 1987;
Metcalf dan Eddy, 1991; Park et al., 2001).

Menurut Loosdrecht dan Jetten (1998) akhir-akhir ini penyisihan nitrogen
dalam proses pengolahan limbah cair menjadi aspek yang sangat penting. Jumlah
nitrogen dengan konsentrasi yang tinggi dalam limbah cair dapat memungkinkan
terjadi reaksi yang sangat beragam. Banyaknya keragaman ini telah membangkitkan

11

6

konsep-konsep baru proses-proses tentang oksidasi amonium dan reduksi nitrat/nitrit
yang telah berlangsung sejak lama (Winogradsky, 1890 dan Breal, 1892 dalam
Loosdrecht dan Jetten, 1998). Proses-proses baru tentang denitrifikasi aerobik,
nitrifikasi heterotrofik dan oksidasi ammonium anaerobik menjadikan evaluasi
konversi senyawa nitrogen menjadi lebih kompleks.

Secara konvensional proses nitrifikasi adalah merupakan aktivitas
mikroorganisme autotrof atau mixotrof. Proses ini terjadi melalui oksidasi
ammonium menjadi nitrit dan selanjutnya menjadi nitrat. Telah diketahui banyak
jenis mikroba nitrifikasi yang berperan didalamnya, tetapi tidak satupun yang dapat
merubah langsung ammonium menjadi nitrat. Proses oksidasi ammonium menjadi
nitrit dilakukan oleh Nitrosomonas sp, dan oksidasi nitrit dilakukan oleh
Nitrobacter sp (Grady dan Lim, 1980; Henze et al., 1987; Metcalf dan Eddy, 1991;
Loosdrecht dan Jetten, 1998). Sedangkan proses denitrifikasi adalah proses reduksi
senyawa nitrat menjadi gas nitrogen. Kebanyakan studi tentang denitrifikasi oleh
bakteri denitrifikasi heterotrof menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan nitrat sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan dan jenis sumber karbon sebagai donor elektron dalam
proses reduksi nitrat (Grady dan Lim, 1980; Zayed dan Winter, 1998; Mansell dan
Schroeder, 1999; Brdjanovic et al., 2000; Battistoni dan Fava, 1995).

Berdasarkan pengamatan-pengamatan di lapangan dan laporan penelitian
disebutkan adanya proses penyisihan N yang telah terjadi secara non-konvensional,
misalnya terjadinya nitrifikasi heterotrofik dan denitrifikasi aerobik
(Loosdrecht dan Jetten, 1998). Proses oksidasi amonium oleh bakteri heterotrof
membutuhkan energi, yang menyebabkan penurunan koefisien yield (kondisi ini
bertolak belakang dengan nitrifikasi autotrof). Hal ini terjadi pada
Thiosphaera pantotropha (Robertson dan Kuenen, 1990 dan Patureau et al., 1994
dalam Loosdrecht dan Jetten, 1998). Proses denitrifikasi aerobik telah dilaporkan
terjadi pada saat COD/N lebih dari 10 (Robertson, 1990 dalam Loosdrecht dan Jetten,
1998). Hal ini masih menjadi perdebatan, karena kondisi ini bukanlah kondisi yang
normal. Akan tetapi apabila denitrifikasi aerobik terjadi dalam proses lumpur aktif

12

6

maka dapat dijelaskan dimana dalam kondisi oksigen yang terbatas organisme
melakukan respirasi oksigen dan nitrat dalam waktu yang bersamaan. Kondisi ini
menunjukkan bahwa sesungguhnya flok lumpur aktif berkondisi anaerobik sebagian,
sehingga dapat dikatakan bahwa proses ini merupakan denitrifikasi normal
(Loosdrecht dan Jetten, 1998).

Secara teoritis ammonium dapat dioksidasi dengan cara berperan sebagai
elektron donor dalam reaksi denitrifikasi. Energi bebas dalam reaksi ini sebanding
dengan energi dari proses nitrifikasi. Sehingga dalam proses denitrifikasinya tidak
membutuhkan senyawa organik lain. Proses ini disebut juga dengan anaerobic
ammonium oxidation (Anammox) (Jetten et al, 1997b dalam
Loosdrecht dan Jetten, 1998). Proses Anammox memiliki kapasitas mengkonversi
ammonium mencapai 2,4 kg NH4-N/m3.hari atau 4,8 kg N-total/m3.hari.

Pilihan teknologi dan implementasi pengolahan biologis secara anaerobik
Pengolahan dengan cara anaerobik telah digunakan sejak lama untuk

menurunkan nilai BOD/COD yang tinggi. Metode ini digunakan untuk mengolah
limbah cair pengolahan cumi-cumi, dan berhasil menurunkan BOD secara nyata
mencapai 80% dengan laju peningkatan lumpur yang tinggi juga (Park et al., 2001).
Balslev-Olesen et al. (1990) dan Mendez et al. (1992) mendapatkan efisiensi
penyisihan COD mencapai 75-80% dari limbah pengalengan tuna dan kerang dengan
beban limbah organik 4 kg/m3.hari. Kelebihan dari pengolahan limbah dengan
anaerobik :1) tidak diperlukan penambahan nutrien, 2) ammonia yang diperoleh dari
perombakan senyawa kaya protein menyebabkan peningkatan alkalinitas dan
membuat sistem menjadi lebih stabil bila terjadi kelebihan beban organik.
Berdasarkan hasil studi proses anaerobik yang telah dilakukan, tidak ada yang
melaporkan adanya penyisihan nitrogen. Pengolahan dengan anaerobik merupakan
hasil dari beberapa reaksi yaitu: beban organik dalam limbah dikonversi menjadi
bahan organik terlarut yang kemudian dikonsumsi oleh bakteri penghasil asam,
kemudian menghasilkan asam lemak mudah menguap, karbondioksida dan hidrogen.
Senyawa yang dihasilkan ini kemudian dikonsumsi oleh bakteri penghasil metana,

13

6

yang kemudian menghasilkan produk akhir gas metana dan karbondioksida. Proses-
proses ini dianjurkan untuk diterapkan pada limbah yang mengandung beban organik
yang tinggi (misalnya: bloodwater dan stickwater) (Gonzales, 1996).
Pengolahan Biologis Dengan Aerobik

Pengolahan biologis limbah cair perikanan secara aerobik dapat dilakukan
dengan sistem sebagai berikut: sistem lumpur aktif, kolam aerasi, dan sistem media
pertumbuhan (trickling filter dan rotating disk contactor).

Pada semua sistem lumpur aktif, pengadukan memegang peranan yang
penting dalam menjaga keseragaman dan kestabilan kelarutan bahan organik, oksigen
dan mencegah pengendapan lumpur aktif. Pada industri perikanan gangguan
kestabilan terjadi pada saat puncak konsentrasi organik dan aliran tertinggi dalam
influen. Penyisihan bahan organik pada sistem ini bisa mencapai 85 – 95%
(Gonzales, 1996). Waktu tinggal hidrolik yang dibutuhkan rata-rata 3-6 jam dan
waktu tinggal sel berkisar antara 3 dan 15 hari (Gonzales, 1996). Berbagai ragam
kondisi yang dihasilkan untuk mencapai hasil yang maksimum disebabkan
banyaknya faktor yang mempengaruhi proses dengan lumpur aktif. Penelitian telah
banyak dilakukan untuk mencari kondisi optimal dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya, misalnya kelarutan oksigen, rasio Food/Microorganism (rasio
F/M), interaksi kandungan mineral dan lumpur dalam pengendapan lumpur.
(Argaman, 1981; Casey et al., 1992; Piirtola et al., 1999).

Kolam aerasi saat ini paling banyak diterapkan oleh industri perikanan, karena
paling sederhana dan dianggap murah. Akan tetapi kualitas limbah yang dihasilkan
tidak menjamin sesuai dengan baku mutu yang ditentukan dan sulit untuk
dikendalikan. Shipin et al. (1999) telah menghasilkan cara yang baik dalm
mengintegrasikan antara sistim kolam dan lumpur aktif untuk penyisihan nitrogen
melalui peningkatan proses nitrifikasi dengan meningkatkan kemampuan flokulasi
dari simbiose antara bakteri nitrifier dan algae.

14

6

Sementara teknologi pengolahan dengan lumpur aktif membutuhkan biaya
yang relatif mahal untuk industri skala kecil, maka saat ini perkembangan diarahkan
pada pengolahan yang dapat mengkondisikan terjadinya reaksi anaerobik dan aerobik
sekaligus. Trickling adalah salah satu cara yang telah dicobakan pada limbah cair
perikanan. Pada limbah cair pengolahan cumi-cumi diperoleh penyisihan BOD
sampai 87% dengan beban 3,5 lb BOD/1000 ft media/hari (Parker et al., 2001).
Menurut Battistoni et al. (1992) pada penelitian terhadap berbagai jenis ikan, efisiensi
penyisihan akan meningkat bila beban limbah menurun.

Dalam memilih teknologi aerobik yang akan digunakan tergantung beberapa
aspek, yaitu luas lahan yang tersedia, kemampuan beroperasi berkala (intermitten)
dengan pertimbangan bahwa industri perikanan beroperasi secara musiman,
kemampuan dan ketrampilan SDM, dan biaya (termasuk biaya investasi dan biaya
operasi. Beberapa pertimbangan mendasar untuk memilih sistem aerobik menurut
Gonzales (1996) seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan proses aerobik

(a) Karakteristik Operasional

Sistem Ketahanan Sensitivitas Tingkat Ketrampilan
Kolam terhadap Kejutan Terhadap Minimum
Limbah Organik Operasi Berkala
atau Toksik
Maksimum Minimum

Trickling Filters Sedang Sedang Sedang

Lumpur Aktif Minimum Maksimum Minimum

(b) Pertimbangan Biaya

Sistem Kebutuhan Lahan Biaya Awal Biaya Operasi

Kolam Maksimum Minimum Minimum

Trickling Filters Sedang Sedang Sedang

Lumpur Aktif Minimum Maksimum Maksimum

Sumber: Gonzales (1996)

15

6

KESIMPULAN
Limbah cair industri perikanan mengandung bahan organik yang tinggi dan

sangat bervariasi antara satu industri dengan industri yang lain tergantung pada
teknologi yang digunakan, jenis ikan yang diolah dan jenis produk yang dihasilkan.

Kontribusi kandungan beban limbah yang terbesar berasal dari industri
pengalengan dan pengolahan tepung ikan. Pengolahan limbah cair industri perikanan
yang selama ini banyak menggunakan sistem kolam aerasi perlu ditingkatkan dengan
menggunakan teknologi lain, dalam rangka menyisihkan kandungan nitrogen secara
total dalam air limbah tidak hanya mengkonversi nitrogen organik dan ammonia
menjadi nitrat (penurunan beban organik).

Dalam memilih teknologi pengolahan limbah cair perlu dipertimbangkan
beberapa aspek (lahan, SDM, kemampuan UPL menyesuaikan dengan irama produksi
industri), karena setiap industri memiliki kemampuan yang berbeda-beda.

DAFTAR PUSTAKA
Argaman, Y. 1981. Design and Performance Charts for Single Sludge Nitrogen

Removal Systems. Wat. Res.15:841-847.
Balslev-Olesen, P., A Lynggaard, C Nikelsen. 1990. Pilot-Scale Experiments on

Anaerobic Treatment of Wastewater from a Fish Processing Plant. Wat. Sci.
Tech. 22: 463-474.

Battistoni P, G Fava, A Gato. 1992. Fish Processing Wastewater: Emission Factors
and High Load Trickling Filters Evaluation. Wat Sci Tech Vol. 25(1): 1-8.

Battistoni P dan G Fava. 1995. Fish Processing Wastewater: Production of Internal
Carbon Source for Enhanced Biological Nitrogen Removal. Wat Sci Tech
Vol. 32(9): 293-302.

Brdjanovic D, MCM Van Loosdrecht, P Versteeg, CM Hooijmans, GJ Alaert, JJ
Heijnen. 2000. Modelling COD, N and P Removal in A Full-Scale WWTP
Haarlem Waarderpolder. Wat Res Vol. 34 (3): 846-858

16

6

Casey, TG., MC Wentzel, RE Loewenthal, GA Ekama, GvR Marais. 1992. A
Hypothesis for The Cause of Low F/M Filament Bulking in Nutrient Removal
Activated Sludge Systems. Wat. Res. Vol 26(6):867-869.

Gonzales, JF. 1996. Wastewater Treatment in The Fishery Industry. FAO Fisheries
Technical Paper, No. 355. Rome, FAO.

Grady, C. P. L.Jr.; dan H. Lim. 1980. Biological Wastewater Treatment. Theory
and Applications. Marcel Dekker Inc., New York.

Hayati, M. 1998. Mempelajari Proses Produksi Udang Beku dan Pengolahan
Limbah di PT. Kalimantan Fishery. Laporan Praktek Lapang, Jurusan TIN
Fateta IPB. Bogor.

Henze, M; Grady, CPL; Jr-Gujer, W; Marais, GVR dan Matsuo, T. 1987. A General
Model For Simple Sludge Waste Water Treatment Systems. Wat. Res. 21(5);
505-515.

Loosdrecht, VMCM dan MSM Jetten. 1998. Microbiological Conversion in Nitrogen
Removal. Wat. Sci. Tech. 38 (1), 1-7

Mansell B O dan E D Schroeder. 1999. Biological Denitrification in A Continous
Flow Membran Reactor. Wat. Res 33 (8), 1845-1850

Park E, R Enander, SM Barnet, C Lee. 2001. Pollution Prevention and Biochemical
Oxygen Demand Reduction in a Squid Processing Facility. Jour of Cleaner
Production 9, 341-349.

Mendez R, F Omil, M Soto, JM Lema. 1992. pilot plant studies on the anaerobic
treatment of different wastewaters from A fish-canning factory. Wat Sci Tech
Vol. 25 (1): 37-44.

Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal and Reuse.
3rd ed. Singapore: Mc Graw Hill Inc.

Overseas Fishery Cooperation Foundation. 1987. Pengolahan Hasil-hasil Perikanan
II. Akasaka. Tokyo, Japan.

Piirtola, L., B Hultman, C Anderson, Y Lundeberg. 1999. Activated Sludge
Ballasting in Batch Tests. Wat. Res. 13(8):1799-1804.

River, L; E. Aspe; M. Roeckel dan M. C. Marti. 1998. evaluation of clean
technology process in the marine product processing industry. J. Chem.
Technol. Biotechnol., 73, 217-226.

17

6

Shipin, O V., P G J Meiring, R Phaswana, H Kluever. 1999. integrating ponds and
activated sludge process in the petro concept. Wat. Res. 33(8): 1767-1774.

Veranita, D. 2001. Studi Tentang Karakteristik Limbah Cair Industri Pengolahan
Tuna Beku di PT. Indomaguro Tunas Unggul, Jakarta. Skripsi. Jurusan THP
FKIP-IPB. Bogor.

.
Zayed G dan J Winter. 1998. removal of organic pollutants and of nitrate from

wastewater from the dairy industry by denitrification. Appl Microbiol
Biotechnol 49: 469-474.
.

18

Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Vol. 5 No. 1 (Juli 2015): 17-24

KAJIAN BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR INDUSTRI KECIL
MENENGAH (IKM) BATIK KLASTER TRUSMI KABUPATEN CIREBON

(Study on Wastewater Pollution Load from Batik Small Medium Enterprises (SMEs) In
Trusmi Cluster, Cirebon District)

Adi Sulaksonoa, Hefni Effendib, Budi Kurniawanc

a Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, 16151, Telp (021) 53166141
/ 087871766557  [email protected]
b Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian dan Pengembangan kepada Masyarakat (PPLH-LPPM),
Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
c Kementerian Lingkungan Hdiup dan Kehutanan, Jalan D.I. Panjaitan Kav. 24. Kebon Nanas, Jakarta Timur,
13410

Abstract. Growing number of Indonesian Batik SMEs has been started since UNESCO announced batik as world heritage from
Indonesia in 2009. However, this condition also brings negative impact related to water pollution. Huge variety of dyestuff al-
ways has been a challenge in estimating total pollution load from this sector. This study aim to estimate pollution load of some
key parameters (BOD5, COD and TSS) of wastewater generated by Batik SMEs in Trusmi cluster. By calculating pollution load
factor per unit product (PLU) trough analyzing waste water quality and quantity in every step of batik making process and con-
sidering type of fabric (cotton and silk) and type of dyestuff (Naphtol and Indigosol) as variable, it can be concluded that the
PLU factor for BOD5 and TSS is associated to the type of fabric, meanwhile COD parameter is associated to the type of dyes. By
multiplying the PLU factor with total production capacity from all SMEs in Trusmi cluster, it can be estimated that the total pol-
lution load range in Trusmi area for BOD is at 5,9 – 39,5 ton/year; COD at 112-426ton/year; and TSS at 4,88-16,3ton/year.

