The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by misbahul munir, 2020-07-24 03:31:00

Gaung_Keheningan

Gaung_Keheningan

Jangan pandang aku seperti itu kalau kau masih cinta pada istrimu,
dia ingin menjerit pada pria itu. Ketika Drake bergerak untuk
memeluknya, dia cepat-cepat mundur dan menarik tangan Jennifer.
“Sebaiknya kita bergegas. Selamat tinggal, Drake.” Sebelum pria itu
sempat menghentikannya, dia sudah melewati gerbang,
menunjukkan pass pada petugas.
Jennifer mengikuti Lauri setelah melambai penuh semangat pada
Drake. Anak itu tidak tahu dia takkan bertemu dengan ayahnya lagi
selama berbulan-bulan. Lauri tidak menoleh.
Dia berjalan dengan kaki gemetar melalui koridor portabel menuju
pintu pesawat dan menemukan kursi mereka di bagian kelas satu.
Dengan gerakan lucu dia memakai sabuk pengaman supaya Jennifer
tidak takut karena tiba-tiba harus diikat. Para pramugari segera
terpikat pada gadis kecil itu. Salah seorang dari mereka tahu bahasa
isyarat dan tak lama kemudian berbicara pada Jennifer sesuai dengan
perbendaharaan kata terbatas anak itu.
Ketika pesawat mulai meluncur Lauri memandang terminal bandara
dan melihat di balik dinding kaca ada siluet seorang laki-laki yang
pasti Drake.
Dia berjuang menahan tangis, yang cuma akan menggelisahkan
Jennifer. Tenggorokannya serasa tercekik karena emosi, dan dia
tidak tahu apakah sanggup menahan rasa sakit di hatinya yang
seperti tertusuk.
Aku harus melawan ini, kata Lauri sengit dalam hati. Aku tidak
boleh mencintainya. Aku bekerja padanya, itu saja. Dia mencintai
istrinya. Dia aktor. Bintang sinetron. Dia telah mengakui bahwa
kalaupun dia tertarik, itu karena kebutuhan fisik, bukan emosional.
Aku tidak menginginkannya dalam hidupku.
Tapi, bahkan lama setelah pesawat menembus awan dan berbelok ke
barat daya, Lauri masih belum berhasil meyakinkan dirinya.
“Aku tak percaya akhirnya akan punya tetangga. Waktu Mrs. Truitt
- wanita yang membersihkan rumah ini untukmu-memberitahu aku

51 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

bahwa kau dan gadis kecil ini akan datang, aku gembira sekali. Ada
yang bisa kubantu?”
Lauri tersenyum pada wanita bertubuh montok yang duduk di
bangku dapur itu. Betty Groves tinggal di sebelah rumah
pegunungan Drake di Whispers, New Mexico.
“Tidak ada, terima kasih. Kalau tidak kubereskan sendiri barang-
barang ini, aku tidak bakal tahu di mana letaknya. Aku sudah hampir
selesai kok.”
Lauri tengah mengeluarkan buku-buku masak yang dibawanya dari
New York. Dia dan Jennifer baru sehari tinggal di rumah baru
mereka dan masih berusaha menghafal segala sesuatunya.
Apa yang digambarkan Drake sebagai “tidak mewah”, ternyata jauh
dari sederhana. Ketika dia dan Jennifer tiba di rumah pondok bergaya
Swiss berlantai dua, setelah naik mobil baru yang dibelikan pria itu
untuk mereka, Lauri tak habis pikir mengapa ada orang yang
memiliki rumah sebagus itu tapi tidak mau tinggal di situ.
Di lantai bawah terdapat ruang tamu luas, di satu sisinya ada jendela
besar yang menghadap pegunungan dan di sisi lain ada perapian
batu. Ruang tamu itu berhubungan dengan ruang kecil berpanel
yang menurut Drake bisa digunakan sebagai ruang kelas untuk
Jennifer. Dan ketika Lauri melihatnya, ia sepakat dengan laki-laki itu
bahwa ruangan itu memang cocok untuk dijadikan kelas. Ruang
makan terletak di ujung ruang tamu, dan bersebelahan dengan dapur
modern bersuasana cerah, yang juga memiliki area makan.
Di atas ada kamar tidur sangat luas, berisi tempat tidur besar, kamar
mandi mewah, kamar tidur lagi, lengkap dengan kamar mandinya.
“Kita pakai saja semua kamar ini, ya, Jennifer?” kata Lauri tadi
malam ketika membongkar tas-tas Jennifer di kamar yang lebih kecil.
Dia akan tidur di kamar yang lebih besar. “Tidak ada gunanya kita
hidup sederhana, padahal ada begini banyak kamar,” dia berkata pada
diri sendiri sementara Jennifer memandangi rumah barunya dengan
takjub. Sejak dulu dia tinggal di asrama sekolah. Di matanya, pikir
Lauri, tempat ini pasti kelihatan seperti istana.

52 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Semua berjalan lancar dan sesuai rencana. Dia dan Jennifer turun
dari pesawat dan dis ambut pria setengah baya ramah yang
mengantarkan mobil yang telah dipesankan Drake lewat telepon.

“Jika Anda ingin melihat model-model lain, Mr. Rivington bilang
saya harus menemani Anda sampai Anda menemukan pilihan Anda.”
Lauri menatap Mercedes perak langsing yang masih baru itu- semua
aksesori yang tersedia ada di mobil itu-dan tertawa pelan. “Saya rasa
ini sudah cukup.”

Penjual mobil itu membantunya memasukkan tas-tas mereka ke
bagasi dan menerang kan secara mendetail jalan ke Whispers. Kota
itu sekita r satu jam perjalanan ke barat laut Albuquerque.

Rumah sudah siap ditempati ketika mereka tiba. Mereka tidur cepat,
setelah makan sekaleng sup dan beberapa potong biskuit dan keju
dan membongkar hanya barang-barang yang mereka butuhkan
malam ini.

Keesokan harinya Lauri terbangun ketika mendengar kicau burung-
burung, dan bergegas pergi ke kamar Jennifer, tahu anak itu pasti
akan menyukai suasana pagi rumah barunya. Pemandangan di sini
jelas berbeda dari pemandangan Manhattan yang biasa dilihat
Jennifer. Seperti dugaan Lauri, gadis kecil itu gembira sekali.

Setelah sarapan daging dan telur, yang ditemukan Lauri di kulkas
yang penuh makanan, dia memandikan Jennifer dan memakaikan
celana pendek dan T-shirt. Dia juga berpakaian santai, lalu memulai
kegiatannya, mengenali rumah dan membongkar barang-barang
bawaannya yang cuma sedikit.

Betty datang bersama kedua anaknya menjelang siang. Wanita itu
lincah dan banyak omong, menyenangkan, dan amat sangat ingin
tahu.

“Aku tinggal di sini sudah tiga tahun dan tidak pernah tahu siapa
pemilik rumah ini. Setahuku tak seorang pun pernah tinggal di sini.
Bayangkan bagaimana perasaanku waktu aku tahu si pemilik adalah
Dokter Glen Hambrick-tentu saja itu bukan nama aslinya. Siapa
namanya tadi?”

53 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Drake Sloan nama profesionalnya. Rivington nama aslinya “ jawab
Lauri sambil tersenyum geli. Betty terpesona.
“Ya! Oh, aku nyaris semaput waktu Mrs. Truitt memberitahuku! Aku
senang sekali ketika mengetahui akan punya tetangga yang memiliki
anak kecil. Lalu waktu tahu tetangga itu adalah Glen Ham-
maksudku, Drake Sloan, ia mungkin tidak bakal mau meninggalkan
aku sendirian di rumah lagi!” dia tertawa.
Kelihatannya Betty selalu mengakhiri kalimatnya dengan tanda seru.
Dia sudah bercerita pada Lauri bahwa suaminya bekerja di
pertambangan antara Whispers dan Santa Fe. Pria itu pulang hanya
di akhir pekan, sehingga Betty sering kesepian karena tidak ada
orang dewasa di dekatnya.
Kedua anak Betty seheboh ibunya. Berambut hitam dan bermata
cokelat, mereka bagai miniatur sang ibu. Anak-anaknya itu bernama
Sam, lima tahun, dan Sally, seumur Jennifer. Mereka segera
menyayangi Jennifer dan sekarang sedang bermain-main di
kamarnya di atas. Sally mengagumi rambut ikal pirang Jennifer dan
menepuk-nepuknya seperti boneka kesayangan.
“Aku tidak ingin mengecewakanmu, Betty, tapi Drake masih di New
York. Dia takkan tinggal di sini.”
“Oh, aku tahu. Tapi pasti dong dia akan berkunjung kemari! Bisa
kaumintakan tanda tangannya untukku? Aku rela mati untuk
mendapatkannya!”
“Aku yakin aku bisa mengusahakan pertemuanmu dengan dia kalau
dia datang. Kalau kau mau,” goda Lauri.
“Kalau aku mau-” Betty menertawakan dirinya sendiri ketika melihat
cengiran usil Lauri.
“Anaknya manis, ya?” kata Betty setelah mereka tertawa. “Sayang dia
tuna rungu. Aku bahkan tidak tahu! Dan kau gurunya. Persis seperti
wanita di The Miracle Worker! Kau pasti pandai, tahu segala macam
bahasa isyarat itu.”

54 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Kakakku tuna rungu. Aku belajar bahasa isyarat berbarengan
dengan belajar bicara.” “Ada bedanya?”
“Yah, begitulah,” jawab Lauri sabar. “Bagaimana kalau kau dan anak-
anak belajar bahasa isyarat. Kalian bisa datang kemari tiap siang dan
aku akan mengajarkan kalian.”
“Kau serius? Asyik sekali. Dengan begitu anak-anak akan bisa
ngobrol-hm, maksudku-”
“Ngobrol tidak apa-apa,” kata Lauri.
“Oke, ngobrol dengan Jennifer juga.”
“Anak-anakmu biasa tidur siang?”
“Aku bakal kerepotan kalau tidak.” Lauri tertawa.
“Bagaimana kalau tiap hari setelah tidur siang?”
“Wah, hebat sekali, Lauri! Terima kasih.” Betty melompat turun dari
bangku dan mengambil salah satu buku masak, membalik-balik
halamannya. “Aku yakin kau tidak pernah makan makanan seenak
ini. Kau sangat kurus! Aku ingin sekali selangsing dan semungil kau.
Kau beruntung. Setelah melahirkan, berat badanmu mungkin bakal
turun, bukan naik lima belas kilo seperti aku. Menurutmu kulitmu
jenis yang berbekas setelah kau hamil? Dokterku bilang kulitku akan
tetap mulus. Aku kesal sekali ketika kenyataan nya tidak begitu. Kau
mungkin akan selalu mulus. Aku j uga menyusui. Temanku
mengatakan menyusui sangat bagus untuk bentuk tubuh. Dan
memang benar waktu anak-anak masih menyusu. Setelah itu, hih!”
Dia mela mbai dengan gerakan mengejek. “Payudara kita jadi
kendor! Menurutmu setelah kau punya anak nanti, tubuh mu akan
melar atau tidak?” Betty bertanya tanpa basa- basi.
Lauri takjub Betty bisa bicara sederas itu dan mengganti topik
pembicaraan begitu cepat, dan dia mendengarkan dengan penuh
kekaguman. Ketika menyadari - Betty bertanya, dia tersipu dan
berkata tenang, “Kurasa aku tidak akan pernah punya anak.”

55 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“O, ya? Aku tidak bisa membayangkan tidak punya anak!
Memangnya Drake tidak mau punya anak?”
“Apa?” seru Lauri, dan menjatuhkan buku yang akan diletakkannya
di rak di atas kompor.
“Dia mungkin tidak mau punya anak lagi karena Jennifer tuna rungu
sejak lahir,” kata Betty bersimpati. “Kurasa kau tidak bisa
menyalahkannya. Barangkali kalau kau bujuk dia, dia akan mau
punya anak lagi.”
“Betty,” Lauri tergagap, menelan ludah, dan akhirnya bisa bicara
lagi. “Aku-kami-Drake dan aku tidak... punya hubungan apa-apa. Aku
tutor Jennifer. Cuma itu.”
“Yang benar!” Mata bulat Betty membelalak. “Wah, maafkan aku,
Lauri. Aku memang sering asal ngomong. Kupikir kalian... yah, kau
tahu. Maksudku di zaman sekarang semua orang berbuat begitu.
Aku tidak bermaksud jelek. Sungguh.”
Betty tampak begitu menyesal sehingga mau tidak mau Lauri merasa
kasihan padanya. “Tidak apa-apa. Betty. Kurasa sebagian besar orang
memang akan menganggap aneh tindakan Drake menyuruh kami
tinggal di rumah ini.”
“Tidak akan begitu aneh kalau kau tidak secantik ini.”
Lauri tertawa terbahak-bahak mendengarnya, tapi langsung teringat
saat ia pertama kali bertemu Drake. Kenangan itu begitu pedih
sehingga hatinya serasa teriris, dan tawanya mendadak hilang.
Kapankah dia berhenti merindukan laki-laki itu? Baru kemarin
mereka berpisah, tapi rasanya sudah lama sekali. Dia lega waktu
Betty mengganti topik pembicaraan.
Hari-hari diisi dengan berbagai kegiatan rutin. Di pagi hari Lauri
dan Jennifer menghabiskan beberapa jam di ruang kelas. Lauri
senang anak itu secerdas perkiraannya sejak awal. Tiap hari
membentangkan horison baru bagi Jennifer karena dia belajar
berkomunikasi dengan gurunya, yang diyakininya sebagai orang
paling hebat di dunia selain Drake.

