The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Menyemai kesetaraan melalui pendidikan inklusif melibatkan pengakuan dan penerimaan atas keberagaman di antara siswa, dengan membangun budaya sekolah yang merayakan perbedaan. Langkah kunci termasuk memberikan pelatihan yang memadai kepada guru agar mampu mengajar dalam lingkungan inklusif, mendukung penyesuaian kurikulum, dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan khusus setiap siswa. Melalui pendekatan ini, pendidikan tidak hanya menjadi sarana pembelajaran, tetapi juga menjadi instrumen utama dalam membentuk masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by penamudamedia, 2024-03-23 01:36:05

Menyemai Kesetaraan Melalui Pendidikan Inklusif

Menyemai kesetaraan melalui pendidikan inklusif melibatkan pengakuan dan penerimaan atas keberagaman di antara siswa, dengan membangun budaya sekolah yang merayakan perbedaan. Langkah kunci termasuk memberikan pelatihan yang memadai kepada guru agar mampu mengajar dalam lingkungan inklusif, mendukung penyesuaian kurikulum, dan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan khusus setiap siswa. Melalui pendekatan ini, pendidikan tidak hanya menjadi sarana pembelajaran, tetapi juga menjadi instrumen utama dalam membentuk masyarakat yang inklusif dan berkeadilan.

89 1. Inklusif Radikal a. Tujuan Kesetaraan Total Pendekatan inklusif radikal menekankan tujuan kesetaraan total, di mana semua siswa, termasuk mereka yang memiliki disabilitas, diharapkan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam lingkungan pendidikan yang sama. b. Penghapusan Pendidikan Khusus Inklusif radikal cenderung mendukung penghapusan kelas atau sekolah khusus untuk siswa dengan disabilitas. Pendekatan ini menekankan bahwa segregasi siswa berkebutuhan khusus dapat menyebabkan ketidaksetaraan dan stigmatisasi. c. Transformasi Struktural Inklusif radikal mendorong transformasi struktural dalam sistem pendidikan. Ini dapat mencakup restrukturisasi kurikulum, pengembangan strategi pengajaran yang mendukung keberagaman, dan pelatihan guru untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam mengelola kebutuhan beragam siswa. d. Pentingnya Perubahan Budaya Pendidikan inklusif radikal mengakui bahwa untuk mencapai inklusivitas, perubahan budaya dalam masyarakat dan lembaga pendidikan diperlukan. Ini mencakup perubahan pandangan dan sikap terhadap keberagaman siswa (Faozanudin & Sri Sulistiani, 2023). 2. Inklusif Moderat a. Kesetaraan dengan Pilihan Inklusif moderat mengedepankan konsep kesetaraan, tetapi menerima bahwa beberapa siswa mungkin membutuhkan pendidikan khusus atau dukungan tambahan. Ini memperkenalkan ide kesetaraan dengan


90 pilihan, memberikan opsi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa. b. Pentingnya Dukungan Tambahan Inklusif moderat mendorong penyediaan dukungan tambahan seperti pendidikan khusus atau layanan pendukung bagi siswa yang membutuhkannya. Ini mempertimbangkan keberagaman siswa dan memberikan solusi yang bersifat inklusif namun dapat disesuaikan. c. Pengakuan terhadap Keterbatasan Struktural Inklusif moderat menyadari bahwa ada keterbatasan struktural dalam sistem pendidikan yang mungkin memerlukan pendekatan inklusif yang lebih fleksibel. Ini dapat mencakup penyesuaian dalam kurikulum, lingkungan fisik, dan dukungan guru. d. Pengembangan Keterampilan Guru Inklusif moderat menekankan pentingnya pengembangan keterampilan guru untuk mengelola keberagaman dalam kelas. Pelatihan dan dukungan bagi guru diperlukan agar mereka dapat merespons dengan efektif terhadap kebutuhan beragam siswa. Keduanya, baik inklusif radikal maupun inklusif moderat, mengejar tujuan inklusivitas, tetapi dengan pendekatan yang sedikit berbeda dalam hal ruang lingkup dan implementasi. Inklusif moderat mempertimbangkan tantangan praktis dan keterbatasan sumber daya yang mungkin mengharuskan adanya opsi dan solusi yang lebih fleksibel.


91 Konsep perbedaan individu dalam pendidikan mencakup pemahaman terhadap keberagaman siswa dalam aspek-aspek seperti kecerdasan, gaya belajar, kemampuan kognitif, latar belakang budaya, dan motivasi. Pendidikan inklusif radikal menekankan tujuan kesetaraan total dengan penghapusan kelas khusus, transformasi struktural, dan perubahan budaya. Di sisi lain, pendidikan inklusif moderat mengakui kemungkinan dukungan tambahan bagi siswa dengan opsi yang disesuaikan, serta pengakuan terhadap keterbatasan struktural dalam sistem pendidikan. Pengalaman belajar sebelumnya siswa juga menjadi faktor penting yang mempengaruhi pendekatan pendidikan, dengan pengertian bahwa latar belakang pendidikan dapat membentuk kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan individu. Rangkuman


92


93 BAB 9 PENDIDIKAN INKLUSIF DALAM NAUNGAN REGULASI


94 etelah mempelajari bab Bab IX yang mengulas Regulasi Mengenai Pendidikan Inklusif di Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai contoh, kita dapat memahami sejumlah peraturan yang menjadi dasar bagi pendidikan inklusif di Indonesia. Pertama-tama, UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002) menetapkan landasan hukum untuk melibatkan anak-anak, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, dalam sistem pendidikan inklusif. UU ini menunjukkan komitmen untuk melindungi hak-hak anak, termasuk hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Selanjutnya, UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyediakan kerangka kerja hukum yang lebih spesifik untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang inklusif. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas memberikan pedoman lebih rinci mengenai akomodasi yang harus disediakan untuk memastikan peserta didik dengan disabilitas dapat mengakses pendidikan dengan baik. Sementara itu, Permendiknas No. 70 Tahun 2009 membahas secara spesifik Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, memberikan landasan operasional untuk mengidentifikasi dan mengakomodasi kebutuhan khusus peserta didik. Pergub DIY No. 21 Tahun 2013 dan No. 41 Tahun 2013 masing-masing membahas penyelenggaraan Pendidikan Inklusif dan pembentukan pusat sumber pendidikan inklusif di Daerah S


95 Istimewa Yogyakarta, menunjukkan komitmen tingkat lokal untuk mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif. Terakhir, Perwal Kota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 turut memberikan panduan khusus mengenai Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di tingkat kota, memperjelas tanggung jawab dan kewajiban pihak-pihak terkait di tingkat lokal. Dengan demikian, regulasi-regulasi ini secara bersama-sama membentuk kerangka kerja yang komprehensif untuk mendukung dan mewujudkan pendidikan inklusif di Indonesia, khususnya di DIY. A. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa Latar belakang pembentukan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa mencerminkan komitmen Indonesia terhadap hak pendidikan setiap anak, tanpa terkecuali. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menetapkan dasar-dasar pendidikan inklusif, dan Permendiknas ini lahir sebagai respons terhadap kebutuhan untuk merinci dan mengatur pelaksanaan konsep inklusivitas tersebut. Peraturan ini muncul dalam konteks semangat untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam sistem pendidikan, memastikan bahwa peserta didik dengan kelainan atau potensi kecerdasan dan bakat istimewa mendapatkan hak yang setara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Peningkatan kesadaran akan kebutuhan dan potensi peserta didik dengan keberagaman ini