Keywords: Batik, SMEs Cluster, pollution load factor, waste water

(Diterima: 16-02-2015; Disetujui: 31-03-2015)

1. Pendahuluan lebih proses pewarnaan dengan teknik pencelupan
seperti yang dilakukan di Cirebon lebih rendah
1.1. Latar Belakang produktivitas airnya dibandingkan dengan pewarnaan
dengan teknik padding seperti yang dilakukan di Pe-
Setelah mendapatkan pengakuan dari UNESCO se- kalongan (Sari et al. 2012)
bagai warisan dunia pada tahun 2009, industri batik di
Indonesia makin berkembang pesat. Pada akhir tahun Limbah cair dari industri tekstil memiliki dampak
2010 usaha Industri Kecil Menengah (IKM) pem- buruk terhadap lingkungan karena beberapa dian-
batikan di Indonesia berjumlah 55.778 unit dengan taranya bersifat tidak dapat diurai secara alami dan
total tenaga kerja yang terserap mencapai 916.783 karsinogenik sehingga harus dikelola secara benar
orang (Jusri & Idris 2012). Berdasarkan data dari Ke- (Babu et al. 2007). Terlebih lagi buangan zat warna
menterian Perindustrian tahun 2010, Industri batik di merupakan pencemar yang dampaknya paling cepat
Indonesia selama lima tahun terakhir memiliki nilai terdeteksi secara kasat mata walaupun kadarnya
produksi rata-rata mencapai Rp 3,94 triliun dan nilai dibawah 1 ppm (Pareira & Alves 2012). Minimnya
ekspor rata-rata mencapai US$ 65,58 juta. modal usaha, tekanan ekonomi pengerajin dan
kesadaran lingkungan dari pemilik IKM batik yang
Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan telah beroperasi sejak lama membuat upaya pen-
Perdagangan Kabupaten Cirebon, pada tahun 2013 golahan limbah cair belum menjadi prioritas.
terdapat 530 IKM batik yang menyerap 4.408 tenaga
kerja. Sebagian besar pengerajin batik tradisional ter- Walaupun limbah cair dari IKM batik hanya
sebut terdapat di Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Ku- dikeluarkan dari proses pewarnaan, pelepasan lilin
lon, sehingga daerah ini berkembang menjadi Obyek (pelorodan), dan pencucian, namun variasi kualitas
Wisata belanja Batik Trusmi. Selain memberikan limbah cair yang dikeluarkan dari IKM batik sangat
pengaruh positif IKM batik juga memberikan dampak besar. Kondisi ini tentunya menyulitkan pembuat ke-
negatif khususnya bagi pencemaran lingkungan. bijakan untuk menetapkan besarnya faktor beban
Hingga saat ini, sebagian besar proses produksi batik pencemar dari sektor ini (UGM 2013). Berdasarkan
di Trusmi masih dilakukan dengan cara tradisional dan Chakraborty (2014) terdapat ribuan variasi warna
kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Ter- yang dapat dihasilkan dari satu kelompok jenis zat
warna Naphtol dan garam Diazoniumnya saja, se-

19

JPSL Vol. 5 (1): 17-24, Juli 2015

dangkan pada proses pewarnaan di IKM batik terdapat 2. Metode
12 kelompok jenis zat warna. Selain dari sisa zat
warna, limbah cair yang dikeluarkan oleh IKM batik 2.1. Tempat dan Waktu
juga mengandung bahan kimia pendukung proses
produksi seperti NaOH, NaNO2, HCl, Na2CO3, dan Penelitian ini dilaksanakan di sentra IKM Batik
Na2O3Si dengan konsentrasi yang bervariasi tergan- Trusmi Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Wilayah
tung warna batik yang ingin dihasilkan. penelitian melimputi empat wilayah Desa yang meli-
puti Desa Trusmi Kulon, Desa Trusmi Wetan, Desa
Langkah awal dalam strategi pencegahan pencema- Wotgali, dan Desa Kali Tengah. Untuk analisis kuali-
ran sumber daya air adalah dengan melakukan audit tas limbah cair dilakukan di laboratorium terakreditasi
dan karakterisasi dari limbah cair yang berasal dari Akademi Kimia Analisis Bogor. Penelitian ini telah
kegiatan industri (Rathore 2012). Informasi terkait selesai dilakukan pada bulan Juni – Desember 2014.
dengan faktor beban pencemar per unit produk dapat
digunakan untuk mengestimasi secara cepat total 2.2. Bahan dan Alat
beban pencemaran yang ada di suatu daerah sehingga
bermanfaat untuk memecahkan masalah pengendalian Bahan yang digunakan meliputi kain katun tipe G
pencemaran dari sektor tertentu (Kung & Yu 2000). dan sutra tipe super yang telah dipotong 2 meter
Kajian tentang faktor beban pencemar limbah cair sebanyak 18 potong. Zat warna untuk menghasilkan
IKM batik perlu dilakukan dengan mempertim- warna merah, biru dan hitam dari jenis Naphtol dan
bangkan variabel produksi yang dapat memengaruhi Indigosol serta bahan laboratorium untuk menganaisis
besaran beban pencemar (Coreia et al. 1994). kualitas limbah parameter BOD5, COD, dan TSS. Se-
Besarnya beban pencemaran dari jenis industri tekstil dangkan alat yang digunakan meliputi peralatan
sangat bervariasi dan tergantung dari jenis dan jumlah produksi batik milik 12 IKM, peralatan sampling
bahan kimia yang digunakan. elain itu tiap jenis serat limbah cair termasuk pH meter, pengawet sampel dan
kain memiliki karakteristik daya serap yang berbeda GPS Android (software GPS Test Plus ver 1.5).
terhadap zat warna (Susanto 1974). Peralatan laboratorium untuk menganaisis kualitas
limbah parameter BOD5, COD, TSS. Serta alat ukur
Berdasarkan Peraturan Menteri LH No 1 Tahun volume, panjang dan waktu.
2010 tentang tata laksana pengendalian pencemaran
air, tahapan awal dalam pengendalian pencemaran air 2.3. Metodologi
adalah dengan melakukan inventarisasi dan identifi-
kasi sumber pencemar air. Dalam rangka inventarisasi Penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahapan an-
terkait dengan beban pencemaran air dari sektor IKM alisis, yaitu analisis nilai faktor beban pencemar
batik yang merupakan salah satu sektor unggulan di danestimasi nilai total beban pencemar.
Kabupaten Cirebon, kajian mengenai total beban
pencemar limbah cair perlu dilakukan. Oleh sebab itu, a. Analisis Faktor Beban Pencemar
penelitian ini hanya fokus mengkaji parameter yang Faktor beban pencemar limbah cair IKM batik
dipersyaratkan dalam Keputusan menteri LH No 51
Tahun 1995 sebagai bagian dari kegiatan inventarisasi, Trusmi dihitung untuk tiga dari tujuh parameter yang
walaupun menurut Ritayanti (2011) terdapat beberapa dipersyaratkan dalam KepmenLH No 51 Tahun 1995
zat warna jenis Naphtol yang masuk ke dalam kategori tentang baku mutu limbah cair industri tekstil yang
limbah bahan beracun berbahaya (B3) karena sifatnya meliputi BOD5, COD, dan TSS yang menyatakan
yang karsinogenik. bahwa ketiga parameter tersebut merupakan parameter
kunci limbah batik yang kadarnya sering kali
1.2. Tujuan melampaui baku mutu yang ditetapkan pemerintah
(Dinas Lingkungan Hidup Kab Cirebon 2007). Ber-
Penelitian ini mencoba menghitung faktor beban dasarkan Indriyani (2004) pengukuran parameter
pencemar per unit produk untuk parameter kunci BOD5 dan COD sangat penting untuk mengetahui
limbah cair untuk industri tekstil yaitu BOD5, COD tingkat biodegradativitas dari limbah cair, sedangkan
dan TSS dengan mempertimbangkan jenis zat warna parameter TSS diperlukan untuk mengetahui jumlah
yang biasa digunakan di Cirebon (golongan Naphtol, padatan baik yang terendapkan secara alami maupun
dan golongan Indigosol) dan juga jenis kain (katun tidak dapat diendapkan. Ketiga parameter ini diper-
dan sutra). Dengan mengetahui nilai faktor beban lukan dalam rancangan instalasi pengolahan air
pencemar ditambah dengan kapasitas produksi ditiap limbah yang sesuai.
proses produksi IKM batik maka estimasi dari total
beban pencemar limbah cair IKM batik Trusmi dapat Untuk parameter lainnya yang dipersyaratkan da-
diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk: lam KepmenLH No 51 Tahun 1995 (Minyak-Lemak,
Fenol, Cr total, pH) pada umumnya berada di bawah
1. Menganalisis faktor beban pencemar limbah nilai baku mutu yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan
cair IKM batik klaster Trusmi. Minyak-Lemak dan Fenol dari malam dari proses pe-
lorodan pada umumnya di-recovery untuk digunakan
2. Mengestimasi beban pencemaran akibat kembali pada proses pembatikan. Untuk parameter Cr
limbahcair dari industri batik Klaster Trusmi. total, menurut Cristy (2001) pada zat warna jenis

20

JPSL Vol. 5 (1): 17-24, Juli 2015

Naphtol dan Indigosol tidak mengandung logam Cr IKM akan diberikan tiga potong kain sepanjang 2 me-
seperti jenis zat warna mordan yang digunakan dalam ter yang sudah dibatik cap dengan motif ceplis,
produk tekstil di industri besar. Sedangkan parameter dengan demikian rancangan ini memiliki 36 unit
pH hanya merupakan parameter indikator deraja percobaan untuk 3 parameter. Tiap IKM diminta me-
keasaman limbah, dan tidak digunakan dalam perhi- warnai tiga potong kain masing-masing 1 warna (me-
tungan beban pencemaran. rah, biru, dan hitam) (UGM 2013). Zat warna yang
akan digunakan untuk percobaan disiapkan berdasar-
Nilai faktor beban pencemar didapatkan melalui kan hasil berdiskusi dengan IKM batik dengan mem-
Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua pertimbangkan kebiasaan yang paling sering dil-
faktor. Faktor pertama adalah jenis kain (Katun tipe G akukan oleh IKM dengan ketentuan sesuai pada Tabel
dan Sutra tipe Super) dan faktor kedua adalah jenis zat 1.
warna (Naphtol dan Indigosol). Setiap perlakuan dil-
akukan di tiga IKM sebagai ulangan dimana setiap

Tabel 1. Jenis zat warna yang digunakan dalam proses pewarnaan batik

Jenis Bahan Kimia Warna Naphtol Warna Indigosol
Biru Biru
Merah Hitam Merah Hitam

Zat Warna AS-BS AS-D AS-BO Sol. Abang Sol Biru Sol Abu
AS-G

Zat Fixator R BB G.Hitam NaNO2 NaNO2 NaNO2

G.Biru

Zat Pembantu NaOH NaOH NaOH HCl HCl HCl

Keterangan: Jumlah perbandingan Naphtol dan garam Diazonium adalah 15 g : 30 g; Jumlah perbandingan Indigosol dan NaNO2 adalah 10 g:
20 g; AS-BS, AS-D, AS-BO, AS-G merupakan kode nama dagang zat warna Naphtol; R, BB, G. Hitam G. Biru merupakan kode nama dagang

garam diazonium; Sol pada Sol. Abang, Sol Biru dan Sol. Abu merupakan singkatan sekaligus nama dagang darizat warna Indigosol.

Limbah cair kemudian diambil sampel air limbahn- Analisis beban pencemaran dihitung berdasarkan
yadari: beban pencemaran aktual dalam berat parameter
(gram) per satuan produk (meter) yang disesuaikan
1. Proses pewarnaan (bak warna dan bak fiksasi) untuk per tahapan proses. Hasil uji kualitas limbah
masing-masing 500 mL sehingga didapatkan kemudian dikalikan dengan volume limbah tiap proses
total 3L komposit sampel limbah proses untuk didapatkan nilai beban pencemar di masing-
pewarnaan. masing proses yang kemudian dianalisis dengan anova
dua arah dengan selang kepercayaan 90%
2. Proses pelorodan (setelah dingin dan lilin yang menggunakan software minitab versi 15 untuk melihat
terapung disingkirkan) sebanyak 2L. ada tidaknya pengaruh perlakuan pada tiap proses.
Berdasarkan penurunan persamaan perhitungan beban
3. Proses pencucian (cuci warna dan cuci lorod pencemar yang dilakukan oleh Suhubawa (2008) ter-
dikompositkan) sebanyak 2L. hadap parameter yang tidak dipengaruhi oleh variabel
perlakuan, maka faktor beban pencemar dihitung
Sampel di setiap proses kemudian dibagi 2, di- dengan persamaan (1) sebagai berikut:
masukan kedalam jerigen 1L, diberi label, dan
dipisahkan untuk dipreservasi menggunakan bahan FBPj= { Σ [Cij x Vi x f] }/ n ...........................(1)
pengawet yang berbeda. Sisa sampel 1 L dari proses
pewarnaan dikembalikan ke tempat produksi untuk FBPj (g/m) = Faktor Beban Pencemar Parameter
kemudian dibuang. Untuk parameter BOD5 dan TSS j
didinginkan, dan parameter COD di tambahkan H2SO4 Cij (mg/L)
pekat sampai pH < 3. Proses sampling dilakukan pada = Konsentrasi limbah cair proses i
hari yang sama dan ditransportasikan ke laboratorium Vj (L) parameter j
uji AKA Bogor sehari sesudahnya. Analisis kualitas f
limbah untuk 3 parameter dilakukan dengan metode i = Volume limbah pada proses i
pada Tabel 2 berikut. = Faktor konversi (0,002)
j = proses produksi (pewarnaan, pelo-
Tabel 2. Metode analisis kualitas limbah cair
n rodan, pencucian)
Parameter Metode Uji Prinsip Metode = parameter limbah cair (BOD,

BOD5 SNI 6989.72-2009 Titrimetri COD, TSS)
COD SNI 6989.73-2009 Titrimetri = jumlah sampel (12 IKM)
TSS SNI 06-6989.27-2005 Gravimetri
Namun apabila terdapat pengaruh akibat faktor
maka untuk mendapatkan nilai faktor beban pencemar

21

JPSL Vol. 5 (1): 17-24, Juli 2015

ditentukan berdasarkan rata-rata variabel yang ber- potong, hal ini disebabkan oleh panjang kain batik
pengaruh (Hanafiah 2005). yang diproduksi berbeda-beda ukurannya. Namun
menurut Susanto (1974) luas kain merupakan salah
b. Analisis Estimasi Total Beban Pencemar satu faktor yang mempengaruhi sedikit banyaknya zat
Estimasi total beban pencemar ditentukan dari hasil warna yang terserap, sehingga apabila satuan potong
digunakan sebagai unit perhitungan faktor beban
perkalian faktor beban pencemar dengan total kapasi- pencemar maka konsentrasi zat warna dalam limbah
tas produksi yang ada berdasarkan data sekunder yang cair per potong kain menjadi tidak terkendali dan
didapat dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan dapat menimbulkan bias. Oleh karena itu penentu-
Kabupaten Cirebon. Dengan menggunakan asumsi anfaktor beban pencemar pada penelitian ini ditetap-
tiap potong kain batik memiliki panjang 2,5 meter kan dalam satuan gram/meter kain dengan asumsi
dengan rata-rata 3 warna di setiap potongnya. lebar kain dianggap sama.

3. Hasil dan Pembahasan Hasil perhitungan beban pencemar untuk
keseluruhan proses berdasarkan hasil analisis kualitas
3.1. Analisis Faktor Beban Pencemar limbah cair dan volume limbah disetiap proses maka
didapatkan rata-rata hasil seperti pada Tabel 3.
Analisis faktor beban pencemar merupakan salah
satu pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui Nilai rata-rata faktor beban pencemar limbah cair
nilai konstanta yang dapat dipakai untuk mengetahui batik yang tercantum pada Tabel 3 merupakan nilai
besarnya beban per unit produk. Dengan mengetahui umum yang dapat digunakan untuk mengestimasi
nilai faktor beban pencemar dari limbah cair untuk secara kasar total beban pencemaran dari limbah cair
parameter BOD5, COD, dan TSS diharapkan dapat IKM batik tanpa memperhitungkan proporsi jenis kain
membantu pembuat kebijakan untuk mengestimasi dan jenis zat warna yang digunakan. Untuk mening-
katkan akurasi perkiraan total beban pencemar dengan
total beban pencemar secara cepat hanya dengan mempertimbangkan faktor jenis kain dan zat warna,
merujuk pada data total kapasitas produksi IKM batik. maka pendekatan nilai faktor dilakukan dengan uji
statistik anova dua arah untuk setiap parameter uji.
Dalam sektor batik unit yang umum digunakan oleh
pengerajin batik tradisional Trusmi adalah satuan

Tabel 3. Rata-rata nilai faktor beban pencemar untuk 3 parameter untuk keseluruhan proses (gram/meter)

