The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by misbahul munir, 2020-07-24 03:31:00

Gaung_Keheningan

Gaung_Keheningan

ketika Drake mengangkat sebelah alis dengan ekspresi bertanya,
Lauri melanjutkan dengan tekad makin bulat. Ini tetap merupakan
permainan bagi pria itu. Dengan lembut bibirnya menyentuh bibir
Drake. Pria itu tidak bereaksi, menyerahkan semua inisiatif padanya.
Dikulumnya sudut bibir Drake, persis di bawah kumis. Dia merasa
tubuh pria itu bergetar sedikit, yang membuatnya tambah berani.
Pria itu mulai terpengaruh.

Dia menenangkan diri bahwa cuma reaksi refleks dan bukan
gelombang kejut gairah yang membuat tangannya makin kuat
mencengkeram kepala Drake dan menariknya makin dekat. Itu hanya
reaksi fisik, bukan kebutuhan emosional, yang mendekatkan
tubuhnya ke tubuh pria itu sampai payudaranya menekan dadanya
yang bidang.

Dia menjelajahi mulut Drake, merasakan dan menikmati pria itu.
Drake masih belum memeluknya. Dia tidak memprotes, tapi juga
tidak berpartisipasi.

Perasaan Lauri kacau-balau. Dia tadi menerima tantangan pria itu
tapi sekarang berjuang supaya tidak jadi korban ulahnya sendiri.
Sejauh ini dia belum berhasil menggoyahkan Drake. Darahnya yang
menggelora; dan bukan kepala pria itu yang berdentum-dentum
bagai drum. Perasaan meng-gelenyar di tubuhnya merupakan bukti
yang sangat jelas bahwa dia wanita yang memberikan respons
terhadap laki-laki.

Lauri tidak boleh membiarkan Drake tahu. Dia harus membuat pria
itu bereaksi dan menyembunyikan reaksinya sendiri. Tujuannya
takkan pernah tercapai kalau dia tidak memenangkan pertempuran
ini.

Bibirnya terus menggoda mulut laki-laki itu, sebelum bergerak ke
dagu dan lehernya. Dengan malu-malu tangannya turun dan
mengusap leher Drake. Penuh rasa ingin tahu Lauri menyusuri bulu-
bulu di dadanya. Melupakan semua rasa sungkan dan menegaskan
bahwa tindakannya didorong oleh tekad untuk menang-dan bukan
keinginan kuat untuk menyentuhnya-dia menyusupkan tangan ke
balik kemeja pria itu dan mengusapkan jari-jarinya di otot-otot di
bawah hamparan bulu berwarna gelap itu.

101 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Napas Drake makin cepat, dan dia mendengar desis pelan. Bagus!
pikir Lauri. Tekniknya be rhasil. Tidak mempercayai keberaniannya,
bibirnya berg erak ke cekungan di leher Drake yang sudah sangat
dik enal jari-jarinya dan menciumnya dengan mesra. Tanga nnya
terus mengusap-usap dada pria itu.
Geraman pelan terdengar dari tenggorokan Drake sedetik sebelum
lengan pria itu membelit Lauri dan memeluknya dengan kekuatan
yang menakjubkan. Lengan Lauri memeluk lehernya sementara bibir
mereka saling melumat. Tubuh mereka menyatu.
Drake menciumnya dengan ganas, membuyarkan segala protes.
Hilang sudah keinginan untuk membuktikan ketidakpeduliannya.
Lauri tahu pertandingan telah berakhir, dan dia bersedia mengaku
kalah kalau Drake mau terus menciumnya seperti ini. Dengan
senang hati dia akan bertekuk lutut akibat serangan penuh
kenikmatannya.
Jennifer-lah yang menyadarkan mereka kembali. Tadi dia asyik
dengan mainan baru dari John, lalu melihat ayahnya dan Lauri
berciuman. Dia berdiri dan menarik-narik kaki celana Drake, ingin
merebut perhatian dan ikut dalam permainan baru yang
mengasyikkan ini.
Drake menjauh dari Lauri dan lama menatapnya. Mata pria itu
diselubungi gairah, dan Lauri sadar bahwa tak satu pun dari mereka
yang menang. Drake sama kacau dan terangsangnya dengan Lauri.
Jennifer tidak mau diabaikan dan memprotes lebih keras karena tidak
dipedulikan. Drake mengalihkan pandangan dari Lauri dan
membungkuk untuk menggendong anaknya.
“Siapa ini? Siapa ini yang terus merecoki aku, hah?” tanya Drake
bercanda, dan menggelitik perut Jennifer, Sebelah tangan anak itu
meraih leher ayahnya dan yang sebelah lagi meraih leher Lauri, lalu
menyatukan ketiga kepala mereka dan mencium kedua orang dewasa
itu kuat-kuat. Dia tertawa melengking, kemudian menyatukan
mereka lagi. Upacara cium-mencium ini diulang beberapa kali sampai
mereka semua tertawa.

102 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Kurasa lupakan saja sekolah untuk hari ini, ya?” tanya Drake pada
Lauri dari atas rambut ikal pirang Jennifer. “Mobil sewaan itu terus
menguras uangku, padahal cuma kuparkir di luar. Bagaimana kalau
kita pergi ke Albuquerque dan mengembalikannya ke agen
penyewaan mobil? Setelah itu kita makan malam dan pulang.
Menurutmu Jennifer sanggup melakukan perjalanan itu?”
“Tentu. Dia memang butuh jalan-jalan. Aku mesti pakai apa?” Lauri
bertanya karena tidak tahu apakah akan memakai jins saja karena
nanti cuma makan hamburger atau berpakaian rapi karena akan
makan di restoran yang lebih mahal.
Mata Drake menyusuri tubuhnya dan naik kembali. “Aku tak peduli,”
geramnya. Matanya mengatakan dia lebih suka Lauri tidak memakai
apa pun.
Meskipun baru beberapa saat yang lalu dia bersikap penuh gairah,
Lauri merah padam dan menarik Jennifer ke dalam pelukannya.
“kami akan siap setengah jam lagi,” katanya cepat-cepat, dan
bergegas menaiki tangga.

®LoveReads

103 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 8

Hari itu ternyata menyenangkan bagi mereka semua. Jennifer
bersama Drake menaiki mobil sewaan sementara Lauri mengikuti
mereka naik Mercedes.
Lauri mensyukuri kesempatan untuk sendirian. Dia jadi punya waktu
untuk menganalisis pikiran-pikirannya yang kacau-balau. Berbahaya
baginy a dan Drake untuk berciuman seperti tadi. Dia mem-ber itahu
pria itu mereka tidak boleh bermain api, tapi terny ata mereka tetap
melakukannya.
Ribuan kali dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa takkan ada
akibat apa pun dari semua itu, cuma sekadar ciuman. Tapi itu
bukanlah sekadar ciuman, dan dia mengetahuinya. Sejujurnya dia
tidak tahu berapa lama dapat menahan Drake atau apakah dia ingin
berbuat begitu. Jika mereka berpacaran, artinya dia tidak bisa
meneruskan mengajar Jennifer. Itu akan merupakan situasi yang
menyedihkan bagi mereka semua, terutama bagi si anak. Jennifer
akan jadi korban tak berdosa atas kelakuan dua orang dewasa yang
mestinya tahu mereka tidak boleh mengacaukan masa depannya
dengan cara seperti ini.
Dalam ketenangan di dalam Mercedes yang meluncur di jalan-jalan
pegunungan menuju kota mudah baginya untuk berjanji takkan mau
jatuh ke dalam pelukan Drake lagi. Kalau ia memang bertekad
melawan bujukan tangan dan bibir pria itu. ini hanya masalah
disiplin, dan Lauri Parrish selalu bangga pada dirinya karena
memiliki hal itu.
Takkan dibiarkannya Drake menyentuhnya lagi. Dia sudah
mengambil keputusan. Dan itu sama sekali tak berarti apa-apa.
Begitu mereka sampai di tujuan, pria itu berjalan ke mobilnya dan
membantunya turun. Tangannya yang terulur disambut tanpa ragu,
dan tubuh Lauri menyentuh tubuhnya ketika mereka berjalan, ingin
sekali merasakan kekuatan mantap tubuh pria itu di sampingnya.

104 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Persoalan mobil selesai dengan cepat. Mereka belanja di toko-toko
paling eksklusif di Albuquerque. Drake membelikan Jennifer jaket ski
biru cerah, yang menurut Lauri terlalu mahal. Pria itu tak
menghiraukan protes Lauri. Jennifer ingin memakainya dalam
perjalanan pulang, tapi meskipun udara di musim gugur itu dingin,
Lauri menjelaskan bahwa jaket baru itu terlalu tebal untuk dipakai
saaat itu. Anak itu baru mau membiarkan jaketnya dimasukkan ke
dalam kotaknya setelah Drake membelikannya sweter cardigan
dengan tudung berhias bulu.

Seperti biasa, para gadis pramuniaga langsung sibuk dan ramah
berlebihan waktu melayani mereka Pembeli-pembeli di toko berhenti
belanja untuk memandangi mereka dengan tatapan membuat Lauri
merasa sangat kikuk.

Beberapa wanita terang-terangan memelototinya dengan iri.
Ekspresi mereka penuh rasa permusuh an. Drake tidak
membantunya merasa lebih enak. Pria itu terus-menerus minta
pendapatnya dan mem perlakukannya dengan cara yang bisa
menimbulkan dugaan macam-macam.

Lauri merasa sangat senang karena satu hal: Drake berbicara dalam
bahasa isyarat pada Jennifer tanpa perasaan malu atau tidak suka.
Pria itu tampak sama sekali tak peduli para penggemarnya
melihatnya bersama anaknya yang cacat.

Dalam penampilan kali ini Lauri mengambil jalan tengah.
Pakaiannya tidak terlalu santai ataupun terlalu resmi. Dia
mengenakan rok wol cokelat muda dan blus sutra hijau giok. Ketika
mereka keluar dari mobil untuk masuk ke restoran, dia menganggap
udara cukup dingin sehingga ia memakai blazer wol putih.

Drake berjalan dengan memegangi blazernya, sementara terus
merangkul bahu Lauri ketika mereka berjalan memasuki restoran.
Lauri merasa mereka seperti keluarga bahagia waktu kepala pelayan
mengantarkan mereka ke meja, lalu segera memarahi dirinya sendiri
karena mengkhayal ngawur begitu. Dia tahu bagaimana perasaan
Drake; pria itu sudah jelas-jelas mengatakan tujuannya. Dia akan
menikmati hubungan fisik, tapi hatinya selalu milik Susan. Dalam
perjalanan pulang Jennifer mengantuk dan membaringkan kepalanya

105 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

di pangkuan Lauri. Bunny, teman setianya, ikut dibawa, dan
diselipkan di bawah lengannya.
Drake mengulurkan tangan ke tombol radio dan menemukan stasiun
FM yang memutar musik tenang. Tangannya lalu berhenti di
rambut ikal lembut Jennifer, dan ditepuk-tepuknya kepala anaknya
beberapa menit sampai dia tahu anak itu sudah pulas.
Lauri mengira pria itu akan kembali memegang kemudi, dan
jantungnya berdebar-debar waktu Drake meletakkan tangannya di
pahanya, di belakang kepala Jennifer. Pria itu meremasnya lembut.
Lauri. Lauri menatap pemandangan remang-remang di luar,
dashboard mobil, anak yang tidur di pangkuannya-apa saja selain
pria di sebelahnya.
Tanpa bisa dikontrol matanya menyusuri interior mobil dan
memandang profil sempurna Drake. Pria itu tampaknya bisa
merasakan tatapannya dan menoleh untuk menatap matanya. Dia
melihat kehangatan yang memancar dari mata cokelat muda Lauri
dan tersenyum lembut.
Tangannya bergerak ke atas paha wanita itu dan menyentuhnya
dengan keintiman yang menggoyahkan tekad Lauri semula. Tangan
itu tetap di tempatnya sampai lampu-lampu kota Whispers kelihatan,
dan ia harus memegang kemudi dengan dua tangan supaya bisa
menyetir mobil dengan aman di jalan yang berkelok-kelok dan naik-
turun.
Tanpa kesulitan mereka mengangkat Jennifer ke tempat tidur.
Karena mengantuk, anak itu menurut saja ketika Lauri membuka
pakaiannya dan menyelimutinya. Setelah berdoa bersama dan
menciumnya, Drake mematikan lampu kamar.
“Kau mau duduk-duduk di depan perapian malam ini?” tanya Drake
ketika mereka berdiri di koridor.
“Kedengarannya asyik. Aku tidak keberat an bersantai sebentar
sebelum tidur. Hari ini melelahka n sekali.”

106 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Ada yang bisa kulakukan untuk membantumu lebih nyaman?” tanya
Drake sambil nyengir nakal.
“Dasar!” omel Lauri, tapi dia tersenyum. “Aku akan mandi dulu, nanti
aku bergabung denganmu di bawah.”
“Waktu kau turun, apinya pasti sudah berkobar-kobar. Aku dulu ikut
Pramuka, kau tahu.”
“Kau? Mustahil!” godanya tepat sebelum menutup pintu kamar,
membuat pria itu tak sempat membalas.
Setelah mandi Lauri memakai mantel flanel hangat dan mengikatkan
talinya di pinggang. Warna peach mantel itu menonjolkan warna
rambut dan kulit wajahnya, dan kerah satinnya membuat kulit
lehernya berkilau.
Perasaan sungkannya setelah dia tinggal bersama Drake selama
beberapa hari ini agak berkurang. Dia tidak lagi terbirit-birit kalau
pria itu memergokinya cuma memakai mantel atau tanpa makeup.
Semacam keakraban telah tumbuh di antara mereka. Dengan
perasaan santai dia turun, sambil menyisir rambut merahnya yang
masih basah setelah mandi.
Dia melintasi ruang tamu dan menutup gorden. Saat otomatis
meraih sakelar lampu, dia terpaku ketika mendengar suara Drake.
“Bagaimana kalau lampunya tidak usah dinyalakan? Cahaya api
sudah cukup.”
Pria itu datang dari dapur, membawa dua gelas anggur dan sebotol
anggur putih dalam wadah berisi es. Melodi lembut balada yang
dinyanyikan Johnny Mathis berkumandang dari stereo system di
lemari buku. Sesuai janjinya, Drake sudah membuat api di perapian
berkobar-kobar.
“Begini memang rileks,” kata Lauri gugup. Rileks dan sensual,
pikirnya waswas. Drake sudah mengganti celana panjang kain dan
jaket sportnya dengan jins lama yang sudah pudar dan sweter putih
berkerah tinggi.

