39 risiko melibatkan pengembangan strategi dan tindakan untuk mengatasi risiko yang telah diidentifikasi sebelumnya. Berikut adalah beberapa langkah yang umumnya terlibat dalam mitigasi risiko: a. Pengembangan Rencana Mitigasi Merancang rencana mitigasi yang rinci untuk setiap risiko yang diidentifikasi. Rencana ini harus mencakup langkah-langkah konkret yang akan diambil jika risiko tersebut terjadi. b. Penetapan Prioritas Risiko Menetapkan prioritas risiko berdasarkan tingkat keparahan dan dampaknya terhadap tujuan organisasi. Fokus pada risiko-risiko yang memiliki dampak besar dan kemungkinan tinggi. c. Penggunaan Teknik Pengurangan Risiko Menerapkan teknik pengurangan risiko untuk mengurangi probabilitas atau dampak risiko. Ini bisa melibatkan perubahan proses, penggunaan alat atau teknologi baru, atau perbaikan infrastruktur. d. Diversifikasi Menerapkan diversifikasi untuk mengurangi risiko yang terkait dengan ketergantungan pada satu sumber atau satu strategi. Ini dapat mencakup diversifikasi portofolio proyek atau bisnis. e. Asuransi dan Hedging Menggunakan asuransi atau teknik lindung nilai (hedging) untuk melindungi organisasi dari dampak keuangan risiko tertentu, seperti risiko keuangan atau risiko pasar.
40 f. Pengembangan Pemulihan Keadaan Darurat Menyiapkan rencana pemulihan keadaan darurat untuk menghadapi risiko-risiko yang sulit dihindari. Ini mencakup persiapan untuk mengurangi waktu pemulihan dan meminimalkan kerugian. g. Pelibatan Pihak Terkait Melibatkan pihak terkait dalam proses mitigasi risiko untuk mendapatkan dukungan, ide, dan pengetahuan tambahan yang dapat membantu mengurangi risiko. h. Pemantauan Kontinu Melakukan pemantauan kontinu terhadap risikorisiko yang telah diidentifikasi untuk memastikan bahwa strategi mitigasi masih relevan dan efektif seiring waktu. i. Rencana Alternatif Mengembangkan rencana alternatif atau "Plan B" untuk menghadapi risiko-risiko yang tidak dapat sepenuhnya dihindari atau dikurangi. j. Evaluasi dan Penyesuaian Secara berkala mengevaluasi efektivitas strategi mitigasi dan, jika diperlukan, menyesuaikan rencana mitigasi sesuai dengan perubahan kondisi atau lingkungan. Melalui mitigasi risiko yang efektif, organisasi dapat meningkatkan kemungkinan kesuksesan proyek atau operasional, mengurangi potensi kerugian, dan memperkuat daya tahan mereka terhadap perubahan atau ketidakpastian
41 Jumlah pengusaha Mikro, Kecil dan Menengah sangat besar dan mendominasi kegiatan usaha di Indonesia. Menurut data statistik BPS (2020), jumlah segmen usaha yang meliputi usaha segmen Mikro Kecil, Menengah (UMKM) dan pengusaha Besar adalah 65,5 juta orang. Dan dari jumlah tersebut 64,9 juta pengusaha tergolong segmen UMKM (99,16%) dan sisanya 5,5 ribu pengusaha tergolong sebagai pengusaha besar (0,084%). Bisnis UMKM juga berkontribusi besar bagi pertumbuhan eknomi nasional. Bisnis UMKM berkontribuksi hingga Rp8.573,9 triliun ke perekonomian Indonesia, angka ini lebih tinggi dari kontribusi usaha besar yang sebanyak Rp5,464,7 triliun (Kementerian Koperasi dan UKM, 2019). Pengusaha UMKM memberi kontribusi mencapai 60,34% terhadap nilai barang dan jasa akhir bagi negara sebagai sumber Pendapatan Domestik Bruto (PDB Nasional) dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja produktif. Mengingat besarnya kontribusi UMKM bagi perekonomian negara, manajemen risiko bisnis menjadi sangat penting untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) karena sejumlah alasan yang mencerminkan tantangan dan karakteristik khas yang dihadapi oleh sektor ini. Manajemen risiko sangat penting bagi usaha kecil dan menengah (UKM) karena sumber daya yang terbatas dan ketahanan yang lebih rendah terhadap guncangan ekonomi atau kejadian tak terduga dibandingkan dengan perusahaan besar. Pertama, UMKM seringkali memiliki sumber daya yang terbatas, termasuk modal, tenaga kerja, dan infrastruktur, sehingga rentan terhadap dampak risiko eksternal yang dapat mengancam kelangsungan operasional mereka.
42 Kedua, UMKM cenderung beroperasi di pasar yang dinamis dan berfluktuasi, di mana risiko seperti perubahan kebijakan pemerintah, fluktuasi mata uang, atau perubahan tren konsumen dapat memberikan dampak signifikan terhadap kinerja bisnis. Manajemen risiko membantu UMKM untuk mengidentifikasi, mengukur, dan merespons dengan cepat terhadap risiko-risiko ini, meminimalkan potensi kerugian dan memaksimalkan peluang. Selain itu, UMKM seringkali memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemilik usaha atau pemangku kepentingan kunci lainnya. Manajemen risiko dapat membantu dalam mengurangi dampak dari risiko-risiko yang terkait dengan kesehatan atau keberlanjutan pemilik usaha, sehingga melindungi kelangsungan bisnis. Manajemen risiko juga memberikan UMKM landasan yang kuat untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak keuangan, investor, dan mitra bisnis potensial. Dengan memiliki proses manajemen risiko yang baik, UMKM dapat menunjukkan bahwa mereka dapat mengelola tantangan dan ketidakpastian dengan cara yang terstruktur dan profesional. Selanjutnya, manajemen risiko membantu UMKM dalam merencanakan dan mengelola sumber daya keuangan mereka dengan lebih efisien. Ini mencakup pengelolaan utang, perencanaan kas, dan perlindungan aset melalui asuransi, sehingga mengurangi risiko finansial yang dapat membahayakan kelangsungan bisnis. Dengan kata lain, manajemen risiko bisnis memberikan UMKM kerangka kerja yang kokoh untuk menghadapi ketidakpastian, melindungi nilai bisnis, dan menciptakan dasar yang kuat untuk pertumbuhan jangka panjang. Ini memberikan keunggulan kompetitif dan memberdayakan
43 UMKM untuk bersaing di pasar yang seringkali penuh dengan perubahan dan tantangan. Manajemen risiko untuk UKM bukan hanya tentang menghindari kerugian atau kegagalan; itu tentang menciptakan stabilitas, membangun kepercayaan, dan mengaktifkan pertumbuhan berkelanjutan. Dengan mengelola risiko secara proaktif, UKM dapat memposisikan diri mereka untuk memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan dengan ketahanan dan kepercayaan diri yang lebih besar. Dalam rangka mengelola risiko dengan baik, UMKM harus memahami bahwa risiko adalah bagian integral dari berbisnis. Dengan mengenali, mengevaluasi, dan mengelola risiko dengan bijak, bisnis UMKM dapat meningkatkan peluang kesuksesan dan pertumbuhan jangka panjang. Menurut (Iriantini dan Purnomo, 2023), mengingat kompleksitas usaha bisnis UMKM relatif tidak terlalu kompleks, maka ada beberapa aspek tambahan yang perlu dipertimbangkan dan harus difahami ketika kita membahas risiko dalam konteks bisnis UMKM: 1. Jenis Risiko yang Beragam: a. Risiko Finansial: Ini mencakup risiko seperti fluktuasi mata uang, perubahan suku bunga, dan kerugian investasi. UMKM sering kali memiliki keterbatasan sumber daya keuangan, sehingga risiko finansial dapat menjadi kritis. b. Risiko Operasional: Terkait dengan proses internal bisnis seperti manajemen rantai pasokan, produksi, atau kegagalan peralatan. Kegagalan dalam operasional dapat mengganggu kelangsungan bisnis. c. Risiko Pasar: Bisnis UMKM dapat terpengaruh oleh perubahan tren pasar, perubahan permintaan
44 konsumen, atau kompetisi. Mengidentifikasi dan mengatasi risiko ini adalah penting untuk pertumbuhan. d. Risiko Hukum dan Regulasi: Bisnis UMKM harus mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku, seperti pajak dan perizinan. Pelanggaran dapat berdampak serius pada bisnis. e. Risiko Reputasi: Terkait dengan citra bisnis di mata pelanggan, mitra, dan pemangku kepentingan lainnya. Kehilangan reputasi bisa sulit dipulihkan 2. Evaluasi Risiko: a. Mengidentifikasi risiko adalah langkah awal, tetapi penting untuk mengevaluasi dan mengukur risiko secara lebih rinci. Ini melibatkan penilaian seberapa besar potensi kerugian atau manfaat dari suatu risiko, seberapa sering risiko tersebut mungkin terjadi, dan bagaimana dampaknya pada tujuan bisnis. b. UMKM harus menggunakan alat dan metode analisis risiko untuk membantu dalam proses evaluasi ini, seperti analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) atau analisis PESTEL (Political, Economic, Social, Technological, Environmental, Legal). 3. Manajemen Risiko: a. Bisnis UMKM harus mengembangkan strategi manajemen risiko yang efektif. Ini mencakup identifikasi cara untuk mengurangi risiko, mentransfer risiko (misalnya, dengan asuransi), dan mengelola risiko yang tidak dapat dihindari;
