The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by misbahul munir, 2020-07-24 03:31:00

Gaung_Keheningan

Gaung_Keheningan

menyatukan hidupnya dengan Drake. “Kau boleh mencium
mempelaimu, Nak.”
Drake memegang bahu Lauri dan memutarnya ke arahnya. Matanya
menjelajahi wajah wanita itu, berusaha membacanya sebelum
menunduk dan mencium mesra bibirnya. Ciumannya sebentar, tapi
penuh perasaan, dan Lauri merasakan efeknya di sekujur tubuhnya.
Mereka dikelilingi Andrew dan Alice, juga Betty dan ketiga anak-
anak, yang diminta Alice supaya hadir juga. Dia menelepon Betty
dan mengundang-nya datang ke upacara ini. Betty menangis selama
upacara singkat ini, namun anak-anak berdiri tenang, mendengarkan
dengan terpesona dan mengamati tangan Andrew ketika pria” itu
dengan hikmat mengisyaratkan kata-katanya untuk Jennifer. Lauri
dan Drake pun menggunakan bahasa isyarat untuk janji perkawinan
mereka.
Di lain waktu, Lauri pasti menganggap ini upacara pernikahan
paling indah. Meskipun tempat dan pakaiannya bukan seperti dalam
upacara konvensional, dia tahu bahwa ketika mengucapkan janji
perkawinan pada Drake, dia bersungguh-sungguh. Kesadaran itu
sangat menyentuh. Pada pria itu dia menjanjikan cintanya dan
kesetiaan lahir maupun batin, dan itu bukan karena para saksi
mengharapkan dia mengucapkan kata-kata yang tepat. Dia
mengucapkannya karena ingin mengatakannya pada Drake dan
memberitahu pria itu bahwa dia serius. Bibirnya mengejawantahkan
apa yang sudah diketahui hatinya. Kerinduan mendalam, tak
tertahankan, dan menyenangkan yang dirasakannya terhadap Drake
ini pasti cinta. Cinta. Ya, dia mencintai Drake. Dia mengetahui
kelemahan-kelemahan pria itu, dan mengenal temperamennya, tapi
semua itu tidak mengubah perasaannya. Drake bisa membuatnya
sangat marah, tapi dia tetap mencintainya.
Semua ini sia-sia, Lauri memperingatkan dirinya. Karena Drake
pernah mencintai seseorang, cintanya dalam dan abadi, dan tak ada
tempat di hatinya bagi wanita lain selain mendiang Susan. Dia jujur
pada Lauri; Lauri tidak bisa berbuat lain. Dia mengakui cintanya; jika
bukan pada pria itu, maka pada dirinya sendiri.

151 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Drake mencium Betty, dan wanita itu pura-pura akan pingsan. Lalu
Drake tertawa dan memeluk Alice, bersalaman dengan Andrew yang
menepuk-nepuk punggungnya. Dia berlutut dan mengg endong
Jennifer, menggelitik pipi gadis kecil itu dengan kumisnya,
perbuatan yang selalu membuat si anak me ngikik.

Orang-orang pasti percaya ini acara gembira bagi semua orang
sampai mereka melihat wajah mempelai wanita. Wajahnya pucat, dan
berkali-kali sekujur tubuhnya bergetar, seolah berusaha keras
menahan emosi.

Tak berapa lama kemudian suami-istri Parrish berangkat. Tas-tas
mereka sudah dimasukkan ke bagasi mobil sewaan, dan mereka
berdiri di teras depan untuk mengucapkan salam perpisahan. Mata
Alice berkaca-kaca waktu dia mencium Jennifer, yang membalas
ciumannya tanpa malu-malu. Lauri memeluk orangtuanya satu per
satu, begitu erat seolah mereka pelampung yang dapat
menyelamatkannya. Setelah masuk mobil dan meluncur di jalan
masuk yang curam, mereka melambai dan berseru-seru
mengucapkan salam perpisahan dan janji untuk menelepon dan
mengirim surat. Selama itu Drake berdiri di samping Lauri, berperan
sebagai suami penuh cinta. Di tangan ya ng satu dia menggendong
Jennifer. Tangan yang lain m emeluk pinggang Lauri.

“Wah, hari yang luar biasa, Jennifer,” kata Drake sambil menghela
napas, menjatuhkan diri ke sofa dan memangku anaknya. “Lauri,
jangan masak apa-apa untuk makan malam. Kita makan seadanya
saja malam ini. Aku tahu kau pasti lelah juga.”

“Baiklah, Drake. Biar kusiapkan dulu beberapa makanan.” Lauri
masuk ke dapur cepat-cepat. Kenapa dia mendadak gelisah berada
semangan dengan pria itu?

Setelah mereka menikmati makanan seadanya, Jennifer dimandikan
dan dibaringkan di tempat tidur. Anak itu kecapekan karena berbagai
peristiwa hari ini. Ia sudah mulai menampakkan kelelahannya saat
makan tadi, ketika dia jadi gampang marah. Lauri lega ketika anak
yang sedang rewel itu akhirnya tidur. Dia kembali ke dapur untuk
mencuci piring, tapi melihat Drake telah mendahuluinya. Pekerjaan
itu sudah hampir selesai.

152 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Mestinya kau tidak usah repot-repot begitu, Drake. Aku pasti akan
membereskan semua ini.”

Pria itu tersenyum sambil menoleh. “Kau kan harus mengurus
Jennifer. Aku memilih pekerjaan yang gampang.”

“Dia kecapekan. Tidak biasanya dia bandel begitu, terutama kalau
ada kau. Kuharap dia tidak sakit.”

Drake tertawa ketika mendatanginya dan memeluknya.
“Omonganmu persis omongan seorang ibu,” bisiknya serak di
rambut Lauri.

“O, ya?” dia bertanya tak acuh, lalu menjauh dari pria itu dan pergi
ke wastafel. Ia pura-pura sibuk ketika mengisi gelas dengan air dan
meminumnya.

Drake tak gentar dengan sikap dingin wanita itu dan mendekatinya
dari belakang, menopangkan tubuhnya di permukaan konter dengan
meletakkan kedua tangannya di kiri dan kanan Lauri. Dengan
hidungnya dia disibakkannya rambut di leher wanita itu dan mulai
menggodanya dengan gigitan-gigitan mesra.

“Drake-”

“Ini lembut sekali,” gumam. Drake. Perasaan nikmat menyambar
sekujur tubuh Lauri ketika dia merasakan ujung lidah pria itu
membelai bagian belakang telinganya.

“Kumohon, Drake-” Dia berusaha berbalik, dan pria itu
mengizinkannya cuma supaya mereka berhadap-hadapan. Sekarang
bokong Lauri menekan konter, dan Drake memenjarakannya dengan
tubuh tegapnya.

Pria itu meraih tangan Lauri dan meletakkannya di dadanya,
menekan telapak tangannya sampai Lauri bisa merasakan debar
jantungnya, kehangatan yang memancar dari kulitnya, dan tekstur
kasar bulu dadanya di balik kemeja.

“Lauri, tahukah kau bahwa dalam masyarakat tertentu suatu
pernikahan tidak dianggap sah kalau pasangan itu tidak menikah di

153 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

gereja dan diberkati Tuhan? Kalau begitu kita sudah menikah.
Upacara formal sering tidak ada artinya.”

Tangannya menyisir rambut Lauri. Drake menghentikan jari-jarinya
di kulit kepala wanita itu dan memijat pelipisnya dengan ibu jari
dengan ritme yang membuatnya terbuai.

Mulai dari kening, dia mencium Lauri lembut sebelum bergerak di
atas kelopak matanya yang terpejam menuju pipi. Setiap ciuman
perlahan dan penuh perasaan, seakan dia ingin melekatkan bibirnya
di kulit wanita itu.

Dia menempelkan bibirnya di bibir Lauri, menggodanya,
memikatnya, sebelum betul-betul menciumnya. Drake
menggesekkan tubuhnya ke tubuh wanita itu. Secara fisik jelas
ciumannya cuma melambangkan sebagian kecil gairah yang
menggelegak dalam dirinya, untuk memiliki Lauri secara total.

Kaki Lauri tak berdaya karena perangkap tubuh Drake; otot-ototnya
seakan lumer. Namun lengannya terasa bertenaga ketika dia
menyusuri dada pria itu dan memeluk lehernya. Dia bergerak makin
dekat, merasakan tubuh keras pria itu kontras dengan kontur lembut
tubuhnya sendiri. Sekali lagi dia jadi menyadari betapa serasinya
tubuh mereka, tubuh jantan Drake berpadu dengan tubuh
femininnya.

“Lauri,” kata Drake parau, “kau membuatku berada di antara surga
dan neraka. Tapi aku berani bersumpah bahwa neraka ini lebih
nikmat dari apa pun yang pernah kuketahui.” Diciumnya leher Lauri,
tapi wanita itu tidak melawan, menyerah pada bibir, gigi, dan lidah
Drake, yang seakan lebih mengetahui tubuhnya daripada Lauri
sendiri. Dia tidak mencari titik-titik yang sensitif, melainkan tahu
secara instingstif dan langsung menyerangnya dengan gairah yang
tak ada habis-habisnya.

Lauri bisa menjadi istrinya dalam setiap arti kata itu. Dia ingin
menjadi istrinya, dan dalam hati dia sudah menjadi istrinya. Secara
moral perasaannya tanpa beban. Di hadapan Tuhan dan pendeta
yang berhak menikahkan, dia telah menjanjikan hidup dan cintanya
pada pria ini. Tidak ada yang dapat menggoyahkan keyakinannya

154 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

bahwa janji-janji yang diberikannya pada pria ini sahih dan
mengikat.

Namun Drake tidak memberikan janji-janji seperti itu.

Dia mengucapkan kata-kata puitis itu, mengulangi kalimat-kalimat
familier itu, tapi semua itu tidak berasal dari hatinya. Untuk
melindungi Lauri dan karena menghormati orangtuanya, Drake
memainkan perannya dan melakukannya dengan meyakinkan. Tapi
Lauri tahu motivasinya, yang jelas bukan cinta. Cintanya telah
hilang, terkubur, dan Lauri tidak bisa berbuat apa-apa untuk
mengubahnya.

Drake membutuhkannya sekarang. Dia dapat merasakan
keputusasaan dalam cara pria itu memeluknya. Ciumannya yang
panas mengindikasikan gairahnya. Jika dia mau bercinta dengannya
sekarang, berapa lama gairah itu akan sanggup bertahan? Berapa
lama sebelum Drake menarik diri ke dalam dunianya sendiri seperti
Paul dulu? Ketika dia membutuhkan cinta Drake untuk mengobati
lukanya, apakah pria itu akan memberikannya? Dia tidak mau
mengambil risiko. Lebih baik dia hidup tanpa cintanya sama sekali
daripada cuma memperoleh jiplakannya.

Drake butuh waktu beberapa detik untuk menyadari bahwa gerakan-
gerakan Lauri bukan karena gairah. Wanita itu memberontak. Dia
begitu kaget sehingga segera membebaskannya. Lauri
mendorongnya dan berlari keluar ruangan. Ketika wanita itu sudah
menaiki setengah tangga, dia memanggilnya.

Suaranya lembut, tapi justru jadi lebih berpengaruh. “Lauri.”

Lauri langsung berhenti. Dia tidak berbalik. Jika dia melihat pria itu,
tekadnya pasti akan buyar. Sekarang pun, kalau saja Drake
mengatakan bahwa dia mencintainya, dia akan terbang ke pelukan
pria itu -dan menemukan akhir dari siksaan yang mencengkeramnya
ini. Katakan kau mencintaiku! jeritnya dalam hati.

“Lauri-” Drake tidak melanjutkan kalimatnya dan tampak ragu-ragu.
Akhirnya dia cuma mengatakan “Selamat malam”, hingga membuat
Lauri kesal sekali.

155 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Sesuatu membangunkan Lauri. Dia tersadar dari tidur nyenyak
karena instingnya memberitahu ada yang tidak beres. Memasang
telinga sebentar, dia tidak mendengar sesuatu yang bisa
membangunkannya, meskipun begitu dia tetap menyibakkan selimut
dan turun dari tempat tidur. Mantelnya tergeletak di kursi, dan dia
memakainya sebelum melangkah ke koridor gelap.

Yang pertama dipikirkannya adalah Jennifer. Dia pergi ke pintu
kamar gadis kecil itu. Tempat tidurnya kosong. Lauri menahan panik
yang melandanya dan melintasi kamar menuju kamar mandi di
sebelahnya. Jennifer tidak ada juga di sana.

Lauri menuruni tangga, dengan tersandung-sandung karena
menginjak ujung mantel, untuk memeriksa kamar-kamar di lantai
dasar. Tidak ada Jennifer. Berpikir-berharap-anak itu bangun karena
haus atau ingin makan kue, dia pergi ke dapur dan menyalakan
lampu. Jennifer tidak ada di ruangan itu, tapi pintu belakang terbuka
lebar, memasukkan udara malam yang dingin. Jantung Lauri bagai
berhenti berdetak. Diculik!

Itulah pikiran yang langsung muncul di benaknya. Drake selebriti.
Dia dan anaknya merupakan sasaran sempurna bagi orang sinting
yang mencari kekayaan atau ketenaran seketika.

Keinginan pertamanya adalah berlari ke luar dan menemukan sendiri
anak itu, namun di tengah ruangan dia berhenti. Bagaimana kalau
mereka masih ada di luar sana? Mereka bisa mengalahkannya. Di
luar gelap dan dingin. Dia tak bersenjata.

Dia berlari ke kamar Drake dan tanpa ragu memegang bahu
telanjang pria itu dan mengguncangnya. “Drake, bangun.”
Suaranyakah itu yang bergetar ketakutan? Kedengarannya mirip
isakan. “Drake, kumohon bangunlah.”

Pria itu langsung duduk tegak dan memandangnya dengan tatapan
liar, kosong, dan kaget seperti layaknya orang yang mendadak
dibangunkan. “Lauri? A-ada apa?”