96 telah memberikan landasan untuk pembentukan peraturan yang lebih rinci dan responsif. Pentingnya melibatkan orang tua, masyarakat, dan pihak terkait lainnya dalam mendukung pendidikan inklusif juga tercermin dalam latar belakang pembentukan peraturan ini. Keterlibatan aktif mereka diharapkan dapat memperkuat dukungan bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus. Dengan merangkum faktor-faktor ini, Permendiknas No. 70 Tahun 2009 diharapkan memberikan pedoman operasional yang jelas dan mendukung bagi lembaga pendidikan untuk mengidentifikasi, mengakomodasi, dan mendukung peserta didik yang memiliki kelainan atau bakat istimewa dalam konteks pendidikan inklusif. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 70 Tahun 2009 memiliki fokus khusus pada Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Peraturan ini memberikan landasan operasional yang lebih terinci untuk mengidentifikasi dan mengakomodasi kebutuhan khusus peserta didik dalam konteks inklusif (Nc’m[b, 2019). Berikut adalah beberapa poin kunci yang dapat diidentifikasi dari peraturan ini: 1. Pendekatan Pendidikan Inklusif Permendiknas ini mengamati pendekatan pendidikan inklusif, yang mencakup semua peserta didik tanpa memandang keberagaman dan kondisi khusus mereka. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip inklusivitas yang mendorong kehadiran dan partisipasi


97 peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus dalam lingkungan pendidikan umum. 2. Identifikasi Kebutuhan Khusus Peraturan ini menyediakan pedoman mengenai identifikasi kebutuhan khusus peserta didik. Ini dapat mencakup proses penilaian dan pengamatan yang lebih rinci untuk menentukan jenis kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik, termasuk kelainan dan potensi kecerdasan atau bakat istimewa. 3. Pengembangan Program Pembelajaran Permendiknas ini merinci persyaratan pengembangan program pembelajaran khusus untuk peserta didik dengan kebutuhan khusus. Program ini harus disusun dengan mempertimbangkan tingkat keterampilan, kebutuhan, dan potensi peserta didik sehingga mendukung partisipasi dan kemajuan mereka. 4. Penggunaan Metode Pembelajaran yang Inklusif Peraturan ini menekankan pentingnya menggunakan metode pembelajaran yang inklusif, yang dapat diakses oleh semua peserta didik. Hal ini mencakup penggunaan berbagai strategi pengajaran untuk memenuhi keberagaman dalam gaya belajar dan tingkat kemampuan. 5. Pelibatan Orang Tua dan Guru Permendiknas menggarisbawahi peran penting orang tua dan guru dalam mendukung pendidikan inklusif. Ini mencakup kolaborasi antara orang tua dan sekolah untuk memahami kebutuhan anak serta melibatkan guru dalam penyesuaian dan implementasi program pembelajaran yang inklusif.


98 6. Pendekatan Kurikulum yang Menyeluruh Peraturan ini mengacu pada pendekatan kurikulum yang menyeluruh, yang tidak hanya mencakup mata pelajaran akademis tetapi juga aspek-aspek perkembangan lainnya seperti keterampilan sosial, emosional, dan fisik. Dengan adanya Permendiknas No. 70 Tahun 2009, diharapkan pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan atau bakat istimewa dapat diimplementasikan secara lebih terarah dan efektif di tingkat nasional. Landasan operasional yang diberikan oleh peraturan ini dapat membantu menggarisbawahi tanggung jawab dan langkah-langkah yang perlu diambil oleh lembaga pendidikan untuk mendukung keberhasilan peserta didik dengan kebutuhan khusus (Anshari, 2023). B. UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002) Undang-undang ini menegaskan komitmen negara untuk melindungi hak-hak anak, termasuk hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara dan inklusif. Latar belakang terbentuknya UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (Perubahan Atas UU RI No. 23 Tahun 2002) melibatkan beberapa pertimbangan dan perubahan dalam kebijakan perlindungan anak di Indonesia (Handayani et al., 2019). Beberapa faktor tersebut meliputi: 1. Internasionalisasi Hak Anak Perubahan UU ini sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap standar hak asasi manusia internasional, khususnya terkait hak-hak anak yang


99 tercantum dalam Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Convention on the Rights of the Child - CRC). Adopsi CRC pada tahun 1990 mempengaruhi negara-negara untuk memperbarui dan menyempurnakan perundang-undangan nasional mereka, termasuk hukum perlindungan anak. 2. Penyesuaian dengan Tantangan Kontemporer Perubahan dalam UU tersebut dapat juga mencerminkan respons terhadap perkembangan sosial dan tantangan kontemporer yang mempengaruhi anak-anak. Peningkatan pemahaman tentang isu-isu perlindungan anak, termasuk pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, mungkin menjadi faktor yang memotivasi perubahan tersebut. 3. Kebutuhan akan Perlindungan dan Pendidikan yang Setara Munculnya kesadaran akan perlunya melindungi hak-hak anak secara menyeluruh, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara, dapat menjadi faktor penting di balik perubahan dalam UU ini. Pendidikan inklusif, yang memperhatikan keberagaman anak-anak termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, menjadi fokus penting dalam konteks ini. 4. Revisi Terhadap Undang-Undang Sebelumnya Perubahan UU No. 35 Tahun 2014 sekaligus merupakan revisi terhadap UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Revisi ini dimaksudkan untuk memperkuat dan menyempurnakan ketentuanketentuan yang terkait dengan hak dan perlindungan anak, termasuk hak pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus.


100 Secara umum, latar belakang terbentuknya UU tersebut mencerminkan evolusi pemahaman dan komitmen Indonesia terhadap hak-hak anak, termasuk hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara dan inklusif (Suharyanto & Mulyono, 2022). Beberapa poin kunci terkait pendidikan inklusif dalam UU tersebut melibatkan: 1. Hak Anak untuk Pendidikan Undang-undang ini mengakui hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan, tanpa adanya diskriminasi. Hal ini mencakup anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. 2. Prinsip Keterlibatan UU ini menekankan prinsip keterlibatan anak dalam setiap keputusan yang memengaruhi mereka, termasuk dalam konteks pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendekatan inklusif yang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan setiap anak. 3. Perlindungan Anak dengan Kebutuhan Khusus UU ini memberikan dasar hukum untuk perlindungan anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk di dalamnya hak mereka untuk mendapatkan pendidikan inklusif sesuai dengan potensi dan kebutuhan masingmasing. Dengan demikian, UU RI No. 35 Tahun 2014 memberikan pijakan hukum yang kuat untuk memastikan bahwa anakanak, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, mendapatkan pendidikan yang setara dan inklusif di Indonesia. Undang-undang ini menjadi dasar bagi peraturan lebih lanjut yang secara spesifik mengatur aspek-aspek pendidikan


101 inklusif, seperti yang diatur dalam regulasi-regulasi lain yang telah Anda sebutkan sebelumnya (Rosari et al., 2023). C. UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan undang-undang yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan pengakuan hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Undang-undang ini menciptakan kerangka kerja hukum yang lebih spesifik untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang inklusif (Mulyah et al., 2023). Latar belakang pembentukan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di Indonesia melibatkan sejumlah faktor dan pertimbangan. Beberapa latar belakang utama termasuk: 1. Komitmen Internasional Pembentukan undang-undang ini sejalan dengan komitmen internasional yang diemban oleh Indonesia dalam upaya melindungi hak penyandang disabilitas. Pada tahun 2008, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRPD). CRPD memberikan panduan dan standar internasional terkait hak dan perlindungan penyandang disabilitas, termasuk hak untuk pendidikan inklusif. 2. Peningkatan Kesadaran dan Pemahaman Peningkatan kesadaran dan pemahaman terhadap isu-isu yang dihadapi oleh penyandang disabilitas, termasuk dalam hal akses pendidikan, menjadi pendorong penting bagi pembentukan undang-undang ini. Pemahaman yang lebih baik terhadap hak-hak penyandang disabilitas dan kebutuhan mereka dalam


