The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini diangkat dari kisah nyata tentang kehidupan, perjuangan dan perjalanan panjang seorang guru, kyai dan ulama sekaligus umara, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajri Al-Mughni, 2023-07-10 10:55:13

NADJMI; Guru Sejati dan Politikus

Buku ini diangkat dari kisah nyata tentang kehidupan, perjuangan dan perjalanan panjang seorang guru, kyai dan ulama sekaligus umara, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim

Keywords: Guru Nadjmi

NADJMI Guru Sejati dan Politikus Hakiki Kisah Inspiratif Perjalanan Panjang K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim (Ketua Yayasan Perguruan Pondok Pesantren As’ad Jambi)


NADJMI: Guru Sejati dan Politikus Hakiki Kisah Inspiratif Perjalanan Panjang K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim (Ketua Yayasan Perguruan Pondok Pesantren As’ad Jambi) Penulis : Fajri Al Mughni ISBN : 978-623-6508-10-7 Copyright © Juni 2020 Ukuran: 14.8x21 cm; Hal: xiv + 192 Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam Bahasa Indonesia oleh Literasi Nusantara. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. Cetakan I, Juni 2020 Diterbitkan pertama kali oleh Literasi Nusantara Perum Paradiso Kav. A1 Junrejo - Batu Telp : +6285887254603, +6285841411519 Email: [email protected] Web: www.penerbitlitnus.co.id Anggota IKAPI No. 209/JTI/2018 Didistribusikan oleh CV. Literasi Nusantara Abadi Jl. Sumedang No. 319, Cepokomulyo, Kepanjen, Malang. 65163 Telp : +6282233992061 Email: [email protected] Penata Isi : M. Rosyiful Aqli Desainer Sampul : Ricky Achmad


iii Pembuka Perjuangan dan Dakwah Harus Terus Dilanjutkan Drs. H. Hasan Basri Agus, MM Sebuah perjuangan tentu bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi demi tegaknya Islam yang rahmatan lil alamin. Keterbatasan banyak tokoh dalam melanjutkan perjuangan para pendahulu salah satunya adalah kurangnya media untuk terus bergerak dan berkembang. Maka, hadirnya lembaga-lembaga pendidikan terutama yang berbasis keislaman membawa angin segar dan sekaligus menghilangkan kekhawatiran umat akan terputusnya nilai-nilai agama ditengah-tengah kondisi dunia hari ini. Penting juga untuk dicatat bahwa keselarasan antara pendidikan Islam dengan kemajuan sains dunia modern dirasa sangat cocok dengan model dakwah para generasi saat ini. Dulu para ulama mendapatkan ilmu agama dan umum dengan cara mendatangi para guru, belajar secara privat. Karena jika tidak begitu, keberlanjutan akan ilmu pengetahuan tidak akan berjalan. Tapi sekarang, budaya seperti itu tidak lagi dapat kita jumpai. Kalaupun ada, pasti sangat jarang sekali. Ditambah lagi pada masa itu pemerintahan dikuasai oleh para penjajah. Sehingga kesempatan untuk belajar pada lembaga formal hanya sebatas mimpi. Jalur pendidikan merupakan media dakwah yang sangat optimal untuk melanjutkan perjuangan para pendahulu dalam menyiarkan Islam. Diantara banyaknya lembaga pendidikan


iv tersebut, Pondok Pesantren As’ad yang sekarang dipimpin oleh KH. Muhammad Nadjmi Qadir atau lebih dikenal dengan sebutan Guru Nadjmi telah menunjukkan eksistensinya dalam mengembangkan syiar dakwah Islam melalui pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya para alumni yang telah berkiprah pada berbagai lini kehidupan. As’ad menjadi istimewa karena Sang Guru juga sebagai umara yang berjuang tidak hanya pada pendidikan, namun juga melalui pemerintahan. Beliau menjadi Wakil Rakyat selama Sembilan periode. Tentu dengan masa pengabdian yang tidak sebentar itu, Guru Nadjmi mampu mengkolaborasikan dakwahnya pada dua sektor sekaligus. Tidak heran jika beliau dikenal sebagai guru dan juga sebagai seorang negarawan. Secara pribadi, saya adalah salah satu dari sekian ribu muridnya. Berkat nilai-nilai agama yang diajarkan oleh para guru di Ponpes As’ad, saya mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan. Tidak hanya dasar-dasar keilmuan yang saya rasakan, tapi juga keberkahannya selalu tercurahkan. Guru Nadjmi tidak lagi muda. Aktifitasnya sekarang sudah sangat terbatas, tapi ide-idenya selalu menjadi motivasi serta ditunggu oleh generasi berikutnya, untuk kemudian direalisasikan ke dalam tindakan nyata. Memang, jika melihat kondisi Sang Guru saat ini, beliau tidak lagi mampu hilir-mudik seperti dulu. Tapi petuah dan tunjuk ajarnya terus bergerilya ke setiap penjuru negeri. Karena perjuangan dan dakwahnya tidak boleh berhenti. Para generasi harus terus bergerak sebagai perpanjangan-tangan melanjutkan syiar dakwah Sang Guru. Sehat terus Guru Nadjmi, do’a-do’a dari kami tidak akan pernah mati.


v Buku ini diangkat dari kisah nyata tentang kehidupan, perjuangan, dan perjalanan panjang seorang Guru, Kiyai dan Ulama sekaligus Umara, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir. Beberapa nama, cerita, peristiwa, tempat dan kondisi telah diubah untuk kepentingan cerita.


vi Persembahan kepada Tuan Guru K.H. Muhammad Nadjmi Qadir bin Ibrahim, sang Guru Sejati dan Politisi Hakiki.


vii Prolog Pada awalnya, penulis merasa grogi atau mungkin bisa juga dikatakan cemas ketika hendak menulis kisah perjalanan hidup K.H. Muhammad Nadjmi Qadir, atau orang Jambi mengenalnya dengan sebutan Guru Nadjmi. Tentu hal itu bukan karena sulitnya dalam menggali informasi tentang kehidupan beliau, namun lebih karena terlalu besar nama itu. Siapa saja yang ingin menulis tentangnya, berarti harus siap menelusuri seluk beluk sejarah dan dakwah Islam di Jambi, dan bagaimana pula lembaga-lembaga pendidikan ke-Islaman bisa maju seperti sekarang ini. Guru Nadjmi dikenal sebagai pimpinan Pondok Pesantren As’ad. Akan tetapi, membicarakan tentang beliau pada hakikatnya tidak hanya sekedar mengetahui bagaimana ia memimpin As’ad, karena pada waktu yang bersamaan, beliau juga merupakan seorang politikus yang menjadi Wakil Rakyat dalam menyampaikan aspirasi. Dibalik semua kecemasan itu, penulis tetap berusaha mencoba mengumpulkan segala motivasi demi sebuah karya sederhana sebagai pengobat rindu bagi masyarakat, para pendidik dan lebih khusus bagi murid-muridnya. Terhadap karya ini, penulis tidak berani mengatakannya sebagai buku biografi. Mungkin lebih tepatnya bisa disebut sebagai pengantar perjalanan hidup, atau sketsa sang guru. Karena sejatinya, jika menuliskan biografinya secara lengkap, tentu tak cukup hanya dengan beberapa halaman kertas saja. Ditambah lagi dengan segala keterbatasan waktu, situasi dan kondisi ketika saat proses penulisan.


viii Namun begitu, dalam buku ini kita bisa mengetahui, menghayati dan mengambil pelajaran berharga dari perjalanan panjang guru Nadjmi. Sebelum mendalami kisah tentang beliau, para pembaca akan mengenal siapa kedua orang tuanya, dan bagaimana beliau dididik. Setelah itu, kisah akan dilanjutkan tentang kehidupan pribadinya sampai kepada bagaimana napak tilas beliau ketika menjadi seorang pemimpin dan wakil rakyat. Kisah kehidupan pribadinya akan dimulai sejak beliau masih kecil yang selalu ikut dengan abahnya kemana saja, menjadi santri, masuk SD, hingga menjadi mahasiswa. Kisah terus berlanjut tentang proses kembali ke As’ad diawali dengan menjadi seorang guru sampai pada akhirnya mendapat amanah untuk mengelola dan masuk dalam jajaran pimpinan. Setelah menikmati kisah-kisah tersebut, para pembaca juga akan diajak untuk menyimak bagaimana beliau menggantikan sosok orang tuanya dalam mengurusi keluarga. Guru Nadjmi pernah meninggalkan semua pekerjaan selama kurang lebih tiga bulan ketika menemani adiknya, Muhammad Hasan, dirawat di Jakarta. Kita juga akan diajak menyaksikan indahnya romansa ketika beliau menemani istrinya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Kemudian, kita bisa membaca kisahnya sebagai orang tua yang menjadi panutan bagi anak-anaknya dan menjadi datuk yang membanggakan dan menginspirasi bagi para cucunya. Selain itu, dalam buku ini juga akan dipaparkan sepak terjangnya sebagai seorang pimpinan Pondok Pesantren As’ad yang telah membawa banyak perubahan bagi kemajuan pesantren, memberikan uswah hasanah bagi para tenaga pengajar dan murid-muridnya. Terbukti, semakin hari, Pondok Pesantren As’ad semakin maju dan berkembang ditengah-tengah menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan ke-Islaman. Satu hal yang menjadikan guru Nadjmi sangat istimewa adalah, beliau mampu mengelola Yayasan, sekaligus menjadi tenaga pengajar, aktif berorganisasi, dan menjadi wakil rakyat pada waktu yang bersamaan. Akhir kata, kiranya Alhamdulilahi robbil ‘alamiin menjadi kalimat paling cocok untuk menjadi penutup prakata ini. Kemudian


