The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini diangkat dari kisah nyata tentang kehidupan, perjuangan dan perjalanan panjang seorang guru, kyai dan ulama sekaligus umara, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajri Al-Mughni, 2023-07-10 10:55:13

NADJMI; Guru Sejati dan Politikus

Buku ini diangkat dari kisah nyata tentang kehidupan, perjuangan dan perjalanan panjang seorang guru, kyai dan ulama sekaligus umara, K.H. Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim

Keywords: Guru Nadjmi

Fajri Al-Mughni 37 DPR abad ini seperti guru Qadir. Guru Qadir tidak pernah marah jika Nadjmi kecil mendekatinya saat sedang bekerja atau sibuk. Karena menurutnya, itulah bentuk pengajaran yang ia lakukan. Pada hakikatnya, melihat, membaca, mendengar dan merasakan adalah pembelajaran. Beliau membiarkan Nadjmi kecil menyaksikan semua proses perjuangannya. Guru Qadir terus bercerita menyesuaikan tema yang diinginkan Nadjmi kecil. Sesekali beliau tersenyum bangga mendengar pertanyaan anaknya. Ia yakin Nadjmi akan tumbuh menjadi generasi yang tangguh, serba bisa dan melanjutkan pengabdiannya. Sambil terus bercerita, guru Qadir tidak sadar kalau anaknya telah tertidur. “hmmm.. lah tiduk ruponyo anak abah”. Guru Qadir bangkit, menggendong Nadjmi dan membawanya masuk ke kamar. *** Tarhim subuh mendayu-dayu menemani orang-orang Seberang yang hendak memulai aktivitasnya. Sebagian dari mereka akan pergi ke langgar ketika azan, sementara sebagian yang lain telah menunggu di langgar sambil mengaji dan berdzikir. Seperti biasa, setelah shalat subuh guru Qadir membuka kitab, jamaah langgar mengambil posisi dan siap mendengar pengajian. Di luar langgar cahaya pagi telah memancar, tak sabar menyaksikan perjuangan guru Qadir dalam menjalani hari. Cahaya pagi terang-terangan tanpa malu menjemput siang, walau sebenarnya berat meninggalkan gelap yang di dalamnya penuh dengan dzikir ulama-ulama Seberang. Pukul enam lewat pengajian selesai dan diakhiri dengan musafahah sambil diiringi shalawat nabi. Setibanya dirumah, di depan pintu guru Qadir disambut oleh Nadjmi dengan pertanyaan; “Abah jadi hari ko ke DPR? Guru Qadir tersenyum dan menjawab; “Insya Allah jadi, anak abah besiaplah, hari ko belajar apo di madrasah?


38 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Sambil berjalan masuk kerumah, Nadjmi menjawab singkat; “hari ko belajar fiqih samo tasawuf bah”. Pukul 07.20 mereka telah siap berangkat. Hari itu guru Qadir menggunakan kemeja biru langit, dasi hitam dengan corak garisgaris putih kecil menyilang, jas hitam, celana hitam, kopiah hitam sedikit miring ke kanan. Rapi dan gagah. Nadjmi tak kalah rapi, ia menggunakan baju teluk belango putih, kain sarung biru tua dengan corak kotak-kotak putih, kopiah hitam dan memegang dua kitab. Setelah berpamitan dengan emaknya, mereka berangkat. Guru Qadir mampir sebentar ke madrasah untuk mengantar Nadjmi dan memberi tahu kepada guru-guru bahwa ia ada rapat di DPR. Nadjmi sejak kecil telah memiliki banyak perencanaan. Penuh dengan rasa penasaran dan keingintahuan yang lebih dibandingkan anak-anak se-usianya. Pulang dari madrasah, ia merasa waktunya masih harus diisi lagi dengan aktivitas yang bermanfaat.


Fajri Al-Mughni 39 Masuk SD Nadjmi merasa bosan. Setelah proses belajar mengajar di madrasah selesai, tanpa sepengetahuan abah dan emak, ia pergi ke SR (Sekolah Rakyat) Nomor 8 yang berada tidak jauh dari tempatnya mengaji (Pondok Pesantren As’ad). Disana ia menemui seorang guru; “nah, Nadjmi nak kemano nak?” Guru-guru di SR telah mengenal Nadjmi, karena guru Qadir memang sering mengajaknya dibeberapa kegiatan. Sebenarnya, Nadjmi tidak pernah tahu kalau ia telah dikenali orang banyak. Ia pun tak pernah berpikir mengapa orang-orang mengenalnya. Yang ia tahu bahwa namanya adalah Nadjmi, baginya wajar saja ketika bertemu orang-orang memanggil dan menyebut namanya. “sayo nak ikut sekolah disiko guru, boleh dak?” Pertanyaan ini tentu membuat guru-guru di SR No 8 terkejut. Mereka tahu bahwa Nadjmi sekolah di As’ad. Lagi pula, Nadjmi datang ke sekolah tidak diantar oleh siapapun. Nadjmi kecil tak paham birokrasi pendaftaran sekolah, di kepalanya hanya ada, “saya ingin sekolah”. “ha, kau nak sekolah disiko jugo? Samo siapo datang tadi?” Nadjmi menjawab singkat; “iyo”, “deweklah guru”. Guru itu membawa Nadjmi kecil ke kantor. Ia memberi tahu kepala sekolah, Tuan Guru Hasan Ja’far dan guru-guru lainnya tentang hajat Nadjmi. Sebagian guru menanggapi santai, mereka berpikir mungkin maksud Nadjmi sekolah adalah bermain bersama anak-anak di SR. Kepala Sekolah memperhatikan anak yang berada dihadapannya dengan penasaran. Setelah beberapa menit berpikir, ia mengizinkan Nadjmi untuk ikut sekolah. Guru Hasan Ja’far mengusap kepala Nadjmi sambil mengatakan sesuatu;


40 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki “yolah, Nadjmi masuk kelas be yo..”. Kemudian beliau meminta salah satu guru untuk mengantar Nadjmi masuk ke kelas tiga. Para guru tidak heran dengan instruksi itu. Pikir mereka, pak kepala pasti sedang tak serius. Nadjmi senang bukan main, karena ia akan mendapatkan pengalaman dan teman-teman baru. Hari pertama, Nadjmi mengejutkan guru yang mengajar. Kemampuannya berinteraksi dengan teman-teman tak seperti anak baru lainnya. Ia langsung mampu beradaptasi. Tidak kalah mengejutkan, pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh guru mampu ia tangkap dengan baik, sama seperti murid lama. Hari kedua Nadjmi datang lagi dan langsung masuk kelas yang sama. Setelah kelas selesai, guru kelas menemui kepala sekolah dan menceritakan tentang murid barunya itu. Kepala sekolah tersenyum, prediksinya tentang anak baru itu terbukti benar. Nadjmi memang ingin sekolah, bukan sekedar bermain. Mulai hari itu, Nadjmi resmi menjadi murid di SR No. 8. Makin hari Nadjmi semakin menampakkan kelebihannya, ia tidak hanya aktif di sekolah, tapi juga mampu berkomunikasi dengan masyarakat, layaknya seorang mahasiswa yang sedang magang. Puncaknya ketika Nadjmi berada pada kelas lima. Ia mengejutkan orang banyak, terutama para guru dan kepala sekolah. Bersama beberapa orang temannya yang berasal dari sekolah lain, mereka Membentuk Persatuan Pelajar Seberang Kota (PPSK). Program pertama mereka adalah mengusulkan kepada Walikota Jambi, Raden Soedarsono, agar memberikan uang saku kepada para siswa di Seberang yang sekolah di kota Jambi, begitu juga dengan siswa yang berasal dari Kota Jambi yang sekolah di Seberang. Dan Guru Nadjmi sebagai juru bicaranya. Usulan ini diterima dan dikabulkan oleh Walikota. Di penghujung semester, Nadjmi membuktikan bahwa ia layak berada di kelas tiga. Nilai rapotnya paling tinggi. Pendatang baru yang juara satu sampai tamat. Kepala sekolah merasa bangga, tentunya ia juga paling berjasa dan sekaligus menepis keraguan para guru.


Fajri Al-Mughni 41 Sekolah di SMEP dan Lanjut ke SMEA Enam tahun berlalu, Nadjmi kecil beranjak remaja, kepribadiannya mulai terbentuk. Ia telah menamatkan sekolah di madrasah As’ad dan Sekolah Rakyat dalam waktu bersamaan. Aktivitas abahnya semakin padat, beliau sering berangkat ke Jakarta membawa aspirasi masyarakat Jambi untuk diperjuangkan. Di Jakarta, beliau sering bertemu dengan para ulama dari kalangan NU, berdialog membicarakan berbagai macam persoalan umat. Oleh karena itu, Nadjmi remaja tertarik untuk melanjutkan sekolah disana. Tapi Hj. Zainab belum mengizinkan. Pikirnya, “jauh nian anak emak sekolah disano”. Nadjmi tak banyak protes, akhirnya ia melanjutkan pendidikan di Jambi, di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Tak hanya berani mencoba ilmu dan pengalaman baru, bahkan mendaftar ke SMEP pun ia berangkat sendiri dengan mengayuh perahu menyeberangi Sungai Batanghari. Keinginannya untuk menimba ilmu-ilmu umum sempat diragukan oleh abah dan emaknya. Tapi setelah melihat kemauannya, ia diizinkan untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Namun begitu, ia tetap melanjutkan pelajaran agama dirumah bersama abahnya. Abah tidak hanya memberikan pelajaran melalui kitab-kitab, tapi juga melalui media dan pendekatan yang lain. Beliau menanamkan pendidikan Islam di meja makan, di ruang tamu, di dapur, di kamar, bahkan setiap gerak-geriknya, menjadi guru bagi Nadjmi. Terbukti, ia menjadi seorang pelajar yang berprestasi tanpa meninggalkan identitasnya sebagai seorang santri. Teman-teman dan para guru memberi penilaian lebih, ia “berlagak” seperti seorang santri, tapi pola pikir dan cara pandangnya bak seorang diplomat. Suatu hari, Nadjmi berniat menemui kepala sekolah dan mengutarakan keinginannya untuk membentuk organisasi baru di


42 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki sekolahnya. Sebelum datang menghadap, kepala Sekolah telah menerka-nerka apa hajat sang diplomat itu. Ia tahu bahwa muridnya yang satu ini memiliki visi dan misi yang jauh ke depan. Ia sempat berpikir bahwa Nadjmi akan mengusulkan kegiatan-kegiatan baru dalam acara perpisahan sekolah nanti. Tapi setelah bertemu dan mendengarkan usulan dari Nadjmi, kepala sekolah terkejut. Karena ternyata usulannya sama sekali bukan berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang selama ini dilaksanakan di sekolah. Namun, Nadjmi mengusulkan untuk membentuk Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama (IPNU) Provinsi Jambi. Usulan itu langsung di sepakati oleh kepala sekolah dan para guru. Muhammad Nadjmi Qadir langsung ditunjuk untuk menjadi ketuanya dan sekretarisnya Aminullah Amit, yang sekarang menjadi ketua Baznas Provinsi Jambi. *** Setelah menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama, abah dan emaknya kembali menawarkan untuk menjadi santri di madrasah. Sekali lagi, Nadjmi remaja ingin melanjutkan sekolahnya di Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) pada Yayasan Sembilan Lurah. Waktu itu belum negeri. Kali ini, ia pun diizinkan. Setelah menjalani semua proses pendidikan selama satu tahun di SMEA Sembilan Lurah, muncul keinginannya untuk pindah sekolah ke Jakarta. Hj. Zainab bertanya; “ngapo nak pindah ke Jakarta nak? “sayo ingin mendapat pengalaman baru mak”. Setelah melakukan mediasi dan pertimbangan-pertimbangan, Nadjmi diizinkan pindah ke Jakarta. Nadjmi berangkat. Seperti yang pernah ia lakukan ketika mendaftar di SR dan SMEP, sekali lagi ia pergi sendiri ke SMEA Negeri 2 yang berada di Jalan Baru, depan stasiun gambir, Jakarta, untuk mendaftar. Oleh pihak sekolah, berkas pendaftarannya belum diterima, karena sekolah sebelumnya belum berijazah Negeri. Informasi tersebut tidak membuatnya patah semangat untuk belajar di Ibu Kota. Nadjmi kemudian mendaftar di SMEA PSKD, dan


