139 D = Rd = E = Re = WACC = [(0,474 x 0,101)(0,768) + (0,526 x 0,154)] 0,118 Invested Capital = 7.427.707.902.688 – 1.872.541.607.518 5.555.166.295.170 Capital Charges = 0,118 x 5.555.166.295.170 653.577.378.075 EVA = 728.904.921.030 - 653.577.378.075 75.327.542.954 Berdasarkan perhitungan EVA diatas, diketahui bahwa nilai EVA > 0, yakni sebesar 75.327.542.954. Nilai ini menunjukkan bahwa kinerja perusahaan PT. ABC dapat
140 dikatakan baik, sehingga terjadi proses perubahaan nilai ekonomisnya. Selain itu, nilai ini menunjukkan bahwa keuntungan investasi perusahaan lebih besar daripada jumlah biaya yang harus dibayarkan perusahaan tersebut kepada bank dan investor sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan. D. Analisis Hasil Perhitungan EVA Dalam melihat hasil perhitungan EVA, terdapat berbagai cara dalam menginterpretasikan hasil tersebut, berikut penjelasannya: 1. Nilai Positif EVA: a. Jika nilai EVA positif (contoh: Rp 75.327.542.954), itu menunjukkan bahwa perusahaan telah menghasilkan nilai tambah yang signifikan bagi pemegang saham setelah mempertimbangkan biaya modal. Artinya, keuntungan yang diperoleh melebihi biaya modal yang dikeluarkan untuk mendapatkan keuntungan tersebut. b. Interpretasi positif EVA adalah bahwa perusahaan berkinerja baik dalam menciptakan nilai bagi pemegang saham dan mungkin mengindikasikan efisiensi penggunaan modal. 2. Nilai Negatif EVA: a. Sebaliknya, jika nilai EVA negatif (contoh: - Rp 75.327.542), itu menunjukkan bahwa perusahaan tidak berhasil menciptakan nilai tambah yang cukup setelah mempertimbangkan biaya modal.
141 Artinya, biaya modal yang dikeluarkan melebihi keuntungan yang dihasilkan. b. Interpretasi negatif EVA dapat mengindikasikan bahwa perusahaan menghadapi masalah dalam efisiensi penggunaan modalnya, mungkin terlalu banyak menggunakan modal untuk menghasilkan laba yang relatif kecil. 3. Perbandingan dengan Biaya Modal: Satu cara untuk menginterpretasikan EVA adalah dengan membandingkannya dengan biaya modal yang digunakan. Jika EVA lebih besar dari biaya modal, perusahaan menghasilkan nilai tambah. Namun, jika EVA kurang dari biaya modal, perusahaan mengalami kerugian ekonomi. 4. Efisiensi Penggunaan Modal: Interpretasi lain dari EVA adalah sebagai ukuran efisiensi penggunaan modal perusahaan. Nilai positif EVA menunjukkan bahwa perusahaan menggunakan modal dengan baik untuk menghasilkan laba yang signifikan, sementara nilai negatif EVA menunjukkan perlunya perbaikan dalam penggunaan modal. 5. Pertimbangan Industri dan Kompetitif: a. Interpretasi EVA juga dapat bergantung pada industri dan kompetitif perusahaan. Nilai EVA yang positif dapat dianggap baik jika sejalan dengan standar industri dan jika perusahaan menghadapi persaingan yang kuat. b. Sebaliknya, nilai EVA yang negatif mungkin memerlukan evaluasi lebih lanjut tentang strategi
142 bisnis, pengelolaan biaya, dan penggunaan modal. Selain menginterpretasikan hasil perhitungan EVA, investor maupun kreditor perlu melakukan analisis terhadap nilai EVA tersebut dalam mengukur kinerja perusahaan, apakah sudah efektif dalam menciptakan nilai tambah bagi keduanya setelah mempertimbangkan penggunaan biaya modal. Berikut adalah beberapa cara dalam mengukur kinerja berdasarkan EVA menurut (Stern, 1989; Stern and Shiely, 2001; Stewart, 1996): 1. Tren Perubahan EVA dari Waktu ke Waktu: Salah satu cara paling langsung untuk mengukur kinerja berdasarkan EVA adalah dengan melihat tren perubahan nilai EVA dari waktu ke waktu. Jika nilai EVA mengalami peningkatan secara konsisten dari tahun ke tahun, ini menunjukkan bahwa perusahaan mampu meningkatkan efisiensi penggunaan modal dan menciptakan nilai tambah yang lebih besar. 2. Perbandingan dengan Biaya Modal: Mengukur kinerja berdasarkan EVA juga melibatkan perbandingan nilai EVA dengan biaya modal yang digunakan oleh perusahaan. Jika nilai EVA lebih besar dari biaya modal, ini menunjukkan kinerja yang baik karena perusahaan berhasil menghasilkan nilai tambah yang cukup untuk mengimbangi biaya modalnya. 3. Analisis Industri dan Persaingan: Untuk mengukur kinerja relatif, perlu dilakukan analisis terhadap nilai EVA perusahaan dengan nilai
143 EVA rata-rata dalam industri atau dengan pesaing utama. Jika nilai EVA perusahaan lebih tinggi dari rata-rata industri atau pesaingnya, ini dapat dianggap sebagai kinerja yang superior dalam menciptakan nilai bagi pemegang saham. 4. Pertimbangan Risiko: Penting untuk mempertimbangkan risiko dalam mengukur kinerja berdasarkan EVA. Jika nilai EVA tinggi tetapi disertai dengan risiko yang tinggi, maka kinerja perusahaan mungkin perlu dinilai kembali karena risiko yang tinggi dapat mengancam keberlangsungan nilai tambah yang dihasilkan. 5. Pengukuran Absolut vs. Relatif: Pengukuran kinerja berdasarkan EVA dapat dilakukan secara absolut, yaitu dengan melihat nilai EVA secara langsung. Namun, juga dapat dilakukan secara relatif, yaitu dengan membandingkan nilai EVA perusahaan dengan target atau standar tertentu yang telah ditetapkan. 6. Penggunaan EVA dalam Pengambilan Keputusan: Akhirnya, cara terbaik untuk mengukur kinerja berdasarkan EVA adalah dengan menggunakan metrik ini sebagai dasar untuk pengambilan keputusan manajerial. Manajer dapat menggunakan informasi EVA untuk mengevaluasi proyek-proyek investasi, menilai kinerja unit bisnis, dan membuat keputusan strategis yang lebih baik berdasarkan nilai tambah yang dihasilkan.
144 E. Keuntungan Dan Keterbatasan Penerapan EVA Penerapan Economic Value Added (EVA) dalam pengambilan keputusan manajerial memberikan beberapa manfaat yang signifikan. Berikut adalah beberapa manfaat utama dari penerapan EVA: 1. Fokus pada Penciptaan Nilai EVA membantu manajer untuk fokus pada penciptaan nilai bagi pemegang saham. Dengan mempertimbangkan biaya modal, EVA menyoroti proyek-proyek atau keputusan yang benar-benar menciptakan nilai tambah bagi perusahaan, bukan hanya menghasilkan laba yang lebih tinggi tanpa mempertimbangkan biaya modal yang terlibat. 2. Penilaian Kinerja yang Lebih Akurat EVA memberikan penilaian kinerja yang lebih akurat karena mempertimbangkan biaya modal yang dikeluarkan untuk mencapai laba. Ini mencegah penilaian yang bias terhadap proyek atau unit bisnis yang menghasilkan laba tinggi tetapi menghabiskan modal yang besar. 3. Insentif Manajerial yang Sesuai Dengan menggunakan EVA sebagai dasar untuk insentif manajerial, perusahaan dapat mendorong manajer untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam mengalokasikan modal dan memilih proyekproyek yang menghasilkan nilai tambah yang lebih besar.
