Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau langkahi mayatku dulu orang tua.”
“Keparat, kau rasakan ini…,” sentak ki Demang Suwanda,
tokoh tua rimba persilatan itu tampak menekuk tubuhnya ke belakang
detik berikut dengan kekuatan penuh menerjang ke arah Seta Keling,
agaknya Demang Suwanda tidak ingin berpanjang waktu, dia ingin
segera mengakhiri musuhnya, namun kali ini yang dihadapinya adalah
Seta Keling, pemuda perkasa murid Eyang Resi Wanayasa dari goa
larang. Semantara itu Anting Wulan tampak bertarung denga Ki
Sarpo, Dampu Awuk melawan ki Dalimar dan Saka Palwaguna
berjibaku dengan ki Mahendra.
Pertempuran kian sengit, bayang-bayang tombak yang
menancap di tubuh-tubuh prajurit Karang Sedana maupun prajurit-
prajurit pemberontak tampak lebih panjang dari aslinya menadakan
senja sebentar lagi menorehkan warna jingga di ufuk barat.
Pertarungan tingkat tinggi antara Seta Keling dan ki Demang
Suwanda sudah mencapi titik puncak, kedua belah tangan ki Demang
Suwanda menghitam menandakan betapa berbahayanya pukulan
beracun kelabang seribu itu, Seta Keling pun tidak mau ambil resiko,
pemuda gagah pendekar Ning Sewu itu lantas mengetrapkan aji kincir
metu tingkat ke tujuh, tubuhnya yang terus berputar tanpa henti
semakin cepat dan yang tampak hanya bayang-bayang saja, debu pasir
beterbangan di sekeliling arena pertarungan, begitu keduanya maju
bersamaan benturan aji tenaga dalam tingkat tinggi itu menghasilkan
dentuman keras luar biasa.
Tubuh ki Demang Suwanda terlempar beberapa tombak ke
belakang, orang tua itu terduduk dengan memegangi dadanya sedang
Seta Keling masih berdiri gagah di tempatnya, pemuda perkasa dari
goa larang itu dongakan kepala ke langit yang mulai gelap, lalu
lentingan badannya masuk ke dalam gerbang utama Karang Sedana,
sedang ki Demang Suwanda masih terduduk lemas di tempatnya.
“Katakan pada ki dalem Sentana, semantara waktu kita tarik
pasukan dari karang Sedana, besok kita siapkan lebih banyak kereta
pendobrak,” kata ki Demang Suwanda pada salah satu orang
kepercayaannya, dengan tertatih Demang tua itu bergegas
meninggalkan gelanggang pertempuran diiringi sisa-sisa prajuritnya.
51
Api Berkobar di Karang Sedana
“Terimakasih atas bantuan kalian, anak-anak muda,” kata
Patih Widadung sambil merangkapkan kedua telapak tanganya di
dada.
“Tinggalah beberapa waktu di sini anak-anak muda, batulah
kami, kelak aku akan datang mengucapkan terimakasih pada
padepokan mu dan menghadap pada eyang resi Wanayasa,” sabda
prabu Aji Konda.
“Kami datang memang atas perintah eyang resi Wanayasa,
gusti prabu,” ujar Seta Keling.
“Hemm, marilah anak-anak muda dan paman patih kita
istirahat di dalam keraton.”
“Baik gusti prabu,” ujar patih Widadung dan keempat remaja
murid padepokan goa larang, di dalam balai singasana perbincangan
pun berlanjut dengan hangat.
“Paman patih, apakah kita mampu menahan serangan mereka
berikutnya?”
“Ampun gusti prabu, melihat kondisi pasukan saat ini saya
ragu, maapkan hamba gusti prabu.”
“Paman Widadung, aku maklum akan hal itu, sejak tiga bulan
lalu kita terlena, kita lupa menata pasukan sejak mahaprabu Sanna
meminta lima ribu prajurit Karang Sedana.”
“Gusti prabu tidak salah, lima ribu prajurit Karang Sedana
yang diminta mahaprabu Sanna mambuat kekuatan kita sedikit
berkurang.”
“Oh ya, anak-anak muda apakah kalian mempunyai
pertimbangan, gagasan dan usul menghadapi situasi ini,” kata prabu
Aji Konda ditujukan terhadap empat murid padepokan goa larang.
“Ampun gusti prabu, sebelumnya terimalah salam hormat
dari guru kami eyang resi Wanayasa,” kata Seta Keling takim.
“Salam guru kalian aku terima.”
“Ampun gusti prabu, melihat jumlah pasukan pemberontak
yang lebih banyak dari jumlah pasukan Karang Sedana, maka untuk
mengadapinya kita jangan langsung beradu dada.”
“Maksud kalian geriliya?”
“Betul, gusti prabu dapat mengirimkan beberapa orang
berilmu untuk mengacau kekuatan mereka, bakar bekal persediaan dan
52
Api Berkobar di Karang Sedana
senjata mereka, dengan begitu mereka tidak mungkin lagi meneruskan
peperangan.”
“Usulmu aku terima, tapi aku juga khawatir dengan orang-
orang yang akan aku tugaskan ke sana.”
“Gusti prabu, kalau masalah itu yang dirisaukan perintahkan
kami untuk melakukannya,” sela Anting Wulan yang sedari tadi diam.
“Benar gusti prabu, kedatangan kami untuk tugas itu.”
menimpali Saka Palwaguna.
“Aku mengerti anak muda, kalian satria-satria tangguh tapi
masuk ke dalam sarang pemberontak yang berjumlah sekitar enam
ribu orang dan sarat tokoh-tokoh sakti, aku merasa khawatir.”