Perlakuan BOD5 COD TSS
Katun Naphtol (KN) 61,6 550 21,9
Katun Indigosol (KI) 21,7 182 16,1
Sutra Naphtol (SN) 79,7 928 51,6
Sutra Indigosol (SI) 88,3 408 29,5
62,8 ± 39,4 517 ± 373 29,8 ± 20,7
Rata-rata

a. BOD5 (Kebutuhan Oksigen Biologi) kain sutra. proses pelepasan lilin untuk kain sutra lebih
sulit dibandingkan kain katun (Susanto 1974). Oleh
Menurut Indriyani (2004) BOD5 didefinisikan karena itu IKM umumnya menambahkan soda abu
sebagai jumlah oksigen yang digunakan oleh (Na2CO3) berlebih pada proses pelorodan untuk kain
organisme nonfotosintetik untuk melakukan sutra. Hal ini yang membuat nilai BOD5 kain sutra
metabolisme secara biologis terhadap senyawa- menjadi lebih tinggi dari kain katun.
senyawa organik yang dapat terurai secara biologis
pada suhu 20oC selama 5 hari. Walaupun nilai BOD5 Pada Gambar 1 juga terlihat nilai yang cukup tinggi
menyatakan jumlah oksigen, tetapi untuk mudahnya pada proses pencucian untuk perlakuan SI. Berdasar-
dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan kan analisis dari data primer, nilai faktor tersebut
organik mudah urai yang ada di perairan. Hasil meningkat akibat data yang dihasilkan pada salah satu
analisis faktor beban pencemar limbah cair IKM batik IKM yang proses pencuciannya menggunakan water
parameter BOD5 untuk tiap tahapan proses dapat glass atau Natrium Silikat (Na2O3Si) untuk membantu
dilihat pada Gambar 1. melepaskan lilin yang tidak larut pada proses pelo-
rodan. Hal ini dapat disimpulkan setelah melihat
Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa proses beban pencemar parameter TSS (Gambar 3) pada IKM
penyumbang nilai beban pencemar parameter BOD5 yang sama, dimana nilainya paling rendah dibanding-
tertinggi ada di proses pelorodan untuk perlakuan su- kan perlakuan yang lain pada proses yang sama. Ber-
tra Naphtol (SN) dan sutra Indigosol (SI). Hasil uji dasarkan sifat fisikanya, Natrium Silikat merupakan
statistik anova 2 arah dengan selang kepercayaan 90% garam larut air, sehingga tidak berbentuk suspensi dan
untuk BOD5 juga menunjukan hanya jenis kain yang tidak memberikan pengaruh pada konsentrasi TSS
memberikan pengaruh kepada nilai beban pencemar (Effendi 2007).
dengan P-value sebesar 0,079, sedangkan rata-rata
untuk kain katun sebesar 41,6 g/m dan 84,0 g/m untuk

22

JPSL Vol. 5 (1): 17-24, Juli 2015

b. COD (Kebutuhan Oksigen Kimiawi) kan suatu pendekatan saja. Karena hal tersebut di atas
maka tes COD tidak dapat membedakan antara zat
Menurut SNI no 6989.73-2009 nilai COD menun- yang teroksidasi secara biologis dan zat yang
jukan jumlah oksidan Cr2O7 2- yang bereaksi dengan sebenarnya tidak teroksidasi secara biologis. Hasil
contoh uji dan dinyatakan sebagai mg O untuk tiap analisis faktor beban pencemar limbah cair IKM batik
parameter COD untuk tiap tahapan proses dapat
1000 mL larutan uji. Uji COD hanya merupakan suatu dilihat pada Gambar 2.
analisis yang menggunakan suatu reaksi oksidasi
kimia yang menentukan/menirukan oksidasi biologis
(yang sebenarnya terjadi di alam), sehingga merupa-

Faktor Beban Pencemar Parameter BOD5 (g/m) per Tahapan Proses

100.0 88.3 64.6 KN
90.0 79.7 56.8 KI
80.0 SN
70.0 61.6 SI
60.0
50.0 21.7 29.2 17.4 15.9 28.7
40.0 Total Pelorodan 14.9
30.0 12.9
20.0 3.8 2.8 2.0 2.3
10.0 Pencucian
0.0 Pewarnaan

Gambar 1. Grafik rata-rata faktor beban pencemar parameter BOD5(g/m) untuk setiap tahapan proses, (KN) Katun Naphtol,
(KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol

1000.0 Faktor Beban Pencemar Parameter COD (g/m) per Tahapan Proses
900.0
800.0 927.8
700.0
600.0 549.6 583.0 KN
500.0 KI
400.0 408.2
300.0
200.0 354.5 SN
100.0 SI
0.0 250.0 198.3

182.2 150.7 188.2 94.7
99.6 44.4 33.2
49.4 21.7
Total Pewarnaan Pelorodan Pencucian

Gambar 2. Grafik rata-rata faktor beban pencemar parameter COD (g/m) untuk setiap tahapan proses,(KN) Katun Naphtol,
(KI) Katun Indigosol, (SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa nilai faktor katun dan 295 g/m untuk kain sutra. Ditinjau dari
beban pencemar tertinggi terdapat pada perlakuan struktur kimia dari zat warna jenis Naphtol akan stabil
sutra Naphtol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang ketika sudah bereaksi secara kopling dengan garam
telah dilakukan di Yogyakarta dimana limbah zat diazonium dan membentuk senyawa berwarna yang
warna dari jenis Naphtol memiliki nilai COD yang tak larut air (Susanto 1974). Sedangkan warna
lebih tinggi dibandingkan dengan zat warna Indigosol Indigosol dibangkitkan melalui reaksi oksidasi
(UGM 2013). menggunakan NaNO2 dalam suasana asam
membentuk senyawa keton (-C=O) (Susanto 1974).
Dengan menggunakan selang kepercayaan 90% Hal ini menunjukan bahwa dalam keadaan yang telah
pada analisis anova dua arah, maka variabel jenis zat teroksidasi, sisa limbah zat warna Indigosol akan
warna dengan nilai p-value 0,040 merupakan variabel memberikan nilai COD yang relatf lebih kecil ketika
yang memberikan pengaruh terhadap nilai beban bereaksi dengan Oksigen dari Cr2O 2 bila
pencemar parameter COD, yaitu 739 g/m untuk kain
7-
23

dibandingkan dengan nilai COD dari zat warna JPSL Vol. 5 (1): 17-24, Juli 2015
Naphtol.
beban pencemar yaitu dengan P-value sebesar 0,089.
c. TSS (Padatan Tersuspensi Total) Dengan demikian faktor beban pencemar yang
digunakan menggunakan rata-rata dari variabel kain
TSS merupakan kombinasi jumlah mg padatan baik yaitu 19,0 g/m untuk katun dan 40,5 g/m dari kain
yang dapat diendapkan maupun yang tidak dapat sutra. Bila dilihat dari grafik pada Gambar 3, dapat
diendapkan dalam tiap liter air limbah. Hasil analisis diambil kesimpulan bahwa penyumbang nilai TSS
faktor beban pencemar limbah cair IKM batik terbesar pada kain sutra terdapat pada proses
parameter TSS untuk tiap tahapan proses dapat dilihat pelorodan.
pada Gambar 3.
Menggunakan argumen yang sama dengan
Berdasarkan hasil analisis anova dua arah dengan parameter BOD5, dapat diambil kesimpulan bahwa
selang kepercayaan 90% terhadap hasil perhitungan tingginya nilai TSS untuk kain sutra pada proses
beban pencemar limbah cair untuk parameter TSS pelorodan berasal dari penambahan Na2CO3 yang
didapatkan kesimpulan bahwa hanya variabel kain berfungsi untuk mempercepat proses pelepasan lilin
yang memberikan pengaruh terhadap nilai faktor dari kain sutra.

Faktor Beban Pencemar Parameter TSS (g/m) per Tahapan Proses

60.0
51.6

50.0

40.0 KN
KI
29.5 27.6 SN
24.3 SI
30.0 21.4
21.9 8.9
5.6
20.0 16.1
Pelorodan
10.0 10.9 3.3 5.3
4.2 3.0 2.6 2.0
Pencucian
0.0 Pewarnaan
Total

Gambar 3. Grafik faktor beban encemar parameter TSS (g/m) per tahapan proses, (KN) Katun Naphtol, (KI) Katun Indigosol,
(SN) Sutra Naphtol, (SI) Sutra Indigosol

3.2. Analisis Estimasi Total Beban Pencemar yang lebih efisien.
Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Per-
Estimasi total beban pencemar sektor IKM batik di
klaster Trusmi dihitung berdasarkan hasil perkalian industrian dan Perdagangan Kabupaten Cirebon, pada
antara kapasitas produksi dengan faktor beban tahun 2013 seluruh IKM yang berada di Desa Trusmi
pencemar. Faktor beban pencemar limbah cair IKM Wetan, Trusmi Kulon, Kali Tengah dan Wotgali ber-
batik ditentukan dari rata-rata dan standar deviasi jumlah 302 IKM dengan total kapasitas produksi sebe-
variabel yang memberikan pengaruh seperti dapat sar 454.625 meter per tahun. Menurut Hen-
dilihat pada Tabel 4. dratno 1 (2014) melalui komunikasi pribadi per-
bandingan penggunaan kain katun dan sutra untuk
Besarnya nilai standar deviasi pada faktor beban batik di Kabupaten Cirebon adalah 8 : 2. rasio
pencemar disebabkan oleh minimnya jumlah pengu- penggunaan zat warna jenis Naphtol dan Indigosol
langan pada perlakuan yang terbatas sebanyak tiga sebesar 2 : 1 (CBI 2011). Berdasarkan analisis faktor
kali. Kebiasaan pengerajin yang berbeda-beda dalam beban pencemar maka total beban pencemar untuk
melakukan teknik pewarnaan membuat kisaran kon- tiap parameter dapat dilihat pada Tabel 5.
sentrasi limbah cair menjadi tinggi. Untuk mendapat-
kan jumlah pengulangan yang lebih banyak, dibutuh- Dengan membagi nilai total beban pencemar
kan tambahan personil pada tim pengambil sampel, limbah cair IKM batik hasil estimasi dengan total
sehingga sampel limbah cair dapat diambil pada hari IKM yang ada di klaster Trusmi yang berjumlah 302
yang sama. Dengan memperbanyak jumlah IKM maka unit, maka kisaran beban pencemar yang dikeluarkan
diharapkan rentang nilai standar deviasi diharapkan oleh tiap IKM batik dapat dilihat pada Tabel 6. Dari
akan menjadi lebih kecil. Hal ini akan berdampak pa- data tersebut dapat membantu Pemerintah Daerah da-
da peningkatan efektifitas perencanaan pengambilan lam membuat perencanaan terkait dengan berapa
kebijakan terkait dengan disain pengolahan air limbah
1Kepala Subbidang industri Disperindag. Kab Cire-
bon

24

JPSL Vol. 5 (1): 17-24, Juli 2015

biaya yang dibutuhkan untuk mengelola limbah cair diterima oleh pengerajin dan masyarakat sekitar dapat
yang dikeluarkan oleh tiap IKM berdasarkan kapasitas diperkirakan.
produksinya. Selain itu dampak pencemaran yang

Tabel 4. Faktor beban pencemar limbah cair IKM batik untuk parameter BOD5, COD, dan TSS

Kain Warna

VARIABEL

Katun Sutra Naphtol Indigosol

PARAMETER Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD Rata-rata SD

BOD5 (g/m) 41.6 37.5 84.0 35.1 ----

COD (g/m) - - - - 739 436 295 164

TSS (g/m) 19.0 9.29 40.6 25.8 ----

Keterangan: Nilai dihitung menggunakan ANOVA dua arah menggunakan software minitab ver 15, SD adalah standar deviasi dari nilai beban
masing masing variabel yang dihitung menggunakan software ms. excel 2010

Tabel 5. Estimasi total beban pencemar limbah cair IKM batik Selain itu juga ditemui beberapa pengerajin batik di
Trusmi klaster Trusmi yang sering memiliki gangguan
kesehatan terkait iritasi kulit dan infeksi saluran
Parameter Estimasi Total Beban Pencemar
Limbah Cair pernafasan atas (ISPA) setelah melakukan proses
BOD5 (Ton / Tahun) pembatikan.
COD 5,9 – 39,5
TSS 112 – 426 Untuk meminimalisir besarnya beban pencemaran
limbah cair serta dampaknya terhadap kesehatan,
4,88 – 16,3 pembuat kebijakan diharapkan dapat mengembangkan
langkah minimisasi serta pengolahan limbah cair
Tabel 6. Kisaran beban pencemar yang dikeluarkan Tiap IKM Batik untuk setiap IKM di klaster Trusmi. Upaya produksi
per tahun bersih (PB) terkait dengan pengendalian non produk
output disetiap tahapan produksi dapat dilakukan
Parameter Beban Pencemar Limbah Cair melalui pelatihan dan pendampingan teknis untuk
setiap IKM. Dengan mengusung konsep bersih, efisien,
BOD5 (Kg / Tahun)
COD 19,7 – 131 dan sehat, PB diharapkan dapat mengurangi beban
TSS pencemaran sekaligus meminimisasi dampak negatif
371- 1412 terhadap kesehatan pekerja dan masyarakat.
16,1 – 15,0

Terkait dengan aspek toksikologi, beberapa 4. Kesimpulan dan Saran
penelitian menyatakan bahwa terkait limbah cair dari
IKM batik memiliki dampak negatif terhadap 4.1. Kesimpulan
kesehatan. Menurut Indriyani (2004) zat warna
Naphtol bersifat toksik dan dapat mengakibatkan 1. Dari hasil rancangan percobaan terhadap kualitas
penyakit kanker kulit.. Selain itu kedutaan Besar RI dan kuantitas limbah cair IKM batik
untuk Belanda bagian Perdagangan telah memberikan menggunakan anovadua arah maka dapat disim-
surat peringatan kepada Dirjen Perdagangan pulkan bahwa:
Internasional Kementerian Perdagangan RI pada tahun a. Variabel yang mempengaruhi besarnya nilai
1996 terkait dengan peringatan pelarangan faktor beban pencemaran limbah cair IKM
penggunaan sebagian zat warna Naphtol dan garam batik klaster Trusmi untuk parameter BOD5
Diazonium yang telah diberlakukan di Negara Jerman dan TSS adalah variable kain, dan untuk pa-
karena dampaknya terhadap kesehatan. Menurut rameter COD adalah variabel zat warna.
Timotius (2002) dalam Indriyani (2004) zat warna b. Nilai faktor beban pencemar untuk parame-
Naphtol yang termasuk dalam golongan azo ter BOD5 adalah 41,6 ± 37,5 g/m untuk
merupakan senyawa xenobiotik yang sulit terdegradasi, kain katun dan 84,0 ± 35,1 g/m untuk kain
dan apabila terdegradasi sering menghasilkan senyawa sutra; nilai faktor beban pencemar untuk pa-
lain yang lebih beracun daripada senyawa induknya. rameter TSS adalah19,0 ± 9,29 g/m untuk
katun dan 40,5 ± 25,8 g/m untuk kain sutra;
Terkait dengan zat warna indigosol, reaksi oksidasi dan faktor beban pencemar untuk parameter
pada proses pembangkitan warna menggunakan COD adalah sebesar 739 ± 436 g/m untuk
NaNO2 dan HCl dapat menimbulkan gas yang dapat zat warna Naphtol dan 295 ± 164 g/m untuk
menyebabkan iritasi baik pada mata dan pernafasan. zat warna Indigosol.
Berdasarkan pengamatan penulis, hampir seluruh
pengerajin di Klaster trusmi yang menangani proses 2. Berdasarkan kapasitas produksi IKM, total beban
pewarnaan tidak menggunakan alat pelindung diri pencemar limbah cair di klaster Trusmi terhitung
(APD) baik berupa masker maupun sarung tangan. sebesar 5,9-39,5 ton/tahun untuk BOD5, 112-426

25

ton/tahun untuk COD, dan 4,88-16,3 ton/tahun JPSL Vol. 5 (1): 17-24, Juli 2015
untuk TSS.
Chinese Institute of Environmental Engineering 10 (3), pp.
4.2. Saran 241-248.
[12] Parreira, L., M. Alves, 2012. Dyes – Environmental Impact
1. Memperkecil rentang nilai faktor beban pence- and Remediation. University of Minho. pp.112-154.
mar limbah cair IKM batik untuk ketiga parame-
ter (BOD5, COD, TSS) dengan memperbanyak [13] Rathore, J., 2012. Studies on pollution load induced by dyeing
jumlah sampel pengulangan dalam rancangan and printing units in River Bandi at Pali, Rajasthan, India, In-
percobaan, sehingga dapat meningkatkan efek- ternational Journal of Environmental Sciences 3 (1), pp. 735-
tifitas perencanaan pengendalian pencemaran. 742.

2. Ekstrapolasi terhadap total nilai beban pencemar [14] Ritayanti, P., 2011. Hubungan kemampuan kognitif, nilai
untuk daerah lain dapat dilakukan setelah dil- budaya, gaya hidup dengan empati lingkungan pada masyara-
akukan validasi terhadap nilai beban limbah cair kat wilayah sungai pembuangan limbah batik, survey pada
di daerah tersebut. masyarakat Kota Batik Surakata. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Lingkuangan dan Pembangunan Berkelanjutan 12.
3. Upaya minimisasi beban pencemar dapat dimulai
dari tiap individu IKM dengan fokus pada opti- [15] Sari, D. A., S. Hartini, D. I. Rinawati, T. S. Wicaksono, 2012.
masi proses produksi (produksi bersih) maupun Pengukuran tingkat eko-efisiensi menggunakan life cycle as-
pengolahan air limbah sederhana. sessment untuk menciptakan sustainable production di industri
kecil menengah batik. Jurnal Teknik Industri 14 (2), pp.137-
5. Ucapan Terima Kasih 144.

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kementerian [16] Suhubawa, L., 2008. Analisis dan prediksi beban pencemaran
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah mem- limbah cair industri kayu lapis PT. Jati Dharma Indah serta
biayai penelitian ini. Ucapan terimakasih juga disam- dampaknya terhadap kualitas perairan laut. Jurnal Manusia
paikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon dan Lingkungan 15(2), pp. 70-78.
serta IKM batik sentra Trusmi yang membantu dalam
kelancaran penelitian ini. [17] Susanto, S., 1974. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai
Penelitian Batik dan Kerajinan. Departemen Perindustrian,
Yogyakarta.

[18] [UGM] Universitas Gajah Mada, 2013. Laporan Kajian Beban
Pencemaran Industri Batik. Lembaga Kerjasama Fakultas
Teknik UGM. UGM, Yogyakarta.

