The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku tentang manajemen bisnis syariah memberikan pemahaman tentang pendekatan manajemen yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah Islam. Buku ini menjelaskan konsep dan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, serta bagaimana menerapkannya dalam konteks bisnis modern. Buku ini juga membahas instrumen keuangan syariah, seperti pembiayaan syariah, investasi syariah, dan asuransi syariah, serta bagaimana mengimplementasikan<br><br>praktik-praktik bisnis yang sesuai dengan hukum syariah. Selain itu, buku ini menyoroti tanggung jawab sosial dan etika bisnis dalam manajemen bisnis syariah, termasuk keadilan dalam hubungan bisnis, keberlanjutan, dan keseimbangan antara kepentingan pemangku kepentingan.<br><br>Dengan membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mengelola bisnis dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah Islam dan mencapai kesuksesan yang berkelanjutan.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-01-26 04:27:14

Manajemen Bisnis Syariah

Buku tentang manajemen bisnis syariah memberikan pemahaman tentang pendekatan manajemen yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah Islam. Buku ini menjelaskan konsep dan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, serta bagaimana menerapkannya dalam konteks bisnis modern. Buku ini juga membahas instrumen keuangan syariah, seperti pembiayaan syariah, investasi syariah, dan asuransi syariah, serta bagaimana mengimplementasikan<br><br>praktik-praktik bisnis yang sesuai dengan hukum syariah. Selain itu, buku ini menyoroti tanggung jawab sosial dan etika bisnis dalam manajemen bisnis syariah, termasuk keadilan dalam hubungan bisnis, keberlanjutan, dan keseimbangan antara kepentingan pemangku kepentingan.<br><br>Dengan membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mengelola bisnis dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah Islam dan mencapai kesuksesan yang berkelanjutan.

Manajemen Bisnis Syariah 93 D. Tujuan Umum Etika Bisnis Syariah Dalam hal ini, etika bisnis Islam adalah merupakan hal yang penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis professional. Menurut Anis Husein, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut: a. Membangun kode etik islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari risiko. b. Kode ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan diatas segalanya adalah tanggungjawab di hadapan Allah SWT. c. Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan. d. Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja sehingga dapat membangun rasa persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua.23 E. Sistem Etika Bisnis Islam Pada hakekatnya Islam sebagai suatu agama besar telah mengajarkan konsep-konsep unggul lebih dulu dari NonIslam, akan tetapi para penganjur dan para pengikutnya 23 10Anis Husein, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami (Bandung: Mizan, 2002), hlm 12.


94 Manajemen Bisnis Syariah kurang memperhatikan dan tidak melaksanakan ajaranajaran Islam sebagaimana mestinya. Berikut ini akan diungkapkan sejumlah parameter kunci sistem etika bisnis Islam yakni sebagai berikut:24 Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang melakukannya. 1. Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal. 2. Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggung jawab dan keadilan. 3. Percaya kepada Allah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah. 4. Keputusan yang menguntungkan kelompok mayoritas maupun minoritas tidak secara langsung berarti bersifat etis dalam dirinya karena etika bukanlah permainan mengenai jumlah. 5. Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sistem yang tertutup dan berorientasi-diri sendiri. 6. Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara Al-Qol’[h ^[h [f[g m_g_mn[. 7. Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. 24 11Sofyan Harahap, Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Salemba Empat, 2011),


Manajemen Bisnis Syariah 95 F. Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariat Islam a. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’l[`;32. QS: Af M[c^[b;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.25 b. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34-35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk 25 Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Departemen Agama RI. 1985)


96 Manajemen Bisnis Syariah tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al [’l[`;31).26 c. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qol’[h mol[n Af B[k[l[b: 188: ‛J[ha[hf[b e[go g_g[e[h m_\[ac[h b[ln[ m_\[ac[h e[go ^_ha[h ][l[ s[ha \[ncf‛. Mihijifc doa[ termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah mencela j_l\o[n[h n_lm_\on: ‛B[l[hamc[j[ s[ha g_f[eoe[h gihijifc g[e[ ^c[ n_f[b \_lm[f[b‛, ‛S_il[ha n_haeof[e itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang g_f[eoe[h gihijifc cno ^cf[eh[n‛. Mihijifc ^cf[eoe[h agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulull[b \_lm[\^[: ‛S_m_il[ha s[ha m_ha[d[ melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat ^[lc [jc h_l[e[ e_f[e ^c b[lc ec[g[n‛. 27 d. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Iml[;35: ‛D[h 26 Ibid 27 Ibid


Manajemen Bisnis Syariah 97 sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan ncg\[haf[b ^_ha[h h_l[][ s[ha \_h[l‛. N[\c \_lm[\^[ ‛Aj[\cf[ e[go g_hdo[f gaka jangan menipu orang dengan kata-e[n[ g[hcm‛.28 G. Prinsip-Prinsip Etika Bisnis Islami 1. Kesatuan (unity) Kesatuan yang dimaksud terefleksikan pada konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam. 2. Keseimbangan (keadilan) Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah:8. Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan tatanan yang kita lihat pada alam semesta mencerminkan keseimbangan yang harmonis. Dengan demikian keseimbangan, kebersama- 28 Ibid


98 Manajemen Bisnis Syariah an, kemoderatan merupakan prinsip etis mendasar yang harus diterapkan dalam aktivitas maupun entitas bisnis.29 3. Kehendak Bebas Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Sampai pada tingakat tertentu, manusia dianugerahi kehendak bebas untuk memberi arahan dan membimbing kehidupannya sendiri sebagai khalifah di mukabumi (QS. Al-Baqarah, 2:30). Berdasarkan prinsip kehendak bebas ini, manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian termasuk menepati janji atau mengingkarinya. Tentu saja seorang muslim yang percaya kepada kehendak Allah akan memuliakan semua janji yang dibuatnya.30 4. Pertanggungjawaban Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal mustahil, lantaran tidak menuntut tanggung jawab. Menurut AlGhozali, konsep adil meliputi hal bukan hanya equilibrium tapi juga keadilan dan pemerataan. Untuk memenuhi tuntutan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertanggung jawabkan tindakannya. Allah menekankan konsep tanggung jawab moral tindakan manusia, (QS. 4:123-124).) Menurut Sayyid Qutub prinsip pertanggungjawaban Islam adalah pertanggungjawaban 29 Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethict (Virginia: International Institute of Islamic Thought. 1997), hlm 23. 30 Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethict...,24


Manajemen Bisnis Syariah 99 yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga, antara person dan keluarga, individu dan sosial antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.31 5. Kebenaran: Kebajikan dan Kejujuran Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Adapun kebajikan adalah sikap ihsan,yang merupakan tindakan yang dapat memberi keuntungan terhadap orang lain.32 Dalam al-Qol’[h prinsip kebenaran yang mengandung kebajikan dan kejujuran dapat diambil dari penegasan keharusan menunaikan atau memenuhi perjanjian atau transaksi bisnis. Termasuk ke dalam kebajikan dalam bisnis adalah sikap kesukarelaandan keramahtamahan. Kesukarelaan dalam pengertian, sikap suka-rela antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi, kerja sama atau perjanjian bisnis. Hal ini ditekankan untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan hubungan serta cinta mencintai antar mitra bisnis. Adapun kejujuran adalah sikap jujur dalam semua proses bisnis yang dilakukan tanpa adanya penipuan sedikitpun. Sikap ini dalam khazanah Islam dapat dimaknai dengan amanah. Dengan 31 Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethict...,103 32 Rafiq Issa Beekun, Islamic Business Ethict...,28


100 Manajemen Bisnis Syariah prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis. Dari sikap kebenaran, kebajikan dan kejujuran demikian maka suatu bisnis secara otomatis akan melahirkan persaudaraan, dan kemitraan yang saling menguntungkan, tanpa adanya kerugian dan penyesalan. H. Perilaku Bisnis Yang Menyimpang Menurut Al Qur’an Etika bisnis merupakan ilmu yang dibutuhkan banyak pihak tetapi masih bermasalah di aspek metodologi. Ilmu ini dibutuhkan untuk merubah performa dunia bisnis yang dipenuhi oleh praktek praktek mal bisnis. Yang dimaksud praktek mal-bisnis adalah mencakup perbuatan bisnis yang melanggar hukum pidana (business crimes) maupun perbuatan bisnis yang melanggar etika (business tort).33 AlQol’[h m_\[a[c mog\_l hcf[c, n_f[b g_g\_lce[h hcf[c-nilai mendasar mengenali perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qol’[h. Dalam al-Qol’[h n_l^[j[n cmncf[bistilah: al-bathil, al-fasad dan azh-zhalim yang dapat difungsikan sebagai landasan perilaku yang bertentangan ^_ha[h Af Qol’[h ebomomhs[ ^[f[g ^ohc[ \cmhcm. Af-bathil; terdapat dalam al-Qol’[h m_\[hs[e 36 e[fc j[^[ \_l\[a[c derivasinya. Menurut pengertiannya, al-bathil yang berasal dari kata dasar bathala, berarti fasada atau rusak, sia-sia, tidak berguna, bohong. Al-Bathil sendiri berarti; yang batil, 33 Suwantoro, Aspek-aspek Pidana di Bidang Ekonomi (Jakarta: Ghalia. 1990), hlm 20.