Fajri Al-Mughni 43 diterima. Ketika sedang menunggu bus di halte, ia bertemu dengan pak Kesmat, seorang Kepala Kas Negara Republik Indonesia saat itu. Mereka tidak pernah kenal dan bertemu sebelumnya. Dalam obrolan singkat, pak Kesmat bertanya tentang asal usul Nadjmi. “Dari mana asalnya nak?” “Dari Jambi pak, Seberang Kota” “Oh.. saya banyak kawan dan sahabat di Jambi, Kiyai Qadir, juga berasal dari Seberang Kota Jambi”. “Iya pak, itu abah saya”. “hah.. siapa namamu?” “Muhammad Nadjmi Qadir, pak”. Setelah mengetahui asal usulnya, ia kembali bertanya tentang tujuannya ke Jakarta. “Ada hajat apa ke Jakarta?” “Saya mendaftar pindah sekolah ke SMEA 2, tapi ditolak karena sekolah asal saya belum negeri, pak” Mendengar itu, pak Kesmat tiba-tiba menutup pembicaraan dengan menyuruh Nadjmi untuk datang lagi ke SMEA 2 dan menghadap Kepala bagian Tata Usaha (TU) Sekolah. Setelah hari itu, ia tak pernah lagi bertemu dengan pak Kesmat. Sebenarnya Nadjmi kurang yakin dengan anjuran itu, tapi karena ia memang ingin sekolah di SMEA 2, keesokan harinya ia kembali ke sekolah menemui kepala bagian TU. “Assalamualaikum..” “walaikum salam”.. iya, ada apa? “saya Nadjmi pak, ingin menanyakan tentang berkas permohonan pindah sekolah yang kemarin pernah saya masukkan”. Mendengar itu, Kepala TU menghentikan kesibukannya dan melihat kepada anak yang baru datang. “oh, kamu Nadjmi.. ya sudah, hari ini kamu langsung bisa masuk kelas, bergabung dengan teman-teman”.


44 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Nadjmi merasa tak percaya, tapi ia yakin bahwa ini merupakan realitas kehidupan sebagai buah dari silaturahim. Nadjmi resmi menjadi murid di SMEA Negeri 2, sekolah yang dipimpin oleh Pak Khairul Ishak. *** Di ibu kota, Nadjmi tetaplah seorang santri. Hiruk pikuk kehidupan kota besar tidak memberinya pengaruh. Waktu itu Jakarta memang belum “sepanas” sekarang ini. Alamnya sejuk dan masih bersahabat dengan iman. Presiden Soekarno membuat kebijakan hebat, tidak ada satupun para pelajar yang diizinkan untuk mengikuti pola hidup para penjajah. Semua masyarakat terutama pelajar harus berpenampilan sama, tidak boleh ke sekolah atau kampus menggunakan mobil, motor. Yang hanya diizinkan adalah sepeda. Di Jakarta, Nadjmi tidak lalai dengan shalat, dzikir-dzikir yang diajarkan abah dan guru-gurunya tetap menjadi idola di tengah-tengah nyanyian Kota. Baginya, sekali santri tetap santri. Pola komunikasinya sangat berbeda dengan teman-temannya di sekolah. Nadjmi pandai bertutur dan etikanya di atas rata-rata. Di sekolah Nadjmi menjadi idola. Bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena akhlaknya yang luhur. Teman-temannya yang perempuan berebut cari perhatian. Semua salah tingkah jika bertemu Nadjmi. Di kelas, Nadjmi adalah bintangnya. Di kantin, semua berbisik-bisik menyebut namanya, “eh Nadjmi datang, Nadjmi datang” bisik para gadis SMEA. Yang tadinya makan dengan lahap mendadak santai seolah tak lapar. Yang posisi duduknya tak sopan, berubah menjadi sok lugu. Yang es tehnya sudah habis, pesan satu gelas lagi. Yang makan nasi uduk pakai tangan, ganti sendok. Yang berkeringat, tisu segulungan habis mubazir. Yang tadinya ngerumpi, mendadak ganti tema pelajaran kimia. Padahal belum pernah ada sejarahnya di kantin para siswa ngomongin rumus kimia. Yang pakai kacamata, langsung melepas kacamata pura-pura tidak ada masalah dengan matanya.


Fajri Al-Mughni 45 Nadjmi pesan makanan dan bergabung dengan teman-teman yang laki-laki. Mereka berucap kepada Nadjmi; “eh mi, itu cewek-cewek liatin kamu dari tadi” Nadjmi tersenyum, tak hirau. Sambil menjawab sekenanya, “mereka ngeliatin menu baru, bukan saya”. “ah, kamu pura-pura gak tau. Kata Anton, andai saja dia perempuan, pasti suka sama kamu”. Mendengar itu, Nadjmi dan teman-temannya tertawa. Melihat Nadjmi dan teman-temannya tertawa, para gadis SMEA 2 yang di kantin merubah posisi duduknya masing-masing sambil berucap dalam hati, “jangan-jangan mereka ngomongin aku”. Dua tahun berikutnya, Nadjmi tamat dari SMEA 2. Dua tahun bukan waktu yang lama, tapi nama Nadjmi begitu berkesan bagi para guru dan teman-temannya, wabil khusus teman-temannya yang perempuan. Sebaliknya, bagi Nadjmi tidak ada kekhususan semacam itu, kecuali ilmu dan pengalaman.


46 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Menjadi Mahasiswa Nadjmi remaja mulai beranjak dewasa, kini ia telah menjadi mahasiswa di UNAS, (Universitas Nasional) Jakarta, Fakultas Sosial Ekonomi Politik. Pada angkatan itu, Ia menjadi satu-satunya mahasiswa yang berasal dari Jambi. Secara fisik dan penampilan, Nadjmi dewasa tidak banyak berubah. Wajahnya masih tampan seperti pertama ia dilahirkan. Andai saja Nadjmi mengizinkan, ibu-ibu tetangga sekitar rumahnya, pasti berebut ingin mencubit pipinya. Suaranya memang sudah berat sejak remaja, postur tubuhnya tinggi, hanya saja agak gemukan sedikit. Tapi baju-baju dan celananya sewaktu SMEA masih dipakai hingga kuliah. Sisiran rambutnya juga masih klimis. Sekilas dipandang, mirip dengan sisiran rambut Ir. Soekarno. Menjadi mahasiswa, sepak terjang Nadjmi dewasa makin menjadi-jadi. Aktivitasnya di organisasi kian nampak. Ia langsung tancap gas dan bergabung dengan PMII. Waktu itu, PMII baru berdiri. Satu tahun berikutnya, tepat bulan November 1961 di Tawangmangu-Solo, diadakan kongres pertama PMII. Tak tanggung-tanggung, dalam hasil kongres tersebut Nadjmi ditunjuk menjadi sekretaris II. Ketua umumnya Mahbub Junaidi sekaligus ketua umum PWI (persatuan wartawan Indonesia). Saat itu, ia masih duduk ditahun kedua, pada tingkat Kandidat atau sama dengan semester empat. Secara umur menjadi mahasiswa tentu Nadjmi masih junior, namun lobi dan komunikasi politiknya berada pada tingkat senior. Ada beberapa mahasiswa senior yang tidak suka posisi sekretaris II dipegang Nadjmi, tapi mereka tak berkutik. Nadjmi lebih menguasai lapangan. Mereka tidak tahu bahwa sepak terjang organisasi Nadjmi telah berproses sejak masih di SMEP.


Fajri Al-Mughni 47 Siapa yang memilih Nadjmi menjadi sekretaris? Mengandalkan teman-teman satu daerah? Tentu tidak. Mahasiswa asal Jambi masih bisa dihitung dengan jari, bahkan pada angkatan itu, beliau satu-satunya mahasiswa dari Jambi. Atau karena tidak ada calon lain? Mustahil. UNAS merupakan universitas besar, di Jakarta pula. Terdapat banyak mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia kuliah di sana dan tidak sedikit juga anak kiyai. Ini bukti bahwa mahasiswa bernama Nadjmi tak bisa dianggap remeh. Menjadi sekretaris pada sebuah organisasi besar sekelas PMII tentu tidaklah mudah, apalagi harus berpacu dengan tugas-tugas kuliah yang harus dikerjakan serba manual. Mahasiswa abad ini tidak merasakan asiknya kuliah menghabiskan banyak buku catatan dan pulpen. Sekarang, toko buku yang menjual buku catatan tak laku. Jumlah produksi pulpen juga dikurangi. Bagi Nadjmi, menjalankan organisasi samalah dengan mengayuh sepeda onthel. Awal mengayuh terasa agak berat, tapi ketika onthel tua berjalan, angin sepoi bercampur aroma Ibu Kota memanjakan kayuhannya. Perjalanan 30 menit dari kontrakan ke kampus serasa perjalanan dari Ulu Gedong ke Pondok Pesantren As’ad. Alamiah, sejuk, bersahabat dan menggairahkan nadi perjuangan seorang santri. Menjadi organisator di salah satu universitas besar merupakan pengalaman berharga baginya. Karena kepiawaiannya dalam mengatur dan membagi waktu antara kuliah dan organisasi, Nadjmi benar-benar menjadi buah bibir di lingkungan kampusnya. Di dalam kelas Nadjmi mendapat penilaian lebih dari para dosen. Kesederhanaan, keluwesan wawasan, kemampuan dalam menyampaikan gagasannya membuat dosen dan teman-temannya “cium tangan” kepada Nadjmi. Ia dihormati dan disegani. Ia mahasiswa yang paling rajin dan sangat takzim kepada dosen-dosennya. Hal ini merupakan ajaran dari sang abah. Bahwa ilmu dan akhlak harus satu napas, tak boleh terpisah. Jika terpisah, akan menjadi hampa, sehampa hati mahasiswa yang sibuk kuliah tapi niatnya semata ijazah. ***