“Tugaskan kami gusti prabu, kami tidak takut dengan
bahaya,” sela Dampu Awuk.
“Ahhh, jika terjadi apa-apa bagaimana tanggung jawabku
pada eyang resi Wanayasa, guru kalian.”
“Hamba kira tidak ada jalain lain gusti prabu, kami berempat
akan mencoba masuk ke daerah pertahanan mereka, dan membuat
kekacauan disana,” kata Seta Keling meyakinkan prabu Aji Konda.
“Baiklah jika kalian memaksa, aku berdoa untuk keselamatan
kalian.”
“Terimakasih gusti prabu.”
“Tunggu, kalian belum memperkenalkan diri, bagaimana aku
menerima budi baik, nama kaliian saja aku belum tahu.”
“Ampun gusti prabu, kami adalah anak-anak desa yang hina,
karena kemurahan hati eyang resi di waktu kami masih kecil, kami
dapat hidup hingga saat ini, nama hamba Seta Keling, dan adik-adik
seperguruan hamba ini adalah Saka Palwaguna, Dampu Awuk dan
Anting Wulan.”
“Nah, Seta Keling berangkatlah setelah kalian cukup
istirahat, doa ku bersama kalian.”
“Baik gusti prabu,” jawab keempatnya takim.
Pertemuan pun diakhiri, keempatnya kembali ke kamar yang telah
dipersiapkan.
Sang mentari senja menebarkan sayap-sayap merahnya, dewa
kegelapan mengintip bersiap mengantikan tugas sang bagaskara, di
keremangan malam di antara hembusan angin dingin mencucuk
53
Api Berkobar di Karang Sedana
persendian, dari salah satu sudut kedaton Karang Sedana terlihat
empat bayangan berkelebat cepat menuju luar kota raja.
“Berhenti sebentar adik-adik semua,” kata Seta Keling ketika
keempatnya sampai di sebuah tegalan.
“Ada apa kakang Seta?” kata Dampu Awuk.
“Iya kakang, kenapa kita berhenti di sini,” menambahkan
Saka Palwaguna.
“Saat ini kita tidak tahu di mana para pemberontak itu
istirahat.”
“Mereka pasti mencari daerah luas,” sela Anting Wulan.
Mereka tidak mungkin berada di sebuah desa atau kota, demi
pertimbangan keamanan.”
“Baiklah, coba kita ke barat,” kata Seta Keling.
Keempatnya kembali melesat cepat membelah angin malam, hampir
sepenanakan nasi akhirnya mereka melihat beberapa titik api di
kejauhan.
“Itu mereka kakang.”
“Waspadalah.”
“Di mana perbekalan mereka?”
“Pasti ditempatkan di sebuah gerobak agar mudah dipindah-
pindah,” kata Anting Wulan.
Keempatnya lantas mengendap-endap di antara ribuan prajurit
pemberontak yang tengah tertidur.
“Kita tidak bisa jalan terus, banyak tubuh prajurit tidur
menghalangi jalan, terpaksa kita harus memutar,” kata Dampu Awuk.
“Kita lompati saja kakang,” sela Anting Wulan.
“Baiklah kita coba usul adik Wulan, tapi hati-hatilah jangan
sampai menginjak mereka.”
“Beres kakang, aku yang mulai,” kata Anting Wulan lantas
melesat melompati beberapa tubuh prajurit tanpa menimbulkan suara.
Satu persatu murid eyang Wanayasa itu terus melenting
melompati tubuh-tubuh yang bertebaran di bawahnya, para penjaga
yang sempat melihat kelebat bayangan mereka tampak mengernyitkan
dahi kemudian melanjutkan perbincangan, mereka menyangka
bayangan itu hanyalah sekelebatan burung malam yang sedang
mencari makan.
54
Api Berkobar di Karang Sedana
“Lihat, dari dini jelas bukan?”
“Iya kakang, gerobak-gerobak yang berisi karung yang diberi
api unggun, pada tiap api unggun ada tiga orang penjaganya,” ujar
Dampu Awuk.
“Kakang apakah kita langsung membakar gerobak itu?” kata
Saka Palwaguna.
“Iyah, kita tidak boleh membuang waktu,” ujar Seta keling,
mana minyak jaraknya?”
“Ini kakang Seta,” kata Saka palwaguna sambil
mengangsurkan minyak jarak yang ditampung dalam sebuah kendi
tanah.
“Kau yang nanti melakukannya adik Saka, sebelumnya kita
bungkam terlebih dahulu para penjaga itu.
“Baik kakang.”
“Adik Dampu kau bungkam ke tiga penjaga itu, adik Wulan
yang jauh di sebelah sana, aku di sebelah kanan itu, kalian siap?”
“Siap kakang,” ujar Anting Wulan dan Dampu Awuk.
“Mulai…!”
Serangan dadakan dari ketiga remaja yang dilakukan dengan
kecepatan tinggi membuat kesembilan penjaga api unggun tak sempat
berteriak minta tolong semantara itu Saka Palwaguna segera
memanpaatkan kesempatan itu untuk membasahi karung-karung
perbekalan dengan minyak jarak, beberapa saat kemudian api mulai
menjalar membakar gerobak-gerobak perbekalan.
“Berhati-hatilah, sebentar lagi diantara mereka pasti melihat
kobaran api ini,” kata Seta Keling yang kini sudah bergabung dengan
ketiga sauadara seperguruannya.
“Api…! Ada api…! Musuh datang menyerang..! selamatkan
perbekalan kita” teriak beberapa orang prajurit lantas berlari
mendekati sumber api yang mulai membakar perbekalan.
“Celaka api belumlah terlalu besar,” gumam Dampu Awuk.
