39 orang untuk mendapatkan pendidikan, bab ini menguraikan perkembangan krusial seperti adopsi Konvensi tentang HakHak Penyandang Disabilitas pada tahun 2006. Dalam perjalanannya, konsep inklusi berkembang dari sekadar pengakuan hak menjadi upaya konkret untuk menciptakan sistem pendidikan yang memperhatikan keberagaman dan kebutuhan individu. Puncaknya, General Comment No. 4 on Article 24: Right to inclusive education pada tahun 2016 menjadi tonggak penting dalam perjalanan menuju pendidikan inklusif. General Comment ini dikeluarkan oleh Komite Hak-Hak Penyandang Disabilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memberikan panduan lebih lanjut untuk implementasi pendidikan inklusif di seluruh dunia. Dalam konteks ini, General Comment No. 4 memperkaya pemahaman kita tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia yang terkandung dalam pendidikan inklusif. Hal ini mencakup hak setiap individu, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. General Comment ini memberikan panduan konkret terkait implementasi hak ini, menekankan perlunya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, aksesibel, dan mendukung bagi semua siswa. Pentingnya General Comment No. 4 juga terletak pada kemampuannya untuk merangkul perubahan paradigma dalam pendidikan. Sebelumnya, model-medis dominan dalam memandang penyandang disabilitas, sedangkan pendidikan inklusif memandang setiap individu sebagai bagian integral dari lingkungan pendidikan umum. Perubahan paradigma ini mencerminkan transisi dari sudut pandang yang fokus pada kekurangan dan ketidakmampuan menuju pendekatan yang lebih inklusif, yang memahami dan
40 menghormati keberagaman serta hak setiap siswa untuk belajar dan berkembang sesuai potensinya(Firdaus & Kailani, 2015). Dengan adanya General Comment No. 4, dunia mendapatkan arahan yang lebih konkret dan terperinci tentang bagaimana mencapai pendidikan inklusif sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dokumen ini menjadi landasan bagi upaya global dalam menciptakan sistem pendidikan yang mendukung keberagaman siswa dan menjamin hak pendidikan untuk semua, sejalan dengan semangat universal hak asasi manusia. Namun, jalan panjang menuju pendidikan inklusif tidak terlepas dari berbagai tantangan yang menghampiri, menciptakan dinamika yang kompleks dalam transformasi sistem pendidikan. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah resistensi terhadap perubahan. Sebagian pihak mungkin menentang pergeseran paradigma menuju pendidikan inklusif, mungkin karena alasan tradisional, ketidakpahaman, atau kekhawatiran akan perubahan yang dianggap mendalam. Selain itu, kurangnya sumber daya juga menjadi kendala signifikan. Implementasi pendidikan inklusif membutuhkan investasi yang besar, baik dalam hal pelatihan guru, penyediaan fasilitas yang ramah inklusi, maupun dukungan tambahan bagi siswa dengan kebutuhan khusus. Kurangnya sumber daya ini dapat menghambat kemampuan suatu negara atau lembaga pendidikan untuk mewujudkan pendidikan inklusif secara efektif. Selain itu, faktor kemampuan ekonomi siswa sangat berkontribusi terhadap keberhasilan penerapan pendidikan inkluasi (Suprihatiningrum, Saputri, et al., 2023).
41 Tantangan lainnya adalah perluasan kesenjangan pendidikan. Meskipun tujuan utama pendidikan inklusif adalah mengurangi kesenjangan dan memberikan akses yang setara untuk semua siswa, namun pada kenyataannya, implementasinya tidak selalu berjalan sesuai harapan. Kesulitan ini dapat melibatkan perbedaan dalam pendekatan dan strategi di tingkat lokal, serta ketidaksetaraan dalam akses dan kualitas pendidikan di berbagai wilayah. Meskipun demikian, pemahaman yang mendalam terhadap tantangan ini memberikan harapan. Komitmen global untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif terus menguat, tercermin dalam adopsi berbagai instrumen internasional, seperti Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Harapan ini bersumber dari keyakinan bahwa upaya kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, dapat membawa perubahan positif. Melalui pemahaman mendalam ini, diharapkan bahwa tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi secara progresif, membuka jalan bagi generasi mendatang untuk mengalami pendidikan inklusif yang lebih merata dan adil. B. Potret historis PLB di Indonesia Dalam konteks ini, PLB mencakup pendidikan bagi anakanak dengan kebutuhan khusus, seperti anak dengan disabilitas fisik, mental, atau berkebutuhan khusus lainnya. Berikut adalah rincian mengenai potret historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia. 1. Perkembangan Awal Perkembangan awal Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia melibatkan periode sebelum kemerdekaan Indonesia dan awal kemerdekaan, di mana pendidikan
42 bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus belum menjadi fokus utama. Pada periode ini, pendidikan anakanak dengan kebutuhan khusus umumnya belum mendapatkan perhatian dan dukungan yang memadai dari pemerintah maupun masyarakat. Fokus pendidikan pada umumnya masih tertuju pada anak-anak tanpa kebutuhan khusus, sementara anak-anak dengan disabilitas atau kebutuhan khusus sering kali terpinggirkan. 2. Peran Pemerintah Peran pemerintah Indonesia dalam pengembangan dan peningkatan Pendidikan Luar Biasa (PLB) memainkan peran krusial dalam membentuk arah dan perkembangan sistem pendidikan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Potret historis mencakup langkahlangkah konkret dan kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah dalam mendukung anak-anak berkebutuhan khusus. Berikut adalah penjelasan rinci mengenai peran pemerintah: a. Inisiatif Pemerintah Pemerintah Indonesia terlibat dalam berbagai inisiatif untuk mengembangkan dan meningkatkan PLB. Inisiatif ini mungkin mencakup pembentukan lembaga atau badan khusus yang fokus pada pendidikan inklusif, serta langkah-langkah lain yang dirancang untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus (Zein et al., 2020). b. Kebijakan Pendidikan Inklusif Potret historis juga mencakup pengembangan kebijakan pendidikan inklusif yang diadopsi oleh pemerintah. Kebijakan ini dapat mencakup aspek-aspek seperti penerimaan siswa dengan kebutuhan khusus di
43 sekolah umum, penyediaan fasilitas inklusif, dan peningkatan pelatihan bagi guru untuk menghadapi keberagaman siswa (Efendi, 2018). c. Langkah-langkah Konkret Selain kebijakan, langkah-langkah konkret yang diambil oleh pemerintah untuk mendukung PLB juga menjadi fokus. Ini bisa termasuk alokasi anggaran khusus untuk pendidikan inklusif, pembangunan sekolah inklusif, dan pengadaan sumber daya pendidikan yang mendukung anak-anak dengan kebutuhan khusus (Krismanto, 2023). d. Pelibatan Masyarakat Potret historis dapat menyajikan sejauh mana pemerintah terlibat dalam memobilisasi masyarakat untuk mendukung pendidikan inklusif. Pelibatan pemerintah dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hak pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus juga merupakan bagian penting dari peran mereka. e. Evaluasi dan Perbaikan Pemerintah juga mungkin terlibat dalam proses evaluasi kebijakan dan program PLB yang telah diimplementasikan. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai efektivitas langkah-langkah yang telah diambil dan menentukan perbaikan yang diperlukan untuk lebih meningkatkan sistem pendidikan inklusif di Indonesia. Dengan memahami peran pemerintah dalam potret historis PLB, kita dapat mengidentifikasi bagaimana langkah-langkah ini telah membentuk perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia dan sejauh mana komitmen pemerintah terhadap hak pendidikan anakanak berkebutuhan khusus.