ix ucapan terima kasih banyak kepada Tuan Guru, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir, Ibu Ulya binti H. Abdul Syukur, Ibu Chodijah, Pak Muhammad Kamal Mochtar, dan Najla Hidayah yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk bisa menyelesaikan buku ini, meluangkan waktu untuk wawancara, memberikan informasi, dan juga memberikan fasilitas selama proses penulisan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada pak Erhami Kasran yang selalu bersedia membantu dan terus memotivasi selama proses penulisan, serta kepada semua staf yang membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terakhir, terima kasih kepada kawanku Sobirin dan Husni Mahmud, yang telah mencurahkan segala kemampuan dalam membantu proses pencarian data dan edit isi buku. Kemudian tak lupa juga kepada istri terkasih, Dini Kausari, yang banyak memberi masukan selama proses penulisan. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan itu dengan sebaik-sebaiknya balasan. Amin


x


xi Daftar Isi Pembuka ~ iii Prolog ~ vii Daftar Isi ~ xi Seberang Kota Jambi ~ 1 I Guru Qadir dan Hj. Zainab ~ 5 Abah ~ 6 Emak ~ 18 II Cahaya Ke-Dua ~ 21 Lahirnya Cahaya Kedua ~ 22 Santri Dari Lahir ~ 26 Pendidikan Dua Puluh Empat Jam ~ 27 Menjadi Idola Sejak Kecil ~ 31 III Ke Sekolah ~ 33 Menjadi Santri ~ 34 Masuk SD ~ 39 Sekolah di SMEP dan Lanjut ke SMEA ~ 41 Menjadi Mahasiswa ~ 46 IV Pulang Kampung Menjadi Guru ~ 51 Kembali ke As’ad ~ 52 Hari Pertama Menjadi Guru ~ 55 Izin Ke Jakarta Lima Hari ~ 61 Idola Para Gadis Seberang ~ 63 Takut Tersenyum ~ 67


xii V Menjadi Puitis ~ 71 Pantang Hujan ~ 72 Ditunggu Rembulan, Ditemani Bintang-Bintang ~ 74 Datang Meminang ~ 76 Kursi Kayu yang Rindu ~ 82 Belahan Jiwa ~ 84 VI Dipanggil ke Sekolah Negeri, “Sayang Guru Nadjmi Tak Lagi Bujang” ~ 89 Di Jemput ke MTsIN dan MAIN ~ 90 Sayang, Guru Nadjmi Tak Lagi Bujang ~ 92 Bagian VII - Romansa Menemani Istri ~ 95 Bahagia dan Perjuangan Yang Bergandengan ~ 96 Menimang Anak Pertama ~ 99 Meyambut Kelahiran Purnama ~ 100 Lahirnya Generasi Politisi ~ 101 Inspirasi Al-Baiquniyyah ~ 105 Generasi Surah An-Nisa ~ 107 Nasionalisme Seorang Fahruddin ~ 109 VIII Menjadi Umara ~ 111 Politisi Hakiki ~ 112 Di Pinang GOLKAR ~ 117 PKB di Hati ~ 119 Gus Dur Tak Jadi Marah ~ 121 Tidak Mengambil Gaji ~ 125 Bersiap Mengabdi ke As’ad ~ 127 IX Sebuah Amanah ~ 131 Amanah Pertama ~ 132 Prediksi Abahnya Terbukti ~ 134 Amanah dan Kasih Sayang Seorang Abang ~ 139 Amanah Dari Adik Tersayang ~ 145 Muridmu Anak Kandungmu ~ 148 Usia Tak Mampu Mempengaruhinya ~ 150


xiii X Guru Nadjmi Dalam Ingatan ~ 153 Dimata Ibu Ulya ~ 154 Kami Bangga Menjadi Cucunya ~ 156 Kenang Muhammad Kamal Mochtar ~ 158 Ibu Chadijah Berkisah ~ 159 Untaian Do’a dari Penduduk Negeri ~ 164 Persembahan Sederhana Dari Sang Guru ~ 173 Untukmu Para Santri ~ 174 Ibu Ulya Membuat Puisi ~ 175 Mars As’ad ~ 176 Al-Hurriyyah ~ 178 Testimoni ~ 180 Kontributor ~ 189 Tentang Penulis ~ 191


xiv


Fajri Al-Mughni 1 Seberang Kota Jambi Orang menyebutnya Sekoja (Seberang Kota Jambi). Tapi sebagian lainnya tidak mau disebut begitu, katanya yang benar adalah, “Jambi Kota Seberang” bukan “Seberang Kota Jambi”. Mereka yang bilang “Jambi Kota Seberang” tak berani menyingkatnya, mungkin karena tak enak disebut. Lepas dari penyebutan mana yang benar, yang pasti, Seberang merupakan gambaran asli penduduk melayu Jambi. Dari Kiyai, Guru, sampai dengan orang-orang biasa yang tak lagi faseh menyebut huruf hijaiyah karena disibukkan bekerja, memakai sarung. Bedanya, sarung Kiyai cenderung rapi, mantap, dan kuat. Sementara sarung-sarung yang lainnya sungguh tidak enak ditengok. Kalau berjalan, seolah-olah mau lepas dari pinggang. Orang-orang Seberang memiliki hobi yang khas; nongkrong, ngopi, sambil ngomongin politik meski tak paham. Sesekali ngerumpi. Jika tertawa, orang Kota mendengarnya. Induk-induk yang lewat pulang dari pasar Olak Kemang acuh saja mendengar itu, mereka sudah terbiasa. Kadang pak RT pun jadi sasaran olokolok. Satu-satunya manusia yang tidak berani mereka ghibahkan adalah seorang guru. Kualat, katanya.


2 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Masyarakat Seberang masih memegang erat adat dan istiadatnya. Serta memiliki gaya Bahasa yang sedikit berbeda dengan masyarakat Kota Jambi. Padahal jaraknya hanya dibatasi oleh Sungai Batanghari. Jika bicara, terdengar seperti bersyair, mendayu-dayu dan memiliki cengkok. Ketika orang Seberang bicara, maka orang yang bukan dari Seberang langsung tau bahwa itu suara orang Seberang. Selain karena adat istiadatnya, Seberang juga dikenal sebagai Kota Santri. Tsamaratul Insan sebagai organisasi pendahulunya. Lebih tepatnya “organisasi perukunan Tsamaratul Insan”, sebagai induk semang yang melahirkan generasi dan sebagai pelopor yang menjadikan Seberang sebagai Kota Santri. Salah satu program kerja dalam perukunan ini adalah menganjurkan agar setiap anggotanya mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam disetiap kampung mereka. Berdasarkan mufakat tersebut, Tuan Guru K.H. Ibrahim mendirikan Madsarah “Nurul Iman”, Tuan Guru, K.H. Muhammad Syakur membentuk madrasah “Sa’adatuddarain”, Tuan Guru, K.H. Usman sebagai pendiri “Al-Jauharein”, dan Tuan Guru K.H. Kemas. Muhammad Saleh membuat madrasah “Nurul Islam”. Seiring perjalanan waktu dan tuntutan zaman, Tuan Guru, K.H. Abdul Qadir Ibrahim yang memiliki visi jauh ke depan, memandang perlunya sebuah lembaga pendidikan Islam yang mampu mengakomodir semua tuntutan dan kebutuhan masyarakat dalam beragama. Dalam rangka itulah, beliau kembali mendirikan lembaga pendidikan Islam dan mengkombinasikannya dengan model pendidikan modern yang diberi nama madrasah As’ad atau lebih dikenal saat ini dengan Pondok Pesantren As’ad. Lembaga ini kemudian menjadi pelopor pendidikan bagi kaum perempuan. Alhasil, pendidikan Islam di tanah Seberang menjadi referensi bagi daerah lain dalam pengembangan pendidikan, terutama Islam. Sekarang, Seberang telah menjadi Kota santri berkat perjuangan ulama-ulama dengan sanad keilmuan yang sangat mumpuni. Namun, pondasi pendidikan Islam yang telah lama dibangun tersebut tidak akan bertahan dan berkembang tanpa dilanjutkan


Fajri Al-Mughni 3 oleh para generasi. Salah satu generasi yang mampu mempertahankan semangat para pendahulu tersebut adalah Tuan Guru, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim. Dari sinilah kisah itu bermula.