102 berbagai aspek kehidupan menjadi landasan bagi regulasi yang lebih inklusif. 3. Diskriminasi dan Tantangan Akses Adanya kasus-kasus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, khususnya dalam akses terhadap pendidikan, menjadi latar belakang yang mendesak pemerintah untuk mengatasi ketidaksetaraan dan memastikan hak-hak penyandang disabilitas terpenuhi. 4. Pengakuan akan Kebutuhan Pendidikan Inklusif Kesadaran akan pentingnya pendidikan inklusif sebagai sarana untuk mengintegrasikan penyandang disabilitas ke dalam masyarakat menjadi faktor pendorong untuk membentuk undang-undang ini. Pendidikan inklusif dilihat sebagai langkah kritis untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan setiap individu, tanpa memandang keberagaman. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, UU No. 8 Tahun 2016 dirancang untuk menciptakan kerangka kerja hukum yang lebih kuat guna melindungi dan mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang inklusif. Undang-undang ini mencerminkan upaya pemerintah Indonesia untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, setara, dan menghormati hak asasi manusia (Lubis, 2016). Beberapa poin utama terkait pendidikan inklusif dalam UU ini meliputi: 1. Hak Penyandang Disabilitas Terhadap Pendidikan Inklusif UU ini mengakui hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan inklusif yang setara, layak, dan dapat diakses. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip hak


103 asasi manusia dan prinsip-prinsip konvensi internasional, termasuk Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (Convention on the Rights of Persons with Disabilities - CRPD). 2. Pemberian Akomodasi dan Aksesibilitas UU ini menekankan pentingnya pemberian akomodasi yang layak dan menciptakan aksesibilitas yang memadai di lingkungan pendidikan. Hal ini mencakup pembangunan fisik dan pengaturan lainnya untuk memastikan penyandang disabilitas dapat mengakses dan berpartisipasi sepenuhnya dalam proses pendidikan. 3. Partisipasi Masyarakat UU ini mengedepankan partisipasi aktif penyandang disabilitas dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam sektor pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan inklusif menjadi sarana untuk mengintegrasikan penyandang disabilitas ke dalam lingkungan pendidikan yang mainstream. 4. Penyelenggaraan Pendidikan yang Inklusif UU ini menetapkan kewajiban penyelenggaraan pendidikan yang inklusif, yang memperhatikan keberagaman dan kebutuhan individual penyandang disabilitas. Penyelenggara pendidikan diharapkan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan setiap peserta didik. Melalui UU No. 8 Tahun 2016, Indonesia telah memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk mewujudkan pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas. Undang-undang ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menghapus diskriminasi dan memastikan partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan.


104 D. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas Latar belakang pembentukan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 48 Tahun 2023 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas mencakup beberapa pertimbangan dan faktor. Berikut adalah beberapa latar belakangnya: 1. Komitmen terhadap Hak-hak Penyandang Disabilitas Pembentukan peraturan ini dapat dipahami sebagai bagian dari komitmen pemerintah untuk memenuhi hakhak penyandang disabilitas, khususnya hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara dan inklusif. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip konvensi internasional, termasuk Konvensi Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa (CRPD). 2. Implementasi UU No. 8 Tahun 2016 Peraturan ini dapat dianggap sebagai langkah implementasi lebih lanjut dari Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. UU ini memberikan dasar hukum untuk perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas, dan peraturan ini merinci tindakan praktis yang perlu diambil dalam konteks pendidikan. 3. Tantangan Aksesibilitas di Lingkungan Pendidikan Adanya tantangan aksesibilitas di lingkungan pendidikan, baik itu dalam hal fisik maupun akses terhadap bahan pembelajaran, mungkin menjadi latar belakang utama. Peraturan ini diharapkan dapat


105 memberikan panduan konkret untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. 4. Kesadaran akan Kebutuhan Akomodasi yang Beragam Peningkatan kesadaran akan kebutuhan akomodasi yang beragam bagi peserta didik penyandang disabilitas dapat menjadi faktor pendorong. Munculnya pemahaman yang lebih baik mengenai beragam jenis disabilitas dan kebutuhan individu mendorong pembentukan peraturan yang lebih rinci dan responsif. 5. Tuntutan Masyarakat dan Advokasi Kelompok Penyandang Disabilitas Masyarakat sipil dan kelompok advokasi penyandang disabilitas mungkin telah memainkan peran penting dalam mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan ini. Tuntutan dan advokasi dari kelompok-kelompok tersebut bisa menjadi dorongan bagi pemerintah untuk menyusun peraturan yang lebih detil. Dengan memperhatikan faktor-faktor ini, peraturan ini bertujuan untuk memberikan arahan yang jelas dan rinci mengenai akomodasi yang harus disediakan dalam konteks pendidikan untuk memastikan bahwa peserta didik penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan secara setara dan mendukung perkembangan potensinya. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 48 Tahun 2023 mengenai Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas memberikan pedoman yang lebih rinci tentang langkah-langkah yang harus diambil untuk memastikan peserta didik dengan disabilitas dapat mengakses pendidikan dengan baik. Berikut adalah beberapa poin kunci dari peraturan ini:


106 1. Penyelarasan dengan Undang-Undang No. 8 tentang Penyandang Disabilitas Permendikbudristek ini bertujuan untuk menyelaraskan praktik pendidikan dengan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dengan demikian, langkah-langkah yang diatur dalam peraturan ini diarahkan untuk memenuhi standar dan prinsip yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut. 2. Pemberian Aksesibilitas Peraturan ini menekankan pentingnya pemberian aksesibilitas bagi peserta didik penyandang disabilitas. Aksesibilitas mencakup berbagai aspek, mulai dari fisik bangunan hingga materi pembelajaran dan metode evaluasi. Tujuannya adalah agar peserta didik dapat mengakses informasi dan sarana pembelajaran tanpa hambatan. 3. Penyediaan Akomodasi yang Layak Peraturan ini memberikan pedoman rinci mengenai jenis-jenis akomodasi yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik penyandang disabilitas. Ini dapat mencakup bantuan fisik, modifikasi fasilitas, bahan ajar yang disesuaikan, atau metode evaluasi yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. 4. Keterlibatan Orang Tua dan Pihak Terkait Peraturan ini mengakui pentingnya keterlibatan orang tua atau wali murid serta pihak terkait lainnya dalam merancang dan menentukan akomodasi yang diperlukan. Hal ini mencerminkan pendekatan kolaboratif untuk memastikan bahwa setiap peserta didik mendapatkan dukungan yang sesuai.


107 5. Pemantauan dan Evaluasi Permendikbudristek ini juga menyediakan kerangka kerja untuk pemantauan dan evaluasi implementasi akomodasi. Hal ini penting untuk memastikan efektivitas langkah-langkah yang diambil dan untuk membuat perbaikan atau penyesuaian jika diperlukan. Keberadaan Permendikbudristek No. 48 Tahun 2023, diharapkan pihak pendidikan memiliki panduan yang jelas dan komprehensif tentang bagaimana menyediakan akomodasi yang layak untuk peserta didik penyandang disabilitas, sehingga mereka dapat mengikuti pendidikan dengan maksimal sesuai dengan potensi dan kebutuhan masing-masing. E. Pergub DIY No.21 Tahun 2013 ttg Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Pergub DIY No. 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki latar belakang yang kompleks dan terkait erat dengan dinamika perkembangan pendidikan di tingkat lokal. Pembentukan regulasi ini sebagian besar dipengaruhi oleh beberapa faktor kunci: Pertama, terdapat tuntutan hak asasi manusia yang mendesak, khususnya hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Pendidikan inklusif dianggap sebagai langkah penting dalam memenuhi hak-hak ini, terutama bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Kedua, komitmen pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap pendidikan inklusif menjadi pendorong utama. Pergub ini mencerminkan tekad untuk menciptakan sistem pendidikan yang mengakomodasi semua peserta


108 didik, tanpa memandang latar belakang atau keberagaman mereka. Selain itu, pemahaman masyarakat terhadap keberagaman dan kebutuhan peserta didik semakin berkembang. Kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung semua anak, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, turut memainkan peran dalam pembentukan regulasi ini. Pembentukan Pergub juga dapat dilihat sebagai upaya daerah untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip UndangUndang Pendidikan Nasional, khususnya dalam hal memberikan akses pendidikan yang setara untuk semua peserta didik. Dalam konteks global, tuntutan dan standar internasional terkait pendidikan inklusif menjadi acuan penting. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mungkin merespons tuntutan ini dengan mengeluarkan regulasi yang mendukung implementasi praktik pendidikan inklusif. Terakhir, partisipasi dan keterlibatan masyarakat, kelompok advokasi, serta pihak terkait lainnya dapat dianggap sebagai pendorong utama dalam pembentukan Pergub ini. Dukungan dan tekanan dari kelompok-kelompok ini dapat memengaruhi agenda kebijakan dan mendorong adopsi praktik inklusif dalam dunia pendidikan di daerah tersebut. Dengan memahami latar belakang ini, Pergub DIY No. 21 Tahun 2013 diharapkan dapat menjadi instrumen yang efektif untuk membentuk dan melaksanakan pendidikan inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta.


