FILSAFAT ILMU
cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau
menghalangi tatkala peneliti (1) memilih dan menetapkan
objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala
menggunakan produk penelitian.
Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi
oleh nilai dalam (1) memilih objek penelitian, (2) cara
meneliti, dan (3) menggunakan hasil penelitian.
Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang
yang beraliran sain tidak netral akan mengambil mungkin
— jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang paling
mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sain netral —
mungkin — akan mengambil orang gelandangan untuk
diambil jatungnya. Orang yang beraliran sain value bound,
dalam epistemologi akan meneliti jantung itu tidak dengan
menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sain
value free tidak akan mempedulikan apakah objek penelitian
menderita atau tidak. Orang yang beraliran sain netral akan
menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang
orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan
produk itu hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan
netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi, maupun
aksiologi sain. Sebenar- nya dalam ontologi pun demikian.
Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah
epistemologi, sedang penggunaan hasil penelitian adalah
aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu.
Ontologi itu pun
netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini
kebenarannya oleh peneliti. 47
PENGETAHUAN SAiN
Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila
kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia
akan melawan keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal
dari agama. Percobaan pada manusia mungkin akan
diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka,
penganut sain tidak netral akan memilih objek penelitian
yang mirip dengan manusia. Untuk melihat proses
reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma dan
ovum. Untuk ini peneliti dari kalangan penganut sain netral
tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-
perempuan yang belum nikah untuk mengadakan hubungan
kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan
ovum. Peneliti yang menganut sain tidak netral akan
melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah. Ini
pada aspek epistemologi.
Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila
paham sain netral itu telah menerapkan pahamnya pada
aspek aksiologi. Mereka dapat saja menggunakan hasil
penelitian mereka untuk keperluan apa pun tanpa
pertimbanagan nilai.
Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau
menyimpang dari maksud penciptaan sain. Tadinya sain
dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi
kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna
bahwa sain itu tidak netaral, sain memihak pada kegunaan
membantu manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi
manusia. Sementara itu, paham sain netral justru akan
memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci
FILSAFAT ILMU
terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan
membuat teori, sebenarnya ia telah berniat akan membantu
manusia menyelesaikan masalah dalam kehidupannya,
mengapa justru temuannya menambah masalah bagi
manusia? Karena ia menganut sain netral padahal
seharusnya ia menganut sain tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa yang paling bijaksana ialah kita
memihak atau memilih paham bahwa sain tidaklah netral.
Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu
secara keseluruhan tidaklah netral.
Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai
dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat
ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya
tidak ada jalan bagi penganut sain netral.
Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman
Soewardi, guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran
Bandung. Kutipan ini dapat digunakan untuk menambah
bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain
sebaiknya netral atau tidak netral.
Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies
49
PENGETAHUAN SAIN
Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ke-36 8 April
2004), dari sudut pandang epistemologi, sain terbagi dua,
yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain
Formal itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi
dengan menggunakan simbol-simbol, merupakan implikasi-
implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain Formal itu
netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur
oleh hukum-hukum logika.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Sain Emperikal
merupakan wujud konkret, yaitu jagad raya ini, isinya ialah
jalinan-jalinan sebab akibat. Sain Emperikal itu tidak netral
karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang
menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil
penginderaan terhadap jagad raya. Benar bahwa Sain
Emperikal itu terdiri atas logika (jalinan sebab akibat),
namun ia dimulai dari suatu pijakan yang bermacam-
macam. Fijakan itu tentulah nilai. Maka sifatnya tidak
netral. Tidak netral karena dipengruhi oleh pijakannya itu.
Selanjutnya Herman Soewardi menambahkan uraian
berikut. Barangkali kita menyangka bahwa kausalitas itu di
mana-mana sama, bisanya dirumuskan dalam bentuk
proposisi X menyebabkan Y (X —► Y). Memang begitu.
Namun, bila diamati lebih dalam, ternyata hal itu tidaklah
sederhana itu. Baiklah kita periksa pandangan David
Hume, Immanuel Kant, dan Al-Ghazali.
David Hume mengatakan bahwa dalam alam pikiran
Empiricisme tidak dapat dibenarkan adanya generalisasi
sampai munculnya hukum X —► Y. Dari suatu kejadian
sampai menjadi hukum (teori) diperlukan adanya medium yang
PENGETAHUAN SAIN
berupa reasoning jalinan sebab akibat yang banyak sekali. Dan
reasoning itu tidak mungkin. Tidak mungkin karena rumitnya
itu. Karena itu, hanyalah kebiasaan orang saja (tidak ada dasar
logikanya) untuk menyimpulkan setiap X akan diikuti Y.
Pendapat ini terkenal dengan istilah skeptisisme Hume. Jadi,
menurut Hume, sebab akibat itu sebenarnya tidaklah diketahui.
Immanuel Kant membantah skeptisisme Hume itu dengan
mengatakan bahwa ada pengetahuan bentuk ketiga, yaitu a
priori sintetik. Ini, menurut Herman Soewardi, adalah suatu
jalinan sintetik yang sudah ada, yang keadaannya itu
diterangkan oleh Kant secara transendental. Inilah medium
yang dicari oleh Hume, yang bagi orang Islam jalinan sintetik
itu adalah ciptaan Tuhan yang sudah ada sejak semula. Suatu
kejadian X —► Y sebenarnya terjadi di atas medium itu,
kejadian X —► Y itulah yang selanjutnya menjadi hukum
yang general.
Tampak pada kita bahwa dengan mengikuti cara
Emperisisme, siapa pun tidak akan mampu menunjukkan
medium itu. Sehubungan dengan ini Kant mengatakan
bahwa Tuhan lah yang menciptakan medium tersebut.
Tentang kemahakuasaan Tuhan itu Al-Ghazali
menyatakan lebih tandas lagi sehubungan dengan hukum X
—► Y. Kata Al-Ghazali, kekuatan X menghasilkan Y bukan
pada atau milik X itu, melainkan pada atau milik Tuhan.
Bila kapas diletakkan di atas api, kekuatan untuk
terjadinya terbakar atau tidak terbakar kapas itu bukan
pada api melainkan pada Tuhan. Terbakarnya kapas oleh
api merupakan suatu regularitas atau kebiasaan atau adat,
adat itu dari Tuhan, namun pada kejadian khusus seperti
pada Nabi Ibrahim, api tidak membakar. Karena Tuhan
pada waktu itu tidak memberikan kekuatan membakar
pada api. Ini merupakan hukum kausalitas yang sangat
fundamental, bahwa kekuatan pada penye- bab (X) adalah
kekuatan Tuhan. Sekarang, istilah yang mendunia untuk
menyatakan kekuatan Tuhan itu ialah faktor Z.
Kekuatan dari atau pada Tuhan itu, baiklah kita sebut
faktor Z, menghasilkan suatu pengertian bahwa kau- salitas
itu sifatnya berubah dari cukup (sufficient) menjadi
tergantung (contingent) pada faktor lain (dalam hal ini
Tuhan).
Dari kesimpulan itu akan muncul kesimpulan lain, yaitu
kausalitas atau linkage menjadi bergeser dari tidak
memperhitungkan kehendak Tuhan ke memperhitungkan
kehendak Tuhan. Dari sini muncul beberapa pergeseran,
yaitu:
• dari deterministik (pasti) bergeser ke stokastik (mungkin),
• dari sebab akibat terjadi pada waktu yang sama ke sebab
akibat terjadi pada waktu yang berlainan
• dari cukup (sufficient) bergeser ke tergantung
(contingent) pada faktor Z;
• dari niscaya (necessary) bergeser ke berganti
(substitutable).
Sain Formal dikatakan netral karena hukum-hukumnya
bukan dibuat oleh manusia. Hukum-hukumnya dibuat oleh
Tuhan. Hukum-hukumnya itu ada di dalam kepala kita.
Adapun Sain Emperikal, ia tidak netral. Tidak netral
karena ia dibangun berdasarkan pijakan seseorang pakar yang
mungkin berbeda dengan pakar lain. Tentang ini Thomas
Kuhn memberikan eksplanasi sebagai berikut.
DULU KINI KELAK
PARADIGMA 1 PARADIGMA 2 PARADIGMA 3
Sain Emperikal disebut oleh Kuhn Sain Norm5a3l
(.Normal Science). Sain Normal muncul dari paradigma
yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam perkem-
bangannya Sain Normal menghadapi fenomena yang tidak
FILSAFAT ILMU
dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebutnya
anomali. Selanjutnya anomali ini menimbulkan krisis
(ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga
akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah
perkembangan sain, berubah dari paradigma yang satu ke
paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu tidak
netral.
Masalah utama Sain Normal ialah masalah peng-
inderaan. Padahal kita tahu bahwa metode andalan —
bahkan metode satu-satunya— bagi Sain Normal ialah
observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat
mengandalkan penginderaan. Tetapi pada penginderaan
inilah kelemahan utama Sain Normal.
Menurut cara berpikir Empirisisme penginderaan
adalah modal fundamental bagi manusia untuk menge-
tahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan Kuhn, yang
orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan
sementara dan akan berubah setelah terjadi anomali. Kini
pertayaannya ialah: Mengapa penginderaan itu ada
cacatnya sehingga pendapat para pakar itu sering tidak
sama dan sering berubah? Ini dijawab oleh Richard Tarnas.
