Api Berkobar di Karang Sedana
KUSYOTO
BABAD TANAH
LELUHUR
(Api Berkobar di Karang Sedana)
2
Api Berkobar di Karang Sedana
KUSYOTO
BABAD TANAH LELUHUR
(Api Berkobar di Karang Sedana)
Karya : M. Aboed
Penyulih Pustaka : Kusyoto
Editor: Muklas Irwanto Subaktiar
Tata Letak: JSi Studio
Dsign Cover : Haryoko
ISBN. 978.623.6085.94.3
Diterbitkan Oleh:
CV. Jendela Sastra Indonesia Press
Email. [email protected]
Website. Jsipress.blogspot.com
Facebok. Penerbit JSI
Instagram. @penerbitjsi
Dusun Pulo Rejo. Rt.05. Rw. 01 desa
Suko Anyar Cerme, Gresik. 61171
Cetakan pertama, Juli 2021
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All right reserved
3
Api Berkobar di Karang Sedana
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puja dan puji syukur ke hadirat Illahi Robi atas
nikmat yang tiada kira tercurahkan pada kita semua sebagai
mahluknya yang berbudaya dan atas kehendak rahmat, inayah dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan sulih suara menjadi
sulih pustaka dalam novel adaptasi sandiwara radio hingga dapat
dinimati oleh sobat-sobat pecinta sejarah masa silam, terimakasih tak
terhingga penulis haturkan pada keluarga, istri terkasih, Unarih
Tarahman, anak-anak tercinta, Panji Gumilang, Adistya Ramadhani,
kalian sumber inspirasi tanpa batas dalam mengarungi bahasa sunyi
yang selama ini penulis geluti. Akhirul kalam, simaklah suguhan
pagelaran dalam bentuk novel yang kaya akan makna kehidupan, sarat
pesan tersembunyi, simbol-simbol kehidupan tidak terlepas dari
sentuhan dingin sang pemilik jagat, pengatur sekenario kehidupan nan
indah.
Wassalam.
Indramayu, 2021
4
Api Berkobar di Karang Sedana
Daftar Isi
Kata Pengantar............................................................................ 3
Daftar Isi ..................................................................................... 4
Api Berkobar di Karang Sedana ................................................. 7
Tentang Penulis .......................................................................... 174
5
Api Berkobar di Karang Sedana
Blurb/teks belakang
API BERKOBAR DI KARANG SEDANA
Keraton karang Sedana jatuh akibat penghianatan ki Dalem
Sentana penasihat raja yang mengkudeta Prabu Aji Konda. Permaisuri
dan putra mahkota lolos. Pada saat kritis sang raja diselamatkan sosok
misterius sedang Kelompok Ning Sewu yang ditugaskan eyang resi
Wanayasa untuk mengamankan kerusuhan terpencar menjadi buronan
ki Dalem Sentana penguasa baru Karang Sedana.
Kelompok Ning Sewu berhasil menyelamatkan permaisuri
dan putra mahkota dari cengkraman ki Dandung Amoksa kaki tangan
pemberontak. Dalam perjalan menuju padepokan goa larang putra
mahkota mendapat bantuan kelompok pengemis tongkat merah,
setibanya di padepokan goa larang raden Purbaya putra mahkota
Karang Sedana yang tersingkir menjadi murid padepokan goa larang
dan di tempat itu pula ia bertemu dengan Raden Karmapala putra
Prabu Sanna dari selir yang dikirim ayahandanya belajar di padepokan
goa larang.
Bagaimana kisah selanjutnya? Simak dan jadilah saksi satu
ketika apa yang kita lakukan tidak selamanya memerlukan sebuah
alasan.
Selamat membaca.
6
Api Berkobar di Karang Sedana
7
Api Berkobar di Karang Sedana
Api Berkobar Di Karang Sedana
Pada akhir abad ke tujuh, tidak jauh dari perbatasan Kerajaan
Mataram Hindu dan Galuh Pakuan tepatnya di lereng Gunung Ciremai
berdirilah Kerajaan kecil bernama Karang Sedana.
Karang Sedana merupakan negeri subur makmur, akibat
musim kemarau berkepanjangan terjadilah masa paceklik hebat,
kekeringan melanda seluruh bagian Kerajaan Karang Sedana, huru-
hara dan segala macam tindak kejahatan terjadi di mana-mana.
Hampir tiap hari para perampok menyatroni desa-desa di
kaki gunung Ciremai, membuat onar dan keributan, menjarah harta
benda penduduk, merampas ternak, dan tidak segan membunuh
siapapun menghalangi bahkan wanita tua yang kukuh
mempertahankan kambing tewas sia-sia di tangan para perampok
kejam tersebut. Puas menguras harta benda dibakarlah perkampungan
tersebut rata dengan tanah.
Prabu Aji Konda, raja kerajaan Karang Sedana mengirim
utusan ke padepokan goa Larang minta bantuan Resi Wanayasa
menanggulangi huru-hara yang melanda negrinya.
Resi Wanayasa sejatinya seorang Pangeran Kerajaan Galuh,
anak ke dua Maharaja Galuh Prabu Wretikandayun putra Raja
Kandiawan, putra Raja Suraliman, putra Raja Maha Guru Manikmaya.
Dari garis ibu, buyutnya raja Maharesiguru Manikmaya adalah
menantu Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-
561 M)
Pramesuari Dewi Candrarasmi putri Resi Makandria
Permaisuri Kerajaan Galuh, dari hasil pernikahanya dengan Prabu
Wretikandayun melahirkan 3 orang putra, yaitu:
1. Sang Jatmika, Rahyang Sempakwaja, Resiguru Galunggung,
lahir tahun 542 Caka, 639 Masehi.
2. Sang Jantaka, Rahyang Kidul, Rahyang Wanayasa, Resiguru
Denuh (sekarang masuk wilayah Kampung Daracana, Desa
Cikuya, Kecamatan Cilumega, Tasikmalaya Selatan) lahir
tahun 544 Caka, 641 Masehi.
3. Sang Jalantara, Rahyang Mandiminyak, putra mahkota
Kerajaan Galuh, lahir tahun 546 Caka, 643 Masehi.
8
Api Berkobar di Karang Sedana
Sang Jatmika, Rahyang Sempakwaja adalah nama panggilan,
nama kecilnya tidak diketahui. Disebut Sempakwaja karena ia
ompong alias tidak bergigi (empak=ompong, waja=gigi) semantara
Sang Jantaka, Rahyang Wanayasa atau Eyang Resi Wanayasa
menderita kamir atau hernia, kala itu sejenis penyakit yang belum bisa
disembuhkan. Karena keduanya tidak sempurna maka baik Rahyang
Sempakwaja maupun Rahyang Wanayasa tidak memungkinkan
menjadi pengganti Prabu Wretikandayun.
Rahyang Sempakwaja menjadi Raja Resi Galunggung dengan
gelar Batara Danghyang Guru, sedangkan Rahyang Wanayasa
menjadi Resiguru Telaga Denuh mendirikan padepokan goa Larang.
Menurut Carita Parahyangan, pada saat menjadi Resiguru
Galunggung, Rahyang Sempakwaja menikah dengan Pohaci Rababu,
seorang wanita yang dikenal berparas cantik, konon ia berasal dari
Gunung Kendan (dekat Rancaekek, sekarang). Satu ketika Rahyang
Mandiminyak adik Rahyang Sempakwaja, putra mahkota Kerajaan
Galuh mengadakan pesta perjamuam (Utsawakarma) di istananya
yang mengundang adalah ayahnya prabu Wretikandayun, Rahyang
Sempakwaja tidak hadir karena sakit ia diwakili oleh istrinya Pohaci
Rababu.
Kehadiran Pohaci Rababu di istana Galuh menimbulkan
skandal asmara (Smarakarya) dengan Rahyang Mandiminyak, hasil
sekandal itu melahirkan seorang anak laki-laki bernama Senna,
Kerajaan menjadi kisruh namun dapat diredam Rahyang Sempakwaja
dengan memafkan istrinya Pohaci Rababu dan diajak kembali ke
Galunggung, sedangkan si kecil Senna diserahkan pada Rahyang
Mandiminyak, ketika dewasa mengantikan ayahnya menjadi Raja
Kerajaan Galuh bergelar Prabu Sanna atau Prabu Bratasenawa. Dalam
pusaran waktu itulah kisah Babad Tanah Leluhur dari tanah pasundan
ini bermula.
-o0o-
Hari masih terang-terang tanah ketika Eyang Resi Wanayasa
mengumpulkan keempat murid utamanya, yakni : Seta Keling,
seorang pemuda mapan dalam bersikap, cerdik dan ulet, umurnya 27
tahun. Dampu Awuk, seorang pemuda bertubuh tinggi besar, kasar,
pemarah, akan tetapi berjiwa bersih dan jujur, usianya 21 tahun. Saka
9
Api Berkobar di Karang Sedana
Palwaguna, berwajah tampan, romantis, berusia 23 tahun dan Dewi
Anting Wulan, gadis lincah periang, manja terutama pada ketiga
kakak seperguruannya, usia gadis manis itu sekitar 18 tahun.
“Anak-anakku, duduklah dengan tenang dan dengarkan
semua wejangan sepuh dari ku ini,” kata Eyang Resi Wanayasa,
bersila di atas sebongkah batu granit datar berbentuk segi empat.
“Baik, eyang,” ujar keempatnya takjim.
“Wahai anak-anakku, dalam mengarungi kehidupan, sebagai
mahluk lemah dan fana kita perlu diingatkan, bahkan harus sengaja
mengingatkan diri kita sendiri. Tujuannya agar tidak mudah
tergelincir dalam kesalahan juga kesesatan. Dan seandainya kita mau
terus bersikap mawas diri dan introspeksi diri, maka keselamatan dan
kebahagiaan bisa didapatkan, di dunia ataupun di Nirwana nanti.”
“Anak-anak ku, hidup ini adalah perjalanan, dan perjalanan
itu dimulai dari diri kita sendiri. Diri kita sendiri bermula dari diri
yang ada di dalam diri. Temukanlah hakekat tersembunyi darinya.
Karena alam semesta beserta keindahan dan keganjilannya itu
hanyalah sebagai saksi pencarian. Sedangkan kehidupan ini adalah
jalan untuk meraih kehidupan yang hakiki. Maka tenangkanlah hatimu
dari urusan kehendak. Sebelum bisa meraih kedamaian, kenalilah
dewata agung mu lebih jelas dengan mengenal diri sejatimu dulu
dengan benar.”
Eyang Resi Wanayasa hentikan sejenak kalimatnya,
dihirupnya udara sekitar padepokan goa Larang dengan lembut
kemudian menghembuskannya perlahan-lahan, setelah tiga kali
mengulangi hal sama, Eyang Resi Wanayasa kembali meneruskan
wejangan sepuhnya.
“Anak-anakku, pergilah kemana cinta mamanggilmu, tetap
waspada! Karena ujiannya akan terasa berat dan menyiksa. Kalian
harus tekun dan sabar diri. Jika tidak, maka nasib buruk dan
penyesalan besar akan terus kalian rasakan.”
“Sepertinya Anting Wulan ingin menayakan sesuatu?” kata
Eyang Resi Wanayasa mana kala gadis manis itu terlihat gelisah di
tempat duduknya.
10
Api Berkobar di Karang Sedana
“Maap eyang, mohon jelaskan pada kami tentang arti cinta?
Mengapa ia begitu hebat, hingga tak ada yang mampu
menghindarinya.”
“Wulan, apakah kau sedang jatuh cinta?” sela Seta Keling.
“Ah kakang Seta,” ujar Anting Wulan dengan wajah merah
saga disambut gelak tawa kedua kakak seperguruannya.
“Maapkan kami eyang,” kata Seta Keling, Eyang Resi
Wanayasa tersenyum arif, beliau paham betul dengan sifat murid-
muridnya tersebut.
“Anak-anakku, terutama kau Wulan, cinta itu adalah cinta.
Dan hanya bisa dipahami oleh cinta sejati.”
“Lantas apa arti cinta sejati itu eyang?”
“Wulan, jika engkau bertanya tentang arti cinta sejati, itu
sangatlah luas maknanya hanya sebagian saja yang bisa dijelaskan,
dan dari yang sedikit itu, lebih bisa dipahami, salah satunya dengan
cara membangkitkan energi sang hyang batara agung yang ada di
dalam dirimu.”
Mendengar jawaban itu, Anting Wulan semakin penasaran
dan meminta Eyang Resi Wanayasa untuk menjelaskan tentang energi
sang hyang batara agung.
