If I Go Through Another September | 1 IF I GO THROUGH ANOTHER SEPTEMBER “Everyone has their moment, and every moment has everyone.” Izza Azizah
If I Go Through Another September | 2 Ucapan Terima Kasih Buku orisinil “If I Go Through Another September” ini awalnya dibuat semata-mata hanya untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia dari guruku. Tetapi dengan adanya dukungan dan semangat dari orang-orang tersayang, membuatku membersihkan debu dari citacitaku untuk menjadi penulis yang sudah lama (sempat) usang. Kisah dari novel ini pun hanya sebuah cerita yang aku rangkai untuk menyampaikan beberapa hal melalui “novel fiksi” kepada orang banyak. Karena ini adalah caraku untuk menyampaikan beberapa hal tersebut. Selain itu, aku berharap “If I Go Through Another September” bukan hanya untuk mengisi waktu luang atau meghibur kalian namun, ada setitik harapan pesan baik dalam buku ini tersampaikan dan dapat diterapkan di kehidupan kalian. Aku ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk dukungan dari seluruh pihak yang telah menginspirasiku untuk merangkai cerita ini. Tak lupa untuk keluarga dan teman-teman yang sudah membantu dan mendukung serta beberapa pihak yang ikut membuat perancangan novel ini terlaksana dengan baik. Serta permohonan maaf bila ada kesalahan dalam buku ini karena sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Di tangan siapapun cerita ini berada sekarang, aku harap kalian dapat mengikuti perjalanan hidup karakter yang Ku tulis di buku ini dan mengambil hikmahnya. See you on the next book (s) (I hope >_<) Happy reading!
If I Go Through Another September | 3 P.S : Here’s a link to Raline’s spotify playlist, listen to it to feel what she’s feeling. Enjoy listening!
If I Go Through Another September | 4 This is for you, whom to have more expectation in life, and whom to always see the good in people
If I Go Through Another September | 5 Daftar Isi Prolog Chapter One _________ Intro [7] Chapter Two _________ Take A Chance With Me [16] Chapter Three _________ Everything Has Changed [40] Chapter Four _________ Walking In The Wind [56] Chapter Five _________ Afterglow [84] Chapter Six _________ Enchanted [121] Chapter Seven _________ Back For You [139] Chapter Eight _________ Sama – Sama Tahu [161] Chapter Nine _________ Less Than Zero [173] Chapter Ten _________ Fool’s Gold [184] Chapter Eleven ______ 1 Step Forwad, 3 Steps Back [210]
If I Go Through Another September | 6 PROLOG It's been 11 years, 4 months, and 6 days since that name was engraved in my memory. Si manusia payah yang datang dari antah berantah berhasil membuat hati gundah. Aku juga tak tau kenapa bisa kalah, tapi yang terpenting aku menanggapinya dengan berserah. Kisah ini tak punya banyak harapan untuk kalian. Sungguh. Jangan berharap apapun dari kisah cerita ini. Karakter dari film spiderman : Mary Jane Watson pun pernah berkata, “If you expect disappointment, then you can never really be disappointed.” Dan kisah ini semata-mata hanya dari sudut pandangku, karena hanya dengan cara inilah dunia berhak tau bagaimana pemandangan dari kacamataku, dan rasanya memakai sepatuku. Sejatinya, tidak semuanya berhak tahu kisahku ini, tapi ada sedikit rasa dan dorongan untuk memberi sebuah petunjuk dengan langkah-langkah menuju hari ini. Ya, masih ada hari ini because my life isn’t end when I was seventeen nor eighteen.
If I Go Through Another September | 7 Chapter One : Intro
If I Go Through Another September | 8 Aleeza Raline Shamora. Kebahagiaan, kemurnian, dan pemberani. Well, itu 3 arti dari nama lengkapku. Mungkin itu harapan mama dan ayah saat melahirkanku. (Sssst. Jangan ada argumen kalau mama itu cocoknya dengan papa, bunda itu dengan ayah. Di hidupku adanya mama dan ayah). Kalau dilihat dari arti namaku sepertinya kalian akan tertipu. Aku jauh dari ketiga itu. (Maybe). Hari ini hari Minggu, 19 September 2010. Hari yang akan aku kenang selamanya karena di hari itu Aleeza si anak tunggal yang masih berusia 7 tahun seketika mempunyai kakak laki-laki. Biantara Abhimaya. Anak laki-laki yang berusia 12 tahun, masih duduk di bangku sekolah dasar yang harus menghadapi kenyataan ditinggal kedua orangtuanya. Mama dan ayah memutuskan untuk menambah satu anggota keluarga baru saat mengetahui kabar tersebut. Hari - hariku tentu berubah — Aleeza yang bangun pagi hanya disambut kucing, asisten rumah tangga dan tanaman-tanaman, sekarang disambut sosok “kakak” yang selalu melengkapi hidupnya. Aku memanggilnya abang, kalau jiwa adik yang craving for her brother’s attention namanya berubah jadi “Mas Bian”. Panggilan “Raline” sekarang sudah berubah menjadi “adek” semenjak kehadiran Mas Bian. Tak perlu beribu kata untuk aku menjelaskan seperti apa sosok Mas Bian ini. Kalau di otak kalian tergambar sosok kakak laki-laki yang penyayang, sabar, dan sigap melindungi adik perempuannya — itu gambaran yang sempurna untuk
If I Go Through Another September | 9 Mas Bian. Satu kelebihannya, ia bukanlah wujud yang ekspresif. Kalian tak akan tahu whether he’s happy? Sad? Disappointed? Overwhelmed? Or over the moon? I guess we never know. Tapi kalian keliru kalau berpikir Mas Bian ini laki-laki yang cold, jutek dan hard to approach. Inilah yang membuat Mas Bian spesial karena hanya Mas Bianlah makhluk tidak berekspresif yang ter-ramah, ter-extrovert bahkan ter-sentuh hatinya saat nonton film Inside Out. — Oke, sepertinya cukup ya untuk perkenalan Mas Bian. Ada satu wajah yang selalu aku bayangkan jika ada pertanyaan “Punya saudara perempuan gak?” Jawabku, ADA! Alaia namanya. Alaia Adyava Nakula. Or I usually said, my sister from another mother. Saudara tak sedarahku yang lahir tepat sehari setelah aku ada di bumi. Tak perlu aku jelaskan bagaimana sosoknya, you’ll find out later on the next chapters. Orangtua Alaia dengan mama dan ayah punya hubungan yang sangat baik, lebih tepatnya mamaku dan mamanya Alaia itu soulmate! Yang sepertinya diwariskan kepada aku dan Alaia. Mulai dari umurku 10 tahun, keluargaku dan Alaia punya satu tradisi di bulan September. Dulu aku berpikir bahwa tradisi ini hadir karena mama dan ayah ingin mengalihkan kenangan Mas Bian tentang kejadian tragis itu. Tapi sekarang aku hanya mengenang bahwa bulan September adalah The Month Of The Year. Tradisi itu bermula dari 2 keluarga yang menghabiskan waktu bersama di suatu “Holiday house” yang tepat
If I Go Through Another September | 10 berada di pertengahan antara suatu pantai dan bukit. Sebut saja daerah itu dengan Kota Belanda. Mengapa Kota Belanda? Karena perumahan disana merupakan sebuah daerah yang pernah ditinggali oleh masyarakat Belanda di masa lampau, jadi dari arsitektur dan beberapa infrastruktur disana masih meninggalkan jejak seni budaya Belanda. The Dutch City is also run by a Dutch relatives as well. And they had this Town Hall where there are a golf fields, swimming pool, a card room, movie theatre, apparently you can find anything there. Oh how I love the Dutch City. Wish you guys could imagine how beautiful and peaceful it is like I did. . 20 September 2015 , Kota Belanda. “Good morning princesses!” Sapa Mas Bian dengan senyuman manisnya yang menjadi alarm pagiku dan Alaia. “Hooaahmm.. Morning abaaanggg.” Sahutku dengan mata setengah tertutup. Aku melirik bagaimana kabar manusia yang ada disampingku. Dengan dugaanku yang tepat, ia masih terlelap. Alarm Mas Bian sepertinya bukan alarm kami berdua, hanya alarmku saja. Alaia hanya bisa sadar kalau selimut karakter Harry Potter -Nya itu aku tarik dari pelukannya.