145 4. Evaluasi Proyek Investasi EVA memungkinkan perusahaan untuk lebih baik mengevaluasi proyek investasi dengan mempertimbangkan nilai tambah yang dihasilkan setelah mempertimbangkan biaya modal. Ini membantu mengidentifikasi proyek-proyek yang benar-benar menguntungkan perusahaan dalam jangka panjang. 5. Pengambilan Keputusan Strategis yang Lebih Baik EVA membantu manajer dalam pengambilan keputusan strategis dengan fokus pada nilai tambah dan penciptaan nilai jangka panjang. Ini membantu dalam menentukan strategi bisnis, alokasi sumber daya, penetapan harga produk, dan keputusan lain yang penting untuk kesuksesan perusahaan. 6. Penilaian Efisiensi Penggunaan Modal Dengan menggunakan EVA, perusahaan dapat menilai seberapa efisien penggunaan modalnya. Ini membantu mengidentifikasi area-area di mana perusahaan dapat meningkatkan efisiensi dalam penggunaan modalnya, seperti mengurangi biaya modal atau meningkatkan laba ekonomi. 7. Pemahaman yang Lebih Baik tentang Kinerja Finansial EVA membantu manajer dan pemegang saham untuk memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kinerja finansial perusahaan dengan memperhitungkan biaya modal yang sebelumnya mungkin terabaikan.
146 Para ahli seperti (Abate, Grant, and Stewart ,2004; Stern and Shiely 2001; Stewart 1993; Young and O’Byrne 2001) telah mengidentifikasi beberapa keterbatasan dalam pengukuran kinerja menggunakan Economic Value Added (EVA). Berikut adalah beberapa keterbatasan yang sering disebutkan oleh ahli: 1. Kompleksitas Perhitungan Salah satu keterbatasan utama EVA adalah kompleksitas perhitungannya. Penghitungan EVA melibatkan estimasi biaya modal, penghitungan NOPAT (Net Operating Profit After Tax), dan berbagai faktor lainnya, yang dapat menjadi rumit dan memakan waktu. 2. Ketergantungan pada Estimasi: Penggunaan EVA seringkali bergantung pada estimasi dan asumsi yang digunakan dalam perhitungan. Estimasi biaya modal, tingkat pajak, dan faktor-faktor lainnya dapat mempengaruhi hasil akhir EVA dan membuatnya rentan terhadap kesalahan. 3. Tidak Memperhitungkan Nilai Waktu dari Uang Meskipun EVA mempertimbangkan biaya modal, namun dalam penghitungan yang sederhana, tidak memperhitungkan nilai waktu dari uang. Ini berarti bahwa nilai uang di masa depan mungkin dinilai secara sama dengan nilai uang saat ini, yang dapat menghasilkan kesimpangan dalam analisis investasi jangka panjang.
147 4. Fokus Terlalu Keras pada Kinerja Finansial EVA cenderung memfokuskan perhatian pada kinerja finansial jangka pendek, seperti laba operasional, tanpa memberikan gambaran yang lengkap tentang faktor-faktor non-keuangan yang juga penting dalam menilai kinerja perusahaan, seperti inovasi, kepuasan pelanggan, atau pengembangan pasar. 5. Kesulitan dalam Komparasi Antar-Industri Karena EVA sangat dipengaruhi oleh industri dan karakteristik bisnis masing-masing perusahaan, maka membandingkan kinerja EVA antara perusahaanperusahaan dalam industri yang berbeda dapat menjadi sulit dan kurang relevan. F. Pengembangan dan Penerapan Eva di Perusahaan Strategi implementasi EVA (Economic Value Added) dalam sebuah organisasi melibatkan langkah-langkah kunci untuk memastikan bahwa metode ini digunakan secara efektif dan berkelanjutan. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan EVA dalam sebuah organisasi: 1. Pemahaman yang Mendalam tentang EVA Pertama-tama, manajemen dan staf perlu memiliki pemahaman yang kuat tentang apa itu EVA, bagaimana dihitung, dan mengapa itu penting. Pelatihan dan pendidikan terkait EVA dapat membantu membangun pemahaman yang lebih baik di seluruh organisasi.
148 2. Penentuan Tujuan dan KPI Organisasi perlu menetapkan tujuan yang terukur terkait dengan EVA, seperti meningkatkan nilai tambah ekonomi perusahaan atau meningkatkan profitabilitas. Key Performance Indicators (KPI) yang terkait dengan EVA juga harus ditetapkan untuk mengukur kemajuan dan kesuksesan. 3. Penggunaan sebagai Alat Pengambilan Keputusan EVA harus digunakan sebagai alat utama dalam pengambilan keputusan strategis. Ini berarti bahwa proyek, investasi, dan keputusan lainnya dievaluasi berdasarkan kontribusi potensial mereka terhadap nilai tambah ekonomi perusahaan. 4. Pengukuran Kinerja Individu dan Tim EVA dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja individu, tim, atau unit bisnis. Ini dapat memberikan insentif yang lebih langsung dan jelas kepada orangorang untuk berkontribusi pada pencapaian nilai tambah ekonomi. 5. Integrasi dengan Sistem Pengelolaan Kinerja Integrasi EVA ke dalam sistem pengelolaan kinerja organisasi akan membantu memastikan bahwa metode ini terus diprioritaskan dan diperhatikan dalam semua tingkatan organisasi. 6. Komunikasi yang Efektif Penting untuk secara teratur berkomunikasi tentang EVA dengan seluruh organisasi. Hal ini dapat dilakukan melalui rapat, laporan keuangan, dan
149 komunikasi internal lainnya untuk memastikan pemahaman yang berkelanjutan dan dukungan terhadap penggunaan EVA. 7. Pengoptimalan Struktur Modal Penggunaan EVA juga dapat mempengaruhi struktur modal perusahaan, termasuk penggunaan modal ekuitas dan hutang. Strategi ini dapat membantu meningkatkan nilai tambah ekonomi perusahaan secara keseluruhan. 8. Evaluasi dan Penyesuaian Terus-menerus Organisasi perlu secara teratur mengevaluasi efektivitas penggunaan EVA dan melakukan penyesuaian jika diperlukan. Ini termasuk meninjau parameter yang digunakan dalam perhitungan EVA dan memastikan bahwa metode ini tetap relevan dengan kondisi pasar dan industri saat ini. Berikut ini adalah beberapa tantangan utama yang sering muncul dalam mengimplementasikan EVA, beserta strategi penyesuaian yang dapat diterapkan: 1. Tantangan: a. Pemahaman yang Kurang: Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pemahaman atau kesalahpahaman tentang konsep EVA di kalangan karyawan dan manajemen. b. Kompleksitas Perhitungan: Perhitungan EVA dapat menjadi kompleks terutama dalam organisasi yang memiliki struktur keuangan dan operasional yang rumit.
150 c. Pengukuran yang Tidak Konsisten: Beberapa perusahaan menghadapi masalah dengan pengukuran yang tidak konsisten atau tidak akurat terkait dengan faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungan EVA. d. Resistensi Perubahan: Ada resistensi terhadap perubahan dari sistem pengukuran kinerja yang sudah ada ke EVA, terutama jika karyawan dan manajemen sudah terbiasa dengan metode lama. 2. Strategi Penyesuaian: a. Pendidikan dan Pelatihan: Melakukan program pendidikan dan pelatihan yang komprehensif tentang konsep EVA kepada seluruh anggota organisasi untuk memastikan pemahaman yang mendalam dan konsisten. b. Sederhanakan Perhitungan: Mencoba menyederhanakan perhitungan EVA atau mengembangkan alat perangkat lunak yang dapat membantu otomatisasi proses perhitungan untuk mengurangi kompleksitas. c. Audit dan Validasi: Melakukan audit reguler terhadap data dan perhitungan EVA untuk memastikan konsistensi dan keakuratan pengukuran. Memperbaiki sistem dan proses yang tidak konsisten atau tidak akurat. d. Komunikasi dan Keterlibatan: Mengkomunikasikan manfaat EVA secara jelas kepada seluruh organisasi dan melibatkan karyawan dalam proses perencanaan dan implementasi untuk mengurangi resistensi perubahan.
151 e. Fleksibilitas dalam Pengukuran: Menyesuaikan parameter dan faktor yang digunakan dalam perhitungan EVA agar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik unik dari perusahaan tersebut. f. Penggunaan Insentif yang Tepat: Menggunakan sistem insentif yang terkait dengan EVA untuk mendorong karyawan dan manajemen untuk mencapai tujuan yang terkait dengan nilai tambah ekonomi. g. Evaluasi dan Penyesuaian Berkala: Melakukan evaluasi rutin terhadap penggunaan EVA dan melakukan penyesuaian jika diperlukan berdasarkan umpan balik dan hasil evaluasi.
152 Tentang Penulis Fitrarena Widhi Rizkyana, penulis menamatkan pendidikan di SMA Negeri 3 Semarang, kemudian melanjutkan pendidikan sarjana pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Semarang, dan pendidikan profesi serta magister pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro. Pada tahun 2022, penulis mulai berkecimpung pada bidang pendidikan dan saat ini berprofesi sebagai dosen di Program Studi Akuntansi, FEB Universitas Negeri Semarang. Fokus bidang keilmuan penulis yakni pada bidang akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen.
