The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by misbahul munir, 2020-07-24 03:31:00

Gaung_Keheningan

Gaung_Keheningan

Gaung Keheningan

(Eloquent Silence)
by

Sandra Brown

1|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 1

“Menurutmu, suamimu tahu tentang hubungan kita, Sayang?” Pria
itu mengecup kening kekasihnya sambil memeluknya dengan penuh
kerinduan.
“Kalaupun dia tahu, aku tidak peduli,” seru wanita itu. “Aku capek
sembunyi-sembunyi. Aku ingin memberitahu semua orang tentang
cinta kita.”
“Oh, cintaku, cintaku.” Pria itu menunduk. Hidungnya bertabrakan
dengan hidung si wanita dengan cara yang sama sekali tidak
romantis.
“Cut!”
Lauri Parrish terlonjak mendengar perintah bernada kesal dari
pengeras suara.
“Ada apa sih kalian? Mengapa tidak bisa melakukan semua adegan
dengan benar? Sudah satu setengah jam kita membuat adegan sialan
ini.” Suasana hening, para artis dan kru jadi salah tingkah. “Aku akan
turun.”
Lauri mengamati dengan penuh minat waktu si aktris menoleh ke
arah pemeran utama pria dan berkata sengit, “Aku yang seharusnya
menghadap ke Kamera Satu, Drake. Bukan kau.”
“Kalau begitu sebaiknya kau belajar berhitung dulu. Lois. Itu Kamera
Tiga. Lagi pula, apa kau tidak takut Kamera Satu akan
menampakkan bekas operasi plastik mukamu?”
“Bangsat,” desis si aktris sambil menerobos para juru kamera yang
tersenyum geli dan melangkah cepat melintasi lantai beton studio
televisi ke arah ruang ganti pakaian.
Seluruh kejadian tadi menggelitik rasa tertarik Lauri Parrish, yang
takjub ketika mendapati dirinya berada di lokasi syuting The Heart's
Answer, sinetron siang yang populer. Dia tidak pernah menonton

2|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

televisi siang hari, karena dia selalu bekerja, tapi semua orang di
Amerika tahu tentang acara ini. Banyak wanita karier sengaja
mengatur jam makan siang mereka bertepatan dengan jam tayang
drama ini supaya bisa tetap mengikuti petualangan seksual dan krisis
pribadi Dr. Glen Hambrick.
Beberapa hari yang lalu, Dr. Martha Norwood, pendiri Norwood
Institute for the Deaf-Institut Tuna Rungu Norwood-tempat Lauri
jadi guru, memberinya tawaran pekerjaan menjadi tutor pribadi.
“Kita punya siswa di sini, Jennifer Rivington, yang ingin dikeluarkan
ayahnya dari sekolah.”
“Saya tahu siapa Jennifer,” kata Lauri. “Dia hanya menderita tuli
parsial, tapi sama sekali tidak mau berkomunikasi.”
“Karena alasan itu ayahnya sangat prihatin.”
“Ayah? Tidak ada ibu?”
Dr. Norwood ragu-ragu sebentar sebelum berkata, “Tidak, ibunya
sudah meninggal. Pekerjaan ayahnya tidak biasa. Pria itu terpaksa
menitipkan Jennifer pada kita sejak masih kecil. Anak itu tidak bisa
menyesuaikan diri. Sekarang si ayah ingin mempekerjakan tutor
pribadi untuk tinggal bersamanya di rumah. Kupikir kau mungkin
berminat, Lauri.”
Lauri mengerutkan sedikit alisnya yang berwarna merah
kecokelatan. “Entahlah. Bisakah Anda lebih spesifik?”
Wanita yang sudah beruban dan memiliki mata biru yang cerdas itu
mengamati gurunya yang penuh dedikasi. “Saat ini tidak. Aku bisa
memberitahumu bahwa Mr. Rivington ingin si tutor membawa
Jennifer ke New Mexico dan tinggal di sana. Dia punya rumah di
kota kecil di pegunungan.” Dr. Norwood tersenyum lembut. “Aku
tahu kau ingin meninggalkan New York. Dan kau jelas memenuhi
syarat untuk menangani pekerjaan seperti ini.”
Lauri tertawa pelan. “Karena besar di Nebraska, saya menganggap
New York agak sesak dan ramai. Sudah delapan tahun saya di sini,
tapi tetap saja saya merindukan tempat-tempat terbuka yang luas.”

3|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Dia menyibakkan seuntai rambut merah kecokelatannya yang jatuh
di kening. “Menurut pendapat saya, Mr. Rivington seperti mengelak
dari kewajibannya mengurus anaknya sendiri. Apakah dia termasuk
jenis orangtua yang membenci anaknya karena tuli?”
Dr. Norwood menatap tangannya yang terawat rapi, yang saling
menggenggam di permukaan meja kerjanya. “Jangan terlalu cepat
menghakimi, Lauri.” dia menegur halus. Kadang-kadang pegawainya
ini membiarkan dirinya termakan emosi. Lauri Parrish hanya punya
satu kelemahan, yaitu terlalu cepat menarik kesimpulan. “Seperti
kataku tadi, situasinya tidak biasa.”
Dia berdiri, menandakan pertemuan telah selesai. “Kau tidak harus
memutuskan hari ini, Lauri. Aku ingin kau mengamati Jennifer
selama beberapa hari. Bertemanlah dengan dia. Setelah itu, kalau ada
kesempatan, kurasa sebaiknya kau dan Mr. Rivington bertemu dan
bicara.”
“Saya- akan berpartisipasi sebanyak mungkin, Dokter Norwood.”
Ketika Lauri sampai di pintu kaca buram, Dr. Norwood
menghentikannya. “Lauri, seandainya kau ingin tahu, uang bukan
masalah.”
Lauri menanggapi dengan jujur. “Dokter Norwood, kalau saya
menerima tugas mengajar privat, itu karena menurut saya itulah
yang dibutuhkan si anak.”
“Sudah kuduga,” jawab Dr. Norwood, tersenyum.
Tadi pagi Dr. Norwood memberinya sepotong kertas berisi sebuah
alamat dan berkata, “Pergilah ke alamat ini pukul tiga nanti. Cari
orang bernama Mr. D. L. Rivington. Dia akan menunggu
kedatanganmu.”
Lauri terkejut waktu sopir taksi berhenti di alamat yang
diberikannya dan dia melihat tempat itu berupa gedung berisi studio-
studio untuk sebuah jaringan televisi. Dia memasuki gedung itu
dengan perasaan penasaran tentang Mr. Rivington yang misterius.
Ketika memberitahu resepsionis dia ingin bertemu pria itu, wanita

4|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

muda yang cantik itu tampak bingung sebentar lalu mengikik ketika
berkata, “Lantai tiga.”
Lauri berjalan ke lift namun gadis tadi berkata, “Tunggu sebentar.
Siapa nama Anda?” Lauri memberitahunya. Resepsionis itu
menyusuri daftar yang diketik, lalu berkata, “Ini dia. Miss L. Parrish.
Anda bisa langsung naik, tapi jangan berisik. Mereka masih
mengambil gambar.”
Lauri keluar dari lift dan mendapati dirinya berada di studio televisi
luas. Dia terpesona melihat perlengkapan dan aktivitas di sana.
Studio yang seperti lumbung itu dibagi menjadi berbagai setting
untuk sinetron itu. Satu setting dilengkapi dengan tempat tidur
rumah sakit dan peralatan medis palsu. Setting yang lain berupa
ruang tamu. Setting dapur mungil terletak cuma empat kaki dari
situ. Dia berjalan ke sana kemari di studio, mengintip semua setting
dengan rasa ingin tahu, berusaha tidak tersandung bermil-mil kabel
yang terulur di lantai dan bergulung di sekitar kamera-kamera dan
monitor-monitor studio.
“Hei, Manis, cari siapa?” tanya seorang juru kamera bercelana jins
ketat dengan riang.
Karena kaget Lauri menjawab tergagap, “Saya... uh... ya. Mr.
Rivington? Saya ingin bertemu dia.”
“Mr. Rivington?” tiru juru kamera itu seolah Lauri mengucapkan
sesuatu yang lucu. “Hebat. Kau sudah ditanyai di bawah?” Lauri
mengangguk. “Kalau begitu kau boleh menemuinya. Bisa kau
menunggu sampai kami menyelesaikan adegan ini?”
“Saya... ya,” kata Lauri.
“Tunggulah di sana, jangan mengeluarkan bunyi apa pun dan jangan
menyentuh apa pun,” juru kamera itu memperingatkan.
Lauri berdiri di belakang kamera-kamera yang difokuskan pada
setting yang menurutnya tampa k seperti ruang duduk rumah sakit.

5|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Sekarang, selama jeda tak direncanakan ini, Lauri mengamati aktor
pujaan jutaan wanita Amerika itu. Pria itu duduk santai di salah satu
meja setting, sambil makan apel yang diambilnya dari keranjang di
meja itu. Lauri ingin tahu apakah para penggemarnya akan tetap
terpikat padanya kalau mereka mendengar Drake Sloan bicara begitu
kasar pada sesama pemain. Tapi bukankah sikap kasar merupakan
bagian dari daya tariknya? Dia adalah dokter macho yang bersikap
seenaknya pada semua orang di rumah sakit fiktif itu. Tapi ia
membuat setiap wanita bertekuk lutut dengan sikap dominan dan
penampilannya yang seksi.

Lauri berpikir objektif, yah, wanita sebanyak itu tak mungkin salah.
Pria itu memang memiliki daya tarik karena macho-nya-kalau kau
suka tipe seperti itu. Penampilan fisiknya langsung menarik
perhatian. Rambutnya berwarna kelabu-cokelat yang ganjil, namun
disinari lampu studio warnanya jadi tampak hampir perak. Kontras
dengan rambut perak aneh itu, alisnya tebal dan kumisnya berwarna
gelap. Kumis itu cocok dengan bibir bawahnya yang tampak kurang
ajar tapi seksi, yang menyebabkan para ibu rumah tangga, wanita
karier, dan bahkan nenek-nenek bergairah. Bagian wajahnya yang
paling memikat adalah matanya. Matanya berwarna hijau mencolok.
Dalam gambar-gambar close-up, mata itu tampak bagai
memancarkan api yang mampu melumerkan hati wanita paling
dingin sekalipun.

Dari tempat pengamatannya di luar lingkaran lampu studio yang
terang benderang, Lauri memandangi Drake Sloan ketika pria itu
berdiri, menggeliat seperti kucing malas, dan melemparkan sisa apel
ke keranjang sampah dengan jitu.

Lauri mencemooh kostumnya. Ia ragu dokter yang memakai celana
panjang seketat itu bisa sigap mengobati orang sakit. Pakaian bedah
berwarna hijaunya dibuat khusus untuk tubuhnya yang jangkung
dan langsing. Leher kemejanya berbentuk V rendah yang
menampakkan dada berbulu hitam. Mana mungkin pakaian seperti
itu diizinkan di ruang operasi! pikir Lauri.

Mendengar suara orang sedang menghibur rekannya di
belakangnya, Lauri berbalik. Pria yang diduganya tadi berbicara dari

6|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

ruang kontrol sedang berjalan menuju setting sambil merangkul si
aktris yang sakit hati.
“Dia tidak mau diarahkan,” keluhnya. “Dia tahu masalah blocking,
tapi begitu kamera dinyalakan, dia berbuat seenak perutnya.”
“Aku tahu, aku tahu, Lois. Tidak bisakah kau menahan diri dan
mentolerirnya demi aku?” tanya si sutradara dengan nada simpatik.
“Mari kita selesaikan jadwal hari ini, lalu kita bicarakan persoalannya
sambil minum-minum. Aku akan bicara dengan Drake. Oke? Nah.
sekarang coba tunjukkan senyum manismu.”
Rayuan gombal, Lauri mengomel dalam hati. Temperamen artis. Ia
tahu sekali soal itu. Katakan pada mereka apa yang ingin mereka
dengar dan redakan paranoia mereka sampai mereka kumat lagi.
Kedua orang itu bergabung dengan Drake Sloan di setting, dan
mereka bertiga berdiskusi singkat. Kru, yang menikmati jeda dengan
merokok, membaca majalah, atau mengobrol, kembali ke posisi
mereka di balik kamera dengan mulai memasang headphone. Dari
alat inilah masing-masing menerima instruksi dari sutradara di
ruang kontrol.
Operator boom-microphone mengutak-atik peralatannya yang rumit.
Dengan gerakan kaku dan tersendat-sendat, alat itu tampak seperti
binatang prasejarah.
Sutradara mencium pipi Lois dan menjauhi setting. “Sebelum aku
kembali ke atas, mari kita latih adegannya sekali lagi. Cium dia
dengan mesra, Drake. Dia kekasihmu, ingat?”
“Pernah kekasihmu makan piza anchovy, Murray?”
Lois menjerit kesal.
Kru tertawa terbahak-bahak. Murray berhasil menenangkannya lagi.
Kemudian dia berkata, “Mulai.”
Salah satu kamera pindah ke posisi baru yang menutupi pandangan
Lauri. Meskipun semula ia tidak suka, ternyata sekarang dia tertarik
pada sesi pengambilan gambar ini. Ia mengambil tempat yang pas