4 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki


Fajri Al-Mughni 5 I Guru Qadir dan Hj. Zainab “Bagi sebagian filosof, melahirkan anak akan menyebabkan ia menjadi pendosa.” Karena mereka tak sepenuhnya mengerti bagaimana caranya menjadi orang tua. – Guru Nadjmi


6 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Abah Kita sering mendengar ungkapan “pengalaman adalah guru terbaik”. Hanya saja, ada banyak manusia yang pengalaman hidupnya tidak hanya panjang dan lama, bahkan terjal dan mendaki, namun tak jua menjadikannya pelajaran. Ada juga manusia yang cenderung tidak punya pengalaman kecuali sedikit, namun sepak terjang dan pengabdiannya melesat kencang membawa perubahan. Seorang lelaki tangguh bak Marcopolo, abah dari tuan guru Muhammad Nadjmi Qadir bernama Abdul Qadir Jailani bin Ibrahim bin Abdul Majid bin Muhammad Yusuf bin Abid bin Jantan bergelar sri penghulu yang dilahirkan pada tanggal 11 Agustus 1914. Seorang pemuda yang perawakannya biasa saja, tekstur wajahnya keras, tulang rahangnya terlihat jelas, batang hidungnya mancung tapi ujung hidung agak dempak. para pendahulu mengatakan, bentuk hidung seperti itu merupakan ciri manusia hebat, tahan banting, keras kepala namun santun dan memiliki kecerdasan di atas rata-rata serta berkharisma. Penamaan Abdul Qadir Jailani diberikan abahnya untuk mengenang kakeknya yang meninggal dalam perjalanan pulang dari Baghdad ke Mekah untuk menziarahi makam Syekh Abdul Qodir Jaelani atau Abd al-Qadir al-Gilani yang berasal Kurdi (Iran). Abahnya adalah Syaikh Ibrahim bin Abdul Majid bin Muhammad Yusuf bin Abid bin jantan bergelar sri penghulu, dilahirkan di Ulu Gedong Jambi pada tahun 1888 M bersamaan dengan tahun 1305 H, merupakan seorang ulama dan umara paling berpengaruh khususnya di Provinsi Jambi, bahkan dikenal sampai ke semenanjung Arab serta disegani dan ditakuti oleh Belanda dan Jepang. Beliau juga seorang tokoh pendiri Madrasah Nurul Iman Seberang Kota Jambi (Sekoja) dan pendiri oraganisasi Tsamaratul Insan (w.1923). ***


Fajri Al-Mughni 7 Kini Abdul Qadir telah remaja, usianya baru menginjak 13 tahun. Namun orang-orang memanggilnya dengan “guru”, guru Qadir. Pagi itu, seperti biasa, rutinitasnya adalah menuntut ilmu masuk kelas bersama santri-santri yang lain. Setelah pelajaran selesai, semua santri diizinkan untuk meninggalkan kelas, kecuali Abdul Qadir. Gurunya memulai percakapan; “Qadir, ini adalah tahun terkahir kamu belajar”. Mereka berdua sama-sama diam tak bicara, gurunya tersenyum membiarkan Abdul Qadir berpikir, “ia berkata dalam hati; “apo maksud guru, ini tahun terakhir, sedangkan sayo baru kelas limo”. Abdul Qadir tidak berani bertanya langsung, karena begitulah adab para santri pada masa itu. Setelah beberapa saat, gurunya melanjutkan; “kami (para guru dan pimpinan madrasah) sudah sepakat bahwa kamu cukup sampai kelas limo” Abdul Qadir kali ini ia memberanikan diri untuk bertanya, raut wajah gurunya telah mengizinkan itu. “hmm.. sayo boleh tahu dak guru, apo maksud ini tahun terakhir sayo belajar dikelas?” Sang guru kembali tersenyum sambil mengagumi sosok muridnya itu. Level pertanyaan “maksud” tentu lebih dalam dibanding “kenapa” dan “mengapa”. Karena waktu istirahat menjelang kelas berikutnya hanya sebentar, sang guru segera menjawab pertanyaan muridnya. “Guru-guru disiko meraso kamu sudah selayaknyo ikut ngajar di madrasah kito”. Waktu itu telah tersebar kabar bahwa Abdul Qadir mampu menjawab dan menjelaskan ulang apa yang diajarkan para gurunya dengan sangat rinci sekaligus menyebutkan berbagai referensi sumber bacaannya. “murid rasa guru”. Abdul Qadir terdiam sambil berpikir dan berucap dalam hati “apakah ini bentuk perintah dan amanah?” Karena ia tahu sungguh berdosa seorang murid yang menolak perintah guru. Tapi di sisi lain, ia merasa bahwa masih ingin belajar dan ngalap berkah dari


8 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki para gurunya. Raut muka Abdul Qadir berubah-ubah dalam setiap detik. Bercampur antara meringis, senyum tapi tak sempurna, dahinya berkerut sedang, matanya berkedip-kedip tak beraturan, nafasnya agak pajang tapi hembusannya tak terasa, mungkin ia telan. Setelah beberapa saat ia kembali bertanya kepada gurunya, “sayo ngajar kelas berapo guru?” Pertanyaan itu menunjukkan tingginya adab dan penghormatan Abdul Qadir kepada guru. Jawabannya tidak dengan kata “Iya”, “siap”, bahkan mengucapkan Insya Allah saja ia tak berani. Karena apakah ini benar-benar akan diizinkan oleh Allah, sementara ia merasa bahwa ilmunya belumlah cukup untuk menjadi seorang guru. Jawaban “Iya” digantinya dengan pertanyaan yang lain. Ini merupakan bentuk pertanyaan filosofis sekaligus gaya bahasa mantiq. Gurunya tidak lagi bertanya ulang dan meminta konfirmasi kepastian, karena sang guru pada masa itu hidup sezaman dengan Imam Al-Ghazali, yang bisa memahami segala bentuk bahasa. Sang guru menjawab; “guru Qadir mengajar kelas empat, limo, enam dan tujuh”. Hari itu juga, Abdul Qadir dilantik menjadi seorang guru dengan sebutan “Guru Qadir”. Ia baru menginjak kelas lima, namun telah mendapat amanah untuk mengajar di kelas empat, lima, enam dan tujuh di madrasah Nurul Iman. Malam itu, langit mendung dan berangin. Setelah shalat isya di langgar putih, ia sempat mengajar fiqh sebentar. Abdul Qadir tak sanggup menahan kantuk, sepulangnya dari mengajar ia langsung tertidur sambil memeluk kitab I’anah Ath-Thalibin karangan Syekh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Muhammad Arsyad Al Banjari. Sesekali ia terbangun dan melanjutkan membaca kitab itu, tak bertahan lama, matanya kembali terpejam. Pukul 03.00 pagi Abdul Qadir remaja terbangun, tidurnya tak nyenyak, remaja kini menyebutnya galau dan gusar. Ia terbangun karena mendengar hembusan angin kencang yang mampir ke atap rumahnya. Waktu itu sekitar bulan 12 tahun 1927, musim hujan disertakan angin kencang. Abdul Qadir tak hirau dengan musim hujan, yang ia resahkan hanya khawatir tidak bisa menjadi seorang


Fajri Al-Mughni 9 guru yang baik. Dalam keadaan dingin yang menembus pori-pori sampai ke tulang, Abdul Qadir membasuh muka dengan air whudu. Setelah shalat sunnah, ia memurojaah hapalan al-Qurannya, setelah itu kemudian melanjutkan membaca kitab fiqh sampai mendekati waktu subuh. Sebelum masuk waktu subuh, ia sudah berada di Langgar untuk melantunkan syair-syair tarhim. Tarhimnya saling berpacu dengan suara rintik sisa hujan semalam yang bercampur dengan suara lalu lalang pedagang yang hendak menyebrangi sungai Batanghari. Beberapa pedagang ikut singgah ke Langgar, sementara yang lainnya mungkin akan shalat subuh di seberang, tak jauh dari lapak-lapak mereka. Di madrasah ia tidak lagi menjadi santri yang ikut belajar dalam kelas, namun hal itu tidak merubah rutinitasnya menuntut ilmu “muthola’ah” kerumah-rumah guru yang ada di Seberang. Guru muthola’ahnya yang pertama adalah Tuan guru H. Ibrahim (ayahnya sendiri). *** Matahari sore mulai meredup, menyisakan cahaya agar para pedagang bersiap menggulung lapak, waktu ashar mulai habis ditandai dengan shalawat-shalawat menggema disetiap Langgar. Sebelum masuk waktu maghrib guru Qadir telah berada di Langgar. Setelah melaksanakan shalat maghrib, tidak ada aktivitas yang paling digemarinya selain belajar kitab kepada sang Abah. Malam itu, guru Qadir belajar Ilmu Nahwu sampai menjelang waktu ‘isya. Belum puas ia belajar, tapi fadhilah shalat ‘isya sangat-sangat istimewa mengalahkan segala ilmu yang ia tuntut, apalagi dilakukan berjamaah. Shalat ‘isya juga penanda bahwa berakhirnya segala aktivitas orang-orang Seberang. Rumah-rumah mulai dikunci, yang tersisa suara-suara berita di radio RRI dan sesekali suara tangisan bayi yang terbangun minta dimanja ibunya. Hampir semua rumah masyarakat telah terkunci, tapi ada satu atau dua rumah yang masih terbuka, salah satunya adalah rumah tuan guru Abu Bakar Azhari.