If I Go Through Another September | 11 “Alaiaa.” “Hmmm.” “Ayu bangun yuk, Mas Bian udah bangunin tadi. Pasti sarapan udah siap dibawah.” “Give me 5 more minutes please?” Aku hanya bisa menggeleng - gelengkan kepala, aku tahu betul 5 menit Alaia itu 5 dikali 6 atau sama dengan 30 menit. Cara jitu kedua yang paling ampuh itu meninggalkannya. Aku pun turun ke bawah tanpa menggubris Alaia, dibawah sudah ada Mas Bian, mama, ayah, tante Zoe dan Om Alex yang sedang menyantap sarapan pagi sambil berbincang-bincang. “Selamat pagi tuan putri.” Panggilan istimewa dari tante Zoe yang selalu terdengar hangat setiap ia mengucapkannya. “Pagi juga tante Zoe! Om Alex, abang, mama, ayah.” Aku mengabsen semuanya satu persatu sambil duduk di bangku yang kosong di sebelah Mas Bian. Pancake with butter and cheese khas buatan mama selalu menjadi menu sarapan favoritku disini. Selang beberapa menit aku sudah menyantap kudapan pagiku turunlah tuan put — lebih tepatnya our sleeping beauty, Alaia. “Duh akhirnya putri tidurku bangun juga.” Ucap om Alex sambil menyeruput kopi hangat pelengkap paginya.
If I Go Through Another September | 12 Alaia hanya tersenyum dengan mata setengah tertutup dan langsung duduk di pangkuan om Alex. This morning is perfect — both of my heart and stomach is filled. Now it’s pool time ! Masih dengan piyama berwarna pink dan sepasang kaus kaki karakter bebek, aku dan Alaia berlari menuju halaman belakang tanpa berpikir apapun kami terjun ke kolam renang. Hal ini sudah biasa, mama dan tante Zoe hanya khawatir kami berdua akan masuk angin setelahnya karena kami akan basah-basahan menggunakan piyama tersebut untuk beberapa jam kedepan. Tapi tentu saja yang ada di otak anak umur 10 tahun hanyalah bermain dan bermain. Mas Bian yang sedang membantu ayah membuang sampah hanya tersenyum melihat tingkahku dan Alaia, tapi tak lama setelah itu ia langsung bergabung dengan kami. “Anak - anak ! Sudah hampir tengah hari, kalian tidak mau ikut kami ke taman surga?” Om Alex mencelah di pertengahan perang air kami di kolam renang. Taman surga yang dimaksud om Alex ini adalah taman bunga yang letaknya hanya 20 menit dari rumah kami. Ladang rumput yang dipenuhi bunga aster itu sungguh memanjakan mata maka dari itu kami sebut dengan taman surga. Tempat ini juga menjadi salah satu tempat favoritku hanya untuk berdiam dan menikmati harum bunga dan memandang indahnya bunga-bunga tersebut. It is called the heaven park for a reason, I probably wish if I die one day, I want to be buried there. Mendengar panggilan tersebut kami semua langsung terburu-buru naik dan masuk kedalam rumah meninggalkan jejak kaki di lantai. Aku, Alaia dan Mas
If I Go Through Another September | 13 Bian bergegas untuk siap – siap ke taman surga itu. Di hari ke-11 atau hari terakhir, tepat tanggal 30 September kami semua selalu pergi ke Arena pertandingan basket. Setiap tahunnya, Kota Belanda selalu menggelar pertandingan basket sekaligus Open Charity yang nanti hasilnya akan dikirimkan kepada panti-panti terdekat maupun orang-orang yang membutuhkan. Here it is.. At this moment. When we all arrived and got our seats, in the front row, I saw something. Something that my brain seemed to catch that face so quickly that I could remember it. Hazel eyes, brown hair, tall enough for a 10-years-old around my age, and dimples. That dimples. “Raline! Kenapa melamun aja sih? Sebentar lagi dimulai loh, kita gamau ke toilet dulu?” Lamunanku dibuyarkan oleh ocehan Alaia yang mengajak ke toilet. Aku yang masih setengah sadar dari lamunanku itu langsung ditarik oleh Alaia untuk bergegas karena pertandingan sedikit lagi akan dimulai. Pertandingan pun dimulai, semua peserta sudah siap memakai seragam jersey dari masing-masing tim. Kulihat nama dan nomor punggung yang ada di jerseynya, disitu tertulis “Abhipraya.” dengan nomor punggung nya, angka enam. Aku tak pernah sefokus ini menonton pertandingan basket, bahkan aku tidak pernah memihak kepada siapapun karena aku tau siapapun pemenangnya yang penting hasil dari pertandingan ini
If I Go Through Another September | 14 akan berada di tangan yang tepat. Namun kali ini sangat jelas dan bisa kubilang datang secara begitu saja. Aku memihak kepada tim dengan nomor punggung enam tersebut. Prrriiiiittttt…. !!! Bunyi pluit dari wasit telah berbunyi menandakan pertandingan telah usai. Papan skor menunjukkan poin 30 - 19 yang dimenangkan oleh tim dengan nomor punggung enam tersebut. Seusai kami menonton pertandingan, mama, ayah, tante Zoe dan om Alex sedikit berbincang-bincang kepada committee acara ini karena memang mereka merupakan salah satu donatur. Aku dan Alaia sibuk bermain di lapangan yang sudah sepi. Mas Bian melihat aku dan Alaia berlari kesana kemari tanpa henti, ia khawatir aku akan jatuh dan tergelincir karena memang lapangan tersebut indoor dan belum dibersihkan 100%. Kekhawatirannya pun tepat, aku tergelincir dan menabrak seseorang yag sedang membawa bola basket dan piala. Orang itu mengulurkan tangannya. Ya, dia adalah si nomor punggung enam. Aku yang merasa tidak membutuhkan bantuan hanya mengucap "Terimakasih, aku bisa sendiri." lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Aku tahu di lubuk hati yang paling dalam aku menghindar untuk ada kontak mata dengannya. Mas Bian memanggil untuk mengajak pulang. Selama perjalanan pulang, mama dan Mas Bian terlelap karena lelah dan ayah sudah pasti menyetir dengan sadar 100% setelah menyeruput kopi hitamnya itu. Sedangkan aku memutuskan mengeluarkan buku coret-coretanku dan mulai menggoreskan pensil berjenis HB diatas buku tersebut. Aku menggambar apa yang sedari tadi terlintas
If I Go Through Another September | 15 di otakku, sosok anak laki-laki. Wajah itu terlihat begitu menarik dimataku tanpa alasan. Huh tapi umur 10 tahun tahu apa? Maka dari itulah aku hanya bisa melampiaskannya dengan menggambar, berharap setelahnya bayang-bayang itu bisa hilang dari otakku. Sesampainya dirumah kami semua langsung menata kembali barang bawaan kami dan langsung beristirahat. Besok tanggal 1 Oktober. Tanggal yang selalu aku tunggu kehadirannya setiap tahun karena di tanggal 1 Oktober lahirlah gadis perempuan yang sedang menceritakan kisahnya ini. Selayaknya anak umur 10 tahun, aku punya banyak harapan dan ekspektasi di hari ulang tahunku, seperti kue ulang tahun, hadiah, dan pesta kecil yang dihadiri oleh teman-temanku. Harapan itu bahkan sepertinya masih tetap ada dalam diri seorang Raline hingga hari ini. I mean, birthday is only once in a year. And I would like to remembered that birthday as a memorable day when someone is finally existed in this beautiful world. And since birthday is just like a yearly reminder how close we are to death, celebrate to another year of surviving won’t hurt right?