153 Residual Income Drs. Ari Hadi Prasetyo,MM., M.Ak. ALAM upaya melaksanakan pengendalian atas pusat pertanggung jawaban perusahaan menggunakan berbagai ukuran kinerja dan memberikan penghargaan pada kemampuan manajer dalam mengendalikan pusat tanggung jawab, penilaian ini bergantung pada bagaimana pendelegaian kekuasaan, apakah pembutan keputusan disentrallisasi? Dimana semua keputusan dibuat oleh manajer level tertinggi dan implementasi dari keputusan tersebut di bebankan kepada manajer level yang lebih rendah. Pendekatan lain adalah pembutan keputusan yang didesentralisasi yang merupakan praktik pendelegasian keputusan di mana manajer dengan level lebih rendah memungkinkan untuk membuat keputusan dan menerapkan keputusan-keputusan penting dalam area pertanggung jawabannya. D 11
154 Penetapan standar ukuran kinerja menjadi arah bagi para manajer unit dimana proses pengambilan keputusan di delegasikan atau didesentralisasi, sekaligus standar ini digunakan untuk mengevaluasi kinerja mereka. Pengembangan ukuran kinerja dan skema penghargaan merupakan isu yang penting bagi organisasi yang terdesentralisasi. Spesifikasi ukuran kinerja dapat mempengaruhi perilaku manajer sebagai agen yang ditugasi, oleh karena itu ukuran-ukuran yang digunakan harus mendorong tujuan manajer selaras dengan tujuan Perusahaan (goal congruence). Ukuran kinerja yang dipilih dengan baik akan mempengaruhi manajer untuk mencapai tujuan perusahaan. Tiga ukuran evaluasi kinerja pusat investasi adalah ROI, Residual Income, dan nilai tambah ekonomi, fokus dalam pembahasan dalam bab ini, lebih ditekankan pada Residual Income, dengan alasan yang akan dipaparkan secara detil dalam pembahasan ini, dengan terlebih dahulu dipaparkan mengenai penilaian kinerja menggunakan ROI. A. Penilaian kinerja pusat Investasi Perusahaan dapat melakukan penilaian kinerja untuk megnevaluasi pusat pertanggungjawaban dengan menggunakan dasar pusat investasi, akuntan menghadapi semua masalah yang terkait dengan pusat laba dan isu-isu baru yang unik pada pusat investasi. Masalah lainnya adalah bagaimana mengidentifikasi dan menilai aset yang digunakan oleh masing-masing pusat investasi. Dalam menentukan tingkat aset yang digunakan pusat pertanggungjawaban, manajemen harus menetapkan tanggung jawab atas (1) aset yang digunakan bersama,
155 seperti uang tunai, bangunan, dan peralatan, dan (2) aset yang dibuat bersama, seperti piutang. Setelah manajemen menugaskan aset organisasi ke pusat investasi, mereka harus menentukan nilai aset tersebut. Biaya apa yang harus digunakan: biaya historis, nilai buku bersih, biaya penggantian, atau nilai realisasi bersih? alternatif penetapan biaya dan argumen pendukungnya seperti yang telah dipelajari adalam akuntansi biaya. Penilaian kinerja berbasiskan pada kinerja keuangan yang popular adalah menggunakan pengukuran tingkat pengembalian investasi atau ROI. pendapatan operasional dan laba atas investasi (ROI) untuk memberi motivasi dan mengevaluasi kinerja. Penilaian kinerja dari sisi asfek keuangan ini cocok untuk perusahaan-perusahaan memperoleh pendapatannya dan nilai perusahaannya dari aset utama berupa aset fisik, seperti misalnya properti, pabrik, peralatan, persediaan, dan aset keuangan, berupa uang tunai, surat berharga, dan investasi. Namun, pada akhir abad ke-20, perusahaan tidak lagi dapat menciptakan nilai hanya melalui aset fisik dan keuangannya. Mereka perlu menciptakan nilai melalui aset tidak berwujud mereka—loyalitas dan hubungan pelanggan, proses operasi yang efisien dan berkualitas tinggi, produk dan layanan baru, keterampilan dan motivasi karyawan, basis data dan sistem informasi, dan, yang paling tidak berwujud, budaya organisasi. ROI umunya digunakan sebagai salah satu pengukuran kinerja divisi, namun pengukuran mengguakan ROI ini kurang popular dikalangan manajer, mengingat pengukuran menggunakan ROI memberi manfaat bagi
156 Divisi namun di sisi lain pengukuran ini dapat menghancurkan organisasi secara keseluruhan. Pengukuran menggunakan ROI ini mendorong manajer berperilaku menurunkan nilai investasi dengan tujuan untuk memenuhi target tingkat pengembalian minimum Perusahaan, namun masih dibawah ROI divisi untuk tahun berjalan, karena umumnya tren ROI sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajer. Sebagai ilustrasi : Anggaplah seorang manajer pada suatu divisi kinerja nya dinilai berdasarkan pada ROI, pada periode berjalan divisi memiliki ROI 25%, dengan aset operasional yang digunakan oleh divisi dalam menghasilkan pendapatan adalah sebesar Rp. 100.000.000, pendapatan operasional dari kegiatan operasional divisi pada periode tersebut Rp. 25.000.000, Berdasarkan data tersebut ROI dihitung sebagai berikut : ROI sebelum Investasi baru : 25.000.000 / 100.000.000 = 25% Jika perusahaan sendiri memiliki tingkat pengembalian minimum yang ditetapkan sebesar 15%, sedangkan Manajer Divisi diberikan peluang investasi, dengan total investasi tambahan sebesar Rp. 50.000.000 dengan laba operasi tahunan sebesar Rp.10.000.000, dalam hal ini ROI dapat dihitung sebagai berikut : 10.000.000 : 50.000.000 = 20%.
157 Jika peluang investasi baru diambil manajer divisi, maka ROI divisi dapat dihitung sbb : ROI=(25.000.000+10.000.000) / (100.000.000+50.000.000)= 23.3% Berdasarkan perhitungan tersebut jelas sekali bahwa ROI divisi mengalami penurunan dari 25% menjadi 23.3%, penurunan ROI cenderung mendorong manajer divisi mengambil Keputusan untuk tidk mel akukan investasi baru, mengingat manajer lebih menyukai untuk investasi pada proyek yang dapat meningkatkan ROI divisi di atas 25% untuk dapat memperoleh penilaian kinerja yang baik, kendatipun ROI divisi masih di atas ROI minimal yang di tetapkan. Kendatipun penilaian kinerja dan pengendalian menggunakan ROI ini cukup popular, namun beberapa analis melihat beberapa kelemahan dari penilaian menggunakan ROI, antara lain : 1. Mematahakan semangat manajer untuk melakukan investasi pada proyek, jika proyek tersebut mengakibatkan menurunnya ROI divisi, jika ROI proyek tersebut lebih kecil dari ROI divisi pada tahun berjalan. 2. Mendorong menajer perilaku manajer yang hanya berfokus pandangan jangka pendek dan mengorbankan pandangan jangka panjang.
158 B. Residual Income Untuk menghindari manajer menambil Keputusan yang kurang tepat yang didasarkan pada ROI, sehingga manajer menurunkan nilai investasi yang tidak menguntungkan bagi divisi, namun investasi tersebut memiliki probabilitas yang tinggi dalam memberikan keuntungan bagi Perusahaan. Untuk menghindari hal tersebut beberapa perusahaan menggunakan pengendalian dan pengukuran kinerja berdasarkan yang didasarkan pada selisih lebih di atas ROI standar yang ditetapkan oleh Perusahaan atau yang dikenal dengan Residual Income. Residual income merupakan selisih antara pendapatan operasi dan nilai rupiah tingkat pengembalian minimum yang ditetapkan dari asset operasional Perusahaan. Residual Income dihitung menggunakan formula sebagai berikut : Penggunaan Residual Income sebagai pengukuran kinerja manajer, cukup sederhana, yaitu dengan melihat selisih laba operasi investasi yang lebih lebih tinggi dari biaya modal divisi. Penilaian kinerja menggunakan residual income pada divisi mendorongan manajer untuk mau menerima investasi, selama kinerja di ukur dari selisih lebih di atas tingkat pengembalian Perusahaan ,
159 sehingga manajer divisi memiliki dorongan untuk meingkatkan RI dari satu periode ke periode berikutnya. Perhitungan Residual Income menggunakan data Laba Operasi dan Rata-Rata Aset Operasional yang sama yang digunakan dalam menghitung ROI, namun dalam menghitung Residual Income melibatkan item tarif biaya modal, yaitu prosentase biaya di dalam mendapatkan pendanaan untuk investasi. Aset operasi mencakup semua aset yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan operasional. Biasanya mencakup uang tunai, piutang, persediaan, tanah, bangunan, dan peralatan. Rata-rata aset operasi dihitung sebagai berikut: Seperti halnya dengan ROI, Residual Income mengevaluasi pendapatan terkait tingkat investasi yang diperlukan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Berbeda dengan ROI, Residual Income mengurangi kecenderungan manajer untuk menolak investasi yang diharapkan menghasilkan lebih banyak daripada biaya modalnya, Berdasarkan kriteria Residual Income, manajer diminta untuk melakukan apapun yang mereka anggap perlu untuk menghasilkan Residual Income sebesar mungkin.
