MODUL
ILMU UKUR TANAH 2
OLEH :
SUKATIMAN
BUDISISWANTO
EKO SUPRI MURTIYONO
WALUYO
KUNDARI RAHMAWATI
LILIS TRIANINGSIH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TEKNIK BANGUNAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. KERANGKA DASAR PEMETAAN
Jaring kontrol horizontal atau juga dikenal dengan
kerangka dasar pemetaan geodesi sangat diperlukan, terutama
untuk mendukung pekerjaan-pekerjaan penentuan posisi serta
survei dan pemetaan untuk beragam aplikasi. Realisasi jaring
kontrol horizontal mempunyai cakupan yang cukup luas, baik
ditinjau dari pendefinisian sistem referensi, metode dan strategi
pengamatannya, sistem peralatan yang digunakan, metode
pengolahan datanya, maupun tingkat ketelitian titik-titiknya.
Oleh sebab itu, agar maksimal penggunaannya, jaring kontrol
horizontal serta pengadaannya harus terstandarisasi,
terklasifikasi, dan terspesifikasi dengan benar, sistematis, dan
jelas dalam suatu Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu Jaring
Kerangka Horizontal Nasional (JKHN).
Dalam SNI ini klasifikasi JKHN didasarkan pada tingkat
presisi dan tingkat akurasi dari jaring yang bersangkutan, yakni
1
tingkat presisi diklasifikasikan berdasarkan kelas, dan tingkat
akurasi diklasifikasikan berdasarkan orde (baca SNI 19-6724-2002
tentang: Jaring Kontrol Horizontal)
Prinsip dasar dari kerangka horizontal adalah kerangka
dasar pemetaan dan kerangka dasar ini akan dijadikan ikatan
dari detail-detail yang merupakan objek dari unsur-unsur yang
ada pada permukaan bumi yang akan digambarkan dalam peta.
Apabila kerangka petanya baik, dalam arti bentuk dan
ketelitiannya, bisa diharapkan bahwa peta yang akan dihasilkan
juga baik.
Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk
permukaan bumi melalui garis‐garis ketinggian. Gambaran ini, di
samping tinggi‐rendahnya permukaan dari pandangan datar
(relief), juga meliputi pola saluran, parit, sungai, lembah, danau,
rawa, tepi‐laut dan adakalanya pada beberapa jenis peta,
ditunjukkan juga, vegetasi dan objek hasil aktivitas manusia.
Pada peta topografi standar, umumnya dicantumkan juga
tanda‐tanda yang menunjukkan geografi setempat. Berikut ini
diberikan contoh peta topografi daerah pemetaan
Nusakambangan dan perbatasan sebelah timur Jawa Barat.
Kondisi alamnya berbukit-bukit, sehingga terlihat konturnya
rapat. Daerah tersebut sangat bagus dipakai untuk simulasi
perencanaan pemetaan, khususnya untuk perencanaan
alinemen jalan raya dan perhitungan urugan dan timbunan (cut
and fill).
2
Gambar 1: Peta Topografi Skala Besar ( 1: 25.000)
Peta di atas masih dalam skala besar, sehingga belum
tampak jelas ketinggian tempat atau garis konturnya. Dalam
pelaksanaan pemetaan pekerjaan-pekerjaan teknik sipil biasanya
hanya memetakan daerah yang lebih sempit, sehingga peta
tersebut dapat diambil seperlunya dan diperbesar gambarnya
(diperkecil skalanya) untuk lebih mendapatkan detail kontur dan
ketinggian.
3
Gambar 2: Gambar Insert dari Peta Topografi
4
Gambar peta di atas adalah sebagian kecil (insert) dari
peta topografi di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dengan
membesarkan gambar peta topografi, kita dapat memiliki
gambaran yang lebih jelas tentang ketinggian, kemiringan daerah
serta ketinggian kontur, sehingga informasi peta akan lebih
dimengerti khususnya oleh orang-orang yang memahami
tentang pemetaan.
B. SISTEM REFERENSI KOORDINAT
Koordinat titik-titik kontrol dari semua orde jaringan harus
dinyatakan dalam sistem referensi koordinat nasional, yang pada
saat ini dinamakan Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN-95).
Metode pengamatan yang harus diterapkan untuk
pengadaan Jaring Kerangka Horizontal Nasional adalah seperti
yang ditunjukkan pada tabel berikut ini:
Tabel 1: Metode Pengamatan untuk Pengadaan Jaring Titik
Kontrol
Jaring Metode Pengamatan
Orde -00 Jaring GPS Kontinu Orde -0
Orde -1
Orde -2 Survei GPS
Orde -3 Survei GPS
Orde -4 Survei GPS
Sumber: SNI 19-6724-2002 Poligon, atau Survei GPS
Kesalahan jarak maksimum (m) dalam arah vertikal
(zenith) akibat refraksi ionosfir (Wubbena, 1999, dalam Abidin, Z,
Hasanudin, 1999) didapatkan pada suhu harian yang paling tinggi
yaitu pada jam 14.00 waktu setempat dan besarannya ditabelkan
di bawah ini.
5
Tabel 2: Kesalahan Jarak Akibat Refraksi Ionosfir
Frekuensi Efek Orde-1 Efek Orde-2 Efek
Orde-3
L1 32,5 m 0,036 m 0,002 m
L2 53,5 m 0,076 m 0,007 m
L1 dan L2 0,026 m
0m 0,006 m
C. JENIS KERANGKA DASAR
Ketelitian
Ketelitian koordinat titik-titik dalam jaringan harus memenuhi
persyaratan untuk kelas dan orde jaringannya.