7|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

agar dapat melihat dan mendengar dengan jelas. Kali ini setelah
dialog hambar mereka selesai, Drake Sloan memeluk Lois dan
menciumnya dengan ganas.
Jantung Lauri berdebar-debar ketika ia menatap bibir pria itu
menutupi bibir si aktris. Orang yang melihat seperti bisa merasakan
ciuman itu, seperti bisa membayangkan... Lauri bersandar di meja
seting supaya pemandangannya lebih jelas. Suara benda pecah
mengalihkan pandangan semua orang dari para aktor di setting.
Mereka semua memandanginya!
Lauri melompat kaget, ketakutan karena telah menarik perhatian.
Dia tadi tidak melihat vas kaca tinggi di meja. Sekarang benda itu
pecah be-rantakan di lantai studio.
“Brengsek!” teriak Drake Sloan. “Apa lagi sekarang?” Dia
mendorong Lois dan melintasi lantai studio dalam tiga langkah
panjang dan mantap. Murray mengikutinya, kesabarannya habis, tapi
ia tetap tenang.
Si aktor memelototi Lauri dan wanita itu mengeret melihatnya.
“Siapa-”
“Dia kemari untuk menemui Mr. Rivington,” potong juru kamera
yang tadi bicara dengan Lauri.
Mata hijau Drake Sloan yang gelap kini berkilat-kilat membuat
Lauri terpaku. Mata pria itu melebar karena ingin tahu. “Mr.
Rivington, heh?” Terdengar kru tertawa pelan. “Murray, aku tidak
tahu kau mulai mengizinkan pramuka mengunjungi setting untuk
acara jalan-jalan mereka.” Kali ini kru tertawa keras.
Lauri tidak terkesan dengan selera humor Drake Sloan dan marah
besar karena dia jadi objek leluconnya. Wajahnya sama merahnya
dengan highlight rambutnya, dan mata cokelatnya menyipit
memandang pria itu sementara dia merasa kemarahannya
memuncak.
“Maaf saya telah mengganggu-kegiatan Anda,” kata Lauri angkuh.

8|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Dia tidak tahu istilah untuk sesi pengambilan gambar ini, dan dia
tidak peduli. Dia berpaling dari tatapan sinis Drake Sloan dan bicara
pada Murray yang tampaknya sopan. “Saya Lauri Parrish dan saya
diminta menemui Mr. Rivington di sini pada pukul 15.00. Saya minta
maaf atas penundaan yang saya sebabkan.”
“Cuma satu dari sekian banyak penundaan hari ini,” kata pria itu,
menghela napas berat. Lalu sambil sembunyi-sembunyi melirik
Drake Sl oan, ia berkata, “Mr. Rivington sedang sibuk. Maukah ka u
menunggunya di kantorku? Tidak lama lagi dia akan menemuimu.”
“Ya, terima kasih,” jawab Lauri. “Biar vas ini saya ganti dengan
uang.”
“Lupakan saja. Pergilah ke atas dan lewati ruang kontrol. Kantorku
persis di seberang koridor.”
“Terima kasih,” ulang Lauri sebelum berputar dan, menyadari bahwa
semua mata di studio memandangnya, menaiki tangga putar. Ketika
dia tiba di atas, Murray sudah mengembalikan setiap orang ke posisi
masing-masing.
Lauri sebetulnya ingin berhenti dan melihat-lihat panel kontrol-
komputer yang menarik dan rumit. Berbagai monitor yang dipasang
di atasnya membuat sutradara dapat melihat bagian mana yang
disorot kamera-kamera, dan dia melihat wajah Drake Sloan. Ingin
sekali rasanya dia menjulurkan lidah pada pria itu.
Lauri menjatuhkan diri ke satu-satunya kursi yang tersedia di kantor
itu selain yang terbuat dari vinil pecah-pecah di balik meja kerja
berantakan. Dia memandangi foto-foto berdebu di dinding yang
menampakkan Murray bersama berbagai aktris, sutradara, dan orang
penting.
Siapa sih sebetulnya si Mr. Rivington ini? Apakah dia eksekutif
jaringan televisi? Teknisi? Bukan. Dia pasti orang berduit, karena
Norwood Institute mahal. Dan Mr. Rivington mengasramakan
Jennifer di sana, berarti melipattigakan biayanya. Bermenit-menit
berlalu, dan Lauri sudah mulai tak sabar ketika mendengar pintu
dibuka di belakangnya.

9|R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Drake Sloan berjalan masuk dan menutup pintu dengan tenang.
Lauri langsung berdiri. “Saya akan menemui-”
“Aku D.L. Rivington, ayah Jennifer.”
Lauri merasa bibirnya membentuk huruf O kecil. Dia memandangi
Drake Sloan sementara pria itu bersandar di pintu. Drake sudah
berganti pakaian. Sekarang dia mengenakan jins dan sweter panjang.
Lengannya yang longgar ditarik sampai siku.
“Kau tampak terkejut.”
Lauri mengangguk.
“Dokter Norwood tidak memberitahukan nama profesionalku
padamu.” Itu bukan pertanyaan. Pria itu tak sadar menggaruk
telinganya. “Tidak, kurasa dia takkan berbuat begitu. Pantas saja dia
takut kau punya kesan salah tentang aku. Aktor memiliki reputasi
buruk, kau tahu.” Sudut-sudut mulutnya naik seolah dia akan
tersenyum, tapi gerakan itu lenyap secepat timbulnya. “Terutama
kalau semua yang kaubaca di majalah penggemar benar. Tahukah
kau bahwa aku memaksa pacarku yang sekarang melakukan aborsi
minggu lalu? Setidaknya begitulah yang kubaca,” katanya sinis.
Lauri masih terlalu kaget untuk bicara. Dengan masam dia
memikirkan guru-guru lain di sekolah dan apa yang akan mereka
katakan kalau tahu dia seruangan dengan Dr. Glen Hambrick/Drake
Sloan.
Lauri selalu tenang dan kompeten-kecuali kalau emosinya sedang
tinggi. Kalau begitu, kenapa dia berdiri di sini dengan tangan
berkeringat yang saling menggenggam? Dia belum bergerak sejak
pria itu memperkenalkan diri. Lidahnya seakan melekat di langit-
langit mulutnya.
“Siapa tahu kau akan merasa senang, Miss Parrish, kuberitahu kau
bahwa kau pun tidak sesuai dengan gambaranku.” Dia maju dari
pintu dan Lauri secara refleks mundur selangkah.

10 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Pria itu melontarkan senyum yang membuat lesung pipi di pipi
kanannya yang terkenal itu makin nyata. Dia tahu Lauri merasa
canggung berduaan dengannya di kantor kecil ini. Lauri jadi kesal:
Memangnya dia siapa? Dia tak mau terpesona bagai seorang
penggemar fanatik di hadapan bintang rock idola dan tergagap-
gagap seperti idiot. Toh Drake Sloan kalau melihat pakai mata juga.
“Nama saya Ms. Parrish.”

Pria itu mengangkat sebelah alisnya dengan geli dan bergumam,
“Mestinya aku sudah tahu.” Sikap soknya membuat Lauri jengkel.

Dia berkata dengan suara paling profesional, “Dokter Norwood
mengutus saya kemari untuk membicarakan masalah Jennifer, Mr.
Rivington.”

“Drake. Kau ingin minum kopi?” Dia menunjuk mesin pembuat kopi
tempat seteko kopi sehitam dan sepekat malam sedang dihangatkan.
Lauri sebetulnya tidak mau, tapi sadar bahwa kalau memegang
cangkir kopi, dia jadi tidak bisa meremas-remas tangannya sendiri.

“Ya, tolong.”

Pria itu berjalan ke meja kecil dan dengan sangsi memandang
cangkir yang kebersihannya diragukan. Dia menuangkan kopi dan
mengangkat alis sambil bertanya, “Krim? Gula?”

“Krim.”

Dia menambahkan produk berbentuk bubuk itu ke dalam kopi dan
mengaduknya dengan sendok plastik bernoda yang jelas sudah
pernah digunakan untuk tujuan itu. Disodorkannya cangkir itu.
Lauri menerimanya. Mula-mula dia tidak melepaskannya, melainkan
terus memegangi cangkir sampai Lauri mendongak memandangnya.
Lauri menelan ludah ketika untuk pertama kalinya menatap mata
zamrud yang sekarang memantulkan bayangannya sendiri.

“Belum pernah aku melihat orang yang warna matanya sama dengan
rambutnya,” kata pria itu.

Lauri tahu rambut cokelatnya bagus. Warnanya sebetulnya cokelat
kemerahan yang memudar ketika kena sinar matahari. Yang

11 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

membuat dia lebih dari sekadar cewek berambut merah bagus adalah
warna matanya. Warna cokelat matanya begitu muda sehingga
tampak hampir seperti topaz sampai orang membandingkannya
dengan rambutnya, ketika matanya menampakkan rona cokelat
kemerahan yang tak biasa. Setelan linen kuning yang dipakainya
menonjolkan rambut dan matanya dan mencerahkan rona wajahnya
yang berwarna madu-apricot.
Terima kasih tidak bisa dibilang respons yang tepat untuk
pernyataannya barusan, karena itu bukanlah pujian sungguhan.
Lauri cuma tersenyum lemah dan berusaha lebih keras untuk
menarik cangkir kopi dari tangannya. Pria itu menyerah dan berbalik
unt uk menuangkan kopi bagi dirinya sendiri.
“Ceritakan tentang putriku, Ms. Parrish,” katanya, menekankan
bentuk panggilan itu dengan sarkasme. Dia pergi ke balik meja kerja,
duduk di kursi yang berderit-derit, dan menaikkan kaki ke meja.
Lauri duduk kaku dan tegak di kursi di hadapan pria itu. Dia
menyesap kopi. Rasanya seburuk yang diduganya. Drake terkekeh
melihatnya mengernyit. “Aku minta maaf untuk kualitasnya.”
“Tidak apa-apa, Mr. SI-Rivington.”
Lauri menatap cangkir kopi dan, waktu pria itu tidak mengatakan
apa-apa, mendongak ke arahnya. Dia kaget waktu melihat Drake
memakai bahasa isyarat untuk mengeja namanya. D-R-A-K-E. Alis
berwarna gelap pria itu berkerut di atas matanya, yang tampak
berkeras agar Lauri menggunakan nama depannya.
Lauri menjilat bibir dengan gugup, tersenyum sedikit, lalu
menggunakan bahasa isyarat untuk mengucapkan Lauri. Pria itu
menurunkan kaki, mencondongkan tubuh ke depan, menumpukan
siku di meja, dan bertopang dagu.
Lauri memutuskan sekaranglah saat yang tepat untuk menguji
keahlian Drake dalam bahasa isyarat. Dr. Norwood dengan bijaksana
tidak mau bercerita banyak tentang Drake Rivington. Lauri
sekarang mengerti bahwa penyelianya ingin dia punya pendapat
sendiri tentang ayah Jennifer itu. Menggunakan gerakan perlahan

12 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

dan jelas, Lauri bertanya padanya dalam bahasa isyarat, Apakah kau
menggunakan bahasa isyarat dengan Jennifer?
“Aku tahu Jennifer, itu saja,” katanya ketika Lauri berhenti.
Lauri mencoba lagi dan bertanya dalam bahasa isyarat, Berapa umur
putrimu? Pria itu sama sekali tak bereaksi. Dia cuma duduk
memandanginya dengan mata hijau yang tiba-tiba tanpa ekspresi.
Lauri memberi isyarat, Apa warna rambutnya? Nihil. Apakah kau
menyayangi Jennifer?
“Jennifer lagi. Maaf aku tidak tahu yang selebihnya. Kurasa ini
artinya menyayangi” Dia menyilangkan lengan di dada seperti Lauri
tadi.
“Ya, benar, Drake. Mulai sekarang, ini akan jadi namamu supaya kau
tidak perlu mengejanya terus.”
Dia membuat isyarat untuk huruf D dan menyentuhkannya ke
tengah kening. “Ini daddy,” katanya, menyentuh kening dengan ibu
jari, jari-jari yang lain mengembang.
“Kita kombinasikan keduanya. Mengerti?”
Pria itu mengangguk.
“Ini Lauri.” Lauri membuat huruf L dan mengelus bagian samping
wajahnya dari tulang pipi sampai dagu. “Ini gadis” katanya,
mengelus pipinya dengan ibu jari sementara tangannya mengepal
longgar. “Kau lihat bagaimana kita mengkombinasi dua isyarat
untuk membentuk nama seseorang?”
“Yeah,” kata Drake dengan nada bersemangat. “Untuk Jennifer kita
membuat huruf J dengan kelingking, lalu isyarat ikal untuk
menunjukkan rambut ikalnya.”
“Persis!” Mereka saling tersenyum, dan sesaat mata mereka bertemu.
Lauri merasa jauh di dalam tubuhnya ada perasaan menggelitik yang
aneh namun menyenangkan. Sedetik dia tahu bagaimana perasaan
wanita-wanita lain ketika menonton wajah tampan ini di layar
televisi mereka tiap siang. Drake memang karismatik dan pria itu

