The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by handojo.e, 2022-12-02 11:06:39

Goresan Hati - Izack Yusuf Sipasulta

Goresan Hati - Izack Yusuf Sipasulta

Keywords: goresanhati,izackyusufsipasulta

Untuk para terkasih
yang ditinggalkan ……

Goresan Hati

Penulis
Pdt. Izack Yusuf Sipasulta, S.Th., M.Si.

Penyusun
Rosalina Djuharto

Tim Editor
Sotyati
Fe Angka
Putri Yulianti Rahayu

Desain Sampul dan Tata Letak
Detak Pustaka

Ilustrator
Detak Pustaka

Penerbit
Detak Pustaka

Redaksi
Jl. Kandangan, Rejoagung, Ngoro
Jombang, Jawa Timur, 61473
Telp : +62 858-5003-8406
E-mail : [email protected]
Website : www.detakpustaka.com

Cetakan Pertama, November 2022

Kata Sambutan

Terus Memilih Menjadi Berkat

Tidak ada manusia yang dapat memilih kapan ia meninggal
dan bagaimana ia mengakhiri kehidupannya. Namun, tiap manusia
dapat memilih bagaimana ia menjalani dan mengisi kehidupannya.

Almarhum Pdt. Izack Sipasulta menjalani sakit penyakit
pada tahun-tahun terakhir kehidupannya. Ternyata sakit penyakit
yang dideritanya tidak menghalangi ia untuk terus menjadi berkat.
Berjuang melawan sakit penyakitnya, bergumul dengan kematian
yang ada di hadapan dan harus dihadapinya, menjadi hal yang harus
dilaluinya.

Alm. Izack adalah seorang pendeta, namun pendeta juga
adalah manusia, yang pasti memiliki ketakutan dan kekhawatiran.
Semasa hidupnya ia menjalani seluruh salib kehidupannya bersama-
sama dengan Tuhan dan juga dengan dukungan keluarga dan
sahabat.

Agustus 2022, Alm. Pdt. Izack seharusnya tiba di 20 tahun
pelayanannya. Namun, Tuhan berkata lain. Pada November 2021,
Tuhan memanggil Alm. Pdt. Izack pulang … Sudah cukup semua
yang dilakukan Alm. Pdt. Izack di dunia.

Pada 26 November 2022, kita mengingat setahun sudah Alm.
Pdt. Izack tidak lagi ada bersama dengan kita. Buku yang diterbitkan
ini berisi coretan-coretan Pdt. Izack selama ia bergumul dengan
sakit penyakit dan kematiannya. Dari sinilah kita belajar bagaimana
kita sebagai manusia belajar berdamai dengan keadaan, belajar

iii

menerima hal-hal yang tidak kita rencanakan, dan bagaimana kita
terus menjadi berkat apa pun dan bagaimana pun keadaan kita.

Perjalanan kehidupan tidak selalu berjalan sesuai yang
kita mau. Di tengah seluruh perjalanan yang kita jalani, biarlah
kita dimampukan untuk terus melakukan yang terbaik. Dalam
ketidaksempurnaan kita, namun juga dalam seluruh kepercayaan
yang Tuhan berikan kepada kita, mari kita belajar untuk melakukan
dengan optimal dan sepenuh hati, apa yang menjadi bagian kita.

Kita tidak pernah dapat memilih kapan kita meninggal dan
bagaimana kita mengakhiri kehidupan kita. Namun, kita selalu dapat
memilih bagaimana mengisi kehidupan kita.

Terus semangat untuk Kak Rosa dan Tim. Tuhan senantiasa
menjaga dan memberkati.

Pdt. Cordelia Gunawan
Sekretaris Umum Badan Pekerja Majelis Sinode
Wilayah Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah (BPMSW GKI SW)
Jawa Barat 2019 – 2023

iv

Sekapur Sirih

Pada Agustus 2022 ini, genap 20 tahun masa pelayanan
Pendeta Izack Yusuf Sipasulta S.Th., M.Si., sejak ditahbiskan ke dalam
jabatan Pendeta Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Barat
di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Cawang Baru Tengah 28-30
Jakarta Timur. Namun, Izack tidak sempat berefleksi atas perjalanan
pelayanannya, apalagi merayakannya. Tuhan memanggilnya pulang
ke pangkuan-Nya, pada November 2021.

Dua tahun lebih dua bulan Izack Sipasulta menjalani
kehidupan dengan “menantikan hari Tuhan memanggilnya”, setelah
menghadapi vonis ia mengidap kanker paru stadium lanjut, pada
3 September 2019. Kenyataan yang mengagetkan bagi Izack, yang
tidak pernah merasakan gejala sakit “berat” yang menyebabkannya
harus berurusan dengan rumah sakit.

Di dalam pergumulannya, Izack, sebagai manusia biasa, tidak
memungkiri dihinggapi ketakutan, terutama ketika dihinggapi
pertanyaan bagaimana proses menuju kematian itu sendiri. Namun,
sebagai pendeta, ia belajar memahami, sesungguhnya kematian
sendiri bukanlah hal yang menakutkan. Kematian berarti berakhir
pula segala penderitaan dan kesakitannya. Ia juga meyakini,
kematian berarti bertemu dengan Yesus, memandang wajah Yesus.

Izack, yang rajin menulis sejak belia, menuangkan
pergumulannya dalam tulisan-tulisan perenungan, dalam bentuk
opini, catatan harian, maupun puisi. Bukan hanya meninggalkan
kenangan suka-duka yang tiada terlupakan bagi keluarga dan
jemaat yang mengasihinya, ia juga meninggalkan warisan renungan
yang tentunya berharga dan bermanfaat, terutama bagi siapa pun
yang mengalami pergumulan yang sama dengannya.

v

Terkait dengan hal itu, terbersit keinginan untuk menerbitkan
peninggalan reflektif itu dalam bentuk buku, dari mulai naskah
yang tersimpan rapi dalam fail khusus, naskah yang sudah tercetak,
maupun yang tercecer di gawai. Tim Penyusun membagi tulisan-
tulisan yang ia tinggalkan dalam bab-bab Catatan Harian, Renungan,
dan Puisi. Tim Penyusun juga melengkapinya dengan biografi Izack,
cita-citanya, dan kesan teman-teman sejawat.

Buku ini menjadi salah satu refleksi penuangan buah pikiran
dan pergumulan Izack, yang diharapkan bisa menjadi cermin
bagaimana belajar berhenti meratap, menerima keadaan, dan terus
berkarya selagi diberikan kesempatan oleh-Nya.

“Setiap hari ingin menjalani hari dalam pengharapan segala
sesuatu akan menjadi lebih baik. Tetapi, jika melihat kenyataan yang
ada, rasanya juga harus belajar berserah pada kehendak Tuhan.
Berharap boleh saja, tetapi berserah lebih penting agar hidup tidak
menjadi beban. Berharap bisa terus hidup, berserah jika waktunya
memang sudah selesai. Semua itu tidak bergantung pada saya,
tetapi kehendak Tuhan. Terima kasih untuk hari yang Engkau berikan
kepada saya. Akan saya nikmati dengan ucapan syukur.” (*)

Penyusun

vi

Daftar Isi

iii Kata Sambutan
v Sekapur Sirih
vii Daftar Isi
1 Bab I Buku Harian Izack
33 Bab II Renungan dan Sapaan Gembala
68 Bab III Kumpulan Puisi
105 Bab IV Kesan-Kesan Sejawat
143 Izack Dalam Kenangan Keluarga
167 Terima Kasih
168 Biodata Izack Yusuf Sipasulta

vii





BAB I

Dari Buku Harian Izack Sipasulta
Tuhan Buka Jalan ketika Tiada Jalan

Pengantar

Menulis menjadi bagian tidak terpisahkan dalam perjalanan
kehidupan Pdt. Izack Yusuf Sipasulta. Ia rajin menulis, apa pun, mulai
dari yang serius seperti opini dan tulisan reflektif lainnya, hingga puisi.
Sebagian besar tulisan ia simpan rapi dalam fail khusus di komputer
jinjing, sebagian lagi tersebar dalam bentuk dokumen lain, termasuk
di ponsel. Menulis menjadi “tempat curhat”, “bilik pengakuan”,
hingga perenungan atas pergumulannya ketika menerima vonis ia
mengidap kanker stadium IV.

Bab I dalam buku ini, merupakan kumpulan dari tulisan buah
perenungan atas pergumulannya dalam menghadapi vonis itu.

3 September 2019: Vonis Kanker

Apa rasanya ketika diberitahu dokter ada benjolan di paru
dan benjolan itu kanker stadium IV?

Nggak tahu apa yang dirasakan. Saya hanya duduk mendengar
penjelasan dokter. Menerima permintaan dokter untuk dirawat dan
dibiopsi.

2

Apakah sedih? Nggak tahu juga! Seolah belum sadar dengan
apa yang terjadi. Otak belum mampu menerima apa yang terjadi.

Yang saya tahu, saya masih bisa tersenyum saat nama saya
dipanggil, untuk beberapa tindakan yang harus saya lakukan.

Kata dokter, kanker paru memang sulit diketahui, biasanya
pasien datang saat sudah stadium lanjut!

Tuhan, selama ini saya tidak merasakan ada hal yang sangat
mengganggu pada badan saya.

