91 Organisasi Manajemen penting di berbagai sektor dan industri. Dalam pengelolaan kawasan lindung, pendekatan pengelolaan bersama yang adaptif menyoroti pentingnya tata kelola multi-level dan pemberdayaan pemangku kepentingan dalam mengatasi konflik. Demikian pula, konflik dalam perencanaan penggunaan lahan industri dan gentrifikasi memerlukan lensa keberlanjutan untuk menavigasi kompleksitas pembangunan perkotaan dan keadilan lingkungan. Selain itu, manajemen konflik juga memainkan peran penting dalam mengatasi konflik di tempat kerja. Hal ini tidak hanya melibatkan identifikasi dan pengakuan konflik, namun juga menggali lebih dalam sifat, penyebab, dan dampaknya terhadap individu dan organisasi secara keseluruhan. Baik itu penyebab stres seperti beban kerja yang berlebihan, kesulitan dalam manajemen waktu, atau konflik dalam keseimbangan kehidupan kerja, menerapkan strategi penyelesaian konflik yang ditargetkan sangat penting untuk menjaga lingkungan kerja yang harmonis dan memastikan kesejahteraan karyawan. Mengevaluasi secara terusmenerus efektivitas strategi manajemen konflik yang diterapkan sangat penting untuk perbaikan berkelanjutan dan mengidentifikasi area untuk intervensi lebih lanjut berdasarkan metrik kinerja dan umpan balik dari karyawan. Dengan mengambil pendekatan yang komprehensif dan sistematis terhadap manajemen konflik, organisasi dapat secara efektif mengatasi dan menyelesaikan konflik, yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan fungsi organisasi dan kesejahteraan karyawan.
92 Organisasi Manajemen D. Memperkaya Strategi yang Efektif untuk Penyelesaian Konflik Untuk mengembangkan strategi penyelesaian konflik yang efektif, penting untuk terlebih dahulu mengidentifikasi dan menganalisis konflik. Hal ini mencakup pemahaman tentang penyebab konflik, pihakpihak yang terlibat, kepentingan dan posisi mereka, serta potensi dinamika kekuasaan yang ada. Setelah konflik diidentifikasi dan dianalisis, sebuah strategi dapat dikembangkan untuk mengatasinya. Strategi tersebut harus bertujuan untuk menemukan solusi yang dapat diterima bersama yang mengatasi akar penyebab konflik dan memenuhi kebutuhan dan kepentingan semua pihak yang terlibat. Strateginya mungkin melibatkan berbagai pendekatan seperti kolaborasi, negosiasi, mediasi, atau arbitrase. Kolaborasi melibatkan menyatukan semua pihak untuk bekerja menuju tujuan bersama dan menemukan solusi yang saling menguntungkan. Negosiasi melibatkan komunikasi terbuka dan kompromi untuk mencapai kesepakatan. Mediasi melibatkan pihak ketiga yang netral yang memfasilitasi komunikasi dan membimbing para pihak menuju penyelesaian. Arbitrase melibatkan pihak ketiga yang netral yang membuat keputusan yang mengikat mengenai penyelesaian konflik. Evaluasi terhadap strategi yang dipilih sangat penting untuk menentukan efektivitasnya dalam menyelesaikan konflik. Hal ini dapat dilakukan melalui penilaian terhadap hasil yang dicapai, tingkat kepuasan pihak-pihak yang terlibat, dan perubahan apa pun dalam lingkungan atau hubungan kerja. Dengan mengevaluasi efektivitas
93 Organisasi Manajemen strategi yang dipilih, organisasi dapat membuat keputusan mengenai penyesuaian atau pendekatan alternatif yang mungkin diperlukan. Untuk mengembangkan strategi penyelesaian konflik yang efektif, pertama-tama penting untuk mengidentifikasi dan menganalisis konflik secara menyeluruh. Proses ini melibatkan pemahaman akar penyebab konflik, pihak-pihak yang terlibat, kepentingan, posisi, dan dinamika kekuasaan yang mendasarinya. Setelah konflik diidentifikasi dan dianalisis, strategi dapat dirumuskan untuk mengatasinya. Strategi tersebut harus bertujuan untuk menemukan solusi yang dapat diterima bersama yang tidak hanya menyelesaikan konflik tetapi juga memenuhi kebutuhan dan kepentingan semua pihak yang terlibat.Donasi dkk. (2023) Ullah, 2024;Varady dkk., 2023). Berbagai pendekatan dapat digunakan dalam penyelesaian konflik, seperti kolaborasi, negosiasi, mediasi, atau arbitrase. Kolaborasi berarti menyatukan semua pihak untuk bekerja menuju tujuan bersama dan menemukan solusi yang saling menguntungkan. Negosiasi melibatkan komunikasi terbuka dan kompromi untuk mencapai kesepakatan, sedangkan mediasi memanfaatkan pihak ketiga yang netral untuk memfasilitasi komunikasi dan membimbing para pihak menuju penyelesaian. Arbitrase melibatkan pihak ketiga yang netral yang membuat keputusan yang mengikat mengenai penyelesaian konflik(Varady dkk., 2023;Ballari & Barrios-Garcia, 2022;Stosch & Oliver, 2022). Evaluasi terhadap strategi resolusi konflik yang dipilih sangat penting untuk menentukan efektivitasnya dalam menyelesaikan konflik. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan menilai hasil yang
94 Organisasi Manajemen dicapai, tingkat kepuasan pihak-pihak yang terlibat, dan perubahan apa pun dalam lingkungan atau hubungan kerja. Dengan mengevaluasi efektivitas strategi yang dipilih, organisasi dapat membuat keputusan yang tepat mengenai penyesuaian atau pendekatan alternatif yang mungkin diperlukan untuk memastikan penyelesaian konflik yang berkelanjutan.Maina dkk. (2022). Penyelesaian konflik bukanlah solusi universal dan harus disesuaikan dengan konteks spesifik dan sifat konflik. Dalam bidang pengelolaan hutan, konflik seringkali muncul karena adanya persaingan kepentingan dalam penggunaan lahan, konservasi, dan pembangunan ekonomi. Memahami seluk-beluk konflik-konflik ini memerlukan pemahaman mendalam mengenai faktorfaktor lingkungan, sosial, dan ekonomi yang berperan. Dengan menyelidiki akar penyebab konflik, manajer proyek dan pemangku kepentingan dapat mengungkap permasalahan mendasar seperti persaingan permintaan sumber daya, perbedaan perspektif ekologi, dan keluhan historis. Mengambil pendekatan sistemik terhadap resolusi konflik dalam pengelolaan hutan melibatkan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, lembaga pemerintah, organisasi lingkungan hidup, dan perwakilan industri. Dalam pengelolaan kawasan lindung, strategi resolusi konflik harus mencakup kompleksitas tata kelola multi-level, menyeimbangkan tujuan konservasi dengan pembangunan sosio-ekonomi, dan memenuhi kebutuhan berbagai kelompok pemangku kepentingan. Pendekatan pengelolaan bersama yang adaptif telah menunjukkan harapan dalam mendorong kolaborasi dan pengambilan keputusan
95 Organisasi Manajemen bersama di antara para pemangku kepentingan, yang pada akhirnya mengarah pada penyelesaian konflik yang lebih efektif dan pengelolaan kawasan lindung yang berkelanjutan. Demikian pula, dalam perencanaan pembangunan perkotaan dan penggunaan lahan industri, konflik dapat muncul karena adanya persaingan kepentingan di berbagai sektor, seperti pembangunan infrastruktur, perluasan pemukiman, dan pelestarian lingkungan. Strategi pengelolaan konflik dalam konteks ini harus mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari keputusan pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Dengan menggali lebih dalam penyebab konflik, manajer proyek dan perencana kota dapat mengadopsi pendekatan holistik yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam proses penyelesaian konflik. Di tempat kerja, konflik dapat berdampak besar pada kesejahteraan karyawan dan produktivitas organisasi. Strategi penyelesaian konflik yang efektif tidak hanya melibatkan penanganan masalah-masalah mendesak namun juga memahami faktor-faktor mendasar yang berkontribusi terhadap konflik di tempat kerja. Hal ini mungkin melibatkan analisis budaya organisasi, dinamika kepemimpinan, dan pola komunikasi untuk mengidentifikasi isu-isu sistemik yang berkontribusi terhadap konflik. Dengan memupuk budaya komunikasi terbuka, empati, dan kolaborasi, organisasi dapat menciptakan lingkungan di mana konflik ditangani secara konstruktif, sehingga meningkatkan semangat kerja karyawan dan kinerja organisasi. Selain itu, evaluasi
96 Organisasi Manajemen efektivitas strategi pengelolaan konflik yang diterapkan sangat penting untuk perbaikan dan adaptasi yang berkelanjutan. Dengan mengumpulkan umpan balik dari para pemangku kepentingan, memantau indikatorindikator kinerja utama, dan tetap mengikuti dinamika yang berubah, organisasi dapat menyempurnakan pendekatan resolusi konflik mereka agar dapat lebih memenuhi kebutuhan yang terus berkembang dari beragam pemangku kepentingan dan mengatasi konflik yang muncul dengan cara yang proaktif dan berkelanjutan. E. Pencegahan Konflik Penting untuk memiliki pendekatan proaktif dalam pencegahan konflik untuk menghindari eskalasi situasi. Hal ini dapat dicapai dengan menerapkan praktik terbaik berikut: 1. Mempromosikan komunikasi dan dialog terbuka: Menumbuhkan lingkungan di mana individu merasa nyaman mengungkapkan keprihatinan dan pendapat mereka. 2. Dorong pendengaran aktif dan komunikasi penuh hormat untuk mencegah kesalahpahaman dan salah tafsir. 3. Tetapkan peran dan tanggung jawab yang jelas: Tetapkan dengan jelas peran dan tanggung jawab dalam organisasi untuk meminimalkan area ambiguitas atau potensi konflik.