44 3. Tantangan dan Pencapaian Tantangan dan pencapaian dalam konteks Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia mencerminkan dinamika kompleks dalam upaya menciptakan lingkungan pendidikan inklusif. Berikut adalah poin-poin yang menjelaskan tantangan dan pencapaian tersebut. a. Kurangnya Sumber Daya Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam perkembangan PLB adalah kurangnya sumber daya, baik dari segi finansial maupun manusia. Keterbatasan anggaran dan kurangnya tenaga pendidik yang terlatih untuk mendukung anak-anak dengan kebutuhan khusus dapat menghambat implementasi pendidikan inklusif secara optimal (Masruroh & Hendriani, 2022). b. Kurangnya Kesadaran Masyarakat Tantangan lainnya melibatkan kurangnya kesadaran masyarakat terkait keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus dan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Stigma sosial dan kurangnya pemahaman tentang kebutuhan khusus anak-anak ini dapat menghambat integrasi mereka dalam lingkungan pendidikan umum. c. Kendala Infrastruktur Tantangan terkait infrastruktur mencakup ketersediaan fasilitas yang mendukung pendidikan inklusif. Sekolah dan sarana pendidikan lainnya mungkin belum sepenuhnya ramah inklusi, sehingga menghambat akses dan partisipasi anak-anak dengan kebutuhan khusus. d. Langkah-langkah Positif Meskipun dihadapkan dengan tantangan, terdapat pencapaian positif dalam pengembangan PLB di Indonesia. Langkah-langkah positif ini bisa mencakup
45 peningkatan aksesibilitas sekolah inklusif, pengembangan program pelatihan bagi guru, dan upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya inklusi pendidikan. e. Peningkatan Akses dan Kualitas Pendidikan Pencapaian yang signifikan dapat tercermin dalam peningkatan akses dan kualitas pendidikan bagi anakanak dengan kebutuhan khusus. Langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah umum, pengembangan kurikulum inklusif, dan pemberian dukungan tambahan dapat menjadi indikator pencapaian positif. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap tantangan ini, diharapkan pihak terkait, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan, dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi hambatan dan terus memperkuat fondasi pendidikan inklusif di Indonesia. Dengan adanya kesadaran dan komitmen yang lebih besar, pencapaian lebih lanjut dalam mendukung anak-anak berkebutuhan khusus dapat diwujudkan. 4. Perubahan Paradigma Dalam melihat potret historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia, perubahan paradigma memainkan peran penting dalam membentuk pandangan masyarakat dan pemerintah terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Pada awalnya, masyarakat dan pemerintah cenderung mengadopsi pendekatan segregatif dengan menciptakan institusi-institusi khusus yang memisahkan anak-anak berkebutuhan khusus dari lingkungan pendidikan umum. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran paradigma menuju pendekatan
46 inklusif yang lebih mendukung hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi dan stigmatisasi. Perubahan ini tercermin dalam adopsi kebijakan inklusi oleh pemerintah, yang berusaha memasukkan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam sistem pendidikan umum dengan memberikan dukungan yang diperlukan. Pandangan masyarakat juga mengalami transformasi, dengan kesadaran akan pentingnya inklusi pendidikan menciptakan dukungan yang lebih besar terhadap integrasi anak-anak berkebutuhan khusus dalam lingkungan pendidikan yang umum. Meskipun tantangan implementasi tetap ada, perubahan paradigma ini menandai langkah maju dalam menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan di Indonesia. 5. Implementasi Kebijakan Inklusi Implementasi kebijakan inklusi dalam Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia merupakan langkah penting untuk mewujudkan visi pendidikan yang inklusif. Adanya kebijakan pendidikan inklusif mencerminkan komitmen pemerintah untuk menyediakan akses pendidikan yang setara bagi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus (Masruroh & Hendriani, 2022). Berikut adalah beberapa poin terkait implementasi kebijakan inklusi di Indonesia. a. Adopsi Kebijakan Inklusi Pemerintah Indonesia mungkin telah mengadopsi kebijakan pendidikan inklusif yang dirancang untuk memasukkan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam sistem pendidikan umum. Kebijakan ini dapat mencakup aspek-aspek seperti penerimaan siswa berkebutuhan khusus di sekolah umum, penyediaan fasilitas inklusif,
47 dan peningkatan pelatihan bagi guru (Hayes & Bulat, 2017). b. Pengembangan Kurikulum Inklusif Implementasi kebijakan inklusi mungkin juga melibatkan pengembangan kurikulum yang bersifat inklusif. Kurikulum ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan beragam siswa, termasuk anak-anak dengan kebutuhan khusus, sehingga dapat diakses dan dipahami oleh semua. c. Pelatihan Guru Seiring dengan kebijakan inklusi, pemerintah dapat menyelenggarakan program pelatihan guru untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang pendekatan inklusif. Pelatihan ini mencakup strategi pengajaran yang mendukung keberagaman siswa dan cara menangani kebutuhan khusus mereka. d. Evaluasi dan Monitoring Dalam implementasi kebijakan inklusi, evaluasi dan monitoring mungkin dilakukan secara berkala. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai efektivitas kebijakan yang diimplementasikan, mengidentifikasi keberhasilan dan tantangan, serta memberikan dasar untuk perbaikan lebih lanjut. e. Partisipasi Orang Tua dan Masyarakat Implementasi kebijakan inklusi juga dapat melibatkan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam mendukung pendidikan inklusif. Peningkatan kesadaran dan dukungan dari masyarakat dapat memperkuat implementasi kebijakan ini. f. Aksesibilitas Fasilitas dan Sumber Daya Kebijakan inklusi juga dapat mencakup upaya untuk meningkatkan aksesibilitas fasilitas dan sumber daya
48 pendidikan. Ini termasuk pembangunan sekolah inklusif, penyediaan alat bantu, dan fasilitas lain yang mendukung keberhasilan pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus(Yılm[z & Y_a[n_b, 2021). Melalui implementasi kebijakan inklusi yang kokoh dan evaluasi berkala, diharapkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia dapat terus berkembang menjadi lebih inklusif dan memberikan peluang pendidikan yang setara bagi semua anak. 6. Peran Masyarakat dan LSM Peran masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam potret historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia memiliki dampak yang signifikan dalam mendukung atau menantang perkembangan pendidikan inklusif. Berikut adalah beberapa cara di mana masyarakat dan LSM dapat berperan dalam memperjuangkan hak pendidikan anakanak berkebutuhan khusus: a. Advokasi Hak-Hak Anak Masyarakat dan LSM dapat berperan sebagai advokat yang memperjuangkan hak-hak pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini melibatkan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak pendidikan setiap anak dan mengatasi stigma terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. b. Pemberdayaan Orang Tua LSM dapat memberikan dukungan dan pelatihan kepada orang tua anak-anak berkebutuhan khusus untuk memahami hak-hak pendidikan anak-anak mereka. Pemberdayaan orang tua melalui informasi dan keterampilan dapat membantu mereka menjadi mitra
49 yang aktif dalam mendukung pendidikan anak-anak mereka. c. Partisipasi dalam Program Pendidikan Inklusif Masyarakat dan LSM dapat terlibat langsung dalam mendukung program pendidikan inklusif. Ini dapat mencakup partisipasi dalam kegiatan sukarela di sekolah-sekolah inklusif, penyediaan sumber daya tambahan, atau dukungan finansial untuk proyek-proyek pendidikan khusus. d. Pembentukan Jaringan Dukungan Masyarakat Pembentukan jaringan dukungan masyarakat, seperti kelompok-kelompok orang tua anak-anak berkebutuhan khusus, dapat membantu menciptakan lingkungan di mana pengalaman dan tantangan yang dihadapi dapat dibagikan. Ini memungkinkan adanya saling dukung dan pertukaran informasi yang bermanfaat. e. Monitor dan Evaluasi Program Pendidikan LSM dapat memainkan peran penting dalam melakukan monitor dan evaluasi terhadap program pendidikan inklusif yang diterapkan di berbagai sekolah. Dengan melibatkan diri dalam pemantauan ini, mereka dapat membantu mengidentifikasi keberhasilan, hambatan, dan area yang memerlukan perbaikan. f. Pengkritik Kebijakan yang Tidak Inklusif Jika ada kebijakan atau praktik yang dianggap tidak inklusif, peran LSM dapat melibatkan pengkritikan konstruktif dan menyuarakan kepentingan anak-anak berkebutuhan khusus. LSM dapat berperan sebagai suara yang membela hak-hak anak dan mendorong perubahan kebijakan yang mendukung pendidikan inklusif (Nc’m[tuz[brob & Nurb[mc^[, 2018).