160 Contoh : Pada kasus sebelumnya manajer divisi dihadapkan pada peluang investasi dengan Tingkat pengembalian yang diharapkan sebesar 20%, dengan biaya modal 15%, setara dengan tingkat pengembalian yang diharapkan Perusahaan, denganproyek memerlukan investasi sebesar Rp.10.000.000, jika investasi dilakukan, maka Residual Income dan pengembalian yang diharapkan adalah sebesar Rp. 5 juta [Rp. 10.000.000 (20%- 15%)]. Berdasarkan kalkulasi tersebut jika Manajer diberi imbalan berdasarkan Residual Income, maka manajer akan menerima peluang investasi ini. Beberapa perusahaan menggunakan ROI dan juga Residual Income sebagai basis pengukuran kinerja agar dapat memperoleh manfaat, ROI dapat digunakan untuk membandingkan kinerja satu divisi dengan divisi lainnya, sedangkan Residual Income digunakan untuk meminimalisir terjadinya konflik kepentingan antara sasaran divisional dan sasaran Perusahaan. C. Manfaat Residual Income dalam Menilai Kinerja divisi Penilaian kinerja pusat investasi untuk menilai divisi manahkah yang lebih profitable bagi perusahaan dengan menggunakan penilaian kinerja alternatif Residual Income: Misalkan PT. Rajawali Mas yang bergerak di bidang consumer goods, memiliki dua divisi, yaitu divisi produk Home Care dan Divisi Private Care, berikut informasi yang diperoleh dari kedua divisi tersebut pada akhir tahun :
161 Home Care Private Care Penjualan Laba Operasi Rata2 asset operasional Rp. 120.000.000 60.000.000 400.000.000 Rp. 98.000.000 4.800.000 300.000.000 PT. Rajawali Mas menetapkan tingkat pengembalian investasi Perusahaan adalah sebesar 13% Dengan informasi tersebut kinerja divisional menggunakan residual income dapat dihitung sebagai berikut : 1. Residual Income Divisi Home Care : Residual Income = Operating Income – (Minimum rate of return x Opearting Asset) = Rp. 60.000.000 – (0.13 x Rp. 400.000.000) = Rp. 8.000.000 2. Residual Income Divisi Private Care ; Resiual income = Operating Income – (Minimum rate of return x Opearting Asset) = Rp. 45.000.000 – (0.13 x Rp. 300.000.000) = Rp. 6.000.000 Perhitungan di atas memperlihatkan secara jelas bahwa kendatipun tingkat pengembalian investasi dari kedua divisi sama, namun divisi Home Care mampu memperoleh pendapatan absolut lebih tinggi dari divisi Private Care.
162 D. Manfaat Residual Income dalam Keputusan Investasi Divisi Pada pengantar awal telah ditunjukan bahwa jika penilaian kinerja manajer hanya di dasarkan pada tingkat pengembalian investasi, maka manajer lebih fokus pada ROI divisi, sehingga manajer akan cenderung menolak proyek-proyek yang menghasilkan tingkat pengembalian dibawah biaya modal. Hal ini akan berbeda jika kinerja manajer dinilai berdasarkan pendapatan residual. Sebagai ilustrasi, anggaplah manajer divisi Home Care, diberikan peluang investasi untuk proyek I sebesar Rp. 100.000.000.000 dan Rp. 40.000.000.000 untuk proyek 2, Perusahaan menetapkan tinkat penge,balian investasi sebesar 13%, berikut ini proyeksi laba rugi ke dua proyek tersebut : Peraga 1 Laporan Laba Rugi Proyeksian (Dalam jutaan) Proyek 1 Proyek 2 Penjualan Beban Pokok Penjualan Rp. 38.200 (19.800) Rp. 21.500 (12.000) Marjin Kotor Beban Adm, & Penjualan 18.400 (4.400) 9.500 (3.500) Laba Operasi 14.000 6.000
163 Jika Perusahaan menggunakan basis penilaian berdasarkan tingkat pengembalian investasi, maka manajer divisi akan memilih Proyek dengan tingkat pengembalian investasi yang lebih tinggi dalam hal ini proyek 2 dengan ROI 14.75%, namun jika penilaian kinerja di dasarkan pada Residual Income atau pendapatan residual, kedua proyek memberikan nilai lebih besar dari 0 yang artinya pendapatan divisi melebihi kriteria minimal tingkat pengembalian yang ditetapkan oleh perusahaan, lalu apakah Keputusan terbaik yang seharusnya diambil oleh manajer divisi? Untuk mengambil keputusan yang tepat yang dapat mengoptimalkan kemampulabaan perusahaan ketimbang kemampulabaan divisi semata, maka dapat dilakukan skenario yang dapat digunakan untuk menganalisis pendapatan residual, sebagai berikut : Peraga 2 Tabel Perhitungan Residual Income (dalam jutaan) Keputusan memilih Proyek 1 Proyek 2 Kedua Proyek Tdk satupun Asset Operasional 500.000 440.000 540.000 400.000 Laba Operasi 74.000 66.000 80.000 60.000 Pengembalia n min 13% 65.000 57.200 70.200 52.000 Pendapatan Residual 9.000 8.800 9.800 8.000
164 Seperti terlihat dalam table perhitungan analisis pendapatan residual jika manajer divisi hanya memilih proyek 1, yang memberikan nilai pendapatan residual lebih tinggi yaitu sebesar Rp. 9.000.000.000, namun pilihan jika manajer divisi memilih kedua proyek pendapatan residual yang diperoleh akan lebih tinggi menjadi sebesar Rp. 9.800.000.000. E. Kelemahan Pendapatan Residual Residual Income mengukur tingkat pengembalian berdasarkan ukuran pengembalian mutlak, yang tidak dapat meminimalisir perilaku cara pandang para manajer dalam jangka pendek, yang lebih focus pada ROI divisi, dengan ukuran pendapatan mutlak atau nilai rupiah pendapatan residual, hal ini tentu akan menyulitkan di dalam melakukan perbandingan kinerja antar divisi yang ada pada Perusahaan. Sebagai ilustrasi, mari kita lihat kinerja pendapatan residual dari dua divisi yang dimiliki oleh perusahaan, yaitu Divisi Furniture dan Alat Dapur, yang dapat dilihat pada peraga 3 yaitu sebagai berikut : Peraga 3 Residual Income (dalam jutaan) Furniture (Rp.) Alat Dapur (Rp.) Asset Operasional 700.000 200.000 Laba Operasi Tingkat 120.000 40.000
165 pengembalian min. 13% 91.000 26.000 Pendapatan Residual 29.000 14.000 Ukuran kinerja pendapatan residual secara mutlak menunjukan bahwa Divisi Furniture memiliki pendapatan residual duakali lebih besar yaitu Rp. 29.000.000.000 dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh divisi alat dapur yang hanya sebesar Rp. 14.000.000.000, namun dalam hal ini divisi Furniture menggunakan asset 3.5 lebih besar dari Divisi alat dapur. Untuk memperbaiki hal ini maka dapat dilakukan dengan cara membagi Residual Income dengan rata-rata asset operasiaonal, dalam hal ini Divisi Furniture memiliki ratio 29.000.000.000/700.000.000 = 4.1% sedangkan Divisi Alat Dapur memiliki ratio 14.000.000.000/200.000.000.000 = 7%, dengan demikian jelas bahwa Divisi Alat Dapur mempereoleh pengembalian Residual Income lebih tinggi dari Divisi Furniture. Alternatif lain dapat juga menggunakan dua pengukuran kinerja, yaitu ROI, dimana ROI dapat digunakan untuk perbandingan kinerja antar divisional
166 Tentang Penulis Drs. Ari Hadi Prasetyo MM., M.Ak. Dosen pada Institut Bisnis & Informatika KKG di Jakarta Utara, dengan pengalaman mengajar sejak 1991 untuk mata kuliah di bidang studi akuntansi. Menempuh Pendidikan S1, program PDU-Akuntansi di IKIP Bandung. Studi lanjut pada jenjang S2 Magister Manajemen- konsentrasi manajemen keuangan ditempuh pada STIE-IGI Jakarta, sedangkan untuk Pendidikan S2 Magister Akuntansi ditempuh pada Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kiangie Jakarta. Dengan pengalaman mengajar sudah cukup lama dan sebagai Instruktur pada beberapa UMKM, penulis mencoba untuk membagikan pengetahuan yang dipelajari dan pengalaman selama mengajar dengan berkolaborasi dengan beberapa penulis yang dituangkan dalam buku ini pada bab Residual Income.