97 Organisasi Manajemen 4. Menumbuhkan budaya kolaborasi dan kerja tim: Mendorong karyawan untuk bekerja sama dan menghargai kontribusi satu sama lain, menumbuhkan rasa tujuan bersama dan tanggung jawab kolektif. 5. Melaksanakan pelatihan resolusi konflik: Memberikan karyawan keterampilan dan alat yang diperlukan untuk mengelola dan menyelesaikan konflik secara efektif. 6. Menilai dan menangani kepuasan dan keterlibatan karyawan secara berkala: Lakukan survei atau sesi umpan balik untuk mengidentifikasi masalah mendasar yang mungkin berkontribusi terhadap konflik, dan ambil langkah proaktif untuk mengatasinya. Dalam penyelesaian konflik, pemahaman mendalam tentang konteks spesifik dan sifat konflik sangatlah penting. Dalam bidang pengelolaan hutan, konflik sering kali berasal dari persaingan kepentingan dalam penggunaan lahan, konservasi, dan pembangunan ekonomi. Konflik-konflik ini sangat terkait dengan faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi, sehingga penting untuk menyelidiki akar permasalahannya. Pendekatan komprehensif terhadap resolusi konflik dalam pengelolaan hutan melibatkan keterlibatan beragam pemangku kepentingan, termasuk masyarakat adat, lembaga pemerintah, organisasi lingkungan hidup, dan perwakilan industri. Dengan mengenali dan mengatasi spektrum permasalahan seperti persaingan permintaan sumber daya, perbedaan perspektif ekologi, dan keluhan historis, manajer proyek dan pemangku kepentingan
98 Organisasi Manajemen dapat mengembangkan strategi efektif yang mengakomodasi kebutuhan dan kekhawatiran semua pihak terkait. Selain itu, strategi resolusi konflik dalam pengelolaan kawasan lindung harus menavigasi kompleksitas tata kelola multi-level, menyeimbangkan tujuan konservasi dengan pembangunan sosial ekonomi, dan mengatasi beragam kebutuhan kelompok pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, pendekatan pengelolaan bersama yang adaptif telah menunjukkan harapan dalam mendorong kolaborasi dan pengambilan keputusan bersama di antara para pemangku kepentingan, yang mengarah pada penyelesaian konflik yang lebih efektif dan pengelolaan kawasan lindung yang berkelanjutan. Demikian pula, dalam perencanaan pembangunan perkotaan dan penggunaan lahan industri, konflik dapat muncul karena adanya persaingan kepentingan seperti pembangunan infrastruktur, perluasan pemukiman, dan pelestarian lingkungan. Di sini, strategi pengelolaan konflik perlu mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari keputusan pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan keadilan sosial. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan pertimbangan lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam proses penyelesaian konflik sangatlah penting dalam konteks ini. Di tempat kerja, konflik dapat berdampak signifikan terhadap kesejahteraan karyawan dan produktivitas organisasi. Strategi penyelesaian konflik yang efektif tidak hanya melibatkan penanganan masalah-masalah mendesak namun juga memahami faktor-faktor mendasar
99 Organisasi Manajemen yang berkontribusi terhadap konflik di tempat kerja. Hal ini mungkin melibatkan analisis budaya organisasi, dinamika kepemimpinan, dan pola komunikasi untuk mengidentifikasi isu-isu sistemik yang berkontribusi terhadap konflik. Dengan memupuk komunikasi terbuka, empati, dan kolaborasi, organisasi dapat menciptakan lingkungan di mana konflik ditangani secara konstruktif, sehingga meningkatkan semangat kerja karyawan dan kinerja organisasi. Untuk mencegah eskalasi situasi, penting untuk memiliki pendekatan proaktif dalam pencegahan konflik. Menerapkan praktik terbaik seperti mendorong komunikasi terbuka, mendorong sikap mendengarkan secara aktif, menetapkan peran dan tanggung jawab yang jelas, memupuk budaya kolaborasi dan kerja tim, dan memberikan pelatihan penyelesaian konflik dapat berkontribusi secara signifikan terhadap strategi pencegahan konflik yang proaktif. Selain itu, penilaian rutin terhadap kepuasan dan keterlibatan karyawan dapat membantu mengidentifikasi permasalahan mendasar dan mengambil langkah proaktif untuk mengatasinya, sehingga berkontribusi terhadap lingkungan kerja yang lebih harmonis. Dengan memahami tantangan spesifik dan nuansa resolusi konflik dalam berbagai konteks, organisasi dapat mengembangkan strategi yang dirancang khusus untuk mengatasi konflik secara efektif dan mendorong resolusi berkelanjutan.
100 Organisasi Manajemen F. Peningkatan Berkelanjutan dalam Proses Manajemen Konflik Perbaikan berkelanjutan dalam proses manajemen konflik sangat penting dalam organisasi layanan kesehatan agar dapat mengatasi dan menyelesaikan konflik secara efektif. Hal ini dapat dicapai melalui pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi para pemimpin dan staf mengenai teknik resolusi konflik, mendorong budaya komunikasi terbuka dan kolaborasi, secara teratur menilai dan meninjau efektivitas strategi resolusi konflik, dan menerapkan mekanisme umpan balik untuk mengumpulkan masukan dari semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik. konflik. Dengan mengevaluasi dan menyempurnakan proses manajemen konflik secara konsisten, organisasi layanan kesehatan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif dan harmonis, yang mengarah pada peningkatan perawatan dan hasil pasien. Evaluasi adalah langkah penting dalam manajemen konflik. Hal ini memungkinkan organisasi layanan kesehatan untuk menilai efektivitas strategi resolusi konflik mereka dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan. Penting untuk mengumpulkan umpan balik dari semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk mendapatkan pemahaman komprehensif tentang efektivitas strategi yang diterapkan. Berdasarkan sumber yang diberikan, faktor-faktor yang teridentifikasi yang membantu perusahaan memitigasi konflik berdasarkan manajemen tugas di tempat kerja dan meningkatkan kemampuan inovasi mereka adalah:
101 Organisasi Manajemen 1. Kepemimpinan berorientasi pengetahuan: Menerapkan praktik kepemimpinan efektif yang mengutamakan manajemen pengetahuan dan menciptakan konteks KM positif. 2. Sistem memori transaktif: Menerapkan sistem yang memfasilitasi berbagi dan pengambilan pengetahuan antar individu dan kelompok dalam organisasi. 3. Struktur organisasi: Menciptakan struktur yang mendorong komunikasi terbuka, kolaborasi, dan peran serta tanggung jawab yang jelas. 4. Komunikasi yang efektif: Memastikan adanya saluran komunikasi yang jelas dalam organisasi dan memberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan komunikasi yang efektif di antara karyawan. 5. Kepemimpinan bersama: Menerapkan model kepemimpinan bersama yang memberdayakan staf dan mendorong pengambilan keputusan kolaboratif. 6. Pelatihan dan pendidikan reguler: Memberikan pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi para pemimpin dan staf mengenai teknik resolusi konflik untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam mengelola konflik. 7. Penilaian dan peninjauan rutin: Terus-menerus menilai dan meninjau efektivitas strategi resolusi konflik untuk mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan. 8. Mekanisme umpan balik: Menerapkan mekanisme umpan balik untuk mengumpulkan masukan dari
102 Organisasi Manajemen seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik, memungkinkan adanya pemahaman komprehensif tentang efektivitas strategi penyelesaian konflik dan peluang untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan. Kesimpulannya, manajemen konflik di organisasi layanan kesehatan memerlukan pemimpin yang mencontohkan perilaku kolaboratif dan memprioritaskan komunikasi yang efektif. Mereka harus menerapkan strategi seperti kepemimpinan bersama dan sistem memori transaktif untuk mengurangi konflik berdasarkan manajemen tugas. Strategi-strategi ini dapat membantu menciptakan lingkungan kerja yang positif, meningkatkan kemampuan inovasi, dan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Faktor-faktor yang teridentifikasi yang membantu perusahaan mengurangi konflik berdasarkan manajemen tugas di tempat kerja dan meningkatkan kemampuan inovasi mereka adalah kepemimpinan yang berorientasi pada pengetahuan, sistem memori transaktif, organisasi struktur, komunikasi yang efektif, kepemimpinan bersama, pelatihan dan pendidikan rutin, penilaian dan peninjauan rutin, dan mekanisme umpan balik(Sumbang, J, M., Guadamillas, F. dan González-Mohíno, M., 2023). Kesimpulannya, untuk memitigasi konflik berdasarkan manajemen tugas di tempat kerja dan meningkatkan kemampuan inovasi, organisasi harus fokus pada penerapan kepemimpinan yang berorientasi pada pengetahuan, sistem memori transaktif, dan mendorong struktur organisasi yang mendukung komunikasi dan kolaborasi terbuka. Mereka juga harus memberikan pelatihan dan pendidikan rutin.