Konfigurasi jaringan
a. Setiap jaringan harus terikat minimal ke beberapa buah titik
kontrol dari jaringan yang ordenya lebih tinggi, yang
jumlahnya seperti ditetapkan pada spesifikasi teknis;
b. Setiap titik dalam jaringan harus terikat minimal ke beberapa
buah titik lainnya dalam jaringan tersebut, yang jumlahnya
seperti ditetapkan pada spesifikasi teknis;
c. Titik-titik kontrol terdistribusi secara merata dalam jaringan.
Terdapat berbagai jenis poligon yang dapat dipakai di
lapangan yaitu:
1. Atas dasar Titik Ikat
a. Poligon terikat sempurna
b. Poligon terikat sepihak
c. Poligon bebas
2. Atas dasar bentuk:
a. Poligon terbuka
b. Poligon tertutup
c. Poligon bercabang
6
3. Atas dasar alat yang digunakan:
a. Poligon teodolit
b. Poligon kompas
4. Atas dasar penyelesaiannya:
a. Poligon hitungan (numeris)
b. Poligon grafis
5. Atas dasar ketelitian pengukuran
a. Poligon tingkat I
b. Poligon tingkat II
c. Poligon tingkat III
d. Poligon tingkat IV (rendah)
6. Atas dasar hirarki dalam pemetaan:
a. Poligon induk
b. Poligon cabang (anak)
D. PENGUKURAN SUDUT HORIZONTAL
Secara definisi sudut horizontal adalah merupakan sudut
yang dibentuk oleh selisih dari dua arah. Besaran sudut dapat
ditentukan dari selisih pembacaan skala lingkaran alat ukur optis
yang terdapat pada arah yang berbeda tersebut, baik secara
horizontal maupun secara vertikal. Pengukuran satu sudut dapat
dilakukan dengan empat (4) cara yaitu:
1. Pengukuran sudut tunggal
2. Pengukuran sudut seri rangkap
3. Pengukuran sudut repetisi
4. Pengukuran sudut Repetisi
7
1. Pengukuran Sudut Tunggal
Sudut tunggal merupakan satu sudut yang terbentuk dari
dua arah. Pengukuran dilakukan dengan sekali pembacaan skala
lingkaran terhadap masing-masing arah.
B Contoh:
A 12 Hasil pembacaan sudut tunggal
Sudut awalAB 80o
Sudut terukur BC 110
Besar sudut (BAC)= (BC-AB) = 110o – 80o = 30o
C
Gambar 3: Pengukuran Sudut Tunggal
Keterangan gambar:
Titik A adalah tempat pesawat
Titik B adalah target Pembidikan awal
Titik C adalah bidikan target
= sudut yang terbentuk antara bidikan 1 dan 2
12
Cara pelaksanaan di lapangan:
1. Dirikan alat teodolit di atas titik A dengan bantuan alat
senteringnya.
2. Buat sumbu I vertikal dengan penyetelan nivo kotak dan nivo
tabung. Lebih lanjut pelajari rerensi (Sukatiman, 2012)
3. Setel sudut horizontal alat, sehingga didapat titik nol pada
garis AB (lihat gambar di atas).
4. Buka klem sudut horizontal lalu bidik target titik C. Sudut
horizontal didapat dengan mengurangkan bacaan AC dengan
bacaan AB.
8
Pengukuran bacaan sudut tunggal seperti di atas hanya
diperbolehkan untuk bidikan titik-titik detail dan tidak
diperbolehkan pada pengukuran kerangka horizontal atau titik
kontrol lainnya.
2. Pengukuran Sudut Seri Rangkap.
Apabila sudut yang diukur merupakan titik-titik penting
yang akan dipergunakan sebagai koordinat kontrol, dilakukan
pengukuran dengan cara sudut seri rangkap. Cara pengukuran
sudut horizontal seri rangkap dilakukan dua kali terhadap sudut
tunggal dalam keadaan teropong pada keadaan biasa (B) dan
luar biasa (LB). Cara pembidikannya adalah pertama kali
dilakukan dengan membidik titik 1 sebagai titik awal, kemudian
dibidik ke target 2. Setelah dibaca sudut horizontalnya (seperti
cara pengukuran sudut tunggal di atas), kemudian alat diputar
pada sumbu I, kemudian alat diputar pada sumbu II untuk
membidik target 1 sebagai titik awal dan diakhiri dengan
membidik titik 2, akan terdapat dua bacaan sudut horizontal
biasa (b) dan luarbiasa (LB)
Hasil bacaan: rata rata (b) (LB)
2
Langkah Kerja:
Memindahkan koordinat titik ikat (B) ke poligon awal (A) dengan
cara :
1) Menentukan posisi pesawat P1 (sembarang) yang penting
titik A (awal poligon) dan titik B (titik ikat) tidak terhalang.
9
2) Menyetel posisi P1 dan membidik titik A sebagai titik nol
(awal).
3) Memberi tanda titik tersebut dengan patok/paku untuk
sementara waktu.
4) Membidik baak ukur pada titik B yang sudah diberi tanda
dengan patok.