Manajemen Bisnis Syariah 101 yang salah, yang palsu, yang tidak berharga, yang sia-sia dan syaitan.34 Penggunaan al-bathil dalam konteks bisnis tersebut dalam al-Qol’[h m_\[hs[e _gj[n e[fc. P_ln[g[ ^[f[g mol[n (al-Baqarah:188) ditegaskan bahwa sifat kebatilan seringkali digunakan untuk memperoleh harta benda secara sengaja. Pada ayat kedua, yaitu dalam (surat an-Nisa:29) ditegaskan larangan bisnis yang dilakukan dengan proses kebatilan. Pada ayat ketiga, yaitu dalam surat an-Nisa: 160-161; al-bathil disebutkan dalam konteks kezhaliman kaum Yahudi yang suka melakukan riba dan memakan harta orang lain dengan jalan batil. Pada ayat keempat disebutkan bahwa kebatilan dalam bisnis telah banyak dilakukan baik dengan menghalang-halangi dari jalan Allah, menimbun harta atau tidak mengeluarkan infak (al-Taubah (9): 34). Di sinilah posisi strategisnya etika bisnis, untuk menjaga pengelolaan dan pengembangan harta benda yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dari jalan kebatilan. Al-fasad; Istilah ini disebut 48 kali dalam al-Qol’[h. K_\[hs[e[h j_haaoh[[hhs[ mempunyai pengertian kebinasaan, kerusakan, membuat kerusakan, kekacauan di muka bumi, mengadakan kerusakan di muka bumi. Dalam (surat Hud: 85) ditegaskan bahwa mengurangi takaran dan timbangan merupakan kedzaliman. Demikian pula dalam surat (al-A’l[`: 85) [n[o ([f-Baqarah: 205) ditegaskan tentang perintah menyempurnakan takaran dan timbangan disandingkan dengan larangan mengadakan kerusakan atau kedzaliman di muka bumi. Di tempat lain 34 Ahmad Warson Munawwir....,99.


102 Manajemen Bisnis Syariah pada surat (al-Maidah: 32) menyatakan bagaimana besar dan luasnya akibat yang ditimbulkan dari kezaliman.35 Dari ayat-ayat di atas dapat diambil pemahaman bahwa perbuatan yang mengakibatkan kerusakan atau kebinasaan, walaupun kelihatannya sedikit dianggap oleh al-Qol’[h sebagai kerusakan yang banyak. Mengurangi hak atas suatu barang (komoditas) yang didapat atau diproses dengan menggunakan media takaran atau timbangan dinilai alQol’[h m_j_lnc n_f[b g_g\o[n e_lom[e[h ^c goe[ \ogc. Atbzulm; bermakna meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan, tindakan sewenang-wenang, kegelapan (al-Munawwir).36 Dalam konteks hubungan kemanusiaan, al-Qol’[h j[^[ \_\_l[j[ tempat menyatakan kandungan makna kezhaliman sebagai landasan praktek yang berlawanan dengan nilai-nilai etika, termasuk dalam mal bisnis. Dalam (al-Baqarah: 279) mengatakan, bahwa kita seharusnya tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya oleh pihak lain. Dengan demikian dari pemahaman al-bathil, al-fasad dan az-zalim di atas dihubungkan dengan pengertian hakikat bisnis, dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu landasan praktek mal bisnis adalah setiap praktek bisnis yang mengandung unsur kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun banyak, tersembunyi maupun terang-terangan. Dapat menimbulkan kerugian secara material maupun immateri baik bagi si pelaku, pihak lain maupun masyarakat.37 35 Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Departemen Agama RI. 1985) 36 Ahmad Warson Munawwir,,,,,946. 37 Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Departemen Agama RI. 1985)


Manajemen Bisnis Syariah 103 BAB 7 MANAJEMEN UTANG, KREDIBILITAS DAN CITRA BISNIS


104 Manajemen Bisnis Syariah ab ini akan membahas mengenai pemahaman konsep manajemen utang, kredibilitas dan citra bisnis. Tren masyarakat saat ini adalah cenderung ingin berutang, karena utang semakin mudah diperoleh baik dari kreditur perorangan ataupun badan usaha (perbankan dan pinjaman online), namun kemudahan memperoleh utang tersebut ternyata tidak diiringi oleh kemampuan membayar utang. Sehingga yang terjadi adalah masyarakat kesulitan melunasi utang dan terjerat oleh bertambah-tambahnya jumlah utang. Oleh karena itu untuk menghindari permasalahan yang mungkin akan timbul karena utang, Islam menganjurkan agar transaksi utang itu ditulis atau dicatat atau dibukukan dalam bentuk sebuah kesepakatan kontrak yang disahkan oleh kedua belah pihak. Kredibilitas bisnis secara umum didefinisikan sebagai kepercayaan masyarakat terhadap bisnis, baik yang menyangkut individu yang mengelola bisnis tersebut ataupun terhadap kegiatan usaha bisnis. Sedangkan citra bisnis yaitu mengenai pandangan masyarakat terhadap organisasi bisnis secara total yang dipengaruhi oleh masalah kredibilitas. Citra bisnis yang baik merupakan langkah utama menuju kesukesan usaha pada pandangan masyarakat. A. Pandangan Islam Terhadap Utang Utang adalah sesuatu yang dipinjam. Pemberi utang kepada individu ataupun badan usaha disebut kreditur, sementara individu maupun badan usaha yang meminjam disebut debitur. Perspektif Islam utang dikenal dengan qardh yang secara etimologi berasal dari kata [fk[nb’o yang berarti memotong. Qardh juga di definisikan sebagai harta yang diberikan pemberi pinjaman kepada penerima dengan syarat B


Manajemen Bisnis Syariah 105 penerima pinjaman harus mengembalikan besarnya nilai pinjaman pada saat mampu mengembalikannya (Choliq, 2015). Qardh atau pinjaman adalah suatu akad pinjam meminjam dengan ketentuan pihak yang menerima pinjaman wajib mengembalikan dana sebesar yang diterima. Mengacu pada Al Quran Surat Al Maidah ayat 2: ‚Tolong menolonglah kamu untuk berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam melakukan maksiat dan kejahatan‛ Transaksi utang piutang bisa menjadi wajib atas seseorang apablila mempunyai kelebihan harta untuk meminjamkannya pada orang yang sangat membutuhkan (Leena Haniffah et al., 2023). Maksud dari membutuhkan adalah seseorang yang apabila tidak diberi pinjaman akan menyebabkan ia teraniaya atau akan berbuat sesuatu yang dilarang agama seperti mencuri karena ketiadaan biaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya atau ia akan mengalami kebinasaan. Kondisi inilah yang menyebabkan utang piutang menjadi wajib dan harus dikerjakan walaupun oleh satu orang saja (Kholidah et al., 2022). Nabi kita Muhammad SAW selain diutus menjadi seorang nabi dan rasul terakhir bagi umatnya, ternyata juga diberikan karunia sebagai seorang pedagang (Castro-González et al., 2021), seorang entrepreneur yang sukses dan dikagumi baik sesama kabilah pedagang dalam sukunya maupun kabilah pedagang yang berasal dari suku lain bahkan dari negara lain (Siddique et al., 2023). Sehingga dengan demikian Nabi Muhammad SAW tidaklah asing dengan transaksi perdagangan yang sifatnya tunai maupun non tunai (utang) (Aryanti, 2015).


106 Manajemen Bisnis Syariah Sebagai seorang pedagang, Nabi Muhammad SAW sangat tegas dalam menyikapi utang piutang, beliau pernah \_lm[\^[: ‚D[lc A\o Hol[cl[b, ^[ri Nabi Muhammad SAW bersabda: ‚B[l[ha mc[j[ s[ha g_ha[g\cf b[ln[ m_m_il[ha (berutang) yang bermaksud untuk membayarnya maka Allah akan melaksanakan pembayaran itu. Dan barangsiapa yang mengambilnya (utang) dengan maksud untuk merusak (tidak mau membayar dengan sengaja) maka Allah akan merusak il[ha cno.‛ (HR Boeb[lc). Dilain hadits sebagaimana diriwayatkan Muslim, Nabi Muhammad berkata: ‚Dc[gjohc m_go[ ^im[ \[ac il[ha s[ha g[nc ms[bc^, e_]o[fc dce[ c[ g_gjohs[c on[ha.‛ Hadits ini menandakan pentingnya kedudukan utang bagi Nabi Muhammad SAW sampai memberikan peringatan awal bagi umatnya yang akan berjihad untuk melunasi utangnya (bila ada) sebelum berangkat ke medan perang membela ajaran agama Islam. Nabi Muhammad SAW juga bersabda: ‚B[l[ha mc[j[ s[ha g_f_j[me[h e_m_ham[l[[h m[o^[l[- nya, maka Allah akan melepaskan berbagai kesengsaraan s[ha ^cb[^[jchs[.‛ (HR Momfcg). Memberikan utang kepada saudara kita yang membutuhkan, hal itu juga berarti kita membantu saudara kita tersebut lepas dari kesengsaraan (Ebrahim et al., 2016). Oleh karena itu untuk menghindari permasalahan yang mungkin akan timbul karena utang, Islam menganjurkan agar transaksi utang itu ditulis, dicatat atau dibukukan dalam bentuk sebuah


Manajemen Bisnis Syariah 107 kesepakatan kontrak yang disahkan oleh kedua belah pihak (Brahmana & You, 2022). Proses pencatatan ini diperintahkan if_b Aff[b SWT ^[f[g `clg[hhs[: ‚H[c il[ha-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalat tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu menuliskan apa yang akan ditulis, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu menuliskannya, hendaklah walinya menuliskan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi lelaki (diantaramu). Jika tidak ada dua lelaki, (boleh) seorang lelaki dan dua perempuan dari saksi-saki yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar, sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalatmu itu), kecuali jika muamalat itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), sesung-