103 Organisasi Manajemen untuk meningkatkan keterampilan resolusi konflik, secara berkala menilai dan meninjau efektivitas strategi mereka, dan menerapkan mekanisme umpan balik untuk mengumpulkan masukan dari para pemangku kepentingan. Untuk mengelola konflik secara efektif dalam organisasi layanan kesehatan dan meningkatkan kemampuan inovasi, para pemimpin perlu menerapkan strategi seperti kepemimpinan bersama, pelatihan dan pendidikan rutin, penilaian dan peninjauan rutin, serta mekanisme umpan balik.(Al-Sawai, A., 2013).Untuk mengelola konflik secara efektif dalam organisasi layanan kesehatan dan meningkatkan kemampuan inovasi, para pemimpin perlu menerapkan strategi seperti kepemimpinan bersama, pelatihan dan pendidikan rutin, penilaian dan peninjauan rutin, serta mekanisme umpan balik. Mereka juga harus memprioritaskan komunikasi dan kolaborasi terbuka, mendorong berorientasi pada pengetahuan kepemimpinan, dan menerapkan sistem memori transaktif. Mereka juga harus memprioritaskan komunikasi dan kolaborasi terbuka, mendorong kepemimpinan yang berorientasi pada pengetahuan, dan menerapkan sistem memori transaktif. Pemimpin layanan kesehatan harus proaktif dalam mengidentifikasi dan menganalisis sumber konflik dalam rumah sakit. Setelah sumber konflik diidentifikasi, pemimpin dapat mengembangkan strategi untuk memitigasi dan menyelesaikan konflik. Strategi tersebut dapat mencakup peningkatan komunikasi terbuka dan kolaborasi, penerapan kepemimpinan yang berorientasi pada pengetahuan dan sistem memori transaktif, penyediaan pelatihan dan pendidikan rutin, pelaksanaan penilaian
104 Organisasi Manajemen dan peninjauan rutin, dan penerapan mekanisme umpan balik. Pemimpin harus mencontohkan perilaku kolaboratif dan memupuk saling ketergantungan antar praktisi layanan kesehatan. Lebih jauh lagi, pemimpin harus menciptakan peluang untuk pembelajaran dan pengembangan berkelanjutan, menumbuhkan budaya inovasi dan pertumbuhan. Dengan menerapkan strategi ini, organisasi layanan kesehatan dapat mengelola konflik secara efektif dan meningkatkan kemampuan inovasi mereka. Untuk mengevaluasi efektivitas strategi manajemen konflik dan dampaknya terhadap kemampuan inovasi, para pemimpin harus terus memantau dan menilai indikator kinerja utama seperti kepuasan karyawan, tingkat produktivitas, keluaran inovasi, dan kolaborasi antar anggota tim. Selain itu, para pemimpin harus mengumpulkan umpan balik dari pemangku kepentingan, seperti karyawan dan pasien, untuk memastikan bahwa strategi yang diterapkan mengatasi akar penyebab konflik dan memfasilitasi lingkungan kerja yang positif. Kesimpulannya, manajemen konflik di organisasi layanan kesehatan mengharuskan para pemimpin untuk menerapkan serangkaian strategi, termasuk kepemimpinan bersama, komunikasi terbuka, kepemimpinan yang berorientasi pada pengetahuan, dan sistem memori transaktif. Strategi-strategi ini membantu mengurangi konflik, menumbuhkan kemampuan inovasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang positif. Konflik dalam organisasi layanan kesehatan dapat muncul dari berbagai sumber, seperti perilaku individualistis, komunikasi yang buruk, struktur organisasi, dan konflik antar individu atau antar kelompok. Untuk mengatasi
105 Organisasi Manajemen konflik dalam organisasi layanan kesehatan secara efektif, para pemimpin harus menggunakan strategi seperti mendorong komunikasi terbuka dan kolaborasi. , menerapkan kepemimpinan yang berorientasi pada pengetahuan dan sistem memori transaktif, memberikan pelatihan dan pendidikan secara berkala, melakukan penilaian dan peninjauan, menerapkan mekanisme umpan balik, mendorong budaya inovasi dan pertumbuhan, dan terus memantau indikator kinerja utama untuk memastikan efektivitas strategi yang diterapkan.Kesimpulannya, manajemen konflik di organisasi layanan kesehatan mengharuskan para pemimpin untuk menerapkan serangkaian strategi yang mengatasi berbagai sumber konflik dan mendorong kolaborasi dan inovasi. Strategi-strategi ini harus terus dievaluasi untuk memastikan efektivitasnya dalam memitigasi konflik dan meningkatkan kemampuan inovasi dalam organisasi layanan kesehatan. Konflik dalam organisasi layanan kesehatan dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk perilaku individualistis, komunikasi yang buruk, struktur organisasi, dan konflik antar individu atau antar kelompok. Untuk mengatasi konflik secara efektif di organisasi layanan kesehatan, para pemimpin harus terlebih dahulu mengidentifikasi sumber konflik dan memahami permasalahan laten yang mendasarinya. Kemudian, para pemimpin dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi permasalahan ini dan mendorong hasil positif bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini dapat dicapai melalui penerapan strategi seperti komunikasi terbuka, kepemimpinan bersama, kepemimpinan berorientasi pengetahuan, dan
106 Organisasi Manajemen pemanfaatan sistem memori transaktif. Selain itu, para pemimpin juga harus fokus pada penciptaan budaya kolaborasi dan inovasi, mendorong pembelajaran dan pengembangan berkelanjutan, dan secara teratur memantau efektivitas strategi yang diterapkan melalui mekanisme penilaian dan umpan balik. Kesimpulannya, manajemen konflik yang efektif di organisasi layanan kesehatan mengharuskan para pemimpin untuk menerapkan serangkaian strategi yang efektif. strategi yang mengatasi berbagai sumber konflik dan mendorong kolaborasi, kemampuan inovasi, dan hubungan kerja yang positif. Selain itu, para pemimpin harus mencontohkan perilaku kolaboratif, meningkatkan motivasi, dan memupuk saling ketergantungan antara praktisi layanan kesehatan yang berbeda untuk menciptakan budaya kerja tim dan pola pikir kolaborasi yang efektif di antara para profesional layanan kesehatan dan menumbuhkan suasana komunikasi terbuka. Hal ini dapat dicapai melalui program pelatihan dan pengembangan rutin, menciptakan peluang kolaborasi antar disiplin ilmu, menerapkan saluran komunikasi yang efektif, dan membangun lingkungan kerja yang mendukung dan inklusif yang mendorong pertukaran ide dan perspektif. Untuk menerapkan strategi ini secara efektif, pendekatan langkah demi langkah direkomendasikan.para pemimpin dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi permasalahan ini dan mendorong hasil positif bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini dapat dicapai melalui penerapan strategi seperti komunikasi terbuka, kepemimpinan bersama, kepemimpinan berorientasi pengetahuan, dan pemanfaatan sistem memori transaktif.
107 Organisasi Manajemen Selain itu, para pemimpin juga harus fokus pada penciptaan budaya kolaborasi dan inovasi, mendorong pembelajaran dan pengembangan berkelanjutan, dan secara teratur memantau efektivitas strategi yang diterapkan melalui mekanisme penilaian dan umpan balik. Kesimpulannya, manajemen konflik yang efektif di organisasi layanan kesehatan mengharuskan para pemimpin untuk menerapkan serangkaian strategi yang efektif. strategi yang mengatasi berbagai sumber konflik dan mendorong kolaborasi, kemampuan inovasi, dan hubungan kerja yang positif. Selain itu, para pemimpin harus mencontohkan perilaku kolaboratif, meningkatkan motivasi, dan memupuk saling ketergantungan antara praktisi layanan kesehatan yang berbeda untuk menciptakan budaya kerja tim dan pola pikir kolaborasi yang efektif di antara para profesional layanan kesehatan dan menumbuhkan suasana komunikasi terbuka. Hal ini dapat dicapai melalui program pelatihan dan pengembangan rutin, menciptakan peluang kolaborasi antar disiplin ilmu, menerapkan saluran komunikasi yang efektif, dan membangun lingkungan kerja yang mendukung dan inklusif yang mendorong pertukaran ide dan perspektif. Untuk menerapkan strategi ini secara efektif, pendekatan langkah demi langkah direkomendasikan.para pemimpin dapat mengembangkan strategi untuk mengatasi permasalahan ini dan mendorong hasil positif bagi semua pihak yang terlibat. Hal ini dapat dicapai melalui penerapan strategi seperti komunikasi terbuka, kepemimpinan bersama, kepemimpinan berorientasi pengetahuan, dan pemanfaatan sistem memori transaktif. Selain itu, para
108 Organisasi Manajemen pemimpin juga harus fokus pada penciptaan budaya kolaborasi dan inovasi, mendorong pembelajaran dan pengembangan berkelanjutan, dan secara teratur memantau efektivitas strategi yang diterapkan melalui mekanisme penilaian dan umpan balik. Kesimpulannya, manajemen konflik yang efektif di organisasi layanan kesehatan mengharuskan para pemimpin untuk menerapkan serangkaian strategi yang efektif. strategi yang mengatasi berbagai sumber konflik dan mendorong kolaborasi, kemampuan inovasi, dan hubungan kerja yang positif. Selain itu, para pemimpin harus mencontohkan perilaku kolaboratif, meningkatkan motivasi, dan memupuk saling ketergantungan antara praktisi layanan kesehatan yang berbeda untuk menciptakan budaya kerja tim dan pola pikir kolaborasi yang efektif di antara para profesional layanan kesehatan dan menumbuhkan suasana komunikasi terbuka. Hal ini dapat dicapai melalui program pelatihan dan pengembangan rutin, menciptakan peluang kolaborasi antar disiplin ilmu, menerapkan saluran komunikasi yang efektif, dan membangun lingkungan kerja yang mendukung dan inklusif yang mendorong pertukaran ide dan perspektif. Untuk menerapkan strategi ini secara efektif, pendekatan langkah demi langkah direkomendasikan. 1. Identifikasi dan analisis sumber konflik dalam organisasi layanan kesehatan. 2. Kembangkan pemahaman komprehensif tentang isuisu mendasar yang berkontribusi terhadap konflik. 3. Mengembangkan strategi dan intervensi untuk mengatasi sumber konflik yang teridentifikasi.
