Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 91
92 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah istem ekonomi merupakan landasan penting dalam mengatur distribusi sumber daya dan kekayaan suatu masyarakat. Dalam kajian ekonomi, dua prinsip utama yang sering menjadi fokus perdebatan dan pemikiran adalah "Bunga" dan "Bagi Hasil". Kedua konsep ini mencerminkan pendekatan yang berbeda dalam pengelolaan keuangan, dan masing-masing memiliki dampak yang signifikan pada dinamika ekonomi suatu bangsa. Bunga, sebagai unsur integral dalam sistem keuangan konvensional, sering kali menjadi pusat perhatian dalam perdebatan ekonomi global. Dalam konteks ini, pendekatan matematis digunakan untuk menyelidiki bagaimana bunga beroperasi, mengapa ia menjadi pusat perhatian, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi serta distribusi kekayaan. Bab ini juga akan merinci perkembangan sejarah sistem bunga dan bagaimana sistem ini memainkan peran kunci dalam transaksi keuangan konvensional. Sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam, sistem "Bagi Hasil" menjadi fondasi utama dalam alokasi sumber daya dan keuangan. Bab kedua mengeksplorasi konsep "Bagi Hasil" dan bagaimana model ini dapat menggantikan atau melengkapi sistem bunga. Dalam analisis matematis, kami akan membahas mekanisme distribusi keuntungan, termasuk kontrak mudharabah dan musyarakah, serta peran mereka dalam mendorong partisipasi aktif dan keberlanjutan ekonomi. Islam menolak bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik modal terhadap kaum buruh yang kurang mampu, dan mengharamkan akumulasi kekayaan yang berlebihan. Sistem ekonomi yang berlaku saat ini bertentangan dengan prinsipprinsip tersebut. S
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 93 Ekonomi syariah dan ekonomi konvensional memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam prinsip-prinsip dasarnya maupun dalam pelaksanaan praktisnya. Berikut adalah beberapa perbedaan utama antara ekonomi syariah dan konvensional: 1. Prinsip Dasar a. Ekonomi Syariah: Berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Hadis. Melibatkan konsep keadilan, keberlanjutan, dan kepatuhan terhadap hukum-hukum Islam. b. Ekonomi Konvensional: Terutama didasarkan pada prinsip-prinsip kapitalisme dan liberalisme, yang menekankan pada kebebasan pasar, kepemilikan pribadi, dan pertumbuhan ekonomi. 2. Bunga (Riba) a. Ekonomi Syariah: Mengharamkan praktik riba (bunga) dan melarang keuntungan yang diperoleh dari pinjaman uang. b. Ekonomi Konvensional: Bunga merupakan bagian integral dari sistem keuangan, dan banyak transaksi melibatkan konsep bunga. 3. Berbagi Risiko dan Keuntungan a. Ekonomi Syariah: Mendorong prinsip berbagi risiko dan keuntungan dalam transaksi ekonomi, seperti dalam sistem bagi hasil (mudarabah) dan kemitraan (musyarakah).
94 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah b. Ekonomi Konvensional: Lebih cenderung pada model kontrak yang menetapkan pembagian keuntungan tetap dan risiko terbatas. 4. Aset Riil a. Ekonomi Syariah: Mendorong investasi dalam aset riil yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. b. Ekonomi Konvensional: Lebih fokus pada instrumen keuangan dan seringkali terlibat dalam perdagangan aset finansial. 5. Larangan Spekulasi dan Perjudian: a. Ekonomi Syariah: Melarang praktik spekulasi dan perjudian dalam transaksi ekonomi. b. Ekonomi Konvensional: Spekulasi dapat menjadi bagian dari kegiatan ekonomi, terutama di pasar finansial. 6. Tujuan Sosial: a. Ekonomi Syariah: Memiliki tujuan sosial yang lebih kuat, dengan penekanan pada keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat. b. Ekonomi Konvensional: Fokus utama pada pertumbuhan ekonomi dan keuntungan pribadi. 7. Regulasi dan Pengawasan: a. Ekonomi Syariah: Memerlukan pengawasan khusus dan regulasi syariah untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam. b. Ekonomi Konvensional: Tergantung pada regulasi pemerintah yang mungkin lebih umum dan bersifat sekuler.
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 95 Perbedaan ini menciptakan model ekonomi yang berbeda dalam pendekatan terhadap keuangan, investasi, dan distribusi kekayaan antara ekonomi syariah dan konvensional. Dalam ekonomi Islam, terdapat beberapa konsep dan prinsip yang dianggap sebagai suatu keharaman (terlarang) dan harus dihindari. Beberapa di antaranya adalah: 1. Riba (Bunga): Konsep riba adalah istilah dalam konteks keuangan dan ekonomi Islam yang merujuk pada praktik peminjaman uang dengan tingkat bunga atau keuntungan yang tetap. Dalam Islam, riba dianggap sebagai praktik yang dilarang oleh syariah atau hukum Islam. Prinsip dasar yang melarang riba dapat ditemukan dalam Al-Qur'an dan Hadis, dan hal ini menjadi landasan bagi sistem keuangan Islam. Ada dua jenis riba yang dijelaskan dalam ajaran Islam: a. Riba Al-Fadl: Riba Al-Fadl terkait dengan keuntungan yang diperoleh dari pertukaran barang-barang sejenis dengan cara yang tidak seimbang. Contohnya, jika seseorang menjual satu kilogram buah dengan dua kilogram buah sejenis, dan perbedaan nilai tersebut diambil sebagai keuntungan, hal ini dianggap sebagai riba Al-Fadl.
96 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah b. Riba An-Nasi'ah: Riba An-Nasi'ah terkait dengan keuntungan yang diperoleh dari peminjaman uang atau utang dengan tambahan bunga atau keuntungan yang harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Islam melarang praktik ini karena dapat menciptakan ketidaksetaraan ekonomi dan membebani peminjam dengan tambahan beban finansial. Landasan hukum utama yang melarang riba dapat ditemukan dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surah AlBaqarah (2:275-279). Beberapa hadis juga menegaskan larangan terhadap riba dan memberikan pemahaman lebih lanjut tentang kenapa riba dianggap sebagai bentuk eksploitasi ekonomi yang tidak adil. Dalam ekonomi Islam, untuk menghindari riba, diterapkan prinsip-prinsip alternatif seperti konsep "Bagi Hasil" (mudharabah dan musyarakah) dan transaksi berdasarkan kepemilikan riil aset. Dengan menghindari riba, sistem ekonomi Islam bertujuan untuk menciptakan keadilan, keberlanjutan, dan keberkahan dalam alokasi sumber daya dan distribusi kekayaan. 2. Maisir (Perjudian): Maisir adalah istilah dalam konteks keuangan dan ekonomi Islam yang merujuk pada praktik perjudian atau permainan untung-untungan. Praktik maisir dianggap sebagai sesuatu yang dilarang oleh syariah atau hukum Islam, karena dianggap melibatkan ketidakpastian, keuntungan tanpa usaha, dan dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam masyarakat.
