MENYEMAI KESETARAAN MELALUI PENDIDIKAN INKLUSIF Jamil Suprihatiningrum
MENYEMAI KESETARAAN MELALUI PENDIDIKAN INKLUSIF Copyright© PT Penamudamedia, 2024 Penulis: Jamil Suprihatiningrum ISBN: 978-623-88948-2-6 Desain Sampul: Tim PT Penamuda Media Tata Letak: Enbookdesign Diterbitkan Oleh PT Penamuda Media Casa Sidoarium RT 03 Ngentak, Sidoarium Dodeam Sleman Yogyakarta HP/Whatsapp : +6285700592256 Email : [email protected] Web : www.penamuda.com Instagram : @penamudamedia Cetakan Pertama, Februari 2024 xii + 186, 15x23 cm Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin Penerbit
v PRAKATA uji syukur penulis panjatkan atas terselesainya buku ini sehingga menjadi sebuah bacaan yang layak untuk akademisi dan praktisi. Secara umum, buku ini membahas teori dan implementasi pendidikan inklusif di Indonesia. Dalam era yang semakin menghargai keberagaman dan inklusivitas, pendidikan memiliki peran sentral dalam membentuk fondasi masyarakat yang setara dan adil bagi semua individu. Kata pengantar ini bertujuan untuk merinci pentingnya menyemai kesetaraan melalui pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif tidak hanya mencakup penerimaan terhadap perbedaan, tetapi juga melibatkan keterlibatan aktif dalam membangun lingkungan belajar yang mendukung setiap siswa, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus. Dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, pendidikan menjadi panggung utama di mana kesetaraan dapat ditanamkan. Dengan fokus pada pelatihan guru, penyesuaian kurikulum, dan penyediaan sumber daya yang tepat, kita dapat membuka pintu bagi semua individu untuk mengakses pendidikan berkualitas. Kesetaraan melalui pendidikan inklusif bukan hanya tujuan, tetapi juga investasi dalam masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh komunitas pendidikan. P
vi Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak atas terselesainya buku ini, sehingga bisa memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Yogyakarta, Desember 2023 Penulis
vii DAFTAR ISI PRAKATA ...................................................................................... v DAFTAR ISI ................................................................................. vii BAB 1 KONSEP DISABILITAS ................................................................... 1 A. Definisi disabilitas, penyandang disabilitas, difabel, anak berkebutuhan khusus.............................................................2 B. Ragam disabilitas...................................................................7 BAB 2 MODEL-MODEL DISABILITAS DAN SEJARAHNYA ...................... 13 A. Model Individual ...................................................................14 B. Model Medis .........................................................................16 C. Model Sosial.........................................................................19 D. Post-social model ................................................................21 E. Functional model..................................................................22
viii BAB 3 SEJARAH PERJALANAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI TINGKAT INTERNASIONAL ........................................................... 25 A. Perjalanan pendidikan inklusif ............................................ 26 B. Praktik pendidikan inklusif di beberapa Negara ................. 28 BAB 4 SEJARAH PERJALANAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA . 37 A. Jalan panjang menuju pendidikan inklusif.......................... 38 B. Potret historis PLB di Indonesia.......................................... 41 C. Diskursus pendidikan inklusif.............................................. 50 BAB 5 PENDIDIKAN INKLUSIF ABAD 21 ................................................. 53 A. Pengarusutamaan (mainstreaming) ................................... 54 B. Fauxclusion.......................................................................... 56 BAB 6 FILOSOFI PENDIDIKAN INKLUSIF ................................................ 59 A. Pergeseran filsafat dalam pendidikan................................. 60 B. Filosofi pendidikan inklusif.................................................. 62
ix BAB 7 KONSEP FUNDAMENTAL PENDIDIKAN INKLUSIF ...................... 69 A. Ableism.................................................................................70 B. The concept of equity...........................................................72 C. The dilemma of difference ...................................................74 D. Inclusive language ...............................................................76 BAB 8 PRINSIP-PRINSIP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF ...................... 81 A. Konsep perbedaan individu..................................................82 B. Konsep pendidikan inklusif radikal dan moderat................88 BAB 9 PENDIDIKAN INKLUSIF DALAM NAUNGAN REGULASI ............... 93 A. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa ....95 B. UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002) .......................98 C. UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.....101 D. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas..........104 E. Pergub DIY No.21 Tahun 2013 ttg Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.............................................................107
x F. Pergub DIY No. 41 Tahun 2013 tentang Pembentukan Pusat Sumber Pendidikan Inklusif............................................... 109 G. Perwal Kota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif............................... 112 BAB 10 TANTANGAN DAN HAMBATAN TERWUJUDNYA INKLUSIVITAS DALAM PENDIDIKAN ................................................... 115 A. Keyakinan yang mengakar tentang pendidikan khusus ... 117 B. Segregasi sebagai bentuk pendidikan inklusif.................. 118 C. Kepercayaan mengenai anak dengan kebutuhan khusus lebih baik dalam pengaturan khusus ................................ 119 D. Siswa difabel menghambat siswa lain di kelas ................ 121 E. Implikasi untuk praktik professional ................................. 122 BAB 11 KESEMPATAN DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF ..................................................................... 125 A. Guru yang kompeten.......................................................... 126 B. Jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) ......................... 128 C. Lingkungan sekolah........................................................... 129 D. Kebijakan afirmatif............................................................. 130 E. Sistem dukungan ............................................................... 131
xi BAB 12 SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF (SPPI) .... 135 A. Peserta Didik ......................................................................136 B. Identifikasi dan asesmen ...................................................138 C. Kurikulum ...........................................................................139 D. Ketenagaan ........................................................................140 E. Kegiatan pembelajaran ......................................................142 F. Sistem kenaikan kelas dan laporan hasil belajar..............143 G. Sarana dan prasarana pendidikan.....................................144 H. Manajemen sekolah ...........................................................145 I. Pembiayaan........................................................................147 J. Pemberdayaan masyarakat...............................................148 BAB 13 MEKANISME MENJADI SEKOLAH PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF (SPPI) .................................... 151 A. Kriteria calon SPPI .............................................................152 B. Prosedur pendirian.............................................................154 C. Monitoring dan evaluasi.....................................................157 D. Pembinaan..........................................................................160 Daftar Pustaka .......................................................................... 162 Glosarium ................................................................................. 181