109 Organisasi Manajemen 4. Menerapkan strategi seperti komunikasi terbuka, kepemimpinan bersama, dan kepemimpinan yang berorientasi pada pengetahuan untuk mendorong kolaborasi dan hubungan kerja yang positif. 5. Mengevaluasi efektivitas strategi yang diterapkan melalui penilaian berkala dan mekanisme umpan balik. 6. Mengevaluasi efektivitas strategi yang diterapkan melalui penilaian berkala dan mekanisme umpan balik. 7. Merevisi dan menyesuaikan strategi berdasarkan hasil evaluasi untuk terus meningkatkan praktik manajemen konflik. 8. Terus memantau dan mengatasi sumber konflik baru yang mungkin timbul seiring berjalannya waktu. 9. Ciptakan budaya pembelajaran dan pengembangan berkelanjutan dengan menyediakan program pelatihan reguler dan peluang untuk kolaborasi interdisipliner. 10. Mempromosikan lingkungan kerja yang mendukung dan inklusif di mana semua profesional kesehatan merasa dihargai dan diberdayakan untuk menyumbangkan ide dan perspektif mereka. 11. Mempromosikan budaya tata kelola bersama dan pengambilan keputusan bersama untuk memberdayakan profesional kesehatan dan meningkatkan kepuasan kerja.
110 Organisasi Manajemen 12. Menerapkan saluran komunikasi yang efektif dan pendekatan penyelesaian konflik seperti mediasi, negosiasi, dan dialog untuk mengatasi konflik secara tepat waktu dan konstruktif. Sumber konflik dalam organisasi layanan kesehatan dapat mencakup perilaku individualistis, komunikasi yang buruk, struktur organisasi, dan konflik antar individu atau antar kelompok. Sumber konflik ini dapat menimbulkan kesenjangan komunikasi dan kegagalan praktik kerja. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pemimpin layanan kesehatan untuk mengadopsi pendekatan yang sesuai untuk menangani konflik di semua tahap dan menerapkan strategi seperti kompetisi, penghindaran, kompromi, akomodasi, kolaborasi, tawarmenawar/negosiasi, mediasi, memfasilitasi komunikasi, mencari konsensus, dan melahirkan visi untuk mengatasi konflik. bantuan resolusi konflik. Selain itu, para pemimpin layanan kesehatan juga harus fokus pada pengembangan hubungan kolaboratif yang efektif melalui kepemimpinan bersama. Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong komunikasi terbuka, menetapkan tujuan yang jelas, dan membina lingkungan kerja yang positif. Dengan menerapkan strategi ini, organisasi layanan kesehatan dapat menciptakan budaya kepercayaan, kolaborasi, dan manajemen konflik yang efektif.
111 Organisasi Manajemen Manajamen Perubahan Organisasi Imam Faisal Hamzah, S. Psi., M.A. isi merupakan sesuatu yang menjadi dasar sebuah perusahaan tetap harus diperjuangkan keberadaannya. Pada film Kinky Boots (2005), misi yang dimiliki oleh perusahaan ini terletak pada bagaimana para karyawan di pabrik Price and Sons itu tetap dapat bekerja. Ini yang menjadi alasan seorang Charlie yang sebenarnya tidak terlalu menyukai dunia di mana dia dibesarkan oleh ayahnya untuk suatu saat dapat menggantikan ayahnya di pabrik tersebut. Mcmc chcf[b y[ha g_hy_\[\e[h m_il[ha Cb[lfc_ ‚n_lj[em[‛ menjadi seorang pemimpin perusahaan ketika ayahnya meninggal mendadak tanpa mewariskan kepemimpinannya M
112 Organisasi Manajemen pada dirinya. Meskipun charlie telah terbiasa hidup di pabrik dan mengetahui bagaimana menggunakan mesin pembuat sepatu, tetapi dia tidak merasakan bahwa pabrik sepatu adalah dunianya. Bagi karyawan-karyawan pabrik sepatu tersebut, Charlie pun dianggap tidak sehebat ayahnya yang mampu memotivasi para karyawannya. ‚Aeo \oe[h [y[beo, e[o n[e \cm[ g_hab[l[je[h cno, n[jc [eo j_lh[b \_lm[g[ e[fc[h, f[ncb[h ^_ha[h g_mch chc.‛ e[n[ Charlie kepada para karyawannya ketika memberikan pidato pertama kali sebagai pimpinan perusahaan pasca ayahnya meninggal. Berbeda dengan ayahnya yang selalu memberikan motivasi kepada para karyawan, Charlie lebih menyukai bagaimana dia dapat bertindak melakukan sesuatu. Mungkin Charlie sadar bahwa dia bukan orang yang dapat menggerakan para karyawannya dengan kata-kata saja, tetapi dia berusaha melakukan sesuatu yang bisa memberikan inspirasi bagi para karyawannya, namun tetap tidak ada kemajuan. Perusahaan pun mulai mengalami krisis, hal ini dilihat dari eksistensi perusahaan yang mulai terancam. Ayah Charlie pernah berniat untuk menjual pabrik tersebut ke seseorang bernama Richard. Charlie bertemu dengan Richard, seorang pemilik Sepatu. Berbeda dengan Sepatu buatan pabrik Charlie, Perusahaan Sepatu Richard sebenarnya menjual Sepatu dengan kualitas rendah, dan harga yang murah. Tantangan bisnis yang semakin tinggi, yang tidak lagi menuntut sebuah kualitas produk, membuat Charlie pun harus berpikir keras. Apalagi ketika kerja samanya dengan perusahaan Chambers gagal karena mereka lebih memilih produk yang berkualitas jelek dan berharga murah.