109 Pergub DIY No. 21 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif mencakup beberapa poin, diantaranya: 1. Pendekatan Inklusif Pergub ini mungkin mengatur pendekatan inklusif dalam penyelenggaraan pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini mencakup upaya untuk memastikan bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat mengikuti pendidikan dalam lingkungan pendidikan umum. 2. Pengaturan Langkah-langkah Praktis Kemungkinan, peraturan ini memberikan panduan dan pengaturan lebih lanjut mengenai langkah-langkah praktis yang perlu diambil oleh pihak pendidikan di tingkat lokal untuk mendukung implementasi pendidikan inklusif. 3. Keterlibatan Pihak Terkait Pergub ini mungkin menekankan keterlibatan berbagai pihak terkait, termasuk sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat, dalam mendukung dan melaksanakan pendidikan inklusif. F. Pergub DIY No. 41 Tahun 2013 tentang Pembentukan Pusat Sumber Pendidikan Inklusif Pergub DIY No. 41 Tahun 2013 tentang Pembentukan Pusat Sumber Pendidikan Inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta terbentuk atas dasar pertimbangan yang luas, mencerminkan tekad dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem pendidikan inklusif di wilayah tersebut. Pentingnya pendidikan inklusif sebagai sarana untuk memenuhi hak-hak asasi manusia, terutama hak setiap anak


110 untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi, merupakan salah satu faktor utama yang mendasari pembentukan regulasi ini. Dengan mengakomodasi keberagaman peserta didik, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, pemerintah daerah berupaya menciptakan lingkungan belajar yang setara dan mendukung bagi semua. Pusat Sumber Pendidikan Inklusif dibentuk sebagai respons konkret terhadap kebutuhan praktisi pendidikan, terutama guru dan staf sekolah, dalam meningkatkan pemahaman dan keterampilan mereka terkait praktik pendidikan inklusif. Pusat ini diharapkan dapat menjadi pusat pelatihan, penelitian, dan penyediaan sumber daya yang mendukung implementasi praktik inklusif di semua tingkatan lembaga pendidikan. Melalui pembentukan pusat sumber, pemerintah daerah berusaha secara strategis untuk menyediakan bahan ajar yang disesuaikan, metode pengajaran inklusif, serta berbagai sumber daya lainnya yang mendukung berbagai kebutuhan peserta didik dengan tingkat kebutuhan khusus yang beragam (Tri & Darmawanti, 2017). Lebih dari itu, Pergub ini mencerminkan keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan inklusif secara menyeluruh di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan menyediakan pusat sumber yang terfokus, pemerintah daerah berharap dapat memberikan dukungan yang lebih efektif kepada lembaga pendidikan, membantu mereka mengatasi tantangan dalam mengintegrasikan peserta didik dengan kebutuhan khusus.


111 Urgensi keterlibatan pihak terkait, termasuk guru, staf sekolah, orang tua, dan masyarakat umum, dalam merancang dan mendukung pembentukan pusat sumber tidak bisa diabaikan. Pembentukan pusat ini menjadi bukti kolaborasi dan partisipatif untuk mendukung keberhasilan pendidikan inklusif di tingkat lokal. Dengan demikian, Pergub DIY No. 41 Tahun 2013 menciptakan kerangka kerja yang holistik, di mana pendidikan inklusif bukan hanya menjadi tujuan, tetapi juga diimbangi dengan upaya konkret dalam bentuk pusat sumber, mengakui pentingnya pemberdayaan pihak-pihak terkait untuk mencapai visi inklusivitas pendidikan. Dalam Pergub DIY No. 41 Tahun 2013 tentang Pembentukan Pusat Sumber Pendidikan Inklusif, kita bisa mendetailkan beberapa aspek utama sebagai berikut. 1. Pusat Sumber Pendidikan Inklusif Pergub ini kemungkinan membahas pembentukan pusat sumber pendidikan inklusif sebagai langkah konkret untuk mendukung pendidikan inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Fungsi dan Peran Pusat Sumber Peraturan ini mungkin menetapkan fungsi dan peran yang diemban oleh pusat sumber pendidikan inklusif, seperti memberikan bahan ajar yang disesuaikan, pelatihan untuk guru, dan mendukung implementasi praktik pendidikan inklusif. 3. Koordinasi dan Kolaborasi Kemungkinan, peraturan ini menekankan pentingnya koordinasi dan kolaborasi antara pusat sumber, sekolah, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk menciptakan ekosistem pendidikan inklusif yang efektif.


112 G. Perwal Kota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Perwal Kota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 memegang peran penting dalam memberikan panduan khusus terkait penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di tingkat kota. Regulasi ini secara khusus membahas tanggung jawab dan kewajiban pihak-pihak terkait, memberikan landasan operasional yang jelas untuk mengimplementasikan praktik pendidikan inklusif di tingkat lokal (Sudarto, 2019). Dengan menerbitkan Perwal ini, Pemerintah Kota Yogyakarta menunjukkan komitmennya untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif di tingkat kota. Beberapa aspek latar belakang dan tujuan pembentukan Perwal ini antara lain: 1. Pentingnya Pendidikan Inklusif di Tingkat Lokal Perwal ini mencerminkan pemahaman bahwa keberhasilan pendidikan inklusif tidak hanya tergantung pada regulasi tingkat nasional, tetapi juga memerlukan pedoman dan kebijakan yang dapat diadaptasi ke dalam konteks lokal. Tingkat kota, sebagai tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat, memiliki peran yang sangat penting dalam mengimplementasikan praktik pendidikan inklusif. 2. Memperjelas Tanggung Jawab dan Kewajiban PihakPihak Terkait Salah satu kontribusi utama Perwal ini adalah dalam memperjelas tanggung jawab dan kewajiban pihak-pihak terkait di tingkat kota. Hal ini mencakup peran lembaga pendidikan, guru, orang tua, dan pihak terkait lainnya dalam mendukung dan melaksanakan pendidikan inklusif.


113 3. Adaptasi Terhadap Kondisi Lokal Peraturan ini kemungkinan disusun dengan mempertimbangkan kondisi lokal kota dan kebutuhan pendidikan inklusif di wilayah tersebut. Ini menciptakan kerangka kerja yang lebih sesuai dan responsif terhadap dinamika dan tantangan khusus yang mungkin dihadapi oleh lembaga pendidikan dan peserta didik di tingkat kota. 4. Mendorong Kolaborasi dan Keterlibatan Pihak Lokal Penerbitan Perwal ini mungkin juga bertujuan untuk mendorong kolaborasi dan keterlibatan pihak lokal, seperti pemerintah kota, lembaga pendidikan, dan masyarakat, dalam mendukung dan mempromosikan pendidikan inklusif. Kolaborasi ini dianggap sebagai faktor kunci untuk kesuksesan implementasi praktik inklusif. Melalui regulasi ini, Pemerintah Kota Yogyakarta menciptakan kerangka kerja hukum yang konkret untuk memastikan bahwa pendidikan inklusif tidak hanya menjadi visi, tetapi juga dijalankan dengan efektif di tingkat lokal, memegang peran sentral dalam mewujudkan hak pendidikan setiap anak di wilayah tersebut.