“Ayo majulah kalian, siapapun yang mendekat, mati
ditanganku,” geram pemuda tinggi besar tersebut yang langsung
menyongsong serbuan puluhan prajurit pemberontak, begitupun
dengan Anting Wulan, Saka Palwaguna dan Dampu Awuk, pedang di
55
Api Berkobar di Karang Sedana
tangan keempat murid eyang resi Wanayasa itu berkelebat cepat,
menderu berputar cepat bagai baling-baling.
Pertempuran berlangsung dengan sengit, ki Darpo dan
beberapa pengawalnya mengepung Saka Palwaguna dengan rapat,
sedang ki Demang Suwanda yang baru datang segera menempatkan
diri menghadapi Anting Wulan dan Seta Keling, sedangkan Dampu
Awuk dihadapi oleh gedug-gedug Jagal Pati dan dua orang
saudaranya Jagal Lanang dan Jagal Belo.
Pedang di tangan Dampu Awuk berkelebat ke sana ke mari
memapasi serangan lawan, pemuda tinggi besar itu bagai elang,
tubuhnya kadang melenting ke atas jungkir balik di udara lantas
menyambar lawannya dengan cepat, namun kali ini murid eyang resi
Wanayasa itu mendapatkan lawan yang cukup tangguh, terutama Jagal
Belo yang memiliki pukulan beracun juga senjata rahasia berupa
jarum-jarum kecil mengandung racun kalajengking mematikan
mambuat Dampu Awuk harus ekstra hati-hati, apalagi ditambah
serangan beruntun dari Jagal Lanang memaksa pemuda gagah
pendekar Ning Sewu itu terpaksa mengeluarkan seperempat tenaga
intinya.
Di tempat lain, Anting Wulan dan Saka Palwaguna mulai
terdesak hebat oleh serangan-serangan ki Demang Suwanda yang
mengetrapkan ajian kelabang seribu, orang tua tangan kanan ki
Sentana itu rupanya tidak mau berpanjang waktu, kedua belah
tangannya berangsur-angsur berobah membiru kemudian menghitam
menandakan betapa ganasnya pukulan yang mengandung racun jahat
kelabang tersebut.
“Kalian kira dengan membakar perbekalan kami akan
mundur, perbekalan yang belum sempat terbakar masih cukup untuk
dua sampai tiga hari dan bagi kami waktu itu sangat cukup untuk
menghancurkan Karang Sedana,” sesumbar ki Demang Suwanda
sambil tertawa-tawa mambuat Anting Wulan dan Saka Palwaguna
mulai terpancing emosinya.
“Jangan banyak mulut manusia busuk begundal Sentana,
mana manusia licik itu?” sentak Seta Keling.
“Kau tidak usah mencari ki Sentana, cukup aku dan kawan-
kawan mampu menghadapi kalian,” sentak ki Demang Suwanda
56
Api Berkobar di Karang Sedana
lantas berkelebat cepat mengincar titik mematikan Anting Wulan, dara
perkasa itu terhenyak beberapa kejap belum sempat mengetrapkan
ajian kincir metu, kepalan tangan ki Demang Suwanda yang
mengandung pukulan maut kelabang seribu meluncur deras ke dada
kiri Anting Wulan.
Dess…!
Anting Wulan terhempas ke belakang, tubuhnya tampak
bergulingan di rerumputan.
“Kakang Seta, adik Wulan terluka, ayo kita tingalkan tempat
ini,” seru Dampu Awuk manakala melihat Anting Wulan ambruk di
tanah tampak dikeroyok oleh beberapa prajurit pemberontak, sekuat
tenaga gadis perkasa itu walau terluka masih sanggup menghadapi
lawan-lawannya.
“Adik Saka, tingalkan lawanmu…!” kata Seta Keling lantas
mendekati Anting Wulan dan berusaha membuka jalan diantara ribuan
pasukan pemberontak yang terus menggempurnya bertubi-tubi.
Pertempuran berlangsung dengan seru, Seta Keling dan
ketiga adik seperguruannya tampak bertempur bagai banteng terluka,
namun kepungan prajurit pemberontak tidak ada habis-habisnya,
ketiganya mulai kelelahan, apalagi beberapa tokoh golongan hitam
turun tangan membuat keempat murid padepokan goa larang
keteteran.
“Adik Saka tingalkan tempat ini, biar aku menahan mereka,”
kata Seta Keling.
Dengan sejuta kerepotan Dampu Awuk, Seta Keling, Saka
Palwaguna berusaha membuka jalan diantara ribuan prajurit
pemberontak, sambil mendukung Anting Wulan yang terluka Saka
Palwaguna mengamuk sejadi-jadinya, membabat setiap prajurit musuh
yang berusaha menghalangi jalannya, perlahan tapi pasti kepungan
prajurit pemberontak mulai kendor disaat sudah sampai di tepi
pengepungan dengan mengetrapkan aji kidang mamprung sambil
mendukung Anting Wulan yang terluka ketiga murid eyang resi
Wanayasa itu melesat, melenting tinggi ke udara dilain kejap tubuh
ketiganya terlihat melesat cepat melewati batas pengepungan, tubuh
ketiganya sudah jauh meningalkan para prajurit pemberontak.
57
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kurang ajar mereka berhasil meloloskan diri,” sungut ki
Demang Suwanda, orang tua itu bersiap melakukan pengejaran.
“Biarkan saja ki Demang, mereka tidak akan mengganggu
kita lagi, saudaranya terluka oleh adi Jagal Belo dengan pukulan
beracunnya,” kata ki Darpo.
