The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini diangkat dari kisah nyata tentang kehidupan, perjuangan dan perjalanan panjang seorang guru, kyai dan ulama sekaligus umara, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajri Al-Mughni, 2023-07-10 10:55:13

NADJMI; Guru Sejati dan Politikus

Buku ini diangkat dari kisah nyata tentang kehidupan, perjuangan dan perjalanan panjang seorang guru, kyai dan ulama sekaligus umara, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim

Keywords: Guru Nadjmi

Fajri Al-Mughni 87 Lelaki itu bernama Muhammad Nadjmi Qadir. Orang Sumatra memanggilnya guru Nadjmi, orang Jawa menyebutnya Kiyai Nadjmi. Ternyata dia-lah orang yang akhir-akhir ini membuat cahaya rembulan bersinar lebih terang, bintang-bintang girang setiap malam dan bunga-bunga gagal mempertahankan sikapnya. Idealisme Ulya sempat bertempur malam itu melawan hatinya. Berbeda dengan guru Nadjmi dalam menanggapi perihal pertunangannya, Ulya sempat melontarkan kalimat penolakan dengan alasan yang serupa seperti yang dirasakan oleh guru Nadjmi. Katanya, “Bang Cik itu sudah seperti abang sendiri, bagaimana mungkin menikah dengan abang sendiri”. Hanya itu. Tapi, setelah ia mendengarkan penjelasan dari abahnya, H. Taher, tentang mengapa ia harus menikah dengan Nadjmi, akhirnya ia setuju dan siap untuk dipersunting. Dalam beberapa kali pertemuan ia sempat curi-curi pandang melihat calon suaminya. Dalam hatinya, “Bang Cik memang tampan, gagah dan meyakinkan”. Ia baru sadar. Karena selama ini hanya melihat guru Nadjmi sebagai abang, maka tak muncul rasa seperti yang dirasakan oleh gadis Seberang lainnya. Jika selama ini tak peduli pada lelaki, kini ia mulai belajar untuk apa lelaki diciptakan dan berusaha menjadi penyempurna ciptaan itu. Ulya tak sanggup menggeleng. Ia mengangguk tanda setuju. 16 September 1964 menjadi momentum paling sakral dalam hidupnya. Guru Nadjmi adalah lelaki pertama dan terakhir yang memenuhi setiap relung hati, jantung, serta jiwa raganya. *** Bu Ulya telah menjadi belahan jiwa guru Nadjmi. Dua kekuatan bersatu. Bersatunya dua kekuatan baru itu bukan tanpa rencana. Melihat itu, anak keturunan penjajah yang berniat melanjutkan jajahannya, cemas bukan main. H. Taher dan KH. Abdul Qadir telah lama membaca akal bulus para penjajah tersebut. Alhasil, muslihat licik para penjajah tak berjalan sesuai perhitungan.


88 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Rembulan berpelukan dengan beberapa bintang yang dekat dan cahaya mereka menyatu. Memunculkan cahaya yang lebih terang dari adatnya. Ikan di sungai Batanghari kegirangan, yang dalam keramba ikut gembira, semak belukar menjelma bak taman surga, biji kedondong menjadi lembut seperti tulang rawan, buah mangga matang sebelum tua, batang keduduk mendadak lebat buahnya, burung berebah terbang malam, burung layang-layang begadang sampai pagi. Bertemunya guru Nadjmi dengan belahan jiwanya telah membawa keberkahan bagi penghuni bumi. Barokallahu lahuma.


Fajri Al-Mughni 89 VI Dipanggil ke Sekolah Negeri, “Sayang Guru Nadjmi Tak Lagi Bujang” “Saya telah meng-hibahkan diri menjadi seorang pengabdi. Dengan begitu, Tuhan akan mengerti”. – Guru Nadjmi


90 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Di Jemput ke MTsIN dan MAIN Di MTsIN (Madrasah Tsanawiyah Islam Negeri), guru Nadjmi dikenal sebagai guru Tarekh Islam yang handal. Penguasaan dan metodenya dalam menjelaskan sejarah mendapat respon baik dari para siswa. Bahkan terkadang ia diminta untuk menjelaskan kepada guru-guru yang lain. Keahliannya dalam mengajar membuat Madsarah Aliyah jatuh hati. Oleh karena itu, pada tahun 1968 sampai dengan 1976 ia juga dijemput untuk mengajar PGA di MAIN (Madrasah Aliyah Islam Negeri) pada mata pelajaran Tata Negara dan Ilmu Ekonomi. Sebuah keilmuan yang pada masa itu sulit ditemukan pengajarnya. Di dua sekolah ini namanya sudah tidak asing. Pihak sekolah menjemputnya bukan karena ia merupakan anak dari seorang pendiri, tapi murni karena terpikat dengan kemampuannya dalam mengajar. Rating lembaga pendidikan tempat ia mengajar naik drastis semenjak kehadirannya. Dulu guru Nadjmi menjadi rebutan ibu-ibu dan teman-teman mahasiswi, kini ia menjadi idola para siswa, siswi dan ibu-ibu guru muda di Seberang Kota Jambi. Tapi sayang beribu kali sayang, guru Nadjmi tak lagi bujang. *** Sama seperti di As’ad, di Sekolah Negeri Guru Nadjmi juga tidak mengambil gaji. Karena mengajar baginya merupakan sebuah pengabdian, bukan pekerjaan. Melalui berbagai relasinya selama berorganisasi, kehadirannya banyak membantu pembangunan gedung-gedung sekolah. Dulu pada masa penjajah, sekolah yang dibawah pemerintah yang berstatus negeri kurang mendapat perhatian, tapi hal tersebut menurut Guru Najdmi tidak boleh lagi terjadi.


Fajri Al-Mughni 91 Sekarang, MTsIN berubah menjadi MTsN dan MAIN itu telah berganti nama menjadi MAN. Hasil pengabdian para pendahulu, kini sekolah tersebut menjelma menjadi sekolah kebanggaan orang Seberang.


92 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Sayang, Guru Nadjmi Tak Lagi Bujang Dengan Suzuki bebek berwarna merah, guru Nadjmi berangkat ke sekolah, semata mengharap berkah. Saya terkejut ketika mendengarkan kisahnya, kata beliau; “cukup lamo sayo mengabdi menjadi guru, tak pernah mengambil upah”. Subhanallah.. setelah itu saya cium tangan guru Nadjmi berkali-kali. Dalam hati berkata; “Duhai Tuhan, tularkan hamba sifat ikhlas sang guru yang sedang berada di hadapanku ini dan jangan lupa juga sertakan dengan keberkahan”. Lari motor bebeknya tak seberapa kencang, karena sudah berumur. Keliatan muda tersebab warna merahnya. Apalagi sering dimandikan. Dalam perjalanan, tidak jarang ia melewati beberapa orang gadis Seberang, mereka memandang tipis, mungkin tak sampai sinis karena telah puas menangis, tragis. Tapi para ibu-ibu tidak berubah, mereka tetap mengeluarkan aura cerah ketika melihat guru Nadjmi berangkat ke sekolah. Karena motornya pelan, sapa ibu-ibu itu terdengar jelas ditelinganya; “ngajar mi?”, dan langsung dijawab cepat, “iyo wak..” Guru Nadjmi merasa berbeda hari itu, awan di atas atap sekolahnya agak mendung, tapi ditempat lain cerah. Ia masuk kantor, terlihat beberapa orang staff perempuan yang sedang merapihkan buku-buku di atas meja, sambil merengut. Tiga orang guru perempuan yang masih gadis sudah datang lebih dulu, mereka duduk di tempatnya masing-masing, keningnya bergaris, tapi tak banyak. Guru Nadjmi menyapa mereka dengan salam, “Assalamualaikum bu guru..”. mereka tak menoleh, yang bergerak hanya biji matanya, mulutnya menjawab, “walaikumsalam”. Tegas. “hmm.. ado yang salah nampak’e ko, apo mungkin kareno kemaren sayo izin lamo”. Guru Nadjmi menerka kondisi sambil berjalan menuju kelas.


Fajri Al-Mughni 93 Sebelum masuk kelas, ia bertemu dengan bu Romlah. “nah pas nian betemu bu Romlah.. guru Nadjmi membuka cakap. “ado apo guru? penting agak’e tu..” “kemaren sayo ke Jakarta di Sekolah ado kegiatan apo bu? Sayo sudah izin samo kepalo”. “dakdo acara apo-apo guru, kegiatan belajar-mengajar macam biasolah”, ngapo? “itu ibu-ibu guru samo staff agak lain mukoe nengok sayo” Bu Romlah tersenyum lebar, hampir rusak gincunya. “ohh.. itu kareno guru Nadjmi dak bujang lagi..” haha.. sekali ini bu Romlah tertawa, gincunya benar-benar berantakan, harus direnovasi ulang.