48 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Setelah shalat subuh, Nadjmi bergegas mandi pagi. Hari ini ia harus datang lebih awal ke kampus, karena ada janji dengan salah satu dosennya. Setelah mandi, ia memakai kemeja polos warna abu-abu, celana dasar warna coklat dan sepatu hitam agak pudar. Seperti biasa, sisiran rambutnya klimis ke kiri. Sepeda onthelnya telah standby sejak subuh. Bimilillahi tawakkaltu ‘alallah, la hawla wala quwwata illa billah. Nadjmi berangkat kuliah melewati gang dari rumahnya ke jalan lintas. Nadjmi tidak bisa mengayuh onthelnya dengan cepat, selain karena gangnya sempit, ia juga harus berhati-hati agar tidak menyenggol kantong belanja ibu-ibu yang pulang dari pasar. Nadjmi melewati ibu-ibu sambil mengucapkan salam dan sapa pagi; Assalamualaikum bu.. permisi saya duluan yaa.. Ibu-ibu menoleh dan menjawab salamnya, “walaikumsalam.. iya mi silahkan.. ibu yang lainnya menambahi, “buru-buru amat mi.. janjian sama doi ya.. janjian kok pagi-pagi mi.. sahut ibu yang lain. Nadjmi tak menjawab, ia hanya mengulurkan senyuman sambil terus mengayuh onthelnya. Senyuman itu membuat kantong belanja ibu-ibu bertambah berat. Tidak jauh di depan, Nadjmi kembali harus mengayuh pelan, karena ia melewati anak-anak SMA yang menyeberangi jalan hendak masuk ke sekolah. Beberapa siswa mengenalnya, disana juga terjadi salam dan sapa. Karena pagi itu ia buru-buru harus cepat tiba di kampus, mereka hanya saling berbagi senyum. Pukul 8 lewat 5 menit, Nadjmi tiba dikampus. Ia parkirkan onthelnya ditempat biasa. Disana telah ada beberapa sepeda onthel temannya yang telah datang lebih dulu. Onthel itu milik Gus Anwar, Hasan, Mahfud, Asyikin dan Salim. Mereka juga memiliki janji yang sama. Ia bergegas menuju ruangan dosen; “Assalamualaikum.. Salamnya dijawab serentak oleh Gus Anwar dan teman-temannya sambil menambahi cakap;


Fajri Al-Mughni 49 “walaikumsalam.. telat mi.. diganggu ibu-ibu lagi ya.. “hahah.. mereka semua tertawa. Ia langsung duduk di kursi kosong di samping Mahfud. “mohon maaf kawan-kawan, ada kendala teknis”, ucapnya. Rapat berjalan khidmat, Nadjmi ditunjuk sebagai koordinator pada persiapan menyambut mahasiswa baru UNAS. Tidak banyak protes, Nadjmi menyetujui penunjukan itu, karena menolak juga percuma, dosen dan teman-teman tetap bertahan pada pilihan mereka. Selesai rapat, Nadjmi dan teman-teman langsung menuju kelas masing-masing untuk mengikuti proses pembelajaran. Dikelas, pembelajaran telah dimulai. Dosen menoleh untuk melihat siapa yang datang, setelah mengetahui bahwa itu Nadjmi, sang dosen memberi isyarat dengan tangan mempersilahkan Nadjmi duduk sambil terus melanjutkan ceramahnya. Dosen tidak bertanya kenapa Nadjmi terlambat. Setelah melewati berbagai kegiatan pembekalan mahasiswa baru, pada puncak acara penutupan, Nadjmi berkesempatan memberikan sambutan. Ia bercerita panjang lebar dalam sambutan itu, memaparkan dengan lengkap sejarah UNAS serta nama-nama tokoh dan pendirinya. *** Tahun bertambah, Nadjmi makin senior. Namanya dikenal mulai dari mahasiswa “buah ujung” yang tak kunjung tamat, sampai dengan mahasiswa baru yang sedang beradaptasi. Nadjmi telah melewati tahapan kandidat dan bakaloriyat, bahkan Sarjana Muda pun disandangnya. Setelah menyelesaikan program doktoral satu, kini ia berada pada program doktoral dua, gelar doktorandus (Drs) kian dekat. Mahasiswa sekarang menyebutnya S1. Di penghujung perjuangannya menjadi seorang mahasiswa, aktivitas Nadjmi semakin banyak. Ia tidak hanya dikenal di lingkungan kampus saja. Diluar kampus orang-orang mengenal Nadjmi sebagai aktifis yang terus menggaungkan pentingnya pendidikan dan


50 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki etika kebangsaan yang santun, memadukan agama dengan negara. Melalui PMII dan NU ia lantang bersuara bahwa orang Islam harus memiliki peran dalam perkembangan bangsa. Seperti dahulu yang dilakukan abahnya. Tiba masa akhir perjuangan menjadi mahasiswa, Nadjmi lulus menjadi seorang sarjana yang serba bisa (multi talenta). Karena ditengah-tengah hidup yang penuh dengan persaingan ini, survival of the fittest menjadi frasa yang paling cocok namun sarkastik untuk menggambarkan orang-orang yang terus hidup dan tetap sukses di era penuh persaingan hari-hari ini. Sejak 2.500 tahun yang lalu, Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, sekitar 1.400 tahun yang lalu, Rasulullah Saw juga menegaskan bahwa misi utama beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak. Berikutnya, ribuan tahun setelah itu, rumusan utama pendidikan pun masih tetap pada wilayah yang sama, yaitu pembentukan kepribadian manusia yang baik. Tokoh pendidikan Barat seperti Klipatrick dan Lickona kemudian menggemakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Rasulullah, bahwa moral atau karakter adalah tujuan yang tidak bisa dihindarkan dari dunia pendidikan. Marthin Luther King bahkan mengatakan, “Intelegence plus character, that is the true aim of education”. Muhammad Nadjmi Qadir menjadi generasi berikutnya yang mewarisi semangat itu.


Fajri Al-Mughni 51 IV Pulang Kampung Menjadi Guru “Sederhana, anggaplah semua muridmu sebagai anak kandung. Maka otomatis, engkau akan menjadi ayah baginya”. - Guru Nadjmi


52 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Kembali ke As’ad Serangan terhadap pendidikan yang bercirikan moral dan budaya Islam di negara ini sudah dimulai sejak masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang. Pada masa itu, pendidikan agama Islam diselenggarakan oleh masyarakat. Sekolah dan tempat latihan keagamaan Islam didirikan oleh warga masyarakat. Pemerintahan jajahan tidak pernah mendirikan sekolah Islam yang diberi status negeri. Pendidikan agama banyak diselenggarakan di institusi pendidikan swasta yang dikenal dengan nama madrasah dan pesantren. Madrasah As’ad merupakan salah satu contoh lembaga pendidikan Islam yang berani hadir membentengi serangan para penjajah. Pada masa itu, para pemuda disibukkan dengan usaha dalam mempertahankan kemerdekaan, tidak sempat fokus menuntut ilmu seperti sekarang ini. Selain karena anak turunan penjajah masih ingin melanjutkan penjajahannya, lembaga-lembaga pendidikan juga belum banyak. Sebagai “gudang” yang berisikan pendidikan, madrasah As’ad hadir sebagai solusi terbaik dalam menghadapi hantaman badai keterpurukan moral dan budaya Islam. Tahun 1964, Nadjmi pulang ke Jambi setelah hampir 6 tahun menimba ilmu dan pengalaman di Ibu Kota. Ia kembali “kerumahnya” sendiri, Madrasah As’ad. Tempat dimana ia mendapatkan dasar-dasar ilmu keislaman yang kuat dan ruh pendidikan kenabian. Nadjmi yang kini telah siap mengabdi langsung diamanahi menjadi guru Tarikh. Guru-guru di As’ad menyebutnya “Tareh”. Guru Sejarah. *** Selepas shalat isa, Nadjmi yang kini telah menyandang gelar guru, merenung di dalam kamarnya yang penuh dengan kenangan.


Fajri Al-Mughni 53 Sambil sesekali ia tersenyum mengingat kenangan hampir karam di tengah sungai Batanghari ketika mengayuh perahu untuk mendaftar ke SMEP. Teringat pula ketika menjadi siswa baru di Ibu kota. Ditambah lagi kenangan menjadi rebutan ibu-ibu tetangga di Jakarta. Sambil tersenyum ia bergumam, “rasonyo baru sebentar di negeri orang, kini sudah pulang kampung halaman dan menjadi guru”. “dunia memang sebentar”. Nadjmi tak sadar telah bernostalgia dengan lamunan hampir satu jam. “Astaghfirullah.. sayo tadi nak baco buku”. Ucapnya. Ia langsung mengambil buku sejarah peradaban Islam sambil berjalan menuju balkon rumah dan duduk santai di kursi kayu. Ia membuka setiap lembar buku, membaca dengan khusu’ sejarah Arab pra Islam sampai periodesasi kejayaannya. Sejak dulu Nadjmi memang gemar membaca buku-buku sejarah. Ia juga telah bertekad akan membuat dan menggoreskan namanya dalam sejarah perjuangan Islam. Sambil sesekali membenarkan posisi kain sarungnya, ia terus membaca halaman demi halaman. Semakin lama udara semakin dingin. Udara Itu bukan berasal dari kipas angin atau AC. Tapi hembusan angin malam proses alami yang datang dari sungai Batanghari melewati gang-gang rumah orang Seberang. Di Seberang tidak ada rumah yang menggunakan AC, karena di seberang Kota Jambi sangat dingin kala malam. Disana tidak ada toko yang menjual AC. Kalau pun ada pasti tak laku. Ketika penat membaca, Nadjmi mengalihkan pandangan ke langit. Ia melihat cahaya rembulan yang malu-malu, karena tahu bahwa ada cahaya yang baru pulang dari Jakarta. Bintang-bintang kelihatan banyak sekali di langit, mereka sangat bahagia dan merasa puas. Karena malam ini sinar rembulan kalah terang oleh sinar bintang yang bernama Nadjmi. Malam semakin larut, sinar rembulan mulai redup, bintang-bintang pamit pulang. Tugas mereka menemani Nadjmi malam itu hampir selesai. Nadjmi mengantuk, ia bangkit dari duduk, berjalan masuk kerumah dan langsung ke kamar. Ia merebahkan badan di kasur. Tak lama setelah itu, samar terdengar suara


54 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki rintik hujan singgah di atap rumahnya. Hujan sengaja turun ketika Nadjmi selesai menikmati malam. Ia tertidur dengan hati senang bercampur girang. Terlelap sambil tersenyum. *** Tarhim subuh menggema, pelan dan merdu. Dari iramanya, yang membawakan tarhim subuh pastilah orang yang telah puas dengan hebohnya kehidupan dunia. Bagi sebagian jiwa yang tak bersih, irama tarhim membuat tidurnya semakin nyenyak. Tapi tidak bagi Nadjmi, irama itu langsung menembus dan menyentuh imannya. Ia bangun dari tidur dan langsung menuju kamar mandi, kemudian bersiap menjemput keberkahan subuh. Azan subuh berkumandang, iramanya senada dengan tarhim tadi. Ia bergegas berangkat ke Langgar, mengambil posisi di shaf depan yang baru diisi oleh beberapa orang, salah satunya adalah Tuan Guru KH. Abdul Qadir Ibrahim. Ia tahyatul masjid tepat disamping abahnya. Setelah shalat subuh berjamaah, seperti biasa, guru Qadir memberikan kuliah subuh. Kali ini, guru Qadir lebih bersemangat, karena anaknya hadir dalam kajian. Mereka mengulang kenangan lama, seperti saat Nadjmi masih kecil.