50 C. Diskursus pendidikan inklusif Diskursus merujuk pada serangkaian ide, pandangan, dan pemikiran yang saling terkait dan membentuk sebuah naratif atau pembicaraan. Ini melibatkan proses berbagi informasi, interpretasi, dan pemahaman mengenai suatu topik atau isu tertentu (Makoelle, 2020). Diskursus tidak hanya mencakup pembicaraan lisan, tetapi juga mencakup tulisan, media, dan cara lain di mana ide-ide dapat disampaikan dan dibahas. Diskursus pendidikan inklusif, khususnya, merujuk pada perdebatan, pemikiran, dan pandangan terkait konsep dan implementasi pendidikan inklusif. Ini mencakup berbagai pemahaman tentang bagaimana pendidikan inklusif diartikan, diimplementasikan, dan dievaluasi dalam konteks pendidikan di suatu negara atau wilayah. Diskursus semacam itu dapat mencakup pertimbangan filosofis, kebijakan pendidikan, peran pemerintah, peran masyarakat, serta tantangan dan pencapaian dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif bagi semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Dalam diskursus ini, berbagai pihak terlibat dalam berbagi pandangan, pemikiran kritis, dan gagasan untuk membentuk arah pendidikan inklusif di masa depan. Dalam diskursus pendidikan inklusif, berbagai perspektif dan ide berkumpul untuk membentuk pemahaman yang lebih komprehensif tentang isu-isu yang berkaitan dengan keberagaman di dunia pendidikan. Diskursus ini memungkinkan adanya dialog dan pertukaran informasi di antara para ahli, praktisi pendidikan, orang tua, siswa, serta pihak-pihak terkait lainnya.
51 Pertama-tama, diskursus ini dapat mencakup definisi dan konsep pendidikan inklusif. Perdebatan mengenai ruang lingkup pendidikan inklusif, model-model pendekatan, dan aspek-aspek esensialnya dapat menjadi bagian dari diskusi tersebut. Pemikiran filosofis tentang hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi juga dapat menjadi fokus (Maysela Azzahra et al., 2022). Selanjutnya, diskursus ini dapat mengeksplorasi tantangan dan hambatan dalam implementasi pendidikan inklusif. Diskusi mengenai kurangnya sumber daya, kurikulum yang tidak inklusif, serta stigma dan persepsi masyarakat terhadap anak-anak berkebutuhan khusus dapat menjadi bagian integral dari pemikiran ini. Pihak-pihak yang terlibat dalam diskursus pendidikan inklusif juga dapat membahas peran masyarakat, LSM, dan pemerintah dalam mendukung hak pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus. Bagaimana partisipasi mereka dapat memperkuat sistem pendidikan inklusif dan mendorong perubahan positif juga dapat menjadi tema sentral. Terakhir, diskursus ini dapat merinci pemikiran tentang masa depan pendidikan inklusif. Ini melibatkan pemikiran kreatif, inovatif, dan solusi-solusi untuk mengatasi tantangan yang mungkin dihadapi. Diskusi mengenai peran teknologi, strategi pembelajaran yang efektif, serta upaya kolaboratif di antara berbagai pemangku kepentingan dapat membentuk arah perubahan ke depan. Melalui diskursus yang terbuka dan inklusif ini, diharapkan masyarakat pendidikan dapat memahami lebih baik isu-isu kompleks seputar pendidikan inklusif dan bersama-sama mencari solusi untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih adil, setara, dan inklusif bagi semua anak (Astuti & Sudrajat, 2020).
52 Perjalanan panjang menuju pendidikan inklusif mencakup evolusi pandangan global dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia hingga Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, dengan General Comment No. 4 on Article 24 (2016) sebagai puncaknya. Di Indonesia, potret historis Pendidikan Luar Biasa mencerminkan perubahan paradigma dari pendekatan segregatif menuju inklusif, dengan peran pemerintah dalam mengadopsi kebijakan inklusi dan mengatasi tantangan seperti kurangnya sumber daya. Masyarakat dan LSM memainkan peran krusial dalam mendukung hak pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus melalui advokasi, pemberdayaan orang tua, partisipasi dalam program inklusif, dan pembentukan jaringan dukungan. Selain itu, diskursus pendidikan inklusif mencakup perdebatan mengenai definisi, tantangan, peran pemerintah, masyarakat, dan solusi masa depan. Rangkuman
53 BAB 5 PENDIDIKAN INKLUSIF ABAD 21
54 etelah membaca tentang Pendidikan Inklusif Abad 21, kita diberikan wawasan mengenai pengarusutamaan (mainstreaming) dan fauxclusion. Pengarusutamaan merupakan upaya menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam sistem pendidikan umum secara penuh, menciptakan lingkungan belajar setara dan inklusif. Sementara itu, fauxclusion merujuk pada situasi di mana praktik pendidikan inklusif hanya diterapkan secara simbolis tanpa memberikan dukungan yang substansial, menciptakan ilusi inklusi tanpa dampak nyata. Pemahaman kedua konsep ini penting untuk mengevaluasi sejauh mana pendidikan inklusif diimplementasikan dengan sungguhsungguh dan memberikan manfaat bagi semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. A. Pengarusutamaan (mainstreaming) Pengarusutamaan, atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai mainstreaming, adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk memasukkan atau mengintegrasikan aspekaspek tertentu ke dalam struktur, kebijakan, dan praktikpraktik yang sudah ada (Lacar, 2021). Konsep ini sering digunakan dalam berbagai konteks, termasuk pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan pembangunan sosial. Dalam konteks pembangunan sosial atau pembangunan berkelanjutan, pengarusutamaan mengacu pada usaha untuk memasukkan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam seluruh kebijakan dan kegiatan pembangunan, sehingga aspek-aspek keberlanjutan menjadi bagian integral dari perencanaan dan pelaksanaan berbagai program (Mitchell, 2015). Contohcontoh pengarusutamaan dalam konteks lain melibatkan inklusi dan pemberdayaan kelompok-kelompok yang rentan atau terpinggirkan, seperti perempuan, anak-anak, S
55 penyandang disabilitas, atau kelompok etnis tertentu. Pengarusutamaan bisa mencakup berbagai aspek, termasuk hak-hak mereka, keadilan sosial, dan akses yang setara terhadap berbagai sumber daya, dan layanan. Dalam konteks pendidikan, pengarusutamaan pendidikan dapat merujuk pada integrasi anak-anak dengan kebutuhan khusus ke dalam sistem pendidikan umum, sehingga mereka mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak lainnya. Pengarusutamaan pada dasarnya mencerminkan usaha untuk mencegah diskriminasi, ketidaksetaraan, atau ketidakadilan dalam berbagai aspek kehidupan dan memastikan bahwa prinsip-prinsip tertentu diakui dan diterapkan secara merata dan menyeluruh (Suprihatiningrum, 2021). Pengarusutamaan (mainstreaming) dalam konteks pendidikan inklusif adalah pendekatan yang berupaya mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam lingkungan pendidikan umum secara menyeluruh. Konsep ini melibatkan penempatan anak-anak tersebut di dalam kelas reguler bersama dengan teman sebaya tanpa kebutuhan khusus, dengan tujuan menciptakan pengalaman pembelajaran yang setara dan inklusif (Anggia & Harun, 2019). Pentingnya pengarusutamaan adalah untuk mengurangi segregasi, stigma, dan diskriminasi yang mungkin dialami anak-anak berkebutuhan khusus (Richert, 2018). Dalam implementasinya, pengarusutamaan memerlukan penyediaan dukungan tambahan, perubahan kurikulum, serta pelatihan bagi guru dan staf sekolah untuk menyediakan lingkungan pembelajaran yang mendukung keberagaman. Konsep ini menekankan bahwa setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tanpa terkecuali,