“Wahai anakku Wulan, energi sang hyang batara agung itu
adalah samudra luas dalam dirimu, yang bisa mengamuk atau
menenangkan tanpa ada yang mampu menghalanginya, kemampuan
ini akan mengumpulkan sungai-sungai mengalir tenang dari langit
memberikan kehidupan istimewa di bumi. Nah anak-anakku, itulah
wejangan sepuh yang harus kalian ingat baik-baik.”
“Baik eyang resi….”
“Anak-anakku, ketahuilah kemarin utusan dari Kerajan
Karang Sedana meminta ku mengatasi kemelut yang tengah melanda
kerajaan kecil di kaki gunung Ciremai itu, maka dari itu aku
mengutus kalian berempat membantu Prabu Aji Konda.”
“Apa yang harus kami lakukan untuk Karang Sedana, eyang
Resi?” kata Dampu Awuk.
“Kekeringan, paceklik menimbulkan banyak sekali
kejahatan, adakan pengamanan di sana.”
11
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kami siap menjalankan perintah eyang resi,” ujar Saka
Palwaguna.
“Anting wulan….”
“Saya, eyang resi.”
“Kalau tidak terpaksa, jangan menurunkan tangan maut mu,
walau pada penjahat sekalipun tugas kalian hanya mengamankan.”
“Baik, eyang resi.”
“Nah, berangkatlah, jagalah nama baik ‘Ning Sewu’ dan
padepokan goa larang ini, semoga dewata agung selalu bersama
kalian.”
“Baik, eyang resi.”
Setelah melakukan persiapan keempat remaja murid
Padepokan Goa larang itu tampak menunggang kudanya masing-
masing menjalankan perintah gurunya, Resi Wanayasa. Matahari
sepenggalah ketika murid-murid goa larang yang menamakan diri
kelompok Ning Sewu sampai di desa Banyu Anyar, sebuah desa
terletak di sebelah tenggara kaki Gunung Ciremai, desa indah yang
semula aman damai itu kini porak-poranda, sisa kebakaran masih
mengepulkan asap tipis membubung ke udara, dari Ki Waranggana,
kepala desa Banyu Anyar diperoleh keterangan kejadian yang
menimpa desanya akibat ulah para perampok yang meresahkan para
penduduk desa.
“Mereka sangat kejam raden, bahkan terhadap nyai Sumarti,
wanita tua yang mempertahankan kambing miliknya itu tewas sia-sia,
setelah puas merampok mereka membakar desa kami,” menerangkan
ki Waranggana.
“Biadab, aku harus memberi pelajaran pada perampok itu,”
sungut Dampu Awuk geram.
“Ke arah mana para perampok itu pergi aki?” kata Anting
Wulan.
“Utara.”
“Baiklah, kalau begitu adik Wulan bersama adik Saka ikut
dengan ku menyelidiki sarang mereka, sedang adik Awuk untuk
sementara tinggal di Banyu Anyar membantu Ki Warangana.”
“Tapi kakang Seta, aku ingin sekali memberi pelajaran para
perampok biadab itu.”
12
Api Berkobar di Karang Sedana
“Tenanglah adik Awuk, bagian mu akan tiba.”
“Hehh…, baiklah kakang Seta.”
“Nah, adik Wulan, adik Saka, mari kita berangkat.”
“Baik kakang Seta,” ujar Saka Palwaguna dan Anting Wulan.
“Tunggulah kami di sini adik Awuk,” kata Seta Keling,
dijawab anggukan lemah Dampu Awuk.
Seta Keling diikuti kedua adik seperguruannya Saka
Palwaguna dan Anting Wulan meningalkan Dampu Awuk yang
ditugaskan membantu Ki Waranggana mengubur jasad beberapa
penduduk desa Banyu Anyar. Hari menjelang malam ketika tiga murid
padepokan goa larang sampai di sebuah hutan perbukitan.
“Malam ini kita menginap di sini, adik Saka tolong buat
perapian.”
“Baik kakang Seta.”
Malam semakin larut, tiga remaja Ning Sewu itupun terbuai
dalam dekapan malam, keesokan harinya, mereka meneruskan
perjalannan, ketika sampai di sebuah hutan kecil, Seta Keling hentikan
kuda tungganyannya.
“Kakang Seta kenapa berhenti?”
“Adik Saka, adik Wulan, kita istirahat sejenak di sini.”
“Baiklah kakang Seta.”
“Kakang Seta, kakang Saka, bagaimana kalau kita
berlomba.”
“Berlomba, maksud mu adik Wulan?”
“Iyah, kita berlomba siapa yang duluan mendapatkan hewan
buruan untuk makanan kita.”
“Kau ini ada-ada saja, adik Wulan, tapi baiklah,” ujar Saka
Palwaguna.
“Aku ke sebelah sana kakang Saka, kakang Seta,” kata gadis
manis itu lalu berkelebat cepat meninggalkan kedua kakak
seperguruannya.
“Berhati-hatilah adik Wulan,” kata Seta Keling.
“Marilah kakang Seta kita jangan sampai kalah dengan adik
Wulan,” sela Saka Palwaguna bersiap jejakkan kakinya ke tanah.
“Tunggu adik Saka.”
“Ada apa kakang Seta?”
13
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kenapa harus bersusah-susah, gunakan saja aji empat arah
pembeda gerak.”
Saka Palwaguna tersenyum penuh arti, keduanya lalu duduk
bersila menutup kedua telinga masing-masing, setelah dirasa yakin
mereka berkelebat cepat diantara rumpun perdu. Semantara itu Anting
Wulan yang lebih dulu meninggalkan kakak-kakak sepergurunnya
terlihat mengendap-endap diantar semak belukar, matanya melihat
satu gerakan mencurigakan dari rumpun gelagah, gadis manis lincah
itu mengerejapkan mata ketika satu sosok putih muncul dari semak
perdu.
“Hemm, seekor kelinci, ahh…, aku harus mendapatkan
terlebih dahulu dari kakang Seta dan kakang Saka,” kata gadis manis
itu sembari mendekati kelinci gemuk yang sedang mencari makan.
“Diam…, diam ya manis ya, sebentar lagi kau membuat
pahala besar, menolong kami yang sedang lapar, jika mati kelak
masuk nirwana,” gumam gadis lincah ini sembari merentangkan
kedua tangannya.
“Aku terlebih dahulu mendapatkannya,” gumam Anting
Wulan setelah berhasil menangkap hewan buruanya ia segera
melenting, melompat tinggi dan berputar di udara.
“Hihihi…, kakang Saka, kakang Seta, aku berhasil
mengalahkan kalian, aku berhasil menangkap kelinci ini…!” teriak
Anting Wulan kegirangan lalu melesat menemui kakak
seperguruannya.
“Kakang Seta…, kakang Saka…, di mana kalian…!”
“Aku di sini Wulan.”
“Kakang Seta, aku menang, aku berhasil,” kata gadis manis
itu sumringgah sembari memperlihatkan kelinci gemuk dalam
genggaman tangan kanannya.
“Ehh, bantu kami menguliti hewan ini Wulan,” kata Seta
Keling membuat gadis manis itu tertegun beberapa kejap.
“Kenapa bengong, ayo bantu kami menyiapkan perapian,”
sela Saka Palwaguna yang sibuk bembuat perapian dari ranting dan
dedaunan kering, menggunakan pemantik dari batu api, perapian itu
pun siap sudah.
14
Api Berkobar di Karang Sedana
“Huh…,curang, bagaimana kalian bisa mengetahui di sekitar
sini ada hewan seperti itu dengan waktu cepat, pasti kalian sudah
menyiapkan kambing kecil ini,” kata Anting Wulan bersungut-sungut.
“Bagaiman mungkin kami mempersiapkan hewan ini,
sedangkan usul berburu dari mu sendiri,” sela Raden Saka Palwaguna.
“Iya, tapi bagaimana caranya kalian mendapatkan hewan
dengan cepat?”
“Ah, adik Saka.”
“Iya kakang.”
“Ceritakanlah bagaimana kita mendapatkan hewan ini
dengan cepat.”
“Adik Wulan, ketika kami melihat kau melompat, melenting
ke sana ke mari, kami hanya mengetrapkan aji empat arah pembeda
gerak.”
“Aji empat arah pembeda gerak.”
“Iyah, bukankah dengan aji itu kita dapat mendengar desir
angin dari segala arah maupun gerak hewan kecil dari segala arah.”
“Ahh…, kakang curang. Kakang menggunakan ajian untuk
memenangkan lombai.”
“Haha…, adik Wulan, kau pun melompat ke sana ke mari
dengan kidang mamprung,” sela Raden Seta Keling.
“Apakah kidang mamprung yang hebat itu bukan ajian sakti,”
menambahkan Raden Saka Palwaguna.
“Sudahlah adik Wulan, lepaskan saja kelinci itu bakarlah
sendiri bagian mu,” sela Seta Keling.
“Hemm, baiklah….”
Beberapa saat kemudian gadis linacah itu sudah kembali
tertawa riang melupakan semua kekesalan akibat kekalahannya dalam
lomba mencari buruan.
“Kakang Seta ada orang datang,” bisik Anting Wulan.
“Aku tahu, biarkan saja, kita lihat apa mau mereka,” ujar Seta
Keling sambil membolak balik daging pangang di atas perapian, hal
yang sama pun dilakukan Saka Palwaguna, semantara derap ladam
kuda semakin dekat menuju arah mereka bertiga, tidak menungu lama
beberapa penunggang kuda hentikan tunggangannya tepat di hadapan
ketiga remaja murid padepokan goa larang tersebut.
15
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang, agaknya kita menjumpai kelinci-kelinci gemuk,”
kata salah seorang penunggang kuda.
“Hahaha…, bukan saja kelinci gemuk, tapi kelinci-kelinci
bodoh yang tidak mengenal gelagat,” menimpali kawannya. “Lihat
saja mereka tidak menyadari bahaya.”
“Aku sangat berminat dengan daging panggang itu kakang,
bagaimana denganmu?”
“Hahaha…, kakang Ampal pasti lebih berminat dengan
kelinci putih bersih pemakan daging panggang itu, hahaha…”
“Diam kalian semua, apa kalian tidak melihat sikap mereka,
sedikitpun tidak memandang kita, mereka benar-benar menghina
kalian, hajar mereka!”
“Baik kakang Ampal…!” tanpa dikomando dua kali dua
orang yang sedari tadi duduk di pelana kuda sambil tertawa-tawa
melompat turun dari punggung kuda menghampiri ketiga remaja yang
masih tenang-tenang membakar daging panggang.
“Ayoh, tambah lagi adik Wulan, biasanya kau makan sangat
banyak, tidak seperti ini,” kata Seta Keling sambil mengangsurkan
sepotong daging panggang harum pada Anting Wulan.
“Bagaimana aku bisa berselera kakang Seta, jika dikerumuni
anjing-anjing budug seperti ini.”
“Gadis liar, kau bicara apa? cepat berlutut dan minta ampun
pada kakang Ampal,” sentak lelaki berwajah garang.
“Kakang, aku jijik sekali dengan anjing buduk ini.”
“Biasanya anjing paling takut dengan api adik Wulan,” ujar
Saka Palwaguna yang mulai kesal.
“Kakang benar,” secepat kilat Anting Wulan melemparkan
potongan kayu bakar ke arah orang bertampang sangar yang bersiap
menyerangnya, orang itu terkejut ketika sebagian bajunya terbakar.
“Ahhh…, tolong…, tolong kakang,” teriak orang ini
melolong sambil melompat-lompat diantara derai tawa renyah Anting
Wulan.
“Hihihi…, lucu sekali…, lucu sekali kakang, ternyata anjing
budug ini bisa menghiburku kakang,” kata Anting Wulan kegirangan
diantara lolongan kesakitan.
16
Api Berkobar di Karang Sedana
“Ini aku hadiahkan tulang-tulang untuk mu,” sela Anting
Wulan kemudian lemparkan potongan tulang tepat mengenai mulut
orang yang masih teriak-teriak kepanasan.
“Puhh…, kurang ajar, kucincang kau perempuan siluman.”
Anak buah perampok yang sudah dipermainkan Anting
Wulan kalap, ia mencabut golok dan tanpa kasihan diayunkan golok
tersebut siap membelah gadis di hadapannya, akan tetapi kali ini
manusia kasar itu kena batunya, Anting Wulan cepat menyambar
ranting kecil dan kibaskan pada sisi golok.
Wuuuttt…!
Trakk…! Golok patah menjadi dua.
“Iblis, setan…, dia, dia adalah gadis iblis kakang Ampal…!”