45 b. Perencanaan kontinjensi juga penting. Ini adalah rencana tindakan yang harus diambil jika risiko terjadi. 4. Risiko sebagai peluang; c. Risiko tidak selalu berarti kerugian; dalam banyak kasus, risiko dapat menjadi peluang. Sebagai contoh, bisnis yang cerdas dapat menggunakan risiko pasar untuk pertumbuhan dan inovasi; d. UMKM harus berpikir kreatif dan berani dalam menghadapi risiko untuk menciptakan nilai tambah bagi bisnis mereka Selain dikelompokkan berdasarkan tipe, risiko bagi bisnis UMKM juga dapat dikelompokkan menjadi risiko keuangan dan risiko non-keuangan. 1. Risiko Keuangan, berdasarkan penyebab terjadinya risiko, risiko keuangan bagi usaha UMKM terdiri dari empat jenis risiko, yaitu: a. Risiko pasar, risiko ini muncul akibat perubahan harga pasar aset yang diperdagangkan, seperti persediaan barang. Termasuk juga risiko persaingan harga dengan semakin banyaknya pesaing pada jenis usaha UMKM yang sama. Perubahan harga pasar dapat menyebabkan pendapatan UMKM menjadi tidak stabil, terutama jika mereka menjual produk atau layanan yang sensitif terhadap harga pasar. UMKM mungkin kesulitan mempertahankan harga yang kompetitif jika mereka tidak dapat menyerap atau mengelola fluktuasi harga seperti yang dilakukan perusahaan yang lebih besar. Risiko pasar dapat menyebabkan pelaku UMKM akan kehilangan pelanggan. Konsumen mungkin beralih ke pesaing atau produk pengganti jika harga produk UMKM
46 menjadi terlalu tinggi atau kualitas terpengaruh oleh pengurangan biaya. b. Risiko kredit, risiko kerugian keuangan akibat pelanggan gagal membayar utang. Pengusaha UMKM memiliki risiko kredit yang tinggi bilamana tidak memiliki memampuan manajemen keuangan yang baik. Ketika konsumen gagal membayar, pendapatan yang seharusnya diterima oleh UMKM menjadi tidak terealisasi, mengurangi aliran kas yang tersedia untuk operasi sehari-hari. Pengusaha UMKM mungkin harus menghabiskan waktu dan sumber daya tambahan untuk mengejar pembayaran yang tertunda, termasuk biaya hukum atau menggunakan jasa penagihan. Selanjutnya kegagalan pembayaran mengganggu aliran kas yang dapat diandalkan, membuat sulit bagi UMKM untuk mengelola dan merencanakan pengeluaran operasional, investasi, atau ekspansi bisnis. c. Risiko operasional, yaitu potensi kerugian finansial yang berasal dari kegagalan dalam operasi bisnis UMKM, misalnya kesalahan oleh staf dalam menghitung jumlah bahan baku yang dibutuhkan. Kesalahan operasional, seperti kesalahan perhitungan bahan baku atau kegagalan peralatan, dapat mengakibatkan biaya tambahan yang signifikan, seperti pembelian mendadak atau perbaikan. Selain itu gangguan operasional bisa menyebabkan penundaan produksi atau penyampaian layanan, mengakibatkan hilangnya penjualan dan pendapatan. d. Risiko reputasi, risiko kerugian keuangan akibat turunnya reputasi atau nama baik perusahaan,
47 seperti menurunnya kualitas produk atau produk yang diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan atau juga dampak akibat menurunnya tingkat layanan kepada pelanggan. Pelanggan yang kecewa dengan penurunan kualitas produk atau layanan mungkin tidak kembali dan juga mungkin menceritakan pengalaman negatif mereka kepada orang lain. Selanjutnya reputasi buruk akan membuat sulit untuk menarik pelanggan baru, terutama dalam era media sosial di mana ulasan negatif dapat menyebar dengan cepat. Mengelola dan melindungi reputasi adalah kunci untuk kesuksesan jangka panjang UMKM. Ini melibatkan memastikan kualitas produk dan layanan yang konsisten, berkomunikasi secara efektif dengan pelanggan, menanggapi masalah atau keluhan dengan cepat dan tepat, serta membangun dan memelihara hubungan baik dengan semua pemangku kepentingan. Dengan demikian, strategi manajemen reputasi yang proaktif dan efektif adalah investasi penting bagi UMKM untuk menjaga kepercayaan dan loyalitas pelanggan, serta memastikan pertumbuhan dan keberlanjutan jangka panjang. 2. Risiko non-Keuangan Risiko non-Keuangan ini dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu: a. Perspektif mikro, yakni risiko yang timbul karena ketidakpastian yang terjadi pada internal perusahaan, seperti faktor manusia, proses, kejadian, sistem dan teknologi. Risiko internal yang muncul karena ketidakpastian dalam faktor manusia, proses,
48 kejadian, sistem, dan teknologi sangat relevan bagi pengusaha UMKM. Risiko ini dapat mempengaruhi berbagai aspek operasional dan strategis bisnis. Proses yang tidak efisien dapat mengakibatkan pemborosan sumber daya, waktu, dan uang, serta menurunkan produktivitas dan kualitas output. Termasuk juga di dalamnya kegagalan dalam mengikuti atau memperbarui prosedur, seperti kontrol keuangan atau prosedur keselamatan, dapat menyebabkan kerugian, kecelakaan, atau pelanggaran hukum. Ketidakmampuan untuk memperbaharui atau mengadopsi teknologi baru dapat membuat UMKM tertinggal dalam persaingan, mengurangi efisiensi, atau meningkatkan kerentanan terhadap risiko keamanan b. Perspektif makro, yakni risiko yang timbul karena ketidakpastian yang datang dari eksternal, seperti kebijakan pemerintah, industri, lingkungan bisnis domestik, sosial dan lingkungan bisnis internasional. Perubahan dalam perpajakan, regulasi industri, atau kebijakan perdagangan dapat mempengaruhi biaya operasional, margin keuntungan, dan akses pasar bagi UMKM. Misalnya, peningkatan pajak atau regulasi yang lebih ketat dapat menambah beban biaya operasional. Perubahan dalam persyaratan lisensi atau standar kualitas dan keselamatan dapat memerlukan investasi tambahan dalam proses atau peralatan, mempengaruhi kemampuan UMKM untuk bersaing atau beroperasi secara efisien. Dengan demikian ketidakpastian mengenai perubahan kebijakan atau interpretasi hukum dapat
49 menyulitkan UMKM dalam merencanakan masa depan dan membuat keputusan investasi. Anna, mahasiswa kuliner berbakat, mengambil langkah berani dengan membuka usaha katering mikro setelah mendapatkan permintaan yang besar dari teman-temannya. Dengan menawarkan hidangan khas dan kreatif untuk acara kecil dan pertemuan bisnis, usahanya mulai memperoleh perhatian dan menerima pesanan secara teratur. Namun, dalam menjalankan operasionalnya, Anna dengan cermat mengidentifikasi beberapa risiko potensial. Ketergantungan pada pasokan bahan baku menjadi salah satu risiko utama, terutama karena Anna memiliki sedikit pemasok, membuatnya rentan terhadap keterlambatan atau ketidaktersediaan bahan. Sementara itu, fluktuasi harga bahan baku dapat memengaruhi margin keuntungan dan stabilitas keuangan usaha katering. Selain itu, sebagai satu-satunya koki dan pelaksana, risiko terkait kesehatan dan keberlanjutan Anna juga menjadi perhatian, di mana sakit atau kelelahan berkepanjangan dapat mempengaruhi kapasitas produksi dan pengiriman pesanan. Terakhir, Anna menyadari bahwa konsistensi dalam kualitas layanan dan reputasi sangat
50 penting untuk mempertahankan pelanggan dan memperoleh referensi positif. Dalam menghadapi tantangan ini, Anna perlu merancang strategi manajemen risiko yang efektif untuk meminimalkan dampak negatif dan membangun dasar yang kokoh bagi kesuksesan jangka panjang usaha katering mikronya (Fraser et al., 2021). 1. Bagaimana Anna dapat mengidentifikasi dan menerapkan tindakan mitigasi untuk mengatasi risiko ketergantungan pada pasokan bahan baku? 2. Sebagai pemilik usaha katering, bagaimana Anna dapat mengembangkan strategi manajemen harga untuk mengatasi fluktuasi harga bahan baku dan menjaga keuntungan? 3. Bagaimana Anna dapat mengembangkan rencana kontinuitas bisnis untuk mengatasi risiko yang terkait dengan kesehatan dan keberlanjutan pemilik usaha? 4. Apa langkah-langkah yang dapat diambil oleh Anna untuk memantau dan mengevaluasi kualitas layanan secara terus-menerus agar dapat menjaga dan meningkatkan reputasi bisnisnya? 5. Bagaimana Anna dapat membangun dan menjaga hubungan yang baik dengan pemasok untuk meminimalkan risiko terkait pasokan bahan baku? 6. Apakah Anna perlu mempertimbangkan diversifikasi produk atau layanan untuk mengurangi risiko terkait ketergantungan pada jenis hidangan tertentu?