113 Organisasi Manajemen Di sisi lain, pabrik-pabrik sepatu yang sejenis dengan perusahaan sepatu Price and Sons itu mulai ditutup dan menjual pabrik mereka. Tantagan seperti ini membuat Charlie terpaksa harus memecat satu per satu karyawannya karena perusahaan tidak bisa lagi menggaji semua karyawan. Meskipun belum menemukan kecocokan dengan karyawannya atau sebaliknya, Charlie mendapatkan inspirasi dari Lauren yang merupakan salah satu karyawan yang dipecat oleh Charlie untuk mengganti produk pabrik sepatu mereka. Ditambah pertemuannya dengan Lola, seorang waria yang ditemuinya ketika Charlie membantunya dari gangguan para laki-laki yang menggodanya. Charlie mendapati bahwa sepatu wanita yang digunakan oleh Lola tidak dapat menahan berat \[^[h m_il[ha ‚W[hcn[‛ y[ha m_\[h[lhy[ [^[f[b f[ec-laki. Semua alasan tersebut kemudian merasa tetap harus berjuang demi para karyawan warisan ayahnya itu. Mulai lah, Charlie dengan dibantu oleh Lola dan Lauren untuk memproduksi sepatu untuk kaum waria. Agar mendapatkan tempat di mata konsumen, maka Charlie pun menargetkan sebuah tujuan (goal) untuk memamerkan produk terbarunya tersebut di pusat mode di Milan, Italia. Waktunya tidak banyak, hanya 5 minggu, maka Charlie pun menggenjot kerja para karyawannya untuk bekerja demi Milan. Charlie sadar bahwa dia telah membuat resiko yang besar dengan memilih produk sepatu untuk waria dan mulai meninggalkan produksi lama sepatu perusahaan itu. Namun, ini bagian dari strategi yang dilakukan oleh Charlie untuk menghidupkan perusahaan tersebut dari krisis. Memanfaatkan keterampilan dari parapekerjanya, dan rancangan sepatu dari Lola, Charlie menggerakan perusahaan itu untuk satu tujuan,
114 Organisasi Manajemen yaitu tampil sebaik mungkin di Milan. Charlie sendiri mengorbankan rumahnya untuk digadaikan demi menggaji para karyawan. Gesekan masih terjadi antara Charlie dan para karyawannya, Charlie mengharapkan kesempurnaan, sedangkan para karyawan yang hanya bekerja saja merasa ada yang lebih penting dari hanya Milan, yaitu kehidupan mereka masing-masing. Di sini style para karyawan perusahaan terlihat, dari yang biasanya yang dipimpin oleh ayah Charlie sudah cukup baik, tetapi tidak bagi Charlie. Tidak ada masalah antara sistem dan keterampilan yang dimiliki dalam perusahaan tersebut. Namun, strategi yang perlu dirubah membutuhkan kepemimpinan yang berani mengambil resiko dan mampu menjadi inspirasi tersendiri bagi para karyawannya. Singkat cerita, Perusahaan Charlie tersebut berhasil memamerkan Sepatu barunya itu di Milan. Dibantu Lola dan kawan-kawannya yang unjuk kebolehan untuk show dengan menggunakan sepatu tersebut. Saya, penulis, tidak sedang membenarkan perilaku seperti Lola, yang menjadi waria karena pilihan hidupnya. Bagaimanapun cerita film yang diangkat dari kisah nyata ini menunjukan bagaimana sebuah perusahaan berubah karena adanya berbagai macam faktor. A. Perubahan Organisasi Kisah dalam film Kinky Boots tersebut menunjukan bagaimana perusahaan dituntut untuk berubah. Ketika wabah Covid-19 menyebar ke seluruh penjuru dunia, banyak perusahaan yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan yang ada. Tidak jarang perusahaan yang akhirnya
115 Organisasi Manajemen gulung tikar atau setidaknya PHK karyawannya. Banyak dari Perusahaan tersebut yang juga mengubah sistem bahkan produknya untuk menyesuaikan dengan keadaan pada waktu itu. Misalnya perguruan tinggi yang harus menjalankan sistemnya melalui daring untuk perkuliahan maupun pelayanan. Itulah perubahan organisasi. Tuntutan yang berkembang dari dalam maupun dari luar organisasi, menuntut sebuah organisasi ataupun perusahaan untuk berubah kea rah yang lebih efektif. Wardhana (2023) menyampaikan bahwa perubahan organisasi merupakan perubahan di dalam sebuah organisasi, baik yang direncanakan atau tidak direncanakan yang dapat berdampak pada aspek-aspek organisasi seperti struktur, budaya, sistem, teknologi, sumber daya manusia, maupun proses bisnis. Jones (2007) mengemukakan bahwa perubahan organisasi merupakan sebuah proses dari organisasi yang bergerak dari keadaannya sekarang menuju bentuk yang diinginkan sehingga mampu meningkatkan efektivitas dari organisasi itu sendiri. Perubahan ini menuntut semua komponen di dalam organisasi juga untuk berubah, tidak terkecuali orang-orang yang ada di dalamnya (Mangundjaya, 2016). B. Pendekatan Dalam Pengelolaan Perubahan Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006) menyebutkan ada tiga pendekatan dalam pengelolaan perubahan di dalam sebuah organisasi. Pendekatan pertama merupakan pendekatan kekuasaan, di mana para manajer memaksa para bawahannya untuk melakukan perubahan seperti yang mereka inginkan. Kepemimpinan
116 Organisasi Manajemen otokratik cenderung identik dengan pendekatan ini. Misalnya Apple Corporation ketika awal-awal Steve Jobs menjadi CEO. Steve Jobs cenderung memaksa para bawahannya untuk mengerjakan proyek seperti yang diinginkannya. Pendekatan kedua merupakan pendekatan alasan. Perubahan ini didasarkan pada tersebarnya informasi sebelum perubahan dalam sebuah organisasi dilakukan. Tujuannya agar orang-orang menyadari pentingnya perubahan tersebut secara rasional. Misalnya dalam film Kinky Boots di pembukaan tulisan ini. Charlie sebagai pemilik baru, menyampaikan akan krisis di perusahaannya sehingga harus melakukan PHK pada karyawannya. Pendekatan ini sering terbentur dengan kebutuhan individu, norma, maupun dampak sosial yang ditimbulkan. Pendekatan ketiga menggunakan pendidikan atau dikenal juga dengan pengembangan organisasi. Robbin (2005) menyebutnya sebagai perubahan yang terstruktur. Targetnya adalah pada perubahan sistem keyakinan, nilai, dan sikap untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi, industi, dan Masyarakat. Pendekatan ini memerlukan agen-agen perubahan, baik individu atau kelompok. Misalnya yang tampak dari PT KAI Persero yang melakukan perubahan dalam pengelolaan maupun pelayanan yang diberikan. Perubahan dengan pendekatan ini memerlukan pendidikan bagi para individu atau kelompok yang ada di dalam sebuah organisasi.
117 Organisasi Manajemen C. Jenis-Jenis Perubahan Organisasi Black dan Gregsen (2003) menyebutkan ada tiga jenis perubahan, yaitu : 1. Perubahan antisipatif, yaitu Perusahaan atau organisasi melakukan perubahan sebelum ada tuntutan untuk berubah. Perubahan ini biasanya direncanakan meskipun orang-orang di dalamnya belum mampu menyadari kebutuhan akan perubahan tersebut. Biaya yang dikeluarkan juga relative lebih kecil. 2. Perubahan reaktif, merupakan Perusahaan atau organisasi sudah merasa perlu melakukan perubahan untuk merespon adanya suatu situasi yang baru, tetapi belum benar-benar terjadi. Misalnya Perusahaan yang melihat pesaingnya telah meluncurkan produk terbaru yang lebih inovatif, sehingga mendorong untuk melakukan perubahan. 3. Perubahan krisis, adalah Perusahaan atau organisasi sudah melihat kegentingan untuk melakukan perubahan. Misalnya ketika Covid-19 banyak Perusahaan yang mau tidak mau harus berubah agar tetap bertahan. Tidak setidik juga yang akhirnya gulung tikar. Biaya yang diperlukan untuk perubahan jenis memang sangat besar. D. Mengelola Perubahan Ketika sebuah organisasi atau Perusahaan hendak melakukan perubahan, maka perlu adanya diagnosis terlebih dahulu. Perlu data-data dan penafsiran terhadap
118 Organisasi Manajemen data yang tepat agar perubahan dapat sesuai sasaran dan efektif. Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006) membagi pendekatan-pendekatan dalam melakukan pengelolaan perubahan, yaitu Pendekatan structural, pendekatan teknologi dan tugas, pendekatan asset manusia, dan multifaceted (banyak pendekatan). Pendekatan structural dilakukan melalui kebijakan dan prosedur resmi untuk meningkatkan keefektifan sebuah organisasi. Misalnya perubahan structural, merger, atau akusisi. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objective – MBO) merupakan salah satu cara di dalam pendekatan ini yang dinilai cukup efektif. MBO melibatkan atasan dan bawahan di dalam sebuah organisasi untuk merumuskan tujuan bersama. Selain MBO, Rekayasa Ulang Proses Bisnis (Reengingeering) juga merupakan salah satu contoh cara yang efektif. Cara ini lebih berorientasi pada kebutuhan pelanggan. Misalnya Perusahaan menanyakan kepada pelanggan, apa yang mereka inginkan dari Perusahaan tersebut. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan teknologi dan tugas. Pendekatan ini berorientasi pada pekerjaan yang dilakukan dengan mendesain ulang pekerjaan. Misalnya bagaimana Perusahaan memberikan opsi kepada karyawan untuk waktu bekerja. Selain itu, hadirnya teknologi juga dapat merubah cara kerja seseorang. Misalnya bagaimana sekarang tampak di rumah sakit yang memanfaat sepeda Listrik, atau sistem informasi, dan lainlain untuk mengefektifkan pekerjaan mereka. Kata kunci dari pendekatan ini adalah pelatihan. Adanya tugas dan
119 Organisasi Manajemen teknologi yang baru maka perlu adanya pendidikan untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. Pendekatan ketiga adalah pendekatan asset manusia. Filosofi dasar dari pendekatan ini bahwa organisasi menjadi tempat untuk belajar bagi individu untuk bertumbuh. Pendekatan sebelumnya tidak akan berjalan baik, jika sumber daya manusia yang ada belum ingin berubah atau belum melihat urgensi dari perubahan tersebut. Misalnya sebelum pandemi Covid-19, banyak dosen yang belum memahami pentingnya penggunaan teknologi dalam pembelajaran. Meskipun sudah dilakukan sosialisasi dan pelatihan, tetap masih menggap kuliah itu harus offline, tetapi ketika Covid-19 terjadi, dosen-dosen mau tidak mau mengikuti perkemabangan zaman. Cara yang biasa digunakan, yaitu membangun kelompok, pelatihan etika, mentorship, instropeksi. Pendekatan keempat adalah multifaceted. Pendekatan ini cenderung menggunakan semua pendekatan. Pendekatan ini populer dikenal sebagai Total Quality Management (TQM). TQM menggunakan standar yang tinggi untuk pencapaian sebuah organisasi dengan memanfaatkan statistik dan pemecahan masalah kelompok sebagaikendali proses. Selain keempat pendekatan tersebut, ada pula pendekatan appreciative inquiry (AI). Pendekatan ini berfokus pada potensi-potensi positif yang ada pada seseorangm organisasi, dan lingkungan luar. Tahapan dalam AI meliputi tahapan discovering (menemukan potensi positif), dreaming (memikirkan kemungkinan apa saya yang dapat terjadi), designing (mendiskusikan apa