10 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Dan dirumah itulah guru Qadir menghabiskan malamnya dengan belajar Ushul Fiqh dan ilmu-ilmu lainya. Guru Bakar tidak dibayar, andai saja beliau meminta bayaran, guru Qadir tak akan sanggup, karena ilmu darinya sangatlah mahal melebihi harga-harga apa saja yang berharga di dunia ini. Begitulah cara guru Qadir menghabiskan malamnya dengan mendatangi rumah-rumah gurunya bergantian. Malam-malam berikutnya ia mendatangi satu persatu rumah guru H. Hasan Anang, H. A. Majid Abu Hasan, A. Thalib Abu Hasan, dan H. Somad Ibrahim, tanpa rasa malas sedikitpun. Keilmuan Abdul Qadir remaja kian matang karena juga berguru pada ulama-ulama Timur Tengah seperti Syekh Ali Al-Maliki, Syekh Mahmud Buchori, Syekh Hasan Al Yamani dan Syekh Arif Attabulisy Al Assya’ari. Masa remajanya disibukkan dengan aktivitas pencarian ilmu dan pengabdian. Hanya pada rentang waktu 7 tahun, tepat berumur 20 tahun (1934), beliau diangkat menjadi “Roisul Mu’allimin” madrasah Nurul Iman. Kecemerlangan kepemimpinan beliau dalam bidang pendidikan terus melesat, para guru dan civitas akademika madrasah Nurul Iman sangat mengelu-elukan model kepemimpinan beliau. Melihat kemajuan ini, pada tahun 1944 M para pimpinan madrasah mengangkat guru Qadir menjadi mudir madrasah Nurul Iman sampai tahun 1949 M. Kehausan guru Qadir terhadap hajat besar perkembangan pendidikan Islam di negeri Melayu Jambi kian memuncak. Pada tahun 1949 M beliau mendirikan Perguruan Langgar Putih, melanjutkan perjuangan Kakeknya 1895 (Guru Abdul Majid Jambi) sebagai wadah baru bagi masyarakat untuk menimba ilmu nahwu, shorof, tauhid, fiqh, tafsir, hadist, dan lain-lainnya dengan menggunakan kitab-kitab yang bertuliskan Arab gundul (Kitab Kuning) dan mengaharap keberkahannya. Kian hari masyarakat makin merasakan kharisma lautan ilmu yang dimiliki guru Qadir. Ijtihad-ijtihad ilmu yang ada dalam benaknya semakin terasa manfaatnya, serta pandangan-pandangan seorang pembaharu mulai terwujud. Beliau


Fajri Al-Mughni 11 bertahan, bersabar dan terus istiqomah dalam perjuangan melanjutkan akselerasi kenabian. Dalam perkembangan keilmuan dan posisinya mengabdikan diri untuk umat, terselip rasa gundah gulana. Batinnya berkecamuk, ada rasa bersalah, tanggung jawab dan berbagai rasa kegelisahan membuat tidurnya tak pernah nyenyak. Generasi dari kalangan lelaki telah mulai memahami agama dengan baik, tapi kaum perempuan masih tabu. Sementara, perempuan adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Guru Qadir telah mengetahui dan membaca perkembangan dunia. Menurutnya apa yang terjadi jika perempuan tak paham agama sedangkan nanti para ayah akan disibukkan mencari penghidupan. Konsekuensinya adalah, banyak generasi yang “terlantar” karena tidak mendapatkan asupan ilmu yang memadai. Keresahan inilah yang kemudian membuat guru Qadir memberanikan diri untuk melakukan pembaharuan dalam pendidikan, dengan membuka pengajian untuk kalangan perempuan. Dalam kondisi ini, ia mendapatkan tawaran dari seorang warga agar rumahnya dipersilahkan untuk dijadikan madrasah bagi kaum perempuan. Namun, pemilik rumah hanya mengizinkan selama 6 bulan, karena rumah itu akan ditempatinya setelah 6 bulan. Guru Qadir tak berpikir lama, rumah itu langsung dibuka untuk kelas pembelajaran bagi para perempuan Seberang. *** Diantara murid perempuan pertama yang ikut dimulai dari keluarga beliau: Hj. Ulya binti H. Abdul Syukur, Chodijah, Sauda, Hindun, Fatmah Yusuf, Asma, Alawiyah, Fatmah Ali, dan Salmah. Masih banyak lagi murid-muridnya yang lain. Akan tetapi, kegiatan belajar bagi perempuan ini mendapat penolakan besar dari kalangan masayarakat. Namun semangat belajar mereka tidak bisa dibendung, ini semua demi kelangsungan ilmu bagi generasi berikutnya.


12 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Sekira pukul tiga empat puluh pagi, mereka telah melakukan aktivitas di dapur, mencuci piring sisa semalam, memasak nasi lemak, menggoreng telur dadar diiris kecil dan menggoreng sambal tanpa mecin. Aktivitas pagi itu terasa lebih semangat, rasa bangga dan takut bercampur, tapi keingintahuan akan ilmu mengalahkan semua rasa takut dan khawatir. Setelah shalat subuh, mereka menyempatkan diri untuk membaca al-Quran. Ibu Ulya membaca hampir dua juz, ibu Chodijah dapat satu juz, ibu Sauda mengulang hapalan juz tiga puluh, ibu Hindun membaca surah Yasin sambil sesekali terpejam menghayati bacaan, ibu Fatma membaca surah Al-Baqarah dengan perlahan, setiap akhir ayat yang dibacanya, ia tersenyum bahagia, karena sebentar lagi akan berangkat mengaji (menuntut ilmu). Karena baginya, ikut belajar seperti kaum lelaki merupakan impian yang sebentar lagi akan terwujud. Ibu Asma membaca surah An-Naba’ sambil menyapu ruang tamu, juga sambil tersenyum. Ibu Alawiyah dan Fatma Ali masih duduk di sajadah sambil tadarusan dan saling menyimak bacaan surah Al-Baqarah. Sesekali mereka berdua saling tatap, tersenyum dan melanjutkan lagi tadarusannya. Entah apa yang mereka katakan dalam hati, yang pasti mereka berdua sedang berbahagia. Sedangkan ibu Salmah telah mengkhatamkan Al-Quran, tadi sebelum subuh. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengaji (membaca Al-Quran), pada pukul tujuh tepat para murid perempuan ini bergegas menuju tempat belajar. Menyusuri setiap rumah, memakai jilbab putih, baju kurung polos yang tak jelas warnanya, mambawa buku seperti seorang santriwati semester pertama, bersandal jepit dengan corak bunga-bunga yang sudah pudar, sambil sesekali menyapa perempuan lain yang sedang menyapu halaman. Terkadang berhenti sebentar untuk menjawab pertanyaan siapa saja yang bertanya. Hampir setiap yang bertanya dengan pertanyaan yang sama dan juga dengan jawaban yang serupa. “nak kemano mbok? “nak ngaji dengan guru Qadir”.


Fajri Al-Mughni 13 Mendengar jawaban itu, mereka terdiam tidak tahu mau bertanya apa lagi. Karena pada masa itu perempuan pergi mengaji keluar rumah merupakan kegiatan yang tak pernah ada di Seberang. Hari pertama belajar begitu berkesan. Dalam perjalanan pulang kerumah, mereka tidak berhenti tersenyum dan bangga. Bangga karena hari ini telah mengetahui apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui. “inilah hakikat ilmu, akan bertambah rasa bahagia jika bertambah pengetahuan”. Tapi setelah hari pertama itu, tidak disangka seantero Seberang membicarakan aktivitas mereka. Berbagai respon ditunjukkan oleh masayarakat, sebagian besar masyarakat menolak kegiatan tersebut. Namun penolakan hanya sebatas kritikan yang ikut-ikutan, tak sampai terjadi demo. Murid-murid perempuan guru Qadir mendapat gelar dari masyarakat yang tak suka dengan kegiatan tersebut, dengan sebutan “hantu berjalan”. Mereka keluar dipagi hari, menggunakan dua kain sarung, sarung pertama untuk menutupi bagian bawah, kain satunya lagi menutupi bagian atas. Di Seberang disebut “Bakarobong”. Menurut penglihatan masyarakat, seperti hantu yang bisa berjalan. Padahal sebenarnya mereka tidak tahu persis bagaimana rupa hantu. Setelah 6 bulan berjalan, rumah yang mereka gunakan untuk belajar segera akan ditempati pemiliknya. Guru Qadir menilai bahwa kelas mengaji bagi perempuan tak boleh berhenti, dengan segala keterbatasan tersebut, rumah beliau digunakan untuk belajar murid-murid perempuan, sampai kemudian berdirilah Pondok Pesantren As’ad sebagai wadah resmi pendidikan tidak hanya untuk santri laki-laki, tapi juga untuk santriwati (murid perempuan). *** Perjuangan demi perjuangan terus beliau lakukan, gelar sebagai tokoh pembaharuan dalam pendidikan Islam di Tanah melayu Jambi sangat layak disematkan kepadanya. Tidak berlebihan sekiranya disebutkan bahwa beliau merupakan cerminan Imam