Tarnas mengatakan bahwa di depan mata manu-
sia itu ada “lensa” yang memfilter penglihatan, “lensa” itu
dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma,
dan harapan. Maka, kata Tarnas, sama dengan Kant, yang
ada di benak manusia itu bukanlah jagad raya yang
sebenarnya melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia
FILSAFAT ILMU
itu. Karena itu kausalitas yang dibangun oleh akal manusia
itu menjadi kausalitas yang terlalu seder- hana. Bila
manusia mengubah jagad raya (jagad raya buatannya),
memang manusia akan memperoleh apa yang
diharapkannya, akan tetapi seringkali disertai oleh yang
tidak diharapkannya. Kejadian ini (muncul akibat yang
tidak diharapkan) disebut antitetikal, dan akibat-akibat
yang berupa antitetikal inilah yang menimbulkan
kerusakann-kerusakan di planet kita seperti bolongnya
lapisan ozon.
Kekurangan dalam penginderaan manusia itu, me-
nurut Herman Soewardi, dapat disempurnakan oleh firman
Tuhan. Menurut Herman Soewardi, bila Sain Normal itu
netral ia akan menimbulkan 3R (resah, renggut, rusak).
Kayaknya sekarang kita telah menyaksikan kebenaran
thesis Herman Soewardi itu. Karena itu thesis tersebut
perlu mendapat perhatian.
Krisis Sain Modern
Sain modern ialah sain empirikal, yaitu sain normal
menurut Kuhn. Tulisan ini esensinya diambil dari buku
Herman Soewardi Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah Kuat
dan Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), 1999,
Bagian Tiga Bab 14 yang berjudul Tarnas The Cisis of
Modern Science.
Pada tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The
Passion of the Western Mind, terbit. Dalam 5b5uku itu ada
sebuah bab yang berjudul The Crisis ofModern Science.
Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik
perhatian tentang sain modern. Pertama, postulat dasar
sain modern ialah space, matter, causality, dan observation,
ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua,
dianutnya pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagat
raya, bukanlah jagad raya yang sebenarnya, tetapi jagad
raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia. Ketiga,
determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke
stochastic. Keempat, partikel-partikel sub-atomik terbuka
untuk interpretsi spiritual. Kelima, adanya unecertainty
sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam,
Kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang
disebut Tarnas planetary ecological crisis.
Dari enam hal yang menarik di atas Tarnas me-
nyimpulkan bahwa orang merasa tahu tentang jagad raya
padahal tidak; tidak ada jaminan orang dapat tahu; yang
dikatakan jagad raya sebenarnya menunjukkan hubungan
orang dengan jagad raya itu, atau jagad raya sebagaimana
diciptakan oleh orang itu.
Tentu saja kesimpulan Tarnas itu sangat meng-
getarkan. Mengapa sampai demikian? Tarnas menjawab
sendiri: Landasan ilmiah untuk menggambarkan jagad raya
dalam sain modern adalah sangat terbatas bahkan landasan
itu cukup berbahaya.
Maka kita bertanya, bagaimana kelanjutan sain modern
itu bila postulat-postulat dasarnya dibuktikan tidak benar,
dan terutama, bila landasan ilmiahnya ter- batas bahkan
berbahaya? Tetapi baiklah kita lihat lebih rinci mengenai
kesalahan-kesalahan sain modern itu.
Pertama, tentang space atau jagad raya. Pandangan
sekarang yang berlaku ialah bahwa space itu terbatas
(finite), tetapi lepas, bentuknya lengkung (tidak linier),
sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips,
bukan karena tertarik gravitasi ke arah matahari
melainkan memang bentuknya lengkung. Kini, berlaku
pandangan empat dimensi space-time, bukan hanya tiga
seperti pada geometri Eucled.
Jagad raya yang kita ketahui bukanlah jagad raya yang
sebenarnya, ia adalah jagad raya ciptaan manusia. Inilah
pandangan Kant. Sekarang terbukti, penemuan-penemuan
pada mekanika kuantum menyokong pandangan Kant itu.
Maka, yang dikatakan jagad raya (space) itu hanyalah
hubungan manusia dengan jagad raya, atau jagad raya
sebagaimana tampak menurut apa yang dipertanyakan oleh
manusia.
Kedua, tentang matter atau materi. Baik Democritus
maupun Newten, memandang materi itu solid. Pandangan
sekarang menyatakan materi itu kosong. Mekanika
kuantum membuktikannya.
Ketiga, tentang kausalitas. Sain modern menganggap
kausalitas itu sederhana. Kini ditemukan bahwa partikel-
partikel saling mempengaruhi tanpa dapat dipahami
bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka;
kausalitas itu kompleks.
Keempat, tentang uncertainty dari Heisenberg. Ternyata
observasi terhadap elektron hanya dapat dilakukan
terhadap salah satu posisi atau kecepatannya, selain itu
observer tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya.
Heisenberg menemukan bahwa gerakan atom tidak dapat
keduanya ditetapkan sekaligus, posisi atau kecepatannya.
Ini mempertanyakan tentang kelemahan observasi.
Kelima, tentang partikel sub-atomik. Capra mendapati
bahwa ada semacam kecerdasan elektron, sehingga kini
fisika terbuka untuk menerima interpretasi spiritual.
57
Keenam, kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah
tanda-tanda konkret adanya dampak buruk sain, ia meru-
pakan kebalikan dari yang diharapkan dari sain. Dampak
itu antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek
buruk berganda pada kehidupan tetumbuhan dan hewan,
kepunahan berbagai species, kerusakan hutan, erosi tanah,
pengurasan air tanah, akumulasi limah yang toksik, efek
rumah kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah
ekonomi dunia semakin runyam.
Pengembangan Ilmu
Bila Anda bertemu dengan seseorang yang baru dilantik
menjadi rektor sesuatu perguruan tinggi dan Anda bertanya
apa program utamanya, maka Anda akan mendapat
jawaban bahwa program utamanya ialah pengembangan
ilmu. Tentu saja, karena perguruan tinggi Pada umumnya
adalah gudang ilmu. Namun, yakinlah Anda banyak orang
yang tidak memahami secara tepat apa sebenarnya
pengembangan ilmu itu, termasuk banyak juga dari
kalangan rektor yang sedang menjabat sebagai rektor.
Berikut adalah uraian yang tepat Mengenai pengembangan
ilmu, bila Anda setuju.
Jika Anda membuka Ilmu Bumi, Anda akan melihat
bahwa isinya ialah teori tentang bumi; buku Ilmu Hayat
isinya iaiah teori tentang makhluk hidup; buku Sejarah
isinya teori tentang kejadian masa lalu; buku Filsafat isinya
teori filsafat, dan begitulah selanjutnya. Jadi, isi ilmu
adalah teori.
Secara umum teori ialah pendapat yang beralasan.
Semakin banyak makan telor akan semakin sehat atau telor
berpengaruh positif terhadap kesehatan, adalah teori dalam
sain. Bila permintaan meningkat maka harga akan naik,
juga adalah teori sain. Menurut Plato, penjaga negara
(presiden dan menteri) haruslah filosof dan mereka tidak
boleh berkeluarga, jika berkeluarga maka mereka tidak
akan beres menjaga negara. Ini teori filsafat. Jika penduduk
suatu negara beriman bertakwa maka Tuhan akan
menurunkan berkah bagi mereka dari langit. Ini salah satu
teori dalam agama Islam. Jin dapat disuruh melakukan
sesuatu. Ini teori dalam pengetahuan mistik. Teori adalah
pendapat (yang beralasan).
Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan
ilmu adalah mengembangkan teorinya. Ada beberapa
kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama١
menyusun teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah
ada teori yang muncul, lantas seseorang menemukan teori
baru. Kedua, menemukan teori baru untuk mengganti teori
lama. Dalam kasus ini, tadinya sudab ada teorinya tetapi
karena teori itu sudah tidak mampu menyelesaikan
masalah yang mestinya ia mampu menye-
lesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru.
Ketiga merevisi teori lama. Dalam hal ini peneliti atau
pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak juga
menggantinya dengan teori baru, ia hanya merevisi, ia
hanya menyempurnakan teori lama itu. Keempat, memba-
talkan teori lama. Ia hanya membatalkan, tidak meng-
gantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia mengurangi jumlah
teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak
menggantinya dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia
mengembangkan ilmu.
Bagaimana prosedur serta langkah-langkah pengem-
59
PENGETAHUAN SAIN
bangan ilmu akan amat ditentukan oleh jenis ilmunya. Itu
memerlukan organisasi, ada managernya. Itu memerlukan
biaya tinggi kadang-kadang; memerlukan tenaga yang
sedikit atau banyak; memerlukan waktu, ada yang sebentar
ada yang lama, bahkan ada yang sangat lama.
60
BAB 3
PENGETAHUAN FILSAFAT
Pada bab ini dibicarakan ontologi, epistemologi, dan
aksiologi filsafat. Ontologi membicarakan hakikat,
objek dan struktur filsafat. Epistemologi membahas
cara memperoleh dan ukuran kebenaran
pengetahuan filsafat. Aksiologi mendiskusikan
masalah kegunaan filsafat dan cara filsafat
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dibicarakan
juga pada bab ini masalah netralitas filsafat yang
akan membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral
(value free) atau terikat (value bound).