114 Regulasi mengenai Pendidikan Inklusif di Indonesia dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mencakup sejumlah peraturan yang menjadi dasar bagi pendidikan inklusif. UU RI No. 35 Tahun 2014 menetapkan landasan hukum untuk melibatkan anak-anak, termasuk yang memiliki kebutuhan khusus, dalam sistem pendidikan inklusif, menunjukkan komitmen untuk melindungi hak-hak anak. UU No. 8 Tahun 2016 memberikan kerangka kerja hukum yang lebih spesifik untuk melindungi penyandang disabilitas, termasuk hak mereka untuk pendidikan inklusif. Peraturan Menteri Pendidikan No. 48 Tahun 2023 memberikan panduan rinci tentang akomodasi untuk peserta didik penyandang disabilitas. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 mengatur Pendidikan Inklusif secara spesifik, sementara Pergub DIY No. 21 dan No. 41 Tahun 2013 menunjukkan komitmen tingkat lokal untuk penyelenggaraan dan pusat sumber pendidikan inklusif di DIY. Terakhir, Perwal Kota Yogyakarta No. 47 Tahun 2008 memberikan panduan khusus di tingkat kota, memperjelas tanggung jawab pihak terkait di tingkat lokal. Rangkuman


115 Bab X BAB 10 TANTANGAN DAN HAMBATAN TERWUJUDNYA INKLUSIVITAS DALAM PENDIDIKAN


116 etelah memperoleh wawasan dari bab mengenai Tantangan dan Hambatan Terwujudnya Inklusivitas, kita menjadi lebih paham mengenai beberapa aspek yang menjadi fokus pembahasan. Pertama-tama, kita menyadari pentingnya memahami keyakinan yang terakar dalam masyarakat mengenai pendidikan khusus. Keyakinan ini dapat mempengaruhi cara pendidikan inklusif diimplementasikan, dan membuka ruang untuk refleksi tentang bagaimana keyakinan ini dapat memengaruhi pandangan dan praktik pendidikan. Selanjutnya, bab ini membahas segregrasi sebagai bentuk pendidikan inklusif. Konsep ini menyoroti paradoks di mana tindakan segregasi, yang seharusnya bertujuan menyediakan layanan khusus, malah dapat merugikan upaya menciptakan lingkungan inklusif yang merangkul keberagaman. Oleh karena itu, bab ini mendorong kita untuk merenung mengenai dampak segregasi terhadap inklusivitas di dunia pendidikan. Selain itu, pembahasan mengenai kepercayaan bahwa anak dengan kebutuhan khusus lebih baik dilayani dalam pengaturan khusus memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang persepsi masyarakat terhadap inklusivitas. Hal ini memicu pertanyaan mengenai bagaimana kebijakan dan praktik pendidikan dapat mengatasi pandangan ini, dan bagaimana kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan semua siswa. Bab tersebut juga menyoroti persepsi bahwa siswa difabel dapat menghambat siswa lain di kelas. Pemahaman ini membuka ruang untuk mempertimbangkan upaya yang dapat dilakukan dalam pendidikan inklusif untuk mengatasi stigma dan menciptakan lingkungan yang mendukung kolaborasi dan pengertian antar-siswa. Terakhir, kita diajak untuk memahami implikasi dari semua hal tersebut terhadap praktik professional. Ini mencakup refleksi S


117 tentang bagaimana para pendidik dapat menggabungkan pemahaman ini ke dalam praktek sehari-hari mereka, serta upaya untuk terus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang mendukung pendidikan inklusif. Bab ini memberikan pemahaman holistik mengenai tantangan dan hambatan yang perlu diatasi dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang lebih efektif. A. Keyakinan yang mengakar tentang pendidikan khusus Keyakinan yang mengakar tentang pendidikan khusus mencerminkan pandangan masyarakat yang secara kuat diyakini dan mengakar dalam budaya terkait pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus. Keyakinan semacam ini dapat berwujud dalam anggapan bahwa pendidikan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus lebih efektif dilakukan dalam setting yang terpisah atau khusus, daripada diintegrasikan ke dalam kelas reguler. Pemahaman ini sering kali tumbuh dari stereotip dan prasangka terhadap kemampuan anak-anak dengan kebutuhan khusus, di mana masyarakat mungkin melihat mereka sebagai kelompok yang memerlukan pendekatan dan perhatian yang berbeda. Keyakinan ini dapat menciptakan tantangan dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang merangkul keberagaman siswa. Beberapa individu mungkin percaya bahwa segregasi atau pengaturan khusus adalah solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan anak-anak tersebut. Oleh karena itu, untuk mempromosikan inklusivitas, perlu adanya pendekatan yang tidak hanya mengubah kebijakan dan struktur pendidikan, tetapi juga menggugah pemahaman dan keyakinan masyarakat terkait dengan potensi dan hak setiap individu dalam mendapatkan pendidikan yang setara (Febriyanti, 2019).


118 Pentingnya memahami keyakinan yang mengakar ini adalah untuk menangkap akar dari hambatan-hambatan sosial yang mungkin muncul dalam menerima dan mengimplementasikan praktik pendidikan inklusif. Edukasi dan kampanye yang bertujuan untuk meruntuhkan prasangka, memberikan informasi yang akurat tentang potensi anak-anak dengan kebutuhan khusus, dan menggugah empati masyarakat, merupakan langkah-langkah kunci dalam menciptakan transformasi menuju sistem pendidikan yang benar-benar inklusif. B. Segregasi sebagai bentuk pendidikan inklusif Sekolah dan sistem pendidikan yang menerapkan segregasi sebagai bentuk pendidikan inklusif menciptakan suatu paradoks yang membutuhkan pemahaman mendalam. Sebagai bentuk kontradiktif, segregasi seharusnya bertujuan untuk menyediakan layanan pendidikan khusus bagi anakanak dengan kebutuhan khusus, tetapi kenyataannya dapat merugikan upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan merangkul keberagaman. Segregasi cenderung menempatkan anak-anak dengan kebutuhan khusus dalam lingkungan terpisah, yang dapat menciptakan perasaan ketidaksetaraan dan stigmatisasi (Danarhadi, 2017). Segregasi sebagai bentuk pendidikan inklusif menantang prinsip dasar inklusivitas, yaitu menyelenggarakan pendidikan untuk semua siswa tanpa memandang keberagaman mereka (Utari, 2020). Langkah ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana memastikan bahwa anakanak dengan kebutuhan khusus memiliki akses penuh dan kesempatan untuk berkembang dalam lingkungan yang


119 mendukung, seiring dengan hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Meskipun segregasi mungkin dianggap sebagai cara untuk memberikan perhatian khusus kepada anak-anak dengan kebutuhan khusus, hal ini dapat menciptakan kesan bahwa mereka dianggap sebagai kelompok yang terpisah dan berbeda. Oleh karena itu, dalam konteks pendidikan inklusif, perlu adanya refleksi kritis terkait dampak jangka panjang dari segregasi terhadap pembentukan masyarakat yang menghargai keberagaman dan menerima setiap individu tanpa batasan. Pemahaman terhadap dinamika segregasi dalam konteks pendidikan inklusif menjadi kunci untuk mengatasi tantangan ini. Langkah-langkah untuk mendukung inklusivitas termasuk mempromosikan partisipasi penuh anakanak dengan kebutuhan khusus di lingkungan pendidikan reguler, menciptakan sumber daya dan dukungan yang memadai, dan merancang kurikulum yang dapat disesuaikan dengan keberagaman siswa. Dengan demikian, penekanan pada inklusivitas dan perbedaan individual dapat membawa perubahan positif dalam menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar inklusif. C. Kepercayaan mengenai anak dengan kebutuhan khusus lebih baik dalam pengaturan khusus Kepercayaan bahwa anak dengan kebutuhan khusus lebih baik dilayani dalam pengaturan khusus mencerminkan pandangan yang telah mengakar dalam masyarakat terkait dengan pendidikan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Pemahaman ini mungkin bersumber dari keyakinan bahwa lingkungan khusus dapat menyediakan perhatian lebih intensif dan fokus yang dibutuhkan oleh anak-anak