108 Manajemen Bisnis Syariah guhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah maha Mengetahui segala sesuatu. Islam bahkan mengatur tata cara penggunaan saksi (Sorwar et al., 2016). Saksi yang diperkenankan untuk mempersaksikan transaksi non tunai sebagaimana dimaksud dalam ayat diatas adalah dua orang laki-laki, namun bila kondisi tersebut tidak dapat dipenuhi diperkenankan menggantinya dengan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan (Kamla et al., 2006). Kemudian, dianjurkan oleh ayat tersebut bilamana terdapat selisih faham mengenai transaksi non tunai itu maka para saksi diminta untuk memberikan pertanggungjawaban atas apa yang telah dipersaksikan (Wong & Eng, 2018). Hal ini semata-mata untuk menjaga hubungan baik antara kedua belah pihak yang melakukan hubungan muamalah karena kedua belah pihak pada dasarnya melandasi niatnya dalam konteks tolong menolong karena Allah SWT (Osman et al., 2015). Peningkatan utang konteks bisnis akan menimbulkan konflik kepentingan antara pemegang saham dengan kreditur (pemegang obligasi) sehingga biaya manajer akan meningkat (Al Mannai & Ahmed, 2019). Salah satu kepentingan pemegang obligasi adalah bahwa pemegang saham dapat mencoba untuk mengambil alih kekayaan mereka dengan meningkatkan risiko mereka melalui keputusan investasi yang berisiko (Pahlevi et al., 2022). Masalah lain akan muncul apabila perusahaan mempunyai keleluasaan melakukan investasi. Apabila manajer mempunyai keleluasaan lebih terhadap investasi, mereka mungkin tidak jadi melakukan investasi-


Manajemen Bisnis Syariah 109 investasi tersebut untuk manfaat yang utama untuk meningkatkan kekayaan pemegang obligasi dibanding kekayaan pemegang saham (Castro-González et al., 2021). Terdapat hubungan positif antara jumlah utang dengan nilai perusahaan. Hubungan positif antara jumlah utang dengan nilai perusahaan bersangkutan dalam masalah agensi diartikan sebagai pengurangan masalah agensi karena peningkatan utang menyebabkan nilai perusahaan meningkat (Kholidah et al., 2022). B. Kredibilitas Bisnis Dan Peningkatan Kinerja Kredibilitas suatu bisnis dapat dilihat dari segi internal dan eksternal lingkungan bisnis, apakah bisnis tersebut telah secara efisien menggunakan sumber-sumber yang tersedia (Pahlevi & Nurcahyo, 2022). Dan apakah produk (barang atau jasa) yang dihasilkan telah mencapai target dan sasaran. Kredibilitas adalah alasan yang masuk akal untuk bisa dipercayai. Seseorang yang memiliki kredibilitas berarti dapat dipercayai, dalam arti kita bisa mempercayai karakter dan kemampuannya Kredibilitas adalah kepercayaan terhadap maksud dan tujuan suatu perusahaan dalam kurun waktu tertentu, apakah perusahaan dapt dipercaya untuk melakukan apa yang sedang direncanakan oleh perusahaan tersebut (Keller, 2016). Kredibilitas peka akan waktu; kredibilitas perusahaan yang diterima saat ini akan sangat berbeda dengan kredibilitas yang diterima pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang. Tujuan dari suatu perusahaan biasanya merupakan dasar dari kredibilitas adalah tindakan perusahaan akan sangat berpengaruh terhadap kepastian atau ketidakpastian


110 Manajemen Bisnis Syariah perusahaan-perusahaan lain untuk mempercayai tanda-tanda yang ditunjukkan oleh perusahaan tersebut. Kredibilitas perusahaan tidak dapat dibangun dalam sekejap, tetapi dari prestasi sepanjang berdirinya perusahaan tersebut (Kamla et al., 2006). Kredibilitas perusahaan akan selalu menjadi poin penting yang dipertanyakan, baik dari pihak internal seperti karyawan dan manajemen maupun pihak luar seperti investor, partner, bahkan konsumen (F. Ali et al., 2023). Keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang dapat diprediksikan dari nilai-nilai yang dianut dan dijadikan share value (Ali et al., 2013). Proses pemilihan nilai nilai luhur yang akan dijadikan landasan visi dan misi perusahaan telah berkembang sangat dinamis dengan model yang sangat bervariasi. Model-model tersebut bisa jadi hanya sebagai bagian dari strategi perusahaan atau model yang menerapkan nilai luhur tersebut dengan kesadaran murni (Salahudin et al., 2016). Nilai-nilai spiritualitas semakin menjadi kecenderungan sebagai nilai-nilai luhur yang dianut perusahaan untuk menjamin kinerja jangka panjangnya (Khan & Rasheed, 2015). Nilai atau prinsip yang diadopsi dari nilai agama yang universal, harus diinternalisasikan oleh perusahaan kepada para karyawannya melalui pembentukan budaya organisasi dan kepemimpinan yang berbasis etika (Mahdavikhou & Khotanlou, 2012). Salah satu manifestasi kunci dari kepemimpinan yang beretika adalah artikulasi nilai-nilai dalam sebuah organisasi. Artikulasi ini bisa berevolusi setelah proses identifikasi nilai-nilai yang dilakukan secara


Manajemen Bisnis Syariah 111 inklusif dan terbuka pada perubahan untuk menghadapi tantangan bisnis yang baru (Alwi et al., 2021). Perusahaan-perusahaan dalam berbagai bidang perlu menyadari pentingnya program-program terkait isu-isu etika. Selain bermanfaat bagi umat manusia dan kelestarian lingkungan, hal ini pun dapat menjamin keberlangsungan sebuah perusahaan di masa mendatang. Perhatian yang kuat terhadap isu-isu etika dapat membangun citra positif sebuah perusahaan di mata publik dan konsumen (Nuriasari, 2014). Oleh karena itu melaksanakan dan peduli terhadap permasalahan etika bisnis merupakan sebuah investasi jangka panjang. Namun demikian, diperlukan mekanisme pengawasan internal yang menjamin pelaksanaan etika bisnis tersebut di level organisasi. Program etika seharusnya tak hanya sekadar lip service atau kampanye public relations demi mendapatkan citra positif di masyarakat (Rahman & Nurfadillah, 2019). Penggunaan agama sekadar untuk membangun citra dan meraih keuntungan tentu saja merupakan sebuah kenaifan. Sehingga kesadaran kemanusiaan setiap pelaku bisnis dapat terus terawat. C. Peningkatan Citra Bisnis dan Keberhasilan Usaha Konsep image atau citra sebenarnya adalah konsep yang diperdebatkan oleh para ahli. Kotler mendefinisikan citra sebagai seperangkat kepercayaan, ide, dan impresi yang dimiliki seseorang terhadap sebuah objek. Citra adalah reproduksi atau imitasi orang atau barang, dan lebih memilih menggunakan kata reputasi dalam public relation (Keller, 2016). Banyak makna denotasi sehingga sulit untuk didefinisikan, diukur, dan diamati. Perdebatan citra dan


112 Manajemen Bisnis Syariah reputasi dengan mendefinisikan reputasi adalah kumpulan citra yang terdiri dari kinerja dan perilaku serta komunikasi. Citra dari kinerja, perilaku, dan komunikasi merupakan komponen pembentuk reputasi (Pahlevi & Nurcahyo, 2022). Citra perusahaan adalah citra dari suatu organisasi secara keseluruhan, jadi bukan sekadar citra atas produk dan pelayanannya (Castro-González et al., 2021). Corporate image dibentuk berdasarkan sejarah, kepercayaan, filosofi bisnis, teknologi, struktur kepemilikan, orang-orang dalam perusahaan, serta etika dan sistem budaya dan nilai (Chawla et al., 2021). Beberapa definisi dan pendekatan tentang citra tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan yang telah digagas oleh para pakar sebelumnya. Mulai dari sisi konsumen yaitu tentang kajian hubungan citra dengan kepercayaan seseorang terhadap perusahaan hingga dari sisi perusahaan yang harus mampu menampilkan citranya melalui beberapa aset (Sarabia-Sánchez et al., 2014). Membangun sebuah corporate image memerlukan proses panjang dan harus berkelanjutan. Hasil dari manajemen sistem yang telah berjalan dan dipublikasikan melalui media, iklan, hubungan dengan para pemangku kepentingan akan menjadi suatu proses pembentukan citra perusahaan (corporate image). Peran agama sebagai dasar bagi etika perusahaan bukan saja bertujuan demi citra positif yang berdampak bagi keuntungan perusahaan. Lebih jauh dari itu, agama seharusnya memberikan makna yang transendental dalam kegiatan berbisnis (Mahdavikhou & Khotanlou, 2012).