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 97 Prinsip larangan maisir didasarkan pada ajaran AlQur'an dan Hadis. Landasan hukum utama yang melarang maisir dapat ditemukan dalam Al-Qur'an, khususnya dalam Surah Al-Baqarah (2:219), Surah Al-Ma'idah (5:90-91), dan Surah Al-Baqarah (2:188). Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW juga menyatakan larangan terhadap praktik maisir dan menegaskan bahwa segala bentuk perjudian adalah haram. Beberapa bentuk maisir yang dihindari dalam ekonomi Islam meliputi: a. Perjudian: Maisir mencakup segala bentuk perjudian, di mana seseorang bertaruh atau mempertaruhkan uang atau aset dengan harapan mendapatkan keuntungan tanpa usaha atau kerja keras yang produktif. b. Lotere dan Undian: Mengikuti lotere atau undian yang mengandung unsur perjudian juga dianggap sebagai praktik maisir. Hal ini karena seseorang mempertaruhkan sejumlah uang dengan harapan mendapatkan hadiah tanpa keterlibatan dalam pekerjaan produktif. c. Spekulasi Berlebihan: Tindakan spekulasi berlebihan dalam investasi atau perdagangan yang bersifat spekulatif dan tidak berdasarkan pada analisis yang jelas dan perhitungan yang hati-hati dapat dianggap sebagai bentuk maisir. Prinsip dasar larangan maisir adalah untuk menghindari ketidakpastian, spekulasi yang merugikan, dan praktik ekonomi yang tidak sehat. Dengan mematuhi larangan maisir, sistem ekonomi Islam
98 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah bertujuan untuk menciptakan keadilan, keberlanjutan, dan keberkahan dalam alokasi sumber daya dan distribusi kekayaan. 3. Gharar (Ketidakpastian atau Keraguan): Gharar adalah konsep dalam hukum Islam yang merujuk pada ketidakpastian, ketidakjelasan, atau risiko yang berlebihan dalam suatu transaksi atau perjanjian. Praktik-praktik yang mengandung unsur gharar dianggap sebagai sesuatu yang dapat merugikan salah satu pihak dalam suatu transaksi dan dapat menimbulkan ketidakadilan. Oleh karena itu, prinsip larangan gharar muncul untuk melindungi kepentingan dan keadilan dalam transaksi ekonomi. Landasan hukum utama yang melarang gharar dapat ditemukan dalam Al-Qur'an dan Hadis. Beberapa ayat dalam Al-Qur'an dan pernyataan Nabi Muhammad SAW menyatakan larangan terhadap gharar. Meskipun definisi gharar tidak selalu jelas dan dapat bersifat kontekstual, prinsip dasar adalah untuk menghindari transaksi atau perjanjian yang melibatkan tingkat risiko atau ketidakpastian yang tidak wajar. Beberapa bentuk gharar yang perlu dihindari dalam ekonomi Islam meliputi: a. Spekulasi Berlebihan: Transaksi yang melibatkan spekulasi berlebihan atau perjudian dapat dianggap sebagai praktik gharar. Ini mencakup transaksi yang sangat tidak pasti atau berisiko tinggi tanpa dasar analisis yang memadai. b. Penyembunyian Informasi Penting: Menyembunyikan informasi penting atau menyediakan informasi yang tidak jujur dalam suatu
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 99 transaksi dapat dianggap sebagai gharar karena menciptakan ketidakjelasan atau ketidakpastian bagi pihak yang terlibat. c. Penentuan Harga yang Tidak Jelas: Transaksi yang melibatkan harga yang tidak jelas atau tidak dapat ditentukan dengan baik juga dapat dianggap sebagai gharar. Ini mencakup situasi di mana harga tidak dapat ditentukan dengan jelas oleh pihak yang terlibat. Prinsip larangan gharar dirancang untuk memastikan keadilan, kejelasan, dan keamanan dalam transaksi ekonomi. Dengan meminimalkan ketidakpastian dan risiko yang tidak wajar, sistem ekonomi Islam berupaya menciptakan lingkungan ekonomi yang adil dan berkelanjutan. 4. Dhalim (Penganiayaan atau Kekerasan): Dalam konteks ekonomi Islam, konsep "dhalim" merujuk pada pelaku yang bertindak zalim atau tidak adil dalam kegiatan ekonomi atau keuangan. Dhalim adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan etika Islam dalam konteks ekonomi. Pada dasarnya, seseorang dianggap dhalim jika dia menyalahgunakan kekuatan atau memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil atau merugikan pihak lain. Beberapa contoh tindakan yang dapat dianggap sebagai perbuatan dhalim dalam konteks ekonomi Islam meliputi:
100 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah a. Pengutipan Riba (Bunga): Menerapkan praktik bunga atau riba dalam sistem keuangan dianggap sebagai tindakan dhalim. Hal ini karena riba dianggap melanggar prinsip keadilan dan menciptakan ketidaksetaraan ekonomi. b. Penyembunyian Informasi atau Kecurangan: Tindakan menyembunyikan informasi atau melakukan kecurangan dalam transaksi ekonomi dapat dianggap sebagai dhalim. Prinsip kejujuran dan transparansi sangat dihargai dalam ekonomi Islam. c. Eksploitasi Tenaga Kerja: Memanfaatkan tenaga kerja dengan memberikan upah yang tidak adil atau mengeksploitasi pekerja secara umum dapat dianggap sebagai perbuatan dhalim. d. Spekulasi dan Praktik Bisnis yang Merugikan: Tindakan spekulasi berlebihan atau praktik bisnis yang merugikan pihak lain tanpa pertimbangan etika dan keadilan juga dapat dianggap sebagai perbuatan dhalim. Dalam pandangan Islam, melakukan perbuatan dhalim dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan etika agama. Ajaran Islam mendorong umatnya untuk mempraktikkan keadilan dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Oleh karena itu, dalam merancang dan mengelola sistem ekonomi Islam, perlu memastikan bahwa nilainilai etika dan keadilan Islam dijunjung tinggi untuk mencegah terjadinya perbuatan dhalim dalam transaksi dan kegiatan ekonomi.