A. Ontologi Filsafat
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa
pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga di
sini. Yang dimaksud struktur di sini ialah cabang-cabang filsafat serta
isi (yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan di sini
hanyalah cabang, cabang saja, itu pun hanya sebagian. Teori dalam
setiap cabang tentu sangat banyak dan itu tidak dibicarakan di sini.
Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga disebut
sistematika filsafat.
1. Hakikat Pengetahuan Filsafat
Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak
dibicarakan lebih dulu; nanti bila orang telah banyak mempelajari
filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu
(Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966, I: 3). Langeveld jug6a5
PENGETAHUAN FILSAFAT
berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri,
barulah ia maklum apa filsafat itu; makin dalam ia berfilsafat akan
semakin mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, Menudju ke
Pemikiran Filsafat, 1961: 9).
Pendapat Hatta dan Langeveld itu benar, tetapi apa salahnya
mencoba menjelaskan pengertian filsafat dalam bentuk suatu uraian.
Dari uraian itu diharapkan pem-
baca mengetahui apa filsafat itu, sekalipun belum
lengkap. Dan dari situ akan dapat ditangkap apa itu
pengetahuan filsafat.
Poedjawijatna (Pembimbing ke Alam Filsafat, 1974: 11)
mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang
berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi
segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah
Bakry (Sistematik Filsafat, 1971: 11) mengatakan bahwa
filsafat sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam
semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang
dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia
itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry men-
jelaskan satu hal yang penting yaitu bahwa filsafat itu
pengetahuan yang diperoleh dari berpikir. Seperti yang
sudah dijelaskan pada Bab 1, memang ciri khas filsafat
ialah ia diperoleh dengan berpikir dan hasilnya berupa
pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris).
Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang
ada benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan
FILSAFAT ILMU
mengatakan filsafat ialah hasil pemikiran yang tidak
empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap
Bertnard Russel menyatakan bahwa
filsafat adalah the attempt to answer ultimate question
critically (Joe Park, Selected Reading in the Philosophy (of
Education, 1960: 3). D.C. Mulder (Pembimbing ke Dalam
Ilmu Filsafat, 1966: 10) mendefinisikan filsafat sebagai
pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan sebagai
keseluruhan. William James (Encyclopedia of Philosophy,
1967: 219) menyimpulkan bahwa filsafat ialah a collective
name for question which have not been answered to the
satisfication of all that have asked them. Namun, dengan
mengatakan bahwa filsafat ialah hasil pemikiran yang
hanya logis, kita telah menyebutkan inti sari filsafat. Pada
Bab 1 telah saya jelaskan (cobalah lihat kembali matrik itu)
bahwa pengetahuan manusia ada tiga macam yaitu
pengetahuan sain, pengetahuan filsafat dan pengetahuan
mistik; pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis
dan tidak empiris. Jika anda orang pemula dalam filsafat,
pegang saja ini.
2. Struktur Filsafat
Hasil berpikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi
telah terkumpul banyak sekali, dalam buku tebal maupun
tipis. Setelah disusun secara sistematis, itulah yang diseb6u7t
sistematika filsafat. Yang inilah yang saya maksud dengan
struktur filsafat.
FILSAFAT ILMU
Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya
merupakan satu kesatuan:
• ontologi, membicarakan hakikat (segala sesuatu); ini
berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu;
٠ epistemologi cara memperoleh pengetahuan itu;
٠ aksiologi membicarakan guna pengetahuan itu.
Ontologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin
semua filsafat masuk di sini, misalnya Logika, Metafisika,
Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat
Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistemologi
hanya mencakup satu bidang saja yang disebut
Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh
pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat.
Sedangkan aksiologi hanya mencakup satu cabang filsafat
yaitu Aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan
filsafat. Ini pun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah
kerangka struktur filsafat.
Salah satu filsafat yang masih “baru” ialah Filsafat
Perennial. Karena baru, filsafat itu diuraikan ala kadar-
nya berikut ini.
Filsafat Perennial1)
Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang
kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris perennial yang
berarti kekal (Komaruddin Hidayat dan Muhammad
Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat
Perennial, 1995: 1). Dengan demikian, Filsafat Perenni6a8l
(Philosophia Perennis) adalah filsafat yang dipandang
dapat menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki,
FILSAFAT ILMU
menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani
hidup yang benar, yang menjadi hakikat seluruh agama
dan tradisi besar spiritualitas manusia (lihat Komaruddin
Hidayat dan M. Wahyuni Nafis, 1995: xx). Hakikat itu
menjadi inti pembicaraan Filsafat Perennial, yaitu adanya
yang suci (The Sacred) atau yang satu (The One) dalam
seluruh manifestasinya seperti dalam agama, filsafat, seni,
dan sain. Jadi, dalam definisi teknisnya Filsafat Perennial
ialah pengetahuan filsafat tentang Yang Selalu Ada (Budy
Munawar Rahman dalam Komaruddin Hidayat dan M.
Wahyuni Nafis, hal xii, xxix).
Berkaitan dengan itu, Aldous Huxley yang dalam
pertengahan abad 19 mempopulerkan istilah
perennial
1) Diadopsi dari makalah Adeng Muchtar Ghazali, mahasiswa S2 IAIN Bandung
Angkatan 1997/1998)
melalui bukunya The Perennial Philosophy mengemukakan
bahwa hakikat Filsafat Perennial, ada tiga yaitu metafisika,
psikologi, dan etika (The Perennial Philosophy, 1.945: vii)-
Metafisika untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi
yang merupakan substansi dunia ini baik yang material,
biologis maupun intelektual. Psikologi adalah jalan untuk
mengetahui adanya sesuatu dalam diri manusia (yaitu soul)
yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang
meletakkan tujuan akhir kehidupan manusia. Dengan
demikian, maka Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan
seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini dengan
Realitas Ilahi iPtuE.NRGeaEliTtaAs HpUenAgeNtahFuIaLn SteArsFeAbuTt hanya dapat
dicapai melalui apa yang disebut Plotinus intelek atau soul
atau spirit yang jalannya pun hanya melalui tradisi-tradisi,-
ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini
oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan (lihat
Komarudin Hidayat, 1995: xxix).
Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan
lainnya mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat
pada awalnya adalah metafisika, sehingga untuk memahami isi
alam harus dipahami lebih dahulu wujud Tuhan. Mengenai
psikologi sebagai hal kedua yang harus kenali adanya karena
kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuan merupakan sesuatu
yang tidak terbatas
yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam”
manusia.
Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembi-
caraan tentang cara mengetahui (epistemologi) objek
Filsafat Perennial sama artinya dengan pembicaraan
tentang proses batin manusia “menangkap” Realitas
Absolut itu.
Metafisika. Filsafat Perenial mengatakan bahwa
eksistensi-eksistensi tertata secara hirarkis (Frithjof
Schoun, The Trancendent Unity of Religion, 1975: 19).
Realitas selalu saling terkait, jumlahnya meningkat ketika
level-nya naik. Semakin tinggi eksistensi semakin real ia
(Houston Smith, Beyond Post-Modern, 1979:8).
Melalui Filsafat Perennial disadari adanya Yang Infinite
di balik kenyataan ini (level of reality). Juga dalam diri
manusia (level of selfhood) yang terdiri dari body, mind dan
soul, dipercayai adanya yang disebut spirit (roh). Alam
semesta dan manusia pada dasarnya hanyalah tajalli atau
penampakan Infinite atau Spirit yang dalam Islam disebut
al-Haqq (Komarudin Hidayat,1995: xxxii). Karena adanya
dua level ini maka diyakini dunia ini bersifat hirarkis.
Tingkat-tingkat eksistensi ini menjelaskan bahwa
tradisi (agama misalnya) adalah jalan yang memberi tahu
kita tentang cara menempuh “pendakian” dan tingkat
eksistensi yang lebih rendah, yaitu kehidupan sehari-hari,
ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Tuhan melalui
pengalaman mistis atau pengalaman kesatuan.
Wujud real ini dapat disamakan dengan klaim Realisme
mengenai apa yang tampak nyata. Tetapi real di sini adalah
real dengan sendirinya. Bagi orang yang telah terbiasa
dengan Rasionalisme atau Empirisme pembe- daan ini agak
sulit dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada
realitas lain yang lebih real yang tampak?
Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan
alegori Plato sebagai analognya. Mengenai alegori Plato
bacalah uraian Plato mengenai manusia gua (cave man)
(lihat misalnya dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 1990:
49-50). Di dalam legenda Plato itu orang yang punya
bayangan lebih real daripada bayangannya; memang
bayangan orang itu adalah sesuatu yang real, tetapi orang
yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan
dengan bayangannya.
Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga (oleh Plato)
bahwa manusia yang tidak dilengkapi dengan cahaya akan
terus berkutat pada bentuk tertentu dan tidak akan tiba
71
pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya "cahaya" itulah
manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang
lebih real daripada ia lihat sekarang.