“Mundur kau, siapa kalian bertiga sebenarnya?” kata kepala
rampok yang kini sudah berdiri satu tombak di hadapan ketiga remaja
murid padepokan goa larang.
“Kakang, agaknya negri ini benar-benar parah, ini korban ke
sebelas dari korban-korban kita,” kata Anting Wulan.
“Adik Wulan, jangan menurunkan tangan maut, ingat pesan
eyang resi, kita hanya diminta untuk mengamankan , membantu
menciptakan keamanan di Karang Sedana,” kata Seta Keling.
“Kurang ajar, kalian memandang rendah pada ku, aku Ampal
Saragih bukanlah anak kemarin sore seperti yang kalian duga,
terimalah ini,” Ampal Saragih menyentak kerikil-kerikil kecil dekat
kakinya dengan kekuatan tenaga dalam miliknya.
“Cukup baik serangan mu Ampal, kau ingin mengajak main
tending-tendangan batu, boleh.”
Anting Wulan, gadis lincah juga amat nakal itu membalasnya
dengan serangan-serangan kerikil beruntun, Ampal Saragih berdiri
tegak menanti datangnya serangan dengan membuka dadanya
membuat puluhan kerikil kecil mental berserabutan.
“Hahah…, serangan mu benar-benar membuat aku geli , ayo
maju ajak kawan-kawan mu yang lain,” kata Ampal Saragih membuat
Anting Wulan hilang kesabaran.
“Jangan tertawa dulu, aku belum mulai,” tandas gadis ini
lantang.
17
Api Berkobar di Karang Sedana
“Adik Wulan, mundurlah biar aku yang melayaninya,” sela
Seta Keling.
“Aku masih bisa mengendalikan diri kakang.”
“Hahaha…, gadis kecil mengapa kau tidak mendengarkan
nasihat kawan mu itu, mundur segera sebelum kulit mu rusak,” dengus
Ampal Saragih.
“Hihihi…, kau tahu siapa yang dikhawatirkan kakakku,
justru kau.”
“Buktikan ucapan mu.”
“Kakang Seta, aku minta izin untuk mencabuti jenggotnya
setelah mematahkan kedua tanganya kakang,” kata Anting Wulan
lantas memutar tubuhnya sedemikian rupa.
“Wulan jangan bunuh orang itu,” sela Seta Keling yang
khawatir ketika Anting Wulan mulai mengetrapkan ajian Kincir Metu,
terlambat putaran tubuh Anting Wulan perlahan mendekati Ampal
Saragih.
“Ayo seranglah aku, atau aku yang akan menutup serangan
mu ini,” teriak Anting Wulan dari dalam putaran cepat tubuhnya.
“Kurang Ajar, kubelah tubuhmu…!”
Dengan membabi buta Ampal Saragih menyerang bayang-
bayang lawannya, golok diayunkan sekenanya kemana dia melihat
putaran dari tubuh lawannya, seranganya hanya mengenai angin saja.
“Cukup. Sekarang terimalah seranganku ini…!” sentak
Anting Wulan, dalam satu gerak tubuh kedua lengan Ampal Saragih
sudah berada dalam cekalannya, golok dalam genggaman mental
entah kemana seiring buyi patahan tulang dan raung kesakitan.
“Cukup adik Wulan,” sela Seta Keling segera memisahkan
keduanya sebelum gadis manis itu bertindak lebih jauh dengan
lawannya.
“Dengar, kami adalah kelompok Ning Sewu, kali ini kami
memberi peringatan tapi lain kali jika kalian masih bertindak liar dan
mengganggu ketentraman umum, kami akan datang mencari dan
mencabut nyawa kalian. Mengerti kalian?” kata Seta Keling.
“Mengerti tuan…,” ujar Ampal Saragih sambil menahan
sakit dikedua lengannya yang patah.
18
Api Berkobar di Karang Sedana
“Tinggalkan tempat ini, bawa pemimpinmu dan bubarkan
kelompok kalian, dan kau Ampal Saragih, kaulah yang paling
bertanggung jawab jika masih ada anak buahmu melakukan tindak
kejahatan, jadikanlah pelajaran patahnya kedua lengan mu itu,” kata
Seta Keling dijawab anggukan Ampal Saragih dan beberapa anak
buahnya kemudian pergi meninggalkan ketiga murid padepokan goa
larang. “Adik Wulan, eyang resi berpesan khusus padamu, ingatkah
kau?” “Iya kakang Seta, aku tidak boleh menurunkan tangan maut
pada penjahat sekalipun, mengusahakan agar tidak timbul dendam
dari musuh yang kita kalahkan.”
“Bagus adik Wulan.”
“Tapi, pelajaran harus dilakukan pada manusia bejad tadi
kakang, agar mereka menjadi kapok,” gumam Anting Wulan membuat
Seta Keling dan Saka Palwaguna tersenyum.
“Betul adik Wulan, tapi, jika kita menurunkan tangan maut,
itu sama saja dengan mereka,” sela Saka Palwaguna.
“Iyaaaa…, aku tentu saja kalah karena kalian berdua
sedangkan aku sendiri, coba jika ada kakang Dampu Awuk dia pasti
membenarkan sikap ku,” kata Anting Wulan tidak mau kalah.
“Ingat adik Wulan, semua tindak kita tidak lepas dari
padepokan goa larang dan nama eyang resi,” kata Seta Keling.
“Sudahlah kakang Seta, kita kembali ke Banyu Anyar, adik
Dampu Awuk sudah terlalu lama menunggu kita,” sela Saka
Palwaguna menengahi perdebatan yang mulai memanas.
“Ahhh, iyah kau benar adik Saka. Ayolah adik Wulan kita
kembali.”
“Baik kakang.”
“Kita gunakan aji kidang mamprung agar adik Dampu Awuk
tidak terlalu lama menunggu kita,”kata Seta Keling.
“Ayo kakang, kita berlomba ke Banyu Anyar,” sela Anting
Wulan. Ketiga murid padepokan goa larang itu melesat meninggalkan
hutan kecil bagaikan bayangan, ketiganya berkelebat cepat berlari
menuju ke arah timur menuju desa Banyu Anyar. Langkah mereka
terayun cepat seakan melayang tidak menyentuh bumi bahkan
19
Api Berkobar di Karang Sedana
rumpun-rumpun dan semak yang dijadikan pijakan hampir tak
bergoyang, inilah kidang mamprung ilmu lari cepat khas padepokan
goa larang.
“Kakang Seta, adik Wulan sebelah sana, lihat…,” seru Saka
Palwaguna ketika memasuki sebuah kawasan pinggiran desa.
“Sesuatu telah terjadi, ayo kita lihat,” kata Seta Keling
mempercepat larinya.
“Apa yang terjadi di tempat ini,” kata Seta Keling.
“Kakang lihat itu, mayat-mayat ditutupi kain,” sela Anting
Wulan.
“Ahh, apa yang baru saja terjadi di sini,” gumam Saka
Palwaguna. Ketiga murid padepokan goa larang terhenyak ketika
menyaksikan beberapa sosok mayat yang ditutup kain dan seorang
gadis ayu tengah menangisinya, seorang tua paruh baya mendekati
ketiga pendekar ning sewu tersebut.
“Menurut gadis itu ia bersama keluarganya sedang
mengadakan perjalanan ke kota raja Karang Sedana tapi di sini
beberapa saat lalu datang sekelompok orang yang menamakan dirinya
Ning Sewu,” menerangkan orang tua tersebut.
“Ning Sewu…,”
“Iyah mereka menamakan dirinya pendekar Ning Sewu.
Mereka meminta seluruh barang yang dibawa korban, karena tidak
diberikan mereka melakukan perbuatan biadab ini.”
“Jadi mayat-mayat itu…,” sela Anting Wulan.
“Iya, kecuali anak gadisnya, seluruh rombongan itu dibunuh
oleh Ning Sewu yang sesungguhnya perampok bejat…!” kata orang
tua paruh baya.
“Keparat kubunuh kau…!” sentak Anting Wulan membuat
orang tua paruh baya itu terkejut ketika gadis manis yang ada
dihadapannya marah.
“Tahan adik Wulan, tahan emosi mu, jangan mericuhkan
suasana,” kata Saka Palwaguna coba menenangkan emosi adik
seperguruannya tersebut.
“Maapkan adik kami, dia terlalu emosional melihat keadaan
seperti ini,” kata Seta Keling.
20
Api Berkobar di Karang Sedana
“kekejaman yang dibuat kelompok liar itu membuat ia
manjadi lupa diri dan tidak dapat mengendalikan
emosinya,”menambahkan Saka Palwaguna.
“Kakang, aku…,” sela Anting Wulan terbata-bata.
“Ah, kau diamlah adik Wulan, istirahatlah di situ,” kata Seta
Keling mencoba menengahi ketegangan.
“Kenapa anak itu menjadi marah ketika kami mengatakan
rombongan ini dibunuh oleh Ning Sewu, perampok bejad,” sela orang
tua paruh baya membuat darah Anting Wulan kembali mendidih.
“Kurang ajar…!”
“Adik Wulan, ahh…, sudahlah mamang jangan salahkan
dia,” kata Seta keling.
“Kakang, katakana saja pada mereka siapakah kita
sesunguhnya peristiwa ini tidak dapat didiamkan, bukankah gadis itu
dapat dijadikan saksi,” sela Anting Wulan dengan emosi yang tidak
bisa ditahannya.
“Adik Wulan, aku kakang mu, minta dengan sangat agar kau
tidak berbicara dulu saat ini,” kata Seta Keling membuat gadis manis
ini menggertakan rahang menahan marah.
“Eh, permisi mamang. Saya akan bicara dengan gadis itu,”
kata Seta Keling kemudian berjalan menghampiri gadis ayu yang terus
menangisi jasad kedua orang tuanya.
“Apakah kau melihat wajah pembunuh kedua orang tuamu?”
“S.., saya tidak melihat, wajah mereka ditutup cadar.”
“Sekarang apa yang akan kau lakukan dan kemanakah tujuan
mu?”
“Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan.”
“Apakah kau masih punya sanak keluarga?”
“Di kota raja Karang Sedana, tempat tujuan kami, saya masih
memiliki seorang paman dan bibi.”
“Kalau begitu kita kuburkan dahulu mayat keluargamu ini,
nanti bersama kawan-kawan ku akan mengantar menemui
mamangmu,” kata Seta Keling.
“Ehh, tunggu dulu, siapa kalian ini sesungguhnya?” sela
orang tua yang sedari tadi diam. “Sekarang kami justru curiga pada
kalian.”
21
Api Berkobar di Karang Sedana
“Ohh, kami adalah tiga orang sahabat yang sedang
mengadakan perjalanan darmawisata,” menerangkan Seta Keling.
“Hmm, tidak…, kami tidak peraya pada kalian. Sikap kalian
terutama sikap teman wanita kalian itu tidak dapat menyembunyikan
kekotoran niat kalian, segera tinggalkan tempat ini sebelum kami
menangkap kalian,” kata salah seorang penduduk.
“Yah pergi saja kalian, biar kami mengurusi wanita ini,”
tambah yang lain.
Ketika para penduduk yang berada di pinggir desa itu mulai
beringas, Anting Wulan tidak bisa menahan diri lagi, tetapi karena dia
segan pada Seta Keling kakak seperguruannya, ia melampiaskan
amarahnya pada pohon besar dimana dia bersandar, pohon besar itu
patah dibuatnya. Para penduduk yang semula beringas seketika
berobah sikap tak ubahnya bagai cacing kepanasan.
“Kawan-kawan dan mamang-mamang sekalian, marilah kita
kuburkan mayat-mayat ini segera, apakah kalian bersedia membantu
tugas mulia ini,” kata Seta Keling berusaha mencairkan suasana.
“Baik, kami…, kami bersedia,”ujar beberapa penduduk.
“Ayo segera kita kuburkan,” kata Seta Keling mengajak serta
kedua saudaranya, Anting Wulan dan Saka Palwaguna membantu
penduduk.
Setelah mayat-mayat saudagar itu dikebumikan ketiga remaja
kelompok Ning Sewu bersama gadis dari keluarga korban berpamitan
pada para penduduk, beberapa saat kemudian mereka sudah berada
dalam perjalanan menuju desa Banyu Anyar.
“Kakang Seta, kenapa kakang tidak menjelaskan siapa kita
sebenarnya,” kata Anting Wulan ditengah perjalannya membuat gadis
ayu yang ditolongnya itu tertegun beberapa kejap.
“Eh, tuan siapakah tuan-tuan ini sesungguhnya?” kata sang
gadis ayu yang mulai khawatir.