107 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri duduk melipat kaki di salah satu sudut sofa, menghadap
perapian. Drake meletakkan anggur dan dua gelas yang dibawanya
di meja kopi di depan Lauri.

“Kau mau minum satu gelas anggur denganku?” Drake bertanya
sambil duduk di sampingnya.

“Aku-”

“Kumohon. Satu gelas? Efeknya bagus untukmu.”

Karena dia toh sudah menuangkannya, Lauri ber-kata, “Baiklah. Satu
gelas.” Jari-jari mereka bersentuhan sesaat ketika Drake memberikan
gelas anggur itu padanya. Lauri menyesapnya dengan hati-hati. Pria
itu mengamatinya. Mengalihkan pandangan dari tatapannya yang
menghunjam, Lauri memandang api di dalam perapian.

“Apinya bagus, Drake Terima kasih kau telah menyalakannya.”

“Sama-sama. Tapi karena telah bersusah payah menyalakannya, aku
sekarang malah jadi kepanasan. kau keberatan?” Sebelum Lauri
sempat menye-tujui atau tidak, pria itu sudah membuka sweter
putihnya lewat kepala.

Lauri sering melihatnya bertelanjang dada dalam beberapa hari ini,
tapi setiap kali menatap dadanya yang bidang dan berbulu,
jantungnya selalu ber-debar lebih cepat. Dada pria itu menyempit ke
perut datar yang kencang. Jinsnya dua inci di bawah pusar.
Tenggorokan Lauri serasa tercekik ketika dia melihat bentuk samar
kejantanan pria itu di balik celananya yang ketat. Cepat-cepat dia
meneguk anggurnya lagi.

“Kau harum,” kata Drake, agak mencondongkan tubuh ke arahnya.
Dia tidak menyentuhnya, melainkan mendekatkan wajah ke leher
Lauri. “Wangi apa sih?”

“Aku-Mh-” Lauri tidak mampu berkata-kata. Dia menelan ludah dan
mencoba lagi. “Bukan parfum istimewa atau mahal. Aku membelinya
di toserba.” “Tak perlu panik. Baunya enak kok.” Kata-kata pria itu-
ataukah kedekatan tubuhnya?-membuat seluruh tubuh Lauri dialiri
sensasi aneh. Dengan tangan gemetar dia menyisir rambutnya untuk

108 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

terakhir kali dan menaruh sikatnya di meja kopi. Dia sudah dapat
merasakan efek anggur, walaupun baru minum setengah gelas. Dia
meneguk anggurnya lagi dan mengembalikan gelasnya ke meja.
Ketika dia bersandar kembali di sofa, Drake sudah bergeser jauh
lebih dekat dengannya.

Dia menoleh ke arah Drake dan melihat pria itu sedang memandangi
rambutnya. “Bagus sekali,” bisiknya. “Diterangi cahaya api,
rambutmu tampak jualan indah.” Diletakkannya tangannya di
puncak kepala Lauri dan dielusnya rambut Lauri yang berkilauan
sampai bahu.

Cahaya api menimbulkan bayang-bayang gelap di wajah pria itu.
Matanya nyaris tak kelihatan di bawah alisnya yang tebal, tapi Lauri
tahu matanya tengah mengamati wajahnya. Dia seolah dapat
merasakan sentuhannya ketika mata Drake berhenti di mulutnya.
Drake mencelupkan telunjuk di gelas anggur dan menempelkannya
di bibir Lauri. Di-sapukannya cairan keemasan itu, bergerak pelan di
bibir atas, lalu bibir bawah. Karena tekanan lembut jarinya, bibir
Lauri membuka.

Drake menunduk dan mencium bibirnya, menyesap anggur yang
menempel di situ, kemudian melumatnya dalam ciuman
menggetarkan yang menyebabkan Lauri lemas dan terengah-engah.

“Kau lebih enak daripada anggur. Dan dua kali lebih memabukkan,”
desah Drake ketika akhirnya menjauhinya. Dia meletakkan gelasnya
di samping gelas Lauri di meja. Wanita itu mengira Drake akan
kembali padanya dan memeluknya.

Ternyata dia malah telentang di sofa, berbaring lurus, dan
meletakkan kepala di pangkuan Lauri. Diangkatnya sebelah tangan
wanita itu, diciumnya telapak tangannya dengan mesra, dan
ditekannya ke perutnya, ditutupinya dengan tangannya sendiri. “Ini
pasti surga,” katanya, mendongak memandang Lauri. “Pemandangan
dari sini tidak boleh dilewat-kan.” Matanya berkilat ketika menatap
payudara Lauri yang menonjol dari balik mantel. Dia tertawa waktu
Lauri merah padam. Lalu dia menarik napas dalam-dalam, puas. “Aku
suka sekali tempat ini. Kau juga, Lauri?” Laur i terkejut mendengar
suaranya mendadak serius.

109 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Whispers? Ya, memang indah. Tapi harus ku-akui, kukira kau
takkan bertahan selama ini di sini?”
“Kadang-kadang aku merindukan lampu-lampu dan kamera-kamera.
Aku bohong kalau bilang se baliknya. Tapi aku betul-betul tidak
senang kembali ke kehidupan dan kisah-kisah cinta Dokter Glen
Hambrick. Sebetulnya sejak awal aku tidak pernah menginginkan
peran itu.”
“O, ya?”
Keheranannya pasti terdengar jelas karena pria itu membuka mata,
yang sejak tadi tertutup, dan menjawab, “Ya.”
“Kalau begitu kenapa-Kok bisa?” Lauri tergagap.
“Susan membujukku supaya ikut audisi.” Lauri langsung bereaksi
ketika Drake menyebut nama istrinya, tapi tampaknya pria itu tidak
sekalut dulu.
“Aku orang yang mereka cari,” lanjut Drake “Kucium aktris yang
waktu itu jadi pemeran utamanya. Mereka menganggap kami serasi.
Aku langsung mendapat peran itu.”
“Apa yang sebenarnya ingin kaulakukan, Drake?”
“Aku bercita-cita terjun ke dunia teater. Tidak sekadar berakting,
aku ingin menyutradarai. Tapi, setelah beberapa tahun tinggal d.
New York, aku menyadari bahwa orang harus membayar sewa
apartemen, makan, hal-hal seperti itulah,” dia tertawa pahit. “Aku
harus bekerja selama masih bisa, bukan mengikuti kursus-kursus
yang kubutuhkan.”
Tanpa sadar Lauri membelai rambut perak-cokelatnya. Rasanya
wajar sekali kepala Drake berbaring di pangkuannya dan mereka
menikmati suasana tenang ini. “Dari mana asalmu, Drake? Kau
punya keluarga?” Aneh, Drake tidak pernah menyinggung-
nyinggung tentang masa lalunya.
“Aku besar di Illinois. Kau lihat, aku juga dari Midwest seperti kau.”
Drake menggerakkan kepala untuk mendongak memandang Lauri

110 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

dan tekanan di paha Lauri menimbulkan sensasi menyenangkan.
“Ayahku pegawai asuransi yang sukses, tapi kami tidak kaya. Beliau
meninggal waktu aku masih SMA. Ibu meninggal dua tahun yang
lalu. Aku punya saudara laki-laki yang bekerja sebagai pengacara.
Kurasa dengan caranya sendiri dia juga aktor.” Drake terkekeh.
“Setelah kuliah dua tahun di liberal arts college, aku pergi ke New
York, lulus dari American Academy of Dramatic Arts, aku mulai
mengikuti berbagai audisi, berharap mendapat pekerjaan.”

“Aku pernah menonton A Chorus Line. Kurasa aku takkan sanggup
menjalani semua itu dan tetap waras,” komentar Lauri.

Drake tertawa. “Kurasa orang waras takkan mau menjalani semua
itu. Pengalaman yang sangat melelahkan. Aku ingat waktu ikut
audisi untuk peran Danny dalam Grease. Aku yakin aku pas untuk
peran itu. Berminggu-minggu aku ke sana kemari memakai jaket
kulit hitam. Aku bicara dengan kata-kata kasar dan di bibirku selalu
tergantung sebatang rokok. Di audisi waktu mereka memintaku
bernyanyi dan menari, aku mempermalukan diriku sendiri. Saat
itulah aku tahu komedi musikal bukan bidangku. Tapi mereka
bahkan tidak mengizinkan aku ikut audisi untuk peran salah satu
anak di adegan kerumunan anak muda. Kata mereka ram-butku
tampak keperakan di bawah cahaya lampu dan mereka tidak butuh
orang tua. Aku berjanji akan mengecatnya jadi hitam kalau mereka
mem perbolehkan aku memainkan peran figuran apa pun. Mereka
sama sekali menolak.”

Drake diam sejenak dan mengusap-usap punggung tangan Lauri,
yang masih menempel di perutnya yang terbuka. “Di sanalah aku
bertemu Susan-di audisi itu. Dia mendatangiku sesudahnya dan
mengatakan senang aku tidak mendapat peran itu. Dia akan benci
kalau aku mengecat rambutku.”

Perasaan sesak di dada Lauri makin terasa, Suara Drake makin pelan.
Susan masih memiliki hatinya, walaupun telah tiga tahun meninggal.
Lauri sudah tahu jawabannya, tapi entah mengapa masih bertanya
perlahan, “Cantikkah dia?”

“Ya,” jawab Drake tanpa ragu, dan memejamkan kelopak mata
seperti tirai yang menutupi mata hijaunya. “Dia penari, siswa balet

111 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

yang serius. Audisi pertunjukan apa pun yang diikutinya, seperti tari
kelompok, tidak cocok dengan gayanya yang terlalu klasik. Dia
selalu kembali ke balet. Akhirnya dia terpilih untuk bergabung
dengan American Ballet Theatre.”

Balerina! Itu lebih buruk daripada perkiraan Lauri. Wanita itu pasti
halus, feminin, anggun, dan, seperti kata Drake tadi, cantik.

Dia harus mengubah topik pembicaraan. Tiba-tiba terasa penting
bahwa suasana beberapa waktu sebelumnya harus dikembalikan
secepatnya. “Siapa karakter favoritmu, Drake? Peran apa yang paling
ingin kaumainkan?”

“Brick di Cat on a Hot Tin Roof, sudah pasti,” kata Drake. “Aku
pernah memerankannya di kelas akting. Karakter itu luar biasa.
Semua hubungan dalam hidup Brick dieksplorasi selama dua
setengah jam itu. Hubungan dengan istri, ayah, ibu, saudara laki-laki,
temannya.” Suaranya makin bersemangat. “Tapi aku juga ingin sekali
menyutradarainya. Bisa kaubayangkan betapa asyiknya
mengeluarkan semua nuansa tokoh-tokoh hebat itu? Ya Tuhan,
tantangan yang luar biasa.” Dia diam sementara pandangannya
menerawang, seakan melihat para aktor siap menuruti arahannya.
Lalu dia melirik Lauri dan lama memandanginya.

Rambut Lauri membingkai wajahnya ketika dia menatap pria itu.
Cahaya api membuat rambutnya berkilauan. Kulit lehernya di bagian
mantelnya yang terbuka masih lembap karena habis mandi, dan kini
tampak lembut dan mengundang.

“Kau tidak kelihatan seperti guru,” kata Drake lembut.

“Kau sangat kelihatan seperti aktor,” bisik Lauri Drake bangkit
sedikit dan menopang tubuhnya dengan meletakkan sebelah lengan
di sisi lain pinggul Lauri. “Bisa kau lebih spesifik?” tanyanya
“Maksudku, Ernest Borgnine seorang aktor, tapi Robert Redford
juga aktor.”

Lauri tertawa. “Aku mengerti. Yah, sebentar,” dia memicingkan mata
ketika mengamati wajah dan dada pria itu. “Menurutku kau di antara
mereka.”