“Hem, jika demikian ini waktu yang tepat untuk menyerang
kembali Karang Sedana, siapkan kelompokmu ki Darpo, akupun akan
menyiapkan kelompokku,” tandas ki Demang Suwanda.
“Baik ki Demang,” ujar ki Sarpo, kemudian berlalu
meninggalkan ki Demang Suwanda yang tampak mempersipkan
kembali pasukannya.
o0o
Setelah berhasil membuka kepungan prajurit pemberontak,
Seta keling, Saka Palwaguna serta Dampu Awuk memutuskan
istirahat di sebuah goa kawasan kaki Gunung Ciremai, ketiga murid
padepokan goa larang itu berusaha mengatasi luka dalam juga racun
yang bersarang di tubuh Anting Wulan, sedang rembang petang mulai
melingkupi kawasan goa.
“Ehh, tenanglah adik Wulan, kami akan coba mengeluarkan
racun itu dari pundakmu, adi Saka bantu aku,” kata Seta Keling.
“Maap adik Wulan, saya buka baju atasmu,” kata Saka
palwaguna dijawab anggukan lemah Anting Wulan.
“Kakang Seta, racun itu agaknya sudah sampai ke pinggang,”
kata Saka Palwaguna.
“Cepat hentikan aliran darah di sekitar perut sebelum hancur
isi perutnya, aku akan melukai pusat pukulan yang hitam legam ini.
Ah, darahnya tidak keluar,”keluh Seta Keling.
“Adik Wulan angkat tangan kirimu.”
“Tidak bisa kakang Saka,” kata Anting Wulan sambil
merintih kesakitan.
“Adik Saka, keluarkan racun itu dengan tenaga dalam mu.”
“Baik kakang,” kata Saka Palwaguna lantas mengerahkan
tenaga murni yang berpusat di cakra perut.
“Adik Wulan, bantu aku. Salurkan tenaga yang kukirim ini
ke pusat lukamu,” kata Saka Palwaguna yang tanpa pikir panjang
menempelkan kedua telapak tanganya di pinggang kiri Anting Wulan.
58
Api Berkobar di Karang Sedana
Beberapa saat kemudian usaha Saka Palwaguna mulai menampakkan
hasil. Racun yang bersarang di pundak Anting Wulan perlahan naik ke
pundak, luka sayatan yang dibuat Seta Keling tampak megeluarkan
darah hitam, darah itu semakin banyak dan berbau busuk.
“Lihat kakang Seta, agaknya usaha kakang Saka berhasil,
racun yang ada di pinggang perlahan naik kembali ke pundak,” sela
Dampu Awuk.
“Kakang Seta, agaknya adik Wulan sudah tidak kuat lagi, dia
pingsan kakang,” kata Dampu Awuk dengan sejuta rasa khawatir
melihat tubuh saudara seperguruannya itu ambruk ke lantai goa.
“Cukup adik Saka, darahnya sudah merah, kau berhasil
mengeluarkan racun jahat itu,” kata Seta Keling, istirahatlah adik
Saka, pulihkan tenagamu, adik Awuk kau rapihkan baju adik Wulan,”
imbuhnya.
“Eh, tapi kakang…, aku…, eh kakang sajalah aku akan
mencari angin di luar goa ini,” sela Dampu Awuk lantas keluar dari
dalam goa dengan sejuta rasa tak menentu, wajah pemuda tinggi besar
itu tampak merah saga, dadanya bergemuruh, degup jantungnya
berpacu dengan cepat.
“Ahh, ada apa dengan diriku ini, adik Wulan…, oh Dewata,
apa yang terjadi dengan perasaanku ini pada adik Wulan,” gumam
Dampu Awuk dalam hati, pemuda gagah tinggi besar itu terlihat
menyandarkan punggung di dinding goa.
Semantara di dalam goa hal yang sama juga dirasakan oleh
Seta Keling.
“Eh, baiklah biar aku yang melakukannya, kau istirahat saja
adik Saka,” kata Seta Keling kemudian menghampiri Anting Wulan
yang masih pingsan, ditatapnya wajah adik seperguruannya itu sesaat
lamanya, pemuda murid tertua padepokan goa larang itu tertegun,
perasaan aneh meliputi relung hatinya.
“Oh, Dewata…, entah apa yang terjadi dengan diriku,
Anting Wulan adalah adik seperguruanku, tapi yang kurasakan tidak
hanya itu, aku merasakan sesuatu yang lain tentang adik Wulan…,”
desah Seta Keling dalam hati.
59
Api Berkobar di Karang Sedana
“Loh, kakang Seta…, kenapa diam saja rapihkan baju adik
Wulan,” sela Saka Palwaguna yang masih diam mematung di
tempatnya.
“Oh iya…, iya…, adik Saka,” kata Seta Keling yang buru-
buru menutup baju Anting Wulan.
Malam semakin larut melingkupi kawasan goa di mana
keempat murid padepokan goa larang bermalam, Dampu Awuk, Saka
Palwaguna sudah terlelap ke alam mimpi, tinggal Seta Keling yang
masih gelisah,bermain-main dengan perasaannya.
“Dewata agung, apa yang terjadi dengan diriku…,”
gumamnya. Dini hari Seta Keling baru bisa memejamkan kedua
matanya.
-o0o-
Mentari pagi malu-malu membiaskan sinarnya diantara
pepohonan Janakeling yang bayak tumbuh di mulut goa di mana
keempat anggota Ning Sewu bermalam, embun bergayut di ujung
daun, halimun tipis melayang meyapa semak dan perdu, Anting
Wulan tampak tersenyum manis manakala ketiga saudara
seperguruannya menghampiri dirinya yang tengah duduk-duduk di
mulut goa.