Inti alegori itu adalah untuk menggambarkan ke-
mungkinan adanya sesuatu kehidupan yang lebih tinggi
yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak
mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia
dikelilingi oleh benda-benda, benda-benda itu membatasi
manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi.
Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu
dengan kemampuan “cahaya”. Dengan demikian, jelaslah
bahwa ada hirarki realitas.
Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui
citra-citra. Melalui pencitraan itu realitas tanpa batas
dapat diukur dalam enam hal yakni energi, durasi, ruang
lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan (lihat
Kemaruddin Hidayat, 1995:10). Energi atau kekuatan
misalnya, merupakan suatu pengaruh yang menyebabkan
yang lain memberikan respon atas kebe- radaannya.
William James mengatakan bahwa dikatakan real jika
sesuatu menyebabkan kita berkewajiban untuk berurusan
dengannya (William James, Some Problems ٠/ Philosophy,
1971: 101).
Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia mema-
suki enam kategori di atas. Misalnya jika energi atau power
tak terhingga, ia Maha Kuasa; jika durasi tak terhingga,
72artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi;jika ruang
lingkupnya tak terbatas, ia Ada di mana-manajika
kesatuannya tanpa syarat, ia Murni (tidak memuat
apapun); jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi
Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna.
Kesemuanya itu adalah Tuhan.
Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat Perennial
tentu akan sulit bila tidak dihubungkan dengan alam
sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai dengan
hirarkinya masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan
ini berakibat pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari
atas ke bawah, yang lebih atas berarti lebih real yaitu
Godhead atau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan
menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level di
bawahnya tidak real melainkan kurang real dibandingkan
dengan eksistensi level di atasnya.
Psikologi. Manusia adalah makhluk yang mencerminkan
alam raya, demikian juga sebaliknya. Manusia suatu saat
dapat menjadi makrokosmos pada saat yang lain menjadi
mikrokosmos. Kedua kemungkinan itu akan berpengaruh
pada penilaian mana yang lebih baik dalam hirarki
kemanusiaan. Yang terbaik dalam diri manusia adalah
yang paling “dalam,” ia adalah basis dan dasar bagi wujud
manusia. Pada basis yang paling dalam inilah kaum sufi
menemukan suatu lokus percakapan antara manusia
dengan Tuhan (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat
Abad XX, 1983: 58).
Untuk memahami lebih jauh tentang kondisi “dalam”
manusia, Filsafat Perennial melihat dua kecenderungan
dalam manusia, yaitu Aku-Objek (me) yang bersifat
73
terbatas dan Aku-Subyek (/) yang dalam kesadarannya
tentang keterbatasan ini mampu membuktikan bahwa
dalam dirinya sendiri ia bebas dari keterbatasannya.
Filsafat Perennial yang mencoba mencari keabadian
memilih Aku-Subyek yang tak terhingga yang menengge-
lamkan diri pada pusat diri yang paling dalam, menutup
segala permukaan inderawi, persepsi maupun pemikiran,
dibungkus dalam kantung jiwa yang bersifat Ilahi, sehingga
masuk pada suatu pencapaian yang bukan jiwa, bukan
personal, melainkan Segala-Diri (all-self) yang melampaui
segala kedirian. Filsafat Perennial mengga- riskan bahwa di
dalam manusia “menginkarnasi” Tuhan yang tak terhingga,
jika manusia mampu membuang penutup-penutup akal
indrawi, membuang kerangkeng materi dan terbang
melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah —
mungkin— yang diungkapkan oleh Gabriel Marcel
“Semakin dalam aku menjangkau diriku, semakin tampak
ia melampaui diriku” (lihat Mathias Haryadi, Membina
Hubungan antar Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi,
Persekutuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, 1996: 49-
57).
Manusia mampu menangkap limpahan Aku-Subyek
yang tak terbatas di saat sedang tenggelam dalam tugas
yang tidak memberikan sedikit pun perhatian pada kepen
tingan pribadi. Dalam bahasa I-Me tidak ada lagi me yang
tersisa. Maqam itu dapat dicapai melalui empat level.
Pertama, sebuah kehidupan yang secara primer diidentik-
kan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau
menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan ber-
sifat atau bernilai pinggiran; kedua, seseorang yang dapat
mengembangkan perhatian pada akal, ini dapat menjadi
diri yang menarik; ketiga, jika manusia dapat beralih pada
hati, ia akan menjadi orang baik; keempat, jika ia dapat
melewatinya dan sampai ke roh, yang menjaga dari lupa
diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni kepen-
tingan pribadi sama dengan kepentingan orang lain, ia akan
menjadi orang sempurna (Houston Smith, 1979: 18).
Filsafat Perennial bukan berarti tidak menghargai akal.
Namun dalam menghargai akal itu yang dihargai ialah
orang yang menggunakannya bukan pada kemampuan akal
itu.
Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis
ternyata sanggup menembus sampai kesejatiannya. Itu
diperoleh melalui metode-metode tertentu. Metode itu ialah
metode yang biasanya digunakan oleh pejalan mistik atau
suluk. Tetapi Filsafat Perennial tidak membahas itu secara
rinci.
Etika adalah kumpulan petunjuk untuk mengefektifkan
usaha transformasi diri yang akan memungkinkan untuk
mengalami dunia dengan cara baru. Melakukan Perubahan,
reformasi dan pengaturan akan membawa ke arah kondisi
diri yang baru, mencakup bagaimana
75
PENGETAHUAN FILSAFAT
prinsip-prinsip untuk mengetahui dunia secara lebih sejati dari
sekedar penampakannya apa adanya.
Isi etika adalah bentuk-bentuk kerendahhatian,
kedermawanan, ketulusan. Kerendahhatian merupakan kapasi.
tas untuk membuat jarak diri dengan kepentingan pribadinya,
menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara objektif
dan akurat. Tiga kebaikan utama ini masing- masing berkaitan
dengan tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk
mengetahui benda-benda secara aktual dan objektif.
Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada dirinya
sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri
seperti orang lain.
Filsafat Pos Modern (Post Modern Philosophy)
Di dalam literature filsafat, biasanya babakan sejarah filsafat
dibagi tiga. Pertama, Filsafat Yunani Kuno (.Ancient
Philosophy) yang didominasi Rasionalisme, kedua, Filsafat
Abad Tengah (Middle Ages Philosophy), disebut juga The
Dark Ages Philosophy (Filsafat Abad Kegelapan), yang
didominasi oleh pemikiran tokoh Kristen, ketiga Filsafat
Modern (Modern Philosophy) yang didominasi lagi oleh
Rasionalisme.
Akhir-akhir ini agaknya telah muncul babakan
keempat, yaitu Filsafat Pascamodern (Post Modern
Philosophy).
78
FILSAFAT ILMU
Jika periode pertama didominasi rasio, periode kedua
didominasi pemikiran tokoh Kristen, periode ketiga
didominasi rasio lagi, maka pada periode keempat itu apa
yang didominasi?
Pada intinya, filsafat Pascamodern (anak-anak sering
menyebutnya Posmo) mengkritik Filsafat Modern.
Orang- orang Posmo mengatakan Filsafat Modern itu
harus didekonstruksi. Karena Filsafat Modern itu
didominasi Rasionalisme, maka yang didekonstruksi itu
adalah Rasionalisme itu.
Rasionalisme ialah paham filsafat yang mengatakan
akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran. Nah,
paham itulah yang didekonstruksi oleh Filsafat Posmo.
Sebenarnya, budaya Barat (yang ternyata
mengglobal) adalah budaya yang secara keseluruhan
dibagun berdasarkan Rasionalisme itu. Dan kata Capra,
memang hanya berdasarkan Rasionalisme.
Pada tahun 1880-an Nietzsche telah menyatakan
bahwa budaya Barat (ya, budaya rasional itu) telah
berada di pinggir jurang kehancuran, itu disebabkan
oleh terlalu mendewakan rasio. Pada tahun 1990an
Capra menyatakan bahwa budaya Barat itu telah
hancur , itu disebabkan oleh terlalu mendewakan rasio.
Sepertinya, tokoh-tokoh Filsafat Posmo itu ingin
menyelamatkan budaya Barat. Menurut mereka budaya
79
Barat dapat diselamatkan bila budaya Barat disusun ulang
tidak hanya berdasarkan Rasionalisme. Orang-orang Posmo
berpendapat bahwa sumber kebenaran tidak hanya rasio,
ada sumber kebenaran lain selain rasio. Agama, misalnya.
Jika digunakan agama, maka penggunaan rasio telah
termasuk di dalamnya.
Kayaknya ada baiknya budaya disusun berdasarkan
ajaran agama tetapi harus dipilih agama yang benar- benar
berasal dari Tuhan Yang Maha Pintar.
B. Epistemologi Filsafat
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek
filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh penge-
tahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan)
filsafat.
1. Objek Filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang
sebenarnya, yang terdalam. Jika hasil pemikiran itu
disusun, maka susunan itulah yang kita sebut Sistematika
Filsafat. Sistematika atau Struktur Filsafat dalam garis
besar terdiri atas ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
80
Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang
diteliti (dipikirkan)-nya. Jika ia memikirkan pendidikan
maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika yang dipikirkannya
hukum maka hasilnya tentulah Filsafat dan seteru Hukum,
dan seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat
dipikirkan? Luas sekali. Yaitu semua yang ada dan
mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan
pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu, jika memikirkan etika
jadilah Filsafat Etika, dst.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek pene- litian
sain. Sain hanya meneliti objek yang ada, sedang- kan
filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin ada.
Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma
yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitian filsafat.
Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.
Perlu juga ditegaskan (lagi) bahwa sain meneliti objek-
objek yang ada dan empiris; yang ada tetapi abstrak (tidak
empiris) tidak dapat diteliti oleh sain. Sedangkan filsafat
meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang
mungkin ada, sudah jelas abstrak, itu pun jika ada. Cobalah
lihat lagi matrik kita pada Bab 1.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (memper-
tanggungjawabkan) cara mereka memperoleh penge-
tahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat kepada
para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka,
sebelum mencari pengetahuan mereka membicarakan lebih
dahulu (dan mempertanggungjawabkan) cara memperoleh
pengetahuan tersebut. Sifat itu sering kurang dipedulikan
oleh kebanyakan orang. Pada umumnya orang
mementingkan apa yang diperoleh atau diketahui, b8u1kan
cara memperoleh atau megetahuinya. Ini gegabah, para
filosof bukan orang yang gegabah.
Berfilsafat ialah berpikir. Berpikir itu tentu menggu-
nakan akal. Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu.
John Locke (Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, II, 1973:
111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada zamannya
akal telah digunakan secara terlalu bebas, telah diguna-
kan sampai di luar batas kemampuan akal. Hasilnya ialah
kekacauan pemikiran pada masa itu.
Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal
mendominasi. Selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu selama
Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk pada keyakinan
Kristen; akal di bawah, agama (Kristen) mendominasi.
Sejak Descartes, tokoh pertama Filsafat Modern, akal
kembali mendominasi filsafat.
Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sum-nya
berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama
Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat. Sejak ini
filsafat didominasi oleh akal. Akal menang lagi.
Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman.
Francis Bacon amat yakin pada kekuatan Sain dan Logika.
Sain dan Logika dianggap mampu menyelesaikan semua
masalah (Will Durant, The Story of Philosophy, 1959: 254).
Condorcet mendukung Bacon: Sain dan Logika itulah yang
penting. Kemudian pemikiran ini diikuti pula oleh pemikir
Jerman Christian Wolff dan Lessing, Bahkan pemikir-
pemikir Prancis mendramatisasi keadaan ini sehingga
akal telah dituhankan (lihat Durant, 1959: 254). Spinoza
meningkatkan kemampuan akal tatkala ia menyimpulkan
bahwa alam semesta ini laksana suatu sistem matematika
dan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara
mendeduksi aksioma-aksioma. Filsafat ini jelas
memberikan dukungan kepada kepongahan manusia
dalam menggunakan akalnya. Karena itu tidaklah perlu
kaget tatkala Hobbes meningkatkan kemampuan akal ini
menjadi Atheisme dan Materialisme yang nonkompromis.
Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan iman
FILSAFAT ILMU
telah tunduk di bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius
dan Holbach menawarkan idea yang "edan" itu di Prancis,
dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti
mesin, menjajakan pemikiran ini di Jerman.
83
PENGETAHUAN FILSAFAT
Tatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia
menjadi pengikut Spinoza, itu telah cukup sebagai pertanda
bahwa iman telah jatuh sampai ke titik nadirnya dan akal telah
berjaya (lihat Durant, 1959: 255).
David Hume (1711-1776) tidak begitu senang pada keadaan
ini. Ia menyatakan bila akal telah menantang manusia, maka
akan datang waktunya manusia menantang akal. Apa akal itu
sebenarnya?
Locke (1632-1704) telah meneliti akal. Ia berhasil tampil
dengan argumennya tentang kerasionalan agama Kristen.
Pengetahuan kita datang dari pengalaman, begitu katanya.
Teorinya tabula rasa menjelaskan pandangannya itu. Ia
berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi,
karena itu materialisme harus diterima. Bila penginderaan
adalah asal-usul pemikiran, maka kesimpulannya haruslah
materi adalah material jiwa.
Tidak demikian kata Uskup George Berkeley (1684- 1753),
analisis Locke itu justru membuktikan materi itu sebenarnya
tidak ada. David Hume seorang uskup Irlandia berpendapat
lain. Katanya, kita mengetahui apa jiwa itu, sama dengan kita
mengenal materi, yaitu dengan persepsi, jadi secara internal.
Kesimpulannya ialah bahwa jiwa itu bukan substansi, suatu
organ yang memiliki idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yang
abstrak untuk menyebut rangkaian idea. Hasilnya, Hume
sudah menghancurkan mind sebagaimana Barkeley
menghancurkan materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat
menemukan dirinya berada di tengah-tengah reruntuhan hasil
karyanya sendiri. Jangan kaget bila Anda mendengar kata-kata
begini: No matter never mind. Semua ini gara-gara akal. Akal
telah digunakan melebihi kapasitasnya.
Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal
itu. Di lain pihak, memang Locke berpendapat bahwa kita belum
FILSAFAT ILMU
waktunya membicarakan masalah hakikat sebelum kita
mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.
Tetapi baiklah, kita terima saja bahwa akal itu ada dan ia
bekerja berdasarkan suatu cara yang tidak begitu kita kenal.
Aturan kerjanya disebut Logika. Sejauh akal itu bekerja
menurut aturan Logika, agaknya kita dapat menerima
kebenarannya.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat?
Dengan berpikir secara mendalam, tentang sesuatu yang abstrak.
Mungkin juga objek pemikirannya sesuatu yang konkret, tetapi
yang hendak diketahuinya ialah bagian "di belakang” objek
konkret itu. Dus abstrak juga.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian
yang abstrak sesuatu itu, ia ingin mengetahui
85
sedalam-dalamnya. Kapan pengetahuannya itu dikatakan
mendalam? Dikatakan mendalam tatkala ia sudah berhenti
sampai tanda tanya. Dia tidak dapat maju lagi, di situlah orang
berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu secara mendalam.
Jadi jelas, mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam
bagi orang lain.
Seperti telah disebut di muka, Sain mengetahui sebatas
fakta empiris. Ini tidak mendalam. Filsafat ingin mengetahui di
belakang sesuatu yang empiris itu. Inilah yang disebut
mendalam. Tetapi itu pun mempunyai rentangan. Sejauhmana
hal abstrak di bekalang fakta empiris itu dapat diketahui oleh
seseorang, akan banyak tergantung pada kemampuan berpikir
seseorang. Saya misalnya mengetahui bahwa gula rasanya
manis (ini pengetahuan empirik); di belakangnya saya
mengetahui bahwa itu disebabkan oleh adanya hukum yang
mengatur demikian. Ini pengetahuan filsafat, abstrak, tetapi
baru satu langkah. Orang lain dapat mengetahui bahwa hukum
itu dibuat oleh Yang Maha Pintar. Ini sudah langkah kedua, lebih
mendalam daripada sekedar mengetahui adanya hukum. Orang
lain masih dapat melangkah ke langkah ketiga, misalnya ia
mengetahui bahwa Yang Maha Pintar itu adalah Tuhan, ia
masih dapat maju lagi misalnya mengetahui sebagian hakikat
Tuhan. Demikianlah, pengetahuan di belakang fakta empiris itu
dapat bertingkat-tingkat, dan itu menjelaskan kemendalaman
pengetahuan filsafat seseorang. Untuk mudahnya mungkin
dapat dikatakan begini: berpikir mendalam ialah berpikir tanpa
bukti empirik.
Pada uraian di atas kita mengetahui akal itu diperdebatkan
oleh ahli akal dan orang-orang yang secara in- tensip
menggunakan akalnta. Kerja akal, yaitu berpikir mendalam,
menghasilkan filsafat. Apakah dengan demikian berarti teori-
teori filsafat itu tidak ada gunanya atau nilai kebenarannya
amat rendah? Tidak juga. Ya, itulah filsafat, kadang-kadang
FILSAFAT ILMU
filsafat diragukan oleh filsafat itu sendiri.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empirik, apa
yang kita gunakan? Ya, akal itu. Apapun kelemahan akal,
bahkan sekalipun akal amat diragukan hakikat keberadaannya,
toh akal telah menghasilkan apa yang disebut filsafat.
Kelihatannya, ada satu hal yang penting di sini: janganlah hidup
ini digantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini ditentukan
seluruhnya oleh filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal
itu belum diketahui secara jelas identitasnya.
3- Ukuran Kebenaran Pengetahuan Filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak
empiris. Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran
kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila
logis benar, bila tidak logis, salah.
Ada hal yang patut Anda ingat. Anda tidak boleh menuntut
bukti empiris untuk membuktikan kebenaran filsafat.
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan hanya
logis. Bila logis dan empiris, itu adalah pengetahuan sain.
Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya
teori itu. Ukuran logis tidaknya tersebut akan terlihat pada
argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu. Fungsi
argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi
data pada pengetahuan sain. Argumen itu menjadi kesatuan
dengan konklusi, konklusi itulah yang disebut teori filsafat.