“Jennifer. Dia tidak ada. Aku terbangun-mendengar sesuatu, kurasa-
pintu belakang. Kupikir, barangkali penculik-” Dia tergagap-gagap

156 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

dan omongannya tak jelas, namun Drake tahu wanita itu ketakutan,
dan dia cukup memahami kata-katanya sehingga bisa menebak
sisanya.

Drake menendang selimut dan berlari meninggalkan tempat tidur
dengan gerakan sigap bak binatang. Ia menyambar mantel dari
cantelan di belakang pintu dan buru-buru mengenakannya sambil
bergegas menyusul Lauri, yang sudah kembali ke dapur.

Dia langsung pergi ke pintu dan memandang kegelapan pekat di
luar. “Kita telepon polisi?” tanya Lauri gemetar sambil meremas-
remas tangan. “Drake, apa-” Dia tidak sanggup melanjutkan. Dia
menangis tersedu-sedu.
“Tenanglah, Lauri. Tidak ada gunanya histeris. Ya, telepon polisi.
Aku akan ke gudang di luar dan mengambil senter-”
“Tapi mereka mungkin saja masih di luar sana. Oh, Drake, tidak-”
“Siapa 'mereka'? Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Tapi demi
Tuhan aku bersumpah kalau terjadi apa-apa pada Jennifer, akan
kubunuh-”
“Kalian berdua mencari si Pengelana Malam?” kedua orang panik
yang berdiri di tengah ruangan itu menoleh dan ternganga
memandang Betty, yang menggendong Jennifer.
“Oh, Tuhan,” kata Lauri, menutup mulut dengan tangan karena lega,
lalu cepat-cepat mengambil anak itu dari pelukan Betty. Didekapnya
Jennifer dan dibuainya, masih tidak percaya dia sudah pulang dalam
keadaan selamat.
“Apa yang terjadi?” tanya Drake, dan Lauri mendengar suara pria itu
bergetar. Drake memegang punggung Jennifer dengan sikap
melindungi.
“Aku sedang tidur nyenyak,” Betty menjelaskan, “ketika mendengar
ada orang di pintu belakang. Tentu saja, aku langsung mengira itu
pasti pencuri atau pemerkosa dan nyaris panik. Aku takkan pernah
bisa membiasakan diri dengan Jim yang selalu pergi dan aku harus
sendirian.” Mata cokelat bulatnya lalu kembali ke dada telanjang

157 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Drake yang amat menggoda, yang kelihatan karena bagian leher
mantelnya rendah.

“Yah, begitulah,” Betty melanjutkan, “kuputuskan bahwa pemerkosa
itu tidak terlalu pandai karena dia ribut sekali waktu berusaha
membuka pintu. Kurasa aku lebih penasaran daripada takut. Aku
pergi ke dapur dan mengintip ke luar jendela. Jennifer berdiri di
tangga, mencoba membuka pintu. Ketika kusilakan masuk, dia
langsung ke kamar Sally. Tadi siang dia meninggalkan Bunny di
sana. Setelah memperoleh apa yang diinginkannya, dia berjalan
pulang. Kupikir sebaiknya kutemani dia dan memastikan anak itu
sampai di sini dengan selamat. Bisa kalian bayangkan bandit kecil ini
keluar sendirian tengah malam tanpa seizin kalian?”

“Dia lelah sekali ketika tidur, sehingga mungkin tidak merasa
kehilangan Bunny. Ketika terban gun tengah malam dan menyadari
boneka itu tidak ad a, dia pergi untuk mengambilnya.” Lauri
meneruskan ce rita itu. Dia tersenyum pada Jennifer, yang memeluk
Bu nny dan menguap. Lauri menyibakkan helai-helai rambut ikalnya
dari pipi ketika menciumnya.

Drake meraih anaknya dan mengangkatnya ke depannya, sementara
dia berjongkok. “Jennifer, kau nakal sekali!” dia mengisyaratkan
dengan tegas untuk menekankan maksud omongannya. “Jangan
pernah pergi tanpa seizin aku atau Lauri. Kami jadi-” Dia tidak tahu
bahasa isyarat takut dan memandang Lauri untuk meminta
pertolongannya. Lauri memberitahukannya dan dia melanjutkan,
“Kami jadi takut dan sedih. Kami tidak tahu kau ada di mana. Kalau
kau pergi tanpa izin lagi, aku terpaksa harus memukulmu.”

Bibir bawah Jennifer mulai bergetar, dan dia tahu ayahnya tidak
main-main. Lalu tangan Drake merangkulnya dan pria itu
memeluknya erat-erat, memejamkan mata karena ngeri memikirkan
kejadian-kejadian buruk yang bisa menimpa Jennifer. Tangan
Jennifer memeluk lehernya, meskipun dia tetap memegang Bunny
kuat-kuat.

Drake mengangkatnya dan mereka berjalan keluar dapur. “Ya
Tuhan, aku-”

158 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Terima kasih, Betty. Tidak bisa kukatakan betapa leganya aku
melihatmu bersamanya. Aku baru saja membangunkan Drake, dan
kami tadi sudah membayangkan yang tidak-tidak.” Dia berterima
kasih pada tetangganya itu tapi sedang tidak ingin mendengar
celotehan Betty.
“Aku harus pulang. Selamat malam. Kembalilah ke keluargamu di
atas.” Dia menyentuh lengan Lauri untuk menenangkannya dan
bergegas keluar lewat pintu belakang. Lauri menguncinya.
Ketakutannya masih belum hilang.
Di kamar Jennifer, Drake duduk di tepi tempat tidurnya, mengusap-
usap kening anaknya, walaupun gadis kecil itu sudah tidur pulas.
Digenggamnya tangan Lauri ketika wanita itu membungkuk dan
mencium Jennifer.
Mereka meninggalkan kamar itu bersama-sama. Ketika mereka
sampai di koridor, Drake berkomentar, “Kau gemetar.”
“Aku tidak tahu apakah karena dingin atau takut.”
“Kau mau segelas anggur?”
“Tidak, aku akan baik-baik saja,” katanya waktu mereka tiba di depan
pintu kamar tidur utama. Dia mendongak dan tersenyum, tapi
senyumnya memudar waktu melihat kerinduan yang tampak jelas di
wajah pria itu, yang terlalu memikat untuk diabaikan. Mereka saling
berhadapan dan lama berpandang-pandangan. Drake tidak
menyentuhnya, tapi memang tidak perlu. Lauri sangat menyadari
keberadaan tubuh pria itu, yang tampak seperti tertarik ke arahnya,
walaupun Drake tidak bergerak. Bagai magnet yang kutubnya
berlawanan, mereka saling mendekat. Hasrat naluriah yang tak bisa
dibantah mereka, merupakan kekuatan dan datang begitu mendadak
hingga tak bisa dilawan. Ketika akhirnya bergerak bersama, mereka
berpelukan erat, menyatu karena takut dipisahkan.
Lauri tidak melawan waktu Drake menggendong dan membawanya
ke kamar, dan membaringkannya dengan lembut di atas bantal.
Dengan sigap Drake melepas mantel dan pakaian dalamnya.

159 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Telanjang bulat ia berbaring di samping Lauri, dan dengan gerakan
sensual bagai dewa purba melaksanakan upacara cinta itu.
“Lauri, jangan bicara. Jangan berpikir. Kumohon, jangan berpikir.
Rasakan saja. Rasakan.”
Tangannya menyusuri kembali lekuk-lekuk tubuh Lauri. Drake tidak
terburu-buru, pelan-pelan ia membuka mantel Lauri. Tapi dia ingin
melihat dan mengetahui semuanya. Disibakkannya mantel itu,
diangkatnya bahu Lauri ketika melepaskannya dari tubuhnya.
Ditariknya wanita itu dan dipeluknya dengan penuh perasaan.
Mulutnya mencium sementara tangannya membelai, menggoda,
membangkitkan kenikmatan di tubuh Lauri.
Bahu, dada, dan perut Lauri mengenali sentuhannya dan
menikmatinya. Drake menghujani dada Lauri dengan ciuman-ciuman
panas. Kemudian dengan sentuhannya, Drake mendapati Lauri telah
siap menyambutnya.
Sentuhannya sangat lembut dan begitu intim sehingga Lauri
tersentak lalu mencengkeram bahu Drake karena merasakan sensasi
yang belum pernah dirasakannya.
“Lauri. Kau wanita... cantik... yang diciptakan untukku.” Ucapannya
terputus-putus. Tapi kalaupun dia tidak bicara, Lauri bisa
mengetahui apa yang dipikirkannya. Bibir Drake yang membelai dan
sentuhannya yang luar biasa sudah mengatakan semua yang perlu
diketahuinya.
Kata-kata Paul terngiang. Lauri tidak pernah membuatnya senang.
Sekarang dia sadar bahwa dulu dia tidak peduli sehingga tidak ingin
memberi suaminya itu kenikmatan. Tapi sekarang dia ingin
membuat tubuh Drake merasakan kenikmatan seperti yang dirasakan
tubuhnya.
Tangannya menjelajahi tubuh tegap itu, memijat otot-otot di bawah
tangannya. Disingkirkannya perasaan malu dan segan dan
disentuhnya pria itu, dibelainya.

160 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Lauri... ya, Sayang. Kenalilah aku,” kata Drake sambil menahan
napas ketika membenamkan kepala di leher Lauri dan
mencengkeramnya kuat-kuat.
Reaksinya membangkitkan kepercayaan diri Lauri, dan kata-kata
menghina Paul terlupakan waktu dia mendengar erangan-erangan
nikmat tertahan Drake. Pria itu membisikkan namanya berkali-kali,
napasnya mengembus telinganya.
Drake memegang wajah Lauri dengan dua tangan dan melumat
bibirnya dengan ganas. Setelah ragu-ragu sejenak ia berhenti
sebelum menyatukan tubuh mereka. Dia mengangkat kepala dan
memandang Lauri. Lauri menyentuh wajahnya dan menyusuri
bagian-bagian yang dicintainya itu. Jari-jarinya mengelus kumis pria
itu dan mengitari bibirnya. Mata mereka terus bertatapan.
“Lauri?” desah Drake.
Lauri merasakan sentuhan awalnya. Sambil memejamkan mata, ia
menarik kepala Drake ke bantal. Dia mendesahkan nama pria itu
dengan takjub ketika tubuh mereka melebur jadi satu.
Dan hebatnya, kenikmatan ini tidak berhenti sampai di situ, seperti
biasanya selama ini. Drake membisikkan rayuan-rayuan, dan
menikmatinya. Sensasi di dalam tubuh Lauri menyebar, memacu
jantungnya, dan melanda jiwanya. Drake meneriakkan namanya
ketika mencapai puncak. Lauri mendengarnya sedetik sebelum
tubuhnya serasa meledak.
Dan ledakan itu berlanjut terus....
“Aku belum pernah merasa seperti ini,” bisik Lauri lemah dalam
kegelapan.
Kepalanya bersandar di dada Drake ketika pria itu memeluknya, kaki
mereka saling membelit di balik selimut. Drake mengusap-usap
punggungnya.
“Tidak pernah?” tanya Drake lembut, bangga. “Tidak dengan-”

161 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Paul? Tidak,” kata Lauri sambil tersenyum sedih dan menggeleng
pelan. Bulu-bulu di dada Drake menggelitik hidungnya. “Tak
kusangka aku bisa,” dia mengaku.
Tawa menggemuruh di dada pria itu dan terdengar keras di telinga
Lauri. “Yah, sekarang kita sudah tahu, bukan?” Ditepuknya bokong
Lauri, lalu tangannya berhenti di sana dan membelai-belai.
Lauri mestinya merasa bersalah atas apa yang telah terjadi, namun
dia tidak bisa membangkitkan perasaan itu. Dia malah sama sekali
tidak menyesalinya. Dan dia tahu dia akan terus bercinta dengan
Drake. Hal itu sekarang tak bisa dihindari, dan dia tidak lagi
memiliki keinginan atau tekad untuk melawannya. Dia bergelung
makin rapat pada pria itu.
“Kau kedinginan?” tanya Drake lembut.
“Sedikit,” jawabnya.
“Semua selimut tertendang ke kaki tempat tidur,” kata Drake pura-
pura bingung. “Kok bisa, ya?” Lauri terkikik.
Mereka segera menarik selimut-selimut itu. Drake menciumi
telinganya sambil menarik Lauri. “Aku berjanji kali ini tidak akan
membuat selimut-selimut tercampak.”
“Kali ini?” tanya Lauri terkesiap. “Maksudmu... lagi? Sekarang?”
“Kau tidak mau?” Drake bertanya. Dalam kegelapan pun Lauri bisa
melihat alisnya naik.
“Yah, aku-”
Namun kepala pria itu sudah menunduk dan bibirnya membujuk.
Lauri mendengar dirinya me-nyetujui dengan suara pelan tapi
mendesak.

®LoveReads

162 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 12

Beberapa hari berikutnya berlalu dengan indah. Drake ternyata
kekasih yang menggebu-gebu dan jarang merelakan Lauri jauh
darinya. Tidur sekamar tidak cukup. Pria itu harus menyentuhnya,
kalau tidak dengan tangannya, dengan matanya. Malam-malam
mereka diisi dengan gairah yang membuat mereka berdua takjub. Di
siang hari, kalau Jennifer sedang bersama mereka, mereka
menceritakan kebahagiaan mereka pada anak itu, dan ia ikut
gembira.
Mereka sering pergi ke desa, berjalan di antara toko-toko yang
mengapit jalan-jalan berbukit yang indah. Suatu siang mereka
mengunjungi John Meadows di toko kerajinannya. Pria itu
menerima mereka dengan hangat dan tidak menunjukkan tanda-
tanda bahwa dia ingat kekasaran sikap Drake etika mereka terakhir
bertemu. Lauri bersyukur ketika Drake betul-betul ber-inat pada
karya John dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sopan tentang
berbagai benda yang dipajang di etalase. Kedua pria itu, meskipun
berbeda bagai bumi dan langit, ternyata bisa juga asyik mengobrol.
Meskipun demikian, Drake selalu memeluk bahu Lauri dengan
posesif. Itu merupakan pernyataan kepemilikan yang disadari John.
Mereka menikmati acara jalan-jalan mereka, tapi saat favorit mereka
adalah malam-malam tenang di rumah, duduk di dekat perapian,
bertukar pikiran sambil minum sebotol anggur.
Lauri biasanya duduk di sudut sofa sementara Drake telentang
dengan kepala di pangkuan Lauri seperti yang dilakukannya ketika
orangtua Lauri tiba-tiba datang berkunjung. Drake menceritakan
ambisi-ambisinya, tangannya bergerak-gerak ekspresif, matanya
berbinar-binar penuh semangat.
Tapi tidak peduli seberapa serius topiknya, pembicaraan mereka
selalu pelan-pelan berakhir. Tangan Drake yang tadi menegaskan
omongannya mulai mengusap dan membelai Lauri sampai api di
perapian tidak ada apa-apanya dibandingkan lautan api yang
berkobar-kobar di antara mereka.