112 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Oh, yeah?” goda Drake. “Boleh saya beraudisi untuk peran utama
pria yang romantis, Ms. Producer? Saya mohon? Saya pasti akan
menikmati audisinya.”
Sambil berbicara, dia menarik ikat pinggan g mantel Lauri, dan ikat
pinggang itu pun terbuka. “Sep erti Anda bisa lihat saya sudah
menjiwai peran saya.” Tangannya menyusup ke balik mantel Laun
dan mengge nggam payudaranya. “Yang saya butuhkan sekarang cu
ma pemeran pembantu,” katanya, dan bibirnya menciu m bibir Lauri
yang ternyata menyambutnya.
Ciumannya panas dan lama. Sementara tangan yang satu membelai-
belai payudara Lauri, tangan yang lain mengelus rambut merah
wanita itu. Lengan Lauri memeluk bahu telanjang Drake dan
mengusap otot-ototnya yang keras. Tangannya yang sebelah lagi
menyusuri rusuknya sampai berhenti di lekuk pinggang pria itu.
Drake akhirnya menghentikan ciumannya untuk bergumam,
“Kuharap di balik mantel ini cuma ada tubuhmu” Dilepaskannya
mantel itu dari bahu Lauri dan diciuminya kulitnya yang harum.
“Ketika kau bersikap hangat, pasrah, dan tenang seperti ini, ada aura
keibuan pada dirimu yang kubutuhkan.” Bibirnya menuruni dada
Lauri sampai ke bagian atas payudaranya, yang diusapnya dengan
kumisnya. Menyusupkan lengan ke balik mantel, dia menariknya
makin dekat. “Aku ingin menjadi bayimu, Lauri,” katanya parau.
Ketika mulut Drake mencium payudaranya, Lauri mencengkeram
kepala pria itu dan melengkungkan rubuh ke arah pria itu. Lidah
Drake beraksi dengan panas. Lauri mengerang waktu pria itu
menciumi bagian bawah payudaranya sebelum kembali ke bagian
yang seakan tak pernah puas diciuminya itu.
Lauri menempelkan pipi di puncak kepala Drake dan menyusuri dada
dan perut pria itu dengan gerakan lembut tapi penuh hasrat. Dengan
takut-takut Lauri meletakkan tangannya di pinggang jins pria itu.
Drake membenamkan kepala di antara payudara Lauri dan
menggerak-gerakkannya karena tersiksa sekaligus merasa nikmat.
“Oh, ya,” bisiknya serak dengan suara bergetar yang makin tidak
jelas karena tertutup payudara Lauri itu. “Sentuhlah aku.” Lauri

113 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

membuka kancing jinsnya. Denting bel pintu kedengaran seperti
dentang lonceng katedral di antara suara napas mereka yang
terengah-engah, suara biola dari stereo set, dan suara api yang
meretih di perapian.
Drake memaki-maki sambil berusaha duduk dan menunduk kesal.
“Siapa sih-”
“Mungkin mereka akan pergi kalau pintunya tidak dibukakan,” kata
Lauri penuh harap.
Dering bel sekali lagi menunjukkan bahw a tamu mereka, siapa pun
orangnya, tidak mau menye rah Drake memaki-maki lagi, tapi
bersusah payah bang un dan berjalan ke ruang depan, menyebabkan
Lauri ti dak bisa melihat pintu. Dia akan mengingat, kan pria itu
bahwa dia tak berkemeja tapi tidak sempat karena su dah
mendengarnya membuka pintu.
“Oh! Kami tidak mengira akan melihatmu di sini. Ini benar-benar
kejutan.”
Begitu mendengar suara familier itu Lauri melompat dari sofa.
Kakinya yang gemetar nyaris membuatnya tak sanggup berdiri.
Dengan jari-jari lemas, dia merapikan mantel dan mengikat tali
pinggang. “Oh, Tuhan,” teriaknya dalam hati, dan nyaris menangis.
“Siapa-” Drake akan bertanya, tapi dipotong orang itu.
“Saya Pendeta Andrew Parrish, ayah Lauri. Dia ada?”

®LoveReads

114 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 9

“Uh, selamat malam,” Lauri mendengar Drake bicara. “Saya-”
“Kami tahu siapa kau, anak muda. Lauri sudah menceritakan
segalanya tentang kau pada kami. Istriku sibuk ke sana kemari
seperti kumbang, memberitahu semua orang bahwa anaknya bekerja
pada Drake Sloan.”
“Tak percaya rasanya aku bisa bicara dengan kau langsung. Ibu-ibu
di tempat kami pasti akan-”
“Sudahlah, pria ini tidak memakai kemeja dan kita membuatnya
kedinginan. Boleh kami masuk, Mr. SI-maksudku, Mr. Rivington?”
Lauri terpana mendengarkan percakapan ini. Tubuhnya terpaku di
depan sofa. Reaksi pertamanya adalah ingin lari ke atas dan
bersembunyi, tapi tangganya kelihatan dari pintu depan. Tak
mungkin dia bisa mencapai tangga tanpa terlihat orangtuanya.
Untuk apa mereka kemari? Mereka akan berpikir-mereka akan tahu-
Apa yang bisa dilakukannya? Dirapikannya mantelnya sebisa-
bisanya dan diusapnya rambutnya yang berantakan. Tidak ada waktu
lagi. Drake sedang membawa orangtuanya ke ruangan ini.
“Ibu! Daddy!” Lauri berseru dengan kegembiraan palsu dan bergegas
melintasi ruangan untuk menyambut mereka. Dia harus bertebal
muka. Jangan kelihatan bersalah, dia memperingatkan dirinya.
“Lauri, anakku sayang. Apa kabar?” Alice Parrish memeluk putrinya
erat-erat, dan Lauri tahu ibunya dapat merasakan bahwa dia tidak
memakai apa-apa di balik mantel. Diliriknya Drake dari atas bahu
ibunya. Pria itu mengangkat bahu dengan tak berdaya dan tampak
agak pucat juga. Rambutnya, Lauri melihat dengan gugup, sama
berantakan-nya dengan rambutnya sendiri. Lebih dari itu, karena
Drake cuma memakai jins yang kancingnya terbuka, hasratnya yang
tadi bangkit kelihatan jelas. Oh, Tuhan!

115 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Ibunya mencium bibirnya yang melembut akibat ciuman-ciuman
Drake barusan. Bisakah ibunya merasakan Drake di bibirnya? Lauri
bertanya-tanya dalam hati. Lalu ayahnya memeluknya, dan Lauri
dengan pasrah menerima pelukan sepenuh hati ayahnya itu.
Keheningan tidak enak menyelimuti mereka setelah berpelukan,
sementara orangtua Lauri mengamati ruangan. Suasana sensual
terasa jelas, seakan kata itu tertulis di dinding. Musik lembut masih
mengalun dari sound system, menimbulkan suasana intim. Nyala api,
memandikan ruangan dengan cahaya lembut dan menciptakan
bayang-bayang, bagai merahasiakan sesuatu. Wadah berisi es untuk
anggur dan gelas-gelas setengah kosong menuding mereka seperti
jari-jari yang menuduh. Yang paling mencurigak an adalah sofa yang
berantakan. Satu alas duduknya tertendang ke lantai waktu Drake
menjulurkan kakinya y ang panjang.
Kalau saja tidak galau karena situasi ini, Lauri pasti senang bertemu
orangtuanya. Dia selalu akrab dengan mereka dan tahu dia
beruntung punya orangtua yang selalu menyayanginya.
Dipandangnya ibunya, yang bertubuh mungil, tidak sampai sebahu
ayahnya. Rambut Alice Parrish cokelat kemarahan seperti Lauri, tapi
telah memudar karena usia sehingga warnanya tidak terlalu cerah
lagi. Wajahnya bisa dibilang tanpa keriput, kalaupun ada hanyalah
keriput karena sering tertawa, menunjukkan sifatnya yang periang.
Andrew Parrish selalu berdiri tegap dan menjaga sikap. Rambutnya
yang berwarna gelap dan mulai beruban disisir rapi ke belakang dari
keningnya yang tinggi. Dia memiliki mata kelabu tajam yang tenang
dan ramah, dan berbicara dengan suara dalam dan menenangkan.
Dia mampu menenteramkan jemaatnya, tapi pendapatnya tentang
moralitas tak tergoyahkan, tak peduli zaman sudah berubah.
Kegembiraan awal mereka karena bertemu si putri bungsu
berkurang karena pemandangan yang tampak di hadapan mereka.
Lauri bisa melihat kekecewaan membayangi wajah orang-orang yang
disayanginya itu. Hatinya jadi sedih dan dia tahu apa yang ada di
dalam pikiran mereka. “Kalian sudah berkenalan dengan Drake,
kurasa,” kata Lauri karena tidak tahu mesti mengatakan apa lagi dan
untuk memecahkan keheningan yang mencekam. “Kenapa kalian

116 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

kemari? Bukannya aku tidak senang bertemu kalian,” dia buru-buru
menambahkan. “Hanya saja aku-”

“Kami ingin memberimu kejutan. Sayang. Ibu dan aku akan
menghadiri konferensi pendeta yang dimulai besok malam di Santa
Fe. Kami memutuskan datang sehari lebih cepat supaya bisa
bersamamu.” “Aku senang kalian melakukannya,” kata Lauri. “Kami
tidak mengira akan melihat Mr. Rivington di sini,” kata Andrew,
memandang Drake. Pria itu telah mengambil sweternya dari ujung
sofa tempatnya tadi dicampakkan dan memakainya lewat kepala.

Memang sudah sifat ayahnya untuk langsung ke pokok
permasalahan, meskipun Lauri berharap dia punya waktu lebih
banyak agar dapat memberikan penjelasan yang masuk akal. Tapi
bisakah dia melakukannya? Rasanya tidak. Apakah cuma
khayalannya, atau bibir bawah ibunya memang mulai bergetar?
Kenapa mereka datang malam ini? Bagaimana kalau mereka tiba lima
belas menit lebih lambat? Lauri bergidik dan memeluk tubuhnya
sendiri. Kemungkinan itu terlalu mengerikan untuk dipikirkan.

Dia menjilat bibir dan berkata setenang mungkin, “Drake... dia
datang beberapa hari yang lalu untuk menjenguk Jennifer. Ibu harus
melihat anak itu,” kata Lauri dengan suara gemetar. “Ibu pasti akan
menyukainya.” Ketika tidak ada yang berkomentar, dia melanjutkan,
“Kalian tahu, Drake sangat merindukannya... Dia beristirahat main
sinetron... Jennifer senang sekali bertemu dengannya...” Suara Lauri
menghilang. Omongannya ngawur dan mengelak dari masalah yang
dia tahu ada dalam pikiran setiap orang.

Andrew menatap kedua gelas anggur di meja kopi. “Dia tinggal di
sini bersamamu.” Lauri melihat ekspresi terluka di mata ayahnya
ketika pria itu bicara. Ingin sekali dia menghilangkan perasaan
terluka itu. Mereka takkan pernah dapat memahami perbuatannya.
Lauri memejamkan mata supaya tidak melihat ekspresi menuduh di
wajah orang-tuanya.

“Lauri, Sayang, kita beritahu saja mereka,” kata Drake santai, lalu
mendekatinya, memeluk mesra bahunya, dan menariknya ke
dekatnya. Lauri memandangnya, ngeri membayangkan apa yang
akan dikatakannya. Drake tersenyum lembut ketika menatapnya.

117 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku tahu kita telah sepakat untuk merahasiakannya dulu, tapi
waktu kita mengambil keputusan itu, kita kan tidak tahu orangtuamu
akan memberi kita kejutan seperti ini. Kurasa mereka pasti sudah
mengira yang tidak-tidak.” Dan mereka benar, Lauri ingin bilang
begitu, tapi terdiam karena kata-kata dan sikap sopan Drake. “Sir,”
kata Drake formal ketika berpaling pada Mr. Parrish. “Lauri dan
saya menikah ha ri ini di Albuquerque. Anda memergoki kami
sedang berbulan madu.”

Lauri pasti sudah terduduk di lantai kalau saja lengan Drake tidak
menahannya. Semua darah di tubuhnya mengalir deras ke kepala,
dan dia dapat merasakan setiap denyut nadi yang berdentam-dentam
di pembuluh darahnya. Telinganya menggemuruh dengan bunyi
hiruk-pikuk yang menenggelamkan seruan orangtuanya, walaupun
dia bisa melihat mereka gembira dan lega mendengar berita itu.

Mereka tertawa dan ribut mengucapkan selamat. Ibunya mendekati
Drake dan tanpa malu-malu memeluknya, mencium pipinya, dan
berkata, “Selamat datang di keluarga kami, Drake.” Andrew
menepuk-nepuk punggungnya dan berkata, “Kau sempat membuatku
gundah. Aku bahkan tidak mau memberitahumu apa yang ada dalam
pikiranku tadi.”

Lalu mereka memeluk Lauri. Rasa percaya mereka pada putri mereka
timbul kembali. Lauri pun hanyut dalam gelombang kasih sayang
orangtuanya. Ia masih terlalu kaget untuk bicara atau bereaksi.

“Andrew, kau sadar bahwa sekarang kita punya satu cucu lagi?” Alice
bertepuk tangan ketika memikirkan fakta menggembirakan itu.
“Boleh kami melihatnya, Lauri? Aku berjanji takkan membangunkan
nya, tapi kau sudah bercerita padaku betapa manisnya dia. Aku
memang sangat ingin menemuinya, dan sekar ang dia jadi keluarga
kita.” Mata cokelat Alice berbinar- binar, dan Lauri tidak tega untuk
mengecewakannya la gi.

“Dia di atas, Ibu. Di kamar yang lebih kecil. Bagaimana kalau Ibu
dan Daddy naik dan melihatnya? Aku akan membuat kopi. Kurasa
kedatangan kalian begitu mengejutkan sampai aku jadi lupa sopan
santun,” Lauri berkata lemah. Otaknya nyaris tidak sanggup berpikir
jernih, apalagi mengutarakannya.