13 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

mengetahuinya, Jika dia tidak berhati-hati, Drake bisa
menghalanginya mengatakan hal-hal yang ingin disampaikannya.
“Drake,” dia menggunakan bahasa isyarat terus sekarang, bahkan
sambil mengucapkanny a, kebiasaan para guru yang mengajar para
penderita t una rungu.
“Dokter Norwood minta aku mengevaluasi kemajuan Jennifer. Aku
sudah mengamatinya selama beberapa hari. Aku merasa pendapatku
bersifat akademis, tapi hanya itu, sekadar pendapat. Biarpun
demikian, 'aku akan berterus terang sepenuhnya padamu.”
“Aku ingin kau begitu. Aku yakin kau sangat menganggap rendah
ayah yang mengasramakan anaknya selama hampir tiga tahun, tapi
aku menyayanginya. Dan aku ingin melakukan yang terbaik
untuknya.” Dia berdiri dan berjalan ke jendela. Memunggungi Lauri,
dia memandang ke balik kaca kotor itu.
“Tolong lihat aku menggunakan bahasa isyarat, Drake. Itu akan
membantumu mempelajarinya.” Pria itu menghadapnya lagi seolah
akan membantah, namun ternyata dia hanya mengangkat bahu dan
kembali ke kursi.
Lauri melanjutkan dengan tenang. “Kau beruntung Jennifer tidak
seratus persen tuli. Aku yakin kau sekarang sudah tahu bahwa
ketuliannya adalah tipe saraf sensorik yang, pada saat ini, tidak bisa
diobati. Dia dapat mendengar beberapa suara keras. Misalnya dia
dapat membedakan suara helikopter dan siulan.” Dia berhenti
sejenak untuk melihat apakah pria itu akan berkomentar. Ternyata
tidak, jadi dia meneruskan, “Sayangnya dia tidak tahu nama untuk
siulan atau helikopter. Atau mungkin dia tahu dan cuma tidak
memberitahu kita bahwa dia tahu. Dia hampir sama sekali tidak
responsif terhadap komunikasi apa pun.”
Garis-garis di kedua sisi mulut Drake menegang.
“Maksudmu dia terbelakang?”
“Tidak, sama sekali tidak,” Lauri menekankan. “Dia luar biasa pintar.
Aku berpendapat bahwa dia kurang dalam hal... Ada anak yang perlu
diajar secara privat. Aku pribadi merasa pengasramaan Jennifer

14 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

merusak kemampuannya. Dia butuh berada di lingkungan rumah di
mana dia secara terus-menerus ditemani seseorang yang... yang...”
suaranya menghilang, dia tidak ingin mengatakan apa yang men
urutnya mungkin akan menyinggung perasaan Drake.
“Yang menyayanginya? Itukah yang sulit kaukatakan? Sudah
kubilang aku menyayanginya. Aku memasukkannya ke asrama
sekolah bukan karena malu padanya.”
“Aku tidak bermaksud-”
“Tentu saja iya!” bentak Drake. “Karena kau begitu pandai, coba
beritahu aku apa yang harus dilakukan seorang duda terhadap
anaknya yang masih kecil? Terutama kalau si anak tuna rungu, hah?
Sekolah mewahmu itu mahal, kau tahu. Aku harus banting tulang
untuk membayarnya. Dan tagihan-tagihan medis setelah puluhan tes
yang tidak memberitahumu apa-apa selain bahwa gadis kecilmu tuli,
fakta yang sudah kauketahui, karena kalau belum kau takkan
menyuruhnya menjalani tes-tes mengerikan itu.”
Dia berhenti untuk menarik napas, mata hijaunya berkilat
menyeramkan. “Paling tidak kita menyepakati satu hal. Jennifer
perlu diajar secara privat.”
Dia tiba-tiba berdiri, membuat kursi berdecit-decit meluncur ke
belakang. “Tapi gurunya bukan kau.”
Ia menyerbu dari balik meja dan menumpukan lengannya yang kuat
di kedua sisi kursi Lauri, membuatnya terperangkap di situ.
“Aku memberitahu Dokter Norwood kalau aku menginginkan orang
yang bertanggung jawab. Aku mencari tipe guru yang keibuan yang
memakai sweter longgar berkantong besar-bukan cewek yang
memakai setelan buatan desainer.” Matanya menyusuri tubuh Lauri
dengan pandangan melecehkan. “Orang yang rambut berubannya
disanggul rapi, bukan rambut merah manyala berpotongan canggih
yang melambai-lambai. Orang yang agak gemuk dengan tubuh
gempal, keibuan, bukan payudara kecil menantang dan pantat
kencang.”

15 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri merah padam karena marah dan malu. Berani-beraninya dia!

“Tutor Jennifer seharusnya memiliki pergelangan kaki besar dan
memakai sepatu datar, bukan-” Ia menunjuk betis Lauri yang
ramping, terbungkus stocking tipis, dan sandal tali berhak tinggi
yang dipakainya. “Kau tidak kelihatan seperti tutor untuk anak tuna
rungu. Kau kelihatan seperti gadis yang membagikan contoh parfum
di Bergdorf's.”

Pria itu makin mencondongkan tubuh sampai kepala mereka nyaris
bersentuhan. Sebelum Lauri sempat bereaksi, pria itu membenamkan
wajahnya di rambut lembut di belakang telinga Lauri. “Kau juga
wangi seperti mereka,” ia berbisik serak.

Sesaat Lauri tak bisa bernapas. Tapi ketika dia akhirnya bisa, aroma
Drake menyelimutinya. Aroma itu bersih, khas, dan jantan. Kenapa
dia ini? Dia menyentakkan kepala dari pria itu.

“Kau-Biarkan aku bangkit sekarang juga,” perintahnya, mendorong
dada bidang Drake. Pria itu menegakkan tubuh dan menjauh dari
kursi yang langsung ditinggalkan Lauri. Ia menarik napas dalam-
dalam beberapa kali untuk menenangkan diri sebelum berkata,
“Mungkin aku memang tidak sesuai harapanmu, tapi kau jelas sesuai
dengan dugaanku, Mr. Sloan.” Dia mengucapkan nama pria itu
dengan nada mengejek.

“Kau tidak pantas memiliki putrimu. Dia cantik, pintar, dan manis.
Tapi dia menderita. Kau dengar aku? Dia menderita secara
emosional karena satu-satunya orangtuanya tidak mau berusaha
mempelajari bahasa yang dia mengerti, apalagi berusaha
mengajarkan bahasa itu padanya. Orangtua seperti kaulah yang
membuat pendidikan tuna rungu kembali ke zaman Helen Keller.
Aku guru-”

“Kau masih muda.”

“Aku wanita-”

“Ah, sekarang kita sampai ke poin berikut,” katanya, menuding Lauri
dengan sikap menuduh. “Kau jangan berpura-pura tidak suka aku

16 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

menyentuhmu. Aku lebih tahu. Bagaimana aku tahu bahwa kalau aku
mempekerjakanmu di New Mexico sana, kau takkan kabur dengan
bujangan pertama yang mendekatimu? Itu kan yang sebenarnya
diinginkan semua gadis karier liberal? Suami?”
Lauri bisa merasakan amarahnya menyala sampai ke akar rambutnya.
“Aku pernah bersuami. Pernikahanku tidak terlalu bahagia.”
“Kau bercerai?”
“Dia meninggal.”
“Kebetulan sekali.”
Dia berbalik dari pria itu sebelum melontarkan omongan yang
belakangan mungkin akan disesalinya. Lagi pula, Dr. Norwood
menyuruhnya melakukan misi ini dan akan mengharapkan laporan
darinya. Di pintu dia berputar untuk melihat pria itu bersandar di
meja dengan bersilang kaki. Perasaan sok dan puasnya tampak jelas
di matanya yang mengejek, cara berdirinya yang kurang ajar, dan
bibirnya yang menyeringai di bawah kumis tebalnya.
Perlahan-lahan Lauri berkata, “Kau orang paling sombong, biadab,
dan menyebalkan. Dasar-” Ia mengucapkan kata terakhir dalam
bahasa isyarat.
“Apa artinya itu?” bentak Drake, sambil dengan marah
meninggalkan meja.
“Tebak saja sendiri, Mr. Sloan.”
Dia membanting pintu.
“Lauri, kau takkan bisa menebak-”

®LoveReads

17 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 2

“Brigette, aku sedang mengajar. Ada apa sih?”
Guru yang menyerbu masuk ke dalam kelas Lauri yang terdiri atas
murid-murid berumur tujuh tahun itu tampak betul-betul kacau. Ia
terbata-bata waktu berkata, “Kau takkan bisa menebak siapa yang
ingin menemuimu. Maksudku, sudah ribuan kali aku melihatnya.
Aku pasti mengenalinya di mana pun. Tapi waktu melihatnya berdiri
di koridor, bertanya tentang kau-”
“Pelan-pelan, Brigette, kau membuat anak-anak gelisah. Mereka
mengira ada yang tidak beres.” Lauri mengetahui siapa yang
dimaksud temannya, tapi dia tidak mau orang lain tahu jantungnya
seolah berhenti berdetak karena memikirkan akan bertemu Drake
Rivington lagi. Di mata orang yang paling awas pun dia tampak
tenang dan tak peduli.
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak pertemuan mereka di
studio televisi. Sekembalinya dia dari interviu menjengkelkan itu, Dr.
Norwood menanyakannya.
“Saya rasa saya tidak seperti yang diharapkan Mr. Rivington,
walaupun saya pikir kami sependapat bahwa Jennifer membutuhkan
perawatan dan pendidikan spesial yang lebih pribadi.”
“Oh, aku kecewa sekali, Lauri,” ujar kepala sekolah tersebut. “Aku
mengira kalian berdua cocok dan kau bisa membawa Jennifer ke New
Mexico. Tentu saja, aku tidak suka kehilangan kau.”
Lauri tersenyum. “Yah, Anda takkan kehilangan saya dalam waktu
dekat. Saya rasa sebaiknya Anda punya rekomendasi lain. Mr.
Rivington pasti akan menelepon Anda.”
Lauri tidak bilang apa-apa lagi, dan Dr. Norwood tidak mendesak.
Wanita itu sangat perseptif. Apakah dia menduga pertemuan mereka
tidak berjalan lancar? Sepanjang minggu Lauri berusaha menying-
kirkan Drake Rivington dari benaknya. Akhir-akhir ini dia meng-
habiskan begitu banyak waktu dengan Jennifer sehingga merasa sulit

18 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

untuk menghentikan kunjungan hariannya itu. Jennifer tergabung
dalam kelompok murid yang lebih muda daripada murid-murid
Lauri, dan dia menemui putri Drake itu setelah jam sekolah.
Jennifer anak yang baik. Dia sopan-nyaris terlalu sopan, pikir. Lauri.
Rambutnya pirang pucat, dan ikal-ikal yang sulit diatur memenuhi
kepalanya yang kecil. Matanya-persis mata ayahnya-berwarna hijau
tua, dihiasi bulu mata berwarna gelap. Dia halus dan cantik dan tidak
pernah kotor atau melakukan perbuatan yang bisa membangkitkan
kemarahan orang.
Lauri bangga pada sikap objektifnya namun gadis kecil bermata
besar dan sedih itu merebut hatinya. Dia cuma butuh waktu beberapa
hari untuk mengetahui bahwa dia ingin menjadi tutor Jennifer. Dia
ingin membawa anak itu keluar dari asrama rapi dan berperabotan
bagus ini dan memasukkannya ke ruangan yang semarak dan ramai.
Pikiran-pikiran seperti itu selalu kembali ke ayah Jennifer, dan
khayalannya pun langsung buyar. Dia takkan bisa bekerja pada laki-
laki seperti itu dan tinggal di rumahnya. Tidak soal bila bahwa ayah
Jennifer itu akan dua ribu mil darinya. Dia telah menghinanya
sebagai wanita dan sebagai profesional. Lagi pula, pria itu tidak mau
Lauri menjadi tutor Jennifer.
Dia takkan mau mengaku pada siapa pun bahwa dia mengikuti The
Hearts Answer. Beberapa hari terakhir ini, pada jam tayang drama
konyol itu, dia dapat ditemukan di depan pesawat televisi di ruang
guru. Setiap dia melihat Drake di layar dua belas inci itu, hal-hal
yang mengganggu terjadi padanya. Detak jantungnya meningkat
dan telapak tangannya basah; di bagian tengah tubuhnya terasa
perasaan berat dan hangat yang menyebar ke tangan dan kakinya;
membuatnya lemas. Dia masih ingat jelas bagaimana pria itu
membungkuk dan mencium rambutnya. Perbuatan-perbuatan sepele
pria itu, yang pasti takkan diperhatikannya jika dilakukan orang lain,
terasa sangat familier.
Sinting! Dia kan bersama Drake tak lebih dari lima belas menit. Tapi
dia merasa akrab dengan setiap nuansa kepribadiannya.