Manajemen Bisnis Syariah 113 BAB 8 MARKETING SYARIAH


114 Manajemen Bisnis Syariah A. Gambaran Marketing Syariah Definisi strategi pemasaran dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang terarah, berdasarkan tujuan dan aturan yang telah ditetapkan, yang dilakukan secara kreatif dan inovatif sesuai dengan perkembangan zaman. Tujuan utama dari strategi pemasaran adalah untuk menghasilkan sesuatu yang baik bagi perusahaan, dengan cara memperkenalkan dan mempromosikan produk atau layanan kepada pasar sasaran. Strategi pemasaran memberikan arah dalam kaitannya dengan segmentasi pasar, identifikasi pasar sasaran, positioning, dan bauran pemasaran. Kegunaan dari strategi pemasaran adalah untuk mencapai kesuksesan dalam berbisnis. Ini melibatkan penggunaan bauran pemasaran yang terdiri dari Advertising (periklanan), Sales Promotion (promosi penjualan), Public Relation and Publicity (hubungan masyarakat dan publisitas), Personal Selling (penjualan personal), dan Direct Marketing (pemasaran langsung). Masing-masing elemen ini memiliki manfaat yang berbeda tetapi tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai kesuksesan dalam berbisnis (Rachmawaty, 2021). Dalam perspektif syariah, marketing atau pemasaran didefinisikan sebagai serangkaian proses yang dilakukan dengan cara yang benar dan jauh dari unsur kebatilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dibolehkan. Ini melibatkan penciptaan, komunikasi, dan penyampaian nilai kepada pelanggan dengan mengelola hubungan pelanggan secara menguntungkan bagi organisasi dan pemangku kepentingan, dengan memastikan bahwa produk yang ditawarkan adalah halal dan dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, promosi dalam pemasaran syariah harus menghindari penipuan atau


Manajemen Bisnis Syariah 115 informasi yang tidak benar, dan harus menyampaikan informasi yang benar tentang produk atau jasa kepada calon konsumen atau pelanggan (Nurcholifah, 2014). Marketing syariah dapat diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang mengikuti aturan-aturan Islam dalam setiap aspeknya, termasuk dalam hal produk, harga, penempatan, dan promosi. Kegiatan ini tidak hanya terbatas pada transaksi ekonomi tetapi juga mencakup aspek sosial yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Konsep marketing syariah ini berbeda dengan marketing secara umum karena telah disesuaikan dengan aturan-aturan muamalah dalam Islam, yang mencakup pedoman dari Al-Qur'an, Hadith, ijtihad ulama, serta karya ilmiah yang berkaitan dengan studi Islam (Syukur & Syahbudin, 2017). Perbedaan utama antara marketing syariah dan marketing konvensional terletak pada prinsip dan nilai yang dianut. Marketing syariah menekankan pada kejujuran, transparansi, dan keadilan dalam setiap transaksi, serta menghindari praktik yang dilarang dalam Islam seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (spekulasi). Selain itu, produk atau jasa yang dipasarkan dalam marketing syariah haruslah halal dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Urgensi marketing syariah terletak pada kebutuhan untuk menyediakan pendekatan pemasaran yang selaras dengan prinsip-prinsip syariah dalam konteks bisnis. Pendekatan ini tidak hanya memfokuskan pada keuntungan, tetapi juga pada pemenuhan kebutuhan konsumen dengan cara yang etis dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Marketing syariah bertujuan untuk (Miftah, 2015):


116 Manajemen Bisnis Syariah a. Memudahkan konsumen dalam mendapatkan produk atau layanan yang sesuai dengan syariah. b. Memaksimalkan kepuasan konsumen dengan menyediakan produk berkualitas yang memenuhi standar syariah. c. Memaksimumkan pilihan produk yang tersedia bagi konsumen, sehingga mereka memiliki beragam opsi yang sesuai dengan prinsip syariah. d. Memaksimalkan kualitas produk dan layanan untuk memastikan bahwa konsumen mendapatkan nilai terbaik sesuai dengan pengeluaran mereka. Dengan demikian, marketing syariah menjadi penting karena membantu perusahaan untuk membangun hubungan yang baik dengan konsumen yang menghargai nilai-nilai syariah, serta memperkuat posisi mereka di pasar dengan menawarkan alternatif yang sesuai dengan keyakinan konsumen tersebut. B. Bentuk Marketing Syariah 1. Strategi Marketing Syariah Strategi marketing syariah adalah pendekatan dalam pemasaran yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, yang mencakup penciptaan, penawaran, dan perubahan nilai dari satu pemrakarsa kepada stakeholders-nya sesuai dengan akad serta prinsip-prinsip Islam dan muamalah dalam Islam. Konsep ini menanamkan nilainilai keislaman dalam berjualan, seperti kejujuran, keadilan, dan keterbukaan.


Manajemen Bisnis Syariah 117 Dalam penerapannya, strategi marketing syariah berusaha menanamkan perusahaan dan produknya pada pelanggan dengan cara yang sesuai dengan ajaran AlQur'an dan Sunah Rasulullah SAW. Strategi ini juga melibatkan analisis lingkungan dan internal perusahaan untuk menentukan keunggulan dan kelemahan, serta kesempatan dan ancaman yang dihadapi, sehingga dapat mengambil keputusan yang efektif dan efisien dalam memperkuat posisi perusahaan di pasar. Salah satu contoh penerapan strategi marketing syariah konsep 7S (Salam, Senyum, Sapa, Sopan, Santun, Siap, dan Siaga) dan pemberitahuan terlebih dahulu ketika toko akan tutup atau libur (Zubaedah & Harsela, 2021). 2. Faktor Penting Marketing Syariah Pentingnya marketing syariah terutama terlihat dalam konteks lembaga keuangan yang ingin menjangkau dan melayani segmen pasar yang mematuhi prinsip-prinsip Islam. Marketing syariah tidak hanya melibatkan promosi produk dan layanan yang sesuai dengan hukum Islam, tetapi juga memastikan bahwa seluruh proses pemasaran, mulai dari pengembangan produk, distribusi, hingga komunikasi, selaras dengan nilai-nilai etika dan moral yang dijunjung tinggi dalam Islam. Beberapa faktor yang mempengaruhi marketing syariah meliputi (Romadhoni & Rafiqi, 2021): a. Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah: Marketing syariah harus mematuhi prinsip-prinsip syariah, yang mencakup larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (spekulasi). Ini


118 Manajemen Bisnis Syariah mempengaruhi cara produk dan layanan dipromosikan dan dijual kepada konsumen. b. Nilai-nilai Etika dan Moral Islam: Marketing syariah harus mencerminkan nilai-nilai etika dan moral yang dijunjung tinggi dalam Islam, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Ini mempengaruhi pesan dan media yang digunakan dalam kampanye pemasaran. c. Kebutuhan dan Preferensi Konsumen Muslim: Kebutuhan dan preferensi konsumen Muslim yang ingin produk dan layanan mereka sesuai dengan ajaran Islam mempengaruhi pengembangan produk dan strategi komunikasi dalam marketing syariah. d. Pemahaman tentang Syariah: Tingkat pemahaman konsumen tentang prinsip syariah dapat mempengaruhi efektivitas marketing syariah. Pemasar perlu mendidik dan menginformasikan konsumen tentang manfaat dan keunikan produk syariah. e. Pengaruh Budaya dan Sosial: Budaya dan norma sosial di masyarakat Muslim juga mempengaruhi marketing syariah. Pemasar harus memahami dan menghormati budaya lokal untuk memastikan bahwa kampanye pemasaran mereka diterima dengan baik. f. Regulasi dan Standar Syariah: Regulasi dan standar yang ditetapkan oleh otoritas syariah dan lembaga keuangan mempengaruhi bagaimana produk dan layanan syariah dipasarkan. Pemasar harus


Manajemen Bisnis Syariah 119 memastikan bahwa semua aktivitas pemasaran mereka mematuhi standar ini. 3. Dampak Marketing Syariah Investasi Marketing syariah merupakan pendekatan pemasaran yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah, yang tidak hanya fokus pada peningkatan omzet penjualan tetapi juga pada kepatuhan terhadap nilai-nilai etis dan moral yang dijunjung dalam Islam. Dampak dari penerapan marketing syariah dapat beragam, tergantung pada konteks dan cara implementasinya. Beberapa dampak yang mungkin terjadi adalah (Stefanus & Ridwan, 2022): a. Peningkatan Omzet Penjualan: Penerapan strategi marketing syariah dapat meningkatkan omzet penjualan, khususnya di kalangan konsumen yang mencari produk atau jasa yang sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini terjadi karena strategi pemasaran yang digunakan mampu menarik minat konsumen yang memprioritaskan kepatuhan terhadap syariah dalam keputusan pembelian mereka. b. Pembentukan Citra Positif: Marketing syariah dapat membantu perusahaan dalam membangun citra positif di mata konsumen. Dengan menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai syariah, perusahaan dapat memperkuat kepercayaan dan loyalitas pelanggan, yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada peningkatan penjualan. c. Peningkatan Kesadaran Merek: Melalui pemanfaatan media sosial seperti Facebook dan Instagram,


120 Manajemen Bisnis Syariah strategi marketing syariah dapat meningkatkan kesadaran merek di kalangan masyarakat. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan memperkenalkan produk atau jasa mereka kepada konsumen potensial yang mungkin belum mengetahui keberadaan mereka sebelumnya. d. Kepatuhan terhadap Regulasi: Dengan mengikuti prinsip-prinsip syariah, perusahaan juga memastikan bahwa mereka mematuhi regulasi yang berlaku, terutama di negara-negara dengan hukum syariah yang ketat. Ini dapat mengurangi risiko hukum dan memperkuat posisi perusahaan di pasar. 4. Etika Marketing Syariah Etika marketing syariah merupakan prinsip-prinsip etika dalam pemasaran yang berlandaskan pada ajaran Islam, yang mencakup nilai-nilai spiritual dan keilahian yang bersumber dari wahyu, yaitu al-Qur'an dan asSunnah. Etika ini penting karena menjamin bahwa aktivitas pemasaran tidak hanya berorientasi pada keuntungan finansial semata, tetapi juga pada nilai-nilai immateriil yang lahir dari bisnis yang beretika. Dalam konteks syariah, etika marketing harus memastikan bahwa tidak ada hal yang bertentangan dengan prinsipprinsip syariah dalam proses penciptaan, penawaran, dan perubahan nilai dalam pemasaran (Nurhisam, 2017) Aspek penting dari etika marketing syariah meliputi memiliki kepribadian spiritual (taqwa), perilaku yang dodol ^[h \[ce (şc^^īk), \_lf[eo [^cf ^[f[g \cmhcm ([^f), bersikap melayani dan rendah hati (khidmah), menepati