56 dan pengarusutamaan menjadi salah satu upaya untuk mewujudkannya(Santoso & Apsari, 2017). B. Fauxclusion Fauxclusion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana praktik pendidikan inklusif hanya diadopsi secara simbolis atau kosmetik tanpa memberikan dukungan dan kebijakan yang substansial (Sheehy et al., 2019). Dalam konteks pendidikan inklusif, fauxclusion terjadi ketika sebuah institusi atau sekolah menunjukkan kesan inklusivitas, tetapi pada kenyataannya, mereka tidak menyediakan sumber daya atau dukungan yang memadai untuk mendukung keberhasilan anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini menciptakan ilusi inklusi tanpa memberikan perubahan yang signifikan dalam praktik dan kebijakan yang dapat membantu anak-anak berkebutuhan khusus mencapai potensi maksimal mereka. Fauxclusion mencerminkan inkonsistensi antara retorika dan tindakan, yang dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dan pengalaman pendidikan yang tidak memadai bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus (Yusoff et al., 2018). Contoh fauxclusion dalam konteks pendidikan inklusif dapat terjadi ketika sebuah sekolah secara resmi menyatakan dirinya sebagai inklusif, tetapi pada kenyataannya, tidak menyediakan sumber daya atau dukungan yang memadai untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Misalnya, sebuah sekolah mungkin memiliki kebijakan formal yang menyatakan komitmen terhadap inklusi, tetapi dalam praktiknya, guru-guru mungkin tidak mendapatkan pelatihan yang cukup untuk mengelola kebutuhan beragam siswa atau
57 kurangnya dukungan khusus untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus. Selain itu, fauxclusion juga dapat terlihat dalam bentuk kurangnya adaptasi dalam kurikulum atau metode pengajaran untuk memenuhi kebutuhan individu siswa. Meskipun terdapat pernyataan resmi tentang inklusi, tetapi jika tidak ada usaha konkret untuk mengubah atau mengadaptasi praktik pembelajaran, anak-anak berkebutuhan khusus dapat merasa terpinggirkan dan tidak terintegrasi sepenuhnya dalam proses pembelajaran. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan ketidaksetaraan pendidikan dan memperkuat stigma terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Untuk menghindari fauxclusion, diperlukan komitmen yang kokoh dari lembaga-lembaga pendidikan untuk memberikan dukungan nyata, menyediakan sumber daya yang diperlukan, dan mengadaptasi lingkungan pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus. Hanya dengan langkahlangkah konkret ini, inklusi akan menjadi lebih dari sekadar pernyataan retoris, tetapi menjadi praktek yang terintegrasi dan menyeluruh, memastikan bahwa setiap anak memiliki kesempatan yang setara dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
58 Pengarusutamaan (mainstreaming) adalah pendekatan yang bertujuan mengintegrasikan aspek tertentu ke dalam struktur, kebijakan, dan praktik yang sudah ada, dengan fokus pada pendidikan inklusif. Dalam konteks ini, pengarusutamaan berarti memasukkan anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam lingkungan pendidikan umum untuk menciptakan pengalaman pembelajaran setara. Pentingnya pengarusutamaan adalah mengurangi segregasi dan diskriminasi. Fauxclusion, di sisi lain, menggambarkan praktik inklusif yang hanya bersifat simbolis tanpa dukungan substansial. Sekolah atau institusi dapat terlibat dalam fauxclusion jika mereka menyatakan komitmen pada inklusi tetapi tidak memberikan sumber daya atau dukungan yang memadai. Ini dapat menciptakan ilusi inklusi tanpa perubahan yang signifikan dalam praktik dan kebijakan. Rangkuman
59 BAB 6 FILOSOFI PENDIDIKAN INKLUSIF
60 ab ini membahas dua pokok utama: Pergeseran filsafat dalam pendidikan dan Filosofi pendidikan inklusif. Pertama, pergeseran filsafat dalam pendidikan menguraikan evolusi pemikiran dan pendekatan dalam dunia pendidikan. Dari era yang lebih tradisional hingga yang lebih progresif, terdapat transformasi signifikan dalam cara kita memandang pendidikan dan perannya. Kedua, filosofi pendidikan inklusif membahas dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang mendasari pendekatan inklusif dalam konteks pendidikan. Hal ini mencakup integrasi anak-anak berkebutuhan khusus ke dalam lingkungan pendidikan umum untuk mencapai pengalaman pembelajaran yang setara dan inklusif. Keseluruhan bab ini bertujuan untuk memberikan wawasan mendalam tentang pergeseran filsafat pendidikan dan pentingnya filosofi inklusi dalam mencapai tujuan pendidikan yang merata dan mendukung keberagaman siswa. A. Pergeseran filsafat dalam pendidikan Pergeseran filsafat dalam pendidikan mencerminkan evolusi pemikiran dan pendekatan dalam dunia pendidikan sepanjang waktu. Pendidikan telah mengalami transformasi dari paradigma tradisional menuju pendekatan yang lebih progresif. Filsafat pendidikan tradisional menekankan otoritas guru, kurikulum standar, dan penekanan pada pembelajaran yang terpusat pada guru. Namun, seiring perkembangan masyarakat dan pemahaman lebih mendalam tentang keberagaman individu, terjadi pergeseran menuju filsafat pendidikan yang lebih inklusif (Agus et al., 2023). Filsafat pendidikan tradisional memiliki beberapa ciri khas yang menonjol, di antaranya adalah penekanan pada B
61 otoritas guru, kurikulum standar, dan fokus pada pembelajaran yang terpusat pada guru. Berikut adalah detailnya. 1. Otoritas Guru Filsafat pendidikan tradisional memberikan otoritas dan peran sentral kepada guru sebagai pemegang pengetahuan dan otoritas di kelas. Guru dianggap sebagai sumber utama informasi dan otoritas yang harus dihormati oleh siswa. Pembelajaran cenderung bersifat top-down, dengan guru menentukan isi pembelajaran dan siswa diharapkan menerima pengetahuan tersebut. 2. Kurikulum Standar Pendidikan tradisional cenderung mengadopsi kurikulum standar yang seragam untuk semua siswa. Kurikulum ini ditetapkan oleh pemerintah atau lembaga pendidikan yang bersifat normatif dan seringkali tidak memberikan fleksibilitas yang cukup untuk menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan dan minat individual siswa. 3. Pembelajaran Berpusat pada Guru Pendekatan pembelajaran dalam filsafat pendidikan tradisional bersifat guru-centric, di mana guru menjadi pusat pengajaran dan siswa berperan sebagai penerima pengetahuan. Guru memimpin proses pembelajaran, memberikan informasi, dan siswa diharapkan untuk mendengarkan, memahami, dan mengingat materi yang diajarkan (Garrett, 2008). Era progresif dalam filsafat pendidikan menekankan partisipasi aktif siswa, pengembangan kreativitas, dan pengakuan terhadap keberagaman dalam gaya belajar dan kebutuhan individual. Pendidikan tidak lagi hanya tentang