19 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Sekarang Brigette menyerbu kelasnya, berkicau tentang ketampanan
dan pesona aktor tersebut Brigette tidak tahu bahwa laki-laki itu
sombong setengah mati, kasar, dan kurang ajar.
“Kau percaya bahwa Drake Sloan ternyata ayah Jennifer Rivington?
Aku memang bertanya-tanya kenapa kita tidak pernah melihat
orangtuanya. Kalau mengunjungi Jennifer, dia datang malam-malam
melalui apartemen Dokter Norwood. Kurasa dia takut dikeroyok
penggemar seperti aku.” Brigette cekikikan. “Dan dia bertanya
tentang kau seolah mengenalmu!”
“Memang kenal.”
Brigette terdiam mendengar informasi itu dan memelototi Lauri
seakan di punggung wanita muda itu tumbuh sayap. “Kau kenal dia
dan tidak pernah memberitahu-”
“Brigette, kau mau apa sebenarnya?”
“A-aku mau apa?” tirunya. “Kan sudah kubilang bahwa Dokter Glen
Hambrick atau Mr. Rivington atau apa pun panggilanmu untuknya
ingin menemui-mu.”
“Bilang aku sedang sibuk.”
“Apa!” jerit Brigette, dan sesaat Lauri berharap ia tuna rungu seperti
murid-muridnya. Kadang-kadang ketulian bisa dianggap karunia.
“Kau tidak mungkin serius, Lauri. Kau sudah gila? Laki-laki paling
seksi sedunia sedang-”
“Kurasa kau berlebihan, Brigette,” kata Lauri kering. “Aku sibuk.
Kalau Mr. Rivington ingin bertemu aku, dia harus menunggu sampai
kelas ini selesai.”
“Dengan senang hati.”
Suara dalam dan pelan itu menggema di dalam ruangan dengan nada
teratur aktor profesional. Dia berdiri di ambang pintu, menatap
Lauri lurus-lurus. Jantung Lauri bagai berhenti berdebar sebelum
kembali berdetak teratur, tapi lebih cepat.

20 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Brigette kehilangan kemampuan bicaranya yang luar biasa dan
berdiri ternganga sambil memandangi Drake. Tidak ingin
menimbulkan kehebohan, yang detail-detailnya Lauri yakin akan
disebarluaskan Brigette ke seluruh sekolah, dia berkata pelan, “Bisa
kautinggalkan kami, Brigette? Karena Mr. Rivington sudah
mengganggu kelasku, kurasa sebaiknya aku menemuinya.” Pria itu
cuma nyengir mendengar sindiran Lauri.

Brigette berjalan ke pintu bagai orang tersihir dan berdiri di hadapan
Drake seperti patung sampai pria itu menyingkir dan mendorongnya
ke koridor. Senyumnya memikat, dan kumisnya bergerak-gerak geli
ketika dia melihat sikap Brigette.

Memuakkan sekali, pikir Lauri. Apa sih yang dimiliki pria ini
sehingga bisa membuat wanita-wanita cerdas jadi tidak waras? Dia
kan cuma laki-laki biasa. Yah, barangkali penampilannya sedikit
lebih dari biasa, Lauri mengakui ketika Drake ber-balik untuk
memandangnya.

“Halo, Ms. Parrish. Kuharap aku tidak mengganggu.”

“Kau menganggu, dan kau sama sekali tidak menyesalinya.”
Cengirannya makin lebar dan lesung pipinya makin dalam.

“Kau benar, memang tidak. Tapi aku diizinkan Dokter Norwood
berada di sini. Dia berpendapat tidak ada salahnya aku
mengobservasi teknik mengajarmu.”

Bibir Lauri berkerut tidak suka. Lalu dia menghela napas. Kali ini dia
akan mengalah, tapi kan tidak harus melakukannya dengan manis.
“Anak-anak,” katanya menggunakan bahasa isyarat, “ini Mr.
Rivington. Kalian semua kenal Jennifer Rivington? Ini ayahnya.”

Anak-anak tersenyum menyambutnya dan ada yang memberi isyarat
hai. Beberapa anak yang pendengarannya lebih bagus bahkan
mengucapkan kata tersebut.

“Silakan duduk, Mr. Rivington.” Lauri menunjuk kursi rendah. Pria
itu mengerutkan kening ketika mendudukkan tubuhnya yang
panjang di kursi yang sangat kecil itu. Beberapa anak tertawa, dan

21 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri sulit menahan tawanya sendiri. Ketika Drake akhirnya bisa
duduk, lututnya nyaris menyentuh dagu.
Pria itu berpakaian rapi dengan celana panjang cokelat dan blazer
camel. Kemejanya putih, tapi bergaris-garis aneka gradasi warna
cokelat. Dasi cokelat tua melingkari lehernya.
“Kami sedang membahas kata depan, Mr. Rivington. Coba kemari,
Jeff, dan tunjukkan pada ayah Jennifer apa yang sudah kaupelajari.”
Lauri sudah menempelkan beberapa gambar apel di papan buletin.
Ulat-ulat kuning cerah bermata besar dan tersenyum lebar
diletakkan di atas, di bawah, di belakang, di dalam, atau di depan
apel-apel itu. Murid-murid mempelajari konsepnya, dan harus
menjawab dengan kata depan yang tepat, tentu saja dengan bahasa
isyarat.
“Sekarang kau,” kata Lauri, menoleh pada Drake setelah semua
murid mendapat giliran.
“Apa?” teriak Drake.
Anak-anak tertawa ketika Lauri memegang siku Drake dan
menariknya bangun, menyuruhnya berdiri di depan papan buletin.
Dia menunjukkan tongkat ke sebuah apel dan bertanya dalam bahasa
isyarat, “Di mana ulatnya?”
Mata hijau Drake menatapnya tajam seakan ia ingin mencekik Lauri.
Namun Lauri cuma tersenyum manis. “Ini tidak terlalu sulit, kan,
untukmu?” dia membujuk.
Pria itu mengisyaratkan kata depan yang tepat.
“Tolong dalam kalimat lengkap.”
Jari-jari cokelat panjang itu mengisyaratkan kalimat lengkap tepat
ketika bel pulang berbunyi. Sebagian anak dapat mendengar
lengkingan suaranya, dan mereka mulai bergerak-gerak resah di
kursi.

22 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Oke, anak-anak, sekarang boleh keluar,” kata Lauri sambil
menggunakan bahasa isyarat. Mereka langsung berlarian ke pintu,
dan Lauri tinggal berduaan dengan Drake.
“Tadi itu tindakan yang pandai. Apa kau memberikan perhatian
khusus seperti itu pada setiap orangtua yang datang?” Drake
menggeram.
“Sebagian besar orangtua yang datang tahu aturan sehingga tidak
masuk begitu saja ke dalam kelas dan minta perhatian khusus.”
“Sialan,” kata Drake tanpa nada menyesal sedikit pun. “Karena sudah
telanjur masuk daftar hitammu, akan kuamankan posisiku di situ
dengan memberitahumu bahwa kau akan makan malam denganku.”
Lauri tercengang memandangnya. “Kau bukan cuma kasar, Mr.
Rivington, tapi juga tak punya otak. Aku tidak mau pergi ke mana
pun denganmu.”
“Ya, kau mau. Dokter Norwood bilang begitu.”
“Aku tidak tahu Dokter Norwood sekarang mendirikan biro jodoh.”
“Aku memberitahu dia bahwa aku ingin bicara denganmu sambil
makan malam. Dia bilang menurutnya itu ide yang sangat bagus.”
“Itu sama sekali bukan perintah. Dia atasanku, bukan ibuku.”
“Kau mau?”
“Apa?”
“Makan malam denganku.” Lauri menanggapi pria itu sambil
membereskan alat-alat mengajarnya. Pria itu membuntutinya. Setiap
kali Lauri berbalik, Drake berdiri di dekatnya. Dia merogoh laci
paling bawah meja kerja untuk mengambil tas dan menutupnya kuat-
kuat ketika berdiri.
Drake menjulang di atasnya, dan Lauri mundur setengah langkah
untuk memperbesar jarak sempit di antara mereka. “Telingamu tidak
terlalu tajam, ya? Kubilang aku tidak mau makan malam denganmu,

23 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

jadi ya aku tidak mau. Menurut pendapatku , tidak ada lagi yang
perlu kita bicarakan. Kau sudah mengatakan semua yang harus
kaukatakan pada pertem uan terakhir kita, begitu juga aku.”
Drake menyambar pergelangan tangannya waktu dia berusaha
melewatinya. Jari-jari pria itu memegangnya dengan cengkeraman
hangat dan mantap yang menaikkan tempo denyut nadi di bawahnya.
“Aku minta maaf atas hal-hal tidak enak yang telah kukatakan.”
Dia aktor, kata Lauri dalam hati. Dia mampu menampilkan sikap
atau emosi apa saja dengan mudah. Lauri meragukan ketulusannya,
dan Drake tahu itu dari ekspresi skeptisnya. “Aku bersungguh-
sungguh,” kata Drake, mempererat cengkeramannya di pergelangan
tangan Lauri. “Waktu itu aku tidak mengetahui kualifikasi luar
biasamu. Aku tidak tahu kau sangat berpengalaman bekerja dengan
tuna rungu. Aku tidak tahu kakakmu tuna rungu.”
Lauri menyentakkan tangannya. “Jangan pernah kau mengasihani
aku, keluargaku, atau kakakku, Mr. Rivington.”
“Aku-”
“Kakakku wanita yang cantik. Dia akuntan.”
“Aku-”
“Dia sudah menikah dan tinggal bersama dua putranya yang manis
dan suaminya yang sukses di Lincoln, Nebraska. Percayalah, dia
lebih tahu nilai-nilai hidup sesungguhnya daripada kau.”
Wajah Lauri merah padam dan dadanya naik-turun karena marah.
Mata cokelatnya yang memancarkan kilat cokelat muda tampak
begitu berapi-api ketika menatap pria yang berdiri di dekatnya,
sehingga Drake dapat merasakan panas kemarahan yang memancar
darinya.
“Sudah?” Drake bertanya kering.

24 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan menunduk.
Mata Drake telah melembut dan jauh lebih mengancam daripada
ketika berkilat-kilat marah.
“Aku tidak bermaksud mengasihani,” Drake berkata. “Malah
mengagumi dan menghormati. Oke?” Napas Lauri tertahan di
tenggorokan waktu pria itu meletakkan jarinya di bawah dagunya
dan mengangkat kepalanya. “Aku sudah mengubah pen-dapatku
yang dulu. Menurutku memang kaulah yang dibutuhkan Jennifer.
Yang kubutuhkan.”
Kata-katanya diucapkan dalam bisikan lembut. Lorong-lorong sudah
sepi dari murid dan guru, dan ada suasana akrab di sekeliling mereka.
Perkataan yang kubutuhkan tadi dapat mengandung arti yang sama
sekali berbeda dalam konteks lain. Jantung Lauri bereaksi terhadap
pilihan kata-kata bersayap itu dan berdentum-dentum seakan
menuntut dibebaskan dari dadanya.
Drake terlalu dekat; ruangan terlalu gelap; gedung terlalu sunyi;
napas pria itu terlalu harum; dan jari-jari yang masih memegang
dagunya itu terlalu mantap dan yakin. Lauri terjebak sensasinya
sendiri. Bernapas jadi terasa sulit. Dia berusaha menjauhkan
dagunya, namun Drake tidak membiarkannya. Pria itu memaksanya
memandangnya sebelum berkata, “Kau mau menerima pekerjaan itu.”
Itu bukan pertanyaan. Dia tahu Lauri menginginkan tantangan dan
keberhasilan dengan mengeluarkan Jennifer dari dunianya yang
senyap dan membawanya ke dunia baru.
“Betul, kan?” Drake mendesak.
“Ya.” desah Lauri antara sadar dan tidak. Pasti cuma khayalan,
karena pria itu melepaskannya sedetik kemudian lalu meraih blazer
Lauri yang tersampir di sandaran kursi. “Ayo kita makan.”
Sementara Lauri memakai blazer yang dipegangi Drake, pria itu
bertanya, “Kau menciut, ya? Waktu itu kau lebih tinggi dari ini.”
Lauri tersipu sedikit waktu berpikir bahwa Drake ternyata
memperhatikan dan mengingat tinggi badannya. Dia tersenyum

25 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

manis pada laki-laki itu. “Aku sekarang memakai sepatu berhak
rendah.” Mata Drake menyusuri, gaun linen putih Lauri yang
sekarang tertutup blazer biru laut, sampai ke sepatu sandal sewarna
yang berhak jauh lebih rendah daripada sepatu yang dipakainya ke
studio televisi.
“Wah, betul.” Dengan serius dia mengusap rambut perak-cokelatnya,
lalu tertawa terbahak-bahak ketika mereka berjalan di koridor.
Dengan mudah Drake memperoleh taksi, dan menyuruh sopirnya
mengantarkan mereka ke Russian Tea Room. “Kau setuju?” dia
bertanya setelah mereka duduk di bangku belakang taksi.
“Ya, aku suka sekali restoran itu,” jawab Lauri jujur.
Ketika mereka tiba, kepala pelayan membawa mereka ke ruang
makan di atas yang lebih tenang, dan dengan sangat sopan
menarikkan kursi untuk Lauri. Dia bersama Drake Sloan, dan
rupanya itu ada pengaruhnya.
Lauri menyadari bahwa beberapa orang menoleh karena mengenali
pria yang bersamanya, dan mendadak Lauri merasa tidak percaya
diri karena mengenakan baju yang sudah seharian dipakainya di
sekolah. Dia tidak menganggap ini kencan, dan karenanya tidak
minta diantarkan pulang untuk berganti pakaian sebelum pergi
makan malam.
“Maaf pakaianku kurang sesuai. Aku tidak mengira akan punya acara
malam ini.”
Drake mengangkat bahu dan berkata, “Kau sudah bagus,” dan
membenamkan kepala di balik buku menu.
Dasar laki-laki dingin, pikir Lauri sambil membuka buku menu.
Beberapa detik kemudian dia mendengar Drake terkekeh. Dia
mendongak dan melihat laki-laki itu mengawasinya. Mata hijaunya
menyipit geli.
“Apanya yang lucu?”