56 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Setiap hari Jennifer menanyakan pria itu dan tidak pernah
melewatkan satu episode pun sinetronnya. Ketika gambar Drake
muncul di layar, dia berteriak “Auwy, Auwy,” dan dengan penuh
semangat menunjuk Drake sambil mengisyaratkan namanya. Lauri
juga sudah mengajarkan kata daddy, dan dia menghubungkan
keduanya. Ketika belajar kata ibu, dia bertanya pada Lauri apakah dia
ibunya. Lauri berusaha menjelaskan kata ke-matian dengan
menunjukkan dua jangkrik; yang satu sudah mati dan yang lain
masih hidup. Jennifer menangkap penjelasannya, tapi Lauri tidak
yakin dia paham ibunya sudah meninggal. Anak itu tidak memiliki
gambaran yang mengasosiasikan kata itu dengan seseorang.
Mungkin dia harus minta foto Susan pada Drake.

Mereka berjalan-jalan di kaki perbukitan yang dialiri kali jernih.
Lauri mengajari Jennifer bahasa isyarat untuk segala hal. Biasanya
dia cuma perlu mengajarkannya sekali, dan anak itu dapat langsung
mengingatnya, biarpun begitu mereka tetap berkali-kali mengulangi
setiap isyarat.

Siang harinya Betty, Sam, dan Sally bergabung di kelas bahasa
isyarat Jennifer. Saat itu merupakan saat yang menyenangkan, penuh
tawa, dan anak-anak mengubah pelajaran jadi permainan. Tak lama
kemudian mereka sudah berkomunikasi dengan Jennifer dengan
keriangan dan kewajaran yang hanya dimiliki anak-anak.

“Lihat, Jennifer,” teriak Lauri ketika membuka kotak surat. Mereka
menuruni bukit sampai kota dan pergi ke toserba untuk belanja
keperluan dapur. “Ada surat! Untuk siapa, ya?” Seperti biasa Lauri
mengucapkan yang diisyaratkannya.
“Jen-fa,” kata anak itu dengan omongan yang tidak jelas tapi
menggemaskan. Dia menunjuk dirinya sendiri dan tersenyum lebar.
sering menghabiskan waktu bersama-sama. Lau mensyukuri
persahabatan yang tumbuh di antara mereka, walaupun latar
belakang mereka begitu berbeda.

“Hei,” kata Betty, membuka sebungkus kue kering dan memasukkan
sebuah ke mulut, “aku mau mengajak anak-anak menonton Sleeping
Beauty siang nanti. Disney, kau tahu? Kau dan Jennifer mau ikut?”

57 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Tentu. Kedengarannya seru.”
Bani kali ini Betty ragu-ragu bicara. “Aku tidak tahu apakah anak
tuna rungu bisa menonton film atau tidak.”
“Tentu saja bisa,” kata Lauri. “Kami menonton Sesame Street kok,
dan dia belajar dari film itu. Dia tidak dapat mendengar suaranya,
tapi kan bisa menikmati cahaya, warna, dan gerakannya. Dia akan
senang sekali.”
Jennifer memang menikmati film itu. Kalau ada yang ingin ia
tanyakan ia menyampaikannya pada Lauri dengan bahasa isyarat,
dan Lauri menjawabnya. Dia betul-betul terpesona pada film kartun
hebat itu. Ketika si nenek sihir berubah jadi naga, dia ketakutan; lalu
naik ke pangkuan Lauri dan memeluknya kuat-kuat. Lauri
menjelaskan bahwa naga itu cuma bohong-bohongan. Penjelasan itu
tampaknya memuaskannya untuk saat itu, tapi Lauri memutuskan
akan mencoba mengajarinya konsep sungguhan dan pura-pura pada
pelajaran yang akan datang.
Hari itu penuh kegiatan dan Lauri merasa capek.
Film tadi memang menghabiskan waktu hampir sepanjang siang,
tapi dia dan Betty tidak langsung pulang. Jim Groves tinggal di
pegunungan akhir pekan itu, jadi Betty tidak terlalu bersemangat
pulang karena cuma ada Sam dan Sally.
Mereka menyusuri jalan-jalan kota Whispers yang berbukit-bukit
dan berpemandangan indah dengan diikuti ketiga anak itu. Mereka
mampir di beberapa toko seni yang menarik minat Lauri. Jennifer
memikat semua orang yang melihatnya. Selama sebulan mereka
tinggal di komunitas kecil itu, dia sudah berteman dengan beberapa
pemilik toko. Semua orang tahu wanita cantik berambut merah itu
dan si anak kecil berambut pirang ikal yang selalu bersamanya.
Dia dan Betty memutuskan untuk memanjakan anak-anak dengan
mengizinkan mereka menikmati hamburger dan milk shake untuk
makan malam, lalu terseok-seok mendaki bukit menuju rumah-
rumah mereka dengan diganduli anak-anak yang sudah kelelahan
dan rewel.

58 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Dalam beberapa menit Jennifer sudah dimandikan dan ditidurkan di
kamarnya. Lauri merasa dia pantas berendam air hangat berlama-
lama di bathtub mewah.
Ada suasana sensual dan memikat pada kamar mandi ini. Lantai dan
dinding marmernya putih bersih, sangat kontras dengan tub-nya
yang hitam pekat. Bak air dan pancurannya terbuat dari material
yang sama, dan pintu pancurannya dari kaca bening, tidak buram
seperti yang biasa dilihat Lauri. Setiap kali mandi dia merasa
tergelitik karena bisa melihat bayangannya di cermin-cermin yang
berjajar di dinding seberang.
Ketika membenamkan diri dalam air tub yang mengepul-ngepul dan
berbusa, dia kembali mengagumi ukurannya. Dalamnya paling tidak
tiga kaki dan panjangnya tujuh kaki. Dia menyelonjorkan tubuh dan
menikmati kehangatannya yang menenteramkan.
Selesai berendam, dia keramas dan membelitkan handuk bagai
sorban di kepala. Merasa lapar- hamburger yang dimakannya tadi
sudah habis karena berjalan kaki-dia cuma melilitkan handuk di
tubuhnya, menyelipkan ujungnya di antara payudara, dan pergi ke
bawah, sengaja tidak menyalakan satu lampu pun.
Di dapur dia meletakkan di piring beberapa kue yang dibuatnya
bersama Jennifer tadi pagi, menuangkan segelas susu, dan
meletakkannya di piring lain, dan berjalan melewati pintu ruang
tamu.
Dia tak pernah tahu apa yang membuatnya melihat ke arah kursi
santai. Namun-jantungnya serasa melompat ke tenggorokan, dan dia
nyaris saja menjerit. Dia terlonjak begitu kaget sehingga susu
tumpah dari tepi gelas, dan handuk yang menutupi tubuhnya
merosot.
“Sebaiknya kau berhati-hati, kalau tidak kau takkan punya rahasia
lagi dariku,” geram Drake.

®LoveReads

59 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 5

Lauri ingin percaya bahwa jantungnya berdentam-dentam dan kaki
serta tangannya lemas karena perasaan takut. Tapi ketakutan cuma
salah satu penyebab. Penyebab lain, lebih kuat dan berpengaruh,
adalah kehadiran Drake Rivington.
Kaki pria itu terulur di depannya sementara dia duduk santai di
kursi. Topi koboinya dipasang rendah sampai di atas alis, tapi
matanya menembus keremangan dan tampak seperti bersinar dari
bawah tepi topi yang lebar. Dia bangkit dari kursi pelan-pelan,
malas-malasan, tidak bergegas.
Pria itu memakai jins dan jaket denim. Anehnya, dia tidak kelihatan
seperti pria-pria yang berparade di Fifth Avenue dengan
mengenakan pakaian Western baru yang trendi dan baru keluar dari
toko Saks. Pakaian Drake sudah pudar dan usang, dan dia tampak
pantas memakainya.
Pria itu maju bagai harimau yang siap menerkam dan berhenti hanya
beberapa inci dari Lauri. Kedekatannya mendebarkan jantung. Tak
sadar Lauri menarik napas dalam-dalam, dan ketika dia
mengembuskannya, handuknya turun sedikit lagi. Dia tidak bisa
meraih dan menahannya. Satu tangan memegang piring kue, tangan
yang lain gelas susu. Jika dia berjalan ke meja untuk meletakkan
keduanya, dia takut handuknya malah akan lepas dan jatuh ke bawah.
Drake menyadari kesulitannya dan lesung pipinya makin dalam
ketika dia tersenyum jail dan mendorong topi koboinya ke belakang
dengan ibu jari. “Wah, aku harus berbuat apa, ya, ma'am?” ia
bertanya geli. “Kalau kuambil kuenya, kau pasti akan menumpahkan
susu karena buru-buru menyambar handuk. Kalau kuambil susunya,
kue-kue itu akan meluncur dari piring, dan takkan bisa dimakan lagi.
Sayang sekali, baunya enak.” Dia membungkuk dan membaui kue-
kue itu. Kepalanya sangat dekat dengan kepala Lauri, dan harum
cologne-nya mengalahkan aroma sedap kue-kue dan jauh lebih
menggiurkan.

60 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Pria itu menegakkan tubuh dan maju selangkah. “Di lain pihak aku
bisa mengambil handuk itu dan menyelesaikan semua masalah kita,”
dia berkata serak.
Napas Lauri tertahan di tenggorokan ketika tangan Drake bergerak
ke belahan dadanya, tempat ujung handuk diselipkan sekadarnya.
Pria itu menekan bagian atas payudaranya dengan telunjuk.
“Tahukah kau,” suaranya cuma bisikan, “bahwa kau punya lima
bintik persis di sini?” Dia menunjukkan titik itu dengan
mengusapkan jarinya di kulit Lauri. “Aneh. Kulit orang-orang
berambut merah biasanya penuh bintik. Tapi kau cuma punya lima.
Tapi tempatnya begitu nakal dan bagus.”
Lauri terpesona mendengar nada merayu dalam suara pria itu. Napas
harum pria itu berembus di wajahnya, seolah memberinya oksigen.
Lauri ingin me nghirup napas itu ke dalam tubuhnya sendiri. Jari-jari
ya ng mengusap-usap itu terus bergerak ke balik handuk. Ketika ia
merasakan tekanannya di bagian lembut tubu hnya, api gairah yang
sejak tadi membakarnya langsun g padam. Kemarahan mengalahkan
nafsu.
Dia cepat-cepat mundur dan mendesis, “Kau bikin aku takut
setengah mati! Kenapa tidak kau-beritahu aku tentang
kedatanganmu?”
“Yah, aku akan melakukannya, tapi kau sedang mandi. Kau mau aku
menyerbu kamar mandi untuk memberitahumu tentang
kedatanganku? Kau tak bakal punya handuk untuk menutupi
tubuhmu,” ejek Drake sementara matanya menjelajahi tubuh Lauri
dengan kurang ajar. “Aku tidak tahu kau berjalan ke sana kemari di
rumahku seperti ini. Kukira gadis baik-baik macam kau setelah
mandi selalu mengenakan mantel kamar mandi atau sesuatu yang
lebih sopan.”
Lauri tidak memedulikan kata-kata pria itu dan kembali ke
pertanyaannya. “B-bagaimana kau tahu aku sedang mandi?”
Drake mengangkat alis dengan penuh arti. “Nah, menurutmu sendiri
bagaimana?” dia bertanya dengan mata berkilat geli. Lauri terkesiap

61 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

dan merah padam. “Aku mendengar suara air mengalir,” Drake
berkata santai.

Reaksi Lauri persis seperti dugaannya. Wanita itu mengentakkan
kaki dengan marah, dan dia tertawa ketika Lauri berteriak tertahan.
Wanita itu sesaat lupa soal handuknya, tapi diingatkan tentang
keadaannya yang gawat ketika merasa handuk itu makin melorot di
payudaranya sampai nyaris lepas.

“Tolong berhentilah tertawa dan ambil ini dari tanganku. Aku
kedinginan.”

“Tidak heran. Berjalan-jalan telanjang begitu,” goda Drake, tapi ia
mengambil juga susu dan kuenya. Lauri buru-buru mencengkeram
handuk dengan tangan terkepal. Ingin sekali dia meninju mulut
mencibir laki-laki itu.

“Mr. Rivington, aku mau pergi sebentar, setelah itu aku ingin tahu
untuk apa kau kemari.”

“Sebaiknya kau berhati-hati kalau bicara denganku,” Drake
memperingatkan. “Kau masih harus naik tangga. Handuk itu tidak
menutupi semuanya. Aku bisa bersikap sopan dengan memalingkan
kepala atau aku bisa berdiri di kaki t-”

“Mr. Rivington, maukah kau mengizinkan aku pergi supaya aku bisa
berpakaian lebih pantas sebelum ditanyai orangtua muridku?” Lauri
bertanya dengan suara semanis madu.

“Tentu, Ms. Parrish. Aku akan menunggumu di dapur.”

“Aku takkan lama.” Tanpa menunggu untuk melihat apakah pria itu
memandang ke atas tangga atau tidak-dia tidak ingin tahu-Lauri
berlari ke atas dan masuk ke kamar.

Jari-jarinya gemetar ketika dia memakai celana panjang jins dan
kemeja flanel. Udara malam di pegunungan sekarang makin dingin.