118 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Ayo, Andrew.” Alice menarik tangan suaminya, dan pria itu
membelalak, pura-pura kesal. “Wanita ini tergila-gila pada anak-
anak, Drake. Kau harus membiasakan diri dengan sikapnya yang
terlalu memanjakan anak-anak.”
“Aku tidak keberatan, dan aku tahu Jennifer pun begitu.” Dia
berbicara dengan tenang. Mengapa dia tidak kelihatan kalut? Apa dia
tidak sadar bahwa kepura-puraan ini takkan bisa bertahan? Apa
motivasinya mengucapkan kebohongan tadi?
Ketika orangtuanya menaiki tangga dan menghilang di koridor atas,
Lauri menatap curiga pada Drake, yang memandangnya tanpa
perasaan bersalah. Tangan Lauri mengepal. Gaya pria itu
memiringkan kepala membangkitkan kemarahannya. Drake
menikmati penderitaannya!
“Kenapa, Drake?” desak Lauri dengan bisikan tertahan, tidak ingin
orangtuanya mendengar pembicaraan ini. “Kenapa kau
memberitahukan kebohongan sekonyol itu pada mereka?”
“Aktingku kelas Oscar, kan? Kukira kau bakal berterima kasih
karena aku telah menyelamatkan lehermu, Lauri. Semua bukti
memberatkanmu. Mereka menarik kesimpulan yang benar, dan
kurasa kau tidak menginginkan hal itu, kan? Dan sekarang sudah
terlambat untuk membahasnya,” balas Drake ketika Lauri
menyalakan lampu. “Sebaiknya kau terima saja. Kelihatan sekali
bahwa kau baru dicium habis-habisan dan -”
“Bisa berhenti, tidak?” desis Lauri sambil mengentakkan kaki.
“Drake, aku mesti bagaimana? Orangtuaku mengira aku sudah
menikah denganmu! Apa yang akan kita katakan kalau mereka
mengetahui yang sebenarnya?”
“Katakan kita ternyata tidak cocok dan terpaksa berpisah,” kata
Drake datar.
Lauri mengempaskan diri ke sofa dan menutupi wajahnya dengan
tangan. “Mereka kecewa sekali waktu Paul dan aku berpisah. Aku
tidak mau membuat mereka susah lagi.”

119 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Drake terdiam beberapa lama, lalu berkata pelan, “Kalau begitu akan
kuberitahu mereka bahwa aku cuma menggodamu. Kau bisa
menjelaskan sebab-sebab aku tinggal di sini bersamamu. Mereka
pasti akan mengerti. Bukankah ayahmu memang bertugas
memaafkan orang?” Nada bercanda dalam suara Drake lebih
membuat Lauri marah daripada kebohongannya.

“Tidak, Drake.” Matanya menyorot marah, dan bukan pantulan api
di perapian yang menyebabkannya berkilauan. “Jangan pernah kau
men golok-olok aku atau mereka,” Lauri memperingatkan de ngan
suara dalam dan tegas.

Ketika melihat ekspresi dingin dan menakutkan wanita itu, Drake
langsung serius. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menganggap
enteng kesulitan-mu atau pekerjaan ayahmu.”

Lauri melihat ketulusan di wajahnya, tapi dia mendesah dan berkata
pasrah, “Sudahlah. Aku yakin ini tampak seperti adegan film
romantis bagimu, tapi ini nyata bagiku. Aku tidak sanggup melihat
mereka kecewa.”

“Lauri, kau kan sudah hampir tiga puluh tahun,” Drake membujuk.
“Kau berhak mengatur hidupmu sendiri. Mereka mungkin tidak
menyukai semua yang kaulakukan. Tidak ada orangtua yang suka.
Tapi mereka hidup sesuai standar mereka dan kau sesuai standarmu.”

“Kau tidak mengerti.” Lauri mengerang. “Aku tidak pernah
mengkhianati kepercayaan mereka. Jika aku memutuskan untuk
melakukan sesuatu yang kutahu takkan mereka setujui, aku akan
merahasiakannya untuk melindungi perasaan mereka, bukan
perasaanku. Aku takkan pernah membeberkan kecerobohanku di
depan batang hidung mereka.”

“Tapi kau kan tidak berbuat apa-apa!” kata Drake marah, lalu
memelankan suara. “Percayalah, aku tahu betapa kau sangat menjaga
dirimu. Aku sampai menderita karenanya.”

Meskipun sedang menghadapi konflik, kata-kata pria itu membuat
jantung Lauri bagai berhenti berdetak. Dia membuang muka. “Aku
memang tidak bersalah, dan kalau kuceritakan fakta-fakta masalah

120 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

ini pada mereka, mereka akan mempercayaiku. hanya saja-” dia
melambaikan tangan seolah mencari kata-kata yang tepat “-akan lain
rasanya, itu saja. Mereka berasal dari generasi yang berbeda.
Dalam keadaan bagaimanapun, mereka takkan pernah setuju aku
hidup bersama laki-laki di luar pernikahan. Kau belum pernah begitu
menyayangi orang sehingga peduli pada pendapat mereka tentang
dirimu.”
Lauri mestinya tidak bicara begitu, dan dia menyadarinya begitu
kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Wajah Drake langsung kaku,
dan mulutnya mencibir di bawah kumisnya. Pria itu menjejalkan
tangannya ke dalam saku jins dan mendadak berbalik untuk menatap
api yang mulai padam.
Mereka mendengar suami-istri Parrish keluar dari kamar Jennifer,
dan Drake berkata tenang tanpa memandangnya, “Kuserahkan
segalanya padamu. Akan kudukung semua omonganmu.”
Alice sudah bicara sebelum sampai di anak tangga paling bawah.
“Drake, dia betul-betul malaikat. Aku langsung sangat
menyayanginya dan tidak sabar menunggunya bangun besok pagi
untuk bermain dengannya.” Wajah Alice berseri-seri, dan hati Lauri
bagai diremas ketika dia memikirkan harus melanjutkan
kebohongannya.
“Maafkan aku,” kata Lauri cepat-cepat. “Aku belum membuat
kopinya.” Dia akan berjalan ke dapur, tapi ayahnya
menghentikannya.
“Jangan bikin kopi hanya karena kami. Kami terlalu tua untuk
meminumnya malam-malam begini. Bisa-bisa tidak tidur kami
semalaman. Sebaiknya kami mencari tempat menginap untuk malam
ini. Kami akan kembali besok pagi kalau boleh.”
“Nonsens,” tukas Drake. “Kalian akan tinggal di rumahku. Di sini
banyak tempat kok.”
“Oh, jangan,” protes Alice. “Kau dan Lauri kan sedang berbulan
madu.”

121 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku tidak keberatan, kalau Lauri juga tidak,” kata Drake sambil
mengangkat bahu. “Iya, kan, Sayang?”
“Aku-ya. Maksudku, tidak, aku tidak keberatan,” Lauri tergagap
sambil berusaha menebak tujuan Drake.
“Ada kamar kecil di sisi lain dapur. Di sanalah aku tidur beberapa
hari ini. Malam ini aku memang akan pindah ke kamar tidur utama
kok.”
“Aku bisa memahami,” kata Andrew menggelegar, dan menepuk
punggung Drake kuat-kuat. “Aku sendiri sih lebih suka menginap di
sini daripada di motel. Bu, menurutmu bagaimana?” tanya Andrew
pada Alice. Semua orang seperti melupakan Lauri, yang nyaris
menolak mati-matian ketika Drake mengatakan akan pindah ke
kamar tidur utama. Sekarang dia menyadari maksud pria. itu, dan
jadi marah sekali karenanya.
“Yah, aku sebetulnya lebih senang di sini bersama Lauri,” kata Alice
sungguh-sungguh.
“Kalau begitu masalahnya beres,” kata Drake tegas. “Biar kuambil
dulu beberapa barangku sementara Lauri mengganti seprai. Setelah
itu kami persilakan kalian tidur. Kalian pasti lelah sekali.”
Setengah jam berikutnya penuh kebingungan. Drake pergi ke kamar
cadangan dan muncul kembali di ruang tamu sambil membawa
sekotak perlengkapan bercukur dan barang-barang pribadi.
Mantel beludru tersampir di bahunya. Dia terang-terangan
mengedipkan mata pada Lauri ketika wanita itu mendengarkan cerita
mendetail orangtuanya tentang penerbangan mereka ke
Albuquerque dan perjalanan bermobil ke Whispers. Lauri
memelototi-nya waktu orangtuanya tidak melihat.
Dia memasang seprai baru di tempat tidur, sengaja berlambat-lambat
dan berharap Drake kembali ke kamar. Dia berniat mengomeli pria
itu soal di mana “suaminya” itu tidur malam ini, tapi Drake
menghindarinya. Waktu orangtuanya mengucapkan selamat tidur,

122 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

pria itu memeluk pinggangnya dan dengan posesif merapatkan
punggung Lauri ke dadanya.
“Aku senang punya menantu kau, Drake. Jaga putriku dan cintailah
dia. Cuma itu permintaanku,” kata Andrew.
“Baik, Sir,” kata Drake serius. Ingin sekali Lauri menendang tulang
keringnya.
Pasangan yang lebih tua itu masuk kamar. Dengan manis Lauri
mengikuti Drake menaiki tangga, tapi begitu sudah menutup pintu
kamar tidur luasnya, dia memandang pria itu dengan marah. “Aku
tahu apa yang kaupikirkan, Drake, dan rencana licikmu itu takkan
berhasil.”
“Apa yang kupikirkan?” Drake bertanya sambil membuka sweter
untuk kedua kalinya malam itu.
“Kaupikir aku akan tidur di ranjang itu bersama-mu.”
“Pikiran itu tak pernah melintas di benakku,” kata Drake enteng dan
membuka kancing jins.
“Apa yang kaulakukan?” tanya Lauri panik. “Membuka pakaian.
Kelihatannya apa?” Sambil melanjutkan perbuatannya, Drake
berkata, “Pada suatu musim panas aku ikut tur kelompok drama yang
mementaskan Hair, dan sejak saat itu, tidak segan-segan telanjang.
Kalau kau tidak suka, berbaliklah saja.”
Pakaian dalamnya berwarna biru muda, ketat, dan mini, dan Lauri
dengan susah payah menelan ludah waktu pria itu menanggalkan
jins dan dengan santai melemparkannya ke kursi. Drake
memunggunginya dan mulai membuka tutup tempat tidur besar itu.
“Aku tidur di sofa saja,” gumam Lauri sambil membuka lemari
tempat menyimpan selimut-selimut ekstra.
“Terserah. Ayahmu memang pendeta, tapi jelas dia menyadari fakta-
fakta kehidupan. Kau akan bilang apa pada mereka kalau melihatmu
di sana besok pagi? Kita sedang bertengkar?”

123 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri ingin menampar mukanya yang sombong ketika dia berbalik
dan melihat pria itu bersandar santai di bantal, berselimut sampai
pinggang. “Aku akan bangun lebih dulu dari mereka.”
“Yah, aku senang kau sudah memikirkan segala kemungkinan.”
Drake menguap dan berbaring. “Selamat malam.”
Supaya tidak melontarkan komentar pedas, Lauri cepat-cepat keluar
kamar sambil membawa selimut. Dia mengendap-endap menuruni
tangga dan, diterangi cahaya perapian yang nyaris padam, berhasil
sampai ke bawah.
Dia terlonjak kaget ketika lampu di langit-langit dinyalakan.
“Oh, Sayang, kuharap aku tidak mengejutkanmu. Aku mau meminta
selimut tambahan,” Alice menjelaskan. “Aku terpaksa tidur di sofa.
Ayahmu mendengkur keras sekali, aku takkan bisa tidur di dekatnya.
Dia memang begitu kalau kecapekan, kau tahu, kan. Mau kauapakan
selimut-selimut itu?” Alice melihat selimut-selimut yang dibawa
Lauri.
“Aku-uh-kupikir mungkin Ibu dan Daddy membutuhkannya.
Biarpun masih awal musim gugur, udara malam di sini sangat
dingin.” Ibuku tidur di sofa! jerit Lauri dalam hati.
“Yah, aku akan baik-baik saja. Biar nanti ku-tambah kayu di
perapian. Ayahmu takkan terbangun biarpun ada badai salju, jadi
kembalilah kau ke suamimu di atas dan berhentilah
mengkhawatirkan kami.” Ibunya mencium pipinya, lalu berbalik. Dia
memakai mantel quilt yang dihadiahkan Lauri Hari Natal lalu.
Wangi krim wajahnya mengingatkan Lauri pada masa kanak-
kanaknya ketika ibunya datang ke kamar Ellen dan kamarnya untuk
menyelimuti mereka sebelum tidur.
“Selamat malam, Ibu,” kata Lauri lembut sambil berjalan ke atas.
Lauri berhenti sebentar di depan pintu kamar tidur utama. Dia
menimbang-nimbang untuk pergi ke kamar Jennifer dan tidur
dengannya, tapi tempat tidur anak itu kecil. Kalau dia membuat
Jennifer terbangun tengah malam begini, akan timbul lagi keributan

124 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

yang harus dijelaskan. Dia tidak punya pilihan selain bergabung
dengan Drake di tempat tidur luas itu.
Dibukanya pintu pelan-pelan, berharap pria itu sudah pulas.
Harapannya buyar ketika Drake me-nelentang dan menatapnya
dengan pandangan bertanya. Lauri tidak menyalakan lampu, namun
sinar bulan masuk dari jendela, dan dia dengan mudah dapat melihat
lekuk tubuh pria itu di balik selimut. Jantungnya berdegup kencang.
“Berubah pikiran?”
“Tidak,” katanya tegas. “Ibu tidur di sofa untuk menghindari
dengkuran Ayah.”
“Kebiasaan yang kuharap tidak kauwarisi,” gerutu Drake, lantas
memalingkan kepala di bantal dan memunggunginya.
Oh! desis Lauri dalam hati. Dasar brengsek. Lauri menimbulkan
suara seribut mungkin ketika menyikat gigi dan mencuci muka. Lalu
dengan masih memendam marah ia membuka mantel tidur, dan
tanpa berpikir berjalan ke kamar. Apa-apaan ini! Lauri tidak pernah
memakai baju ketika tidur, tapi tidak mungkin ia seranjang dengan
Drake seperti ini.
Ia lalu mengambil celana dalam dan bra dari laci dan memakainya.
Memang tidak terlalu berarti, tapi daripada tidak memakai apa-apa
sama sekali. Kalau ia memakai mantel tidur, besok pagi bisa basah
kuyup karena mandi keringat. Lampu-lampu sudah dimatikan; Drake
tidak akan bisa melihatnya.
Dia berjingkat-jingkat ke tempat tidur dan menyusup ke balik
selimut, sengaja berbaring di pinggir. Dibaringkannya kepala di
bantal dan di-pejamkannya mata rapat-rapat, diperintahkannya
tubuhnya supaya rileks. Dia nyaris berhasil waktu suara Drake
terdengar dalam kegelapan. “Sudah kaupakai baju besimu?”
“Tutup mulut dan jangan ganggu aku,” ancam Lauri, tapi tidak
terlalu meyakinkan.