51 7. Bagaimana Anna dapat memanfaatkan asuransi bisnis untuk melindungi usahanya dari risiko keuangan dan operasional?
52 Dalam eksplorasi Tingkat Kesehatan Bank, kita akan mengeksplorasi prinsip umum yang menjadi landasan dalam menilai tingkat kesehatan bank. Kita akan mendapatkan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor kunci yang memengaruhi stabilitas dan performa keuangan bank. Selanjutnya, kita akan menguasai penilaian tingkat kesehatan bank dengan mempertimbangkan berbagai indikator dan metrik. Proses ini mencakup analisis laporan keuangan, rasio
53 keuangan, dan faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi kestabilan bank. Tata cara penilaian tingkat kesehatan menjadi fokus berikutnya, di mana mahasiswa akan memahami metode yang digunakan dalam evaluasi kondisi keuangan dan operasional bank. Mereka akan diajarkan penggunaan alat analisis, teknik evaluasi risiko, dan pendekatan sistematik untuk menilai kesehatan bank secara menyeluruh. Dalam konteks penyusunan kerangka laporan tingkat kesehatan, kita akan dapat menyajikan hasil penilaian dengan jelas dan transparan. Proses ini melibatkan kemampuan untuk mengomunikasikan temuan secara efektif kepada pemangku kepentingan. Terakhir, melalui studi kasus dan evaluasi, kita akan menerapkan konsep-konsep tersebut dalam situasi nyata, memberikan mereka pengalaman praktis dalam menilai dan memahami tingkat kesehatan bank. Dengan demikian, tujuan pembelajaran ini mempersiapkan kita untuk terlibat dalam praktik-praktik perbankan dan keuangan dengan landasan yang kokoh. Prinsip-prinsip dalam penilaian Tingkat Kesehatan Bank (TKB) sangat penting karena mereka memberikan dasar yang konsisten dan terstruktur bagi otoritas pengawas dalam melakukan evaluasi terhadap kondisi kesehatan bank. Prinsip-prinsip ini memastikan bahwa penilaian dilakukan dengan standar yang sama untuk semua bank, memungkinkan perbandingan yang adil dan obyektif di seluruh sektor perbankan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip tersebut memandu analisis menyeluruh, membantu mengidentifikasi hubungan antar
54 faktor yang mempengaruhi kesehatan bank, dan memastikan pemahaman yang lebih baik terhadap risiko yang dihadapi. Dengan demikian, prinsip-prinsip ini tidak hanya menciptakan kerangka kerja yang terpadu, tetapi juga mendukung pengambilan keputusan yang informasional dan tepat dalam menjaga stabilitas sektor perbankan (Nurafini, 2022). Pokok-pokok pengaturan tingkat kesehatan bank diuraikan dalam POJK No. 4 /POJK.03/2016 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dan sesuai SE OJK No. 14/SEOJK.03/2017. Beberapa prinsip yang harus diindahkan dalam penilaian Tingkat Kesehatan Bank (TKB), sesuai ketentuan regulator adalah: 1. Berorientasi Risiko dan Forward Looking a. Berorientasi Risiko Penilaian TKB harus mempertimbangkan dampak aktivitas bank secara menyeluruh, baik itu risiko internal maupun eksternal. Ini berarti bahwa tidak hanya aspek keuangan yang dinilai, tetapi juga risiko operasional, risiko pasar, dan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kesehatan bank. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank didasarkan pada Risiko Bank dan dampak yang ditimbulkan pada kinerja Bank secara keseluruhan. b. Forward Looking Penilaian harus bersifat proaktif dan mempertimbangkan keberlanjutan di masa depan. Ini mencakup analisis terhadap kemampuan bank untuk mengatasi tantangan yang mungkin muncul dan menjaga kesehatannya dalam jangka waktu yang lebih panjang. Hal ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi faktor
55 internal dan eksternal yang dapat meningkatkan Risiko atau memengaruhi kinerja keuangan Bank pada saat ini dan pada masa datang. Dengan demikian, Bank diharapkan mampu mendeteksi secara lebih dini akar permasalahan Bank serta mengambil langkah-langkah pencegahan dan perbaikan secara efektif dan efisien 2. Proporsionalitas Penilaian harus memperhitungkan kompleksitas usaha bank. Ini berarti bahwa indikator tingkat kesehatan bank harus disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas operasional bank tersebut. Pendekatan yang proporsional memastikan bahwa penilaian tidak hanya berdasarkan ukuran mutlak, tetapi juga sebanding dengan tingkat kompleksitas risiko yang dihadapi oleh bank. 3. Materialitas dan Signifikansi a. Materialitas Faktor-faktor yang signifikan terkait dengan kesehatan bank, seperti profil risiko, tata kelola, dan permodalan, perlu diperhatikan. Materialitas mencerminkan pentingnya suatu faktor dalam pengambilan keputusan dan penilaian risiko bank. b. Signifikansi Bank perlu menilai bobot signifikansi setiap faktor terkait dengan kesehatan bank. Ini mencakup identifikasi dan penilaian terhadap faktor-faktor yang memiliki dampak besar terhadap keberlanjutan dan stabilitas bank.