Bobot teori filsafat justru terletak pada kekuatan argumen,
bukan pada kehebatan konklusi. Karena argumen itu menjadi
kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterima pendapat
yang mengatakan bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran
konklusi ditentukan 100% oleh argumennya. ■
PENGETAHUAN FILSAFAT
C. Aksiologi Pengetahuan Filsafat
Di sini diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan
filsafat dan kedua cara filsafat menyelesaikan masalah.
1. Kegunaan Pengetahuan Filsafat
Apa guna pengetahuan filsafat? Atau, apa kegunaan filsafat?
Tidak setiap orang perlu mengetahui filsafat. Tetapi orang
yang merasa perlu berpartisipasi dalam membangun dunia
perlu mengetahui filsafat. Mengapa? Karena dunia dibangun
oleh dua kekuatan: agama dan filsafat.
Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat
memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, pertama
filsafat sebagai kumpulan teori filsafat, kedua sebagai filsafat
sebagai metode pemecahan masalah, ketiga, filsafat sebagai
pandangan hidup (philosophy of life).
Mengetahui teori-teori filsafat amat perlu karena dunia
dibentuk oleh teori-teori itu. Jika Anda tidak senang pada
Komunisme maka Anda harus mengetahui Marxisme, karena
teori filsafat untuk Komunisme itu ada dalam Marxisme. Jika
Anda menyenangi ajaran Syi’ah Dua Belas di Iran, maka Anda
hendaknya mengetahui filsafat Mulia Shadra. Begitulah kira-
kira. Dan jika Anda hendak membentuk dunia, baik dunia
besar maupun dunia kecil (diri sendiri), maka Anda tidak
dapat mengelak dari penggunaan teori filsafat. Jadi,
mengetahui teori-teori filsafat amatlah perlu. Filsafat sebagai
teori filsafat juga perlu dipelajari oleh orang yang akan
menjadi pengajar dalam bidang filsafat.
Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology,
yaitu cara memecahkan masalah yang dihadapi. Di sini filsafat
digunakan sebagai satu cara atau model pemecahan masalah
secara mendalam dan universal. Filsafat selalu mencari sebab
terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Hal ini
diuraikan pada bagian lain sesudah ini.
Filsafat sebagai pandangan hidup tentu perlu juga
FILSAFAT ILMU
diketahui. Mengapa —misalnya— salah seorang Presiden
Amerika (Bill Clinton, 1998), telah mengaku berzina, dan
masyarakatnya tetap banyak yang memberikan dukungan?
Mungkinkah hal seperti itu untuk Indonesia? Presiden
Indonesia yang mengaku berzina pasti akan dicopot oleh
masyarakat Indonesia. Mengapa berbeda? Karena masyarakat
Indonesia berbeda pandangan hidupnya dengan masyarakat
Amerika.
Filsafat sebagai philosophy of life sama dengan agama,
dalam hal sama mempengaruhi sikap dan tindakan
penganutnya. Bila agama dari Tuhan atau dari langit, maka
filsafat (sebagai pandangan hidup) berasal dari pemikiran
manusia.
Berikut uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam
menentukan philosophy of life. Banyak orang memiliki
pandangan hidup, banyak orang yang menganggap philosophy
of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.
Kegunaan Filsafat bagi Akidah2)
Akidah adalah bagian dari ajaran Islam yang mengatur cara
berkeyakinan. Pusatnya ialah keyakinan kepada Tuhan.
Posisinya dalam keseluruhan ajaran Islam sangat penting,
merupakan fondasi ajaran Islam secara keseluruhan, di atas
akidah itulah keseluruhaan ajaran Islam berdiri dan didirikan.
Keterangan seperti ini berlaku juga bagi agama selain Islam.
Karena kedudukan akidah seperti itu, maka akidah
seseorang muslim haruslah kuat, dengan kuat akidah akan
kuat pula keislamannya secara keseluruhan. Untuk
memperkuat akidah perlu dilakukan sekurang-kurangnya dua
hal, pertama, mengamalkan keseluruhan ajaran Islam secara
sungguh-sungguh, kedua, mempertajam pengertian ajaran
Islam itu. Jadi, akidah dapat diperkuat dengan pengalaman
dan pemahaman (ajaran Islam). Dapatkah filsafat
memperkuat pemahaman kita tentang Tuhan?
Thomas Aquinas (1225-1274) berusaha menyusun argumen
PENGETAHUAN FILSAFAT
logis untuk membuktikan adanya Tuhan. Dalam bukunya
Summa Theologia ia berhasil menyusun lima argumen tentang
adanya Tuhan.
Pertama, argumen gerak. Alam ini selalu bergerak. Gerak itu
tidak mungkin berasal dari alam itu sendiri,
2) Diadopsi dari makalah M. Fahrudin Kaha, mahasiswa S2 IAIN Bandung
Angkatan 1997/1998)
gerak itu menunjukkan adanya Penggerak. Tuhan adalah
Penggerak Pertama.
Kedua, argumen kausalitas. Tidak ada sesuatu yang
mempunyai penyebab pada dirinya sendiri, sebab itu harus di
luar dirinya. Dalam kenyataannya ada rangkaian penyebab.
Penyebab Pertama adalah Tuhan yang tidak memerlukan
penyebab yang lain.
Ketiga, argumen kemungkinan. Adanya alam ini bersifat
mungkin: mungkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan
diperoleh dari kenyataan alam ini dimulai dari tidak ada, lalu
muncul atau ada kemudian berkembang, akhirnya rusak dan
hilang atau tidak ada. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa
alam ini tidak mungkin selalu ada. Dalam diri alam itu ada
dua kemungkinan atau ada dua potensi, yaitu ada dan tidak
ada, tetapi dua kemungkinan itu tidak akan muncul
bersamaan pada waktu yang sama. Mula-mula alam ini tidak
ada, lalu ada. Diperlukan Yang Ada untuk mengubah alam
dari tiada menjadi ada, sebab tidak mungkin muncul sesuatu
dari tiada ke ada secara otomatis. Jadi, Ada Pertama itu
harus ada. Akan tetapi Ada Pertama yang harus ada itu dari
mana? Kembali lagi kita menghadapi rangkaian penyebab
(tasalsul). Kita harus berhenti pada Ada Pertama yaitu yang
Harus Ada.
Keempat, argumen tingkatan. Isi alam ini ternyata
bertingkat-tingkat {levels). Ada yang dihormati, lebih
dihormati, terhormat. Ada indah, lebih indah, sangat indah,
dan seterusnya. Tingkat tertinggi menjadi penyebab tingkat di
FILSAFAT ILMU
bawahnya. Api yang mempunyai panas yang tinggi menjadi
penyebab panas yang rendah di bawahnya, panas yang rendah
menjadi penyebab panas kuku di bawahnya, begitu seterusnya.
Yang Maha Sempurna adalah penyebab yang sempurna, yang
sempurna adalah penyebab yang kurang sempurna. Yang atas
menjadi penyebab yang bawah. Tuhan adalah Yang Tertinggi,
Ia Penyebab yang di bawah-Nya.
Kelima, argumen teologis. Ini adalah argumen tujuan. Alam
ini bergerak menuju sesuatu, padahal mereka tidak tahu
tujuan itu. Ada sesuatu Yang Mengatur alam menuju tujuan
alam. Itu adalah Tuhan (lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum,
1997: 86-88).
Argumen yang dikemukakan Thomas Aquinas itu
sebenarnya tidak akan membawa kita memahami Tuhan
secara sempurna. Argumen-argumen itu memiliki kelemahan.
Karena itu Kant menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat
dipahami melalui akal (ia menyebutnya akal teoritis) Tuhan
dapat dipahami melalui suara hati yang disebut moral. Adanya
Tuhan itu bersifat harus, hati saya —kata Kant— yang
mengatakan Tuhan harus ada. Kant mengatakan bahwa
adanya Tuhan bersifat imperatif. Siapa yang memerintah? Ya,
suara hati atau moral itu.
Menurut Kant indera dan akal itu terbatas kemam-
puannya. Indera dan akal (maksudnya: rasio) hanya mampu
memasuki daerah fenomena, bila indera masuk ke daerah
noumena maka ia akan sesat dalam antinomi, akal bila
memasuki daerah noumena ia akan tersesat dalam paralogism.
Daerah noumena itu hanya mungkin diarungi oleh akal
praktis, demikian kata Kant (lihat Ahmad Tafsir, 1997: 159).
Akal praktis adalah moral atau suara hati.
Menurut Kant akal teoritis (akal rasional) tidak melarang
PENGETAHUAN FILSAFAT
kita mempercayai Tuhan, kesadaran moral (suara hati) kita
memerintahkan untuk mempercayai-Nya. Rousseau benar
ketika ia mengatakan bahwa di atas akal rasional di kepala
ada perasaan hati; Pascal benar tatkala ia menyatakan bahwa
hati mempunyai akal miliknya sendiri yang tidak pernah dapat
dipahami oleh akal rasional (Will Durant, The Story of
Philoshopy, 1959: 278).
Argumen-argumen akliah tentang adanya Tuhan, juga
tentang yang gaib lainnya, yaitu objek-objek meta-rasional,
tidak dapat dipegang kebenarannya; bila akal (rasio) masuk ke
daerah ini ia akan tersesat ke dalam paralogisme. Inilah
pendirian Kant. Argumen akliah tentang ini lemah. Kant
mengemukakan contoh argumen yang sering dikemukakan
theolog rasionalis untuk membuktikan adanya Tuhan, yaitu
argumen pengaturan alam semesta.