Fajri Al-Mughni 55 Hari Pertama Menjadi Guru Pukul delapan pagi semua santri As’ad telah masuk kelas. Nadjmi yang sudah dari pukul tujuh tiga puluh dikantor, bersiap memulai kelas pertamanya. Antusias bercampur gemas. Ia terbiasa memberi pembekalan kepada adik-adik mahasiswa, kali ini nyalinya diuji memberikan materi kepada para siswa kelas dua Aliyah. Hari itu, Nadjmi mengajar di Aliyah putra. Ia masuk kelas dan memberi salam kepada para siswa; “Assalamualaikum.. Serentak para siswa menjawab, “walaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh..”. Siswa yang duduk di kursi belakang saling berbisik; “eh itu guru baru dak? Beberapa siswa menjawab bersamaan; “iyo guru baru, namoe guru Nadjmi, dari Jakarta”. Mendengar nama Jakarta, mereka kagum sambil menarik nafas bangga. “oh.. dari Jakarta yo..?”. Entah apa yang mereka rasakan ketika mendengar nama Jakarta. Beberapa siswa mengangguk-angguk, sambil berpikir dan membayangkan bagaimana rupa Jakarta. Dua siswa lainnya tak berani komentar, mereka tidak pede memikirkan apa dan bagaimana Jakarta, takut salah. Sementara siswa-siswa yang berada di kursi depan menyimpan rasa tanya. Tidak sabar mereka menunggu lonceng jam istirahat, agar bisa puas bergosip dan mengomentari guru baru itu. Nadjmi membuka absen kelas dan memanggil satu persatu siswanya, sambil mencairkan suasana dan menyusun formasi yang tepat dalam mengajarkan mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Setelah semua siswanya di absen, Nadjmi mulai menyapa; “sudah ado yang kenal dengan sayo?” “belum guru..” “sayo Muhammad Nadjmi Qadir Ibrahim, insya Allah sayo yang


56 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki mengajar mata pelajaran Tarekh atau Sejarah Islam di kelas duo”. Berbagai respon yang diberikan para siswa. Mulai dari yang biasa saja, mengangguk kecil dan membuka buku sambil menulis nama guru baru itu. Ada yang menuliskan singkat saja; “Mata Pelajaran: Tarekh (Sejarah Peradaban Islam) “Nama Guru: Nadjmi Qadir dari Jakarta. Ada juga yang menulis; “Mata Pelajaran: Tarekh Islam “Nama guru: M. Nadjmi Qadir”. Sebagian yang lain hanya menuliskan; “Mata Pelajaran: Tarekh” “Nama guru: Nadjmi”. Dari banyak siswa, terdapat satu siswa yang sepertinya berpikir lebih mendalam dari siswa lainnya. Jika dilihat dari kerut keningnya, kedip-kedip mata seperti mengantuk dan menutup rapat mulutnya sambil nenggelembungkan kedua pipinya, bahwa ia sedang berpikir “hmm.. jangan-jangan guru Nadjmi Qadir ini merupakan anak dari guru Qadir Ibrahim Sang Pendiri”. Dugaan ini sebenarnya tak butuh teori macam-macam, karena nama Nadjmi ada Qadir dan Ibrahimnya. Sebagaimana nama guru Qadir yang menggunakan nama Ibrahim dibelakangnya. Abdul Qadir Ibrahim. Dugaan siswa itu seratus persen benar. Sebenarnya kalau ia ingin berpikir lebih keras lagi, di dalam sorot mata Nadjmi terdapat sinar keteduhan guru Qadir Ibrahim. Siswa itulah yang pada akhir semester mendapatkan rangking tertinggi dikelasnya, sekaligus menjadi siswa terbaik satu pada akhir tahun pembelajaran (tamat). Nadjmi langsung memulai pelajaran; “Tarekh dalam bahasa Indonesia bermakna Sejarah. Sejarah peradaban Islam dibagi menjadi tiga periode, klasik, pertengahan dan modern. Pada periode klasik kebudayaan dan peradaban Islam identik dengan ke-budayaan dan peradaban Arab sejalan


Fajri Al-Mughni 57 dengan dominasi bangsa Arab dalam pemerintah dan bahasa. Pada periode berikutnya, mulai terjadi perubahan-perubahan signifikan dengan muncul dan berkembangnya beberapa peradaban Islam. Sampai saat ini, tercatat empat kawasan pengaruh kebudayaan Persia, kawasan pengaruh kebudayaan Turki dan kawasan pengaruh kebudayaan India-Islam yang selalu menjadi objek kajian ke-Islaman kontemporer. Sampailah penyebaran Islam di Nusantara yang memiliki corak yang khas”. Mendengar itu, para siswa tidak berkutik, mereka bingung antara kagum dan kaget. Yang duduk di kursi depan biasanya para siswa yang memiliki motivasi belajar lebih tinggi dibanding siswa yang duduk dibelakang. Tapi setelah mendengar pengantar guru baru itu, badan mereka menjadi mati rasa, cita-cita mereka mengkerut, mentalnya ciut, ludahnya tak sempat ditelan, jari-jari tangan keram, kaos kaki basah, kepala gatal tapi tidak berani menggaruk, tidak tahu kapan mereka menarik napas, yang terasa hanya hembusan. Mereka saling toleh, senyum sebentar lalu memudar. Bagaimana pula keadaan para siswa yang duduk di kursi belakang? Reflek, mereka tertawa. Dapat dipastikan bahwa mereka mentertawakan diri sendiri. Andai boleh menjerit, meminta ampun dan menampar pipi sendiri, pasti sudah mereka lakukan itu. Nadjmi memberi shock therapy, memanaskan mesin dan menghidupkan jiwa-jiwa para siswa yang mati. Melihat kondisi otak para siswanya berantakan, Nadjmi tidak mampu menahan senyum dan sedikit tertawa. Setelah kondisi mulai tenang, napas-napas sudah teratur, ia melanjutkan cakap dengan mengajukan pertanyaan; Hmm.. enak dak belajar sejarah? Murid-murid menjawab kompak; “dak enak guru.., susah” Nadjmi kembali tersenyum. Sekarang ia mengulangi pengantarnya dengan santai dan meningkatkan intensitas senyuman. Kali ini, ia memulai dengan metode dialog tanya jawab. Pertanyaan diawali dengan definisi. Namun Ia tidak membiarkan murid-muridnya sakit jiwa dengan pertanyaan yang tak bisa mereka jawab. Untuk itu, ia akan langsung menjawab pertanyaannya sendiri. Setelah itu,


58 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki pertanyaan kembali diulang. “Apa itu sejarah? Sejarah adalah sebuah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian atau penyelidikan terhadap peristiwa masa lampau. Sekarang kita singkat ya; sejarah adalah catatan masa lampau”. Jadi, apa itu sejarah? Para siswa menjawab “sejarah adalah catatan masa lampau”. “sekarang siapa yang tidak tahu arti sejarah angkat tangan..!” Tidak ada satupun murid yang angkat tangan. Mereka mulai bangga pada diri sendiri. Murid yang duduk di kursi depan menoleh ke belakang dengan tatapan sombong, tapi sayang.. teman-temannya di belakang pura-pura tidak melihat tolehan mereka sambil berkata dalam hati, “huh.. sayo sudah tahu dan paham makna sejarah”, dengan posisi tangan kiri memegang dagu dan tangan kanan menggerak-gerakkan pulpen. Sungguh itu merupakan gerakan dengan tingkat kesombongan yang tinggi. Nadjmi tidak berhenti tersenyum melihat tingkah murid-muridnya. Ia mengajukan pertanyaan baru; “Apa itu periode?” Murid-murid tidak dibiarkan galau dengan pertanyaan itu. Ia langsung menjelaskan dengan perlahan; “Periode merupakan sebuah kata untuk menyatakan selang waktu pada suatu kejadian”. Atau bisa disederhanakan; periode adalah kurun waktu atau masa. Misalnya tahun 1945 sampai 1949 merupakan masa revolusi nasional Indonesia”. Jadi periode adalah? Para siswa menjawab serentak lagi; “kurun waktu atau masa”. Sekali lagi, mereka makin percaya diri dan kesombongannya bertambah. Murid yang duduk di depan tak sudi lagi menoleh ke belakang, mereka takut kecewa. Kali ini respon murid-murid yang duduk di belakang bertambah lebay. Beberapa orang bertingkah sok hebat, berlagak membenarkan posisi kerah baju dan yang lainnya berdehem tak tentu sebab. Nadjmi tidak sengaja tertawa lebar, nampak gusi-gusinya.


Fajri Al-Mughni 59 Ia melanjutkan pemaparannya; “Sekarang kita masuk kepada definisi klasik, pertengahan dan modern. Yang dimaksud klasik dalam hal ini adalah merujuk kepada zaman, zaman klasik. Jadi klasik adalah periode dalam sejarah yang berasal dari masa lampau. Atau kurun waktu pada masa lampau”. Murid-murid mendengarkan dengan sangat khusu’. Mereka merasa sedang berada dalam proses peristiwa sejarah tersebut. “sedangkan pertengahan adalah periode sejarah di Eropa, pada abad ke lima”. Dan modern adalah periode dimana peradaban manusia sudah maju dengan penemuan-penemuan di bidang teknologi. Atau bisa disederhanakan; abad modern adalah periode teknologi”. Abad atau periode kita sekarang.” Setelah menjelaskan itu, Nadjmi berhenti sejenak dan membiarkan murid-muridnya tenggelam dalam lautan ilmu yang penuh dengan faedah. Mereka terdiam, kagum, bangga dan haus akan informasi-informasi hebat dalam sebuah ilmu yang bernama Sejarah. Hari pertama, Nadjmi berhasil merebut hati para siswa. *** Senin pagi, semua jajaran guru, staff dan para siswa telah memadati halaman sekolah untuk melaksanakan ritual wajib bagi setiap sekolah, upacara bendera. Nadjmi datang terlambat. Ia parkirkan sepeda motor bebeknya di depan kantor. Bergegas ia ikut bergabung dibarisan para guru sambil berbisik pada pak Sumardi, salah seorang guru Fisika; “Subuh tadi guru Qadir membahas bab nikah”. Pak Sumardi langsung paham mengapa Nadjmi terlambat. Bagi anak bujang, bab nikah merupakan pembahasan paling menarik. Pengajian dua jam serasa dua menit, hujan lebat seolah rintik kecil, puting beliung macam angin sepoi, guntur dan petir terdengar seperti kompangan rombongan pengantin dan cahaya matahari redup bak pelangi yang terkena asap kebakaran hutan. Anak bujang sangat pantang bertemu hujan, setiap rintiknya menjelma jadi puisi.