If I Go Through Another September | 16 Chapter Two : Take a chance with me
If I Go Through Another September | 17 1 Oktober 2015 Tepat dihari ini. Hari dimana gadis bernama Aleeza Raline Shamora ini lahir di bumi. Aku terbangun pagi ini dengan kecupan manis oleh mama dan ayah yang masuk ke kamarku. “Selamat ulang tahun anak gadis mama dan ayah, adek udah 11 tahun ya? Adek sekarang udah mau naik ke kelas 6 ya? Adek sudah besar ya, sudah harus bisa lebih dewasa lagi.” “Iya dek, dijaga ya ibadahnya sama terus rajin belajar ya dek.” “Mama sama ayah yakin adek bisa jadi pribadi yang lebih baik lagi dan bisa banggain mama sama ayah dan tentunya banggain adek sendiri.” Tanpa kue, lilin, ataupun nyanyian ulang tahun. Sederhana dan selalu jauh dari harapan, tetapi akan terus bermakna dalam diriku setiap tahunnya. Mama dan ayah memang tidak pernah membiasakan terlalu merayakan hari-hari seperti ini, cukup dengan ucapan dan doa menurut mereka sudah lebih dari cukup. Tentu saja Raline kecil tidak puas hanya dengan kedua itu, setiap tahunnya pasti aku selalu berharap akan ada hadiah ataupun kue ulang tahun. Aku ingin hariku ini dirayakan. Aku ingin dirayakan. Mama dan ayah bukanlah orangtua yang membiasakan anaknya untuk memberi hadiah di hari ulang tahun, memenangkan lomba, atau bahkan saat aku masuk peringkat 5 besar dikelas. Aku tak tahu tujuan pasti mereka untuk mengajarkan pelajaran hidup yang seperti apa, tetapi yang bisa aku tangkap disini agar aku bisa
If I Go Through Another September | 18 terus bersyukur dengan apapun yang ada dan “dirayakan” dengan cara mereka sendiri. Maybe I should thank them later in life, ‘cause that life lesson is finally works. Even after a decade. Hari itu hari Jumat, setelah izin dalam liburan kemarin aku memutuskan untuk langsung masuk sekolah hari ini. Seperti rutinitas biasa, aku mandi, shalat, sarapan dan segera berangkat ke sekolah. Setiap hari aku berangkat bersama Alaia dengan om Alex sedangkan Mas Bian diantar oleh ayah. Tinn!Tinn! Bunyi klakson mobil om Alex telah terdengar, aku buru-buru mengambil tas bekalku dan bergegas berangkat. “HAPPYY BIRTHDAAY RAALINEE!!” , Alaia dan om Alex dengan kompak mengucapkannya tepat saat aku masuk ke dalam mobil. Tak hanya ucapan, tetapi Alaia pun memasangkan bando mahkota dan om Alex sedang memegang mini cheesecake. My favorite. Hal kecil seperti inilah yang sebenarnya selalu membuatku bersyukur di hari ulang tahunku. Walaupun aku berharap bahwa hal ini dilakukan oleh mama dan ayah tetapi aku tetap bersyukur bahwa masih ada orang lain yang memberikanku kesempatan untuk mempunyai pengalaman dan kenangan indah ini. Dan lagi - lagi setiap tahunnya, Mas Bian selalu menyelipkan hadiah darinya ke dalam tas bekalku. Kali ini ada sebuah kotak kecil berwarna merah muda yang di hiasi pita berwarna putih, didalamnya ada gelang rajut dengan manik-manik
If I Go Through Another September | 19 yang bernuansa warna pink dan biru. Dibalik gelang itu ada secarik kertas yang bertuliskan, . Kira - kira seperti itulah kehidupanku, selalu berwarna dengan adanya mama, ayah, Mas Bian didekatku. Walaupun kami bukanlah keluarga yang sangat “harmonis” ataupun “cemara” layaknya di filmfilm. Berbeda dengan Alaia yang setiap langkahnya pun selalu dirayakan oleh kedua orangtuanya. Sebenarnya, Alaia sempat memiliki seorang kakak perempuan tetapi sayang sudah tiada karena sebuah penyakit. Sejak dulu bahkan sampai sekarang, aku selalu melihat keluarga Alaia merupakan keluarga cemara yang sedikit aku idamkan. Tentu saja aku tidak akan beradu nasib dengan kehidupan Alaia karena menurutku, kehidupan kami berdua sudah cukup saling melengkapi, we’re like the missing part in each other. Hari itu tanggal 1 Oktober 2015, aku pergi ke sekolah dengan hati yang hangat dan wajah yang berseri. Banyak dari teman-temanku yang mengucapkan bahkan memberikanku hadiah. Entah hanya sekedar ucapan bahkan seseorang dapat mengingat hari ulang tahunku saja hatiku sudah hangat akannya. For me, even the smallest things matters. . Selamat ulang tahun Aleeza Raline Shamora, you deserve all the love. You deserve to be celebrated. from your favorite (and only) brother, Mas Bian .
If I Go Through Another September | 20 22 Juni 2019 Tahun 2019. Waktu telah lambat berlaun. Aku dan Alaia masih di sekolah yang sama. Kami sudah duduk di bangku 2 SMP dan kali ini kami beruntung mendapat kelas yang sama jadi kami bisa menjadi teman sebangku. Aku dan Alaia makin dikenal menjadi satu paket tak terpisahkan. Layaknya iklan spotify, roti dan selai, bunga dan kumbang, Romeo dan Juliet. Dimanapun ada Alaia pasti disitu ada Raline. But these days, what we called “beauty privilege” is real. Alaia yang sedang memasuki masa pubertasnya dan tampil bak malaikat dengan senyumnya yang manis itu berhasil memikat seisi sekolah yang membuatnya dapat julukan “primadona sekolah”. Aku? Bagaimana dengan aku? Tentu saja aku pun sama terkenalnya tetapi bedanya aku dikenal dengan julukan “temannya Alaia.” Siapa itu Raline? Orang-orang lebih mengenalku dengan “temannya Alaia” dibandingkan namaku sendiri. Sudah satu setengah tahun aku berada di situasi ini, menjengkelkan sebenarnya tetapi entah mengapa aku lebih malas untuk menambah sebuah drama dalam pertemananku dengan Alaia. Seeing on the bright side, aku tak perlu seperti Alaia yang sibuk dimintai nomor telepon, instagram, atau social media lainnya. Lagipula Alaia masih sama dengan sosok yang kukenal, jadi aku tidak merasa keberatan dengan dikenal sebagai teman si primadona sekolah ini.