xii Indeks…. .................................................................................... 184 Tentang Penulis ........................................................................ 186
1 BAB 1 KONSEP DISABILITAS
2 etelah mempelajari isi bab Memahami Konsep Disabilitas, diharapkan kita kini memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep-konsep kunci terkait disabilitas. Bab tersebut membuka jendela pengetahuan tentang definisi disabilitas, karakteristik penyandang disabilitas, istilah "difabel," serta pemahaman tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Selain itu, bab tersebut juga membahas ragam disabilitas yang mencakup berbagai kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh individu dengan kebutuhan khusus. Dengan pemahaman ini, diharapkan kita dapat lebih terbuka dan peka terhadap keberagaman dan kebutuhan masing-masing individu, menciptakan lingkungan inklusif yang mendukung pertumbuhan dan partisipasi penuh bagi semua anggota masyarakat. A. Definisi disabilitas, penyandang disabilitas, difabel, anak berkebutuhan khusus Disabilitas Definisi disabilitas dapat bervariasi tergantung pada konteks, teori, atau perspektif yang digunakan. Beberapa pendekatan teoretis mengenai disabilitas mencakup aspekaspek berikut. 1. Model Medis a. Menurut model medis, disabilitas dipandang sebagai akibat dari kecacatan atau penyakit yang mempengaruhi fungsi tubuh atau organ (Siahaan, 2022). b. Fokusnya adalah pada penyembuhan, pengobatan, atau rehabilitasi untuk mengatasi keterbatasan fisik atau mental (R. Sari, 2020). S
3 2. Model Sosial a. Model sosial memandang disabilitas sebagai hasil dari interaksi antara individu dengan keterbatasan dan lingkungannya yang mungkin tidak mendukung (Oblak et al., 2023). b. Perspektifnya menekankan pada peran masyarakat dalam menciptakan hambatan atau mendukung partisipasi penuh individu dengan disabilitas. 3. Model Biopsikososial a. Model biopsikososial menggabungkan aspek biologis, psikologis, dan sosial untuk memahami disabilitas secara holistic (Hayes & Bulat, 2017). b. Perspektifnya memandang disabilitas sebagai hasil dari interaksi antara faktor fisik, psikologis, dan sosial. 4. Model Inklusif a. Menggagas inklusi dan partisipasi penuh individu dengan disabilitas dalam semua aspek kehidupan masyarakat. b. Model ini menekankan pentingnya menghilangkan hambatan dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua individu (Gamage et al., 2021). Beberapa ahli terkemuka seperti Oliver Sacks, Erik Erikson, atau Carol Gilligan telah memberikan kontribusi pada pemahaman kita tentang disabilitas melalui pendekatan klinis, psikologis, atau etika. Pemahaman tentang disabilitas terus berkembang seiring waktu dengan penelitian dan pandangan yang lebih inklusif terhadap keragaman manusia (Sy[`c’c_, 2014).
4 Penyandang disabilitas Penyandang disabilitas adalah istilah yang merujuk kepada individu yang mengalami keterbatasan fisik, mental, atau sensorik yang dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari mereka (Kamyabi & Alipour, 2022). Definisi penyandang disabilitas dapat bervariasi tergantung pada konteks dan kerangka pandang yang digunakan. Dalam konteks umum, penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan dalam fungsi tubuh atau pikiran yang mungkin memerlukan dukungan khusus atau modifikasi lingkungan untuk memfasilitasi partisipasi mereka dalam kehidupan sehari-hari (Doussard et al., 2024). Penting untuk diingat bahwa istilah ini mencakup berbagai kondisi dan tingkat keparahan. Penyandang disabilitas dapat memiliki keterbatasan fisik, seperti kesulitan bergerak atau gangguan penglihatan, keterbatasan mental seperti gangguan perkembangan atau gangguan mental, atau keterbatasan sensorik seperti gangguan pendengaran. Dalam upaya menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, pemahaman yang mendalam tentang keberagaman penyandang disabilitas menjadi kunci dalam mengembangkan dukungan dan kebijakan yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan mereka (Herawati, 2017). Difabel "Difabel" adalah istilah yang mengacu pada individu dengan disabilitas. Difabel pertama kali diperkenalkan oleh Mansour Faqih, dan merupakan singkatan dari differently abled. Istilah ini digunakan sebagai alternatif untuk merujuk kepada orang-orang yang menghadapi keterbatasan fisik, mental, atau sensorik (Anastasiou & Kauffman, 2013). Penggunaan istilah "difabel" seringkali mencerminkan
5 pendekatan yang lebih positif dan memberikan penekanan pada kemampuan dan potensi individu, dibandingkan dengan istilah yang mungkin memiliki konotasi lebih negatif seperti "penyandang disabilitas, tuna, dan penyandang cacat." Artinya, setiap orang, termasuk difabel able to do something but in different ways. Contohnya, difabel netra bisa membaca, tapi dengan cara yang berbeda, misalnya tidak menggunakan mata, namun dengan bantuan software seperti JAWS. The use of the term "disabled" often reflects a more positive approach and places emphasis on an individual's abilities and potential, compared to terms that may have more negative connotations such as "persons with disabilities, disabilities, and persons with disabilities." That is, everyone, including people with disabilities can do something but in different ways. For example, blind people can read, but in a different way, for example not using eyes, but with the help of software Anak berkebutuhan khusus Anak berkebutuhan khusus (ABK) merujuk kepada anakanak yang memiliki kebutuhan khusus dalam proses pendidikan mereka karena kondisi fisik, mental, emosional, atau perkembangan yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Istilah ABK paling banyak digunakan dalam konteks dan regulasi pendidikan. Definisi ini mencakup sejumlah kondisi yang mungkin memerlukan dukungan atau layanan tambahan agar anak-anak tersebut dapat mengakses dan mengikuti pendidikan dengan sukses (Kissow, 2015). Kondisi-kondisi yang dapat membuat seorang anak dianggap berkebutuhan khusus melibatkan berbagai spektrum, seperti:
6 1. Keterbatasan fisik Kesulitan gerak atau mobilitas yang memerlukan peralatan atau aksesibilitas yang khusus. 2. Gangguan perkembangan Kesulitan dalam aspek-aspek perkembangan seperti bicara, keterampilan sosial, atau keterampilan akademis. 3. Gangguan emosional Kesulitan dalam mengelola emosi atau berinteraksi secara sosial. 4. Gangguan belajar Kesulitan dalam memahami atau mengolah informasi dengan cara yang umumnya diharapkan pada usia mereka. 5. Gangguan kesehatan mental atau fisik Kondisi medis yang dapat mempengaruhi kesejahteraan umum anak. Urgensi dalam era saat ini, kita harus mengakui dan memenuhi kebutuhan khusus anak-anak ini di dalam sistem pendidikan adalah bagian integral dari upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan mendukung perkembangan holistik setiap anak. Pendekatan individual dan program pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak berkebutuhan khusus sangat penting untuk memastikan bahwa mereka dapat mencapai potensi maksimal mereka.