Tidak ada demam yang berhari-hari hingga harus dirawat.
Tidak ada batuk yang menyiksa atau batuk berdarah. Saya tidak
pernah dirawat di rumah sakit karena sakit. Yang saya ingat, saya
pernah dirawat rumah sakit saat kecil kelas 4 atau 5 sekolah dasar
karena operasi amandel. Itu saja!

Dan, sekarang saya dirawat karena sesuatu yang jauh dari
yang dapat saya pikirkan.

9 September 2019: Keluarga dan Sahabat Datang
Menjenguk

Sore itu, seusai mandi, ketika keluar dari kamar mandi, saya
melihat keluarga saya sudah berkumpul di ruang tamu. Ada Mami,
Maola, Maopy, Maima, Papa Emy, Papa Chepy dan keponakan-
keponakan.

Beberapa hari setelah pulang dari Penang, Malaysia, saya
belum memberitahukan apa-apa. Setiap ditelepon, saya menjawab
kalau saya baik-baik saja. Tetapi sore itu, tangis saya pecah ketika
mereka satu demi satu memeluk saya. Mereka sudah tahu apa

3

yang terjadi pada diri saya. Setelah puas menangis, barulah saya
menceritakan segala yang telah saya jalani di Penang.

Mereka menyimak dan memberikan kekuatan. Bahwa saya
harus berjuang. Mereka akan berjuang bersama-sama dengan saya.

Sungguh tak ada yang begitu mengasihi kita selain keluarga.
Kasih dan perhatian mereka tidak akan pernah ada habisnya untuk
saya. Terima kasih Tuhan, karena Engkau memberikan kepada saya
keluarga yang mengasihi saya dengan sepenuh hati.

Beberapa hari kemudian datang rekan pendeta senior yang
bagi saya sudah seperti orang tua sendiri. Pdt. Paul Suradji dan
Ibu Wiwi, istrinya. Kembali tangis saya pecah. Saya merasa begitu
hancur. Mereka menghibur saya dan memberikan kekuatan. Pelukan
yang tulus dan penuh kasih menjadi kekuatan bagi saya. Tidak perlu
banyak kata dan nasihat. Sebuah pelukan sudah menceritakan
segalanya.

Setelah itu, berdatangan saudara-saudara dari gereja, teman-
teman pemuda, dan bapak-ibu yang lain. Kami menangis bersama.
Tuhan mengirimkan malaikat-malaikat-Nya untuk menemani saya,
memeluk saya, dan menyadarkan bahwa saya tidak sendirian.

4

Sejak Lahir Diharapkan Jadi Pendeta

Dua tahun lebih dua bulan Pdt. Izack Yusuf Sipasulta menjalani
kehidupan dengan “menantikan hari Tuhan memanggilnya”, setelah
menghadapi vonis tentang penyakitnya, 3 September 2019.

Membaca renungan tentang kematian yang ia tulis, Izack
sangat menyadari sesungguhnya kematian sendiri bukanlah hal
yang menakutkan. Kematian, bagi Izack, berarti berakhir segala
penderitaan dan kesakitannya. Kematian, berarti bertemu dengan
Yesus, memandang wajah Yesus. Kematian berarti bertemu dengan
orang-orang yang ia kasihi yang telah mendahului.

Namun, sebagai manusia, ia tidak mengingkari dihinggapi
ketakutan, terutama ketika dihinggapi pertanyaan bagaimana
proses menuju kematian itu sendiri.

Perjalanan waktu yang menggiringnya ke kesadaran. Alih-alih
terpuruk dalam penderitaannya, imannya menuntunnya untuk tetap
berkarya, hingga akhir hayat, ketika Tuhan Yesus memanggilnya,
pada November 2021. “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang
mengutus Aku, selagi masih siang; akan datang malam, di mana
tidak ada seorang pun yang dapat bekerja.” (Yohanes 9: 4)

Izack Yusuf Sipasulta dilahirkan di Ambon pada 23 Oktober
1973. Kelahiran anak kelima itu menambah kebahagiaan pasangan
Anthon Sipasulta-Ariance Huwae, yang sebelumnya sudah dikaruniai
empat anak, yakni Frangky, Yola, Sophie, dan Yuli. Sesudah Izack,
pasangan itu masih dikaruniai seorang anak laki-laki, Thomas.

Anthon Sipasulta berkarya sebagai syahbandar, pejabat
pemerintah di pelabuhan, dan terakhir bertugas di Tual, Ambon,
sedangkan Ariance Huwae seorang guru Bahasa Inggris.

Ada sepenggal kisah di balik pemberian nama bayi Izack
Sipasulta. Kakeknya, juga bernama Izack Sipasulta, pendeta di Gereja
Protestan Maluku, menginginkan si cucu yang baru lahir diberi nama

5

Izack, seperti namanya. Namun, pada sisi lain, Oma Sipasulta ternyata
menginginkan si bayi diberi nama dengan mengambil nama ayah
dari Oma Sipasulta.

Seminggu berlalu, dan si bayi belum juga punya nama. Opa
Sipasulta yang datang menjenguk, dan mendapati cucunya belum
punya nama, beranggapan si bayi memang sepertinya mau nama
Izack. Bahkan Opa Sipasulta sendiri yang mengurus surat kelahiran
cucunya ke kantor pemerintah.

Terungkap di dalam “Buku Acara dalam Penahbisan Pnt.
Khusus Izack Sipasulta – ke Dalam Jabatan Pendeta Gereja Kristen
Indonesia untuk Pelayanan di Jemaat GKI Cawang Jalan Cawang
Baru Tengah No. 28-30 Jakarta 13340”, Opa Sipasulta menyiratkan
keinginannya cucu itu kelak menggantikannya sebagai pendeta.

Sejak itu pula, seperti penuturan Ariance, mengutip dari Buku
Acara itu, Izack kecil menjadi bagian dalam kehidupan kakeknya.
Bukan hanya sang kakek, Oma Sipasulta pun mencurahkan kasih
sayang kepada Izack. Setiap ada waktu luang, Opa Sipasulta
mengajak Izack berjalan-jalan. Ia sering mengatakan kepada
jemaatnya, cucunya itu kelak menggantikannya sebagai pendeta.

Keinginan itu akhirnya tertanam dalam benak banyak orang,
Oma Sipasulta dan pasangan Ariance-Anthon Sipasulta.

Namun, tidak demikian halnya dengan Izack. Ada bidang
lain yang lebih menarik perhatiannya. Dalam pertumbuhan
kedewasaannya, Izack menyatakan keinginan meneruskan
pendidikan ke psikologi. (*)

6

September 2019: Mulai Kemoterapi Oral

Saya bersyukur Tuhan memberikan petunjuk untuk menjalani
pengobatan di Penang. Semua terasa dimudahkan. Perawat, dokter,
bagian administrasi, konselor, semuanya begitu menolong.

Pemeriksaan yang dilakukan hanya dalam waktu setengah hari
terasa menyenangkan. Apalagi ketika dokter berkata pengobatan
saya dapat dilakukan dengan obat tablet oral. Wah, rasanya senang
sekali.

Saya bersyukur karena Dokter Fabian juga mengupayakan
pengobatan dengan paket bonus. Saya bersyukur karena walaupun
obat Tagrisso yang harus saya pakai harganya 100 juta rupiah untuk
tiga bulan, segala sesuatu dicukupkan oleh Tuhan.

Saya bersyukur untuk dukungan teman-teman Majelis Jemaat
(GKI Cawang – Red), komisi-komisi, anggota jemaat. Saya bersyukur
untuk kebaikan hati teman-teman BPK (Badan Pendidikan Kristen)
PENABUR Jakarta yang juga dengan penuh kasih mendukung saya.

April 2020: Mulai Kemoterapi Infus

Saya bukan orang yang suka obat, tetapi sekarang harus
mengonsumsi banyak obat. Di samping itu, darah diambil hampir
setiap bulan, dan diinfus per tiga minggu.

Dulu, kalau sakit kepala, saya lebih memilih tidur atau
beristirahat daripada minum obat. Perubahan ini sungguh tidak
nyaman, tetapi harus dijalani.

Saat-saat menjalani kemoterapi infus menjadi hal yang sangat
tidak nyaman dan menyakitkan bagi saya. Badan rasanya tidak
karuan. Berasa sakit dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Tidak

7

bisa tidur, sepanjang malam mata terbuka, pikiran kacau, rasanya
seperti orang mau mati.

Malam terasa sangat panjang.
Tuhan, saya kesakitan.
Pukul 4 pagi saya harus bangun, karena sudah tidak dapat
lagi menahan sakit pada tubuh ini. Tadi malam saya tidur pukul 10
malam setelah Lab Preaching bersama beberapa teman kuliah. Pukul
12 malam saya terbangun karena sakit pada bagian kanan tubuh.
Setelah itu, tidak bisa tidur nyaman lagi. Hanya bisa duduk sebentar,
ke toilet, keluar kamar, duduk di ruang tamu. Padahal, saya masih
mengantuk. Masih ingin tidur. Tetapi, apa daya, badan yang sakit
membuat tidak nyaman untuk tidur.
Tuhan, saya kesakitan.
Rasanya itu yang ingin saya sampaikan kepada Tuhan. Bukan
karena kesakitan malam ini saja, tetapi karena kesakitan yang telah
berlangsung beberapa malam ini.
Tuhan, saya ingin membaringkan tubuh yang sakit ini tidur
dengan nyaman.
“Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera
tidur, sebab hanya Engkaulah, ya Tuhan, yang membiarkan aku diam
dengan aman” (Mazmur 4:9).