Manajemen Bisnis Syariah 121 d[hdc ^[h nc^[e ]ol[ha, ^[j[n ^cj_l][s[ ([gāh[b), nc^[e berburuk sangka (su'udzon), tidak menjelek-jelekkan (ghibah), dan tidak melakukan sogok (risywah). Prinsipprinsip ini dianggap sebagai nilai-nilai prophetic dalam manajemen bisnis yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang mencakup kejujuran, kepercayaan, kecerdasan, komunikatif, dan keberanian dalam mengambil keputusan. Penerapan etika marketing syariah juga bertujuan untuk menciptakan citra yang kuat dalam masyarakat terhadap produk perusahaan dan menjaga loyalitas konsumen. Hal ini berbeda dengan pendekatan pemasaran konvensional yang terkadang mengesampingkan etika dan hanya fokus pada pencapaian target penjualan, bahkan dengan cara yang tidak etis seperti menjelek-jelekkan kompetitor. Oleh karena itu, etika marketing syariah tidak hanya penting untuk keberhasilan bisnis dalam jangka panjang, tetapi juga untuk 5. Efektivitas Marketing Syariah Efektivitas marketing syariah terletak pada kemampuannya untuk menyatukan intelektualitas dan spiritualitas dalam proses pemasaran. Marketing syariah tidak hanya fokus pada aspek teknis dan fungsional pemasaran, tetapi juga pada nilai-nilai spiritual yang diyakini oleh konsumen. Dalam konteks ini, konsumen tidak hanya mempertimbangkan keuntungan dan kerugian secara material, tetapi juga kesesuaian produk dan jasa dengan nilai-nilai spiritual mereka. Marketing syariah mengembangkan prinsip-prinsip pemasaran dalam Islam melalui Sustainable Marketing Enterprise


122 Manajemen Bisnis Syariah (SME) dan model bisnis syariah yang menghargai transparansi melalui teknologi informasi, menghormati pesaing, dan memahami paradoks global konsumen. Strategi pemasaran syariah mencakup segmentasi, target kepuasan pelanggan, membangun sistem kepercayaan (positioning), diferensiasi, serta kombinasi pemasaran dan penjualan yang selaras dengan prinsip-prinsip muamalah dalam Islam (Sigit, 2018). Nilai-nilai yang diterapkan dalam marketing syariah, seperti Brand Spirituality, Service Should Have the Ability to Transform, dan Practice a Reliable Business Process, menunjukkan bahwa seluruh proses pemasaran harus sesuai dengan akad dan prinsip-prinsip Islam, sehingga transaksi tidak hanya menjadi kegiatan komersial tetapi juga ibadah di hadapan Allah. Dengan demikian, efektivitas marketing syariah tercapai ketika pemasaran tidak hanya berhasil dalam aspek komersial tetapi juga dalam memenuhi dan menghormati kebutuhan spiritual konsumen, yang pada akhirnya dapat menciptakan kepuasan yang lebih dalam dan berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingan. Adapun faktor-faktor yang dapat menunjang efektivitas g[le_ncha ms[lc[b g_fcjonc (J[tcfchhc’[g, 2022): a. Kesesuaian dengan Prinsip Syariah: Setiap strategi dan taktik pemasaran harus sesuai dengan prinsipprinsip syariah, yang tidak hanya mengatur aspek ibadah tetapi juga muamalah, termasuk transaksi bisnis, untuk tidak merugikan orang lain. b. Penerapan Strategi Marketing Mix 4P: Penerapan strategi marketing mix yang meliputi Product


Manajemen Bisnis Syariah 123 (produk), Price (harga), Place (tempat), dan Promotion (promosi) harus dilakukan dengan mempertimbangkan perspektif ekonomi syariah. c. Penghindaran dari Hal-hal Terlarang: Dalam proses marketing, harus dihindari hal-hal yang dilarang dalam Islam, seperti riba, gharar (ketidakpastian), dan maisir (spekulasi). d. Kedekatan dengan Pasar: Perusahaan harus memilih lokasi yang strategis dan tidak bermasalah menurut perspektif syariah, serta menghindari praktek penyegatan produk sebelum tiba di pasar. e. Nilai dan Etika Bisnis Islam: Pemasaran syariah harus mencerminkan nilai-nilai dan etika bisnis Islam, seperti kejujuran, transparansi, dan tanggung jawab sosial. f. Keberkahan dalam Usaha: Dalam Islam, keberhasilan usaha tidak hanya diukur dari keuntungan semata, tetapi juga dari keberkahan yang diridhoi oleh Allah. g. Strategi yang Berorientasi pada Stakeholder: Strategi pemasaran harus memberikan nilai kepada semua stakeholder, termasuk konsumen, karyawan, dan masyarakat, sesuai dengan prinsip dan akad muamalah dalam Islam. h. Pendekatan Maksimalisasi Nilai: Strategi marketing syariah harus berorientasi pada maksimalisasi nilai bagi konsumen dan masyarakat, bukan hanya keuntungan finansial.


124 Manajemen Bisnis Syariah


Manajemen Bisnis Syariah 125 BAB 9 PERMASALAHAN RIBA DALAM BISNIS


126 Manajemen Bisnis Syariah A. Definisi Riba Rc\[ m_][l[ _ncgifiacm (foab[qc) \_l[nc ‘\_ln[g\[b ^[h \_le_g\[ha’ (وُمْ َوالنُ ِزيَا َدةُ ال .(Sedangkan riba dalam terminologi ms[l’c [^[f[b j_ln[g\[b[h hcf[c ^[lc gi^[f s[ha ^c[g\cf if_b pemilik modal (debitur) kepada peminjam (kreditur) berdasarkan tempo tertentu (Al-Manzur, 1990: 304; Abu Jaib, 1998: 142). Abu Bakar Jabir Al-Jazairy menjelaskan bahwa الزيادة فى مخصوصة من المال :adalah riba dengan dimaksud yang أشياء) menambahkan sesuatu yang bersifat khusus dari harta)—(Al-Juzairy, t.th.: 386-369). Secara etimologis (lughawi), kata riba menurut Al-Razi dalam Tafis Al-Kabir aw M[`ânīb Af-Ghaib, \_l[lnc ‘n[g\[b[h.’ H[f chc ^c^oeoha if_b ungkapan: rabâ al-ms[s’ s[l\û; [l\â [f-l[dof c^tâ ‘[g[f[ `ī alribâ. Al-Razi mendasari argumennya itu, setelah merujuk keterangan Al-Qol’[h mol[n Af-Hajj [22] ayat 5, melalui ِهت ّزت وربت ungkapan إ) ihtazzat warabat—hiduplah bumi itu dan suburlah). Arti kata riba dalam ayat ini, demikian Al-Razi g_h_l[hae[hhs[, [^[f[b ‚\_ln[g\[bhs[ e_mo\ol[h n[h[b.‛ M_lodoe j[^[ ohae[j[h chcf[b e[n[ ‚lc\[‛ \_lg[eh[ ‘n[g\[b[h’ n_lm_\on ^cjohaon. S_g[eh[ ^_ha[h j_ha_lnc[h ini, Al-Qol’[h g_f[foc e_n_l[ha[h f[chhs[ ^[f[g mol[n AfN[bf *16+ [s[n 92, g_h_a[me[h \[bq[, ‚< disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya (arba) dari golongan yang lain‛ (Af-Razi, t.th: 75). Senada dengan Al-Razi, pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Al-Shabuni dalam kitab R[qâ’c: Af-B[sâh T[`mīl Asān Af-Ahkâm min AlQol’âh, bahwa riba [^[f[b ‘n[g\[b[h m_][l[ gonf[e’ (AfShabuni, t.th.: 383). Demikian pula Al-Jurjani dalam kitab Al-