120 dengan tantangan khusus, dan bahwa mereka akan berkembang lebih baik tanpa distraksi atau pengaruh dari lingkungan yang lebih umum. Namun, kepercayaan semacam ini dapat menimbulkan sejumlah tantangan terkait dengan pencapaian inklusivitas dalam pendidikan. Pandangan ini mungkin menciptakan stigma terhadap anak-anak dengan kebutuhan khusus, memisahkan mereka dari pengalaman pendidikan yang lebih luas, dan memberikan pesan bahwa mereka tidak mampu berinteraksi atau belajar bersama dengan anak-anak lainnya. Penting untuk mendekati kepercayaan ini dengan kritis dan membuka dialog yang konstruktif. Hal ini melibatkan diskusi mengenai manfaat integrasi anak-anak dengan kebutuhan khusus ke dalam lingkungan pendidikan yang lebih umum, di mana mereka dapat belajar bersama teman sebaya dan memiliki pengalaman belajar yang lebih menyeluruh. Pentingnya inklusivitas dalam mendukung perkembangan sosial dan akademis anak-anak dengan kebutuhan khusus juga perlu ditekankan, sehingga kepercayaan masyarakat dapat berubah menuju pemahaman bahwa setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Melalui pendekatan inklusif, diharapkan dapat terbentuk kepercayaan baru bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat berhasil dan berkembang secara optimal dalam lingkungan yang mendukung keberagaman, di mana perbedaan dihargai dan diintegrasikan ke dalam pengalaman belajar sehari-hari (Simanjuntak et al., 2023).


121 D. Siswa difabel menghambat siswa lain di kelas Pernyataan bahwa siswa difabel dapat menghambat siswa lain di kelas adalah suatu pandangan yang dapat menciptakan stigma dan perasaan ketidaknyamanan dalam lingkungan pendidikan. Penting untuk memahami bahwa pandangan semacam ini sering kali bersumber dari kurangnya pemahaman atau pengalaman pribadi dengan siswa difabel. Dalam konteks pendidikan inklusif, pandangan ini perlu dihadapi dan didekonstruksi agar masyarakat dapat memahami bahwa setiap siswa, termasuk yang difabel, dapat memberikan kontribusi berharga dan memiliki potensi unik. Penting untuk menekankan bahwa siswa dengan kebutuhan khusus bukanlah penghambat bagi kemajuan akademis atau pengalaman sosial siswa lain. Sebaliknya, mereka dapat membawa beragam perspektif dan nilai tambah ke dalam lingkungan kelas. Melalui pendekatan yang inklusif, siswa difabel dapat diintegrasikan dengan baik dalam pembelajaran bersama teman sebaya, menciptakan kesempatan untuk pembelajaran saling-menghargai dan mengembangkan empati (B[kcć-Mcrcć, 2019). Untuk merubah pandangan ini, perlu dilakukan upaya pendidikan dan penyadaran di kalangan masyarakat, guru, dan siswa. Langkah-langkah seperti pengenalan program inklusif, pelatihan bagi guru tentang praktik pendidikan inklusif, dan penciptaan kesempatan bagi siswa untuk berinteraksi dengan teman sebaya yang memiliki kebutuhan khusus dapat membantu merubah persepsi dan membuka pintu menuju lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan mendukung.


122 E. Implikasi untuk praktik professional Implikasi untuk praktik professional dalam konteks pendidikan inklusif melibatkan serangkaian pertimbangan dan tindakan yang dapat membentuk cara guru dan praktisi pendidikan mendekati dan mengelola keberagaman siswa. Berikut adalah beberapa implikasi yang dapat dipertimbangkan: 1. Penyesuaian Kurikulum Guru perlu memahami kebutuhan dan potensi setiap siswa, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, dan membuat penyesuaian pada kurikulum agar dapat diakses oleh semua siswa. Ini mungkin melibatkan strategi pengajaran yang berbeda, materi yang disesuaikan, atau metode penilaian yang inklusif. 2. Kolaborasi Tim Guru Kolaborasi antar guru, termasuk guru khusus dan guru kelas reguler, menjadi kunci. Membentuk tim yang solid dan berkomunikasi secara terbuka akan memastikan bahwa semua guru memiliki pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan dan strategi yang efektif untuk setiap siswa. 3. Pelatihan Guru Guru perlu menerima pelatihan yang sesuai untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam mendukung siswa dengan kebutuhan khusus. Pelatihan ini mencakup strategi pengajaran inklusif, manajemen kelas yang mendukung, dan pemahaman mendalam tentang berbagai kebutuhan khusus.


123 4. Keterlibatan Orang Tua Membangun keterlibatan orang tua sebagai mitra dalam pendidikan menjadi penting. Guru perlu berkomunikasi secara teratur dengan orang tua siswa, berbagi informasi tentang perkembangan anak, dan bekerja sama dalam merancang dan mendukung kebutuhan pendidikan khusus anak. 5. Lingkungan Fisik yang Ramah Inklusi Menjamin bahwa lingkungan kelas dan sekolah dapat diakses oleh semua siswa, termasuk yang memiliki kebutuhan fisik atau sensorik, adalah tanggung jawab guru dan lembaga pendidikan. Ini melibatkan penyesuaian fasilitas fisik dan penyediaan sumber daya yang diperlukan. 6. Promosi Budaya Inklusif Guru memiliki peran kunci dalam mempromosikan budaya inklusif di kelas dan sekolah. Ini mencakup membentuk sikap positif terhadap keberagaman, meminimalkan stigmatisasi, dan mendorong kolaborasi antar siswa. 7. Pemantauan dan Evaluasi Berkelanjutan Guru perlu terlibat dalam pemantauan dan evaluasi berkelanjutan terhadap kemajuan siswa dengan kebutuhan khusus. Hal ini memungkinkan penyesuaian yang tepat pada strategi pengajaran dan dukungan yang diberikan. Dengan mengadopsi praktik profesional yang inklusif, guru dapat berperan secara aktif dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung dan merangsang perkembangan setiap siswa, tanpa memandang keberagaman mereka.


124 Tantangan dan hambatan terwujudnya inklusivitas dalam pendidikan mencakup keyakinan yang mengakar tentang pendidikan khusus, di mana masyarakat mungkin cenderung percaya bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus lebih baik dilayani dalam pengaturan khusus. Selain itu, praktik segregasi yang masih ada di beberapa sistem pendidikan dapat merugikan upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif. Kepercayaan bahwa anak dengan kebutuhan khusus lebih baik ditempatkan secara terpisah dapat menciptakan stigma dan menghambat pencapaian inklusivitas. Terdapat pula pandangan bahwa siswa difabel dapat menghambat siswa lain di kelas, yang perlu diatasi untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Implikasi untuk praktik profesional mencakup penyesuaian kurikulum, kolaborasi tim guru, pelatihan yang memadai, keterlibatan orang tua, lingkungan fisik yang ramah inklusi, promosi budaya inklusif, dan pemantauan berkelanjutan, sebagai upaya untuk mengatasi tantangan tersebut dan mewujudkan pendidikan yang inklusif. Rangkuman


125 BAB 11 KESEMPATAN DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF


126 etelah mengeksplorasi Bab XI yang membahas Kesempatan dan Tantangan Implementasi Pendidikan Inklusif, diharapkan kita memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang beberapa aspek kunci. Pertama, pentingnya kehadiran guru yang kompeten dalam konteks pendidikan inklusif, yang mampu menyesuaikan metode pengajaran dan memberikan dukungan yang diperlukan kepada semua siswa, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus. Selanjutnya, pemahaman tentang peran Jumlah Guru Pendidikan Khusus (GPK) menjadi krusial, karena angka yang memadai akan mendukung implementasi pendidikan inklusif secara efektif. Selain itu, pemahaman tentang pentingnya menciptakan Lingkungan Sekolah yang inklusif dan ramah bagi semua siswa, tanpa memandang perbedaan, menjadi fokus utama. Kesadaran akan tantangan dan peluang yang terkait dengan implementasi Kebijakan Afirmatif dalam mendukung keberagaman siswa, terutama yang memiliki kebutuhan khusus, turut membentuk perspektif tentang inklusivitas di tingkat kebijakan. Terakhir, pemahaman tentang Sistem Dukungan yang efektif, baik dari sisi fasilitas fisik maupun dukungan emosional dan akademis, menjadi penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung perkembangan optimal bagi semua siswa. A. Guru yang kompeten Guru yang kompeten dalam konteks pendidikan inklusif tidak hanya memiliki keahlian akademis yang kuat tetapi juga pemahaman empati dan kepekaan terhadap kebutuhan dan potensi unik setiap siswa. Mereka memahami bahwa setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda dan dapat mengidentifikasi serta mengakomodasi berbagai kebutuhan S