5) Mengarahkan teropong pesawat tepat ke arah baak ukur
dan membaca benang atas, benang tengah, benang bawah,
dan sudut horizontal.
6) Mengontrol jarak optis P – A dan P – B dengan rumus (Ba –
Bb)x100 mm dan mengontrol bacaan benang tengah dengan
rumus
7) Pembidikan luar biasa dengan cara:
a. Memutar teropong 180o arah vertikal dari keadaan lurus
90° terhadap sumbu teropong diubah menjadi 270o,
kunci skrup pengunci arah vertikal, gunakan penggerak
halus untuk mendapatkan posisi yang tepat.
b. Membidik titik A dan titik B seperti langkah 2 sampai 6 di
atas.
8) Mengecek ketelitian bacaan biasa dan luar biasa dengan
selisih maksimum tidak lebih dari 5” (lima detik).
9) Memasukkan data hasil pengukuran perhitungan di atas dari
data hasil pengukuran di lapangan.
10) Menggambar peta hasil pengukuran dan perhitungan dari
data hasil pengukuran di lapangan.
11) Memeriksa kembali alat–alat praktik kemudian
mengembalikan di laboratorium.
10
3. Pengukuran Sudut Repetisi
Pengukuran sudut repetisi adalah merupakan pengukuran
sudut tunggal yang dilakukan berulang kali dengan penguncian
bacaan skala tertentu terhadap arah yang pertama.
Gambar 4: Penentuan Sudut Tunggal dengan Cara Repetisi
Cara pengukuran sudut repetisi hanya dapat dilakukan
dengan alat teodolit jenis repetisi, yaitu teodolit yang
mempunyai sumbu vertikal ganda, termasuk alat teodolit Total
Station dan jenis teodolit keluaran baru lainnya.
Langkah-langkah pengukurannya adalah sebagai berikut:
1. Setel teodolit di titik A baik sumbu I atau sumbu II.
2. Bidik titik 1. Bacaan ini dapat diatur agar angka menjadi nol
dengan mengatur klem limbus.
3. Untuk membidik target 2, klem limbus dimatikan dan klem
horizontal dibuka, kemudian teropong dibidikkan pada titik
2.
11
4. Pembacaan target 2 di atas dibawa ke titik bidik 1 dengan
cara membuka klem limbus. Setelah posisi target titik 1
tepat, limbus dimatikan. Pada posisi ini bacaan sama dengan
bacaan target 2.
5. Untuk melakukan pengukuran ke 2, pada posisi target 1,
klem limbus dibuka kemudian teropong dibidikkan ke target
2, kemudian dilakukan pembacaan.
6. Untuk melakukan Pengukuran ke 3 dan seterusnya, posisi
alat disetel ulang seperti no 5.
Hasil pengukuran akhir cara repetisi dapat dirumuskan sebagai
berikut:
r m. 360
n
Keterangan: m = jumlah pembacaan melewati 3600
Tabel 3: Contoh Hasil Pengukuran Sudut Repetisi
Posisi Target β1 = (2 – β1 = (3-2) β2 = (4-3)
Alat 1)
1 50 80 110
A 2 110 140
80
Penentuan cara repetisi juga dapat dilakukan dengan
memakai peralatan pesawat Total Station (TS). Langkah kerja
selengkapnya dapat dilihat pada pengoperasian alat TS pada BAB
IV B.
12
4. Pengukuran Sudut Repetisi
Cara pengukuran Repetisi adalah pengukuran sudut
tunggal dengan cara repetisi (pengulangan) dengan penambahan
suatu sudut tertentu misalkan (30o) pada skala pembacaan skala
horizontal. Hasil akhir pengukuran cara Repetisi dirumuskan
sebagai berikut:
(q1 1)
n
Keterangan:
β = Sudut yang diukur
A=
B R1
C=
R1
R2 + 30o
Gambar 5: Pengukuran Sudut Cara Repetisi
13
14
BAB II
KERANGKA HORIZONTAL
A. POLIGON
Poligon berasal dari kata poly yang berarti banyak
dan gonos yang berarti sudut. Secara harfiahnya, poligon berarti
sudut banyak. Akan tetapi, arti poligon yang sebenarnya
adalah rangkaian titik-titik secara berurutan sebagai kerangka
dasar pemetaan. Sebagai kerangka dasar, posisi atau koordinat
titik-titik poligon harus diketahui atau ditentukan secara teliti.
Karena akan digunakan sebagai ikatan detail, pengukuran
poligon harus memenuhi kriteria atau persyaratan tertentu agar
sesuai dengan yang diharapkan dan mendapatkan hasil
pengukuran yang baik.
Metode poligon adalah menentukan banyak titik koordinat
yang diikatkan pada satu atau beberapa titik yang sudah
diketahui koordinatnya atau bisa juga disebut metode polar pada
banyak titik. Poligon dapat dibedakan berdasarkan dari bentuk
dan titik ikatnya. Berdasarkan bentuknya poligon dapat dibagi
menjadi empat macam, yaitu:
15
1. Poligon terbuka
2. Poligon tertututup
3. Poligon bercabang
4. Poligon kombinasi
Adapun macam-macam bentuk poligon akan diuraikan
sebagai berikut.
1. Poligon Terbuka
Poligon terbuka adalah poligon yang titik awal dan titik
akhirnya merupakan titik yang berlainan (tidak bertemu pada
satu titik).