14 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Al-Ghazali dalam bidang pendidikan Islam. Tepat pada tahun 1951 guru Qadir mendirikan madrasah As’ad. Sebuah lembaga pendidikan yang menawarkan konsep pembaharuan yang memadukan Islam dengan kebutuhan zaman. Kecemasan masyarakat modern akan ketertinggalan para generasi dalam memahami Islam, seolah merasa kejatuhan hujan emas dengan hadirnya madrasah As’ad. “Pucuk di cinta, ulam pun tiba”. “Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Maka perjuangan guru Qadir belum berhenti, tahun 1965 beliau mendirikan Fakultas Usluhuddin dan Fakultas Tarbiyah Ma’arif Jambi sekaligus menjadi Dekan. Kedua lembaga tersebut merupakan pabrik yang telah mencetak banyak para mubaligh dan mu’alim berkualitas di negeri ini. Madrasah As’ad merupakan tempat pertama perkuliahan dua Fakultas tersebut sampai pada tahun 1966. Ini bukan kerja mudah, hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia hebat seperti tuan guru Qadir sang pembaharu. Apakah dengan capaian-capaian tersebut guru Qadir telah merasa puas dan lantas bersantai menikmati hasil kerja kerasnya? Tentu tidak sampai disitu, sepak terjangnya dalam upaya menularkan semangat perjuangan pendidikan Islam masih terus berlanjut. Pada tahun 1961 beliau menjadi tenaga pengajar di Fakultas Syari’ah Jambi. Kemudian Pada tahun 1968 beliau kembali mendirikan MTs AIN dan MA IN Olak Kemang Jambi (sekarang MTsN dan MAN Olak Kemang). Munculnya dua lembaga baru ini jelas menunjukkan bahwa guru Qadir benar-benar merupakan seorang ulama sekaligus umara. Beliau tidak hanya menghilangkan haus dahaga masyarakat sipil, tapi juga berkontribusi kongkrit bagi negara dalam pendidikan keislaman. Perjuangan guru Qadir benar-benar tidak dapat dihentikan oleh alam, pada tahun yang sama (1968) beliau memperjuangkan berdirinya IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Sulthan Thaha Saifuddin Jambi kepada Menteri Agama RI dan juga menjadi Dekan di Fakultas Ushuluddin IAIN STS Jambi. IAIN STS Jambi


Fajri Al-Mughni 15 merupakan sebuah instansi pendidikan formal tertinggi. Bahkan abad ini menjadi capaian paling membanggakan bagi orangtua jika mampu memasukkan anaknya ke instansi tersebut. Kini negeri Jambi telah menuai hasilnya, IAIN pun telah menjelma menjadi UIN (Universitas Islam Negeri). Selain berjuang dalam pembaharuan pendidikan Islam, Tuan Guru Abdul Qodir Ibrahim juga mempelopori berdirinya Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) di Jambi (1946- 1951) yang memiliki tujuan agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi. Naluri perjuangannya dalam menegakkan panji-panji agama kian mantap. Ditengah-tengah masyarakat Jambi yang hidup dalam keragaman agama, suku dan budaya, guru Qadir kembali hadir dan menjadi pelopor berdirinya Nahdatul Ulama (NU) di wilayah Jambi pada tahun 1950, sekaligus menjadi ketua NU Wilayah Jambi. Tentu hal ini telah melalui proses “pertengkaran” pikiran sang pembaharu. Guru Qadir jatuh hati pada NU, karena NU mengajarkan kepada umat manusia untuk menjaga keseimbangan (tawazun). Keseimbangan dalam berkhidmat kepada Allah SWT, Rasul-Nya, berkhidmat kepada sesama manusia dan kepada lingkungan hidup. NU juga mengajarkan sikap Tasamuh, amar ma’ruf nahi mungkar dan sikap-sikap bijaksana lainnya yang selaras dengan kebutuhan hidup manusia. Sekarang ini, Pondok Pesantren As’ad merupakan pusat penting pengembangan warga Nahdhiyin di Jambi dan sebagai pusat Pimpinan Wilayah NU Propinsi Jambi. Guru Qadir adalah seorang ulama yang membawa kedamaian bagi umat, hadirnya membawa solusi dan fatwa-fatwanya tidak menimbulkan perpecahan. Hal ini membuktikan bahwa guru Qadir memahami Islam dengan sangat mendalam. Konsep-konsep rumit bisa beliau jabarkan menjadi sangat sederhana sehingga mudah dikonsumsi oleh umat. Melihat keluasan ilmu dan sikap bijaksananya, kemudian beliau diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Tengah tahun 1955-1956. Sanad keilmuan fiqh guru


16 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Qadir bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Karena kefaqihannya tersebut, beliau juga diamanahi sebagai Ketua Mahkamah Syari’ah Jambi (sekarang disebut Pengadilan Tingga Agama). Pengabdian guru Qadir terhadap agama telah membawa kedamaian tidak hanya bagi umat Islam saja, namun juga dirasakan oleh penganut agama-agama lainnya. Lembaga-lembaga ke-agamaan berebut ingin mendapat wejangan dan nasehat bijak darinya. Para tokoh agama, masyarakat, bahkan pebajat pemerintah tidak mau kehilangan fatwa-fatwa beliau. Sehingga pada 1957 guru Qadir “dijemput” lagi menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Jambi untuk memimpin para ulama dan tokoh masyarakat. Guru Qadir tidak pernah benar-benar mengenyam pendidikan formal dalam jumlah waktu yang panjang. Ia hanya belajar selama 4 tahun di madrasah Nurul Iman. Jika melihat hasil karyanya dalam perkembangan pendidikan Islam di Jambi, tentu 4 tahun belajar formal merupakan waktu yang sangat sedikit. Perjuangan beliau layaknya seorang tokoh yang bergelar Profesor. Sebuah gelar akademik yang bisa diperoleh minimal dalam kurun waktu pendidikan formal selama 25 tahun. Beberapa orang menyebutnya otodidak, namun sebenarnya kemampuan yang diperoleh guru Qadir bukan hanya sekedar itu, lebih jauh lagi bahwa hal tersebut beliau peroleh langsung dari sumber Ilmu, Allah SWT yang disebut dengan ilmu laduni. Kata laduni memiliki terminologi dan titik fokus berbeda dengan beberapa konsep, namun memiliki maksud yang sama. Misalnya isyroqi, dalam Bahasa Indonesia “pencerahan”. Ilmu akan didapat ketika seorang manusia terbersihkan, sehingga cahaya bisa masuk. Karena orang yang mendapat pengetahuan dari Allah syaratnya harus memiliki jiwa yang bersih. Konsep lainnya, “Irfani”. Memiliki maksud yang sama dengan laduni. Dalam Islam terdapat perbedaan antara ‘Alim dan ‘Arif. ‘Alim ini adalah ilmu yang kita cari dilembaga-lembaga pendidikan formal. Sementara ‘Arif (irfani) memiliki maksud yang sama dengan laduni. Kita pernah mendengar kalimat “Alim billah dan Arif billah”. Alim merupakan pengetahuan yang butuh media seperti buku,


Fajri Al-Mughni 17 guru dan lain-lain. Sedangkan Arif adalah seseorang yang telah mengalami sendiri pengetahuannya dari Allah SWT (‘arif billah). Pelakunya disebut ‘Arif, pengetahuannya disebut dengan Ma’rifat. Dan guru Qadir telah menyandang predikat ‘Alim lagi ‘Arif. Konsep berikutnya adalah “Kasyaf”, artinya terbuka dari tidak tahu menjadi tahu. Orang yang memiliki derajat kasyaf adalah orang yang telah dibukakan oleh Allah hatinya untuk menerima segala pengetahuan. Orang yang seperti ini tidak akan tertipu dengan dunia. Untuk itu, tuan guru Qadir telah sampai pada derajat itu. Istimewanya adalah sumber pengetahuan guru Qadir dilengkapi oleh kekayaan intelektual melalui media gurunya (‘Alim) yang dengan mudah diserap olehnya, karena hati dan jiwanya telah terbuka, bersih serta bercahaya. Dengan begitu, beliau juga sampai kepada keterbukaan ilmu langsung dari Allah SWT, ‘Arif billah.


18 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Emak Hj. Zainab binti H. Thaher bin H. Saifuddin adalah seorang ibu yang telah melahirkan enam orang cahaya. Terlahir dari pasangan hebat H. Taher bin H. Saifuddin dan Hj. Chodijah. H. Taher dikenal sebagai seorang hartawan yang rajin menderma. Cahaya Pertama Bernama Muhammad Manshur (cahaya penolong). Hj. Zainab sangat bahagia dengan kelahiran cahaya pertama ini, dengan harapan bisa melanjutkan perjuangan KH. Tuan Guru Abdul Qadir Ibrahim. Manshur kecil mulai menampakkan cahayanya, ia berperilaku santai, tidak rewel dan mudah tersenyum seperti ayahnya. Hari berganti, minggu beranjak, bulan mulai menggenapi tahun. Di usianya yang mulai masuk tahun ke tiga, Muhammad Manshur seolah ingin bercerita kepada Hj. Zainab, bahwa kelak ia akan menolong ibunya di tempat yang sangat istimewa. Sesuai dengan namanya, Manshur (Penolong). Makin hari, Hj. Zainab mulai memahami maksud anak pertamanya ini. Malam itu, seperti biasa guru Qadir berada di madrasah, Hj. Zainab menyibukkan diri dengan memperbanyak dzikir dan terus memeluk Manshur. Berbeda dari biasanya, malam itu ia tak ceria, namun dari wajahnya ia bahagia karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang sangat istimewa. Ada kekhawatiran dalam benak Hj. Zainab karena melihat tingkah Manshur yang agak berbeda. Ingin hatinya menjemput suaminya ke madrasah, tapi niat itu diurungkan karena tak mau mengganggu suaminya yang sedang mengajar. Sekitar pukul sepuluh tiga puluh, guru Qadir tiba dirumah. “Assalamalaikum..” Hj. Zainab menjawab dengan suara bergertar; “Walaikum salam.. bah, Manshur dak enak badan.