120 Organisasi Manajemen yang seharusnya), dan delivering (membuat sasaran yang jelas). Kotter (2007) mengemukakan tahapan dalam pengelolaan organisasi, meliputi: 1. Memunculkan pentingnya perubahan. Pada tahap ini, sebuah Perusahaan, spesifiknya adalah pemimpin berupaya untuk memunculkan sebuah kebutuhan akan perubahan pada seluruh sumber daya manusia di dalam Perusahaan. Misalnya pemimpin dapat menyampaikan tantangan eksternal maupun internal yang dihadapi Perusahaan jika tidak berubah. 2. Koalisi. Tahap ini, Perusahaan perlu mengumpulkan orang-orang yang mendukung perubahan. 3. Memunculkan visi perubahan. Perubahan tanpa visi tentu tidak akan jelas ke mana sebuah perusahaan/ organisasi akan menuju? Oleh karena itu, diperlukan visi yang berbasiskan pada nilai-nilai mendasar mengenai pentingnya perubahan tersebut. 4. Mengkomunikasi visi. Setelah visi ditentukan, maka visi perlu disampaikan agar semua orang di dalam Perusahaan/ organisasi siap terhadap perubahan yang akan dilakukan. 5. Menghapus hambatan. Tidak semua pihak akan setuju dengan rencana perubahan yang dilakukan. Bisa jadi, mereka yang tidak setuju akan jadi penghambat dalam proses perubahan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, sebuah perusahaan/ organisasi perlu mendengarkan kebutuhan dari mereka. Perusahaan/ organisasi juga dapat memberikan reward pada
121 Organisasi Manajemen mereka yang secara aktif mau terlibat dalam perubahan. Misalnya memberikan insentif bagi yang bersedia mengikuti pelatihan teknis untuk mendukung perubahan. 6. Target jangka pendek. Ketika presiden atau pejabat public terpilih, biasanya mereka akan mengkampanyekan program 100 hari. Hal tersebut untuk memotivasi para Menteri ataupun Masyarakat, bahwa target perubahan yang hendak dicapai dapat terwujud. Kotter cenderung menyarankan tidak membuat tujuan jangka Panjang terlebih dahulu. Melainkan membuat tujuan jangka pendek untuk memberikan motivasi pada karyawan. 7. Pembangunan Perubahan. Perubahan merupakan proses yang berkelanjutan, artinya setiap tahap dalam rencana perubahan di sebuah Perusahaan/ organisasi perlu dievaluasi untuk terus ditingkatkan. 8. Menghubungkan perubahan dengan budaya organiasi. Seorang pemimpin dapat terus menyampaikan progress perubahan yang dilakukan. Hal tersebut dapat menjadi salah satu strategi untuk menginternalisasi nilai-nilai perubahan dalam budaya organiasi. Termasuk mengakomodir ide-ide baru yang mendukung perubahan. E. Penutup Perubahan organiasi merupakan bagian dari strategi organiasi agar tetap bertahan di Tengah tantangan yang ada. Tantangan tersebut dapat berasal dari dalam maupun
122 Organisasi Manajemen luar organisasi. Oleh karena itu, sebuah Perusahaan/ organiasi perlu mengelola perubahan tersebut dengan baik agar perubahan tersebut tidak menjadi boomerang. Perubahan organisasi perlu dirasakan urgensinya oleh semua komponen di dalam organiasi. Hal ini menjadi titik poin awal agar perubahan menjadi kebutuhan semua komponen tersebut. Tidak hanya beberapa pihak saja.
123 Organisasi Manajemen Manajemen Kinerja Arie Hendra Saputro, S. Pd., M.M. A. Definisi Manajemen (Gesi et al., n.d.) Manajemen adalah sebuah proses untuk mengatur sesuatu yang dilakukan oleh sekelompok orang atau organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut dengan cara bekerja sama memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. (Jannah & Mufidah, 2023) menyatakan bahwa Manajemen adalah sesuatu yang dilaksanakan oleh manajer. Manajemen sendiri melibatkan sebuah bentuk koordinasi dan pengawasan untuk pekerjaan orang lain. Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen merupakan aktivitas yang mengedapankan keteraturan dan keseimbangan dalam
124 Organisasi Manajemen menjalankan setiap aktivitas organisasi yang nantinya hasil outputnya dapat membantu organisasi dalam mencapai visi dan misi organisasi. B. Definisi Kinerja (Najib, 2019) menyatakan bahwa Kinerja pada umumnya diartikan sebagai kesuksesan seseorang didalam melaksanakan suatu pekerjaan. Kinerja karyawan merupakan hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. (Nabila & Syarvina, 2022) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat di Tarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan hasil output dari aktivitas anggota organisasi yang telah disesuaikan dengan job desk yang nantinya hasil dari output ini dapat diberdayakan dan dimanfaatkan untuk terciptanya visi dan misi organisasi. C. Definisi Manajemen Kinerja (Nursam, 2017) menyatakan bahwa manajemen kinerja merupakan gaya manajemen dalam mengelola sumberdaya yang berorientasi pada kinerja yang melakukan proses komunikasi secara terbuka dan berkelanjutan dengan menciptakan visi bersama dan pendekatan strategis serta terpadu sebagai kekuatan pendorong untuk mencapai tujuan organisasi. (Sihombing, 2021) menyatakan bahwa Arti dari manajemen kinerja meliputi: performance management dan managing
125 Organisasi Manajemen employee performance. Selanjutnya definisi program manajemen kinerja meliputi: (1) merencanakan, (2) proses manajemen, dan (3) produktivitas. Manajemen kinerja meliputi pengelolaan semua elemen proses organisasi yang mempengaruhi prestasi meliputi penetapan tujuan, seleksi & penempatan pekerja, penilaian, kompensasi, pelatihan, dan manajemen karir. (Sihombing, 2021) menyatakan bahwa Manajemen kinerja merupakan proses yang berupaya untuk memperbaiki kinerja individu dan kelompok kerja secara berkesinambungan dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara efektif. Manajemen kinerja itu sendiri merupakan salah satu pendekatan strategis untuk memperbaiki kinerja orang-orang didalam organisasi secara terus menerus yang dilakukan dengan cara meningkatkan kapabilitas kelompok-kelompok maupun individual yang terdapat didalam suatu organisasi. Berdasarkan pendapat para ahli di atas memberikan informasi bahwa manajemen kinerja adalah mengelola dan mengatur kinerja karyawan agar selaras dengan visi dan misi organisasi. D. Tujuan dan Manfaat manajemen Kinerja (Nursam, 2017) menyatakan bahwa manfaat dari adanya manajemen kinerja adalah dalam Melaksanakan manajemen kinerja akan memberikan manfaat bagi organisasi, tim, dan individu. Manajemen kinerja mendukung tujuan menyeluruh organisasi dengan mengaitkan pekerjaan dari setiap pekerja dan manajer pada keseluruhan unit kerjanya.
126 Organisasi Manajemen (Asmike Putri Oktovita Sari, 2018) menyatakan bahwa Manfaat manajemen kinerja: 1. Keuntungan menjalankan perusahaan Memiliki rencana yang matang sangat penting bagi para pemimpin bisnis. Di sisi lain, penskalaan program dan strategi membutuhkan manajemen kinerja yang dirancang dengan baik. Melalui manajemen kinerja, pemimpin organisasi dapat memantau tugas kerja individu dan kerja tim. Tata kelola perusahaan dapat digunakan sebagai indikator ketika memberikan penghargaan nonfinansial kepada karyawan yang telah mencapai prestasi. Selain itu, untuk menarik karyawan yang memiliki kriteria yang diinginkan dalam pekerjaan. 2. Manfaat bagi perusahaan Pengelolaan tenaga kerja juga berguna untuk kemajuan perusahaan. Pengelolaan ini sebagai ukuran kinerja merupakan salah satu upaya perbaikan dan perbaikan yang berkelanjutan. Hal ini juga berguna sebagai dasar perencanaan karir seorang karyawan. 3. Manfaat bagi karyawan Manfaat manajemen kinerja bermanfaat tidak hanya bagi perusahaan dan manajernya, tetapi juga bagi karyawan. Menurut beberapa metrik manajemen kinerja, itu membuat karyawan lebih fokus dan membantu meningkatkan produktivitas keterampilan karyawan. Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa manfaat yang dapat diambil dari manajemen kinerja adalah pengelolaan hasil dan output setiap anggota organisasi dapat lebih terorganisir dan
127 Organisasi Manajemen dapat sesuai dengan visi dan misi organisasi. Hasil kinerja sesuai dengan porsinya dan sesuai dengan kebutuhan dan keperluan dari organisasi. Asas kebermanfaatan dari pengelolaan kinerja menimbulkan efek positif dan membantu menciptakan budaya yang baik dan kondusif. E. Definisi TQM (Total Quality Management) (Mutu & Saril, 2019) menjuelaskan bahwa Total Quality Management atau yang disingkat dengan TQM adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terusmenerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang. (Muslim & Sururin, 2018) Menyatakan bahwa TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota. (Nuinaya et al., 2017) menyatakan bahwa Total Quality Management merupakan suatu sistem yang dapat dikembangkan menjadi pendekatan dalam usaha untuk memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus menerus atas produksi, jasa, tenaga kerja, dan proses. (Muslim & Sururin, 2018) menyatakan bahwa TQM lebih mengedepankan pendekatan ilmiah dalam memperbaiki mutu Oleh sebab itu penggunaan siklus Plan, Do, Chek, Act (PDCA) akan membantu usaha perbaikan dan mendorong perbaikan secara kontinu serta
128 Organisasi Manajemen mendorong proses belajar organisasi. Pendekatan ilmiah berbasis data yang update dan akurat. Data yang valid dan update akan membantu proses pengambilan 128eputusan dan menentukan efektifitas perubahan performance. Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat memberikan informasi bahwa TQM merupakan system atau aturan tersistematis yang diterapkan oleh organisasi dengan harapan hasil output yang dihasilkan sumber daya manusia dapat optimal, berkualitas dan dapat membantu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi sesuai dengan visi dan misi organisasi. F. Kegunaan TQM (Total Quality Management) (Suartina et al., 2019) Menyatakan bahwa Melalui TQM yang dikelola dengan baik, dapat mempengaruhi perilaku produktif karyawan itu sendiri. (Alhudri dan Heriyanto, 2015) dalam (Suartina et al., 2019) menyatakan bahwa Karyawan akan menjadi lebih termotivasi dengan apa yang dikerjakan sebab pekerjaan atau tugas yang diberikan jelas tujuannya sehingga kinerja produktif karyawan pada akhirnya tentu akan menghasilkan kinerja perusahaan yang optimal sesuai dengan tujuan perusahaan tersebut. (Syahrul Riyadi et al., 2021) menyatakan bahwa Total Quality Management atau manajemen kualitas yang menyeluruh merupakan sebuah strategi dalam manajemen untuk meningkatkan nilai kesadaran suatu kualitas dalam proses suatu organisasi.