163 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Ketika orangtuanya menelepon sebelum kembali ke Nebraska, Lauri
tidak perlu berpura-pura bahagia. Dia meminta mereka mampir ke
Whispers, namun berbagai kewajiban mengharuskan mereka pulang
segera setelah konferensi pendeta usai. Lauri menutup telepon,
memberitahu mereka bahwa dia sangat bahagia. Karena saat itu
memang begitulah perasaannya.

Mereka berjalan-jalan jauh ke tengah hutan setelah Lauri dan
Jennifer menyelesaikan pelajaran dan sebelum Betty dan anak-
anaknya datang untuk bel ajar bahasa isyarat. Sering Lauri
membawa bekal untuk makan siang, dan mereka duduk di selimut
tua dan makan dengan santai di tepi kali dan di bawah pohon-pohon
aspen yang sekarang gundul karena sebentar lagi musim dingin.

Suatu siang yang cerah saat berjalan-jalan seperti itu, setelah mereka
selesai makan, Jennifer mengantuk dan tidur, bergelung di atas
selimut. Drake bersandar di pohon dan menarik Lauri di antara
kakinya yang menekuk, menekan punggungnya ke dadanya yang
bidang.

“Bisa-bisa aku mengikuti jejak Jennifer kalau aku merasa makin
nyaman,” gumamnya mengantuk sambil menyandarkan kepala di
dada pria itu.

“Silakan saja,” kata Drake di rambutnya dan menghamparkan
selembar selimut lagi di atas tubuh mereka.

Napas teratur Drake bagai lagu pengantar tidur yang tidak sanggup
dilawannya, dan tak lama kemudian Lauri sudah tidur. Dalam
keadaan antara pulas dan sadar, pikiran-pikiran meresahkan
mengganggu ketenangan yang menyelimutinya. Selama berhari-hari
dia berhasil menyingkirkan Susan dari benaknya. Perasaan sayang
Drake tidak perlu diragukan, tapi ketika sedang bercinta pun, tidak
pernah sekali pun pria itu mengucapkan cintanya.

Pernahkah dia dan Susan duduk seperti ini? Apakah percintaannya
dengan Susan lebih panas? Bisakah dia mencintai Lauri seperti ia
mencintai Susan? Lauri pasti bergerak-gerak resah karena berbagai
pikiran mengganggu itu. Drake memeluk nya lebih erat dan berbisik,
“Mimpi buruk?”

164 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri menggeleng, namun lamunannya telah membuyarkan
kebahagiaan hari ini dan menimbulkan secercah keraguan dalam
hatinya. Tepat ketika akan menegakkan tubuh dan menjauh dari
Drake, dia merasakan tangan pria itu menjelajahinya. Drake
menghentikan tangannya di pinggangnya dan menyusupkannya di
antara sweter dan pinggang jinsnya. Gerakan itu sudah cukup untuk
menimbulkan gelenyar gairah yang membuatnya pasrah dan tak
berdaya.

Sweternya terangkat sedikit ketika Drake memasukkan tangan ke
dalamnya. Lauri merasakan sentuhan pria itu di payudaranya;
mengelus, memijat. Belaiannya sama lembut dan penuh gairahnya
dengan ketika ia pertama menyentuhnya. Drake sudah sangat
mengenal tubuhnya, namun dia membuat Lauri merasa seakan setiap
kali Drake menyentuhnya, itu adalah yang pertama.

“Drake?”

“Jangan ganggu pria yang sedang sibuk,” geram Drake di telinga
Lauri.

Tiba-tiba Lauri merasa malu. Jika dia tidak bisa memberitahu pria itu
bahwa dia mencintainya, dia ingin mengatakan sesuatu yang
membuat pria itu tahu seberapa dalam perasaannya terhadapnya.
“Aku cuma ingin kau tahu bahwa setiap kali kau-kita-bersama-aku-
rasanya sangat istimewa bagiku.”

Tangan Drake berhenti bergerak dan memegang lembut
payudaranya. Lauri diam sama sekali. “Lauri,” katanya serak.
“Pandang aku.”

Lauri menyandarkan kepala di bahunya dan me-miringkannya ke
belakang supaya bisa melihatnya. “Bagiku juga sangat istimewa,”
kata pria itu. Dia menciumnya begitu penuh gairah sehingga
pembuluh-pembuluh darah Lauri berdenyut akibat aliran darahnya
yang seakan mendidih.

Tangan Drake turun ke pinggang melewati rusuknya, kemudian
kembali melalui perut untuk menggenggam payudaranya. Pria itu
membelai-belainya sambil menciumi telinganya. Lauri menjerit pelan

165 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

dan menggeliat-geliat sementara tangan Drake telah bergerak ke
pahanya.
Ketika suaminya itu sibuk membuka kancing jinsnya, Lauri
menyadari apa yang akan terjadi dan kaget dengan kelakuannya
sendiri. Dia dilanda perasaan malu dan minder.
“Drake, tidak,” Lauri terkesiap dan meronta. “Jangan di luar sini,”
katanya marah, merapikan pakaian di balik selimut.
“Kenapa?” tanya pria itu, matanya berkilat nakal. “Di hutan asyik,
kau tahu. Pikirkan orang-orang Viking, Romawi, Robin Hood dan
Lady Marian-”
“Yah, aku bukan mereka. Lagi pula, anakmu berbaring di sana.”
Dengan memiringkan kepala dia menunjuk Jennifer yang tidur
nyenyak. Lauri masih menjauhkan tangan Drake darinya dan tidak
berani melepaskannya.
“Dia kan tidur,” bantah Drake. “Ayolah, Lauri. Kumohon.” Dia
merengek sekarang dan mencondongkan tubuh untuk menyapu bibir
Laun dengan kumis. Itu senjata yang berbahaya, dan dia tahu cara
menggunakannya.
“Tidak. Bagaimana kalau ada yang datang?”
“Mereka akan malu dan membuang muka.”
“Aku akan malu setengah mati!” teriak Lauri. Lalu dilembutkannya
nada suaranya dan dibuatnya terdengar penuh janji. “Bagaimana
kalau kau menunggu sampai nanti malam?” dia bertanya dengan
gaya menggoda.
“Yah,” gerutu Drake. “Kurasa mau tidak mau harus begitu. Kau cium
aku sekali, aku membalasnya, lalu kita pulang.” Lauri tidak melihat
kilatan di mata Drake, dan permintaannya terdengar masuk akal.
Dia berpaling untuk menghadapnya dan mencium bibirnya.
Ciumannya tanpa nafsu, tapi mengandung semua cinta yang
dirasakannya terhadap pria itu. Ketika akhirnya bibir mereka
berpisah, Drake berkata, “Sekarang giliranku.”

166 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Apa-apaan kau?” Lauri kaget ketika Drake mengangkat bagian
depan sweternya.

“Aku akan menciummu. Aku tadi kan tid ak bilang apa yang akan
kucium.” Drake mengangkat bahan rajut lembut itu dan mencium
payudara Lauri. Ketika memandang wanita itu lagi, dia melihat mata
cokelat muda itu berlinang air mata cinta. “Sekali lagi, ya?” katanya
dan mulai mencium bibirnya.

Lauri yakin tentang satu hal. Drake tidak memikirkan Susan.

“Ada beberapa urusan di kota yang harus kubereskan,” kata Drake,
mengulurkan kepala dari luar kelas keesokan paginya. “Bagaimana
kalau aku membereskannya, lalu membeli tamale buatan sendiri
untuk makan siang? Kemarin aku bertemu seorang wanita yang
membuat tamale sendiri. Aku mencicipinya, rasanya fantastis.”

Lauri tertawa ketika pria itu berdecap-decap. “Yah, kalau kau suka
wanita gemuk, kurasa aku tidak keberatan makan tamale”

“Aku menyukaimu,” katanya tegas, dan memandang sekujur tubuh
Lauri dengan tatapan nakal. “Sampai ketemu nanti,” katanya jail.
“Selamat tinggal, Jennifer,” dia bicara pada putrinya, yang sibuk
menumpuk balok-balok yang tadi digunakan untuk pelajaran
berhitung. Anak itu membalas dan Drake pergi.

Kira-kira setengah jam sebelum Drake kembali, Lauri membawa
Jennifer ke dapur.

“Kau akan menyukai ini, Jennifer,” katanya dan mendudukkan anak
itu di meja dapur.

“Kita akan melakukan permainan untuk melihat apakah kau bisa
membedakan susu putih dengan cokelat.” Seperti biasa, Lauri
mengisyaratkan setiap kata. Jennifer mengamati dengan penuh
minat. Pelajaran tentang makanan adalah pelajaran favoritnya.

“Oke,” lanjut Lauri, “aku akan mengisi dua gelas. Kau lihat? Yang
satu berisi susu putih dan yang lain cokelat. Aku ingin melihat kau
mengatakannya.” Setelah Jennifer dengan benar mengisyaratkan
susu putih dan susu cokelat dan mengucapkannya sebisanya, Lauri

167 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

berkata, “Sekarang aku akan memberimu sedotan. Akan kuletakkan
tiap gelas di hadapanmu, dan beritahu aku susu yang mana yang kau
minum. Kau mengerti?”

Jennifer mengangguk, dan ikal-ikal pirangnya bergerak-gerak.

“Tutup matamu supaya kau tidak bisa melihat,” perintah Lauri.
Setelah yakin Jennifer tidak curang, Lauri memasukkan sedotan ke
gelas berisi susu putih. Jennifer minum seteguk, lalu mengisyaratkan
jawaban yang benar. Mereka mengulangi latihan itu sampai Lauri
yakin anak itu sudah memahami kata-kata tadi dan dapat
mengasosiasikan rasanya dengan namanya.

Mereka baru saja selesai belajar ketika Drake masuk dari pintu
belakang sambil membawa sebungkus tamale yang baunya
menggiurkan.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya Drake, menaruh bungkusan itu di
permukaan meja dan membuka jaket.

Coba kita lihat apa Drake bisa melakukannya, Lauri mengisyaratkan
pada Jennifer, dan anak itu bertepuk tangan gembira. Lauri
menjelaskan aturan permainan, dan untuk membuat Jennifer senang
Drake pura-pura tidak yakin bisa melakukannya dengan benar.

Pria itu memejamkan mata dengan gaya berlebihan, tapi akhirnya
menyesap susu dan berkata dalam bahasa isyarat, Itu susu putih.
Tapi ketika Lauri meraih gelas susu cokelat, dia melihat Jennifer
hampir menghabiskan isinya.

“Jennifer!” tegurnya, tapi mereka semua tertawa. Jennifer menunjuk
bibir atasnya, di sana tampak kumis susu berwarna cokelat tua. Dia
membandingkannya dengan kumis Drake.

Kau juga, Lauri, Jennifer mengisyaratkan. Kau juga.

Lauri protes keras, tapi Jennifer dan Drake tidak mau tahu. Dia
mengambil gelas berisi susu cokelat dan meneguknya banyak-
banyak, memastikan ada yang menempel di bibir atasnya. Jennifer
menjerit girang dan melompat-lompat. Setelah mereka akhirnya bisa
menenangkannya, Lauri memerintahnya, “Pergilah ke atas, cuci

168 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

muka dan tanganmu sementara aku menyiapkan makan siang.”
Jennifer pergi dengan melompat-lompat riang.
“Kau tidak akan mencuci mukamu?” tanya Drake sambil tersenyum
geli. “Kumismu tidak cocok dengan rambutmu.”
“Oh. Aku lupa,” jawab Lauri dan berbalik ke arah wastafel.
“Izinkan aku,” kata Drake, memegang bahunya. Lidahnya yang bagai
beludru dengan cepat membersihkan kumis susu Lauri, tapi seperti
ciuman-ciuman mereka, pelukannya berlanjut. Lauri memeluknya
dan mereka lama berciuman sampai keduanya memisahkan diri
dengan napas terengah-engah.
“Kalau kita teruskan ini, bisa-bisa kau tidak jadi makan siang,”
gumam Lauri sementara bibirnya menciumi dagu pria itu.
“Aku mungkin ingin mengubah menunya,” balas Drake parau.
Diciumnya leher Lauri.
“Tamale-nya bisa dingin.” Lauri mendesah ketika Drake menemukan
titik yang sensitif.
“Itu sebabnya orang menciptakan microwave. Masa kau tidak tahu
itu?” gumam Drake di telinga Lauri.
Lauri menarik napas pasrah dan dengan lembut melepaskan diri dari
pelukan Drake. “Kita harus menjaga sikap. Sebentar lagi Jennifer
datang untuk minta makan.”
“Di mana bandit kecil itu?” tanya Drake. “Kuharap dia tidak kabur
lagi.” Sorot matanya menghangat waktu memandang Lauri. Drake
ingat, seperti dia juga, bahwa pada malam Jennifer kabur, mereka
bercinta untuk pertama kalinya.
“Biar kutengok dia,” kata Lauri cepat-cepat . “Kalau kau tidak
keberatan menata meja.” Drake men ggeleng, dan Lauri melesat
keluar ruangan supaya tidak dipeluk pria itu lagi.
Dia menaiki tangga dan tengah berjalan ke kamar Jennifer waktu
melihat gerakan di kamarnya sendiri. Oh, jangan ada keributan lagi,

169 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

pikir Lauri ketika mendorong pintu supaya terbuka lebih lebar. Lalu
jantungnya bagai berhenti berdetak. Benda pertama yang dilihatnya
adalah sepasang sepatu balet dari satin pink. Sepatu itu pasti pas di
kaki mungil dan langsing dengan cekung tinggi. Benda itu jelas
kelihatan sering dipakai untuk latihan, karena bagian jarinya yang
membulat dan datar tampak usang, dan pita satinnya berkerut-kerut
karena sering dibuka dan diikat.