Fajri Al-Mughni 19 Tanpa bicara sepatah katapun, guru Qadir menggendong Manshur dan segera membawanya kerumah sakit. Hj. Zainab menangis, tak tahan ia melihat anaknya yang masih kecil menahan sakit. Tapi Manshur sama sekali tidak menampakkan itu, ia hanya diam dan sesekali melihat abah dan emaknya. Guru Qadir tahu betul apa yang sedang terjadi terhadap anaknya, tapi etikanya sebagai hamba Allah adalah berusaha maksimal menjaga, mendidik, merawat sebaik mungkin dan membawanya berobat jika sakit. Dipangkuan abah dan emak, Manshur kecil lebih dahulu menghadap Allah Swt. Ia menepati janjinya, menunggu emak dan abah di tempat yang sangat istimewa, surga. Guru Qadir juga tak sanggup menahan air matanya, ia menangis ikhlas. Ujung sorbannya basah menghapus air mata, ia tak ingin orang melihat air matanya. Tapi kesedihan itu tidak bisa ia sembunyikan, Hj. Zainab memeluknya, diam dan sambil sesekali sesenggukan.


20 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki


Fajri Al-Mughni 21 II Cahaya Ke-Dua “Manusia dilahirkan bersih, ia akan menjadi suci bergantung kepada bagaimana hidupnya berjalan”. – Guru Nadjmi


22 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Lahirnya Cahaya Kedua Satu tahun setelah kepergian Manshur, Hj. Zainab masih terus terkenang senyumnya. Jika rindu, ia mengaji dan berdzikir sebanyak yang ia mampu. Rindu memang tidak terobati, tapi cukuplah Allah sebagai penenangnya. Setelah shalat ‘isya, dalam rindu dan dzikir, ia tertidur sambil masih memakai mukena dan memegang tasbih. Keesokan harinya ia merasa tidak enak badan. Dalam hatinya “ini mungkin kareno semalam tiduk terlalu larut”. Dua hari berselang, badan Hj. Zainab makin lesu, selera makannya berkurang. Sambil mengaji ia berpikir dan menerka-nerka, “atau mungkin Allah kasih rezeki hamil?”. Kondisi ini tidak pernah ia beri tahu kepada suaminya. Tapi sekali lagi, guru Qadir bisa membaca itu. “mak, besiaplah.. kito perikso ke Dokter”. Hj. Zainab tersenyum, sambil berkata dalam hati “benar-benar suami idaman”. Setelah mendengar itu ia langsung bersiap, memakai kerudung panjang warna abu-abu, baju kurung panjang sampai ke tumit, warnanya juga serupa dengan kerudung. Setelah mendengar beberapa keluhan, dokter langsung memeriksa. Tidak berapa lama, dokter berujar singkat, “alhamdulilah.. bu Hajah hamil”. Hj. Zainab tersenyum lebih lebar dari biasanya. Ia menoleh ke suaminya dan mendapat balasan senyum juga tak kalah lebar. Membayangkan ini, jelas sekali mereka berdua ingin saling bercerita. Hj. Zainab tak sabar, ia berterima kasih kepada dokter dan langsung mengajak suaminya pulang. *** Ketika kepergian Manshur, Hj. Zainab dan guru Qadir tidak mampu menyembunyikan kesedihannya. Sama dengan itu, rasa bahagia diberikan rezeki lagi oleh Allah juga tak bisa mereka tahan.


Fajri Al-Mughni 23 Hj. Zainab semakin rajin mengaji, membaca kitab-kitab fiqh milik suaminya dan kian khusu’ dalam beribadah. Munajatnya tak banyak, hanya minta diberikan kesehatan kepada suaminya, calon anaknya dan kelak lahir dengan selamat agar menjadi generasi ulama yang siap meneruskan perjuangan para pendahulu. Guru Qadir pun begitu, kadang tidak sengaja menahan senyum sambil mengajar. Para guru tidak benar-benar tahu kebahagiaan apa yang sedang dirasa oleh kiyai mereka. Tapi paling tidak, kebahagiaan itu menular kesetiap ruangan di madrasah Nurul Iman dan As’ad. *** Pada tanggal 8 Agustus 1940 tersebutlah kisah dan sekaligus hari bersejarah bagi masyarakat Seberang Kota Jambi karena seorang generasi penerus dakwah nabi, “sang cahaya ke dua” telah dilahirkan ke bumi para santri dari rahim seorang perempuan hebat yang penuh dengan kelembutan, ketentraman jiwa, kemantapan hati, ketegaran fisik, dan mental spiritual yang kuat. Perempuan itu bernama Hj. Zainab binti H. Thaher bin H. Saifuddin, ibunda dari sang cahaya. Tepatnya, Sang cahaya kedua lahir di sebuah kampung bernama Ulu Gedong. Kampung yang dihuni oleh para alim ulama negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Kala itu, alamnya menawarkan kesejukan hati, kedamaian pikiran, lambang ketentraman hidup serta nuansa Islam yang sangat kental. Semua masyarakatnya hidup sejahtera, saling berdampingan, ramah, seolah membujuk siapa saja yang berkunjung untuk menetap disana. Sungai Batanghari adalah sungai terpanjang di Sumatera yang menjadi daya tarik tak terbantahkan, rumah-rumah bersusun melambangkan harmoni keberagaman hidup dan desainnya mewakili kekuatan adat istiadat yang bersendikan syara’ dan kitabullah. Sang cahaya ke dua dilahirkan secara normal dengan bantuan bidan. Proses operasi caesar belum sampai ke Ulu Gedong waktu itu, pun kalau ada selentingan kabar burung tentang itu, masyarakat


24 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki tak meresponnya. Sepengetahuan saya, pada masa itu belum ada ibu-ibu yang melahirkan dengan cara caesar atau operasi. Kelahiran generasi tersebut membawa asa bagi masyarakat, berita gembira bagi semua kaum cendikiawan, kebahagiaan yang tak terkira untuk semua pondok pesantren dan kehadirannya akan menjadi sinar bagi periode ke-emasan agama Islam di Seberang Kota Jambi. Seorang lelaki kecil yang sangat tampan, kharismanya terpancar mendahului zaman, tangisnya membuat orang yang mendengar mendadak riang, bahkan bisa menyembuhkan segala kegusaran dan senyumnya dinanti oleh semua penduduk negeri. Secara spesifik hidungnya bak sudut siku-siku ka’bah, alisnya tebal asli racikan Tuhan tanpa sulaman, pipinya memang bulat tapi jika dipandang berubah tirus, sorot matanya teduh, merangkul dan sangat bersahabat. Jika tertawa, matanya tinggal segaris. Bibirnya tipis laksana pinggiran bulan purnama, dagunya lancip seperti gumpalan awan kecil setelah hujan. Jika dipandang agak lama, para gadis dipastikan akan terpana bahkan alam pun memujinya. Tak sabar ingin menyebutkan namanya, bergetar jari-jari ketika nama itu akan dituliskan, jantung pun berdegup kencang, habis air segelas namun dahaga makin menjadi, bahagia dan antusias menjadi satu, ingin saya jumpai sang ibu yang telah melahirkan, namun perjumpaan hanya bisa diwakilkan melalui do’a. Dengan do’a itulah Allah memberi isyarat mengizinkan saya untuk menyebut dan menulis nama lelaki kecil yang baru saja dilahirkan itu, dia adalah Muhammad Nadjmi bin Abdul Qadir Jailani bin Ibrahim bin Abdul Majid bin Muhammad Yusuf bin Abid bin Jantan bergelar Sri Penghulu, “Sang Cahaya ke Dua”. Saat ini beliau lebih dikenal dengan sebutan “Guru Nadjmi”. Bayangkan, betapa berpengaruhnya nama itu, dengan menyebut dan menuliskannya saja, saya merasa seolah menjadi manusia paling bahagia di dunia. Ulu Gedong adalah tempat kelahiran Nadjmi kecil. Bahagia sang abah karena Nadjmi lahir bak bintang yang turun ke dunia. Kelak akan melanjutkan dakwahnya.


Fajri Al-Mughni 25 *** “mak, abah ke madrasah dulu yo.. ucap guru Qadir kepada istrinya. Hj. Zainab mencium tangan suaminya, sambil bicara dengan Nadjmi kecil, “abah nak ke madrasah, salam dulu..!”. Nadjmi mengarahkan tangan mungilnya untuk menyalami tangan abah. Guru Qadir menunda keberangkatannya beberapa saat. Mengambil Nadjmi dari pangkuan Hj. Zainab. Digendongnya, berjalan beberapa langkah keluar kamar sambil berbicara kepada Nadjmi kecil. Nadjmi seolah memahami bahasa abahnya, memerhatikan sorban, menatap mata, tersenyum tipis meyambut senyuman abahnya dan pandangannya bertahan beberapa detik ketika matanya tertuju pada jenggot abahnya yang ranum. Ingin hati menggendong lebih lama, tapi guru Qadir segera menyerahkan Nadjmi kepada Hj. Zainab, karena beliau harus cepat-cepat ke madrasah.