Apa yang dilakukan Drake di sini? Kenapa pria itu tidak
memberitahukan kedatangannya? Dia melepas handuk dari rambut
dan menyisirnya. Rambutnya terjuntai basah di bahu, tapi sudah

62 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

bergelung sesuai aslinya. Dia tidak mau repot-repot
mengeringkannya dengan hair dryer. Dia ingin bertemu Drake-tapi
cuma untuk menanyakan mengapa dia datang, katanya dalam hati.
Kakinya seolah sudah berubah jadi jeli ketika Lauri menuruni
tangga. Ketika dia masuk dapur, Drake sedang berdiri di depan
kompor, membuat telur orak-arik. Kopi menggelegak di alat
pembuat kopi, dan ada dua iris roti di panggangan. Jaket dan topi
pria itu tergantung di cantelan baju di belakang pintu.
“Aku lapar. Makanan di penerbangan kemari tidak enak, dan aku
tidak berhenti untuk makan sebelum tiba di sini. Kau mau sesuatu?”
“Ya, aku ingin tahu apa yang kaulakukan di sini.
Drake menuangkan telur dari wajan antilengket ke piring yang
sudah tersedia. Dia berkacak pinggang dan memandang Lauri
beberapa detik sebelum berjalan melewatinya ketika menuju ruang
tamu. Lauri mengikuti, kesal dan bingung.
Pria itu pergi ke pintu depan, membukanya, dan melewatinya.
Memandang ke atas pintu, ia berkata, “Empat kosong tiga. Sudah
kuduga. Ini rumahku.” Dia masuk kembali dan menutup pintu, tidak
memedulikan kemarahan Lauri ketika dia berjalan santai ke dapur.
“Lucu sekali,” kata Lauri sambil membuntutinya.
“Kupikir juga begitu,” Drake menoleh ke belakang sambil membuka
pintu kulkas. “Kita punya keju?”
“Kita?” tanya Lauri, menekankan kata itu.
“Oke. Kau punya keju, Ms. Parrish?”
Lauri tidak sanggup menatap mata menggoda yang memandangnya
dari atas pintu kulkas. “Di rak paling bawah,” gumamnya,
memandang kakinya yang telanjang. Apa dia tadi lupa memakai
sepatu?
“Bagaimana kalau selai stroberi?”

63 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri betul-betul tidak mengerti. “Apa?” dia bertanya tak sabar.

“Kita-maaf, kau punya selai anggur, apricot, dan stroberi.
Menurutmu yang stroberi lebih enak?”

Cukup sudah.

“Bisakah kau berhenti berbasa-basi, menyelesaikan makananmu, dan
duduk supaya aku bisa bicara denganmu?”

Lauri mengetuk-ngetukkan kaki dengan sebal dan bersidekap. Saat
itulah dia sadar tadi tidak sempat juga memakai pakaian dalam.

“Oke, oke,” kata pria itu ketus, menaruh piring di meja. “Kau tidak
pernah ramah, ya?” Dia menuangkan secangkir kopi dan bertanya
pada Lauri dengan mengangkat sebelah alis apakah dia juga mau.
Lauri menggeleng.

Setelah pria itu duduk dan mulai melahap makanannya, tanpa
berusaha memulai percakapan, Lauri mengempaskan diri kuat-kuat
ke kursi di seberangnya. Drake bahkan tidak memandangnya. Yah,
pikir Lauri, aku tidak sudi bicara duluan.

Sesudah piringnya licin, Drake membersihkan mulut dengan serbet
kertas dan berlama-lama meminum kopi yang sudah dingin.

“Apa rumah ini memuaskan?” dia bertanya.

Lauri tidak menyangka dia memulai dengan pembicaraan tentang
rumah. “Ya,” jawabnya singkat. Ketika Drake mengangkat alis
dengan kesal, sikapnya agak melunak. Bagaimanapun, pria ini
orangtua muridnya. “Lebih dari memuaskan. Rumah ini indah, dan
kau tahu itu. Whispers lingkungan yang sempurna untuk Jennifer.
Dia mempelajari begitu banyak hal, dan orang-orang sini baik dan
tidak terburu-buru.”

“Bagaimana kabarnya, Lauri?” Semua godaan dan kelakarnya telah
berhenti. Dia serius. Lauri berusaha mengabaikan sensasi yang
menggelitik dirinya ketika pria itu mengucapkan namanya. Dia
berusaha sama kerasnya untuk tidak terkagum-kagum memandangi
kumis pria itu. Kumis itu turut hadir dalam khayalannya.

64 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Dia mengalihkan pandangan dan menjawab dengan sungguh-
sungguh, “Dia baik-baik saja, Drake. Betul. Dia pintar dan cerdas.
Pelajarannya berjalan lebih cepat daripada yang kukira. Kemajuan
kemampuan bicaranya masih sangat lamban, tapi ada perubahan.
Perbendaharaan kata dalam bahasa isyaratnya dan penguasaannya
empat kali lipat dari sejak kami meninggalkan New York.” Ia lalu
tersenyum dan bertanya, “Kabarmu sendiri bagaimana?”
Pria itu mengisyaratkan bahwa dia ikut kursus tiga malam seminggu
dan belajar secepat yang bisa dilakukan pria berumur 35 tahun yang
sudah kelelahan.
Lauri tertawa. “Bagus sekali! Kau dan Jennifer bisa mendiskusikan
segala macam hal sekarang.”
“Kau merindukan New York?” tanya Drake dengan kening berkerut.
“Tidak,” Lauri menjawab perlahan. Aku cuma merindukanmu,
pikirnya. Ketika melihat ekspresi skeptis Drake, dia menambahkan,
“Kita punya tetangga sangat baik yang ternyata penggemar beratmu
dan mungkin akan menyerbu rumah ini kalau tahu kau ada di sini.
Dia memiliki dua anak yang senang bermain dengan Jennifer.”
Drake tampak terkejut dan bertanya, “Apa mereka-maksudku,
mereka tidak-” Dia mencari kata-kata yang tepat, Lauri
membantunya.
“Apakah mereka menganggapnya aneh? Tidak, Drake,” dia
menenangkan pria itu. “Mereka memperlakukannya sebagai teman
bermain biasa. Mereka bertengkar dan berbaikan persis seperti anak-
anak lain. Betty dan. anak-anak itu sedang belajar bahasa isyarat.
Mereka sekarang sudah cukup lancar berbicara dengan Jennifer.”
“Baguslah,” kata Drake, mengangguk ke cangkir kopi. Mengharukan
melihatnya begitu lega. Lauri menahan keinginan untuk
mengulurkan tangan dan menyentuh rambut perak-cokelat yang
berantakan karena lama tertutup topi koboi. Kerut-kerut halus di
sekeliling matanya tampak makin nyata, seakan sudah beberapa lama
dia tidak bisa tidur nyenyak. Apakah dia begitu merindukan
anaknya? Ataukah kedatangannya ke Whispers mengingatkannya

65 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

pada saat-saat yang dihabiskannya di sini bersama Susan? Pikiran
menyakitkan itu nyaris tak tertahankan. Lauri dapat merasakan
wajahnya menunjukkan emosinya, sehingga dia cepat-cepat
menyembunyikannya.

“Berapa lama kau akan tinggal di Whispers?” tanyanya.

Pria itu mendongak dan memandangnya sesaat sebelum berdiri dan
berjalan ke teko kopi untuk mengisi cangkirnya lagi. “Tidak bisa
dipastikan,” kata Drake. Lauri memandangnya kaget. Apa
maksudnya dengan tidak bisa dipastikan? “Aku tidak mengerti,”
katanya. Drake minum kopi seteguk dan berbalik untuk menatapnya.
“Kepalaku sakit sekali. Maukah kau memijat leherku?”

Pergantian topik pembicaraan yang secepat itu betul-betul
mengejutkan Lauri. Secara refleks dia mengangguk dan pergi ke
belakang kursi Drake ketika pria itu duduk. Dengan hati-hati dia
meletakkan tangan di bahunya dekat leher dan memijat lembut otot-
otot tegang di balik kemeja katun yang menutupinya.

“Ah, terima kasih. Enak sekali.” Drake menyesap kopinya lagi. Ketika
mulai berbicara, dia terdengar merenung. “Aku bosan dengan omong
kosong yang harus kulakukan dan kuucapkan di sinetron Aku muak.
Selama tujuh tahun aku menikah empat kali dan sangat sering
berselingkuh, dan mengalami kecelakaan mobil yang menyebabkan
ingatanku lenyap. Aku hampir menikahi adik perempuan-yang telah
lama hilang sebelum kami mengetahui hubungan darah kami.
Putraku meninggal karena” leukemia, dan izin praktekku dicabut
karena putri seorang pria kaya menuduhku menggugurkan janin
yang menurutnya adalah anakku. Aku hampir muntah dengan
Dokter Hambrick. Tujuh tahun melakonkan skenario seperti itu
sudah cukup.”

“Maksudmu kau mengundurkan diri?” Lauri bertanya kaget, dan
seketika berhenti memijat lehernya.

“Tidak juga. Tolong jangan berhenti.” Setelah jari-jarinya kembali
bekerja, Drake melanjutkan, “Kuberitahu Murray bahwa aku ingin
pergi beberapa lama untuk menjernihkan pikiran. Selama ini aku
cuma memperoleh libur beberapa hari, jadi aku berhak cuti beberapa

66 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

minggu. Hari Rabu minggu ini, kami membuat episode di mana
kepala Dokter Hambrick dipukul penodong waktu dia dan
kekasihnya sedang berjalan-jalan di Central Park. Sang dokter koma.
Kekasihnya diperkosa, jadi untuk sementara waktu semua perhatian
akan terpusat padanya. Wanita itu pasti akan jatuh cinta setengah
mati pada dokter lain,” dia berkomentar sambil mendengus sebal.

“Mereka membungkus kepalaku dengan perban, membaringkanku di
tempat tidur rumah sakit dan mengambil gambarku tergeletak tak
bergerak di sana sepanjang beberapa menit. Setiap adegan yang
berkaitan dengan Dokter Hambrick, mereka tinggal memutar
rekaman itu. Dan sementara mereka melakukannya, aku di sini
bersama Jennifer menikmati musim gugur di New Mexico.”

“Kau bisa berbuat begitu?” Lauri cuma samar-samar tahu kekuatan
jaringan televisi dan mengira Drake mempertaruhkan kariernya.

Pria itu cuma mengangkat bahu. Ketika berbuat begitu, kepalanya
rebah ke payudara empuk Lauri. Jari-jari Lauri menyusuri rahang
pria itu, tiba di pelipis, dan memijatnya dengan ritmis. Kesannya
Lauri yang sengaja menyandarkan kepala Drake di dadanya.

“Selama beberapa waktu,” kata Drake, akhirnya menjawab
pertanyaannya. “Dengan segala kerendahan hati aku membuat film
itu bertahan selama bertahun-tahun. Aku kenal beberapa orang
berpengaruh. Lagi pula, semua toh tahu betapa temperamentalnya
sang aktor.” Dia bercanda, tapi kata-kata itu bagai menampar wajah
Lauri. Ya, aku tahu, pikirnya.

Untuk mengganti topik pembicaraan dia bertanya, “Kau akan tinggal
di mana?”

Drake tertawa dan mencondongkan kepala ke belakang untuk
melihatnya-gerakan yang menyebabkan napas Lauri tercekat di
tenggorokan. Apakah Drake sadar kepalanya menekan payudara
Lauri?

“Di mana aku akan tinggal?” ejeknya. “Yah, kamar luas di lantai atas
itu kamarku. Yang memiliki tempat tidur besar dan cermin-cermin di
pintu lemari.”

67 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri melompat menjauhinya seolah kena tembak Suasana lembut
hatinya beberapa menit yang lalu lenyap sama sekali. “Tidak
mungkin kau berniat tinggal di sini!”

“Yang jelas aku tidak bakal menginap di Mountain View Motel, Ms.
Parrish,” kata Drake sinis. 'Tentu saja, aku akan tinggal di sini.”

“Tapi tidak bisa. Aku kan tinggal di sini. Kita akan-” Lauri menjilat
bibir dengan gugup dan menggenggam kedua tangannya. “Pokoknya
tidak bisa.” Perkataannya terdengar kekanak-kanakan, bahkan di
telinganya sendiri.

“Apa kau tadi mau bilang bahwa kita akan tinggal serumah?” Drake
nyaris tidak bisa menyembunyikan nada geli dalam suaranya. “Ya,
kurasa. Bisa dibilang begitulah.” “Itu mustahili” Lauri berteriak.
“Kenapa?” tanya Drake pura-pura tidak tahu. Kemudian mata
hijaunya menyipit mencurigakan. “Ms. Parrish, aku terkejut padamu.
Kau tidak bermaksud menimbulkan konotasi tak pantas pada situasi
ini, kan? Kau tidak akan memanfaatkan aku, bukan? Apa aku dalam
situasi berbahaya?”

“Tidak. Jelas tidak!” seru Lauri dingin. “Paling tidak bukan karena
aku. Tapi kau bersiap-siap saja dimasukkan ke rumah sakit jiwa kalau
kaupikir aku mau tetap tinggal di rumah ini selama kau ada. Kalau
kau di sini, aku akan pergi”

“Tidak, tidak akan,” katanya yakin sambil berdiri dan meregangkan
otot-otot bahu yang barusan dipijat Lauri. “Jennifer
membutuhkanmu, dan kau terlalu menyayanginya sehingga takkan
tega meninggalkannya. Ngomong-ngomong, aku ingin bertemu dia.
Dia tidur di kamar kecil di atas?”

Dengan kesombongan khasnya Drake mengabaikan argumen-
argumen Lauri dan berjalan tenang keluar dapur, meninggalkannya
berdiri di tengah ruangan, menahan kemarahan menggelegak.