125 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku berniat begitu,” balas Drake. “Untuk saat ini. Tapi kau akan
menyerah.” Dia menepuk bokong Lauri dari balik selimut sebelum
berbalik dan membelakanginya.
Yah, setidaknya dia tidak memaksakan kehendaknya. Lauri senang.
Benarkah?

®LoveReads

Cahaya lembut fajar menerobos jendela. Tapi bukan itu yang
membangunkan Lauri dari tidur pulasnya. Dia berbaring
menelungkup, wajah terbenam di bantal. Sesuatu yang hangat dan
basah membelai punggungnya perlahan. Dia bangun dengan enggan,
menikmati kabut menyenangkan antara keadaan sadar dan tidur. Dia
ingin perasaan melayang ini tak pernah berakhir.
Kait branya terbuka karena gerakan jari-jari yang lihai. Dia langsung
terjaga, dan otot-ototnya menegang akibat pijatan nikmat yang
membuatnya tetap pasrah.
“Drake?” bisik Lauri.
“Hmm?” cuma itu tanggapannya.
Sulit untuk merasa marah sementara pria itu melanjutkan pijatannya.
“Apa yang kaulakukan?” Lauri bertanya dengan napas tertahan.
“Sarapan,” gumam Drake sambil menciumi kulit bahu Lauri yang
lembut. Tangannya mengusap-usap punggung wanita itu dan
meluncur di pinggulnya. “Rasanya enak.”
Suaranya tidak lebih keras dari embusan napas. Lauri mengerang
dan makin membenamkan wajah ke bantal waktu merasakan tekstur
basah lidah Drake yang selembut beludru menjilati punggungnya.
Kaki berat berbulu menindih bagian belakang pahanya supaya dia
tidak bergerak sementara pria itu terus membelai-belai
punggungnya dengan mulut dan tangan. Drake bergerak turun ke

126 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

pinggangnya, lantas naik lagi. Kali ini dia menciumi bagian samping
tubuh Lauri, di sepanjang tulang rusuk.
Ketika sampai di ketiak, dengan lembut dia membalik Lauri sehingga
tertelentang dan menatap mata cokelat muda sayu wanita itu sambil
mengusap rambutnya yang berantakan di wajahnya.
“Selamat pagi,” sapa Drake.
“Selamat pagi.”
Diturunkannya tali bra Lauri dari lengannya, dilepaskannya dengan
sigap. Dipandangnya kulit wanita itu, yang hangat dan kemerahan
karena baru bangun tidur. Lauri memejamkan mata, tidak sanggup
membalas tatapan tajam pria itu.
Drake mengangkat lengan Lauri ke atas kepala, dan mulai mencium
dan mengulum bagian dalam lengan atasnya yang sensitif sehingga
Lauri ingin berteriak karena nikmat. Mulut Drake menyusuri tulang
selangka dan lehernya sampai dia berhenti di atas bibirnya yang
membuka dan menunggu.
Kesabarannya dalam membangkitkan gairah Lauri memperoleh
imbalan yang setimpal ketika wanita itu membalas ciumannya
dengan panas, membuat mereka berdua hanyut. Lidah, gigi, dan bibir
mereka bergerak begitu serasi sehingga keduanya merasakan
kenikmatan yang luar biasa.
Gairah yang sudah lama dirasakan Drake terhadap Lauri belum
tersalurkan, dan dia jadi ganas. Mulut dan tangannya memohon agar
kerinduan yang mencengkeramnya sejak dia pertama kali bertemu
Lauri dipuaskan.
“Kau luar biasa. Manis... hangat... lembut,” bisiknya sambil beringsut
turun dan memusatkan perhatian pada payudara Lauri, yang
menunggu kenikmatan yang hanya dapat diberikan bibir pria itu.
Drake memberikan yang ditunggu-tunggu Lauri, dan Lauri pun
mendesahkan namanya sambil mencengkeram bahunya.
Lauri menyingkirkan pikiran-pikiran yang bisa melenyapkan saat
penuh kebahagiaan ini, tapi pikiran-pikiran itu muncul di benaknya

127 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

tanpa bisa dicegah. Bahkan ketika merasakan kejantanan pria itu
menekannya, dia teringat bahwa ini tidak punya arti lain-cuma nafsu.
Drake tidak-tidak bisa- mencintainya. Setelah nafsunya tersalurkan,
lalu apa? Apakah pria itu akan pergi begitu saja, meninggalkannya
dalam keadaan patah hati? Tidak! Dia tidak boleh membiarkan ini
terjadi. Dia dapat mentolerir kesombongannya, kepura-puraannya,
ejekannya, kemarahannya, tapi dia takkan sanggup jika pria itu
meninggalkannya begitu saja.
Tapi, Lauri mendambakan pria itu. Pikirannya membantah apa yang
dirindukan tubuhnya. Dia melengkungkan tubuh ke arah tubuh
Drake yang perkasa dan menggeliat ketika mulut pria itu membelai
perutnya.
Jari-jari Drake mengusap kulit perutnya dan terus ke bawah. Napas
Lauri tersentak. Tindakan pria itu melontarkannya kembali ke alam
nyata. Apakah Drake sadar bahwa dialah yang berbaring di
bawahnya? Apakah dia memikirkan Susan? Membayangkan-
Lauri memegang bahu Drake, lalu mendorongnya dengan kekuatan
yang timbul dari perasaan panik dan tidak suka. “Tidak, Drake.
Kumohon. Jangan.” Pria itu mengangkat kepala dan melihat wajah
Lauri yang memelas dan basah dengan air mata- yang tidak disadari
Lauri. Air matanya mengalir dari sudut matanya dan menghilang di
antara helai-helai rambut cokelat kemerahan kusut yang terhampar
di bantal.
“Lauri?” Drake bertanya lembut. Ia menumpukan tubuh di siku dan
membungkuk ke arahnya, menghentikan sebutir air mata Lauri yang
hendak jatuh dengan jarinya. Air mata di pipi yang satu lagi
diciumnya dengan mesra.
“Aku tidak akan memaksamu, Lauri,” katanya lembut. Tidak ada
nada mengejek dalam suaranya.
“Aku tahu bahwa aku, juga merasa ada yang mengganjal.
Orangtuamu menerimaku dengan tulus. Aku akan merasa tidak enak
jika bercinta denganmu-meskipun sangat menginginkannya-sementa
ra mereka di bawah, mengira kita sudah menikah.” Dib elainya

128 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

pelipis Lauri dan berbisik, “Jangan kau pernah m erasa takut
padaku.” Diciumnya bibirnya dengan lembut .
Lauri dapat merasakan napas Drake di hidungnya, di mulutnya,
waktu pria itu berkata, “Kumohon. Izinkan aku menikmati tubuhmu
sekali lagi.” Dia menyentuh payudara Lauri dan menciumnya.
Tindakannya sama sekali tanpa nafsu, tapi penuh dengan kerinduan.
Lauri bisa merasakannya di setiap sel tubuhnya.
Drake bangun dan meninggalkan tempat tidur. Ketika memakai jins,
dia berkata sambil menoleh, “Rasanya aku mendengar Jennifer
bangun. Biar kuganti pakaiannya dan kita ketemu lagi di bawah.” Dia
berhenti di pintu. “Setelah apa yang kurelakan pagi ini, aku tidak
boleh dimarahi atau dihukum.” Dia tersenyum lembut sebelum
keluar kamar. Untuk sementara semua beres.

®LoveReads

129 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 10

Tapi itu tidak benar, dan tidak ada gunanya berpura-pura sebaliknya.
Lauri merasa seperti hipokrit ketika duduk di meja makan untuk
sarapan bersama orangtuanya, Drake, dan Jennifer. Alice berkeras
membuatkan sarapan bermacam-macam untuk menghormati si
pengantin baru. Untuk alasan itu saja Lauri sudah merasa bersalah.
Alice bercerita penuh semangat pada mereka tentang keluarga Ellen,
menunjukkan foto-foto kedua putranya, yang dengan patuh diamati
Drake. Dia menceritakan pada Drake kisah-kisah lucu masa kecil
Lauri yang membuat anaknya tersipu-sipu dan pria itu tertawa.
Kalau saja tidak mengenal sifat pria itu, Lauri pasti mengira Drake
menikmati semua ini. Pria itu bersikap seperti menantu baru yang
ingin sekali menyenangkan keluarga mempelainya.
Drake memuji ibu Lauri dan mendengarkan cerita ayah Lauri yang
membosankan dengan penuh perhatian. Karena desakan mereka,
Drake mengungkapkan gosip-gosip seputar sinetronnya. Alice ingin
tahu tentang semua kisah cinta di balik layar-siapa yang menikah,
siapa yang tidak. Apakah aktris ini aslinya secantik di film? Apakah
mereka boleh memiliki pakaian yang mereka kenakan? Siapa yang
memasak makanan yang mereka pakai di setting? Dan seterusnya.
Drake menjawab semuanya dengan sabar, bahkan membumbui
beberapa ceritanya supaya lebih seru.
Percakapan mereka dilakukan dalam bahasa isyarat untuk
melibatkan Jennifer, meskipun mereka tahu tidak semuanya dipahami
anak itu. Karena Ellen, suami-istri Parrish biasa memakai- bahasa
isyarat dan secara otomatis menggunakannya. Jennifer segera
menerima mereka, dan orangtua Lauri pun membalasnya. Jika
Jennifer punya kakek-nenek lain, Lauri tidak mengetahuinya.
Orangtua Drake sudah meninggal. Sangat sedikit yang diketahuinya
tentang Susan sehingga dia tidak tahu apakah orangtua wanita itu
pernah melihat cucu mereka atau tidak.
Drake berkeras membantu Alice mencuci piring-piring bekas sarapan
sementara Lauri membereskan tempat tidur. Andrew pergi ke ruang

130 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

tamu untuk membaca koran. Jennifer duduk di pangkuannya dan
melihat-lihat komik.
Lauri pergi ke atas untuk melakukan tugas-tugas paginya.
Tenggorokannya terasa seperti tercekik dan dengan susah payah dia
menahan air mata yang membasahi matanya. Alangkah indahnya jika
semua ini memang nyata. Tapi ini hanya pura-pura, kebohongan.
Drake mengerahkan segenap kemampua n beraktingnya untuk peran
sulit ini dan tampil dengan cemerlang. Dia berhak bangga pada
dirinya sendiri.
Merapikan tempat tidur besar yang semalam mereka tiduri
membangkitkan kenangan-kenangan yang terpatri dalam
ingatannya. Sikap Drake mesra dan lembut; dan seumur hidup tidak
pernah Lauri menanggapi pria seperti dia menanggapi pria itu.
Pada malam pengantinnya dulu Lauri naik ke tempat tidur Paul
dalam keadaan perawan. Dengan bimbingan tidak sabar pria itu,
pengalaman bercinta pertamanya tidak menyenangkan, tapi waktu
itu dia berasumsi orang terlalu melebih-lebihkan seks. Apakah seks
kehilangan daya tariknya karena harapan yang terlalu tinggi?
Apakah keadaan yang sebenarnya meredup akibat antisipasi yang
berlebihan?
Dia dapat mengingat dengan jelas suatu malam ketika Paul uring-
uringan karena lagu yang tengah digarapnya. Sesuai kebiasaannya
kalau sedang frustrasi, suaminya itu naik ke tempat tidur untuk
menyalurkan kekesalannya. Paul membangunkannya, dan Lauri
dengan mengantuk melayaninya. Setelah nafsunya terpuaskan, pria
itu bangun dan memakai jinsnya sambil berkata marah, “Kau sama
sekali tidak mau repot, ya?”
Lauri tersinggung mendengar kata-katanya. Paul tadi tidak
menunjukkan kelembutan ataupun cinta. Tidak ada belaian, tidak ada
usaha untuk membangkitkan gairahnya. Tapi pria itu mengharapkan
Lauri langsung menanggapi dengan penuh gairah. Saat itu dia sudah
terjaga sepenuhnya, dan duduk tegak di tempat tidur lalu berkata
sengit, “Paul, aku bukan lampu yang bisa langsung dinyalakan ketika
kau ingin berhubungan seks. Kalau kau betul-betul peduli, kau akan
menyempatkan diri untuk-”

131 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Jangan mengajari aku cara bercinta!”

“Kalau begitu ajari aku!” teriak Lauri. “Aku ingin mempelajari cara
memberimu kenikmatan. Ajari aku.” Dia sangat menginginkan cinta
Paul. Tubuh dan jiwanya berteriak memintanya mencintainya.

Pria itu mengancingkan jinsnya dengan gerakan tegas. “Apa
gunanya? Kau akan tetap jadi si anak pendeta yang polos.” Dia
membelakangi Lauri dan meninggalkan kamar; Lauri menangis
sampai tertidur kecapekan.

Sekarang, ketika merapikan tutup tempat tidur Drake, dia bergidik
waktu teringat bagaimana rasanya sentuhan pria itu. Drake
membelai dari mengelusnya dengan cara yang tak pernah dilakukan
Paul. Pria itu memandangi tubuhnya, mengamatinya,
mengaguminya, bukan cuma menggunakannya. Dia selalu takut
saat-saat ketika Paul dengan kasar dan mendadak menyatukan tubuh
mereka. Baginya percintaan mereka merupakan inyasi, pemaksaan.