60 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Pak Sumardi tersenyum mengerti. Upacara bendera selesai. Semua murid masuk kelas masing-masing, kepala sekolah menuju ruangannya, sebagian guru mengikuti dibelakangnya. Sebagian guru yang lain masih dihalaman memastikan tidak ada murid yang diluar, sebagian lagi terlihat masih ngobrol dengan Nadjmi, Pak Sumardi memoderatori percakapan itu. “eh kamu tahu dak ngapo guru Nadjmi telambat pagi ko?” matanya melirik Nadjmi. Beberapa guru mencoba menjawab; “beliau lupo kalau hari ko upacara bendera”. Pak Sumardi langsung menyambut jawaban itu; “bukan, guru Nadjmi pasti sudah besiap sejak subuh kalau hari ko upacara bendera”. Beliau telambat kareno guru Qadir subuh tadi ngaji bab nikah”. Haha.. semua tertawa. Nadjmi ikut tertawa, ia tidak menjawab karena semua yang berdiri dihadapannya tidak ada lagi yang bujang. Semua teori-teori dalam pembahasan bab nikah yang ia kuasai akan mentah dihadapan mereka. Sekali saja ia mencoba menjawab atau berani menjelaskan isi bab nikah, maka tamatlah riwayatnya. “jadi guru Nadjmi kapan nak nikah?”. Pak Sumardi menambahi pertanyaannya; “eh guru, di sekolah kito ado tigo orang guru yang masih gadis”. Kalu sayo perhatikan, ketigonyo tu sering nengok-nengok guru Nadjmi”. Nadjmi tertawa kecil dan pura-pura tak paham. “ah guru yang mano pak? Sayo dak tau”. Pak Sumardi tertawa lagi. Tapi kali ini ia tak sempat menjawab karena harus segera mengajar. Obrolan mereka berakhir, Nadjmi juga berjalan menuju kelas. Kini ia telah resmi menjadi guru, “guru Nadjmi”.


Fajri Al-Mughni 61 Izin Ke Jakarta Lima Hari Kesibukannya sebagai guru tidak mengurangi kegiatannya sebagai seorang aktivis. Disela waktunya sebagai seorang guru, ia masih sering diundang untuk memberi pembekalan tentang ke-organisasian dan bertemu dengan teman-temannya sesama aktivis di Jakarta. Setelah shalat isya, sambil memegang pulpen, Guru Nadjmi melihat kalender di dinding kamarnya. Ia melingkari beberapa tanggal dan bergumam pelan; “hmm.. satu, duo, tigo, empat, limo. Hampir seminggu sayo akan di Jakarta”. Setelah itu, ia bergerak menuju meja belajarnya, duduk di kursi dan berpikir sejenak tentang kelas-kelas yang akan ditinggalkan beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, guru Nadjmi menyimpulkan harus berangkat ke Jakarta. Besok ia akan ke madrasah untuk memberitahukan perihal keberangkatannya selama beberapa hari. Fajar menyingsing, tapi perlahan mulai gelap, pertanda akan turun hujan. Sinar matarahi tampak merajuk, beberapa burung malas terbang, burung layang-layang “ladas”, senang. Sesekali terbang rendah dipermukaan sungai Batanghari. Para penambang perahu yang sudah sejak subuh mengantarkan penumpang tak begitu gaduh, sementara sebagian penambang yang baru turun sedikit murung, tapi tetap pasang badan. Bagi mereka, jika tidak mengayuh, anak bini rusuh. Guru Nadjmi menadahkan tangan ke langit memastikan rintik belum sampai ke bumi. Segera ia masuk kerumah dan bersiap ke madrasah. Di dalam, emak bertanya; “Jadi hari ko ke Jakarta mi?” Guru Nadjmi menjawab dari dalam kamar; “Belum mak, insya Allah hari senin berangkatnyo. Hari ko nak ke madrasah dulu ngasih tau kepalo dan guru-guru”.


62 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki “abah lah tau dak?” “Sudah mak, tapi gek nak dibagi tau lagi”. Abahnya, guru Qadir, sudah berangkat lebih dulu ke madrasah, karena hari itu akan ada kunjungan dari pemerintah. Burung membawa kabar melalui angin bahwa As’ad mau diminta menjadi negeri. Tapi, pasti guru Qadir tak merestui. Pagi itu guru Nadjmi sarapan lontong yang dibeli emaknya dari toko kelontong dekat Madrasah Nurul Iman. Lontongnya enak, padat dan kenyal. Kuahnya penuh integritas, asinnya pas, pedasnya standar lidah orang seberang, nangkanya lembut tidak lembek, taburan bawang gorengnya sesuai keinginan dan kerupuknya masih terjaga dari embun, gurih. Ia sarapan cepat, kuahnya hanya berkurang sedikit. Tidak sempat ia hirup. Setelah pamit dengan emak, pukul delapan kurang dikit, guru Nadjmi berangkat. Tepat pukul delapan guru Nadjmi tiba di kantor. Ia bertemu kepala madrasah dan mengutarakan hajat perizinannya. Ia diizinkan. Setelah beberpa waktu bercakap-cakap, ia pamit. Di halaman madrasah, guru Nadjmi bertemu dengan pak Sumardi; “hari ini ado kelas guru?” “dakdo pak. Hari ko sayo ketemu pak kepalo, nak mintak izin senin ke Jakarta untuk beberapo hari”. “wah.. gawat.. ibu-ibu guru, siswa dan siswimu bakal lamo menahan rindu” “makin lamo rindu itu tertahan, semakin hangat bilo bejumpo”. Balas guru Nadjmi. Mereka tertawa, sambil tangan pak Sumardi menepuk pundak guru Nadjmi dan menutup percakapan; “sekali pujangga berujar, hujan berhenti dan pelangi bangkit dari lamunan”.


Fajri Al-Mughni 63 Idola Para Gadis Seberang Minggu pagi, Seberang Kota Jambi masih berembun. Orangorang kampung tidak peduli dengan hari, yang mereka tahu setiap hari harus bekerja. Jika ada pertanyaan kapan mereka libur? Jawabannya mudah, liburnya kapan saja mereka mau. Bahkan sebagian besar tidak begitu paham maksud hari libur. Tidak bekerja hari senin, siapa yang peduli. Hari selasa menutup lapak, tidak ada surat peringatan, rabunya mau silaturahim kerumah sanak saudara, tidak perlu berbohong cari alasan untuk absen kerja. Hari kamis beras mulai berkurang, turun dari rumah pukul enam pagi, pulang menjelang azan maghrib dengan membawa satu kilo beras, gula setengah kilo dan kopi AAA satu bungkus ukuran 500 gram. Hari jum’at terlalu singkat untuk bekerja, jadi dirumah saja membantu istri bersih-bersih. Belum puas menikmati hari dirumah hanya hari jum’at, disambung lagi hari Sabtu dan minggu. Tanpa intimidasi dari atasan, bebas. Hidup mereka tenang, ibadah khusu’, rumah tangga harmonis, tanpa fitnah sana sini, paling sesekali ngerumpi. Kelak di akhirat mereka dihisab atas rumpiannya, setelah itu masuk surga. Kira-kira begitulah hidup orang Seberang waktu itu. Mereka benar-benar merasakan sebuah kemerdekaan. Guru Nadjmi mengeluarkan selang panjang dari kamar mandi, menariknya sampai ke bawah rumah. Beberapa perlengkapan lain juga dibawa; kain lap, sabun cuci batangan, ember dan penyikat lantai. Motor bebeknya yang berwarna merah sudah stanby siap untuk dimandikan. Sudah empat puluh lima menit ia memandikan motor, hampir selesai. Tinggal finishing mengeringkan badan motor. Mengkilap bodinya, kinclong mesinnya dan bersih jari-jarinya. Guru Nadjmi pede saja pakai motor warna merah, terus terang saja, kalau saya yang punya motor itu, mungkin sudah saya ganti warnanya.


64 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Belum selesai nian ia memandikan motor, seorang gadis Seberang berjalan mengarah kepadanya. Guru Nadjmi kenal dengan gadis itu, rumahnya hanya berjarak sekira hitungan beberapa rumah dari rumahnya. Namanya Nurlela. Kadang orang memanggilnya Nur, kadang Lela. Mereka berdua sebaya, tapi tak sepermainan. Guru Nadjmi hanya melihat sekali dari jauh ketika Lela berjalan, setelah itu ia kembali mengelap motornya, mengeringkan air di mesin. Entah bagaimana Lela berjalan, guru Nadjmi setengah kaget ketika Lela tenyata telah dekat dan menyapanya; “Assalamualaikmu Mi.. bersih nian motor tu..” sapa Lela sambil senyum yang di edit. “walaikum salam.. iyo La, mumpung libur.. dari mano? “Dari rumah bibi Maryam. Ko nak baleklah. Eh jok motor tu jangan licin nian mi, kagi meloghot..” Lela bergurau. Ia memang dikenal sebagai perempuan yang sedikit humoris, ramah, suka menyapa dan cantik pula. Banyak lelaki Seberang yang salah paham dengan gurauannya. Mereka kira Lela menggoda. Beberapa lelaki telah mencoba peruntungan dengan menitipkan salam kepada Lela melalui kawan-kawannya, ada juga yang berspekulasi melamarnya. Tapi, salam mereka hanya dijawab namun tidak bersambut. Lamaran beberapa orang lelaki itu tak diresponnya, bahkan ia lupa dimana meletakkan “berkas” lamaran itu. Mendengar gurauan Lela, Guru Nadjmi tertawa sekali, ditutup dengan senyuman yang tidak begitu matang, tapi cukup meluluh-lantakkan hati Lela. Ia membalas senyuman guru Nadjmi tapi kali ini senyumannya sempurna, tidak dibuat-buat dan terkoneksi dengan jantung. Melihat senyuman itu, saya yakin malam harinya Lela tak nyenyak tidur. Kini saya tahu mengapa Lela men-skip salam-salam dan lamaran banyak lelaki. Lela berlalu, singkat memang obrolan mereka, tapi berkesan bagi Lela. Guru Nadjmi tidak terpikir bahwa senyumannya akan berdampak, ia hanya berusaha untuk selalu tersenyum sebagai perwakilan sebuah kebaikan. ***


Fajri Al-Mughni 65 Hari minggu guru Nadjmi tidak mengajar, ia mengisi waktu dengan membaca buku-buku sejarah, ekonomi dan beberapa buku biografi para tokoh. Hari itu ia memilih membaca buku kehidupan para sabahat nabi yang berjuang dalam menyiarkan Islam. Baru beberapa halaman membaca, terdengar suara emak memanggilnya. “Nadjmi, hari ko dak kemano-kemano kan? Kawani mak pegi ke Tanjung Pasir yo.. “sayo mak, jam berapo nak pegi? “Sudah zhuhur kolah.. ke tempat bibi Rahma, ado sedekah dikit lakinyo baru balek haji”. Ia bersiap, makai baju teluk belango abu-abu kantong safari, celana dasar coklat, peci hitam ala Hasyim As’ari dan sandal yang tak jelas mereknya, berwarna coklat tua. Dengan motor bebeknya yang mengkilap, ia bonceng Hj. Zainab menuju Tanjung Pasir. Sesampainya di rumah Bibi Rahma, Hj. Zainab masuk melewati pintu samping, khusus tempat para ibu-ibu dan para gadis Seberang berkumpul. Kedatangan Hj. Zainab disambut hangat oleh ibu-ibu, mereka bertanya; “dengan siapo datang mbok?” sambil mencari tempat duduk, ia menjawab singkat, “dengan Nadjmi”. Gadis-gadis yang duduk berkelompok di pojok dapur, girang mendengar itu. Tidak begitu pasti ada berapa orang para gadis yang duduk dibelakang, ketika nama Nadjmi disebut emaknya, mereka yang sedang duduk bersila memegang erat lutut dan menggerak-gerakkannya. Andai tidak sedang ada hajatan, pasti mereka meraung-raung. Saya tak paham itu tanda apa, mungkin geram, gregetan, atau apalah namanya. Disela-sela itu terdengar ada suara ibu-ibu yang berusaha menghentikan kelakuan para gadis itu, “husstt.. kanji nian”. Mereka berhenti bertingkah aneh, tapi lanjut saling berbisik, hanya mereka yang tahu isi bisikan itu. Para gadis yang berada di dapur luar tidak tahu menahu kehebohan itu, yang di dalam mungkin berkata “rugi budak tu duduk diluar”. Padahal mereka sendiri juga tak jelas dimana letak untungnya. Guru Nadjmi masuk lewat pintu depan, sama dengan emaknya, ia juga disambut oleh tuan rumah dan para undangan yang sudah berada di dalam. Hanya saja, respon bapak-bapak tak sama


66 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki dengan respon ibu-ibu, apalagi para gadis. Bapak-bapak cenderung santai, meski dalam hati juga berucap; “Nadjmi ko cocok nian kalu jadi menantu sayo”. Atau “cemanolah caronyo biak Nadjmi jadi menantu”. Pukul empat sore acara selesai. Semua undangan mulai meninggalkan rumah Bibi Rahma. Guru Nadjmi masih menunggu di depan rumah, karena emaknya masih di dalam. Beberapa gadis keluar duluan berharap bertemu guru Nadjmi. “minimal Nadjmi nengok kito”. Begitu kata mereka. Sore itu, usaha para gadis tidak sia-sia. Guru Nadjmi yang masih berdiri menunggu emaknya, melemparkan senyum kepada setiap yang berjalan melewatinya. Satu persatu para gadis itu berjalan dan saling berbalas senyum dengan idolanya. Sekali lagi, senyuman sang guru memakan korban.