8

“Eli, Eli, Lama Sabakhtani”

Eli, Eli, lama sabakhtani? Boleh nggak kita merasa ditinggalkan
Allah? Allah tidak memperhatikan kita, Allah tidak mendengarkan
doa kita.

Tidak boleh? Mengapa tidak boleh? Yesus saja waktu
tergantung di kayu salib berteriak, “Allahku, Allahku, mengapa
Engkau meninggalkan aku?”

Dalam kesakitan yang teramat sangat, saya meregang
nyawa, tergantung di antara langit dan bumi. Sangat wajar merasa
ditinggalkan. Tetapi, benarkah Allah meninggalkan?

Tidak! Allah ada. Allah hadir dalam kesakitan. Allah hadir
dalam kematian.

Sakit yang mendera dengan tiba-tiba ini kadang membuat
saya merasa Allah meninggalkan saya. Allah tidak peduli. Bahkan
saat berdoa, berseru, dan berteriak memohon belas kasih Allah,
Allah seolah diam. Bahkan Allah tidak ada.

Tetapi, saya menyadari sebagaimana Bapa tidak pernah
meninggalkan anak-Nya yang tergantung di kayu salib, demikian
juga Allah tidak akan pernah meninggalkan saya dalam kesakitan ini.

Allah adalah napas yang saya hirup setiap saat, memenuhi
paru dan jantung saya. Allah adalah udara di sekitar saya yang selalu
ada bersama saya. Tidak akan pernah Allah tidak menyertai hidup
saya. Apalagi saat badan kesakitan dan jiwa remuk karena penyakit
yang saya alami. Allah ada bersama saya sesuai firman-Nya.

“Tuhan itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia
menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mazmur 34:19).

9

Sekolah Berpindah-pindah

Izack Yusuf Sipasulta menjalani kehidupan masa kecil hingga
remajanya berpindah-pindah kota.

Ia menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3
di Dobo, Maluku. Lalu, seperti dapat dibaca di “Buku Acara dalam
Penahbisan Pnt. Khusus Izack Sipasulta – ke Dalam Jabatan Pendeta
Gereja Kristen Indonesia untuk Pelayanan di Jemaat GKI Cawang
Jalan Cawang Baru Tengah No. 28-30 Jakarta 13340”, ia meneruskan
pendidikan di Pulau Jawa. Keluarga itu memiliki kebiasaan mengirim
setiap anak bersekolah ke Pulau Jawa seusai menyelesaikan
pendidikan sekolah dasar. Izack bersekolah di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Strada Budi Luhur, Bekasi, Jawa Barat.

Menginjak kelas dua SMA, Izack kembali ke Maluku,
meneruskan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) ke
SMAN I Tual, Maluku. Ayahnya, Anthon Sipasulta, diangkat menjadi
syahbandar di Tual, dan ia diminta pindah sekolah kembali ke
Maluku untuk menemani Thomas, adiknya.

Izack menyesali kepindahan itu. Namun demikian, ia berhasil
menyelesaikan pendidikan SMA-nya dengan baik. Dan, layaknya
lulusan terbaik lainnya, kepala sekolah menawari Izack meneruskan
pendidikan ke perguruan tinggi dengan mengikuti jalur PMDK
(penelusuran minat dan kemampuan).

Seleksi PMDK dikenal juga dengan Jalur Prestasi, adalah jalur
seleksi penerimaan calon mahasiswa melalui seleksi prestasi bidang
akademik (rapor dan nilai ujian nasional), olahraga dan seni, dan
atau undangan institusi. (*)

10

Harus Berhenti Melayani Kebaktian

Susah bernapas membuat saya juga susah untuk berbicara,
dan itu membuat saya harus berhenti melayani kebaktian-kebaktian.
Hal ini membuat saya sangat bersedih.

Tuhan, selama bertahun-tahun, berkhotbah adalah pekerjaan
saya. Tetapi, sekarang saya tidak dapat melakukannya.

Dulu saya tidak mau jadi pendeta karena tahu bukan tipe
orang yang suka berbicara di depan umum. Saya juga bukan tipe
orang yang suka mengajar orang hidup benar, menegur, dan
sebagainya.

Saya sadar, saya juga bukan orang yang benar. Bagi saya,
setiap orang harus tahu apa yang baik yang harus ia lakukan, apalagi
kalau orang itu orang dewasa.

Dulu saya tidak mau jadi pendeta yang berdiri di mimbar dan
berkhotbah, tetapi Engkau membuat saya menjadi pendeta. Dan,
sekarang saya tidak dapat berkhotbah karena sesak napas.

Saya harus berhenti!
Selama tidak berkhotbah saya merenung.
Apakah selama ini khotbah saya memuliakan Tuhan: Apakah
berfokus pada Tuhan?
Apakah dalam setiap khotbah saya, orang melihat Kristus
diberitakan, mereka dibarui dan terus hidup di dalam Kristus?
Apakah saya memperkatakan isi hati Allah atau isi hati saya?
Apakah puji-pujian itu ditujukan kepada saya atau kepada
Tuhan?
Tuhan, ampuni hamba-Mu ini jika apa yang hamba lalukan
tidak berkenan bagi-Mu. Sejak saat ini ajar hamba untuk mengenal
hati Tuhan dan memperkatakan isi hati Tuhan seumur hidup hamba.
“Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan
puji-pujian kepada-Mu” (Mazmur 51:17).

11

Pemberontakan dalam Diam

Ariance Huwae, dalam kesaksiannya seperti dapat dibaca
di “Buku Acara dalam Penahbisan Pnt. Khusus Izack Sipasulta – ke
Dalam Jabatan Pendeta Gereja Kristen Indonesia untuk Pelayanan
di Jemaat GKI Cawang Jalan Cawang Baru Tengah No. 28-30 Jakarta
13340”, mengatakan Izack, berbeda dengan anak-anaknya yang lain,
tumbuh besar menjadi anak yang pendiam.

Namun, bukan berarti Izack tidak bisa memberontak. Izack,
menurut penuturan ibunya, pernah beberapa kali memberontak.

Ia “memberontak” dalam bentuk menggerutu tak berkeputusan
ketika diminta pindah ke Tual dari Bekasi, pada kenaikan ke kelas dua
SMA, sekalipun untuk alasan menemani adiknya. Pemberontakan
kedua terjadi ketika ia tiba-tiba berterus terang, bahkan bersikukuh,
tidak mau menjadi pendeta seperti harapan banyak orang-orang
terkasihnya. Ia menyatakan keinginannya untuk belajar psikologi.
Bagi Izack, belajar psikologi, menjadi guru bagi murid-murid
berkebutuhan khusus, sama saja dengan berkarya di ladang
pelayanan. Tentang “pemberontakan” itu, Ariance menduga Izack
tahu betapa berkarya sebagai pendeta tidaklah mudah.

Untuk alasan itu, Izack berperang melawan setiap orang.
Hanya ayahnya, Anthon Sipasulta, yang memahami keinginannya.

Di dalam “Buku Acara dalam Penahbisan Pnt. Khusus Izack
Sipasulta – ke Dalam Jabatan Pendeta Gereja Kristen Indonesia untuk
Pelayanan di Jemaat GKI Cawang Jalan Cawang Baru Tengah No.
28-30 Jakarta 13340”, terungkap hasil kompromi dari persoalan itu.
Izack mengatakan, “Ada perjanjian. Saya tidak mengambil apa-apa
yang ditawarkan kepala sekolah (melalui seleksi Jalur PMDK – Red),
dan mengikuti tes di Sekolah Tinggi Teologia. Kalau sekali ini tidak
lulus tes (di STT – Red), saya tidak mau masuk lagi. Berarti bukan di
situ tempat saya.”

12

Izack menjalani tes masuk Sekolah Tinggi Teologia Jakarta
(STT Jakarta, sekarang bernama Sekolah Tinggi Filsafat Theologi
Jakarta - Red) berbekal rekomendasi dari Gereja Kristen Indonesia Jl.
Layur, Jakarta Timur. Izack, seperti pengakuannya, hanya menjalani.
Masuk STT bukanlah jalan yang harus ia tempuh. (*)

Pergumulan Batin

Perjalanan Izack Sipasulta menjadi pendeta bukan perjalanan
hidup yang mulus. Ia beberapa kali menghadapi pergumulan batin,
yang membuatnya sempat “marah” kepada Tuhan.

Pergumulan batin pertama ia alami ketika Oma Sipasulta,
nenek yang sangat menyayanginya, yang menganggapnya sebagai
penerus suaminya, dipanggil Tuhan. Izack merasakan duka yang
sangat mendalam. Ia merasa sangat kehilangan.

Belum juga pulih rasa kehilangan itu ketika dua bulan
kemudian, ayahnya meninggal dalam kecelakaan pesawat, dalam
perjalanan dari Jakarta kembali ke Ambon. Dan, peristiwa itu terjadi
justru ketika ia bersedia menjalani tes masuk STT Jakarta.

Anthon Sipasulta, yang pada saat itu menjabat syahbandar
di Tual, bahkan sempat menunggui Izack menempuh tes masuk
STT Jakarta. Namun, bertepatan dengan itu, ia mendapat panggilan
untuk menjalani pendidikan lanjut di Makasar. Dalam perjalanan
kembali ke Ambon, pada Juli 1992, pesawat yang ditumpangi jatuh
karena cuaca buruk.