167 Balanced Score Card: Akuntansi Manajemen Pendekatan Teori dan Praktik Ari Wibowo, S.E., M.Sc. KUNTANSI manajemen merupakan suatu aspek kunci dalam pengelolaan bisnis yang efektif. Dalam menghadapi tantangan global dan persaingan yang semakin ketat, organisasi membutuhkan pendekatan yang holistik dan terintegrasi dalam pengelolaan sumber daya dan strategi bisnis. Salah satu alat yang telah terbukti efektif adalah Balanced Scorecard (BSC), yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton pada awal 1990-an. BSC menawarkan pendekatan yang seimbang untuk pengukuran kinerja, dengan memperhitungkan tidak hanya aspek keuangan, tetapi juga perspektif pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan organisasi. Dalam konteks ini, memahami latar belakang teoritis dan praktis Balanced Scorecard menjadi krusial bagi organisasi yang ingin mengoptimalkan kinerja dan pencapaian tujuan strategis mereka. A 12
168 Pengembangan Balanced Scorecard (BSC) menjadi topik yang relevan dalam literatur akademis dan dunia bisnis karena kemampuannya untuk menyediakan pandangan yang komprehensif terhadap kinerja organisasi. Latar belakang ini menyoroti pergeseran paradigma dalam akuntansi manajemen dari pendekatan yang terfokus pada kinerja keuangan menuju pendekatan yang lebih holistik yang mempertimbangkan faktor-faktor non-keuangan yang juga berpengaruh terhadap kinerja jangka panjang. Dengan mengakui bahwa keberhasilan organisasi tidak hanya diukur dari segi keuangan semata, tetapi juga melalui pencapaian dalam aspek-aspek seperti kepuasan pelanggan, efisiensi proses internal, dan kemampuan organisasi untuk belajar dan beradaptasi, BSC telah menjadi landasan penting bagi pengambilan keputusan strategis dan evaluasi kinerja yang lebih komprehensif. Dalam konteks ini, paper ini bertujuan untuk mendalami integrasi antara teori dan praktik dalam implementasi BSC, mengidentifikasi manfaatnya serta mengeksplorasi tantangan yang mungkin dihadapi oleh organisasi dalam mengadopsi pendekatan ini. Penggunaan Balanced Scorecard (BSC) dalam konteks akuntansi manajemen telah menjadi perhatian utama bagi para akademisi dan praktisi bisnis karena kemampuannya untuk menyediakan pandangan yang seimbang terhadap kinerja organisasi. Seiring dengan kompleksitas yang terus berkembang dalam lingkungan bisnis global, penting bagi organisasi untuk memahami bahwa keberhasilan tidak hanya tergantung pada pencapaian keuangan semata. BSC memberikan kerangka kerja yang menyeluruh dengan mengintegrasikan perspektif keuangan dan non-keuangan, seperti kepuasan pelanggan, proses internal yang efisien, dan
169 kemampuan organisasi untuk belajar dan berinovasi. Dengan demikian, latar belakang ini menyoroti perlunya integrasi antara teori dan praktik dalam mengimplementasikan BSC sebagai alat yang efektif dalam pengambilan keputusan strategis dan pengelolaan kinerja organisasi. Melalui analisis yang mendalam tentang konsep dan aplikasi BSC, penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana organisasi dapat mengadopsi dan mengintegrasikan pendekatan ini secara efektif dalam konteks akuntansi manajemen. A. Teori Akuntansi Manajemen dan Balanced Scorecard Teori akuntansi manajemen mengacu pada kerangka konseptual dan prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengelola informasi keuangan dan non-keuangan dalam organisasi. Salah satu pendekatan yang telah menjadi fokus utama dalam teori akuntansi manajemen adalah Balanced Scorecard (BSC). BSC, yang dikembangkan oleh Kaplan dan Norton pada awal 1990-an, memperkenalkan kerangka kerja yang seimbang untuk pengukuran kinerja organisasi. Pendekatan ini melampaui pengukuran kinerja keuangan tradisional dan memperhitungkan aspek-aspek non-keuangan seperti kepuasan pelanggan, efisiensi proses internal, dan inovasi. Melalui perspektif-perspektif ini, BSC memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kinerja organisasi, memungkinkan manajer untuk membuat keputusan yang lebih baik dan mengarahkan sumber daya organisasi dengan lebih efektif. BSC memberikan alat yang kuat dalam mengukur dan mengelola kinerja organisasi dengan lebih komprehensif,
170 tetapi keberhasilannya bergantung pada pemahaman yang kuat tentang teori akuntansi manajemen yang mendasarinya. Konsep-konsep seperti biaya, pengukuran kinerja, alokasi sumber daya, dan pengambilan keputusan strategis merupakan bagian integral dari teori akuntansi manajemen yang memberikan landasan untuk implementasi BSC. Selain itu, teori-teori seperti teori agensi, teori keagenan, dan teori sistem juga memainkan peran penting dalam memahami dinamika yang terlibat dalam penggunaan BSC sebagai alat manajemen. Dengan memahami teori-teori ini secara mendalam, organisasi dapat mengadaptasi dan mengimplementasikan BSC dengan lebih efektif sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik mereka. Dalam teori akuntansi manajemen, pendekatan BSC dianggap sebagai evolusi dari paradigma tradisional yang hanya memperhatikan pengukuran kinerja keuangan. BSC memperluas cakupan pengukuran kinerja dengan mempertimbangkan aspek-aspek non-keuangan yang juga berpengaruh terhadap keberhasilan jangka panjang organisasi. Konsep ini terkait erat dengan teori-teori seperti teori nilai tambah pelanggan, teori proses bisnis, dan teori organisasi pembelajaran. Integrasi BSC dengan teori-teori ini membantu organisasi untuk memahami hubungan antara pencapaian tujuan strategis dan aktivitas operasional mereka. Selain itu, BSC juga memberikan landasan bagi implementasi strategi yang terfokus dan koheren, yang merupakan prinsip utama dalam teori strategi bisnis.
171 Dalam teori akuntansi manajemen, pendekatan BSC dianggap sebagai evolusi dari paradigma tradisional yang hanya memperhatikan pengukuran kinerja keuangan. BSC memperluas cakupan pengukuran kinerja dengan mempertimbangkan aspek-aspek non-keuangan yang juga berpengaruh terhadap keberhasilan jangka panjang organisasi. Konsep ini terkait erat dengan teori-teori seperti teori nilai tambah pelanggan, teori proses bisnis, dan teori organisasi pembelajaran. Integrasi BSC dengan teori-teori ini membantu organisasi untuk memahami hubungan antara pencapaian tujuan strategis dan aktivitas operasional mereka. Selain itu, BSC juga memberikan landasan bagi implementasi strategi yang terfokus dan koheren, yang merupakan prinsip utama dalam teori strategi bisnis. Selain itu, teori akuntansi manajemen juga memberikan dasar yang penting dalam memahami peran BSC dalam konteks pengambilan keputusan manajerial. Konsep-konsep seperti biaya, pengendalian manajemen, dan perencanaan strategis menjadi penting dalam merumuskan dan mengimplementasikan BSC. Misalnya, konsep biaya membantu dalam menentukan alokasi sumber daya yang optimal untuk mencapai tujuan organisasi yang diukur melalui BSC. Pengendalian manajemen membantu dalam memonitor dan mengevaluasi kinerja organisasi berdasarkan metrik BSC, sementara perencanaan strategis memastikan bahwa tujuan strategis organisasi tercermin dengan baik dalam pembangunan BSC.