Di dalam argumen ini dikatakan bahwa alam ini teratur,
yang mengatur adalah Maha Pengatur, yaitu Tuhan. Alam
teratur, memang, kata Kant. Banyak isi alam ini yang begitu
teratur yang dapat membawa kita kepada kesimpulan adanya
Tuhan yang mengaturnya. Akan tetapi, kata Kant, kita juga
menyaksikan bahwa alam ini mengandung juga banyak
ketidakteraturan, kekacauan, bahkan menyebabkan kesulitan
dan kematian. Jadi, terdapat perlawanan. Inilah salah satu
contoh paralogisme itu. Kant mengakui bahwa keteraturan itu
memang ada bila alam itu dilihat secara keseluruhan, akan
tetapi itu pun tidak kuat untuk dijadikan bukti adanya Sang
Pengatur. Tuhan tidak dapat dibuktikan adanya dengan akal
teoritis (maksudnya rasio). Inilah thesis utama Kant dalam hal
ini (lihat lebih jauh Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, 1997: 162).
Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa filsafat (dalam
hal ini akal logis) dapat berguna untuk memperkuat keimanan,
ini menurut sebagian filosof, seperti Thomas Aquinas; tetapi
FILSAFAT ILMU
menurut filosof lain, seperti Kant, bukti-bukti akliah (dalam
arti rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah, bukti
yang kuat adalah suara hati. Suara hati itu memerintah,
bahakan rasio pun tidak mampu melawannya.
Berikut adalah uraian lain yang mengupas kegunaan
filsafat bagi pengembangan hukum islami.
Kegunaan Filsafat bagi Hukum 3)
Istilah hukum islami sering rancu. Kadang-kadang hukum
islami itu diartikan syari’ah, kadang-kadang fikih (fiqh). Yang
dimaksud di sini ialah fikih.
Fikih secara bahasa berarti mengetahui. Al-Qur’an
menggunakan kata al-fiqh dalam pengertian memahami atau
paham. Pada zaman Nabi Muhammad SAW kata al- fiqh itu
tidak hanya berarti paham tentang hukum tetapi paham
dalam arti umum. Faqiha artinya paham, mengerti, tahu.
Dalam perkembangan terakhir fikih dipahami oleh
kalangan pakar ushul al-fiqh sebagai hukum praktis hasil
ijtihad. Sementara di kalangan pakar fikih, al-fiqh dipahami
sebagai kumpulan hukum islami yang mencakup semua aspek
syar’iy baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil
penalaran terhadap sesuatu teks. Itulah sebabnya di kalangan
ahli ushul al-fiqh konsep syariah dipahami sebagai teks syar’iy
yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah yang tetap dan tidak pernah
mengalami perubahan.
Butir-butir aturan dan ketentuan hukum yang ada dalam
fikih pada garis besarnya mencakup tiga unsur
1 Diadopsi dari makalah Didi Mashudi, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan
1997/1998)
pokok. Pertama, perintah seperti shalat, zakat puasa, dan
sebagainya. Kedua, larangan, seperti larangan musyrik, zina
dan sebagainya. Ketiga, petunjuk, seperti cara shalat, cara
PENGETAHUAN FILSAFAT
puasa, dan sebagainya.
Keseluruhan unsur pokok di atas bila dilihat dari sudut
sifatnya, ia dapat dibagi dua. Pertama, bersifat tetap, tidak
terpengaruh oleh kondisi tertentu, seperti sebagian aqidah dan
seluruh ibadah mahdhah; dalam hal ini ijtihad tidak berlaku
padanya. Kedua, yang bersifat dapat berubah sesuai dengan
kondisi tertentu, inilah bidang ijtihad.
Tujuan utama diturunkannya hukum islami (fikih) ialah
untuk menciptakan kemaslahatan hidup manusia, yang
dimaksud kemaslahatan ialah kebaikan. Jelasnya,
pembentukan fikih itu sejalan dengan tuntutan kemaslahatan
manusia.
Untuk menjamin kemaslahatan itu ditetapkan beberapa
asas hukum islami, yaitu:
'Adam al-haraj, artinya tidak sulit dalam melaksanakannya
(QS. 7: 157);
Al-Takhlif, ringan serta mampu dilaksanakan (QS. 2: 286; 4:
28);
Al-Taysir, mudah sesuai kemampuan (QS. 2: 185; 22: 78).
84
PENGETAHUAN FILSAFAT
Itu berarti hukum islami dibentuk atas dasar prinsip
menghilangkan kesempitan karena kesempitan itu
menyebabkan kesulitan. Prinsip lain yang mendasari hukum
islami ialah daf’ al-dlarar, menghilangkan bahaya (QS. 2:
25,195; 4: 12; 2: 231). Prinsip lain lagi ialah al- ta’assuf fi
isti’mal al-haqq yakni boleh melakukan sesuatu asal tidak
membahayakan yang lain (QS. 2: 223; 65: 6; 7: 31; 5: 87). Dari
sini lahirlah kaidah ushul al-fiqh yang berbunyi “menolak
bahaya didahulukan daripada mengambil maslahat.”
Hukum islami yang dijadikan aturan beramal ada di dalam
fikih sebagai kumpulan hukum. Fikih (dalam arti kumpulan
hukum) itu dibuat berdasarkan kaidah-kaidah hukum (yang
berfungsi sebagai teori) yang digunakan dalam menetapkan
hukum tersebut. Ternyata kaidah-kaidah pembuatan hukum
(ushul al-fiqh) itu dibuat berdasarkan teori-teori filsafat.
Karena itu manthiq (mantik, logika) amat penting bagi ulama
ushul al-fiqh.
Selain dalam ushul al-fiqh filsafat berguna juga dalam
menafsirkan teks dan memberikan kritik ideologi.
Dalam menafsirkan teks wahyu atau teks hadis yang akan
dijadikan sumber aturan hukum. Misalnya dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan al-Sunnah yang zhanniy yang
penafsirannya kadang-kadang memerlukan ta’wil dan
penafsiran metaforis;
Dalam memberikan kritik ideologi, yakni menggunakan
fungsi kritis filsafat, Pemikiran cara filsafat amat diperlukan
dalam menganalisis ideologi secara kritis, mempertanyakan
dasarnya, memperlihatkan implikasinya dan membuka kedok
84 yang mungkin berada di belakangnya. Dalam hal ini filsafat
itu dapat melakukan dua hal. Pertama, kritik terhadap ideologi
saingan yang akan merusak Islam atau masyarakat Islam,
kedua kritik terhadap hukum islami, misalnya
mempertanyakan apakah benar hukum itu seperti itu, apakah
itu sesuai dengan esensi yang dikandung oleh teks yang
dijadikan dasar hukum tersebut.
Kesimpulannya, memang benar, filsafat, khususnya filsafat
sebagai metodologi, berguna bagi pengembangan hukum dalam
hal ini hukum islami.
Bagi perkembangan bahasa pun filsafat ada gunanya.
Cobalah renungkan uraian berikut ini.
Kegunaan Filsafat bagi Bahasa1
Disepakati oleh para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat
untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran.
Terlihat adanya hubungan yang erat antara bahasa dan
pikiran. Ahmad Abdurrahman Hamad (Al-‘Alaqah bayn al-
Lughah wa al-Fikr, dar al-Ma’rifah al-Jami’iyyah 1985: 17)
menggambarkan hubungan itu bagaikan satu mata uang yang
mempunyai dua sisi. Aristoteles, sebagai- mana dikutip Hamad
(1985: 32) menggambarkan hubungan antara bahasa dan
pemikiran (logika) sebagai hubungan antara hitungan dan
angka, hubungan itu adalah hubungan interdependen.
Tatkala bahasa berfungsi sebagai alat berpikir ilmiah
muncul problem yang serius, ini diselesaikan —antara lain—
dengan bantuan filsafat. Begitu juga tatkala pemikiran
(filsafat) sampai pada rumusan konsep yang rumit, bahasa
juga mengalami persoalan, yaitu bahasa sering kurang mampu
menggambarkan isi konsep itu. Bahasa dalam hal ini harus
mencari kata dan susunan baru untuk menggambarkan isi
1Diadopsi dari makalah Tarmana Abdul Qasim, mahasiswa S2 IAIN Bandung
Angkatan 1997/1998)
96
FILSAFAT ILMU
konsep itu.
Di antara problem yang dihadapi bahasa ialah dalam
pemeliharaannya. Bahasa sering tidak mampu membebaskan
diri dari gangguan pemakainya. Orang awam sering merusak
bahasa, mereka menggunakan bahasa tanpa mengikuti kaidah
yang benar. Kerusakan bahasa tersebut biasanya disebabkan
oleh tidak digunakannya kaidah logika. Logika itu filsafat.
Filosof adalah “prototype” orang bijaksana. Orang bijaksana
tentu harus menggunakan bahasa yang benar.