Manajemen Bisnis Syariah 127 T[’lī`ân-nya menje-laskan bahwa riba secara bahasa bermakna ziyâdah [tambahan]—(Al-Jurjani, t.th.: 109). Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah merangkan bahwa kata riba dari segi bahasa berarti ‚e_f_\cb[h‛. K[f[o ecn[ b[hs[ \_lb_hnc j[^[ g[eh[ kebahasaan ini, maka logika yang dikemukakan para penentang riba pada masa Nabi saw dapat dibenarkan. Ketika itu mereka bersikukuh untuk terus melakukan riba dengan alasan bahwa, ‚do[f \_fc cno m[g[ m[d[ ^_ha[h lc\[.‛ Akan n_n[jc, Aff[b g_hd[q[\ g_l_e[ ^_ha[h n_a[m \[bq[, ‚Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba‛ (Qm. AfBaqarah [2]: 275). Penegasan ini dikemukakan Allah tanpa menyebut alasan secara eksplisit, Namun, larangan ini dapat dipastikan bahwa sangat boleh jadi ada alasan atau hikmah di balik itu semua, sehingga riba diharamkan dan jual beli dihalalkan oleh Allah SWT (Shihab, 1998: 413). Akar kata ربو yang menjadi sumber kata riba, digunakan dalam Al-Qur‟an sebanyak dua puluh kali (Qs. Al-Baqarah [2]:265, 275, 276, 278; Ali Imran [3]: 130; Al-Nisa‟ [4]: 161; AlRa‟d [13]: 17; Al-Nahl [16]: 92; Al-Isra‟ [17]: 24; Al-Hajj [22]: 5; 23: 50; 26: 18; 30: 39; 41: 39; 69: 10). Dari dua puluh itu, istilah riba digunakan delapan kali (Qs. Al-Baqarah [2]: 275, 276, 278; Ali Imran [3]:130; Qs. Al-Nisa‟ [4]: 161; 30: 39). Akar kata ربو dalam Al-Qol’[h g_gcfcec g[eh[ ‚nog\ob‟ (Qs. al-Hajj 22: 5), ‚menyuburkan‟ (Qs. Al-Baqarah [2]: 276; 30:39), ‚mengembang‟ (Qs. Al-Ra’d [13]: 17), dan ‚mengasuh‟ (Qs. Al-Isra’ [17]: 24; 26: 18, ‚menjadi besar‟ dan ‚banyak‟ (Qs. AlNahl [16]: 92). Akar kata ini juga digunakan dalam arti ‚^[n[l[h nchaac‟ seperti tertuang dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 265; 23. Penggunaan kata-kata tersebut, tampaknya secara


128 Manajemen Bisnis Syariah umum, memiliki satu makna, yaitu ‚bertambah‟ dalam arti kuantitas maupun kualitasnya (Hans Wehr, 1971: 324). Sedangkan secara terminologis (istilahi), menurut AlShabuni, riba adalah tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai perkembangan dari masa [meminjam]—( Al-Shabuni, t.th.: 383). Al-Jurjani mendefiniskan riba sebagai tambahan atau kelebihan yang tiada bandingannya yang ditegaskan oleh satu pihak yang berakad (Al-Jurjani, t.th.: 109). Sementara Abdurrahman AlJaziri dalam Kcnā\ A-Fckb [fā M[^tābc\ Al-Al\[’[b menjelaskan bahwa riba menurut istilah fuqaha adalah tambahan pada salah satu dua barang yang sejenis yang ditukar tanpa adanya imbalan/imbangan terhadap tambahan tersebut (Al-Jaziri, t.th.: 193-198). D[f[g g[^tb[\ Ss[`c’c, lc\[ dimaknai sebagai transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya kapan terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya (Al-Nawawi, t.th.: 403-404). Pengertian yang hampir sama diberikan oleh ulama lainnya seperti Badruddin Al-Ayni. Tokoh ini berpendapat bahwa prinsip utama dalam riba [^[f[b ‘j_h[g\[b[h.’ Penambahan dalam perspektif syari‟ah, berarti penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang riil (AlAyni, 1310 H: 436). Sementara Imam Sarakhsi dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut (Sarakhsi, t.th.: 109). Menurut Zaid bin Aslam, yang dimaksud Riba Jahiliyyah yang berimplikasi pada


Manajemen Bisnis Syariah 129 pelipatgandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya pada saat jatuh tempo, ia \_le[n[, ‚B[s[l m_e[l[ha [n[o n[g\[b‛ (Af-Qurthubi, 1967: 202). Dan Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang lc\[, c[ g_hd[q[\, ‚S_mohaaobhs[, lc\[ cno [^[f[b m_m_il[ha memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga jchd[g[h) [n[m j_h[g\[b[h q[eno s[ha ^c\_lce[h‛ (AfJawziyyah, t.th.: 132). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, secara umum, terdapat benang merah antara pengertian secara etomologis (lughawi) maupun secara terminologis (istilah) yang menegaskan bahwa riba [^[f[b ‚j_ha[g\cf[h tambahan dalam suatu akad transaksi tertentu di mana pengambilan tambahan tersebut tanpa disertai imbangan n_ln_hno.‛ D_ha[h \[b[m[ f[ch, riba [^[f[b ‚j_ha[g\cf[h tambahan dari harta pokok tanpa transaksi pengganti yang meligitimasi ad[hs[ j_h[g\[b[h n_lm_\on.‛ Sedangkan pengertian riba menurut Al-Qol’[h m_h^clc adalah: َ ّس ِ َۗ ٍ ْ اى َ ٌَِ ُ َ َٰ ط ْ ي َ اىظ ُ ّ ُ ط َ ت َ خ َ خ َ ي ِذي ْ َ ال ُ م ْ ٔ ُ ل َ ا ي َ ٍ َ ان َ ِال َ ن ْ ٔ ُ ٌ ْ ٔ ُ ل َ ا ي َ ٔا ل َٰ ة ِ اىرّ َ ن ْ ٔ ُ ل ُ ك ْ أ َ ي َ ذ ْ ِذد َ ل َ ا ٗ ه َ اۤء َ ج ْ َ َ ٍ َ ف َۗ ٔا َٰ ة ِ اىرّ َ م رَ َ خ َ و َ ػ ْ ي َ ب ْ اى ُ ه اَلل َ و َ ح َ ا َ ٔاۘو َٰ ة ِ اىرّ ُ و ْ ٌِث ُ ػ ْ ي َ ب ْ ا اى َ ٍ َ ٓاِاُ ْ ٔ ُ اى َ ك ْ م ُ ه َ ن َ ا ِ ة َ ِلم َٰ ذ ِ ار َ ُب الج َٰ د غ ْ َ ا َ ِٕىم ٰۤ ول ُ ا َ ف َ اد َ م ْ َ َ ٌ َ و َِۗ ه ى اَلل َ ِٓال ٗ ه رُ ْ ٌ َ ا َ و َۗ َ ف َ ي ا شَ َ ٌ ٗ ه َ ل َ ى ف َٰ ه َ خ ْ اُ َ ّٖ ف ِ ّ ة َ ر ْ َ ِ ّ ٌ ٌ ث َ ِؼغ ْ ٔ َ ٌ َ ن ْ و ُ ِد ل َٰ ا خ َ ٓ ْ ِفي ْ ً ُ ْ


130 Manajemen Bisnis Syariah "Orang-orang yang makan riba (tambaha harta) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka \_le[n[ (\_lj_h^[j[n), ‘m_mohaaobhs[ do[f \_fc itu sama ^_ha[h lc\[,’ j[^[b[f Aff[b n_f[b g_hab[f[fe[h do[f \_fc ^[h mengharamkan riba. Siap pun yang telah sampai kepadanya peringatan dari Tuhannya (menyangkut riba), lalu dia berhenti sehingga apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya, maka urusannya itu (terserah) kepada Allah. Siapa pun yang mengulangi lagi (transaksi riba), mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya." (Qs. Al-Baqarah [2]: 275). Ulama lainnya pun berpendapat yang sama, bahwa kata riba berasal dari bahasa Arab. Secara etimologis berarti: tambahan (al-ziyadah), berkembang (al-numuw), membesar (al-'uluw), dan meningkat (al-irtifa'). Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Di kalangan masyarakat, kata Wasilul Chair, sering kita dengar istilah rente, di mana maknanya disamakan dengan ‚\oha[‛ o[ha j[^[ nl[hm[emc _eihigc. K[l_na rente dan bunga sama-sama mempunyai akibat hukum yang sama, s[ehc: ‘b[l[g ^[f[g j[h^[ha[h Imf[g’ (Cb[cl, 2017). Dalam praktiknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor


Manajemen Bisnis Syariah 131 (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank. Abu Zahrah dalam kitab Bobūmo `c [f-Rc\ā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuan untuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum (Abu Zahra, dalam Chair, 2017). Abd Al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh (imbalan) adalaha riba (Chair, 2017: 82). Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barangbarang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut. Riba (usury) erat kaitannya dengan dunia perbankan konvensional, di mana dalam perbankan konvensional banyak kita temui transaksi yang memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syariah yang memakai prinsip bagi hasil (mudharabah) yang belakangan ini lagi marak dengan diterbitkannya undang-undang perbankan syari'ah di Indonesia nomor 7 tahun 1926. Prinsip Mudharabah adalah penyerahan modal uang pada orang yang berbisnis sehingga ia mendapatkan prosentasi keuntungan (Oktafia, 2017).