94 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki


Fajri Al-Mughni 95 VII Romansa Menemani Istri “Tuhan menciptakan Hawa menemani Adam. Artinya, Tuhan telah membekali manusia dengan fitrah cinta, fitrah kebutuhan akan ‘teman’ untuk menumpahkan ‘rasa’”. – Fahrudin Faiz


96 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Bahagia dan Perjuangan Yang Bergandengan Pukul empat sore matahari belum terbenam utuh, masih menyisakan panas gerah, tapi tidak lagi terik cahayanya. Guru Nadjmi yang baru pulang dari langgar setelah shalat ashar melihat istrinya sedang duduk di ruang tamu sambil membaca kitab “perukunan” tentang Thaharah dan shalat. “Assalamualaikum mak.. lah tamat bacoe? “Walaikumsalam.. sudah bang, ko baco lagi.. ado yang belum hapal nian bacoannyo”. “Camano kalu kagek lagi baconyo? “ha, ngapo pulak tu? “Motor abang sudah di cuci, minyak’e jugo baru diisi, kito raun sebentar sambil mampir ke As’ad” Bu Ulya langsung menutup kitab perukunan, “Ayolah bang.. sekalian nak ngambek batik kiriman dari Solo”. Guru Nadjmi lebih dulu bersiap dan menunggu di ruang tamu. Sementara bu Ulya ke dapur mematikan kompor dan menutup pintu belakang. Sekarang gantian ia yang bersiap-siap. Memakai baju kurung melayu putih dengan corak-corak mirip bunga anggrek warna merah pecah. Jilbabnya sewarna dengan itu. Geraknya pelan, karena sedang hamil 6 bulan, anak pertama. Setelah dirasa siap, bu Ulya keluar kamar. Guru Nadjmi yang telah menunggu di ruang tamu terpana entah keberapa kalinya. “subhanallah.. cantik nian engkau duhai Ulya binti Abdul Syukur”. Pujinya. Bu Ulya merespon biasa saja, tak nampak macam orang kena puji. Tapi pipinya berubah warna dan bibirnya sibuk mencari-cari posisi terbaik. Berusaha menahan senyum, namun tak sanggup. Sekali lagi idealisme dalam kepalanya kalah bersaing dengan hati.


Fajri Al-Mughni 97 “Abang dak kalah, gagah nian serupo anak mudo nak pegi nonton konser Rhoma Irama”. Balas bu Ulya. Iya, hari itu guru Nadjmi keliatan santai sekali. Baju kaos berkerah warna biru dengan pola bintik-bintik putih sebesar kelereng. Celananya warna krem, semi levis. Mirip seperti celana anak muda zaman sekarang yang sering dipakai untuk mengadu nasib perihal jodoh. Setelah keduanya siap, langsung berangkat raun keliling Seberang, menikmati dan menyaksikan matahari tenggelam. *** Guru Nadjmi memang sibuk mengajar, berorganisasi dan memperbanyak silaturahim membangun relasi. Namun dalam hal membina rumah tangga tetap menjadi prioritasnya. Perjuangannya sebagai generasi penerus orang tuanya tentu tidaklah mudah, apalagi di tengah-tengah Negara yang sedang belajar berkembang. Tapi dengan kehadiran seorang perempuan bernama Ulya, semua amanah dan tanggung jawab tersebut dapat dijalankannya dengan baik. Ibu Ulya tahu betul, bahwa menjadi seorang istri ulama dan umara merupakan sebuah tugas yang berat, selain harus melanjutkan usaha keluarganya, ia juga harus selalu berada disamping suaminya, menemaninya berkeliling ke setiap daerah sebagai wakil rakyat untuk menyerap segala aspirasi. Ibu Ulya yang terlahir dari seorang pengusaha kaya raya tidak membuatnya menjadi cengeng dan manja. Ia tahu betul bagaimana perjuangan kakeknya untuk menjadi seorang pengusaha. Dimulai dari seorang pedagang terasi yang menjajakan dagangannya menggunakan perahu menyusuri sungai Batanghari, mengantar pesanan. Belajar dari itu, sambil terus menemani perjuangan sang suami, bu Ulya melanjutkan usaha yang dulu dirintis H. Taher dan juga mengembangkannya dengan berbagai macam bisnis. Ia berjualan kain dan batik yang diambil dari Solo, membuat kerupuk ikan dan usaha-usaha lainnya.


98 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Terlahir dari keturunan pengusaha, ia berjodoh dengan seorang guru, ulama dan kelak juga dikenal sebagai umara yang membuat perjuangan mereka terasa amat istimewa. Bahagia dan perjuangan yang selalu bergandengan.


Fajri Al-Mughni 99 Menimang Anak Pertama Juni 1965, di sebuah ruang kamar persalinan rumah sakit, Ibu Ulya terbaring lemah setelah hampir 6 jam berjuang melewati proses kelahiran anak pertama, antara hidup dan mati, namun ia tidak berhenti tersenyum. Guru Nadjmi tidak mau kehilangan moment bahagia ini, ia selalu menemani istrinya tercinta. “Boleh abah gendong anak kito ni mak? tanya guru Nadjmi. Bu Ulya menjawab pelan; “boleh bah.. gendonglah”. Guru Nadjmi melemaskan jari-jarinya, terdengar bunyi patahan jari telunjuk, sementara jempolnya tak berbunyi. “Bismillahirrohmanirrohim.. ia menggendong bayi tampan itu dan berkata; “Muhammad Kamal Mochtar”. Bu Ulya mendegar itu dan mengulanginya, “Muhammad Kamal Mochtar”. Elok namonyo bah. “iyo mak, serupo abah mak mukonyo”. Bu Ulya menambahi, “tapi kalu senyum serupo emak”. Kemudian mereka saling melemparkan senyuman tanda bahagia. Nama ini terinspirasi dari nama salah seorang tokoh dan dosen senior. Namanya Profesor Kamal Mochtar. Ia berharap kelak anaknya akan memiliki wawasan keilmuan yang luas bak seorang professor. Dan hari ini, doa guru Nadjmi diijabah Tuhan, Muhammad Kamal Mochtar menjelma menjadi seorang anak yang cerdas dan visioner. Ide-ide pembaharuan muncul dari kepalanya dalam memajukan pondok pesantren As’ad dan melanjutkan estafet syiar Islam di Tanah Melayu Jambi. Kebahagiaan guru Nadjmi kian sempurna.


100 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Meyambut Kelahiran Purnama Guru Nadjmi dan Ibu Ulya terus mendapat limpahan kebahagiaan. Satu tahun setelah kelahiran anak pertama, sekarang mereka bersiap menyambut kehadiran anak kedua. Cerita orang-orang kampung yang datang berkunjung kerumahnya memprediksi akan lahir seorang anak perempuan. Kampung Tengah, tepat pada tanggal 18 Mei 1966 terdengar suara jeritan seorang bayi perempuan, cantik, persis ibunya. Guru Nadjmi yang memang sudah standby menunggu waktu kelahiran, tak henti-hentinya berdzikir dan memuji kebesaran Allah. Ia tidak mau melewatkan satu detik pun kisah dan romansanya bersama sang istri. Bu Ulya merasa menjadi perempuan paling bahagia. Seingatnya, tidak ada doa yang tak dikabulkan oleh Allah. Setelah beberapa hari, ia bertanya kepada guru Nadjmi; “bah, emak lupo kemaren nanyo, siapo namo anak gadis kito ni? “Hidayah”. Jawab guru Nadjmi mantap. Kali ini ia tidak lagi bertanya mengapa diberi nama Hidayah. Karena selama hidup, ia merasakan bawa keluarga besarnya selalu dalam naungan hidayah Allah. Penamaan hidayah kepada putrinya yang baru lahir merupakan bentuk kesyukuran akan hidayah yang telah Allah berikan. Kini Hidayah telah tumbuh menjadi anak yang mandiri, hebat dan berdiri sebagai pejuang. Bu Ulya tak heran dengan ini, karena abah, kakek dan buyutnya telah memberikan contoh itu. Merekalah yang menjadi panutan anak-anak cucunya.


Fajri Al-Mughni 101 Lahirnya Generasi Politisi Hari ini Ibu Ulya masak banyak, karena beberapa tamu sekaligus kawan-kawan lamanya ketika masih aktif menjadi pedagang kain akan datang dari Solo. Ia mengajak keponakan-keponakan, bibi-bibi dan beberapa orang tetangga untuk membantu masak dan menyiapkan segala hal ihwal menyambut kawan-kawannya itu. Keponakan, bibi dan beberapa orang tetangganya tidak terlalu paham Solo itu dimana, yang mereka tahu akan kedatangan orang dari Kota. Pada hari yang sama, guru Nadjmi pulang dari Jakarta, menghadiri undangan dari PBNU. Sambil memasak, beberapa orang yang membantu Ibu Ulya berdebat tentang Solo dan Jakarta. Debat dimulai dengan pertanyaan; “Solo samo Jakarta dekat dak?” Beberapa orang memberi jawaban tak sama. “Solo samo Jakarta yo jauhlah.. Solo itu di Jawa, Jakarta itu di Kota”. Hmmm.. saya harap orang Jawa tidak tersinggung mendengar itu. “ah mano pulak, Solo itu dekat samo Jakarta. Macam Arab Melayu dengan Ulu Gedonglah”. Saya tidak tahu siapa yang menjawab itu. Kalau dari intonasi bahasa, sepertinya ia lebih senior diantara mereka. Buktinya, beberapa orang mengangguk. Bu Ulya tentu mendengar obrolan itu, tapi ia membiarkannya mengalir, sambil mengulum senyum. Pada tempat terpisah, terdengar lontaran pertanyaan lagi; “orang tu naek pesawat dak?”. Dari pojok sana pertanyaan itu langsung disambut; “yolah mbok.. kalu dak naek pesawat lamo sampenyo, duo bulan lebih”.