26 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Kau. Waktu kubilang kau cantik, kau marah. Dan waktu aku tidak
bilang kau cantik, kau marah. Sebaiknya kau memperhatikan wajah
ekspresifmu itu, Ms. Parrish.” Dia memelankan suara dan
mencondongkan tubuh mendekati Lauri. “Aku bisa memberitahumu
bahwa orang-orang di sekelilingmu melakukannya.”
Lauri menganggap itu pujian dan mengangkat gelasnya yang berisi
air mineral Perrier yang dipesankan Drake. Mereka menyesap
minuman masing-masing-gelas Drake berisi martini - sambil
mengomentari suasana ruang makan. Dinding hijau tuanya, hiasan
merah gelap, dan perabotannya yang dari kuningan memancarkan
keanggunan tanpa berlebihan.
Mereka memutuskan memesan ayam Kiev dan nasi. Beberapa menit
kemudian pelayan datang membawa hidangan pembuka berupa
salmon asap, kaviar, telur rebus, dan aneka makanan kecil. Drake
mulai makan dengan lahap.
“Tunggu,” kata Lauri. “Kau harus belajar dulu.” Drake kesal ketika
Lauri memaksanya mempelajari bahasa isyarat untuk semua
makanan di piringnya dan semua peralatan di meja sebelum
memperbolehkannya melanjutkan makan. Wanita itu malah sempat
tertawa. “Kalau ada bahasa isyarat untuk kaviar, aku tidak
mengetahuinya. Untuk saat ini kita eja saja,” katanya.
Mereka mengobrol santai sambil makan. Setelah meja dibersihkan
dan mereka sedang menikmati kopi, Drake mulai membicarakan
Jennifer.
“Kau akan menerima pekerjaan sebagai tutor pribadinya, bukan?”
Lauri menunduk memandangi meja dan menggambari taplak linen
putihnya dengan gagang sendok. “Aku masih belum yakin, Drake.”
“Apa yang bisa kulakukan supaya kau yakin?” Ada nada menggoda
dalam suaranya, tapi wajahnya serius.
“Kau bisa berjanji padaku bahwa kau akan ikut kelas bahasa isyarat
dan mulai menggunakannya secara konstan. Mulailah berpikir dalam
bahasa isyarat, bahkan saat kau bicara dalam bahasa verbal. Kalau

27 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

kuterima pekerjaan itu, berarti selama beberapa waktu aku akan jadi
ibu asuh Jennifer. Dia akan tergantung penuh padaku. Suatu hari
nanti, kau harus mengambil alih tanggung jawab itu. Apakah kau
akan siap?”

“Akan kuusahakan. Aku berjanji akan mencoba,” Drake berkata
serius. Pria itu mencondongkan tubuh, perasaan cemasnya
menimbulkan kerutan dalam di antara alisnya. “Lauri, apa yang bisa
kuharapkan dari Jennifer? Akan seperti apa dia kalau sudah besar?”
Itu adalah pertanyaan seorang ayah yang tak berdaya dan prihatin.

Di mata pria itu Lauri melihat rasa sakit yang sudah tak asing
baginya, keinginan mengetahui sesuatu yang bahkan tak diketahui
pakar paling hebat sekalipun. Semua orangtua anak tuna rungu
menanyakan hal itu.

Lauri menjawab dengan hati-hati. “Dia sangat cerdas, Drake. Dia
tahu lebih banyak daripada yang diungkapkannya. Menurutku
kekurangannya bersifat emosional, bukan mental. Aku akan
menggunakan semua metode mengajar yang kuketahui. Dia akan
belajar bahasa isyarat untuk komunikasi dasar, tapi di saat yang sama
dia akan belajar huruf seperti anak lain. Dan dia akan mempelajari
suara yang ditimbulkan huruf tertentu. Alat bantu pendengarannya
akan menolongnya membedakan huruf berdasarkan bunyi dan
tulisannya. Nantinya dia akan bisa bicara.” Ketika melihat mata pria
itu berbinar penuh harap, dia menjelaskan perkataan terakhirnya.
“Aku ingin kau mengerti, Drake, bahwa dia akan selalu tuli. Dia
takkan pernah mendengar seperti kita. Alat bantu pendengarannya
bukan alat korektif, melainkan alat pengeras suara.”
“Aku pernah diberitahu begitu, tapi aku tidak bisa memahaminya,”
Drake mengakui.
“Oke,” kata Lauri. “Akan kucoba menjelaskannya. Kacamata
termasuk alat korektif. Dengan memakai kacamata yang diresepkan
dokter, kau akan punya visi dua puluh-dua puluh. Alat bantu
pendengaran cuma mengeraskan apa yang memang mampu didengar
Jennifer. Umpamanya kau mendengarkan radio, tapi yang ada cuma
desis statis. Kalau kau tambah volumenya, kau takkan mendengar

28 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

apa-apa lebih jelas. Kau cuma akan mendengar desis yang lebih
keras. Mengerti?”
Pria itu mengetuk gigi putih indah di bawah kumisnya dengan kuku
ibu jari. “Ya. Aku mengerti maksudmu.”
“Aku ingin Jennifer tahu segalanya. Kalau kubawa dia ke taman dan
mendemonstrasikan kata jalan dengan berjalan, dia akan mempelajari
dan memahaminya, tapi kata itu cuma akan berarti itu baginya. Aku
ingin dia tahu arti mesinnya tidak jalan, sekolahnya beralamat di
jalan anu, kami sedang berjalan-jalan naik mobil keliling kota.
Paham?”
“Dia akan mampu mempelajarinya?”
“Hanya kalau kita mengajarinya, Drake. Kita harus bicara padanya-
dalam bahasa isyarat-secara konstan, sama seperti anak lain harus
diajak bicara secara konstan. Ellen, kakakku, begitu menguasai cara
membaca bibir dan berbicara sehingga jarang memakai bahasa
isyarat.”
“Jennifer akan mampu bicara sebaik itu?”
“Tidak akan pernah sebaik kita,” Lauri menekankan. “Dia takkan
pernah mendengar seperti kita, jadi dia tidak akan bicara seperti kita.
Sebagai aktor, kau pasti pernah mengalami saat-saat di mana kau
tahu dialogmu tapi tidak bisa mengucapkannya.”
“Yeah.”
“Itulah yang dialami kaum tuna rungu. Setiap kata merupakan kerja
keras. Tapi dengan latihan yang tepat dan kesabaran, mereka jadi
cukup mampu. Jangan berharap terlalu banyak, supaya kau tidak
kecewa.”
Drake memandangi tangannya, yang sekarang terlipat di meja. Lauri
merasa begitu bersimpati sehingga ingin sekali menggenggam
tangan itu dan menghiburnya. Dia harus menenangkan hatinya.
“Jennifer sudah bisa menyebut namaku.”

29 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Drake mengangkat kepala dan tersenyum bangga. “Dokter Norwood
memberitahu aku bahwa hubungan kalian berdua cukup dekat.”
Sulit bagi Lauri untuk mengabaikan hatinya yang serasa diremas tiap
kali dia memasuki ruangan dan Jennifer mendongak dan
melontarkan senyumnya yang jarang kelihatan. Dia merasa seperti
itu sekarang ketika menutup mata Drake, yang tampak seperti
zamrud cair. Lauri merasa makin susah untuk tetap bersikap objektif.
Dan itu, dia tahu berbahaya.

®LoveReads

30 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 3

Sejak mereka meninggalkan meja sampai masuk ke taksi yang
dipanggilkan kepala pelayan, tiga wanita yang berbeda
menghentikan Drake dan meminta tanda tangannya.
Lauri takjub melihatnya bisa mengubah emosi secepat dan setotal
itu. Sesaat pria itu tampak sebagai orangtua yang kebingungan dan
prihatin. Di saat lain dia bintang televisi yang penuh percaya diri dan
arogan, menguasai keadaan, dan dengan luwes menampilkan senyum
terkenalnya pada publik pemujanya. Dia berbicara pada setiap wanita
itu dengan lembut dan akrab.
Cara berbicaranya yang begitu akrab dengan masing-masing wanita
itu pasti membuat si wanita merasa dia betul-betul peduli padanya.
Tuluskah Drake, atau apakah dia cuma berakting? Itu dugaan yang
meresahkan, dan yang tidak ingin dipikirkan Lauri lama-lama.
“Kau pernah merasa bosan dengan itu?” tanya Lauri, menunjuk
wanita yang terpana di trotoar. Si pengagum berat itu masih
memeluk erat-erat serbet yang sekarang bertuliskan nama Drake
Sloan.
“Ya, sering. Aku berusaha mengecilkan sindrom bintang dan
menghadapi para wanita dengan sabar dan sadar diri. Aku bertanya
pada diriku sendiri, 'J adi apa aku tanpa mereka?' Itu biasanya
berhasil mencegahku berbesar kepala.”
Lauri meminta Drake mengantarkannya kembali ke sekolah, karena
ada beberapa surat di sana yang harus diambilnya sebelum pulang ke
apartemennya yang beberapa blok dari situ. “Baik,” ujar Drake. “Aku
memang ingin bertemu Jennifer sebentar.”
Lauri cepat-cepat melihat jam tangan emas di pergelangan
tangannya. “Tapi sekarang sudah pukul sembilan lebih. Dia pasti
sudah tidur.”
“Berarti kita harus membangunkannya,” Drake menanggapi dengan
enteng.

31 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Tidak adakah peraturan yang harus kautaati, Mr. Rivington?”

Pria itu tertawa. “Beberapa. Dokter Norwood tahu bahwa kadang-
kadang aku bekerja di studio sampai pukul delapan atau sembilan
malam, tergantung kekacauan yang ditimbulkan Dokter Hambrick
pada hidupnya minggu itu. Jadi dia mengizinkan aku menyelundup
beberapa malam seminggu untuk menemui Jennifer.”

Lauri menggunakan kuncinya untuk membuka pintu pribadi yang
diset otomatis mengunci setelah hari gelap. Mereka berjingkat-
jingkat menyusuri koridor gelap asrama sampai tiba di kamar yang
ditempati Jennifer bersama tiga gadis kecil lain yang seumur
dengannya.

Drake membiarkan Lauri mendahuluinya memasuki kamar, namun
wanita itu menjauh ketika dia duduk di samping anak yang pulas di
tempat tidurnya itu. Drake menyalakan lampu redup di meja sisi dan
menepuk bahu Jennifer pelan-pelan. Anak itu bergerak, lalu mem-
buka mata dan melihat Drake membungkuk di atasnya. Dia berbisik
senang dan langsung duduk tegak, memeluk leher ayahnya kuat-kuat

Lauri tidak tahu reaksi apa yang diharapkannya akan dilihatnya, tapi
yang jelas bukan reaksi spontan seperti ini dari anak yang biasanya
begitu tenang dan kalem.

“Apa kabar anak kesayangan Daddy? Kau senang bertemu aku?”
Pertanyaan tersebut tidak membutuhkan jawaban. Jennifer
bergelung di dadanya sementara Drake mengacak-acak rambut
pirang ikalnya.

Ini satu lagi kepribadian Drake Rivington. Wajahnya melembut dan
sedikit pun tidak tersisa kesinisan yang biasanya mengerutkan
bibirnya dan menyelimuti matanya. Matanya berbinar penuh kasih
ketika memandang putrinya.

Setelah acara cium dan peluk selesai, Jennifer mulai memeriksa saku
Drake satu per satu dengan jari-jari mungilnya dan mengikik waktu
pria itu pura-pura menepis tangannya. Akhirnya dengan penuh
kemenangan dia memperoleh sebungkus permen karet dan mulai
membukanya.

32 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Tunggu sebentar, Nak. Kau tidak boleh memakannya sekarang,”
tukas Drake. Lalu dia mengangkat bahu dan berkata, “Yah, boleh
deh,” sementara Jennifer berhasil melepas kertas pembungkus dari
salah satu permen.

“Tidak, tidak boleh,” kata Lauri tenang tapi tegas. Drake
memandangnya, tapi tentu saja Jennifer tidak mendengar larangan
Lauri. Anak itu akan memasukkan permen karet ke mulut waktu
Lauri menepuk ujung tempat tidur untuk menarik perhatiannya.

Jennifer menengadah padanya dan tersenyum. Lauri balas tersenyum
dan dengan menggunakan bahasa isyarat berkata, Halo, Jennifer.
Siapa namaku coba? Jennifer mengisyaratkan nama Lauri dan meng-
ucapkannya dengan suara pelan dan lembut. Drake ternganga kaget.