If I Go Through Another September | 21 “Selamat pagi anak-anak!” Ucapan pagi pak Slamet, guru wali kelas kami yang membuat seisi kelas serempak duduk di tempatnya masing-masing. Aku sedikit melirik ke arah pintu kelas, tampak ada seseorang yang sedang menunggu sesuatu di depan pintu tersebut. “Ayo nak, silahkan masuk.” , Dan benar saja ternyata orang itu menunggu untuk dipanggil masuk. Apakah kita kedatangan murid baru? But, wait.. Strange. He seems familiar. It’s like i’ve seen that face for a long time. “Lin, isn’t that the boy from the basketball charity club?” Kalimat Alaia berhasil menjawab pertanyaan diotakku. Benar saja. Si nomor punggung enam! Laki-laki yang gampang sekali membuat otakku teringat akan wajahnya saat aku masih berumur 10 tahun. “Silahkan nak, perkenalkan dirimu.”, pak Slamet mempersilahkan dirinya berdiri di depan kelas. “Halo selamat pagi semuanya, kenalin nama gue Danendra Athalla Harish. Gue biasa di panggil Nendra, salam kenal semuanya.” “Coba cerita sedikit nak alasan kamu pindah ke sekolah kami ini apa.” “Alasan saya pindah karena saya harus ikut papa saya pak, beliau sedang ada pekerjaan di daerah ini, dan saya sekeluarga juga sudah biasa berpindah tempat mengikuti beliau.”
If I Go Through Another September | 22 Begitulah perkenalan singkat tentangnya. Danendra Athalla Harish. Nendra dipanggilnya, hmm cukup menarik. Ah sudahlah aku tidak mau ambil pusing. Sudah beberapa tahun belakang ini aku sering melihatnya di pertandingan basket, cukup membuatku terbayang-bayang akan wajahnya yang memang jelas dia good looking. Firasatku mengatakan pasti semua kaum hawa yang melihatnya akan tertarik. Kita lihat nanti, aku yakin tak perlu waktu lama untuk sekolah ini mengenal seorang Danendra, si atlet basket yang memiliki paras rupawan dan sebentar lagi akan menjadi partner Alaia untuk menjadi “primadona sekolah”. Hari ini bisa dibilang cukup santai, mungkin karena beberapa hari lagi akan ada pekan ulangan jadi banyak rapat yang diadakan untuk para guru. Free class selalu menjadi jam favorit kami semua, ada yang menghabiskan waktu dengan bermain games, mengerjakan tugas, bergosip, tidur, atau sepertiku saat ini membaca novel. Yes, call me basic or whatever but I do love books. Novels, ensiklopedia, comics, everything about books I do love it. Keterbalikan dengan Alaia, ia pecinta sekali film. Katanya lebih terasa nyata dan hidup ceritanya bila dijadikan film. Aku dan Alaia duduk di barisan depan dengan posisi di pojok kanan, Alaia sedang menonton drama korea dengan telinganya tertutup headphone dan aku berkutit dengan novel “Hujan” karya Tere Liye.
If I Go Through Another September | 23 Saat aku sudah tenggelam pada buku tersebut, tertiba ada jari tangan yang menghalangi pemandanganku. Tak lain itu Septian, teman dekatku dan Alaia. “Ih ganggu aja ah sep, lagi seru tau.” Ujarku sambil menepis tangannya yang masih menempel pada bukuku. “Lagian pada serius-serius banget sih ga ngajak-ngajak.” “Kalo gabut kerjain dulu tuh tugas dari bu Manik, nilai lo masih banyak yang kosong.” Timpal Alaia yang ternyata masih sadar akan sekitarnya. “Iyaa iyaa princess, waktu masih banyak nantian aja lah ya.” Jawabnya dengan santai sambil menarik kursi di sebelahku. Aku menatap Septian dengan menekuk alisku. “Terus? Sekarang ngapain? Gangguin gue baca buku?” “Ya jangan baca buku dong, masa temennya udah effort nyamperin begini ngga diajak ngobrol.” Tak ada pilihan lain bagiku selain menuruti apa kata si jagoan ini. Fun fact about him, Septian sebenarnya lelaki yang cukup populer di sekolah, ia orang yang sangat ramah dan mudah bergaul jadi tak heran jika banyak yang mengenalnya. “Eh by the way, gue kenal tau sebenernya sama si Nendra.” Yup, another fun fact : bukan populer di kalangan sekolah saja tapi aku juga heran entah kenapa bisa, Septian ini punya banyak relasi di luar sekolah.
If I Go Through Another September | 24 Alaia yang mendengar ucapan Septian melepas headphone-nya dan mulai penasaran. “Kenal darimana?” “Waktu itu gue ikut sparing basket gitu fun match aja sih bareng anak-anak lain, terus gue lupa dia bareng siapa tapi intinya gue jadi kenalan gitu sama dia. Anaknya baik sih, royal tapi nggak tengil.” “Terus kalo kenal emang kenapa sep?” Tanyaku yang mulai kebingungan mengapa ia mendeskripsikan Nendra dengan detail, sudah seperti orang yang sedang berjualan saja. “Yaa kali aja lo butuh a new crush untuk memotivasi hidup lo yang bosen itu. Lagipula ya, dia udah cakep, pinter, royal masa iya lo gamau?” Dengan wajah tengil dan alisnya yang naik satu itu dia dengan bangga mengeluarkan kalimat tersebut. Sungguh, jika kalian bisa melihat raut wajahnya saat mengatakan itu aku yakin kalian ingin memukulnya. “Duh lagi ga minat yang kaya gitu-gituan deh, gak dulu.” Aku sudah menduga sebenarnya, pasti Septian ingin menjadi mak comblangku dengan Nendra. Yes I admit it, everything that Septian said about Nendra is right. Evenmore, he’s totally a walking green flag. But that doesn’t mean it’s really easy for me to say yes? Duh. . Hari-hariku berjalan dengan biasa-biasa saja, nothing special. Hampir semuanya kulakukan sendiri tapi bukan berarti aku tidak punya teman atau sahabat, aku hanya
If I Go Through Another September | 25 sedang menemukan kenyamanan di kesendirianku. Tetapi “kenyamanan dengan kesendirianku” ini ternyata tidak berlangsung lama. Oh tentu saja di hidupku yang sedang berjalan dengan baik-baik saja ini pasti muncul sebuah drama dan cerita yang membuat jalan hidupku yang lurus jadi ada belok kanan dan belok kiri. Cerita ini dimulai dari ulah Septian. Ingat saat aku bilang ia mencoba untuk menjadi mak comblangku? Ya, ternyata ia tak hanya main-main atau bercanda bahkan ia masih berusaha untuk membuat rencana itu berhasil. Terlebih lagi Septian dan Nendra mempunyai pertemanan yang semakin baik, sangat baik bahkan. Mereka sering nongkrong bersama layaknya remaja SMP pada umumnya, bermain basket bersama berhubung mereka memiliki hobi yang sama, dan mereka pun mengikuti bimbel di tempat yang sama. Entah aku harus diam atau haruskah aku gagalkan rencananya itu. Sejatinya aku tak menolak mentah-mentah untuk “berkenalan baik” dengan Nendra, tapi aku hanya khawatir dan lebih berjaga-jaga saja karena aku tahu once I fall, I fell hard. Dan bukan rencanaku untuk memulai kisah cinta dan romansa di waktu dekat ini terlebih lagi di masa ini orang bilang ini hanya cinta monyet. Fun fact about me this time, aku mempunyai prinsip aneh dan kuno. Aku ingin pacar atau kekasih pertamaku nanti akan menjadi pacar terakhirku juga. It’s like I want it to be my first and last love in my life. Which I know it’s kind of hard to implement that these days but nothing is impossible right? Aku tetap mau berpegang teguh dengan prinsip itu.