7 B. Ragam disabilitas Ragam disabilitas melibatkan sejumlah kondisi yang dapat mempengaruhi individu secara beragam. Disabilitas fisik mencakup keterbatasan gerak atau mobilitas, sementara disabilitas sensori mencakup tantangan dalam penglihatan (netra) dan pendengaran (tuli). Disabilitas mental melibatkan kesulitan dalam mengelola aspek emosional, sedangkan disabilitas intelektual mencakup keterbatasan dalam kemampuan intelektual atau belajar (Maia et al., 2018). Setiap jenis disabilitas ini membawa tantangan unik, dan pemahaman mendalam terhadap keberagaman ini penting untuk menciptakan lingkungan inklusif yang memenuhi kebutuhan dan mendukung perkembangan penuh potensi setiap individu (Thohari, 2014). 1. Fisik Disabilitas fisik mencakup berbagai kondisi yang membatasi fungsi fisik seseorang, baik secara sementara maupun permanen. Individu dengan disabilitas fisik mungkin mengalami kesulitan dalam bergerak, menggunakan bagian tubuh tertentu, atau menjalankan aktivitas sehari-hari (Herawati, 2017). Contoh disabilitas fisik melibatkan berbagai kondisi seperti kelumpuhan akibat cedera tulang belakang, amputasi anggota tubuh, atau kelainan otot. Kondisi ini dapat memengaruhi kemandirian individu dalam melakukan aktivitas seperti berjalan, mengangkat benda, atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pemenuhan kebutuhan individu dengan disabilitas fisik sering melibatkan penggunaan peralatan bantu seperti kursi roda, tongkat, atau alat bantu lainnya.
8 Gambar 1.1 Ilustrasi disabilitas fisik Selain itu, pentingnya aksesibilitas dalam lingkungan fisik, transportasi, dan fasilitas umum menjadi krusial agar individu tersebut dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam menciptakan lingkungan yang inklusif, perlu adanya kesadaran, pemahaman, dan dukungan dari masyarakat untuk menghilangkan stigma dan memastikan bahwa individu dengan disabilitas fisik memiliki peluang yang setara dalam segala aspek kehidupan. 2. Sensori Disabilitas sensori mencakup dua kondisi utama, yaitu disabilitas penglihatan (netra) dan disabilitas pendengaran (tuli), yang secara signifikan mempengaruhi persepsi dan interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Individu dengan disabilitas netra menghadapi tantangan dalam penglihatan, dan tingkat keparahan bisa bervariasi mulai dari penglihatan terbatas hingga kebutaan total (Thohari, 2019). Mereka sering mengandalkan metode alternatif seperti braille, alat bantu berbicara, atau anjing penuntun untuk membantu kehidupan sehari-hari mereka.
9 Gambar 1.2 Ilustrasi disabilitas sensori (netra) Di sisi lain, individu dengan disabilitas tuli mengalami kesulitan dalam pendengaran dan sering memerlukan bantuan alat bantu seperti alat bantu dengar atau menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Pemahaman dan dukungan komunitas sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, di mana teknologi dan fasilitas yang sesuai dapat mendukung partisipasi penuh mereka dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pendidikan, dan pekerjaan 3. Mental Disabilitas mental melibatkan tantangan atau keterbatasan dalam fungsi mental atau emosional individu. Kondisi-kondisi ini dapat mencakup gangguan mood seperti depresi atau bipolar, gangguan kecemasan, skizofrenia, dan gangguan kepribadian, di antara lain. Disabilitas mental dapat memengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, dan kemampuan seseorang untuk mengatasi tuntutan kehidupan sehari-hari (Liu et al., 2018). Individu dengan disabilitas mental mungkin memerlukan dukungan khusus dalam hal perawatan kesehatan mental, konseling, atau terapi untuk membantu mereka mengelola kondisi mereka. Pentingnya mengurangi stigma terkait dengan disabilitas
10 mental dan menyediakan layanan dukungan yang memadai menjadi kunci dalam membantu individu ini mencapai kesejahteraan mental mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat. Kesadaran, pemahaman, dan dukungan dari masyarakat umum juga berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung bagi individu dengan disabilitas mental. 4. Intelektual Disabilitas intelektual melibatkan keterbatasan dalam kemampuan kognitif dan fungsi intelektual seseorang. Individu dengan disabilitas intelektual mungkin menghadapi tantangan dalam memahami informasi, memecahkan masalah, dan berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari (Kamyabi & Alipour, 2022). Gambar 1.3 Ilustrasi disabilitas intelektual Kondisi ini dapat mencakup kesulitan belajar, keterlambatan perkembangan, dan keterbatasan dalam memahami konsep abstrak. Mereka memerlukan dukungan tambahan dalam pendidikan, pelatihan
11 keterampilan hidup, dan pengembangan keterampilan sosial. Upaya inklusi dan penekanan pada potensi individu menjadi kunci dalam membantu mereka mencapai kemandirian sebanyak mungkin. Program pendidikan yang disesuaikan, dukungan komunitas, dan kesadaran masyarakat tentang keberagaman kemampuan intelektual dapat berkontribusi pada menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan dan kehidupan yang bermakna bagi individu dengan disabilitas intelektual. 5. Emosional dan Perilaku Disabilitas emosional dan perilaku melibatkan kesulitan atau keterbatasan dalam mengelola dan mengekspresikan emosi serta perilaku yang dapat mempengaruhi hubungan interpersonal dan fungsi sosial individu. Individu dengan disabilitas emosional mungkin mengalami gangguan mood, kecemasan, atau masalah perilaku seperti agresi atau isolasi social (Doussard et al., 2024). Tantangan ini dapat memerlukan pendekatan yang berfokus pada dukungan emosional, terapi perilaku, atau intervensi yang dirancang untuk membantu individu mengatasi kesulitan mereka. Lingkungan yang mendukung, baik di sekolah maupun di masyarakat, dapat berperan penting dalam membentuk perilaku positif dan memfasilitasi pengembangan keterampilan sosial. Kesadaran masyarakat tentang disabilitas emosional dan perilaku, bersama dengan dukungan keluarga dan profesional, memegang peranan kunci dalam memastikan individu ini memiliki akses penuh terhadap sumber daya dan layanan yang mereka butuhkan untuk mencapai kesejahteraan dan integrasi sosial (Hamidi, 2017).