Daftar Pustaka

[1] Babu, B. R., A. K. Parande, S. Raghu, T. P. Kumar, 2007.
Textile technology - an overview of wastes produced during
cotton textile processing and effluent treatment methods. Jour-
nal of Cotton Sciences 11, pp. 110.

[2] Chakraborty, J. N., 2014. Fundamental and Practices in Color-
ation of Textiles. Second Editon. Woodhead Publishing India
in Textiles Pvt Ltd., New Delhi.

[3] [CBI] Clean Batik Initiative, 2011. Second Year Achievement
Report. Ekonid. CBI, Jakarta.

[4] Correia, V. M., T. Stephenson, S. J. Judd, 1994. Characteriza-
tion of textile wastewaters – a review. Journal of Environmen-
tal Technology, 15 (10), pp. 917-929.

[5] Cristy, R. M., 2001. Colour Chemistry. Royal Society of
Chemistry Paperbacks. Heriot Watt University, Scottish Bor-
ders Campus, Balasheets.

[6] Dinas Lingkungan Hidup Kab. Cirebon, 2007. Pengkajian
Dampak Lingkungan Sentra Industri Batik Tradisional. Pemda
Kab. Cirebon, Cirebon.

[7] Effendi, A. H., 2007. Natrium silikat sebagai bahan pengham-
bat api aman lingkungan. Jurnal Teknologi Lingkungan 8 (3),
pp. 245-252.

[8] Hanafiah, K. A., 2005. Rancangan Percobaan Teori & Ap-
likasi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

[9] Indriyani, L., 2004. Pengelolaan Limbah Cair Industri Batik di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Institut Pertanian Bogor.,
Bogor.

[10] Jusri, I. M., 2012. Batik Indonesia Sokoguru Budaya Bangsa.
Kementerian Perindustrian, Jakarta.

[11] Kung, C. L., J. T. Yu, 2000. Study on estimating unid loads of
pollutats from industrial wastewater discharges. Journal of the

26

J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 15, No.2, Juli 2008: 70-78

ANALYSIS DAN PREDIKSI BEBAN PENCEMARAN LIMBAH
CAIR INDUSTRI KAYULAPIS PT. JATI DHARMA INDAH,
SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS PERAIRAN
LAUT

(Analysis and Prediction of Playwood Industry Liquid
Waste Pollution Impact at PT. Jati Dharma Indah and their Effects Toward the

Quality of Territorial Seawater)

Latif Sahubawa
Jurusan Perikanan & Kelautan Fak. Pertanian UGM

E-mail: [email protected]

Diterima: 2 Mei 2008 Disetujui: 1 Juli 2008

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengetahui karakteristik, beban pencemaran serta distribusi
pencemaran limbah cair Industri Kayulapis di perairan Laut Batu Gong Teluk Banguala Ambon.
Berdasarkan hasil penelitian, rerata nilai parameter limbah industri kayulapis sebagai berikut: suhu
— 35,8°C; TSS = 12,783 mg/1; pH = 5, 6; BODY = 610 mg/1; COD = 759,50 mg/1; total phenol —
0,480 mg/l dan Hg = 0,00083 mg/l. Nilai pH, BOD, COD telah melampui ambang batas Baku Mutu
Limbah Cair Industri Kayulapis (Kepmen LH. No. 03, Tahun 1991).

Debit limbah cair sebenamya (Dp) = 88,125 m'/hari, debit limbah cair maksimum (DM) —
11.164,99 m'/bulan, dan debit limbah cair sebenamya (DA) = 2.643,840 m'/bulan (jadi DA < DM).
Beban Pencemaran sebenamya (harian BPA dan bulanan BPAi) parameter TSS, COD, dan phenol
limbah cair industri lebih kecil dari Beban Pencemaran maksimum harian dan bulanan (BPM dan
BPMi) masing-masing parameter tersebut. BPA dan BPAi parameter BOD, lebih besar dari beban
pencemaran maksimumnya.

Rerata temperatur tertinggi perairan laut = 27,4*C (stasion 11), TSS = 30,830 mg/1 (stasion V),
pH—8,0(stasion VI), BOD, —1070,00mg/1(stasion 11), COD= 1349,00mg/I (stasion II), total phenol
= 0,325 (stasion II), Hg= 0,00080 mg/l (stasion II), salinitas =33,0 ppm (stasion IV). Parameter BOD„
COD, dan phenol telah melampui ambang batas Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (Budidaya
Perikanan) (Kepmen LH. No. 82 Tahun 2001).

Rerata nilai lndeks Diversitas Plankton pada lokasi A (stasion 11), lokasi B (antara stasion III
dan lV), lokasi C (antara stasion V dan VI) masing-masing: 1,40; 1,66 dan 2,03. Lokasi A dan B
telah melampaui nilai batas pencemaran sebesar 2 (tercemar berat) (Lee,1978). Rerata Koefisien
Nilai Nutrisi (NVC) ikan pada lokasi B dan C yaitu 1,43 dan 1,38 lebih kecil dari nilai normal 1,7
(Lucky, 1977). Jenis ikan teri yang tertangkap sebanyak 4 jenis, dengan jumlah terbanyak adalah
Stelaphoriis spp.

Kata kunci: beban pencemaran, air limbah, baku mutu, kiialitas perairan laut.

Abstract

Research nitn fo know the characteristic, pollution impact and also plywood inâii›’ti i! ii!asteiva-
ter pollution âistribtition in the Batti Gong seawater territorial ofAmhon Bogtitila Bay. Pm mint to
research result, average assess o] plywood industry wastewater parameter the]“ollowing.’ temper ature
— 35,8oC, TSS — 12.783 mg /l,’ pH — 5, 6; BOD — 610 mg 1; COD — 759.50 ing /l,’ total of J›henol
= 0,480 mg /l anâ Hg — 0,00083 mg 1 Assess the pH, BOD5, COD have over luu‹l the per moment
hoiindai i! gis/iij• O]‘plywood industry liquid waste (Kepmen LH. No. 03, Year 1991).

27

Juli 2008 SAHUBAWA, L.: ANALISISDAN PREDIKSI BEBAN 7l

Charge of liquid waste in Jâcf ( Dp) — 88.125 m’1day, charge o]“maximum liquid n!aste (DM)
— II, 164.99 m’7month, and charge the actual liquid waste ( DA) — 2,b43.840 in37montli (so, DA

more than DM). Fact pollution load (daily-BPA and monl)ly-BPA1) o] parainetei TSS, COD, and

total phenol industry wastewater less than daily maximum pollution loacl and monthly (BPM

and BPMI) each the parameter. BPA and BPA of patameter BOD5 was more than oJ tnaximiint

pollution load.
Highest Temperatwe average oJ‘seawater is 27.4"C (stasion II), TSS is 30 d30 Mg/l (stasion

V), pH is 8.0 (stasion VI), BOD5 is 1070.00 mg/l (stasion 11), COD is 134 g o0 »g/l (stasion II), total
of phenol i.s 0.325 (stasion II), Hg — 0.000d0 mg/l (stasion II), salinitas is 33.0 ppm (stasion IV).
Parameter BOD5, COD, and phenol moie than the Permanent Boundary Qvialit)• o) Fishery Aquci-

culture (Kepmen LH. No. 82 Year 2001).

Average assess the Index ofDiversitas Plankton at location A(stasion II), location B (between
stasion111andIV),locationC(betweenstasionVandVI) each: 1.40, 1.66and2.03.LocationAand

B was more than pollution limit value (hard pollution) (Lee,1978). Fish Nutrition Value Coeficient

average)atLocationBandCare1.43and1.38,lessthannormaly value 1.7(Lucky,1977).Sardiene

species that much catching was Stelaphorus spp. of the four species.

Keywords. pollution load, wastewater permanent boundary quality, seawater quality

PENGANTAR Mutu lingkungan pada saat ini khususnya
badan air, telah mengalami penurunan secara
Diprediksi para pakar lingkungan hidup drastis. Hal ini di sebabkan buangan limbah
bahwa sampai akhir PJPT II, jumlah limbah cair industri yang telah melewati ambang batas.
industri akan mencapai 2 kali lipat dibanding- untuk menagani hal tersebut, perlu di tetapkan
kan tahun 1990 serta limbah cair domestik men- perangkat peraturan pengendalian mutu air
capai 5 juta m3 per tahun. Kebutuhan Oksigen (Soemarwoto, 1985). Soerjani dkk (1997) me-
Biologi (BOD) meningkat 3 juta ton per tahun nyatakan bahwa di beberapa daerah, terutama
dan kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) 6 juta di perairan pantai sekitar kota-kota besar dan
ton per tahun. Beban pencemaran parameter derah industri, lingkungan laut telah mengalami
BOD limbah cair meningkat dari 25.000 ton per pencemaran, baik oleh senyawa kimia beracun
tahun pada 1990 menjadi lebih dari 1.200 juta dan berbahaya, logam berat, panas maupun
ton pada tahun 2010 (Anonimous, 2003a). bentuk pencemaran lain.

Pesatnya perkembangan teknologi di bi- Penggunaaan bahan kimia dalam industri
dang industri telah membawa implikasi negatif pengolahan kayulapis sebagai bahan baku
besar terhadap pencemaran lingkungan akibat perekat telah banyak menimbulkan dampak
pembuangan limbah (cair, padat dan gas) negatif. Bahan baku kimia tersebut terdiri atas
dengan kuantitas dan kualitas yang semakin resin, hardiner dan tepung industri. Jenis bahan
meningkat. Kondisi ini semakin diperparah, perekat yangdipakai dalam pengolahan kayula-
di mana umumnya industri belum menerapkan pis pada PT. Jati Dharrna Indah yaitu Melamin
teknologi pengendalian limbah yang baik, di Formaldehid (MF) Urea Forotaldehid (UF),
samping ada keterbatasan kapasitas lingkungan dan Phenol Forinaldehid(PF). Bahan pencemar
dalam mereduksi limbah (Sahubawa, 2004). utama yang terdapat dalam industri kayulapis
Dampak tersebut, terutama berupa pencemaran adalah senyawa fenolik (turunan benzena)
dan atau menurunnya kualitas air (fisik, kimia yang sukar terurai dalam air dan dalam waktu
dan bilogis) karena menurunnya dayadukung singkat sehingga dapat nerubah sifat fisik &
{varying capacity) lingkungan dalam memulih- kimia air, toksik terhadap biota pei‘airan serta
kan masuknya bahan pencemara (Anonimous, merusak flavor alau citarasa produk perikanan
2003b). (Keith, 1979).

28

Juli 2008 SAHUBAWA, L.: ANALISIS DAN PREDIKS1 BEBAN 29

ALAT/BAHAN DAN METODOLOGI Pendekatan/metode analisis:
PENELITIAN Debit limbah cair maksimum (DM) dan

Alat/Bahan. debit limbah cair sebenarnya (DA) dengan
Alat yangdipakai dalampenelitian adalah: metode volumetrik berdasarkan Baku Mutu
Limbah Cair Industri (dan khususnya industri
(1) stopwatch, (2) cerigen plastik, (3) perangkat Kayulapis) (Kepmen LH No. 03 tahun 1991).
alatpengukuran debit limbahcair, (4)perangkat
alatanalisis sampel limbah cair kayu lapis serta DM = Dm x Pb
(5) perangkat alat analisis sampel air laut, ikan
dan plangton. Keterangan:
DM — debit limbah cair maksimum yang di-
Bahan yang digunakan yaitu: (1) bahan
utama (limbah cair kayu lapis), (2) air laut, (3) perbolehkan bagi industri bersang-
ikan dan plankton, (4) aquadistilata, (5) forma- kutan (m'/bulan).
lin serta (6) bahan-bahan kimia untuk analisi Dm = debit limbah cair maksimum se-
sifat fisik dan kimia limbah cair, sifat biofisik- bagaimana yang tercantum dalam
kimia air laut seperti kalium dikhromat, asam Lampiran I — XIV Kepmen LH No.
sulfat, natruim thiosulfat, kalsium khlorida, 03 Tahun 1991, sesuai dengan indus-
besi khlorida, fero ammonium sulfat, Lembaga tri bersangkutan (m'/satuan produk).
sulfat, natrium hidrooksida, indikator amilum, Pb = produksi sebenarnya dalam sebulan,
asam nitrat dan lain sebagainya. (dinyatakan dalam satuan produksi
sesuai yang tercantum pada Lampiran
Metode Penelitian I — XIV Kepmen LH No. 03 Tahun
Tata laksana: (l). Pra penelitian (penyusunan 1991).
dan pengumpulan data sekunder, usulan pene-
litian, periapan alat dan bahan, surat jalan dan DA = Dp x H
izin penelitian), (2). Penelitian: (a). Observasi
lapangan dan penentuan stasion penelitian, Keterangan:
(b). Pengamatan proses pengolahan kayulapis DA — debit limbah cair sebenarnya (m'/bu-
serta identifikasi sumber-sumber pencemaran
limbah cair, (c). Pengukuran debit limbah cair lan).
kayulapis, (d). Pengambilan sampel limbah Dp = hasil pengukuran debit limbah cair
cair dan air laut, (e). Pengukuran parameter
in-situ (suhu, salinitas air limbah dan air laut), (m'/hari).
(f). Pengawetan sampel air limbah dan air laut H = jumlah hari kerja pada bulan yang
untuk analisis pH, TSS, BOD5, COD, total fe-
nol, Hg, plankton), untuk selanjutnya dianalisis bersangkutan.
di Lab. Kimia PAU Pangan dan Gizi UGM, Beban pencemaran maksimum (BPM)
(g). Pengamatan koefisien nilai nutrisi ikan di dan beban pencemaran sebenarnya (BPA)
Lab. Biologi Balai Penelitian Perikanan Laut berdasarkan Baku Mutu Limbah Cair Industri
Ambon. (3). Pasca penelitian (pengolahan dan (dan khususnya industri Kayulapis) (Kepmen
analisis/sintesis data serta penyusunan laporan). LH No. 03 tahun 1991).

BPM = (CM)j x Dm x f

Keterangan:
BPM = beban pencemaran maksimum.
(CM)j= kadar maksimum unsur pencemar-j

Parameter: (1). Kualitas limbah cair industri Dm = debit limbah cair maks iinu m se-

kayulapis: suhu, pH, TSS, BOD , COD, total bagaimana yang tercantum dalam
5 Lampiran I — XIV Kepmen LH

fenol, merkuri (Hg), (2). Kualitas perairan laut: No. 03 Tahun 1991, sesuai dengan
industri bersangkutan (m’/satuan
suhu, salinitas, pH, TSS, BODY, COD, total
produk).
fenol, merkuri (Hg), indeks diversitas plankton,

koefisien nilai nutrisi (NVC) ikan.

29

f = faktor konversi = (1.000/m') x (1 Debit limbah cair maksimum (DM)

kg/l .000.000 mg) = 0,001 DM = 2,8 m’/m’ x 36.684,98 m'/345 hari

BPA = (CA)j x (DA/Pb) x f = 102.717,888 m'/345 hari

Keterangan: = 297,733 m'/hari
BPA — beban pencemaran sebenarnya (kg = 8.931,990 m’/bulan

parameter per satuan produk) Debit limbah cair sebenarnya (DA)

(CA)j = kadar sebenarnya unsur pencemar-j DA = 88,128 m'/hari x 30 hari

(mg/1) = 2.643,84 m'/bulan

DA = debit limbah cair sebenarnya Jadi DA < DM

Pb = produksi sebenarnya dalam sebulan

(dinyatakan dalam satuan produksi Beban Pencemaran Limbah Cair

sesuai yang tercantum dalam Lam- Beban pencemaran limbah cair industri

piran I — XIV Kepmen LH No. 03 ditetapkan berdasarkan Kepmen KLH. No.03

Tahun 1991). tahun 1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair

f 0,001 bagi kegiatan yang sudah beroperasi. Berdasar-

kan Kempen LH. No. 03 tahun 1991, parameter

HASIL DAN PEMBAHASAN limbah cair industri kayulapis penting adalah

BODY, COD, total phenol, dan TSS.

Debit Limbah Cair {effluent)

Debit limbah cair maksimum (Dm) indus- Contah perhitungan beban pencemaran
tri kayulapis dalam Baku Mutu = 2,8 m3 per m3 maksimum BODY (BPM) bulanan.

produk kayulapis, produksi kayulapis dalam Kadar maksimum unsur pencemar (CM)

sebulan (Pb) = 36.684,98 m', debit limbah cair BoD5 = 100,0 mg/1
hasil pengukuran (Dp) = 88,128 m3/hari, serta Kadar sebenarnya unsur pencemar (CA)

jumlah hari kerja per bulan (H) = 30 hari. BOD5 = 610,0 mg/l

Hasil perhitungan debit limbah cair maksimum BPM.BOD,
(DM) dan debit limbah cair bulanan sebenarnya
(DA) adalah sebagai berikut. = cM .BOD x Dm x f
5
3J ' x 0,001
= 100,0 mg/1 x 2,8

Tabel 1. Baku Mutu Limbah Cair Industri Kayulapis (Kepmen LH. No. 03
Tahun 1991)

Debit Limbah Maksimum = 2,8 m* per m* produk kayu lapis

No Paremeter Kadar Maksimum Beban Pencemaran Maksimum

1 BOD5 100,0 mg/I 0,28 kg/ m*

2 COD 250,0 mg/I 0,70 kg / m*

3 TSS 100,0 mg/I 0,28 kg / m*

4 Total Fenol 1,0 mg/I 2,80 gr / m*
5 pH 6-9

keterangan:

1. Kecali pH, kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam ing parameter per liter air

limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg atau gr parameter per

in' produk kayu lapis.
3. 1.000 m’ produk = 3,6 m' produk dengan ketebalan 3,6 min.
4. 2,b m' air limbah per m’ produk = 10 in' air limbah per 3,6 in' produk dengan ketebalan 3,6 mm.
5. Kualitas limbah cair industi kayu lapis dan kualiias peraian laut dengan metode Stores berdasarkan Baku Mutu Lii-

bah Cair Industri (Kepmen LH No. 03 Tahun 1991), khususnya Industri Kayulapis dan Baku Mutu Air untiik Usaha
Budidaya Perikanan (Kepmen LH No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kiialitas dan Pengenda)ian Pencemaran

Air).