26 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Santri Dari Lahir “Pagi ko cerah nian”, ujar Hj. Zainab kepada bu Salma, tetangga sebelah rumahnya. Sambil sama-sama menyapu lantai teras, terjadi obrolan santai; Bu Salma bertanya; “Mano Nadjmi?” “Nadjmi masih tiduk mbok, semalam dak seberapo nyenyak”. “bayi memang macamtu nab, sering tebangun malam. Dulu Manshur macamtu jugolah dak?”. “iyo tapi dak macam Nadjmi, agak kuranglah dikit mbok”. Hari ini guru Qadir pulang cepat, karena sore pukul empat ada pengajian dirumahnya. Muridnya hari ini sangat istimewa, rata-rata berumur empat puluh tahun ke atas yang datang dari kampung tetangga. Setelah shalat asar, pengajian dimulai. “Assalamualaikum warohmatullahi wa baraokatuh.. guru Qadir memulai kajian tauhid. “Bismillahirrohmanirrohim.. hari ko kito ngaji hakekat Islam dan iman. Kajian tentang duo hal ko sangat penting, sebelum kito memulai kajian tentang macamano menerapkan Islam”. Nadjmi kecil sedang tidur dalam ayunan tapi ilmu-ilmu yang disampaikan abahnya bergerilya masuk ke dalam lubang telinganya, menyelinap langsung ke hatinya. Guru Qadir melanjutkan; “Duduk seseorang besamo Rasullah Saw dan merapatkan lututnyo dengan lutut Rasulullah Saw serayo meletakkan tangannyo di atas paha. Kemudian seseorang tersebut berkato: Ya Muhammad katokan kepadoku apo itu islam? Rasulullah Saw menjawab: yang dimaksud dengan Islam adalah bersaksi bahwa tiado Tuhan yang layak sebenar-benarnyo disembah selain Allah SWT dan nabi Muhammad merupokan utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuaso di bulan Ramadhan


Fajri Al-Mughni 27 dan pegi haji kalu mampu. Mendengar jawaban itu orang tadi bekato lagi, engkau benar ya Muhammad”. Semua murid-muridnya khusu’ menyimak. Bagi mereka, kajian ini merupakan kajian yang tak mudah didapat, tidak pernah dijelaskan secara detail oleh para mubaligh. Di ruang tengah, Hj. Zainab ikut mendengar kajian sambil mengayun buai. Ia memang tidak melihat suaminya karena terhalang dinding. Namun suara guru Qadir terdengar jelas melewati celah-celah dinding papan. Sesekali Nadjmi bergerak, Hj. Zainab yakin anaknya mendengar kajian abahnya. Guru Qadir memperhatikan murid-muridnya, mereka mulai merasakan kehadiran Allah dalam setiap tarikan napasnya, seolah mereka tak sabar ingin segera bersimpuh dan bersujud menghamba. Beliau melanjutkan; “Pemuda yang tadi duduk dekat nabi betanyo lagi; Sekarang katokan kepadoku apo itu Iman? Rasulullah Saw menjawab, yang dimaksud dengan iman adalah beriman kepado Allah SWT, para Malaikat, kitab-kitabnyo, para Rasul, hari kiamat, kepado ketetapan Allah SWT, baik itu ketetapan yang baik maupun yang buruk datangnyo dari Allah SWT. Kareno yang baik menurut manusio belum tentu baik menurut Allah, begitupun sebaliknyo. Seseorang itu berkato lagi, engkau benar ya Muhammad. Sekarang katokan lagi wahai Muhammad apo itu Ihsan? Rasulullah Saw Menjawab, yang dimaksud dengan ihsan adalah seseorang yang beribadah seakan-akan dio nengok Allah SWT”. Apobilo dio dak biso nengoknyo, mako rasokanlah bahwa Allah SWT yang nengok dio”. Beberapa yang hadir memejamkan mata, menghelas napas, bersimpuh dengan kedua telapak tangan memegang rahang dan siku bertumpu pada kedua paha. “Orang tadi bekato lagi, engkau telah berkata benar ya Muhammad. Kemudian orang itu ngilang (pergi). Rasulullah SAW berkato; adokah yang mengetahui siapo yang betanyo itu wahai Umar? Umar radhiallahu ‘anhu menjawab: Allah SWT dan Rasul-Nyolah yang lebih mengetahui. Rasulullah SAW


28 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki bersabda: Dio itu adalah malaikat Jibril shalawaatullah atasnyo. Jibril As datang untuk mengajarkan tentang agamo kalian. Hadits riwayat Imam Muslim. Sementaro Iman adalah kito pecayo apo-apo yang datang dan disampaikan oleh Rasulullah Saw, kareno apo-apo yang disampaikannyo merupokan perintah dari Allah SWT”. Di ruang tengah terdengar suara Nadjmi menangis. Seakanakan ia tak mau pengajian berhenti. Hj. Zainab berbegas menggendong Nadjmi, karena ia tidak mau lagi tidur di ayunan. Nadjmi diajak ke kamar, pengajian hari ini telah diserap oleh bayi istimewa itu. Guru Qadir terus melanjutkan pengajiannya sampai menjelang masuk waktu maghrib. Anaknya, Muhammad Nadjmi Qadir, telah menjadi santri dari bayi.


Fajri Al-Mughni 29 Pendidikan Dua Puluh Empat Jam Ditengah sulitnya mendapatkan pendidikan, terutama pendidikan agama yang layak bagi rakyat, guru Qadir tak patah arang dalam mendidik generasi bangsa. Malam itu, guru Qadir berdebat dengan utusan Belanda yang hendak mempertanyakan pengajian (sekolah) yang dilakukannya. Bagi Belanda, rakyat tidak boleh sekolah. Menjadikan masyarakat “bodoh” adalah tujuan mereka. Guru Qadir tak terima ini. Tujuan politik kolonial dalam bidang pendidikan bukanlah untuk mencerdaskan seluruh rakyat, tetapi untuk kepentingan tenaga kerja yang terdidik dengan upah murah. Hal ini terbukti dengan tidak mudahnya bagi masyarakat yang ingin berselokah ditempat yang mereka dirikan. Belanda juga tidak mengizinkan atau mempersulit perizinan didirikannya sekolah swasta baru, terutama sekolah-sekolah keagamaan. Ditengah bayang-bayang intimidasi terhadap sistem pendidikan Islam, guru Qadir tak gentar. Ia telah menghibahkan dirinya dalam dunia pendidikan. “Saya tidak tunduk pada penjajah, silahkan anda pulang”, ucap guru Qadir tegas. *** Nadjmi mulai beranjak besar, sambil berlari kesana-kesini ia mendengarkan pengajian abahnya. Subuh, Nadjmi telah menghirup manisnya ilmu-ilmu fiqh. Terbit fajar, sarapan paginya adalah ilmu akhlak dan rumpun-rumpunnya. Matahari di atas ubunubun, menu makan siangnya ilmu-ilmu bahasa dan perangkatnya. Menjelang sore, Nadjmi bernyanyi mengikuti untaian syair rukun iman dan Islam. Sehabis maghrib, makan berat dengan menu tasawuf modern. Pendidikannya full dua puluh empat jam.


30 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Hari ini Hj. Zainab masak sambal ikan seluang. Nadjmi tidak bisa makan pedas, beberapa seluang digoreng setengah kering, tak pakai sayur. Guru Qadir tidak memaksa anaknya makan sayur, tapi sebelum dan ketika makan, wajib mendengarkan kultumnya. “Sebelum makan harus bedoa, bismillah dak boleh lupo, kalu telupo, baco bismillah ditengah makan. Sudah makan ditutup pulo dengan doa”. Nadjmi tak hirau, tapi ia mendengar. Entah sudah berapa kali ia pindah tempat, Hj. Zainab sabar mengikuti, memilah tulang seluang, menyuapkan ke mulut mungil anaknya. Sambil mulutnya berisi nasi, ia bertanya; “mak, boleh kagek ikut abah?” Hj. Zainab menjawab; “tanyo samo abah, boleh dak?”. Nadjmi menoleh ke abahnya yang juga sedang makan, “boleh bah?”. Setelah kunyahannya ditelan, abah menjawab singkat, “boleh”. Nadjmi melihat emaknya, tapi tidak berkata. Hanya matanya berbinar, tanda senang. Tanggal 14 Agustus 1945, setelah makan siang, guru Qadir siap berangkat ke madrasah. Hari itu tersiar kabar bahwa Jepang kalah. Di madrasah, orang-orang sibuk membicarakan kabar itu, guru Qadir diminta datang dan menjelaskan sekaligus membicarakan bagaimana sikap pihak madrasah terhadap kabar ini. Nadjmi kecil yang tidak tahu apa-apa juga sibuk hilir mudik berlari dari kamar ke ruang tamu. Ia ikut riang melihat abah dan emaknya gembira, sambil sesekali berteriak, “merdeka.. merdeka”. Hj. Zainab menangis, bersyukur, ia sadar bahwa paling tidak kelak Nadjmi akan tumbuh dalam keadaan bebas tanpa berperang secara fisik. Hari itu, Nadjmi tidak jadi ikut abahnya ke madrasah. Pada tanggal 18 Agustus 1945, disaat umur Nadjmi bulat lima tahun, rakyat Jambi mendengar kabar bahwa presiden Sukarno telah berpidato tentang kemerdekaan Republik Indonesia satu hari sebelumnya. Kabar itu datang dari Palembang, melalui A.K Gani. Sebelum berangkat ke madrasah, guru Qadir mencium Nadjmi. “Indonesia merdeka nak, kito biso sekolah bebas”. Nadjmi tidak menjawab, jelas ia tak paham. Karena baginya, ia telah sekolah setiap hari bersama abahnya, bahkah full dua puluh empat jam.