129 Organisasi Manajemen Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat di Tarik kesimpulan bahwa kegunaan dari TQM adalah membantu organisasi untuk meningkatkan output dan atau kinerja anggota organisasi menjadi berkualitas dan menjaga konsistensi kualitas anggota organisasi agar memiliki nilai kebermanfaatan yang dapat di berdayakan oleh organisasi. Tidak hanya pada aspek peningkatan namun juga aspek keberlangsungan dan aspek konsistensi agar keusangan kinerja dapat di minimalisir dengan sangat baik.
130 Organisasi Manajemen Etika dalam Manajemen Siti Nurhayati, M.M eorang perempuan muda mengeluh karena diperlakukan kurang adil oleh atasannya di pabrik. Bermula ketika ia meminta izin cuti selama 3 bulan karena hamil dan melahirkan, alih alih memperolehnya ia justru harus menelan kecewa karena hanya diberi jatah cuti selama satu bulan. Selain beban kerja yang sedang sangat tinggi di pabrik, alasan sang atasan, pekerjaannya tidak bisa dikerjakan sembarang orang dan hanya sedikit orang yang bisa melakukannya, salah satunya sang perempuan muda. Pada situasi kriris ekonomi yang sedang berlangsung, dengan cuti satu bulan saja perusahaan sudah cukup merugi, maka jika diberi cuti tiga bulan, justru akan mengancam keberlangsungan perusahaan, demikian analisis pimpinan pabrik. Pada akhirnya, perempuan S
131 Organisasi Manajemen muda itu mengundurkan diri dari pabrik dan memilih untuk fokus beristirahat selama beberapa bulan di rumah sebelum nantinya kembali mencari pekerjaan di tempat lain. Pengalaman perempuan muda itu menggambarkan bagaimana problem etis masih mengemuka di banyak perusahaan, khususnya yang bergerak di sektor non formal. Hak cuti hamil dan melahirkan selama tiga bulan, sesuai Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tak berlaku di lingkungan pabrik yang menuntut tingkat produktivitas tenaga kerja yang tinggi. Kebijakan mempertahankan sistem manajemen yang tak mengindahkan hak maternitas pekerja perempuan menjadi pilihan yang diambil para atasan pabrik. Mereka harus memilih, menerapkan kebijakan non populis dengan risiko ditinggalkan pekerja, atau mengikuti aturan yang berlaku namun terancam gulung tikar. Kasus ini menunjukkan betapa seorang pimpinan harus menghadapi beragam isu etika dalam kerjanya. Mereka harus mengambil keputusan yang sarat dengan muatan etis. Hal ini memunculkan tanya, seperti apa etika manajemen dipraktikkan dalam perusahaan, termasuk perusahaan non formal (pabrik), dan sejauh mana para pemimpin perusahaan atau manajer memahami etika manajemen sebagai standar kelayakan pengelolaan perusahaan? Bab ini berupaya mengurai dimensi etika dalam manajemen perusahaan. Seperti apa definisi etika manajemen dan bagaimana hal itu harus dipraktikkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan?
132 Organisasi Manajemen A. Definisi dan Implementasi S_][l[ _ncgifiac e[n[ ‚_nce[‛ \_l[m[f ^[lc \[b[m[ Yunani, terdiri dari dua kata: ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik. Etika sering dihubungkan dengan konsep moral, berasal dari kata latin, mores, bentuk jamak dari mos yang berarti adat istiadat atau kebiasaan watak, kelakuan, tabiat, dan cara hidup. Dalam bahasa Arab padanan kata etika yaitu akhlak, yang berarti budi pekerti. Sedangkan dalam bahasa Indonesia istilah yang digunakan adalah tata susila. Menukil Bertens (1993:4) etika berasal dari bahasa Yunani kuno, ethos, yang dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput; kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) kata ini berarti adat kebiasaan. Dengan definisi ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau kepada masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Etika adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya. Menurut Webster Dictionary, etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip yang
133 Organisasi Manajemen disistemisasi untuk menunjukkan tindakan moral yang benar. R.W. Griffin (2013: 90) mendefinisikan etika sebagai keyakinan pribadi seseorang mengenai apakah suatu perilaku, tindakan, atau keputusan benar atau salah. Definisi ini merujuk pada konteks individu, bahwa setiap manusia memiliki etika. Erat terkait dengan perilaku manusia, etika melekat pada setiap individu, memunculkan apa yang sering dikenal sebagai perilaku etis. Tentu saja perilaku etis bisa dipahami berbeda bagi setiap orang. Ketika seseorang melihat ada kartu ATM terjatuh di mall, sebagian orang percaya bahwa ia bisa menggunakannya untuk berbelanja, alih-alih menyerahkannya ke petugas penjaga mall. Perilaku etis yang diambil oleh mereka yang memanfaatkan kartu ATM yang bukan miliknya jelas salah, namun betapa banyak orang mengambil pilihan ini. Meski pun banyak juga yang mengambil pilihan untuk menyerahkankan kepada petugas mall agar dapat dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan kasus ini, apa yang dimaksud dengan perilaku etis ternyata berbedabeda antara satu orang dengan orang lainnya. Hal ini menegaskan bahwa perilaku etis mengacu pada perilaku yang sesuai dengan norma-norma sosial yang diterima secara umum. Merujuk Griffin (2013: 90), perilaku tidak etis adalah perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang berlaku umum. Suatu masyarakat umumnya mengadopsi hukum formal yang mencerminkan standar etika yang berlaku—norma sosial—warga negaranya.