30

= 100,0 mg/1 x 0,0028 m’/m' Bebanpencemaran sebenarnya (BPAi, BODY)
= 0,28 mg/l (BPAi), BOD5 = (CA)g p x Dp x f

Beban pencemaran sebenarnya — 610 mg/1 x 88,128 m3/hari x 10 3
= 53.758,08 mg/hari
BPA.BODY = CA.BOD5 x (DA/Pb) x f = 0,0538 kg/hari
Jadi (BPAi) > (BPMi)
2.643,840 m'/bulan.
Hasil perhitungan Debit serta Beban
= 610,0 mg/1 x x ,001 pencemaran maksimum dan sebenarnya dari
parameter kunci limbah cair Industri Kayulapis
3.189,997 m3/bulan. seperti terlihat padaTabel 1. Berdasarkan Tabel
1, ternyata debit limbah cair sebenarnya (DA)
= 610,0 mg/1 x 0,829 x 0,001 lebih kecil dari debit limbah cair maksimum
(DM). Beban pencemaran sebenarnya para-
= 610,0 mg/l x 0,000829 meter COD, TSS, dan total fenol lebih kecil
dari beban pencemaran maksimum masing-
= 0,51 mg/1 masing parameter, kecuali untuk parameter
BODY dimana beban pencemaran sebenarnya
Jadi (BPA) > (BPM) lebih besar dari Beban pencemaran maksimum.
Dari hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa
Contoh perhitungan beban pencemaran debit dan beban pencemaran limbah cair kayu
maksimum (BPMi, BODs) harian lapis belum memberikan kontribusi pence-
(BPMi), BODY = BPM x (Pb/H) maran besar terhadap parameter COD, TSS,
dan total fenol.
3.189,997 m'/bin
= 0,2850 mg/1 x

30 hari
= 0,2850 mg/l x 106,333 m3/hari
= 0,2850 mg/1 x 106,333 1/hari
= 30.304,905 mg/hari
= 0,0303 kg/hari.

Tabel 1. Debit & beban pencemaran limbah cair industri kayulapis
PT. Jati Dharma Indah

Jumlah hari kerja per bulan = 30 hari
Jumlah jam kerja per hari = 23 jam
Produksi kayu lapis per bulan (September) = 3.057,080 m3
Produksi sebenarnya pada bulan September = 3.189,997 m*

DEBIT LIMBAH CAIR

Dp, (debit limbah terukur) = 88,128 m°/hari
DA, (debit limbah cair sebenarnya) = 2.643,840 m3/bulan
DM, (debit limbah cair maksimum) = 8.931,990 m3/bulan

BEBAN PENCEMARAN LIMBAH CAIR

lndikator BOD COD Fenol TSS

BPM (mg/I) 0,280 0,700 0,180 0,0028
0,100 0,0004
BPA (mg/I) 0,510 0,630 0,030 0,00030
0,001 0,00004
BPMi (kg/hari) 0,003 0,074

BPAi (kg/hari) 0,054 0,067

Keterangan:

DA < DM
BPA D » BPM

BPA = Beban pencemaran sebenarnya per bulan
BPM = Beban pencemaran maksimum per bulan
BPAi = Beban pencemaran sebenarnya per hari
BPMi = Beban pencemaran maksimum per hari

31

Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas kadar parameter pencemar sebenarnya (CA)J
produksi kayulapis dan produk lainnya yang lebih besar dari kadar pencemar maksimum
dihasilkan industri dengan debit limbah cair (cM)j Sehingga pada suatu waktu akan terjadi
dan kualitas limbah cair yang dihasilkan (hari- gejala kesuburan perairan berlebihan (eutrofi-
an/bulanan) belum menimbulkan dampak ling- kasi).
kungan (perubahan kualitas air dan kehidupan
biota akuatik) yang signifikan. Dengan kata Karakteristik Fisik-kimia Limbah Cair
lain, kapasitas produksi kayu lapis dan produk Kayulapis serta Badan Air Laut.
lainnya masih dapat ditingkatkan (Sahubawa,
2004). Kadar parameter fisik dan kimia limbah
cair industri kayu lapis serta badan air laut, se-
Tingginya beban pencemaran sebenarnya pertiterlihat padaTabel2. Berdasar Tabel2, ter-
BODY dibandingkan dengan beban pencemaran lihat bahwa kadar BOD dan COD limbah cair
maksimum, menunjukkan bahwa kapasitas Industri Kayu Lapis telah melampaui ambang
proses penguraian/degradasi bahan-bahan batas Baku Mutu Limbah Cair Industri Kayu
organik yang mudah terurai (biodegradable) Lapis (Kepmen LH. No. 03Tahun 1991). Kadar
secara alami sangat terbatas. Hal ini sangat BODY, COD dan fenol dalam badan air laut
dimungkinkan karena limbah cair industri kayu telah melampaui ambang batas Baku Mutu Air
lapis yang dihasilkan tidak diolah sebelum Laut untuk Biota Laut (Budidaya Perikanan)
dibuang ke lingkungan (badan air). Apabila (Kepmen LH. No. 85 Tahun 2001). Sedangkan
debit limbah cair dan beban pencemaran se- pH, Hg, temperatur, TSS dan salinitas masih di
benarnya lebih tinggi dari debit limbah cair dan bawah ambang batas baku mutu.
beban pencemaran maksimum, harus dilakukan
evaluasi dan pengawasan ketat terhadap semua Jika dibandingkan antara kualitas limbah
kegiatan industri, terutama kapasita produksi, cair industri kayu lapis dengan kualitas badan
pengelolaan limbah (termasuk reuses) serta air laut, ternyata kadar parameter kunci (pH,
penanganan inesin-mesin produksi. Apabila TSS, BODY, COD dan fenol) lebih rendah dari
upaya pengendalian terhadap debit limbah cair badan air laut (terutama pada stasion II dan III).
yang dibuang, serta pengurangan kapasitas Hal ini dapat terjadi karena badan air penerima
produksi terpasang tidak mengatasi beban limbah cair industri dijadikan sebagai tempat
pencemaran badan air, kegiatan industri harus penampungan awal dan akhir.
diaudit. Hal ini menunjukkan bahwa industri
tidak layak operasi. Di samping itu, badan air penerima lim-
bah cair telah dibendung sebagai areal khusus
Berdasarkan hasil perbandingan BPM penampungan limbah sehingga akumulasi
dan BPA dengan BPMi dan BPAi (lihat limbah cair serta partikel debu semakin hari
Tabel 1), temyata nilai BPMi & BPAi lebih semakin bertambah, sehingga konsentrasi zat
kecil dibandingkan dengan nilai BPM, BPA. pencemar semakin meningkat. Kondisi spesi-
Meskipun demikian, beban pencemaran badan fik limbah cair industri kayu lapis di tempat
air penerima akan semakin meningkat, karena penampungan ini adalah berwarna coklat ke-
limbah cair industri dibuang secara kontinyu hitaman, pekat, bau menusuk serta tidak ada
setiap hari (24 jam) tanpa pengendalian vo- tanda-tanda kehidupan biota laut (terutama
lume debit dan pengelolaan air limbah. Selain ikan). Kadar parameter pencemar dalam badan
itu juga, terdapat palung laut di sekitar per- air laut cenderung menurun dengan semakin
airan kawasan Industri Kayu Lapis yang me- jauh posisi stasion pengamatan dari saluran
mungkinkan terjadi akumulasi polutan dalam akhir pembuangan limbah cair. Posisi antar
jumlah besar. Kondisi ini dapat mengakibatkan stasion pengainatan di dalam badan air laut
berjarak 50 meter.

32

Tabel 2. Kadar parameter fisik dan kimia

Parameter Fisik

Stasion Temperatur (°c) TTS(mg/1) pH B
Pengamatan* Ter

Terukur BM Terukur BM Terukur BM

35,8 - 12,783 < 100 5,6 6-9 6

II 27,4 30,705 7,7 1.

III 27,2 30,605 7,9 8

IV 27,3 Alami 30,721 < 80 7,8 6,5-8,5 7

V 27,3 30,830 7,9 6

VI 27,2 30,742 8,0 6

Keterangan
* = Posisi stasiun pengainatan dapat dilihat pada Gambar

BM = Baku Mutu (Limbah Cair lndustri Kayulapis)
Stasiun I = saluran pembuangan limbah cair industri kayulapis
Stasiun II — JV = Badan air laut

ttd = tidak terdeteksi

a limbah cair industri kayu lapis serta badan air laut

BOD, (mg/1) Parameter Kimia Hg (mg/1) Salinitas (ppm)
COD (mg/1) Fenol (mg/l)

rukur BM Terukur BM Terukur BM Terukur BM Terukur BM

610 < 100 759,50 < 250 0,180 < 1,0 0,0008 - 0 -

.070 1349,00 0,325 0,0008 32,00

820 1021,75 0,275 0,0006 32,50

760 < 45 997,50 < 80 0,223 < 0,002 0,0002 < 0,003 33,00 z 10% Y

Alami

610 873,75 0,251 ttd 29,00

630 864,66 ttd ttd 29,80

rI

33

Karakteristik Biologik (plankton dan nek- C.Rerata koefisien nilai nutrisi terbesar ditemui
ton/ikan) Perairan Perikanan Batu Gong pada lokasi B yaitu 1,43 dan pada lokasi C yaitu
Kawasan Industri Kayu Lapis PT. Jati 1,38. Skala nilai batas pencemaran berdasarkan
Dharma Indah koefisien nilai nutrisi yaitu: < 1,7 (tercemar)
dan > 1,7 (tidak tercemar). Dengan demikian,
Pencacahan plankton dilakukan pada 3 perairan perikanan Batu Gong kawasan industri
(tiga) lokasi pengamatan dengan jumlah indivi- kayulapis telah tercemar.
du berturut-turut: lokasi A = 188.412 individu,
B = 857.182 individu, dan C = 67.105 individu, KESIMPULAN DAN SARAN
berasal dari 20 spesies, tergolong dalam 5 klas
yaitu Bacillariophyceae, Cromanodae, Cope- Kesimpulan
paoda, Malacostraca, dan Spiratricha. Indeks Debit limbah cair sebenarnya (DA) =
dominasi jenis terbesar pada lokasi A diper-
lihatkan spesies Chaetoceres (43,7 %3, serta 2.643,84m'/bulan belum melampaui debit
lokasi B dan C spesies Coscinodiscus dengan limbah cair maksimum (DM) = 8.931,99 m3/
nilai 53,0% dan 31,8%. Secara keseluruhan, bulan). Beban pencemaran sebenarnya (BPA)
spesies dominan di lokasi penelitian adalah per bulan parameter COD = 0,63; fenol = 0,10
Coscinodiscus dengan nilai 43,5%. mg/1 dan TSS = 0,0004 mg/1, belum melam-
paui beban pencemaran maksimum (BPM)
Indeks diversitas jenis plankton pada masing-masing parameter tersebut yaitu: 0,70
lokasi A = 1,40 dan B = 1,66 sangat rendah, mg/1; 0,18 mg/1 dan 0,0028 mg/1). Sedangkan
tetapi pada lokasi C = 2,03 sedikit lebih besar parameter BPA.BOD, = 0,51 mg/1 lebih besar
dibanding dengannilaibataspencemaran (yaitu dari BPM.BODs = 0,28 mg/1.
= 2). Jika dikaitkan dengan nilai ambang batas
pencemaran tersebut, lokasi pengamatan A dan BPAi parameter COD = 0,067 mg/l; fenol
B telah tecemar, sedangkan lokasi C belum = 0,001 mg/1 dan TSS = 0,00004 mg/l), belum
tercemar (Lee, 1978). Kondisi ini menunjukkan melampaui BPMi masing-masing parameter:
bahwa semakin jauhstasion pengamatan, beban 0,074 mg/1; 0,030 mg/1 dan 0,0003 mg/1), ter-
pencemar semakin menurun. Hal ini tercermin kecuali parameter BODY dimana BPAi.BODY
dari kadar parameter COD, BOD, total fenol (0,054 mg/1) lebih besar dari BPMi.BODY
dan Hg yang semakin kecil, bahkan tidak ter- (0,003 mg/l). dengan demikian BPAi dan BPMi
deteksi. Walaupun demikian, pada umumnya masih lebih rendah dari pada BPA dan BPM.
tingkat pencemaran badan air telah melampaui
ambang batas baku mutu. Hal ini dibuktikan Konsentrasi tertinggi parameter kunci
dengan tingginya kadar parameter pencemar badan air laut, masing-masing BODS = 1070,0
kunci (BOD, dan COD) yang melampaui am- mg/1; COD = 1349,0 mg/1 dan total fenol =
bang batas baku mutu Air Laut untuk Biota Laut 0,325 mg/1 ditemui pada stasion II. Sedangkan
(Budidaya perikanan). Sementara itu, kondisi pada limbah cair kayulapis (stasion I), kadar
air laut di kawasan industri berwarna coklat BOD„ COD dan fenol masing-masing: 610
kehitaman serta berlendir. mg/1; 759,50 mg/1 dan 0,48 mg/1.

Total hasil tangkapan ikan pada lokasi Kadar parameter pencemar air (lihat poin
pengamatan yaitu 55 ekor, yang terdiri atas c) telah melampui ambang batas, baik pada
lokasi B = 29 ekor dan C = 26 ekor. Jumlah spe- baku mutu Air laut untuk budidaya perikanan
sies ikan yang tertangkap sebanyak 4 (empat), (80,0 mg/1), maupun baku mute limbah cair
masing-masing: Decapterus ruselli, Decapterus industri kayulapis (100,0 mg/1).
macrosonia, Rastreliger spp., Stelaphorus spp.
Koefisien nilai nutrisi ikan terbesar yaitu 2,05 Indeks diversitas plankton lokasi A=1,40
dari spesies Stelaphorus spp. pada lokasi B dan dan lokasi B = 1,66 lebih rendah dari batas
terendah 0,79 jtiga Stelaphorus spp. pada lokasi nilai normal (2,0), terkecuali pada lokasi C
—2,03 lebih besar dari nilai normal. Rata-rata

34

nilai koefisien nutrisi ikan lokasi B = 1,43 dan Lingkungan Hidup No. 03. Tahun 1991
lokasi C =l,38, lebih rendah dari batas nilai dalam Himpunan Peraturan Lingkungan
normal 1,7. Hidu. Dilengkapi Panduan Pelingkupan
untuk Penyusunan Kerangka Acuan
S a r an Andal, p330-333.
Untuk mengendalikan beban pencemaran Kepmen LH. No. 82 tahun 2001. Beban
Pencemaran LimbahCair Industri untuk
badan air laut, industri kayulapis harus meng- Industri yang telah Beroperasi dan yang
atur debit serta mengolah limbah cair sebelum Diperluas. Himpunan Peraturan Perun-
dibuang kedalam badan air. dang-Undangan Lingkungan Hidup.
Kantor Menteri Negara Lingkungan
Untuk mengetahui distribusi dan kadar Hidup RI.
bahan polutan dalam badan air laut, jarak antar Keith L.H., 1979, Identification and Analysis
stasion pengamatan harus di perbesar danatau Of Organic Pollution in Water. An Ar-
mem erbanyak jumlah stasion pengamatan. bor Sciences Publishers Inc. Michigan
-48106, pp.695-698.
DAFTAR PUSTAKA Sahubawa, L., 2004. Pengendalian Pencemaran
di Kawasan Budidaya Perikanan. Maka-
Anonimous 2003a. Program Pengendalian lah, Disampaikan dalam TOT Pengen-
Pencemaran Air. Kementerian Negara dalian Pencemaran Wilayah Pesisir
Lingkungan Hidup Rl. dan Laut. Subdit Pengenalian Pence-
maran Pesisir dan Laut Direktorat Bina
Anonimous, 2003b. Sepuluh Tahun (1993 Pesisir Ditjen KP3K DKP RI. Jakarta,
-2003) Strategi Pengelolaan Wilayah 12 ha1.
Pesisir dan Laut.Kantor Menteri Negara Soemarwoto O., 1985, Ekologi Lingkungan
Lingkungan Hidup RI., Jakarta. Hidup dan Pembangunan. Penerbit
Djambatan Jakarta, pp.1-2,11-14.
Lee, C.D., 1978. Benthic Microinvertebrates Soerjani M. ; R. Ahmad dan R. Munir, 1997.
and Fish Fish Biological Indicators Lingkungan Sumberdaya Alam dan
of water Quality of with Reference to Kependudukan dalam Pembangunan.
Community Diversity Index. Bangkok: Penerbit UI. Press. Jakarta.pp.21 -23,
Conference on water Pollution Control 37-38.
in The Developing, pp.57-59.