Drake benar, tentu saja. Dia takkan mau meninggalkan Jennifer. Dia
baru saja memperoleh kepercayaan utuh dan kasih sayang anak itu.
Jika dia pergi, Jennifer mungkin akan mengalami kekacauan
psikologis yang tidak bisa diperbaiki. Vital bagi perkembangan dan

68 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

pendidikan anak itu jika Lauri tinggal bersamanya dan melanjutkan
kegiatan mereka selama ini.
Tapi dia tidak bisa tinggal di sini dengan Drake! Dia bisa tetap
bersikap dingin terhadap laki-laki mana pun. Tapi tinggal di bawah
atap yang sama dengan Drake, yang sanggup meluluhkannya dengan
satu sentuhan, satu tatapan, sama sekali tak mungkin. Kesombongan
Drake yang menjengkelkan akan terus-menerus membuatnya
dongkol. Siksaan macam apa yang akan dihadapinya jika tetap
tinggal di sini?
Tapi dia akan tetap di sini. Sejak awal dia sudah tahu itu, begitu juga
Drake. Satu-satunya harapannya adalah pria itu akan segera bosan
dengan kehidupan tenang di Whispers dan buru-buru pulang ke
New York. Sampai saat itu tiba, sebisa mungkin dia akan menjauhi
pria itu Pasti Drake takkan lama di sini. Seminggu? Dua minggu?
Pelan-pelan dia menaiki tangga dan masuk ke kamar Jennifer, di
mana lampu redup memberikan penerangan lembut. Drake duduk di
tempat tidur, memeluk Jennifer erat-erat. Dia mengayun-ayunnya,
menepuk-nepuk punggungnya. Lauri menjauh dan masuk ke kamar
yang sekarang akan ditempati Drake. Dia mulai mengumpulkan
beberapa benda untuk dibawa ke bawah.
“Apa yang kaulakukan?” Suara dalam itu mengejutkannya. Dia
berbalik dan melihat pria itu bersandar di ambang pintu.
Lauri menghindari tatapan dan pertanyaannya ketika bertanya, “Dia
sudah tidur lagi?”
“Yeah,” pria itu terkekeh. “Kurasa dia tidak betul-betul bangun, tapi
sekarang dia tahu aku di sini.”
Lauri mengangguk dan berpaling untuk mengambil pakaian-pakaian
yang diletakkannya di tempat tidur. “Apa yang kaulakukan?” ulang
pria itu.
“Aku tidak mau merecokimu,” jawab Lauri. “Kalau kau bersedia
menunggu sampai besok pagi untuk membongkar tasmu, saat itu aku

69 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

akan memindahkan barang-barangku ke bawah. Aku sekarang cuma
mengangkut apa-apa yang kubutuhkan.”
“Tidak perlu. Biarkan semua tetap di tempatnya,” kata Drake tegas.
“Tapi sudah kubilang-”
“Aku akan tidur di ruangan bawah. Masa kau harus pindah lagi.”
“Tapi ini kan kamarmu, Drake. Aku akan merasa tidak enak
menempatinya, karena kamar yang satu lagi begitu kecil.”
“Aku akan menyesuaikan diri. Lagi pula,” kata Drake, berjalan
memasuki kamar, “aku senang memikirkan kau ada di kamarku. Di
tempat tidurku.” Suaranya berubah jadi serak ketika dia makin dekat.
Suaranya seolah mengatakan dia juga akan tidur di te mpat tidur itu.
Darah Lauri menggelegak bagai lava cair, dan kakinya nyaris tak
mampu menopang tubuhnya k etika pria itu mengulurkan kedua
tangannya dan mem egang kepalanya, menyusupkan jari-jari ke
dalam rambut Lauri.
“Rambutmu sudah hampir kering,” bisik Drake. “Aku juga suka
waktu rambutmu dalam keadaan basah.” Dia membelai pipinya
dengan bibirnya. “Jangan kaukira kemeja gombrong itu
menyembunyikan bentuk tubuhmu. Aku tahu persis bagaimana
bentuk payudaramu karena telah melihatnya hanya ditutupi handuk
basah yang tak seberapa lebar itu.”
Kemudian bibirnya mengulum bibir Lauri, bagai pemain musik
menyelaraskan alat musiknya sebelum konser, mempersiapkannya
sebelum dinikmatinya secara total. Ketika dia akhirnya melumatnya,
bibir Lauri sudah siap, dan menyambut ciuman yang menggetarkan
jiwanya itu.
Tangan Drake perlahan-lahan menyusuri punggung Lauri sampai ke
bawah. Berhenti sebentar untuk memijat, tangannya menyelinap ke
pinggul Lauri dan menariknya ke dekatnya. Lauri merasakan gairah
Drake bangkit. Ia membalas dengan kerinduan alamiah yang sama. ia
menggesekkan tubuhnya dan mendengar pria itu mendesah nikmat

70 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

ia melepaskan sikap hati-hatinya, dan membalas ciuman Drake
dengan gairah berkobar-kobar. Bibirnya seolah tak pernah puas.
Ketika pria itu mengangkat kepala untuk membelai pipinya dengan
tangannya yang sebelah lagi, Lauri berjinjit dan, dengan ujung lidah,
menyapu bibir atas pria itu, persis di bawah kumisnya.
“Lauri,” erangnya, sebelum mencium bibir Lauri berulang-ulang
bagai tak terpuaskan.
Tangan Drake kemudian mengelus-elus tengkuk Lauri dengan jari-
jari yang sensitif. Lalu jari-jari itu bergerak turun sampai dia
menemukan kancing pertama kemeja Lauri. Dia membukanya
dengan lihai dan mengusap bagian atas payudaranya, yang makin
menonjol karena tertekan dadanya. Jari-jari pria itu bagai beludru
hangat terasa di kulit Lauri yang semulus satin. Sambil melumat
bibir Lauri, Drake membuka kancing kedua semudah yang pertama.
Lauri mendesahkan namanya waktu Drake membenamkan wajah di
dasar leher Lauri dan mulai membelai payudaranya. Ia membelai dan
menggelitiknya, sampai payudaranya menggelenyar dan
menimbulkan kenikmatan yang menyebar ke tubuh Lauri.
Drake mengelus lagi dan mengeluarkannya dari kemeja Lauri. “Aku
mengagumi bintik-bintik ini,” bisiknya dan menundukkan kepala.
Ciumannya membuat kepala Lauri serasa berputar, dan dia
mencengkeram rambut pria itu, menariknya makin dekat.
Kumisnya yang menggelitik dan bibirnya yang mengulum membuat
Lauri tak mampu berpikir, tak sanggup melawan. Dia tak ingin
keluar dan lautan kenikmatan ini. Dia ingin tinggal di dalamnya
sampai mencapai puncak kenikmatan bercinta dengan Drake.
Seolah membaca pikirannya, pria itu menjauhkan bibirnya dari
payudaranya yang mendambakan sentuhannya, tapi harus puas
dengan belaian kumisnya saja.
“Lauri, biarkan aku merasakan manisnya tubuhmu,” dia memohon.
“Sekarang. Kumohon. Aku membutuhkan kelembutanmu. Aku
menginginkanmu.”

71 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Kata-kata pria itu membuyarkan belitan sensualitas yang dirajutnya
di sekeliling Lauri dan menusuk otaknya bagai sinar laser.

Membutuhkan. Menginginkan. Ya, Drake memang
menginginkannya. Reaksi fisiknya terhadap pelukan mereka sangat
nyata ketika dia memeluknya seerat ini. Kalau begitu, mengapa Lauri
ragu untuk menyerah seutuhnya?
Pengakuan bahwa Drake tidak menginginkan keterlibatan emosional
tidak perlu diragukan lagi. Yang diinginkan dan dibutuhkannya
bukanlah Lauri Parrish sebagai manusia, sebagai sosok berperasaan;
Drake menginginkan tubuhnya-dan hanya itu. Dia hanya
membutuhkan penyaluran hasratnya yang tidak bisa dibendung. Jika
Lauri menurutinya, kebutuhan Drake akan terpenuhi. Tapi yang
tersalurkan bukanlah pikiran-atau perasaan-pria itu.

Drake Rivington tidak mencintainya. pria itu masih mencintai
istrinya. Ketika bicara tentang Susan, perasaan kehilangannya begitu
jelas sehingga membuat orang yang menyaksikannya jadi trenyuh
dan tidak enak hati.
Meskipun sangat menginginkannya, Lauri tidak dapat menerimanya.
Tapi bagaimana dia dapat menolaknya sekarang? Gairahnya sudah
tidak dapat disembunyikan lagi. Bisa dibilang Drake telah
memeluknya dalam keadaan telanjang dan pasrah. Jari-jari ahli pria
itu tengah membuka kancing-kancing kemejanya. Dia takkan
percaya jika di-beritahu bahwa Lauri mendadak sadar dan merasa
bersalah. Satu-satunya jalan adalah berpura-pura marah. Itu akan
dipercayanya.

Dan Lauri memang marah. Dia membenci dirinya sendiri karena
tidak bisa menerima pria itu ketika tubuhnya mendambakannya. Tapi
dia sudah pernah merasakan pengalaman berbahaya itu. Paul
memanfaatkannya secara seksual sebagai obat bagi penderitaannya,
kemarahannya. Bagaimana dengan penderitaan dan kemarahannya
sendiri? Siapa yang akan meringankan kesengsaraannya?

Dia tidak mau melakukan kesalahan yang sama. “Drake, Drake,”
Lauri berkata dengan susah payah dan mengerahkan tenaganya yang
masih tersisa untuk mendorong laki-laki itu. “Tidak.”

72 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Mata pria itu bercahaya karena gairah, dan dia butuh waktu sesaat
untuk menjernihkan pikiran dan menyadari bahwa Lauri
melarangnya mengakhiri siksaan fisik ini.
“Ada apa?” tanyanya, masih terpana dengan penolakan tak terduga
wanita itu.
Lauri mengancingkan kemeja dengan gemetar ketika menjauh dari
pria itu dan memunggunginya. “Aku tidak bisa-aku tidak mau tidur
denganmu,” katanya tak jelas.
“Sedikit pun aku tidak percaya,” kata Drake, menyerbunya. Lauri
menghindar dan mengangkat kedua tangannya sehingga pria itu
berhenti. “Jangan sentuh aku lagi. Aku tidak main-main, “ katanya
cepat-cepat.
Mata Drake mengilat bagai es hijau. Dia mengerti sekarang. “Dan
aku juga tidak main-main,” geramnya. “Kita saling menginginkan.”
“Aku tidak,” bantah Lauri sengit.
“Tubuhmu bilang sebaliknya, Lauri,” kata Drake dengan ketenangan
menakjubkan. “Aku bisa merasakan betapa kau sangat menginginkan
aku. Tanganku telah membuatmu mendidih, dan mulutku bisa
berbuat lebih dari itu.”
“Tidak-”
“Dan aku ingin berbuat lebih dari itu. Aku ingin melakukan segala
hal. Aku ingin-”
“Seks!” potong Lauri dengan teriakan yang diharapkannya bisa
mengalahkan nada sensual pria itu. “Aku tidak suka kau mengira aku
akan pasrah menyerahkan diriku padamu padahal kau terang-
terangan menunjukkan cuma menginginkan seks dari wanita.” Dia
menarik napas dalam-dalam beberapa kali.
“Sudah kubilang aku tidak menginginkan keterlibatan emosional. Itu
tidak berarti kalau aku memeluk wanita cantik dan menggairahkan
aku tidak ingin bercinta dengannya.”

73 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Cinta!” teriak Lauri. “Kau bilang kau mencintai istrimu-”
“Jangan bawa-bawa istriku,” geram Drake. Reaksinya begitu garang
sehingga Lauri mundur selangkah. Mestinya dia tidak menodai
kenangannya tentang istrinya dengan melibatkan wanita itu dalam
pembicaraan tidak senonoh ini. Pikiran tersebut membuatnya marah,
dan dia mengangkat dagu dengan gaya menantang.
“Aku bukan salah satu penggemar sintingmu,” kata Lauri pedas.
“Aku pegawaimu-dan kuharap kau memperlakukan aku sebagai
pegawaimu.” Dia berharap kata-katanya terdengar lebih meyakinkan
daripada perasaannya. Sekarang pun, ketika rambut pria itu
berantakan dan pakaiannya kusut karena gerakan tangannya, dia
ingin berlari mendatanginya dan memohon agar dicium lagi. Pria itu
tidak boleh mengetahui pikirannya barusan, jadi ia berusaha tidak
memperlihatkan hal itu di wajahnya.
“Baik,” kata Drake kaku. “Dokter Hambrick pun tidak akan sampai
memerkosa, dan Drake Rivington tidak perlu berbuat begitu.” Dia
berbalik dan berjalan cepat ke pintu. Sebelum melewati pintu, dia
memandang wanita itu lagi sambil tersenyum mencemooh. “Jangan
merasa menang dulu. Kau menginginkan aku, dan aku pasti akan
mendapatkanmu. Ini cuma masalah waktu.” Dia pun menutup pintu
kuat-kuat.

®LoveReads

74 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 6

Berani-beraninya dia bicara seperti itu padaku! pikir Lauri berulang
kali.
Dia mengira kemarahannya akibat kata-kata perpisahan Drake itu
akan berkurang setelah tidur semalaman, namun ternyata ketika dia
bangun, amarahnya malah bertambah. Pria itu memanfaatkan
kondisinya yang rapuh dan tidak siap karena ke-pergiannya yang
mendadak. Dia memikat, amat sangat tampan, gagah, dan terbiasa
dengan para wanita yang bertekuk lutut di hadapannya.
Yah, dia akan segera tahu bahwa Lauri Parrish kebal terhadap
pesonanya. Setelah neraka membeku barulah Lauri mau tidur
seranjang dengan Drake Sloan.
Lauri memasang tampang muram ketika menuruni tangga dan
berjalan menuju dapur. Lirikan selintas ke dalam kamar Jennifer
membenarkan ramalannya bahwa gadis kecil itu pasti sudah bangun
dan bersama sang ayah.
Dia mendorong pintu ruang bar yang memisahkan dapur dari ruang
makan dan berjalan de ngan gaya acuh tak acuh ke ruangan yang
bermandika n cahaya matahari tersebut. Pemandangan yang me ny
ambutnya begitu tenang dan menyejukkan sehingga k emarahannya
langsung lenyap, dan kekesalannya pela n-pelan mencair.
“Selamat pagi,” sapa Drake sambil tangannya memperagakan bahasa
isyarat. “Jennifer sarapan sereal, dan aku makan roti panggang dan
kopi. Kau mau apa?” Ya Tuhan, dia tampan sekali, pikir Lauri.
Rambutnya berkilau karena cahaya perak sinar matahari yang
menerobos jendela. Lengan kemeja sportnya digulung sampai siku
dan ujung kemejanya mencuat dari jins. Ancaman yang dilihatnya di
wajah pria itu ketika dia meninggalkannya tadi malam telah
digantikan senyum cerah yang bahkan lebih memperdaya.
“Selamat pagi,” balas Lauri, lalu membungkuk untuk memeluk
Jennifer yang asyik menyendokkan sereal ke dalam mulut.