134 Organisasi Manajemen Misalnya, karena kebanyakan orang menganggap pencurian sebagai tindakan yang tidak etis, undangundang telah disahkan untuk menjadikan perilaku tersebut ilegal dan menetapkan cara untuk menghukum mereka yang mencuri. Namun meskipun undang-undang berusaha untuk memperjelas dan tidak ambigu, penerapan dan penafsirannya masih menimbulkan ambiguitas etika. Misalnya, hampir semua orang akan setuju bahwa memaksa karyawan untuk bekerja dengan jam kerja berlebihan, terutama tanpa kompensasi tambahan, adalah tindakan yang tidak etis. Oleh karena itu, undang-undang telah ditetapkan untuk mendefinisikan standar kerja dan gaji. Namun penerapan undang-undang tersebut dalam lingkungan organisasi masih dapat menimbulkan situasi ambigu, yang dapat ditafsirkan dengan cara berbeda. Etika seseorang ditentukan oleh kombinasi beberapa faktor. Orang-orang mulai membentuk standar etika sejak kecil, sebagai respons terhadap persepsi mereka terhadap perilaku orang tua dan orang dewasa lainnya, serta sebagai respons terhadap perilaku yang boleh mereka pilih. Ketika anak-anak tumbuh dan memasuki sekolah, mereka juga dipengaruhi oleh teman-teman sebaya yang berinteraksi dengan mereka setiap hari. Puluhan peristiwa individu yang penting membentuk kehidupan masyarakat dan berkontribusi pada keyakinan dan perilaku etis mereka saat mereka tumbuh dewasa, saat mereka nantinya bergabung di dunia kerja. Faktor lain terkait nilai dan moral yang nyatanya juga berkontribusi terhadap standar etika, selain tentu saja
135 Organisasi Manajemen keyakinan agama. Misalnya, orang-orang yang menempatkan keuntungan finansial dan kemajuan pribadi di urutan teratas dalam daftar prioritas mereka akan menerapkan kode etik pribadi yang mendukung upaya mengejar kekayaan. Oleh karena itu, mereka mungkin kejam dalam upayanya mendapatkan imbalan tersebut, tanpa mempedulikan kerugian yang harus ditanggung orang lain. Sebaliknya, orang yang dengan jelas menetapkan keluarga dan teman sebagai prioritas utama akan mengadopsi standar etika yang berbeda. Hal ini yang menempatkan etika sebagai sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut karena ada alasan yang jelas atas tindakannya. Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Otonomi adalah sikap moral manusia dalam bertindak berdasarkan kesadarannya bahwa tindakan yang diambilnya itu baik. Suatu tindakan dinilai bermoral kalau sejalan atau didasarkan pada kesadaran pribadinya, tentu saja kesadaran itu bersumber dari nilai dan norma moral yang dianutnya, tetapi tindakan itu dilakukan bukan semata-mata karena perintah moral tersebut memaksanya dari luar dirinya. Sebaliknya, heteronomy adalah sikap manusia dalam bertindak dengan hanya sekedar mengikuti aturan moral
136 Organisasi Manajemen yang bersifat eksternal. Suatu tindakan dianggap baik hanya karena sesuai dengan aturan moral, disertai perasaan takut atau bersalah. Pada sikap heteronomy aturan moral bersifat eksternal. Pada sikap otonom, hukum atau aturan moral itu bersifat internal, karena sudah menjadi hukum moral dalam dirinya. Dalam arti tertentu dia sudah menciptakan hukum moral dalam dirinya. Dengan kata lain, orang yang otonom adalah orang bertindak berdasarkan hukum moral yang telah tertulis dalam batinnya (Sony Keraf, 2007: 15). Merujuk definisi di atas, dalam tulisan ini etika manajemen dipahami sebagai subjek yang menangani situasi-situasi yang dihadapi pimpinan perusahaan dalam kehidupan kerja yang sarat dengan etis. Dengan muatan etis, pimpinan perusahaan menentukan bagaimana ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan masalah yang muncul. Di satu sisi mereka diharuskan untuk mengambil keputusan sesuai kondisi yang ada, namun di sisi lain mereka akan menghadapi beragam konsekuensi dari pilihannya. Apakah keputusannya benar atau salah, adil atau tidak adil, mereka tetap harus memilih dengan tegas. Apapun keputusan yang diambil akan sangat menentukan bagaimana nasib perusahaan. Dalam hal ini, mereka harus menghadapi konsekuensi dari apa yang dipilihnya, dan sangat mungkin mereka harus bergumul dengan problem etis. Dengan mempertimbangkan berbagai faktor seorang pimpinan akan mengambil pilihan, apakah ingin mempertahankan legitimasi mereka sebagai penjaga laju roda perusahaan, atau menjadi pimpinan yang bertindak
137 Organisasi Manajemen berlandaskan prinsip moral, sesuai dengan harapan pemangku kepentingan dan masyarakat. Etika manajemen sangat terkaitr dengan dimensi perlakuan etis terhadap karyawan, pemilik dan masyarakat oleh suatu perusahaan. Etika dan perilaku etis adalah bagian penting dari manajemen dan perilaku yang etis merupakan bagian integral dari kesuksesan karier jangka panjang perusahaan. Beberapa pertanyaan kerap muncul dalam dunia bisnis: apakah bisnis benar-benar etis? Bagaimana cara meyakinkan bahwa bertindak secara etis tidak akan merusak keuntungan perusahaan? Bisakah dengan tetap menjaga etika sebuah perusahaan memperoleh keuntungan nyata? Atas semua pertanyaan itu, Rushworth Kidder, pendiri Institute for Global Ethics, sebuah organisasi nirlaba independen yang bekerja di bidang pendidikan, perusahaan, dan publik untuk memajukan tindakan etis di seluruh dunia menegaskan, bisa. Kidder (1997:7-9) mengurai beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pimpinan perusahaan, utamanya manajer, agar tetap bersikap dan berprilaku berdasarkan standar etik. 1. Nilai-nilai bersama membangun kepercayaan. Menjaga kepercayaan berdasarkan nilai-nilai bersama menjadi kunci keberlangsungan perusahaan. Dalam hal ini nilai-nilai perlu dijaga. Ketika invidu atau kelompok memiliki nilai-nilai serupa yang dianut bersama, kepercayaan akan muncul dan berkembang menjadi kekuatan. Hal ini tentu saja akan berpengaruh pada kokohnya perusahaan atau lembaga yang menjadi tempat mereka tumbuh
138 Organisasi Manajemen berkembang bersama. Perusahaan mana pun akan mendapat manfaat dari tingginya tingkat kepercayaan antarkaryawan. Kepercayaan itu menghasilkan keputusan yang lebih cepat, hemat waktu, hemat biaya, dan pada gilirannya mendatangkan keuntungan. Namun demikian hal yang juga penting dijaga adalah kualitas keputusan. Dalam perusahaan yang mempunyai seperangkat nilai yang sama, para manajer lebih cenderung bereaksi dengan cara yang sama. Dengan kata lain, perusahaan yang memiliki nilai bersama mencerminkan konsistensi. Sebaliknya, perusahaan yang tidak memiliki konsistensi cenderung akan menghadapi tantangan, utamanya terkait melemahnya tingkat kepercayaan, munculnya kecurigaan, rasa iri, dan fitnah. 2. Konsistensi mengarah pada prediktabilitas dalam perencanaan. Perusahaan yang memiliki nilai bersama lebih mampu melakukan perencanaan strategis yang serius—dan memiliki kepastian bahwa rencana tersebut akan terlaksana. Semakin jelas pengertian prediktabilitas berdasarkan nilai-nilai bersama, semakin jelas pula kemampuan para eksekutif untuk menyiapkan perkiraan yang akurat dan menerapkan strategi berdasarkan nilai-nilai tersebut—terutama di seluruh kumpulan unit bisnis yang tersebar luas yang membentuk perusahaan multinasional modern. Tanpa adanya prediktabilitas seperti itu, keyakinan apa yang ada bahwa manajemen puncak tidak akan
139 Organisasi Manajemen tiba-tiba mengubah kebijakan dan mengabaikan pemikiran yang matang selama berbulan-bulan? 3. Prediktabilitas sangat penting untuk manajemen krisis. Memiliki ekspektasi yang sama dalam pengambilan keputusan, perusahaan yang memiliki nilai bersama dapat bereaksi lebih cepat terhadap situasi krisis dan keadaan darurat yang tiba-tiba. Mereka dapat merespons dengan cepat, tanpa menunda setiap gerakan saat diperiksa kembali oleh kantor pusat. Jika nilai-nilai tersebut cukup eksplisit, para manajer akan percaya pada tindakan yang benar dan bukannya diam saja—dan akan tahu bahwa mereka akan dihargai jika melakukan hal tersebut. Sebaliknya, para manajer di perusahaan yang nilainilainya tidak jelas atau tidak ada, sering kali mendapat pelajaran keras bahwa, pada saat krisis, tidak ada perbuatan baik yang luput dari hukuman. 4. Keyakinan akan imbalan membangun loyalitas. Budaya nilai-nilai bersama menciptakan dasar bagi struktur manajemen yang merata, memberikan peningkatan otonomi kepada para manajer di lapangan. Perusahaan yang memiliki nilai-nilai bersama dapat memberikan kekuatan yang lebih besar kepada lebih banyak orang, sehingga meningkatkan laju bisnis, kesetiaan dan komitmen pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan, dan kemungkinan untuk mengembangkan pemimpin masa depan yang unggul dalam jajaran perusahaan itu sendiri. Ketika perusahaan menjadi
140 Organisasi Manajemen semakin global, terdapat manfaat yang jelas untuk mempromosikan para pimpinan eksekutif ke dunia bisnis yang lebih luas. Praktik seperti ini akan berhasil jika nilai-nilai yang dipegang dan dipraktikkan para pimpinan eksekutif selaras dengan nilai-nilai di kantor tempat mereka berkiprah, dan nilai-nilai itu dianut secara luas. 5. Perusahaan sama baiknya dengan orang-orangnya. Setiap perusahaan tercermin dari para pekerjannya. Mereka yang aktif menjalankan perusahaan, dan di tangan mereka lah arah perusahaan ditentukan. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, karyawan yang baik selalu berkomitmen untuk beradaptasi dengan budaya perusahaan, tanpa ada pembedaan. Dengan menghilangkan sekat-sekat antarkaryawan, perusahaan mana pun berpeluang membangun basis individu-individu yang cerdas, penuh semangat, lancar bicara, dan pekerja keras. Dalam hal ini moral menjadi pedoman bersama, membentuk karakter setiap karyawan yang berikhtiar menjaga nilai-nilai inti: kejujuran, tanggung jawab, rasa hormat, keadilan, dan kasih sayang. 6. Konsumen peduli dengan nilai-nilai. Perusahaan yang bergerak dengan nilai-nilai bersama tidak melihat perbedaan antara nilai-nilainya sendiri dan nilai-nilai pelanggannya. Jika saat ini semakin banyak pelanggan yang meminta pertanggungjawaban perusahaan atas produk dan layanan mereka, tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Hal itu merupakan resiko dalam menjaga kepercayaan