12 Definisi disabilitas membuka jendela pengetahuan dengan menggambarkan keragaman perspektif, seperti model medis yang fokus pada penyembuhan, model sosial yang menekankan peran masyarakat, model biopsikososial yang menggabungkan aspek fisik, psikologis, dan sosial, serta model inklusif yang mendorong partisipasi penuh individu. Penyandang disabilitas adalah individu dengan keterbatasan fisik, mental, atau sensorik, memerlukan dukungan khusus untuk partisipasi penuh dalam kehidupan sehari-hari. Istilah "difabel" mencerminkan pendekatan positif terhadap individu dengan disabilitas, menekankan kemampuan dan potensi mereka. Anak berkebutuhan khusus mencakup kondisi fisik, mental, emosional, atau perkembangan yang memerlukan dukungan khusus dalam pendidikan. Ragam disabilitas melibatkan berbagai kondisi, seperti fisik, sensori (netra dan tuli), mental, intelektual, dan emosional perilaku, yang menuntut pemahaman mendalam dan inklusif untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan partisipasi semua individu. Rangkuman
13 BAB 2 MODEL-MODEL DISABILITAS DAN SEJARAHNYA
14 etelah mengeksplorasi isi Bab Menganalisis Model-Model Disabilitas dan Sejarahnya, diharapkan kita kini memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai model disabilitas dan konteks sejarah yang melingkupinya. Model-model tersebut mencakup model individual yang menekankan pada peran individu dalam mengatasi tantangan, model medis yang fokus pada aspek medis dan rehabilitasi, serta model sosial yang menyoroti peran masyarakat dalam menciptakan hambatan atau dukungan bagi penyandang disabilitas. Pemahaman terhadap post-social model, yang lebih mengeksplorasi dinamika kompleks antara individu dan masyarakat, serta functional model yang menilai kemampuan dan keterbatasan individu tanpa mengabaikan konteks sosialnya, menjadi penting dalam membentuk perspektif yang lebih holistik terkait disabilitas. Dengan demikian, kita diharapkan dapat mengenali kerangka kerja yang beragam dalam membahas disabilitas, membantu menciptakan pendekatan inklusif yang memperhitungkan berbagai aspek dan keunikan setiap individu. A. Model Individual Model Individual dalam konteks disabilitas menekankan pada peran dan tanggung jawab individu yang mengalami keterbatasan. Dalam pendekatan ini, disabilitas dianggap sebagai masalah atau tantangan yang dihadapi oleh individu, dan fokusnya adalah pada upaya individu untuk mengatasi atau mengelola keterbatasan tersebut (Oblak et al., 2023). Dalam Model Individual, penyandang disabilitas dilihat sebagai orang yang perlu mengembangkan keterampilan, kekuatan, dan strategi pribadi untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sehari-hari (Courtney-Long et al., 2017). Pemahaman kondisi disabilitas seringkali dilihat meS
15 lalui lensa kesehatan individu, dan solusi atau perubahan diarahkan pada tingkat personal. Model Individu dalam konteks disabilitas tidak memiliki sejarah yang spesifik sebagaimana Model Medis atau Model Sosial. Sebaliknya, pendekatan ini muncul sebagai konsep yang bersifat umum, dengan fokus pada peran dan tanggung jawab individu dalam mengatasi keterbatasan atau tantangan yang dihadapi akibat disabilitas. Beberapa perkembangan dan tren yang berkaitan dengan pandangan individu terhadap disabilitas melibatkan pergeseran dari stigmatisme ke pemberdayaan individu dengan disabilitas. Berikut adalah beberapa elemen yang mencirikan pandangan individu terhadap disabilitas. 1. Abad ke-20 Pada paruh pertama abad ke-20, pandangan terhadap disabilitas seringkali didominasi oleh stigmatisme dan isolasi terhadap penyandang disabilitas. Mereka sering kali dianggap sebagai "lain" atau "berbeda." 2. Tahun 1970-an Pada periode ini, munculnya gerakan hak-hak penyandang disabilitas dan pengakuan akan hak individual dalam mengambil peran aktif dalam kehidupan sehari-hari mengarah pada pengembangan Model Individu. Penyandang disabilitas mulai menekankan pentingnya pemberdayaan pribadi, kemandirian, dan tanggung jawab individu terhadap kehidupan mereka sendiri. 3. 1980-an hingga 1990-an Pemahaman tentang keberagaman individu dengan disabilitas semakin berkembang. Konsep pemberdayaan
16 pribadi dan dukungan untuk mengejar kehidupan yang bermakna secara independen menjadi lebih diakui. 4. Abad ke-21 Saat ini, terdapat peningkatan kesadaran akan hakhak individual penyandang disabilitas, termasuk hak untuk memilih dan memiliki kontrol atas kehidupan mereka. Pendidikan inklusif, pekerjaan, dan akses terhadap sumber daya yang mendukung kemandirian menjadi fokus utama. Meskipun Model Individu tidak memiliki sejarah yang jelas sebagaimana model-model lainnya, pandangan ini menjadi semakin diperkuat oleh peningkatan kesadaran akan hak-hak individu, inklusi, dan pemberdayaan penyandang disabilitas. Model Individu menekankan pentingnya melihat setiap individu sebagai agen aktif dalam membentuk dan menjalani kehidupan mereka, mengatasi hambatan, dan mencapai potensi penuh mereka (Fiala, 2019). Sebuah kritik terhadap pendekatan ini mengatakan bahwa hal ini dapat mengabaikan faktor-faktor struktural atau sosial yang mungkin menciptakan hambatan bagi penyandang disabilitas (Mosia, 2018). Oleh karena itu, pemahaman Model Individual perlu diimbangi dengan pemahaman model-model lainnya, seperti Model Sosial, untuk mendapatkan pandangan yang lebih komprehensif tentang disabilitas dan cara mendukung partisipasi penuh individu dalam masyarakat. B. Model Medis Model Medis atau Medical Model dalam konteks disabilitas menekankan pada pandangan klinis terhadap disabilitas. Menurut pendekatan ini, disabilitas dianggap
17 sebagai kondisi medis atau patologis yang memerlukan perhatian dan intervensi dari tenaga medis atau profesional kesehatan. Fokus utamanya adalah pada diagnosis, pengobatan, dan rehabilitasi individu dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan dampak fisik atau mental dari kondisi disabilitas (Finkelstein, 2007). Sejarah Model Medis dalam konteks disabilitas dapat dilacak kembali ke periode ketika disabilitas seringkali dianggap sebagai masalah kesehatan individual yang memerlukan perawatan medis atau rehabilitasi. Berikut adalah beberapa tahapan penting dalam sejarah perkembangan Model Medis: 1. Abad ke-19 Pada abad ke-19, pandangan masyarakat terhadap disabilitas cenderung didominasi oleh perspektif moral dan keagamaan. Penyandang disabilitas sering dianggap sebagai orang yang harus diisolasi atau disembuhkan agar tidak "mencemari" masyarakat. 2. Awal abad ke-20 Model Medis mulai berkembang seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran dan rehabilitasi. Disabilitas dipahami sebagai hasil dari kondisi medis atau biologis yang memerlukan diagnosis, perawatan, atau rehabilitasi oleh tenaga medis. 3. Setelah Perang Dunia II Pasca Perang Dunia II, terutama dengan meningkatnya jumlah penyandang disabilitas akibat konflik dan perkembangan teknologi medis, pendekatan medis semakin mendominasi. Fokus utama adalah pada perawatan kesehatan dan rehabilitasi fisik.