62 mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi juga tentang membentuk karakter, keterampilan, dan pemahaman yang lebih dalam. Pendekatan ini menciptakan landasan bagi konsep pendidikan inklusif, di mana setiap siswa diakui dan didukung sesuai dengan kebutuhan dan potensinya. Pemahaman pergeseran filsafat ini penting karena mencerminkan adaptasi pendidikan terhadap tuntutan zaman, teknologi, dan pemahaman yang semakin kompleks. Dengan merenungkan pergeseran ini, kita dapat lebih baik memahami arah pendidikan di masa depan dan pentingnya menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung keberagaman dan inklusivitas (Boyadzhieva, 2016). B. Filosofi pendidikan inklusif Filosofi pendidikan inklusif menekankan pada prinsipprinsip kesetaraan, keberagaman, dan penerimaan terhadap semua individu, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Berikut adalah beberapa poin kunci yang mencerminkan filosofi pendidikan inklusif: 1. Kesetaraan Prinsip ini mendasari keyakinan bahwa semua individu, tanpa memandang keberagaman atau keberbedaan mereka, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Dalam konteks pendidikan inklusif, kesetaraan menolak segala bentuk diskriminasi, baik berdasarkan kemampuan, latar belakang, atau karakteristik khusus lainnya (Suprihatiningrum et al., 2021). Pendidikan inklusif berkomitmen untuk menciptakan lingkungan di mana setiap siswa dianggap setara dan
63 memiliki akses yang setara terhadap semua peluang pendidikan. Hal ini mencakup hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan akademis dan sosial, mendapatkan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, dan mengembangkan potensi mereka secara penuh. Prinsip kesetaraan menjadi dasar untuk mengatasi segala bentuk ketidaksetaraan dan memastikan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan yang sama untuk sukses dalam pendidikan mereka. Dengan demikian, pendidikan inklusif mendorong masyarakat sekolah yang adil, inklusif, dan ramah bagi semua individu (Handiyati et al., 2023). 2. Keberagaman Keberagaman dianggap sebagai aset dan kekayaan dalam lingkungan pendidikan inklusif. Filosofi ini mengakui bahwa setiap individu adalah unik, memiliki kebutuhan yang beragam, gaya belajar yang berbeda, dan kemampuan yang beranekaragam. Dalam konteks ini, pendidikan inklusif bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan merayakan keberagaman ini (Alessa & Hussein, 2023). Pendidikan inklusif mendorong pengakuan terhadap perbedaan sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Hal ini mencakup pemahaman dan penerimaan terhadap berbagai gaya belajar, tingkat kemampuan, dan kebutuhan khusus siswa. Dengan memperhatikan keberagaman ini, pendidikan inklusif berupaya menyediakan pendekatan pembelajaran yang sesuai dan mendukung bagi setiap siswa, tanpa memandang perbedaan mereka. Prinsip keberagaman tidak hanya diakui, tetapi juga dirayakan, menciptakan lingkungan di mana setiap
64 siswa dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi mereka masing-masing (Wahyuningtyas & Suprihatiningrum, 2023). 3. Partisipasi Aktif Prinsip partisipasi aktif dalam filosofi pendidikan inklusif menekankan pentingnya keterlibatan penuh semua siswa dalam proses pembelajaran. Ini tidak hanya mencakup kehadiran fisik di kelas, tetapi lebih luas menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi sosial, emosional, dan akademis setiap siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus. Filosofi ini mengakui bahwa partisipasi aktif tidak hanya tentang kegiatan akademis, tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial dan emosional siswa. Oleh karena itu, pendidikan inklusif berupaya menciptakan suasana di mana setiap siswa merasa diterima, dihargai, dan diundang untuk berpartisipasi secara aktif dalam aktivitas pembelajaran. Hal ini mencakup interaksi positif antara siswa, dukungan sosial, dan pemberdayaan siswa untuk berkontribusi sesuai dengan kemampuan dan potensi mereka (Rachmandhani et al., 2023). Dengan mendorong partisipasi aktif, filosofi ini tidak hanya bertujuan untuk memastikan bahwa semua siswa hadir secara fisik di kelas, tetapi juga untuk menciptakan pengalaman pembelajaran yang inklusif, memberikan setiap siswa kesempatan untuk berpartisipasi, berinteraksi, dan tumbuh bersama dalam lingkungan pendidikan yang mendukung (Suprihatiningrum et al., 2022).
65 4. Penerimaan Prinsip penerimaan dalam pendidikan inklusif menekankan pentingnya menerima perbedaan dan menolak segala bentuk stigmatisasi atau pemisahan terhadap siswa berkebutuhan khusus. Filosofi ini bertujuan untuk menciptakan budaya sekolah yang inklusif, di mana semua siswa merasa diterima, dihargai, dan didukung dalam perjalanan pendidikan mereka (Suprihatiningrum, Astuti, et al., 2023). Penerimaan melibatkan sikap terbuka terhadap keberagaman siswa, baik itu perbedaan dalam gaya belajar, kebutuhan khusus, latar belakang budaya, atau karakteristik individual lainnya. Dengan mengedepankan penerimaan, pendidikan inklusif berusaha menghilangkan stereotip dan prasangka yang dapat menyebabkan stigmatisasi terhadap siswa berkebutuhan khusus. Budaya sekolah yang menganut prinsip penerimaan menciptakan lingkungan yang ramah dan mendukung, di mana setiap siswa merasa nyaman untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa takut dicap atau diisolasi. Penerimaan juga menciptakan peluang untuk memahami dan menghargai perbedaan, membantu membentuk generasi yang lebih terbuka, toleran, dan memahami dalam masyarakat. Dengan menerapkan nilai penerimaan, pendidikan inklusif berkontribusi pada pembentukan lingkungan belajar yang positif dan inklusif bagi semua siswa (Suprihatiningrum, 2021). 5. Dukungan Individual Prinsip dukungan individual dalam pendidikan inklusif menegaskan bahwa setiap siswa memiliki kebutuhan pembelajaran yang unik, dan oleh karena itu,
66 diperlukan upaya untuk menyediakan dukungan yang sesuai agar mereka dapat mencapai potensi maksimal. Filosofi ini mengakui bahwa tidak semua siswa belajar dengan cara yang sama, dan pendidikan inklusif bertujuan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang responsif terhadap kebutuhan beragam tersebut. Dukungan individual dapat mencakup berbagai aspek, seperti modifikasi kurikulum untuk memenuhi kebutuhan spesifik siswa, penerapan metode pengajaran yang beragam untuk mengakomodasi gaya belajar yang berbeda, atau penyediaan bantuan khusus jika diperlukan. Melalui pendekatan ini, pendidikan inklusif berusaha menghilangkan hambatan yang mungkin dihadapi siswa berkebutuhan khusus, memastikan bahwa mereka dapat terlibat secara penuh dalam proses pembelajaran. Dukungan individual juga mencakup pengakuan terhadap kekuatan dan potensi setiap siswa, bahkan mereka yang mungkin memiliki tantangan tertentu. Dengan menyediakan dukungan yang sesuai, pendidikan inklusif berkontribusi pada penciptaan lingkungan belajar yang inklusif, adil, dan mendukung bagi semua siswa, tanpa memandang perbedaan atau tantangan yang mereka hadapi. Filosofi pendidikan inklusif berusaha untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang merangsang pertumbuhan, menghormati keberagaman, dan mempromosikan pemahaman saling menghargai di antara semua anggota komunitas sekolah (Arifin et al., 2023).