172 B. Pengenalan Balanced Scorecard (BSC) Balanced Scorecard (BSC) adalah sebuah kerangka kerja strategis yang digunakan untuk mengukur dan mengelola kinerja organisasi dengan pendekatan yang seimbang dan terintegrasi. Konsep BSC dirancang untuk memperluas pengukuran kinerja organisasi melampaui aspek keuangan saja, dengan mempertimbangkan juga aspek-aspek non-keuangan yang kritis seperti kepuasan pelanggan, efisiensi proses internal, inovasi, dan kemampuan pembelajaran dan pertumbuhan. Isi dari BSC biasanya terdiri dari empat perspektif utama: keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif keuangan mencakup ukuran-ukuran tradisional seperti pendapatan, laba bersih, dan arus kas. Perspektif pelanggan menilai kepuasan pelanggan, loyalitas, dan pangsa pasar. Perspektif proses internal memperhatikan efisiensi dan efektivitas operasional organisasi. Sedangkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan mengevaluasi kemampuan organisasi untuk berinovasi, mengembangkan sumber daya manusia, dan meningkatkan kemampuan mereka untuk beradaptasi. Hubungannya dengan akuntansi manajemen terletak pada penggunaan informasi akuntansi untuk mengukur kinerja organisasi dan membuat keputusan yang strategis. BSC membantu manajer dalam merumuskan strategi, mengukur kinerja, dan mengidentifikasi peluang atau masalah potensial dalam organisasi. Ini memungkinkan
173 penggunaan informasi akuntansi yang lebih holistik dan terpadu dalam pengambilan keputusan manajemen. Konsep BSC pertama kali ditemukan oleh dua peneliti, yaitu Robert S. Kaplan dan David P. Norton, pada tahun 1992 melalui sebuah artikel yang diterbitkan dalam Harvard Business Review berjudul "The Balanced Scorecard - Measures that Drive Performance". Implementasi BSC telah diterapkan oleh berbagai jenis organisasi, termasuk perusahaan swasta, organisasi nirlaba, pemerintah, dan sektor pendidikan. Ini karena BSC dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan unik setiap organisasi. BSC menawarkan kerangka kerja yang holistik untuk mengukur kinerja organisasi dengan memperhitungkan aspek keuangan dan non-keuangan. Kerangka kerja BSC terdiri dari empat perspektif utama: keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif keuangan mencakup ukuran-ukuran yang tradisional seperti pendapatan, laba, dan arus kas, sementara perspektif pelanggan mempertimbangkan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Perspektif proses internal mengevaluasi efisiensi dan efektivitas operasional organisasi, sedangkan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menilai kemampuan organisasi untuk berinovasi dan beradaptasi. Dengan pendekatan yang seimbang ini, BSC memungkinkan manajer untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kinerja organisasi dan mengidentifikasi area-area yang memerlukan perhatian lebih lanjut untuk meningkatkan kinerja keseluruhan. Dengan demikian, pengenalan BSC
174 menjadi penting dalam mengarahkan pengelolaan kinerja organisasi menuju pencapaian tujuan-tujuan strategis dengan lebih efektif. BSC juga memberikan organisasi alat untuk menghubungkan strategi dengan tindakan operasional yang konkrit. Dengan menyusun indikator kinerja di setiap perspektif BSC, organisasi dapat mengartikulasikan tujuan jangka pendek dan panjang mereka dalam satu kerangka kerja yang terintegrasi. Ini memungkinkan manajer untuk menentukan langkah-langkah konkret yang harus diambil untuk mencapai tujuan strategis organisasi, serta mengukur kemajuan mereka seiring waktu. Dengan demikian, BSC tidak hanya menjadi alat untuk mengukur kinerja, tetapi juga menjadi landasan bagi perencanaan strategis dan pengambilan keputusan yang terinformasi. Selain itu, BSC mempromosikan transparansi dan akuntabilitas di seluruh organisasi dengan memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk melihat bagaimana tujuan organisasi dipetakan ke dalam indikator kinerja yang spesifik. BSC juga mencerminkan evolusi dalam pemahaman tentang pengukuran kinerja organisasi. Tradisionalnya, pengukuran kinerja sering kali terbatas pada metrik keuangan, seperti pendapatan dan laba bersih, yang tidak memberikan gambaran yang lengkap tentang kesehatan organisasi. Namun, dengan munculnya BSC, pengukuran kinerja menjadi lebih seimbang dengan memperhitungkan aspek non-keuangan yang kritis seperti kepuasan pelanggan, efisiensi operasional, dan kemampuan untuk berinovasi. Hal ini mengakui bahwa keberhasilan jangka
175 panjang sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh kinerja keuangan semata, tetapi juga oleh kemampuannya untuk memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggan, meningkatkan proses internal, dan mengembangkan sumber daya manusia dan teknologi. BSC juga mencerminkan perubahan paradigma dalam pengelolaan kinerja organisasi dari yang bersifat reaktif menjadi proaktif. Dalam pendekatan tradisional, pengukuran kinerja sering kali terbatas pada evaluasi hasil historis dan fokus pada indikator keuangan saja. Namun, dengan adopsi BSC, organisasi beralih dari pendekatan tersebut ke pendekatan yang lebih proaktif dengan memperhitungkan faktor-faktor kritis yang mempengaruhi keberhasilan jangka panjang. Dengan menekankan perspektif pelanggan, proses internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan, BSC memungkinkan organisasi untuk mengevaluasi kinerja mereka dari berbagai sudut pandang dan mengidentifikasi peluang untuk perbaikan yang lebih tepat waktu. Hal ini memungkinkan manajer untuk merespons perubahan pasar dengan lebih cepat dan membuat keputusan yang lebih tepat berdasarkan informasi yang lebih komprehensif. C. Kaitan antara Akuntansi Manajemen dan BSC Kaitan antara Akuntansi Manajemen dan Balanced Scorecard (BSC) sangatlah erat dan saling melengkapi dalam konteks pengelolaan kinerja organisasi. Akuntansi Manajemen menawarkan kerangka kerja untuk menghasilkan informasi keuangan dan non-keuangan
176 yang relevan bagi pengambilan keputusan internal. Dengan memanfaatkan teknik seperti analisis biaya, anggaran, dan perhitungan kinerja, Akuntansi Manajemen membantu manajer dalam merencanakan, mengendalikan, dan mengevaluasi kinerja organisasi. Di sisi lain, BSC melengkapi pendekatan tradisional Akuntansi Manajemen dengan memberikan kerangka kerja strategis yang lebih holistik dan terpadu. BSC tidak hanya memperhitungkan aspek keuangan, tetapi juga menyoroti aspek-aspek nonkeuangan yang kritis seperti kepuasan pelanggan, efisiensi proses internal, dan kemampuan inovasi. Dengan demikian, BSC memungkinkan organisasi untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang kinerja mereka dan menyesuaikan rencana tindakan mereka sesuai dengan tujuan strategis. Dalam hal ini, Akuntansi Manajemen menyediakan data dan informasi yang diperlukan untuk mengukur kinerja, sedangkan BSC membantu menerjemahkan informasi tersebut menjadi langkah-langkah strategis yang dapat mengarah pada pencapaian tujuan organisasi. Dengan kombinasi yang tepat antara Akuntansi Manajemen dan BSC, organisasi dapat mengoptimalkan pengelolaan kinerja mereka dan mencapai keberhasilan jangka panjang. Akuntansi Manajemen, sebagai cabang akuntansi yang fokus pada penyediaan informasi keuangan dan nonkeuangan untuk keperluan manajemen internal, memberikan fondasi data yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi dari berbagai sudut pandang. Melalui teknik seperti analisis biaya, anggaran, dan pengukuran kinerja, Akuntansi Manajemen membantu manajer dalam merumuskan strategi, mengiden-
177 tifikasi area-area perbaikan, dan mengalokasikan sumber daya secara efisien. Di sisi lain, Balanced Scorecard (BSC) melengkapi pendekatan tradisional Akuntansi Manajemen dengan menawarkan kerangka kerja yang lebih komprehensif untuk pengukuran kinerja. BSC tidak hanya memperhitungkan aspek keuangan, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek non-keuangan seperti kepuasan pelanggan, efisiensi proses internal, dan kemampuan inovasi. Hal ini memungkinkan organisasi untuk memiliki pemahaman yang lebih holistik tentang kinerja mereka dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang berkontribusi terhadap kesuksesan jangka panjang. Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari Akuntansi Manajemen dengan perspektif yang ditawarkan oleh BSC, organisasi dapat mengembangkan strategi yang lebih baik dan mengukur pencapaian tujuan strategis dengan lebih efektif. Akuntansi Manajemen menyediakan data yang relevan dan terukur, sementara BSC membantu dalam menerjemahkan informasi tersebut menjadi langkah-langkah strategis yang dapat diimplementasikan dalam operasi sehari-hari. Secara keseluruhan, kaitan antara Akuntansi Manajemen dan BSC memberikan kerangka kerja yang kuat dan terpadu bagi organisasi dalam mengelola kinerja mereka. Dengan memanfaatkan informasi yang disediakan oleh Akuntansi Manajemen dan pendekatan yang ditawarkan oleh BSC, organisasi dapat mengoptimalkan pengambilan keputusan, meningkatkan efisiensi operasional, dan mencapai tujuan-tujuan strategis mereka dengan lebih efektif.