If I Go Through Another September | 26 Hari ini hari Jumat, jam pulang sekolah lebih cepat dibanding hari biasanya. Aku dan Alaia tidak berencana untuk langsung pulang. “Lin, kita hangout yuk!” Alaia menggandengku dengan erat dan mengeluarkan senyum pepsodentnya. “Yuk! Kemana?” “Hmm ke rumah Caca aja deh sekalian ajak yang lain juga, udah lama kita ngga kumpul bareng.” Caca adalah teman dekatku dan Alaia di perumahan kami, bahkan kami punya salah satu grup yang berisi 7 orang. Ada aku, Alaia, Caca, Nala, Septian, Azka, dan Kemal. Tetapi hanya aku, Alaia dan Septian yang masuk ke sekolah yang sama. Sedangkan Caca, Nala, Azka dan Kemal masuk ke beragam sekolah yang berbeda. *** Alaia @Caca , hari ini kita hangout di rumah lo yuk? Pada free semua kan ya? Caca Boleh aja, kabarin aja kalo jadi ya Nala Jadiin dong please, gue udah kangen banget Kemal Gue tau nal gue orangnya ngangenin
If I Go Through Another September | 27 Raline Kok ada ya orang pede banget Alaia Ini kita - kita doang kan ya? Azka Bebas gue sih, emang mau ngajak siapa lagi? Caca Bebas gue juga, ajak aja temen kalian juga gapapa. Ramein aja lah rumah gue lagi sepi Septian Eh kalo gitu gue ajak Nendra boleh ga? Gue abis nongkrong juga nih kebetulan sama dia *** Melihat pesan yang dikirim Septian membuat diriku sedikit gelisah entah kenapa. Mungkin hanya perasaanku saja mengingat rencana jahil Septian. *** Alaia Boleh aja, udah ah buruan biar lama mainnya Raline Gue udah siaapp, ca gue sama Alaia otw sekarang ya sekalian mau numpang tidur hehe ngantuk banget pelajaran matematika diakhir
If I Go Through Another September | 28 Azka Ini bocil kerjaannya ga dimana mana tidur mulu, gue juga otw deh *** Percakapan di grup pun terhenti, aku bergegas berangkat ke rumah Caca diantar oleh Mas Bian. Selama perjalanan sebenarnya terlintas dipikiranku bagaimana ya nanti di rumah Caca saat ada Nendra? Entah mengapa aku terlalu memikirkannya, padahal aku juga tidak peduli akan kehadirannya. Sesampainya disana kami berkumpul seperti biasa, bermain games, menonton film, bercerita dan lain-lain. Seperti ekspektasiku, Nendra tak begitu banyak bicara. Sesekali ia ikut dalam pembicaraan kami tapi tidak banyak yang ia katakan, entah ia masih merasa canggung atau hanya perasaanku saja? Ah aku makin heran dengan diriku sendiri kenapa aku sangat mengkhawatirkan hal ini. Setelah pertemuan itu hubungan Nendra dan temantemanku yang lain cukup baik, bahkan ia makin sering ikut bila kami semua bertemu. Interaksiku dengannya tak banyak, sama seperti yang lain saja tak ada bedanya. Aku sempat berpikir sepertinya rencana Septian tidak ia lanjuti karena aku tidak melihat adanya kemajuan atau gerak-gerik aneh dari Septian belakangan ini. Sampai di suatu hari tanpa aku ketahui, Septian dan Nendra sedang bermain basket di lapangan yang ada di dekat rumah Nendra. Saat mereka sedang beristirahat dan duduk-duduk dibawah pohon Septian bertanya kepada Nendra,
If I Go Through Another September | 29 “Dra, lo beneran ga tertarik sama Raline? Padahal kalo gue perhatiin selama kita udah sering main bareng nih, kalian berdua cocok deh.” “Gue gatau sep, gue belum pernah deketin cewe juga sebelumnya.” “Hah? Serius? Lah mantan lo yang pernah lo ceritain itu?” “Ya itu dia duluan yang deketin, terus gue nya juga tertarik pas itu jadi yaudah.” “Emang beda ya ini orang, udah tenang aja bakal gue bantuin kok.” “Ah tapi gue takut keliatan freak gitu deh, dari pandangan gue tuh Raline bukan perempuan yang gampang buat didapetin sep.” “Justru itu Dra tantangannya, perempuan yang susah buat didapetin itu artinya dia perempuan yang ber-value. Dan selama gue temenan sama Raline bertahun-tahun, emang dia itu sosok perempuan yang pantas buat diperjuangin.” “Lah terus kalo gitu kenapa lo ga deketin dia aja? Lo kan punya akses yang gampang buat dapetin Raline.” “Hehe, soalnya gue tertariknya sama Alaia.” Sebuah confession dari Septian pada Nendra yang membuatnya cukup terkejut, tapi ia tidak heran. (Andai aku tahu itu pasti sudah aku bocorkan pada Alaia). Nendra paham memang Alaia itu termasuk perempuan
If I Go Through Another September | 30 yang attractive dan approachable. Tapi sejatinya yang memikat hati Nendra bukanlah perempuan seperti Alaia. Hari itu hari Minggu, aku dan Alaia memutuskan untuk lari pagi mengelilingi kompleks perumahan kami. Karena kami lupa membawa air jadi kami memutuskan untuk berhenti di warung terdekat dan membeli air mineral. “Jadi berapa bu?” “Enam ribu neng.” Sesaat aku ingin membayar, ada tangan yang menyerobot tanganku. “Gabung aja ya teh sama ini satu.” Ucap sosok dibalik tangan itu. Aku dan Alaia serentak menoleh kebelakang dan mata kami menjumpai Nendra yang sedang mengatur napasnya yang terengah-engah. “Eh? Nendra? Lo ngapain disini?” Tanya Alaia dengan kebingungan. “Makasih.” Ucapku tanpa harus bertanya hal yang sama seperti Alaia. “Iya sama-sama. Oh ini gue lagi nginep dirumah eyang gue dikompleks ini, terus gue abis olahraga tadi keliling kompleks. Rumah kalian di deket sini?” Ujarnya menjawab dua percakapan sekaligus. “Oalah, iya rumah Raline itu disebrang. Kalo rumah gue di Blok U gang empat.”
If I Go Through Another September | 31 Then we talked for a little, but Alaia did pretty much the talking. And me.. I’m just standing there and looking at him. Just, observing to be clear. Not that I’m obsessing over him, no no no. I’m much better than that. Sekiranya begitu pertemuan singkat kami, dan sekarang aku jadi tau bahwa rumah eyangnya sangat amat dekat dengan rumahku. Sesampainya dirumah aku langsung menuju ke arah dapur dan mengambil segelas air lalu meminumnya dengan duduk di lantai. Tanpa aku ketahui Mas Bian sedang berjalan menuju dapur dan menjumpai aku yang tengah duduk dan meminum segelas air layaknya anak kecil setelah bermain. “Astaghfirullah dek, untung abang ga kaget.” “Alhamdulillah.. eh iya bang hehehe aku haus banget tadi lupa bawa minum.” “Lagian tadi kesiangan sih bangunnya jadi buru-buru kan.” “Hehehe.. Oh iya bang aku mau nanya deh.” “Nanya apa?” “Abang kenal tetangga kita yang di sebrang ngga? Rumahnya di ujung gang deket portal itu.” “Hm? Kayanya ngga deh, mungkin mama atau ayah kenal kali. Kenapa dek?” “Oh, engga, itu saudaranya temen aku katanya rumahnya disitu.”