Fajri Al-Mughni 67 Takut Tersenyum Selepas shalat ‘Isya, guru Nadjmi makan malam bersama abah dan emak. Sambil mengambil nasi abah bertanya; “jadi senin ke Jakarta mi?” “iyo jadi insya Allah bah, limo hari:. “Abah nak ke Jakarta jugo dak? Tanya emaknya. “rencananyo iyo, tapi mungkin sudah Nadjmi balek ke Jambilah”. Sebenarnya ada yang hendak disampaikan oleh abahnya, tapi ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya kepada anaknya itu. Karena tak paham bagaimana caranya, ia meminta Hj. Zainab yang menyampaikan. “emaklah yang nyakapinyo samo Nadjmi”, ucap abahnya sambil menyendok lauk gulai ikan sengarat. Guru Nadjmi yang sedang khusu’ menikmati gulai ikan sengarat buatan emak berkolaborasi dengan sambal matah dan disempurnakan oleh rebus kacang panjang dan terung rimbang, penasaran kira-kira apa gerangan yang hendak orang tuanya sampaikan, hingga mereka tak tahu caranya. “ado cerito apo mak? penting nian nampak’e tu”. Tanya guru Nadjmi kepada emak. “macamko mi, hmm.. aii abahlah yang nyakapinyo, emak ko dak paham amat ceritoe”. Guru Nadjmi tertawa kecil, karena masih sambil mengunyah. “ha yolah.. kau taulah kan samo Ulya? Anak H. Syukur”. Tanya abah kepada Nadjmi “adik guru Abdullah Dung”, tambah emaknya. “sayo bah, iyo, taulah”. Anak bungsu H. Syukur”. Ngapo tu bah? “cemano menurut kau Ulya tu? “Ulya gadis yang baik bah, pandai berniago dan handal mengelola bisnis”.


68 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Emaknya menimpali cakap dengan pertanyaan; “elok dak budak’e?” guru Nadjmi bertukar senyum dengan emaknya. “kalu serupo tu senyumnyo, berarti elok mak”. abah ikut nimbrung dalam senyum mereka. “itulah perempuan yang insya Allah ngawani kau menjalani hidup dan melanjutkan perjuangan abah dan emak kelak”. Guru Nadjmi berhenti mengunyah, makanan dalam mulutnya yang belum terlalu lebur, langsung ia telan dengan cepat. Ia mendadak bingung, tak mampu memberi komentar atas ucapan abahnya. Macam-macam rasa dalam dadanya. Ulya memang seorang gadis yang cantik, bahkan menurutnya, “tercantik” di Seberang. Kalau kata orang dulu, “kembang desa”. Tentu tak sembarang kumbang bisa meminangnya. Tapi pada rasa yang lain, Ulya sudah seperti adiknya sendiri. Ulya pun memanggilnya dengan “Bang Cik”. Sebuah panggilan bagi adik kepada abang. Mereka berdua adalah sepupu. Tapi, entah mengapa tiba-tiba Bunga-bunga cherry blossom berjatuhan disekitar meja makan, padahal bukan musim semi. Bunga viola melayang-layang di langit-langit rumah, entah kapan ia hijrah ke Jambi dari bagian Utara sana. Bunga opium bermunculan dari celah-celah lantai papan rumah, kuntum mahkotanya tampak hadir diantara kelopak. Bunga lily kuning muncul secara tiba-tiba pada ventilasi rumah, kelopaknya yang mirip terompet seperti mengeluarkan paduan suara romantis. Bunga anggrek bulan terselip diantara piring-piring lauk pauk diatas meja. Guru Nadjmi terkejut dan tersadar ketika bunga Blue bells berbunyi mirip suara lonceng sekolah, merusak lamunannya di meja makan. “iko iyo nian mak?” ia bertanya kepada abah, tapi menyebut emak. Fokusnya pecah berserak-serak. Abah dipanggil emak. Abah menjawab; “insya Allah. Tapi belum tau kapan mi, abah, emak masih nak becakap lagi dengan keluargo Ulya. Insya Allah balek kau dari Jakarta, mudah-mudahan sudah ado tanggalnyo”.


Fajri Al-Mughni 69 *** Semenjak hari itu, guru Nadjmi tak sembarang melempar senyuman. Ia akan simpan untuk Ulya. Kalaupun tersenyum, akan diaturnya sedemikian-rupa agar tidak ada jantung yang berhenti berdegup.


70 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki


Fajri Al-Mughni 71 V Menjadi Puitis “Eksistensi cinta adalah suatu emosi, perasaan atau kecenderungan yang sifatnya instingtif dan memunculkan ekspresi-ekspresi yang dapat dipelajari”. - William Mc Dougal


72 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Pantang Hujan Oktober 1964 sudah mulai turun beberapa rintik hujan, tapi tak lebat. Malam itu, entah apa yang telah merasuki matanya, kemana saja ia memandang, pasti ada pelangi. Guru Nadjmi memandangi susunan papan yang menjadi dinding, setiap papan warnanya berbeda-beda, persis pola pelangi. Ia coba menengok lantai, seolah-olah dinding yang tadi pindah ke lantai. Melihat kearah rak buku, pelanginya makin menjadi-jadi. Coba mengalihkan pandangan ke jari-jari tangannya, tidak beda dengan dinding dan lantai, jari-jaripun berwarna warni. Sekarang ia bangkit dari kasur, berjalan keluar kamar menuju tempat biasanya ia merenung, balkon rumah. Ia melihat rintik hujan, air yang turun dari langit memang tidak berwarna, tapi jatuhan rintiknya yang singgah di tanah memunculkan warna-warna cerah yang mengeluarkan kesan indah. Ia kembali ke kamar, berusaha memejamkan mata. Bismikallahumma ahya wa bismika amut. Bukannya hilang, malah sekarang warna bersatu, melebur menjadi satu warna, merah jambu. Tanpa sebab musabab yang jelas, guru Nadjmi tak dapat tidur. Memang terdapat keanehan yang terjadi kepada para anak muda bila bertemu hujan, terutama bagi yang sedang kasmaran. Secara ilmiah saya tidak paham apa hubungannya. Tapi faktanya, hujan terkadang menginspirasi munculnya banyak puisi dan syairsyair cinta. Guru Nadjmi bingung, apakah ia sedang kasmaran atau hanya sekedar kaget mendengar cerita abah dan emak. Yang jelas, ia merasa ada yang aneh. Dalam hatinya berkata, “apa mungkin saya sedang jatuh cinta”. Pertanyaan ini sangat wajar, sebab ia tak pernah merasakan hal aneh itu sebelumnya. Ditempat berbeda, Ulya juga merasakan hal yang sama, jantungnya berdetak lebih kencang. Sebelumnya, mendengar nama Nadjmi biasa saja, tapi kali ini nama itu terasa berbeda. Suara rintik


Fajri Al-Mughni 73 hujan tidak mampu mengalihkan pikirannya, malah setiap rintiknya seolah menimbulkan bunyi seperti menyebut nama Nadjmi. Sambil berbaring, sesekali Ulya bertanya pada atap kamar, apa benar Bangcik jodohku? Lelaki yang selama ini saya anggap sebagai abang. Ingin dirinya menolak, berusaha tidak memikirkan tentang hal itu, tapi tidak bisa. Hujan membuat jantungnya semakin berdebar dan angin malam yang terkadang masuk lewat ventilasi mendukung suasana hati, bahkan hampir membuat Ulya menulis puisi. Hujan mempengaruhinya.


74 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Ditunggu Rembulan, Ditemani Bintang-Bintang Senin siang guru Nadjmi tiba di Jakarta bertemu dengan kawankawan lamanya. Ia memenuhi undangan kampus untuk memberikan beberapa materi tentang keorganisasian. Dalam penyampaian kali ini agak sedikit berbeda dari biasanya, jika sebelumnya materi murni terkait organisasi, tapi hari ini, materinya bercampur dengan romansa. “Sebuah organisasi akan diterima oleh masyarakat jika ia berdiri dan berjalan seiring dengan cinta dan kebaikan”. Ia melanjutkan; “jangankan organisasi, dunia saja bergerak karena cinta”. Tepat pada kalimat “cinta”, ia meletakkan tangannya di dada dan matanya terpejam menghayati. Kawan-kawannya yang mendengar itu menjadi heran, “sejak kapan Nadjmi menjadi pujangga”. Nampaknya ada gadis Seberang dalam hatinya”. Tebak Gus Anwar. Teman guru Nadjmi semasa kuliah. Guru Nadjmi melanjutkan; “Organisasi adalah kelompok  orang dalam suatu wadah untuk tujuan bersama. Ibarat sebuah mahligai rumah tangga, pimpinan sebuah organisasi bak seorang suami yang harus mengayomi, menuntun, memahami istri serta anak-anaknya. Marahnya merupakan sebuah kritikan yang membangun. Ia juga harus memberikan kepercayaan penuh kepada istrinya untuk mengelola rumah tangga dari dalam. Istri dalam sebuah organisasi bisa diibaratkan seorang sekretaris dan bendahara”. Gus Anwar nyeletuk dibelakang; “beristri dua dong”. Disambut tawa para peserta. Kawan-kawannya semakin yakin, “hmmm.. Nadjmi sepertinya sedang mabuk, mabuk cinta”.