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 101 e. Haram (Terlarang): Konsep "haram" dalam ekonomi Islam merujuk pada segala sesuatu yang diharamkan atau dilarang oleh syariah atau hukum Islam. Haram adalah istilah yang mencakup tindakan atau praktik yang bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Dalam konteks ekonomi Islam, ada beberapa aspek yang dapat dianggap sebagai haram. Beberapa contoh meliputi: 1) Riba (Bunga atau Keuntungan Tetap): Pengambilan bunga atau riba dalam transaksi keuangan dianggap sebagai praktik haram dalam Islam. Al-Qur'an secara eksplisit melarang riba dan menganggapnya sebagai suatu dosa. 2) Maisir (Perjudian atau Untung-untungan): Perjudian atau praktik untung-untungan, seperti lotere atau permainan keberuntungan, dianggap sebagai haram dalam Islam. Ajaran Islam mengecam praktik maisir karena melibatkan unsur ketidakpastian dan dapat merugikan pihak yang terlibat. 3) Produk dan Layanan yang Melanggar Syariah: Produk atau layanan yang melanggar prinsipprinsip syariah, seperti minuman keras, daging babi, atau produk keuangan yang mengandung riba, dianggap sebagai haram dalam Islam. 4) Eksploitasi atau Perlakuan Tidak Adil: Praktik bisnis atau ekonomi yang melibatkan eksploitasi, penipuan, atau perlakuan tidak adil terhadap pihak lain dapat dianggap sebagai haram. Islam mendorong keadilan dan etika dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam kegiatan ekonomi.
102 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah 5) Investasi dalam Usaha Haram: Investasi dalam usaha atau industri yang melanggar prinsip-prinsip Islam, seperti perjudian, minuman keras, atau industri yang merugikan lingkungan, juga dianggap sebagai haram. Konsep haram dalam ekonomi Islam didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, berkelanjutan, dan bermoral. Oleh karena itu, umat Islam diharapkan untuk menghindari praktik-praktik yang dianggap haram dan mengadopsi prinsip-prinsip etika dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam aktivitas ekonomi. Bagi hasil (profit-sharing) dan riba adalah dua konsep yang berbeda dalam konteks keuangan dan perbankan, terutama dalam konteks ekonomi Islam. Berikut adalah perbedaan utama antara keduanya: Bagi Hasil (Profit-sharing): Bagi hasil adalah prinsip ekonomi Islam di mana keuntungan atau kerugian dibagi antara pihak yang terlibat dalam transaksi. Dalam konteks perbankan Islam, bagi hasil dapat diterapkan dalam berbagai bentuk, seperti mudharabah dan musyarakah. Mudharabah adalah bentuk bagi hasil di mana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 103 manajemen, dan keuntungan atau kerugian dibagi sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Musyarakah adalah bentuk kemitraan di mana dua pihak menyediakan modal dan keuntungan atau kerugian dibagi sesuai dengan proporsi kepemilikan masing-masing. Riba: Riba merujuk pada bunga atau tambahan yang dikenakan pada pinjaman uang. Dalam Islam, riba dianggap sebagai praktik yang tidak etis, dan hukum Islam melarang praktik riba. Riba dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk riba qard (pinjaman dengan tambahan) dan riba jahiliyyah (riba praktek pra-Islam). Perbedaan Utama: Bagi hasil adalah prinsip keuangan di mana keuntungan atau kerugian dibagi, sementara riba adalah tambahan atau bunga yang dikenakan pada pinjaman. Bagi hasil mendukung prinsip keadilan dan partisipasi bersama dalam keuntungan dan kerugian, sementara riba dianggap merugikan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Bagi hasil berfokus pada partisipasi dan risiko bersama antara pihak yang terlibat, sedangkan riba cenderung menciptakan ketidaksetaraan dan memberikan keuntungan kepada pemberi pinjaman tanpa membagi risiko. Dalam praktiknya, sistem keuangan Islam mempromosikan prinsip bagi hasil sebagai alternatif yang lebih
104 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah adil dan berkeadilan dibandingkan dengan sistem bunga konvensional. Berdasarkan pemaparan di atas menunjukkan bahwa Perbedaan antara bunga dan bagi hasil dapat ditemukan dalam pendekatan terhadap keuntungan dan kerugian pengelola dana. Dalam sistem bunga, keuntungan atau kerugian pengelola tidak dipertimbangkan, dan jumlah bunga yang harus dibayar sudah ditentukan sejak awal. Sebaliknya, dalam sistem bagi hasil, kewajiban pembayaran oleh pengusaha atau mudharib ditentukan berdasarkan nisbah laba atau untung-rugi dari usahanya. Oleh karena itu, kewajiban bulanan dapat mengalami fluktuasi sesuai dengan performa usaha yang berubah dari waktu ke waktu. Contoh 1 Zaid mengajukan pinjaman dana ke bank konvensional sebesar Rp 50.000.000 dalam jangka waktu 10 bulan dengan nilai bunga 5% per bulan. Sedangkan, jika Zaid mengajukan pinjaman untuk memperoleh pembiayaan investasi dari bank syariah, kesepakatan pembagian laba atau rugi antara Zaid dan bank syariah adalah 80% untuk Zaid dan 20% untuk bank syariah. Pembagian ini berlaku terhadap posisi keuntungan atau kerugian perusahaan Zaid setiap bulannya.