178 Selain itu, kaitan antara Akuntansi Manajemen dan BSC juga memperkuat peran Akuntansi Manajemen sebagai penyedia informasi untuk pengambilan keputusan strategis. Dengan menggunakan data yang dihasilkan oleh Akuntansi Manajemen, seperti analisis biaya dan anggaran, organisasi dapat mengidentifikasi tren kinerja dan mengukur pencapaian tujuan-tujuan operasional mereka. Namun, dengan pendekatan yang lebih luas yang diperkenalkan oleh BSC, informasi yang disediakan oleh Akuntansi Manajemen dapat diperluas untuk mencakup aspek-aspek non-keuangan yang kritis bagi kesuksesan jangka panjang organisasi. Selain itu, kaitan antara Akuntansi Manajemen dan BSC juga membantu dalam menyeimbangkan fokus organisasi antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Sementara Akuntansi Manajemen cenderung fokus pada pengukuran kinerja operasional yang lebih taktis, BSC memperluas pandangan organisasi untuk mencakup tujuan-tujuan strategis yang lebih luas. Dengan demikian, organisasi dapat memanfaatkan informasi yang disediakan oleh Akuntansi Manajemen untuk menginformasikan strategi-strategi jangka pendek, sementara BSC membantu dalam menetapkan arah strategis jangka panjang organisasi. Dalam konteks ini, kaitan antara Akuntansi Manajemen dan BSC memberikan fondasi yang kokoh bagi pengelolaan kinerja organisasi yang holistik dan terintegrasi. Dengan menggunakan pendekatan yang saling melengkapi ini, organisasi dapat memastikan bahwa pengambilan keputusan mereka didasarkan pada
179 informasi yang komprehensif dan relevan, serta mengarah pada pencapaian tujuan-tujuan strategis jangka panjang. Sebagai hasilnya, kaitan antara Akuntansi Manajemen dan BSC menjadi kunci bagi keberhasilan organisasi dalam menghadapi tantangan-tantangan yang kompleks dan beragam di lingkungan bisnis saat ini. D. Integrasi Teori dan Praktik dalam Implementasi Balanced Scorecard Integrasi teori dan praktik dalam implementasi Balanced Scorecard (BSC) merupakan langkah krusial dalam memastikan keberhasilan dan efektivitas sistem pengukuran kinerja ini di dalam organisasi. Teori yang mendasari BSC, seperti konsep perspektif keuangan dan non-keuangan serta hubungan sebab-akibat antara indikator kinerja, memberikan dasar yang kokoh untuk merancang BSC yang sesuai dengan konteks dan tujuan organisasi. Namun, integrasi teori ini harus diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang praktik-praktik terbaik dalam implementasi BSC di dunia nyata. Hal ini melibatkan pemahaman yang kuat tentang tantangan dan peluang yang dihadapi oleh organisasi selama proses implementasi, serta kemampuan untuk menyesuaikan kerangka kerja BSC dengan kebutuhan unik organisasi tersebut. Selain itu, integrasi teori dan praktik juga melibatkan penggunaan metodologi yang tepat dalam merancang dan menerapkan BSC. Ini mencakup penggunaan pendekatan yang terbukti efektif dalam mengidentifikasi indikator
180 kinerja yang relevan, mengukur kinerja secara akurat, dan menghubungkan inisiatif strategis dengan tujuan organisasi secara keseluruhan. Selain itu, integrasi teori dan praktik juga melibatkan penggunaan teknologi informasi dan sistem yang tepat untuk mendukung pelaksanaan BSC, seperti perangkat lunak manajemen kinerja yang terintegrasi atau sistem pelaporan yang otomatis. Dalam konteks integrasi teori dan praktik dalam implementasi BSC, penting untuk diingat bahwa pendekatan yang berhasil akan sangat bervariasi tergantung pada karakteristik dan kebutuhan unik dari setiap organisasi. Oleh karena itu, integrasi teori dan praktik memerlukan pendekatan yang holistik dan berbasis pada bukti, di mana teori-teori yang ada diuji dan disesuaikan dengan pengalaman empiris dalam implementasi BSC di berbagai konteks organisasi. Selain itu, integrasi teori dan praktik dalam implementasi Balanced Scorecard (BSC) memainkan peran sentral dalam memastikan kesuksesan penggunaannya dalam lingkungan bisnis yang nyata. Teori-teori yang mendasari BSC, seperti teori sistem, teori pengukuran kinerja, dan teori manajemen strategis, memberikan landasan konseptual yang penting untuk memahami bagaimana BSC dapat digunakan sebagai alat manajemen strategis. Misalnya, konsep perspektif keuangan dan non-keuangan dalam BSC didasarkan pada teori bahwa kinerja organisasi tidak hanya dapat diukur melalui dimensi keuangan, tetapi juga melalui aspek-aspek non-keuangan yang mempengaruhi keberhasilan jangka panjang.
181 Namun, dalam praktiknya, implementasi BSC sering kali melibatkan tantangan-tantangan yang kompleks dan unik. Integrasi teori dan praktik memerlukan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana teori-teori tersebut dapat diterapkan dalam konteks organisasi yang spesifik dan bagaimana mereka dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi unik dari organisasi tersebut. Misalnya, penggunaan perspektif yang tepat dalam merancang BSC dapat bervariasi tergantung pada industri, ukuran, dan strategi organisasi. E. Langkah-langkah Implementasi BSC Langkah-langkah implementasi Balanced Scorecard (BSC) adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman Visi dan Strategi Organisasi Organisasi perlu memahami secara mendalam visi, misi, dan tujuan strategis mereka sebelum merancang BSC. Ini memastikan bahwa BSC dapat diarahkan untuk mendukung pencapaian tujuantujuan strategis tersebut. Pemahaman visi dan strategi organisasi adalah fondasi utama dalam merancang dan mengimplementasikan Balanced Scorecard (BSC). Visi menggambarkan gambaran jangka panjang dari keadaan yang diinginkan oleh organisasi, sementara misi memberikan arah spesifik tentang tujuan inti dan identitas organisasi. Tujuan strategis, di sisi lain, adalah titik fokus taktis yang harus dicapai untuk mewujudkan visi dan misi tersebut.
182 Pentingnya pemahaman mendalam terhadap visi dan strategi organisasi sebelum merancang BSC adalah untuk memastikan bahwa setiap aspek dari BSC sesuai dengan arah yang ditetapkan oleh organisasi. Tanpa pemahaman yang jelas tentang tujuan dan strategi, risiko BSC menjadi tidak terarah dan tidak efektif dalam memberikan nilai tambah bagi organisasi. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk memahami visi dan strategi organisasi mencakup: Analisis Eksternal dan Internal: Organisasi perlu menganalisis faktor-faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi bisnis mereka. Ini termasuk tren pasar, pesaing, pelanggan, dan kekuatan dan kelemahan internal organisasi. Konsultasi dengan Pemangku Kepentingan: Melibatkan pemangku kepentingan internal dan eksternal, seperti manajemen senior, karyawan, pelanggan, dan mitra bisnis, dalam proses pemahaman visi dan strategi organisasi. Ini memastikan bahwa perspektif beragam dipertimbangkan dalam merumuskan visi dan strategi. Penetapan Tujuan Strategis: Berdasarkan pemahaman tentang lingkungan bisnis dan harapan pemangku kepentingan, organisasi menetapkan tujuan strategis yang spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan berbatasan waktu untuk mencapai visi dan misi mereka.