18 4. Tahun 1970-an Kritik terhadap Model Medis mulai muncul, terutama dari gerakan hak-hak penyandang disabilitas. Munculnya organisasi seperti "Disabled Peoples' International" membawa kesadaran akan pentingnya melibatkan penyandang disabilitas dalam keputusan yang memengaruhi hidup mereka. 5. 1980-an hingga 1990-an Pada periode ini, gerakan inklusi dan penekanan pada hak-hak sipil mulai mempertanyakan dominasi Model Medis. Kritik terhadap medicalization, atau pengobatan berlebihan terhadap disabilitas, semakin meningkat. Meskipun Model Medis masih memiliki peran penting dalam diagnosis dan perawatan medis individu dengan disabilitas, pemahaman yang lebih luas dan inklusif, seperti Model Sosial dan Model Fungsional, telah mendapatkan pengakuan yang lebih besar dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun demikian, Model Medis tetap relevan dalam pengelolaan dan perawatan individu dengan kondisi medis tertentu. Model Medis seringkali menempatkan tanggung jawab pada individu untuk beradaptasi dengan norma-norma sosial yang ada atau menjalani pengobatan yang diberikan oleh tenaga medis. Kritik terhadap Model Medis mencuatkan bahwa pendekatan ini dapat mengabaikan faktor-faktor sosial dan lingkungan yang berkontribusi pada pengalaman disabilitas. Oleh karena itu, seiring waktu, terdapat pergeseran menuju model-model lain seperti Model Sosial, yang lebih menekankan pada pengaruh lingkungan dan masyarakat terhadap kehidupan penyandang disabilitas. Meskipun demikian, Model Medis masih memiliki peran
19 penting dalam diagnosis dan perawatan medis individu dengan disabilitas (Kazou, 2017). C. Model Sosial Model Sosial dalam konteks disabilitas muncul sebagai tanggapan terhadap dominasi Model Medis yang sebelumnya mendominasi pemahaman dan pendekatan terhadap disabilitas. Sejarah perkembangan Model Sosial melibatkan perubahan pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas dan pengakuan bahwa banyak hambatan yang mereka hadapi bukan hanya berasal dari kondisi medis atau individu, melainkan juga dari faktor-faktor sosial dan lingkungan (Alenaizi, 2017). Berikut adalah beberapa tahapan penting dalam sejarah Model Sosial disabilitas. 1. 1960-an hingga 1970-an Pada periode ini, gerakan hak-hak penyandang disabilitas mulai berkembang di berbagai negara Barat. Munculnya organisasi-organisasi seperti "The Union of the Physically Impaired Against Segregation" di Inggris dan "Disabled in Action" di Amerika Serikat membawa fokus pada ketidaksetaraan dan diskriminasi yang dihadapi oleh penyandang disabilitas. 2. 1970-an Sejumlah penelitian dan tulisan, termasuk karya dari tokoh seperti Michael Oliver dan Vic Finkelstein, memberikan landasan untuk Model Sosial dengan menyoroti peran masyarakat dalam menciptakan hambatan bagi penyandang disabilitas. Mereka menekankan bahwa penyandang disabilitas bukanlah individu yang harus disembuhkan atau diisolasi,
20 melainkan orang yang dihadapkan pada hambatanhambatan sosial. 3. 1980-an Model Sosial mulai mendapatkan pengakuan yang lebih luas dan memengaruhi kebijakan dan praktik di berbagai negara. Di Inggris, misalnya, perubahan dalam pendekatan terhadap pendidikan inklusif dan hak-hak penyandang disabilitas mulai terwujud. 4. 1990-an hingga sekarang Pada dekade ini, munculnya Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2006 menjadi tonggak penting dalam mengakui hak-hak penyandang disabilitas dan mendorong pendekatan inklusif berbasis hak asasi manusia. Model Sosial terus berkembang dan berubah seiring waktu, dengan perjuangan terus-menerus menuju inklusi penuh dan pengakuan hak-hak penyandang disabilitas di berbagai tingkat masyarakat dan lembaga internasional. Model Sosial dalam konteks disabilitas menawarkan pendekatan yang berbeda dengan fokus pada faktor-faktor sosial dan lingkungan sebagai penyebab utama hambatan bagi penyandang disabilitas. Menurut Model Sosial, ketidakmampuan bukanlah semata-mata disebabkan oleh kondisi fisik atau mental individu, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh cara masyarakat merancang lingkungannya (Gamage et al., 2021). Dalam Model Sosial, stigma, diskriminasi, dan kurangnya aksesibilitas dianggap sebagai faktor yang menciptakan hambatan bagi partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam masyarakat. Dengan menanggapi dan mengubah faktor-faktor sosial ini, Model Sosial bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan merata.
21 Pendekatan ini telah membawa perubahan signifikan dalam cara disabilitas dipahami dan diakui. Model Sosial menekankan hak-hak penyandang disabilitas dan mengajak masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung semua individu, tanpa memandang kondisi fisik atau mental mereka. Meskipun bukan tanpa kritik, Model Sosial tetap menjadi konsep penting dalam perdebatan dan perubahan kebijakan terkait disabilitas. D. Post-social model Sejauh ini, belum ada konsensus universal atau sejarah yang jelas mengenai Post-Social Model dalam konteks disabilitas. Post-Social Model merupakan suatu konsep yang berkembang setelah Model Sosial (Liu et al., 2018). Pendekatan ini muncul sebagai respons terhadap beberapa kritik terhadap Model Sosial dan mencoba untuk mengatasi beberapa keterbatasan yang diidentifikasi oleh para kritikus (Siahaan, 2022). Berikut beberapa poin penting terkait dengan Post-Social Model. 1. Kritik terhadap Model Sosial Beberapa kritik terhadap Model Sosial mencakup ketidakmampuannya dalam mengakui keberagaman pengalaman dan kebutuhan individu dengan disabilitas. Kritikus juga menyoroti bahwa model tersebut tidak sepenuhnya menangani perbedaan dalam pengalaman disabilitas, terutama dalam konteks disabilitas yang kompleks atau multiple (Cahyadi & Setiawan, 2020). 2. Fokus pada Pengalaman Individu Post-Social Model cenderung lebih menekankan pada pengalaman individu dan menerima bahwa pengalaman disabilitas dapat sangat bervariasi. Pendekatan ini mencoba menghindari generalisasi dan
22 mengakui bahwa setiap individu memiliki kebutuhan dan pengalaman yang unik (Nurmalasari & Pribadi, 2021). 3. Mengatasi Determinisme Sosial yang Kaku Post-Social Model berusaha untuk mengatasi determinisme sosial yang mungkin muncul dalam Model Sosial. Ini mencoba untuk mengakui bahwa faktor-faktor seperti kebudayaan, agama, dan keunikan individu juga dapat memainkan peran penting dalam pengalaman disabilitas. 4. Inklusivitas dan Penerimaan Keberagaman Pendekatan ini lebih mendukung ide inklusivitas dan penerimaan keberagaman dalam memahami disabilitas. Pemahaman ini mencakup keberagaman dalam identitas, kebutuhan, dan aspirasi individu dengan disabilitas (Putra et al., 2021). Perihal yang perlu diingat bahwa Post-Social Model masih dalam tahap perkembangan, dan belum ada konsensus yang menyeluruh mengenai cakupan atau karakteristiknya. Konsep ini mencerminkan upaya untuk terus berkembang dan menyesuaikan pemahaman kita terhadap disabilitas seiring dengan perubahan masyarakat dan pengetahuan yang semakin mendalam. E. Functional model Model Fungsional dalam konteks disabilitas menekankan pada penilaian dan pemahaman kemampuan dan keterbatasan fungsional individu sebagai titik fokus utama. Pendekatan ini melibatkan evaluasi terhadap aktivitas dan partisipasi individu dalam kehidupan sehari-hari, dengan