“Seperti yang dikatakan kakang Seta Keling, kami adalah
tiga orang sahabat yang sedang melakukan perjalanan,” ujar Saka
Palwaguna.
”Saya telah merepotkan tuan dan kawan-kawan tuan,” kata
gadis ayu dengan mimik wajah canggung.
22
Api Berkobar di Karang Sedana
“Tidak adik, tidak sama sekali, hemm bolehkah kami tahu
siapakah nama adik?” kata Saka Palwaguna.
“Intan…, Pandini.”
“Hemm, Intan Pandini…,”gumam Saka Palwaguna.
“Ehh, adik Intan Pandini tidak usah ragu pada kami bertiga,
percayalah kami akan menolong mu meyelesaikan teka-teki
pembunuh keluargamu, pembunuh itu akan kami temukan,”
menambahkan Saka Palwaguna.
“Terimakasih…, terimakasih tuan, saya percaya tuan akan
dapat melakukanya, saya dapat melihat apa yang dapat dilakukan
kawan tuan itu,” kata Intan Pandini.
“Oh iya,dia itu adik kami termuda, namanya Anting Wulan,
dan disebelahnya adalah kakang Seta Keling,” menerangkan Saka
Palwaguna.
”Ehh, ayolah kita lanjutkan perjalanan,” sela Seta Keling.
“Maap tuan, apakah arah perjalanan kita tidak salah, eh…,
kota raja berada di arah selatan, tapi mengapa kita menuju arah
timur?”kata Intan Pandini yang mulai dihingapi rasa takutnya
kembali.
“Kita akan ke Banyu Anyar dahulu,” sela Anting Wulan
ketus membuat ke dua kakak seperguruanya tertegun beberapa kejap.
“Wulan…,” gumam Saka Palwaguna.
“Yah, kita akan pergi ke Banyu Anyar dahulu,” kata Seta
Keling dijawab anggukan lemah sang gadis ayu dan pandangan rasa
tidak suka Anting Wulan. Tidak menunggu lama keempatnya telah
perjalanan menuju desa Bayu Anyar untuk menjumpai Dampu Awuk,
tidak menunggu lama mereka sudah memasuki perbatasan desa Banyu
Anyar, Dampu Awuk, pemuda gagah tinggi besar dengan kumis dan
cambang lebat tampak menyongsong kedatangan saudara-saudara
seperguruannya.
“Ah, kalian ini terlalu, meninggalkan aku sendirian sejak
kemarin.”
“Apakah di Banyu Anyar terjadi sesuatu, hingga membuat
mu menjadi resah, adi Awuk?”
23
Api Berkobar di Karang Sedana
“Itulah kakang Seta, kalian pastilah enak-enakan bermain-
main dengan perampok-perampok sedangkan aku kesepian di sini,”
ujar Dampu Awuk gusar.
“Oh iya Intan, dia adalah Dampu Awuk adikku, prilakunya
memang agak kasar tapi hatinya sangat baik, baginya penjahat adalah
musuh nomor satu.”
“Kakang Seta, siapakah gadis hijau itu?”
“Adik Awuk, dia adalah Intan Pandini, kedua orang tuanya
dibunuh oleh para perampok.”
“Dibunuh oleh kelompok Ning Sewu,” pungkas Anting
Wulan membuat Dampu Awuk terkesiap beberapa kejap.
“Apa, Ning Sewu…, heh, adik Wulan kau bilang apa, kakang
Saka apa yang telah terjadi?” kata Dampu Awuk sampai pemuda
tinggi besar dengan cambang lebat diwajahnya itu berdiri dari tempat
duduknya.
“Tanyakan saja pada gadis itu,” sela Anting Wulan ketus.
“Kakang Seta, ceritakan, jangan membuat aku menjadi
bingung dan kalap, katakanlah segera kakang,” kata Dampu Awuk
yang mulai tidak sabaran.
“Baiklah, duduklah adik Awuk dan dengarkan cerita kami,”
ujar Seta Keling.
“Iya kakng.”
“Dengar baik-baik adik Awuk, keluarga Intan Pandini
dibunuh oleh kelompok orang bercadar yang mengaku kelompok Ning
Sewu.”
“Hah…, siapakah mereka kakang Seta?”
“Ketika kami datang peristiwa itu sudah terjadi, mereka pasti
akan mengulangi tindakannya, dengan demikian kita lebih mudah
menyelidikinya.”
“Kurang Ajar, aku patahkan leher mereka sekalipun eyang
resi menghalangi ku.”
“Adik Awuk, sadarlah akan ucapan mu,” kata Seta Keling.
“Eh, Intan, ketahuilah kami berempat adalah kelompok yang dikenal
dengan mana Ning Sewu,” kata Seta Keling membuat Intan Pandini
tercekat beberapa kejap.
24
Api Berkobar di Karang Sedana
“Iyah, perampok yang membunuh kedua orang tuamu adalah
orang-orang yang sengaja memfitnah dan merusak nama baik kami,
kami turun dari perguruan justru untuk mengamankan Karang Sedana
dari huru hara dan kekacauan yang terjadi, rupanya mereka dendam
pada kami dan berusaha merusak nama baik kami,” menjelaskan Saka
Palwaguna.
“Kakang Seta, lalu apa yang harus kita lakukan pada gadis
ini?”sela Dampu Awuk.
“Mengantarkannya ke sanaknya di kota raja Karang Sedana,
oleh karena itu rencana esok kita robah sedikit, aku dan adik Wulan
tetap ke kota raja melalui daerah barat hutan-hutan di kaki Gunung
Ciremai yang belum pernah dirambah, dan kau adik Awuk bersama
kakang mu Saka mengantarkan Intan Pandini ke rumah sanaknya di
kota raja.”
“Kakang Seta.”
“Ada apa adik Wulan?”
“Mengapa bukan kita saja yang mengantar Intan ke kota raja,
atau kita bersama-sama ke kota raja melalui hutan di kaki Gunung
Ciremai,” sela Anting Wulan.
“Hahah, ada apa adik Wulan? Kenapa tiba-tiba kau takut
pergi bersamaku melalui hutan di kaki Gunungan Ciremai.”
“Bukan begitu kakang Seta, kurasa kakang sebagai orang
tertua diantara kita dan juga orang yang paling bertanggung jawab
dalam kelompok Ning Sewu adalah yang paling tepat untuk
menyerahkan pada keluarga gadis ini.”
“Kukira tidak seperti itu adik Wulan, adik Dampu Awuk
maupun adik Saka pantas untuk melakukan tugas ini, nah istirahatlah
kalian,” pungkas Seta Keling.
Malam bergulir menggantikan siang, di biliknya, Anting
Wulan tidak bisa memejamkan kedua matanya, perasaannya suntuk
dan pikirannya melayang kemana-mana, merasa sumpek gadis manis
itu keluar kamar sekadar mencari angin.
“Ahh, apa yang terjadi pada diriku, aku tiba-tiba menjadi
gelisah dan ketakutan melihat kakang Saka berdekatan dengan Intan
Pandini, ohh…, jagat dewa batara…, apakah, apakah aku mencintai
kakang Saka, saudara seperguruan yang telah saling mengangkat
25
Api Berkobar di Karang Sedana
saudara sedarah, ohh dewata apa yang harus aku lakukan aku benar-
benar ingin memiliki kakang Saka.”
“Adik Wulan, kau kah yang berada di sana…!” sebuah suara
mengagetkan lamuman gadis manis ini.
“Ohh…, kakang Saka.”
“Adik Wulan sedang apa di luar sini?”
“Di dalam bilik udara panas sekali kakang.”
“Hari sudah jauh malam, istirahatlah adik Wulan….”
“Mata ku rasanya belum benar-benar dapat dipejamkan
kakang, kakang tidur saja, sebentar lagi aku masuk ke dalam.”
“Ehhh, adik Wulan apakah kau masih memikirkan orang tua
Intan Pandini?”
“Tidak kakang.”
“Atau barangkali peristiwa siang tadi, hati mu masih
terguncang akibat ulah perampok yang merusak nama baik kelompok
kita?”
“Entahlah kakang, ohh ya kakang.”
“Ada apa adik Wulan?”
“Kasihan sekali gadis itu.”
“Intan Pandini maksud mu?”
“Iyah, Intan Pandini, gadis semanis itu harus merasakan
penderitaan berat dalam masa-masa remajanya.”
“Ahh, iyah…, kasihan sekali Pandini.”
“Kakang Saka….”
“Iyah….”
“Kau mencintainya?”
“Hah…, siapa?”
“Intan Pandini, apakah kau mencintainya kakang?”
“Mencintainya, ahh…, entahlah…, aku tidak mengerti, yang
pasti aku tertarik padanya, kasihan dan entahlah…, tapi kenapa kau
tanyakan itu?”
“Yahhh tentu saja, karena aku lihat sikap kakang manis
padanya, ehhh…, ayolah kita masuk saja kakang, “ kata gadis manis
itu lantas pergi meninggalkan Saka Palwaguna yang masih termenung
di tempatnya.
26
Api Berkobar di Karang Sedana
“Wulan…, apakah kau masih belum menyadarinya juga…,
kalau sebenarnya aku…,” desah pemuda gagah itu lantas beranjak
masuk ke dalam rumah. Malam kian larut menyelimuti desa Banyu
Anyar, sesekali terdengar ciut dan kepak kelelawar membelah angin,
di dalam bilik kembali Anting Wulan gelisah dalam alam pikirannya.
“Ahh, kakang Saka…, aku menyayangi mu, aku mencintaimu
kakang, duh junjunganku Kameswara, apa yang harus aku lakukan
agar kakang Saka mengetahui isi hatiku dan mau menerima
penyerahan jiwaku, ohh…, dewa batara, tolonglah hambamu ini.”
Dini hari, barulah Anting Wulan terlelap dalam tidurnya.
Keesokan harinya kelompok Ning Sewu bersiap-siap untuk
melakukan perjalanan melaksanakan tugas mereka, darma bakti pada
setiap yang memerlukan pertolongan sebagaimana tugas seorang
pendekar.
“Ehh, adik Saka sampaikan salamku dan adik Wulan pada
keluarga Intan.”
“Akan aku sampaikan kakang Seta.”
“Dan jangan lupa tunggu kami di sebelah timur istana Karang
Sedana selepas senja, walaupun mungkin aku terlibat dengan berbagai
persoalan aku akan mengusahakan tiba tepat waktu, mari adik Wulan
pergunakan saja aji kidang mamprung agar kita tidak terlambat,” kata
Seta Keling kemudian tubuhnya telah jauh meningalkan Desa Banyu
Anyar.
“Baik-baiklah di jalan kakang Saka.”
“Terimakasih adik Wulan.”
“Ahh, kenapa kau tidak memberi pesan padaku adik Wulan,
kau jangan membuatku iri.”
“Iyah…, baik-baiklah kakang Dampu, aku pergi dulu,” kata
Anting Wulan yang bergegas mengejar Seta Keling yang telah
memesat terlebih dahulu meninggalkan saudara-saudara
seperguruannya.
“Adik Awuk, ayo kita berangkat, mari Pandini walau kita
menggunakan gerobak kuda pasti kita akan tiba terlebih dahulu,” kata
Saka Palwaguna.
“Iyah, lereng dan kaki Ciremai pasti menyimpan
rintanganyang cukup berat, hutan itu merupakan tempat aman untuk
27
Api Berkobar di Karang Sedana
persembunyian perampok-perampok,” kata Dampu Awuk yang
tampak melecutkan cambuknya ke udara dan gerobak kuda itupu
berjalan perlahan meninggalkan desa Banyu Anyar.
Empat remaja dari kelompok Ning Sewu memecah
kelompoknya menjadi dua tapi tujuan mereka tetap sama yaitu kota
raja Karang Sedana. Sekarang marilah kita ikuti perjalanan Seta
Keling dan Anting Wulan yang mencoba menyelidiki hutan di sekitar
kaki Gunung Ciremai.
“Adik Wulan tahan larimu,” kata Seta Keling.
“Ada apa kakang? Kenapa kita berhenti.”
“Kita telah tiba di kawasan yang dituju, sebaiknya kita
berjalan wajar sebagaimana orang-orang biasa, bukankah kita akan
memancing mereka keluar.”
“Baiklah kakang.”
“Bagus.”
“Kakang, bayangan matahari sudah lewat jauh di atas kepala,
waktu makan siang kakang.”
“Baiklah kita ke pinggir sungai sana itu, ayo.” Kata Seta
Keling, keduanya lantas berjalan menuju pinggiran sungai kecil untuk
membuka bekal makanannya masing-masing.
“Desa terdekat masih jauh, hematlah sedikit bekal kita.”