Kepmen LH. No. 03 Tahun 1991. Lampiran
XIV Surat Keputusan Menteri Negara

36

Pemanfaatan Simbiosis Mikroorganisme B-DECO3 dan Mikroalga
Chlorella sp untuk Menurunkan Pencemaran Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit

Yelmira Zalfiatri1, Fajar Restuhadi1, Taufiq Maulana1

1 Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian
Fakultas Pertanian, Universitas Riau, Kode Pos 28293, Indonesia
[email protected] [email protected]

Abstract : The purpose of this research was to get the best treatment addition of
microorganisms B-DECO3 as a reducing agent contamination of waste pollution palm factory
with the addition of microalgae Chlorella sp. This research used a Completely Randomized
Design (CRD)with 5 treatments and 3 replications. The treatment used against waste
pollution palm factory was P0 (without addition of B-DECO3 microorganisms), P1 (addition
5ml/L of B-DECO3 microorganisms), P2 (addition 10 ml/L of B-DECO3 microorganisms), P3
(addition 15ml/L of B-DECO3 microorganisms), P4 (addition 20 ml/L of B-DECO3
microorganisms). The data obtained were analyzed statistically using Anova and DNMRT at
5 % level. The result showed that the addition of microorganism B-DECO3 had significant
affect for COD, BOD, TSS, oil, and pH. The treatment chosen from the result of this research
was the P4 treatment which had a value of COD (330,63 mg/L), BOD (94,53 mg/L), TSS
(266,46 mg/L), Oil (2,50) and pH (8,64).

Key Words: Waste pollution palm factory,B-DECO3, Microalgae Chlorella sp

Perkembangan perkebunan kelapa sawit di menggunakan bakteri pengurai. Salah satu
Indonesia mengalami peningkatan yang sangat pemanfaatan bakteri pengurai yang telah
signifikan. Hal ini disebabkan tingginya dilakukan dengan pemanfaatan mikroorganisme
permintaan atas Crude Palm Oil (CPO) sebagai Saccharomyces cerevisiae yaitu Mardiyono
sumber minyak nabati dan penyediaan untuk (2009) yang telah melakukan penelitian untuk
biofuel. Berdasarkan buku statistik komoditas mereduksi logam berat krom (VI) pada limbah
kelapa sawit terbitan Ditjen Perkebunan pada cair industri tekstil dengan perlakuan
tahun 2014, luas areal kelapa sawit di Indonesia penambahan Saccharomyces cerevisiae 0 ml, 5
mencapai 10,9 juta Ha dengan produksi 29,3 ml, 10ml, 15 ml, 20 ml dan 25 ml, penggunaan
juta ton CPO, sedangkan di Provinsi Riau mikroorganisme B-DECO3 dapat juga
merupakan provinsi yang memiliki lahan ditambahkan ke dalam limbah cair pabrik
perkebunan terluas sebesar 2,30 juta Ha kelapa sawit. Mikroorganisme B-DECO3
(Direktorat Jendral Perkebunan, 2014). merupakan komposisi bakteri aktif yang
menguntungkan dan mampu bekerja secara
Pemerintah melalui Kementrian sinergis pada lingkungan air buangan sehingga
Lingkungan Hidup telah mengeluarkan kualitas air yang bersih dapat tercapai. Pada
peraturan Nomor Kep-51/MENLH/10/1995 penelitian ini dilakukan penambahan B-DECO3
tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan dengan perlakuan 0 ml, 5 ml, 10 ml, 15 ml dan
industri dan salah satunya adalah untuk industri 20 ml, perlakuan dipilih untuk mendapatkan
minyak kelapa sawit, sehingga sebelum dibuang perlakuan terbaik penambahan B-DECO3.
ke perairan limbah harus dilakukan pengolahan
terlebih dahulu. Bakteri pengurai memerlukan oksigen
yang banyak untuk melakukan proses degradasi
Pengolahan yang paling sederhana dan aerobik polutan organik serta menghasilkan CO2
tidak membutuhkan biaya yang besar adalah dari proses metabolisme sehingga memerlukan
pengolahan secara biologi.Metode pengelolaan pasokan oksigen di dalam air. Mikroalga
air secara biologi dapat dilakukan dengan

37

Chlorella sp dapat menghasilkan oksigen untuk Ir. H. Tengku Dahril, M.Sc, mikroalga

bakteri pengurai dengan cara fotosintesis dan Chlorella sp yang digunakan dalam penelitian

membentuk biomassa dengan bantuan cahaya menggunakan Chlorella sp pada hari ke-7

matahari, CO2, nitrogen dan fosfor, sehingga dengan kelimpahan 1.704.000 sel/ml, aquadest,

terjadilah simbiosis antara bakteri pengurai KNO3, MgSO4.7H2O, K2HPO4, NaOH, HCL,

dengan mikroalga Chlorella sp. H2SO4, seed BOD, K2Cr2O7, HgSO4, Ag2SO4,

Chlorellasp dipilih sebagai sarana 1,10 phenanthroline monohydrate,

penanganan limbah cair pengolahan karena alga FeSO4.7H2O, propanol dan Na2SO4.

ini dapat tumbuh dan berkembang biak pada air Alat yang digunakan adalah timbangan

kotor. Habibah (2011) telah melakukan analitik, aerator, selang aerator, lampu, jerigen

penelitian dengan memanfaatkan alga Chlorella limbah cair, beakerglass, gelas ukur, pipet tetes,

pyrenoidosa dalam pengolahan limbah cair erlenmeyer, batang pengaduk, botol winkler,

kepala sawit. Hasil yang diperoleh berupa DO meter, inkubator, tabung kok, labu ukur,

penggunaan 800 ml alga dengan konsentrasi COD reaktor, statip, buret, botol reagen,

optimum alga sebesar 277 mg/L. Pada hari ke 9 alumunium foil, corong pisah, pengaduk

mampu mereduksi BOD dari 1.758,06 menjadi magnetik, pipet volum, gelas piala, kertas saring

16,50, COD dari 8.720 menjadi 166,07 dan TSS whatman grade 934 ah, penangas air, cawan

dari 3.751 menjadi 179,33. Kekurangan dari petri, penjepit, oven, desikator, corong, pH

penelitian Habibah (2011) yaitu tanpa meter dan sebagainya.

penambahan mikroorganisme pengurai sehingga Metode Penelitian. Metode yang

memerlukan waktu yang cukup lama untuk digunakan dalam penelitian adalah metode

mereduksi polutan limbah cair pabrik kelapa eksperimen dengan menggunakan Rancangan

sawit, sehingga ditambahkan mikroorganisme Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari lima.

B-DECO3 untuk mempercepat proses perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali

reduksi.Berdasarkan uraian diatas, maka sehingga total ada 15 unit percobaan.

dilakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Perlakuan mengacu pada Mardiyono (2009) dan

Simbiosis Mikroorganisme B-DECO3 dan Habibah (2011). Berikut adalah perlakuan:

Mikroalga Chlorella sp untuk Menurunkan P0=Tanpa penambahan mikroorganisme B-

Pencemaran Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit. DECO3

Penelitian ini bertujuan untuk P1= penambahan mikroorganisme B-

mendapatkan perlakuan terbaik penambahan DECO3 5 ml B-
P2= penambahan mikroorganisme
mikroorganisme B-DECO3 sebagai bahan
DECO3 10 ml
pereduksi pencemaran limbah cair pabrik kelapa P3= penambahan mikroorganisme B-

sawit dengan penambahan mikroalga Chlorella DECO3 15 ml
P4= penambahan mikroorganisme
sp. B-

DECO3 20 ml

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu. Penelitian ini telah Pelaksanaan Penelitian. Pengambilan
dilaksanakan di Laboratorium Analisis Hasil sampel limbah cair dilakukan dengan teknik
Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Riau, grap sample yaitu pengambilan yang dilakukan
Laboratorium Unit Pelaksanaan Teknis pada waktu dan titik yang sama, pengambilan
Pengujian dan Material Dinas Bina Marga sampel diperoleh dari pabrik perkebunan kelapa
Pemerintah Provinsi Riau dan Laboratorium sawit pada kolam penampungan ke-3 dengan
Perusahaan Dasar Air Minum Tampan pada menggunakan jerigen. Waktu pengambilan
bulan Agustus 2016 hingga Januari 2017. sampel dilakukan pada jam 10.00 WIB, hal ini
dilakukan karena aktivitas pabrik sudah
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan berjalan.
dalam penelitian adalah limbah cair pabrik
kelapa sawit diperoleh dari pabrik perkebunan Perbanyakan Mikroalga Chlorella
kelapa sawit Riau, B-DECO3 diperoleh dari sp. Kultur Mikroalga dan media kultur
CV. Surya Pratama Gemilang Bogor, kultur disiapkan kemudian dilakukan pencampuran
mikroalga Chlorella spdiperoleh dari Prof. Dr. dengan perbandingan 1 L media kultur
ditambahkan dengan 50 ml kultur mikroalga.

38

Selama perbanyakan dilakukan, mikroalga perlakuan berbeda tidak nyata maka analisis
memerlukan intensitas cahaya antara 2.500 – tidak dilanjutkan.

5.000 lux, hal ini dilakukan supaya mikroalga

mendapatkan cahaya yang cukup untuk proses HASIL

fotosintesis, aerasi juga perlu diberikan agar

terjadi pencampuran air, sehingga semua sel Karakteristik Bahan Baku. Limbah cair
pabrik kelapa sawit diduga mengandung bahan
mikroalgabisa mendapatkan nutrisi yang organik yang tinggi. Penelitian ini
menggunakan limbah cair pabrik kelapa sawit
diperlukan dan aerasi memberikan kesempatan yang diambil dari kolam tiga. Merujuk baku
mutu limbah cair bagi kegiatan industri, limbah
terjadinya pertukaran gas (Jusadi, 2003). yang mengandung bahan organik tinggi akan
memiliki nilai BOD, COD, TSS, dan kandungan
Perhitungan Kelimpahan Chlorella sp. minyak yang tinggi. Hasil pengukuran nilai
BOD, COD, TSS, minyak, dan pH limbah cair
Penghitungan kelimpahan sel Chlorella sp pada kelapa sawit sebelum dilakukan pengolahan
dapat dilihat pada Tabel 1.
setiap tahap penelitian dilakukan dengan

menggunakan kamar hitung Haemacytometer

Neubauer Improved

Proses Pengolahan Limbah Cair

Kelapa Sawit. Sebelum limbah cair

dimasukkan mikroalga Chlorella sp dan

mikroorganisme B-DECO3. Limbah cair kelapa

sawit terlebih dahulu dianalisis (H0) nilai pH, Tabel 1. Pengukuran parameter limbah cair

BOD, COD, TSS serta minyak.Wadah sebanyak pabrik kelapa sawit

15 buah diisi dengan limbah cair kelapa sawit Parameter Hasil Baku Mutu

masing-masing sebanyak 1 L. Mikroalga pengamatan pengukuran KEPMENLH1995

Chlorella spdimasukkan kedalam wadah COD (mg/L) 1920,00 Maks 500

sebanyak 800 ml. Mikroorganisme B- BOD (mg/L) 754,90 Maks 250

TSS (mg/L) 3670,00 Maks 300

DECO3dimasukkan ke dalam wadah sesuai Minyak (mg/L) 14,00 Maks30
dengan perlakuan, adapun perlakuan yang
pH 7,77 6-9

digunakan antara lain 0 ml, 5 ml, 10 ml, 15 ml

dan 20 ml. Ditambah aquadest sampai batas Data Tabel 1 menunjukkan limbah cair

tera. Wadah diaduk 1 kali sehari agar tidak kelapa sawit pada kolam tiga dari empat kolam

terjadi pengendapan. Analisis kadar pencemar penampungan masih memiliki cemaran yang

limbah cair dilakukan pada hari ke-0 sebelum tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai COD,

diinokulasi mikroorganisme B-DECO3 dan BOD, dan TSS yang tinggi yang masih sangat

Chlorella spdan setelah diinokulasi jauh dari nilai baku mutu limbah cair bagi

mikroorganisme B-DECO3 dan mikroalga kegiatan industri, tetapi memiliki kandungan

Chlorella sppada hari ke-7 minyak dan nilai pH dari limbah cair kelapa

Analisis Data. Model rancangan sawit sudah memenuhi baku mutu limbah cair

percobaan yang digunakan dalam penelitian ini bagi kegiatan industri.

adalahRancangan Acak Lengkap. COD (Chemical Oxygen Demand).

Model matematis Rancangan Acak Lengkap Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa

yaitu: konsentrasi mikroorganisme B-DECO3
Yij = μ + τi + Σ ij
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai COD

Keterangan : limbah cair pabrik kelapa sawit (Lampiran

Yij : Nilai pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j 3).Rata-rata nilai COD limbah cair pabrik

m : Rata-rata nilai dari seluruh perlakuan kelapa sawit setelah dilakukan pengolahan yang
τi : Pengaruh perlakuan ke-i
Σ ij:Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke j dihasilkan dari hasil uji lanjut dengan DNMRT

Data yang diperoleh pada analisis kimia pada taraf 5% disajikan pada Tabel 2.

akan dianalisa secara statistik dengan

menggunakan Analysis of Variance (ANOVA).
Jika Fhitung ≥ Ftabel pada taraf uji 5% maka

perlakuan berpengaruh nyata dan analisis akan

dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf 5%,
jika Fhitung ≤ Ftabel pada taraf uji 5% maka

38

Tabel 2.Rata-rata nilai COD limbahcair pabrik 428,03 mg/L. Nilai BOD berdasarkan baku
mutu limbah cair bagi kegiatan industri sebesar
kelapa sawit pada hari ke 7 setelah dilakukan 250 mg/L. Data pada Tabel 9 menunjukkan
bahwa nilai BOD yang dapat memenuhi baku
pengolahan (mg/L) mutu limbah cair bagi kegiatan industri adalah
perlakuan P3 dengan penambahan 15 ml B-
Perlakuan Rata-rata DECO3 dan perlakuan P4 dengan penambahan
20 ml B-DECO3.
P0 (tanpa penambahan B-DECO3) 661,50e
P1 (penambahan B-DECO3 5 ml) TSS ( Total Suspended Solid ). Hasil
P2 (penambahan B-DECO3 10 ml) 615,13d sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi
P3 (penambahan B-DECO3 15 ml) 558,43c mikroorganisme B-DECO3 berpengaruh nyata
P4 (penambahan B-DECO3 20 ml) 382,46b (P<0,05) terhadap nilai TSS limbah cair pabrik
330,63a kelapa sawit. Rata-rata nilai TSS limbah cair
pabrik kelapa sawit setelah dilakukan
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama, pengolahan yang dihasilkan dari hasil uji lanjut
berbeda tidak nyata (P>0,05). dengan DNMRT pada taraf 5% disajikan pada
Tabel 4.
Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi

mikroorganisme B-DECO3berbeda nyata

terhadap nilai COD limbah cair pabrik kelapa

sawit setelah dilakukan pengolahan pada hari ke

7 pada perlakuan P0, P1, P2, P3, dan P4. Rata-

rata nilai COD yang dihasilkan berkisar antara

330,63-661,50 mg/L. Nilai COD berdasarkan

baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri Tabel 4. Rata-rata nilai TSS limbah cair pabrik

KEPMENLH (1995) maksimal 500 mg/L. Data kelapa sawit pada hari ke 7 setelah dilakukan

pada Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai COD pengolahan (mg/L)

yang dapat memenuhi baku mutu limbah cair Perlakuan Rata-rata

bagi kegiatan industri adalah perlakuan P3 P0 (tanpa penambahan B-DECO3) 494,36e
P1 (penambahan B-DECO3 5 ml) 454,93d
penambahan 15 ml mikroorganisme B-DECO3 P2 (penambahan B-DECO3 10 ml) 404,66c
P3 (penambahan B-DECO3 15 ml) 380,43b
dan perlakuan P4 penambahan 20 ml P4 (penambahan B-DECO3 20 ml) 266,46a

mikroorganisme B-DECO3.