Sepatu itu tergeletak di antara foto-foto, pakaian-pakaian, beberapa
buku acara teater, dan sebuah buku kliping besar bersampul kulit.
Mata kaget Lauri yang terkejut melihat pintu lemari terbuka dari
sanalah kotak-kotak barang itu berasal.

Jennifer duduk di lantai memandangi salah satu foto dengan
konsentrasi penuh. Pelan-pelan, kakinya seperti diganduli bola besi,
Lauri mendekatinya dan menarik perhatiannya.

Lauri, lihat? Wanita cantik, Jennifer mengisyaratkan dan menunjuk
foto yang dipegangnya.

Dengan tangan gemetar Lauri mengambil foto itu dan menatap
wanita yang diabadikan dalam foto itu. Dia cantik. Dia mengenakan
baju latihan. Warmer kaki dari bahan wol yang hampir selalu dipaka
i para penari membungkus betis indahnya dan menonjo lkan
kesempurnaan pahanya.

Wanita itu bersandar di palang seakan sedang beristirahat setelah
melakukan plie dan tendus. Dia memandang lurus ke kamera, tak
acuh dan tidak berpose, menantang lensa fotografer untuk
mendeteksi kekurangannya. Rambutnya berwarna gelap, dibelah
tengah, dan disanggul di dasar leher angsanya. Mata hitamnya besar
dan merupakan bagian yang paling menarik di wajahnya yang
berbentuk hati.

“Ya, dia cantik,” kata Lauri dengan suara nyaris tidak terdengar.
Tanpa sadar dia duduk di lantai di samping Jennifer. Bahunya turun
karena kecewa setelah melihat untuk pertama kalinya wanita yang
masih memiliki hati Drake.

“Hei, kalian, aku kelaparan nih. Ada apa sih di atas?”

170 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Teriakan gembira Drake menyentakkan Lauri dari lamunannya.
Tapi sebelum dia sempat menenangkan diri, pria itu sudah berdiri di
ambang pintu. Mata dan wajahnya cerah karena senyumnya, ta pi
waktu dia melihat kamar Lauri yang be-rantakan-kot ak-kotak yang
isinya berserakan tanpa menghargai pe miliknya dahulu, anak dan
wanita yang telah mencemari kenangannya pada istrinya- wajahnya
berubah menyeramkan.
Lauri membuang muka supaya tidak melihatnya; dia tak sanggup
menyaksikan penderitaan hebat itu. Diambilnya sepatu balet dari
tangan Jennifer, yang berusaha dipakainya.
Jennifer, cucilah wajah dan tanganmu, kata Lauri setenang mungkin.
Jennifer akan memprotes dan mengambil sepatu itu lagi, tapi Lauri
memerintahkan, “Ayo!” Sikapnya yang mendesak menghilangkan
bantahan apa pun, dan Jennifer berjalan melewati ayahnya, yang
berdiri di atas foto dan memandanginya, tidak menyadari keadaan di
sekelilingnya.
Setelah anak itu meninggalkan mangan, Lauri berkata, “Maafkan
aku, Drake. Dia mengacak-acak. Biar kubereskan-”
“Tidak, jangan,” bentak Drake. “Biarkan apa adanya. Aku akan
merapikan dan menyimpan semuanya.”
Lauri menjatuhkan sepatu satin pink itu seolah tangannya terbakar.
“Baik,” katanya, dan berlari keluar kamar.
Drake masih berdiri di tengah ruangan, menatap foto-foto yang
berserakan.
Lauri membuatkan roti isi selai kacang untuk Jennifer. Anak itu
mengobrol dengan Bunny, yang duduk di meja di samping piringnya
sementara dia makan. Lauri memberinya semua yang diendusnya
dan ditunjuknya. Kebiasaan ini biasanya tidak diperbolehkan , tapi
saat ini Lauri kehabisan energi untuk memedulika nnya.
Setelah Jennifer selesai makan siang, Sam dan Sally datang lewat
pintu belakang untuk mengajaknya bermain di rumah mereka. Lauri
memakaikan sweter-yang dibelikan Drake waktu mereka pergi ke

171 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Albuquerque-dan minta Sam mengantarkannya pulang setengah jam
lagi.
“Tentu. Kami juga harus tidur siang kok,” kata Sam sambil
membantu Jennifer menuruni tangga sampai halaman.
Lauri mengawasi mereka berlari melintasi halaman, tapi sebetulnya
dia tidak melihat mereka. Di benaknya terbayang foto-foto balerina
yang menatap kamera dengan begitu percaya diri.
Apa penyebab kematiannya? Drake tidak pernah mengatakannya.
Pria itu betul-betul menghindari pembicaraan tentang istrinya. Lauri
tidak tahu apa-apa tentang wanita itu, kecuali bahwa dia dulu
balerina klasik yang ikut audisi Grease, dan di audisi itu bertemu
laki-laki yang kemudian menikahinya .
Apakah dia meninggal karena kecelakaan? Pesawat terbangnya
jatuh? Apakah dia mengidap penyakit mengerikan yang men ambil
nyawanya? Stroke”? Pasti bukan, dia masih semuda itu. Apa yang
terjadi padanya?
Lauri membereskan piring-piring yang tadi dipakai Jennifer.
Dibawanya bungkusan tamale itu ke tong sampah besar di luar.
Rumah sepi. Dia keluar-masuk kamar-kamar, mencari sesuatu untuk
dikerjakan untuk mengisi kekosongan hatinya, tapi tidak ada apa-
apa. Dia menghitung menit demi menit sampai Jennifer pulang, dan
setelah itu Lauri mengusulkan mereka membaca buku. Jennifer
masuk ke kelas dan memilih buku tentang macam-macam alat
transportasi.
Mereka duduk di sofa dan berdiskusi tentang berbagai mobil, bus,
pesawat, dan boat di dalam buku bergambar itu. Sudah dua jam Jake
di atas sampai Lauri mendengar langkahnya di tangga.
Dia bersiap-siap menghadapi apa pun. Seperti apa sikap Drake
sekarang? Bagaimana reaksinya terhadap semua yang telah terjadi?
Ketika memandang pria itu, dia tahu. Drake memakai celana panjang,
jaket sport, dan dasi: pakaian yang jarang dikenakannya sejak datang
ke New Mexico. Di tangan kirinya ada koper kecil. Jas hujan
tersampir di bahu kanannya.

172 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri berdiri dan meremas-remas tangan ketika pria itu meng-
hampirinya. Waktunya telah tiba.

“Lauri, aku akan kembali ke New York,” katanya singkat.

“Ya.”

Drake mengalihkan pandangan darinya. “Sudah terlalu lama aku di
sini,” katanya. Pria itu ingin meyakinkan dia atau dirinya sendiri?
“Ada hal-hal yang harus kukerjakan. Aku tidak bisa tinggal di sini
selamanya.”

“Betul.” Jika Drake menginginkan persetujuannya, pria itu harus
bersiap-siap kecewa. Lauri tidak mau mempermudah situasi ini
baginya. Dia pernah memohon pada Paul supaya mengizinkannya
membantunya. Tawarannya ditolak mentah-mentah. Satu penolakan
sudah cukup. Dia takkan membiarkan Drake mengorek luka
lamanya.

“Kau akan menjelaskan kepergianku pada Jennifer?” tanyanya, tidak
terlalu mengharapkan Lauri menjawab. Ketika yang terjadi
sebaliknya, jawaban wanita itu mengejutkannya.

“Tidak. Jelaskan saja sendiri padanya.” Dia mengenali apa arti
dagunya yang terangkat dengan angkuh itu dan tahu percuma saja
mendebatnya.

Drake meletakkan kopernya di lantai dan berjongkok di depan
putrinya, yang masih asyik melihat-lihat buku. “Jennifer,” kata
Drake. Cuma itu yang didengar Lauri. Dia cepat-cepat pergi ke pintu
depan dan menekankan keningnya di kayu dingin keras itu. Aku
tidak sanggup menghadapi ini, teriaknya dalam hati. Aku akan mati
kalau dia pergi, erangnya. Tapi waktu mendengar langkah kaki
Drake mendekat, dia menegakkan tubuh dan menghadapi pria itu
dengan keberanian yang sama sekali tidak dirasakannya.

“Dia ngambek. Tolong tenangkan dan hibur dia demi aku,” kata pria
itu. Dan siapa yang akan menghiburku? Lauri ingin bertanya
padanya. Dia melihat Drake sendiri pun goyah. Jika tidak
mengenalnya, dia pasti mengira kilau aneh di mata pria itu

173 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

disebabkan oleh air mata. Apakah dia begitu galau karena akan
meninggalkan anaknya? Atau apakah ini cuma adegan perpisahan
menyedihkan yang dimainkannya dengan andal?
“Aku harus membawa mobilmu, tapi akan kuatur supaya ada yang
mengantarkannya kembali kemari besok.”
Lauri mengangguk.
“Yah, kalau begitu selamat tinggal. Nanti kuhubungi.” Drake
bersikap seolah masih ada yang ingin dikatakannya. Atau-Tidak,
tidak mungkin dia ingin menciumnya, walaupun Lauri merasa kepala
pria itu menunduk sedikit untuk mencoba-coba.
“Selamat tinggal, Drake,” kata Lauri datar, dan membukakan pintu
depan.
Kerut-kerut di sekeliling mulut Drake menegang, dan alis tebalnya
berkerut. Pria itu mendesah kesal sebelum melewatinya. Lauri
menutup pintu begitu pria itu keluar.
Seolah mengetahui suasana mendung ini, awan-awan kelabu
bergulung dari puncak pegunungan dan menggantung di atas
Whispers. Awan-awan itu menaburkan salju pertama musim ini.
Entah mengapa selimut putih bersih itu tidak mampu
menghilangkan kemuraman yang menyelubungi rumah.
Jennifer tidak mau terlibat dalam aktivitas apa pun, dan Lauri
membiarkannya menonton televisi sepanjang hari ini.
Ketika waktu tidur akhirnya tiba, gadis kecil itu memeluk Bunny dan
dengan suaranya yang manis tapi nyaris tidak jelas berkali-kali
mengatakan, “Daud-y.” Air mata mengalir di pipinya yang bersemu
merah. Emosi Lauri yang sedang kacau-balau membuatnya tidak
sanggup melihatnya. Dia berbaring di samping Jennifer dan
memeluk anak itu erat-erat.
Mereka menangis sampai tertidur.

®LoveReads

174 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 13

Waktulah yang mengobati kesedihan Lauri dan Jennifer karena
kepergian Drake, walaupun mereka masih terus mengingat pria itu.
Dengan keriangan khas anak-anak, Jennifer sudah kembali gembira
ketika bangun keesokan paginya, senang melihat salju, dan
bersemangat untuk memulai hari baru. Untuk menenangkan pikiran
Jennifer dan pikirannya sendiri, Lauri merencanakan beberapa
proyek yang akan menguras energi dan menghabiskan waktu hari
ini. Waktu seolah berjalan lebih lambat sejak Drake pergi.
“Aku tak habis pikir dia meninggalkanmu begitu cepat setelah
pernikahan kalian,” komentar Betty dari tempat duduknya di dapur.
Lauri sedang mengawasi pembuatan popcorn. Anak-anak ber-lepotan
dari ujung jari sampai siku dan memasukkan makanan lengket itu ke
dalam mulut sebelum gula panasnya dingin.
Lauri tidak menanggapi komentar itu, mengangkat bahu tak acuh
dan berkata, “Dia kan punya pekerjaan, Betty. Dia harus kembali ke
New York.”
“Aku tahu, tapi kau harus mengakui, perbuatannya tidak lazim untuk
pria yang sedang berbulan madu.”
Tapi Drake tidak betul-betul sedang berbulan madu, kata Lauri
dalam hati, sementara Betty membaca lagi The Scoop Sheet untuk
ketiga kalinya.
Dia membeli majalah itu tadi pagi waktu berbelanja di toserba dan
bergegas menunjukkannya pada Lauri. Foto berwarna di halaman
depan yang men ampakkan pasangan yang sedang tertawa itu seakan
mengolok-olok Lauri. Dia tidak ingin mengetahui apa isi artikelnya,
tapi Betty membacakannya keras-keras, tid ak melihat air mata yang
menetes di wajah Lauri. Apa pendapat Drake tentang berita bohong
itu? Apakah dia bahkan melihatnya?
Karena alasan yang tidak bisa dipahaminya, Lauri tidak mau
mengungkapkan bahwa dia dan Drake tidak benar-benar menikah.

175 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Betty takkan dapat memahami kerumitan masalahnya, ia menghujani
Lauri pertanyaan-pertanyaan yang terlalu menyakitkan untuk
dijawab. Seperti orangtuanya, Betty belum boleh mengetahui situasi
yang sesungguhnya.

Cepat atau lambat mereka semua akan tahu yang sebenarnya. Lauri
akan merasa sangat tolol, tapi takkan lebih tolol dari yang
dirasakannya sekarang. Selama berhari-hari setelah pernikahan palsu
mereka, Lauri hampir berhasil meyakinkan dirinya bahwa cinta
Drake padanya sebesar cintanya pada pria itu. Drake begitu mesra,
begitu bertekad membuatnya bahagia.

Dia mestinya ingat pekerjaan pria itu. Drake dibayar sangat tinggi
untuk menampilkan berbagai emosi setiap hari. Perannya menuntut
dia berakting sebagai pengantin baru yang mesra, dan dia
memainkan peran itu dengan baik. Dia juga memperoleh imbalan.
Tiap malam dia dibayar kontan di atas tempat tidur. Sejak dulu
memang cuma itulah yang diinginkan Drake darinya.

Sekarang Lauri merah padam karena marah dan malu. Di awal
hubungan mereka Drake telah memberitahukan apa yang bisa
diharapkan Lauri darinya. Tapi dia malah menipu diri dengan
berpikir bahwa dia bisa mengubah perasaan pria itu padanya, bisa
mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar
hubungan fisik.