132 Manajemen Bisnis Syariah Riba juga telah dilarang sebelum Islam berkembang. Istilah riba telah dikenal dan digunakan dalam transaksitransaksi perekonomian oleh masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Akan tetapi, pada zaman itu, riba yang berlaku adalah merupakan tambahan dalam bentuk uang akibat penundaan pelunasan hutang. Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (nonIslam) riba telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba. Bahkan pelarangan riba telah ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama. Istilah riba telah dikenal luas oleh segenap lapisan masyarakat Islam. Istilah ini, biasa dipergunakan masyarakat dalam transkasi ekonomi, terutama oleh masyarakat Arab sebelum Islam muncul. Pada saat itu, riba merupakan sebuah \_hnoe ‚nl[hm[emc t[fcg‛ e[l_h[ g_ha[\[ce[h hcf[c-nilai kemanusiaan. Perilaku riba ditolak oleh Islam setelah melihat e_hs[n[[h \[bq[ hcf[c mo[no \[l[ha g_g_lif_b ‚n[g\[b[h‛ dari utang pokok, sebagai akibat adanya penundaan pelunasan utang oleh seseorang. Konsep ini dalam hukum Imf[g ^c[lnce[h m_\[a[c \_hnoe ‘j_h[g\[b[h hcf[c’ nl[hm[emc jual beli barang maupun hutang-piutang yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Karenaya, tindakan ini diharamkan oleh Allah. Bahkan, Islam menyebutnya sebagai perbuatan bathil [palsu] yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat (Chair, 2014: 98). Jauh sebelum itu, ternyata riba juga telah menjadi persoalan serius dalam masyarakat Yunani dan Romawi. Riba juga mengalami pasang surut sesuai dengan kebiajakan penguasa pada saat itu. Di masa Yunani kuno, penerapan bunga dikecam oleh para tokoh filsafat seperti plato (427-347


Manajemen Bisnis Syariah 133 SM), Aristoteles (384-322M), Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM). Plato mengecam sistem bunga ini disebabkan oleh dua alasan yakni, pertama, riba yang dilakukan akan dapat menyebabkan pertikaian, perpecahan dan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Kedua, riba atau bunga dijadikan alat oleh kelompok masyarakat kaya untuk menindas dan mengekploitasi golongan miskin. Sependapat dengan Plato, Aristoteles juga memberikan pendapatnya bahwa uang merupakan sebuah alat tukar bukan menjadi alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga (Antonio, 2011: 44), Salah satu tokoh lain yang memberikan nasihat kepada anaknya agar menjauhi dua hal pekerjaan, yaitu tentang pemungutan cukai dan memberikan pinjaman dengan sistem bunga (Antonio, 2011: 44). Pendapat terakhir lebih khusus dijelaskan oleh Ceto dengan memberikan gambaran atau ilustrasi tentang perbedaan perdagangan atau perniagaan dan memberikan pinjaman. Perniagaan atau perdagangan adalah bentuk pekerjaan yang mempunyai risiko untung atau rugi. Sementara memberikan pinjaman dengan bunga merupakan sesuatu hal yang tidak pantas karena hanya berorientasi pada keuntungan. Bahkan, tradisi Yunani, hukuman bagi seorang pencuri dan seorang pemakan bunga jauh lebih berat seorang pemakan bunga. Pencuri akan diberikan denda dua kali lipat sementara pemakan bunga akan dikenakan denda sampai empat kali lipat (Antonio, 2011: 45). Adanya hukuman dalam bentuk denda yang lebih besar bagi pelaku riba dianggap oleh para tokoh Yunani pada saat itu dikarenakan riba merupakan perbuatan yang keji dan juga merupakan praktik transaksi


134 Manajemen Bisnis Syariah yang bersifat eksploitatif dan tidak sehat bagi kehidupan masyarakat. Konsep ajaran Yahudi juga mengharamkan riba seperti yang terdapat dalam kitab sucinya, menurut kitab suci agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran ayat 25 pasal 22 disebutkan: "Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu uang, maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang" (Purwaatmaja, 1997:37). Sementara pada pasal 36 disebutkan bahwa:" Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup diantaramu." Dalam transaksi sekarang, melakukan kegiatan ekonomi adalah tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Al-Qol’[h ^[h Fckb [^[f[b j_^ig[h \[ac g[homc[ dalam melakukan segala kegiatan ekonomi mereka yang di dalamnya juga memuat berbagai bentuk aktivitas ekonomi yang tidak dibenarkan seperti pengambilan riba. Hal ini dikarenakan sifat manusia yang serakah ingin memuaskan kesejahteraan ekonominya. tanpa menghiraukan lingkungan sekitar tereksploitasi sehingga tujuan terciptanya sebuah masyarakat yang ber-dasarkan keadilan dan kebaikan (al-adl wal ihsan) menjadi terhambat. Salah satu yang menjadi perhatian adalah etika dan hukumnya (Muhammad, 2012: 320).


Manajemen Bisnis Syariah 135 B. Jenis Riba Pada hakikatnya, riba terbagi ke dalam dua kategori besar, yaitu: (a) Riba akibat hutang piutang yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam Al-Qur'an, termasuk di dalam kategori ini adalah Riba Qard dan Riba Jahiliyah; dan (b) Riba akibat jual beli yang juga telah dijelaskan boleh atau tidaknya dalam bertransaksi menurut Al-Sunnah, termasuk di dalam kategori ini adalah Riba Fadhl, Riba N[mc’[b, ^[h Rc\[ Y[^. Karenanya, dapat disimpulkan bahwa menurut perspektif sistem ekonomi Islam, jenis riba dalam Islam terbagi menjadi lima macam, antara lain sebagai berikut: 1. Riba Qardh (قرض ربا) Istilah teknis riba qardh muncul karena perbedaan sifat benda yang menjadi obyek akad. Cakupan riba \oso‘ tergolong luas karena mencakup benda yang bersifat uang (nuqud/ tsamaniyah) dan benda yang bersifat cmnc‘g[fc ^[h cmncbf[ec (eihmognc`; *s[ha b[\cm m_e[fc pakai]). Sedangkan riba qardh hanya mencakup sebagiannya saja, yaitu obyek yang bersifat uang (nuqud/tsamaniyah); pada waktu itu, tsamaniyah/nuqud yang berlaku adalah dinar dan dirham (Al-Mishri, 2012: 17). Oleh karena itu, riba qardh hanya terjadi dalam domain pertukaran benda-benda sejenis yang bersifat tsamaniyah (nuqud; uang). Pandangan umum menunjukkan bahwa riba qardh berkaitan dengan akad qardh. Akad qardh merupakan perjanjian/ kesepakatan para pihak untuk melakukan utangpiutang (uang dinar/ dirham/rupiah) yang wajib dikembalikan (pokoknya saja)


136 Manajemen Bisnis Syariah pada waktu yang disepakati. Dari segi sifatnya, akad k[l^b n_lg[moe [e[^ n[\[llo‘ (mimc[f), s[cno [e[^ tujuannya untuk menolong pihak lain (bukan tujuan untuk mendapatkan keuntungan). Dalam kitab al-Fiqh alIslami wa Adillatuh dijelaskan tentang adanya 5 (lima) [e[^ s[ha n_lg[moe ^ig[ch [e[^ n[\[llo’, s[cno bc\[b, c‘[l[b/ ‘[lcs[b, ‘c^[‘/q[^c‘[b, k[l^b, ^[h l[bh (Af-Zuhaily, 1985: 181). Akad qardh dijelaskan oleh ulama dalam hubunganhs[ ^_ha[h [e[^ c‘[l[b/‘[lcs[b ^[h [e[^ do[f-beli. Imam al-Qurafi menyatakan bahwa akad qardh yang disertai dengan imbalan—jika ditatap dari teori tahawwul al- ‘[k^— adalah dalam urusan jual beli (Al-Mishri, 2012, 19). Jika dilihat dari segi pembayaran, akad jual-beli sama dengan akad qardh; yaitu akad yang melahirkan utangpiutang dalam hal pembayaran jual-beli yang dilakukan secara tangguh (n[’dcf/go’[dd[f) atau angsur (al-taqsith). Hanya saja tidak mungkin dalam akad qardh terdapat isu pembayaran tunai (yadan bi yadin), karena akad qardh tidak mungkin dilakukan pembayaran secara tunai, yang pasti pembayarannya dilakukan secara tangguh atau angsur. Di samping itu, domainnya berbeda, akad jualbeli termasuk domain akad go‘[q[^b[n (tijari/bisnis) yang tujuannya adalah mendapatkan profit/keuntungan, sementara akad qardh termasuk domain akad n[\[llo‘ yang tujuannya bersifat sosial. Riba qardh adalah tambahan (al-ziyadah) yang diperjanjikan atas pijaman uang (dinar/ dirham/rupiah) yang wajib dikembalikan pada waktu yang disepakati/ dipersyaratkan (Al-Mishri, 2012: 17). Isu haramnya riba


Manajemen Bisnis Syariah 137 qardh bukan semata karena tambahan (al-ziyadah) sebagaimana dalam riba fadhl, tetapi karena tambahan atas pinjaman yang disyaratkan/ disepakati/ dijanjikan sejak perjanjian itu dilakukan. Ho\oha[h [e[^ k[l^b ^_ha[h [e[^ c‘[l[b/ ‘[lcs[b adalah sama-sama menghibahkan manfaat barang (e_^o[hs[ n_lg[moe ^ig[ch [e[^ n[\[llo‘). H[hs[ m[d[ i\s_e e_^o[hs[ \_l\_^[. O\d_e [e[^ c‘[rah adalah b[ln[/\_h^[ s[ha \_lmc`[n cmnc‘g[fc (nc^[e b[\cm m_e[fc pakai, misal: mobil, motor, gedung, dan meja) sehingga benda yang dikembalikan kepada pemilik masih sama dengan benda yang dipinjamkan (tidak diganti dengan benda lain). Sedangkan objek akad qardh adalah benda yang bersifat tsamaniyah/harga, yaitu uang. Sifatnya adalah uang yang diterima dan digunakan oleh peminjam, yang wajib dikembalikan kepada pemilik di kemudian hari, yang mana uang tersebut tidak harus sama dengan uang yang diterima peminjam (dilihat dari segi nomor seri dan pecahannya serta indikator lainnya). Hubungan riba qardh dengan riba jahiliah yang bersifat khusus terletak pada posisi tam-bahan. Riba jahiliah adalah tambahan utang sebagai kompensasi karena gagalnya pihak yang berutang melunasi utangnya pada waktu yang telah disepakati. Sedangkan riba qardh meru-pakan tambahan atas harta yang dipinjamkan yang akan dibayar di kemudian hari. Hubungan riba qardh dengan riba fadhl terletak pada cakupan dan cara mempertukarkan. Riba fadhl merupakan tambahan atas harta yang dipertukarkan baik benda tersebut termasuk benda yang bersifat tsama-