67 Pergeseran filsafat dalam pendidikan mencerminkan transformasi mendalam dari pendekatan tradisional yang menekankan otoritas guru, kurikulum standar, dan pembelajaran terpusat pada guru, menuju filosofi inklusif yang mengakui keberagaman siswa, mendorong partisipasi aktif, mempromosikan penerimaan, dan menyediakan dukungan individual. Selanjutnya, filsafat inklusif menekankan hak setiap individu, termasuk mereka dengan kebutuhan khusus, untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Rangkuman
68
69 BAB 7 KONSEP FUNDAMENTAL PENDIDIKAN INKLUSIF
70 etelah membaca Konsep-konsep Fundamental Dalam Pendidikan Inklusif, diharapkan kita memahami beberapa konsep kunci. Ableism, sebagai salah satu konsep, menyoroti sikap atau tindakan diskriminatif terhadap individu dengan disabilitas, menekankan perlunya mengatasi prasangka dan stigma dalam lingkungan pendidikan. Konsep keadilan (equity) menuntut pemberian setiap siswa akses dan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, menjunjung prinsip kesempatan yang adil dan merata. The dilemma of difference mencerminkan tantangan moral seputar cara kita merespons perbedaan dalam pendidikan inklusif, sementara inclusive language menekankan penggunaan bahasa yang menghormati keberagaman dan menghindari stigmatisasi. Kesemua konsep ini membentuk dasar pemahaman kita tentang bagaimana menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, menghargai perbedaan, dan menjamin hak setiap siswa untuk mendapatkan pendidikan yang setara. A. Ableism Ableism adalah konsep yang mencerminkan sikap atau tindakan diskriminatif terhadap individu yang dianggap memiliki disabilitas atau keterbatasan. Istilah ini mengacu pada perilaku atau kebijakan yang merugikan dan mendiskriminasi orang dengan disabilitas, menganggap mereka sebagai kelompok yang kurang berharga atau kurang mampu. Dalam konteks pendidikan inklusif, pemahaman tentang ableism sangat penting karena membantu mengidentifikasi dan mengatasi prasangka serta stigma yang mungkin dihadapi siswa dengan kebutuhan khusus (Omolu, 2018). S
71 Ableism, dalam bentuknya yang beragam, mencakup sikap paternalistik dan perilaku diskriminatif yang dapat merugikan individu dengan disabilitas. Sikap paternalistik terwujud ketika masyarakat atau individu memperlakukan orang dengan disabilitas sebagai objek simpati atau kepedulian berlebihan, sering kali dengan asumsi bahwa mereka memerlukan perlindungan dan bantuan yang berlebihan. Ini dapat menghasilkan pandangan yang merendahkan dan merugikan, menghilangkan otonomi dan hak keputusan dari individu dengan disabilitas. Di sisi lain, ableism juga dapat termanifestasi dalam perilaku diskriminatif yang secara konkret membatasi akses individu dengan disabilitas terhadap pendidikan dan peluang lainnya. Contoh nyata dari ini termasuk ketidakmampuan untuk memberikan akomodasi yang sesuai, seperti aksesibilitas fisik atau dukungan khusus dalam pembelajaran. Penolakan terhadap partisipasi penuh dalam kegiatan sekolah, baik dalam konteks kurikuler maupun ekstrakurikuler, juga menciptakan hambatan untuk pengalaman belajar yang setara. Penggunaan bahasa yang merendahkan merupakan aspek lain dari ableism yang bisa merugikan. Saat berkomunikasi dengan individu dengan disabilitas, penggunaan kata-kata atau ungkapan yang meremehkan atau merendahkan dapat menciptakan lingkungan yang tidak ramah dan memperkuat stereotip negatif. Untuk mengatasi ableism, diperlukan pendekatan inklusif yang memastikan bahwa setiap siswa diperlakukan dengan adil, dihargai, dan diakui sebagai bagian integral dari komunitas pendidikan. Ini melibatkan peningkatan kesadaran terhadap stereotip dan prasangka terhadap orang dengan disabilitas, serta implementasi kebijakan dan praktik
72 pendidikan yang mendukung keberagaman dan hak setiap individu untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Melalui pemahaman mendalam tentang ableism, masyarakat pendidikan dapat membentuk lingkungan yang inklusif, menghormati keberagaman, dan memastikan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan yang setara untuk tumbuh dan berkembang dalam konteks pendidikan. B. The concept of equity Konsep keadilan (equity) dalam konteks pendidikan inklusif merupakan landasan utama untuk mencapai sistem pendidikan yang setara dan adil bagi semua siswa, tanpa memandang perbedaan karakteristik atau kondisi pribadi. Keadilan dalam pendidikan bukan hanya sebatas memberikan perlakuan yang sama kepada setiap siswa, tetapi lebih kepada memberikan setiap individu apa yang dibutuhkannya untuk mencapai hasil yang setara. Pendekatan keadilan mencakup pemahaman bahwa setiap siswa memiliki kebutuhan dan potensi yang unik. Oleh karena itu, pemberian dukungan dan aksesibilitas harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik setiap siswa. Keadilan berarti memberikan perhatian yang lebih terhadap siswa yang mungkin memerlukan bantuan ekstra untuk meraih kesuksesan akademis dan sosial (Kumar Shah Associate Professor, 2020). Selain itu, konsep keadilan dalam pendidikan inklusif menekankan pentingnya mengatasi ketidaksetaraan yang mungkin timbul dari faktor-faktor seperti: 1. Latar Belakang Ekonomi Akses ke Sumber Daya: Keadilan dalam pendidikan inklusif mengharuskan penanganan disparitas yang
73 berkaitan dengan latar belakang ekonomi. Siswa dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu mungkin menghadapi kendala dalam mengakses sumber daya pendidikan seperti buku, perlengkapan sekolah, atau akses internet. Upaya untuk memberikan dukungan finansial atau menyediakan fasilitas umum secara merata adalah langkah-langkah konkret yang mendukung keadilan. 2. Etnisitas Pengakuan Keanekaragaman: Konsep keadilan menuntut pengakuan penuh terhadap keberagaman etnis di dalam lingkungan pendidikan. Melalui kurikulum yang mencerminkan keanekaragaman budaya, serta penyediaan sumber daya yang memahami dan menghargai latar belakang etnis, pendidikan inklusif dapat mengatasi ketidaksetaraan dan memastikan bahwa setiap siswa merasa dihargai dalam lingkungan belajar. 3. Kondisi Fisik dan Mental Akomodasi yang Sesuai: Siswa dengan kondisi fisik atau mental yang berbeda mungkin memerlukan akomodasi khusus agar dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam pembelajaran. Konsep keadilan menekankan pentingnya memberikan dukungan yang sesuai, seperti aksesibilitas fisik, teknologi pendukung, atau bantuan individu, sehingga siswa dengan kebutuhan khusus dapat mengatasi hambatan dan mendapatkan manfaat penuh dari pengalaman pendidikan (Keiler, 2018). Upaya menuju keadilan melibatkan pembangunan lingkungan pendidikan yang mendukung keberagaman dan mengurangi disparitas yang dapat memengaruhi akses dan hasil pendidikan.
74 Dalam praktiknya, keadilan juga mencakup evaluasi kritis terhadap kebijakan, praktik, dan kurikulum untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya memberikan keuntungan bagi beberapa kelompok, tetapi mampu memenuhi kebutuhan dan hak setiap siswa secara merata. Konsep keadilan menjadi dasar untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif dan memberikan setiap siswa peluang yang setara untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya(Chai, 2015). C. The dilemma of difference Konsep "The dilemma of difference" (dilema perbedaan) dalam pendidikan inklusif mencerminkan tantangan moral dan etika yang muncul ketika kita berhadapan dengan perbedaan di antara siswa. Dilema ini melibatkan pertimbangan tentang cara kita merespons dan mengintegrasikan keberagaman siswa, termasuk perbedaan budaya, linguistik, dan kebutuhan pendidikan khusus (Yusoff et al., 2018). 1. Penerimaan Keanekaragaman Tantangan Pengakuan Perbedaan: Dilema muncul dalam memutuskan sejauh mana kita harus menerima dan merespons perbedaan di antara siswa. Penerimaan akan keanekaragaman dapat memunculkan pertanyaan etis, seperti sejauh mana sekolah harus menyesuaikan diri dengan berbagai budaya, bahasa, dan kebutuhan khusus. 2. Pertimbangan Etis Pertimbangan Hak Individu: Dalam menghadapi dilema perbedaan, perlu dipertimbangkan hak individu
75 setiap siswa untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Hal ini membutuhkan keseimbangan yang cermat antara kebijakan inklusi dan hak-hak individu untuk menjaga martabat dan kebebasan pribadi. 3. Tantangan Kesetaraan Upaya Mencapai Kesetaraan: Dilema juga melibatkan pertimbangan tentang bagaimana mencapai kesetaraan tanpa mengorbankan hak atau kesejahteraan kelompok tertentu. Misalnya, bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang setara tanpa mengabaikan kebutuhan khusus siswa tertentu. 4. Pentingnya Pembelajaran Bersama Keuntungan dan Tantangan Pembelajaran Bersama: Dilema terkait dengan keputusan untuk menerapkan model pembelajaran bersama (inclusion) yang menempatkan semua siswa dalam kelas yang sama. Meskipun pembelajaran bersama dapat memberikan manfaat sosial dan akademis, tetapi juga menimbulkan tantangan mengenai bagaimana mengatasi perbedaan individu. 5. Implikasi Praktis Implementasi Kebijakan: Bagaimana menerjemahkan prinsip-prinsip inklusi dan keanekaragaman menjadi kebijakan dan praktik praktis yang dapat diimplementasikan di tingkat sekolah merupakan bagian penting dari dilema ini. (Lakkala, 2021). Dalam mengatasi dilema perbedaan, masyarakat pendidikan perlu mencari solusi yang menghargai dan mengakui keanekaragaman, menghormati hak individu, dan
76 menciptakan lingkungan belajar yang mendukung semua siswa tanpa mengekang kebebasan atau kesejahteraan kelompok tertentu. Dengan cara ini, dilema perbedaan dapat dihadapi secara etis dan efektif di dalam konteks pendidikan inklusif. D. Inclusive language Konsep Inclusive language (bahasa inklusif) dalam pendidikan inklusif menekankan penggunaan bahasa yang mendukung keberagaman dan menghormati martabat setiap individu, termasuk siswa dengan kebutuhan khusus (Friska, 2023). 1. Penggunaan Istilah yang Menghormati Menghindari Istilah Diskriminatif: Inclusive language mencakup penghindaran penggunaan istilah atau frasa yang dapat merendahkan atau mendiskriminasi siswa berdasarkan karakteristik pribadi atau kondisi khusus. Ini termasuk penggunaan istilah yang lebih netral dan menghormati, serta menghindari stereotip negatif. 2. Mengakui Keanekaragaman Bahasa Menghargai Bahasa Asal: Inclusive language juga mencerminkan pengakuan terhadap keaneka-ragaman bahasa. Ini melibatkan mendukung dan menghormati bahasa asal siswa, serta memastikan bahwa pembelajaran dapat berlangsung dalam lingkungan yang memahami dan memasukkan berbagai bahasa.