102 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Jawaban itu terdengar pasti. Tapi saya pikir jawaban itu tidak sepenuhnya salah. Saya paham maksudnya. Bahwa jarak tempuh dari Solo-Jakarta ke Jambi sangat jauh. Saran saya, orang Solo dan Jakarta yang mendengar itu berpikir positif saja. Jawaban itu sempat diprotes, “ai mak.. lamo nian oii.. macam orang balek haji”. Ibu-ibu yang duduk dekat pintu dapur menimpali sambil bergurau; “hmm.. yo poh? Macam lah pernah pegi haji mbok ko”. Bu Ulya tak tahan, ia tertawa sambil menahan rasa mual. Ibu-ibu yang membantu memasak dirumah guru Nadjmi melihat Ibu Ulya berbeda dari hari biasanya. Salah seorang bertanya, “Ulya hamil lagi?” mendengar pertanyaan itu, mendadak semuanya berhenti sejenak dan mengarahkan pandangan ke Ibu Ulya. “iyo mbok, Alhamdulillah lah masuk duo bulan”. Serentak mereka mengucapkan syukur, “alhamdulilah.. Hidayah dapat adik”. Menjelang zhuhur menu-menu inti sudah siap. Sambal ikan seluang, gulai pindang ikan sengarat dan tempoyak baung, tentu lengkap dengan perangkat-perangkatnya; jengkol muda, rebus kacang panjang, rebus daun ubi dan sambal asam belimbing dan beberapa macam buah. Kata orang-orang, untuk cuci mulut. Saya kurang paham mengapa makan buah disebut untuk cuci mulut. Pukul satu kurang lima belas, tamu-tamu dari Solo sudah tiba dirumah bu Ulya. Guru Nadjmi diperkirakan dua jam setelah itu. Para tamu disambut dengan senyuman bahagia tuan rumah. Mereka semua bernostalgia, mengenang masa-masa gesitnya berburu kain dan berlomba memasarkannya. Mereka datang hendak mengajak bu Ulya bisa kembali aktif berbisnis seperti dulu. Bu Ulya mengiyakan ajakan mereka, tapi tentu tidak lagi harus bolak balik Jambi-Solo. Sekarang bisnisnya dijalankan dari Jambi. Ia mengabarkan bahwa dirinya hamil lagi. Kawan-kawannya larut dalam suka cita. “sungguh bahagia sekali hidupmu Ulya.. bahagiamu datang bertubi-tubi”. Mereka tertawa bersama.


Fajri Al-Mughni 103 Tak lama, guru Nadjmi pun tiba. “Assalamualaikum.. salamnya dijawab semua yang ada di dalam rumah. “itu suamiku datang”, ucap bu Ulya. Kawan-kawannya sibuk membetulkan posisi duduk, merapihkan jilbab dan kompak berdiri. Ia menyambut suaminya seperti biasa, menyalami tangannya, mengambil tas yang masih tersandang di bahu kiri suaminya dan memberitahu bahwa ada tamu kawan-kawannya dari Solo. Guru Nadjmi menghampiri mereka dan sempat berbincang beberapa saat. Setelah itu ia izin masuk ke kamar untuk beristirahat. Keesokan harinya, kawan-kawannya pamit pulang ke Solo membawa banyak pelajaran berharga dari keluarga guru Nadjmi dan bu Ulya. Bagi mereka, romansa rumah tangga Ulya memancarkan sinar-sinar sakinah, rohmah dan mawaddah. Hari-hari berlalu menjadi minggu, kebahagiaan dua insan terus berdatangan setiap minggunya hingga bulan-bulan dilewati dengan penuh rasa bahagia, tepat pada tanggal 22 Februari 1967 lahirlah seorang anak laki-laki calon umara penerus sang abah. Muhammad Taufiq Rusydi namanya. Anak ketiga guru Nadjmi dan bu Ulya. Tak kalah tampan dengan abangnya Muhammad Kamal Muhktar. Matanya agak sipit, hidungnya memang tidak terlalu mancung, tapi tegas. Alisnya tebal, dagunya penuh pesona, kulitnya putih dan senyumnya membangunkan lamunan pramugari, sang bidadari langit. Semua orang ingin menggendongnya, geram gigi beradu melihatnya, sampai-sampai emaknya cemas jika ada yang mendekatinya. Taufiq kecil lebih ceria dibanding abangnya. Aura seorang politisi sudah nampak sejak kecil. Bicara soal ketampanan, sebenarnya saya juga tampan. Paling tidak, dimata istriku. Hanya saja, kata Ibu, sewaktu bayi saya tak imut-imut amat. Beratku waktu lahir tidak sampai dua kilo. Rambutku jarang, tipis pula. Alis cenderung tidak ada, hidungku samar, daguku tak jelas gambarannya, jika orang-orang melihatku, mereka kasihan. Tapi hari ini saya bersyukur bahkan bahagia bisa menuliskan dan membayangkan betapa senangnya bu Ulya ketika melihat


104 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Taufiq lahir ke dunia. Tampan dan berkharisma. Wajarlah, bayi yang diberi nama Taufiq itu memang memiliki garis keturunan yang luar biasa. Prediksi bahwa Taufiq Rusdi akan menjadi seorang politisi terbukti. Beliau telah aktif berkiprah di Nahdhatul Ulama sejak masih remaja. Dan bergerak membantu Negara dan masyarakat melalui Partai Kebangkitan Bangsa.


Fajri Al-Mughni 105 Inspirasi Al-Baiquniyyah Syaikh Abdul Qadir Ibrahim telah meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi keturunan-keturunannya. Tentu warisan yang saya maksud bukanlah harta yang dapat menimbulkan rusaknya hubungan keluarga. Melainkan warisan tradisi keilmuan yang kental. Semasa hidupnya, Tuan Guru Qadir tidak hanya aktif menyiarkan Islam melalui dakwah orasi dan pengajaran, namun juga melalui literasi-literasi ke-Islaman. Salah satu karyanya adalah terjemahan kitab Al-Baiquniyyah. *** Siang itu, tanggal 5 September 1968, langit Seberang tampak mendung, gelagatnya akan turun hujan lebat. Bu Ulya yang sedang melipat pakaian merasa tidak enak badan, perutnya keram. Guru Nadjmi yang sedang di madrasah ditemui oleh salah seorang keluarga yang sengaja hendak mengabarkan bahwa bu Ulya demam. Bergegas ia menghidupkan motor andalannya, melaju tapi tak kencang. Di jalan ia merutuk protes, “aii dah.. motor ni dak paham nian orang sedang cemas”. Full gas tak berpengaruh kepada mesin, merangkak macam siput kekenyangan makan busi. Setibanya dirumah ia melihat istrinya menahan sakit, dalam hatinya respek berucap, “lahir anak sayo”. Tak berapa lama, datang jemputan mobil abang iparnya. Mereka langsung ke rumah sakit. Seorang anak laki-laki telah lahir dengan selamat dalam perjuangan hidup dan mati seorang ibu hebat dan tangguh. Disaat kelahiran Muhammad Taufiq Rusdi, Hidayah yang waktu itu masih berusia satu tahun riang gembira menyambut adiknya. Tapi kali ini, Taufiq Rusdi tampak biasa saja dengan kedatangan anggota baru. Baginya, berlarian di rumah sakit cukup membuatnya bahagia.


106 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Bayi yang baru saja dilahirkan langsung di gendong oleh abahnya, tanpa harus izin lagi kepada istrinya. Ia adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri. “mak, adik Muhammad Baiquniy Haqqi sudah abah adzankan”. Dalam menahan sakit, bu Ulya tersenyum sangat bahagia. Sama seperti suaminya memberi nama Hidayah, nama Baiquniy pun tak perlu ia tanyakan artinya apa. Adalah inspirasi Al-Baiquniyyah.


Fajri Al-Mughni 107 Generasi Surah An-Nisa Seperti tahun-tahun kelahiran anak-anak sebelumnya, kali ini guru Nadjmi tetap tidak mau melewatkan masa-masa indahnya bersama sang istri. Dalam perjalanan hidupnya mengabdi kepada negeri dan agama, sang istrilah yang menjadi ujung tombak perjuangan. Ia tahu betul bagaimana sakitnya melahirkan anak, meski tak pernah mengalami. Bersabar dalam membesarkan dan telaten ketika mendidiknya siang dan malam tanpa lelah apalagi mengeluh. Maka, tak perlu mencari-cari alasan mengapa harus menemani istri dalam setiap detiknya. Tanggal 9 April 1972 seorang bayi perempuan mungil, lucu dan pastinya cantik dilahirkan ke dunia bernama Hani’am Mari’a. Tidak seperti anak-anak sebelumnya yang penamaannya langsung seketika diberikan oleh abahnya, namun nama Hani’am Mari’a melalui perenungan yang mendalam. Dua hari di rumah sakit, bu Ulya sudah diizinkan pulang oleh dokter. Dalam perjalanan pulang, guru Nadjmi terus memikirkan nama yang cocok untuk anaknya yang baru dilahirkan. Bu Ulya tahu kalau suaminya sedang berpikir dan memilih nama bagi anaknya, sesekali ia coba membantu dengan menawarkan beberapa nama; “Sarah”, ucapnya kepada guru Nadjmi. Tapi suaminya tak menjawab, hanya memberikan respon dengan bergumam.. “hmmm..”. bu Ulya paham. Ia menawarkan nama lain; “Adelia, bah..”. sejenak guru Nadjmi berhenti berpikir ketika mendengar nama itu. “Adelia namo apo mak? Macam namo orang Belando. Haha.. bu Ulya tertawa dan menoleh kepada anaknya, “aii anak emak dak serupo orang Belando”. Yang lain bae bah”. Sekarang mereka telah sampai di depan rumah, dalam perjalanan guru Nadjmi belum menemukan nama yang cocok. “ageklah mak, abah nak shalat asar dulu”.