Dia tidak berniat membuat Drake melupakan Susan. Pria itu takkan
pernah melupakan istrinya, dan memang tidak perlu berbuat begitu.
Lauri cuma ingin Drake bisa mencintai lagi-mencintainya. Dia
mengira dirinya hampir berhasil. Lalu dilihatnya wajah pria itu
ketika dia memandang foto-foto mendiang istrinya. Pakaian-pakaian
yang berserakan di lantai kamar itu pasti sangat mengingatkannya
pada .wanita yang pernah memakai semua itu dan menari dengan
bersepatu satin. Penderitaannya terlihat jelas. Apakah dia merasa
mengkhianati Susan karena telah tidur dengan Lauri? Itukah
sebabnya dia pergi?

Meskipun Lauri sudah berusaha keras menyingkirkan pikiran-
pikiran meresahkan itu, Lauri tetap tidak berhasil. Kalau tidak ada
Jennifer yang begitu manis, dia pasti sudah sinting. Paling tidak

176 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Jennifer menerima kasih sayangnya dan membalasnya. Lauri bahkan
tidak mau memikirkan apa dampak kepergiannya nanti bagi dirinya
sendiri dan Jennifer.
Pergi? Ya, Lauri harus pergi kalau Drake kembali. Dia tidak mampu
meneruskan lagi hubungan mereka seperti dulu. Dia juga takkan
sanggup jadi wanita simpanannya, dan tidur dengannya kalau Drake
sedang ingin saja. Dia dulu seperti itu dengan Paul, dan seperti yang
sangat diketahuinya, itu merupakan jalan buntu.
Kelihatannya dia harus menunggu untuk bisa melihat apa yang
diharapkan Drake darinya. Jennifer menerima satu atau dua surat
pendek tiap minggu, tapi pria itu tidak mengirimi Lauri apa-apa.
Sepatah kata pun tidak. Dia tidak pernah menelepon. Apakah dia
telah melupakannya sama sekali?
Dua minggu bertambah jadi tiga, lalu empat. Cuaca sering membuat
mereka tidak bisa berjalan-jalan seperti biasa, jadi Lauri merancang
proyek-proyek di dalam ruangan. Mereka menggambar dengan cat
air; mereka merangkai manik-manik; mereka membuat kue sampai
kulkas penuh dengan kue dan cake.
Suatu hari, ketika mereka sedang menghias cake cokelat, Lauri
bertanya pada Jennifer apakah dia ingin membaginya dengan John
Meadows. Dengan penuh semangat anak itu mengiyakan.
Udara cerah tapi sangat dingin. Mereka memakai mantel tebal dan
berjalan kaki ke desa. John tengah bekerja di tokonya yang sepi.
Akhir-akhir ini dia tidak sibuk. Whispers bukan lokasi main ski, dan
turis-turis pergi ke desa-desa lain yang memiliki tempat untuk
olahraga tersebut. John senang bertemu mereka. Merasa takkan ada
pembeli, John menutup toko dan mengajak mereka ke tempat
tinggalnya di bagian belakang toko.
“Ini, Jennifer,” kata Lauri, memberi gadis kecil itu sepotong besar
cake. “Sulit untuk merancang kurikulum pelajaran di musim dingin,”
katanya, menjelaskan soal oleh-oleh mereka. “Jennifer suka membuat
kue, tapi berat badan kami bisa naik dua puluh kilo musim ini saja
kalau tidak mengurangi acara masak-memasak ini.”

177 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

John tersenyum lembut ketika berbalik dari depan kompor, tempat
dia tadi menuangkan secangkir kopi untuk Lauri dari ceret enamel
biru. “Aku bisa makan kue itu selama berhari-hari. Terima kasih lagi,
walaupun kunjungan kalian saja sebetulnya sudah cukup.”

“Kami juga ingin bertemu denganmu. Sejak Drake-” Lauri
menghentikan apa yang akan dikatakannya. Sejak Drake pergi, kami
jadi tidak bersemangat melakukan apa pun. Dia menyibukkan diri
dengan meniup kopi supaya dingin.

“Lauri, bagaimana perasaanmu tentang kepergian-nya?” Pertanyaan
tersebut diucapkan dengan suara pelan, tapi Lauri tidak bisa meng-
abaikannya. Diliriknya John ketika pria itu bergabung dengan me-
reka di meja, sementara tangan raksasanya memegang segelas kopi.

“Dia -aku-” Lauri tidak sanggup melanjutkan dan berusaha menutupi
emosinya dengan meraih Jennifer dan menyibakkan rambutnya yang
nyaris kena krim cokelat di sekeliling mulutnya. Anak itu
memandang gurunya dengan mata Drake- hijau, berbulu mata hitam.
Mata itu sangat mengingatkannya pada Drake, dan Lauri merasa air
mata mengalir dari matanya dan bergulir di pipi.

“Kau ingin membicarakannya?” tanya John. Disentuhnya tangan
Lauri, yang tergeletak lemas di atas taplak meja kotak-kotak.
Matanya kelam, hangat, dan membangkitkan rasa percaya diri. Lauri
mulai bicara, dan mengalirlah seluruh cerita.

John tidak menyelanya. Dia tidak berkomentar waktu Lauri harus
berhenti dan membersit hidung atau menahan tangis. Jennifer,
menunjukkan kelembutan dan pengertian jauh melebihi usianya,
mendatangi Lauri dan naik ke pangkuannya. Di-sandarkannya
kepalanya di dada wanita itu dan ditepuk-tepuknya bahunya.

“Kami tidak benar-benar menikah,” kata Lauri serak. “Upacaranya
sih sungguhan, tapi janji perkawinannya palsu. Janji itu tak berarti
bagi Drake.”

“Tapi bagimu sebaliknya?” tanya John mengerti. Lauri berusaha
menjawab tapi tidak bisa. Dia cuma memandangnya dan
mengangguk nelangsa.

178 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku mencintainya, John. Sejak pertama melihatnya aku tahu aku
akan mencintainya, dan kulawan perasaan itu. Aku melawan ketika
tahu bahwa di matanya aku ti dak bisa lebih dari sekadar tubuh
hangat di tempat tidur.” Dia tidak merasa malu mengungkapkan
semua ini. J ohn tidak akan mencela orang karena mencintai
seseorang. “Sebetulnya dia sudah memperingatkan aku bahwa dia
mencintai istrinya dan tidak mau menjalin hubungan jangka panjang
dengan siapa pun.”

Dia menghapus air matanya dengan tisu, yang sekarang sudah basah
dan robek-robek. Jennifer memandangnya dengan tatapan prihatin
sehingga Lauri menggosok punggungnya dan tersenyum
menenangka n. Anak itu tidak boleh melihatnya segalau ini; Lauri sat
u-satunya tempatnya bersandar. Dunia Jennifer pasti sa ngat
terguncang ketika dia melihat guru/ibunya begini menderita.

“Kurasa kau salah menilai Drake, Lauri,” John menanggapi. “Jangan
terlalu yakin bahwa baginya kau cuma 'tubuh hangat di tempat
tidur'. Dia meninggalkanmu dengan tanggung jawab membesarkan
anaknya. Dia tidak mungkin selalu bersamanya. Pria mana pun pasti
sulit membesarkan anak kecil sendirian.”

“Aku dibayar untuk itu, John. Dia bisa saja dengan gampang
mempekerjakan orang lain.”

“Mungkin jauh lebih gampang. Tapi dia tidak melakukannya.
Meskipun ada fakta bahwa seorang wanita cantik yang tinggal di
rumah pria pasti akan menimbulkan problem yang tak terhitung
banyaknya, dia tetap memilihmu.”

“Bukan, aku terpilih untuk dia. Aku sangat direkomendasikan.”

“Baik,” John menghela napas. “Aku tidak mau seharian
mempermasalahkan hal itu denganmu. Ada hal lain.” Suaranya
berubah, dan nadanya membuat Lauri memandangnya. “Aku telah
melihat Drake bersamamu. Aku sudah melihat ekspresi matanya
ketika menatapmu.”

“Yang kaulihat itu nafsu. Ada gairah menggebu-gebu di antara kami.
Aku tahu dia... menginginkan aku.”

179 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Bukan, Lauri. Aku tahu seperti apa pandangan bernafsu,” John
tertawa pelan. “Bukan, ada perbedaan nyata. Apa kau tidak
mengenali cinta ketika melihatnya?” Senyumnya sedih, dan matanya
mengungkapkan lebih dari satu makna dalam kata-katanya barusan.
Lauri membuka mulut, bermaksud bicara, tapi tidak sanggup. Tidak
ada yang perlu dikatakannya. John tahu itu, karena dia cepat-cepat
melanjutkan, “Dan aku tidak pernah melihat laki-laki secemburu
Drake ketika aku datang ke rumahmu hari itu.”
“Dia cemburu karena Jennifer menyayangimu,” tukas Lauri.

“Menurutnya sangat tidak pantas jika kau dan aku berpacaran.” Dia
tertawa pahit. “Kalau mengingat apa yang ada dalam pikiran Drake
tentang aku, reaksinya terhadap kencan seminggu sekali kita
bersama Jennifer juga terasa lucu. Kalau bukan menyedihkan.”

“Istrinya ini, dia meninggal tiga tahun yang lalu?”
“Ya. Dokter Norwood memberitahu aku bahwa wanita itu meninggal
waktu Jennifer baru berumur beberapa bulan. Cuma itu fakta yang
kuketahui, dan Drake tidak menjelaskan lebih lanjut. Istrinya
merupakan topik yang sama sekali tabu dibicarakan.”

“Hmm,” kata John. “Aneh bahwa pria yang begitu cerdas dan percaya
diri seperti Drake ber-kabung begitu lama.”
Lauri menarik napas dalam-dalam. “Aku juga tidak bisa
memahaminya, John. Tapi dia memang berkabung. Aku tidak
meragukannya sedikit pun.”
Lauri dan Jennifer pulang tidak lama kemudian. Air matanya
ternyata bisa menyalurkan depresin ya sedikit, dan dia merasa lebih
baik ketika meninggalk an rumah John. Di pintu John memegang
bahunya. “Lauri, jika ada yang bisa kubantu, tolong jangan ragu
meng-hubungiku. Aku tahu bagaimana rasanya memendam sakit,
dan kadang-kadang rasanya lebih enak jika berbagi cerita.”
John, di suatu masa dalam hidupnya, pernah merasakan penderitaan
yang menyakitkan. Insting Lauri mengetahuinya. Itukah sebabnya
John tidak pernah mencela orang lain? Itukah sebabnya dia begitu

180 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

penuh pengertian? Apakah dia sadar perbuatan keji biasanya
merupakan akibat hati yang terluka?

Tiga minggu setelah kunjungan mereka ke tempat John, badai salju
pertama musim dingin tahun ini menyerang dengan kekuatan penuh.
Meskipun hari-hari berlangsung monoton, Lauri merasa lebih bisa
menerima dirinya dan situasinya yang menyedihkan. Dia mencoba
berbagai metode untuk mengajar Jennifer bicara, dan gembira ketika
anak itu mulai menampakkan kemajuan. Di siang hari ketika badai
salju datang, angin meraung-raung sementara mereka duduk di
depan cermin di kelas, berusaha menyempurnakan pengucapan huruf
p. Lauri meletakkan kapas di tangan dan menunjukkan bagaimana
benda itu terbang ketika dia mengucapkan huruf itu dengan benar.
Jennifer meniru perbuatannya dan berseri-seri bangga ketika bisa
menyuarakannya.

Lauri meninggalkannya untuk berlatih dengan kapas dan pergi ke
ruang tamu karena ingin menyelidiki suara di luar yang tadi
didengarnya. Ketika sampai di jendela-jendela lebar, dia memandangi
salju yang berputar-putar dari balik gorden tebal. Jantungnya seakan
berhenti berdetak ketika dia melihat Drake keluar dari mobil dan
menundukkan kepala untuk melindunginya dari angin sambil
bergegas menaiki tangga licin menuju teras.

Pria itu mengangkat tangan untuk mengetuk, tapi Lauri buru-buru
lari ke pintu dan membukanya supaya dia bisa masuk. Drake
menggeleng-gelengkan kepala, yang diselimuti salju, dan melipat
kerah mantel kulitnya sebelum menoleh untuk memandangnya.
“Lauri,” sapanya.

Lauri berusaha menyebut namanya, tapi cuma sanggup komat-kamit.

“Apa kabar?” tanya pria itu.

“B-baik,” Lauri tergagap. Lalu dia menggeleng sedikit, berusaha
menjernihkan pikiran, dan berkata lebih tegas, “Aku-kami baik-baik
saja. Semua baik.” Dia tidak akan menanyakan kenapa pria itu datang
kemari. Mereka sudah pernah memainkan adegan itu.

“Mana Jennifer?” tanya Drake.