77 3. Penggunaan Bahasa yang Tidak Membatasi Menghindari Generalisasi: Penting untuk menghindari generalisasi atau stereotip dalam penggunaan bahasa. Misalnya, menghindari asumsi umum tentang kemampuan atau keterbatasan siswa berdasarkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, etnisitas, atau kebutuhan khusus. 4. Penggunaan Pronoun yang Sensitif Pengakuan Identitas Gender: Dalam bahasa inklusif, penting untuk menggunakan pronoun yang sesuai dengan identitas gender siswa. Ini mencerminkan pengakuan dan penghargaan terhadap identitas individu, termasuk mereka yang mungkin mengidentifikasi diri dengan gender non-biner. 5. Promosi Lingkungan yang Ramah Semua Siswa Menciptakan Lingkungan Belajar yang Aman: Inclusive language bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan ramah bagi semua siswa. Penggunaan bahasa yang inklusif dapat membantu mengurangi stigmatisasi dan memberikan pesan positif tentang keberagaman di antara siswa. Urgensi penggunaan bahasa inklusif dalam konteks pendidikan terletak pada kemampuannya menciptakan lingkungan belajar yang ramah, menghormati, dan mendukung setiap siswa. Penggunaan bahasa yang inklusif bukan hanya sekadar pilihan kata-kata, tetapi mencerminkan komitmen untuk mengakui dan menghargai keberagaman siswa. Dengan menghindari istilah atau frasa yang dapat merendahkan atau mendiskriminasi, inclusive language membantu menciptakan norma sosial yang positif di dalam
78 ruang kelas. Selain itu, penggunaan bahasa yang tidak membatasi dan menghindari generalisasi membantu membuka ruang bagi setiap siswa untuk merasa diterima dan dihargai tanpa memandang latar belakang, identitas gender, atau kebutuhan khusus mereka. Inclusive language juga mendukung pembentukan identitas positif dan menciptakan iklim belajar yang aman, di mana setiap siswa merasa memiliki tempat untuk berkembang tanpa rasa takut atau stigmatisasi (Ernita, 2019). Dengan demikian, penggunaan bahasa inklusif bukan hanya sarana komunikasi, melainkan juga fondasi yang kuat untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, setara, dan memajukan hak-hak semua individu dalam komunitas belajar. Ableism mencerminkan perilaku diskriminatif terhadap individu dengan disabilitas dan memerlukan pendekatan inklusif untuk memastikan perlakuan adil dan kesetaraan akses. Konsep keadilan dalam pendidikan inklusif menuntut pemberian setiap individu apa yang dibutuhkannya, mencakup dukungan sesuai kebutuhan dan mengatasi ketidaksetaraan. Dilema perbedaan melibatkan pertimbangan etika terhadap keberagaman siswa, mencakup tantangan penerimaan, pertimbangan etis, dan upaya mencapai kesetaraan. Bahasa inklusif menekankan penggunaan bahasa yang mendukung keberagaman dan menciptakan lingkungan belajar yang aman, menghindari istilah diskriminatif, mengakui keanekaragaman bahasa, dan menggunakan pronoun yang sensitif. Pertanyaan evaluasi mencakup sejauh mana Rangkuman
79 pendekatan inklusif dapat mengatasi sikap paternalistik, mengurangi disparitas terkait latar belakang ekonomi, menghadapi dilema perbedaan dengan menghargai hak individu, dan bagaimana penggunaan bahasa inklusif dapat menciptakan norma sosial positif di ruang kelas.Sejauh mana pendekatan inklusif dapat mengurangi sikap paternalistik terhadap individu dengan disabilitas dalam lingkungan pendidikan?
80
81 BAB 8 PRINSIP-PRINSIP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF
82 etelah mempelajari Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Inklusif, kita diharapkan memiliki pemahaman mendalam tentang dua konsep penting, yaitu Konsep Perbedaan Individu dan Konsep Pendidikan Inklusif Radikal dan Moderat. Konsep perbedaan individu menekankan pengakuan terhadap keanekaragaman siswa, baik dari segi kemampuan, gaya belajar, maupun kebutuhan khusus. Ini menciptakan landasan untuk penerapan pendidikan inklusif yang menghargai dan mendukung keunikan setiap siswa. Sementara itu, pemahaman tentang pendidikan inklusif radikal dan moderat memberikan wawasan tentang dua pendekatan berbeda terhadap inklusi. Pendidikan inklusif radikal menekankan transformasi struktural dalam sistem pendidikan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan sepenuhnya, sementara pendidikan inklusif moderat cenderung mengadopsi perubahan bertahap dalam rangka mencapai inklusi tanpa mengguncang secara besar-besaran struktur pendidikan yang sudah ada. Dengan pemahaman ini, diharapkan kita mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan inklusif secara holistik dan kontekstual, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing lingkungan pendidikan. A. Konsep perbedaan individu Konsep perbedaan individu dalam konteks pendidikan merujuk pada pengakuan terhadap keanekaragaman yang dimiliki oleh setiap siswa. Ini mencakup beragam aspek, seperti kemampuan akademis, gaya belajar, kebutuhan khusus, latar belakang budaya, dan karakteristik personal lainnya (Dharma, 2023). Konsep perbedaan individu dalam pendidikan melibatkan pemahaman terhadap beragam aspek sebagai berikut. S
83 1. Inteligensi Penting bagi pendidik untuk mengakui dan memahami bahwa setiap individu memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda. Howard Gardner, seorang psikolog pendidikan, menawarkan teori kecerdasan majemuk yang mengakui variasi kecerdasan dalam berbagai bentuk, seperti linguistik-verbal, logika-matematika, visual-ruang, musikal-ritmik, kinestetik-tubuh, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Pengakuan terhadap keberagaman kecerdasan ini memungkinkan pendidik merancang pendekatan pembelajaran yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi setiap siswa. Dengan mempertimbangkan berbagai jenis kecerdasan, pendidik dapat menciptakan lingkungan pembelajaran inklusif yang mendukung perkembangan seluruh potensi siswa, memastikan bahwa setiap individu dapat berkembang secara optimal dalam konteks pendidikan (Oktadiana & Wardana, 2019). 2. Gaya Belajar Beberapa siswa cenderung lebih sukses dalam pembelajaran visual, sementara yang lain lebih responsif terhadap metode auditori atau kinestetik. Mengenali perbedaan ini memungkinkan pendidik untuk menyesuaikan metode pengajaran sehingga sesuai dengan gaya belajar masing-masing siswa. Misalnya, menggunakan gambar, diagram, atau video dapat mendukung siswa visual, sementara diskusi kelompok atau penggunaan materi audio dapat membantu siswa auditori. Bagi siswa kinestetik, melibatkan aktivitas fisik dalam pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman dan keterlibatan mereka. Dengan mendekati pengajaran dengan memper-
84 hatikan gaya belajar individu, pendidik dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih inklusif dan efektif. 3. Kemampuan Kognitif Perbedaan dalam kemampuan kognitif memainkan peran krusial dalam kemampuan akademis siswa. Kemampuan kognitif mencakup aspek-aspek seperti kemampuan memecahkan masalah, pemikiran kritis, dan keterampilan pemecahan masalah matematis. Pendidik perlu memahami tingkat kemampuan kognitif siswa secara individual agar dapat memberikan dukungan yang sesuai. Siswa dengan kemampuan kognitif yang tinggi mungkin memerlukan tugas yang lebih kompleks dan tantangan akademis yang lebih mendalam, sementara siswa dengan tingkat kemampuan kognitif yang lebih rendah mungkin memerlukan pendekatan pembelajaran yang lebih mendalam dan bimbingan tambahan. Pengakuan terhadap perbedaan ini memungkinkan pendidik untuk merancang program pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, menciptakan lingkungan di mana setiap siswa dapat berkembang secara optimal. Selain itu, memberikan berbagai jenis aktivitas dan tugas yang mempromosikan pemikiran kritis dan kemampuan memecahkan masalah dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan kognitif mereka. Dengan memperhatikan perbedaan dalam kemampuan kognitif, pendidik dapat memberikan pendekatan yang diferensiasi dalam pengajaran mereka, memastikan bahwa setiap siswa mendapatkan dukungan yang sesuai untuk perkembangan kognitif mereka.