108 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Setelah shalat asar, guru Nadjmi mengaji dan membaca surah an-nisa. Surah yang memang menjadi favorit bagi orang tua yang sedang mencari nama anak perempuan. Alasannya sederhana, AlQuran sangat mengistimewakan anak perempuan sehingga diabadikan dalam Al-Quran menjadi salah satu nama surah. Surah An-nisa sudah tamat dibacanya, kemudian kembali ke awal surah. Ia membaca ulang, tepat pada ujung ayat ke empat, “Hani’am Mari’a”, ia berhenti membaca dan membuka tafsiran kalimat tersebut. Sebagian ahli tafsir menggunakan potongan ayat ini untuk menegaskan bahwa apa yang kita hasilkan dari kerja yang halal akan membawa minimal dua hal, yaitu kalau kita makan merasa tenang dan membawa kesehatan dan kesejahteraan.  Berbeda dengan harta yang haram, walaupun makanannya enak, belum tentu membawa mari`a (manfaat yang baik untuk tubuh kita), secara fisik maupun non fisik.  Non fisik seperti dimudahkan badan untuk beribadah dan berkarya mulia. Alhamdulilah.. Hani’am Mari’a. shodaqollahul ‘Azhim, tutupnya. Ia langsung menuju kamar dan memberitahu kepada istirnya, “mak, Hani’am Mari’a”. bu Ulya yang memang sedang menunggu nama terbaik, sangat antusias mendengar nama itu. “artinyo apo bah?”. Guru Nadjmi tak kalah antuisas ketika menjelaskan makna dari nama tersebut. istrinya mengangguk-angguk. Hani’a khusu’ mendengarkan abahnya, tapi tidak mengangguk seperti emaknya. Namun hembusan napasnya menyiratkan bahwa ia juga sepakat dengan nama itu. Sekarang Hani’a telah menjelma menjadi seorang Ibu yang dalam dirinya selalu tertanam spirit An-Nisa. Ibadah dan bekerja bersatu dalam setiap tarikan napasnya dan benar-benar membuktikan bahwa abahnya tak salah pilih memberikannya nama itu.


Fajri Al-Mughni 109 Nasionalisme Seorang Fahruddin Dari dulu, jika mendengar nama Fahrudin, maka otomatis gelora semangat perjuangan muncul seketika. Tersebutkan kisah seorang sultan bernama Muhammad Fahruddin, yang juga bergelar “keramat”, Sultan Keramat. Ia adalah ayah dari Sultan Thaha Saifuddin, sultan terakhir dari kesultanan Jambi. Tahun-tahun terus berganti, perjuangan seorang Fahruddin digantikan oleh anaknya Sulthan Thaha. Tahun 1904 beliau gugur dalam peperangan melawan penjajah. Tentu beliau tidak mungkin hidup selamanya, tapi perjuangannya harus terus berlanjut melalui generasi penerus. Sekira tahun 1915 lahirlah generasi yang siap melanjutkan perjuangannya. Generasi tersebut bernama Fachruddin bin Ibrahim bin Abdul Majid bin Muhammad Yusuf bin Abid bin Jantan gelar sri penghulu. Beliau adalah pamannya guru Nadjmi. Fachruddin sangat ditakuti oleh penjajah. Belanda tak berkutik selama masih ada beliau. Seorang ulama yang sangat keras kepada para penjajah. Orang-orang tidak boleh menuntut ilmu, tapi Fachruddin tak gentar. Ia terus belajar dan menentang para penjajah. Suatu ketika, abahnya yang seorang ulama besar menyarankan agar ia berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu disana. Dengan harapan kelak akan pulang dengan membawa Ilmu dan mengajarkannya kepada para generasi. Setelah kurang lebih 15 tahun di Mekkah, ia merasa harus segera pulang ke Jambi untuk mengabdikan diri. Tapi Allah berkehendak lain, dalam perjalanan pulang dari Mekkah ke Jambi, beliau meninggal dunia. Tepatnya ketika kapal berada di singapura. Mendengar itu, Belanda tepuk tangan. Orang yang mereka takuti telah tiada. ***


110 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Pagi hari, Hani’a sedang asik bermain dengan kakaknya Hidayah di sekitar rumah, abangnya Muhammad Kamal Muhktar datang dari tempat bermain yang berbeda menghampiri dan mengajak mereka pulang. “Hidayah, Hani, balek.. main dirumah bae. Abah samo emak nak ke rumah sakit”. Hidayah yang saat itu sudah berumur Sembilan tahun mulai mengerti dengan kondisi. Ia mengajak adiknya pulang sambil berucap; “balek dek, emak nak kerumah sakit, melahirkan”. 28 September 1975 lahir pula seorang generasi inspirasi Fachruddin yang diberi nama Muhammad Fachruddin Rozi. Bu Ulya tampak sangat bahagia, bukan hanya karena nama yang diberikan oleh suaminya merupakan nama yang sangat kental dengan muatan sejarah, tapi juga karena sang suami selalu ada menemaminya. Saya rasa, jika ini dibaca oleh para suami yang tidak sempat menemani istri melahirkan, pasti mereka akan berharap istrinya hamil lagi dan segera minta cuti. Muhammad Fachruddin Rozi menjadi anak terakhir dari pasangan guru Nadjmi dan Ibu Ulya. Ia merupakan inspirasi dari seorang Nasionalis sejati.


Fajri Al-Mughni 111 VIII Menjadi Umara “Jika dengan menjadi pejabat hanya untuk memperkaya diri, berhentilah”. – Guru Nadjmi


112 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Politisi Hakiki Bersama ibu Ulya, sepak terjang guru Nadjmi menjadi-jadi. Namanya tidak asing dalam dunia pendidikan di tanah melayu Jambi. Ia dikenal sebagai seorang guru yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas. Peduli dengan berbagai persoalan dalam masyarakat. Selama menjadi seorang guru di Madrasah As’ad, ia merasakan keresahan yang mendalam. Baginya, lembaga-lembaga ke-Islaman harus mendapat perhatian lebih dari Pemerintah. Pada waktu itu juga, guru Nadjmi yang telah berkeliling di beberapa Kota di Indonesia dan Luar Negeri, melihat Jambi tak punya Masjid Agung. Dalam hatinya, “harus ada orang yang mempelopori ini”. *** Hari itu, guru Nadjmi pulang lebih awal dari biasanya. Setelah mengajar ia tak lagi mampir ke kantor madrasah, tapi langsung bergegas pulang. Guru Nadjmi tiba dirumah; “Assalamualaikum…” salamnya langsung disambut oleh sang istri. “walaikumsalam… abah sudah balek. Cepat balek hari ko bah..” sambil ia melepaskan tas yang masih tersandang di bahu kiri suaminya. “iyo, abah nak curhat..” Bu Ulya tersenyum mendengar itu. Ia bangga menjadi tempat mengadu sang suami. Tapi kali ini ia penasaran, tak sabar ingin mendengarkan curhatan apa yang hendak dibicarakan oleh suaminya yang tangguh itu. Bu Ulya berjalan cepat dan meletakkan tas


Fajri Al-Mughni 113 suaminya di meja belajar, kemudian langsung ke dapur membuatkan teh hangat dan meletakkan tiga potong pisang goreng dalam piring kecil. Segera ia membawanya kepada suaminya yang masih duduk di kursi ruang tamu. “minum teh dulu bah.. ini pisang gorengnyo enak jugo”. Guru Nadjmi langsung mengambil teh, ditiupnya permukaan gelas yang masih berasap. “bismillahirrohmanirrohim.. srruppp.. hmmm.. subhanallah, enak nian mak tehnyo. Ia jelas tidak bergurau apalagi berbohong. Dari suara seruputannya, teh itu memang enak. Dalam beberapa kesempatan bersilaturahim kerumah guru Nadjmi, saya di suguhkan teh hangat oleh Bu Ulya. Meski tak yakin teh untuk guru Nadjmi sama dengan teh yang ku minum, tapi paling tidak telah saya buktikan bahwa teh buatan Bu Ulya sangat enak. Bu Ulya tersenyum dan berucap; “ah.. abah ngota dak, itu teh biasolah bah”. “iyo nian.. setiap hari teh buatan emak semakin enak”. Bu Ulya tersenyum lagi sambil tangannya mendorong pelan perut suaminya, “abah biso bae. Cubo pisangnyo bah, enak dak? Guru Nadjmi mengambil potongan pisang dan memakannya. “Masya Allah.. sambil mengunyah ia bertanya; “ini pisang apo mak?, ko pisang paling enak yang pernah abah makan”. Bu Ulya benar-benar mengambang dibuatnya. Benar kata pak Sumardi, “kalau pujangga sudah berujar, matahari terbenam, cahaya rembulan memancar”. “itu pisang tanduk bah, tadi dibagi mak ngah Dijah”. “oh.. pantaslah, enak nian”. Mak tau dak, pisang tanduk tu orang barat nyebutnyo Banana Plantain. Bentuknyo serupo tanduk, isi dalamnyo dak lembek, cocok nian kalau digoreng. Khasiatnyo banyak, sehat untuk badan. Asalnyo dari Jawo Barat”. Bu Ulya tertawa lepas mendengar penjelasan suaminya. “emak taunyo abah pakar dalam sejarah-sejarah dunio. Kapan pulak abah bejalar sejarah pisang? Haha”