75 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anak itu menoleh pada Lauri dengan penuh semangat dan berkata
dalam bahasa isyarat, “Ada Daddy, Lauri.”
“Aku tahu,” jawab Lauri. “Apa kau merasa sedih?”
“Tidaaak,” kata Jennifer. Dia senang mengucapkan kata itu dan kata
itu mudah diucapkan, jadi dia memanjangkan pengucapannya.
“Apa kau marah?” tanya Lauri. Beberapa hari yang lalu mereka
belajar tentang emosi-emosi dasar, jadi Lauri sekarang menguji
muridnya.
Jennifer mengikik dan berkata, “Tidaaak.”
“Kalau begitu bagaimana perasaanmu karena ada Daddy?”
Jennifer diam sebentar dan mengingat-ingat bahasa isyarat yang
benar. “Aku bahagia,” katanya, dan tertawa waktu Lauri bertepuk
tangan. Lalu ia bertanya pada gurunya, Apa kau bahagia ada Daddy?
Lauri cepat-cepat menegakkan tubuh, berharap Drake tidak
mengawasinya. Harapan tinggal harapan. Alis tebal dan ekspresif
pria itu terangkat.
“Bagaimana? Jawab pertanyaan Jennifer. Apa kau bahagia aku ada di
sini?”
Pria itu memojokkannya. Jennifer mendongak memandangnya
dengan penuh harap. Dengan segan-segan Lauri mengisyaratkan dan
berkata, “Ya. Aku bahagia ada Drake.” Jennifer puas dan kembali
memakan sereal.
“Mungkin kau perlu mengecek alat bantu dengarnya. Aku tidak
yakin sudah memasangnya dengan benar,” kata Drake. Lauri
menyibakkan rambut ikal Jennifer dan mengecek penempatan dan
tombol volume alat itu, yang dimasukkan ke dalam telinga Jennifer.
“Benar kok,” katanya.
“Bagus. Kau mau sarapan apa?” Drake bertanya sambil mengoleskan
mentega banyak-banyak di roti.

76 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku tidak biasa sarapan,” ujar Lauri. “Kopi saja sudah cukup.”

Mata Drake menyusuri tubuhnya dengan pandangan menilai yang
membuat Lauri merah padam. “Kau begitu langsing apa karena
menahan nafsu makan?”

Untuk menghindari tatapan Drake yang tajam, Lauri pergi ke meja
dapur menuang kopi dengan tangan gemetar. Ketika melewati
Drake, pria itu menepuk bokongnya dan selama beberapa detik tan
gannya menempel di situ. “Menahan nafsu bisa membuatmu gelisah,
marah-marah, dan cepat tua.”

Lauri sudah siap membalas omongannya, tapi Betty memilih saat itu
untuk membuka pintu bela. kang dan berjalan masuk dengan riang
seperti biasanya. Rol-rol rambut warna pink mencuat ke berbagai
arah dari kepalanya. Mantel quilt diikat sekadarnya di pinggangnya
yang gemuk. Sandal bulu menyebabkan ukuran kakinya jadi besar
sekali.

Dia langsung berhenti dan terpaku ketika melihat Drake duduk di
meja. Mata cokelat lebarnya me-lotot dan mulutnya membuka dan
menutup seperti ikan tercampak ke darat. Kalau saja ekspresinya
tidak selucu itu, Lauri pasti kasihan pada temannya.

Dia menahan tawa waktu mengenalkan mereka.

“Betty Groves, ini Drake Rivington. Drake, ini tetangga yang
kuceritakan padamu.”

“Selamat pagi, Mrs. Groves,” kata Drake, berdiri dan mendekati
Betty dengan tangan terulur. Betty mengangkat tangan bagai robot
dan Drake menjabatnya. “Lauri memberitahuku betapa kau banyak
membantu dia dan Jennifer. Aku ingin mengucapkan terima kasih
karena kau telah menjaga gadis-gadisku selama aku tidak ada.”

Lauri tersentak mendengar kata-kata yang bersayap itu, tapi sebelum
dia sempat memprotes, Betty mengerang keras, “Oh, Tuhanku!
Penampilanku berantakan! Aku mampir cuma untuk meminjam
secangkir gula. Aku tidak tahu kau ada di sini, Dokter Ham-Mr.

77 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Sloan-Mr. Rivington. Kenapa tidak kauberitahu aku dia akan datang,
Lauri?” tanyanya ketus. “Aku ti-”
“Kau cantik kok, Betty. Boleh kupanggil kau Betty?” Drake menyela
Lauri sebelum dia bisa membela diri. “Mana gula kita, Lauri?”
Kita? Gula kita? Drake berusaha sekuat tenaga menimbulkan kesan
mereka sepasang kekasih yang sudah tinggal serumah. Lauri
memandang tajam pria itu dari atas bahu Betty, namun mata Drake
cuma berkilat geli dan sama sekali tidak tampak bersalah.
“Ada di sepen,” jawabnya dingin, yang tidak disadari Betty maupun
Drake.
“Tolong ambilkan untuk Betty, ya, sementara aku menuangkan
secangkir kopi untuknya,” Drake berkata santai sambil membimbing
Betty yang terpesona ke meja. Dia tengah memainkan perannya
sebagai selebriti dan Lauri jijik melihatnya.
“Kau tampan seperti biasanya,” kata Betty lirih ketika duduk di meja
setelah disilakan Drake. “Aku tidak ingin merepotkan. Anak-anakku
sudah menunggu-”
“Kumohon, demi aku, minum kopi dululah dengan kami.” Senyum
memabukkan Drake pasti mampu membuat malaikat rela
menyerahkan sayapnya. “Tadi malam Lauri bercerita kau punya dua
anak.”
Tadi malam! Lauri marah sekali. Sementara Betty asyik berceloteh
tentang topik favoritnya, Drake melirik Lauri dan tersenyum jail.
Dia tahu dia telah menimbulkan kesan bahwa malam itu mereka
tidur seranjang, bukan di kamar yang terpisah. Hati Lauri panas
sekali ketika dia membanting pintu lemari setelah mengambilkan
gula untuk Betty.
Wanita itu akhirnya pulang, berjanji pada Drake bahwa dia, Sam,
dan Sally akan kembali nanti untuk belajar bahasa isyarat. Sekali ini
Lauri senang melihat tetangganya pergi. Dia kesal sekali melihat
Betty tergila-gila pada Drake, dan omongan-omongan pria itu yang

78 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

mengesankan bahwa hubungan mereka memang seperti yang diduga
Betty.
“Sementara kau dan Jennifer belajar pagi ini, aku akan membongkar
barang-barangku.” Lauri melihat ada mobil lain diparkir di jalan
masuk di sebelah Mercedes. Drake menjelaskan dia menyewanya dan
akan mengembalikannya ke Albuquerque kalau Lauri dan Jennifer
bisa meluangkan waktu untuk pergi bersamanya dan
mengantarkannya pulang.
Dia sedang menyuruh Jennifer melakukan sesuatu di kelas ketika
Drake muncul di ambang pintu. “Lauri, lemari-lemari dinding di
kamar itu hanya cocok untuk pakaian liliput. Bisakah kau memberi
tempat untukku di salah satu lemari di kamarmu?”
Lauri memandangnya dengan curiga. “Ini tipu muslihat, atau kau
benar-benar perlu tempat?”
“Aku betul-betul perlu tempat,” kata Drake sepolos malaikat. Lalu
dia tersenyum cerah yang membuat lesung pipinya kelihatan. Dasar
aktor. Dia bisa menampilkan ekspresi atau emosi apapun dengan
cepat. Tapi meskipun sudah menahan diri, Lauri membalas
senyumnya.
“Salah satu lemari kosong, cuma berisi setumpuk kotak di ujung. Biar
kupindah, kalau itu maumu.”
“Jangan sentuh kotak-kotak itu,” bentak Drake.
Lauri telah bangkit dari kursi dan terkejut mendengar nada kasar
dan melihat wajah pria itu sudah tidak berseri-seri lagi. Wajahnya
sekarang keras dan dingin. Ketika melihat Lauri tercengang, dia
berkata pelan, “Beberapa barang Susan disimpan di situ. Jangan
diutak-atik.”
Tubuh Lauri langsung kaku. Selama beberapa detik yang menyiksa,
dunia serasa berhenti berputar, lalu bergerak lagi-tapi tanpa
semangat, lamban, dan dengan susah payah.
“Tentu, Drake,” dia tergagap. “Aku cuma-”

79 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Dia bicara dengan angin. Ketika dia mengangkat kepala, ambang
pintu telah kosong.

Lauri dan Jennifer biasa berada di kelas sepanjang pagi, cuma
istirahat sebentar supaya Jennifer bisa makan camilan. Lauri
memanfaatkan saat itu untuk mengajarinya juga. Jennifer
mempelajari nama dan rasa berbagai makanan.

Selama seminggu mereka belajar tentang ceri. Dia mempelajari
bahasa isyaratnya, tulisannya, dan dalam pelajaran bicara Lauri
mengajarkan bunyinya. Dia diberi jeli ceri, jus ceri, dan permen ceri.
Dia belajar mengasosiasikan rasa dan bau tertentu dengan namanya.
Ketika Lauri dan Jennifer keluar kelas tak lama setelah pukul 12.00
hari itu, Drake sudah menyiap, kan makan siang untuk mereka
berupa roti isi dan sup. Di antara alas piring dan serbet di meja
tampak sebuah boneka bulu kelinci berwarna pink.

Jennifer memekik dan berlari melintasi ruangan, sambil memeluk
boneka itu dengan gembira. “Kurasa kau berhasil merebut hatinya,”
komentar Lauri.

“Sudah kuduga dia akan menyukainya,” Drake tersenyum pada
putrinya.

Lauri berlutut di samping Jennifer. “Siapa nama kelincimu?”

Jennifer memandangnya dengan bingung. Dibelainya telinga
panjang boneka itu dan bergumam. Lauri mengeja Bunny.

Jennifer mengangguk dan tertawa, mengisyaratkan huruf-huruf itu
dengan jari-jarinya yang pendek dan menepuk kepala si kelinci.

“Kurasa dia sudah dinamai,” kata Drake.

Dia tetap penuh kasih sayang dan lembut terhadap Jennifer, tapi
dingin pada Lauri. Dia muram dan tidak banyak bicara selama
makan.

Memangnya apa yang diharapkannya? Secara tidak sengaja dia telah
mengingatkan Drake pada Susan dan memicu depresinya. Dia sering
melihat Paul menutup, diri dan merenung-renung selama berhari-

80 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

hari bagai Hamlet atau pahlawan tragis lain. Suasana hati Paul yang
jelek memaksanya memikirkan setiap patah kata, menimbang semua
yang diucapkan atau dilakukannya karena takut menyinggung
perasaannya yang sensitif.

Yah, dia tidak sudi mengalami situasi seperti itu lagi.
Diperhatikannya Jennifer dan diabaikann ya Drake. Ketika Betty dan
anak-anaknya datang siang itu untuk belajar bahasa isyarat, Drake
ikut duduk di m eja dapur bersama mereka.

Dia tidak lagi cemberut seperti waktu menghidangkan makan siang.
Pria itu melucu dan bercanda; senyumnya memikat; matanya
berkilat-kilat jenaka. Bagaimana dia bisa berubah begitu drastis
hanya dalam beberapa jam?

Lalu Lauri ingat kepandaiannya; untuk itulah Drake dibayar. Pria itu
mampu berganti emosi secepat orang berganti pakaian. Paul bisa
tampak serius dan enerjik ketika bertemu agen atau produser
rekaman, kemudian tenggelam dalam depresi yang amat dalam
ketika pulang.

Lauri tidak menyukai suasana hati Drake yang berubah-ubah ini; dia
jadi bertanya-tanya yang mana yang asli. Sampai seberapa dia dapat
mempercayai omongannya? Perbuatannya? Ketika pria itu
menciumnya, apakah dia bersungguh-sungguh ataukah cuma
memainkan adegan percintaan? Dia telah melihat Drake mencium
aktris itu di studio, dan aktingnya sangat meyakinkan.

Lauri bertekad takkan membiarkan peristiwa itu terjadi padanya lagi.
Pelukan mereka tak berarti apa-apa bagi pria itu, namun baginya
sangat penting. Dan anggapan pentingnya terhadap pelukan itu
menakutkan.

Pikiran-pikiran ini berputar di benaknya sementara dia mengajarkan
bahasa isyarat. Dia tak sadar bahwa dia lama memandangi Drake,
dan pria itu mengetahui perbuatannya. Ketika dia menyadarkan diri,
mata pria itu menatapnya. Lauri berusaha membuang muka, tapi
tertahan tatapan tajam Drake Mata cokelat mudanya terfokus pada
pria itu, dan selama sepersekian detik, dia tahu Drake bisa membaca
kerinduan di dalamnya.