Izack, seperti dikisahkan ibunya, dalam Buku Acara, seperti
mengutuk Tuhan. Mengapa Tuhan mengambil ayahnya, pada saat
ia sudah mau bersekolah pendeta. Izack, dalam pengakuannya,
sulit menerima kenyataan itu. Bagaimana mungkin semua itu bisa

13

terjadi, pada saat baru saja ia mau masuk STT, menyerahkan diri. Ia
mengenang, “Sungguh Dia jahat sama saya. Oma meninggal, lalu
Papi. Itu yang bikin saya bertambah marah. Kenapa orang-orang
yang saya sayangi diambil-Nya?”

Gejolak perasaan seperti itu terus menggelayutinya hingga ia
kembali ke Jakarta seusai pemakaman ayahnya. Gumpalan perasaan
itu kemudian berpadu dengan perasaan marah ketika ia mendapat
kabar diterima di STT Jakarta. Izack meluapkan perasaannya
dalam bentuk tidak mau masuk gereja. Ia tetap menjalani kuliah,
mengerjakan tugas kuliah, membuka Alkitab, membacanya, tetapi
tanpa meresapinya.

Seiring perjalanan waktu, ia mulai kembali memasuki pintu
gereja. Memulai dari sekadar duduk manis, seperti pengakuannya.
Tidak ikut menyanyi, tidak ikut berdoa. Pendeta berkhotbah tentang
kasih Tuhan, ia menyangkalnya di dalam hati.

Izack merasa bersyukur memiliki ibu yang tak henti menasihati.
Di lubuk hati yang paling dalam, ia mengakui, seperti dapat dibaca
di Buku Acara, sepeninggal ayahnya, sekalipun menghadapi
keterbatasan, ia merasakan ada hal-hal luar biasa yang tidak ia
rasakan sebelumnya. Antara anggota keluarga menjadi semakin
akrab, saling memperhatikan, dan mereka sering melewatkan waktu
berdoa bersama-sama. Izack, dalam pengakuannya, mengatakan
ada suatu maksud Tuhan di balik semua kejadian itu. Ia seperti
digiring ke pemikiran itu.

Ariance Huwae, seperti pengakuannya, mengatakan, ada
rencana Allah yang terindah. Kalau ayahnya ada, mungkin anak-
anak tidak beranjak dewasa karena bergantung pada figur ayah.
Ketiadaan ayahnya lebih mendorong mereka saling mengenal kasih
Tuhan.

Izack menyadari, ketiadaan penopang keluarga mendewasakan
semua anggota keluarga. Ibunya pun perlu dikuatkan. Satu per

14

satu kakaknya mulai bekerja. Ketika ia bisa menerima kenyataan, ia
bahkan berucap syukur diberi kesempatan untuk berkumpul setahun
dengan ayahnya, pada waktu ia diajak pindah dari Bekasi ke Tual.

Ia, seperti dapat dibaca di “Buku Acara dalam Penahbisan
Pnt. Khusus Izack Sipasulta – ke Dalam Jabatan Pendeta Gereja
Kristen Indonesia untuk Pelayanan di Jemaat GKI Cawang Jalan
Cawang Baru Tengah No. 28-30 Jakarta 13340” bersyukur Tuhan
memberi kesempatan kepadanya untuk merasakan keakraban dan
kehangatan bersama ayahnya. (*)

Lulus STT namun Merasa Gagal

Izack menyelesaikan pendidikan di STT Jakarta pada
tahun 1998. Jika tidak ada “masalah skripsi”, ia sebetulnya dapat
menyelesaikan kuliahnya lebih cepat.

Awalnya ia mengajukan skripsi tentang Yin dan Yang dalam
tradisi Tiongkok. Namun, pembimbing skripsinya, seorang guru
besar, menolaknya, justru pada saat-saat terakhir pengajuan.

Lagi-lagi, tidak mudah bagi Izack yang selama ini merasa
berprestasi bagus, menerima kenyataan itu. Sangat manusiawi ia
membandingkan dengan prestasi teman seperkuliahan lain yang
hanya pas-pasan, namun tidak mengalami kendala dalam pengajuan
skripsi.

Bertemu dosen lain yang bersedia mendiskusikan skripsinya,
Izack mengubah haluan, menggarap skripsi baru mengambil tema
yang lebih aktual, pandangan Islam tentang Kristen di Indonesia. Ia
memulai dari nol, mengejar ketertinggalannya selama tiga bulan.

15

Namun, lulus juga tidak melegakan hatinya. Kembali
kegamangan menggelayutinya. Ia tidak tertarik menjadi pendeta,
yang menyebabkannya tidak segera melapor ke GKI yang
memberinya beasiswa. Ia merasa membawa beban “cacat”, gagal
memberikan yang terbaik, dengan membanding-bandingkan
dirinya dengan lulusan GKI lain yang menurutnya selalu menjadi
kebanggaan.

Bahkan sempat terlintas dalam pikirannya mencari pekerjaan
lain. Menjadi pelayan restoran pun tak apa, pengakuannya dalam
Buku Acara.

Menyadari tidak bisa lari dari tanggung jawab, Izack akhirnya
melapor, setahun kemudian. Bahkan dalam proses wawancara pun
ia masih selalu mengingatkan diri akan kegagalannya sehingga ia
memilih ditempatkan di desa. Namun, ia justru ditempatkan di GKI
Jl. Bekasi Timur, Jatinegara, Jakarta Timur, gereja tempat berkarya
Pendeta Dr. Eka Darmaputera dan Pendeta Ferdy Suleeman, yang
meminjam istilahnya, dianggap ‘dewa-dewa’ –nya GKI.

Kenyataan itu membawanya ke suatu kesadaran baru.
“Mungkin di dalam diri saya selama ini ada kesombongan, kalau lulus
dan masuk gereja, bakal menjadi pendeta yang sombong karena
merasa selama ini prestasi saya bagus. Tuhan mengingatkan, kalau
menjadi pelayan tidak boleh sombong dengan prestasi. Tuhan tahu
siapa kita. Tuhan mau saya rendah hati. Tuhan mengatakan bahwa
saya bukan siapa-siapa. Begitulah ketika masuk GKI Bekasi Timur,
saya sampai pada kesadaran bahwa saya bukan siapa-siapa,” ujar
Izack, seperti dapat dibaca di Buku Acara di acara penahbisannya.

Enam bulan, Izack bertugas di GKI Bekasi Timur. Bekerja di
gereja dengan pendeta-pendeta yang sering menjadi acuan, ia
pun harus mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ia bertekad untuk
mendalami dan menikmati apa yang dipercayakan kepadanya, serta
mengerjakan semua itu sebaik mungkin.

16

Izack sampai pada kesadaran, seperti itulah cara Tuhan
membentuk dirinya. Ia ingat ayahnya pernah berkata, kalau mencari
harta, bergantung sepenuhnya kepada Dia. Kalau mau menjadi
hamba, berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Begitu lulus dan
menjadi hamba, ia harus terus tunduk, harus rendah hati.

Ia menganggap semua orang di lingkungan GKI Bekasi Timur
punya andil dalam membentuk kepribadiannya. Ia tidak pernah
melupakan nasihat Pendeta Ferdy Suleeman, “Saya dulu juga sama
seperti kamu. Kita kan belajar dan terus belajar.”

Seusai mengikuti masa orientasi GKI Bekasi Timur, Jakarta,
Izack menjalani masa perkenalan di GKI Cawang, Jakarta. Ia
diteguhkan menjadi Penatua Khusus di gereja itu, pada tanggal 2
November 2000.

Selama proses perjalanannya menjadi pendeta, Izack
menjalani praktik jemaat pertama di Kerapatan Gereja Protestan
Mimbar (KGPM) Jalan Saharjo, Jakarta. Colegium pastorale pertama
ia jalani di GKI Pengampon Cirebon. Izack juga menjalani praktik
jemaat Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Jatipon-
Jatiwaringin, Jakarta. Colegium pastorale kedua ia jalani di GPIB
Immanuel, Mataram, Lombok.

Pada kenyataannya, keinginan untuk memperdalam ilmu
psikologi tak pernah terhapus dari dirinya. Sesudah lulus dari
sekolah Theologia, ia mengambil Program Magister Ilmu Psikologi
peminatan Psikologi Perdamaian di Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. (*)

17

“PHP”

Pengobatan kanker itu penuh ketidakpastian. Obat yang baru
dipakai ternyata sangat manjur, sel kanker mengecil. Tetapi, selang
beberapa bulan, sel kanker bermutasi.

Obatnya tidak lagi berfungsi dengan baik. Obat harus diganti.
Proses ini berlangsung bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali.
Apalagi setelah pemakaian kemoterapi infus dengan segala proses
CT Scan/PET Scan, setelah lemas karena kemoterapi dan mulai fresh,
ternyata kemudian obat kemoterapinya harus diganti. Lelah fisik dan
lelah mental.

Bersyukur Allah yang saya percayai bukanlah Allah yang PHP
(pemberi harapan palsu, istilah gaul – Red). Ia Allah yang setia pada
janji-Nya bahwa Ia akan menyertai dan tidak pernah membiarkan
sendiri.