If I Go Through Another September | 32 Aku hanya bertanya saja sih sebetulnya, siapa tahu memang Mas Bian atau mama dan ayah memang kenal dengan eyangnya Nendra. Talking about Nendra, Penampilan Nendra yang cukup mencolok atau dalam arti attractive makin hari semakin terlihat oleh seluruh warga sekolah. Banyak sekali yang mengaguminya terlebih lagi ia pun juga mulai memasuki ekstrakuriler basket yang memang tim dari sekolah kami ini cukup aktif dan juga populer di kalangan sekolah sekitar kami. “Lin, itu kemarin ada dekel tuh yang minta foto sama Nendra pas latihan basket.” Septian yang tiba-tiba menghampiri aku dan Alaia yang sedang asik memakan bekal di jam istirahat. “Ya terus kenapa gitu sep? Kaya Raline peduli banget gitu sama kehidupan Nendra. Lagipula ya sep, kalau emang Nendra mau deketin Raline ya manly lah samperin, ajak ngobrol. At least ada effort to get to know her better.” Alaia mengoceh pada Septian. Aku tersenyum mendengar respon Alaia, merasa puas I have her on my back. “Haha kena kan lo omelan dari tuan putri.” “Ya santai aja kali Al, gue ini hanya membantu teman.” Kali ini aku merespon kalimat dari Septian. “Sep, mau dia dideketin sama semua perempuan disekolah ini juga kayanya gue ga peduli. Gue mau kenalan sama dia dan jadi temen udah cukup bagi gue.”
If I Go Through Another September | 33 “Ets, ga semua perempuan Lin. Gue sih gamau, not my type.” Perihal selera laki-laki memang aku dan Alaia mempunyai sedikit perbedaan, sebenarnya kalau untuk personality ya kurang lebih memang sama. Tetapi untuk penampilan fisik, selera kami cukup berbeda. Alaia suka dengan laki-laki yang pandai bermain musik bahkan kalau ia bisa berandai, ia ingin sekali menikahi seorang musisi. Sedangkan aku suka dengan laki-laki yang pandai berolahraga, apapun olahraganya. Dan aku juga suka laki-laki yang pandai di bidang matematika, sebenarnya alasan itu karena aku tidak suka matematika jadi aku mau nanti ia bisa mengajari matematika, hehehe. Okay, back to the topic. Memang benar adanya, beberapa kalangan siswi di sekolahku mulai banyak yang menunjukkan ketertarikan pada Nendra. Lengkap sudah sekolah ini mempunyai Alaia dan Nendra, merekalah yang dikenal dengan primadona sekolah. Bahkan di harihari seperti pertandingan basket untuk Nendra atau penampilan saman untuk Alaia, di saat seperti itulah banyak yang memberikan keduanya hadiah. Mulai dari cokelat, kue, bahkan buket bunga pun juga ada. But I am agree they deserve every present. Nendra is really good at basketball and Alaia is the same with traditional dance. .
If I Go Through Another September | 34 29 September 2020 Tahun silih berganti dan bulan September datang kembali. Seperti biasa, keluargaku dan keluarga Alaia sedang berlibur ke tempat yang selalu kami kunjungi di bulan September, yaitu Kota Belanda. Hari ini hanyalah hari biasa, semua sibuk dengan kegiatannya masingmasing. Aku sedang menyantai di bangku taman pinggir kolam renang sedangkan Alaia sedang berenang di pagi yang cukup cerah ini. “Hey Lin, some of my friends will come and stay overnight today is that okay with you?” Alaia berkata sambil menghampiriku yang sedang membaca buku. “Yes of course I wouldn’t mind, but tonight will still movie night right?” Aku mengingatkan kembali Alaia dengan tradisi setiap tahunnya, bahwa malam sebelum basketball charity match besok kami akan selalu menonton film bersama di drive-in yang letaknya tidak jauh dari rumah ini. “Hmmm that’s the thing, aren’t we too old for that? I was thinking we could go to a bonfire party together! Would you come?Please I swear it’ll be fun.” Respon Alaia sedikit membuatu terkejut. There are no words “too old” for a drive-in movie aren’t they? And a bonfire party? Oh no, I’d rather catch an early bedtime than going to that stupid party. “Hm, nah I’m good. You can go.” “Seriously? You sure you don’t want to come?”
If I Go Through Another September | 35 “Yeah, a hundred percent sure. I remember I just bought a new book that I want to binge-read on, you go have fun.” Aku meninggalkan Alaia sendiri di halaman belakang, kabar ini sedikit membuatku kecewa. A little coping mechanism I’ve had is I go out by myself when I’m dissapointed. Aku pergi keluar rumah mengendarai sepeda, aku berkeliling sekitar kompleks dan berhenti saat aku melihat sebuah kafe baru yang belum pernah aku kunjungi. Oh god, what it is today? Wretched day? Aku melihat pria berpostur tinggi dengan wajah yang tidak asing sedang duduk sambil menyeruput hot chocolate di ujung sisi ruangan cafe. Ya, pria itu tidak lain adalah Nendra. Aku sampai lupa bahwa ia seorang pemain basket untuk pertandingan besok. Aku mencoba untuk tidak meliriknya dan berjalan seperti biasa menuju kasir untuk memesan. Selesai aku memilih untuk memesan, pegawai kafe tersebut menyebutkan kembali pesananku. “Satu blueberry muffin dan matcha frappe to-go totalnya jadi lima puluh lima ribu rupiah.” Saat aku ingin mengeluarkan uang dari dompetku, ada tangan yang menyerobot diriku sambil memberi kasir tersebut sebuah kartu. “Tambah satu chocolate muffin ya mba, bayarnya digabung aja.” Kejadian yang sama seperti di warung saat itu. Lagi-lagi orang tersebut adalah Nendra. Aku memutar balikkan badanku dan mendongakkan kepalaku karena postur badannya yang tinggi, dengan
If I Go Through Another September | 36 raut wajah yang aku usahakan sedatar mungkin aku berkata. “You don’t have to, I can pay it myself.” “I know.” Jawaban singkat yang sebenarnya tidak menjawab bagiku, aku masih memandangnya dengan raut wajah kesal-bingung-jengkel akan sikapnya. Nendra hanya menunggu diam tanpa melirik wajahku sedikitpun. Pegawai kafe itu kembali dengan pesanan kami — lebih tepatnya pesananku dengan tambahan punya-nya. Nendra langsung merogoh isi paper bag tersebut dan mengambil chocolate muffin punyanya. Tanpa basa-basi lagi ia pergi meninggalkanku begitu saja. “Well thanks!” Ucapku dengan nada sedikit kencang karena ia pergi dengan langkah yang cukup cepat. Nendra hanya merespon dengan mengacungkan jempolnya tanpa membalikkan badannya dan jalan menuju ke parkiran. Aku pun pergi meninggalkan kafe tersebut dan melanjutkan perjalananku ke taman surga. Taman yang dipenuhi oleh bunga aster yang selalu kami kunjungi setiap kali ke daerah ini. Aku mencari tempat duduk untuk menyantap blueberry muffin dan matcha frappe - ku yang sudah aku beli atau lebih tepatnya yang tidak direncanakan dibelikan oleh Nendra. Kejadian tersebut membuatku berpikir, is he really that generous to pay it for me or is he has something else in his mind? Disaat seperti ini sebenarnya tak ada yang bisa kulakukan selain menanyakannya ke Septian.