81 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Pria itu mengatakan dalam bahasa isyarat, Aku belum melupakan
bintik-bintik itu. Mata Drake turun tanpa ragu ke payudaranya dan
Lauri merasakan dorongan konyol untuk menutupinya.
Dia merah padam dan buru-buru memandang Betty dan anak-anak,
berharap mereka tidak melihat atau mengerti. Mereka sedang
berdiskusi tentang rencana mereka membeli sepatu baru.
Tanpa sadar kepala Lauri berpaling kembali pada Drake, bibir pria
itu membentuk senyum kurang ajar di bawah kumisnya. Kau punya
bintik-bintik lain yang perlu kuketahui? isyaratnya.
Tidak! Lauri menjawab tegas dengan gelengan kepala.
Aku ingin memastikannya sendiri, pria itu mengisyaratkan dengan
kemampuan bahasa isyarat yang mendadak terasa meresahkan.
Drake sekarang terlalu pandai menggunakan bentuk komunikasi ini.
Tapi sebetulnya dia tidak membutuhkan tangannya untuk
menyampaikan pikiran-pikirannya. Matanya sudah mengatakan
semuanya.
Kapan kau akan menghentikan ini? desak Lauri dengan tangannya.
Kapan kauizinkan aku mencari tempat-tempat rahasia di tubuhmu
itu? Dan setelah kutemukan, maukah kau mengizinkan aku
menyentuhnya? Menciumnya?
Gelombang panas melanda Lauri bagai air bab mendidih. Jantungnya
berdentam-dentam di dada dan menggetarkan kaus yang
menutupinya. Drake melihat semua itu dan menatap payudaranya
yang naik-turun dengan cepat seirama napasnya. Mata pria itu
kembali ke mata Lauri, dan alisnya mendesak minta jawaban dengan
melengkung tajam di atas mata.
Tidak! Lauri menggeleng, menjilat bibir dengan gugup. Gerakan itu
membangkitkan gairah Drake ketika dia mengamati lidah wanita itu
menghilang ke dalam mulutnya. Ekspresi wajahnya memberi-tahu
Lauri bahwa dia ingin mengikutinya dengan lidahnya sendiri.

82 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Kalau begitu berarti aku harus membayangkan tempat-tempat
tersembunyi itu, Drake mengisyaratkan, dan mata zamrudnya
melumpuhkan Lauri. Daya khayalku hebat.
Lauri bersyukur ketika Jennifer mengalihkan perhatiannya dengan
menarik lengannya. “Auwy, Auwy,” katanya dan menunjuk sepatu
tenisnya, yang talinya telah terurai.
“Ya,” kata Lauri sambil lalu dan berpaling.
“Auwy,” kata Jennifer lebih keras dan agak marah.
Lauri cuma memandang sepatu itu dan mengangguk, tapi tidak
berbuat apa-apa dan sibuk menumpuk buku-buku pelajaran yang
barusan mereka gunakan.
“Auwy”“ Kali ini tarikan di lengan Lauri kuat sekali dan suara
Jennifer tinggi dan melengking.
“Dia ingin kau mengikatkan tali sepatunya,” kata Drake tidak sabar.
Lauri memandangnya dengan tenang, walaupun sebetulnya tidak
menyukai campur tangan pria itu dalam persoalan yang menurutnya
merupakan tanggung jawabnya.
“Aku tahu apa yang diinginkannya, Drake. Aku mau dia meminta aku
mengikatkan tali sepatunya dalam kalimat lengkap.”
“Apakah itu selalu perlu?” tanya pria itu. Nada tajam suaranya
mengindikasikan dia berpendapat sebaliknya.
“Kau menginginkan dia belajar bicara atau kau ingin dia seumur
hidup cuma bisa menunjuk-nunjuk dan mendengus?” sembur Lauri.
Kerut-kerut di sekeliling mulut pria itu mengeras, tapi dia tidak
mengatakan apa-apa lagi.
Jennifer sudah nyaris menangis dan masih menarik-narik lengan
Lauri Sam. Sally, dan Betty cuma bisa memandangi situasi
menegangkan ini. Kali ini mereka kehabisan kata-kata.

83 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Mari kita lanjutkan pelajaran,” kata Lauri tenang dan tenis
mengabaikan Jennifer, cuma melirik sepatunya dan mengangguk
untuk membenarkan bahwa talinya memang terurai.
Jennifer, marah bukan main, duduk di lant ai menendang kaki kursi
Lauri, dan membenamkan kepala.
“Sam, ceritakan soal anak anjingmu pada kami dalam bahasa isyarat,”
perintah Lauri “Apa warnanya?”
Sam memandang Jennifer dengan perasaan kasihan, lalu melirik ragu
ibunya. Betty mengangguk dan dia terpatah patah menggunakan
bahasa isyarat untuk bercerita tentang anjingnya. Perhatiannya
terpecah. Sebetulnya perhatian semua orang juga terpecah ke gadis
kecil yang tersedu-sedu di lantai.
“Lauri, demi Tuhan-” Drake mulai bicara tepat ketika Jennifer
mendadak bangun dan berdiri di samping kursi Lauri lagi.
Lauri, ikatkan tali sepatuku, anak itu mengisyaratkan. Ketika Lauri
tetap tidak bergerak, Jennifer menggosok dadanya dengan gerakan
memutar yang merupakan bahasa isyarat yang berarti tolong
Kemudian ia mengulangi lagi.
Lauri tersenyum, memangkunya, dan memeluknya erat-erat. “Aku
ingin mengikatkan tali sepatumu, Jennifer. Tapi kau harus
memintaku. Bagaimana aku tahu apa yang kauinginkan kalau kau
tidak memintaku?” Jennifer memahami isyaratnya dan
mengalungkan lengannya yang gemuk di leher Lauri. Ketika
menarik tubuhnya, dia mengisyaratkan, Aku sayang padamu, Lauri,
dan mengucapkan nama gurunya.
Aku juga sayang padamu, Lauri mengisyaratkan dan mencium
puncak kepala Jennifer.
Betty dan anak-anaknya tampak sangat lega dan mulai berbicara
serentak. Drake tidak berkomentar, tapi Lauri menatap matanya di
atas kepala anaknya. Mata hijau itu kelihatan menantang dan samar-
samar iri. Tapi di mata Lauri tampak jelas pesannya: Jangan pernah
ikut campur lagi.

84 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Ketika keributan berikutnya terjadi beberapa hari kemudian, efeknya
lebih hebat dari yang pertama.
Lauri menulis surat untuk orangtuanya setelah sarapan. Dia ingin
memasukkannya ke kotak surat sebelum tukang pos datang. Setelah
menjelaskan pada Jennifer bahwa pelajaran pagi ini agak terlambat,
dia menyuruhnya bermain di kamarnya. Drake sedang asyik sendiri
di halaman belakang.
Lauri menyelesaikan suratnya, memasukkannya ke kotak surat, dan
naik ke lantai atas untuk menjemput Jennifer yang, dia mendadak
sadar, telah menghilang secara misterius dan tidak biasanya tenang
selama setengah jam terakhir.
Jennifer tidak ada di kamarnya, dan Lauri tahu anak itu juga tidak
ada di bawah. Ketika masuk ke kamarnya sendiri dia mendengar
gumaman pelan dari kamar mandi. Dan ketika melewati pintu, dia
terkesiap melihat pemandangan di hadapannya.
Jennifer telah membuka semua wadah make-up Lauri, mengambil
isinya, memakainya di wajahnya, lalu membiarkan wadah-wadah itu
tetap terbuka dan berserakan di meja rias. Wajah malaikatnya
tampak seperti palet pelukis. Pemulas mata, pensil alis, dan maskara
berlepotan di matanya. Pipi dan pelipisnya diwarnai pemulas pipi, lip
gloss, dan foundation aneka warna. Berbagai lotion, krim, dan bedak
berceceran di permukaan meja rias marmer.
Ketika melihat wajah Lauri di cermin, Jennifer tahu saat bermainnya
sudah selesai. Dia berusaha menutup kembali botol krim malam yang
diusap-kannya banyak-banyak ke lututnya, tapi gagal. Dengan sia-sia
dia mengambil tisu dan mencoba membersihkan meja. Ketika dia
tidak berhasil, malah membuat semuanya makin berantakan, bibir
bawahnya mulai bergetar, dan dia memandang gurunya dengan
pasrah.
“Jennifer,” kata Lauri galak, “kau nakal! Ini bukan perbuatan yang
baik, dan aku marah padamu!” Dia mengisyaratkan kata-kata itu
dengan tegas, untuk memastikan gadis kecil itu betul-betul mengerti.
“Kau tahu kenapa aku marah padamu?” dia bertanya.

85 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Jennifer mengangguk dan mulai tersedu-sedu malu.
Lauri memaksanya memandangnya. “Aku akan memukulmu supaya
lain kali kau ingat untuk tidak mengutak-atik barang orang lain. Kau
suka kalau aku mengobrak-abrik kamarmu? Kau suka kalau aku
merusak mainanmu?”
Jennifer menggeleng.
Lauri memangku anak itu tengkurap di pangkuannya, lalu memukul
bokongnya tiga kali. Jennifer menangis keras sekali.
“Astaga, apa-apaan kau ini?” tanya Drake marah dari ambang pintu.
Lauri mengangkat Jennifer dan berusaha memeluknya, tapi anak itu
lari dari pelukannya, pindah ke sang ayah tersayang, yang melotot
pada Lauri.
Lauri berkata tenang, “Menurutku cukup jelas. Aku memukul
Jennifer karena dia nakal.”
“Jangan pernah kau memukulnya lagi,” perintahnya ketus sambil
terus menepuk-nepuk punggung si anak. Jennifer terisak-isak di
bahunya.
“Aku akan memukulnya lagi kalau dia bandel dan aku akan berterima
kasih kalau kau tidak ikut-ikutan dan menolongnya ketika aku
sedang menghukumnya.”
“Dia tidak bisa memahami kenapa kau memukulnya.”
“Tentu saja bisa!” protes Lauri, sekarang jadi marah. “Kaupikir aku
akan membiarkannya melakukan perbuatan seperti ini tanpa
dihukum? Batasannya apa?”
Drake mengangkat Jennifer dan membiarkannya berdiri, lalu
memandang Lauri sambil berkacak pinggang. “Manusia macam apa
sih kau? Manusia sadis? Kau senang memukuli anak-anak kecil yang
cacat, ya?”

86 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Seumur hidup Lauri tidak pernah semarah ini dan dia merasa
kemarahan mendidih di sekujur tubuhnya meskipun wajahnya pucat
pasi. “Dasar sok tahu,” desisnya dari balik gigi yang dikertak-kan.
“Berani-beraninya kau menuduhku seperti itu.” Dia maju selangkah
dengan tangan siap menampar. “Berani-beraninya kau-”
Perhatiannya terpecah karena Jennifer, yang menarik-narik kaki
jinsnya. “Auwy,” dia memohon. Lauri melirik dan melihat Jennifer
mengacungkan tabung lipstik yang sudah dibersihkan dan ditutup
kembali. Anak itu mengisyaratkan Aku menyesal.
Lauri melupakan ayah Jennifer dan berjongkok untuk memeluk gadis
kecil itu. Diusapnya rambut ikal dari wajah bersimbah air mata itu.
“Aku juga menyesali kejadian itu. Maukah kau membantuku
membersihkan semua ini?” dia bertanya, dan Jennifer mengangguk
penuh semangat dan mulai memungut tisu-tisu kotor yang
bertebaran di lantai.
Lauri berdiri berhadap-hadapan dengan Drake, siap melanjutkan
amukannya, tapi wajah pria itu sudah berubah. Dia tidak
menantangnya. Dia tidak marah. Dia memandangi anaknya. Pelan-
pelan ditatapnya Lauri.
Matanya mengatakan sesuatu yang tidak bisa ditangkapnya. Dia
melihat kilau pemahaman di dalam mata hijau itu. Drake tahu
maksudnya, dan kurang-lebih mengerti tujuannya. Tapi dia tidak
seratus persen mengerti, dan mencari-cari elemen yang tidak dapat
dimengertinya itu di wajah dan mata Lauri.
Sedetik kemudian, pria itu tampak malu dengan kelemahannya ini.
Lauri melihat kabut menyelubungi matanya sebelum pria itu cepat-
cepat membuang muka. “Aku pergi dulu,” gumam Drake pelan
sebelum di a meninggalkan kamar.

®LoveReads

87 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 7

Selama beberapa hari berikutnya tidak ada kejadian luar biasa. Lauri
terus mengajari Jennifer di pagi hari sementara Drake sengaja tidak
mau mengganggu.
Lauri senang karena kerut-kerut kelelahan di sekitar mata pria itu
sedikit demi sedikit menghilang, dan pria itu tampak lebih rileks
daripada ketika datang. Drake tidak lagi memakai mantel gaya Eropa
dan kemeja bermonogram. Pakaiannya sekarang jins belel yang
malah menampilkan keperkasaannya. Kemeja dan topi koboi
membuatnya tampak seperti penduduk asli pegunungan.
Drake menggodanya dan melontarkan berbagai sindiran, tapi tidak
lagi melakukan pendekatan terang-terangan. Lauri merasa lega. Tapi
kadang-kadan g ia kesal pada kemampuan pria itu mengabaikannya s
aat ia sedang memperhatikan pria tampan itu.
Suatu pagi menjelang siang Betty meminta izin untuk membawa
Jennifer dan kedua anaknya piknik. Lauri senang dengan tawaran itu
dan tahu Jennifer pasti suka jalan-jalan. Tanpa ragu sedikit pun dia
mempercayakan pengawasan Jennifer pada Betty.
Berjalan-jalan di hutan bukanlah ide yang jelek, pikir Lauri sambil
mengunyah roti isi yang merupakan makan siangnya. Udara musim
gugur menyenangkan, dan pohon-pohon aspen berwarna keemasan.
Dia memutuskan untuk menikmati hari ini.
Lauri lalu ke ruang cuci untuk untuk memberi-tahu Drake bahwa dia
akan pergi, tapi ia terperangah ketika melihat apa yang tengah
dilakukan pria itu.
“Sedang apa kau?” Lauri terkesiap.
Mendengar suaranya, Drake berpaling dan meringis. “Hai, mana
Jennifer?”
“Pergi piknik dengan Betty,” jawab Lauri sekena-nya.