114 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Kali ini mereka berdua tertawa bersama. Melihat ini, makin menguatkan bahwa bahagia itu mesti diciptakan, tak perlu menunggu media mewah untuk tertawa bahagia. Guru Nadjmi dan bu Ulya cukup menggunakan media teh hangat dan pisang tanduk untuk bahagia dan menghangatkan jalinan romansa rumah tangga. Para pembaca boleh saja iri, tapi kalau mau diterapkan dirumah, tolong jangan dibuat-buat. Rasakan semua masakan istri dengan khidmat penuh khusu’. “kato abah tadi nak curhat, curhat apo bah? “oh iyo, hampir abah lupo gegara pisang ko tadi”. Abah nengok banyak lembaga-lembaga pendidikan ke-Islaman di Jambi ni yang kurang perhatian dari pemerintah. Kito tau bahwa perkembangan syiar Islam harus ditopang oleh sebuah kekuatan yang berpengaruh. Harus ado orang yang memulai dan meggerakkan itu mak”. Bu Ulya menyimak serius. Ia paham maksud suaminya. Ia tahu betul bahwa suaminya adalah seorang pembaharu yang resah melihat kondisi-kondisi seperti itu, terutama tentang perkembangan syiar Islam. “jadi rencana abah mau terimo permintaan dan usulan untuk diusung jadi anggota dewan?” Sebelum ini, dirinya sudah mendengar cerita perihal nama suaminya yang akan diusung menjadi anggota dewan. “iyo rencananyo macamtu”. “iyo bah dak apo-apo, mak selalu mendoakan setiap langkah abah dalam perjuangan”. “terimo kaseh banyak mak.. bismillah, agek abah konfirmasi terkait ini”. *** Tahun 1966, tepat diumurnya yang ke dua puluh delapan, guru Nadjmi memutuskan untuk mendaftar menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat melalui partai Nahdhatul Ulama dan


Fajri Al-Mughni 115 terpilih menjadi anggota DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) Propinsi Jambi. Hadirnya wajah baru dan muda, membawa angin segar bagi para wakil rakyat. Guru Nadjmi ditunjuk menjadi ketua komisi D yang membidangi perhubungan dan pembangunan yang beranggotakan para sepuh yang seumuran dengan abahnya. Diantaranya H. Nur Muhammad, H. Husin Bakri, H. Nawawi, Letnan Kolonel Hartono. Mereka semua bersepakat menunjuk guru Nadjmi menjadi ketua komisi. Tak butuh waktu lama, ia tancap gas dan mengusulkan dua gebrakan penting dan bersejarah. Pertama; ia melihat gedung DPR hanya memiliki satu ruangan saja, namanya ruangan Ampera. Menurutnya, dengan hanya memiliki satu ruangan, tentu akan kesulitan jika akan melakukan rapat-rapat besar. Ia merupakan orang pertama yang berinisiatif merombak gedung tersebut menjadi beberapa ruangan. Gebrakan keduanya; pada waktu itu, Masjid Agung Jambi telah berkali-berkali melakukan ritual peletakan batu pertama, namun tak kunjung di bangun. Sementara dalam Kota Jambi harus ada sebuah Masjid Agung sebagai sarana ibadah utama bagi umat Islam. Melihat kondisi itu, ia mengusulkan bahwa perombakan gedung DPR dan pembangunan Masjid Agung dimasukkan dalam APBD. Usulannya diterima, kemudian dilanjutkan dengan proses peletakan ulang batu pertama. Kali ini, proses pembangunan benar-benar terwujud hingga berdirilah Masjid kebanggan masyarakat Jambi. Sebelum proses itu dilaksanakan, ia membentuk panitia pembangunan Masjid guna memudahkan dalam mengontrol dana masuk dan keluar. Karena dana yang masuk bukan hanya bersumber dari APBD saja, tapi juga dari bantuan-bantuan para donatur. Dalam kepanitiaan, guru Nadjmi diamanahi menjadi wakil bendahara yang ketuanya H. Nurdin Hamzah. ***


116 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Pada tahun 1973, beberapa partai Islam seperti Partai Nahdhatul Ulama, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) dan Partai Muslim Indonesia (PARMUSI) bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Penggabungan keempat partai keagamaan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama pada masa Orde Baru. Para tokoh dan pempinan-pimpinan partai terpikat dengannya. Guru Nadjmi secara otomatis menjadi anggota PPP untuk kemudian menjadi calon anggota DPR. Ia memang dicintai oleh penduduk bumi, menjadi penyambung lidah masyarakat dalam menyuarakan aspirasi. Alhasil, ia kembali terpilih menjadi Perwakilan Rakyat. Dalam kegiatannya menjadi anggota dewan, ia tetap aktif mengajar di madrasah As’ad. Baginya, mengajar merupakan pengabdian yang harus terus dilaksanakan. Pulang ke madrasah ia dipanggil “guru”, di kantor DPR orang-orang menyapanya “kiyai”. Ia memang dikenal sebagai pejabat yang aktif menyuarakan Islam. Ulama dan umara yang hakiki.


Fajri Al-Mughni 117 Di Pinang GOLKAR Tidak ada aktivitas di luar, hari ini Guru Nadjmi santai dirumah, tentu sambil menikmati teh hangat buatan istri dan membaca koran yang memberitakan tentang kisruh di tubuh PPP. Setelah beberapa berita ia tamatkan, di luar rumah terdengar suara mobil berhenti. Ia yakin tamu itu akan menemuinya, tapi tak tahu siapa yang datang. “Assalamualaikum..” “Walaikum salam..” Ketika ia menjawab salam dan melihat siapa yang datang, guru Nadjmi setengah kaget. “Drs. Ashari, apo kabar? Silahkan masuk.. ajaknya sopan. “alhamdulilah kabar baik, Kiyai apo kabar? “alhamdulilah baik jugo.. ini sedang baco koran”. Mendengar guru Nadjmi menyebut koran, Drs. Ashari sebagai pimpinan GOLKAR tersenyum sebagai tanda mengerti dan mengatakan, “pucuk dicinta ulam pun tiba”. Mereka berdua tersenyum seolah-olah telah menyepakati sesuatu, entahlah. “begini Kiyai.. Belum sempat ia lanjutkan kalimat berikutnya, guru Nadjmi memotong; “tunggu dulu.. kito cicip teh bu Ulya”. Ia ke belakang menemui istrinya dan meminta buatkan teh satu gelas lagi. “ha, sampe mano tadi? “Langsung bae ni Kiyai, sayo dan para pimpinan bermaksud meminang kiyai untuk diajukan sebagai calon anggota DPR melalui Golkar”, harapan kami, Kiyai berkenan”. Berulang kali saya katakan, bahwa nama guru Nadjmi sudah sangat dikenal oleh publik. Apalagi bagi tokoh-tokoh politik saat itu,


118 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki semuanya segan dan menghormatinya meski tak se-partai. Dulu, ia menjadi rebutan para gadis, kini ia menjadi idola partai-partai. Guru Nadjmi berpikir beberapa saat, kemudian menjawab ajakan Drs. Ashari; “Pertamo, terimo kasih banyak sudah berkunjung ke kediaman sayo, keduo; sayo tentu tersanjung dengan pinangan kawankawan di Golkar. Namun sayo dak biso ngasih jawaban langsung hari ini. Insya Allah nanti sayo akan komunikasikan perihal ini dulu dengan beberapa kolega dan keluarga. Setelah itu, segera sayo hubungi pak Ashari”. Ia menjawab mantap dengan kalimat yang terus bersambung tanpa putus dan jeda. Drs. Ashari telah kenyang makan asam garam politik, ia tahu betul model komunikasi seorang politikus, lebih dekat ke sastra, kadang bersyair saling taut, berayun-ayun, yang mendengar akan terbuai. Cenderung palsu, membosankan dan sangat tak pasti. Tapi kali ini, ia tidak menemukan unsur itu dalam jawaban guru Nadjmi. Ia bertemu dengan seorang politisi hakiki. “Baik Kiyai, kami sangat mengharapkan kehadiran kiyai” Guru Nadjmi menjawab singkat; “Insya Allah pak” *** Tak banyak komentar dari para sahabat dan rekan beliau di Partai, pada dasarnya mereka sepakat dan tentu selalu mendukung setiap langkah yang diambil oleh guru Nadjmi sebagai orang yang menjadi panutan. Setelah juga berkonsultasi dengan orang yang paling dekat, Bu Ulya, ia memutuskan untuk mengamini pinangan dari Golkar dan mengikuti proses pemilihan. Hasil sesuai dengan prediksi, guru Nadjmi kembali terpilih menjadi anggota DPR.