Instingnya tahu, dengan Drake tidak akan seperti itu. Pria itu akan
memperlakukannya bagai hadiah yang dihargainya. Setelah
mengagumi hadiah itu habis-habisan dan memperkayanya dengan
penerimaannya, dia akan membalasnya dengan cara yang tak pernah
dirasakan Lauri sebelumnya. Disingkirkannya pikiran-pikiran yang
seakan meremas-remas hatinya itu, lalu cepat-cepat berganti pakaian,
dan pergi ke bawah. Jennifer tidak suka ketika harus turun dari
pangkuan Andrew dan mengikuti Lauri ke kelas. Lauri berkeras
mereka belajar hari ini karena kemarin waktu pergi ke Albuquerque
mereka tidak belajar. Betulkah itu kemarin?

Andrew membuat murid yang ogah-ogahan itu lebih bersemangat
dengan meminta izin untuk ikut belajar. Lauri setuju, tahu ayahnya
dulu berpartisipasi dalam pendidikan Ellen dan akan membantunya
menangani Jennifer.

Drake bertanya pada Alice apakah wanita itu ingin melihat-lihat kota
dan Alice senang dengan tawarannya. Mereka pergi setelah berjanji
akan kembali saat makan siang.

®LoveReads

132 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Makan siang ternyata lebih meriah dan r ileks daripada sarapan.
Semua orang merasa gembira, kecuali Lauri. Dia diliputi perasaan
bersalah karena kebo hongan ini, yang tidak berusaha
diungkapkannya. Ini ti dak boleh diteruskan! Tapi bagaimana
caranya menghe ntikannya?
Alisnya berkerut karena pikirannya yang galau, dan ketika Drake
menatap matanya, wajah pria itu tampak bingung. Kau seperti tidak
tahu masalahku saja, pikir Lauri sambil memandangnya tajam.
“Kau pernah memancing di salah satu kali itu, Drake?” tanya Mr.
Parrish, membuyarkan pikiran-pikiran marah putrinya.
“Ya, Sir. Anda ingin memancing sebentar siang ini?”
“Aku tidak membawa pakaian yang cocok, walaupun aku pasti akan
menyukainya.” Suaranya menunjukkan kekecewaannya.
“Kita tidak usah seserius itu,” Drake tertawa. “Kita kan bisa berdiri di
tepi dan melemparkan kail dari sana. Bagaimana?” Senyum Drake
amat memikat dan Lauri jengkel pria itu bisa menangani situasi ini
begitu gampang sementara dia gelisah dan bingung.
“Kenapa tidak, Sayang?” komentar ibunya. “Kau akan sibuk ikut
konferensi tiga hari yang akan datang. Udara pegunungan ini baik
untukmu.”
Andrew mengusap-usap hidung dengan ibu jari dan telunjuk ketika
berusaha memutuskan. Matanya memandang Jennifer. Dia
mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk kepala anak itu. “Aku mau
asal Jennifer ikut dengan kami,” katanya. Kau mau pergi? dia
mengisyaratkan.
Anak itu memandang Lauri penuh semangat. Seperti anak-anak lain,
dia tahu persis kata pergi Pergi ke mana, Lauri? tanyanya, secepat
tangannya bisa bergerak.
Pergi memancing, Lauri menjelaskan, tapi dia tahu dari tatapan
bingung Jennifer bahwa anak itu tidak memahami kata yang
terakhir.

133 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Ikutlah, Lauri. Acara ini akan jadi pelajaran yang bagus untuknya,”
kata Drake.
“Tidak, aku harus tinggal di sini bersama I b-” “Jangan tinggal
karena aku,” Alice cepat-cepat menu kas, memotong omongannya.
“Aku akan merajut, setel ah itu rasanya aku ingin tidur sebentar.
Karena telepon di rumah selalu berdering, aku jarang punya
kesempatan untuk tidur siang.”
“Kalau begitu semua beres,” kata Drake, seraya berdiri. “Ayo,
Andrew, mari kita periksa peralatan. Semua disimpan di gudang
belakang.”
Andrew tidak perlu diajak dua kali, dia bergegas mengikuti Drake,
dan Jennifer membuntuti mereka.
“Lauri sayang, sebaiknya kau berganti pakaian. Biar aku saja yang
mencuci piring,” kata Alice sambil mulai membersihkan meja.
“Oke,” kata Lauri lesu. Situasi berkembang di luar kontrol, dan dia
tidak berdaya menghentikannya.
Dia lalu mengenakan jinsnya yang paling tua, dan sepatu yang tidak
akan rusak karena lumpur. Dia mengambil jaket untuk Jennifer dan
dirinya sendiri, mengumpulkan beberapa selimut lama, dan pergi ke
bawah. Alice sudah memasukkan kue-kue, buah-buahan, dan
minuman dingin, juga se-termos kopi ke dalam tas besar.
“Ibu, kami kan cuma pergi sekitar satu jam,” protes Lauri.
“Aku tahu. Tapi kau juga tahu bagaimana laparnya orang kalau
berada di alam terbuka,” Alice membela diri.
“Ibu yakin tidak apa-apa sendirian?” tanya Lauri.
“Ya Tuhan, ya! Aku malah akan menikmati kesendirianku. Beberapa
hari yang akan datang ini aku bakal harus ngomong terus.”
Mereka berempat melambaikan tangan padanya sambil berjalan kaki
ke arah kaki bukit dengan dipimpin Drake. Pria itu membawa
sebagian besar peralatan memancing, tapi karena Andrew ngotot

134 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

ingin membawa juga, dia kebagian selimut dan kotak joran. Jennifer
memegang keranjang anyaman kecil dan Bunny, sedang Lauri
menenteng tas berisi makanan yang disediakan ibunya.

Tidak sulit untuk menemukan tempat memancing yang
menyenangkan. Kaki bukit bagai menyala dengan pepohonan aspen
keemasan. Daun-daun yang berguguran berkeresak di bawah kaki
waktu mereka berjalan menerobos hutan. Kali yang dipilih Drake
berdeguk dari pegunungan dan berkilauan disinari cahaya matahari
sementara airnya yang sebening kristal berdesir di atas bebatuan
yang terhampar di dasar sungai. Langit tampak seperti mangkuk
biru yang terbalik ke bumi; udara segar dan sejuk. Betul-betul hari
musim gugur yang sempurna.

Kedua pria itu asyik memancing, meskipun seperti kata Drake tadi,
mereka tidak terlalu serius melakukannya. Mereka menikmati acara
ini dengan melemparkan tali pancing ke kali dan menggulungnya.
Hanya beberapa kali ikan trout kecil terkait di kail mereka, dan ikan-
ikan ini pun mereka lemparkan kembali ke kali begitu Jennifer selesai
mengamatinya dengan hati-hati.

Anak itu haus ilmu pengetahuan. Dia menanyakan nama segala
macam hal pada Lauri, dan gurunya harus bekerja keras untuk
memuaskan rasa ingin tahunya yang tak ada habis-habisnya.

Acara memancing ini menarik minatnya, tapi waktu Lauri
menjelaskan bahwa ikan-ikannya biasanya diawetkan dan dimakan,
bibir bawahnya mula) bergetar, dan Lauri buru-buru mengalihkan
perhatian anak itu ke tingkah tupai yang melompat dari pohon ke
pohon. Mereka belajar tentang dari mana asal makanan, tapi rupanya
melihat makanan dalam keadaan hidup membuat hati gadis kecil itu
trenyuh. Mereka akan membicarakannya di lain waktu kalau Jennifer
tidak seemosional sekarang.

Para pria bergabung dengan mereka untuk menikmati makanan kecil
dan beristirahat di atas selimut-selimut, yang untung tadi dibawa
Lauri. Ketika Drake berdiri dan berjalan kembali ke arah kali,
Andrew berkata, “Kurasa untukku sudah cukup. Bagaimana kalau
kubawa Jennifer pulang, dan kami akan membaca buku atau
melakukan sesuatu yang tidak terlalu melelahkan.”

135 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Aku ikut,” kata Lauri cepat.

“Tidak, tidak,” tukas ayahnya. “Aku tahu jalan kok, lagi pula aku
ingin bersama cucuku. Kau tinggal di sini dengan suamimu. Aku
belum lupa bahwa kalian sedang berbulan madu. Aku tahu kapan
harus menyingkir.”

Andrew mengedipkan sebelah mata pada Drake, yang menanggapi
dengan cengiran jail. Ingin sekali Lauri menamparnya. Dia tidak bisa
berbuat apa-apa selain setuju untuk berduaan dengannya di hutan
ini. Dia sengaja pelan-pelan mengancingkan sweter Jennifer,
memperlama kepergian mereka. Andrew menerangkan soal daun-
daun di musim gugur ketika mereka berjalan di antara pepohonan
dan meninggalkan Lauri dengan Drake.

“Asyik, ya?” kata pria itu, bergeser mendekatinya di atas selimut.
“Ayo kita bergulung di balik selimut.”

Lauri mengusirnya dengan mendorong bahunya. “Jangan sok manis
dan lucu denganku. Kau boleh berhenti berakting sekarang. Di sini
tidak ada lagi orang menonton aktingmu yang menakjubkan sebagai
pengantin dimabuk asmara. Jangan ganggu aku.”

“Aku betul-betul membuatmu sebal, ya?” Wajah Drake terlalu dekat.
Lauri dapat melihat bintik-bi ntik berwarna emas dan cokelat di mata
hijaunya.

“Ya, betul!” sembur Lauri.

“Sebaiknya kau berhati-hati,” Drake memperingatkan dengan suara
berirama dan menggoyang-goyang telunjuknya di depan batang
hidung Lauri. “Itu berbahaya.”

“Bicara apa kau ini?”

Dicengkeramnya rahang Lauri dengan jari-jari yang kuat dan
dipaksanya wanita itu memandangnya. Ditariknya wajah wanita itu
makin dekat. Dengan suara sangat pelan Drake berbisik, “Kalau kau
tidak begitu bernafsu padaku, tidak mungkin aku bisa membuatmu
semarah ini.” Sebelum Lauri dapat membalas omongannya, pria itu
menciumnya dengan ganas dan cepat, lalu melompat berdiri.

136 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri duduk di atas selimut dan mengamati ketika pria itu berjalan
santai kembali ke pinggir kali dan memungut alat pancingnya.
Dalam hati Lauri marah sekali, tapi kata-kata Drake benar Kenapa ia
menyiksa dirinya sendiri? Kemarahan cuma salah satu dari sekian
banyak emosi yang dibangkitkan pria itu, dan dia terlalu gampang
dan sering menunjukkan semuanya padanya.

Dengan gaya pura-pura tidak peduli, Lauri berbalik dari Drake dan
berbaring di atas selimut. Ia berbaring telentang, sehingga bisa
merasakan hangatnya sinar matahari yang menyirami wajahnya. Di-
pejamkannya matanya supaya tidak silau karena cahaya terangnya.
Drake tidak mungkin tahu bahwa dia menikmati kenangan setiap
ciuman, setiap sentuhan. Pria itu tidak mungkin tahu bahwa
jantungnya berdebar-debar setiap dia memikirkan pagi itu ketika
berbaring telanjang di bawah tangan dan bibirnya yang lihai.
Tangannya... bibirnya... matanya.

Lauri tersentak bangun ketika sesuatu menggelitik telinganya. Dia
berusaha menepisnya, tapi tangan Drake mencengkeram
pergelangan tangannya dan menahan tangannya di dada sementara
pria itu melanjutkan menciumi telinganya. Bibirnya bergerak
menyusuri leher Lauri, menghujaninya dengan ciuman-ciuman
singkat dan ringan yang membuatnya merasa melayang-layang.

Pria itu berbaring telungkup, tubuhnya memanjang di belakang
kepala Lauri sehingga mereka membentuk garis lurus dengan kepala
saling bertemu. Disingkapkannya kerah kemeja wanita itu supaya dia
bisa leluasa menciumi lehernya. Tak sadar Lauri melengkungkan
leher dan memberikan lebih banyak mang untuk dijelajahinya.
Akhirnya Drake mengangkat kepala dan menatapnya.

“Membangunkanmu lama-lama jadi kebiasaanku. Terbalik begini
pun kau luar biasa cantik,” kata Drake.

“Dan kau pembohong. Aku berantakan. Aku selalu berantakan kalau
baru bangun.”

“Tidak benar,” bantah Drake mesra. “Aku menganggapmu luar biasa
cantik pada hari pertama aku melihatmu berdiri dengan tampang
ketakutan-tapi tidak gentar-di samping meja perlengkapan syuting.”

137 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Lauri tertawa, teringat. “Kau jahat pada... Lois? Itu namanya?” Drake
mengangguk. “Kau jahat padanya hari itu ketika mengatakan dia
terasa seperti piza anchovy”
“Aku tidak pernah mengatakan hal sejahat itu!” Drake kedengaran
tersinggung.
“Jelas pernah. Murray sampai harus-” Dia terdiam waktu melihat
pria itu ternyata cuma menggodanya. Mereka berdua tertawa. “Aku
bisa melihat kapan orang sulit mencium seseorang yang tidak
disukainya padahal harus membuatnya tampak sungguh-sungguh.
Aku tidak pernah mengerti bagaimana para aktor melakukannya.”
“Oh, kau bisa mempelajarinya di pelajaran Dasar-dasar Mencium,”
kata Drake. “Itu pelajaran wajib di sekolah akting.”
“O, ya?” tanya Lauri naif.
“Tentu,” jawab Drake seenaknya. “Sini, duduklah sebentar.”
Lauri duduk, dan mereka berhadap-hadapan di atas selimut.
“Nah,” pria itu bicara dengan nada profesional, “ciuman pertama
yang kaupelajari adalah ciuman sekadarnya yang dilakukan suami
sembrono atau tak pedulian. Biasanya tidak betul-betul kena. Seperti
ini.” Dia mendemonstrasikan dengan mencium udara di dekat pelipis
Lauri. “Atau seperti ini,” katanya, dengan ringan menyapu pipinya
sebelum cepat-cepat memalingkan kepala. “Ciuman itu bisa dilakukan
dengan sedikit lebih berperasaan untuk menyambut bibi yang masih
gadis waktu ada reuni keluarga atau menyambut teman akrab
keluarga.”
“Kau tidak main-main?” Lauri bertanya datar.
“Tidak. Kami diuji melakukan ciuman itu.”
“Ujian mencium?”
“Aku dapat nilai sempurna.” Giginya mengilat dari balik kumis.
“Aku yakin begitu.”