Berharap Mukjizat Kesembuhan

Saat mukjizat terasa jauh, apakah saya percaya mukjizat?
Tentu saja saya percaya dengan sepenuh hati. Tetapi, saya menyadari
dengan kesungguhan hati mukjizat adalah hak Allah. Kepada siapa
Ia ingin memberi, Ia akan memberikannya.

Lalu bagaimana dengan saya? Tidakkah Allah akan
memberikan kepada saya? Ah, saya tidak tahu. Yang saya rasakan
mukjizat itu seolah jauh dari saya, dan bukan untuk saya.

Apakah saya berharap mukjizat kesembuhan itu terjadi pada
saya? Pasti!

18

Saya berharap Allah mengangkat dan mencabut sel-sel
kanker yang mengakar di tubuh saya dan memberikan saya hidup
lebih lama.

Kembali, itu hak Allah! Mungkin bagi Allah bagian saya sudah
cukup seperti yang dikatakan-Nya kepada Paulus: “Cukuplah kasih
karunia-Ku bagimu….” (2 Korintus 12:9)

It is okay! Mukjizat mungkin terasa jauh bagi saya, tetapi Allah
tidak akan jauh dan tidak akan pernah menjauh!

Melangkahkan kaki memasuki pelataran GKI Cawang, ada
kesedihan yang perlahan menyusup di hati. Saat duduk sendirian
di ruang kebaktian yang kosong, dada ini perlahan terasa sesak.
Tanpa terasa air mata menetes. Sembilan belas tahun sudah hidup
bersama dengan umat di sini. Tempat ini telah menjadi bagian dalam
hidup ini. Umat di sini telah menjadi keluarga yang berbagi tawa dan
juga tangis.

Tuhan, akankah semua berakhir sekarang? Masih ingin tetap
bersama. Masih ingin melayani. Tempat ini telah menjadi rumah bagi
saya.

Tetapi, sesungguhnya saya hanyalah seorang pengembara di
dunia ini dan di tempat ini.

Dan, saya hanyalah hamba yang hidupnya milik “Tuan”.
Saya mengerjakan apa yang Engkau tetapkan dan mengikuti
semua yang Engkau kehendaki.
Hidup ini bukan milik saya tetapi milik-Mu.

19

Mimpi GKI Cawang Jadi Jemaat Kota Besar dengan
Rasa Kampung

Saya bergabung di GKI Cawang pada akhir tahun 1999, dengan
menjalani masa perkenalan sebagai calon pendeta. Sebelumnya,
saya menjalani masa orientasi di GKI Jl. Bekasi Timur.

Yang saya tahu, GKI Cawang sedang mencari tambahan
tenaga pelayan yang baru lulus pendidikan teologi. Kesan yang
muncul pertama kali hadir di GKI Cawang, gereja ini gereja yang
besar, ramai, dan terbuka.

Mengapa terbuka? Karena saya bisa bertemu dengan
anggota jemaat dengan latar belakang suku yang berbeda-beda di
GKI Cawang. Penatuanya ada yang Ambon, Manado, Dayak, Batak,
Kupang, Nias, Jawa, Sunda, dan tentu saja Tionghoa.

Seperti saya ungkapkan di atas, GKI Cawang buat saya gereja
yang besar dan ramai. Salah satu ciri yang saya temui untuk gereja
yang besar di Kota Jakarta adalah umat tidak saling mengenal
dengan baik. Bahkan pendeta pun tidak mengenal umat dengan
baik. Pertemuan hanya terjadi pada Kebaktian Minggu. Selesai
kebaktian umat bergegas pulang. Yang tertinggal hanya aktivis yang
harus rapat atau kegiatan lain.

Saya punya kerinduan ada di tengah jemaat saling mengenal
dan akrab. Karena itu langkah pertama saya adalah aktif dalam
kegiatan perlawatan yang pada saat itu dilakukan per wilayah.

Kerja sama dengan dua rekan senior, menurut saya, berjalan
dengan sangat baik. Ada keterbukaan dalam pelayanan dalam
pertemuan pendeta yang berlangsung setiap Jumat pagi. Saya
merasa dibimbing dengan baik dan diberikan kesempatan untuk
mengembangkan pelayanan dan kepemimpinan saya sebagai calon
pendeta.

20

Hal itu saya rasakan karena ketika diteguhkan menjadi penatua
saya langsung ditempatkan sebagai ketua Bidang Ekstern (Kespel).
Saya harus memimpin dan mengarahkan rekan-rekan penatua di
bidang tersebut. Kerja sama dengan rekan-rekan penatua, menurut
saya baik. Penatua-penatua di GKI Cawang termasuk yang santun
dan sangat menghargai pendeta, bahkan calon pendeta seperti saya.

Kerja sama dengan aktivis seperti pengurus komisi berjalan
dengan baik. Rasanya tidak ada hambatan yang berat. Komunikasi
antar pengurus dan penatua serta pendeta cukup lancar.

Momentum Mewujudkan Mimpi

Seperti saya ungkapkan di atas, Jemaat GKI Cawang memang
multietnik. Saya menyadari sejak pertama kali melayani di GKI
Cawang. Mungkin karena lokasi gereja yang ada di wilayah Cawang
yang berdekatan dengan Kamp Ambon di Jalan Otista, Kampus UKI,
dan wilayah Cililitan, dan setahu saya ada asrama orang Kalimantan
di Jalan Dewi Sartika.

Kekuatan dari multietnik, menurut saya, GKI Cawang menjadi
gereja yang “kaya” karena di GKI Cawang bisa menjadi tempat
belajar untuk bergaul, memahami dan menghargai sesama dengan
latar belakang yang berbeda. Sebagai manusia, seseorang akan
merasa nyaman dan mudah menerima bahkan mengasihi dan
penuh perhatian kalau identitasnya itu sama. Misalnya orang Dayak
akan lebih nyaman dan cepat akrab dengan yang sama-sama Dayak,
untuk perhatian dan mengasihi juga demikian. Nah, di GKI Cawang
kita belajar menjalankan perintah Yesus untuk mengasihi sesama
dalam lingkaran yang lebih kecil, yang masih sama-sama Kristen,
sebelum masuk dalam lingkaran yang lebih besar yaitu antar agama.

Kelemahannya, tentu saja akan mudah terjadi konflik apabila
komunikasi tidak berjalan lancar, memaksakan pemikiran dan
kehendak, karena merasa pemikirannya yang paling baik, atau
merasa sukunya lebih unggul dari yang lain.

21

Saya menikmati kerja sama yang baik dan keterbukaan di GKI
Cawang, menurut saya itu menyenangkan. Umat di GKI Cawang juga
memiliki kreativitas yang tinggi dan itu terlihat dalam kebaktian-
kebaktian pada saat hari raya gerejawi. Hal yang tidak menyenangkan
tentu saja ketika hubungan kerja sama itu terganggu.

GKI Cawang pernah mengalami situasi itu dan pada saat
itu saya dipilih untuk menjadi ketua umum. Ini buat saya menjadi
suasana yang tidak menyenangkan, tetapi saya harus menerima
dan menjalankan tanggung jawab yang diberikan kepada saya. Di
sini saya belajar bahwa kita tidak bisa menyenangkan semua orang
dan akan ada orang-orang yang tidak setuju dengan keputusan dan
kebijakan yang kita tetapkan. Karena itu timbul prasangka orang
terhadap saya yang seolah-olah ingin menguasai GKI Cawang.
Padahal, GKI Cawang tidak mungkin dikuasai oleh satu orang karena
sistem GKI ada kepemimpinan kolektif.

Mimpi dan harapan saya untuk GKI Cawang adalah menjadi
“Jemaat Kota Besar dengan Rasa Kampung”. Artinya, jadi jemaat yang
modern dengan menggunakan fasilitas dan teknologi yang ada,
serta pelayan-pelayan yang profesional dalam suasana yang akrab
dan keramahan yang kental sebagai sebuah keluarga. Ini rasanya
mimpi saya sejak awal dan sampai sekarang seperti belum terwujud.
Saya berharap momentum perayaan 50 tahun bisa menjadi awal
yang baik bagi saya untuk mewujudkan mimpi ini.

Kalau yang di atas itu mimpi saya untuk internal GKI Cawang,
maka secara pribadi sebenarnya saya punya mimpi yang lahir
beberapa tahun ini melihat situasi bangsa Indonesia. Saya punya
mimpi dan harapan umat GKI Cawang menjadi umat yang memiliki
rasa cinta yang besar kepada Bangsa Indonesia, melihat sesama
yang berbeda agama sebagai sebuah keluarga. Umat yang rela
menempuh perjalanan ribuan untuk mencerdaskan sesamanya.(*)

*Diambil dari Buku “Bangkit dan Bersinarlah - 50 Tahun
GKI Cawang” (2017)

22

Harapan Mendampingi Timothy

“Pipi pegang tangan Dede, dong.”
Itu ucapan dan permintaan Timothy saat kami tidur siang.
Karena kondisi badan yang sakit, saya senang tidur menggunakan
kasur kecil dan bukan tempat tidur utama. Agar bisa tidur nyaman,
saya meminta Timothy tidur di tempat tidur utama dan saya tidur di
bawah.
Timothy masih takut kalau harus tidur sendiri. Karena itu ia
tidur di ujung tempat tidur dekat pada bagian kasur kecil saya. Dan,
ucapan serta permintaan itulah yang Timothy sampaikan. Saya selalu
memegang tangannya yang mungil agar Timothy tidak ketakutan.
Dalam hati saya berdoa: “Tuhan, saya masih ingin memegang
tangannya lebih lama. Menghantarnya masuk sekolah dasar, SMP,
SMA. Saya ingin menghantarnya kuliah dan melepas ia menjadi
pemuda dewasa yang meraih cita-citanya. Tuhan saya masih ingin
menjaganya.”
Kanker stadium IV ini telah memupuskan segala harapan
saya untuk mendampingi Timothy. Tetapi, saya tetap berdoa dan
meminta kepada Tuhan. Saya tetap berharap belas kasih Tuhan.
Saya tahu Tuhan sanggup untuk menjaga Timothy dengan
sangat baik tanpa saya. Tetapi, Tuhan telah menghadirkan Timothy
dalam hidup saya lima tahun ini. Karena itu saya ingin terus
menjaganya dan mengenalkan Tuhan Yesus kepada Timothy. Itu
harapan saya dan tidak semua harapan dikabulkan oleh Tuhan.
Apa pun yang terjadi, saya sadar sepenuh hati bahwa Tuhan
pasti melakukan yang terbaik untuk Timothy.
“Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu, di sebelah
tangan kananmu. (Mazmur 121:5).