“Aku mengerti kakang Seta, perutku pun sudah terisi penuh.”
“Bukan aku melarang makan daging kering yang nikmat ini
adik Wulan, aku tidak ingin ketika bekal kita habis kau kembali
memakan pucuk daun dan buah-buahan hutan karena lapar.”
“Iya kakang, hemm, kakang Seta.”
“Ada apa adik Wulan?’
“Dalam suasana kemarau panjang, kekeringan terjadi
dimana-mana, aneh sekali sungai ini maasih menyimpan cukup
banyak air.”
“Yah, kau benar adik Wulan,” ujar Sata Keling sambil
mengamati aliran air sungai yang ada di sampingnya,
“Kakang Seta, kenapa penduduk sekitar tidak
memanfaatkannya ya.”
“Adik Wulan, aliran sungai kecil ini menuju ke tengah hutan,
dan keluar di seberang sana,” kata Seta Keling sambil mengarahkan
28
Api Berkobar di Karang Sedana
telunjuk mengikuti aliran air sungai. Pemuda gagah ini hentikan
sejenak ucapannya, pendengarannya yang tajam menangkap sebuah
suara walau samar namun cukup jelas terdengar oleh telinganya yang
sudah terlatih.
“Adik Wulan, awas ada yang datang,” bisik Seta Keling.
“Iyah, aku mendengarnya kakang.”
Belum kering kalimat keduanya dari bibir masing-masing,
beberapa sosok bertampang sangar telah berdiri tujuh tombak di
hadapan kedua murid padepokan goa larang tersebut.
“Hey, siapa kalian? Anak-anak tangkap kedua orang itu!”
sentak salah satu orang bertampang sangar, mungkinan pimpinan
orang-orang yang baru datang tersebut.
“Tunggu, apa salah kami, mengapa kalian ingin menangkap
kami?” kata Seta Keling lantas memberikan isyarat pada adik
seperguruannya Anting Wulan agar siaga.
“Kalian telah memasuki daerah terlarang, daerah kekuasaan
kami. Kalian harus minta izin dulu pada ku.”
“Hey, di kota raja kami masuk tanpa minta izin, kenapa di
hutan ini kami diharuskan minta izin segala!” kata Anting Wulan yang
mulai terpancing amarahnya.
“Di kota raja memang, tapi di sini kalian harus tunduk pada
ku.”
“Kalian benar-benar mencari mati,” tandas Anting Wulan.
“Kakang Bajul Welangun, agaknya mereka ini mata-mata
dari kota raja.”
“Diam kau Karbo, tangkap mereka…!”
Tanpa dikomando dua kali beberapa orang kasar itu segera
mempersempit jarak kurungannya pada Anting Wulan dan Seta
Keling.
“Adik Wulan, jangan menurunkan tangan terlalu kejam.”
“Aku mengerti kakang Seta.”
Gerombolan laki-laki kasar mulai bergerak mempersempit
jarak, mengurung pendekar Ning Sewu tepat di tengah-tengah, begitu
terdengar komando penyerangan laki-laki kasar dengan senjata
terhunus bagai babi kelaparan menerjang Seta Keling dan Anting
29
Api Berkobar di Karang Sedana
Wulan yang sudah bersiap dari tadi, dalam satu gebrakan enam orang
terpelanting jatuh mencium tanah.
“Kerbau dungu, sekali gebrak kalian jatuh, ayo bangun
cincang mereka!”
Mendengar perintah pimpinannya, enam orang yang
terpelanting jatuh dalam satu gebrakan itu kembali menyerang diikuti
kawan-kawannya, pertempuran pun kebali sengit, beberapa jurus
berlalu sang pemimpin orang-orang kasar yang menyaksikan jalannya
pertarungan mulai khawatir ketika dua atau tiga orang anak buahnya
jatuh tersungkur jadi bulan-bulanan lawan, maka dengan lantang Bajul
Welangun memanggil salah satu anak buahnya.
“Hey kemari kau.”
“Ada apa kang?”
“Kau kembali ke markas, beri tahu kakang Loba Lengen,
Cepat!”
“Baik, baik kang….”
“Cepat pergi!”
“Iya, iya kang.”
“Hey kalian cepat bereskan mereka…!”
Pertarungan antara Seta Keling dan Anting Wulan melawan
gerombolan orang-orang kasar berkecamuk makin hebat, pandangan
jeli Seta Keling menangkap kelebatan salah satu orang kasar yang
diperintahkan Bajul Welangun mengendap-endap meninggalkan arena
pertarungan.
“Adik Wulan, tahan begundal yang lari ke dalam hutan sana,
biar aku bereskan yang di sini…!”
“Baik kakang,” ujar Anting Wulan, tubuhnya melenting dan
berputar di udara.
“Mau kemana kau gadis sial…!” sentak Bajul Welangun
yang melihat kelebatan Anting Wulan mengejar salah satu anak
buahnya.
“Kau yang mau kemana, tenang-tenang saja kau bersama
ku,” tandas Seta Keling yang kini telah berada di hadapan Bajul
Welangun, semantara Anting Wulan telah berhasil menghadang salah
satu anak buahnya.
30
Api Berkobar di Karang Sedana
“Tunggu, mau kemana kau? memanggil bala bantuan,” kata
Anting Wulan.
“Perempuan iblis, kubunuh kau!” sentak salah satu begundal
sembari menghunus senjatanya, namun dalam satu gebrakan gadis
perkasa itu mampu mejatuhkan lawannya.
“Ayo bangun, serang aku,” tandas Anting Wulan bengis.
“Ampun…, ampun tuan pendekar jangan bunuh saya.”
Aku akan mengampuni mu, katakana di mana sarang kalian.”
“Tidak jauh dari sini tuan pendekar, ikuti saja alur sungai
kecil ini.”
“Bagus, jika kau bohong aku tidak akan mengampuni jiwa
mu.”
“Saya tidak bohong tuan pendekar.”
“Berapa anggota kalian?”
“Hehhhh….,”
Orang ini terhenyak ketika satu sambaran angin halus
menyentuh pangkal lehernya.
“Dengar, totokan ku ini bertahan sepenginangan sirih, jika
kau bohong aku akan membunuhmu, katakana dengan jujur berapa
anggota kalian.”
“Sekitar enam ribu orang, tuan pendekar.”
“Jangan ngawur, ku bunuh kau!”
“Ampun tuan pendekar, saya berkata sejujurnya….,” sela
begundal ini terbata-bata. Saat itulah muncul Seta Keling yang
sepertinya telah membereskan lawan-lawannya.
“Bagaimana adik Wulan?”
“Kakang Seta, dia mengatakan sekitar enam ribu orang ada di
dalam hutan sana.”
“Kau percaya dengan kata-katanya?”
“Agaknya orang bodoh ini dapat dipercaya kakang.”
“Baiklah ayo kita selidiki, dan kau tenanglah di sini, sebentar
lagi totokan mu akan lepas,” kata Seta Keling lalu mengajak Anting
Wulan meninggalkan tempat tersebut.
Setelah berjalan hampir dua ratus langkah menyusuri sungai
kecil, pendengaran terlatih keduanya menangkap suara-suara
mencurigakan, Seta Keling dan Anting Wulan mengendap-endap di
31
Api Berkobar di Karang Sedana
sela rumpun perdu, kedua murid padepokan goa larang itu terbelalak
menyaksikan pemandangan di hadapannya. Ribuan orang terbagi
dalam beberapa kelompok tengah mengadakan latihan perang-
perangan.
“Adik Wulan merunduk, mereka bisa melihat mu dari sana,”
bisik Seta Keling, namun terlambat salah satu pemimpin orang-orang
itu sudah mengetahui keberadaan Anting Wulan dan Seta Keling.
“Aku dapat melihat kalian dari sini, hahaha…, siapa kau anak
muda, nyali kalian besar, berani datang ke tempat kami,” kata orang
tinggi kurus yang kini telah berada tiga tombak di depan sepasang
remaja dari goa larang tersebut.
“Kau benar, nyali kami memang besar,” sela Anting Wulan.
“Bagus sekali ucapan mu anak manis, siapa kalian?”
“Kami adalah sepasang pengembara yang tertarik dengan
kegiatan disini,”sela Anting Wulan.
“Oh tuan, agar tidak ada salah pahaman bisakah menjelaskan
siapakah sebenarnya kalian ini?” kata Seta Keling.
“Hem, hahaha…, baiklah kau boleh mengetahui sebab
sebentar lagi kalian akan kukirim ke neraka, dengar kami adalah
sekelompok orang yang akan menggulingkan pemerintahan prabu Aji
Konda yang tidak becus memimpin Karang Sedana.”
“Lalu dari mana tuan mendapatkan orang sebanyak ini?”
“Cukup sudah, kalian telah mengetahui terlalu banyak, Anak-
anak…tangkap kedua orang ini!”
Begitu laki-laki tinggi kurus melambaikan tangannya, dari
gerumbul semak muncul puluhan orang bertampang seram dengan
senjata terhunus langsung menyerang kedua murid padepokan goa
larang tersebut, pertarungan yang tak seimbang pun berkecamuk
dengan hebat, diantara orang-orang itu tampak beberapa orang yang
telah dilumpuhkan Seta Keling dan Anting Wulansebelumnya di
sekitar sungai kecil.
Kegaduhan di luar memaksa beberapa orang yang tengah
berkumpul di dalam berhamburan keluar.
“Apa yang terjadi adi Loba Lengen?” kata seorang lelaki
paruh baya berpakaian bagus.
32
Api Berkobar di Karang Sedana
“Ah ki Demang Suwanda, hanya sepasang kelinci yang
tersasar, jangan khawatir kami akan segera menyelesaikannya.”
“Agaknya mereka bukan sepasang kelinci,” menimpali lelaki
tua di sampingnya. Lihatlah sebentar lagi seluruh orang mu lumpuh
adi Loba Lengen.”
“Biarlah saya yang turun tangan ki Sentana, lebih baik aki
masuk ke dalam, saya khawatir akan merusak reputasi ki dalem
Sentana jika mereka mengenali tuan.”
“Hehehe, tidak mengapa adi Loba Lengen, bukankah mereka
tidak akan keluar lagi,”sela ki dalem Sentana.
“Eh, adi Loba Lengen segeralah turun tangan, sebentar lagi
habis anak buahmu,” menimpali Ki Demang Suwanda ketika
menyaksikan kedua anak muda yang diangap remeh itu malah banyak
menjatuhkan anak buah Loba lengen.
“Baik ki Demang,” kata Loba Lengen lantas melesat ke aena
pertarungan.
“Cukup anak muda, sekarang kau layani aku,” sentak Loba
Lengen sambil memutar kedua tanganya sedemikian rupa, dari
putaran tangannya menderu suara angin tindih menindih. Ki Loba
Lengen adalah seorang pendekar dari pantai selatan ahli dalam jurus-
jurus tangan kosong hampir seluruh jurus-jurus ganas dari aliran hitam
dikuasainya, pendekar tinggi kurus itu segera mengetrapkan aji
Karang Ageng, tiap gerak kaki dan tanganya seakan hendak
merobohkan bukit.
“Adik Wulan, serahkan dia pada ku,” sentak Seta Keling
kemudian melompat satu tindak ke belakang.”
“Mengapa harus kakang, akupun masih sanggup
menghadapinya tidak lebih dari sepuluh jurus.”
“Baiklah, tapi hati-hati kekuatannya setara dengan ribuan
kawanan gajah, pergunakan aji Kincir Metu.”
“Baik kakang,” kata Anting Wulan lantas memapasi jurus
Karang Ageung milik ki Loba Lengen dengan aji Kincir Metu.
Ki Deman Suwanda, ki dalem Sentana dan beberapa orang
dari kelompok misterius seketika terbelalak melihat gerak yang
diperagakan Anting Wulan yang tidak dapat diikuti dengan pandangan
mata biasa, akan tetapi ki Demang Suwanda adalah salah satu tokoh
33
Api Berkobar di Karang Sedana
yang disegani di sebagian tanah pasundan dapat mengenali gerak dari
aji Kinir Metu.
“Mereka berasal dari padepokan goa larang,” gumam ki
Demang Suwanda,
“Maksud mu, mereka adalah murid resi Wanayasa?”
“Benar ki dalem Sentana.”
“Hai…, hati-hati Loba lengen kau menghadapi aji Kincir
Metu!” teriak ki Demang Suwanda.
“Jangan khawatir aku mampu menghadapinya,” sentak ki
Loba Lengen yang berusaha mengimbangi jurus Kincir Metu yang
diterapkan Anting Wulan.