“Adik Wulan, bagaimana keadaanmu?”
“Terimakasih kakang Saka, kakang Seta, kakang Dampu.
Kalian telah menyelamatkan jiwaku.”
“Ah, tidak apa adik Wulan. Itu sudah seharusnya, bagiku kau
sudah aku anggap sebagai saudara sendiri, demikian pula dengan
kakang-kakang mu yang lain,” ujar Saka Palwaguna.
“Eh iya adik Wulan, pergaulan kita selama delapan tahun
lebih di padepokan goa larang merupakan buktinya, bukankah eyang
resi Wanayasa sudah menganggap kita ini anak-ananya,” ujar Dampu
Awuk.
“Itu benar adik Wulan,” timpal Seta Keling.
“Adik Wulan, coba kau gerakan tangan dan kakimu,”kata
Saka Palwaguna.
“Ahhh, sudah bisa kakang. Tapi seluruh tubuhku masih
terasa lemah dan tenagaku belumpulih kembali.”
60
Api Berkobar di Karang Sedana
“Istirahatlah adik Wulan, tenagamu nanti akan pulih dengan
sendirinya,” ujar Seta keling.
“Tapi kakang.”
“Ada apa adik Wulan?”
“Bagaimana dengan Karang Sedana? Kalian tidak bisa diam
saja di sini.”
“Ehh, tapi bagaimana dengan mu adik Wulan? Kami tidak
mungkin meningalkan mu sendirian di sini,” sela Dampu Awuk.
“Kenapa tidak mungkin kakang, ingat kita diperintahkan
meninggalkan goa larang untuk membantu Karang Sedana.”
“Iya, tapi kondisi mu, mana mungkin adik wulan.”
“Mungkin saja kakang Seta, tinggalkan aku di sini, tempat ini
cukup aman, aku akan tinggal di dalam goa begitu kalian berangkat
dan tidak akan keluar sebelum kalian datang.”
“Iya, tapi…, tapi….”
“Sudahlah kakang Seta, tidak ada tapi-tapian, jika pasukan
pemberontak itu berangkat menjelang pajar, mereka akan tiba di
Karang Sedana tidak lama lagi, kakang terlambat, tapi kakang masih
bisa berbuat lain, menolong sang prabu misalnya, nah kakang
berangkatlah.”
“Baiklah, aku dan adik Awuk akan berangkat, biarlah adik
Saka menemanimu di sini,” kata Seta Keling, tak lama keduanya
melesat meninggalkan Anting Wulan dan Saka Palwaguna.
Setelah kepergian Seta Keling dan Dampu Awuk, Anting
Wulan kembali merenung, sesekali desahan napasnya terdengar berat.
“Ada apa adik Wulan? Apakah ada sesuatu yang membebani
pikiranmu, ku lihat dari tadi kau melamun, kerap kali menarik napas
dalam.”
“Eh…, ti…, tidak ada apa-apa kakang Saka. Hanya aku
merasa karena aku kalian tidak dapat bahu-membahu membela
Karang Sedana.”
“Adik Wulan, kenapa kau berpikir seperti itu, kita sudah
seperti saudara sendiri, berjuang dan saling membela, seharusnya
pikiran seperti itu tidak ada lagi dalam angan-angan mu,” ujar Saka
Palwaguna, ditatapnya Anting Wulan dengan saksama, pandangan
61
Api Berkobar di Karang Sedana
keduanya beradu beberapa saat, kesunyian menggantung di udara,
Anting Wulan terlihat menundukkan wajahnya.
“Oh…, kau benar kakang Saka, akan tetapi bukan itu yang
menjadi beban pikiranku, kemelut dalam dadaku justru karenamu,
kakang…,” desah Anting Wulan dalam hati.
“Eh, adik Wulan masuklah ke dalam goa, kau perlu istirahat
dan jangan berpikir yang tidak-tidak.”
“Kakang….”
“Iya adik Wulan, ada apa?”
“Tiba-tiba saya merasa haus, aku ingin minum kakang.”
“Haus…, baiklah kau tunggu di sini aku akan mencari air
untuk mu adik Wulan.”
“Cepatlah kakang.”
“Baiklah,” ujar Saka Palwaguna lantas melompat cepat untuk
mencari sumber mata air.
Semantara itu Seta Keling dan Dampu Awuk yang sedang
menuju kota raja Karang Sedana tampak berlari dengan cepat, kedua
kaki mereka dengan gerak kidang mamprung seakan tidak menjejak
bumi, beberpa saat kemudian kedua murid eyang Wanayasa itu tiba
tidak jauh dari gerbang kota raja Karang Sedana yang porak-poranda,
kobaran api masih menjilati pintu gerbang kokoh tersebut.
“Lihat kakang, mereka telah berhasil menjebol pintu gerbang
utama.”
“Dugaan adik Wulan benar, mari kita lihat keadan gusti
prabu Aji Konda,” kata Seta Keling, keduanya lantas melesat
memasuki ibu kota Karang Sedana.
Beberapa prajurit pemberontak berusaha menghadang jalan, dengan
senjata terhunus mereka merangsek menyerang Seta Keling dan
Dampu Awuk.
“Jangan layani mereka adik Awuk, ayo terus ke istana,” kata
Seta Keling yang sesekali menangkis serangan para prajurit
pemberontak, pemuda gagah murid utama padepokan goa larang itu
belumlah tenang sebelum mengetahui kondisi prabu Aji Konda,
namun satu bayangan berkelebat dengan cepat dan kini telah
menghadang Seta Keling dan Dampu Awuk, kedua telapak tangan
62
Api Berkobar di Karang Sedana
orang itu terkembang ke depan serangkum angin panas menahan laju
Dampu Awuk dan Seta Keling.