23

Enam Lembar Daun

Ada enam lembar daun tumbuh pada pohon itu. Mereka
hidup bahagia dalam kebersamaan.

Sampai tiba saatnya satu-satu berguguran karena sakit yang
sama. Dua lembar daun telah gugur walaupun segala upaya telah
dilakukan. Pemilik pohon pun seolah tak berdaya. Mungkin sekarang
giliran saya. Karena warna saya tak lagi hijau, berubah sudah menjadi
kuning. Tak lagi kuat melekat pada pohon. Jika datang angin, saya
akan terlepas, melayang, lalu terempas di tanah. Ya, kembali ke
tanah.

Dan, saya harus mempersiapkan diri agar jika tiba waktunya
saya tidak gelisah, tetapi akan terlepas dan melayang dengan
anggun dan terbang.

Mei 2021: Covid-19

Covid-19 ini membunuh banyak orang. Tadinya orang-orang
yang tidak dikenal, kemudian lingkaran semakin kecil, membunuh
orang-orang yang kita kenal. Mereka yang tadinya memberi
semangat dan mendoakan saya agar sehat, satu demi satu menjadi
korban virus Corona. Mereka yang beberapa hari lalu masih sehat,
tiba-tiba masuk rumah sakit, dirawat, sekarat, dan meninggal.
Sungguh hidup ini menjadi tidak terduga.

Yang semakin menyedihkan adalah kita tidak bisa mengantar
mereka ke pemakaman, bahkan melihat wajah mereka pun tidak.
Mereka berlalu begitu saja bagai rumput kering. Kiranya Tuhan
Yesus menyambut jiwa-jiwa mereka dalam rengkuh-Nya.

24

Juli 2021: Terpapar Covid-19, Dia Buka Jalan Saat
Tiada Jalan

Itu yang saya alami ketika harus radiasi, tetapi kemudian saya
kena Covid-19.

Tanggal 14 Juni 2021 adalah hari ulang tahun istri saya dan
hari ulang tahun pernikahan kami yang ketujuh.

Hari itu kami ke Rumah Sakit Siloam Semanggi, Jakarta
Selatan, untuk menjalani tindakan radiasi sesuai rujukan Prof Aru
Sudoyo (Prof. Dr. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM – Red).
Kami bertemu dr. Fielda Djuwita yang dengan sigap langsung
menolong kami untuk radiasi. Sesuai prosedur saya harus tes PCR
cepat, dan ternyata hasilnya positif.

Kaget? Pasti!
Karena saya merasa biasa saja. Tidak batuk, tidak demam,
tidak sakit tenggorokan.
Dokter Fielda Djuwita memaksa untuk tetap radiasi karena
melihat kondisi bengkak di leher dan wajah saya. Tetapi, memang
pihak rumah sakit tidak menganjurkan. Saya melanjutkan menjalani
tes PCR dan pulang ke rumah. Hasilnya baru bisa diketahui esok hari.
Kami pulang dengan rasa gundah. Bagaimana bisa terpapar
Covid? Dalam hati saya terus berdoa kepada Tuhan, berikan kepada
saya mukjizat sekali ini Tuhan, jangan biarkan saya terpapar Covid-19.
Tetapi, kenyataan harus saya terima. Hasilnya positif.
Karena tidak ada gejala, diputuskan untuk isoman (isolasi
mandiri) di rumah dan mendapatkan obat-obat dari Rumah Sakit
Ukrida.

25

Tetapi, kondisi tidak semakin baik. Mungkin karena memikirkan
tentang Covid dan kanker, akhirnya saya tidak bisa tidur dan napas
pun terganggu. Saya butuh oksigen untuk menolong pernapasan.

Pada Jumat, 18 Juni 2021, diputuskan untuk menjalani isolasi
di Rumah Sakit Ukrida. Pertama kali saya dijemput ambulans karena
napas sesak dan kesulitan jalan. Tiba di rumah sakit langsung dibawa
ke ICU. Kondisi semakin lemas. Untuk CT thorax pun susah karena
dalam kondisi sesak napas, harus berbaring pada saat masuk ke
dalam alat foto rontgen yang menyerupai tabung.

Pukul satu malam baru saya bisa masuk kamar. Selama 16
hari menjalani isolasi di Rumah Sakit Ukrida, tidak boleh turun dari
tempat tidur. Infus di kaki, semua dilakukan di tempat tidur dengan
pertolongan perawat.

Setelah isolasi sampai tanggal 4 Juli 2021, saya pulang ke
rumah. Sedih tidak bisa jalan, dan harus menggunakan kursi roda
di rumah. Apa pun yang saya lakukan harus dibantu. Buang air
pun harus dibantu. Rasanya saya berada di titik terendah dalam
kehidupan, apalagi ketika mata kanan tertutup dan mata kiri juga
tertutup.

Tanpa pertolongan orang lain, istri, suster, saya tidak bisa apa-
apa.

Bersyukur Tuhan tidak pernah diam. Tuhan terus bertindak.
Mata saya yang kiri terbuka dan diikuti yang kanan. Bengkak
berkurang. Obat kemoterapi tablet yang dimakan tiap hari menjadi
cara Tuhan menolong.

Saya hanyalah pelayan-Mu yang berjalan mengikuti
kehendak-Mu, Bapa.

26

Agustus 2021: Istri yang Setia

Amsal 31:10, “Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya?
Ia lebih berharga daripada permata.”

Tuhan tidak pernah salah memberikan kepada kita pasangan
hidup. Dan, itu nyata bagi saya. Tuhan memberikan kepada saya
seorang istri yang luar biasa mengasihi dan berjuang melakukan apa
saja agar saya dapat menikmati kehidupan saya.

Saat saya ada di titik terendah hidup saya, tidak bisa berjalan,
tidak bisa melihat, tidak bisa melakukan apa-apa, rapuh serapuh-
rapuhnya, istri saya dengan setia melayani saya. Bahkan saat saya
kehilangan akal sehat, ia dengan setia mendampingi saya dan terus
menolong saya untuk sadar.

Ada yang menganjurkannya untuk merelakan dan melepaskan
saya, ikhlas, karena sakit yang saya alami. Tetapi, istri saya bertahan
dengan apa yang ia yakini, yaitu ia percaya belum waktunya bagi
saya untuk pergi meninggalkan dia dan Timothy, anak kami.

Terima kasih untuk kepercayaannya, untuk cintanya, untuk
kesetiaannya.

Terima kasih Tuhan untuk pasangan hidup terbaik yang
Engkau berikan. Maaf jika selama ini menyusahkanmu, merepotkan,
dan membuatmu menangis. Tuhan tahu saya mengasihi dan
mencintaimu sepenuh hati.

Kau tidak pernah mengeluh, semuanya kau sampaikan kepada
Tuhan yang setia mendengar keluh kesahmu. Istri saya, Rosalina
Djuharto, semoga engkau bahagia selalu, hanya itu doa saya.

27

Oktober 2021: “Pipi, You Won’t Die”

Berusaha menikmati hari-hari yang Tuhan berikan karena
sesungguhnya tidak lagi tahu berapa banyak waktu yang dimiliki.
Menemani Timothy belajar, bermain, dan menghabiskan waktu
bersamanya. Beberapa waktu kami habiskan dengan menggambar,
mewarnai, dan bermain Uno.

Senang rasanya bisa melihat Timothy tertawa dan enjoy selama
bermain. Tuhan tahu dalam hati saya, saya masih ingin hidup lebih
lama menemani Timothy menjadi besar dan dewasa. Tetapi, apalah
daya dengan tubuh yang terus digerogoti sel kanker, mungkinkah?
Tuhan tahu yang terbaik untuk saya dan untuk Timothy.

Tadi di kamar tiba-tiba Timothy ngomong: “Pipi, you won’t die!
You already heal by Jesus”. Seneng banget dengernya, bagai dapat
kekuatan baru untuk terus melanjutkan kehidupan dan berjuang
untuk orang-orang yang dikasihi. Anak ini polos banget, tetapi kata-
katanya kadang bagai berasal dari Tuhan Yesus.

De, itu juga jadi doa pipi.
Semoga Tuhan Yesus mendengar doa kita, ya De.
Amin.