“Mundurlah Loba Lengen biar aku menghadapi kedua anak
muda itu,” sentak ki Demang Suwanda yang melihat kondisi Loba
Lengen mulai terdesak.
“Celaka, aku harus meninggalkan tempat ini,” membhatin
Seta Keling begitu pendekar tua ki Demang Suwanda melesat dan
mencecar Anting Wulan dengan jurus-jurus berbahaya.
“Adik Wulan, tinggalkan tempat ini cepat…!” kata Seta
Keling lantas menggapit lengan adik seperguruanya itu, dengan
mengetrapkan aji Kidang Mamprung murid eyang Wanayasa itu
berkelebat cepat meningalkan arena pertempuran.
“Jangan biarkan mereka lolos…!” teriak ki Demang Suwanda
berang.
Ki Demang Suwanda yang tidak ingin rencana besarnya
terbongkar langsung melenting mengejar kedua remaja dari goa larang
tersebut, akan tetapi aji Kidang Mamprung tidak bisa ditandinginya,
beberapa saat kedua remaja itu sudah berhasil keluar dari kepungan
orang-orangnya. Di sebuah hutan kecil Seta Keling dan Anting Wulan
hentikan lari begitu mereka yakin ki Demang Suwanda tidak berhasil
mengejarnya.
“Kita beristirahat sebentar, hari sudah mulai gelap adik
Wulan.”
“Benar kakang, seluruh tubuhku terasa lelah besok baru kita
lanjutkan perjalanan.”
Malam itu sepasang remaja murid eyang resi Wanayasa tidur
di alam terbuka, rumput kering yang mengalasi tubuh keduanya
34
Api Berkobar di Karang Sedana
mampu membuai sampai nyenyak dan pagi-pagi sekali mereka
melanjutkan perjalanan hingga matahari tepat di atas kepala barulah
mereka menemukan desa pertama dalam perjalannya menuju kota
raja. Di sebuah warung mereka melepas lelah.
“Nasi sayur dan daging kering mang,” kata Seta Keling
dijawab anggukan lelaki tua pemilik warung.
“Ehh, untuk dua orang den.”
“Iya kami juga minta sepoci tuak.”
“Baik den, eh aden orang baru di sini, mamang baru melihat
aden berdua.”
“Benar mang, kami berasal dari desa Banyu Anyar.”
“Oh Banyu Anyar, wah jauh sekali den, harus mengitari
hutan luas di kaki Gunung Ciremai, oh iya ini minumanya den.”
“Sayang sekali ya mang, dulu sebelum masa paceklik
perjalanan dari desa Banyu Anyar ke desa ini hanya satu hari.”
“Ahh, jika bicara masa lalu banyak sedihnya den, dulu kami
bekerja, berdagang tidak merasa gelisah seperti sekarag ini.”
“Apakah di sini sering terjadi kekacauan mang?”
“Ahh, sejak satu tahun lalu suasana di sini benar-benar
seperti neraka, hampir satu purnama mereka datang mengacau desa ini
den, akan tetapi dalam dua bulan ini mereka tidak pernah hadir lagi ke
desa, oh..ini makanannya den, neng.”
“Terimakasih mang,” kata Anting Wulan dan Seta Keling,
keduanya makan lahap sesekali bercakap-cakap dengan orang tua
pemilik warung.
“Eh, aden berdua penganten baru?” kata orang tua pemilik
warung membuat Anting Wulan ganda tertawa dengan renyah sedang
Seta Keling tersenyum malu-malu.
“Darimana mamang menerka kami berdua pengantin baru?”
kata Anting Wulan di sela-sela tawa renyah semantara Seta Keling
berusaha meredam rasa kikuk dengan pura-pura membetulkan ikat
kepalanya.
“Yah…, hanya pasangan pengantin baru saja yang masih
senang bepergian ke sana ke mari den, kalau yang sudah karatan mah
ya masing-masing den…,” kata pemilik warung itu yang kembali
disambut derai tawa renyah Anting Wulan.
35
Api Berkobar di Karang Sedana
“Ehem, ehem…, apa warung mamang tiap hari seperti ini,
sepi? Kata Seta Keling akhirnya kembali bicara setelah berhasil
meredam gejolak jiwanya.
“Yah, yang makan ke sini ada juga den. Tapi tidak seperti
dulu. Mereka takut melakukan perjalanan jauh den?”
“Kenapa mereka takut mang?” sela Anting Wulan sambil
mengunyah makanan.
“Eh, anu…, mereka takut pada kelompok Ning Sewu.”
Pernyataan pemilik warung seketika membuat Anting Wulan
tersedak mendengar kata-kata orang tua tersebut, kembali kelompok
Ning Sewu menjadi momok bagi penduduk.
“Ning Sewu…,” gumam Seta Keling dan Anting Wulan yang
berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Apa mamang tidak salah, setahu kami Ning Sewu adalah
sekelompok pendekar yang selalu membela rakyat.” Kata Seta Keling.
“Yah…, kami juga pernah mendengar cerita itu den, semula
orang-orang yang makan di sini cerita tentang kebaikan Ning Sewu,
tapi belakangan ini kabarnya Ning Sewu merampok dan membunuh di
mana-mana,” menerangkan pemilik warung tersebut membuat Anting
Wulan hampir saja tidak bisa menahan diri.
“Ada apa adik Wulan? Tenanglah.”
“Kakang, sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini dan
melanjutkan perjalanan.”
“Sebaiknya kau habiskan makananmu dulu, adik Wulan.”
“Aku sudah kenyang kakang.”
“Eh, baiklah…, ini uangnya mang,” kata Seta Keling sambil
memberikan beberapa uang perak pada pemilik warung.
“Wehh, uangnya terlalu banyak den.”
“Ambil saja mang.” Kata Seta Keling yang berlalu cepat
meningalkan warung.
“Anggap saja pemberian dari Ning Sewu,” sela Anting
Wulan lantas jejakan kaki meninggalkan pemilik warung yang masih
tertegun di tempatnya.
“Pemberian dari Ning Sewu, aneh apa maksudnya…, Ning
Sewu…, Ning Sewu,” gumam orang tua pemilik warung tersebut
berulang-ulang.
36
Api Berkobar di Karang Sedana
-o0o-
Matahari condong ke barat ketika Seta Keling dan Anting
Wulan sampai di kota raja Karang Sedana.
“Itu gerbang kota raja kakang, kita sampai tepat waktu, kita
langsung saja ke sana sebentar lagi senja, mungkin kakang Dampu
Awuk dan kakang Saka sudah menunggu.”
“Baiklah, tapi jangan terlampau cepat jalannya di sini banyak
prajurit berlalu lalang kau bisa dicurigai.”
“Baik, kau benar kakang. Aku sudah tidak sabar untuk
mendengar kabar Intan Pandini,” kata Anting Wulan, namun jauh di
lubuk hati terdalam gadis manis ini tersimpan gelora yang
menghentak jiwanya.
“Ahh, aku berbohong…, aku justru merasa rindu ingin
segera bertemu dengan kakang Saka, ohh…, Dewata…, semoga saja
Intan Pandini segera hilang dari kelompok kami, semoga Intan
Pandini hilang dari ingatan kakang Saka,” membatin gadis manis itu
hingga tidak menyadari sebuah kereta kuda hampir saja menabraknya.
“Awas adik Wulan,” teriak Seta Keling lantas menarik
tangan gadis manis tersebut yang kebingungan.
“Hey, kenapa kau? Melamun.”
“I.., iya kakang aku melamun.”
“Ada sesuatu yang menyusahkan hati mu adik Wulan?”
“Tidak kakang, tapi bagaimana jika eyang resi sampai
mendengar sepak terjang Ning Sewu yang mecemarkan nama
baiknya,” kata gadis manis itu sekenanya.
“Hahah, jangan khawatir adik Wulan. Eyang resi sudah
mengenal kita dengan baik, tentunya beliau tidak akan mudah percaya
dengan cerita-cerita yang belum tentu kebenarannya.”
Keduanya terus berjalan sambil bercakap-cakap, hingga di
sebuah tikungan jalan Anting Wulan mengernyitkan dahi bilanam
sebuah kereta mewah di tarik dua ekor kuda melaju mendahului
langkahnya.
“Kakang ayo kita ikuti kereta kuda itu, sepertinya orang itu,”
sela Anting Wulan yang bergegas hendak mengejar kereta kuda
mewah tersebut.
37
Api Berkobar di Karang Sedana
“Hey, tahan adik Wulan, ini kota raja, jangan melakukan
tindakan yang menimbulkan kecurigaan.”
“Tapi kakang, laki-laki tua di dalam kereta tadi adalah salah
satu tokoh yang kita lihat di dalam hutan kemarin.”
“Hah, apa kau tidak salah lihat adik Wulan?”
“Tidak kakang.”
“Kereta kuda tadi milik salah satu pembesar istana, aku rasa
kau salah lihat.”
“Aduhh, aku belum lagi pikun kakang, umurku belum lebih
dari dua puluh satu tahun.”
“Aneh, aneh sekali. Malam ini kita harus menyelidiki istana
Karang Sedana, ah itu adi Dampu dan adi Saka mereka melihat dan
melambai ke arah kita, ayo kita temui,” kata Seta Keling lantas
keduanya menghapiri dua orang saudara seperguruannya tersebut dan
sesuai rencana semula berkumpul di sebelah timur istana Karang
Sedana menjelang senja.
“Bagaimana dengan perjalanan kalian? Ada hambatan.”
“Tidak ada kakang Seta, hanya rencana kami ubah,” kata
Saka Palwaguna.
“Maksud mu?”
“Kami tidak memperkenalkan diri sebagai kelompok Ning
Sewu pada keluarga Intan Pandini, sebab sepanjang perjalanan kami
banyak mendengar kabar tentang Ning Sewu yang sudah tercemar dan
ditakuti penduduk desa.”
“Ahhh, tapi Intan Pandini sudah mengetahui siapa kita,” sela
Anting Wulan yang berusaha ceria ketika menyebut gadis pesaingnya
itu di hadapan Saka Palwaguna.
“Aku rasa Intan Pandini dapat dipercaya, dia sudah mengenal
betul siapa kita,” ujar Saka Palwaguna yang tidak begitu
memperhatikan perobahan wajah dari Anting Wulan.
“Aku rasa juga demikian adik Wulan, oh iya adik Awuk, adik
Saka malam ini kita ke istana Karang Sedana tapi tidak seperti
rencana semula, menghadap dan menghaturkan sembah bekti dan
menyampaikan salam dari eyang resi.”
“Loh, mengapa jadi seperti itu kakang Seta?”
38
Api Berkobar di Karang Sedana
“Adik Awuk, aku melihat keadaan yang cukup serius yang
sebentar lagi menimpa kerajaan Karang Sedana.”
Seta Keling lantas menceritakan pengalamannya bersama
Anting Wulan di kawasan kaki Gunung Ciremai dan laki-laki tua yang
dilihat Anting Wulan di atas kereta kuda pembesar istana.
“Ahh, kita selidiki kakang Seta,” kata Saka Palwaguna.
“Benar, kita harus menyelidiki sebelum menghadap ke
keraton,” timpal Dampu Awuk.
“Bagus, mari kita atur siasat,” pungkas Seta Keling.
Semantara itu, di dalam istana karang Sedana. Malam itu
prabu Aji Konda sedang mengadakan pertemuan dengan para
pembesar istana Karang Sedana, membahas situasi Kerajaan yang
semakin memburuk, baik perekonomian maupun masalah keamanan.
“Paman Dalem, paman Patih dan Kyai, terimakasih atas
kesediaan paman bertiga memenuhi undangan ku,” sabda prabu Aji
Konda yang duduk gagah di singasananya.
“Daulat paduka, sabda paduka hamba junjung tinggi,” kata
ketiganya sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan kening
masing-masing.
“Terimakasih. Paman-paman sekalian, kiranya kita paham
atas masalah yang menimpa di sebagian besar kerajaan, untuk itu kita
berkumpul memikirkan masalah ini, ehh…bagaimana pendapat paman
Patih.”
“Ampun tuanku, mengingat jumlah prajurit kita yang sangat
terbatas rasanya tidak mungkin mengirim pasukan ke segala penjuru
kerajaan untuk mengamankan penduduk, jadi maksud hamba, tuanku
dapat mengirim utusan pada sang mahaprabu Sanna di Galuh mohon
sudi kiranya mengembalikan tentara Karang Sedana atau
meminjamkannya beberapa saat guna mengamankan negri ini.”
“Hahhh…, apakah itu mungkin paman Widadung, bukan
malah aku yang disalahkan tidak mampu mengamankan Karang
Sedana, aku ragu paman…, ehhh, bagaimana pendapat paman Dalem
dan Kyai?”