138 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Bisa kita lanjutkan pelajarannya?” Drake bertanya kesal. Lauri
mengangguk.
“Ada ciuman yang terburu-buru dan brutal. Biasanya timbul karena
emosi kuat seperti ketakutan atau kemarahan atau keputusasaan.
Ciumannya seperti ini.” Jari-jarinya menghunjam lengan atas Lauri,
dan wanita itu tenggelam dalam pelukannya ketika dia menciumnya
dengan kasar.
Lauri terpana ketika pria itu mendorongnya menjauh. “Mengerti
maksudku? Mulut selalu tertutup dalam ciuman itu,” kata Drake
mantap.
“Untung saja,” gumam Lauri sambil dengan hati-hati menyentuh
bibirnya yang barusan dilumat pria itu.
“Ciuman yang paling penting, tentu saja, adalah ciuman sepasang
kekasih,” dengan tenang Drake melanjutkan. “Butuh latihan berjam-
jam supaya sempurna. Ciuman itu harus meyakinkan. Semua
penonton harus bisa merasakannya.
“Si aktor biasanya memeluk si gadis seperti ini.” Dipeluknya Lauri
dengan hangat. “Lalu bibirnya berhenti di atas bibir gadis itu sampai
penonton menahan napas menunggu bibir mereka bersentuhan. Lalu
si aktor-” Dia tidak menyelesaikan kalimatnya karena bibirnya telah
mencium bibir Lauri. Semangat Lauri bangkit untuk mengikuti
permainan ini, Lauri mengangkat tangan dan memeluk leher pria itu.
Drake menciumnya tapi tidak meningkatkan intensitasnya.
Pria itu mengangkat kepala dan menatapnya dengan mata hijaunya,
yang lurus-lurus menghunjam mata Lauri. Suaranya parau.
“Kemudian ada ciuman yang tanpa ragu mengatakan, 'Mari kita
akhiri omong kosong ini dan langsung ke pokok masalah.'
Ciumannya seperti ini.”
Dia bersandar di tubuh Lauri sampai wanit a itu telentang di selimut
karena ditindih tubuhnya yang tegap. Lidahnya menjilat sudut
mulutnya dan membelai bibir bawah sebelum menjelajahi rongga
mulutnya. Lauri membalas ciumannya dengan sama panasnya,

139 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

menggoda, dan menyelidik sampai mereka memisahkan diri dan
terengah-engah karena kehabisan napas.
“Kau bukan cuma murid. Dasar-dasar Mencium yang pandai, tapi
juga guru yang hebat,” kata Lauri dengan suara bergetar.
“Hanya kalau mengajari murid-murid paling berbakat,” pria itu
nyengir.
Lauri menyusupkan jari-jarinya di antara helai-helai perak-cokelat
rambut Drake. “Dan sudah berapa orang muridmu?” dia bertanya
cemburu.
“Ribuan, paling tidak.” Ditelusurinya bibir wanita itu dengan jari
yang provokatif. “Ketika sedang belajar akting, Susan-”
Jarinya menghentikan siksaan mesranya, dan nama itu menggantung
di antara mereka, tidak tampak namun sangat berpengaruh. Di mata
hijau yang tadi lembut dan hangat tampak tatapan keras dan dingin.
Selama detik-detik yang penuh ketegangan, mereka berbaring tak
bergerak sedikit pun. Lalu Drake bergeser.
“Mungkin sebaiknya kita pulang sekarang,” katanya, bergerak
bangun.
Lauri tidak mampu menjawab. Tenggorokannya yang bagai tercekik
tak sanggup mengeluarkan suara sepelan apa pun. Dia mengangguk
setuju. Mereka mengemasi barang-barang dalam keheningan. Hilang
sudah semua kegembiraan tadi; Lauri merasa tenggelam dalam
kegelapan. Susan. Selalu Susan.
Mereka menyusuri jalan setapak yang tertutup dedaunan menuju
rumah. Drake berusaha memulai pembicaraan, tapi ketika merasakan
suasana hati Lauri, dia menyerah.
Ketika mendekati rumah, mereka melihat ada station wagon kecil di
jalan masuk. Mobil itu diparkir di samping Mercedes dan mobil
sewaan suami-istri Parrish.
“Siapa, ya?” tanya Drake sementara mereka berjalan di trotoar.
“Entah. Itu bukan mobil Betty.” Drake membuka pintu dan

140 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

menyilakannya masuk. Lauri disambut kilatan lampu blitz kamera.
Terperanjat dan sesaat tak bisa melibat apa pun akibat cahaya terang
itu, dia tersentak mundur dan bersandar di dada tegap Drake.
Lengan pria itu secara refleks memeluk pinggangnya. “Apa-apaan
ini?” serunya. Blitz kamera menyambar lagi. “Cukup dulu untuk
sekarang, Nak. Biarkan mereka masuk ke rumah,” tegur Andrew.

Setelah mata mereka menyesuaikan dengan bagian dalam rumah
yang temaram, dan titik-titik ungu terang di hadapan mereka telah
memudar jadi kuning pucat, barulah Lauri dan Drake dapat melihat
pria muda yang memegang kamera itu. Dia memakai jins dan sepatu
lari, dipasangkan asal-asalan dengan jaket sport, kemeja sport, dan
dasi.

“Hai, Mr. Sloan. Saya Bob Scott dari The Scoop Sheet. Wow, ini
hebat sekali!” Rambut keritingnya bergerak-gerak seperti spons
raksasa di ke palanya ketika dia mengangguk-angguk gembira.

Lauri tidak bisa membayangkan mengapa pria muda ini berada di
sini bersama orangtuanya dan Jennifer, yang duduk di pangkuan
Andrew dan mengamati situasi dengan penuh minat. Tapi Lauri tahu
nama penerbitan yang disebutkan Bob Scott tadi. Jtu nama majalah
mingguan yang dijual berjuta-juta copy di berbagai toserba di
seluruh negeri. Judul-judul berita majalah itu sensasional, berita-
beritanya miring, sering merugikan subjek berita mereka. Para
editornya menyukai kebocoran skandal dan rahasia, serta gosip-
gosip. Apa yang dilakukannya di sini?

Ketika pria penuh semangat itu mengarahkan kamera lagi, Drake
berkata galak, “Tolong singkirkan-” dia tidak jadi mengucapkan kata
itu setelah melirik cepat Andrew dan Alice “-tolong singkirkan
kameramu dan beritahu aku apa yang kaulakukan di rumahku.”

Untuk pertama kalinya semangat Bob Scott berkurang sedikit. Lauri
tidak terkejut. Ekspresi Drake bisa membuat Attila the Hun gentar.

“Saya-uh-yah, Sir, sudah berminggu-minggu saya mencari Anda.
Orang-orang ribut berspekulasi tentang sebab Anda tidak berada di
lokasi syuting The Hearts Answer. Produser atau sutradara itu atau
apa pun jabatannya-Murray?-yah, dia tidak mau mengatakan apa-

141 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

apa. Dia sebisu patung. Saya akhirnya berhasil mengorek informasi
dari juru kamera bahwa Anda pergi ke New Mexico untuk
menghabiskan waktu bersama putri Anda. Saya melacak jejak Anda-
bandara, mobil sewaan, hal-hal semacam itu-dan menemukan Anda
di sini hari ini.”
“Well, karena sudah menemukan aku, apa yang ingin kau ketahui?”
Drake sudah lama mengetahui bahwa para reporter media
sensasional ini bisa ulet sekali dan bahwa, jika tidak dituruti, mereka
bisa berbuat keji.
“Yah, Anda harus mengakui bahwa berita tentang pernikahan Anda
bakal membuat para wanita menangis sampai terkencing-kencing!”
Dia nyengir, tapi Drake cuma menatapnya tanpa ekspresi. Sadar
omongannya keterlaluan, pemuda itu menelan ludah dan bergumam,
“Maaf,” pada Alice dan Lauri. Lauri tak habis pikir. Bagaimana ini
bisa terjadi? Drake pasti akan membantah soal hubungan mereka,
tapi apa yang akan dikatakannya pada orangtuanya?
Alice berdiri dan mendekati Drake, memegang lengannya untuk
menyabarkannya. “Drake, kuharap kau tidak marah padaku. Dia
datang ke rumah ini tidak lama setelah kalian pergi. Dia bicara
begitu cepat dan mengajukan begitu banyak pertanyaan sehingga
tanpa sadar aku mengungkapkan fakta bahwa kau dan Lauri telah
menikah. Aku tahu kau pernah bilang ingin merahasiakannya dulu.”
.Suaranya mulai bergetar. “Aku minta maaf-”
“Sudah, sudah,” kata Drake sambil mengitari Lauri dan memegang
bahu Alice supaya wanita itu tenang. “Aku tahu bagaimana kelakuan
reporter kalau mencium adanya berita eksklusif. Anda membuatku
tidak perlu repot-repot memberitahu pers.”
Jika sebelum saat ini dia tidak mencintainya, maka sekarang Lauri
mencintainya. Drake bisa saja memarahi ibunya, karena di balik sikap
tenang itu, dia tahu pria itu pasti marah besar karena perkembangan
ini.
Bob Scott tampak lega melihat sikap santai Drake dan berkata, “Jika
saya boleh berkomentar, Anda menikahi wanita yang cantik, Mr.

142 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Sloan.” Dia mengedipkan mata pada Lauri, yang masih belum
sanggup bereaksi terhadap apa yang tengah terjadi.

“Kau boleh berkomentar, tapi jangan disebarluaskan,” geram Drake,
dan mengerutkan alis untuk memperingatkan. “Aku ingin
memilikinya untuk diriku sendiri dulu.” Dia menggunakan
kemampuan aktingnya lagi. Reporter muda yang berani itu sekarang
sudah takluk padanya. “Kurasa kau sudah bertemu orangtua istriku?”
kata Drake sopan. Bob Scott mengangguk. “Dan ini putriku,
Jennifer.” Drake menggendong anak kecil itu dan menepuk
punggungnya dengan penuh kasih sayang.
“Kami semua tahu Anda punya anak, tapi Anda selalu menjauhkan
kami darinya. Apakah karena dia tuli?”
Lauri terkesiap dan mengira Drake akan menghajar reporter itu.
Ternyata dia cuma melihat otot di rahang pria itu berdenyut ketika
menjawab tenang, “Tidak. Aku ingin melindunginya dari orang-
orang pers yang tidak sesensitif kau, Mr. Scott. Aku memasukkannya
ke sekolah swasta berasrama bukan karena malu.”
Reporter itu menjilat bibir dengan gugup dan berkata, “Wah, Mr.
Sloan. Saya tidak-maksud saya-”
“Bilang halo pada Bob,” kata Drake, memotong perkataan terbata-
bata si reporter sambil mengisyaratkan perintahnya pada Jennifer.
Jennifer menurut, melontarkan senyum manis yang memikat semua
orang yang melihatnya. Bob Scott bertanya, “Bagaimana cara saya
bilang hai juga?”
Drake menunjukkannya, dan Jennifer tertawa waktu pria itu dengan
kaku mengisyaratkannya. Duduklah di samping Kakek, Drake
mengatakannya dalam bahasa isyarat setelah menurunkan Jennifer di
sebelahnya dan menepuk bokongnya ketika anak itu mematuhi
perintahnya. Waktu berdiri tegak lagi, dia berkata, “Dan ini Lauri.
Dia guru Jennifer.” Dia pindah ke samping Lauri dan memeluk
pinggangnya dengan posesif, menarik wanita itu ke dekatnya.
“Wow. Bisa Anda beritahu saya bagaimana kalian bertemu?”

143 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Drake membumbui ceritanya habis-habisan, tapi begitu lancar dan
penuh perasaan ketika mengisahkannya sehingga Lauri sendiri jadi
hampir mempercayai kebohongannya.
Setelah Drake selesai bicara, reporter itu bertanya, “Boleh saya
memotret lagi?”
“Sebentar saja, lalu aku harus memintamu pergi. Orangtua Lauri
akan pergi ke Santa Fe sore ini, dan kami ingin bersama mereka
selama mungkin.”
“Yeah, tentu. Terserah apa kata Anda, Mr. Sloan.” Karena sekarang
sudah punya berita besar, Bob Scott mendadak jadi penurut.
Selama beberapa menit berikutnya Lauri merasa tersiksa ketika
difoto bersama Drake, lalu bersama Jennifer. Dia merasa konyol
karena bersandiwara seperti ini dan risau memikirkan cara
mengoreksi akibat yang ditimbulkan berita ini.
Tepat ketika si reporter tengah mengemasi peralatannya, Betty
Groves berlari memasuki ruangan dari dapur. “Ada apa, Lauri?” tany
anya heboh seperti biasa. “Aku melihat banyak mobil di jalan masuk.
Kami baru pulang dari Albuquerque.” Tadi nya Lauri bersyukur
Betty pergi mengunjungi keluargan ya selama beberapa hari. Dia jadi
tidak perlu memperk enalkan wanita itu pada orangtuanya, yang,
dalam situ asi seperti sekarang, bisa menimbulkan kekacauan.
Saat ini, ketika Betty memandangnya dengan mata bulat berbinar-
binar sambil nyengir gembira campur penasaran, rasanya Lauri
seperti berada dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Apa
lagi yang bisa terjadi? Seolah menjawab pertanyaannya, Sam dan
Sally berlari memasuki ruangan bagai tornado mini dan menyerbu
Jennifer, yang sama riangnya dalam menyambut teman-temannya.
“Siapa orang-orang ini?” tanya Betty di antara jeritan anak-anak.
Drake mengangkat tangan pasrah dan tertawa keras. Andrew dan
Alice berdiri dan mendatangi Betty untuk memperkenalkan diri.
Suasana tambah kacau ketika cahaya blitz menyambar-nyambar
karena Bob Scott sibuk memotret mereka.