88 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lalu dia menegakkan tubuh dan bertanya lagi dengan nada tajam.
“Sedang apa kau?” Pria itu tengah memegang salah satu bra tipisnya.

“Kelihatannya sedang apa?” Drake bertanya kasar, menekankan tiap
kata. “Aku sedang memilah-milah cucian. Rumah ini demokratis. Aku
tidak keberatan ikut bekerja.” Dia mengangkat tali bra itu dan
mengamatinya dengan alis berkerut.
“Tapi-letakkan-itu punyaku-” Dia begitu terpana melihat Drake
memegang pakaian dalamnya sehingga tidak sanggup bicara.
“Yah, aku tahu ini bukan milik Jennifer,” ejek Drake. “Dan aku tahu
pasti ini bukan punyaku.” Dia membaca label bra itu. “Dusty rose.
Kenapa mereka tidak menamainya 'pink' saja sih? Dan ini,” dia
meraih celana dalam tipis dan mungil “'daffodil'. Kenapa bukan
'kuning' saja? Begitu kan lebih gampang diucapkan.”

“Berhentilah memegang-megang pakaian dalamku, seperti psikopat!”
teriaknya. “Akan kucuci sendiri pakaianku.”
“Tenang, Lauri,” kata Drake dengan ketenangan menjengkelkan.
“Aku tahu pakaian-pakaian dalam seperti ini tidak boleh dicuci
dengan mesin. Aku bahkan tahu semua ini harus dicuci dengan air
dingin dan deterjen lembut. Kau lupa aku bintang opera sabun?
Tidak percuma aku bertahan di situ sampai tujuh tahun!” Dia
mengolok-oloknya, dan Lauri mengentakkan kaki dengan kesal.

“Drake-” Lauri menggeram.
Pria itu melihat label bra lagi. “'Tiga puluh empat B'. Tidak terlalu
besar, bukan?” dia bertanya. Matanya berhenti di payudara Lauri dan
memandangnya dengan kritis. Kalaupun pria itu betul-betul
menyentuhnya, efeknya tak mungkin lebih terasa dari ini. “Tapi,
kalau dipikir-pikir,” dia melanjutkan dengan objektif, “kurasa kau
akan kelihatan lucu kalau punya payudara besar. Bisa-bisa kau
terjungkal karena keberatan.”
Drake berbicara dengan suara tak peduli, tapi kilat di matanya
menunjukkan sebaliknya. “Coba kita lihat,” katanya, dan
melemparkan pakaian dalam tadi ke mesin cuci.

89 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Sebelum Lauri dapat menebak maksudnya, Drake sudah mendekat
sambil memejamkan mata. Dengan berpatokan pada perasaan,
tangannya secara akurat menemukan payudara Lauri dan diam di
situ. Telapak tangan Drake perlahan-lahan membuat gerakan
berputar. Dia membelainya dengan lembut, menekan jari-jarinya.
Ketika merasakankan reaksi yang diharapkannya akibat godaan ibu
jarinya, dia membuka sebelah mata dan menatap Lauri.

“Persis dugaanku,” bisiknya. “Tiga puluh empat B yang sempurna.”
Bibirnya melumat bibir Lauri. Bibir wanita itu merekah dan siap
menerimanya, membalas dengan gairah yang sama. Tangan Drake
meninggalkan payudaranya, dan lengannya melingkari punggung
Lauri dan menariknya dalam pelukan erat.

Otot-otot paha pria itu menegang di balik denim jinsnya dan
menekan Lauri ketika dia melengkungkan tubuh ke arahnya.
Punggung Lauri ditelusuri tangan yang bergerak ke sana kemari
sebelum berhenti di lekuk pinggulnya.

Tangan Lauri memeluk leher Drake dan menarik kepalanya. Dia
memalingkan wajah dengan gerakan perlahan supaya setiap sudut
wajahnya dibelai kumis sehalus sutra itu. Kumis Drake mengelus
dagu, bibir, dan hidung Lauri. Begitu juga dengan tulang pipi dan
kelopak matanya.

Pria itu membiarkan Lauri sampai gairahnya tak tertahankan lagi.
Diciumnya mulut Lauri dan dilumatnya, membuat Lauri tergelitik
oleh sensasi yang baru kali ini dirasakannya.

“Lauri, kau tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya perasaanku
karena ini,” dia menggeram setelah menghentikan ciumannya dan
menempelkan bibir di telinga Lauri. Untuk memperjelas ucapan nya,
Drake memegang bokong Lauri dan menekan nya ke tubuhnya.

Api gairah begitu cepat membakar sekujur tubuhnya sampai Lauri
jadi takut sendiri memikir kan bagaimana reaksinya nanti. Drake,
Lauri tahu, sudah tidak bisa diajak bicara, tapi salah satu dan mereka
harus tetap waras. Jika ini diteruskan, kerinduannya pada pria itu
mungkin akan tersalurkan, tapi konsekuensinya terlalu berat. Dia tak
boleh membiarkannya terjadi.

90 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Drake,” kata Lauri terpatah-patah, “kita tidak boleh melakukannya.”
Napas pria itu menderu ketika dia berkata parau di telinganya, “Ya,
boleh. Kalau kita tidak melakukannya, aku bakal meledak.”
“Drake, tolonglah,” kata Lauri putus asa, dan berusaha
mendorongnya. “Tidak, tidak,” dia memohon. Dia masih dalam
bahaya, karena sewaktu-waktu bisa kembali ke alam impian di mana
nafsu membutakan semua pikiran rasional.
Drake mengangkat kepala dan menatapnya tajam. Tangan yang
mencengkeram lengan atas Lauri bagai gelang baja. “Kenapa? Sialan,
kenapa?” Dia mengguncangnya sedikit. “Kau senang melakukan ini
terhadapku, ya?” Ditempelkannya pangkal pahanya lagi.
Lauri menelan ludah dengan malu dan mengalihkan pandangan dari
tatapannya yang menusuk. Dia telah merasakan bangkitnya gairah
pria itu, dan hal itu membuat gairahnya sendiri timbul kembali. Dia
ingin bilang, “Kalau kau mencintaiku, aku akan langsung bercinta
denganmu. Tapi aku tidak mau jadi bayang-bayang istrimu. Aku
tidak mau disakiti lagi oleh orang yang membutuhkan aku cuma
kalau dia sedang ingin.” Dia tak sanggup mengatakan semua itu.
Bahkan kalaupun sanggup, tak ada bedanya; keadaan mereka akan
tetap sama. Dia tetap mencintai Susan.
“Drake, kau tahu tidak bijaksana jika kita bermain api seperti ini.
Kalau kita menjalin hubungan asmara, aku harus meninggalkan
Jennifer. Aku tinggal bersamamu, tapi hanya dalam pengertian kita
memiliki alamat yang sama. Paul berusaha membujukku supaya
tinggal bersamanya sebelum kami menikah. Aku tidak bisa
melakukannya saat itu. Sekarang juga tidak. Pandanganku kuno, aku
tahu, tapi begitulah aku dibesarkan.”
“Yeah?” desis Drake. “Yah, ngomong-ngomong soal besar, akhir-
akhir ini hasratku juga sering membesar.”
Lauri terkesiap mendengar omongan kasarnya. “Menjijikkan,”
semburnya. “Lepaskan aku!”

91 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Dengan kasar Drake mendorongnya sambil mundur selangkah.
Mereka sama-sama kaget ketika Lauri terseret dan menubruk dada
Drake. Lengan pria itu memeluknya supaya dia tidak jatuh.
“Apa-” tukas Lauri sementara Drake tertawa terbahak-bahak.
“Aku tidak tahu siapa yang salah, tapi kelihatannya kita telah
menyatu.”
“Apa?” tanya Lauri bingung.
“Gesper ikat pinggang kita saling mengait,” Drake menjelaskan.
Lauri memandang sekilas pinggangnya dan melihat pria itu memang
benar. Drake memakai jins dengan ikat pinggang koboi dari kulit
dengan gesper besar berhiasan banyak. Lauri juga memakai jins, dan
walaupun gespernya tidak bergaya koboi seperti pria itu, entah
bagaimana gesper mereka saling mengait waktu mereka berpelukan.
Lauri memandang pria itu dengan kalut. “Apa yang harus kita
lakukan?” tanyanya.
Drake geli memikirkan situasi mereka. “Kita bisa bersenang-senang.”
Dia diam waktu melihat mata Lauri membelalak cemas. “Atau kita
bisa berusaha melepaskannya,” dia menambahkan dengan tenang.
“Yang mana pun, aku tidak bisa melihat apa yang kulakukan.
Miringkan tubuhmu ke kiri sedikit supaya aku bisa melihat.”
Ketika payudaranya bersentuhan dengan dada pria itu, serentak
Lauri menyentakkan kepala ke atas untuk melihat apakah pria itu
menyadarinya, dan cengiran senang dan konyol Drake menunjukkan
dugaannya benar. “Betul, kan, ini mengasyikkan?” godanya.
“Tolong cepatlah,” Lauri mengingatkan. “Bagaimana kalau rumah ini
terbakar?”
“Kita akan memberi para petugas pemadam kebakaran bahan
omongan selama bertahun-tahun.”
“Drake-”

92 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Oke, oke, pencemas.” Dia mengamati gesper-gesper logam mereka.
“Masukkan tanganmu ke dalam jinsku,” katanya akhirnya.
Lauri mendongak dengan skeptis. “Oh, memang itu maumu,”
katanya ketus.
Pria itu tidak bisa menahan cengiran lebarnya. “Aku tidak main-
main. Masukkan tanganmu ke balik gesperku, dan begitu
kukomando, dorong tanganmu.”
Lauri menghela napas dan memandangnya dengan sebal sambil
menyusupkan tangannya dengan ragu-ragu ke balik jins ketat pria
itu. Ujung kemejanya tersibak di bawah pinggang, dan tangannya
menyentuh kulit hangat yang tertut
up bulu sehalus satin. Tanpa sadar matanya beralih ke bagian leher
kemeja Drake, tempat bulu-bulu ikal berwarna gelap itu kering dan
menggumpal. Kekontrasan keduanya terasa mengejutkan. Secara
refleks jari-jarinya bergerak di balik jins ketat untuk menyelidik
lebih jauh.
Mata pria itu menggelap sesaat, dan otot di rahangnya berdenyut,
tapi dia cepat-cepat memandang gesper-gesper yang saling mengait
itu. “Sekarang aku melakukan ini,” katanya sambil menyusupkan
tangan ke balik pinggang celana Lauri. Lauri terkesiap dan napasnya
tersentak, hingga menimbulkan cekungan di perut, membuat tangan
pria itu lebih leluasa bergerak.
“Aku cuma melakukan apa yang harus dilakukan,” katanya sok polos.
Namun jari-jarinya bergerak-gerak di kulit mulus perut Lauri, dan
Lauri dapat merasakan jantungnya berdentam-dentam.
“Miringkan kepalamu ke kiri lagi,” kata pria itu di dekat kepalanya.
Napasnya meniup helai-helai rambut merah di pelipis Lauri. Sebagai
reaksi terhadap jari-jari yang terus bergerak di balik jinsnya itu,
payudaranya menegang. Dia tak sanggup menatap mata Drake.
“Oke... sekarang dorong gesperku,” kata Drake. Lauri melakukan
perintahnya sementara jari-jari pria itu melakukan hal yang sama di

93 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

gespernya. Beberapa detik kemudian terdengar suara logam
bergesekan, dan gesper-gesper itu pun terpisah.

Lauri buru-bum menarik tangannya. Tangan Drake jauh lebih
lambat meninggalkan kehanga tan di dalam jinsnya, tapi dia cepat-
cepat menjauhi pria itu.
Ia bertanya kesal sambil berkacak pinggang, “Apanya yang sulit?
Kenapa kita tidak bisa mendorong gesper masing-masing serentak
berbarengan?”
Pria itu mengangkat bahu dengan tak acuh dan bersandar di mesin
cuci. “Kurasa memang bisa, tapi siku kita akan menghalangi, dan aku
mungkin tidak dapat melihat apa yang kulakukan.” Matanya mulai
berbinar. “Dan rasanya pasti tidak seasyik tadi”

“Kau-kau-” Lauri tergagap, mengentakkan kaki dan menyingkirkan
pria itu untuk mengambil pakaian dalam berendanya. “Mulai
sekarang biar kucuci sendiri pakaianku!”
Ketika dia bergegas keluar dari ruang cuci, tawa Drake
mengikutinya.
“Aku saja,” seru Lauri sambil melintasi ruang tamu untuk membuka
pintu depan setelah terdengar bunyi bel. Dia meninggalkan Drake di
dapur untuk mencuci piring-piring bekas sarapan sementara di a dan
Jennifer masuk ke kelas untuk mulai belajar.

Tiga hari sudah berlalu sejak insiden di ruang cuci, namun ingatan
tentang kejadian itu selalu dengan cepat membuat napas terengah-
engah dan jantung berdebar-debar. Lauri sengaja sedapat mungkin
sengaja menghindari Drake. Dia kesal sekali karena pria itu
menganggap kelakuannya ini sangat menggelikan.