56 4. Komprehensif dan Terstruktur Penilaian dilakukan secara menyeluruh, sistematis, dan terfokus pada permasalahan utama bank. Ini mencakup evaluasi terhadap semua aspek kesehatan bank, seperti risiko kredit, risiko operasional, manajemen likuiditas, dan lainnya. Pendekatan terstruktur memastikan bahwa penilaian dilakukan secara metodis dan dapat memberikan pandangan yang lengkap terkait dengan kondisi bank. Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, otoritas pengawas dan lembaga regulasi dapat melakukan penilaian yang holistik dan efektif terhadap kesehatan bank, sehingga dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas sektor perbankan. Kesehatan bank adalah alat penting bagi otoritas pengawasan bank atau OJK (Otoritas Jasa Keuangan) untuk menentukan strategi dan area pengawasan terhadap bank. Kompleksitas kegiatan usaha dan profil risiko yang terus berubah, baik yang berasal dari bank itu sendiri atau dari anak perusahaannya, serta perubahan dalam metodologi penilaian kondisi bank yang diakui secara internasional, mempengaruhi cara menilai kesehatan bank. Untuk meningkatkan efektivitas evaluasi kesehatan bank dan mengatasi perubahan tersebut, diperlukan pendekatan penilaian berbasis risiko. Selain itu, evaluasi kesehatan bank harus diadaptasi untuk memenuhi standar pengawasan konsolidasi. Sesuai SE OJK No. 14/SEOJK.03/2017, penilaian tingkat kesehatan bank di indonesia menjadi sangat penting dengan
57 mempertimbangkan beberapa aspek dan kejadian terkait terjadinya krisi keuangan global beberapa tahun terakhir memberi pelajaran berharga bahwa inovasi dalam produk dan aktivitas perbankan yang tidak diimbangi dengan penerapan Manajemen Risiko yang memadai dapat menimbulkan berbagai permasalahan mendasar pada Bank maupun terhadap sistem keuangan secara keseluruhan. Berdasarkan pengalaman dari krisis keuangan global tersebut, Bank perlu meningkatkan efektivitas penerapan Manajemen Risiko dan Tata Kelola. Peningkatan efektivitas penerapan Manajemen Risiko dan Tata Kelola bertujuan agar Bank mampu mengidentifikasi permasalahan secara lebih dini, melakukan tindak lanjut perbaikan yang sesuai dan lebih cepat, serta menerapkan Tata Kelola dan Manajemen Risiko yang lebih baik sehingga Bank lebih tahan dalam menghadapi krisis. Tingkat Kesehatan Bank, pengelolaan Bank, dan kelangsungan usaha Bank merupakan tanggung jawab penuh dari manajemen Bank. Oleh karena itu, Bank memelihara dan memperbaiki Tingkat Kesehatan Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan Manajemen Risiko dalam melaksanakan kegiatan usaha, termasuk melakukan penilaian sendiri (self-assessment) secara berkala terhadap Tingkat Kesehatan Bank dan mengambil langkah perbaikan secara efektif. Di lain pihak, Otoritas Jasa Keuangan mengevaluasi, menilai Tingkat Kesehatan Bank, dan melakukan tindakan pengawasan yang diperlukan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan Tingkat kesehatan bank merupakan hasil penilaian atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank. Penilaian terhadap faktor-faktor tersebut
58 dilakukan melalui penilaian secara kuantitatif dan/atau kualitatif setelah mempertimbangkan unsur judgment yang didasarkan atas materialitas dari faktor-faktor penilaian, serta pengaruh dari faktor lain seperti kondisi perbankan dan perekonomian. Pengukuran tingkat kesehatan bank (TKB) dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap empat faktor, yaitu: 1. Profil risiko (risk profile); 2. Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) 3. Penilaian kemampuan berlaba (rentabilities/earnings) 4. Penilaian permodalan (capital) Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan Bank ditetapkan berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap faktor dan dengan memperhatikan prinsip umum penilaian Tingkat Kesehatan Bank. Dalam melakukan analisis secara komprehensif, Bank perlu mempertimbangkan kemampuan dalam menghadapi perubahan kondisi eksternal yang signifikan. Penetapan Peringkat Komposit dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat Komposit yakni 1. Peringkat Komposit 1 (PK-1), 2. Peringkat Komposit 2 (PK-2), 3. Peringkat Komposit 3 (PK-3) 4. Peringkat Komposit 4 (PK-4), dan 5. Peringkat Komposit 5 (PK-5). Urutan Peringkat Komposit yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih sehat.
59 Komponen yang diperhitungkan dalam penilaian tingkat kesehatan bank dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Faktor Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Tata cara penilaian Tingkat Kesehatan Bank (TKB) melibatkan serangkaian langkah yang sistematik untuk mengumpulkan data, menganalisis informasi, dan mengevaluasi kondisi kesehatan suatu bank. Berikut adalah langkah-langkah umum dalam tata cara penilaian Tingkat Kesehatan Bank (TKB): 1. Penilaian Faktor Profil Risiko Penilaian faktor profil risiko merupakan penilaian terhadap Risiko inheren dan kualitas penerapan Manajemen Risiko dalam aktivitas operasional Bank. Risiko yang wajib dinilai adalah risiko yang melekat pada operasional suatu bank. Proses penyusunan profil risiko dilakukan dengann melakukan penilaian terhadap risiko inheren dan KPMR. Alur penilaian profil risiko suatu bank dapat dilihat pada Gambar 12.
60 Gambar 12. Proses Penyusunan Profil Risiko Risiko inheren merupakan risiko yang melekat pada kegiatan bisnis bank sebelum dilakukan upaya kontrol terhadap risiko, baik yang dapat dikuantifikasikan maupun yang tidak, yang berpotensi memengaruhi posisi keuangan bank. Sesuai dengan POJK, terdapat 8 (delapan) jenis risiko inheren yang wajib dinilai bagi Bank Umum Konvensional (BUK) yaitu Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, Risiko Operasional, Risiko Hukum, Risiko Reputasi, Risiko Stratejik, dan Risiko Kepatuhan. Sedangkan bagi Bank Umum Syariah, terdapat 10 (sepuluh) risiko inheren yang wajib dinilai, yaitu 8 risiko sama seperti risiko BUK ditambah dengan 2 (dua) risiko khusus Bank Umum Syariah, yaitu: (i) risiko imbal hasil (rate of return risk); dan (ii) risiko investasi (investment equity risk). Selanjutnya bagi bank yang termasuk kategori bank konglomerasi keuangan, terdapat 10 (sepuluh) risiko inheren yang wajib dinilai, yaitu 8 risiko sama seperti risiko BUK ditambah dengan 2 (dua) risiko khusus yaitu (i) risiko asuransi; dan (ii) risiko transaksi intra grup.
61 Penilaian kualitas penerapan manajemen risiko (KPMR) terhadap 8 risiko BUK, 10 risiko BUS dan 10 risiko bank konglomerasi keuangan merupakan penilaian terhadap aspek: a. Tata kelola risiko (risk governance) b. Kerangka manajemen risiko (risk framework) c. Proses manajemen risiko (risk management process), kecukupan SDM, dan kecukupan sistem informasi manajemen; dan d. Kecukupan sistem pengendalian internal (internal control system) dengan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas bank Dari penilaian risiko inheren dan kualitas penerapan manajemen risiko (KPMR) akan diperoleh rating komposit untuk setiap jenis risiko yang dikenal sebagai net risk atau residual risk. Setelah bank memberikan bobot atas seluruh risiko inheren (8 atau 10 risiko inheren, sesuai jenis bank) rating risiko tersebut, maka diperoleh rating dari profil risiko. Hasil akhir ini biasanya dapat dilihat sebagai matriks penetapan tingkat risiko. Penetapan peringkat faktor profil risiko terdiri dari 5 (lima) peringkat yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan peringkat faktor profil risiko yang lebih kecil mencerminkan semakin rendahnya Risiko yang dihadapi Bank. 2. Penilaian Tata Kelola Risiko Penilaian faktor Tata Kelola merupakan penilaian terhadap kualitas manajemen Bank atas penerapan prinsip Tata Kelola yang baik. Prinsip Tata Kelola yang baik dan fokus penilaian terhadap penerapan prinsip Tata Kelola yang baik berpedoman pada ketentuan
62 Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum dengan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank. Pengukuran peringkat Good Corporate Governance (GCG) dilakukan terhadap (i) governance structure (struktur tata Kelola); (ii) governance process/mechanisme; dan (iii) governance outcome, yang diuraikan dalam pengukuran dari 11 parameter GCG seperti yang ditetapkan oleh OJK. Peringkat faktor Tata Kelola dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan Peringkat faktor Tata Kelola yang lebih kecil mencerminkan penerapan Tata Kelola yang lebih baik. 3. Penilaian Faktor Rentabilitas Penilaian faktor rentabilitas meliputi evaluasi terhadap kinerja rentabilitas, sumber-sumber rentabilitas, kesinambungan rentabilitas (earnings’ sustainability), dan manajemen rentabilitas. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat, tren, struktur, stabilitas rentabilitas, dan perbandingan kinerja Bank dengan kinerja peer group¸ baik melalui analisis aspek kuantitatif maupun aspek kualitatif. Dalam menentukan peer group, Bank perlu memperhatikan skala bisnis, karakteristik, dan/atau kompleksitas usaha Bank serta ketersediaan data dan informasi yang dimiliki. Bank dalam menilai faktor rentabilitas menggunakan parameter atau indikator dengan berpedoman pada POJK Penetapan faktor rentabilitas dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat yakni Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan Peringkat faktor
63 rentabilitas yang lebih kecil mencerminkan kondisi rentabilitas yang lebih baik. 4. Penilaian Faktor Permodalan Penilaian atas faktor permodalan meliputi evaluasi terhadap kecukupan permodalan dan kecukupan pengelolaan permodalan. Dalam melakukan perhitungan permodalan, termasuk mengaitkan kecukupan modal dengan profil risiko, Bank mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Semakin tinggi Risiko Bank, semakin besar modal yang harus disediakan untuk mengantisipasi Risiko tersebut. Dalam melakukan penilaian, Bank perlu mempertimbangkan tingkat, tren, struktur, dan stabilitas permodalan dengan memperhatikan kinerja peer group serta kecukupan manajemen permodalan Bank. Penilaian dilakukan baik dengan menggunakan parameter atau indikator kuantitatif maupun kualitatif. Dalam menentukan peer group, Bank perlu memperhatikan skala bisnis, karakteristik, dan/atau kompleksitas usaha Bank serta ketersediaan data dan informasi yang dimiliki. Parameter atau indikator dalam menilai Permodalan meliputi: (i) Kecukupan Modal Bank Penilaian kecukupan modal Bank perlu dilakukan secara komprehensif, paling sedikit mencakup tingkat, tren, dan komposisi modal Bank; (ii) Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dengan memperhitungkan Risiko Kredit, Risiko Pasar, dan Risiko Operasional; dan (iii) kecukupan modal Bank dikaitkan dengan profil risiko.