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 105 Tabel 4. 1 Perbandingan Laba/Rugi Bulan Laba/Rugi (Rp) Bank Konvensional (Rp) Bank Syariah (Rp) Bunga Pokok Bagi Hasil Pokok 1 10.000.000 2.500.000 5.000.000 2.000.000 5.000.000 2 11.000.000 2.500.000 5.000.000 2.200.000 5.000.000 3 12.000.000 2.500.000 5.000.000 2.400.000 5.000.000 4 13.000.000 2.500.000 5.000.000 2.600.000 5.000.000 5 14.000.000 2.500.000 5.000.000 2.800.000 5.000.000 6 15.000.000 2.500.000 5.000.000 3.000.000 5.000.000 7 16.000.000 2.500.000 5.000.000 3.200.000 5.000.000 8 17.000.000 2.500.000 5.000.000 3.400.000 5.000.000 9 18.000.000 2.500.000 5.000.000 3.600.000 5.000.000 10 19.000.000 2.500.000 5.000.000 3.800.000 5.000.000 Berdasarkan Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa apabila perusahaan Zaid meminjam pada bank konvensional, maka besaran bunga akan tetap walaupun tingkat pendapatan perusahaan Zaid terus mengalami peningkatan setiap bulannya. Sedangkan, apabila perusahaan Zaid meminjam pada bank syariah, maka besaran bagi hasil terus mengalami peningkatan. Berdasarkan pemaparan di atas menunjukkan bahwa pada bank konvensional penerimaan bank itu sudah pasti nilainya tetap, sedangkan pada penerimaan bank syariah
106 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah akan bergantung pada keuntungan yang diterima oleh perusahaan Zaid. Apabila dilihat dari segi total penerimaan dapat diamati bahwa penerimaan yang didapatkan oleh bank konvensional adalah Rp 75.000.000, sedangkan penerimaan yang didapatkan oleh bank syariah adalah Rp 79.000.000. Contoh ini menunjukkan bahwa bank syariah mendapatkan penerimaan lebih besar dengan menggunakan sistem bagi hasil daripada penerimaan yang didapatkan oleh bank konvensional dengan menggunakan sistem bunga. Dalam kasus lain, dimungkinkan juga sistem bunga mendapatkan penerimaan lebih besar dibandingkan dengan sistem bagi hasil. Hal tersebut dapat terjadi apabila peminjam uang mengalami keuntungan yang kecil ataupun kerugian. Untuk membuktikannya mari kita lihat kasus di bawah ini: Contoh 2 Zaid mengajukan pinjaman dana ke bank konvensional sebesar Rp 50.000.000 dalam jangka waktu 10 bulan dengan nilai bunga 5% per bulan. Sedangkan, jika Zaid mengajukan pinjaman untuk memperoleh pembiayaan investasi dari bank syariah, kesepakatan pembagian laba atau rugi antara Zaid dan bank syariah adalah 80% untuk Zaid dan 20% untuk bank syariah. Pembagian ini berlaku terhadap posisi keuntungan atau kerugian perusahaan Zaid setiap bulannya.
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 107 Tabel 4. 2 Perbandingan Laba/Rugi Bulan Laba/Rugi (Rp) Bank Konvensional (Rp) Bank Syariah (Rp) Bunga Pokok Bagi Hasil Pokok 1 10.000.000 2.500.000 5.000.000 2.000.000 5.000.000 2 5.000.000 2.500.000 5.000.000 1.000.000 5.000.000 3 -12.000.000 2.500.000 5.000.000 -2.400.000 5.000.000 4 3.000.000 2.500.000 5.000.000 600.000 5.000.000 5 4.000.000 2.500.000 5.000.000 800.000 5.000.000 6 8.000.000 2.500.000 5.000.000 1.600.000 5.000.000 7 -6.000.000 2.500.000 5.000.000 -1.200.000 5.000.000 8 7.000.000 2.500.000 5.000.000 1.400.000 5.000.000 9 8.000.000 2.500.000 5.000.000 1.600.000 5.000.000 10 1.000.000 2.500.000 5.000.000 200.000 5.000.000 Berdasarkan Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa apabila perusahaan Zaid meminjam pada bank konvensional, maka besaran bunga akan tetap walaupun tingkat pendapatan perusahaan Zaid terus mengalami peningkatan setiap bulannya. Sedangkan, apabila perusahaan Zaid meminjam pada bank syariah, maka besaran bagi hasil mengalami fluktuasi tergantung dari jumlah pendapatan perusahan. Berdasarkan pemaparan di atas menunjukkan bahwa pada bank konvensional penerimaan bank itu sudah pasti nilainya tetap, sedangkan pada penerimaan bank syariah
108 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah akan bergantung pada keuntungan yang diterima oleh perusahaan Zaid. Apabila dilihat dari segi total penerimaan dapat diamati bahwa penerimaan yang didapatkan oleh bank konvensional adalah Rp 75.000.000, sedangkan penerimaan yang didapatkan oleh bank syariah adalah Rp 55.600.000. Contoh ini menunjukkan bahwa bank syariah mendapatkan penerimaan lebih kecil dengan menggunakan sistem bagi hasil daripada penerimaan yang didapatkan oleh bank konvensional dengan menggunakan sistem bunga. Berdasarkan contoh 1 dan contoh 2 di atas dapat diformulasikan rumus sistem bunga dan sistem bagi hasilnya. Berikut adalah formulasi rumus sistem bunga (Sumarti, 2019): ∑ ( ) Keterangan: P = Jumlah pinjaman dana j = Suku bunga bank n = Lama periode pinjaman t = Angsuran bank konvensional Sedangkan formulasi rumus untuk sistem bagi hasil adalah sebagai berikut (Sumarti, 2019): ∑ ∑
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 109 Keterangan: Lt = Laba/Rugi Perusahaan peminjam pada bulan ke-t, nilai positif menunjukkan keuntungan dan sebaliknya nilai negatif menunjukkan kerugian i = Nisbah bagi hasil (dapat terhadap keuntungan ataupun kerugian) t = Angsuran bank syariah Apabila , hubungan antara i dan j adalah ( ) ∑ 1 ∑ 1 j Akad adalah istilah dalam bahasa Arab yang berarti perjanjian, kontrak, atau perjanjian antara dua pihak atau lebih. Dalam konteks keuangan dan hukum Islam, akad merujuk pada perjanjian yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Akad dalam transaksi keuangan syariah memiliki tujuan untuk memastikan kesepakatan yang adil dan sesuai dengan hukum Islam. Akad melibatkan kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat, dan setiap akad harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar sah menurut hukum Islam. Beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam akad melibatkan