28

Puisi Timothy

Pipi itu teman main UNO Timothy,
Pipi itu teman nonton film Superbook Timothy,
sebelum tidur,
Pipi itu sayang banget sama Timothy,
Pipi itu teman bobo siang Timothy,
Pipi itu selalu temenin Timothy,
Pipi itu yang ngajarin Timothy berenang,
Pipi itu suka bawa Timothy holiday,
Pipi itu selalu ada untuk Timothy……….

Love You Pipi,
Timothy

29

November 2021: Berharap atau Berserah

Setiap hari ingin menjalani hari dalam pengharapan segala
sesuatu akan menjadi lebih baik. Tetapi, jika melihat kenyataan yang
ada, rasanya juga harus belajar berserah pada kehendak Tuhan.

Berharap boleh saja, tetapi berserah lebih penting agar
hidup tidak menjadi beban. Berharap bisa terus hidup, berserah jika
waktunya memang sudah selesai.

Semua itu tidak bergantung pada saya, tetapi kehendak
Tuhan. Terima kasih untuk hari yang Engkau berikan kepada saya.
Akan saya nikmati dengan ucapan syukur.

Jujur, kadang merasa lelah menjalani hari. Kadang merasa
seperti menjalani hari dan menanti kematian. Nggak tahu lagi apa
yang dirasakan. Tetapi, setiap kali melihat wajah-wajah orang-orang
terkasih setiap hari, Timothy dan Mimi, yang polos bobo, hati penuh
dengan syukur karena masih menjalani hari bersama dengan orang-
orang terkasih.

Terima kasih Tuhan untuk setiap hari yang Engkau berikan.
Terima kasih untuk cinta dan doa. Nikmatilah hari yang diberikan
Tuhan, dengan segala pengharapan esok hari baru ada kekuatan
baru dan berkat yang tersedia.

“Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34)

30

November 2021: Merasakan Penyertaan Tuhan

Jika hari ini hari terakhir hidup saya, saya tidak akan menyesal.
Saya bahagia telah diberi waktu untuk menikmati kasih karunia
Tuhan di dalam hidup saya.

Saya bersyukur merasakan penyertaan Tuhan Yesus dalam
langkah hidup saya.

Saya merasakan cinta kasih dari keluarga yang tidak pernah
berakhir sepanjang umur saya.

Sejak kecil saya tidak pernah merasa kekurangan cinta kasih
dari Papi dan Mami dan Mama Kete. Cinta kasih dari kakak-adik.
Cinta kasih dari istri dan anak. Cinta kasih dari umat GKI Cawang.
Para sahabat dan teman. Jadi apalagi yang kurang? Tidak ada!

“Aku sendiri hendak membimbing engkau dan memberikan
ketenteraman kepadamu” (Keluaran 33:14).

31



BAB II

Renungan dan Sapaan Gembala

Pdt. Izack Sipasulta menyimpan rapi naskah renungan,
baik yang dimuat di Warta Jemaat maupun di media-media lain.
Sebagian lain bahkan “tercecer” sebagai tulisan yang belum sempat
ia kumpulkan di fail khusus.

Tulisannya mencakup banyak aspek, mulai dari kesetiaan
iman, hidup dalam kebenaran firman Tuhan, hingga hidup berbagi
dengan sesama. Minatnya yang besar dalam bidang psikologi
terlihat dalam renungan-renungan terkait relasi dalam keluarga.

Berikut renungan yang berhasil dikumpulkan dari berbagai
media tersebut.

RELASI DALAM KELUARGA
Ajarkan Anak Berterima Kasih

”Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh,
kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring,” (Lukas 17:
15).

Seorang ibu berkeluh kesah tentang anaknya yang berusia
remaja. Kepada psikolog, ibu ini mengatakan anaknya seperti tidak
tahu berterima kasih atas segala sesuatu yang telah dilakukan oleh
ibu tersebut bersama suaminya.

33

Melalui percakapan yang lebih dalam lagi tentang masa kecil
anak tersebut, ditemukan bahwa sejak kecil sang ibu dan suaminya
terbiasa memenuhi semua permintaan si anak, dan mereka tidak
mengajarkan anak tersebut untuk mengucapkan terima kasih. Sang
ibu dan suaminya merasa sudah menjadi kewajiban memenuhi
permintaan anak mereka dan tidak berharap ada ucapan terima
kasih.

Saudara, sejak kecil anak-anak harus diajarkan mengucapkan
terima kasih dan bersyukur untuk hal kecil atau besar yang mereka
terima. Mengajarkan anak berterima kasih akan memampukan
anak menghargai setiap hal yang dilakukan orang tua bagi mereka.
Belajar berterima kasih juga akan membuat anak belajar memiliki
hati yang bersyukur.

Dalam kisah sepuluh orang kusta yang meminta kepada Yesus
agar disembuhkan, hanya satu orang yang kembali dalam sujud
syukur kepada Yesus (Lukas 17: 16). Padahal, sembilan orang yang
lain itu juga mengalami mukjizat kesembuhan dari Tuhan. Apa yang
mereka alami bukanlah hal kecil, tetapi hal yang sangat besar, hal
yang paling mereka dambakan, dan hanya dapat diberikan oleh
Tuhan Yesus.

Melalui kisah itu Tuhan Yesus ingin mengingatkan ada banyak
orang yang meminta dan mendapatkan apa yang mereka minta,
tetapi tidak banyak yang berterima kasih dan bersyukur.

Saudara tentu tidak menginginkan anak Saudara termasuk
kelompok sembilan orang yang tidak tahu berterima kasih dan
bersyukur bukan? Ajarkan mereka sejak kecil untuk mengucapkan
kalimat sederhana yang akan berdampak besar bagi kehidupan
mereka yaitu, ”terima kasih”.

34

Sejak Belia

”Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak
takut bahaya, sebab Engkau besertaku.” (Mazmur 23: 4).

Berjalan melintasi air terjun Niagara dengan menggunakan
tali kawat yang direntangkan adalah hal yang sangat menakutkan.
Tidak banyak orang yang mampu melakukannya, karena sangat
berbahaya. James Hardy berhasil melakukannya pada tahun 1896.

Ratusan tahun kemudian, tepatnya 2012, Nik Wallenda
diberikan izin untuk melakukan hal yang sama. Wallenda mengatakan,
“Rasanya sangat tenang saat saya berjalan di atas tali.” Ternyata
Wallenda berasal dari keluarga akrobat dan sejak usia 2 tahun telah
berjalan di atas tali kawat. Kebiasaan dan pengalamannya sejak dini
membuatnya sangat yakin semua akan berjalan dengan baik.

Saudara, dalam Alkitab dikisahkan tentang orang yang sejak
muda hidup bersama Tuhan dan meyakini pertolongan Tuhan
baginya. Orang itu adalah Daud. Daud meyakini selama ia menjadi
seorang gembala muda belia, Tuhan selalu menolongnya saat harus
berhadapan dengan cakar singa dan cakar beruang (I Samuel 17:
37). Itu juga yang membuat Daud begitu tenang dan yakin Goliat
yang begitu besar dan menakutkan bagi pasukan Israel akan dapat
dikalahkan dengan pertolongan dan dalam nama Tuhan Allah Israel
(I Samuel 17: 45-47).

Dan, Daud membuktikannya! Pengalaman-pengalaman itu
membuat Daud tidak takut menghadapi kehidupan dan mampu
berkata: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak
takut bahaya, sebab Engkau besertaku” (Mazmur 23: 4).

Saudara, ajarkan anak sejak usia belia hidup bersama dengan
Tuhan. Biarkan anak melihat dan menyaksikan kekuatan doa dan
Firman Tuhan melalui hidup Saudara. Biarkan anak menikmati
ketenangan yang Saudara rasakan dalam Tuhan. Percayalah, anak
Saudara akan bertumbuh dalam kematangan iman bersama dengan
Tuhan dan siap untuk menaklukkan kehidupan dalam nama Tuhan.

35

Rumah yang Nyaman

”Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah
kejahatan dengan kebaikan!” (Roma 12: 21).

Untuk sekian kali terjadi ketegangan antara Adam dan
ayahnya. Adam harus berhadapan dengan ayahnya, karena sering
kali apa yang dilakukannya dianggap salah oleh ayahnya. Bahkan
ayahnya menganggap Adam tidak becus melakukan apa pun.

Tidak tahan diperlakukan demikian, Adam memutuskan
meninggalkan rumah. Ibunya berusaha menahan Adam untuk tidak
pergi, tetapi Adam tetap pada keputusannya.

Rumah seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi
setiap anggota keluarga. Rumah menjadi tempat perlindungan dan
perteduhan bagi anak juga orang tua.

Rumah menjadi tempat awal cinta kasih ditanamkan dan terus
bertumbuh dan berbuah dalam sikap hidup seisi rumah. Anak-anak
menikmati kehidupan di rumah sampai waktunya mereka harus
meninggalkan rumah karena melanjutkan pendidikan, tuntutan
pekerjaan, atau karena menikah.

Pada saat itu mereka akan meninggalkan rumah dengan segala
kenangan indah dan akan selalu rindu kepada suasana rumah. Pada
saat itu orang tua akan menghantarkan dan melepaskan mereka
dalam rasa haru, bahagia, serta diiringi doa.