64 Pengelolaan Permodalan Bank Analisis terhadap pengelolaan permodalan Bank meliputi manajemen permodalan dan kemampuan akses permodalan. Bank dalam menilai faktor permodalan menggunakan parameter atau indikator dengan berpedoman pada POJK Penetapan faktor permodalan dikategorikan dalam 5 (lima) Peringkat yaitu Peringkat 1, Peringkat 2, Peringkat 3, Peringkat 4, dan Peringkat 5. Urutan Peringkat faktor permodalan yang lebih kecil mencerminkan kondisi pemodalan Bank yang lebih baik. Laporan Tingkat Kesehatan Bank (TKB) memiliki tujuan utama untuk memberikan informasi yang transparan dan jelas kepada berbagai pemangku kepentingan mengenai kondisi dan kinerja suatu bank. Tujuan ini bertujuan untuk memastikan pemahaman yang lebih baik terkait risiko dan keberlanjutan bank, serta menyediakan dasar yang kuat bagi pengambilan keputusan oleh otoritas pengawas, nasabah, investor, dan publik (Febrianto & Fitriana, 2020). Urgensi laporan TKB terletak pada kontribusinya terhadap stabilitas sektor perbankan dan sistem keuangan secara keseluruhan. Melalui pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap kesehatan bank, laporan ini memungkinkan otoritas pengawas untuk merespons perubahan kondisi dengan cepat, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan memberikan perlindungan kepada nasabah dengan memberikan informasi yang akurat mengenai kondisi keuangan bank tempat mereka menyimpan dana. Desain laporan TKB harus sederhana, ringkas, dan mudah dipahami oleh berbagai pemangku kepentingan,
65 termasuk yang tidak memiliki latar belakang keuangan yang mendalam. Dengan memberikan informasi yang komprehensif tentang kondisi keuangan, manajemen risiko, tata kelola perusahaan, serta rencana aksi yang direkomendasikan, desain ini tidak hanya mendukung transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga memberikan dasar bagi pihak terkait untuk memahami dan menilai kesehatan bank secara holistik. Kesesuaian dengan standar dan regulasi yang berlaku juga menjadi kunci dalam memastikan kredibilitas dan keandalan laporan TKB. Dengan demikian, laporan TKB dirancang untuk menjadi alat yang efektif dalam mendukung pengelolaan risiko, pengawasan, dan keberlanjutan perbankan. Secara keseluruhan, proses membangun laporan Tingkat Kesehatan Bank meliputi penilaian terhadap (i) profil risiko; (ii) GCG; (iii) Kualitas pendapatan; dan (iv) kualitas permodalan, sebagaimana terlihat pada Gambar 13. Gambar 13. Proses Membangun Laporan TKB Setelah diperoleh peringkat dari profil risiko, peringkat GCG, KPMR, dan kualitas permodalan, maka dapat diperoleh peringkat dari Tingkat Kesehatan Bank atau Risk-Based Bank Rating (RBBR). Metode RBBR merupakan kebijakan yang dikeluarkan OJK sebagai alat penilaian tingkat kesehatan bank yang merupakan penyempurnaan dari metode CAMEL
66 (Capital, Asset, Management, Earning, and Liquidity) yang sebelumnya digunakan. Bank Raya, sebuah lembaga keuangan yang memainkan peran krusial dalam sektor perbankan, baru-baru ini melalui proses penilaian tingkat kesehatan oleh otoritas pengawas. Temuan dari penilaian ini memberikan gambaran yang kritis terhadap kondisi bank. Pertama, rasio likuiditas menunjukkan penurunan di bawah standar yang ditetapkan, menandakan potensi kesulitan dalam memenuhi kewajiban finansial jangka pendek. Kedua, risiko kredit bermasalah mengalami peningkatan yang signifikan, menciptakan potensi kerugian yang lebih tinggi di segi kredit. Terakhir, evaluasi tata kelola perusahaan mengungkap kelemahan dalam pengawasan dewan direksi dan kebijakan tata kelola. Dalam menanggapi temuan tersebut, bank mengembangkan rencana aksi yang komprehensif. Untuk meningkatkan rasio likuiditas, bank merencanakan diversifikasi sumber pendanaan dan peningkatan manajemen likuiditas, termasuk menyusun skenario stres testing untuk mengidentifikasi potensi situasi likuiditas yang kritis. Terkait risiko kredit, bank memutuskan untuk melakukan evaluasi ulang terhadap portofolio kredit, memperkuat proses penilaian risiko kredit,
67 dan memperbaiki kebijakan manajemen risiko. Selain itu, untuk mengatasi kelemahan dalam tata kelola perusahaan, bank memberikan pelatihan dan pembinaan kepada dewan direksi, sambil meningkatkan transparansi dan komunikasi antara manajemen dan dewan direksi. Bagaimana peningkatan rasio likuiditas dapat menjadi landasan untuk mengatasi tantangan likuiditas? Apa strategi yang efektif dalam mengelola dan mengurangi risiko kredit bermasalah? Mengapa tata kelola perusahaan yang kuat menjadi kunci untuk mendukung stabilitas dan kesehatan bank?
68 Program Manajemen Risiko Perbankan memiliki tujuan utama untuk memastikan mahasiswa memahami sejarah dan konsep dasar manajemen risiko perbankan, serta dapat menerapkan pengetahuan tersebut dalam konteks proses bisnis bank konvensional dan bank syariah. Mata pelajaran ini mencakup pemahaman mendalam tentang risiko inheren, menjelaskan hubungan yang kompleks antara risiko dan
69 permodalan bank melalui konsep Two Prong Wilson, dan memberikan keterampilan praktis dalam mengelola risiko inheren. Sebagai bagian dari pembelajaran, mahasiswa akan diajak melalui sejarah evolusi manajemen risiko perbankan untuk memahami bagaimana pendekatan terhadap risiko telah berkembang seiring waktu. Mereka juga akan mendapatkan pemahaman konsep dasar manajemen risiko perbankan, seperti identifikasi, pengukuran, dan pengelolaan risiko dalam lingkungan perbankan yang dinamis. Proses bisnis bank konvensional dan bank syariah menjadi fokus materi, memungkinkan mahasiswa memahami perbedaan dan persamaan dalam manajemen risiko di dua jenis lembaga keuangan ini. Dalam konteks ini, risiko inheren akan dianalisis dengan cermat, mencakup risiko kredit, operasional, pasar, dan likuiditas yang melekat dalam kegiatan perbankan. Seiring dengan itu, konsep Two Prong Wilson akan dijelaskan sebagai pendekatan untuk mengukur dan mengelola risiko secara holistik, dengan mempertimbangkan aspek risiko dan permodalan bank secara bersamaan. Mahasiswa akan memahami bagaimana manajemen risiko dan permodalan saling terkait, serta strategi untuk menjaga keseimbangan yang optimal di antara keduanya. Selain itu, mahasiswa akan dilibatkan dalam pembelajaran praktis tentang bagaimana mengelola risiko inheren. Ini mencakup strategi identifikasi risiko, evaluasi dampak risiko, dan implementasi langkah-langkah mitigasi. Melalui kombinasi pengajaran teoritis, studi kasus, dan simulasi, mahasiswa diharapkan dapat mengaplikasikan
70 pengetahuan dan keterampilan mereka untuk mengatasi tantangan nyata dalam manajemen risiko perbankan. Learning Outcome dari pembelajaran bab Manajemen Risiko Perbankan ini tidak hanya mencakup pemahaman konsep dan sejarah, tetapi juga keterampilan praktis yang dapat diterapkan dalam lingkungan perbankan yang dinamis. Mahasiswa diharapkan dapat mengenali dan mengelola risiko secara efektif, mendukung keberlanjutan dan stabilitas lembaga keuangan. 1. Konsep Dasar Manajemen Risiko Sebelum membahas lebih mendalam mengenai pengelolaan risiko di industri perbankan, kita kembali mengacu kepada definisi risiko secara umum dan pengertian risiko di industri perbankan. Menurut POJK risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu perisatiwa tertentu. Dalam pengertian lebih luas, risiko perbankan berarti suatu kejadian potensial, baik yang bersifat anticipated maupun unanticipated yang memberikan dampak negatif pada pendapatan bank dan berpengaruh kepada permodalan bank. Sedangkan manajemen risiko di perbankan adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, mamantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank, dan selanjutnya mengkomunikasikan kepada seluruh stakeholders. Kata kunci dari pengelolaan risiko diperbankan adalah menyangkut penggunaan metodologi dan prosedur yang harus