Gambar 6. Poligon Terbuka
16
2. Poligon Tertutup
Poligon tertutup adalah poligon yang titik awal dan titik
akhirnya bertemu pada satu titik yang sama. Pada poligon
tertutup, koreksi sudut dan koreksi koordinat tetap dapat
dilakukan walaupun tanpa titik ikat.
Gambar 7. Poligon Tertutup
3. Poligon Bercabang
Poligon cabang adalah suatu poligon yang dapat
mempunyai satu atau lebih titik simpul, yaitu titik cabang terjadi.
Gambar 8: Poligon Bercabang
17
4. Poligon Kombinasi
Bentuk poligon kombinasi merupakan gabungan dua atau
tiga dari bentuk bentuk poligon yang ada.
Gambar 9: Poligon Kombinasi
18
1. Poligon Terbuka
Rumus Umum Perhitungan Poligon
Gambar 10: Poligon Terbuka
Pada Gambar di atas, untuk mendapatkan koordinat titik
1, 2, 3 dan 4 maka dilakukan pengukuran sudut (β1, β2, β3, β4)
dan jarak (dB1, d12, d23, d34, d4C).
Rumus koordinat secara umum:
19
Syarat Geometris Hitungan Koordinat
1. Syarat Sudut
2. Syarat Absis
20
Menurut titik ikatnya, poligon dibagi menjadi 2 macam
yaitu:
1. Poligon Terbuka.
Dikatakan poligon terbuka karena poligon yang terbentuk
antara titi awal dan titik akhir tidak menjadi satu titik. Poligon
terbuka dibagi menjadi:
a. Poligon terbuka terikat sempurna
b. Poligon terbuka terikat sepihak
c. Poligon terbuka bebas
a. Poligon Terbuka Terikat Sempurna
Dikatakan poligon terbuka terikat sempurna karena
jenisnya poligon terbuka, tetapi pada titik awal dan titik akhir
diikatkan pada titik kontrol yang memiliki koordinat dan
ketinggian tertentu. Jenis poligon ini sangat cocok untuk
pekerjaan-pekerjaan saluran, yang harus dipastikan daerah hulu
dan daerah hilir harus diketahui ketinggiannya agar saluran
dapat berfungsi dengan baik.
21
Gambar 11. Poligon Terbuka Terikat Sempurna
Poligon Terikat Sempurna adalah poligon yang terikat pada
ujung-ujungnya, baik koordinat maupun sudut jurusannya.
Apabila Titik A, B, C dan D diketahui, sudut jurusan awal ab dan
cd dapat ditentukan. Syarat geometris dari poligon di adalah:
1. ab - cd = Si – n x 180 atau ab - cd – (Si – n x 180) =
0
2. XC – XA = d x Sin
3. YC – YA = d. Cos
b. Poligon Terikat Sepihak
Dikatakan poligon terikat sepihak karena jenis poligon ini
hanya diikatkan pada titik kontrol pada bagian awal saja, seperti
ditunjukkan pada gambar berikut.
22
Gambar 12. Poligon Terbuka Terikat Sepihak
Pada gambar tersebut, koordinat titik A dan B diketahui.
Dengan demikian, kita dapat menghitung sudut jurusan AB.
Untuk menentukan koordinat titik 1 diperlukan koordinat titik A,
sudut jurusan A-1 dan jarak A-1, begitu pula titik 2 diperlukan
koordinat titik 1, sudut jurusan 1-2 dan jarak 1-2 dan seterusnya.
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa:
a1 = ab + Sa ab = arc Tg Xb - Xa
12 = a1 + S1- 180 Yb - Ya
(n, n+1) = (n-1, n) + Sn - 180
23 = ab + S2 – 180
23
Cara kerja di lapangan:
1. Tentukan titik awal ruas jalan yang akan dipetakan (beri
tanda dengan patok. Beri nama misal titik A).
2. Anggota kelompok lain melakukan pengukuran dengan
rol meter setiap jarak 20 m pada as-as jalan untuk
menentukan posisi berdiri teodolit.
3. Setel pesawat teodolit pada titik A kemudian diset nol
terhadap utara (titik nol setting alat). Ukur dan catat
ketinggian alat.
4. Bidik titik ikat yang akan menjadi acuan koordinat dan
ketinggian posisi titik awal pengukuran (misal titik P).
Kalau kesulitan mendapatkan titik ikat di lapangan, titik
ikat dapat ditentukan dengan alat GPS.
5. Bidik titik-titik detail lapangan yang meliputi titik-titik
penampang melintang. Bidikkan melintang pesawat
misalkan batas persil, pagar, as jalan, pinggir jalan, bahu
jalan, pinggir atas selokan, dalamnya selokan, dan lain-
lain.(selengkap-lengkapnya).
6. Bidiklah tempat-tempat di dalam jarak 20 m tersebut
seperti saluran melintang jalan, boks, gang dan lain-lain
untuk pembuatan situasi memanjang.
7. Sementara sebagian anggota kelompok mengerjakan
langkah-langkah 5 dan 6, anggota yang lain menyetel
target 1(lurus dengan 20 m as jalan yang telah
ditentukan pada langkah 2). Pemasangan target
sebaiknya di pinggir jalan agar tidak mengganggu lalu
lintas, keselamatan dan guncangan alat. Tandailah posisi
target tersebut dan pasang patok (titik 1).