“Hahaha…, mau kemana kau anak muda?” kata orang itu
masih tertawa-tawa dengan pongahnya.” Jagal Pati, Jagal Belo, Jagal
Lanang kalian hadapi dua orang ini.” Belum kering ucapan orang
tersebut tiga orang gegeduk golongan hitam itu sudah berdiri
mempersempit jarak pengepungan.
“Adik Awuk tinggalkan mereka, biar aku yang melayani
mereka,” bisik Seta Keling yang langsung direspon Dampu Awuk
yang kembali melesat menembus barikade pertahanan prajurit
pemberontak.
Pertempuran terus berkecamuk dengan hebat, desakan
prajurit pemberontak kini sudah sampai di halaman kedaton Karang
Sedana, sang prabu Aji Konda dengan gagah berani berusaha
membendung prajurit musuh yang mengepungnya, pedang di tangan
kananya berkelebat ke sana ke mari membabat dan menusuk pasukan
musuh yang seakan tidak ada habis-habisnya. Dalam situasi genting
tersebut Dampu Awuk terlihat melesat sebat dan kini telah berada di
samping raja Karang Sedana itu.
“Maap tuanku, kami datamg terlambat,” kata Dampu Awuk
yang dengan garang segera merangsek petahanan prajurit musuh.
“Ah, terimakasih anak muda. Mana kawanmu yang lain?”
“Kami hanya berdua tuankau.”
Dari arah samping kiri muncul ki Demang Suwanda sembari
tertawa-tawa jumawa.
“Hihihihehehe, hey…, katakana pada tuanmu bahwa
kawanmu sedang mengubur salah seorang temannya,” katanya lantang
membuat prabu Aji Konda tertegun beberapa kejap.
“Benarkah itu anak muda?”
“Tidak benar tuanku, mereka telah melukai adik Wulan
denga racun, tapi kami bisa mengatasinya, sekarang ia sedang istirahat
tuanku,” sela Dampu Awuk.
“Licik, aku akan mengadu nyawa dengan kalian,” sentak
prabu Aji Konda yang murka mendengar Anting Wulan terluka, maka
kembali raja Karang Sedana itu melancarkan jurus-jurus
kanuragannya menghadapi para prajurit pemberontak yang seakan
63
Api Berkobar di Karang Sedana
tiada habis-habisnya, di tempat lain Seta Keling yang berusaha
menahan serangan ketiga orang golongan hitam mulai terdesak hebat,
ia semakin mengkhawatirkan kondisi prabu Aji Konda, dengan
pertimbangan itu Seta Keling harus berpacu dengan waktu, begitu ada
kesempatan untuk mengetrapkan aji kincir metu maka pemuda
perkasa dari goa larang itu mamapu menahan serangan tiga orang
pendekar golongan hitam tersebut, kesempatan yang hanya sekejap itu
dipergunakan untuk meninggalkan lawannya dan segera melesat
menuju istana Karang Sedana.
“Hamba datang tuanku,” kata Seta Keling yang langsung
dikepung para prajurit pemberontak, pertempuran sengit pun kembali
berkecamuk dengan hebat.
“Ah, kakang Seta telah tiba,” ujar Dampu Awuk yang
kembali berkobar semangat tempurnya.
Seta Keling yang baru tiba langsung meningkatkan aji kincir metu,
tubuhnya tampak bayang-bayang hitam berputar cepat laksana gasing,
hujan anak panah dan tombak mental begitu satu jengkal mendekati
tubuhnya, perlahan-lahan putaran tubunya mendekat Jagal Belo, Jagal
Lanang, Jagal Pati dan ki Demang Suwanda yang baru datang.
“Ayo ki Demang kita kepung anak muda ini.”
“Berbahaya ki Darpo, pergunaan saja senjata lenparmu, aku
akan coba dengan pisau kecilku ini,” kata ki Demang Suwanda lantas
lemarkan beberapa pisau kecil pada bayang-bayang hitam yang terus
berputar dengan cepat, pisau itu mental entah kemana ketika satu
jengkal siap menembus pusaran angin yang menyelubungi tubuh Seta
Keling, pun dengan senjata lempar jarum-jarum halus milik ki Darpo,
mental bahkan sebagian ada yang berbalik menyerang pemiliknya
sendiri, senjata makan tuan.
Pertarungan terus berkecamuk dengan hebat, Dampu Awuk
yang bertempur dengan gagah berani tanpa ia sadari telah terpisah
jauh beberapa tombak dari prabu Aji Konda pun dengan Seta Keling
yang kini mulai kerepotan dengan datangnya para tokoh-tokoh
golongan hitam tingkat satu yang menyerangnya habis-habisan, saat
itulah dari kejauhan terdengar derap kereta kuda melaju mendekati
halaman istana karang Sedana, sorak-sorai prajurit penghianat
64
Api Berkobar di Karang Sedana
terdengar lantang meneriakan sambutan pada si penunggang kereta
yang baru tiba.
“Hidup ki Sentana…! Hidup ki Sentana…!” teriak prajurit
musuh.
“Ki Sentana tiba, lindungi keretanya ki Darpo,’ kata ki
Demang Sentana lantang.
“Baik ki Demang,” ujar ki Darpo lantas jejakan kakinya dan
kini gegedug golongan hitam itu sudah berada di samping kereta kuda
ki Sentana diapit beberapa prajurit musuh dengan menggelar pormasi
pagar betis.
“Oh, belum selesai juga,” kata ki Sentana dari atas kereta
kuda miliknya.