183 Klarifikasi Nilai Inti: Nilai inti merupakan prinsipprinsip yang mendasari perilaku organisasi dan membimbing pengambilan keputusan. Pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai inti membantu mengarahkan pengembangan BSC agar konsisten dengan budaya dan identitas organisasi. Setelah pemahaman yang mendalam tentang visi dan strategi organisasi tercapai, langkah selanjutnya adalah merancang BSC dengan mempertimbangkan empat perspektif utama: keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Ini memastikan bahwa BSC mencakup aspek-aspek kunci dari operasi dan pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh. 2. Rancang BSC Setelah tujuan dan strategi organisasi diklarifikasi, organisasi dapat merancang BSC dengan memperhatikan empat perspektif utama: keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Rancang BSC (Balanced Scorecard) merupakan langkah penting dalam menghubungkan tujuan dan strategi organisasi dengan pengukuran kinerja yang terukur. Proses ini menghasilkan kerangka kerja yang seimbang, mencakup empat perspektif utama yang mencerminkan aspek kunci dari kinerja organisasi. Berikut adalah elaborasi lebih lanjut tentang masingmasing perspektif:
184 Perspektif Keuangan: Perspektif keuangan mencakup pengukuran kinerja yang terkait dengan pencapaian tujuan finansial organisasi. Ini melibatkan aspek seperti pendapatan, laba bersih, arus kas, margin keuntungan, dan pengembalian investasi. Pemilihan indikator kinerja keuangan haruslah mencerminkan kesehatan finansial organisasi dan memberikan gambaran yang jelas tentang pencapaian tujuan finansial jangka pendek dan jangka panjang. Perspektif Pelanggan: Perspektif pelanggan menekankan pentingnya memahami dan memenuhi kebutuhan, harapan, dan persepsi pelanggan. Ini melibatkan pengukuran kinerja terkait dengan kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, pangsa pasar, dan reputasi merek. Pemilihan indikator kinerja pelanggan harus menggambarkan tingkat kepuasan dan loyalitas pelanggan, serta memberikan wawasan tentang area-area di mana organisasi dapat meningkatkan pengalaman pelanggan. Perspektif Proses Internal: Perspektif proses internal berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas operasional organisasi dalam menjalankan proses bisnis inti mereka. Ini melibatkan pengukuran kinerja terkait dengan produktivitas, kualitas, waktu siklus, dan biaya operasional. Pemilihan indikator kinerja proses internal harus fokus pada identifikasi dan perbaikan proses-proses kunci yang berkontribusi pada pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh.
185 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan: Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan mengakui pentingnya investasi dalam pengembangan karyawan dan peningkatan kapabilitas organisasi. Ini melibatkan pengukuran kinerja terkait dengan inisiatif pembelajaran, pengembangan karyawan, inovasi, dan adaptabilitas. Pemilihan indikator kinerja pembelajaran dan pertumbuhan harus mencerminkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan bisnis dan meningkatkan kapabilitas mereka untuk mencapai tujuan jangka panjang. Merancang BSC membutuhkan pemikiran strategis dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan di dalam organisasi. Hal ini memastikan bahwa BSC mencakup aspek-aspek kunci dari kinerja organisasi yang relevan dan terukur secara jelas, sehingga dapat menjadi alat yang efektif dalam mengarahkan upaya organisasi menuju pencapaian visi dan strategi mereka. 3. Tetapkan KPIs Organisasi perlu menetapkan Key Performance Indicators (KPIs) yang relevan dan terukur untuk setiap perspektif BSC. KPIs ini harus mendukung pencapaian tujuan strategis organisasi. Menetapkan Key Performance Indicators (KPIs) merupakan tahap kritis dalam implementasi Balanced Scorecard (BSC). KPIs adalah metrik yang digunakan untuk mengukur kinerja suatu organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan strategisnya. Elaborasi lebih
186 mendalam tentang proses menetapkan KPIs mencakup beberapa langkah sebagai berikut: Identifikasi Tujuan Strategis: Langkah pertama adalah memahami secara jelas tujuan strategis dari setiap perspektif BSC. Misalnya, dalam perspektif keuangan, tujuan strategis mungkin termasuk meningkatkan profitabilitas atau mengoptimalkan penggunaan modal. Dalam perspektif pelanggan, tujuan strategis mungkin mencakup peningkatan kepuasan pelanggan atau pangsa pasar. Pemilihan Indikator Kinerja: Berdasarkan tujuan strategis yang telah diidentifikasi, organisasi perlu memilih indikator kinerja yang paling relevan dan terukur untuk setiap perspektif. Indikator kinerja haruslah spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan berorientasi masa depan. Misalnya, untuk tujuan meningkatkan profitabilitas dalam perspektif keuangan, indikator kinerja bisa berupa tingkat pengembalian investasi (Return on Investment/ROI) atau laba bersih. Tentukan Target Kinerja: Setelah memilih indikator kinerja, organisasi perlu menetapkan target kinerja yang ambisius namun realistis untuk setiap KPI. Target kinerja haruslah berdasarkan pada analisis data historis, pemahaman tentang industri dan tren pasar, serta ekspektasi pemangku kepentingan. Misalnya, target kinerja untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dalam perspektif pelanggan dapat diukur dengan peningkatan
187 persentase pelanggan yang memberikan penilaian positif. Pembuatan Dashboard KPI: Setelah menetapkan KPIs dan target kinerja, organisasi dapat membuat dashboard KPI yang menampilkan indikator kinerja utama secara visual. Dashboard ini memungkinkan manajemen dan karyawan untuk melacak kemajuan terhadap tujuan-tujuan strategis dan mengidentifikasi area-area di mana perbaikan diperlukan. Pemantauan dan Evaluasi: Setelah KPIs ditetapkan, organisasi perlu secara teratur memantau dan mengevaluasi kinerja mereka terhadap target yang ditetapkan. Hal ini memungkinkan organisasi untuk mengidentifikasi perubahan yang diperlukan dalam strategi atau tindakan korektif yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan strategis mereka. Dengan menetapkan KPIs yang relevan dan terukur untuk setiap perspektif BSC, organisasi dapat memastikan bahwa mereka memiliki alat yang efektif untuk mengukur, mengelola, dan meningkatkan kinerja mereka dalam mencapai tujuan-tujuan strategis mereka. 4. Implementasi BSC Implementasi BSC melibatkan komunikasi yang efektif kepada seluruh anggota organisasi tentang BSC, integrasi BSC ke dalam proses manajemen yang ada, dan pengumpulan data kinerja yang relevan. Implementasi Balanced Scorecard (BSC) merupakan tahap yang krusial dalam mengubah
188 strategi organisasi menjadi tindakan konkret yang terukur. Proses ini melibatkan beberapa langkah penting untuk memastikan BSC diadopsi secara efektif dan berkelanjutan di seluruh organisasi. Berikut adalah elaborasi lebih mendalam tentang langkahlangkah tersebut: Komunikasi Efektif: Komunikasi yang efektif kepada seluruh anggota organisasi tentang BSC penting untuk memastikan pemahaman dan dukungan yang luas terhadap inisiatif tersebut. Komunikasi haruslah jelas, konsisten, dan terarah, menjelaskan tujuan dan manfaat BSC bagi organisasi, serta peran masing-masing individu dalam pencapaian tujuan strategis. Ini dapat melibatkan pertemuan-pertemuan berbasis tim, seminar, pelatihan, dan materi komunikasi tertulis. Integrasi BSC ke dalam Proses Manajemen yang Ada: BSC harus diintegrasikan ke dalam proses manajemen yang sudah ada di organisasi. Ini memastikan bahwa BSC tidak hanya dianggap sebagai inisiatif tambahan, tetapi menjadi bagian integral dari cara organisasi mengukur, mengelola, dan meningkatkan kinerja mereka. BSC dapat diintegrasikan ke dalam proses perencanaan strategis, pembuatan anggaran, pengembangan strategi, dan evaluasi kinerja. Pengumpulan Data Kinerja yang Relevan: Implementasi BSC membutuhkan pengumpulan data kinerja yang relevan dari berbagai sumber. Data ini haruslah akurat, terkini, dan berasal dari sumber yang