Fajri Al-Mughni 119 PKB di Hati Guru Nadjmi pindah ke Golkar bukan merupakan bentuk dari pengkhianatan. Pertimbangan itu diambil berdasarkan situasi politik pada saat itu yang mengharuskan ia untuk sementara maju melalui jalur Golkar. Tak lama di Golkar, ia kembali ke PKB. Karena sejatinya, dalam setiap denyut nadinya mengalir darah Nahdhatul Ulama sebagai induk semang dari PKB. Ia dan PKB merupakan saudara kandung. “jika bukan karena cinta, tak mungkin berulang kali terpilih”. Iya kan? Orang-orang di PKB bersyukur beliau kembali. Dengan PKB, ia kembali terpilih untuk menjadi Wakil Rakyat untuk memperjuangkan segala aspirasi mereka. Guru Nadjmi memang cocok di PKB karena darah Nahdhatul Ulama sangat kental dalam dirinya. Sehari setelah lengsernya Presiden Suharto, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) mulai kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok Tanah Air. Salah satunya datang dari Jambi. Usulan yang masuk ke PBNU sangat beragam, ada yang hanya mengusulkan agar PBNU membentuk parpol, ada yang mengusulkan nama parpol. Tercatat ada 39 nama parpol yang diusulkan. Nama terbanyak yang diusulkan adalah Nahdhatul Ummah, Kebangkitan Umat, dan Kebangkitan Bangsa. Karena banyak dan beragamnya usulan yang masuk, maka PBNU mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 3 Juni 1998. Guru Nadjmi turut hadir dalam rapat ini. Forum ini menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima yang diketuai oleh KH Ma`ruf Amin (Rais Suriyah/ Kordinator Harian PBNU), dengan anggota, KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr KH Said Aqil Siroj, M.A. (Wakil Katib Aam PBNU), HM Rozy Munir,S.E., M.Sc. (Ketua PBNU), dan Ahmad


120 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima itu dibekali Surat Keputusan PBNU. Kemudian, setelah semuanya dirembukkan, maka terbentuklah sebuah partai. Usai pembentukan partai, deklarasi pun dilaksanakan di Jakarta pada 29 Rabiul Awal 1419 H atau 23 Juli 1998. Bunyi dalam isi deklarasi tersebut adalah: Bahwa cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia adalah terwujudnya suatu bangsa yang merdeka, bersatu, adil dan makmur, serta untuk mewujudkan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Bahwa wujud dari bangsa yang dicita-citakan itu adalah masyarakat beradab dan sejahtera yang mengejawantahkan nilainilai kejujuran, kebenaran, kesungguhan dan keterbukaan yang bersumber dari hati nurani, bisa dipercaya, setia dan tepat janji serta mampu memecahkan masalah sosial yang bertumpu pada kekuatan sendiri, bersikap dan bertindak adil dalam segala situasi, tolong menolong dalam kebajikan, serta konsisten menjalankan garis/ketentuan yang telah disepakati bersama. Maka dengan memohon rahmat, taufiq, hidayah dan inayah Allah SWT serta didorong oleh semangat keagamaan, kebangsaan dan demokrasi, kami warga Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan ini menyatakan berdirinya partai politik yang bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka dan demokratis yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Atas dasar inilah, Guru Nadjmi tidak ragu untuk memilih PKB sebagai wadah untuk menyiarkan agama yang bernapaskan Islam ahlussunnah wal jamaah.


Fajri Al-Mughni 121 Gus Dur Tak Jadi Marah Kembalinya ia ke PKB membawa harapan baru dan tentunya juga cerita-cerita baru yang selalu dikenang. Suatu ketika, guru Nadjmi berkunjung ke Jakarta dan bersilaturahim ke kantor PBNU. Disana ia bertemu dengan seorang ketua pendeta Protestan Indonesia, Hartono namanya. Melihat kedatangan guru Nadjmi ia langsung menghampiri; “Kiyai, Kiyai.. cepat kesini.. Kiyai sebutan lain bagi guru Nadjmi. Di Jambi panggilan guru sama dengan sebutan Kiyai di Tanah Jawa. Panggilan ini sebagai penghormatan kepada seorang guru, tokoh masyarakat yang dituakan atau dihormati. Guru Nadjmi yang baru datang tentu terkejut dengan sikap pak Hartono. “ada apa pak pendeta? “Gus Dur sedang marah besar, kami sudah mencoba bicara tapi beliau tetap marah”. “jadi, apa yang bisa saya bantu pak pendeta? “Kiyai harus segera masuk dan bertemu dengan Gus Dur” Waktu itu, bagi orang-orang di PBNU, selain guru Nadjmi dikenal sebagai sahabat Gus Dur, ia juga dikenal sebagai orang yang mampu meredam jika Gus Dur sedang marah. Setelah mendengar penjelasan sang pendeta, guru Nadjmi segera masuk ke ruangan Gus Dur. “Assalamualaikum Gus… Gus Dur yang sedang marah tiba-tiba berubah raut wajahnya, ia mendengar suara sahabatnya lalu menjawab; “Walaikumsalam.. hmm.. Kiyai Nadjmi? Silahkan duduk. Disana terjadilah obrolan hangat dua orang yang bersahabat.


122 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Gus Dur Tak jadi marah. *** Kejadian berikutnya terjadi pada masa awal-awal periode diadakannya pemilihan umum pertama. Guru Nadjmi yang telah bergabung ke partai PKB hendak mendaftarkan para calon anggota DPR Propinsi ke KPU. Secara legalitas, berkas-berkas pengajuan itu harus ditanda tangani oleh ketua Tanfiz dan sekretaris. Sementara mereka yang seharusnya bertanda tangan sedang tidak ada ditempat. Maka, berkas-berkas pendaftaran itu ditolak oleh KPU, sementara, waktu pendaftaran tinggal empat hari lagi. Guru Nadjmi bertindak cepat, ia segera melakukan rapat dadakan. Rapat berjalan sederhana namun pasti. Hasil rapat memutuskan bahwa wakil sekretaris langsung ditetapkan menjadi sekretaris. Namun, muncul persoalan baru. Siapa yang akan membawa surat keputusan yang baru ini ke Jakarta dan menghadap Gus Dur selaku ketua PBNU? Semua peserta rapat berpendapat bahwa; jika urusan yang berat dan mendesak seperti itu, maka Kiyai Nadjmi lah yang harus berangkat ke Jakarta untuk menghadap Gus Dur. Karena memang tidak ada lagi solusi yang lain, ia menyetujui keputusan itu dan sore harinya langsung berangkat ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, ia tak langsung ke kantor PBNU. Terlebih dulu mampir ke DPP PKB dan bertemu dengan ketua umum, Dr. Alwi Shihab. Ia disambut langsung oleh ketua umum di ruangannya dan berbincang terkait persoalan yang sedang terjadi di Jambi; “Kiyai Nadjmi.. pada prinsipnya kami setuju-setuju saja. Tinggal lagi kiyai menemui Gus Dur. Karena kunci keputusannya ada sama beliau”. “baik Kiyai, kalau begitu mohon dibantu hubungi Gus Dur”. “hmm.. masalahnya kiyai, saat ini kami tidak ada satupun yang berani menghubungi Gus Dur. Kiyailah yang harus datang langsung menghadap beliau, sebab kami yakin kalau kiyai yang menemui beliau, insya Allah persoalan ini bisa langsung selesai”.


Fajri Al-Mughni 123 Setelah obrolan singkat itu, guru Nadjmi langsung pamit untuk pergi ke kantor PBNU. Setibanya disana, ia melihat pemandangan yang kurang kondusif. Disana, ada banyak perwakilan dari berbagai daerah yang hendak menghadap Gus Dur namun belum ada satupun dari mereka yang diterima. Ia masuk ke ruang tunggu kantor dan melihat ajudan Gus Dur berdiri di ruangan itu. Ajudan yang sudah kenal dengan kiyai Nadjmi langsung menghampirinya; “Kiyai Nadjmi ingin menghadap Gus Dur ya?” “iya, Gus Dur ada?” “ada, kiyai. Tapi mohon maaf sekarang Gus Dur sedang istirahat dan belum bisa ditemui”. Mendegar jawaban itu, guru Nadjmi segera mencari tempat duduk dan menunggu sampai Gus Dur bisa ditemui. Tidak berapa lama ia duduk, ia melihat Lukman, supir pribadi Gus Dur. Lukman juga melihatnya dan langsung duduk disampingnya; “Apa kabar Kiyai? Kiyai mau menghadap Gus Dur ya? “iya man, bisa ndak? “wah.. gawat kiyai.. beliau sedang marah besar. Itu orang-orang di luar semuanya hendak menghadap tapi belum diizinkan, kiyai”. “oh begitu, iya ndak apa-apa.. saya tunggu saja man”. Setelah percakapan singkat itu, Lukman meraih telpon genggamnya dan menghubungi sekretaris Gus Dur, pak Sulaiman namanya. Dalam percakapan melalui telpon, Lukman mengabarkan bahwa ada kiyai Nadjmi di luar ingin menghadap Gus Dur. Tak berapa lama, Sulaiman keluar dan menemui guru Nadjmi sambil menyalaminya; “Kiyai Nadjmi sehat ya.. kiyai ditunggu Gus Dur di dalam”. Ia tak berkomentar banyak dan langsung berdiri ikut bersama Sulaiman masuk ke ruangan Gus Dur. “Assalamualaikum Gus… sapa guru Nadjmi dan menyalaminya.


124 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki “walaikumsalam.. silahkan duduk Kiyai Nadjmi”. “terima kasih Gus.. ada apa gerangan yang terjadi Gus?” Gus Dur langsung bercerita dan menumpahkan segala kemarahannya. Beliau sangat marah karena ada informasi tokoh-tokoh muda di tingkat pusat yang “nakal”. Bagi Gus Dur, tidak ada yang boleh berlaku menyimpang dalam tubuh generasi NU. Setelah Gus Dur panjang lebar bercerita, guru Nadjmi berusaha menenangkan; “iya, sudahlah Gus.. yang sudah terjadi akan kita evaluasi, semoga ke depan tidak terulang lagi. Daripada kita sakit memikirkan itu. Sabar sajalah”. Gus Dur terdiam sejenak. Kemudian bertanya; “oh iya, ada apa kira-kira hajat Kiyai Nadjmi ke sini? Ia menceritakan perihal persoalan teman-teman di Jambi. Setelah mendengar penjelasan itu, Gus Dur menjawab tegas; “ya sudah, mana SK-nya itu? Langsung saya tanda tangani”. Guru Nadjmi terkejut bercampur senang. “wah.. belum ada Gus, tadinya saya mau melaporkan dulu masalah ini. Karena temanteman di DPP belum ada yang berani membuat SK itu kalau belum mendapat persetujuan Gus Dur”. “gini saja, segera kasih tau DPP, buatkan SK-nya sekarang juga, setelah itu bawa ke sini, saya tanda tangani”. Ucap Gus Dur. Guru Nadjmi pamit pulang. Tapi sebelum pulang, Gus Dur bertanya kepadanya; “Kiyai, sebenarnya lebih tua saya atau kiyai Nadjmi?” “Lebih tua sampean Gus..” “oh ya? “iya, lebih tua tiga puluh dua hari”. Haha… Gus Dur tertawa. Mungkin dalam hatinya berkata, “hari ini saya kalah guyon sama kiyai Nadjmi”. Setelah pertemuan itu, semua tamu yang hendak menghadap dipersilahkan masuk satu persatu. Gur Dur tak jadi marah.