“Manusia ular, kau masih mengenalku?” kata prabu Aji
Konda berang, raja Karang Sedana itu pandang tajam ki
Sentana,gerahamnya generetak menahan amarah, pedang dalam
genggamanya bergetar hebat.
“Tentu saja aku masih mengenalmu Konda, lama aku
membantumu tapi maap kau tidak bisa mengendalikan pemerintahan
Karang Sedana, jadi untuk itu aku merebutnya, aku ingin
menyelamatkan Karang Sedana,” ujar ki Sentana dengan pongahnya.
“Manusia licik, kubunuh kau…!” sentak prabu Aji Konda.
“Hehehe, kenapa kau tidak bersikap lunak dan sopan padaku
Konda, mungkin aku dapat mengampuni mu, mengampuni
keluargamu.”
“Tutup mulutmu manusia licik,” sentak prabu Aji Konda
berang, pedang yang masih digenggamnya berkelebat cepat mengincar
bagian tubuh mematikan dari ki Sentana, melihat tuannya dalam
bahaya ki Demang Suwanda memapasi serangan prabu Aji Konda
denga pedangnya, pertarungan antar ki Demang Suwanda dengan
prabu Aji Konda berlangsung beberapa kejap.
“Ki Demang mundurlah, aku masih ingin bicara dengannya.”
“Baik tuanku,” ujar ki Demang Suwanda kemudian
memposisikan dirinya di samping kereta ki Sentana. keselamatan
“Kenapa kau mundur hah? Ayo layani aku!”
“Konda, kuminta tenanglah, dengar demi
keluargamu sendiri….”
65
Api Berkobar di Karang Sedana
“Jahanam licik,” sentak prabu Aji Konda.
“Ki Demang bagaimana dengan keluarga kawanku ini?
Pertempuran sudah selesai tapi aku tidak melihat mereka.”
“Maapkan, kami tidak berhasil menemukan mereka di
seluruh bagian istana ini.”
“Hemmm, hehe…, agaknya kau sudah mempersiapkan jalan
rahasia dari istanamu ini, Konda kau akan kulepas untuk bertemu
keluargamu asal kau menunjukan simpanan harta kerajaan.”
“Persetan! Kau tidak akan mendapatkan harta itu, aku tidak
takut mati.”
“Begitu, hehehe, baiklah, baiklah kalau begitu. Ki Demang,
kau bisa berbuat sesukamu pada orang itu,” tandas ki Sentana.
“Baik tuanku, akan hamba selesaikan manusia ini,” kata ki
Demang Suwanda yang kembali menerjang prabu Aji Konda.
Ki Sentana yang semula penasehat Kerajaan Karang Sedana,
penasehat prabu Aji Konda kini berdiri tegak di atas kereta kuda,
memilin kumis tipisnya sambil memperhatikan jalannya pertempuran
maut itu, semantara pertarungan antara Dampu Awuk dan Seta Keling
melawan para gegeduk golongan hitam berlangsung semakin seru,
jurus-jurus maut, aji kesaktian simpang siur mewarnai pertarungan
maut itu, mereka bertempur sambil berusaha melindungi prabu Aji
Konda yang mulai kelelahan.
Kita tinggalkan sejenak pertempuran maut yang berlangsung
di halaman istana prabu Aji Konda, semantara itu jauh di pinggiran
Kerajaan Karang Sedana di sebuah goa, Saka Palwaguna yang
menemani Anting Wulan dengan tergesa melesat mencari air untuk
minum adik seperguruannya itu, di sebuah sendang Saka Palwaguna
hentikan lari.
“Hem,masih cukup bayak air di sini, aku harus segera
memberikan air ini pada adik Wulan, kasihan dia nampak kehausan
sekali,” gumam Saka Palwaguna, setelah menampung air sendang di
dalam kantong air Saka Palwaguna segera melesat kembali untuk
memberikan air pada Anting Wulan.
“Adik Wulan, ini kubawakan air untukmu,” teriak Saka
Palwaguna.
66
Api Berkobar di Karang Sedana
“Wulan, ini air yang kau minta,” katanya lagi namun tidak
ada jawaban dari Anting Wulan, merasa curiga Saka Palwaguna
segera menghabur masuk ke dalam goa.
“Ah, adik Wulan kenapa kau?” kata Saka Palwaguna sembari
meletakan kepala adik seperguruannya itu di pangkuannya.
“Kakang Saka…, aku….”
“AdikWulan apa yang terjadi dengan mu?”
“Kakang, tubuhku terasa panas sekali, aku haus kakang…,”
rintih Anting Wulan sambil memejamkan kedua matanya.
“Ah, celaka adik Wulan, agaknya racun itu belum tuntas
keluar semuanya.”
“Kakang Saka, beri aku minum kakang….”
“Jangan adik Wulan, kau tidak boleh minum dalam keadaan
seperti ini,aku akan mencoba menolong mu, maap aku harus melihat
pusat lukamu adik wulan,” kata Saka Palwaguna dijawab anggukan
lemah Anting Wulan.
“Ah, celaka luka kecil yang dibuat kakang Seta untuk
mengeluarkan racun kini kembali menghitam, ehh adik Wulan bantu
aku mencoba menghentikan racun ini dengan tenaga dalamku,” kata
Saka Palwaguna lantas menempelkan telapak tangan kananya di
pungnggung kiri Anting Wulan.
“Kakang…, aku tidak kuat lagi kakang…,” keluh Anting
Wulan kemudian ambruk ke lantai goa.
“Celaka, tenagaku tidak bisa tersalur dengan baik tanpa
bantuan adik Wulan sendiri yang terluka, ohh Dewata aku harus
melakukannya, iyah tak ada jalan lain hanya jalan itu satu-satunya
untuk menyembuhkannya,” gumam Saka Palwaguna.