71 dimiliki serta harus mengacu kepada ketentuan dan peraturan OJK. Penggunaan metodologi dan prosedur yang ada mengacu kepada proses manajemen risiko yakni: identifikasi, ukur, pantau, kendalikan dan pelaporan. Pentingnya manajemen risiko perbankan semakin terasa karena kompleksitas pasar keuangan global dan interkoneksi antar lembaga keuangan. Institusi perbankan diharapkan untuk mengembangkan kerangka kerja manajemen risiko yang kokoh untuk menjaga stabilitas keuangan dan melindungi kepentingan para pemangku kepentingan. Konsep dasar manajemen risiko perbankan melibatkan pemahaman mendalam terhadap berbagai jenis risiko yang dapat memengaruhi stabilitas dan kelangsungan operasional bank. Risiko-risiko ini meliputi risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko reputasi. Sebagai bagian dari konsep dasar ini, ditekankan pentingnya identifikasi, pengukuran, pengelolaan, dan pemantauan secara berkelanjutan terhadap risiko-risiko ini. Pentingnya manajemen risiko perbankan semakin terasa seiring meningkatnya kompleksitas pasar keuangan global dan interkoneksi antar lembaga keuangan. Institusi perbankan diharapkan untuk mengembangkan kerangka kerja manajemen risiko yang kokoh untuk menjaga stabilitas keuangan dan melindungi kepentingan para pemangku kepentingan. Konsep dasar manajemen risiko perbankan mencakup pemahaman menyeluruh terhadap berbagai jenis risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas dan
72 operasionalitas bank. Risiko-risiko utama yang harus diperhitungkan dalam kerangka manajemen risiko perbankan meliputi risiko kredit, risiko operasional, risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko reputasi (Safitri et al., 2021). Konsep dasar manajemen risiko bagi industri perbankan mengacu kepada ketentuan Basel dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Kerangka kerja manajemen risiko sangat kompleks sesuai dengan proses bisnis di industri perbankan. Kerangka kerja tersebut membahas minimal tiga bagian penting yang dimulai dari (i) Aktivitas bisnis bank; (ii) Tujuan bank untuk meningkatkan shareholders value added; (iii) Munculnya risiko inheren bagi bank; (iii) Adanya potential loss, baik berupa expected loss maupun unexpected loss; (iv) Pengelolaan risiko ‛2 prong‛ yang berisikan pemenuhan modal yang memadai dan penerapan manajemen risiko yang komprehensif; dan (v) Regulasi terkait dengan kewajiban pemenuhan modal minimal. Risk management framework bagi industri perbankan dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Risk Management Framework Perbankan
73 Proses bisnis bank, baik konvensional maupun syariah, melibatkan serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan keuangan nasabah, menghimpun dana, dan menyediakan layanan keuangan. Meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan pelayanan keuangan, metode operasionalnya berbeda. Perbandingan proses bisnis Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS) dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Proses Bisnis BUK dan BUS Berikut adalah penjelasan tentang proses bisnis bank konvensional dan bank syariah: 1. Proses Bisnis Bank Konvensional a. Penghimpunan Dana Dalam operasionalnya, bank konvensional melakukan penghimpunan dana dari masyarakat melalui produk dan layanan seperti tabungan, deposito, dan sertifikat deposito. Rekening tabungan memungkinkan nasabah menyimpan dan menarik uang dengan mudah,
74 sementara deposito menawarkan suku bunga tetap untuk dana yang ditempatkan untuk jangka waktu tertentu. Sertifikat deposito, sebagai instrumen keuangan, memberikan opsi penempatan dana untuk jangka waktu tertentu dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi. Dana yang berhasil dihimpun oleh bank ini kemudian digunakan untuk memberikan pinjaman kepada nasabah atau untuk melakukan investasi lainnya. Proses ini menciptakan margin bunga, yaitu selisih antara suku bunga yang diterima dari peminjam dan yang dibayarkan kepada penyimpan. Penghimpunan dana ini menjadi salah satu elemen utama dalam menjaga likuiditas dan kelangsungan operasional bank konvensional. b. Penyaluran Kredit Dalam fungsi penyaluran kredit, bank konvensional berperan sebagai penyedia dana bagi nasabahnya. Bank ini memberikan pinjaman kepada individu, bisnis, atau entitas lain untuk memenuhi kebutuhan pribadi, modal usaha, atau investasi. Proses penyaluran kredit melibatkan beberapa tahap yang krusial dalam menjaga keberlanjutan operasional bank. Pertama, bank melakukan penilaian kredit terhadap calon peminjam. Penilaian ini mencakup evaluasi kreditworthiness atau kelayakan kredit calon peminjam berdasarkan riwayat kredit, pendapatan, dan faktorfaktor lain yang dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk membayar kembali pinjaman. Setelah penilaian kredit dilakukan, bank menentukan suku bunga yang akan diterapkan pada pinjaman tersebut. Suku bunga ini bisa bersifat tetap atau dapat
75 berubah selama masa pinjaman tergantung pada jenis produk kredit yang ditawarkan. Proses selanjutnya adalah penandatanganan kesepakatan pinjaman yang mencakup detail tentang jumlah pinjaman, jangka waktu, suku bunga, dan kewajiban pembayaran. Nasabah diharapkan untuk membayar kembali pinjaman sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Pentingnya proses penyaluran kredit ini terletak pada kemampuan bank untuk mengelola risiko kredit dengan baik, memastikan bahwa pinjaman diberikan kepada peminjam yang mampu membayar kembali, dan sekaligus menciptakan sumber pendapatan bagi bank melalui bunga yang dikenakan pada pinjaman tersebut. Dengan menjalankan proses ini secara hati-hati, bank konvensional dapat memainkan peran krusial dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan keuangan masyarakat. c. Pelayanan Perbankan Dalam ranah pelayanan perbankan, bank konvensional menawarkan berbagai layanan dan produk keuangan untuk memenuhi kebutuhan nasabahnya. Pelayanan ini mencakup aktivitas sehari-hari hingga produk investasi yang dapat membantu nasabah mencapai tujuan keuangan mereka. Jasa layanan bank antara lainjasa layanan transfer dana, memungkinkan nasabah untuk memindahkan uang secara aman antar rekening atau ke bank lain. Layanan ini mencakup transfer antar rekening internal, nasional, maupun internasional. Selanjutnya, bank menyediakan layanan pembayaran tagihan, memper-
76 mudah nasabah dalam membayar tagihan rutin seperti listrik, air, telepon, atau tagihan lainnya. Ini memberikan kenyamanan dan efisiensi dalam pengelolaan keuangan sehari-hari. Pelayanan kartu kredit juga menjadi bagian integral dari layanan perbankan. Bank konvensional mengeluarkan kartu kredit kepada nasabah, memungkinkan mereka untuk melakukan transaksi pembelian dengan fasilitas kredit yang diberikan oleh bank. Nasabah dapat menggunakan kartu kredit untuk berbelanja, membayar tagihan, atau mendapatkan keuntungan dari program loyalitas yang ditawarkan oleh bank. Selain layanan harian, bank konvensional juga menawarkan produk investasi. Nasabah dapat berinvestasi dalam obligasi, instrumen keuangan dengan tingkat bunga tetap, saham yang memberikan kepemilikan pada perusahaan, atau reksadana yang merupakan portofolio investasi yang dikelola secara profesional. Melalui berbagai layanan dan produk ini, bank konvensional memberikan keleluasaan kepada nasabah untuk mengelola keuangan mereka sesuai kebutuhan dan tujuan finansial. Pelayanan perbankan yang komprehensif ini mencerminkan peran bank sebagai mitra keuangan yang menyediakan solusi yang sesuai dengan kebutuhan kompleksitas keuangan nasabah. 2. Proses Bisnis Bank Syariah Konsep operasional Bank Syariah memiliki kerangka kerja yang unik dibandingkan dengan konsep perbankan yang selama ini dikenal. BUS menekankan prinsip keadilan, berbagi risiko, dan kepatuhan terhadap hukum syariah Islam. Hal ini memungkinkan bank tersebut