23 menilai bagaimana disabilitas memengaruhi fungsi tubuh dan keterlibatan dalam aktivitas sosial (Dwintari, 2021). Beberapa poin terkait dengan Model Fungsional dalam sejarah dan pengembangannya melibatkan: 1. Pemahaman Keterbatasan Fungsional Model Fungsional menekankan pada keterbatasan fungsional sebagai konsekuensi dari kondisi disabilitas. Ini mencakup pemahaman tentang bagaimana kondisi kesehatan dapat memengaruhi kemampuan individu untuk melakukan aktivitas fisik, kognitif, atau sosial. 2. Evaluasi Fungsional Pendekatan ini seringkali melibatkan evaluasi fungsi tubuh, aktivitas sehari-hari, dan partisipasi sosial untuk memahami sejauh mana individu dapat berfungsi secara mandiri dan berpartisipasi dalam masyarakat. 3. Dukungan Keterampilan dan Adaptasi Model Fungsional fokus pada identifikasi keterampilan yang masih dapat dikembangkan, dukungan yang diperlukan untuk meningkatkan kemandirian, dan kemungkinan adaptasi lingkungan untuk memfasilitasi partisipasi penuh individu. 4. Peran Ahli Terapi dan Profesional Kesehatan Model Fungsional seringkali melibatkan kolaborasi dengan ahli terapi, profesional kesehatan, atau tenaga medis lainnya untuk merancang intervensi yang sesuai dengan kebutuhan individu. Hal ini dapat mencakup rehabilitasi fisik, terapi okupasi, atau dukungan psikososial. Model Fungsional bukanlah pendekatan yang bersifat eksklusif, dan seringkali digunakan bersama dengan modelmodel lainnya. Tujuannya adalah untuk menyediakan
24 pandangan yang komprehensif terhadap kebutuhan individu dengan disabilitas dan membantu mereka mencapai kemandirian sejauh mungkin (Dwivedi et al., 2023). Sejarah pemahaman disabilitas mencerminkan perjalanan dari perspektif individu hingga model-model yang lebih inklusif. Model Individu, berkembang sejak abad ke-20, menekankan peran aktif dan pemberdayaan individu. Di sisi lain, Model Medis, dominan pada abad ke-19 dan setelah Perang Dunia II, menyoroti aspek klinis dan perawatan medis. Model Sosial, muncul pada 1960-an, menyoroti hambatan sosial dan kesetaraan hak. Meskipun sukses, Model Sosial mendapat kritik, mendorong pengembangan Post-Social Model yang lebih fokus pada keberagaman pengalaman individu. Dalam konteks ini, Model Fungsional menekankan penilaian kemampuan dan keterbatasan fungsional, melibatkan evaluasi aktivitas sehari-hari dan kerjasama dengan ahli terapi. Integrasi model-model ini menjadi kunci untuk pemahaman holistik terhadap disabilitas. Dengan menggabungkan elemen-elemen Model Individu, Medis, Sosial, Post-Social, dan Fungsional, dapat dibentuk pendekatan inklusif yang mempertimbangkan kesehatan, lingkungan, dan hak-hak individu. Pendekatan ini bertujuan menciptakan masyarakat yang mendukung partisipasi penuh penyandang disabilitas. Rangkuman
25 BAB 3 SEJARAH PERJALANAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI TINGKAT INTERNASIONAL
26 etelah menyelesaikan bab ini, diharapkan pembaca memiliki pemahaman yang mendalam tentang sejarah perjalanan pendidikan inklusif di tingkat internasional, yang dimulai sejak adopsi Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 hingga penerbitan General Comment No. 4 on Article 24: Right to inclusive education pada tahun 2016. Sejarah ini mencerminkan evolusi pandangan global terhadap hak-hak pendidikan, khususnya bagi individu dengan kebutuhan khusus. Dari deklarasi hak asasi manusia hingga konvensi dan pernyataan-pernyataan yang lebih spesifik tentang hak pendidikan inklusif, perjalanan ini mencatat komitmen dunia untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, setara, dan menghormati keberagaman individu. Selain itu, pemahaman praktik pendidikan inklusif di beberapa negara memberikan gambaran konkret tentang implementasi konsep ini dalam konteks lokal. Dengan memahami perjalanan dan praktik ini, pembaca diharapkan dapat lebih mendukung upaya global dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung setiap individu, tanpa memandang kondisi fisik atau mental mereka. A. Perjalanan pendidikan inklusif Perjalanan pendidikan inklusif dari tahun 1948, ketika Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) diadopsi, hingga General Comment No. 4 on Article 24 yang dikeluarkan pada tahun 2016 menunjukkan perkembangan dan perubahan signifikan dalam pemahaman dan implementasi pendidikan inklusif. Berikut adalah beberapa poin penting dalam perjalanan ini. 1. Universal Declaration of Human Rights (1948) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjadi tonggak penting dalam mengakui hak-hak dasar setiap S
27 individu, tanpa memandang kondisi fisik atau mental. Meskipun deklarasi ini tidak secara spesifik membahas pendidikan inklusif, konsep hak-hak universal membawa implikasi positif terhadap pendidikan bagi semua (Arianto & Apsari, 2023). 2. Deklarasi Education for All (Pendidikan untuk Semua) (1990-an) Pada tahun 1990, Konferensi Pendidikan Dunia di Jomtien, Thailand, menandai dimulainya Deklarasi Pendidikan untuk Semua. Tujuannya adalah untuk mencapai akses dan pendidikan dasar yang berkualitas untuk semua anak, remaja, dan orang dewasa. Ini menciptakan landasan bagi konsep inklusi di dalam sistem Pendidikan (Syahya Jingga et al., 2023). 3. Deklarasi Salamanca (1994) Konferensi Pendidikan Dunia menghasilkan Deklarasi Salamanca, yang menekankan pentingnya pendidikan inklusif sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan semua anak, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus. Deklarasi ini memperkuat komitmen global terhadap inklusi di dalam pendidikan (Harisantoso, 2023). 4. Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD, 2006) Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas menjadi landasan penting dalam memastikan hak-hak pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Artikel 24 secara khusus menetapkan hak setiap penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan inklusif dan berusaha untuk menghilangkan diskriminasi di dalamnya (Putri et al., 2022).