If I Go Through Another September | 37 Sungguh, ini seperti pilihan terakhir yang dapat aku lakukan untuk memuaskan isi pikiranku. Akhirnya aku memutuskan untuk mengeluarkan ponselku dan menghubungi Septian via telepon. *** “Halo Lin, ada apa? Tumben banget nge-call pas lagi di Kota Belanda.” “Well I don’t have any choices selain ngehubungin lo kalo mau bahas soal ini.” “Woow, mau bahas apa sih emangnya?” *** Sebenarnya aku ragu untuk membahas ini, takut aku hanya kegeeran saja dan malah membuat cerita ini berkepanjangan. Tetapi aku sudah melangkah maju dengan menghubungi Septian. Tak ada pilihan lain selain melanjutkan ceritaku padanya. Aku bercerita tentang beberapa kejadian akhir-akhir ini dan juga pikiranpikiran yang telah menghantuiku semenjak aku bertemu dengan Nendra di basketball charity match beberapa tahun yang lalu. Septian sedikit terkejut kalau ternyata sudah selama itu aku sempat memikirkannya, ia tidak berekspektasi bahwa rencananya berjalan dengan mulus. *** “Gue pernah bahas tentang lo ke Nendra. Dari yang gue tangkep sih emang dia juga udah tertarik sama lo, tapi
If I Go Through Another September | 38 dia itu gapernah deketin cewe sebelumnya dan terlebih lagi dia memandang lo sebagai perempuan yang susah buat didapetin.” “Wait what? Dia? Seorang Danendra Athalla Harish tertarik sama cewe kaya gue?” *** Tentu saja aku terkejut mendengar respon Septian, boys at school never really look at me. Alaia is the one they look at. I guess that’s the perks of being friends with “primadona sekolah” or the more I think, Alaia is much better than me. *** “Serius Lin, dia beneran kagum gitu sama lo. Tapi dia bingung harus mulai dari mana, dan ini emang gue mau bantuin dia pelan-pelan, ‘cause I know you don’t like rush into things apalagi perihal kaya gini.” “Yes, no, ah gatau sep gue bingung.” “Ayolah Lin, this is your first time as well kan? Dan take it easy aja, at least try to take a chance for both you and him.” *** Try to take a chance huh.. Tidak terdengar terlalu buruk sebenarnya, tapi apakah aku benar-benar siap?
If I Go Through Another September | 39 Ah lagi pula kami hanya berteman, aku pun tidak ada niatan untuk langsung berpacaran. Kami masih anak SMP memangnya apa yang akan terjadi? Taking a chance to know him better won’t hurt isn’t it?
If I Go Through Another September | 40 Chapter Three : Everything Has Changed
If I Go Through Another September | 41 All I know since yesterday Is everything has changed -Everything Has Changed by Taylor Swift 30 September 2020 Keesokan hari t’lah datang, hari ini hari pertandingan tapi anehnya rumah begitu sunyi seperti tidak ada kehidupan. Aku pergi ke dapur untuk mengambil segelas air dan meminumnya. Tak lama setelah itu Mas Bian datang dari pintu garasi sambil membawa beberapa makanan. “Eh Raline udah bangun.” “Udah bang, yang lain kemana? Kok sepi banget? Hari ini kan match day.” Tanyaku heran. “Raline, tante Zoe sama om Alex terpaksa pulang karena ada urusan penting yang mendadak. Mama lagi gak enak badan jadi ayah lagi antar ke klinik. Nanti kita berangkat ke arena berdua ya?” “What about Alaia?” “Well, since her parents left early and I haven’t seen her since last night, I thought she was with her parents.” “She’s going to the bonfire party last night. I’m not sure she’s gone with her parents.” “Well, not that I know of. Try call her Lin, you both are my responsible since all the parents are gone.”
If I Go Through Another September | 42 Last night. That stupid bonfire party. Aku bergegas pergi ke kamar dan mengambil ponselku. Aku memberikan pesan kepada Alaia untuk memastikan ia baik-baik saja. *** Raline Where r u ?!? your parents left early. Alaia I’m alright Raline, I’m at Jamine’s house right now. And yes I know they left. Raline Well my parents gone too, I’ll go to the arena with Mas Bian later. Alaia Okay, see you later then. I’ll go to the arena with my friends. Love you Raline Too. *** Situasi ini terasa janggal. Tante Zoe dan om Alex tidak ada, mama dan ayah pun tidak ada. Alaia?? Now she left me too with the people she belongs to I guess. Dan aku tetap disini, mencoba menjaga semuanya tetap berjalan seperti biasa.
If I Go Through Another September | 43 Aku pergi ke arena dengan Mas Bian, disana aku menemui Nendra dan timnya yang sedang pemanasan di lapangan. Aku sedikit takjub sebenarnya, dan rasa ingin mendukungnya dengan penuh semangat menghampiri diriku. Tetapi pasti I got to stay cool. Aku dan Mas Bian duduk di front row, VVIP seat. Itu karena keluargaku dan keluarga Alaia juga salah satu donatur di Open Charity ini setiap tahunnya. Aku melihat ke kanan dan ke kiri di berbagai sudut untuk mencari Alaia, she’s no where to be found. To be honest, aku tidak terlalu mempercayai yang ia sebut sebagai “teman-teman” nya. Aku pun memutuskan untuk mehubungi Alaia. Tidak ada jawaban. Aku coba memberinya pesan tapi pesan itu bahkan tidak terkirim. Aku mencoba tenang dan fokus pada pertandingan untuk sementara, lalu saat aku memeriksanya kembali dan tetap belum ada jawaban juga. Aku sedikit khawatir sebenarnya, tetapi aku mencoba untuk berpikir positif bahwa ia masih bersama dengan teman-temannya. Pertandingan selesai, this year is a second year in a row that he’s winning this. Takjub dan rasa banggaku tidak bisa tertutupi, aku refleks melambaikan tanganku sedikit kepadanya saat mata kami bertemu. Nendra membalasnya dengan menarik ujung bibirnya yang mengukir senyuman manis di wajahnya. Tak bisa aku pungkiri, hatiku berdetak sedikit lebih cepat saat itu.
If I Go Through Another September | 44 “Kamu lihat siapa Lin?” Tanya Mas Bian yang sedikit kebingungan. “Eh? Hah? Oh itu ada teman baru disekolahku.” Aku menjawabnya dengan singkat lalu langsung mengajak Mas Bian untuk keluar dari arena. Sesampainya di parkiran Mas Bian langsung teringat bahwa sedari tadi kita tidak bersama Alaia. “Raline, Alaia belum ada kabar juga? We can’t left her alone in this arena.” “Dia ngga aktif bang, sepertinya masih di rumah temannya itu.” “Well alright then, we go home right now and then we find Alaia. Try to search where her friend’s house is.” Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataan Mas Bian, kami memasuki mobil dan langsung menuju ke rumah. Sesampainya di rumah kami menjumpai Alaia dan beberapa temannya yang sedang asyik duduk-duduk di depan halaman rumah sambil bermain kartu. “Alaia?” “RALINEE, gosh the door is locked! And we’ve been waiting you for hours.” “Well you said you were gonna be there? And you didn’t respond any of my calls or text.” “My phone is died Raline, I’m sorry.”