BOD (Biological Oxygen Demand) . Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama,

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa berbeda tidak nyata (P>0,05).

konsentrasi mikroorganisme B-DECO3

berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai BOD Tabel 4 menunjukkan bahwa konsentrasi

limbah cair pabrik kelapa sawit (Lampiran 4). mikroorganisme B-DECO3berbeda nyata

Rata-rata nilai BOD limbah cair pabrik kelapa terhadap nilai TSS limbah cair pabrik kelapa

sawit setelah dilakukan pengolahan yang sawit setelah dilakukan pengolahan pada

dihasilkan dari hasil uji lanjut dengan DNMRT perlakuan P0, P1, P2, P3, dan P4 dengan rata-rata

pada taraf 5% disajikan pada Tabel 3. nilai TSS yang dihasilkan berkisar antara

266,46-493,36 mg/L, sedangkan nilai TSS awal

Tabel 3. Rata-rata nilai BOD limbah cair pabrik limbah cair pabrik kelapa sawit sebesar 3670

kelapa sawit pada hari ke 7 setelah dilakukan mg/L (Tabel 1). Nilai TSS berdasarkan baku

pengolahan (mg/L) mutu limbah cair bagi kegiatan industri

Perlakuan Rata-rata KEPMENLH (1995) sebesar 300 mg/L. Data

P0 (tanpa penambahan B-DECO3) 428,03e pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai TSS
P1 (penambahan B-DECO3 5 ml) 409,06d
P2 (penambahan B-DECO3 10 ml) 325,43c yang dapat memenuhi baku mutu limbah cair
P3 (penambahan B-DECO3 15 ml) 109,73b
P4 (penambahan B-DECO3 20 ml) bagi kegiatan industri adalah perlakuan P4
94,53a
dengan penambahan 20 ml B-DECO3.
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama,
Minyak. Hasil sidik ragam
berbeda tidak nyata (P>0,05).
menunjukkan bahwa konsentrasi

Tabel 3 menunjukkan bahwa konsentrasi mikroorganisme B-DECO3 berpengaruh
mikroorganisme B-DECO3 berbeda nyata
terhadap nilai BOD limbah cair pabrik kelapa nyata (P<0,05) terhadap kandungan minyak
sawit setelah dilakukan pengolahan pada
perlakuan P0, P1, P2, P3, dan P4. Rata-rata nilai limbah cair pabrik kelapa sawit. Rata-rata
BOD yang dihasilkan berkisar antara 94,53-
kandungan minyak limbah cair pabrik kelapa

sawit setelah dilakukan pengolahan yang

42

dihasilkan dari hasil uji lanjut dengan DNMRT Tabel 6 menunjukkan bahwa konsentrasi
pada taraf 5% disajikan pada Tabel 5. mikroorganisme B-DECO3 berbeda nyata
terhadap nilai pH limbah cair pabrik kelapa
Tabel 5.Rata-rata kandungan Minyak limbah cair sawit setelah dilakukan pengolahan pada
perlakuan P0, P1, P2, P3, dan P4 dengan rata-rata
pabrik kelapa sawit pada hari ke 7 setelah dilakukan nilai pH yang dihasilkan berkisar antara 8,36-
8,64 sedangkan nilai pH awal limbah cair pabrik
pengolahan (mg/L) kelapa sawit sebesar 7,7 (Tabel 1). Nilai pH
berdasarkan baku mutu limbah cair bagi
Perlakuan Rata-rata kegiatan industri KEPMENLH (1995) antara 6-
9. Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai
P0 (tanpa penambahan B-DECO3) 11,33e pH yang dapat memenuhi baku mutu limbah
P1 (penambahan B-DECO3 5 ml) cair bagi kegiatan industri adalah perlakuan P0
P2 (penambahan B-DECO3 10 ml) 7,67d tanpa penambahan B-DECO3, P1 dengan
P3 (penambahan B-DECO3 15 ml) 6,00c penambahan 5 ml B-DECO3, P2 dengan
P4 (penambahan B-DECO3 20 ml) 3,67b penambahan 10 ml B-DECO3, P3 dengan
2,50a penambahan 15 ml B-DECO3 dan perlakuan P4
dengan penambahan 20 ml B-DECO3.
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama,
PEMBAHASAN
berbeda tidak nyata (P>0,05).
COD (Chemical Oxygen Demand). Chemical
Tabel 5 menunjukkan bahwa konsentrasi Oxygen Demand merupakan oksigen yang
mikroorganisme B-DECO3 berbeda nyata dibutuhkan bahan kimia (Cr2O7) untuk
terhadap kandungan minyak limbah cair kelapa mereduksi bahan organik dan anorganik yang
sawit setelah dilakukan pengolahan pada terdapat dalam sampel, sehingga semakin
perlakuan P0, P1, P2, P3, dan P4 dengan rata-rata banyak bahan organik yang diuraikan oleh
kandungan minyak yang dihasilkan berkisar mikroorganisme B-DECO3 maka semakin kecil
antara 2,50-11,33 mg/L, sedangkan kandungan nilai COD yang dihasilkan. Penurunan nilai
minyak awal limbah cair pabrik kelapa sawit COD pada penelitian ini lebih besar
sebesar 14 mg/L (Tabel 1). dibandingkan dengan penelitian Robbanatun
(2016). Hal ini dikarenakan mikroorganisme B-
Kandungan minyak berdasarkan baku DECO3 merupakan bakteri yang dapat
mutu limbah cair bagi kegiatan industri menguraikan bahan organik dan anorganik yang
KEPMENLH (1995) sebesar 30 mg/L. Data terdapat dalam limbah, sehingga
padaTabel 5 menunjukkan bahwa kandungan mikroorganisme B-DECO3 lebih besar dalam
minyak yang dapat memenuhi baku mutu menurunkan nilai COD.
limbah cair bagi kegiatan industri adalah
perlakuan P0 tanpa penambahan B-DECO3, P1 Kebutuhan oksigen yang banyak dalam
dengan penambahan 5 ml B-DECO3, P2 dengan mengoksidasi bahan organik dapat dihasilkan
penambahan 10 ml B-DECO3, P3 dengan dari proses fotosintesis mikroalga Chlorella sp,
penambahan 15 ml B-DECO3 dan perlakuan P4 sehingga terjadinya simbiosis antara
dengan penambahan 20 ml B-DECO3 mikroorganisme B-DECO3 dengan mikroalga
Chlorella sp. Adapun reaksi fotosintesisyang
Derajat Keasaman (pH). Hasil sidik terjadi sebagai berikut:
ragam menunjukkan bahwa konsentrasi
mikroorganisme B-DECO3 berpengaruh nyata 6H2O + 6CO2cahayaC6H12O6 + O2
(P<0,05) terhadap nilai pH limbah cair pabrik Adapun jenis mikroorganisme dan
kelapa sawit. Rata-rata nilai pH limbah cair
pabrik kelapa sawit setelah dilakukan peranan masing-masing mikroorganisme yang
pengolahan yang dihasilkan dari hasil uji lanjut terdapat di dalam mikroorganisme B-
dengan DNMRT pada taraf 5% disajikan pada DECO3dan EM4 dapat dilhat pada Tabel 7.
Tabel 6.

Tabel 6.Rata-rata nilai pH limbah cair pabrik kelapa

sawit pada hari ke 7 setelah dilakukan pengolahan

Perlakuan Rata-rata

P0 (tanpa penambahan B-DECO3) 8,36a
P1 (penambahan B-DECO3 5 ml) 8,60b
P2 (penambahan B-DECO3 10 ml) 8,61b
P3 (penambahan B-DECO3 15 ml)
P4 (penambahan B-DECO3 20 ml) 8,61b
8,64c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama,

berbeda tidak nyata (P>0,05).

42

Tabel 7. Jenis dan fungsi mikroorganisme B- dihasilkan dari proses fotosintesis mikroalga
DECO3 Chlorella sp, sehingga terjadinya simbiosis
antara mikroorganisme B-DECO3 dengan
B-DECO3 Peranan mikroalga Chlorella sp.

Aerobacter sp Membusukkan bahan TSS ( Total Suspended Solid ).
Nitrosomonnas organik Penambahan mikroorganisme B-DECO3 yang
sp semakin meningkat menyebabkan turunnya nilai
Nitrobacter sp Merubah amoniak menjadi TSS. Hal ini dikarenakan terjadinya penguraian
nitrit (Widjaja. 2012) bahan organik dan bahan anorganik oleh
Pseudomonas sp mikroorganisme. Hal ini sejalan dengan
Bacillus sp Merubah nitrit menjadi nitrat penelitian Robbanatun (2016), dimana semakin
(Widjaja. 2012) banyak EM4 yang ditambahkan maka semakin
Menguraikan trigliserida kecil nilai TSS limbah cair hasil pengolahan.
menjadi asam lemak bebas Menurunnya nilai TSS diakibatkan oleh
Mengurai bahan organik terjadinya penguraian bahan organik oleh
mikroorganisme yang terdapat di dalam B-
BOD (Biological Oxygen Demand). DECO3. Semakin lama waktu pengolahan
limbah cair maka semakin besar penurunan TSS
Penurunan nilai BOD diakibatkan oleh semakin yang akan terjadi.

meningkatnya mikroorganisme B-DECO3 yang Pada TSS terdapat fasa padat yang
merupakan fase dimana mikroorganisme akan
ditambahkan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya mengalami proses absorbsi. Oksigen dibutuhkan
mikroorganisme untuk keperluan proses
penguraian bahan organik oleh mikroorganisme degradasi bahan organik dan pertumbuhan sel.
Terjadinya difusi cair menjadi padat dari bahan
yang terdapat di dalam B-DECO. organik dan nutrien, serta terjadinya proses
adsorbsi koloid dan padatan tersuspensi oleh
Mikroorganisme B-DECO3 merupakan bakteri mikroorganisme untuk menghasilkan produk
penguraian bahan organik berupa H2O, CO2,
aerob yang dapat menguraikan bahan organik dan sel baru (Widjaja, 2012).

yang terdapat di dalam limbah. Hal ini sejalan Gambar 1. Mekanisme perpindahan masa dan reaksi
proses biologis aerobik
dengan penelitian Robbanatun (2016) dimana Sumber: Widjaja (2012).

semakin banyak EM4 yang ditambahkan, maka Kebutuhan oksigen yang banyak dalam
mengoksidasi bahan organik dapat dihasilkan
semakin kecil nilai BOD limbah cair hasil dari proses fotosintesis mikroalga Chlorella sp,
sehingga terjadinya simbiosis antara
pengolahan. Semakin lama waktu pengolahan mikroorganisme B-DECO3 dengan mikroalga

limbah cair maka semakin besar penurunan nilai

BOD.

Nilai BOD lebih kecil dibandingkan

dengan penelitian Robbanatun (2016). Hal ini

dikarenakan kandungan mikroorganisme yang

terdapat di dalam EM4 merupakan bakteri yang

banyak memanfaatkan bahan organik dalam

menguraikan limbah, sedangkan

mikroorganisme B-DECO3 merupakan bakteri

yang memanfaatkan bahan organik dan bahan

anorganik yang terdapat dalam limbah.

Sehingga penggunaan EM4 sebagai

pendegradasi dapat menurunkan nilai BOD

lebih besar dibandingkan mikroorganisme B-

DECO3.

Menurut Widjaja (2012),

mikroorganisme pada air limbah akan

mengoksidasi bahan organik menggunakan

molekul oksigen sebagai agen pengoksidasian.

Adapun reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Bahan organik + O2MikroorganismeCO2 + H2O + Sel baru

Mikroorganisme dalam menguraikan
bahan organik menyebabkan hilangnya oksigen
terlarut dalam air. Kebutuhan oksigen yang
banyak dalam menguraikan bahan organik dapat

43

Chlorella sp. Adapun reaksi fotosintesis yang Derajat Keasaman (pH). Peningkatan
terjadi sebagai berikut: nilai pH disebabkan oleh meningkatnya
mikroorganisme B-DECO3 yang ditambahkan.
6H2O + 6CO2cahayaC6H12O6 + O2 Semakin banyak bahan organik yang diuraikan
oleh mikroorganisme menyebabkan semakin
Minyak. Bakteri yang dapat menguraikan banyak CO2 yang dihasilkan. Karbondioksida
minyak antara lain Bacillus sp dan mempengaruhi nilai pH yang dihasilkan, karena
Pseudomonas sp. Mikroorganisme B-DECO3 semakin banyak CO2 di dalam air maka semakin
yang mampu mendegradasi dari minyak seperti banyak asam karbonat yang terbentuk, sehingga
Bacillus sp dan Pseudomonas sp.Pseudomonas pH mengalami penurunan, CO2 yang dihasilkan
sp merupakan bakteri yang dapat mengurai oleh mikroorganisme dimanfaatkan mikroalga
kandungan minyak limbah cair kelapa sawit. Chlorella sp untuk melakukan fotosintesis,
Hal ini sejalan dengan penelitian Priyani dkk. sehingga terjadi penurunan CO2 yang
(2002) menyatakan bahwa Pseudomonas menyebabkan nilai pH mengalami peningkatan.
spbanyak ditemukan pada limbah cair pabrik Karbondioksida bebas merupakan jenis karbon
kelapa sawit di Medan, pengujian terhadap anorganik utama yang dibutuhkan mikroalga.
aktivitas enzim lipase ekstrasel dari spesies Mikroalga juga menggunakan ion karbonat
tersebut menunjukkan bahwa enzim tersebut (CO3¯) dan ion bikarbonat (HCO3). Penyerapan
mampu menguraikan trigliserida (minyak CO2 bebas dan bikarbonat oleh mikroalga
zaitun) menjadi asam lemak bebas. menyababkan penurunan konsentrasi CO2
terlarut dan mengakibatkan peningkatan nilai
Selain itu, Bacillus sp yang terdapat di pH (Sze dkk.,1993).
dalam mikroorganisme B-DECO3 juga dapat
mengurai kandungan minyak limbah cair kelapa Berdasarkan hasil analisis nilai pH pada
sawit. Hal ini sejalan dengan penelitian hari ke 7 terjadi peningkatan nilai pH dari
Darmayasa (2008) yang menunjukkan bahwa karakteristik bahan baku sebesar 7,77 menjadi
hanya bakteri Bacillus dan Pseudomonas yang 8,73. Hal ini hampir sama dengan hasil
mampu tumbuh kembali pada uji balik. Bakteri penelitian Habibah (2011) menunjukkan bahwa
membutuhkan oksigen dalam menguraikan nilai pH perlakuan terbaik dengan penambahan
bahan organik, kebutuhan oksigen yang banyak mikroalga 800 ml/L dengan dua kali
dalam mengoksidasi bahan organik dapat pengenceran limbah dapat menurunkan nilai pH
dihasilkan dari fotosintesis mikroalga Chlorella dari karakteristik bahan baku sebesar 8,80
sp. Adapun reaksi fotosintesis yang terjadi menjadi 9,37. Peningkatan pada penelitian ini
sebagai berikut: lebih kecil dikarenakan pada penelitian Habibah
(2011) hanya menggunakan mikroalga
6H2O + 6CO2 cahaya C6H12O6 + O2 Chlorella pyrenoidosa dalam pengolahan
limbah cair kelapa sawit, sehingga mikroalga
Berdasarkan hasil analisis kandungan Chlorella pyrenoidosa memanfaatkan CO2 yang
minyak terjadi penurunan kandungan minyak terdapat dalam limbah untuk melakukan proses
dari 14 mg/L menjadi 2,50 mg/L atau terjadi fotosintesis. Semakin banyak penyerapan CO2
penurunan sebesar 82,1%. Hal ini hampir sama oleh mikroalga Chlorella pyrenoidosa
dengan penelitian Romyanto dkk. (2006) yang menyebabkan nilai pH mengalami peningkatan.
menunjukkan bahwa kandungan minyak dengan
penambahan 500 ml Pseudomonas putida Penentuan Perlakuan Terpilih. Setiap
menurunkan kandungan minyak sebanyak limbah cair yang dihasilkan, sebelum dibuang
45,99%. Penurunan kandungan minyak lebih ke perairan harus memenuhi baku mutu. Baku
besar yaitu 82,1% dikarenakan di dalam mutu limbah cair industri KEPMENLH (1995)
mikroorganisme B-DECO3 terdapat bakteri diantaranya COD, BOD, TSS , minyak dan pH.
Bacillus sp dan Pseudomonas sp yang mampu Hasil rekapitulasi semua data analisis di setiap
menguraikan kandungan minyak yang terdapat perlakuan disajikan pada Tabel 8.
di dalam limbah.

44

Tabel 8. Rekapitulasi data analisis perlakuan terpilih 8,64. Perlakuan sudah memenuhi baku mutu
l(i1m99b5a)h. cair bagi kegiatan industri KEPMENLH
Parameter Perlakuan P4
Hasil pengujian jauh dibawah standar
COD P0 P1 P2 P3 330,63a bmakuutu limbah cair industri sehingga dapat kukan
BOD 94,53a dpielnaelitian lebih lanjut pada kolam penampungan
TSS 615,13e 615,13d 558,43c 382,46b 266,46a
Minyakp 428,03e 409,06d 2,50a limbah yang memiliki tingkat
H 494,36e 454,93d 325,43c 109,73b 8,64c pencemaran yang lebih tinggi.
11,33e 7,67d
8,36a 8,60b 404,66c 380,43b UCAPAN TERIMA KASIH

6,00c 3,67b Pada kesempatan ini penulis mengucapkan
8,61b 8,61b terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penelitian ini
Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama,
DAFTAR PUSTAKA
berbeda tidak nyata (P>0,05).
Anonim. 1990. Peraturan Pemerintah Nomor 20
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa Tahun 1990 TentangPengendalian
standar nilai BOD yang ditetapkan oleh baku Pencemaran Air. Jakarta.
mutu limbah cair industri yaitu maksimal 250 . 1995. Keputusan Mentri Negara
mg/L. Perlakuan P3 dan P4 telah memenuhi Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995
baku mutu limbah cair industri yaitu 109,73- Tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi
94,53 mg/L. Standar nilai COD yang ditetapkan Kegiatan Industri. Jakarta.
oleh baku mutu limbah cair bagi kegiatan . 2001. Peraturan Pemerintah Nomor 82
industri yaitu maksimal 500 mg/L. Perlakuan P3 tahun 2001 TentangPengelolaan Kualitas
dan P4 memenuhi baku mutu limbah cair Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
industri yaitu 382,46-330,63 mg/L. Standar nilai Jakarta.
TSS yang ditetapkan oleh baku mutu limbah
Azwir. 2006. Analisa pencemaran air sungai
cair industri yaitu maksimal 300 mg/L. tapung kiri oleh limbah industri kelapa
Perlakuan P4 memenuhi baku mutu limbah cair sawit PT. Peputra Masterindo di
industri yaitu 266,46 mg/L. Sedangkan Kabupaten Kampar. Thesis. Pascasarjana
kandungan minyak dan nilai pH yang ditetapkan Ilmu Lingkungan. Universitas
baku mutu limbah cair industri yaitu maksimal Diponegoro. Semarang.
kandungan minyak 30 mg/L dan nilai pH 6-9.
Setiap perlakuan telah memenuhi baku mutu Becker, E. W. 1994.Oil production. In:
limbah cair industri. Baddiley, et al., editors. Microalgaee:
biotechnology and microbiology.
Dilihat dari nilai COD, BOD dan TSS Cambridge University Press.
yang terbaik adalah perlakuan P4, sehingga
untuk kandungan minyak dan nilai pH yang Borowitzka dan A. Michael. 2011.
dipilih adalah perlakuan P4, Berdasarkan hal Biotechnological and Environmental
tersebut maka dipilih perlakuan terbaik yaitu Application of Microalgae.
perlakuan P4 (Penambahan mikroorganisme B- http://www.bsb.murdoch.edu.au/groups/
DECO3 20 ml) yang dapat menurunkan nilai beam /BEAMHOME.html. Diakses pada
COD 82,7%; nilai BOD 87,4%; nilai TSS tanggal 27 April tahun 2016.
92,7%; kandungan minyak 82,1% dan
meningkatkan nilai pH dari 7,77 menjadi 8,64. Cardozo, A. P., J. G. F. Bersano, dan W. J. A.
Amaral. 2007. Composition, density and
SIMPULAN biomass of zooplankton in culture ponds
of litopenaeus vannamei
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan (Decapoda:Penaidae) in Southern
bahwa Semakin banyak mikroorganisme B- Brazil. Brazilian Journal of Aquatic
DECO3 yang ditambahkan memberikan Science and Technology. Vol. 11 (1) :
pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai 13-20.
BOD, COD, TSS, Minyak dan pH.