Fajri Al-Mughni 31 Menjadi Idola Sejak Kecil Nadjmi makin tampan, rambutnya tebal, bicaranya lucu, pokoknya menggemaskanlah. Siapa saja yang bertemu dan melihatnya akan berkomentar serupa, “anak siapolahh ni.. gagah nian”. Banyak orang sudah tahu kalau Nadjmi anaknya guru Qadir, masih saja mereka bertanya anak siapa. Saya pikir, itu bukan kalimat tanya, tapi lebih sebagai ungkapan bahwa Nadjmi menggemaskan. Siapa yang mencetuskan kalimat itu, saya tidak tahu. Hari ini Nadjmi tidak jadi ikut abahnya, karena agaknya rapat di madrasah terkait Indonesia baru merdeka, merupakan rapat yang sangat penting dan perlu kekhusukan. Maka Nadjmi dirumah saja dengan emak. Dirumah, ia banyak bertanya kepada emak. Mulai dari pertanyaan, kalau sudah merdeka kenapo mak? Emak menjawab tenang; “kito dak beperang lagi nak”. Nadjmi tak puas, karena pikirnya, berperang itu merupakan sebuah keseruan. Emak menjelaskan; “iyo benar, tapi kito akan terus beperang dengan caro yang lain dengan musuh yang bentuknyo jugo lain”. Hmm.. Nadjmi makin gelap. Emak pun ikut samar. “ageklah tunggu abah balek yo.. kito tanyo lagi”. Tutup emak. Sabtu pagi, Nadjmi diajak abahnya ke madrasah masuk kelas menemaninya mengajar. Hari itu, Nadjmi memang tidak mau dibujuk, harus ikut. Dikelas ia tak rewel, sesekali keluar kelas tapi tidak jauh. Murid-murid perempuan curi-curi pandang, ia menggoda Nadjmi kecil agar mendekat. Tapi ia pura-pura tak tahu. Pukul setengah sepuluh pagi, jam istirahat para santri. Beberapa santri perempuan mengerumuninya, mereka berebut Nadjmi. Satu orang berkata sekenanya, “Nadjmi ado abang dak?” ia tak menjawab, pikirnya ini pertanyaan model apa. Santri laki-laki berusaha menggendong Nadjmi, tapi ia tak mau. kalau boleh saya tebak, dalam hati ia berkata, “badan sayo


32 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki samo besak dengan yang gendong, agek jatuh”. Nadjmi senang menjadi rebutan dan banyak kawan. Guru Qadir tidak khawatir membiarkan ia bermain bersama para santri. “tak mungkin mereka menyakiti idolanya”.


Fajri Al-Mughni 33 III Ke Sekolah “Jika ada yang berkata bahwa sekolah tidak penting, saya maklumi. Mungkin Karena mereka telah menjadi manusia melalui jalan lain”. – Guru Nadjmi


34 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Menjadi Santri Hari berganti, Nadjmi kecil mulai tumbuh menjadi anak yang lincah, penuh semangat dan tak mudah menangis. Ketika ibu-ibu tetangga memanggilnya, Nadjmi kecil mendekat, karena ia tidak sepemalu anak-anak yang lain. Begitu ia mendekat, Nadjmi langsung dipeluk geram. Kata orang-orang, waktu abahnya masih kecil tidak setampan Nadjmi. Lebih tinggi, lebih putih, lebih aktif dan lebih lucu. Saya tidak tahu persis mana yang lebih tampan, yang saya tahu keduanya adalah bintang yang diutus untuk memperindah bumi dikala gelap. Ketinggian ilmu dan akhlaknya sebagai cahaya yang melengkapi cahaya bulan. Hadirnya menghilangkan gundah keringnya ilmu. Nadjmi kecil ikut mengaji bersama abahnya setiap hari. Kitabkitab klasik pesantren merupakan asupan gizinya setiap saat. Di usia 6 tahun ia telah dikenalkan dengan kitab Fathul Qarib karangan Syaikh Ibnu Qasim Al-Ghazzi. Nadjmi kagum dengan kitab ini, meskipun ia tidak benar-benar paham isinya. Kata abahnya, “ikut bae dulu ngaji, kelak kau paham dewek”. Di madrasah, Nadjmi tidak diperlakukan berbeda, ia sama seperti santri lainnya. Nadjmi sudah tak asing lagi dengan kondisi ini, karena sejak usia 3 tahun ia sudah sering ikut abahnya mengajar. Hanya saja, ia memiliki pola belajar yang tidak sama dengan teman-temannya sesama santri. Ia kelihatan lebih siap menerima banyak kegiatan selain aktivitas belajar di kelas. Makin hari, Nadjmi mulai dikenal banyak guru dan santri karena jiwa sosialnya lebih tinggi dari yang lain. Komunikasinya tidak terbatas dalam kelas saja, ia suka menyapa para guru dan berteman akrab dengan hampir semua santri. Nadjmi paling suka jika diajak ke ruang perpustakaan madrasah. Tentu kegirangannya melihat kitab-kitab bukan karena hendak


Fajri Al-Mughni 35 membacanya, namun karena cendrung bahagia melihat susunan dan warna-warna kitab-kitab klasik yang tersusun rapih. Baginya, melihat susunan kitab-kitab itu merupakan sebuah hal yang menakjubkan. Berbagai macam pikiran yang terlintas di kepalanya, “siapa yang menulis kitab sebanyak itu, sungguh penulisnya adalah manusia hebat. Bagaimana cara membaca dan memahami kitab-kitab sebanyak itu dan perlu waktu berapa lama menamatkannya”. Dengan Fathul Qorib saja ia sudah terpana, meski tak paham. Jika anak-anak diluar sana dimanjakan dengan berbagai cerita dongeng bergambar, Nadjmi tidak pernah berjumpa hal semacam itu. Baginya, melihat sampul kitab dengan jenis tulisan indah, sudah cukup lebih dari dongeng bergambar. Abahnya juga sering mengajak Nadjmi dalam kunjungan kerja ke beberapa tempat, terkadang mengajak Nadjmi ke ruang rapat. Ia suka memperhatikan cara abahnya berbicara, melakukan lobi, dialog dan bahkan melihat abahnya berdebat silang pendapat dengan lawan bicara. Ia kagum melihat cara abahnya menjawab kritikan, tidak ada lawan bicara yang meninggikan suara, meski ia tahu bahwa jawaban abahnya bermaksud memukul mundur pertahanan lawan. Kekagumannya bertambah ketika selesai rapat lawan-lawan bicara abahnya malah berbalik menghormatinya. Nadjmi kecil menilai bahwa rapat berjalan dengan tensi tinggi, namun berakhir dengan damai. Dirumah, Nadjmi bercerita kepada emaknya dengan penuh semangat. Emak sudah paham nian dengan kebiasaan anaknya ini, setiap pulang kerumah pasti akan bercerita panjang lebar. Marah ia kalau ceritanya tak didengar dan protes kalau emaknya tidak antusias. Hj. Zainab sering kaget mendengar cerita Nadjmi. Cara bicaranya sangat mirip dengan abahnya, bahkan terkadang sama persis. Dalam diri Nadjmi sudah nampak aura ketokohannya, ia tidak hanya bersemangat dalam mengaji kitab, tapi juga sangat tinggi keingintahuannya terhadap dunia diplomatik. Seusai bercerita, Nadjmi mendekati abahnya yang sedang membolak-balik lembaran kertas. Ia tahu bahwa kertas itu penting,


36 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki abah sangat khusu’ memperhatikan setiap lembarnya, tak berani ia mendekat. Abah tahu anaknya ingin bercerita, ditutupnya lembaran itu. “anak abah sudah selese cerito samo mak?” “sudah bah.. “ Nadjmi kecil duduk dipaha sebelah kiri, sementara kedua kakinya selonjor di paha sebelah kanan abah. “kitab apo tu bah? “ko kitab undang-undang nak, besok abah ado rapat di kantor DPR”. Guru Qadir telah menguasai dengan sangat baik semua bab perundang-undangan republik ini, tapi demi profesionalitas dan totalitasnya dalam mengabdi, ia tidak mau keliru dan ikut terjebak dalam emosi “merasa serba tahu”. Ia tetap membaca ulang meski telah mengetahuinya. “DPR tu apo bah?” Nadjmi bertanya sambil tangan kanannya memegang leher abahnya dan tangan kiri memegang pergelangan. “DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat”. Gawenyo mendengarkan dan menyalurkan aspirasi masyarakat di tempat kito. Supayo, masyarakat biso sejahtera dan makmur. Anaknyo biso sekolah, biso dapat kerjoan yang elok dengan tentram dan damai”. Nadjmi kecil tak merespon jawaban abahnya, ia sama sekali tidak paham. Kecuali pada kalimat sekolah dan kerja. Jawaban itu ia jadikan sebagai dongeng sebelum tidur. Guru Qadir terkadang memang tak sempat membacakan dongeng seperti ayah-ayah kebanyakan, karena memang hidupnya telah dihibahkan untuk kepentingan umat. Pulang kerumah, Nadjmi sudah tidur. Percakapan antara anak dan ayah ini tidak bisa dianggap remeh. Cikal bakal seorang tokoh dan pembaharu dalam diri Muhammad Nadjmi Qadir telah tertanam sejak kecil. Abahnya bukan tak tahu bahwa percakapan ini sebenarnya berat, beliau juga sangat mengerti kalau anaknya pasti tidak paham. Tapi begitulah caranya memberikan petuah dan pembelajaran. Saya tidak yakin para anggota


Click to View FlipBook Version