“Sayangku, hebat sekali,” Drake berteriak, makin erat memeluk gadis
kecil itu. Jennifer berseri-seri melihat kegembiraan pria tinggi dan
baik hati yang sering datang ke kamarnya dan memberinya perhatian
istimewa. Pria itu tidak pernah bicara dengan anak-anak lain. Hanya
dengannya.

Lauri memanfaatkan situasi itu. Setelah menarik perhatian Jennifer
lagi, dia berkata, “Ini Drake,” dan menunjukkan pada Jennifer isyarat
untuk namanya yang telah mereka ciptakan. “Aku tidak yakin dia
sudah paham soal hubungan keluarga. Tidak lama lagi kami akan
belajar tentang ayah dan anak perempuan. Untuk saat ini, kau cuma
Drake” Lauri menjelaskan.

Jennifer mengisyaratkan nama Drake dan menunjuk pria itu. “Ya,”
sambut Lauri, mengangguk. Dengan bangga Jennifer mengulangi
gerakannya berkali-kali sehingga tampak lucu dan mereka bertiga
tertawa. Ketika dia akan memasukkan permen karet yang terlupakan
sesaat ke dalam mulut, Lauri menghentikannya dengan menarik
lembut lengannya. Dan dengan bahasa isyarat Lauri memberitahu
Jennifer agar membiarkan permen karet itu di atas meja di sisi
tempat tidur sampai ia bangun.

Dengan penuh harap Jennifer memandang Drake untuk mencari
dukungan, namun pria itu menggeleng, meletakkan bungkusan
permen karet di meja, dan mengisyaratkan tidur, yang dilihatnya

33 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

digunakan Lauri beberapa saat yang lalu. Jennifer menguap dan
berbaring di tempat tidur. Ia tampak seperti bidadari dengan rambut
pirang dan baju tidur pink berendanya. Dia memeluk leher Drake
waktu pria itu mencoba menjauh. Drake mencium keningnya sekilas
dan berdiri. Tepat sebelum dia mematikan lampu, Jennifer
memandang ke kaki tempat tidur dan mengulurkan lengannya yang
gempal pada Lauri.

Lauri memandang Drake yang tersenyum lembut. “Kurasa
maksudnya cukup jelas,” kata Drake. Lauri pergi ke samping tempat
tidur dan membungkuk untuk menerima ciuman penuh semangat
dari Jennifer.

Mereka menyelimutinya, mematikan lampu, dan meninggalkan
kamar. Lauri maju beberapa langkah, lalu berhenti. Pikirannya
begitu penuh sehingga rasanya dia tidak mampu berpikir dan
berjalan pada saat yang sama. Dia berdiri diam di tengah koridor.

“Kurasa kalian berdua baru saja memerasku secara emosional,” dia
berkata sambil merenung.

“Memang itu niat kami.” Suara Drake meniru nada lembut dan serius
Lauri.

Lauri memandangnya. Dia mengucapkan apa yang ada dalam
pikirannya. “Dia menyayangimu. Kau akan menjauhkan dirimu
darinya dengan memindahkannya ke ujung negeri. Dia masih sangat
muda. Saat ini kaulah orang paling penting dalam hidupnya. Drake,
sadarkah kau bahwa aku akan meng-gantikanmu dalam menerima
perasaan sayangnya?”

Pria itu memandang koridor yang sunyi senyap, tatapannya kosong
ketika dia memasukkan tangan ke saku celana panjang. “Ya,”
jawabnya, menger-takkan gigi. “Aku tidak menyukai keadaan ini-
Kalau ada cara lain-aku tidak mau dia tumbuh di k ota besar. Saat ini
aku tidak bisa melakukan apa yang bisa kaulakukan padanya.” Lalu ia
menghadap Lauri. “A ku tahu aku memberimu tanggung jawab
sangat besar. Tapi kupikir ini tindakan yang tepat. Aku akan
mengun junginya setiap ada kesempatan.” Ia tersenyum masam.

34 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Hidupku sama sekali tidak sekacau yang digambark an majalah-
majalah.”

Lauri mengulurkan tangan dengan gaya resmi. “Aku menerima
pekerjaan yang kautawarkan.” Drake menjabat tangannya.
Pria itu berkeras mengantarnya sampai ke pintu ketika mereka tiba
di gedung apartemen yang nyaman-tapi jauh dari luks-itu. Dia
membayar taksi, mengatakan akan memanggil taksi lain setelah
Lauri masuk.
Waktu mereka naik lift ke lantai tempat tinggalnya, Drake berkata,
“Kurasa aku bisa membereskan semua urusannya dalam waktu
sekitar dua minggu. Cukup lama untukmu?” Melihatnya
mengangguk, dia melanjutkan, “Rumahnya bagus, tidak mewah. Aku
akan membeli mobil untuk diantarkan padamu begitu kau tiba di
Albuquerque. Aku juga akan mempekerjakan orang untuk
membersihkan seluruh bagian rumah. Ketika kau sampai di
Whispers, semua harus sudah beres untuk kau dan Jennifer tempati.”
“Whispers. Aku suka nama itu.” Tangan Drake di bawah sikunya
ketika dia mendorongnya keluar lift. Pria itu tidak menarik
tangannya.
“Kota kuno tapi menarik. Banyak pensiunan tinggal di sana, beberapa
pekerja tambang dan keluarga mereka. Suasananya tenang dan
damai. Pemandangannya di setiap musim luar biasa.”

Mereka sekarang berdiri di depan pintu Lauri. Drake berkata, “Aku
akan menggajimu sebanyak yang diberikan sekolah. Lalu tentu saja,
kau akan bisa memakai rumah dan mobil sesukamu. Dan aku akan
memberimu uang banyak untuk makanan, pakaian Jennifer, apa pun
yang kau butuhkan.”

“Aku tidak khawatir soal uang,” kata Lauri sambil memasukkan anak
kunci.
Dia berbalik untuk mengucapkan salam perpisahan yang sopan,
namun kata-kata itu tak pernah terucapkan. Drake maju sampai
Lauri terpaksa mundur, tapi ia tak bisa mundur jauh, hanya sampai

35 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

pada dinding koridor. Lalu pria itu meletakkan telapak tangannya
persis di atas kepala Lauri dan membungkuk ke arahnya. Jarak di
antara mereka hanya beberapa inci, tapi Drake tidak menyentuhnya.
“Aku menyukaimu seperti ini,” Drake berbisik.
Ke mana suaranya? Lauri tidak bisa mengucapkan kata-kata yang
ada di pikirannya. Akhirnya dia berhasil berbisik, “Seperti apa?”
“Tenang, menyenangkan, dan kooperatif. Tapi-” dia terkekeh-”aku
juga menyukaimu yang waktu itu, ketika kau menyemprotku dan
begitu marah sampai rambutmu berkilau seperti api.” Ia makin
mendekat. “Sebetulnya, Ms. Parrish, aku sedang berusaha keras
menemukan sesuatu yang tidak kusukai pada dirimu.”
Insting Lauri mengatakan pria itu akan menciumnya. Dia tahu
seharusnya tidak membiarkannya namun ia tak sanggup bergerak
ketika melihat wajah Drake makin lama makin dekat. Sedetik
sebelum bibir mereka bertemu, Lauri memejamkan mata. Walaupun
tahu ini akan terjadi, dia tak siap merasakan gelombang emosi yang
melanda sekujur tubuhnya akibat sentuhan Drake.
Kumis Drake menggelitik bibir Lauri ketika pria itu menyapukan
bibirnya di atasnya. Pria itu terus mendekat sampai tubuh mereka
merasakan lekuk pasangannya masing-masing.
Mereka cocok bagai potongan-potongan puzzle. Tinggi badan Lauri
tidak sampai dada Drake, namun mereka seperti dua bagian dari satu
kesatuan. Payudaranya yang lembut menyatu dengan tubuh pria itu.
Kaki Drake mengapitnya, dan waktu pangkal pahanya yang mantap
dan keras menyentuh pangkal paha Lauri yang feminin dan lembut,
terdengar erangan tertahan dan nikmat jauh di dalam tenggorokan
pria itu.
Bibir Drake menyesapnya, berhenti, lalu menjauh sampai Lauri ingin
sekali mencengkeram kepalanya dan menekannya. Dia hanya mampu
mengumpulkan keberanian untuk mengangkat tangan malu-malu ke
rusuk pria itu dan membelai lembut otot-otot yang persis di atasnya.
Otot-otot itu bergerak-gerak karena menahan tubuh Drake yang
bertumpu di dinding.

36 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Pria itu mendesah panjang dan pelan waktu merasakan tangan halus
Lauri menyentuhnya. Bibirnya berhenti menggoda dan mendekati
bibir wanita itu, melumatnya dengan ketepatan yang mengejutkan.

Mula-mula Lauri tidak menanggapi. Perasaan takut dan waswas
membuatnya tidak mau langsung bereaksi terhadap laki-laki sejak
pernikahannya yang berantakan. Tapi Drake tidak memedulikan
penolakan setengah hati itu. Bibirnya dengan ganas beraksi sampai
Lauri menyerah. Wanita itu berusaha menenangkan diri,
mengembalikan segala sesuatunya ke perspektif yang benar, tapi itu
tak mungkin dilakukannya karena Drake terus menciuminya.

Bahkan ketika mereka harus berhenti sebentar untuk menarik napas,
pria itu masih belum puas.

Dia menciumi telinga Lauri dan menggigitinya lembut. Tangannya
menuruni dinding untuk meng-elus bahu. lengan, lalu kembali ke
lehernya. Jari-jarinya seolah menghitung denyut nadi Lauri sebelum
bergerak naik untuk memegangi wajahnya. Ibu jarinya membelai
miang pipinya.

“Apa kau mencium semua pemeran utama wanitamu seperti ini?”
tanya Lauri. tersenyum sayu.

Dia mengharapkan Drake tersenyum juga dan membalas dengan
jawaban lucu. Yang terjadi ternyata berbeda. Dia bingung melihat
wajah pria ini pucat pasi. Mata hijaunya, yang tadi menyala karena
api gairah, berubah dingin, tak bisa ditembus, seolah mendadak ada
tirai menutupinya.

Pelan-pelan Drake menjauhinya. Mula-mula tangan pria itu turun
dari wajahnya. Lalu dadanya terbebas dari tekanan berat dada aktor
itu. Ketika pria itu meninggalkannya, dia merasa kehilangan dan
mengulurkan tangan untuk menariknya kembali. Tapi ekspresi
wajah pria itu mengejutkan dan menakutkannya, dan dia cepat-cepat
menarik tangannya ke dada. Drake pucat pasi dan menatapnya seolah
dia melihat hantu. “Drake, apa-”

Pria itu komat-kamit beberapa lama sebelum mampu mengucapkan
kata-katanya. “S-Susan dulu sering bilang begitu” Dia terdiam

37 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

sebentar dan mengusap muka, menggosok mata. menghapus
bayangan. “Dia selalu bilang begitu.”
“Susan?” Lauri bertanya dengan suara melengking. Dia tahu siapa
Susan, dan tidak ingin mendengarnya.
“Susan istriku. Dia sudah meninggal.”
Drake telah mengatakannya, dan dengan kesedihan begitu nyata
sehingga hati Lauri terasa hancur. Dia masih mencintai istrinya! Dia
tidak bilang istrinya meninggal karena apa: itu tidak relevan.
Kematiannyalah. bukan penyebabnya, yang telah membawa pergi
cintanya.
“Ya. Aku turut bersedih.” bisik Lauri. Komentarnya begitu basi.
hambar, karena dia tidak tahu mesti bilang apa lagi, dan dia ingin
sekali membuyarkan keheningan menyesakkan yang mendadak
menyelubungi mereka.
Drake menegakkan tubuh, sudah kembali dari masa lalunya yang
tadi timbul karena kata-kata Lauri. Dia mengusap rambut perak-
cokelatnya. lalu berkata singkat. “Itu tidak penting.”
Tapi dia salah! Baru beberapa detik yang lalu Lauri tenggelam dalam
pelukan paling menyenangkan dan paling hangat yang pernah
dirasakannya. Sekarang pria yang tadi membuat tubuhnya diliputi
sensasi yang dikiranya sudah lama mati itu bersikap seperti orang
asing-orang asing yang dingin.
Tangan pria itu masuk dalam-dalam ke saku celana panjangnya
waktu dia berbalik dari Lauri. Ketika Drake berputar untuk menatap
Lauri lagi. mulutnya menipis, dan alis tebalnya berkerut di atas mata.
“Kurasa akan fair kalau kuberitahu kau, Lauri. bahwa aku tidak mau
ada keterlibatan emosional dalam hidupku. Bertentangan dengan apa
yang kaubaca di majalah-majalah selebriti, aku tidak pernah tertarik
pada wanita mana pun. Aku menikahi dan mencintai almarhumah
istriku. Kebutuhanku hanya bersifat fisik. Menurutku kau sebaiknya
tahu itu sejak awal.” Kata-katanya bagai batu yang dijatuhkan ke
kepala Lauri sehingga meluluhlantakkannya. Kemarahan dan

38 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

perasaan terhina menggelegak dalam pembuluh darahnya, dan
rubuhnya menegang seperti kucing yang siap menerkam. Dia
berusaha mengontrol suaranya, menahan kata-kata pedas yang
mendidih di dalam hatinya, dan mendesak untuk disemburkan.