28 5. General Comment No. 4 on Article 24 (2016) Pada tahun 2016, Komite Hak-Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan General Comment No. 4 untuk memberikan panduan lebih lanjut tentang pelaksanaan Artikel 24 Konvensi. Ini mencakup pedoman dan prinsip untuk mencapai pendidikan inklusif, yang menekankan pada konsep "tidak ada satu pun yang tertinggal" (Arianto & Apsari, 2023). Perjalanan ini mencerminkan evolusi pemikiran dan praktek terkait pendidikan inklusif dari aspek hak asasi manusia dan inklusi masyarakat. Meskipun masih ada tantangan dan kerja yang harus dilakukan, komitmen global terus tumbuh untuk menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, adil, dan menghormati hak setiap individu. B. Praktik pendidikan inklusif di beberapa Negara Seiring perkembangan waktu, berbagai negara telah berkomitmen untuk mewujudkan pendidikan inklusif sebagai bagian integral dari sistem pendidikan mereka. Beberapa negara telah mengambil langkah konkret untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, di mana setiap anak, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, memiliki akses yang setara dan mendapatkan dukungan yang sesuai. Praktik pendidikan inklusif ini mencakup berbagai aspek, mulai dari penyediaan sarana fisik yang ramah disabilitas, pengembangan kurikulum yang dapat disesuaikan, hingga pelatihan guru untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam menghadapi keberagaman siswa.
29 Sebagai contoh, beberapa negara telah berhasil mengimplementasikan model pendidikan inklusif di sekolah-sekolah mereka dengan menyediakan dukungan tambahan, seperti guru pendukung, peralatan pendukung, dan modifikasi dalam metode pengajaran. Selain itu, inisiatif legislatif dan kebijakan pendidikan inklusif telah diadopsi untuk memberikan landasan hukum dan panduan bagi implementasi di tingkat nasional. Meskipun praktik ini dapat bervariasi antarnegara, mereka menunjukkan komitmen global untuk menciptakan sistem pendidikan yang mengakui dan menghormati hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Dengan memahami berbagai pendekatan dan strategi yang telah diterapkan oleh negara-negara ini, kita dapat mengevaluasi keberhasilan dan tantangan dalam mewujudkan pendidikan inklusif secara global. Beberapa negara telah menunjukkan komitmen kuat terhadap praktik pendidikan inklusif melalui berbagai inisiatif dan kebijakan. Berikut beberapa negara dan gambaran singkat mengenai praktik pendidikan inklusif yang mereka terapkan. 1. Kanada Pendidikan inklusif di Kanada mengacu pada pendekatan yang mendorong partisipasi dan kemajuan semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Salah satu aspek kunci dari praktik pendidikan inklusif di Kanada adalah pengakuan bahwa setiap siswa memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan Kanada berkomitmen untuk menciptakan lingkungan belajar yang ramah dan mendukung untuk semua siswa,
30 tanpa memandang perbedaan kemampuan atau kebutuhan (Bunch, 2015). Pemerintah Kanada telah mengembangkan kebijakan pendidikan inklusif yang mendukung keragaman siswa. Praktik ini mencakup pembangunan kurikulum yang dapat diakses oleh semua siswa, pelatihan guru untuk mendukung kebutuhan beragam siswa, serta peningkatan aksesibilitas fisik dan teknologi dalam lingkungan sekolah. Selain itu, terdapat upaya kolaboratif antara guru, orang tua, dan profesional pendidikan lainnya untuk merancang rencana pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu setiap siswa. Sistem pendidikan inklusif di Kanada juga menekankan pentingnya budaya sekolah yang inklusif, di mana semua siswa dihargai dan diakui atas kontribusi mereka. Ini menciptakan lingkungan yang merangsang pertumbuhan dan perkembangan positif, bukan hanya dalam hal akademis, tetapi juga dalam pengembangan keterampilan sosial dan emosional. Dengan fokus pada keadilan dan inklusivitas, pendidikan di Kanada berusaha untuk menciptakan peluang pendidikan yang setara bagi semua siswa, memastikan bahwa tidak ada satu pun yang dikesampingkan dalam proses belajar (Grynova & Kalinichenko, 2018). 2. Swedia Praktik pendidikan inklusif di Swedia mencerminkan komitmen negara untuk memberikan pendidikan yang setara dan inklusif bagi semua siswa, tanpa memandang latar belakang atau kebutuhan khusus. Sistem
31 pendidikan Swedia menempatkan penekanan pada konsep inklusi sebagai bagian integral dari kurikulum nasional, dan mereka memandang pendidikan sebagai hak asasi manusia yang harus diakses oleh semua individu (Dwivedi et al., 2023). Di Swedia, pendidikan inklusif mencakup berbagai strategi untuk mendukung kebutuhan beragam siswa. Salah satu pendekatan kunci adalah pemberian dukungan yang disesuaikan, seperti pemberian bantuan dan sumber daya tambahan kepada siswa dengan kebutuhan khusus. Selain itu, pendidikan inklusif di Swedia mendorong kolaborasi antara guru, spesialis pendidikan, dan orang tua untuk merancang rencana pendukung individual yang memadai (Göransson et al., 2011). Swedia juga menempatkan pentingnya pada pengembangan lingkungan belajar yang ramah dan mendukung di setiap sekolah. Fasilitas yang dapat diakses, termasuk peralatan dan teknologi pendukung, menjadi fokus untuk memastikan bahwa semua siswa dapat mengakses pembelajaran dengan nyaman. Pendidikan inklusif di Swedia juga berupaya untuk menciptakan budaya sekolah yang menghormati keberagaman, mempromosikan rasa inklusi, dan menghindari segala bentuk diskriminasi. Sebagai hasilnya, pendidikan inklusif di Swedia bertujuan untuk memberikan setiap siswa peluang untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya, tidak hanya secara akademis tetapi juga dalam aspek pengembangan sosial dan emosional. Dengan menerapkan prinsipprinsip inklusi ini, Swedia berkomitmen untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan adil melalui
32 sistem pendidikan yang mendukung semua anak dalam perjalanan mereka menuju keberhasilan (Whitley & Hollweck, 2020). 3. Norwegia Praktik pendidikan inklusif di Norwegia mencerminkan nilai-nilai kesetaraan, keadilan, dan hak asasi manusia. Negara ini menempatkan penekanan besar pada hak setiap individu, termasuk mereka dengan kebutuhan pendidikan khusus, untuk mendapatkan pendidikan yang setara dan inklusif. Pendidikan di Norwegia diarahkan pada pengembangan individu secara menyeluruh, dan sistemnya didesain untuk mendukung keragaman siswa. Salah satu aspek penting dari praktik pendidikan inklusif di Norwegia adalah adopsi pendekatan individual untuk setiap siswa. Guru dan spesialis pendidikan bekerja bersama dengan orang tua dan siswa untuk merancang rencana pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Dukungan tambahan, seperti bantuan khusus atau teknologi pendukung, diberikan sesuai dengan kebutuhan spesifik siswa (Fasting, 2013). Norwegia juga menempatkan fokus pada integrasi siswa dengan kebutuhan khusus ke dalam lingkungan pendidikan reguler sebanyak mungkin. Pendidikan inklusif di negara ini didukung oleh pelatihan dan pengembangan profesional yang terus-menerus bagi guru untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam mengelola keberagaman di kelas. Selain itu, budaya sekolah yang inklusif dan mendukung dikembangkan
33 untuk menciptakan lingkungan di mana setiap siswa dihormati dan merasa diterima. Pentingnya kolaborasi antara semua pihak yang terlibat, termasuk guru, orang tua, dan tenaga pendidikan lainnya, menjadi kunci dalam memastikan keberhasilan pendidikan inklusif di Norwegia. Melalui pendekatan ini, Norwegia berusaha memastikan bahwa tidak ada siswa yang dikesampingkan dan setiap individu memiliki peluang yang setara untuk belajar dan berkembang dalam sistem pendidikan mereka (Sigstad et al., 2022). 4. Australia Pendidikan inklusif di Australia menempatkan fokus pada prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan, dan partisipasi penuh bagi semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus (Anderson & Boyle, 2015). Negara ini memiliki kerangka kerja hukum dan kebijakan yang mendukung pendidikan inklusif sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Australia mengakui bahwa setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang relevan, bermakna, dan mendukung perkembangannya. Praktik pendidikan inklusif di Australia melibatkan penyediaan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Ini mencakup penyediaan layanan pendukung, seperti pendidikan khusus, konseling, dan peralatan teknologi yang mendukung. Pendidikan inklusif di negara ini juga didukung oleh pelatihan guru untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang beragam kebutuhan siswa dan cara mendukung mereka secara efektif.