Fajri Al-Mughni 125 Tidak Mengambil Gaji Madrasah As’ad sebagai lembaga pendidikan yang berbasis Islam sedang dalam masa keuangan yang sulit. Pihak Yayasan menyadari kondisi ini namun tak mampu berbuat banyak. Menaikkan jumlah pembayaran administrasi kepada para santri tentu bukanlah solusi. Karena pada masa itu, perjuangan untuk bisa belajar disebuah lembaga pendidikan resmi tidak semudah saat ini. Apalagi kebanyakan dari santri berasal dari daerah yang jauh. Mereka harus menempuh perjalanan panjang untuk bisa sampai ke madrasah As’ad. Tahun 1999 ia behenti mengajar karena memberikan kesempatan kepada para guru muda untuk mengabdi. Tapi tentu dengan tidak lagi mengajar bukan berarti ia meninggalkan madrasah, sebaliknya, ia justru diamanahi sebagai pengelola bidang pembangunan, Tanpa SK. Dengan begitu, ia menjadi paham bagaimana kondisi keuangan yang sulit. Demi syiar Islam di Tanah Melayu Jambi, ia terus berusaha membantu. Bantuan itu sebenarnya telah lama dilakukan ketika masih aktif menjadi guru, dengan tak pernah mengambil gaji. Kini, setelah menjadi anggota DPR, ia memberikan gajinya untuk membantu madrasah As’ad. Usaha ini cukup membantu para pengelola bernapas untuk bisa mengusahakan solusi lainnya. Kebijakan ini tidak hanya ia terapkan di As’ad, tapi juga di MTsIN dan MAIN. Waktu itu, Pak Abdul Latif sebagai kepala sekolahnya. Guru Najdmi mengahadap beliau dan mengutarakan bahwa gajinya silahkan digunakan untuk membantu pembangunan sekolah. Kebijakan ini tak pernah ia kampanyekan sewaktu masih sebagai calon anggota Dewan. Bahkan banyak dari kalangan guru dan pengelola sendiri tidak tahu tentang ini. Baginya, ini tak perlu. ***


126 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Saya sempat kagum kepada banyak para calon anggota-anggota Dewan abad ini. Atau siapapunlah yang hendak menjadi pemangku kebijakan. Kagum karena mereka berjanji akan memberikan gajinya jika terpilih. Saya pikir bahasa “jika terpilih” ini menunjukkan bahwa masih labilnya keimanan mereka. Menurutku, mereka harus segera menyempurnakan imannya dan mengganti dengan, “terpilih atau tidak, maka ku hibahkan gajiku”. Jika ditanya, kalau tak terpilih gaji mana yang dihibahkan? Entahlah. Begini, belajar dari guru Nadjmi, bahwa ia telah mencalonkan diri menjadi anggota Dewan berkali-kali, dengan hasil setiap kali mencalonkan, terpilih tanpa janji seperti tadi. Ini bukti bahwa Allah telah mengaminkan setiap niat ikhlasnya dalam mengabdikan diri.


Fajri Al-Mughni 127 Bersiap Mengabdi ke As’ad Tahun 2009 Guru Nadjmi tidak mau lagi maju dalam pemilihan calon Wakil Rakyat. Akhirnya, 2010 ia benar-benar pensiun dari anggota Dewan. Tentu keputusan ini bukan tanpa alasan. Jika melihat semangat perjuangan sang guru, hanya ajal yang bisa menghentikannya, karena Ia merupakan manusia tangguh yang tak bisa dihentikan oleh kondisi apapun. Jadi, mengapa ia memutuskan tak lagi maju? Di penghujung tahun 2009, alam mulai tak stabil, cuacanya berubah diluar prediksi, musim pun berganti sekehendak maunya, tidak lagi mengikuti kebiasaan. Orang-orang tua yang biasanya menjadi tempat bertanya terkait musim tak lagi berani memberikan fatwa. Katanya, “kalau dulu, harusnya sekarang masih musim kemarau, tapi nyatanya hujan turun setiap hari”. Pun jika tiba musim banjir, tanda-tanda alam memberi tahu. Kini, bangun dari tidur, air sudah sampai pada anak tangga paling atas. Sejalan dengan itu, ketika guru Nadjmi sedang menikmati jagung rebus sambil memandangi cucu bermain di halaman depan rumah, ia kedatangan tamu. Mudah ditebak, tamunya merupakan utusan Partai Amanat Nasional (PAN). Logo PAN terpampang jelas di pintu mobilnya. Tamu itu disambut hangat oleh sang guru. Seperti biasa, mereka dijamu dengan teh hangat, kali ini plus jagung rebus manis. Manisnya asli, bukan produksi dari orang-orang yang menciptakan diabetes. Ketika turun dari mobil, ternyata utusan itu sudah sangat kenal dengan guru Nadjmi, namanya pak Sjafri Sopian, salah satu anggota DPR dari Fraksi PAN. Guru Nadjmi bertanya; “Ado hajat apo Uda Sjafri datang berkunjung ni?


128 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Sebelum membaca jawabannya, patut saya jelaskan sedikit bahwa Uda Sjafri yang dimaksud bukanlah uda Indra Sjafri pelatih Timnas Indonesia. Hanya kebetulan saja duo Sjafri ini sama-sama berasal dari Sumatera Barat. Uda Sjafri yang anggota Dewan memang suka sepak bola, tapi uda Sjafri sang pelatih nampak-nampaknya tak suka dengan politik. Tapi entah jugalah jika nanti ia tidak lagi dipakai menjadi pelatih. Saya harap itu jangan terjadi. “Saya cuma rindu sama Kiyai, ingin bertanya-tanya seputar politik, dak banyak Kyai”. Tuturnya. “oh.. sayo dak heran kalau uda rindu, karena banyak yang begitu..” gurau sang guru. Sjafri Sopian tertawa. “Iya Kiyai.. jadi bersambung lagi nih, pada pemilihan tahun depan kira-kira Kiyai maju lagi dak?” Sekarang gantian guru Nadjmi yang tertawa. Sebenarnya bukan karena lucu, tapi karena heran mengapa muncul pertanyaan itu. Secara alur politik, beliau dan uda Sjafri berbeda partai, tidak akan ada persaingan antara mereka. Tidak ada urusan dengan PAN jika ia maju atau tidak. Tapi ia tetap menjawab; “Kalau melihat kondisi alam yang sekarang kurang bersahabat, sayo sepertinyo dak maju lagi, uda. Takut nanti ikut-ikutan tak beraturan seperti musim saat ini”. Uda Sjafri sejenak mencerna maksud dari tuan guru. Tapi karena ia telah lama mengenal sang guru, tak butuh waktu lama, ia paham maksudnya. “Nah, kalau begitu jawaban kiyai, sayo jugo mungkin dak ikut lagi, kiyai”. Guru Nadjmi baru sadar ternyata uda Sjafri datang meminta fatwa. Karena dia juga merasakan hal yang sama dengan guru Nadjmi. ia puas mendengar jawaban sang guru. “eh diminum tehnyo uda.. jagung rebusnyo jugo di makan”. Uda Sjafri mengangkat gelas teh yang tidak seberapa panas lagi. “Sruuppp… hem ini teh dari mano kiyai?” “ini teh bu Ulya”, haha.. mereka tertawa. Jawaban itu muncul bukan diniatkan bercanda, hanya saja ia tidak benar-benar


Fajri Al-Mughni 129 tahu dari mana asal teh itu. Sekali ini tidak perlu saya jelaskan panjang lebar mengapa muncul pertanyaan semacam itu. Singkat saja, itu hasil racikan tangan hangat bu Ulya. Andai saja uda Sjafri seperti Gus Anwar, sahabatnya waktu di Jakarta, pasti ia minta dibuatkan lagi untuk minum diperjalanan. *** Alasan kedua mengapa guru Nadjmi tidak lagi maju; “sekarang sudah saatnya saya fokus mengelola Yayasan Pondok Pesantren As’ad”.