85
Bahasa yang benar itu akan mampu mewakili konsep logis
yang dibawakannya. Karena itu pada Logika-lah kita
menemukan kaitan erat antara bahasa dan filsafat. Dan pada
Logika pula kita temukan manfaat konkret bahasa. Peran
Logika dalam bahasa ialah memperbaiki bahasa, Logika dapat
mengetahui kesalahan bahasa. Peran ini diakui oleh Ibrahim
Madkur sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Samirra’i (Fiqh al-
Lugah al-Muqarran, tt: 18) yang mengatakan bahwa kaidah
bahasa —khususnya bahasa Arab, tepatnya Nahwu— telah
dipengaruhi oleh Logika Aristoteles dalam beberapa hal.
Pertama, mengggunakan kias atau analogi sebagai kaidah
dalam Nahwu sebagaimana digunakan dalam Logika.
Pembagian kata menurut Sibawayh menjadi ism, fi’l, hurf
mungkin dipengaruhi oleh pembagian Aristoteles kata benda,
kata kerja, dan adat. Kedua, munculnya Nahwu Siryani pada
sekolah Nashibayn pada abad ke-6 Masehi bersamaan dengan
munculnya pakar Nahwu yang pertama.
Kekeliruan dalam berbahasa melahirkan kekeliruan dalam
berpikir. Berikut beberapa contohnya (lihat Mundiri, Logika,
1994: 194). Pertama, kekeliruan karena komposisi. Misalnya
kekeliruan dalam menetapkan sifat Pada bagian untuk
menyifati keseluruhan, seperti “Setiap kapal perang suatu
negara telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut
telah siap tempur” atau “Mur ini sangat ringan karena itu
mesin ini sangat ringan
pula”, Kedua, kekeliruan dalam pembagian atau devisi, yaitu
kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan maka keliru
pula dalam menetapkan sifat bagian. Misalnya, “Kompleks
perumahan ini dibangun pada daerah yang sangat luas
98
tentulah kamar-kamar tidurnya luas juga”, Ketiga, kekeliruan
karena tekanan. Ini terjadi dalam pembicaraan tatkala salah
dalam memberikan tekanan dalam pengucapan. Misalnya,
“Karena kekenyangan ia tertidur”, bila tekanan pada
kekenyangan (“Karena kekenyangan ia tertidur”), maka arti
kalimat itu akan berbeda dari kalimat yang pertama: yang
pertama biasa, yang kedua mengejek. Keempat, kekeliruan
karena amfiboli. Amfiboli terjadi bila kalimat itu mempunyai
arti ganda. Contohnya seperti “Mahasiswa yang duduk di kursi
paling depan...” Mahasiswa yang paling depan atau kursinya,
dua-duanya mungkin.
Kesimpulannya ialah filsafat sangat berperan dalam
menentukan kualitas bahasa. Tanpa peran serta filsafat (logika)
kekeliruan dalam bahasa tidak mungkin dapat diperbaiki.
Selain itu perkembangan berpikir atau filsafat akan diikuti
oleh perkembangan bahasa. Kata al-muru'ah asalnya ialah al-
mar’u yang berarti seorang lelaki tulen (al-mar’u al-muktamil).
Jadi kata itu hanya menunjukkan pada seseorang. Tetapi
dalam filsafat kata itu sudah mengandung banyak arti seperti
potensi, kekuatan,
semangat, perasaan lelaki, pemberani, amanah, dan lain- lain.
Kata al-‘aql, arti awalnya ialah tali, alat pengikat. Kata Nabi
SAW. i’qilha wa tawakkal, ikat untamu lalu tawakkal. I’qil dari
kata al-‘aql. Dalam filsafat, akal memiliki pengertian jauh lebih
luas dari pada itu. Kata akidah (‘aqidah) demikian juga.
Contoh-contoh itu menjelaskan bahwa filsafat berhubungan
dengan bahasa. Hubungan itu sangat erat bahkan menjelaskan
bahwa perkembangan filsafat mempengaruhi perkembangan
99
bahasa, mungkin juga sebaliknya. Kesimpulannya: filsafat
berguna bagi bahasa.
2. Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology,
maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan
menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam
memandang dunia (world view).
Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah.
Masalah artinya kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam
menyelesaikan masalah, mulai dari yang amat sederhana
sampai yang rumit.
Ada rapat di sebuah RT. Yang dibicarakan masalah
keamanan. Pak ketua RT menyatakan bahwa akhir-akhir
ini di kampung kita banyak pencurian, tidak seperti biasanya.
Menanggapi itu hampir semua orang hadir mengusulkan agar
ronda malam dipergiat. Inilah kira-kira cara orang awam
menyelesaikan masalah.
Di situ ada seorang yang berpendapat lain. Ia bertanya
apa saja barang yang biasanya dicuri, sejak bulan apa, pada
pukul berapa biasanya terjadi. Lantas ia mengusulkan selain
menggiatkan ronda, sebaiknya digiatkan juga pengajian. Ia
melakukan identifikasi lebih dahulu, lantas ia melihat
penyebab lebih mendasar. Ia pikir, bila perondanya bermoral
buruk, bisa-bisa peronda itu sendiri yang mencuri. Orang ini
ilmuwan. Kira-kira beginilah penyelesaian Sain. Filsafat pun
memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah.
100
PENGETAHUAN FILSAFAT
Sesuai dengan sifatnya, filsafat menyelesaikan masalah
secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafat bersifat
mendalam, artinya ia ingin mencari asal masalah. Universal,
artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan
seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan
berakibat seluas mungkin.
Banyak orang Islam tidak menyenangi sebagian budaya
Barat, khususnya tentang kebebasan seks. Mereka
mengatakan kebebasan seks harus diberantas- Ini
penyelesaian langsung. Sedikit mendalam bila kita
mengusulkan perketat masuknya informasi dari Barat
terutama yang menyangkut kebebasan seks, atau kita
104
mengusulkan sensor film diperberat. Filsafat belum
puas dengan penyelesaian itu. Lalu bagaimana?
Filsafat mempelajari asal usul kebebasan seks itu.
Ditemukan, itu muncul dari paham Hedonisme. Maka kita
perangi paham itu. Filosof lain belum juga puas, karena
menurutnya Hedonisme itu belum penyebab paling awal,
Hedonisme itu sebenarnya turunan Pragmatisme.
Pragmatisme itu bersama dengan Liberalisme lahir dari
Rasionalisme. Karena itu filosof ini mengatakan yang paling
strategis ialah memerangi Rasionalisme itu. Apakah
Rasionalisme itu penyebab pertama munculnya kebebasan
seks? Untuk sementara, agaknya ya. Maka untuk
memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa
Rasionalisme itu adalah pemikiran yang salah.
Penyelesaian ini mendalam, karena telah menemukan
penyebab yang paling asal. Penyelesaian itu juga universal,
karena yang akan diperbaiki pada akhirnya kelak bukan
hanya persoalan kebebasan seks, hal-hal lain yang merupakan
turunan Rasionalisme juga akan dengan sendirinya hilang.
Bonus
Tulisan berikut tidak lagi masuk Bab Aksiologi. Ini merupakan
konsep-konsep tercecer. Dikumpulkan di sini karena dirasa
perlu. Diberi judul bonus.
Cara orang Umum Menilai
Ada tiga cara orang menilai suatu pendapat atau pernyataan.
Pertama, ia menilai berdasarkan ketidaktahuannya tentang
itu, ketidaktahuannya itulah yang dijadikannya ukuran.
Kedua, menilai dengan menggunakan pendapatnya sebagai
ukuran. Ketiga, menilai dengan menggunakan pendapat
105
PENGETAHUAN FILSAFAT
umumnya pakar sebagai alat ukur.
Sebagai contoh, ada orang mengatakan bahwa jin dapat
disuruh. Orang tipe pertama langsung menyatakan “itu tidak
mungkin” dan alasannya ialah memang ia tidak tahu bahwa
jin dapat disuruh melakukan sesuatu. Ketidaktahuannya
(dalam hal ini bahwa jin dapat disuruh) yang dijadikan alas an
menolak pernyataan itu. Aneh kan? Menolak pendapat dengan
alasan ketidaktahuan bahwa itu memang begitu.
Sebenarnya bila kita tidak tahu hanya ada dua hal yang
layak dilakukan, pertama, diam, kedua, mempelajarinya.
tipe kedua mengadakan studi tentang jin. Hasil yang ia
peroleh menyatakan bahwa jin memang tidak dapat disuruh.
Nah, pendapatnya inilah yang dijadikan alasan menolak
pernyataan tadi (jin dapat disuruh). Cara kedua inipun masih
lemah. Lemah, karena ia sebenarnya tidak punya lasan,
mandat, untuk menggunakan pendapatnya sebagai pengukur
kebenaran suatu pernyataan. Dus, ia berpendapat
berdasarkan pendapatnya. Tipe ketiga adalah golongan yang
sedikit, mereka mempelajari pendapat para ahli bidang jin.
Mereka kumpulkan pendapat para pakar jin itu. Berdasarkan
pendapat pakar pada umumnya mereka menerima atau
menolak pernyataan bahwa jin dapat disuruh.
Jadilah orang tipe pertama: diam. Jadilah tipe kedua:
mempelajarinya. Terbaik: jadilah tipe ketiga, yaitu
mempelajarinya secara luas dan mendalam, lantas
mengemukakan pendapat berdasarkan pendapat pakar pada
umumnya dalam bidang itu.
106