“Pasukan tuanku yang jumlahnya terbatas tidak mungkin
diperintahkan meninggalkan istana dalam jumlah banyak, untuk itu
hamba mengusulkan bagaimana jika tuanku mengirimkan utusan
39
Api Berkobar di Karang Sedana
untuk meminta bantuan pada setiap padepokan dan perguruan-
perguruan silat,” kata Kyai Seda Warna.
“Ampun tuanku, hamba rasa usul kyai Seda Warna kurang
tepat bagi kewibawaan tuanku sebagai pimpinan Karang Sedana,” sela
Dalem Sentana, penasihat Kerajaan.
“Usulmu sendiri bagaimana paman dalem?”
“Ampun tuanku, tuanku dapat mengumpulkan para penduduk
lalu kita latih oleh keprajuritan.”
“Tetapi itu akan memakan waktu lama, ki Sentana,”
menimpali Kyai Seda Warna.
“Memang sedikit memakan waktu, tapi kita tetap memiliki
kewibawaan tuanku.” Pungkas ki Dalem Sentana.
Semantara perdebatan berlangsung sengit di balai paseban,
Seta Keling dan kawan-kawannya dengan berpakaian hitam-hitam
berkelebat diantara dinding dan atap istana Karang Sedana.
“Kakang Seta, lihatlah di bawah sana itu lumbung padi
istana,” bisik Saka Palwaguna.
“Hem…, gudang istana,” gumam Dampu Awuk.
“Coba aku lihat tempat apa di bawah ini.”
“Hati-hati adik Awuk, bukan tidak mungkin ada penjaga
yang bersiaga di dalam.”
“Jangan khawatir kakang Seta, sebentar, aku congkel genting
ini, ahhh kakang gudang padi lagi,” gumam Dampu Awuk.
“Kurang ajar prabu Aji Konda, ia senang-senang di istana
semantara banyak rakyatnya yang kelaparan, kita beri pelajaran
mereka kakang Seta,” geram Anting Wulan.
“Iyah, kita harus beri pelajaran, tutup wajah kalian kita dekati
ruangan yang terang itu” gumam Seta Keling lantas mengajak adik-
adik seperguruannya merayap mendekati ruang paseban.
“Kakang lihat di bawah sana,” bisik Anting Wulan.
“Aku melihat prabu Aji Konda bersama…huhh, kurang ajar,
kau benar adik Wulan, orang itu yang kita lihat di hutan sana,
penghianat,” geram Seta Keling.
Seta Keling geram bukan main begitu melihat laki-laki tua
yang ditunjukan Anting Wulan, tidak dapat mengendalikan emosinya,
40
Api Berkobar di Karang Sedana
pemuda gagah itu lantas menyalurkan tenaga dalam pada pita
suaranya, tak lama kemudian.
“Hahaha…, prabu Aji Konda keluarlah, aku akan membuat
perhitungan atas dosa-dosa manusia…, hahaha…!”
Sang prabu Aji Konda dan para pembantunya tersentak
ketika mendengar suara tantangan yang dilambari tenaga dalam dari
atas genteng dimana ia sedang berbincang dengan para pembesar
lainnya, tanpa membuang waktu, Raja yang memiliki ilmu dan aji
kesaktian bersama dengan para pembantu dan beberapa prajurit
melompat ke atas genteng.
“Turun kau tikus-tikus bodoh,” sentak Dampu Awuk yang
dalam satu gebrakan beberapa prajurit terpelanting ke bawah.
“Mundur kalian, biar aku yang bicara.”
“Baik gusti patih,” sela beberapa prajurit kemudian mundur
satu tombak.
“Siapa kalian? Mengapa menyatroni kami tanpa sopan
santun?”
“Hahaha…, patih Widadung yang perkasa dan Kyai Seda
Warna, aku mengenal kalian sebagai satria-satria disegani di tanah
pasundan ini, jika aku boleh tahu siapakah laki-laki tua di sebelah
sang prabu Aji Konda?” kata Seta Keling dari balik cadarnya.
“Manusia-manusia hina, ketahuilah dia adalah Dalem
Sentana, penasihat Karang Sedana,” ujar Patih Widadung.
“Hahaha…, penasihat dalem Sentana atau penghianat dari
Karang Sedana.”
“Kurang ajar, siapakah kalian ini?” sentak dalem Sentana
gusar.
“Kau tidak perlu tahu tentang aku, tapi aku tahu banyak
tentang dirimu.”
“Kurang ajar…!”
“Biar hamba yang memberi pelajaran,” sela Patih Widadung.
“Tunggu paman Patih,” sela Prabu Aji Konda.
“Apakah maksud dan tujuan kalian datang kemari?” kata
Prabu Aji Konda.
41
Api Berkobar di Karang Sedana
“Bukankah sudah aku katakana, aku datang untuk membuat
perhitungan atas dosa-dosa seseorang, prabu Aji Konda, lumbung padi
mu terlalu penuh, sedang rakyatmu di luar hidup dalam keprihatinan.”
“Hemm, lalu kalian kemari untuk memberikan pelajaran
padaku? Lakukanlah jika kalian mampu.”
“Mohon ampun tuanku, biar hamba yang memberi pelajaran
pada mereka.”
“Baiklah paman patih, tapi jangan bunuh mereka aku ingin
tahu siapa mereka sebenarnya.”
“Baik tuanku.”
“Serahkan dia padaku kakang,” sentak Dampu Awul lantas
menerjang kedepan, melancarkan jurus pembuka yang mampu
melemparkan lawan dalam sekejap, pertarunganpun berlangsung
dengan sengit, namun prabu Aji Konda segera mengenali jurus-jurus
yang diperagakan Dampu Awuk.
“Ah, mereka murid-murid padepokan goa larang, yah..., tidak
salah lagi, itu jurus khasnya, apa hubungan mereka dengan resi
Wanayasa, putra nomor dua sang mahaprabu Sanna di Galuh, ah aku
harus menghentikannya,” memikir sampai disitu Prabu Aji Konda
berteriak lantang.
“Tunggu, berhenti paman patih,” teriak prabu Aji Konda.
“Anak muda, aku mengenal siapa guru kalian, tinggalkan
tempat ini dan sampaikan salamku pada gurumu, aku tidak ingin
bertempur dengan kalian, nah, tinggalkan tempat ini segera,” kata
prabu Aji Konda lantang.
“Baiklah, tapi ingat-ingatlah pesanku tadi, perhatikan
rakyatmu dan perhatikan pula penasihatmu,” teriak Seta Keling dari
balik cadar hitam.
“Kurang ajar…!”
“Sabar paman dalem Sentana.”
“Selamat tinggal sang prabu, maapkan kami,” kata Seta
Keling kemudian jejakan kaki dan melesat meninggalkan atap istana
Karang Sedana diikuti ketiga saudara seperguruanya.
“Orang itu benar-benar menghina hamba, siapakah orang itu
kenapa tuanku mendiamkannya saja?”
42
Api Berkobar di Karang Sedana
“Paman dalem Sentana, mereka adalah murid-murid eyang
resi Wanayasa dari padepokan goa larang.”
“Ahh…, kelompok Ning Sewu.”
“Benar paman dalem, marilah kita teruskan pembicaraan
kita,” kata prabu Aji Konda kemudian melesat turun dari atap istana
diikuti ki dalem Sentana, kyai Seda Warna dan Patih Widadung.
“Hai hulubalang…., perketat penjagaan aku tidak ingin
terulang lagi kejadian barusan,” kata Patih Widadung lantang.
“Baik, gusti patih.” Ujar beberapa prajurit lantas membuat
formasi pagar betis, sedangkan ki dalem Sentana setelah kembali ke
kediamanya ia terlihat gusar sekaligus was-was rencana besarnya
dibongkar kelompok Ning Sewu.
“Apakah mereka tahu akukah yang selama ini merusak nama
baik kelompoknya, untungnya gusti prabu tidak memperayai mereka,
aku harus mempercepat rencana, mala ini juga aku harus
meninggalkan Karang Sedana.” Setelah mempertimbangkan segala
sesuatunya, ki dalem Sentana terlihat memacu kuda tunggangannya
meninggalkan kota raja Karang Sedana.
Sedang di tempat lain, prabu Aji Konda segera menghubungi
Patih Widadung dan kyai Seda Warna di bilik ruang rahasia.
“Paman patih dan kyai, mungkin sudah maklum dengan
pertemuan tanpa kehadiran penasihat dalem Sentana.”
“Apakah gusti prabu akan membicarakan prihal ki dalem
Sentana,” kata Patih Widadung.
“Iyah, kau benar paman patih.”
“Tidak ada salahnya jika paduka memperketat pengawalan
dan mengawasi ki dalem Sentana secara hati-hati,” mengusulkan kyai
Seda Warna.
“Akan tetapi tuanku, jika hal itu kita lakukan kita akan
menyinggung ki Sentana sebagai orang kepercayaan tuanku,” sela
patih Widadung.
“Tapi demi kepentingan besar, demi Karang Sedana hal itu
harus kita lakukan,” ujar kyai Seda Warna.
“Paman dan kyai aku akan mengambil keputusan.”
“Daulat tuanku, keputusan tuanku hamba junjung tinggi”
kata kedua abdi setia Karang Sedana itu sambil menyembah.
43
Api Berkobar di Karang Sedana
“Perketat penjagaan, akan tetapi pengawasan langsung
terhadap dalem Sentana jangan dilakukan, paman patih dapat
melakukan penyelidikan ke segala penjuru karang Sedana, jangan
kirim pasukan tapi cukup telik sandi saja.”
“Daulat tuanku, akan hamba kirim petugas sandi sampai
keempat penjuru pebatasan Karang Sedana.”
“Hemm, bagus paman Patih, dan untuk mu kyai Seda
Warna.”
“Hamba gusti prabu.”
“Saat ini juga kembalilah ke padepokan kyai di Gunung
Sawal, jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan kami akan
mengungsi ke tempat kyai.”
“Baik gusti prabu.”
“Jika demikian pertemuan ini cukup, paman patih dan kyai
dapat segera melakukan tugas.”
“Baik gusti prabu,” kata Patih Widadung dan Kyai Seda
Warna lalu pertemuan malam itupun diakhiri, Prabu Aji Konda tidak
pernah menyadari keputusannya itu berakibat patal bagi kelangsungan
Kerajaan Karang Sedana, kepercayaan yang berlebihan terhadap
penasihat Dalem Sentana sebentar lagi akan membawa malapetaka
yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
-o0o-
Semantara itu Ki Sentana telah sampai di tempat
kelompoknya, penasihat kerajaan karang Sedana itu segera
menghubungi ki Demang Suwanda, ki Dalimar, ki Sarpo dan ki
Mahendara, para pemimpin pemberontak itu mengadakan
pembicaraan khusus dan akhirnya diputuskan untuk mengadakan
penyerangan secepatnya.
“Malam ini juga kita berangkat ke Karang Sedana, bersiaplah
kalian, kalian harus tiba esok malam di gerbang kota raja, rencana
penyerangan segera kalian dapatkan dari pimpinan kelompok kalian,
nah bersiaplah…!” kata ki dalem Sentana berapi-api.
Di tempat lain, jauh di pingiran kota raja Karang Sedana,
Patih Widadung yang tengah mengadakan patrol tersentak kaget
bilamana salah satu telik sandi keperayaannya mengabarkan ada
gerakan mencurigakan dari sekelompok pasukan tak dikenal yang
44
Api Berkobar di Karang Sedana
berjumlah sekitar enam ribu orang lebih tengah menuju perbatasan
Karang Sedana.
“Gusti Patih, saya menunggu perintah selanjutnya,” kata telik
sandi itu takzim.
“Punggawa, kondisi Karang Sedana semakin kritis, pecah
anggota mu menjadi beberapa kelompok, bila Karang Sedana tidak
bisa dipertahankan lagi aku perintahkan segera meninggalkan kota
raja sejauh mungkin, kelak jika ada kesempatan kita bisa mengadakan
perhitungan kembali.”
“Baik gusti patih.”
“Punggawa apakah ki dalem Sentana terlibat dengan pasukan
tak dikenal itu?”
“Sejauh ini saya belum melihat ki dalem Sentana, gusti
patih.”
“Baiklah jalankan tugasmu dengan baik.”
Telik sandi itu kembali mengangguk, dalam satu gerak
sosoknya kini terlihat jauh meninggalkan perbatasan kotaraja Karang
Sedana.