85 4. Latar Belakang Budaya dan Sosial Latar belakang budaya dan sosial memiliki pengaruh signifikan terhadap cara siswa belajar dan mencapai prestasi akademis. Faktor-faktor seperti lingkungan keluarga, nilai-nilai budaya, dan konteks sosial dapat membentuk pola pikir, motivasi, dan gaya belajar siswa. Pendidik perlu memiliki pemahaman mendalam terhadap konteks latar belakang ini agar dapat memberikan dukungan yang efektif kepada siswa. Lingkungan keluarga, misalnya, dapat mempengaruhi tingkat dukungan yang diterima siswa dalam hal pembelajaran. Nilai-nilai budaya yang diterapkan dalam keluarga juga dapat memainkan peran dalam motivasi siswa untuk berprestasi. Pendidik yang menyadari perbedaan dalam latar belakang sosial dan budaya dapat menciptakan lingkungan kelas yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan siswa dari berbagai latar belakang. Menyelaraskan metode pengajaran dengan pengalaman dan nilai-nilai siswa dapat membantu menciptakan koneksi yang lebih kuat antara materi pembelajaran dan kehidupan sehari-hari siswa. Ini juga dapat membantu siswa merasa dihargai dan terhubung dengan materi pembelajaran, yang dapat meningkatkan motivasi dan keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran. Dengan memahami latar belakang budaya dan sosial siswa, pendidik dapat menciptakan lingkungan yang mendukung keberagaman, menghormati perbedaan, dan mempromosikan inklusivitas. Dukungan yang
86 disesuaikan dengan konteks latar belakang individu dapat memberikan dampak positif pada pengalaman belajar siswa dan membantu mereka mencapai potensi maksimalnya. 5. Motivasi dan Minat Motivasi dan minat siswa adalah faktor penting yang dapat berpengaruh signifikan terhadap kinerja akademis mereka. Tingkat motivasi siswa dapat memengaruhi sejauh mana mereka terlibat dalam pembelajaran dan sejauh mana mereka berusaha mencapai tujuan akademis mereka. Pemahaman tentang apa yang memotivasi dan menarik bagi setiap siswa adalah kunci untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif. Pendidik perlu mengenali variasi dalam motivasi dan minat siswa. Beberapa siswa mungkin termotivasi oleh tantangan akademis yang menantang, sementara yang lain mungkin lebih termotivasi oleh hubungan praktis antara materi pembelajaran dan kehidupan sehari-hari mereka. Menyesuaikan metode pengajaran dan materi pembelajaran dengan minat dan motivasi siswa dapat meningkatkan keterlibatan mereka dalam pembelajaran. Pendekatan diferensiasi dapat digunakan untuk memberikan dukungan yang sesuai dengan tingkat motivasi dan minat siswa. Ini dapat mencakup penggunaan bahan pembelajaran yang bervariasi, proyek-proyek yang menarik, atau memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi topik tertentu yang sesuai dengan minat pribadi mereka. Pembentukan hubungan positif antara pendidik dan siswa juga dapat menjadi kunci untuk meningkatkan
87 motivasi. Dengan memahami dan menghormati minat individu, pendidik dapat membantu siswa menemukan relevansi dalam materi pembelajaran, memberikan tujuan yang bermakna, dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran. 6. Pengalaman Belajar Sebelumnya Latar belakang pendidikan sebelumnya, termasuk pengalaman di dalam dan di luar kelas, dapat memiliki dampak signifikan pada pengetahuan dan keterampilan siswa. Pemahaman yang baik terhadap latar belakang ini memungkinkan pendidik untuk merancang kurikulum yang sesuai dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan siswa. Menganalisis pengalaman belajar sebelumnya membantu pendidik mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan antar siswa. Dengan mengetahui tingkat pemahaman dan keterampilan yang telah dimiliki siswa, pendidik dapat mengadaptasi pengajaran untuk memenuhi kebutuhan individu. Ini memungkinkan pendidik untuk memberikan materi tambahan kepada siswa yang memerlukannya, sementara juga menantang siswa yang telah mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Pengalaman belajar sebelumnya juga dapat memengaruhi gaya belajar siswa dan preferensi metode pengajaran. Pendidik dapat menggunakan informasi ini untuk menyusun strategi pengajaran yang lebih efektif, termasuk penggunaan metode yang memanfaatkan pengalaman belajar masa lalu siswa. Selain itu, pemahaman tentang latar belakang pendidikan sebelumnya dapat membantu pendidik membangun hubungan yang lebih baik dengan siswa. Dengan menunjukkan perhatian terhadap pengalaman
88 siswa, pendidik dapat menciptakan lingkungan pembelajaran yang inklusif dan mendukung perkembangan setiap siswa. Dengan merancang kurikulum yang responsif terhadap pengalaman belajar sebelumnya, pendidik dapat membantu memastikan bahwa pembelajaran lebih relevan, disesuaikan dengan kebutuhan siswa, dan memberikan dasar yang kokoh untuk pengembangan keterampilan dan pengetahuan selanjutnya. Pendidikan yang memahami konsep perbedaan individu menolak pendekatan one-size-fits-all, mengakui bahwa setiap siswa adalah individu unik dengan kebutuhan dan potensi yang berbeda. Pemahaman ini membentuk dasar bagi penerapan strategi pendidikan inklusif yang memastikan setiap siswa mendapatkan dukungan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan menghargai perbedaan individu, pendidikan dapat menjadi lebih responsif, inklusif, dan memungkinkan setiap siswa untuk mencapai potensinya secara maksimal tanpa diskriminasi atau stereotip. B. Konsep pendidikan inklusif radikal dan moderat Pendidikan inklusif merujuk pada upaya untuk memasukkan semua siswa, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus atau kondisi disabilitas, ke dalam sistem pendidikan yang sama. Ada dua pendekatan utama dalam konsep pendidikan inklusif, yaitu inklusif radikal dan inklusif moderat.