“Seingatku aku tidak pernah memintamu 'terlibat', Mr. Rivington.”
Dia gemetar menahan marah. “Tapi karena kau sudah mengangkat
topik itu dan salah menafsirkan motifku, aku akan meluruskan
masalahnya. Aku sama sekali tidak berniat 'tertarik' padamu. Selain
hal itu akan merusak objektifitasku, aku juga menganggap kau besar
kepala. Aku pernah menikah dengan seniman-musisi-dan dia, seperti
juga kau, menganggap dirinya hebat dan mengharapkan orang lain
juga beranggapan begitu. Kau bisa menenangkan dirimu karena aku
menginginkan hubungan yang perlu ada di antara kita ini betul-betul
profesional. Terima kasih untuk makan malam tadi.”

Setelah berkata begitu Lauri cepat-cepat memasuki pintu dan
menutupnya rapat-rapat. Dia bersandar di situ, menarik napas
dalam-dalam, dan berusaha menahan tangis kemarahan yang sudah
menggenangi matanya.

Dia mendengar Drake melangkah ke lift, denting bel ketika pintu lift
membuka, lalu suara pintu itu menutup lagi.

“Tolol!” Lauri memaki dirinya sendiri, mengentakkan kaki seperti
waktu kecil dulu. Dilemparkannya tasnya ke kursi terdekat dan
disentakkannya blazernya sampai lepas.

“Dasar bangsat tidak tahu-” Lauri tidak tahu harus marah pada
siapa-Drake atau dirinya sendiri. Dia berjalan cepat ke kamar, dan
setelah menyalakan lampu, menjatuhkan diri ke tempat tidur dan
membungkuk untuk mencopot sepatu sandalnya.

“Kau tidak pernah belajar, bukan, Lauri? Kau senang dihukum, ya?”

Sambil membuka pakaian dia terus memarahi dirinya karena tadi
mau saja dicium Drake. Pria itu ayah muridnya. Dia bertanggung
jawab atas anak pria itu. Mestinya dia tidak membiarkan keterikatan
emosional mengaburkan objektifitasnya. Dan hubungan asmara
dengan ayah Jennifer sama artinya dengan kehancuran bagi anak itu.

39 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Berhubungan begitu akrab dengan Jennifer saja sudah cukup
membahayakan bagi pendidikannya. Memiliki gairah seksual
terhadap ayah anak itu benar-benar perbuatan sinting.
Sebetulnya bukan tindakannya mencium Drake yang meresahkan
Lauri, melainkan perasaannya ketika dia mencium pria itu. Ketika
sedang mabuk kepayang pada Paul pun dia tidak merasa sekacau
ketika dicium Drake tadi.
Dia seakan tenggelam, lalu pelampungnya dengan keji dan tak
berperasaan ditarik. Dan yang membuatnya sakit hati dan
tersinggung, Drake berani-beraninya mengatakan dia yang duluan
memeluk! Dasar seniman! Semuanya sama. Mereka memuaskan
keinginan mereka, dan setelah ego mereka yang terluka sembuh,
mereka menginjak-injak hati para penolong mereka.
Lauri pergi ke kamar mandi dan mengoleskan krim di wajah sambil
mengingat-ingat pernikahannya dengan Paul Jackson. Mereka
bertemu di pesta. Dia belum lama tinggal di New York, baru saja
memperoleh pekerjaan menjadi pengajar, yang diidamkannya, di
Norwood Institute for the Deaf.
Lauri kesepian, dan merindukan keluarganya, yang terasa jauh sekali
di Nebraska. Ketika salah seorang guru yang masih muda dan ramah
di sekolah itu mengajaknya pergi ke pesta, dia mau karena kesepian.
Para tamu terdiri atas bujangan dan pasangan- sebagian besar
pekerja kantoran-dengan beberapa penari, musisi, termasuk juga
penulis. Paul Jackson bermain piano sementara seorang gadis pirang
berkaki indah bernyanyi dengan suara yang sangat tidak sebanding
dengan kemampuan bermain Paul.
Pria itu melihat wanita muda berambut merah yang berdiri jauh dari
piano grand dan mendengarkan musiknya dengan penuh minat itu.
Keti ka sedang istirahat, pria itu memperkenalkan diri, dan mereka
lalu asyik mengobrol. Lauri memuji permainann ya, terutama waktu
Paul memberitahunya itu bahwa lagu-lagu itu ciptaannya sendiri.
Beberapa bulan kemudian barulah Lauri menganalisis hubungan
mereka. Dia sadar bahwa, bahkan pada pertemuan pertama itu pun,

40 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

mereka tidak membicarakan pekerjaan, impian, atau rencananya.
Mereka cuma bicara tentang Paul dan ambisinya untuk sukses di
industri musik. Percakapan pertama mereka it u seharusnya
merupakan pertanda sifat egois dan rasa tidak percaya diri pria itu.
Dia tampan dengan wajahnya yang serius dan tekun. Rambut
cokelatnya agak kepanjangan, tapi dia sering lupa memangkasnya
kalau tidak diingatkan Lauri dengan lembut. Semua harus dikatakan
dengan lembut, karena takut perasaannya akan tersinggung atau
harga dirinya terluka.
Barangkali yang dirasakan Lauri terhadap Paul adalah perasaan iba,
namun dia meyakinkan dirinya, setelah berbulan-bulan ia menjalin
hubungan dengan Paul, bahwa dia mencintai pria itu. Paul
membutuhkannya. Paul membutuhkan rasa percaya diri. Dia butuh
seseorang untuk mendengarkan musiknya dan mengaguminya.
Dorongan semangat. Kata-kata hiburan. Pujian.
“Maukah kau tinggal bersamaku, Lauri? Aku membutuhkanmu
selalu bersamaku.” Mereka di apartemen Paul, baru pulang
menonton film. Mereka berbaring sambil berpelukan erat di sofa.
“Kau meminta aku menikah denganmu, Paul?” tanya Lauri,
tersenyum. Dia girang sekali. Paul mencintainya. Dia akan mampu
menolongnya, memberinya dorongan, dan menjadi sandaran yang
dapat diandalkannya.
“Tidak.” Pria itu melepaskannya dan berdiri, melintasi ruangan
menuju meja tempat ia menyim-pan persediaan minuman keras. “Aku
memintamu tinggal bersamaku.” Dengan santai ia menuangkan wiski
ke dalam gelas.
Lauri duduk dan merapikan pakaian. Paul sering memintanya tidur
dengannya. Dia menolak, dan penolakannya biasanya menimbulkan
pertengkaran. Sesudah itu Paul dengan kasar akan minta maaf
karena telah memintanya melanggar prinsip.
“Paul, kau tahu aku tidak bisa berbuat begitu. Kan sudah pernah
kubilang alasannya.”

41 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Apa karena ayahmu pendeta?” Ia makin ngawur. Matanya kosong
dan tanpa ekspresi.

“Bukan cuma itu, tapi-”

“Oh, sudahlah,” Paul mengerang.

“Kau tahu aku ingin tidur denganmu!” jerit Lauri. “Lebih dari apa
pun. Tapi aku ingin jadi istrimu, bukan cuma pasangan kumpul
kebo.”

Paul mengumpat pelan dan menenggak habis sisa wiskinya. Dia
meletakkan gelas di meja dan lama menatap Lauri sebelum melintasi
ruangan dan berlutut di hadapannya.

“Dasar si rambut merah keras kepala,” bisiknya, mengulurkan tangan
untuk membelai rambut Lauri. “Kau tahu aku tidak sanggup hidup
begini lebih lama.” Dia meletakkan tangannya di perut Lauri dan
memijatnya dengan sensual. Lalu ia membungkuk dan mencium
payudara Lauri dari balik blusnya. “Kurasa ini berarti aku harus
menikahi-mu.”

“Oh, Paul,” teriak Lauri, memeluk leher pria itu dengan gembira.

Dengan sangat mengecewakan keluarganya, mereka menikah
beberapa hari kemudian di catatan sipil, disaksikan hanya oleh dua
teman musisi Paul. Keesokan harinya Lauri memindahkan barang-
barangnya ke apartemen Paul.

Selama satu atau dua bulan, semua berjalan lancar, Paul cuma
beberapa kali mengamuk atau mengalami depresi. Dia tengah
menggarap sekumpulan lagu yang sangat diyakininya akan sukses.
Tiap hari sepulang kerja Lauri mendapatinya duduk di depan piano.
Dia memasak makanan yang sambil lalu dinikmati Paul sebelum
kembali ke kertas-kertas lagunya.

Ketika Lauri naik ke tempat tidur, dia mengikuti hanya untuk
memuaskan kebutuhan seksualnya secara cepat, kemudian bekerja
lagi sementara Lauri berbaring sendirian dalam gelap sampai
akhirnya tertidur. Tiap pagi Lauri pelan-pelan turun dari tempat
tidur dan berangkat kerja tanpa membangunkan suaminya.

42 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Ketika lagu-lagunya ditolak produser, Paul mengalami depresi hebat.
Berulang kali dia mabuk, memaki-maki, dan menangis.

Waktu Lauri berusaha menghibur dan membangkitkan
semangatnya, pria itu berteriak, “Kau tahu apa, hah? Tiap hari
kerjamu cuma bergaul dengan segerombolan manusia tolol yang
bahkan tidak bisa mendengarkan musik, bagus atau tidak Jadi jangan
sok tahu. Demi Tuhan, tutup mulutmu!”

Paul akhirnya berhasil mengatasi depresinya, lalu mengalami periode
penyesalan mendalam yang bah kan lebih menjengkelkan daripada
kelakuannya sebelumnya. Dia menangis tersedu-sedu sementara
Lauri memeluk dan menghiburnya seperti anak kecil. Pria itu
meminta maaf dengan sangat dan berjanji tidak akan bersikap kasar
lagi padanya Lauri menenangkan dan membuatnya jadi manusia
rasional kembali. Tapi keadaan itu tidak bertahan lama. Selama
delapan bulan berikutnya berkali-kali Paul kumat, makin lama makin
sering. Dia mabuk karena tidak bisa menulis musik yang bagus. Dan
dia tidak bisa menulis musik yang bagus karena mabuk. Dan Lauri
yang menderita karenanya.

Ketika secara fisik pria itu mampu berhubungan seks, Lauri
mentolerir perbuatan yang dilakukan tanpa kehangatan atau kasih
sayang dan timbul, dari kemarahan Paul terhadap dirinya sendiri.
Lauri dimanfaatkan sebagai tempat penyaluran frustrasinya.

Lauri merasa harus meninggalkan suaminya un tuk
mempertahankan kewarasannya sendiri dan su paya tidak terjerumus
ke dalam kondisi seperti itu Dia tidak sanggup lagi menghadapi
emosi suaminya yang cepat sekali berubah, sikapnya yang tem
peramental, egonya yang perlu selalu dihibur dan paranoianya yang
harus ditenangkan.

Lauri pindah dan menyewa apartemen lain. Dia tidak pernah minta
cerai, masih berharap Paul mampu mengatasi kelemahannya dan
mereka bisa saling mencintai sebagaimana mestinya.

Tiga bulan kemudian pria itu meninggal. Pacarnya saat itu
menelepon Lauri setelah mendapati Paul tertelungkup di atas tuts
piano. Autopsi menunjukkan alkohol dan obat penenang dalam kadar

43 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

mematikan; kematiannya dianggap karena ketidak-sengajaan. Lauri
menerimanya.

Dia sekarang menggeleng penuh penyesalan sambil menyikat
rambut. Cuma beberapa orang menghadiri pemakaman Paul.
Orangtua Lauri belum pernah bertemu Paul. Mereka tidak bisa
datang ke New York, dan Paul tidak mau pergi ke “tempat udik
seperti Nebraska”. Lauri menelepon ibu Paul, yang tinggal di
Wisconsin dan belum pernah dijumpainya. Wanita itu
mendengarkan sementara Lauri menceritakan kematian anaknya,
lalu tanpa berkata apa-apa menutup telepon.

Mula-mula Lauri menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Paul.
Kalau saja dia lebih penuh pengertian, lebih mendukung; kalau saja
dia tidak meninggalkannya-mungkin Paul bisa keluar dari lembah
penderitaan yang digalinya sendiri itu.

Hanya setelah beberapa kali mengobrol panjang dengan ayahnya dan
berlalunya waktu, Lauri berhenti menyiksa diri dan bisa menerima
kematian suaminya.

Tapi pernikahan itu tetap mempengaruhinya. Dia jadi berhati-hati
dalam memilih pasangan. Eksekutif-eksekutif muda yang lebih
ambisius dalam mengejar karier daripada cinta adalah tipe yang tidak
mau diterimanya. Setiap hubungan selalu tidak melibatkan emosi,
dan jika dia merasa ada pria yang lebih dari sekadar tertarik padanya,
dia cepat-cepat menjauh.

Dia mematikan lampu kamar mandi, membuka pakaian dalam, dan
menyusup ke balik selimut dalam keadaan telanjang. “Kau sangat
beruntung dalam urusan laki-laki, Lauri Parrish,” dia mengomeli
dirinya.