8. Setelah langkah 4,5, dan 6 selesai dilakukan dan langkah
7 juga sudah dilakukan oleh anggota kelompok, bidik titik
target 1. Karena titik 1 merupakan kerangka horizontal,
dipakai bidikan biasa dan luar biasa (bacaan yang dipakai
24
adalah bacaan rata-rata (BB + LB)/2) (catat bacaan
rambu).
9. Apabila pekerjaan pada langkah 1 sampai 8 selesai
dilakukan, pindahkan alat pada kedudukan 1 yang telah
dibidik terakhir!
10. Buatlah langkah-langkah di atas untuk 10 titik ke depan
(= 200 m) sepanjang jalan.
11. Pada titik terakhir, setelah langkah-langkah di atas
selesai, ditutup dengan bidikan ke arah utara magnit.
Namailah titik tersebut titik R.
12. Gambar di bawah merupakan gambar penjelas dari
langkah-langkah 1- 11 di atas.
Keterangan:
: poligon STA
: potongan melintang jalan
25
Gambar 14: Potongan Poligon Melintang (Typical)
Prinsip Penentuan Statiun
Posisi stasiun ditentukan oleh 5 faktor berikut:
1. Konidisi pengukuran yang mudah.
Karena sudut dapat diukur sangat teliti dengan
teodolit, pengukuran linear haruslah dengan ketelitian yang
sebanding. Kebanyakan pengukuran akan dilakukan
sepanjang permukaan dengan menggunakan pita baja,
sehingga keadaan permukaan harus membantu pengukuran
yang baik.
2. Penghindaran garis pendek
Bila mungkin poligon harus menghindari garis pendek,
alasannya tidak lain ialah bahwa kesalahan angular akan
timbul jika target yang berjarak pendek tidak dibidik secara
akurat.
3. Stasiun harus dipilih sedemikian rupa, sehingga markah
stasiun yang sebenarnya dapat dibidik.
Jika tiang harus didirikan pada stasiun, tiang harus
diuntingkan tepat di atas markah dengan menggunakan nivo
spiritus atau unting-unting.
26
4. Kemungkinan adanya azimut langsung.
Bila mungkin, stasiun poligon harus ditempatkan
sedemikian rupa, sehingga azimut langsung dapat diambil
untuk mengecek pekerjaan
5. Dekat objek permanen
Ini bertujuan agar mudah ditemukan pada waktu
mendatang, dengan mengukurnya dari objek tersebut.
Contoh didekatkan pada tiang listrik, pohon dan lain
sebagainya.
Soal:
Selesaikan hitungan poligon terbuka pada gambar berikut:
Gambar 15: Contoh Poligon Terbuka Bebas
27
28
2. Poligon Tertutup
GPS
Gambar 16. Poligon Tertutup
Poligon tertutup adalah poligon yang mempunyai titik
awal dan akhir yang sama pada suatu titik. Poligon ini
merupakan poligon yang paling disukai dan paling banyak dipakai
di lapangan karena tidak membutuhkan titik ikat yang banyak
yang memang sulit didapatkan di lapangan. Meskipun demikian,
hasil ukurannya cukup terkontrol. Tujuan pengukuran poligon
tertutup adalah untuk menentukan titik koordinat titik yang
diukur di dalam poligon tertutup ini adalah sudut dan jarak.
Gambar 17: Poligon Tertutup Sudut Dalam
Poligon tertutup sudut dalam seperti gambar di atas
mempunyai rumus: ( n – 2 ) x 1800
29
Keterangan gambar:
β = besarnya sudut.
α12 = azimut awal.
X1;Y1 = koordinat titik A.
N = jumlah titik sudut.
d23 = jarak antara titik 2 dan titik 3
Gambar 18. Poligon Tertutup Sudut Luar
(Sumber. http:polygon-pemetaan.com)
Poligon tertutup sudut luar ini mempunyai rumus: (n + 2 ) x 180
Keterangan gambar:
β = besarnya sudut.
α12 = azimut awal.
n = jumlah titik sudut.
d23 = jarak antara titik 2 dan titik 3.
Karena bentuknya tertutup, akan terbentuk segi banyak
atau segi n, dengan n adalah banyaknya titik poligon. Oleh
karenanya, syarat-syarat geometris dari poligon tertutup adalah:
30
a. Syarat sudut:
ß = (n-2) . 180O, apabila sudut dalam
ß = (n+2) . 180O, apabila sudut luar
Syarat absis
Adapun prosedur perhitungannya sama dengan prosedur
perhitungan pada poligon terikat sempurna. (Catatan: Pada
poligon terikat sepihak dan poligon terbuka tanpa ikatan, syarat-
syarat geometris tersebut tidak dapat diberlakukan di sini. Hal ini
mengakibatkan posisinya sangat lemah karena tidak adanya
kontrol pengukuran dan kontrol perhitungan. Jadi, sebaiknya
poligon semacam ini dihindari). Posisi titik-titik poligon yang
ditentukan dengan cara menghitung koordinat-koordinatnya
dinamakan penyelesaian secara numeris atau poligon hitungan.
Poligon tertutup mempunyai syarat geometris yaitu:
1. Si = (n-2) 1800 sudut dalam
2. Si = (n+2) 1800 sudut luar
3. d Sin = 0
4. d Cos = 0
Prinsip-prinsip pelaksanaan dan perhitungan poligon:
a. Pengukuran dilakukan dengan sudut seri rangkap
(bidikan biasa + luar biasa)/2
b. Tidak dianjurkan pengukuran lompat kijang, agar bisa
mengontrol kesalahan pada setiap titik.