If I Go Through Another September | 45 Mas Bian hanya terdiam dan membukakan pintu untuk kami. Aku yakin 100% jika Alaia adalah adik Mas Bian ia pasti sudah memarahinya. Aku tak habis pikir lagi dengan Alaia, dia sungguh seperti kepribadian – bahkan orang yang berbeda saat bersama temantemannya ini. Aku memutuskan untuk langsung pergi ke kamar atas dan merapihkan barang, since no one left in this house except three of us Mas Bian decided to just go home right away. Mas Bian mencoba untuk bicara dengan Alaia karena aku mengurung diri di kamar selama aku merapihkan semua barang-barangku. Alaia akhirnya paham dengan situasi yang sekarag dan langsung merapihkan barangbarangnya juga, teman-temannya pun pamit pulang. Setelah aku merasa sudah siap, aku pergi ke bawah dan memindahkan koper dan barang-barang lain ke dalam mobil. Saat aku menata koper di dalam bagasi mobil dan mencoba untuk menutup pintu bagasi yang sedikit jauh dari jangkauan tanganku, ada tangan yang membantuku menutup pintu bagasi. Dan lagi-lagi tangan misterius itu adalah Nendra. Ia datang secara tiba-tiba membawa seloyang cookies besar berbentuk bulat bertuliskan “Winner Of The Year”, tebakanku pasti itu hadiah untuknya memenangkan pertandigan hari ini. Tetapi sebentar, bagaimana ia tahu bahwa aku menetap di daerah dan di rumah ini selama aku di Kota Belanda? “How did you know I stay here?” “Well technically and fun fact actually, my family is one of who runs this town. My aunt live right across this
If I Go Through Another September | 46 house, so I did saw you and knew you stay here. Sorry if that’s creep you out.” “Oh wow, yes, no that’s okay. I just found out your family is run this town.” “Papa keturunan Belanda dan keluarganya memang banyak yang tinggal disini. Well I saw you pack your things up, you want to leave?” “Iya, family urgent.” “Take this, I can’t eat all of this by myself.” Ia memberikan seloyang cookies itu padaku. “Thank you, again.” Ucapku padanya “My pleasure, always.” Jawaban yang tidak terduga membuat detak jantungku berdetak lebih cepat untuk kedua kalinya hari ini. Berhubung Alaia dan Mas Bian masih merapihkan barang-barang di dalam aku memutuskan untuk “membantu” Nendra menghabiskan kue itu di halaman belakang di dekat kolam renang. Situasinya terasa begitu hening, ia tidak mencoba untuk memulai pembicaraan sehingga aku mencoba untuk memecahkan keheningan tersebut. “Lo biasanya stay disini berapa lama? Dan dimana?” “Hmm gak lama sih, gue nomaden aja kadang ke rumah sodara-sodara disini atau ke balai kota. Sering juga bolak balik ke rumah alias pulang pergi.” “What about your parents?”
If I Go Through Another September | 47 “Kadang kakak sih yang temenin gue latihan, ini juga yang anter gue kakak. Mama sama papa tadi nonton aja terus mereka pulang soalnya ada kerjaan.” Pembicaraan kami terpotong oleh kedatangan Alaia yang terlihat sudah siap untuk pergi. Aku hanya menatapnya dan mengangguk, Nendra pun juga bisa mengerti ini sudah waktunya untuk kami pergi dari sini. “See u at school then?” Ia bertanya. “I’ll see you at school.” I laid my eyes as I talk to him. Raline? What is wrong with you? Kami bertiga akhirnya pergi meninggalkan tempat ini. Rasanya aneh. Aku melihat ke luar dan memandangi rumah itu dengan perasaan yang janggal. Seperti bangunan yang sudah kokoh berdiri sekarang ada retakan yang menghiasi dinding yang indah. Banyak perubahan dan kejanggalan yang terjadi pada tahun ini. Perjalanan pulang kami hanya disuarai oleh siaran radio, Alaia yang terlelap dan Mas Bian yang fokus menyetir membuatku semakin tidak ada keinginan untuk membuka mulut. Ting! Sebuah pesan masuk ke ponselku. xxNendraxx I’m Nendra. Tell me when you’re home. Have a good trip !
If I Go Through Another September | 48 Kali ini detak jantungku serasa terhenti untuk seperkian detik. Pesan itu adalah pesan yang tidak pernah terbayangkan olehku. Mataku tak bisa berpindah menatap pesan itu. Berkali-kali aku mengetik lalu menghapusnya kembali dan berujung dengan mengabaikan pesan itu dan mematikan ponselku. Aku pun akhirnya ikut terlelap seiring perjalanan yang hening ini. Perjalanan pun usai, Alaia harus bermalam dirumahku berhubung om Alex dan tante Zoe masih ada urusan penting. Sejujurnya aku pun tak tahu urusan apa yang mengharuskan mereka meninggalkan kami disana, tapi aku mencoba untuk tidak mencari tahu untuk menjaga urusan pribadi keluarganya. “What happen between you and Nendra? Did he made his first move?” Pertanyaan pertama dari Alaia selangkah kami memasuki kamarku. “Well I won’t say it’s his first move yet, karena aku masih gatau arah dia ini kemana Al.” “He seems nice I guess. But still, we gotta know him better first.” “Haha ya iyalah Al, aku juga gak mikir kemana – mana sih ya. Cukup berteman deket aja I think is more than enough for me. For me being a secret admire is even better.” “Yaa kan gak bisa selamanya kamu ada di posisi itu Raline, lagipula if he is really good for you and can prove it to you and to me as well then you’re good to go Raline.”
If I Go Through Another September | 49 Kalimat dari Alaia membuat hatiku tergerak dan berpikir, is he really making his first move or is it just me feel like he’s making a first move? “Al, he text me earlier.” “SERIUS? DIA UDAH NGECHAT LO? NGECHAT APA?” Aku menjawab pertanyaan Alaia dengan menunjukkan pesan yang diberikan oleh Nendra. Alaia mengeluarkan seribu ekspresinya yang membuat aku kebingungan dengannya. “What do you think?” “Well I have a mixed feelings, he seems nice and polite TAPI tetep we have to be aware of it.” Aku mengangguk. Alaia dan aku memutuskan untuk menaruh seluruh tubuh kami di kasur, Alaia langsung terlelap sesaat ia memejamkan matanya. Aku masih menggenggam ponselku dan menatap pesan itu. Kenapa hal ini begitu sulit? Padahal aku bisa saja menjawabnya dengan mudah. Toh ini sebenarnya bukan kali pertamaku untuk membalas pesan dari seorang lelaki yang aku kagumi. Beberapa tahun yang lalu aku pernah mengagumi sosok lelaki yang tak aku ketahui ia akan menjadi laki-laki pertama yang benar-benar aku validasi sebagai my first teenage crush. Aku ingat, lelaki itu yang pertama kali memberiku cokelat, pertama kali membuatku merasa ada kupu-kupu berterbangan di perutku. Tetapi pertemanan kami tidak berlangsung lama, sebenarnya kami masih berteman tetapi tidak sedekat yang sudah-sudah. Ia dan
If I Go Through Another September | 50 keluarganya harus pindah ke luar kota yang membuat kami tidak punya interaksi lagi semenjak kepindahannya. 1 Oktober 2020 Another year of surviving. Ulang tahun kali ini sungguh berbeda, tahun ini semakin biasa dari biasanya. Alaia pulang ke rumahnya pagi-pagi buta karena om Alex telah menjemputnya dan aku pun belum bangun saat ia pulang. Alaia hanya menaruh sebuah sticky notes di meja belajarku. Tak lama saat aku membaca pesan tersebut, Mas Bian datang ke kamarku membawa kue kecil berbentuk bulat dengan hiasan krim berwarna merah muda dan tulisan Raline turns fifteen! “Selamat ulang tahun adikku.” Good Morning birthday girl ! Happy fifteen birthday my love, I’m sorry I have to left early because my dad picks me up. I have to go to Bandung for a family urgent. I promise we will celebrate our birthday together next week, I’ll update you nanti ya ! Once again happy birthday, I love you -Alaia