77 untuk melayani nasabah yang ingin melakukan transaksi dan investasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Proses bisnis BUS dapat dilihat pada Gambar 15 dapat diperjelas pada Gambar 16. Gambar 16. Proses Bisnis Bank Syariah dan Produknya Secara konsep bank syariah sebenarnya lebih tepat didefinisikan sebagai bank berbasis investasi atau investment banking. Pada liability product, produk funding misalnya, bank konvensional dapat memberikan kepastian bunga deposito sesuai periode depositonya. Namun, pada bank syariah, return yang akan diperoleh deposan tidak dapat dipastikan, karena pendapatan/return bagi deposan ditentukan dari pendapatan bank yang diperoleh dari penyaluran pembiayaan. Pendapatan yang tidak tetap ini menggunakan skema bagi hasil, yang memiliki kesamaan dengan produk investasi. Begitu pula pada asset product, dana masyarakat yang dihimpun oleh bank syariah akan diinvestasikan kepada usaha nasabah atau perusahaan dengan prinsip investasi. Sehingga bank syariah juga tidak memiliki kepastian berapa jumlah hasil investasi yang diterima
78 dari nasabah/debitur sebagai pendapatan kepada bank syariah. Skema dengan prinsip bagi hasil ini lah yang menjadi ciri khas bank syariah. Dalam konteks bank syariah, pendekatan penghimpunan dana melalui prinsip bagi hasil (mudharabah) menjadi salah satu ciri khasnya. Prinsip bagi hasila mencerminkan konsep kemitraan dalam kegiatan investasi dan pengelolaan dana. Prinsip mudharabah memungkinkan bank syariah untuk menghimpun dana dari nasabah dengan konsep kerjasama investasi. Dana yang dihimpun kemudian diinvestasikan dalam proyek atau usaha tertentu. Dalam mudharabah, terdapat dua pihak utama, yaitu bank sebagai pemilik modal dan nasabah sebagai pemilik usaha atau pengelola proyek. Keuntungan yang dihasilkan dari investasi tersebut kemudian dibagi sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, sedangkan kerugian akan ditanggung oleh pihak pemilik modal, yaitu bank syariah. Kesepakatan mengenai pembagian keuntungan dan kerugian dalam kedua prinsip ini menjadi kunci dalam menjalankan operasional bank syariah. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan dan transparansi dalam berbagi risiko dan keuntungan antara bank dan nasabah. Prinsip mudharabah dan musyarakah menjadi dasar bagi bank syariah dalam mengelola dana nasabah dengan pendekatan yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam (Sudarmanto et al., 2021). Dalam konteks pembiayaan berbasis syariah, bank syariah menyediakan berbagai bentuk pembiayaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Pendekatan ini mencakup pembiayaan berbasis prinsip mudha-
79 rabah, ijara, dan musharakah, yang menitikberatkan pada keadilan, kerjasama, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam. Pertama, pembiayaan berbasis murabahah melibatkan transaksi jual beli antara bank syariah dan nasabah, di mana bank membeli aset atau barang yang diinginkan oleh nasabah dan kemudian menjualkannya kembali dengan markup. Skema ini memungkinkan nasabah untuk memperoleh aset atau barang yang dibutuhkan tanpa melibatkan pembayaran bunga, sesuai dengan prinsip larangan riba dalam Islam. Kedua, pembiayaan berbasis ijara mengadopsi konsep sewa atau penyewaan. Bank syariah membeli aset atau properti yang diinginkan oleh nasabah, dan kemudian menyewakannya kepada nasabah dengan pembayaran sewa yang disepakati. Setelah periode sewa berakhir, aset tersebut dapat dibeli oleh nasabah atau terus disewakan. Terakhir, pembiayaan berbasis bagi hasil (mudharabah dan musharakah) melibatkan investasi bersama antara bank syariah dan nasabah dalam suatu proyek atau usaha. Keuntungan dan kerugian dari investasi tersebut dibagi sesuai dengan proporsi kepemilikan masing-masing pihak. Ini menciptakan kemitraan sejati di antara pihak-pihak yang terlibat, dengan prinsip keuntungan dan risiko yang seimbang. Pendekatan syariah dalam pembiayaan ini mewajibkan bank syariah untuk memastikan bahwa setiap transaksi berada dalam batas-batas syariah, menghindari riba dan spekulasi. Dengan demikian, pembiayaan berbasis syariah mencerminkan komitmen
80 terhadap prinsip-prinsip moral dan etika Islam, memberikan alternatif yang sesuai bagi individu dan bisnis yang mencari pembiayaan dengan mematuhi ajaran Islam. Dalam konteks pelayanan perbankan syariah, produk jasa dan layanan bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Bank syariah menyediakan beragam layanan dan produk keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Layanan tersebut dirancang untuk memenuhi kebutuhan nasabah dengan memastikan kepatuhan terhadap ajaran Islam. Pelayanan kartu syariah juga menjadi bagian integral dalam pelayanan perbankan syariah. Kartu syariah digunakan untuk bertransaksi sesuai dengan prinsipprinsip syariah, menghindari praktik bunga dan transaksi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Selain layanan harian, bank syariah menawarkan produk investasi yang mencakup sukuk (obligasi syariah), saham syariah, dan dana investasi syariah. Sukuk merupakan instrumen keuangan berbasis syariah yang memberikan keuntungan sesuai dengan prinsip bagian dari keuntungan yang dihasilkan dari proyek atau aset yang dibiayai. Saham syariah melibatkan kepemilikan saham dalam perusahaan yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dana investasi syariah, di sisi lain, merupakan portofolio investasi yang dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Melalui penyediaan pelayanan dan produk yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, bank syariah memberikan alternatif perbankan yang etis dan sesuai
81 dengan nilai-nilai Islam bagi nasabah yang mencari solusi keuangan yang sesuai dengan keyakinan mereka. Risiko inheren merujuk pada tingkat risiko yang melekat atau terdapat secara intrinsik pada suatu entitas atau aktivitas bisnis sebelum penerapan strategi pengendalian atau mitigasi. Risiko ini muncul sebagai hasil dari karakteristik intrinsik dari suatu kegiatan atau operasi tanpa mempertimbangkan adanya tindakan pengelolaan risiko. Pemahaman terhadap risiko inheren menjadi langkah awal dalam proses manajemen risiko untuk mengidentifikasi potensi kerugian atau ketidakpastian yang mungkin dihadapi oleh suatu entitas. Risiko inheren dapat timbul dari berbagai sumber, termasuk ketidakpastian pasar, perubahan teknologi, faktor internal organisasi, dan kondisi ekonomi. Pentingnya pengidentifikasian risiko inheren adalah untuk memberikan dasar pemahaman yang kuat tentang potensi dampak dan kemungkinan terjadinya risiko sebelum adanya intervensi pengendalian. Contohnya, risiko inheren dalam suatu industri manufaktur mungkin terkait dengan ketidakpastian pasokan bahan baku atau kerentanan terhadap perubahan dalam siklus ekonomi. Dalam industri teknologi, risiko inheren dapat timbul dari kecepatan perkembangan teknologi yang cepat, meningkatkan kompleksitas, dan persaingan yang intens. Manajemen risiko inheren melibatkan pemahaman yang mendalam terhadap sumber-sumber risiko dan kemungkinan dampaknya. Analisis risiko inheren menjadi dasar untuk
82 mengembangkan strategi pengelolaan risiko yang efektif. Dengan memahami risiko inheren dengan baik, suatu entitas dapat membuat keputusan yang lebih informasional, mengurangi potensi kerugian, dan meningkatkan ketahanan terhadap ketidakpastian yang mungkin muncul dalam operasionalnya. Risiko inheren dan pengelolaan risiko suatu bank dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Pengertian Risiko Inheren Pada gambar di atas terlihat bahwa risiko inheren merupakan risiko bawaan dan merupakan risiko yang melekat pada seluruh aktivitas bisnis suatu bank, apakah risiko itu dapat dikuantifikasi ataupun tidak dapat dikuantifikasi, yang berpotensi mempengaruhi posisi keuangan bank.