110 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah kesepakatan antara pihak-pihak yang jelas dan tegas, kebebasan berkontrak, ketidaksalahfahaman, keberlanjutan akad, serta keadilan dan keterbukaan dalam transaksi. Konsep akad dalam transaksi keuangan merujuk pada perjanjian atau kontrak yang mengatur hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Berikut adalah klasifikasi berdasarkan tujuan akad (Sumarti, 2019): 1. Tabarru Tabarru Berasal dari akar kata tabarra'a yang artinya derma, akad ini merupakan suatu bentuk transaksi atau perjanjian kontrak yang memiliki sifat nonlaba atau bersifat sosial, diarahkan semata-mata untuk kepentingan tolong-menolong. Cukup dengan ijab (pernyataan menyerahkan) dari pemberi saja, maka harta atau dana tabarru tersebut berpindah kepemilikannya kepada penerima. Meskipun pihak pemberi berhak meminta biaya pengurusan kepada penerima untuk melaksanakan akad tabarru ini, namun mereka tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan. Contoh-contoh implementasi akad tabarru meliputi Qard (Pinjaman), Wadiah (Titipan), dan Wakalah (Perwakilan). 2. Tijarah Transaksi dilakukan dengan tujuan mencapai keuntungan karena memiliki karakteristik komersial. Beberapa praktik transaksi melibatkan penggunaan akad tijarah, yang terdiri dari dua kategori, yakni kontrak Natural Certainty (seperti jual beli dan sewa
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 111 menyewa) dan kontrak Natural Uncertainty (seperti Mudharabah, Musyarakah, Muzara'ah, dan Musaqah). Berikut adalah pengertian dari beberapa akad yang telah disebutkan sebelumnya: a. Mudharabah (Bagi Hasil): Pihak yang memberikan modal (shahibul maal) dan pihak yang mengelola modal (mudharib) berbagi keuntungan sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Namun, dalam hal kerugian, hanya shahibul maal yang mengalami kerugian. b. Musyarakah (Kerjasama): Pihak-pihak terlibat menyumbangkan modal dan mengelolanya bersama. Keuntungan dan kerugian dibagi sesuai dengan kesepakatan, yang bisa proporsional terhadap besaran modal masing-masing pihak. c. Murabahah (Jual Beli dengan Keuntungan): Bank membeli aset atau barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Harga jual dan margin keuntungan harus diungkapkan dengan jelas. d. Ijarah (Sewa): Pembiayaan dengan cara menyewakan aset atau barang kepada nasabah dengan pembayaran sewa yang telah disepakati. Setelah jangka waktu sewa berakhir, aset bisa diserahkan kepada nasabah atau dijual dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya. e. Qardhul Hasan (Pinjaman Berkah): Pinjaman tanpa bunga atau dengan bunga yang sangat rendah yang diberikan tanpa maksud mengambil keuntungan. Tujuannya lebih kepada membantu sesama.
112 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah f. Muzara'ah adalah suatu bentuk kerjasama dalam pertanian di mana pemilik tanah (muzara') memberikan tanahnya kepada petani atau pengelola (muzari') untuk ditanami dengan tanaman tertentu. g. Musaqah adalah bentuk kerjasama pertanian di mana pemilik tanaman memberikan hak kepada orang lain untuk merawat dan mengelola tanaman buah-buahan pada suatu lahan. h. Wakalah adalah konsep di mana seseorang (muwakkil) memberikan wewenang kepada pihak lain (wakil atau mandatar) untuk melakukan tugas atau transaksi tertentu atas nama mereka. i. Wadiah adalah suatu konsep di mana seseorang (nasabah) menitipkan dana atau harta kepada pihak lain (bank atau lembaga keuangan syariah) dengan tujuan penyimpanan dan pengamanan, tanpa adanya imbalan atau bagi hasil. Konsep-konsep ini didasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam yang melibatkan keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Penting untuk mencatat bahwa prinsip-prinsip ini memandu transaksi keuangan agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 113 1. Una mengajukan pinjaman dana ke bank konvensional sebesar Rp 50.000.000 dalam jangka waktu 10 bulan dengan nilai bunga 5% per bulan. Sedangkan, jika Una mengajukan pinjaman untuk memperoleh pembiayaan investasi dari bank syariah, kesepakatan pembagian laba atau rugi antara Una dan bank syariah adalah 80% untuk Una dan 20% untuk bank syariah. Pembagian ini berlaku terhadap posisi keuntungan atau kerugian perusahaan Una setiap bulannya. a. Buatlah tabel seperti tabel 4.1! b. Bandingkan jumlah bunga dan modal yang didapat bank konvensional dengan jumlah nisbah dan modal yang didapat bank Syariah. Tabel 4. 3 Laporan Laba/Rugi Perusahaan Una Bulan keLaba/Rugi Bulan ke- Laba/Rugi 1 3.000.000 6 5.000.000 2 7.000.000 7 13.000.000 3 -500.000 8 -5.000.000 4 12.000.000 9 20.000.000 5 -9.000.000 10 1.000.000 2. Althaf mengajukan pinjaman dana ke bank konvensional sebesar Rp 100.000.000 dalam jangka waktu 4 bulan dengan nilai bunga 4% per bulan. Sedangkan, jika Althaf mengajukan pinjaman untuk memperoleh pembiayaan
114 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah investasi dari bank syariah, kesepakatan pembagian laba atau rugi antara Althaf dan bank syariah adalah 70% untuk Althaf dan 30% untuk bank syariah. Pembagian ini berlaku terhadap posisi keuntungan atau kerugian perusahaan Althaf setiap bulannya. a. Buatlah tabel seperti tabel 5.1! b. Bandingkan jumlah bunga dan modal yang didapat bank konvensional dengan jumlah nisbah dan modal yang didapat bank Syariah. Tabel 4. 4 Laporan Laba/Rugi Perusahaan Althaf Bulan ke- Laba/Rugi Bulan ke- Laba/Rugi 1 12.000.000 3 17.000.000 2 13.000.000 4 23.000.000 3. Kareem mengajukan pinjaman dana ke bank konvensional sebesar Rp 200.000.000 dalam jangka waktu 10 bulan dengan nilai bunga 2% per bulan. Sedangkan, jika Kareem mengajukan pinjaman untuk memperoleh pembiayaan investasi dari bank syariah, kesepakatan pembagian laba atau rugi antara Kareem dan bank syariah adalah 60% untuk Kareem dan 40% untuk bank syariah. Pembagian ini berlaku terhadap posisi keuntungan atau kerugian perusahaan Kareem setiap bulannya. a. Buatlah tabel seperti tabel 4.1! b. Bandingkan jumlah bunga dan modal yang didapat bank konvensional dengan jumlah nisbah dan modal yang didapat bank Syariah.