34 Australia menekankan kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan komunitas sebagai aspek kunci dalam pendidikan inklusif. Ini termasuk mengintegrasikan orang tua dan keluarga dalam pengambilan keputusan tentang rencana pendukungan individu untuk siswa. Pemerintah Australia juga mendorong kerjasama antara guru dan spesialis pendidikan untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung bagi semua siswa. Budaya inklusif di sekolah-sekolah Australia berupaya mengurangi stigma dan menciptakan lingkungan yang merangsang pertumbuhan positif bagi semua siswa. Dengan demikian, pendidikan inklusif di Australia tidak hanya berfokus pada keberhasilan akademis, tetapi juga pada pengembangan keterampilan sosial dan emosional siswa. Keseluruhan, pendidikan inklusif di Australia bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang mendukung dan adil melalui pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada kebutuhan individu (Boyle & Anderson, 2020). 5. Jepang Pendidikan inklusif di Jepang mencerminkan nilainilai seperti keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab sosial. Meskipun Jepang memiliki tradisi pendidikan yang kuat dengan fokus pada standar akademis tinggi, negara ini juga memahami pentingnya memberikan pendidikan yang inklusif bagi semua siswa, tanpa memandang perbedaan kemampuan atau kebutuhan (Yusuf et al., 2020). Jepang telah mengadopsi beberapa langkah untuk memastikan pendidikan inklusif, seperti pengembangan
35 kebijakan dan panduan nasional yang mendukung pendidikan bagi siswa dengan kebutuhan khusus. Pemerintah dan sekolah di Jepang berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung dan memfasilitasi partisipasi penuh siswa dengan berbagai kebutuhan. Pendekatan individualisasi dalam pembelajaran menjadi fokus di Jepang, di mana guru dan staf pendidikan berkolaborasi untuk merancang rencana pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan setiap siswa. Sistem dukungan pendidikan khusus, seperti guru pendamping, juga diperkenalkan untuk membantu siswa yang memerlukan bantuan tambahan (Yamamoto & Moriwaki, 2019). Budaya inklusif di sekolah-sekolah Jepang mendorong kerja sama antara guru, orang tua, dan siswa. Pendidikan inklusif di Jepang juga menekankan pentingnya pengembangan keterampilan sosial dan emosional, selain kesuksesan akademis. Ini dapat mencakup pelatihan keterampilan hidup dan integrasi siswa dengan kebutuhan khusus ke dalam kegiatan ekstrakurikuler dan kehidupan sehari-hari di sekolah. Dengan demikian, pendidikan inklusif di Jepang memiliki tujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang ramah, mendukung, dan inklusif, di mana setiap siswa memiliki peluang yang setara untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka (Liem, 2022). Setiap negara memiliki konteks dan tantangan unik, dan pendidikan inklusif dapat berkembang dengan cara yang spesifik untuk memenuhi kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat. Meskipun praktik dapat bervariasi, prinsip-
36 prinsip inklusi dan hak semua individu untuk mendapatkan pendidikan tetap menjadi fokus utama di tingkat internasional. Perjalanan pendidikan inklusif dari 1948 hingga General Comment No. 4 on Article 24 tahun 2016 mencerminkan perkembangan signifikan dalam pemahaman hak asasi manusia dan inklusi masyarakat. Mulai dari Universal Declaration of Human Rights, Deklarasi Pendidikan untuk Semua, Deklarasi Salamanca, hingga Convention on the Rights of Persons with Disabilities, setiap langkah menegaskan komitmen global terhadap pendidikan inklusif. Praktik inklusi di negara-negara seperti Kanada, Swedia, Norwegia, Australia, dan Jepang menunjukkan berbagai pendekatan untuk menciptakan lingkungan belajar yang setara. Meskipun tantangan masih ada, prinsip-prinsip hak asasi manusia dan inklusi tetap menjadi fokus utama dalam mewujudkan pendidikan inklusif secara global. Rangkuman
37 BAB 4 SEJARAH PERJALANAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA
38 ab ini menguraikan sebuah perjalanan yang panjang dan penuh kompleksitas dalam mencapai tujuan pendidikan inklusif. Dari pengakuan hak asasi manusia yang diamanatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 hingga landasan konseptual yang ditempatkan oleh Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pada tahun 2006, kita diajak untuk melihat evolusi pandangan global terhadap hak pendidikan setiap individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Seiring berjalannya waktu, komitmen terhadap inklusi semakin kuat, menciptakan landasan untuk transformasi sistem pendidikan menuju lingkungan yang lebih ramah dan mendukung bagi semua siswa. Selain itu, bab ini membahas potret historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia, menyoroti perkembangan sistem pendidikan khusus yang mencerminkan tantangan dan pencapaian dalam mendukung anak-anak dengan kebutuhan khusus. Tak hanya itu, diskursus pendidikan inklusif juga ditempatkan sebagai elemen kritis dalam membahas isu-isu, pemikiran, dan perdebatan seputar pengembangan dan implementasi pendidikan inklusif. Dengan demikian, bab ini memberikan wawasan menyeluruh tentang perjalanan sejarah dan konteks pendidikan inklusif, serta memperkaya pemahaman pembaca mengenai tantangan dan kemajuan yang telah dicapai di berbagai negara, termasuk Indonesia. A. Jalan panjang menuju pendidikan inklusif Dari masa-masa awal hingga saat ini, kita dapat menyaksikan evolusi pemikiran dan pandangan global terhadap hak pendidikan setiap individu, tanpa memandang kondisi fisik atau mentalnya. Dimulai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948, yang menetapkan hak setiap B