130 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki


Fajri Al-Mughni 131 IX Sebuah Amanah “Kalau benar ingin berbuat, maka tak perlu Surat Keputusan. Lakukan saja dengan ikhlas dan penuh ke-syukuran”. – Guru Nadjmi


132 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Amanah Pertama Sebenarnya, setelah abahnya, tuan guru K.H Abdul Qadir Ibrahim meninggal dunia pada tahun 1970, guru Nadjmi telah diamanahi sebuah tanggungjawab di Madsarah As’ad. Sebuah lembaga yang memang selalu menjadi motivasi perjuangannya selama ini. Hanya saja, karena waktu itu beliau masih aktif menjalankan organisasi dan menjadi wakil rakyat, beliau belum diamanahi untuk menjadi ketua, tapi diminta untuk mengelola bagian pembangunan Pesantren. Sebenarnya pihak pengelola bersepakat akan mengangkat KH. Muhammad Hasan Qadir atau yang akrab disapa guru Hasan sebagai pengganti guru Qadir, namun karena beliau masih menjalani proses pendidikan di Jogja, maka untuk sementara waktu, K.H. Nurdin Abdul Ghoni atau guru Nurdin bersedia untuk menjadi ketua selama dua tahun (1970-1972). Setelah guru Hasan menyelesaikan pendidikannya dan pulang ke Jambi, guru Nurdin kemudian menyerahkan tugasnya sebagai pemimpin kepada guru Hasan. *** Guru Nadjmi sedang bersiap berangkat ke madrasah. Di dapur, bu Ulya membuatkan suaminya sarapan ubi goreng. Sebelum digoreng, ubi itu direbus, direndam pakai bumbu racikannya sendiri. Kamal kecil melihat itu, “ngapo direbus dulu mak?” sambil meracik bumbu emak menjawab, “biak meresap bumbue”. Entah paham atau tidak, Kamal mengangguk dan meninggalkan emaknya. Guru Nadjmi sedang bersiap ke madrasah, hari ini ia dipanggil oleh para pimpinan. Setelah dirasa siap, ia keluar kamar dan berjalan ke ruang tamu. Disana, bu Ulya telah duduk menunggu suaminya.


Fajri Al-Mughni 133 “sarapan dulu bah.. mak buat ubi goreng”. “wah.. ubi apo namoe ko mak? “ubi goreng Ulya” Guru Nadjmi tersenyum sambil mengayunkan tangannya mengarahkan ubi ke mulut. “subhanallah.. enak nian ubi goreng ko mak, dak samo dengan ubi-ubi goreng yang lain”. Sekarang gantian istrinya yang tersenyum. “mak tau dak, ubi tu asal muasalnyo dari Amerika Selatan, tumbuh liar di hutan-hutan” “ai mak.. alangkah jauhnyo bah.. camano pulak mako sampe ke Seberang ko?” “dulu, orang-orang Portugis yang bawak, pado abad ke 16. Pertamo kalinyo orang Portugis nanam ubi tu di Maluku”. Jauh sesudah itu, sekitar tahun lapan belas limo puluhan, ubi mulai dikenalkan di Jawo, kalu dak salah di Jawo Timur mak. Orangorang Jawo mulai banyak nanam ubi. Tapi kiro-kiro tahun tujuh puluhan, di Jawo orang lah mulai dak lagi nanam ubi, dak taulah ngapo, abah lupo. Tapi, ubi mulai dikenal sampai ke daerah-daerah lain, temasuklah di Sumatera. Camtu ceritoe mak”. Bu Ulya menyimak khusu’ cerita suaminya, tersenyum, kagum, tapi rasa-rasa tak percaya. “mak kiro orang Amerika dak tau dengan ubi ko bah, rupoe dari sano asalnyo”. “itulah mak, pagi ko abah seraso jadi orang Barat”. Haha.. suami istri itu tertawa lepas. Semakin romatis. “masih ado lagi ubi ko tadi mak?, kagi abis, Kamal belum nyicip”. “ado masih, abah habisilah”. “kalu mak makso, yolah abah makan”. Sarapan ditutup dengan secangkir teh hangat, tak habis. Tapi bu Ulya paham, nanti sepulangnya sang suami dari madrasah, teh itu diulanginya. “lah, abah pegi dulu yo.. guru Yusuf lah nunggu mungkin”


134 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Prediksi Abahnya Terbukti Sesampainya di madrasah, beberapa orang pimpinan telah datang lebih dulu. Mereka memang sedang menunggu guru Nadjmi. “Assalamualaikum.” Guru Nadjmi masuk kantor ruangan pimpinan madrasah. “walaikumsalam.. masuk guru..” jawab para pimpinan. Disana telah hadir K.H. Muhammad Yusuf, K.H. Nurdin A. Roni, K.H. Abdullah, K.H. Ismael Yusuf, K.H. Ibrahim H. Muhammad, K.H. Bahman Toyyib. Guru Yusuf memulai percakapan; “camano urusan di DPR guru?” “alhamdulilah beberapo urusan sudah selesai guru, yang lainnyo masih dalam tahap proses pengerjaan”. “alhamdulilah.. jadi macamko guru.. mulai hari ko urusan pembangunan dan keuangan Madsarah As’ad kami serahkan kepado guru Nadjmi”. Mendapat amanah itu, guru Nadjmi tidak mungkin menolak. Karena hal tersebut merupakan sebuah amanah yang memang harus dan wajib ia laksanakan. Sebenarnya, baik dengan adanya amanah atau tidak, ia telah lama menghibahkan diri dan berazam dalam hati akan mengabdi untuk Madrasah As’ad. *** Semenjak itulah, guru Nadjmi masuk dalam jajaran pimpinan yayasan madrasah yang khusus membidangi segala urusan administrasinya. Amanah ini tentu tidak disia-siakan olehnya. Pada tahun 1971 kerja guru Nadjmi mulai nampak. Keberhasilan pertama yang


Fajri Al-Mughni 135 dicapainya adalah merenovasi gedung utama yang terletak di depan, yang sekarang di atasnya bertuliskan “Ma’hadul As’ad” menggunakan font Arab, menjadi dua lantai. Mungkin tak banyak yang tahu bagaimana kisah guru Nadjmi bisa mendapatkan dana membangun gedung itu. *** Guru Nadjmi yang telah berkantor di As’ad, suatu hari pernah dikunjungi oleh Drs. Ashari, Wali Kota Jambi pada masa itu. Ia bertanya kepada guru Nadjmi; “Kiyai, apo kiro-kiro yang dibutuhkan oleh As’ad sekarang ini” Guru Nadjmi yang mendengar itu tidak tahu harus memberikan jawaban apa. Karena menurutnya, sangat banyak yang dibutuhkan untuk perkembangan madrasah, tapi tidak mungkin ia jawab semua hal yang dibutuhkan. Pikirnya, “malu pulak jika disebutkan semua”. Setelah beberapa saat berpikir, ia memberikan jawaban; “Itu pak Wali, kito sedang kekurangan gedung untuk belajar para santri”. “Baik Kiyai.. sayo masukkan dalam APBD”. Guru Nadjmi tentu kaget mendengar ini, tapi bahagia. Seingatnya, ia tidak pernah mengajukan proposal terkait pembangunan apapun. Sesekali terlintas dalam pikirannya tentang pesan abahnya, bahwa “setiap keikhlasan seseorang dalam mengemban amanah, dengan izin Allah segala urusan akan dipermudah. Kelak Nadjmi akan melanjutkan perjuangan abah mengelola dan melanjutkan perjuangannya”. Tidak berapa lama setelah pertemuan itu, ajudan Walikota mengkonfirmasi bahwa dana untuk pembangunan gedung akan segera dicairkan. Pembangunan itu menjadi awal mula berkembangnya Madrasah As’ad, atau kini dikenal dengan Ponpes As’ad. Tak tanggung-tanggung, pembangunan pertama dibawah kepemimpinannya, langsung di bangun sebelas kelas.


136 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki *** Bantuan belum berhenti, karena memang baru saja dimulai. Suatu ketika, setelah guru Nadjmi dan para pengelola menutup rapat bulanan, ia kedatangan tamu seorang Ajun Komisaris Besar Polisi, namanya Pak Saut Hutabarat. Ia disambut hangat oleh guru Nadjmi dan dipersilahkan duduk. Mereka berdua larut dalam obrolan. Pak Saut banyak bertanya tentang politik, berbagi kisah tentang pengalaman, juga sedikit banyak ia bertanya tentang agama Islam. Pak Saut seorang Kristiani yang taat. Tapi ia senang dengan pola umat Islam dalam menyembah Tuhan dan juga sangat gemar bersilaturahim. Setelah sekira satu jam bercerita, Ia izin pamit. Sebelum meninggalkan As’ad, ia bertanya; “guru, apa kira-kira yang bisa saya bantu untuk As’ad ini?” “hmm.. terimo kasih pak Saut sudah peduli.. alhamdulilah untuk gedung kelas, kantor dan gedung lainnya untuk sementara ini sudah cukup pak. Cuma mungkin halaman kami yang di depan tanahnya belum rata, lekoknya agak dalam. Rencana kami mau nimbun itu”. Jawab guru Nadjmi. “oh.. itu saja guru? Kata pak Saut. “untuk sementaro, itulah dulu pak Saut”. Dalam hati sebenarnya tentu masih banyak yang dibenahi. Hanya saja, tak etis pulak kalau semuanya disebutkan. “ah.. kalau itu, bereslah guru. Nanti ku selesaikan. Saya izin pamit dulu guru ya” Guru Nadjmi mengucapkan terima kasih kepada pak Saut. Terkait tawaran bantuan tadi, tidak terlalu ia pikirkan. Andai nanti bantuan itu terealisasikan, ia bersyukur. Jikapun tidak, juga tak mengapa. Kabar itu pun tidak diberitahu kepada pimpinan dan pengelola lainnya. Keesokan harinya, masih pagi, sekira jam 10. Ia dikejutkan oleh serorang santri Aliyah, sudah menjadi pengurus, datang mengahadap, hidungnya kembang-kempis, napasnya cepat, macam orang habis dikejar hantu belau.


Click to View FlipBook Version