Drake mengawasinya. Dia mengamati setiap gerakannya dan
memperhitungkan reaksinya terhadap situasi apa pun. Sebagai
balasan, Lauri sering marah-marah padanya, tapi pria itu cuma
nyengir santai, membuatnya makin kesal.

Lauri membuka pintu depan dan menyapa pria besar berjanggut
yang berdiri di depan pintu. “John! Masuklah.”

94 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Terima kasih, Lauri. Semoga aku tidak mengganggu.”

“Tidak. Jennifer dan aku baru akan memulai pelajaran, tapi bisa
menunggu. Dia pasti ingin bertemu kau. Kau salah satu favoritnya,
kau tahu.” Lauri tersenyum pada pria yang diam-diam dijulukinya “si
raksasa berhati lembut”.

Suatu siang dia dan Jennifer berjalan-jalan di jalanan berbukit
Whispers dan tertarik pada sebuah toko kerajinan kayu. Pemiliknya
John Meadows. Dia pria-bertubuh besar dengan bahu lebar dan dada
bidang. Rambut cokelat tuanya tergerai hampir sebahu dan membaur
dengan janggutnya yang lebat.

Mata cokelatnya sayu dan alisnya berantakan.

Sikapnya lembut dan baik hati, juga suaranya yang halus, kontras
dengan tubuhnya yang bisa menakutkan orang itu. Pria itu segera
menyukai wanita muda berambut merah yang masuk ke tokonya
sambil menggandeng seorang anak secantik bidadari.

Tokonya kecil, penuh sesak, dan berbau kayu dan pernis. Selain
kerajinan tangan indah dari kayu, John juga membuat perabotan.
Tangannya yang besar dan berbulu dengan luwes memegang alat-
alat kecil itu.

Lauri senang ketika John berbicara dalam bahasa isyarat pada
Jennifer, dan mereka bertiga langsung akrab. Beberapa hari
seminggu, kalau Lauri ada keperluan di kota, dia dan Jennifer
mengunjungi John.

Jennifer keluar dengan gembira dari kelas setelah Lauri
memberitahunya tentang tamu mereka. Dia berlari mendatangi John,
yang membungkuk dan mengangkat gadis kecil itu tinggi-tinggi
dengan lengannya yang tegap. Jennifer menjerit senang.

Tawa melengkingnya membuat Drake keluar dari dapur. Dengan
mata menyipit dia mengamati pria bercelana terusan yang begitu
akrab menggendong putrinya.

Aku membawa hadiah untukmu, Jennifer, John mengisyaratkan
setelah meletakkan anak itu di lantai dan bertumpu di satu lutut di

95 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

sampingnya. Dia merogoh saku besar celana terusannya dan
mengeluarkan sebuah kotak terbungkus tisu.
Jennifer menerimanya dengan malu-malu dan memandang Lauri
untuk minta petunjuk dan izin.
“Kau harus bilang apa padanya, Jennifer?” tanya Lauri.
Terima kasih, Jennifer mengisyaratkan. John membalasnya dengan
Sama-sama. “Bukalah,” perintah Lauri ketika Jennifer cuma
mempermainkan pita merah yang diikatkan di sekeliling kotak itu.
Jennifer mengikik sementara para orang dewasa memperhatikan.
Dibukanya pita dan kertas dari kotak dan diangkatnya tutupnya. Di
dalam terdapat tiga patung mini anggota keluarga beruang. Jennifer
mendesah kagum waktu dengan hati-hati mengeluarkan patung-
patung ukiran kayu itu dari kotak.
“Kupikir kau bisa memanfaatkan mereka dalam suatu cerita. Ada
ayah, ibu, dan bayi beruang,” kata John halus sambil tersenyum
lembut. “Oh, John, bagus sekali,” puji Lauri, mem-bungkuk untuk
mengamati patung-patung tersebut. “Aku pasti bisa
menggunakannya, dan ikut berterima kasih bersama Jennifer. Dia
akan menyukainya, aku yakin.”
“Kurasa kita belum berkenalan,” potong Drake dengan suara bernada
tajam.
Dia mendekati John dan mengulurkan tangan. “Drake Rivington,
ayah Jennifer.”
Apakah cuma khayalan Lauri, atau betulkah dia menekankan
hubungannya dengan putrinya?
“Maafkan aku, Drake. Aku tadi tidak melihatmu, kalau tahu kau ada
pasti aku sudah memperkenal-kanmu,” kata Lauri. “Ini John
Meadows, temanku dan Jennifer. Dia perajin kayu dan memiliki toko
bagus di Whispers. Jennifer dan aku berkenalan dengannya pada
minggu pertama kami di sini, dan sejak itu sering mengunjunginya.”
“Halo, Mr. Rivington.” Tangan John menggenggam dan
menenggelamkan tangan Drake. “Senang berkenalan dengan Anda.

96 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Anak Anda cantik. Aku senang berteman dengannya, juga dengan
Lauri.” Alis cokelatnya terangkat ketika dia memandang Lauri
dengan hangat. Baik dia maupun Lauri tidak melihat denyutan di
rahang Drake dan kilat kemarahan yang bersinar di mata hijaunya.
“Sudah berapa lama Anda tinggal di Whispers?” Drake bertanya.
John mengalihkan perhatiannya ke Drake dan dengan sopan
memandangnya. “Sejak lulus kuliah. Sekitar delapan tahun yang
lalu.”
“Anda kuliah berapa tahun? Anda pasti memperoleh beberapa gelar,
ya.” Lauri kaget mendengar kekasaran Drake. Pria itu sengaja
menyerang John, dan dia tidak bisa menebak alasannya.
Dipandangnya Drake dengan kesal, tapi pria itu menatap John dan
mengabaikannya.
John kelihatannya tidak marah diperlakuk an begitu kasar dan
menjawab ramah, “Aku cuma me miliki satu gelar, di bidang filosofi.”
“Hmm,” kata Drake, sengaja tidak mengatakan maksud sebenarnya.
“Pantas.”
Lauri marah sekali padanya, tapi menahan diri ketika bertanya pada
John, “Kau mau duduk dulu dan minum kopi?”
“Tidak, aku harus pulang dan membuka toko. Aku sudah terlambat
satu jam, tapi aku ingin mengantarkan ini pada Jennifer.” Dia
memandang si anak, yang duduk di lantai bersama keluarga
beruangnya dan mengobrol dengan mereka, tak terpengaruh dengan
ketegangan di antara ketiga orang dewasa itu. “Aku juga ingin
memberitahumu bahwa aku tidak bisa menepati janji kencan kita
Selasa malam ini. Aku harus pergi ke Santa Fe dan mengambil
beberapa barang. Mungkin aku akan di sana selama beberapa hari.”
Dari sudut matanya Lauri melihat Drake makin menegakkan tubuh
dan menyilangkan tangan di dada dengan gaya kesal.
“Tidak apa-apa, John. Kami akan mengunjungimu setelah kau
kembali.”

97 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Bagus.” Dia tersenyum lembut, lalu menoleh pada Drake. “Senang
bertemu Anda, Mr. Rivington. Silakan kapan-kapan mampir ke
tokoku.”
“Saya ragu akan punya waktu untuk itu, tapi akan saya ingat tawaran
Anda.” Dia memandang licik pada Lauri sebelum menambahkan,
“Karena saya sekarang tinggal di sini, saya rasa Lauri dan Jennifer
tidak bisa sering-sering menemui Anda lagi. Saya merencanakan
untuk membuat mereka sibuk.”
Lauri sesak napas menahan marah dan malu. Maksud terselubung
Drake begitu jelas, dan John pun mengetahuinya. Pria itu
memandang Lauri dengan ekspresi bertanya. Kemudian alis beranta-
kannya kembali lurus di atas mata cokelatnya. Di mata itu hanya ada
pengertian, tanpa celaan sedikit pun. Ingin Lauri memeluknya
karena begitu baik dan toleran.
John berjongkok supaya sama tinggi dengan Jennifer dan mereka
mengisyaratkan beberapa kalimat. Lauri berusaha menarik perhatian
Drake, tapi pria itu sengaja tidak mau memandangnya dengan
mengamati kuku ibu jarinya.
“Aku minta maaf telah membuat pelajaranmu tertunda, Lauri,” kata
John sambil berdiri, menjulang di atasnya. “Aku berharap kita bisa
segera bertemu lagi.”
“Terima kasih sekali lagi karena kau telah mampir dan membawakan
hadiah untuk Jennifer. Kembalilah kapan-kapan,” kata Lauri tulus.
John memandang Drake dengan hati-hati, tapi pria itu cuma
mengangguk dan berkata singkat, “Mr. Meadows,” dan tidak
menegaskan undangan Lauri pada John.
John membalas anggukan Drake, dan berkata, “Lauri,” kemudian
melangkah melewati pintu dan berjalan pelan menuruni tangga
teras.
Lauri menutup pintu pelan-pelan, menahan keinginan untuk
membantingnya dengan kemarahan menggelegak yang ingin
ditumpahkannya pada Drake. Dia perlahan-lahan berbalik untuk

98 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

menghadapi pria itu. Drake menunggunya sambil ber-kacak
pinggang.
Lauri marah sekali, dan suaranya bergetar ketika dia berkata, “Kau
tadi amal sangat kasar pada pria baik dan penuh pengertian itu, dan
aku ingin tahu sebabnya.”
“Dan aku ingin tahu kenapa kau membawa putriku ke mana-mana
dengan hippie tua itu.”
“Hippie!” teriak Lauri marah. “Dari buku sejarah mana kau
mengetahuinya?”
“Demi Tuhan, sudah jelas dia lahir tahun enam puluhan. Jorok,
gondrong. Ajaib di lehernya tidak ada kalung manik-manik. Dan
namanya pasti John. Sang Kekasih,” ejek Drake. “Tipe seperti dia
takkan berhasil di dunia nyata, jadi mereka menjadi mahasiswa abadi
atau menyepi di kota-kota pegunungan dan menyebut diri mereka
seniman. Dia tampak seperti yeti. Atau Grizzly Adams.” “Kau sendiri
berkumis, Mr. Rivington,” seru Lauri. “Kumisku tidak berlepotan
pasta gigi, tahu,” Drake balas berteriak.
“Sama saja. Barusan kau juga bilang dia jorok! Mana yang benar?”
Drake melotot marah dan mendatanginya dalam dua langkah
panjang. Dicengkeramnya lengan atas Lauri dan ditariknya wanita
itu ke arahnya. “Apa maksudnya dengan janji kencan Selasa malam,
hah? Kau membawa Jennifer juga?”
Lauri membebaskan diri dari cengkeramannya dan menjauh. “Ya.
Tiap Selasa malam John menutup tokonya satu jam lebih cepat. Kami
menemuinya ketika dia menutup toko dan pergi makan malam
bersama.”
“Aku yakin, karena baik dan penuh pengertian” cemooh Drake, “dia
pasti mengantarkanmu pulang Berapa lama dia di sini? Apa dia
terlambat satu jam membuka toko kecilnya keesokan harinya?”
Suaranya semanis madu meskipun wajahnya kaku. Kecurigaannya itu
begitu konyol sehingga, kalau saja Lauri tidak semarah ini, dia pasti
menertawa-kannya.

99 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Itu bukan urusanmu,” bentak Lauri.
“Enak saja. Ini rumahku!”

“Tidak semua orang dikuasai nafsu birahinya- seperti kau, Mr.
Rivington,” Lauri menuduh sengit.
“Akan kutunjukkan nafsu birahiku padamu,” geram Drake. “Sudah
lama aku ingin melakukannya.” Dia memeluknya lagi, dan kali ini tak
ada jalan untuk meloloskan diri. Lengan pria itu menjepit lengannya.
Usaha untuk melepaskan pelukannya akan sia-sia saja, tapi Lauri
tidak mau menciumnya. Dirapatkannya bibirnya, dilawannya
keinginannya untuk menyambut ciuman pria itu.

Beberapa saat kemudian Drake mengangkat kepala. Lauri sejak tadi
memejamkan mata rapat-rapat, tapi rasa ingin tahunya menang, dan
dia membuka mata sedikit. Wajah pria itu tak jauh dari wajahnya.
“Kau takut menciumku, kan? Kau tahu apa yang terjadi padamu tiap
kali kau menciumku, dan kau melawan keinginanmu, kan?”
Lauri tercengang mendengar kesombongannya. “Tidak!” serunya.
Drake tersenyum malas dan melepaskan pegangannya.
“Kalau begitu, buktikan,” tantang Drake. “Cium dan yakinkan aku
bahwa sekujur tubuhmu tidak akan jadi bergairah.” Matanya
menantang ketika menj elajahinya, berhenti di tempat-tempat yang
dia tahu ak an bereaksi terhadap ciumannya.

Jika dia mencoba memaksanya untuk menciumnya, Lauri pasti
sanggup melawan. Tapi tantangan mencemooh itu justru berhasil
memancingnya. Dia tidak bisa mengelak dari tantangan itu.
Kemarahannya sudah mencapai titik didih. Jelas Lauri takkan
menang jika berkelahi secara fisik dengannya, tapi dia bisa
mengalahkannya dengan cara lain. Dia akan menunjukkan pada pria
itu bahwa dia tidak takluk pada pesonanya seperti wanita-wanita lain
yang ditemuinya. Akan ditunjukkannya pada Drake bahwa dia kebal
terhadap keseksiannya.
Matanya menyipit dan tampak seperti bara ketika dia mengangkat
tangan dan memegang kepala pria itu. Dia ragu-ragu sesaat, tapi

100 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m


Click to View FlipBook Version