144 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Orangtua Lauri?” Lauri mendengar Betty berseru. “Wah, senang
berkenalan-”

“...pernikahan mereka...” Dia mendengar suara ibunya.

“...sudah menikah...” Itu ucapan Andrew.

“Ya Tuhan, betul-betul kacau.” Ini omongan Drake, diucapkan pelan.

Lalu Lauri tenggelam dalam pelukan Betty. “Kalian sudah menikah!
Oh, Lauri! Drake! Oh, aku bahagia sekali! Sejak dulu aku sudah
bilang- tanya Jim kalau kalian tidak percaya-bahwa kalian berdua
berjodoh. Aku tahu kalian saling mencintai! Dan Jennifer kecil!
Bagaimana pendapatnya? Oh, aku jadi ingin menangis!” Dan setelah
mengatakan itu, tangis Betty pecah dan dia menangis tersedu-sedu
sampai lama sesudah Drake mengantar Bob Scott ke mobilnya.

Reporter yang gembira itu menjanjikan foto di halaman depan dan
berita di halaman tengah yang komplet dengan foto-foto berwarna
“pasangan yang berbahagia” itu. Drake menanggapi dengan kalimat-
kalimat singkat sambil dengan ramah, tapi tegas, menyilakan Mr.
Scott masuk mobil.

Betty menawarkan untuk membawa Jennifer ke rumahnya sebentar
supaya Lauri, Drake, dan suami-istri Parrish bisa menenangkan diri
setelah keriuhan tadi. Orangtua Lauri pergi ke kamar mereka untuk
mulai berkemas-kemas. Mereka harus berangkat satu jam lagi
supaya bisa menghadiri pertemuan pertama konferensi pendeta yang
dijadwalkan untuk malam itu.

Lauri kembali ke atas dan membuka pakaian. Dia masuk ke bilik
pancuran dan berdiri di bawah siraman air panas, berharap air bisa
mengurangi ketegangan ototnya.

Ketika akhirnya mematikan keran dan membuka pintu kaca bening
untuk mengambil handuk, dia tersentak kaget waktu melihat Drake
berdiri di ambang pintu, memandanginya.

Disambarnya handuk dan dipeluknya erat-erat. “Jangan repot-repot.
Aku sudah melihat semuanya,” pria itu berkata serak dan berjalan
mendatanginya.

145 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

“Baik. Tidak akan kulakukan,” balas Lauri ketus sambil mulai
mengeringkan tubuh. Kemarahan yang tampak di sikap bahu dan
dagunya menghentikan langkah Drake. Lauri menghanduki
tubuhnya sampai kering, sampai tuntas, tidak memedulikan Drake,
dan itu lebih membuat pria itu merasa tidak keruan daripada kalau
dia lari bersembunyi.
“Aku pernah memperingatkanmu soal berjalan ke sana kemari di
dalam rumah dalam keadaan seperti itu,” kata Drake.

“Aku tadi kan mandi. Aku tidak mengira ada penonton.”
Setelah selesai mengeringkan tubuh, Lauri mengambil celana dalam
dari laci dan mengenakannya, melewatkannya di pahanya yang
mulus dan langsing. Drake bersandar di meja rias, tidak sedetik pun
mengalihkan pandangan darinya.

Lauri merogoh laci dan mengeluarkan bra berenda. Sebelum dia
sempat memakainya, Drake menyentak-kannya dari tangannya dan
melemparkannya ke lantai. Reaksi Lauri cuma mengangkat bahu
tidak peduli dan sebagai gantinya mengambil dan mengenakan
sweter. Tetap mengabaikan pria itu, dia mengenakan celana panjang
yang tadi dibawanya ke kamar mandi.
Begitu dia selesai mengancingkan ritsletingnya, Drake menyerbu
dan memeluknya kuat-kuat. Bibir pria itu melumat bibirnya.
Tangannya bergerak tanpa henti di punggungnya. Lauri berusaha
setengah mati untuk tidak menanggapi dan membuat tubuhnya kaku.
Akhirnya pria itu mengangkat kepala dan berkata, “Kau marah.”

Lauri menjauh. “Boleh dibilang begitu.” Mengambil sikat rambut, dia
mulai menyisir rambutnya.
“Semua berkembang tak terkendali, ya?” tanya Drake setelah lama
terdiam.
“Ya, memang.” Lauri meletakkan sikat rambut di meja rias dan
menghadap pria itu. “Kau punya gambaran tentang kekacauan yang
kautimbulkan dalam hidupku? Hidup orangtuaku? Apa kau cuma
peduli pada dirimu sendiri?” Dia menarik napas panjang dan

146 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

bergetar. “Aku minta maaf atas kecerobohan ibuku, meskipun
sebetulnya itu kesalahan tak disengaja. Semua ini takkan terjadi
kalau kau tidak mengucapkan kebohongan besar itu.” Dagunya naik
dengan gaya membangkang.

“Memangnya aku menyalahkan orang lain?” tanya Drake tenang.
“Apakah saat ini aku seharusnya mengatakan 'Siapa yang menabur
angin, akan menuai badai'?”

“Kau selalu tahu cara menjawab, ya?” Lauri melewatinya ketika
berjalan marah keluar kamar mandi, tapi tangan Drake
mencengkeram lengannya dan menariknya.
“Lauri, si darah panas. Selalu defensif, selalu siap berkelahi.
Bagaimana kalau sekali-sekali kau menyerah?” Bibirnya menyapu
pelipis wanita itu. “Pernahkah terlintas di benakmu bahwa aku suka
kalau orang-orang mengira kau istriku? Itu jelas akan melindungiku
dari biang gosip. Dan kita bisa-”
Lauri begitu ngotot memberontak darinya sehingga pria itu
tercengang. “Kita bisa apa?” teriaknya. “Kita bisa terus hidup dalam
dunia pura-pura yang kau bangun ini?” Dia tertawa pahit. “Arogansi,
kecongkakan, dan ketidakpekaanmu selalu membuatku takjub,
Drake. Kaupikir aku mau berpura-pura jadi istrimu meskipun cuma
sedetik?”'
Drake memunggunginya dan menjejalkan tangan ke saku dengan
gerakan yang sudah dikenal Lauri. Pria itu berbuat begitu untuk
menutup diri.

“Aku pernah punya istri,” gumamnya. “Aku pernah bercerita
padamu-”
“Oh, ya,” ejek Lauri. “Kau sudah bercerita banyak tentang istrimu.
Kau mencintainya. Dan sekarang kau tidak menginginkan
keterlibatan emosio-nal.”
Dihampirinya Drake dari belakang dan dipaksanya pria itu berbalik
supaya mau tidak mau menghadapinya. “Yah, sekarang giliranku
memberitahu-mu. Aku tidak mau jadi istrimu, pura-pura atau tidak.

147 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Menurutku lamaranmu tidak menarik, Mr. Sloan. Dan aku tidak
mengerti kenapa kau ngotot berusaha tidur denganku. Tidakkah
menurutmu tempat tidurmu akan sesak karena ada kau, aku, dan
hantu istrimu di sana?”

Kulit pipi Drake begitu tegang dan kerut-kerut di sekeliling
mulutnya menegang begitu jelas sehingga Lauri takut pria itu
menyerangnya. Drake mencengkeram bahu Lauri dan
menyentakkannya ke dekatnya. Lauri dapat merasakan kemarahan
yang mendidih di dalam tubuh pria itu.

“Lauri, Drake, kalau boleh aku ingin bicara sebentar dengan kalian
berdua.” Suara Andrew mengikuti ketukan ragu-ragu di pintu kamar.

Baru beberapa detik kemudian suara itu bisa menembus kemarahan
Drake, tapi pelan-pelan Lauri merasa cengkeraman di lengannya
mengendur sampai pria itu menarik tangannya.

“Daddy,” kata Lauri dengan suara bergetar, “ada apa?”

“Aku tidak ingin mengganggu kalian, tapi masalah ini penting.
Setidaknya begitu bagi Ibu dan aku.”

Lauri menoleh pada Drake dengan pandangan was-was sambil
masuk ke kamar dan berkata, “Masuklah.”

Andrew bergegas masuk dan minta maaf lagi karena mengganggu
mereka. “Kami harus segera berangkat, dan aku ingin tahu apakah
kalian bersedia mengabulkan permintaan orang tua ini.”

Dari sudut matanya, Lauri melihat Drake berjalan untuk berdiri di
dekatnya. Lauri bersidekap seakan ingin melindungi diri. “Ada apa,
Daddy?” Lauri bertanya dengan suara tenang.

“Aku selalu merasa kau dan Paul bisa punya kesempatan yang lebih
baik jika kalian kunikahkan di gereja kita. Aku tahu ini kuno,”
katanya buru-buru waktu Lauri akan memprotes. “Kumohon, Lauri,
Drake, izinkan aku melaksanakan upacara pernikahan singkat untuk
kalian sebelum aku pergi.”

®LoveReads

148 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

Bab 11

Lauri menatap ayahnya, mencerna makna kata-katanya. Drake
berdiri di dekatnya. Lauri nyaris dapat merasakan tatapan matanya
di puncak kepalanya. Ayahnya menunggu tanggapannya. Dia
tertawa gugup dan berkata, “Daddy, itu tidak perlu.”
“Aku tahu, Lauri, tapi tolong penuhi permintaanku. Ibumu dan aku
tidak senang kau menikahi orang yang tidak pernah kami jumpai
dalam upacara di catatan sipil yang dingin. Ketika pernikahanmu
ternyata begitu tidak membahagiakanmu- dan jangan coba-coba
bilang sebaliknya, aku tahu yang sebenarnya-kami merasa
bertanggung jawab sebab tidak lebih mendekatkan diri dengan kau
dan suamimu. Kali ini, aku ingin jadi bagian dari pernikahanmu,
keluargamu.”
Tatapan matanya melunak, dan dia mengulurkan tangan dan
menggenggam tangan anaknya yang terasa dingin. “Sejak dulu aku
amat sangat berharap dapat menikahkan kau dan Ellen. Aku
memimpin upacara pernikahan Ellen, ingat?” Tenggorokan Lauri
serasa tercekik ketika dia mengangguk.
“Kumohon izinkan aku memimpin upacara pernikahanmu dengan
Drake.”
Lauri mencoba bicara, tapi dadanya terlalu sesak; air mata
memburamkan pandangannya. Betapa bencinya dia menipu pria baik
hati dan penyayang yang telah memberinya kehidupan dan selalu
menginginkannya bahagia. Dia membuka mulut untuk
memberitahukan yang sebenarnya, namun bibirnya terasa kaku dan
tidak bisa digerakkan.
Dia merasakan dukungan kuat lengan Drake ketika pria itu
merangkul bahunya. “Kami akan merasa tersanjung, Sir. Aku bicara
atas nama kami berdua.”
“Bagus. Bagus,” kata Andrew, menggenggam kedua tangan Drake
dengan penuh perasaan. Mata kelabunya bersinar gembira. “Biar

149 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m

kuberitahu Ibu. Dia pasti akan senang sekali. Kami akan menunggu
kalian di bawah.” Dia cepat-cepat keluar dari kamar dan menutup
pintu.
Tidak jelas siapa yang memulai, tapi Lauri tiba-tiba sudah berada
dalam pelukan Drake, wajahnya tersembunyi di lekuk bahu pria itu.
Semua perasaan frustrasi, marah, dan bersalah tertumpah dalam
tangisan deras sampai bagian depan kemeja pria itu basah karenanya.
Drake tidak berkata apa-apa, melainkan terus memberinya dukungan
dan hiburan. Mengusap-usap rambut cokelat kemerahan dan
menepuk-nepuk punggungnya, dia menunggu sampai air mata Lauri
kering dan wanita itu bersandar padanya, kelelahan dan putus asa.
Kata-katanya tidak jelas ketika dia bicara, dan Drake menunduk
supaya bisa mendengarnya. “Aku orang paling munafik sedunia. Aku
mencercamu karena kebohonganmu, tapi ternyata aku malah
mempertahankannya dengan segala yang kulakukan.” Lauri terisak
keras. “Aku tidak sanggup melukai hatinya.”
“Terserah kau mau percaya omonganku ini atau tidak, dan aku ragu
kau mau, tapi aku juga tidak ingin melihat mereka kecewa gara-gara
aku. Waktu kulihat kau berusaha memberanikan diri untuk
mengatakan yang sebenarnya padanya, aku tidak bisa membiarkan
itu terjadi. Aku harus ikut campur.”
Dengan lembut didorongnya Lauri, dan dihapusnya air mata yang
membasahi pipinya. “Mari kita jalani upacara pernikahan ini dengan
tenang. Kita tahu pernikahan ini tidak berarti apa-apa. Pernikahan
ini tidak sah. Nanti kita cari jalan untuk memberi tahu mereka.” Dia
melihat kilatan marah di mata wanita itu dan menebak sebabnya.
“Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku juga akan ikut bertanggung
jawab. Sekarang, cucilah mukamu. Mereka sudah menunggu kita.”
Dia mencium sekilas kening Lauri sebelum wanita itu pergi untuk
membersihkan muka.
“Dengan ini kunyatakan kalian sebagai suami-istri. Apa yang telah
disatukan Tuhan, tidak boleh dipisahkan manusia.” Andrew
mengucapkan kata-kata yang, jika saja pernikahan ini sah, akan

150 | R a t u - b u k u . b l o g s p o t . c o m


Click to View FlipBook Version