31
c. Azimut utara/hanya ditentukan pada titik awal
pengukuran
d. Perhitungan poligon mempergunakan koreksi sudut:
1) Kalau pengukuran searah jarum jam didapat sudut
luar, koreksinya:
jumlah sudut = (n+2) 180
2) Kalau pengukuran berlawanan arah jarum jam
didapatkan sudut dalam, koreksinya:
jumlah = (n-2) 180
B. AZIMUT MUKA DAN BELAKANG
Sudut azimut adalah sudut yang dibentuk dari sudut arah
utara magnit. Sudut azimut ini dipergunakan sebagai dasar untuk
menghitung koordinat-koordinat suatu titik poligon. Sudut
azimut dalam pengukuran saling berkaitan antara muka dan
belakang serta antara titik satu dan titik lainnya, seperti yang
tertera pada gambar di bawah ini.
Sudut azimut awal (P1) ditentukan dengan kompas, tetapi
sudut azimut belakang P2P1 dapat dihitung berdasarkan sudut
azimut muka yaitu:
32
P2P1 +1800
Utara
P1P2
Sudut azimut muka
P1
P2P1
P2
Sudut azimut belakang
Dari gambar di atas bisa diandaikan bahwa pengamat
beridiri di stasiun P1, maka akan melihat besar sudut azimut
sebesar P1P2 . Jika kemudian pengamat berdiri di stasiun P2
dan melihat ke stasiun P1, arah P2P1 ini yang disebut dengan
azimut belakang. Nilai sudutnya adalah sudut yang diukur dari
arah utara searah perputaran jarum jam, sampai pada garis BA
seperti dijelaskan pada gambar dan rumus di atas.
33
C. PENENTUAN KOORDINAT POLIGON SECARA
UMUM
Rumus umum penentuan koordinat suatu titik misal titik B
yang diukur dari titik A seperti terlihat pada gambar di bawah ini
adalah:
XB = XA + d1-2 sin 1-2
YB = YA + d1-2cos 1-2
absis X = d sin
(X2 ; Y2)
ordinat y = d cos d
α
A
CD
(X1 ; Y1
D
Gambar 20. Koordinat dalam Ilmu Ukur Tanah
Keterangan:
= Sudut azimut (sudut yang dibentuk dari arah utara)
d = Jarak pengukuran yang didapatkan melalui bacaan rambu
atau pengukuran langsung
A = Titik awal
B = Posisi yang akan dicari
34
1. Menentukan posisi Koordinat B:
X2 = X1 + d sin
Y2 = Y1 + d cos
Maka posisi titik B (X2 ; Y2 ) dapat ditentukan terhadap
koordinat A (X1 ; Y1 ).
Contoh:
1. Koordinat Titik A (0.00; 0.00) bacaan rambu (baak ukur)
belakang B adalah:
Ba: 1465 Kontrol = Ba Bb Bt
Bt: 1340 2
Bb: 1215
BT hitung = 14651215 1340mm ( BT rambu= 1,34 m)
2
Sudut Horizontal hasil pembacaan adalah 56o30o.
Tentukan posisi horizontal dari titik P tersebut, jika koordinat
titik A (10.00; 08.00)!
Jawab: = (Bb – Ba) x 100
Jarak Optis = (1465 – 1215) x 100
= 25000 mm = 25 m
Menghitung koordinat P
Absis P = absis A + dsin 56o30o
= 10,00 + 25 sin 56o30o
= 30,847 m
35
Oordinat P = ordinat A + d cos 56o30o
= 8,00 + 25 cos 56o30o
= 21,798 m
Jadi, koordinat P (30,847 ; 21,798)
Untuk menyelesaiakan titik-titik poligon berangkai seperti
poligon tertutup, ataupun poligon terbuka, prinsipnya sama
dengan penyelesaian poligon seperti di atas.
Contoh penyelesaian:
Poligon Tertutup jenis Kerangka Dasar pemetaan
1. Diketahui kerangka dasar pengukuran lahan dengan cara
poligon tertutup, jenis poligon teodolit (bukan lompat
kijang), diukur berlawanan arah jarum jam seperti tergambar
di bawah ini:
Utara P4
P1
P3
Arah P2
pengukuran
Gambar 21. Pengukuran Kerangka Horizontal
36
Tabel 5. Contoh Hasil Pengukuran Sudut Horizontal
Sudut Sudut terukur Keterangan
Sudut Azimut ( )
P1P5
P1 440 25’ 30” Jumlah sudut terukur menurut teori
P2 adalah:
P3 84o50’45” (n-2)x180 = 540
P4 135o55’32” (Ingat pengukuran dilakukan
P5 93o20’30” berlawanan jarum jam, sehingga
105o55’28” mendapatkan sudut dalam)
Jumlah sudut 119o12o35o Sudut azimut
terukur 539o14’50” P1P2 = αP1P2 +βP1 = 129o16’ 15”
Carilah sudut azimut masing-masing titik!
Hitunglah besar sudut jurusan setelah koreksi.