Fajri Al-Mughni 75 Guru Nadjmi tak peduli dengan celetukan kawan-kawannya. Baginya, celetukan itu terdengar seperti rintik hujan yang menambah romantis suasana. Ia tetap melanjutkan syair-syair organisasinya; “Berenanglah dalam lautan yang penuh dengan faedah”. Organisasi itu sebagai lautan. Maka, janganlah menjadi buih yang mudah hancur terkena buritan kapal serta terombang-ambing oleh gelombang. Malang nasib badan, mujur sepanjang hari malang sekejap mata, mujur tak dapat diraih malang tak boleh ditolak, tak putus dirundung malang”. Makin lama, kawan-kawannya semakin ikut tenggelam bersama untaian kalimat-kalimat guru Nadjmi. Kali ini, Gus Anwar mengangguk-angguk tanda sepakat. “nanti ku minta Nadjmi mengisi materi di Pondok Pesantrenku”. Kata Gus Anwar dalam hati. Para peserta yang mendengarkan materi guru Nadjmi tidak sabar ingin menjadi aktivis. Mereka menyimak setiap kalimat yang diucapkannya dan menunggu antusias apalagi yang hendak ia sampaikan. Kawan-kawannya yang duduk dibelakang hari itu merasa menjadi peserta. Guru Nadjmi melanjutkan; “Jalankanlah sebuah organisasi dengan cinta. Menjadi aktivislah dengan segala kemampuan terbaik, imbangi ia dengan hikmah, jangan biarkan celah-celah kotor dan curang ikut campur. Dikala siang, bersahabatlah dengan matahari, jangan kau jilat, panas. Bila malam datang, biarkan rembulan yang menunggu bersama bintang-bintang. Ketika kau menatap cahayanya, tersenyumlah dengan maksimal dan beri kesempatan kepada rembulan dan para bintang menikmati senyum itu. Jangan renggut kebahagiaan mereka”. Ia menutup cakap dan memegang mic dengan kedua tangannya. Semua peserta tepuk tangan, Gus Anwar kembali mengejutkan; “I love you Nadjmi, aku padamu”.


76 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Datang Meminang Lima hari di Jakarta, guru Nadjmi merasakan hal yang berbeda. Raganya memang di Jakarta, tapi jiwanya betah di Jambi. Satu hari sebelum pulang, ia ditelpon oleh Kiyai Saifuddin Zuhri, Menteri Agama Republik Indonesia pada kabinet kerja III, IV, Dwikora I, II dan kabinet kerja Ampera, yang mengetahui bahwa dirinya sedang di Jakarta. “Nadjmi, besok saya ada acara di Jambi, pelaksanaan peresmian IAIN STS Jambi sekaligus peresmian Universitas Jambi menjadi negeri dan juga pelantikan pengurus PMII Jambi. kamu ikut saya besok ya”. Acara itu bertempat di Gedung Nasional, tidak jauh dari KODIM, Pasar Jambi. “Insya Allah Kiyai, rencananya besok saya memang akan pulang ke Jambi”. Guru Nadjmi pulang, ia diantar Gus Anwar dan kawan-kawan lainnya ke bandara. Pesawatnya terbang pukul 09.45 pagi. Waktu itu, Jakarta sedang hujan. Ia duduk di kursi tepi, dekat jendela pesawat dan bersebelahan dengan Kiyai Saifuddin. Setelah melantunkan doa safar, ia memandangi rintik hujan yang membasahi sayap pesawat. Jatuhan rintik itu membentuk banyak lingkaran, kemudian pecah tak beraturan, namun indah. Bagian sayap belakang mulai terbuka, suara mesin pesawat mengganggu lamunannya. Beberapa pramugari hilir mudik menghitung penumpang dengan mesin hitung canggih. Abad ini, mesin hitung itu juga sering digunakan untuk berdzikir. Setelah pramugari itu berlalu, tak lama kemudian lewat lagi pramugari yang lain memastikan sabuk pengaman penumpang telah terpasang. Pramugari itu melirik guru Nadjmi dan langsung yakin bahwa sabuk pemuda dihadapannya pasti telah terpasang. Wajah dan penampilan guru Nadjmi memang meyakinkan. Andai saja guru Nadjmi menyapanya, saya pastikan nadi si pramugari berhenti berdenyut.


Fajri Al-Mughni 77 *** Kiyai Saifuddin dan guru Nadjmi tiba di Jambi disambut dengan tari Sekapur Sirih dan disalami oleh para civitas akademika serta teman-teman dari kalangan NU dan PMII. Kiyai Saifuddin Zuhri, sebelum menjabat sebagai Menteri Agama, beliau merupakan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Kiyai Qadir Ibrahim turut hadir menjemput Kiyai Saifuddin. Setelah acara peresmian dan siaturahim selesai, Kiyai Saifuddin diajak kerumah guru Qadir. Kiyai Saifuddin memanggil guru Qadir juga dengan sebutan kiyai, Kiyai Qadir. “Pak Menteri, Nadjmi besok tidak usah ikut menemani bapak kembali ke Jakarta”. Kiyai Qadir mengawali pembicaraan. “Baik Kiyai, saya pulang sendiri besok ke Jakarta. Tapi kalau boleh tau, kenapa kiyai?” “Nadjmi besok akan meminang seorang gadis Seberang”. Jawab Kiyai Qadir. Guru Nadjmi yang juga ikut mendengar, tak mampu menahan senyum. Bunga-bunga bertebaran di atas kepalanya, daun-daun kering yang berguguran langsung berganti dengan daun baru nan hijau, matanya melirik ke arah kiyai Saifuddin tapi isi pandangannya dipenuhi dengan pelangi-pelangi pengantin. Alisnya mendadak renggang, jenggot tipisnya seketika menebal, tangannya berpindah-pindah, kadang di paha, kadang bersedekap, kadang di pipi, kadang di dagu, kadang ia mencari-cari dimana tangannya. Dalam sejarah hidupnya, baru kali ini ia bingung mau meletakkan tangan dimana. Kakinya bergetar tak seirama, buah betisnya kencang, jarijari kakinya dingin, jika tidak digerakkan dalam semenit, kesemutan. Kiyai Saifuddin pun ikutan grogi dan berucap kepada kiyai Qadir; “wah.. Nadjmi tidak pernah cerita tentang hari baik ini kiyai”


78 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Tidak ada yang menjawab secara kongkrit ucapan kiyai Saifuddin. Mereka semua larut menikmati informasi bahagia itu. Dari dalam kamar, terdengar suara gerakan. Dari bunyinya seperti gerakan orang yang sedang bahagia. Suara itu berasal dari kamar Hj. Zainab. Guru Nadjmi tahu, emaknya mendengar itu. Ingin rasanya ia menghampiri emaknya, tapi tak mungkin. Karena kiyai Saifuddin masih di hadapannya. Dalam hati berkata; “tunggulah sebentar lagi, ku peluk kau mak”. Kiyai Saifuddin diantar ke bandara oleh guru Qadir dan guru Nadjmi, terbang ke Jakarta. Sebelum terbang kiyai Saifuddin berpesan; “Nadjmi, setelah menikah, ajak istrimu ke Jakarta”. Guru Nadjmi menjawab tak enak karena ada abahnya. “Insya Allah kiyai”. *** Kabar tentang guru Nadjmi akan segera menikah mulai tersebar di Seberang. Bahkan sampai kepada ibu-ibu yang tinggal di dekat rumahnya waktu masih di Jakarta. Saya yakin mereka penasaran; “perempuan mana yang mampu menghentikan pencarian Nadjmi”. Bagi gadis-gadis di Seberang, berita itu seolah musibah dan bencana. Mereka patah hati, kecewa setengah mati, sinar rembulan tak mampu membujuk, siang hari terasa gelap. Mereka gusar tanpa sebab yang jelas, kepada siapa akan bercerita tentang kekecewaan itu? Jalan terakhir mungkin curhat kepada angin. Tapi ternyata angin pun turut bahagia dengan berita guru Nadjmi akan menikah. “sungguh angin-angin itu tidak punya perasaan”. *** Sepulangnya dari Jakarta, guru Nadjmi kembali ke aktivitasnya sebagai seorang guru. Pagi itu ia datang lebih awal ke madrasah, sinar pagi pun juga tampak lebih bercahaya dari pagi-pagi sebelumnya. Embun tidak terlalu tebal, tapi ada. Para tenaga pengajar sudah menunggunya di kantor dan bersiap mengajukan beberapa


Fajri Al-Mughni 79 pertanyaan penting. Sebelum sampai di kantor, ia berkata dalam hati; “perasaanku dak enak”. Dugaannya benar, ketika ia masuk dan mengucapkan salam, semua yang ada dikantor serentak menjawab sambil tersenyum; “walaikum salam warahmatullahi wa barokatuh.. ko diok’e yang ditunggu-tunggu”. “kompak nian jawab salam tu..” sambil ia memperhatikan semua yang ada dalam ruangan, senyum-senyum mereka mencurigakan. Pak Sumardi lagi-lagi lebih dulu berkomentar; “Kami nengok senyum guru Nadjmi agak lain pagi ko, sistematis dan sarat akan makna. Ado ado apo kiro-kiro guru?” Guru Nadjmi mengelak, ia menjawab santai; “sayo dak biso lamo-lamo di Jakarta, dak sanggup menanggung rindu. Ingin terus rasonyo besamo dengan murid-murid dan para guru”. Haha.. semua tertawa. *** Sinar matahari meninggalkan bumi, guru Nadjmi tak sabar menjemput malam. Ia sudah berjanji kepada rembulan bahwa malam ini akan bercerita tentang segala isi hati dan disaksikan oleh bintang-bintang. Setelah shalat Isya, ia tidak makan malam. Emak mengetuk pintu kamarnya dan menanyakan apakah ia sudah makan. Dijawabnya; “masih kenyang mak”. Sambil meninggalkan kamar anaknya, Hj. Zainab bicara sendiri, “Nadjmi kenyang makan apo, entah kapan dio makan”. Sampai di dapur ia baru sadar bahwa anaknya sudah makan “buah kepahyang”. Wajar saja masih kenyang. Guru Nadjmi mengintip keluar jendela, memastikan apakah rembulan sudah datang. Melihat beberapa bintang berkedip sebagai kode bahwa bulan telah menunggunya sejak tadi. Ia segera keluar kamar membawa buku catatan yang tidak sama dengan buku-buku lainnya. Sarungnya sudah tidak rapi, tapi gulungan pinggangnya


80 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki masih mantap, kancing teluk belangonya tidak terkancing semua, nampak kaos singletnya. Seperti malam-malam sebelumnya, ia duduk di kursi kayu di teras belakang. Sesekali duduk besila, bila pegal, kakinya berselonjor. Setengah jam kemudian berbaring, terpejam tapi tidak tidur. Pada buku catatan, ia telah menulis satu kalimat “aku akan meminang”. Tapi, hampir dua jam duduk dan telah berganti posisi sebanyak enam belas kali, belum ada lanjutan dari tulisan itu. Sebenarnya ada ribuan kata dalam benaknya, namun ketika hendak dituliskan, jari-jarinya kaku. Demi untuk merealisasikan ribuan kata itu, kali ini ia membuka lembaran kertas berikutnya yang masih kosong, meninggalkan lembaran yang tadi. Pada lembaran baru ia menuliskan satu kalimat lagi, “sejarah baru akan dimulai”. Usahanya kali ini lumayan berhasil, walaupun masih tak maksimal. Beberapa spasi dibawahnya ia menulis. “16 September 1964”. Hanya itu. Bintang-bintang geram melihat itu, tapi tidak berani mengganggu seorang guru muda yang sedang bingung karena bahagia. Rembulan mulai “mengusal-ngusal” cahayanya, kadang redup, kadang terang. Ingin ia membantu guru Nadjmi menuliskan beberapa kalimat, tapi sama dengan bintang-bintang, rembulan pun tak berani mengganggu. Lamunannya pecah mendengar suara pintu terbuka, abahnya pulang dari mengajar malam. Segera ia bangkit dan masuk kerumah tapi tak langsung ke kamar. Ia berjalan menuju dapur, baru terasa lapar. Di langit, bulan dan bintang tertawa geli. Awan malam berusaha mendiamkannya, “ssstt.. nanti guru Nadjmi mendengar kalian tertawa”. Malam semakin sunyi, jangkrik-jangkrik yang tadinya bernyanyi pelan sekarang meninggikan suaranya. Pikirnya, guru Nadjmi pasti sudah tertidur. Tapi ternyata, sang guru tak dapat tidur. Jelas bukan karena nyanyian sumbang para jangkrik, tapi karena “rasa” yang sulit untuk dijelaskan. Ia mulai memejamkan mata, namun tak pasti, apakah sudah tidur atau belum. Dalam gelap kelopak matanya, beberapa