Jika hari ini, sebagai orang tua masih ada kemarahan yang
Saudara rasakan kepada anak, lapangkan hati untuk memperbaiki
hubungan dengan anak sebelum terlambat. Jika hari ini, sebagai
anak masih ada kemarahan di hati kepada papa dan mama, buka
hati untuk meminta maaf.

36

Jangan biarkan kejahatan menang, kalahkan kejahatan dengan
kebaikan hati (Roma 12: 21). Sesungguhnya jauh di dalam hati orang
tua atau anak ada cinta kasih satu kepada yang lain. Jangan biarkan
kemarahan dan sakit hati menghilangkan cinta kasih dan merenggut
kebahagiaan kita.

Mendengarkan Tuhan

Ada orang tua yang bertanya: ”Bagaimana anak saya mau
mendengarkan Tuhan, sedangkan mendengarkan saya saja susahnya
minta ampun? Saya ngomong tuh kayak angin lalu!”

Sadarkah Saudara, anak-anak pertama kali mendengarkan
suara Tuhan melalui Saudara? Bahwa sesungguh apa yang Saudara
katakan kepada anak-anak haruslah perkataan Tuhan yang terlihat,
bukan hanya dalam cara bicara, tetapi juga sikap hidup Saudara.
Karena itu Saudara harus mampu mendidik anak-anak untuk
mendengarkan nasihat dan perkataan Saudara.

Dalam berkomunikasi dengan anak sering kali tanpa sadar
orang tua menyalahkan anak-anak tanpa memeriksa diri dan
melihat kesalahan mereka dalam mendidik anak. Misalnya pada saat
anak memanggil orang tua dan orang tua tidak langsung menjawab
karena sedang asyik dengan ponsel (hp) di tangannya. Tetapi, orang
tua marah dan mengomel ketika memanggil anak dan si anak tidak
langsung menjawab.

Ketika anak berbicara, orang tua langsung memotong
tanpa rasa bersalah. Sebaliknya orang tua marah besar ketika anak
memotong pembicaraan orang tua karena merasa tidak dihargai
dan dihormati. Bukankah anak juga mempunyai perasaan?

37

Bagaimana cara kita mengajarkan anak agar mampu
mendengar dengan baik? Berikut beberapa hal sederhana untuk
membantu orang tua.

Pertama, orang tua harus menjadi contoh mendengarkan
dengan baik. Jika anak melakukan kesalahan yang tidak orang tua
sukai, usahakan agar tidak langsung mengomel tetapi menanyakan
alasan mengapa anak melakukan itu dan mendengarkan tanpa
memotong pembicaraan. Ingatlah, anak-anak mempunyai perasaan
yang harus dihargai oleh orang tua.

Kedua, usahakan untuk tidak memaksa anak menjawab
demi memuaskan keinginan orang tua. Jika anak diam atau hanya
menjawab dengan sepatah kata, sebaiknya orang tua tidak memaksa
melanjutkan percakapan. Orang tua dapat bertanya kepada anak,
misalnya apakah ini waktu yang tepat untuk membicarakannya,
ataukah akan melanjutkan pembicaraan nanti? Berikan ruang
kepada anak agar anak nyaman dan bisa berbicara secara terbuka
kepada orang tua.

Ketiga, berbicaralah kepada anak dengan intonasi suara yang
membuat anak merasa tidak sedang dimarahi. Orang tua sering kali
tidak sadar berteriak atau berbicara dengan suara keras sehingga
anak merasa tidak nyaman. Tegas memang penting, tetapi usahakan
agar anak tidak melihat Saudara sebagai orang tua tidak mampu
mengendalikan diri dan emosi. Apalagi jika anak merasa orang tua
hanya bisa marah-marah dan berteriak tanpa mau mendengarkan
dan memahami dirinya.

Keempat, luangkan waktu untuk melakukan kegiatan
bersama anak. Orang tua harus menyediakan waktu untuk bermain
atau melakukan kegiatan positif sehingga terbangun relasi yang
hangat dan akrab. Adalah penting ketika anak dapat merasakan
Saudara bukan hanya orang tua tetapi juga dapat menjadi teman
dan sahabat bagi mereka.

38

Nah, Saudara, jangan menyerah ketika merasa anak-anak
tidak mendengarkan kita dengan baik. Sebagai orang tua, Saudara
harus terus berusaha dan tentu saja meminta pertolongan Tuhan
agar Saudara dimampukan. Anak-anak itu dipercayakan Tuhan
kepada Saudara untuk Saudara bentuk seturut dengan kehendak
dan maksud Tuhan, sebab anak-anak adalah milik pusaka dari pada
Tuhan (Mazmur 127: 3).

Anak yang dibimbing dengan baik oleh orang tua menurut
kesaksian Alkitab tidak akan menyimpang dari jalan yang telah
ditunjukkan kepada mereka (Amsal 22: 6). Jika Saudara mampu
membuat anak mendengarkan nasihat dan arahan Saudara sebagai
orang tua karena merasa itu adalah hal-hal baik dan berguna bagi
mereka, Saudara telah menolong mereka pada tahap awal untuk
mendengarkan suara Tuhan.

Pada saatnya anak akan dengan sendirinya dimampukan
untuk mendengarkan suara Tuhan, yang tidak terbatas hanya pada
orang tua, karena Tuhan berbicara lewat berbagai cara, orang, dan
alam semesta.

IMAN YANG SETIA
Iman Sehari-hari

Dua jam mengalami penundaan penerbangan, saya dan
keluarga bersama penumpang lain pada akhirnya dipersilakan
masuk ke dalam pesawat, dan bersiap-siap untuk penerbangan
dari Penang, Malaysia, ke Jakarta. Pesawat yang kami tumpangi
meninggalkan landasan pacu bandara Penang dengan mulus.

Setelah hampir satu jam terbang, tiba-tiba terdengar suara
pilot yang menyampaikan, “Saat ini kita sedang terbang pada

39

ketinggian 40.000 kaki. Kita akan kembali ke Penang karena ada
gangguan tekanan. Para penumpang diminta untuk mengikuti
arahan awak kabin kami. Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.”

Suasana dalam pesawat berubah menjadi hening. Tidak ada
orang yang berbicara dan awak kabin juga tidak ada yang berjalan
hilir-mudik seperti biasanya.

Saya duduk terdiam dan dalam hati berdoa kepada Tuhan,
agar Tuhan menolong sehingga pesawat yang kami tumpangi dapat
mendarat dengan aman dan selamat.

Selesai berdoa apakah saya tenang? Tidak! Saya mengambil
lembar petunjuk pendaratan darurat dan memerhatikan apa yang
harus dilakukan. Saya bergumul dengan pemikiran sendiri tentang
apa yang akan terjadi. Perasaan khawatir semakin bertambah ketika
mendengar pilot yang mengatakan, “Flight attendants, prepare for
landing.”

Sambil memandang keluar saya hanya dapat berkata, “Tuhan,
tolonglah kami!” Roda pesawat menyentuh landasan dan mendarat
dengan mulus. Tidak ada tanda-tanda penumpang akan dievakuasi.
Puji Tuhan kami keluar dari pesawat dengan tenang dan selamat.

Pemazmur berkata: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan
percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37: 5).

Ah, Tuhan, maafkan saya yang masih khawatir, padahal telah
berdoa memohon pertolongan.

Terima kasih telah kembali mengajarkan saya apa artinya
beriman dan percaya kepada-Mu, Sang Pemilik Kehidupan.

Kasih Tuhan dinyatakan setiap hari, iman kepada Tuhan juga
dinyatakan setiap hari.

40

Hidup Bahagia adalah Pilihan
Blessed assurance, Jesus is mine
O what a foretaste of glory divine
Heir of salvation, purchase of God
Born of His Spirit, washed in His blood
This is my story, this is my song
Praising my Savior all the day long
This is my story, this is my song
Praising my Savior all the day long

Itu adalah bait lagu karangan Frances Jane Crosby atau yang
akrab disapa Fanny yang tak lekang oleh waktu. Fanny memang
dikenang sebagai The Queen of Gospel Writer.

Kehidupannya menjadi inspirasi bagi banyak orang. Seorang
wanita yang buta sejak usia 6 tahun karena malpraktek. Kehilangan
ayahnya sejak masih bayi dan tumbuh besar dalam olok-olok teman
sebayanya. Banyak orang ketika mengalami seperti Fanny akan hidup
dalam kekecewaan, putus asa, serta kehilangan semangat hidup.
Bahkan tidak jarang mereka menyalahkan Tuhan atas apa yang
mereka alami. Fanny Justru bersyukur dan menerima kebutaannya
sebagai berkat Tuhan.

Ia tidak menyesali kehidupannya. Ia berbahagia memiliki Yesus
dalam kehidupannya dan akan memuji Yesus seumur hidupnya.

Saudara, dari Fanny kita belajar, hidup berbahagia itu
sebuah pilihan. Kepahitan, kesusahan, dan penderitaan dapat
datang mendera dan seolah menghancurkan hidup kita. Kita bisa
memilih mengutuki hidup kita dan hidup dalam penyesalan yang
berkepanjangan, atau menerima hidup kita, memeluk Yesus dengan
erat dan melihat berkat yang tersedia di balik semua kepahitan itu.

Fanny J Crosby memilih hidup dengan penuh syukur dan
menjadi manusia produktif yang memuliakan Tuhan.

41


Click to View FlipBook Version