83 Jenis risiko yang muncul akibat dari strategi dan kegiatan bank disebut dengan risk coverage. Kemudian terhadap risiko-risiko inheren dilakukan risk control yang tentunya mencakup lingkungan pengendalian (control environment). Pengendalian risiko mencakup juga aspek tata kelola bank, aspek kebijakan, prosedur, dan penentuan limit risiko, aspek data, infrastruktur dan sistem informasi manajemen risiko, seta aspek kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian dan pelaporan risiko. Risiko yang tersisa setelah bank mengambil tindakan untuk mengurangi dampak (impact) dan kemungkinan (likelihood) dari suatu peristiwa risiko (adverse event), inilah yang disebut risiko bersih atau net risk atau dikenal juga sebagai residual risk. Dalam konteks pengelolaan risiko inheren di perbankan, risk response merujuk pada strategi dan tindakan yang diambil oleh bank untuk mengatasi atau mengelola risiko yang telah diidentifikasi. Risiko inheren adalah risiko yang secara alami ada dalam produk, layanan, aktivitas, atau proses sebelum adanya tindakan pengendalian manapun. Proses risk response ini meliputi beberapa langkah utama: 1. Identifikasi Risiko: Mengenali dan menilai risiko inheren yang mungkin mempengaruhi bank. 2. Penilaian Risiko: Menilai tingkat risiko dan dampak potensialnya terhadap bank. 3. Pemilihan Respon Risiko: Menentukan cara terbaik untuk merespons risiko tersebut. Respon bisa berupa: a. Penerimaan Risiko: Memilih untuk menerima risiko tanpa tindakan khusus karena dianggap dapat
84 ditangani dalam toleransi risiko yang telah ditetapkan. b. Penghindaran Risiko: Menghindari aktivitas yang mengakibatkan risiko tersebut. c. Pengurangan Risiko: Mengimplementasikan tindakan untuk mengurangi dampak atau kemungkinan terjadinya risiko. d. Transfer Risiko: Memindahkan atau berbagi sebagian risiko dengan pihak lain, seperti melalui asuransi atau kontrak. 4. Implementasi Respon Risiko: Melaksanakan strategi yang dipilih melalui kebijakan, prosedur, dan pengendalian. 5. Pemantauan dan Review: Memantau lingkungan risiko dan efektivitas respons risiko secara berkala untuk memastikan bahwa risiko tetap dalam batas toleransi dan melakukan penyesuaian jika diperlukan. Risk response dalam pengelolaan risiko inheren di perbankan sangat penting untuk menjaga stabilitas dan integritas operasional bank serta melindungi kepentingan stakeholder. Bank harus terus-menerus beradaptasi dengan perubahan lingkungan eksternal dan internal untuk mengelola risiko secara efektif. Konsep Two Prong merujuk pada pendekatan terhadap hubungan antara risiko dan permodalan dalam konteks perbankan. Pendekatan ini mempertimbangkan dua aspek utama, yang dikenal sebagai dua tongkat (two prongs), yaitu risiko dan modal (Sudarmanto et al., 2021).
85 Prong Pertama: Risiko (Risk Prong) Prong pertama dari konsep two prong menyoroti pentingnya pemahaman dan pengelolaan risiko oleh lembaga keuangan, khususnya bank. Risiko dalam hal ini mencakup berbagai jenis risiko yang mungkin dihadapi oleh bank, seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, dan risiko operasional. Pemahaman yang mendalam terhadap risiko ini memungkinkan bank untuk mengidentifikasi potensi kerugian, mengukur tingkat risiko, dan merancang strategi pengelolaan risiko yang efektif. Prong Kedua: Permodalan (Capital Prong) Prong kedua membahas hubungan antara tingkat risiko yang dihadapi oleh bank dengan tingkat permodalan yang diperlukan. Tingkat permodalan bank menjadi penting karena modal berperan sebagai buffer atau cadangan yang dapat digunakan untuk menutupi kerugian akibat risiko yang mungkin terjadi. Semakin besar risiko yang dihadapi, semakin besar perluasan permodalan yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan keuangan bank. Dalam inti konsep two prong bank diharapkan untuk menilai risiko yang dihadapinya dan memastikan bahwa tingkat permodalannya cukup untuk menanggulangi risiko tersebut. Jika risiko meningkat, bank harus meningkatkan permodalannya agar dapat tetap memenuhi persyaratan keamanan dan kepatuhan. Konsep ini mencerminkan pentingnya keseimbangan antara risiko yang diambil oleh bank dan tingkat permodalan yang diperlukan untuk melindungi kestabilan keuangannya.
86 Memperhatikan konsep two prong dalam hubungan antara risiko dan permodalan dalam perbankan sangat krusial untuk menjaga kestabilan keuangan dan memenuhi persyaratan regulasi. Konsep ini memberikan pandangan holistik terhadap dinamika risiko yang mungkin dihadapi oleh bank, seperti risiko kredit, pasar, likuiditas, dan operasional. Dengan memahami dan mengelola risiko ini, bank dapat mengidentifikasi potensi kerugian dan merancang strategi pengelolaan risiko yang tepat. Seiring dengan itu, prong kedua konsep ini, yaitu permodalan, memegang peranan penting sebagai alat untuk menjaga ketahanan keuangan. Permodalan yang memadai berfungsi sebagai buffer yang dapat digunakan untuk menutupi kerugian akibat risiko yang mungkin terjadi. Hal ini bukan hanya mendukung stabilitas keuangan bank, tetapi juga memastikan kepatuhan terhadap persyaratan permodalan yang ditetapkan oleh otoritas pengawas keuangan. Dengan memperhatikan konsep Two Prong, bank dapat mengambil keputusan yang bijak terkait dengan risiko yang diambil dan memastikan bahwa tingkat permodalannya sejalan dengan tingkat risiko yang dihadapi. Ini menciptakan keseimbangan yang diperlukan untuk menjaga kestabilan keuangan, kepercayaan nasabah, dan pemenuhan aturan regulasi, yang pada gilirannya mendukung keberlanjutan dan kelangsungan operasional bank. Mengelola risiko inheren merupakan tahapan yang perlu dipertimbangkan dalam proses manajemen risiko suatu entitas atau organisasi. Risiko inheren merujuk pada risiko
87 yang melekat pada suatu kegiatan atau operasi sebelum adanya tindakan pengendalian atau mitigasi. Pemahaman dan penanganan risiko inheren menjadi esensial untuk meminimalkan potensi kerugian dan menjaga keberlanjutan operasional. Pertama-tama, langkah awal dalam mengelola risiko inheren adalah dengan mengidentifikasi dan menilai risiko yang melekat pada suatu aktivitas atau proses bisnis. Hal ini melibatkan pemahaman mendalam terhadap sumber-sumber risiko, potensi dampak, dan tingkat keparahan risiko yang mungkin dihadapi. Analisis risiko yang komprehensif membantu dalam menentukan prioritas dan fokus pengelolaan risiko. Setelah identifikasi risiko, selanjutnya adalah merancang strategi pengelolaan risiko. Strategi ini harus disesuaikan dengan karakteristik risiko yang dihadapi dan tujuan organisasi. Beberapa strategi umum melibatkan pengendalian intern, transfer risiko melalui asuransi atau perjanjian kontraktual, atau penerimaan risiko dengan pemahaman sepenuhnya terhadap konsekuensinya. Implementasi tindakan pengelolaan risiko kemudian dilakukan untuk mengurangi, mentransfer, atau mengendalikan risiko inheren. Langkah ini mencakup penerapan kontrol internal, kebijakan, prosedur, dan sistem yang mendukung mitigasi risiko. Pada titik ini, penting untuk melibatkan semua pemangku kepentingan yang terlibat dan memastikan pemahaman yang jelas terkait dengan tindakan yang diambil. Selanjutnya, pemantauan dan evaluasi risiko inheren secara berkala menjadi langkah penting dalam memastikan efektivitas strategi pengelolaan risiko. Proses ini melibatkan pemantauan perubahan dalam lingkungan bisnis, evaluasi
88 kinerja tindakan mitigasi, dan penyesuaian strategi jika diperlukan. Risiko inheren atau risiko yang melekat di perbankan baik Bank Umum Konvensional (BUK) maupun Bank Umum Syariah (BUS), dapat dilihat berdasarkan proses bisnis kedua jenis bank. Proses bisnis dan risiko inheren BUK dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Proses Bisnis BUK dan Risiko Inheren BUK Berdasarkan Gambar 18 dan sesuai dengan proses bisnis BUK, risiko inheren BUK terdiri dari 8 (delapan) risiko, yaitu: (1) Risiko likuiditas; (2) Risiko kredit; (3) Risiko Operasional; (4) Risiko Stratejik; (5) Risiko Pasar; (6) Risiko kepatuhan; (7) Risiko hukum; dan (8) Risiko reputasi. Selanjutnya pada Gambar 19 dapat dilihat adanya dua risiko tambahan bagi Bank Umum Syariah. Dua risiko tambahan bagi BUS disebabkan adanya skema bagi hasil baik di produk pendanaan (funding), maupun produk pembiayaan (financing).