Jawab:Penyelesaian sudut azimut tiap titik
Titik P1 P5
Utara
P1P2 P2
P1 P2P3
Utara
P2
P2P3
Gambar 22. Cara Menentukan Sudut Azimut Suatu Titik Poligon
37
Titik P4 Utara
P3P4 P4P3
P4P5 P4
P3
Gambar 23. Cara Menentukan Sudut Azimut Suatu Titik Poligon
Titik P3
Utara
P3P4
P2P3
P3
P2
P3P2
Gambar 24. Cara Menentukan Sudut Azimut Suatu Titik Poligon
38
Tabel 6. Perhitungan sudut azimut (α)
39
Cara menentukan sudut azimut:
P5
Utara
P4
P1
P3
P2
Gambar 25. Cara Menentukan Sudut Azimut Suatu Titik Poligon
Untuk menghitung koordinat setiap sisi poligon, kita
membuat koordinat pada setiap sisi poligon. Dengan
melanjutkan hasil perhitungan poligon di atas, misalnya untuk
menghitung sisi koordinat P1 P2 (lihat gambar), panjang sisi
dimisalkan 32 m, sudut azimut sudah dihitung dari pembahasan
di atas yaitu 132o 16’ 15”. Perhatikan gambar lebih detail di
bawah ini.
Perjanjian tanda untuk koordinat:
Panah kekanan positif (+)
Panah kekiri negatif (-)
Panah ke atas positif (+)
Panah ke bawah negatif (-)
40
Sudut tumpul 132o 16’15” bisa diganti dengan sudut lancip
(180o–132o16’15”) = 47o43”45’. Arahnya ke bawah sehingga
hasilnya negatif (-).
Hitungan koordinat:
XP2 = d sin αP1P2 = 32 sin 47o43’45” =
YP2 = d cos αP1P2 = 32 cos 47o43’45” =
Gambar 26. Cara Menentukan Sudut Azimut Suatu Titik Poligon
41
Gambar 27. Cara Menentukan Sudut Azimut Suatu Titik Poligon
Pengubahan azimut lingkaran utuh ke azimut kuadran atau
azimut tereduksi dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Bila azimut lingkaran utuh terletak pada kuadran I (0–
90o), nilai azimut kuadrannya memiliki numerik yang
sama dengan sudut azimut.
2. Bila azimut lingkaran utuh terletak pada kuadran II (90o–
180o), azimut kuadrannya adalah (180–azimut lingkaran).
3. Bila azimut lingkaran terletak pada kuadran III (maka
azimut kuadrannya adalah (Azimut lingkaran–180).
4. Bila azimut lingkaran terletak pada kuadran IV (270–
360), azimut kuadrannya adalah (360o – azimut
lingkaran).
42
43
D. KETELITIAN SUDUT HORIZONTAL
Unsur pembentuk garis dari suatu pengukuran adalah
sudut dan jarak. Oleh karenanya, pengukuran ketelitian juga
dilakukan terhadap sudut dan jarak. Pada poligon tertutup atau
terikat sempurna ketika jumlah sudut pengukuran horizontal
sudah tertentu dan juga D sin α dan D cos α sudah tertentu,
tingkat ketelitian poligon didasarkan pada besarnya kesalahan
penutup sudut dan jarak.
Tabel 8. Ketelitian Pengukuran Sudut Horizontal
n = tempat berdiri alat
1. Pelaksanaan Pengukuran Teodolit Kerja
Pelaksanaan pengukuran teodolit idealnya dilaksanakan 4
personil yang memiliki tugas-tugas sebagai berikut:
- Orang ke 1 bertugas memilih stasiun yang cocok,
- Orang ke 2 bertugas untuk mengoperasikan/setting alat
- Orang ke 3 bertugas membuat sketsa dan mencatat hasil
pengukuran
- Orang ke 4 bertugas untuk mensetting baak ukur/ target.
44
2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemilihan Stasiun
Pekerjaan awal dari pemetaan adalah menyurvei lokasi
untuk menempatkan stasiun yang paling cocok. Stasiun harus
cukup permanen dengan menempatkan patok-patok kayu atau
patok beton. Apabila titik stasiun harus diletakkan pada
permukaan jalan, paku tersebut harus ditancapkan sampai ke
permukaan dan diberi lingkaran cat agar mudah diingat.
Faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan stasiun adalah:
a. Usahakan memilih tempat pengukuran yang mudah,
misalkan jalan raya, rel kereta api, dan hindari
melakukan pengukuran pada rerumputan yang tinggi
atau semak-semak, di atas tanah yang bergelombang,
tumpukan sampah dan lain-lain.
b. Hindari pengukuran garis pendek karena kesalahan akan
menjadi lebih besar dibandingkan dengan garis panjang
untuk kesalahan sudut angular yang sama.
c. Usahakan dapat membidik patok yang sebenarnya,
karena pembidikan pada baak ukur akan terjadi
kesalahan akibat tidak tegaknya baak ukur.
d. Usahakan dapat membidik azimut langsung agar segera
bisa di cek kesalahan pengukuran yang terjadi.
e. Usahakan menempatkan stasiun pada objek permanen
seperti tiang listrik, pojok bangunan, dan lain-lain agar
mudah ditandai.
45
3. Ketelitian dan Kesalahan Pengukuran
a. Akurasi dan Presisi
Akurasi menyatakan seberapa dekat nilai hasil pengukuran
dengan nilai sebenarnya (true value) atau nilai yang dianggap
benar (accepted value). Jika tidak ada data sebenarnya atau nilai
yang dianggap benar tersebut, tidak mungkin untuk menentukan
berapa akurasi pengukuran tersebut.