127 belajar. Guru inklusif memiliki kemampuan untuk merancang dan mengimplementasikan kurikulum yang dapat disesuaikan dengan keberagaman siswa, memanfaatkan berbagai sumber daya, dan memastikan bahwa pembelajaran bersifat inklusif (Supena et al., 2020). Guru yang kompeten juga mampu menciptakan atmosfer kelas yang mendukung dan mempromosikan kerjasama antar-siswa. Mereka memiliki keterampilan manajemen kelas yang inklusif, mampu mengelola beragam tingkat kemampuan dan kebutuhan siswa, menciptakan normanorma sosial yang positif, dan mengatasi konflik dengan pendekatan yang adil. Dalam proses pengajaran, guru inklusif senantiasa melibatkan semua siswa, menggali potensi mereka, dan memberikan umpan balik konstruktif. Kompetensi guru inklusif juga melibatkan kemampuan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk staf sekolah, orang tua, dan tenaga profesional lainnya. Kolaborasi yang efektif membantu menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung, di mana sumber daya dan dukungan tersedia untuk semua siswa. Guru inklusif selalu terbuka untuk pembelajaran berkelanjutan, terus mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka agar dapat mengatasi perubahan dan tantangan yang mungkin muncul dalam dinamika pendidikan inklusif. Dengan demikian, guru yang kompeten dalam pendidikan inklusif bukan hanya menguasai keterampilan teknis pengajaran, tetapi juga memiliki sifat kepemimpinan, empati, dan ketahanan untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, mendukung perkembangan holistik semua siswa (Jusni et al., 2023).


128 B. Jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) Jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) memiliki peran krusial dalam implementasi pendidikan inklusif. GPK yang memadai merupakan landasan untuk memberikan dukungan yang sesuai kepada siswa dengan kebutuhan khusus. Pertama-tama, perlu dipahami bahwa GPK tidak hanya berkaitan dengan jumlah, tetapi juga kualitas keahlian dan kepekaan terhadap keberagaman siswa. Jumlah GPK yang cukup memungkinkan adanya pembagian tugas yang efektif, memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan perhatian dan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, GPK yang memadai mendukung kolaborasi antarguru, memungkinkan pertukaran pengalaman dan pengetahuan yang diperlukan dalam pendekatan inklusif. Keberadaan GPK juga menciptakan ruang bagi pengembangan program khusus yang bersifat inklusif, mengintegrasikan keahlian mereka untuk mendukung pemahaman dan penyesuaian terhadap kebutuhan beragam siswa (Yuliawati et al., 2023). Namun, tantangan yang mungkin timbul adalah kekurangan GPK, terutama di daerah atau tingkat pendidikan tertentu. Kekurangan ini dapat menghambat kemampuan sekolah untuk memberikan dukungan yang memadai, mengakibatkan ketidaksetaraan dalam peluang pendidikan. Oleh karena itu, pemahaman tentang jumlah GPK tidak hanya berkaitan dengan angka, tetapi juga dengan distribusi mereka di berbagai tingkat dan lokasi sekolah. Secara keseluruhan, pemahaman tentang jumlah GPK menjadi penting dalam merancang kebijakan dan strategi yang mendorong inklusivitas, memastikan bahwa sumber


129 daya manusia yang memadai dan berkualitas siap untuk mendukung perkembangan seluruh siswa, tanpa terkecuali. C. Lingkungan sekolah Lingkungan sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam kesuksesan implementasi pendidikan inklusif. Lingkungan ini mencakup aspek fisik, sosial, dan budaya yang dapat memengaruhi pengalaman belajar siswa. Dalam konteks pendidikan inklusif, lingkungan sekolah yang suportif dan inklusif dapat menciptakan atmosfer yang memungkinkan setiap siswa berkembang secara optimal (Marza et al., 2023). Aspek fisik melibatkan penyediaan fasilitas yang dapat diakses oleh semua siswa, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus. Ini mencakup aksesibilitas bangunan, fasilitas toilet, dan ruang kelas yang dirancang untuk mendukung mobilitas dan kebutuhan fisik lainnya. Selain itu, lingkungan fisik yang inklusif mencakup penggunaan materi dan sumber daya pembelajaran yang dapat diakses oleh berbagai kebutuhan belajar. Aspek sosial lingkungan sekolah berkaitan dengan hubungan antar-siswa dan antar-guru. Penciptaan normanorma sosial yang mendukung inklusivitas, menghargai keberagaman, dan mencegah stigmatisasi sangat penting. Program-program pengembangan sosial dan emosional juga dapat membantu menciptakan iklim yang mendukung bagi semua siswa. Selanjutnya, aspek budaya dari lingkungan sekolah melibatkan norma-norma dan nilai-nilai yang diterapkan di sekolah. Mendorong budaya yang menerima perbedaan dan menghargai keunikan setiap siswa adalah kunci untuk


130 menciptakan lingkungan inklusif. Ini melibatkan pengembangan kesadaran dan pemahaman tentang keberagaman di kalangan staf sekolah dan siswa. Tantangan dalam menciptakan lingkungan sekolah inklusif termasuk kebutuhan untuk melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam proses ini. Koordinasi yang baik antara staf, guru, siswa, dan orang tua diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan merangsang perkembangan semua siswa. Dengan memahami pentingnya lingkungan sekolah yang inklusif, kita dapat menciptakan fondasi yang kuat untuk pendidikan inklusif yang berhasil (Mansur et al., 2023). D. Kebijakan afirmatif Kebijakan afirmatif dalam konteks pendidikan inklusif mencakup upaya untuk memberikan dukungan dan akses yang lebih besar kepada kelompok-kelompok siswa yang mungkin menghadapi hambatan atau diskriminasi. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan dan memastikan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan yang setara dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Salah satu fokus utama kebijakan afirmatif adalah memberikan dukungan tambahan kepada siswa dengan kebutuhan khusus. Hal ini dapat melibatkan alokasi sumber daya tambahan, termasuk guru pendidikan khusus, fasilitas fisik yang dapat diakses, dan bahan-bahan pembelajaran yang disesuaikan. Kebijakan afirmatif juga dapat melibatkan pengembangan kurikulum inklusif yang memenuhi kebutuhan beragam siswa (Araujo Dawson et al., 2022). Selain itu, kebijakan afirmatif dapat mencakup langkahlangkah untuk meningkatkan akses dan partisipasi siswa dari


131 kelompok minoritas atau latar belakang sosioekonomi yang rendah. Program beasiswa, mentorship, atau bimbingan akademis adalah beberapa contoh kebijakan afirmatif yang dapat mendukung kelompok-kelompok ini. Pentingnya kebijakan afirmatif juga terkait dengan upaya menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung dan inklusif. Dengan mempromosikan kesetaraan, menghilangkan hambatan, dan memberikan dukungan yang sesuai, kebijakan afirmatif dapat berkontribusi pada terwujudnya pendidikan inklusif yang merata dan adil bagi semua siswa. Namun, tantangan dalam penerapan kebijakan afirmatif mencakup pemastian bahwa langkah-langkah tersebut tidak hanya sekadar formalitas, tetapi benar-benar mencapai tujuan kesetaraan dan inklusivitas. Pengukuran dampak, penyesuaian kebijakan berdasarkan evaluasi, dan partisipasi aktif dari berbagai pihak terkait menjadi kunci keberhasilan kebijakan afirmatif dalam mendukung pendidikan inklusif (Mezzanotte, 2022). E. Sistem dukungan Sistem dukungan memainkan peran penting dalam mendukung implementasi pendidikan inklusif dengan memberikan berbagai layanan dan sumber daya yang mendukung perkembangan dan keberhasilan setiap siswa, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus. Sistem dukungan ini mencakup berbagai komponen yang bersifat fisik, emosional, dan akademis untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung keberagaman siswa (Susilawati et al., 2018). Pertama, aspek fisik sistem dukungan mencakup fasilitas dan sumber daya yang dapat diakses oleh semua siswa, seperti ruang kelas yang dapat diakses, perpustakaan dengan