181 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Dia di kelas. Kami mengubah sedikit jadwal kami sejak kau...” Suara
Lauri menghilang. “Begini lebih enak,” katanya tidak jelas.
Drake tidak berkomentar, cuma berbalik menuju kelas dan memasuki
pintunya. Sebelum tiba di sana, Lauri sudah mendengar jeritan
senang Jennifer.
Drake berdiri di tengah ruangan sambil menggendong Jennifer.
Lengan anak itu memeluk leher ayahnya dan kakinya memeluk
dadanya. Tangan Drake menahan bokongnya. Bunny, yang jarang
dilepaskannya sejak Drake pergi, sekarang tergeletak di samping
kursi. Jennifer mencondongkan tubuh ke belakang dan menatap
wajah ayahnya. “Jen-fa, Jen-fa,” katanya, menepuk dada. “Dau-dy.
Dau-dy,” katanya, memeluk Drake lagi.
“Oh, Sayang, hebat sekali,” puji Drake, tapi gadis kecil itu tidak bisa
mendengar pujiannya. Dia cuma melihatnya di mata ayahnya. Drake
memandang Lauri, yang masih berdiri di pintu, dan tersenyum lebar
pada wanita itu. “Menakjubkan, Lauri. Dia pintar, ya?” Drake yang
sekarang sama seperti Drake yang duduk di hadapannya di Russian
Tea Room dulu; seorang ayah yang khawatir, dan Lauri mengiyakan,
“Ya, Drake. Dia sangat pintar.”
Drake membebaskan sebelah tangannya untuk mengeluarkan dua
bungkus permen karet dari saku. Jennifer langsung menyambarnya
dan ayahnya mengizinkannya membuka sebungkus. Jelaslah
pelajaran hari ini telah berakhir.
Ribuan pertanyaan berputar-putar di dalam kepala Lauri, tapi dia
menahan keinginan untuk menanyakannya. Tidak lama lagi dia pasti
akan tahu mengapa Drake muncul pada hari paling buruk sepanjang
tahun ini. Dia cuma bertanya, “Kau mau cokelat atau kopi? Kau pasti
kedinginan.”
“Ya, terima kasih. Aku ke kamar mandi dulu, setelah itu kutemui kau
di dapur.” Tangan Lauri gemetar ketika dia membuat cokelat panas,
minuman yang dipilih Drake. Diambilnya dari kulkas beberapa kue
bikinannya dan Jennifer, lalu dimasukkannya ke oven microwave.
Aroma khas kue dipanggang memenuhi dapur.

182 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Kalau tidak tahu yang sebenarnya, bisa-bisa aku mengira kau sudah
menunggu kedatanganku,” kata Drake, masuk ke dapur dan menyisir
rambutnya yang berantakan dengan jari. Jins ketatnya melekat di
pinggul, dan sweter biru muda yang dikenakannya membuat mata
hijaunya bercahaya. Lauri menelan ludah. Pria itu seksi sekali.
Berbagai kenangan, eksplisit dan jelas, memenuhi benaknya.
Dipaksanya matanya memandang ke arah lain.
“Jennifer dan aku sering membuat kue akhir-akhir ini. Beberapa
minggu yang lalu, kami membuatkan cake cokelat untuk John.”
Pemberitahuan itu dimaksudkan untuk menyakiti hati Drake, dan
Lauri tahu itu perbuatan yang tidak pantas.
Jika pria itu tadinya berniat menanggapi, dia tidak jadi
melakukannya karena Jennifer datang, minta dipangku sementara si
ayah menyesap cokelat. Mereka berkomunikasi dalam bahasa isyarat
selama beberapa menit, dan Lauri senang melihat Drake tidak
melupakan kemampuan bahasanya Pria itu malah tampak makin
mahir.
“Yah,” gumamnya, dan bersandar di kursi setelah menghabiskan
cokelat dan Jennifer asyik mewarnai gambar, “kami telah
mengistirahatkan Dokter Glen Hambrick.”
“Apa!” seru Lauri kaget. “Apa maksudmu?”
“Maksudku,” jawab pria itu sambil tersenyum, “dia tidak pernah
siuman setelah kepalanya dipukul di taman, ingat?” Setelah Lauri
mengangguk, dia meneruskan, “Dia meninggal dalam tidur tanpa
pernah sadar. Laki-laki yang malang,” kata Drake dengan gaya
kasihan berlebihan.
“Apa yang akan kaulakukan, Drake?” Lauri sudah lupa pada
tekadnya tadi untuk tidak mengajukan pertanyaan apa pun.
“Dau-dy.” Jennifer menarik perhatiannya supaya dia mengomentari
gambarnya. Setelah memuji-mujinya, Drake menoleh kembali pada
Lauri yang tidak sabar menunggu penjelasannya.

183 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku ingin ambil bagian dalam film televisi yang sebentar lagi
dibuat. Pembuatnya perusahaan produksi yang bagus. Aku
mendengarnya melalui selentingan dan menyerbu agenku supaya
bergerak dan mendapatkan peran itu untukku. Aku terbang ke
Hollywood dan mengikuti tes peran. Mereka menyukaiku.
Kelihatannya sih prospeknya bagus.” Dia membuang muka dengan
malu. “Ceritanya tentang anak autistik yang tuli. Mereka
membutuhkan orang yang tahu bahasa isyarat untuk berperan
sebagai ayahnya.”

“Oh, Drake, bagus sekali,” kata Lauri hangat dan bersungguh-
sungguh.

“Kau tahu drama Broadway berjudul Children of a Lesser God?
Kisahnya tentang kaum tuna rungu dan memperoleh bermacam-
macam penghargaan.” “Ya, tentu saja. Aku pernah menontonnya.”
“Yah, orang yang memproduksi drama itu sedang bekerja sama
dengan seorang penulis naskah dalam rangka membuat naskah lain
yang mirip. Dia mencari sutradara baru dan andal yang tidak takut
menerima tantangan seperti itu. Aku makan siang dengannya
kemarin.” “Drake, aku sangat gembira mendengarnya.” “Jangan.
Banyak rintangannya. Semua bisa berkembang jadi kacau.”
Wajahnya serius, lalu tampak senyum berlesung pipi yang terkenal
dan mampu meluluhkan hari para wanita itu. “Tapi sulit sekali untuk
tidak gembira, ya?”

“Aku berharap semua berjalan sesuai keinginanmu. Kau takkan
merindukan Dokter Hambrick?”

“Mungkin aku akan merasa kecewa sedikit, tapi kurasa takkan lama.
Yang paling menyenangkan adalah aku akan punya waktu lebih
banyak bersama Jennifer. Selama beberapa waktu mungkin aku harus
sering bepergian, dan jarang ada di rumah, tapi di sela-sela pekerjaan
kita bisa berlibur seperti keluarga lain.” Dia mengulurkan tangan
untuk menepuk kepala anaknya dan tidak melihat ekspresi Lauri.

Wanita itu tiba-tiba meninggalkan meja dan menyibukkan diri
dengan mengeluarkan casserole-salah satu proyek mereka saat hari
hujan -dari kulkas dan memasukkannya ke oven untuk makan
malam.

184 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Drake terus bercerita. “Untuk sementara kita mungkin harus agak
prihatin. Aku harus mengontrol keuangan, hal yang tidak perlu
kulakukan beberapa tahun terakhir ini. Tapi aku sudah menabung
cukup banyak untuk membiayai hidup kita kalau situasi memburuk.”
Dia tertawa. “Boleh percaya atau tidak, agenku sangat gembira. Dia
bilang klien-klien menginginkan wajahku terpampang di berbagai
benda, mulai dari pasta gigi sampai pantyhose. Kau bisa memperoleh
banyak uang dalam sehari kalau muncul di iklan berskala nasional.
Sebelum ini aku tidak pernah berminat membintangi iklan, tapi
sekarang aku akan memanfaatkan ketenaranku.”

Lauri mencuci selada di bawah keran. “Aku yakin kau pasti akan
sukses, Drake. Apa pun yang kau-kerjakan.”
Dia bersyukur ketika pria itu menawarkan untuk membawa pergi
Jennifer sementara dia menyiapkan makan malam. Begitu mereka
keluar ruangan, dia bersandar lemas di permukaan meja dan
menutupi wajah dengan tangan.

Drake telah memecatnya, biarpun tidak terang-terangan
mengatakannya. Dia tidak menyinggung-nyinggung tentang
pernikahan palsu dan hubungan asmara mereka, malah mengatakan
akan punya waktu lebih banyak untuk Jennifer, membuat Lauri
merasa tak berguna. Drake menggajinya mahal. Di masa yang akan
datang uangnya tidak lagi sebanyak sekarang. Pria itu harus
berhemat, dan Lauri yakin dia termasuk salah satu yang digusur.
Dia takkan sulit mencari pekerjaan lain. Guru untuk kaum tuna
rungu selalu dibutuhkan, tapi tidak akan ada kegembiraan dalam
menerima pekerjaan lain. Dia akan selalu memikirkan murid yang
telah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu.

Kau kan sudah mengetahui bahayanya kalau terlalu dekat, terlalu
terlibat, Lauri, dia memarahi dirinya. Sekarang rasakanlah akibatnya.

Sebuah pikiran menghiburnya. Jennifer terlalu muda untuk lama
mengingatnya. Anak itu mula-mula memang akan kehilangan Lauri,
tapi dia akan segera melupakannya. Lauri meyakinkan dirinya bahwa
pikiran itu menenangkan. Kalau begitu, mengapa dia merasa sakit
sekali ketika memikirkannya?

185 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Lauri?” Dia terlonjak ketika Drake memanggil namanya dari
ambang pintu dapur. Setelah me-nenangkan diri, dia memandang
pria itu. “Ya?”

“Kotak-kotak berisi barang-barang Susan masih di dalam lemari itu?”

Tangan Lauri mengepal di balik punggung, dan dia dapat merasakan
kuku-kukunya menusuk telapak tangannya. Tenggorokannya
tercekat, tapi dia berhasil menjawab cukup tenang, “Ya. Aku tidak
menyentuhnya.”

Cuma “Oke” yang dikatakan Drake sebelum memukul kusen pintu
dan pergi.

Lauri butuh waktu beberapa detik untuk menenangkan diri. Teganya
Drake menanyakan hal seperti itu padanya, tanpa memedulikan
perasaannya sedikit pun. Apakah dia mengira Lauri menyerahkan
diri padanya dengan gampang? Apakah malam-malam di tempat
tidur pria itu harus dilupakan seolah tak pernah terjadi?

Apakah Drake berpikir Lauri bisa melupakan sentuhan tangan dan
mulutnya yang lihai? Ia teringat kata-kata cinta yang dibisikkan pria
itu ketika mengajarinya berbagai cara untuk menyenangkannya.
Drake menggumamkan dorongan semangat dan pujian tiap kali dia
membawa Lauri kembali dari tempat di mana semua tampak
berkilauan. Berulang kali, dan dengan cara yang selalu berbeda, pria
itu membawanya ke sana. Tapi dia selalu menunggu di sisi lain untuk
memeluk, membelai, dan merayunya.

Saat makan malam Drake terus bicara, memuji makanan buatan
sendiri yang, katanya, baru kali ini dirasakannya lagi sejak kembali
ke New York. Dia menceritakan semua gosip: siapa yang terlihat
dengan siapa di diskotek mana. Lauri menanggapi cuma kalau
diminta. Ketika Drake menanyakan kabar Betty dan keluarganya dia
menceritakan anekdot tentang Sam dan sekaleng cat yang disambut
Drake dengan tawa terbahak-bahak. Jennifer bisa memahami bahasa
isyarat yang digunakannya dan menambahkan ceritanya tentang
kejadian tersebut. Anak itu ikut tertawa bersama Drake. Setelah
makan Drake membantu mengangkat piring-piring, tapi Lauri
menyuruhnya pergi. “Lebih baik kautemani Jennifer,” katanya.

186 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Oke. Aku memang ingin menyampaikan suatu masalah penting
padanya,” kata Drake, mengikuti saran Lauri dan meninggalkan
dapur untuk menemukan anaknya.
Piring-piring sudah dicuci, dan Lauri tidak tahu harus melakukan
apa lagi untuk menyibukkan diri. Dia sengaja berlama-lama ketika
menyiapkan makan malam dan bersih-bersih, tapi sekarang dia tidak
punya pilihan selain bertemu Drake.
Tuhan, beri aku kekuatan, dia berdoa ketika masuk ruang tamu.
Bagaimana dia bisa bersama Drake tanpa jadi bagian dari pria itu?
Bisakah dia dekat dengannya tanpa menyentuhnya? Sejak Drake
datang, mengibaskan salju dari mantelnya, dia ingin sekali
mendekati dan merasakan pelukannya lagi. Itu sama sekali tak
mungkin. Dalam beberapa hari ini dia kemungkinan besar akan
menyingkir dari kehidupan pria itu.
Dia sedang memeriksa kunci pintu depan ketika mendengar suara
Drake datang dari kelas. Suara itu bisa didengarnya meskipun angin
menderu-deru dan butiran es berdetik-detik mengenai jendela.
“Mom-my,” kata Drake jelas dan menekan setiap suku kata. “Pegang
di sini, Jennifer,” Lauri mendengarnya berkata. “Letakkan jari-jarimu
di tenggorokanku. Mom-my. Mom-my. Mengerti? Kau bisa
melakukannya?”
“Mau-my,” Lauri mendengar Jennifer meng atakannya dengan susah
payah.
“Ya!” Didengarnya Drake berseru sambil menepuk punggung si
anak. “Hampir benar,” katanya.
“Tulisannya seperti ini. M-O-M M-Y, Mom-my. Coba lagi,”
dorongnya.
Lauri menutup mulut untuk menahan seruan sedih yang keluar dari
tenggorokannya. Foto-foto itu! Drake tadi bertanya apakah barang-
barang Susan masih di atas. Dia pasti mengambil beberapa benda
untuk membantu menjelaskan pada Jennifer hubungan anak itu
dengan wanita di foto-foto tersebut.

187 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku tidak sanggup lagi,” desis Lauri, dan lari ke atas. Begitu
membuka pintu kamar, dia melihat pintu lemari tempat kotak-kotak
itu disimpan, sekarang terbuka. Drake telah memeriksa isi kotak-
kotak itu dan mengambil apa yang ingin ditunjukkannya pada
anaknya.
Oh, Tuhan, Lauri tersedu. Drake masih mencintai Susan. Sampai
kapan pun. Di alam bawah sadarnya Lauri berharap kepulangan pria
itu menand akan Drake telah mempertimbangkan kembali hubunga
n mereka. Mungkin Drake ingin pernikahan pura-pura mereka
dijadikan sungguhan. Sekarang dia tahu yang s ebenarnya.
Dia juga tahu apa yang harus dilakukannya.
Tanpa pikir panjang, Lauri mengeluarkan koper dari kolong tempat
tidur dan mulai berkemas-kemas. Dia membawa yang perlu saja. Dia
akan minta Betty mengirimkan barang-barangnya yang lain
belakangan. Saat ini dia bahkan tidak punya alamat.
Setelah selesai, dikuncinya koper dan disorong-nya lagi ke kolong
tempat tidur. Dia tidak ingin Drake mengetahui rencananya.
Lauri parrish seorang pejuang. Menyerah bukan-lah sifatnya. seumur
hidup hanya sekali dia terpaksa mundur-waktu pernikahannya tidak
bisa diperbaiki lagi.
Dia pejuang, tapi kalau kekalahan sudah tak terelakkan, kalau
kemenangan di luar jangkauannya, dia tahu cara menyerah dengan
terhormat meskipun hatinya terluka. Dia bisa menerima kenyataan
bahwa Drake takkan pernah membalas cintanya. Dia pergi-sekarang.
Mumpung dia masih memiliki harga diri.