138 Manajemen Bisnis Syariah hcs[b/hoko^ g[ojoh \_h^[ cmnc‘g[fc ^[h cmncbf[ec. Sedangkan riba qardh hanya mencakup tambahan atas harta yang dipertukarkan atas benda yang bersifat nm[g[hcs[b/ hoko^. Of_b e[l_h[ cno, of[g[ Ss[`c‘c[b (antara lain imam Mutawali, imam Zarkasyi, dan imam Ramli) menyatakan bahwa riba qardh merupakan bagian dari riba fadhl. Dari segi cara pertukaran, terlihat bahwa riba fadhl hanya menyangkut pertambahan (ziyadah) harta sejenis yang dipertukarkan, sedangkan riba qardh berhubungan dengan tambahan atas harta yang dipertukarkan sekaligus berhubungan dengan jangka waktu pinjaman (kapan akan dibayar). Oleh karena itu, dalam riba qardh terdapat unsur riba h[mc’ah di samping riba fadhl di dalamnya. Sebagian ulama menjelaskan riba qardh adalah praktik utang piutang dengan syarat ada keuntungan bagi yang memberi utang. Dengan kata lain, riba qardi ini mengambil manfaat atau kelebihan tertentu dari penerima utang (muqtaridh). Contoh riba qardh ini adalah si fulan memberikan pinjaman uang tunai kepada si fulana sebesar Rp 1 juta dan wajib mengembalikan pinjaman pokok dengan bunga sebesar Rp 1,5 juta saat jatuh tempo. Dalam hal ini, fulan tidak menjelaskan apa tujuan dari pemberian bunga tersebut. Ahmad Sarwat dalam bukunya Kiat-kiat Syar'i Hindari Riba menjelaskan, riba termasuk satu dari tujuh dosa besar yang ditentukan oleh Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw


Manajemen Bisnis Syariah 139 bersabda: "Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakanmu." Para sahabat bertanya, "Apa saja ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, makan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan, dan menuduh orang berzina." (HR. Muttafaq Alaih). Orang yang melakukan riba qardh akan mendapat laknat dari Rasulullah saw, sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat yang disebutkan Imam Muslim bahwa: ُ ّ َ ِت اح َ ك َ و ُ ه َ ِكل ْ ؤ ُ ٌ َ ا و َ ة ِ اىرّ َ آِكل َ ً َ ي شَ َ ِّ و ْ ح َ ل َ م ُ َ ى اَلل َ ل ِ غَ َ اَلل ُ ٔل شُ َ ر َ َ َ ؽ َ ى َ ال َ ك ٍ ِر اة َ ج ْ َ َ ؼ . ٌ اء َ ٔ شَ ْ ً ُ ْ َ ال َ ك َ ِّ و ْ ي َ ِْد ا َ ط َ و "Rasulullah saw melaknat pemakan riba, orang yang memberi, dan orang yang mencatat, juga dua orang yang menyaksikanns[. B_fc[o \_lm[\^[: ‘g_l_e[ m_go[ m[g[ (^cf[eh[n)’." (HR. Momfcg). 2. Riba Jahiliyah (جهلية ربا) Ulama tidak sepakat dalam mengilustrasikan riba jahiliyah. Setidaknya Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan Al-S[‘c^c g_haof[m e_g\[fc j_hd_f[m[h R[msc^ Ridha dalam kitab Al-Riba wa Al-Mo‘[g[f[n `c Af-Islam, terkait rujukannya terhadap pendapat Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Abu Bakar Al-Jashash, dan al-Fakhr alRazi terkait ilustrasi riba jahiliyah, yaitu: Pertama, Muhammad Ibn Jarir al-Thabari dalam ecn[\ J[gc‘ [f-B[s[h ‘[h T[’qcf [f-Qol’[h g_hd_f[me[h


140 Manajemen Bisnis Syariah bahwa riba jahiliyah adalah riba atas utang/ piutang karena akad jual-beli yang pembayarannya dilakukan secara tangguh, jika pada waktu yang disepakati pihak yang memiliki utang tidak membayarnya, maka jumlah utangnya bertambah karena bertambahnya jangka waktu untuk melunasinya (Al-Mishri, 1412 H: 18). Secara eksplisit menunjukkan bahwa riba jahiliah terjadi pada utang-piutang yang muncul karena akad jual-beli karena pembayaran harga (tsaman)-nya tidak tunai. Secara implisit sebenarnya apa yang dijelaskan oleh Imam Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari menggambarkan utang-piutang yang timbul karena akad qardh dengan penjelasan bahwa riba jahiliyah adalah riba atas utang-piutang karena akad qardh, jika pada waktu yang disepakati pihak yang memiliki utang tidak membayarnya, maka jumlah utangnya bertambah karena bertambahnya jangka waktu untuk melunasinya. Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa riba jahiliah [^[f[b lc\[ (n[g\[b[h/tcs[^[b) m_\[a[c ‚^_h^[‛ e[l_h[ pihak yeng memiliki utang tidak dapat membayar utang pada waktu yang disepakati, baik utang tersebut terjadi karena akad qardh, akad jual-beli yang pembayaran tsaman-nya dilakukan secara tangguh, maupun akad ijarah yang pembayaran ujrah-nya dilakukan secara tangguh. Kedua, Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Hasan AlS[‘c^c g_ha[n[e[h \[bq[ lc\[ d[bcfc[b [^[f[b lc\[ [n[m utang yang di dalamnya terdapat syarat tambahan n_lb[^[j jieie jchd[g[h/ l[’m [f-mal yang diterima oleh yang berutan (Al-S[’c^c, 2000: 40). S_^[hae[h R[`ck Yohom


Manajemen Bisnis Syariah 141 Al-Mishri menyatakan bahwa riba jahiliah adalah riba atas utang disyaratkan adanya tambahan (Al-Mishri, 1412 H: 183).19 Pendapat tersebut didasarkan pada penjelasan Abu Bakar Al-Jashash dalam kitab Ahkam Al-Qol’[h, yang mengatakan bahwa riba yang dikenal dan diamalkan masyarakat jahiliah adalah meminjamkan dinar yang harus dibayar pada waktu yang disepakati dan disepakati adanya tambahan dengan kadar (prosentase) tertentu atas dinar yang dipinjamkan. Oleh akrena itu, riba jahiliah tidak lain adalah riba atas pinjaman dinar atau dirham yang wajib dibayar pada waktu yang disepakati berikut tambahan yang dipersyaratkan (AlS[’c^c, 1412 H: 83). Ketiga, Imam al-Fakhr al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lc\[ d[bcfc[b [^[f[b lc\[ h[mc’[b; lc\[ chc mo^[b g[msbol dan dikenal masyarakat jahiliah; ilustrasinya adalah bahwa di antara mereka menyerahkan harta kepada pihak lain dan mengambil jasanya setiap bulan dengan kadar/ukuran tertentu sesuai kesepakatan sementara dogf[b b[ln[ jieiehs[ (l[’m [f-mal) tidak berkurang. Apabila jangka waktu yang disepakati berakhir, maka harta pokok (harus) dikembalikan kepada pihak yang meminjamkan. Apabila pihak peminjam tidak mampu melunasinya pada waktu yang telah disepakati, maka hutang bertambah karena penangguhan pembayaran harta pokok; inilah riba yang ada dan dipraktekan masyarakat jahiliyah (AL-Razi, 1411 H: 75). Riba jahiliah pada prinsipnya relevan dengan riba dain (utang) yang muncul karena beberapa sebab, di


142 Manajemen Bisnis Syariah antaranya: 1) akad jual-beli yang pembayaran harganya (tsaman) tidak dilakukan secara tunai; 2) akad qardh (pinjam-meminjam) yang bersifat sosial; dan 3) akad ijarah yang pembayaran ujrahnya tidak dilakukan secara tunai. Kelihatannya riba jahiliyah tidak hanya terkait dengan akad qardh, tetapi secara tidak langsung juga terkait dengan akad jual-beli dan akad ijarah yang termasuk dalam domain akad bisnis. Transaksi ekonomi ini disebut sebagai riba jahiliyah, karena tradisi buruk ini menjadi praktik ekonomi zalim yang dilakukan orang-orang di zaman jahiliyah. Praktik riba seperti ini, dilakukan jauh sebelum kedatangan Islam, yaitu zaman kegelapan, di mana nilai-nilai moral ekonomi dicampakkan. Praktik ekonomi seperti inilah menjadi pemicu lahirnya krisis sosial yang parah. Karena itu, praktik ekonomi demikian dilarang keras oleh Islam dengan sejumlah ancaman berupa azab yang pedih yang kelak diterima oleh pelaku riba di negeri akhirat (Gusmian, 2002: 123). Contoh riil praktik riba jahilliyah adalah peminjaman uang sebesar Rp 20 juta rupiah dengan ketentuan waktu pengembalian enam bulan. Jika tidak dapat membayarkan secara tepat waktu, maka akan ada tambahan utang dari total pinjaman. Itulah praktik riba yahng acap dilakukan di zaman jahiliah. Zaman ini, sering digambarkan sebagai era kebodohan. Karena segala bentuk penyimpangan dan perbuatan keji yang tidak bisa diterima oleh akal sehat hampir ada semuanya pada zaman tersebut. Mulai dari mabuk-mabukan, perjudian, hingga perzinaan. Bahkan pada zaman


Click to View FlipBook Version