Presisi menyatakan seberapa dekat nilai hasil dua kali atau
lebih pengulangan pengukuran. Semakin dekat nilai-nilai hasil
pengulangan pengukuran, semakin presisi pengukuran tersebut.
Gambar 28. Akurasi dan Presisi Gambar di samping
menunjukkan beberapa kali
pengamatan dan masing-
masing gambar menunjuk-
kan:
a. Presisi dan akurasi
tinggi.
b. Presisi rendah,
akurasi tinggi
c. Presisi tinggi,
akurasi rendah
d. Presisi dan akurasi
b. Kesalahan dalam Pengukuran
Dalam pekerjaan survei dan pemetaan, terutama pada
penggunaan alat teodolit, sering terjadi kesalahan-kesalahan
yang menyebabkan hasil pengukuran menjadi tidak valid atau
blunder. Kesalahan-kesalahan tersebut harus dipahami dan
46
dikenali sebelum melakukan pekerjaan pengukuran (Survei dan
Pemetaan).
1. Kesalahan Sistematis (Instrument Error)
Kesalahan sistematis adalah kesalahan pengamatan yang
disebabkan karena oleh faktor instrumen pengukuran. Kesalahan
sistematik akan berdampak pada akurasi pengukuran. Jika
kesalahan sistematik terjadi, akurasi pengukuran tidak dapat
ditingkatkan dengan melakukan pengulangan pengukuran.
Sumber kesalahan sistematik terjadi karena instrumen
pengukuran tidak terkalibrasi terlebih dahulu atau kesalahan
pembacaan seperti edm error. Kesalahan alat dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kesalahan Alat Ukur
Kesalahan pada alat ukur sudut terdiri dari:
1) Kesalahan alat ukur sudut sendiri
a) Kesalahan sudut kolimasi atau kesalahan bacaan
sudut horizontal. Kesalahan ini bisa dihilangkan
dengan cara mengukur sudut dengan posisi teropong
biasa dan luar biasa dan hasil ukurannya dirata-rata.
b) Kesalahan sumbu horizontal disebabkan sumbu hori-
zontal tidak tegak lurus sumbu vertikal. Kesalahan ini
bisa dihilangkan dengan cara mengukur sudut
dengan posisi teropong biasa dan luar biasa lalu hasil
ukurannya dirata-rata.
c) Kesalahan sumbu vertikal disebabkan sumbu vertikal
tidak berimpit dengan arah garis vertikal. Kesalahan
ini dieliminernya dengan cara berhati-hati, terutama
pada pembacaan sudut vertikal yang sudut
elevasinya besar.
d) Kesalahan eksentris disebabkan sumbu vertikal tidak
berimpit dengan pusat graduasi horizontal.
47
Kesalahan ini bisa dihilangkan dengan cara meng-
ukur sudut dengan posisi teropong biasa dan luar
biasa dan hasil ukurannya dirata-rata.
e) Kesalahan graduasi, kesalahannya bisa dihilangkan
dengan cara merubah lingkaran graduasi pada awal
pembacaan misalnya 00, 900.
b. Kesalahan alat penyipat datar.
1) Kesalahan alat penyipat datar sendiri.
Arah garis visir tidak sejajar sumbu nivo.
2) Kesalahan akibat rambu
a) Rambu tidak tegak.
b) Rambu tidak stabil (karena tempat dudukannya
lunak).
c) Harga nol rambu sudah tidak tepat, harus dikalibrasi.
d) Sambungan rambu tidak tepat, harus dikalibrasi.
e) Graduasi rambu yang tidak teliti, harus dikalibrasi.
3) Alat pengukur jarak
Pengukuran jarak bisa dilaksanakan secara langsung dan
tidak langsung.
c. Kesalahan surveyor
1) Penyetelan instrumen
a) Levelling pengaturan nivo kotak atau nivo tabung
kurang teliti.
b) Centering kurang teliti
c) Paralak optis.
2) Kurang memahami karakteristik alat, perbedaan centring
dengan alat penegak unting-unting, optis, dan sinar
laser.
3) Jarak ke muka ≠ jarak ke belakang.
4) Salah Baca.
5) Salah catat.
48
2. Kesalahan Manusia (Human Error)
Human error adalah kesalahan pada saat pengamatan
yang disebabkan oleh pengamat atau surveyor. Kesalahan ini
diakibatkan karena kurang hari-hati, kelalaian, ketidak-
mengertian terhadap instrumen, atau surveyor tidak
melaksanakan standar operasional prosedur dengan benar yang
telah diberikan.
Beberapa kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan
manusia/personil:
a. Surveyor
1) Kurang memahami karakteristik dan penggunaan alat
ukur.
2) Kurang mahir dalam pelaksanaan penggunaan alat ukur.
3) Prosedur pelaksanaan pengukuran kurang dipahami.
4) Sikap tidak hati-hati, dan tidak teliti
5) Kelelahan fisik, tergesa-gesa.
b. Pembantu lokal
Kurang memahami dalam pelaksanaan penggunaan
alat ukur.
Contoh:
a) Memegang rambu ukur tidak memperhatikan nivo
rambu ukur.
b) Memasang patok tidak tegak
c) Penempatan rambu ukur pada tempat yang lunak.
d) Sikap tidak hati-hati, dan teliti (asal-asalan)
e) Kelelahan fisik
49