®LoveReads

188 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 14

Sulit sekali menyuruh Jennifer tidur. Anak itu gembira dengan
kehadiran Drake di rumah dan melakukan kenakalan-kenakalan yang
di lain waktu pasti tidak akan ditolerir Lauri.
Akhirnya dia bisa dimandikan, dicium, dan dibaringkan di tempat
tidur. Ketika dia mengucapkan doa yang diajarkan Lauri dalam
bahasa isyarat, mata Lauri berkaca-kaca. Dia berlutut dan memeluk
anak itu, menikmati wanginya yang bersih dan segar, serta
kelembutan kulitnya. Aku menyayangimu, Jennifer, dia
mengisyaratkan sebelum keluar kamar, meninggalkan Drake untuk
mematikan lampu.
Dia pergi ke kamar tidur utama dan menutup pintu, tapi beberapa
detik kemudian, Drake mengetuknya. “Ya?”
“Layanan kamar,” kata Drake riang sebelum membuka pintu.
“Bagaimana kalau kau turun dan minum segelas anggur denganku di
depan perapian? Malam ini sempurna untuk melakukannya.” Maksud
tersembunyi ucapannya adalah malam ini sempurna untuk
melakukan hal-hal lain juga.
Kata-katanya membuat Lauri marah, dan dia harus bersusah payah
menahan kemarahannya. Drake masih beranggapan bisa
memanfaatkannya sesuka hati. Yah, pria itu akan segera tahu bahwa
dia bukan wanita gampangan!
“Aku sedang sakit kepala,” kata Lauri datar. “Kurasa karena angin
yang bertiup seharian. Yah, pokoknya aku sedang tidak enak badan.
Kurasa aku mau tidur saja. Aku lebih membutuhkan tidur nyenyak
daripada segelas anggur.”
“Menurut saya, Anda terlalu banyak protes.”
“Maaf, Drake. Pokoknya aku tidak kepingin turun,” kata Lauri ketus.
Pria itu memandangnya beberapa lama, kemudian berkata, “Baiklah.
Sampai besok pagi.”

189 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri mendengar suara samar pesawat televisi ketika dia mondar-
mandir di kamar. Akhirnya televisi dimatikan, dan dia mendengar
Drake masuk ke kamar di sebelah dapur. Air berkecipak di kamar
mandi waktu pria itu bersiap-siap tidur.
Akhirnya rumah senyap. Lauri berjingkat-jingkat ke puncak tangga
dan memasang telinga. Semua lampu sudah padam. Kembali ke
kamar, dia menunggu dua puluh menit lagi sebelum memakai
mantel, mengambil koper dari kolong tempat tidur, dan mengendap-
endap menuruni tangga.
Angin sudah berhenti, tapi salju masih tur un dengan deras ketika
Lauri melangkah ke teras depa n. Setelah tanpa suara meletakkan
koper, dia menutup pintu. Dengan hati-hati dia menuruni tangga
berlapis es, dan setengah meluncur setengah berjalan ke mobil Me
rcedes-nya.
Pintu mobil itu beku sehingga sulit dibuka. Setelah berkali-kali
mencoba membukanya dengan satu tangan, dia terpaksa meletakkan
tas sandang dan kopernya di salju dan menarik dengan dua tangan
sampai pintu itu terbuka, nyaris membuatnya terjungkal.
Dimasukkannya tas-tas ke bangku belakang dan duduk di balik
kemudi. Dari balik sarung tangan kulitnya, dia dapat merasakan
kemudi itu sedingin les, dan dia menggigil meskipun sudah memakai
mantel tebal. Bagaimana kalau mobil ini tidak mau menyala?
Dia menginjak pedal gas beberapa kali, kemudian memutar kunci
mobil. Mesinnya menggeram, terbatuk-batuk, lalu diam.
“Sialan!” gumamnya sambil mencoba lagi.
Ketika dia akan menyerah, mesin hidup dan derumnya terdengar
bagai suara paling merdu di telinganya. Selama berusaha menyalakan
mobil tadi, dia terus memandang pintu depan dengan gelisah, takut
Drake mendengar suaranya. Rupanya desir angin me-nenggelamkan
suara-suara lain. Sambil memandang rumah untuk terakhir kali, dia
memasukkan persneling, dan roda-roda mobil berjuang untuk bisa
berputar di tanah yang licin.

190 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Pikirannya begitu kacau sehingga dia tidak mempersiapkan diri
untuk mengemudi dalam badai salju. Di Nebraska dia sudah biasa
menyetir mobil di jalanan bersalju. Tapi pegunungan di New Mexico
ini berbeda dari tanah datar kampung halamannya.

Panik melandanya ketika roda-roda tidak bisa dikontrol dan
meluncur ke tepi jalan. Dia berhasil meluruskan mobil lagi, tapi
dengan gugup dia menggigit-gigit bibir bawahnya. Lebih erat
mencengkeram kemudi, dia bertekad takkan kembali. Drake
mengemudi dari Albuquerque dalam badai ini. Jika pria itu bisa
melakukannya, begitu juga dia. Kalau dia menunggu sampai besok
pagi, jalanan akan lebih beku.

Dia butuh waktu hampir sepuluh menit untuk keluar dari jalan kecil
yang menuju rumah itu. Ketika sampai di kaki bukit tempat jalan
kecil itu bertemu dengan jalan ke desa, dia menginjak rem, tapi mobil
tidak mau berhenti. Mengira dia bisa masuk ke jalan itu tanpa perlu
betul-betul berhenti, dia memutar kemudi tidak lebih dari
sepersekian inci saja. Tapi itu sudah cukup.

Sebelum dia sempat memegang kontrol lagi, mobilnya sudah
meluncur tak tentu arah. Mobil itu berputar tak terkendali, roda
belakangnya mula-mula bergerak ke satu sisi jalan, kemudian ke sisi
yang satu lagi. Lauri refleks menginjak rem. Roda-roda mengunci,
dan bagian belakang mobil menghunjam tumpukan empuk salju di
dalam selokan. Lauri duduk menghadap ke atas seperti di kursi
periksa dokter gigi. Dia tidak terluka. Mobilnya tidak mungkin rusak
berat, karena terjunnya ke selokan tadi tidak keras dan dia tidak
mendengar bunyi logam berderak. Tapi mobil itu terbenam dalam-
dalam di salju. Dimatikannya mesin.

Sebelum dia sempat memikirkan jalan keluar dari masalah ini, pintu
di sisi pengemudi disentakkan sampai terbuka, dan dia nyaris
menjerit sampai melihat wajah Drake. Wajahnya tidak seramah
biasanya, melainkan berkerut marah. “Kau terluka?” bentak Drake.

Lauri menggeleng, tidak tahu apakah harus merasa gembira karena
selamat dari kecelakaan ini atau tidak. Saat ini dia lebih takut pada
Drake dibandingkan pada kemungkinan kecelakaan mobil.

191 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Pria itu menyambar lengan atasnya dan menyeretnya keluar dari
balik kemudi. Ketika Lauri memberontak dan berusaha mengambil
tas-tas di bangku belakang, Drake berteriak, “Biarkan saja.” Dia
memakai mantel kulitnya, tapi tidak mengancing-kannya, dan mantel
itu berkibar-kibar ketika dia berusaha menaiki tepi selokan yang
tertutup salju setinggi lutut. Salju yang berputar-putar dan
kegelapan makin menyulitkan mereka. Drake menarik Lauri, tidak
peduli bahwa salju mencapai setengah paha wanita itu.

Lauri memanggilnya sekali waktu merasa mata kakinya akan terkilir,
tapi pria itu tidak mendengarnya. Atau dia sengaja tidak
memedulikannya.

Ketika akhirnya mereka berhasil keluar dari selokan, Lauri
bersyukur punya kesempatan beristirahat, tapi Drake berpendapat
lain. Makin kuat mencengkeram lengannya, pria itu mulai menyusuri
jalanan, tersandung-sandung, terpeleset, dan memaki-maki sambil
berjalan. Seingat Lauri tidak pernah dia melihatnya semarah ini.
Drake tidak memakai topi, tapi tampaknya sanggup menahan angin
dan salju dingin yang menyelimuti rambutnya yang awut-awutan
ditiup angin.

Lauri segera kehabisan tenaga dan ketinggalan. Pria itu
menyentakkannya dan mendesis di telinganya, “Kalau kau tidak
segera bergerak, jejakku tadi akan tertutup salju. Jika itu sampai
terjadi, kita ak an tersesat di luar sini. Itu yang kau mau?” Dia
menggu ncangnya sedikit dan Lauri ketakutan memandangnya. Dia
menggeleng, dan mereka melanjutkan mendaki bu kit.

Lauri terpeleset di tangga yang menuju teras depan dan tersungkur.
Ditahannya tubuhnya dengan tangan. Drake memegang tubuhnya
dan menariknya berdiri tanpa basa-basi atau kelembutan. Pria itu
membuka pintu depan dengan bahunya dan mendorong Lauri ke
dalam.

Kaki Lauri beku dan terasa seperti kayu ketika dia berjalan terseret-
seret menuju tangga. Dia bermaksud kabur dari Drake. Pria itu pasti
mengetahui niatnya, karena dia membuntutinya, dan mencengkeram
pergelangan tangannya kuat-kuat, lalu menariknya ke arah perapian.

192 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Awas kalau kau bergerak,” ancam Drake dengan suara galak. Dia
berjongkok dan mengaduk-aduk bara api sebelum menambahkan
kayu ke perapian. Setelah api menyala sesuai keinginannya, dia
memandang Lauri.

Kalau tadi Lauri belum kedinginan dan menggigil, maka tatapan
Drake pasti bisa membuat darahnya beku. Mata hijau itu berkilat-
kilat marah. Rahangnya keras dan tak kenal kompromi.

Lauri mengernyit ketika pria itu mengangkat tangan. Bukan
menghajarnya seperti dugaannya, Drake malah memegang bahu
Lauri dan menariknya tke dekatnya sampai dia harus mendongak
supaya bisa melihat pria itu.
“Kalau kau ulangi kelakuanmu tadi, akan kupukul pantatmu. Kau
dengar?” Dia mengguncangnya lagi, dan kepala Lauri bergoyang-
goyang tak berdaya. “Apa sih maumu?” desaknya. “Hah?” dia
menambahkan ketika wanita itu tidak menjawab.
Api sedikit demi sedikit menghangatkan Lauri dan bersamaan
dengan itu timbul kemarahannya. Apa hak Drake memarahinya? Dia
kan manusia merdeka. Dia bisa pergi kalau mau, tanpa perlu
memberikan penjelasan pada pria itu.
Lauri melepaskan diri dari pegangannya dan menjauh, kemarahan
mereka kini sebanding. Mereka sekarang saling mengawasi seperti
petinju, masing-masing mengira-ngira kekuatan lawan.

“Kalau kau mencemaskan mobilmu, aku meninggalkan surat di atas
untuk memberitahumu bahwa mobilmu akan kutinggalkan di
lapangan parkir bandara supaya bisa kauambil.” Dagunya naik
sedikit dengan sikap membangkang.
“Aku tidak mencemaskan mobil sialan itu!” geram Drake. “Apakah
kau meninggalkan surat juga untuk Jennifer, menjelaskan
kepergianmu yang diam-diam? Aku yakin dia akan bertanya-tanya di
mana kau berada,” ejeknya.
Kata-katanya itu membuat Lauri terdiam sesaat dan dia bergumam
tidak jelas.

193 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku tidak mendengar omonganmu barusan,” kata Drake, bersidekap
dengan gaya arogan yang menjengkelkan Lauri.
“Aku bilang” kata Lauri penuh tekanan, “aku akan membiarkan kau
yang menjelaskannya.”
“Dan apa yang harus kukatakan padanya?” Kilau rambutnya bagai
mencerminkan kemarahan yang makin memuncak di dalam hatinya.
Cuma itu caranya membela diri terhadap kekurangajaran sikap
Drake.
“Katakan padanya aku menghargai diriku lebih dari sekadar
simpanan aktor yang mengharapkan setiap wanita bertekuk lutut di
hadapannya. Katakan padanya bahwa meskipun sangat menyayangi
dan peduli pada masa depannya, aku tidak bisa tetap bersamanya dan
dihina serta direndahkan gara-gara hubungan asmara hambar yang
tanpa makna. Aku dibayar untuk menjadi gurunya, bukan untuk
menghangatkan tempat tidur ayahnya.”
Payudaranya naik-turun karena kesal, dan tubuhnya setegang senar
biola. “Aku akan pergi dari sini walau harus jalan kaki sekalipun! Aku
tidak peduli apakah akan bertemu kau lagi atau tidak, Drake Sloan.”
Lauri berbalik.
“Tidak,” kata pria itu serak.
Lauri begitu kaget ketika mendengar emosi dalam suara Drake
sehingga langsung berhenti. Penasaran tentang perubahan suasana
hatinya yang sangat cepat, dia memandang pria itu lagi. Mata Drake,
yang baru beberapa saat yang lalu penuh kemarahan, sekarang
tampak muram, putus asa, dan memelas.
“Takkan kubiarkan kau meninggalkan aku, Lauri. Katakan kau tidak
akan pergi.” Sementara Lauri memandangnya dengan takjub, Drake
berlutut dan memeluk pinggangnya. Wajahnya menekan perutnya
dan dengan lembut pria itu menciumnya. “Aku pernah bersumpah
takkan mencintai wanita lain. Tapi kenyataannya lain. Ya Tuhan,
aku mencintaimu. Aku takkan membiarkanmu pergi,” ulangnya.