Perlakuan terbaik yang diperoleh pada
penelitian ini adalah penambahan
mikroorganisme B-DECO3 20 ml (P4) dan
mikroalga Chlorella sp 800 ml (kelimpahan
1.704.000 sel/ml) dapat menurunkan COD
82,7%, BOD 87,4%, TSS 92,7%, Minyak
82,1% dan meningkatkan pH dari 7,77 menjadi

4

Chisti dan Yusuf. 2007. Biodiesel from Habibah, Z, E. 2011. Potensi pemanfaatan alga
Microalgae. Biotechnology
Andances.Vol. 25 (2) : 294-306 Chlorella pyrenoidosa dalam

Cohen, Y. 2002. Bioremediation of oil by pengolahan limbah cair kelapa sawit.
marine microbial mats. Journal Int
Microbiol. Vol. 5 (1) : 189-193. Thesis. Fakultas Matematika dan Ilmu

CV. Surya Pratama Gemilang. 2016. B-DECO3. Pengetahuan Alam Universitas Riau.
http://www.suryapratamagemilang.co.id/
indexfiles/Page694.htm. Diakses tanggal Pekanbaru.
27 April tahun 2016.
Hardiyanto dan A. Maulana. 2012. Mikroalga
Dahril, T. 1996. Rotifer, Biologi dan
Pemanfaatannya. Unri Press. Pekanbaru. Sebagai Sumber Pangan dan Energi

Darmayasa, I. B. G. 2008. Isolasi dan Masa Depan. UPT UNDIP press.
identifikasi bakteri pendegradasi lipid
(lemak) pada beberapa tempat Semarang.
pembuangan limbah dan estuari
dam.Denpasar. Jurnal Bumi Lestari. Vol. Hadiyanto, M., M. A. Nur, dan G. D. Hartanto.
8 (2) : 122-127.
2012a. Cultivation of Chlorella sp. as
Daryanto. 1995. Masalah Pencemaran. Tarsito.
Bandung. Biofuel Sources in palm oil mill effluent

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Produksi, (POME). Int. Journal of Renewable
Produktivitas dan Luas lahan Kelapa
Sawit. Jakarta. Energy Development. Vol. 1 (2) : 45-49.

Ditjen PPHP. 2006. Pedoman Pengelolaan Helard, D., P. S. Komala, dan D. Delimas. 2012.
Limbah Industri Kelapa Sawit.
Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. Identifikasi mikroba anaerob dominan
Departemen Pertanian. Jakarta.
pada pengolahan limbah cair pabrik
Doraja, P. H., M. Shovitri, dan N. D.
Kuswytasari. 2012. Biodegradasi limbah karet dengan sistem multi soil layering
domestik dengan menggunakan
inokulum alami dari tangki septik. Jurnal (MSL). Jurnal Teknik Lingkungan. Vol.
Sains dan Seni. Vol. 1 (1) : 12-20.
9 (1) : 74-88.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi
Pengelolaan Sumber Daya dan Hindarko, S. 2003. Mengolah Air Limbah
Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta. Supaya Tidak Mencemari Orang Lain.

Fogg, G. E. dan B. Thake. 1987. Algaecultures Edisi Pertama. Esha. Jakarta
and Phytoplankton Ecology. 3rd ed.
Wisconsin. University Wisconsin Press. Hirayama, K. 1987. An approach from the
Madison.
physiological aspect to the problems in
Guo, L. B. dan R. E. H. Sim. 2001. Effect of
light, temperature, water and meatwork present mass culture technique of the
effluent irrigation on eucalypt leaf litter
decomposition under controlled rotifer. Faculty of fisheries. Nagasaki
environmental conditions. Applied Soil
Ecology. Vol. 17 (2) : 229-237. University. Nagasaki.

Haberl, R dan H. Langergraber. 2002. Irianto, D. 2011. Pemanfaatan mikroalga laut
Constructed Wetlands : a chance to solve
astewater problems in developing scenedesmus sp sebagai penyerap bahan
countries. Journal Sciences Technology.
Vol. 40 (2) : 11-17. kimia berbahaya dalam air limbah

industri. Skripsi. Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Isnadina, D. R. M. dan W. Herumurti. 2012.

Pengaruh waktu kontak dan

pencahayaan alami pada kemampuan

high rate algal reactor (HRAR) dalam

penurunan bahan organik air limbah

perkotaan. Jurnal Teknik Pomits.Vol. 1

(1) : 1-4.

Jusadi, D. 2003. Modul : Budidaya Pakan Alami

Air Tawar (Budidaya Chorella).

Departemen Pendidikan Nasional.

Jakarta.

Kawaroe, M. 2010. Mikroalga, Potensi dan

Pemanfaatannya untuk Produksi Bio

Bahan Bakar. IPB Press. Bogor.

Mahajoeno, E. 2011. Energi Terbarukan Dari

Limbah Pabrik Kelapa Sawit. Limbah

Pabrik Kelapa Sawitdibuat untuk Energi

Terbarukan. Alpen Steel. Bandung.

46

Mara, D. 1976. Sewerage Treatment in Hot Hasil Pertanian. Universitas Riau.
Climate. John Wiley and Sons. New
York. Pekanbaru

Mardiyono. 2009. Aplikasi mikroba Romyanto, M. E. W., Wiranto dan Sajidan.
Saccharomyces cerevisiae dalam
mereduksi logam berat krom (IV) pada 2006. Pengolahan limbah domestik
limbah cair industri tekstil. Jurnal
Biomedika. Vol. 12 (2) : 51-66 dengan aerasi dan penambahan bakteri

Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater Pseudomonas putida. Jurnal
Engineering Treatment Disposal Reuse.
McGraw-Hill Book Company. New Bioteknologi. Vol. 3 (2) : 42-49.
Delhi.
Said, N. I., W. Widayat., A. Herlambang, dan E.
Mulyaningsih, D. 2013. Pengaruh EM-4
terhadap penurunan kadar COD pada C. Machdar. 2002. Aplikasi Biofilter
limbah cair industri tahu. Skripsi.
Universitas Muhamadiah Surakarta. Untuk Pengolahan Air Limbah Industri
Surakarta.
Kecil Tekstil. BPPT. Jakarta.
Munawaroh, U., M. Sutisna, dan K.
Pharmawati. 2013. Penyisihan parameter Sana, N. K., I. Hossin., E. M. Haque, dan R. K.
pencemar lingkungan pada limbah cair
industri tahu menggunakan efektif Shaha. 2004. Identification, purification
mikroorganisme 4 (EM4) serta
pemanfaatannya. Jurnal Sains dan and characterization of lipase from
Teknologi. Vol. 1 (2) : 33-44.
germination oil seed (Brassica napus L).
Pahoja, V, M., M. U. Dahot, dan M. A. Sethar.
2001. Characteristic properties of lipase Journal of Biological Sciences. Vol. 7
crude extract of (Caesalpinia
bounducella L) seeds. Journal of (2) : 246-252.
Biological Sciences. Vol. 1 (2) : 775-
778. Schnoor, J. L. dan S. C. Cutcheon. 2005.

Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Phytoremediation Transformation and
Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Control of Contaminants. Wiley-
Prihantini, N. B., B. Putri, dan R. Yuniati. 2005.
Pertumbuhan Chlorella sp dalam Interscience Inc. USA.
medium ekstrak tauge (met) dengan
variasi pH awal. Jurnal Makara Sains. Situmorang, M. 2007. Kimia Lingkungan,
Vol. 9 (1) : 1-6.
cetakan I. UNIMED Press. Medan Hal :
Priyani, N., Jamilah dan Mizarwati. 2002.
Aktivitas enzim lipase ekstrasel 45,115.
Pseudomonas spdalam meguraikan Su’i, M., Harijono., Yunianta dan Aulani’am.
minyak limbah cair kelapa sawit
pengaruh konsentrasi substrat. Laporan 2010. Hidrolisis enzim lipase dari ketos
Penelitian. Universitas Sumatra Utara.
Medan kelapa terhadap minyak kelapa. Jurnal

Rizky, K. A. 2013. Pengaruh penambahan EM- Agritechnology. Vol. 30 (3) : 1-10.
4 terhadap penurunan BOD limbah cair
tahu. Skripsi. Univeritas Muhamadiah Susilo, F. A. P., B. Suharto, dan L. D.
Surakarta. Surakarta
Susanawati. 2015. Pengaruh variasi
Robbanatun. 2016. Simbiosis mutualisme EM4
dan mikroalga (Chlorella sp) dalam waktu tinggal terhadap kadar BOD dan
menurunkan polutan limbah cair kelapa
sawit (Technical Report). Teknologi COD limbah tapioka dengan metode

rotating biological contactor. Jurnal

Sumber Daya Alam dan Lingkungan.

Vol. 2 (1) : 21-26.

Syahputra, B. 2002. Pemanfaatan algae

Chlorella pyrenoidosa untuk

menurunkan tembaga (Cu) pada industri

pelapisan logam. Skripsi Fakultas

Teknik Universitas Islam Sultan Agung.

Semarang.

Sze, P. 1993. A Biology of the Algae 2nd ed

Wm C. Brown Publishers. Dubuque.

Widjaja, T. 2012. Pengolahan Limbah Industri

(Proses Biologis). ITS Press. Surabaya.

Zahidah, D. dan M. Shovitri. 2013. Isolasi,

karakterisasi dan potensi bakteri aerob

sebagai pendegradasi limbah organik.

Jurnal Sains dan Seni Pomits. Vol. 2 (1)

2337-3520

47

ADSORPSI PENCEMARAN LIMBAh CAIR INDUSTRI
PENYAMAKAN KULIT OLEh KITOSAN YANG MELAPISI ARANG

AKTIF TEMPURUNG KELAPA

Musrowati Lasindrang
Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada
Email: Atik. environmentalscience@gmail. com

Suwarno, Hadisusanto, dan Salahudin Djalal Tandjung
Jurusan Biologi Fakultas MIPA
Universitas Gadjah Mada

Kamiso Handoyo Nitisastro Jurusan
Perikanan Fakultas Pertanian
Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT

Chitosan has been used as biosorbent. In addition to having advantage chitosan as biosorbent has also
disadvantage. Chitosan is very soluble in low pH so it cannot adsorb Cr (total) atlow pH. It is due to active site
(amine group) of chitosan undergo protonation and its adsorption capability is easily influenced by anions in
waters. Therefore, the research studied use of chitosan coating active charcoal of coconut shell to increase
adsorption capability of Cr (total), BOD, COD. This research was done to evaluate characteristic of liquid waste
quality with Wastewater treatment unit (IPAL) or without Wastewater treatment unit (IPAL) and compare with
Regulation of DIY Governor number 7/2010. It studied also effect of pH and Concentration of chitosan coating
active charcoal as adsorbent on decrease in Cr (total), BOD, and COD concentration on liquid waste of
leather tanning. The results indicate liquid waste of leather tanning industry with Wastewater treatment unit
(IPAL) and without Wastewater treatment unit (IPAL) have exceeded quality standard of liquid waste of leather
tanning industry. ANOVA statistical test indicated Cr (total), BOD, COD are significant at 0,05 (p<0,05),
various pH influenced decrease in Cr (total), BOD, COD. The highest removal percentage on effect of chitosan
concentration coating active charcoal is obtained in adsorbent C (K3A1), Cr (total) (91,9%); BOD (99,5%);
COD (98,47%)
Keywords: Adsorption, Chitosan, Cr (total), BOD, COD.

ABSTRAK

Penggunaan kitosan sebagai biosorben telah banyak dilakukan. Di samping memiliki beberapa kelebihan,
kitosan sebagai biosorben juga memiliki kekurangan. Kitosan mudah larut pada pH rendah sehingga
tidak mampu mengadsorpsi logam Cr (total) pada pH rendah. Hal ini disebabkan situs aktif (gugus
amina) dari kitosan mengalami protonasi dan kemampuan adsorpsinya mudah dipengaruhi oleh ion-

48

ion dalam perairan. Untuk itu dalam penelitian ini beda dari waktu kewaktu, sesuai dengan
diteliti penggunaan Kitosan yang melapisi arang
aktif tempurung kelapa untuk meningkatkan macam dan jumlah kulit mentah yang
kemampuan adsorpsi Cr (total), BOD, COD.
Penelitian ini dilakukan untuk: mengevaluasi diproses, macam kulit jadi, jenis, dan jumlah
karakteristik parameter kualitas limbah cair
dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), bahan kimia yang ditambahkan, dan tingkat
maupun tanpa Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) dan dibandingkan dengan Peraturan teknologi yang diterapkan. Terjadinya
Gubernur DIY No 7 Tahun 2010; Menganalisa
pengaruhi pH dan konsentrasi kitosan yang pencemaran lingkungan perairan oleh lim-
melapisi arang aktif sebagai adsorben terhadap
efisiensi penurunan kandungan Cr (total), BOD, bah penyamakan kulit dapat diketahui
COD, pada limbah cair penyamakan kulit.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dengan cepat dari perubahan warna, bau,
limbah cair industri penyamakan kulit baik
dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan kejernihan.
maupun tanpa Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL) telah melampaui Baku Mutu limbah cair Limbah industri penyamakan kulit
industri penyamakan kulit; uji statistik Anova
menunjukkan variabel Cr (total), BOD, COD, dapat menyebabkan perubahan fisik dan
signifikan pada 0,05 (p< 0,05), maka variasi pH
berpengaruh terhadap penurunan Cr (total), BOD, kimia lingkungan yang menerima aliran
COD. Persen removal tertinggi pada pengaruh
konsentrasi kitosan yang melapisi arang aktif limbah. Pencemaran yang terjadi antara lain
diperoleh pada Adsorben C (K3A1) sebesar 91,9%
Cr (total); 99,5 % BOD, dan 98,47 % COD. disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang

Kata Kunci: Adsorpsi, Kitosan, Cr (total), BOD, digunakan dalam tahapan-tahapan proses
COD.
yang tidak diserap dengan sempurna oleh
PENGANTAR
Limbah cair industri penyamakan kulit yang diolah, sehingga limbah yang

kulit merupakan salah satu masalah yang timbul pada proses basah masih mengandung
utama selama industri penyamakan kulit
berlangsung karena menghasilkan bahan sisa-sisa bahan kimia dalam jumlah yang
organik dan krom. Pencemaran limbah
cair industri penyamakan kulit paling luas cukup besar, termasuk unsur logam. Salah
dampaknya karena proses pengerjaannya
menggunakan air dalam jumlah yang banyak satu logam yang berbahaya adalah krom.
dan menghasilkan limbah yang dibuang
langsung ke sungai, sehingga mempengaruhi Krom dalam lingkungan perairan dengan
kesehatan manusia serta dapat menimbulkan
kematian biota perairan. Limbah industri konsentrasi tertentu dapat menimbulkan
penyamakan kulit merupakan masalah
serius diantara limbah pencemar industri masalah. Cr (VI) dalam perairan mempunyai
lainnya karena merupakan campuran yang
kompleks dengan komposisi yang sulit kelarutan yang tinggi dan bersifat toksik,
diketahui secara tepat (Jost, 1990). Limbah
industri kulit berubah-ubah dan berbeda- korosif serta karsinogenik karena dapat

menimbulkan kanker paru-paru bila ter-

akumulasi dalam tubuhdan diperkirakan

membentuk kompleks makro molekul dalam

sel (Palar, 2008) Struktur kimia CrO42- memili-
ki kemiripan dengan SO 2- sebagai ion nutrisi
4
dalam sistem biologi. Hal ini menyebabkan

CrO4 2- dapat menembus membran sel dan
dengan cepat mengalami reduksi (Ohtake

dan Silver, 1994). Menurut Kaim dan

Schwerderski (1994) bahwa ion CrO42- dapat
menembus inti sel dan menyerang protein

atau DNA yang menyebabkan lepasnya

rantai DNA, kesalahan replikasi DNA, dan

mutasi gen pada organisme. Sebaliknya Cr
(III) kurang toksik dibanding Cr (VI), tidak
korosif tetapi juga memiliki sifat mutagenik

bahkan karsinogenik. Keberadaan Cr (III)

dalam tubuh dapat menyebabkan kanker

paru-paru. Akumulasi krom yang melebihi

konsentrasi yang dibutuhkan oleh tubuh

dapat menyebabkan kematian. Mengingat

49


Click to View FlipBook Version