Kesokan harinya, sejak pagi hingga sore istana dan gerbang
kotaraja ada sedikit kesibukan, pasukan-pasukan cadangan yang ada
di dalam barak dipersiapkan sampai akhirnya ketika senja mulai turun.
“Tuanku bersiaplah, tuanku…!” kata Patih Widadung.
“Mereka datang?”
“Benar tuanku.”
“Di perbatasan gerbang kota raja pasukan kita bersiap
menahan serbuan mereka.”
“Berapa banyak jumlah pasukan mereka paman?”
“Ampun tuanku, jumlah mereka banyak sekali, hampir dua
kali lipat dari pasukan Karang Sedana.”
“Jika demikian kerahkan seluruh pasukan, paman patih,
jangan biarkan mereka menembus pintu gerbang kota raja.”
“Akan kami usahakan tuanku.”
“Apakah paman melihat sendiri ketrlibatan dalem Sentana?”
“Hamba belum melihat, tapi hamba merasa pasti, hamba
tidak melihat ki Sentana setelah pertemuan malam itu.”
45
Api Berkobar di Karang Sedana
“Baiklah kembalilah ke medan laga, aku segera menyusul
setelah menjelaskan masalah ini pada keluargaku.”
“Baik tuanku, hamba segera berangkat,” ujar patih Widadung
lantas menggebrak kuda tunggangannya, semantara Prabu Aji Konda
segera menemui permaisurinya Dewi Rara Angken di Kaputren.
“Oh ada apa rebut-ribut kanda prabu? Apakah sesuatu telah
terjadi.”
“Iya dinda, istana kita yang tenang kini berobah.”
“Maksud kanda?”
“Dimana putra kita Anggling Purbaya?”
“Ada di kamarnya, ia masih tidur, ceritakanlah kanda apa
yang terjadi?”
“Ahh…, kemarau yang berkepanjangan membuat sebagian
penduduk Karang Sedana menjadi lupa diri, dihasut oleh seseorang
yang culas hingga….”
“Maksud kanda, telah terjadi pemberontakan?”
“Benar dinda.”
“Oh, celaka…, siapakah yang berdiri di belakang mereka
kanda?” Apakah Negara tetangga kita ada yang terlibat.”
“Sampai saat ini kita belum tahu akan hal itu, tapi satu hal
yang membuat ku kecewa adalah keterlibatan ki dalem Sentana.”
“Kurang ajar ki Sentana, pagar makan tanaman, sungguh
busuk manusia itu kanda.”
“Sudahlah dinda, kanda akan melihat ke gerbang kota raja,
jaga Purbaya jangan baiarkan ia jauh dari dirimu.”
“Tunggu dulu kanda, agaknya kanda cemas apakah kekuatan
peberontak itu cukup besar?”
“Kata paman patih demikian dinda, jangan khawatir kanda
akan berusaha menahan mereka, kanda pergi,” kata prabu Aji Konda
lantas melompat ke punggung kuda dan menggebrak binatang itu
menuju perbatasan kota raja.
“Duh sanghyang widi wasa, selamatkan suami hamba,
hindarkanlah dia dari mara bahaya,” doa tulus Dewi Rara Angken,
Permaisuri Prabu Aji Konda untuk suami tercintanya.
Semantara itu pasukan pemberontak mulai bergerak
mendekati pintu gerbang perbatasan Kerajaan Karang Sedana, tampak
46
Api Berkobar di Karang Sedana
dalam rombongan itu Ki Demang Suwanda menunggang kuda berbulu
coklat belang putih, di samping kiri dan kanannya duduk dengan
pongah di pelana kuda Ki Dalimar, Ki Sarpo dan ki Mahendra sedang
di belakang mereka ribuan pasukan dengan senjata terhunus bergerak
perlahan, seratus tombak dari pintu gerbang perbatasan Karang
Sedana pasukan besar itu berhenti.
Angin musim kering bertiup kencang mengibarkan panji-
panji dan umbul pasukan yang dipimpin ki Demang Suwanda, sang
bagaskara perlahan menorah jingga di ufuk barat, suasana hening nang
mencekam, di atas benteng pintu gerbang perbatasan Karang Sedana
puluhan pasukan panah bersiap membidik sasarannya.
“Ki Sarpo, siapkan pasukan pendobrak, lindungi dengan
pasukan tameng dan pasukan panah,” kata ki Demang Suwanda yang
langsung diteruskan oleh ki Sarpo dengan memberi isyatar pada
pasukannya, tombak panjang bendera hitam gambar trisula meliuk
pelan di udara lalu menukik tajam ke bawah.
Dari barisan tengah pasukan menyeruak lima puluh prajurit
mendorong kereta pendobrak, batang kayu besar yang ujungnya
dikobari api tampak menjilat-jilat mengerikan, dari dalam benteng
menggaung terompet dari kerang, tak lama hujan anak panah
berhamburan menerjang pasukan pendobrak, walau pasukan tameng
dikerahkan untuk melindungi ada saja dari para prajurit pemberontak
itu yang terplanting meregang nyawa, puluhan anak panah menancap
ditubuhnya.
“Balas…!” teriak ki Demang Suwanda lantang.
Dari barisan tameng yang melindungi kereta pendobrak, puluhan anak
panah berhamburan menerjang prajurit-prajurit Karang Sedana yang
ada di atas benteng, tak ayal tubuh-tubuh prajurit Karang Sedana pun
banyak yang menjadi korban.
“Hey satria-satria Karang Sedana, cepat buka gerbang ini,
nyawa kalian akan kami ampuni!” teriak ki Demang Suwanda lantang.
Aku tahu kekuatan kalian, kekuatan kalian tidak lebih dari separuh
kekuatan kami, menyerahlah…!”
Ki Demang Suwanda gusar, ancamannya tidak digubris oleh
para prajurit karang Sedana.
47
Api Berkobar di Karang Sedana
“Keluarkan lagi bala pendobrak, hancurkan gerbang itu dan
bunuh semua manusia di dalamnya,” tandas ki Demang Suwanda.
Kembali dari tengah pasukan muncul lima puluh prajurit
mendorong kereta pendobrak yang ujungnya dikobari api dilindungi
pasukan tameng dan pasukan panah, hujan anak panah dari atas
benteng kembali tercurah bak hujan, kali ini gelondongan kayu besar
dengan kobaran api membentur benteng dengan keras hingga
beberapa bagian pintu benteng berderik terkena hantaman ujung
gelondongan kayu.
“Bagaimana dengan pintu gerbang timur, Durmala?’
“Saya mendapat laporan, di gerbang utama inilah kekuatan
terbesar pasukan mereka, gusti patih.”
“Pertahankan terus benteng ini, jika bobol kita tidak mampu
menahan gempuran pasukan sebanyak itu.”
“Kau benar paman patih, jumlah mereka sangat besar dan
agaknya sebentar lagi gerbang ini akan roboh, pasukan panah mereka
di bawah balas menyerang pasukan kita, eh…, paman patih kita
hancurkan pasukan pendobrak itu dengan panah.”
“Baik gusti prabu.”
Melihat kekuatan kereta pendobrak terus menghantam pintu
gerbang benteng, patih Widadung dan Prabu Aji Konda segera
membantu pasukan panah. Dengan anak panah khusus Prabu Aji
Konda dan Patih Widadung berusaha melumpuhkan para prajurit
pemberontak yang nampak bersemangat ketika beberapa bagian pintu
gerbang kokoh itu mulai rusak. Namun berkat keahlian prabu Aji
Konda dan patih Widadung dalam olah memanah kekuatan prajurit
pengusung kereta pendobrak itu dapat sedikit dikurangi kekuatanya.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama, ternyata Demang Suwanda
memperiapkan pasukan pengusung kereta pendobrak lebih dari lima
buah yang ketika salah satu kereta dapat dihancurkan menyusul kereta
pendobrak lain dan begitu seterusnya, hingga lambat laun pintu
gerbang kokoh tersebut mulai berderit dan tampak berlobang di sana-
sini.
“Paman Patih, pertahankan benteng ini semampu paman,
saya akan menemui permaisuri.”
“Baik, gusti prabu.”
48
Api Berkobar di Karang Sedana
Tanpa membuang waktu Prabu Aji Konda segera melompat
ke atas punggung kudanya, dipacunya binatang itu menuju taman sari
Kerajaan Karang Sedana di kawal oleh hulubalang Karewang, tak
berapa lama Raja Karang Sedana itu sudah bertemu dengan
permaisurinya.
“Bersiaplah dinda, sebentar lagi dinda harus mengungsi.”
“Bagaimana dengan kanda prabu?”
“Kanda akan berusaha menahan para pemberontak itu,
cepatlah berkemas, gantilah pakaian dinda dengan baju rakyat jelata.”
“Menyamar kanda?”
“Betul, dinda akan ditemani hulubalang Karewang.”
“Hulubalang Karewang?”
“Hamba akan menyiapkan beberapa prajurit baginda.”
“Tidak, kau sendiri yang mengawal permaisuriku, lewatlah
jalan rahasia.”
“Baik baginda.”
“Di mana Angling Purbaya, anak kita dinda?”
“Dia sedang bermain dengan Cempaka.”
“Emban pengasuh anak kita juga harus ikut, segeralah
berkemas, kalian harus pergi ke Gunung Sawal, mintalah
perlindungan ki Seda Warna.”
“Daulat gusti prabu.”
Prabu Aji Konda mengangguk, raja Karang Sedana itu lantas
melompat ke atas punggung kuda, tak lama derat ladam kuda
terdengar menjauh dari kaputren Karang Sedana.
Semantara itu usaha para pemberontak yang dipimpin
Demang Suwanda membuahkan hasil, pintu gerbang kokoh Karang
Sedana lambat laun mulai lemah, jebol di beberapa bagaian, pasukan
panah yang ditempatkan di atas benteng sedikit demi sedikit mulai
berkurang jumlahnya sedang balasan anak panah dari pasukan musuh
semakin mengkhawatirkan.
“Hahaha…., haii Patih Widadung sebentar lagi pintu gerbang
ini akan jebol dan Karang Sedana akan ku buat banjir darah,”
sesumbar Demang Suwanda.
49
Api Berkobar di Karang Sedana
“Haaii demang gila, tidak bosan-sosannya kau menghasut
sana-sini, jika gusti prabu Sanna di Galuh tahu tentu beliau tidak akan
mengampunimu untuk kedua kalinya,” sentak Patih Widadung.
“Hahaha…, kau jangan nenakuti aku dengan nama prabu
Sanna, aku tidak takut padanya, justru persiapan ku kali ini untuk
membalaskan sakit hatiku padanya, Galuh satu saatpun akan aku
hancurkan.”
Bersaman dengan ucapan Demang Sentana, pintu gerbang
itupun perlahan jebol beberapa pasukan pemberontak tampak masuk
dan langsung disambut pasukan inti Karang Sedana, pertempuran
sengitpun pecah dengan seru, semangat pasukan pemberontak yang
menggila dan tidak mengenal rasa takut membuat prajurit-prajurit
Karang Sedana kocar-kacir, korban dari kedua belah pihak mulai
berjatuhan, pasukan pemberonak terus merangsek ke gerbang utama
Kerajaan karang Sedana, saat itulah dari arah selatan muncul empat
orang berkuda yang tak lain dari pendekar Ning Sewu.
“Adik Wulan,hancurkan kereta pendobrak itu.”
“Baik kakang Seta,” seru gadis perkasa tersebut lantas
meleting dari punggung kuda, jungkir balik di udara kemudian dengan
mengetrapkan aji Kincir Metu,tubuhnya berputar cepat laksana
gasing, dari putaran cepat tubuhnya tangan kanan yang menggeggam
pedang ia sabetkan pada kereta pendobrak, hal luar biasapun
terpampang di hadapan mata, roda-roda pengusung gelondongan kayu
besar itu porak-poranda berserta para pengusungnya yang
berhamburan meregang nyawa membuat ki Demang Suwanda geram.
“Ternyata kalian, anak muda-anak muda tak tahu diri. Sarpo,
Dalimar, Mahendra, bereskan ketiga anak muda itu, biar aku beri
pelajaran gadis liar itu,” sentak ki Demang Suwanda, lalaki paruh
baya itu lantas melenting dari pungung kuda, menjejak tanah dengan
ringan, pasang kuda-kuda pertahanan kemudian gosok-gosok kedua
telapak tanganya yang seketika berobah kebiruan, inilah aji Kelabang
Seribu andalan ki Demang Suwanda, melihat hal itu Seta Keling
langsung melesat dan memapasi langkah ki Demang Suwanda.
“Aku lawan mu orang tua.”
“Minggir kau bocah, aku akan memberi pelajaran pada gadis
liar, temanmu itu.”
50