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 115 Tabel 4. 5 Laporan Laba/Rugi Perusahaan Kareem Bulan keLaba/Rugi Bulan ke- Laba/Rugi 1 13.000.000 6 7.000.000 2 17.000.000 7 -13.000.000 3 -1.500.000 8 15.000.000 4 16.000.000 9 -20.000.000 5 9.000.000 10 11.000.000
116 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 117 FAROID (WARISAN)
118 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah ab ini menghadirkan suatu pandangan yang inovatif dan terperinci terkait konsep Warisan dalam konteks Matematika Ekonomi. Warisan, sebagai warisan ekonomi dan keuangan, telah menjadi bagian integral dari perkembangan masyarakat dan keluarga. Dalam konteks ini, kita akan menjelajahi bagaimana konsep-konsep matematika dapat diterapkan untuk menganalisis, mengelola, dan memahami aspek-aspek ekonomi dari warisan. Dengan didukung oleh teori-teori matematika yang canggih, bab ini bertujuan untuk memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana warisan dapat diukur, didistribusikan, dan diwariskan secara efisien. Matematika ekonomi sebagai kerangka analitis akan membantu kita memahami implikasi ekonomi dari kebijakan warisan, distribusi kekayaan, dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Bab ini tidak hanya ditujukan untuk para ahli matematika dan ekonom, tetapi juga untuk pembaca yang memiliki minat luas dalam memahami dinamika ekonomi warisan dan kontribusinya terhadap pembentukan kekayaan keluarga dan masyarakat. Dalam perjalanan ini, kita akan mengeksplorasi berbagai metode matematika, model, dan konsep untuk menguraikan permasalahan ekonomi yang kompleks yang melibatkan warisan. Melalui pendekatan interdisipliner ini, diharapkan bab ini dapat memberikan kontribusi kepada pemahaman kita tentang bagaimana matematika dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk membongkar aspek ekonomi dari warisan, mendorong diskusi lebih lanjut, dan merangsang pengembangan ide-ide baru di bidang ini. Sambutlah dengan antusias bab ini, dan mari B
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 119 bersama-sama menjelajahi kompleksitas matematika ekonomi yang terkandung dalam warisan. Kewajiban mempelajari ilmu pembagian warisan merupakan aspek penting dalam konteks hukum Islam. Ilmu ini dikenal sebagai "Ilmu Faraid" atau "Fara'id" yang merujuk pada ketentuan-ketentuan hukum Islam yang mengatur pembagian warisan. Kewajiban mempelajari Ilmu Faraid berasal dari ajaran Islam yang mewajibkan umatnya untuk memahami dan mengikuti prosedur pembagian warisan secara adil sesuai dengan ajaran agama. Kewajiban dan pentingnya mempelajari ilmu faroid ini didukung dengan beberapa dalil berikut ini: 1. Adapun ilmu yang wajib dipelajari itu dibagi menjadi tiga, selain dari tiga ilmu tersebut merupakan tambahan. Ketiga ilmu tersebut adalah ayat yang menghukumi (Al-Quran), atau sunnah yang tegak (Hadist), atau Pembagian Warisan (Faroid) yang adil (HR. Abu Dawud). 2. Kamu sekalian supaya mempelajari Al-Quran dan Ilmu Faroid dan kamu sekalian juga supaya mengajarkan kedua ilmu tersebut karena sesungguhnya aku akan digenggam (meninggal) (HR. Tirmidzi). 3. Wahai Aba Hurairah belajarlah kamu pada Ilmu Faroid dan mengajarkanlah kamu pada Ilmu Faroid, karena sesungguhnya Ilmu Faroid itu adalah setengahnya ilmu. Dan Ilmu Faroid ini akan dilupakan serta ilmu yang pertama kali akan dicabut (HR. Ibnu Majah).
120 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah Berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa wajib dan pentingnya kita sebagai umat muslim untuk mempelajari Ilmu Faroid ini. Dalam sub bab ini kita akan membahas mengenai bagian-bagian yang akan diterima oleh ahli waris dan bagaimana cara untuk menentukan bagiannya. 1. Bagian Anak Laki-Laki Dan Perempuan Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Allah telah wasiat (mewajibkan) pada kamu sekalian di dalam urusan warisan, bagiannya laki-laki adalah semisal dua bagian Perempuan …..” (QS. AnNisa ayat 11). Hal ini menunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah harus dua kali lipatnya bagian perempuan. Sebagai contoh: a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 3 Tabel 5. 1 Bagian Seorang Anak Laki-Laki dan Seorang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Anak Laki-Laki 2 Anak Perempuan 1
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 121 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Anak Laki-Laki akan mendapatkan bagian harta dari orang yang meninggal, sedangkan Anak Perempuan akan mendapatkan bagian dari harta orang yang meninggal. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 4 Tabel 5. 2 Bagian Seorang Laki-Laki dan Dua Orang Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Anak Laki-Laki 2 Anak Perempuan 1 Anak Perempuan 1 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Anak Laki-Laki akan mendapatkan bagian harta dari orang yang meninggal, sedangkan Anak Perempuan masing-masing akan mendapatkan bagian dari harta orang yang meninggal. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. c. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris dua orang anak laki-laki dan seorang
122 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah anak perempuan, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 5 Tabel 5. 3 Bagian Dua Anak Laki-Laki dan Seorang Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Anak Laki-Laki 2 Anak Laki-Laki 2 Anak Perempuan 1 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Anak Laki-Laki masing-masing akan mendapatkan bagian harta dari orang yang meninggal, sedangkan Anak Perempuan akan mendapatkan bagian dari harta orang yang meninggal. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 2. Bagian Perempuan Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Dan apabila seluruh anak yang ditinggalkan adalah perempuan dan jumlahnya melebihi dua, maka bagian mereka adalah dua pertiga dari harta warisan. Jika hanya terdapat satu anak perempuan, maka dia berhak atas separuh dari total harta yang ditinggalkan..…..” (QS. An-Nisa ayat 11). Sebagai contoh:
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 123 a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris dua orang anak perempuan, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 3 Tabel 5. 4 Bagian Dua Orang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Anak Perempuan 2 1 Anak Perempuan 1 Sisa 1 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa kedua Anak Perempuan akan menerima bagian sebesar harta dengan rincian, masingmasing Anak Perempuan akan mendapatkan bagian harta dari orang yang meninggal, sedangkan harta lainnya tersisa. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris tiga orang anak perempuan, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 3 x 3 = 9 Tabel 5. 5 Bagian 3 Orang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Anak Perempuan 2 6 2
124 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah Anak Perempuan 2 Anak Perempuan 2 Sisa 3 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa ketiga anak perempuan akan mendapatkan bagian sebesar harta dengan rincian, masing-masing anak perempuan akan mendapatkan bagian harta dari orang yang meninggal, sedangkan harta lainnya tersisa dapat digunakan untuk pengeluaran infaq atau sodaqoh. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Keterangan: 2 bagian untuk 3 anak Perempuan itu tidak bisa dibagi karena hasilnya pecahan/inkisar, maka penyebutnya dikalikan dengan 3 sehingga menjadi 9. 3. Bagian Laki-Laki Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Ketika seseorang mati dan dia meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki maka harta orang tersebut milik seorang laki-laki tersebut, jika meninggalkan 2 orang lakilaki maka bagi keduanya, jika 3 orang laki-laki maka hartanya dibagi rata” (HR. Baihaqi). Sebagai contoh: a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 125 Penyebut: 1 Tabel 5. 6 Bagian Seorang Anak Laki-Laki Ahli Waris Bagian (Pembilang) Anak Laki-Laki 1 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa keseluruhan harta orang yang meninggal akan diberikan pada seorang ahli waris yaitu anak laki-laki. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris 2 orang anak laki-laki, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 2 Tabel 5. 7 Bagian Dua Orang Anak Laki-Laki Ahli Waris Bagian (Pembilang) Anak Laki-Laki 1 Anak Laki-Laki 1 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa harta orang yang meninggal akan diberikan secara rata pada kedua orang ahli waris dengan rincian, masing-masing Anak Laki-Laki akan mendapatkan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya.