Fajri Al-Mughni 81 bunga berterbangan, kapas-kapas buah kapuk melayang-layang diantara ribuan bunga diiringi suara gemericik permukaan air sungai Batanghari dihembus angin. Sedang asik menikmati itu, terdengar sayup tarhim subuh beberapa Langgar di Seberang. Ia terbangun dari tidurnya yang tak lelap. Baru tahu begitu rasanya kalau bujang akan melepas lajang. *** Hari bahagia itu datang. Guru Nadjmi meminang seorang gadis Seberang bernama Ulya binti H. Abdul Syukur dan dinikahinya pada 16 September 1964. Walimatul ‘urs digelar, guru Nadjmi berlabuh, semua makhluk bumi bersuka-cita. Kata orang, Ainun beruntung mendapatkan hati Habibi. Kata sebagian lagi, Habibi lah beruntung mempersunting Ainun. Tapi kali ini, Saya tidak dapat menemukan atau menyimpulkan siapa yang lebih beruntung diantara guru Nadjmi dan Ibu Ulya. Yang pasti, saya termasuk santri yang untung banyak. Karena berkesempatan bersilaturahim lebih dekat dengan mereka.


82 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Kursi Kayu yang Rindu Kini guru Nadjmi tak lagi bujang, ia mulai jarang duduk di kursi belakang. Kursi itu sempat kecewa, pernah berpikir bahwa guru Nadjmi diibaratkan seperti kacang lupa kulitnya. Ah, itu kursi sok mengerti. Padahal ia tak kenal dengan kacang. Kacang tidak pernah lupa dengan kulitnya, karena memang perpisahan itu sebuah keniscayaan. Tuhan telah mentakdirkan kulit selalu bersama kacang, tapi Tuhan juga menjadikan “pilihan” sebagai ketetapan-Nya. Kacang memilih untuk berpisah demi kebahagiaan kulit dan membantunya mencapai akhir dari sebuah penciptaannya. Analogi lainnya begini, beberapa orang menganggap bahwa menyembelih ayam bentuk dari penyiksaan, “kasian ayam itu kena bantai”. Padahal, “dibantai” merupakan tujuan akhir dari diciptakannya ayam. Ah, panjang pula saya ngebahas kacang sama kulitnya, ayam juga dibawa-bawa. Kursi itu sebenarnya tidak marah dan bisa memahami keadaan. Ia hanya rindu. Rindu ingin mendengarkan guru Nadjmi berkisah. Saya dapat membayangkan bagaimana perasaan para gadis Seberang saat itu, kursi saja gamang tidak karuan. *** Suatu pagi, kursi kayu kaget karena Ibu Ulya menghampirinya. Memang tidak terjadi percakapan antara mereka, tapi hari itu ia sangat dekat dengan Ibu Ulya. Ia merasakan seolah guru Nadjmi hadir di dekatnya. Ibu Ulya membersihkan kursi sambil melantunkan beberapa bait syair mughnil awam. “Alhamdulilah shalawat dan salam, atas junjungan nabi Muhammad dan ahlinyo dan sohabatnyo yang sangat taqwa dan sangat mulio”.


Fajri Al-Mughni 83 “Belajarlah kito tauhid dan fiqeh, tasawuf dan lain ilmu yang wajib” “Wajib atas kito mengi’tiqodkan Tuhan yang Ado sedio selamonyo” “Bagi yang kekal bersalah-salahan dengan segalo-galo yang baharu” “Berdiri sendiri Tuhan yang Esa Maha Berkuaso Maha Berkehendak” Suaranya merdu, beberapa ranting yang mendengar sedikit menunduk, daun-daun yang tadinya layu terbangun dan tegap. Kursi kayu seolah hidup, tidak jadi marah kepada guru Nadjmi. Karena dalam setiap hembusan napas ibu Ulya ada guru Nadjmi di dalamnya. Rindunya terobati.


84 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki Belahan Jiwa Sekira pukul lima lewat tiga puluh, matahari mulai pergi dan cahayanya meredup. Ikan Seluang perlahan keluar meramaikan tepian sungai, beberapa rombongan menyisir pinggir jamban dan menemani ibu-ibu Seberang mencuci pakaian. Mereka kelihatan akrab. Setelah beberapa menit, ibu-ibu yang mencuci satu persatu mulai naik, pulang. Ini pertanda malam segera datang. Azan maghrib berkumandang. Disana akan tampak pemandangan indah orang-orang Seberang keluar dari rumah berjalan kaki menuju Langgar. Guru Nadjmi ada diantara para pejalan kaki itu. Setiap langkahnya mantap, berjalan tegap, ditambah lagi dengan pakaiannya yang serasi. Kain sarung, baju kurung telok belango (kini orang-orang menyebutnya baju koko), sorban dan peci. Semuanya berwarna putih. Dalam hentakan langkahnya seolah ia berbicara, “aku adalah suaminya Ulya”. Tak heran memang, karena Ulya merupakan seorang gadis cantik, ayu, penuh kelembutan, santun, cerdas, rajin, ulet dan pantang menyerah. Dalam dirinya tergabung dua hal, feminim sekaligus maskulin. Ia mampu bersikap lemah lembut dan berpikir cerdas dalam satu tindakan. Ulya merupakan anak bungsu dari tiga saudara. Kakaknya yang pertama bernama Makiyah. Kedua, Abdullah Dung. Meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Bagi keluarga besar guru Qadir, Ulya bukanlah nama yang asing. Ulya merupakan anak bungsu dari H. Abdul Syukur. Kakeknya bernama H. Thaher, mertua dari tuan guru Abdul Qadir Ibrahim. Selain ada ikatan keluarga, H. Thaher berteman dekat dengan KH. Ibrahim, datuknya guru Nadjmi. Pada eranya, semua orang Jambi mengenal H. Taher. Ia merupakan pemilik beberapa perusahaan besar di Jambi. Diantaranya perusahaan karet dan ekspor impor garam. Pernah ber-perkara dengan Belanda dan dibantu oleh seorang advokad ternama,


Fajri Al-Mughni 85 Muhammad Yamin, dan menang. Muhammad Yamin merupakan seorang pakar hukum yang namanya banyak diabadikan menjadi nama jalan penting pada banyak Kota di Indonesia. Salah satunya jalan Muhammad Yamin, berada tepat di sebelah gedung Kedutaan Besar Inggris di kawasan elit Menteng, Jakarta Selatan. Setelah kejadian itu, usahanya berkembang sangat pesat. Bahkan hampir setengah dari ruko-ruko yang ada di Kota Jambi dibelinya. Catatan paling menarik adalah, H. Taher merupakan seorang hartawan yang dermawan. Kecintaannya terhadap Islam dikombinasikan dengan sikap nasionalisme yang tinggi. Ia menentang penjajahan Belanda, berjuang dengan harta, jiwa dan raga. Dalam perjuangannya melawan para penjajah, H. Taher tidak sendiri. Ia ditemani sahabatnya, seorang ulama kharismatik, KH. Abdul Qadir Ibrahim. Konsistensi tinggi perjuangan H. Taher dalam menyiarkan Islam bukan hanya isapan jempol. Perencanaan matang dan semangat Spartan telah ditunjukkan olehnya. Bersatunya dua insan, Muhammad Nadjmi Qadir dan Ulya binti Abdul Syukur adalah sebagai pewaris dakwah H. Taher dan sahabatnya KH. Abdul Qadir Ibrahim. *** Setelah H. Taher dan Abdul Syukur meninggal, Ulya sebagai anak bungsu dipercaya untuk membantu dua orang kakaknya, Makiyah dan Abdullah Dung dalam melanjutkan bisnis datuk dan ayahnya tersebut. Abdul Syukur meninggal ketika Ulya masih remaja, 12 tahun umurnya. Tapi kedewasaan dan ketelitiannya dalam membantu kedua kakaknya membuat ia benar-benar diamanahi untuk mengurusi bisnis-bisnis itu. Hebatnya, Ulya bahkan tidak hanya melanjutkan usaha yang sudah berjalan. Namun juga mencoba mengembangkan bisnis yang lain. Berjualan kain dan kerupuk. Kesibukannya dalam mengurusi usaha milik keluarga, membuatnya lupa bahwa umurnya kian bertambah. Banyak para lelaki


86 Nadjmi : Guru Sejati dan Politikus Hakiki ingin mempersuntingnya, tapi ia abai. Kawan-kawannya pada masa itu telah banyak yang berkeluarga dan beranak pinak. Tapi Ulya tidak tertarik menikah cepat. Banyak yang bertanya kapan menikah, Ulya menjawab singkat, “saya menunggu bintang yang paling terang sinarnya”. Orang-orang tak paham dengan kalimat itu, mereka pikir Ulya asal menjawab. *** Hari berganti, bulan berlanjut, tahun-tahun terus menggenapi hitungannya. Menjelang akhir tahun 1964, Oktober mendekati november, Ulya sibuk mencatat dan bersiap membuat catatan penutup bisnisnya. Tutup buku. Dalam kesibukannya itu ia merasakan hal-hal yang selama ini tak pernah ia rasakan. Alam seolah memberi kode bahwa akan datang hari bahagia. Beberapa tanda bermunculan. Setiap kali hendak pulang ke rumah, daun-daun sekitar rumahnya mendadak segar. Bunga-bunga mekar tidak pada musimnya, daun-daun serai berubah warna menjadi ping, daun pandan aromanya kadang seperti mawar, duri tangkai mawar seketika tumpul dan putri malu tak kunjung kuncup meski disentuh berkali-kali. Ketika malam, bintang-bintang berkedip dengan intensitas tinggi. Kelihatan lebih terang dari biasanya. Sinar purnama menerangi sungai Batanghari sampai ke dasar. Ikan-ikan mengadakan pesta kecil-kecilan, paduan suara ikan Juaro terdengar dari pinggir sungai. Suaranya kurang kompak, tapi ikan-ikan yang lain menghargai usaha mereka untuk menghibur. Kata mereka, “nikmati saja, nanti Juaro tersinggung”. Keesokan harinya, Ulya mendengar kabar bahwa ia akan dilamar. Pikirnya, siapa lelaki yang berani-beraninya melamar tanpa sebelumnya memberi kabar. Betapa terkejutnya Ulya, lelaki itu ternyata sang bintang yang selama ini sinarnya telah lama terpancar. Seorang lelaki yang dilahirkan dari rahim perempuan hebat yang telah lama ia kenal, Hj. Zainab.


Click to View FlipBook Version