Selama lima tahun sejak kematian Paul, dia selalu berhati-hati.
Sampai hari ini, dengan menjaga jarak dan bersikap dingin dia tidak
membiarkan seorang pria pun mencampuri kehidupannya. Ini bukan
kekeliruan kecil; ini kecerobohan besar.

Drake Rivington bukan cuma ayah muridnya, tapi juga aktor! Apa
yang lebih buruk daripada komposer selain aktor? Apa dia belum

44 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

yakin juga tentang temperamen orang-orang seperti itu? Sedetik
Drake menciumnya dengan gairah yang meruntuhkan benteng
pertahanan dirinya dan mendidihkan darahnya. Detik berikutnya
pria itu dingin dan tanpa perasaan, menjauh karena perkataannya
mengingatkannya pada mendiang istrinya.
Yang lebih menyebalkan adalah sikapnya yang sombong bukan main.
Dia terbiasa dipuja kaum wanita; yang mengharapkan dipandang,
diajak bicara, disentuhnya. Persetanlah semua jtu, pikir Lauri kesal
sambil meninju bantal.
Dia akan mengerjakan proyek yang mungkin makan waktu
bertahun-tahun dan membutuhkan konsentrasi penuh. Dia tidak mau
atau membutuhkan apa pun, terutama laki-laki. Abaikan sikap
sombongnya. Jangan pedulikan. Lupakan dia.
Lupakan bahwa rambutnya berkilau keperakan di bawah cahaya
tertentu. Lupakan bahwa matanya berwarna hijau sangat tua,
dibingkai bulu mata berwarna sangat gelap, dan mampu menusuk
orang dengan tatapannya. Lupakan bahwa tubuhnya tinggi, tegap,
dan kuat, dan bahwa gerakannya mantap tapi anggun.
Lauri bergerak-gerak gelisah di balik selimut dan mengabaikan
debar jantungnya ketika teringat bagaimana rasa ciuman Drake. Tak
sadar tangannya bergerak ke bibirnya, yang masih terasa seperti
digelitik akibat sentuhan manis pria itu. Jari-jarinya merayap ke
telinga dan lekuk di baliknya yang pernah merasakan belaian lembut
kumis Drake.
Dia mengerang ke bantal dan menelungk up. Bagian-bagian lain
tubuhnya ingin disentuh, dibelai, t api dia tidak mengacuhkannya,
sama seperti ia tidak m engacuhkan fakta bahwa ia sangat tertarik
pada Drake Rivington.

®LoveReads

45 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 4

“Jennifer. Jennifer.”
Ikal-ikal pirangnya bergoyang ketika gadis kecil itu menoleh ke arah
suara yang tidak begitu jelas didengar telinganya, yang diketahuinya
sebagai namanya itu-alat bantu dengarnya tersembunyi di balik
rambutnya yang mengilat.
“Pakai serbetmu,” Lauri mengisyaratkan sambil bicara, lalu
tersenyum. “Enak?” tanyanya. Dia senang waktu Jennifer
mengisyaratkan ya dan berusaha mengucapkannya.
Mereka berada di kafe di LaGuardia Airport, menunggu
pemberitahuan bahwa pesawat ke Albuquerque yang akan mereka
tumpangi siap berangkat. Jennifer sedang menghabiskan sepiring es
krim vanila sementara Drake dan Lauri mengawasinya dengan
cermat.
“Kemajuannya selama dua minggu ini begitu pesat, rasanya sulit
untuk dipercaya, Lauri.”
Jantung Lauri seolah berhenti berdetak ketika Drake mengucapkan
namanya, namun ia menyembunyikan reaksinya. “Ya, memang,”
jawabnya tenang menutupi perasaan sebenarnya, ia akan pergi, ia tak
akan bisa bertemu pria itu lagi, untuk urusan bisnis sekalipun. Sejak
malam Drake menciumnya, dia sengaja bersikap dingin dalam semua
pertemuan mereka.
Mereka harus terus bercakap-cakap sampai dia dan Jennifer boleh
menaiki pesawat. Dia tak sanggup menghadapi suasana diam yang
kaku. “Ingat, jangan terlalu berharap,” Lauri memperingatkan.
“Baik,” Drake berjanji dengan sungguh-sungguh.
“Aku tahu kau akan berbuat sebaliknya,” kata Lauri, tertawa, dan
pria itu membalas senyum manisnya.

46 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Dua minggu terakhir ini berlalu cepat sekali. Drake membereskan
segala sesuatunya dengan sigap. Dia membayar sewa apartemen
Lauri, walaupun tanggal jatuh temponya masih tiga bulan lagi. Dia
menyelesaikan semua urusan yang berhubungan dengan perjalanan
mereka, dan selalu memberitahu Lauri tentang persiapan yang
dilakukan di New Mexico.

Lauri sudah mengirim lebih dulu pakaian musim dingin Jennifer dan
miliknya. Sementara beberapa perlengkapan rumah tangga yang
dimilikinya, diberikan atau dijualnya pada teman-temannya. Drake
memberitahunya bahwa rumah di New Mexico itu berperabotan
lengkap. Barang-barang pribadinya dipak dalam beberapa kardus dan
dimasukkan ke bagasi pesawat bersama koper-kopernya.

Dr. Norwood menyesali kepergian Lauri setelah dia begitu lama
mengajar di sekolahnya, namun tahu betapa Lauri sangat sesuai
mengajar secara privat dan betapa Jennifer Rivington sangat
membutuhkan perhatian seperti itu. Dia mendoakan keberhasilan
Lauri.

Lauri sengaja bersikap formal kalau bertemu dan berbicara di telepon
dengan Drake. Topik pembicaraan mereka selalu berkisar pada
Jennifer atau pengaturan yang dilakukan untuk perjalanan dan
kenyamanan mereka di Whispers.

Pada pertemuan pertama mereka setelah malam Drake menciumnya,
pria itu menggenggam tangannya dan berkata perlahan, “Lauri,
tentang malam itu-”

“Tidak usah dijelaskan, Drake.” Lauri menarik tangannya. “Kurasa
kita berdua terhanyut suasana emosional di sekolah. Tolong jangan
disinggung-singgung lagi.”

Mata pria itu mengeras, dan kerut-kerut di kedua sisi mulutnya
menegang, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Mulai saat itu,
sikapnya sekaku dan sedingin Lauri. Pernah, ketika mereka
menyeberangi jalan ramai Manhattan, pria itu memegang sikunya,
tapi langsung melepaskannya begitu mereka sampai di seberang.
Sampai sekarang dia tidak pernah menyentuhnya lagi.

47 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Dengan putus asa Lauri berusaha menahan gairah liar yang menderu
di seluruh pembuluh darahnya tiap kali dia melihat pria itu.
Perasaannya baru akan tenang kalau mereka terpisah jauh. Dia yakin
dia cuma korban pesona dan ketampanan Drake yang memang telah
merebut hati begitu banyak wanita. Dia akan mengatasi mabuk
kepayang ini seperti dia berhasil melupakan semua cintanya sejak
remaja.

“Kau mau Coke lagi?” tanya Drake padanya dan membuyarkan
lamunannya.

“Tidak, sudah cukup, terima kasih.”

“Aku ingin memesan sebotol bir lagi,” katanya, lalu memberi tanda
pada pelayan. Gadis malang itu girang sekali, dan waktu Drake
mengalihkan perhatian padanya, dia nyaris tersandung saking
terburu-burunya mengambilkan minuman pria itu. Drake menoleh
pada Lauri kembali dan berkata, “Kau pernah bilang ayahmu
pendeta.” Lauri mengangguk. “Itukah sebabnya kau tidak pernah
minum alkohol?”

Lauri tertegun sesaat mendengar pertanyaan itu.

Lalu ia menjawab tenang, “Bukan. Aku dulu sesekali minum alkohol,
untuk pergaulan.” Dia mengalihkan pandangan dari pria itu dengan
menghapus es krim dari wajah Jennifer. “Aku telah melihat pengaruh
buruk alkohol,” katanya perlahan.

“Suamimu?” Pertanyaan itu diucapkan dengan suara pelan, namun
Lauri merasa seperti disambar petir. Pernikahannya tidak pernah
disebut-sebut lagi sejak malam di luar apartemennya dahulu.

“Ya,” katanya, membalas tatapan tajam pria itu. Dia mendesah.
Bagaimanapun dia memang harus menceritakannya pada Drake.
“Akan kuceritakan pernikahanku padamu. Setelah ini aku tidak ingin
membicarakannya lagi.” Dengan singkat dan tanpa emosi Lauri
menceritakan pernikahannya dengan Paul yang singkat tapi kacau-
balau. “Aku kembali memakai nama gadisku setelah dia meninggal.
Aku tidak pernah merasa jadi miliknya begitu juga sebaliknya, jadi
kupikir aku munafik kalau memakai namanya.”

48 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Pelan-pelan dia memandang Drake. Pria itu menatapnya lekat-lekat,
menyentuh setiap inci wajahnya dengan matanya. Mata itu berbinar
sebentar di bibirnya, dan Lauri merasa seolah dia merasakan
ciumannya lagi. Lalu mata pria itu beralih ke putrinya.
“Jennifer.” Drake mengetuk pelan meja dan menarik perhatian si
anak. Dia mengulurkan tangan dan gadis kecil itu melompat bangun
dari kursi dan lari mengelilingi meja untuk naik ke pangkuannya.
Drake tidak memedulikan bir yang diletakkan pelayan yang salah
tingkah itu di hadapannya. Dia memeluk Jennifer erat-erat,
membenamkan wajah di rambut ikalnya. Lauri membuang muka dan
menahan air mata yang menggenangi sudut matanya. Dia akan
merasa bersalah ketika berjalan ke pesawat bersama putri pria itu,
karena memisahkan mereka.
Sementara Drake memandangi wajah tanpa dosa anaknya, Lauri
berkata, “Kau bisa menyuratinya. Itu akan membantunya menyadari
kau masih jadi bagian hidupnya. Aku juga dapat menggunakan surat-
suratmu sebagai alat bantu mengajar. Kami bisa pergi ke kantor pos,
dan sebagainya.”
“Oke,” Drake bergumam, membetulkan kaus kaki putih selutut di
kaki gemuk Jennifer.
“Tentu saja, kami akan jadi penggemar berat The Hearts Answer.”
“Oh, Tuhan, jangan biarkan dia menontonnya,” Drake mengerang,
tapi kembali tersenyum.
Para penumpang dipanggil melalui pengeras suara dengan suara
mendayu-dayu yang dibuat-buat. Lama Lauri dan Drake
berpandangan sementara Jennifer asyik berceloteh pada ayahnya.
Akhirnya Lauri membuang muka dan membungkuk untuk
mengambil tas besar yang akan dibawanya ke pesawat.
Mereka berjalan tanpa bicara. Drake menggendong Jennifer, yang
masih belum menyadari fakta bahwa sebentar lagi dia akan berpisah
dari laki-laki ini, yang disayanginya sepenuh hati.

49 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Drake mengambilkan boarding pass mereka, lalu menatap Lauri.
“Kalau ada yang kaubutuhkan, kapan saja, segera telepon aku. Kau
lebih dari sekadar pegawai, Lauri. Aku memasrahkan putriku
padamu.”
“Aku tahu. Aku akan berbuat sebaik mungkin untuknya. Kau boleh
percaya itu.”
Para penumpang dan pegawai perusahaan penerbangan mengenali
Drake, berbisik-bisik dan mengangguk-angguk. Beberapa wanita
bersikap sangat konyol, sementara yang lain cuma tersenyum pada
pria itu dan berjalan terus. Lauri sangat menyadari tatapan mereka.
Drake kelihatannya tidak.
Pria itu berjongkok dan mengeluarkan sebungkus permen karet dari
saku. Jennifer meraihnya, namun Drake tetap memegangnya sampai
anak itu memintanya dalam bahasa isyarat. Dia memeluknya
sebentar, lalu mengisyaratkan Aku sayang padamu. Jennifer
membalasnya, tapi sebetulnya lebih tertarik pada permen karet di
tangan pria itu.
“Menurutmu dia mengerti?” Drake bertanya penuh harap pada Lauri.
“Dia tidak menyadari bahwa dia akan meninggalkanmu untuk waktu
lama. Pemahamannya tentang kasih sayang sama seperti anak-anak
lain.”
Drake tampak puas dengan jawaban Lauri dan mengangguk tak
sadar. Matanya bergerak ke sana-kemari ketika memandangi
kerumunan yang menunggu giliran naik ke pesawat. Tapi sebetulnya
dia dan Lauri sama-sama hanya berpura-pura memperhatikan orang
lain. Akhirnya matanya kembali menatap wanita itu.
“Lauri,” kata Drake ragu. Dia menyentuh tangan Lauri yang
menggenggam boarding pass. Dip andanginya lagi wajah wanita itu.
Mata hijaunya mem buat Lauri terpaku. Mata itu memohonnya
untuk... apa? Mata yang bagai tak berdasar itu seolah menariknya ke
dalam pusaran air. Lauri tenggelam.

50 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m


Click to View FlipBook Version