194 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Tangan Lauri bergerak otomatis ke puncak kepala Drake, dan
diusapnya titik-titik air dari rambut keperakan itu. Menjauh darinya,
dia berlutut untuk menatap pria itu.
“Drake? Apa maksudmu?” Dipandanginya wajah Drake untuk
melihat apakah pria itu berbohong. Berpura-purakah dia? Apakah ini
adegan mengharukan dan tragis di akhir sandiwara ketika masa
depan sepasang kekasih terancam? Bukan. Ekspresi sakit, rindu, dan
putus asa yang dilihatnya di wajah Drake amat nyata. Pria itu tidak
sedang berakting.
Drake menyibakkan helai-helai rambut merah Lauri yang basah
karena salju dari pipinya dan berkata lembut, “Kaupikir aku
seenaknya datang kemari hari ini dan mengira bisa melanjutkan
hubungan kita, kan?”
Lauri mengangguk.
“Dan kaukira waktu aku mengajakmu turun dan minum segelas
anggur denganku, aku akan merayumu, bukan?”
Lauri mengangguk lagi.
“Yah, kau benar,” dia malu-malu mengakui. “Tapi pertama-tama aku
akan memintamu menjadikan pernikahan kita pernikahan
sungguhan. Atau tepatnya pernikahan yang sah di mata hukum.
Sejak dulu aku sudah merasa upacara pernikahan yang dipimpin
ayahmu itu sungguhan.”
“Drake,” bisik Lauri, “kenapa baru sekarang kau memberitahukan hal
ini padaku?”
“Kenapa?” tanyanya. “Memangnya kau akan mempercayai aku? Kau
selalu begitu defensif, mencari motif-motif tersembunyi, tidak pernah
mempercayai emosi jujur ketika melihatnya.” Dia mencondongkan
tubuh ke depan dan mencium kening Lauri.
“Aku lebih memahami dirimu daripada kau sendiri, Lauri Parrish
Rivington,” kata Drake. “Aku memberitahumu pada pertemuan
kedua kita bahwa wajahmu terlalu ekspresif sehingga kau tidak bisa

195 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

menyembunyikan perasaanmu.” Dia menelusuri wajah Lauri dengan
penuh kasih sayang.
“Paul pasti bajingan. Dari ceritamu yang cuma sedikit, kurasa aku
bisa menebak seperti apa hidupmu dengannya. Dia pemurung dan
emosional, dan kau merasa seperti selalu berjalan di atas kulit telur
karena tidak ingin merusak perasaannya yang rapuh. Betul?”
“Ya,” kata Lauri. Bagaimana Drake bisa mengetahui semua itu?
“Yah, aku juga pemurung dan emosional. Malah, aku bisa jahat
sekali. Tapi kau jelas tidak pernah ragu-ragu untuk menunjukkan
kegalakanmu kalau aku kelewatan. Kau tahu, entah menyadarinya
atau tidak, aku tidak seperti Paul. Aku lebih kuat. Aku tidak serapuh
dia. Aku takkan pernah butuh bantuan alkohol untuk menghindari
rintangan.
“Hidup bersama orang yang selalu diperhatikan masyarakat memang
sulit. Aku menyadarinya. Tapi apa pun yang dikatakan orang atau
kaubaca tentang aku, jangan kaupercayai kecuali aku mengatakan itu
benar. Kalau situasinya terasa terlalu sulit untuk diatasi, aku akan
pergi dan melakukan hal lain. Bagiku, akting merupakan profesi,
bukan kegemaran. Kau dan Jennifer akan selalu menjadi prioritasku.”
Dia menarik napas dalam-dalam. “Nah, kalau kau sanggup
menghadapi temperamen artis ini, aku sanggup menghadapi sifat
pemarahmu “
“Sifat pemarah!” teriak Lauri, langsung menunjukkan sifatnya itu.
Dia terpancing, dan pria itu tertawa. Dengan perasaan malu Lauri
ikut tertawa, kemudian bersandar padanya dan berkata, “Tidak, kau
sama sekali tidak seperti Paul. Dan aku sekarang mempercayaimu.”
Jantungnya berdebar-debar senang, tapi dia harus menghilangkan
semua keraguan dan... bayang-bayang masa lalu.
“Drake, bagaimana dengan Susan?”
“Susan?” tanya Drake, mengangkat kepala dan memandangnya.
“Sudah kukira kau akan bertanya padaku tentang dia.” Pria itu
menarik napas.

196 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Oh, Tuhan, tidak! jerit Lauri dalam hati. “Kau masih mencintainya,
kan?” dia bertanya, terkejut dengan keberaniannya sendiri.
Drake menatapnya kaget. “Itu yang kaukira?”
Lauri mengangguk. “Ketika pertama kali menciumku, kau bilang kau
mencintai istrimu.”
“Dahulu, ya. Aku dahulu mencintainya. Waktu kami pertama
bertemu, aku sangat mencintainya. Kami menikmati hidup.
Kehidupan seks kami lebih dari memuaskan.”
Lauri tercekik perasaan cemburu, dan hal itu pasti kelihatan. Sudut-
sudut mulut Drake naik ketika dia nyengir, lalu kembali serius.
“Dia cantik dan berbakat. Tapi dia tidak memiliki hati yang baik; dia
tidak punya jiwa. Meskipun aku benci mengakuinya, dia manja,
egois, dan dangkal. Ambisinya nyaris membuatku terpengaruh,
karena melibatkan aku juga.” Sambil bicara dia membuka mantel dan
membantu Lauri melepas mantelnya.
“Dia memaksaku menerima peran yang tidak kuinginkan di sinetron
itu. Dia tidak mau berkorban dan mengizinkan aku terus belajar. Dia
ingin menikah dengan selebriti, seakan itu penting saja,” katanya
pahit. “Tapi dia menikmati kehidupan selebriti itu-dan menari.
Ketika dia hamil, kupikir dia akan membunuhku. Dia tidak mau
minum pil KB karena itu membuatnya gemuk, tapi ketika dia hamil,
aku yang disalahkannya.”
Mereka bersandar di perapian, lengan Drake menyangganya. Pria itu
memegang tangannya dan menyusuri setiap pembuluh darah dan
tulangnya dengan jemarinya. “Tangan yang indah sekali,”
gumamnya dan mendekatkan satu tangan ke mulutnya, mencium
telapaknya sebelum melanjutkan ceritanya.
Aku sudah takut saja dia akan melakukan aborsi, tapi setelah
mengamuk dan mengomel tanpa henti selama sembilan bulan, dia
melahirkan Jennifer, dan aku bahagia sekali.”
Dia diam lagi dan berdiri, menghadap ke api. Bayangan yang
bergerak-gerak menonjolkan setiap sudut wajahnya. “Jennifer baru

197 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

berumur enam bulan ketika kami mengetahui dia tuna rungu. Bisa
kaubayangkan betapa tersiksanya jiwaku, Lauri? Bagaimana aku
bertanya-tanya dalam hati? Apakah aku dihukum karena dosa yang
kurahasiakan? Mencuri apel waktu aku berumur sepuluh tahun?
Sekarang aku menyadari betapa konyol pikiranku itu, tapi itulah
reaksi pertamaku. Tapi reaksiku tidak seberapa dibandingkan reaksi
Susan. Seolah perasaan bersalahku sendiri belum cukup, Susan
menyalahkan aku juga. 'Sejak awal aku kan memang tidak
menginginkan anak ini,' teriaknya padaku. Kau tahu, Jennifer tidak
sesuai dengan standar Susan, yaitu kesempurnaan. Susan harus
menari dengan sempurna; dia menginginkan suami yang sempurna.
Dia tidak sanggup punya anak yang tidak sempurna.”

Lama dia tidak bicara, kakinya menyepak-nyepak kayu-kayu dengan
ujung sepatu, mendorongnya ke tengah bara. “Suatu hari aku pulang
terlambat dari studio. Aku mendengar Jennifer menangis di
kamarnya. Waktu masuk ke sana, aku nyaris muntah. Dia berbaring
di tengah kotorannya. Dia kedinginan dan kelaparan. Aku marah
sekali pada Susan dan mencarinya di seluruh penjuru apartemen.
Dia... dia-”

Drake tidak sanggup melanjutkan, dan hati Lauri dipenuhi perasaan
iba waktu pria itu menutupi wajahnya dengan dua tangan. Dia tahu
apa yang akan terjadi. Dia tidak mau berbicara atau menghiburnya.
Drake harus merasakan penderitaan ini sendirian. Orang lain takkan
bisa ikut merasakannya. Dia dulu tidak mendapati mayat Paul, tapi
dapat berempati dengan kenangan Drake yang mengerikan.

“Dia di bathtub, kedua nadinya teriris. Jelas dia sudah cukup lama
meninggal.” Setelah lama berdiam diri, dia kembali ke samping Lauri
dan duduk di karpet, memeluknya erat.

“Aku tidak pernah memaafkannya. Kubiarkan orangtuanya
mengurus pemakamannya, yang tidak mau kuhadiri. Keluarganya
jelas-jelas mengatakan tidak ingin berurusan dengan aku atau
Jennifer lagi. Kami telah membunuh kebanggaan mereka, putri
mahkota mereka. Lauri-”dia menjauhkannya supaya bisa menatap
matanya-”waktu itu aku bersumpah takkan mencintai siapa pun lagi.
Aku pernah mencintai Susan, tapi di saat aku sangat membutuhkan-
nya, di saat kami membutuhkan dukungan dan cinta masing-masing,

198 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

dia meninggalkan aku. Tapi aku jatuh cinta padamu. Itu sebabnya
kau tidak boleh meninggalkan aku sekarang. Aku membutuhkanmu,
tidakkah kau tahu?” Dia menciumnya dengan putus asa. Bibirnya
tidak perlu menuntut respons dari Lauri. Lauri dengan senang hati
memberitahunya betapa dia sangat mencintainya.

Ketika akhirnya mereka memisahkan diri, Drake berkata, “Aku pergi
ke New York untuk membereskan masalah karier, juga untuk
mengusir bayangannya dan menziarahi makamnya. Aku tidak pernah
ke sana. Tidak bisa kukatakan padamu betapa aku membencinya.
Sekarang kusadari bahwa, seperti kita semua, dia tidak bisa menolak
sifatnya. Sampai aku belajar mencintai, aku tidak bisa memaafkan.
Sekarang aku tahu: seorang wanita mungil berambut merah telah
mengajariku. Aku mulai menyadari apa yang terjadi pada hari
Jennifer mengacak-acak makeup-mu. Kau marah dan
menghukumnya, tapi kau juga memaafkannya. Dia tidak pernah
meragukan perasaan sayangmu. Aku harus kembali dan memaafkan
Susan sebelum bisa menawarkan cintaku padamu. Aku tidak ingin
ada yang menodai cintaku.”

Mereka berciuman lagi, lalu Lauri berkata, “Tadi siang kau bertanya
tentang kotak-kotak di dalam lemari itu. Kupikir kau akan
menunjukkan foto-foto Susan pada Jennifer. Aku mendengarmu
mengajarinya bilang Mommy”

“Jadi itu penyebab kau kabur!” Drake mendongak dan tertawa. “Aku
menanyakan kotak-kotak itu karena sekarang aku sanggup melihat
isinya. Sebelum ini, aku benci menyentuh apa saja yang merupakan
miliknya. Aku memilih apa yang ingin kusimpan untuk Jennifer.
Suatu hari nanti, kalau dia sudah cukup umur untuk memahami, kita
harus memberitahu dia tentang ibunya.”

Dia memegang dagu Lauri dan mengangkatnya sehingga wanita itu
mau tidak mau memandangnya.
“Dan aku mengajari Jennifer bilang Mommy sebagai kejutan
untukmu. Mulai sekarang aku ingin dia memanggilmu Mommy.
Begitu kita menikah secara sah, kau akan jadi ibunya.”
“Drake-” Lauri mulai bicara tapi bibir Drake membungkamnya.

199 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Kau sudah merasa lebih hangat?” tanya Lauri. Kemudian, dengan
terkesiap, “Drake-” Dengan tangan-tangan lihai pria itu menjelajahi
tubuh Lauri di balik busa di bathtub yang dalam itu. Meskipun dia
memprotes, Drake tidak berhenti. Pria itu menyentuhnya sedemikian
rupa sehingga dia melengkungkan leher dan mendesah panjang.
Lauri melirik bayangan mereka di cermin di depan bath-tub, dan
meskipun ruangan cuma diterangi cahaya lilin-lilin, bayangan
mereka tampak jelas.
“Kapan kau merencanakan aktivitas tidak senonoh ini?” tanya Drake.
“Waktu aku pertama kali masuk kamar mandi ini,” Lauri mengikik.
“Aku melihat kita berdua di dalam sini seperti ini. Aku ingin
menutup mata Jennifer sebelum sadar bahwa bayangan itu cuma
khayalanku. Tentu saja,” dia menambahkan dengan serius, “kurasa
dia bisa saja mewarisi sifat tidak malu-malumu.”
“Aku tidak malu-malu?”
“Kau memberitahu aku bahwa sejak ikut tur bersama Hair, kau sama
sekali tidak punya perasaan malu.”
“Aku bilang begitu?” tanya Drake terkejut. “Aku berbohong. Aku
tidak pernah ikut Hair. Aku cuma butuh alasan untuk berbaring
telanjang di tempat tidur itu bersamamu.”
“Oh, kau!” Lauri memercikkan air ke mukanya, tapi perlahan-lahan
menjilatinya. Ketika dia berbuat begitu, jari-jari Drake menggodanya
tanpa ampun. Pria itu bertanya serak, “Kau tahu kapan aku pertama
kali jatuh cinta padamu?”
“Drake,” desah Lauri ketika pria itu menemukan titik sensitif. “Tidak,
kapan?” tanyanya cepat-cepat, takut sebentar lagi tidak bisa
bernapas.
“Waktu kita di Russian Tea Room dan kau jujur padaku tentang
Jennifer dan apa yang bisa kuharapkan darinya.” Dia nyengir nakal.
“Walaupun aku sudah tertarik pada naga kecil yang menyembur
Drake Sloan, tidak peduli dia bintang top atau tidak. Kau tampak
memesona hari itu. Di benakku aku menelanjangimu. Tapi

200 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m


Click to View FlipBook Version