126 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah c. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris 3 orang anak laki-laki, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 3 Tabel 5. 8 Bagian Tiga Orang Anak Laki-Laki Ahli Waris Bagian (Pembilang) Anak Laki-Laki 1 Anak Laki-Laki 1 Anak Laki-Laki 1 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa harta orang yang meninggal akan diberikan secara rata pada ketiga orang ahli waris dengan rincian, masing-masing Anak Laki-Laki akan mendapatkan harta.. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 4. Bagian Bapak Dan Ibu Ketika Memiliki Anak Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Dan untuk orangtua yang masih hidup, masingmasing mendapatkan seperenam dari harta yang ditinggalkan, asalkan orang yang meninggal tersebut memiliki anak.” (QS. An-Nisa Ayat 11). Sebagai contoh: a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki, seorang bapak, dan seorang ibu, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 127 Penyebut: 6 Tabel 5. 9 Bagian Bapak, Ibu, dan Seorang Anak Laki-Laki Ahli Waris Bagian (Pembilang) Bapak 1 Ibu 1 Anak LakiLaki Sisa 4 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Bapak dan Ibu akan mendapatkan harta, sedangkan Anak Laki-Laki akan mendapatkan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris 2 orang anak perempuan, seorang bapak, dan seorang ibu, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 6 Tabel 5. 10 Bagian Bapak, Ibu, dan Dua Orang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Bapak 1 1 Ibu 1 1 Anak 4 2
128 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah Perempuan Anak Perempuan 2 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Bapak dan Ibu akan mendapatkan harta, sedangkan kedua Anak Perempuan akan mendapatkan harta, apabila dirinci kembali maka masing-masing Anak Perempuan akan mendapakan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. c. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang anak perempuan, seorang anak laki-laki, seorang bapak, dan seorang ibu, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 6 x 3 = 18 Tabel 5. 11 Bagian Bapak, Ibu, Seorang Anak LakiLaki, dan Seorang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Bapak 1 3 3 Ibu 1 3 3 Anak Perempuan Sisa 4 12 4 Anak Laki-Laki 8 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Bapak dan Ibu akan mendapatkan harta,
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 129 sedangkan Anak Perempuan akan mendapatkan harta, dan Anak Laki-Laki akan mendapatkan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 5. Bagian Bapak Dan Ibu Ketika Tidak Memiliki Anak Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Apabila orang yang telah meninggal tidak memiliki keturunan dan warisannya diterima oleh kedua orangtuanya, maka bagian ibunya adalah sepertiga dari warisan tersebut.” (QS. An-Nisa Ayat 11). “Membagikanlah kamu sekalian pada harta peninggalan (warisan) di antara ahli waris kalian berdasarkan kitabnya Allah SWT (Al-Qur’an), apabila terdapat sisa bagian maka bagian tersebut adalah bagiannya lebih dekatnya laki-laki yang laki-laki.” (HR. Muslim) Sebagai contoh: a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang bapak dan seorang ibu, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 3 Tabel 5. 12 Bagian Ibu dan Bapak Ahli Waris Bagian (Pembilang) Ibu 1 Bapak Sisa 2
130 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Bapak akan mendapatkan harta, sedangkan ibu akan mendapatkan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 6. BAGIAN IBU KETIKA MEMILIKI BEBERAPA SAUDARA SEKANDUNG SEIBU ATAU SEBAPAK Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Jika terdapat seseorang yang meninggal memiliki beberapa saudara, maka bagian yang diterima oleh ibunya adalah seperenam dari harta warisannya. Pembagian tersebut dilakukan setelah melaksanakan wasiat yang telah dibuat atau setelah membayar semua hutang yang ada.” (QS. An-Nisa Ayat 11). Sebagai contoh: a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang ibu, seorang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara perempuan seibu, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 6 Tabel 5. 13 Bagian Ibu, Seorang Saudara Laki-Laki Seibu, dan Seorang Saudara Perempuan Seibu Ahli Waris Bagian (Pembilang) Ibu 1 1 Saudara Laki-Laki Seibu 2 1 Saudara 1
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 131 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Ibu akan mendapatkan harta, sedangkan kedua saudara seibu akan mendapatkan harta, apabila dirinci kembali maka masing-masing Saudara Laki-Laki Seibu dan Saudara Perempuan Seibu akan mendapakan harta. Kemudian, harta sisanya dapat diwujudkan berupa sedekah ataupun infaq. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang ibu, seorang saudara laki-laki sebapak, dan 2 orang saudara perempuan sebapak, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 6 x 4 = 24 Tabel 5. 14 Bagian Ibu, Seorang Saudara Laki-Laki Sebapak, dan Dua Orang Saudara Perempuan Sebapak Ahli Waris Bagian (Pembilang) Ibu 1 4 4 Saudara Laki-Laki Sebapak Sisa 5 20 10 Saudara Perempuan 5 Perempuan Seibu Sisa 3
132 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah Sebapak Saudara Perempuan Sebapak 5 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa Ibu akan mendapatkan harta, sedangkan kedua Saudara Perempuan Sebapak akan mendapatkan harta, apabila dirinci kembali maka masing-masing Saudara Perempuan Sebapak akan mendapakan harta. Kemudian, Saudara Laki-Laki Sebapak mendapatkan harta. Dalam kasus ini berbeda dengan kasus sebelumnya, karena harta yang ditinggalkan dalam kasus ini habis seluruhnya. Ini dapat terjadi karena terdapat Saudara Laki-Laki Sebapak yang dapat membuat bagian harta warisan dibagi habis. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 7. Bagian Suami Apabila Tidak Memiliki Anak Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Dan bagian (warisan) yang dimiliki oleh suamisuami kamu merupakan setengah dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, apabila mereka tidak memiliki keturunan.” (QS. An-Nisa Ayat 12). Sebagai contoh:
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 133 a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang suami dan ibu, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 6 Tabel 5. 15 Bagian Suami dan Ibu Ahli Waris Bagian (Pembilang) Suami 3 Ibu 2 Sisa 1 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa suami akan mendapatkan harta, sedangkan ibu akan mendapatkan harta. Namun, masih terdapat sisa sebanyak harta yang dapat digunakan untuk keperluan sedekah ataupun infaq. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang suami dan bapak, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 2 Tabel 5. 16 Bagian Suami dan Bapak Ahli Waris Bagian (Pembilang) Suami 1 Bapak Sisa 1
134 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa suami akan mendapatkan harta, sedangkan bapak akan mendapatkan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 8. Bagian Suami Apabila Memiliki Anak Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya.” (QS. AnNisa Ayat 12). Sebagai contoh: a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang suami, anak laki-laki, dan anak perempuan, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 4 Tabel 5. 17 Bagian Suami, Seorang Anak Laki-Laki, dan Seorang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Suami 1 1 Anak LakiLaki Sisa 3 2 Anak Perempuan 1
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 135 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa suami akan mendapatkan harta, sedangkan anak-anak akan mendapatkan harta. Apabila dirinci kembali maka Anak Laki-Laki akan mendapatkan harta dan Anak Perempuan akan mendapatkan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang suami dan dua orang anak perempuan maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 12 Tabel 5. 18 Bagian Suami dan Dua Orang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Suami 3 3 Anak Perempuan 8 4 Anak Perempuan 4 Sisa 1 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa suami akan mendapatkan harta, sedangkan anak-anak akan mendapatkan harta. Apabila dirinci kembali maka Anak Perempuan
136 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah masing-masing akan mendapatkan harta. Namun, masih terdapat sisa sebanyak harta yang dapat digunakan untuk keperluan sedekah ataupun infaq. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 9. Bagian Istri Apabila Tidak Memiliki Anak Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Jika tidak ada keturunan, maka para istri akan mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkan olehmu.” (QS. An-Nisa Ayat 12). Sebagai contoh: a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang istri dan ibu, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 12 Tabel 5. 19 Bagian Istri dan Ibu Ahli Waris Bagian (Pembilang) Istri 3 Ibu 4 Sisa 5 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa istri akan mendapatkan harta, sedangkan ibu akan mendapatkan harta. Namun, masih terdapat sisa sebanyak harta yang dapat
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 137 digunakan untuk keperluan sedekah ataupun infaq. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang istri dan bapak, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 4 Tabel 5. 20 Bagian Istri dan Bapak Ahli Waris Bagian (Pembilang) Istri 1 Bapak Sisa 3 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa istri akan mendapatkan harta, sedangkan bapak akan mendapatkan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 10. Bagian Istri Apabila Memiliki Anak Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Apabila kamu (suami) memiliki keturunan, maka para istri akan mendapatkan seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah memenuhi wasiat yang telah kamu buat atau membayar hutang-hutangmu.” (QS. An-Nisa Ayat 12). Sebagai contoh:
138 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah a. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang istri, anak laki-laki, dan anak perempuan, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 8 x 3 = 24 Tabel 5. 21 Bagian Istri, Seorang Anak Laki-Laki, dan Seorang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Istri 1 1 3 Anak LakiLaki Sisa 7 21 14 Anak Perempuan 7 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa istri akan mendapatkan harta, sedangkan anak-anak akan mendapatkan harta. Apabila dirinci kembali maka Anak Laki-Laki akan mendapatkan harta dan Anak Perempuan akan mendapatkan harta. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia meninggalkan ahli waris seorang istri dan dua orang anak perempuan maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 24
Muhammad Dzulfaqori Jatnika | 139 Tabel 5. 22 Bagian Istri dan Dua Orang Anak Perempuan Ahli Waris Bagian (Pembilang) Istri 3 3 Anak Perempuan 16 8 Anak Perempuan 8 Sisa 5 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa istri akan mendapatkan harta, sedangkan anak-anak akan mendapatkan harta. Apabila dirinci kembali maka Anak Perempuan masingmasing akan mendapatkan harta. Namun, masih terdapat sisa sebanyak harta yang dapat digunakan untuk keperluan sedekah ataupun infaq. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. 11. Bagian Seorang Saudara Laki-Laki Dan Saudara Perempuan Seibu Bagian ini akan merujuk pada dalil di bawah ini “Apabila seorang laki-laki meninggal dunia tanpa meninggalkan bapak dan juga tanpa keturunan, namun memiliki saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka masing-masing dari kedua
140 | Matematika Ekonomi & Keuangan Syariah jenis saudara tersebut berhak atas seperenam dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisa Ayat 12). Sebagai contoh: a. Seseorang yang telah meninggal dia tidak meninggalkan ahli waris seorang bapak dan anak. Namun, memiliki saudara laki-laki seibu dan seorang suami, maka perhitungannya adalah sebagai berikut: Penyebut: 6 Tabel 5. 23 Bagian Seorang Saudara Laki-Laki Seibu dan Suami Ahli Waris Bagian (Pembilang) Saudara Laki-Laki Seibu 1 Suami 3 Sisa 2 Berdasarkan perhitungan di atas menunjukkan bahwa suami akan mendapatkan harta, sedangkan Saudara Laki-Laki Seibu akan mendapatkan harta. Namun, masih terdapat sisa sebanyak harta yang dapat digunakan untuk keperluan sedekah ataupun infaq. Hal ini sudah sesuai dengan dalil yang telah disebutkan sebelumnya. b. Seseorang yang telah meninggal dia tidak meninggalkan ahli waris seorang bapak dan anak.