132 bahan bacaan yang bervariasi, dan fasilitas penunjang lainnya. Pengaturan fisik yang ramah inklusi memastikan bahwa lingkungan belajar dapat diakses oleh semua siswa, tanpa memandang keberagaman mereka. Aspek emosional sistem dukungan melibatkan penyediaan dukungan psikososial kepada siswa, baik dalam hal kesejahteraan mental maupun hubungan interpersonal. Program konseling, kegiatan pengembangan kepribadian, dan kegiatan sosial dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan emosional dan sosial siswa. Sementara itu, aspek akademis sistem dukungan mencakup layanan tambahan seperti tutor atau pengajar pendukung, program remediasi, dan bahan ajar yang dapat disesuaikan. Penyediaan guru pendidikan khusus juga merupakan bagian integral dari sistem dukungan untuk siswa dengan kebutuhan khusus (Baiti et al., 2021). Tantangan dalam membangun sistem dukungan yang efektif termasuk alokasi sumber daya yang memadai, pelatihan yang tepat bagi staf, serta koordinasi yang baik antara berbagai komponen sistem. Pentingnya kolaborasi antar guru, staf sekolah, orang tua, dan spesialis lainnya menjadi kunci untuk menciptakan sistem dukungan yang holistik dan efektif dalam mendukung pendidikan inklusif. Dengan memahami pentingnya sistem dukungan yang komprehensif, pendidikan inklusif dapat memberikan dukungan yang sesuai untuk semua siswa sehingga mereka dapat mencapai potensi maksimal mereka dalam lingkungan belajar yang inklusif dan mendukung.


133 Kesempatan dan tantangan dalam implementasi pendidikan inklusif melibatkan berbagai aspek kunci. Kesempatan tersebut melibatkan keberhasilan guru yang kompeten dalam menyediakan pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan beragam siswa, jumlah Guru Pendidikan Khusus (GPK) yang memadai untuk memberikan dukungan individual, serta lingkungan sekolah yang inklusif yang menciptakan atmosfer belajar yang mendukung. Di sisi lain, tantangan mencakup aspek seperti peningkatan jumlah GPK, peningkatan kualitas lingkungan sekolah yang dapat diakses oleh semua siswa, serta perluasan kebijakan afirmatif untuk mendukung kelompokkelompok siswa yang mungkin menghadapi hambatan. Sistem dukungan yang komprehensif juga menjadi kunci dalam mengatasi tantangan ini. Dengan memahami dan mengatasi tantangan tersebut, implementasi pendidikan inklusif dapat menjadi lebih berhasil dan memberikan manfaat yang merata bagi seluruh siswa. Rangkuman


134


135 BAB 12 SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF (SPPI)


136 etelah menyelesaikan bab mengenai Komponen Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Indonesia (SPPI), diharapkan pemahaman mendalam terkait beberapa poin kunci. Pertama, dalam aspek Peserta Didik, diharapkan pemahaman tentang keberagaman siswa dan pentingnya mendukung perkembangan holistik setiap individu. Identifikasi dan asesmen menjadi fokus untuk menentukan kebutuhan khusus siswa, dan Kurikulum diarahkan pada penyediaan pendekatan pembelajaran yang dapat disesuaikan dengan keberagaman tersebut. Aspek Ketenagaan melibatkan pemahaman terkait kebutuhan guru dan staf pendidikan dalam mendukung pendidikan inklusif. Kegiatan Pembelajaran diharapkan mencakup strategi yang mendukung partisipasi aktif semua siswa. Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil Belajar mengacu pada penilaian dan pelaporan yang adil dan inklusif. Sarana dan prasarana pendidikan perlu diakses oleh semua siswa, dan Manajemen Sekolah memerlukan pendekatan inklusif dalam pengelolaan sumber daya dan lingkungan belajar. Terakhir, dalam aspek Pembiayaan, diharapkan pemahaman mengenai kebutuhan dana untuk mendukung pendidikan inklusif secara efektif. Pemahaman mendalam terhadap setiap komponen ini diharapkan memberikan dasar yang kuat untuk merancang dan mengimplementasikan pendidikan inklusif yang berhasil di tingkat sekolah. A. Peserta Didik Peserta Didik menjadi komponen kritis dalam sistem pendidikan inklusif, terutama dalam konteks Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI). Pemahaman yang mendalam terkait keberagaman siswa menjadi dasar utama, S


137 mencakup anak-anak dengan berbagai kebutuhan dan potensi khusus. Dalam pendekatan inklusif, penting untuk mengakui bahwa setiap siswa memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, SPPI diharapkan mampu mengakomodasi dan menyesuaikan strategi pembelajaran, penilaian, dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan unik setiap peserta didik (Dharma, 2020). Identifikasi dan pengakuan terhadap keberagaman ini merupakan langkah awal dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif. Peserta didik tidak hanya dilihat sebagai penerima informasi, tetapi sebagai individu dengan potensi dan kebutuhan yang berbeda. Di sini, pendekatan inklusif menekankan nilai keberagaman sebagai suatu kekayaan, bukan hambatan. Dalam mengintegrasikan Peserta Didik secara inklusif, SPPI diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang mempromosikan rasa hormat, penghargaan, dan dukungan bagi semua siswa. Selain itu, poin penting dalam Peserta Didik melibatkan strategi identifikasi dan asesmen yang cermat. SPPI diharapkan mampu mengidentifikasi kebutuhan khusus dan potensi unik setiap siswa melalui proses asesmen yang inklusif. Hal ini memberikan dasar untuk menyusun strategi pembelajaran yang sesuai dan menyediakan dukungan yang diperlukan. Dengan begitu, Peserta Didik dapat mengalami pengalaman belajar yang positif, efektif, dan terpersonal. Dalam rangka meningkatkan inklusivitas di SPPI, perlu diterapkan pendekatan yang memahami dan merespon keberagaman siswa, menghargai hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. Peserta Didik bukan hanya subjek pembelajaran, tetapi juga agen pembentuk lingkungan belajar yang inklusif dan berempati.


138 Melalui penerapan konsep ini, diharapkan SPPI dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan potensi setiap siswa, terlepas dari latar belakang, kebutuhan, atau potensi khusus mereka (Silvita & Hermanto, 2023). B. Identifikasi dan asesmen Komponen Identifikasi dan Asesmen dalam Konteks Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) di Indonesia memiliki peran sentral dalam memahami dan mengakomodasi kebutuhan khusus setiap peserta didik. Identifikasi merujuk pada proses pengenalan dan pengakuan keberagaman anak-anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam pendidikan inklusif, identifikasi mencakup penentuan kebutuhan belajar, potensi, dan karakteristik unik setiap individu, sekaligus mengakui keberagaman sebagai suatu kekayaan (Rapisa et al., 2021). Asesmen menjadi langkah selanjutnya dalam pemahaman mendalam terkait kebutuhan dan potensi siswa. Proses asesmen melibatkan evaluasi holistik terhadap perkembangan kognitif, sosial, dan emosional siswa, dengan memperhatikan keunikan masing-masing individu. Dalam konteks SPPI, asesmen mencakup penerapan pendekatan inklusif dan alat evaluasi yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan beragam siswa, sehingga memberikan gambaran yang akurat dan komprehensif. Identifikasi dan asesmen yang efektif adalah fondasi untuk merancang dan menyusun strategi pembelajaran yang sesuai. SPPI diharapkan mampu mengembangkan dan menerapkan metode identifikasi yang sensitif dan asesmen yang inklusif, memastikan bahwa setiap peserta didik mendapatkan dukungan yang dibutuhkan. Melalui proses ini,


Click to View FlipBook Version