Karena khawatir dengan keselamatan adik seperguruan
sekaligus saudara angkatnya Saka Palwaguna tanpa sungkan segera
menempelkan bibirnya pada luka di bahu kiri Anting Wulan yang
menghitam legam akibat racun ganas pukulan beracun Jagal Belo,
berkali-kali Saka Palwaguna menghisap, menyedot dan berusaha
mengeluarkan racun yang sudah berampur dengan darah Anting
Wulan, darah hitam itu terus disedot dan dimuntahkan kembali oleh
Saka Palwaguna, berangsur-sangsur darah yang semula hitam
perlahan tapi pasti berobah menjadi merah segar, dihisapan yang
67
Api Berkobar di Karang Sedana
kesekian kalinya kesadaran Anting Wulai mulai pulih dan betapa
kagetnya ia begitu kesadarannya pulih dan merasakan satu sosok
tengah mendekapnya, gadis pendekar yang belum menyadari situasai
itu langsung melancarkan pukulannya dan telak mengenai dada Saka
Palwaguna.
“Kakang Saka, apa yang baru saja kau lakukan dengan
diriku?” kata Anting Wulan marah, tatapan mata gadis perkasa itu
begitu menusuk tajam pada kakangnya.
“Ehh, adik Wulan…, aku tidak melihat jalan lain lagi untuk
menolongmu, tenaga dalamku tidak tersalur dengan sempurna ketika
kau pingsan, jadi aku melakukan cara itu,” kata Saka Palwaguna
berusaha menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya, perlahan sorot
mata Anting Wulan yang semula tajam meredup, gadis manis itu
tertunduk dalam dan mulai menangis.
“Adik Wulan maapkan aku….”
“Aku manusia tidak berbudi, liar dan kasar, bukankah begitu
kakang Saka?” kata Anting Wulan diantara isak tangisnya, perlahan
Saka Palwaguna dekati Anting Wulan, merengkuh rambut dan
mengelusnya dengan rasa kasih.
“Tidak, kau tidak mengerti adik Wulan karena baru siuman
dari pingsanmu,” kata Saka Palwaguna coba menenangkan hati adik
seperguruannya, kau terkejut dan siapapun pasti akan melakukan hal
yang sama seperti dirimu,” imbuh Saka Palwaguna.
“Bagaimana dengan pukulanku tadi kakang? Apakah melukai
mu?”
“Oh tidak adik Wulan, hanya masih terasa sedikit sakit.”
“Maapkan aku kakang Saka,” kata Anting Wulan yang masih
terisak-isak.
“Sudahlah adik Wulan, bagaimana dengan tubuh dan
tenagamu, aku merasakan pukulanmu sudah berisi tenaga.”
“Iya kakang, walau masih terasa lemas, sebagian tenagaku
mulai pulih kembali.”
“Ah, syukurlah adik Wulan, sekarang istirahatlah.”
“Iya kakang, aku akan coba memulihkan seluruh tenagaku,”
kata gadis manis ini lantas duduk bersila, mengheningkan cipta, rasa,
dan karsanya pada yang maha tunggal, pun dengan Saka Palwaguna,
68
Api Berkobar di Karang Sedana
pemuda gagah murid eyang Wanayasa itu tampak duduk bersila,
matanya perlahan dipejamkan, kedua telapak tangan diletakan di paha,
dihisapnya udara sekitar dalam-dalam, menghimpunnya beberapa
detik di dada, lalu dihembuskannya perlahan melalui mulutnya, tiga
kali Saka Palwaguna melakukan hal sama, tak lama ia telah larut
dalam semadinya.
Sedangkan Anting Wulan, gadis manis itu belum juga
mampu memfokuskan seluruh indra dalam tubuhnya, jiwanya masih
dilanda kegelisahan, walau dicoba berulang-ulang gelora batinnya
semakin bergemuruh, pikirannya jadi kemana-mana, perlahan dia
buka kembali kedua matanya, dipandanginya Saka Palwaguna yang
tengah semadi, desahan napas Anting Wulan terdengar berat, karena
tidak bisa memusatkan pikiran gadis manis itu memutuskan bersadar
di bawah pohon sambil memperhatikan Saka Palwaguna yang tengah
bersemadi dengan berjuta rasa, justru saat itulah kantuk malah datang
lebih cepat, Anting Wulan tertidur dengan pulasnya.
Entah berapa lama ia tertidur, ketika bangun dirasakannya
tubuhnya kini sudah segar dan pulih seperti sediakala, diliriknya Saka
Palwaguna yang masih semadi, gadis manis itu tampak berdiri
perlahan dalam sekali jejakan kaki tubuhnya melenting menerobos
gerumbul perdu dihadapannya, ketika kembali beberapa buah-buahan
hutan sudah ada dalam bungkusan daun pisang.
Anting Wulan memutuskan menunggu Saka Palwaguna
menyelesaikan semadinya, dipandanginya wajah kakak
seperguruannya itu dengan saksama, gelora jiwanya kembali
membuncah.
“Kakang Saka, tahukah kau selama ini aku memendam rindu
padamu, aku begitu mencintaimu kakang, ohhh…, Dewata, jika tidak
ada Intan pandini akupun agaknya tidak akan tahu perasan hatiku
sebenarnya pada kakang Saka, selama ini aku begitu mencintainya,
aku begitu cemburu melihat perhatiannya pada Intan
Pandini,ohhh…,bagaimanakah kakang, apakah kau juga mencintaiku
kakang Saka…,” desah Anting Wulan dalam hati. Semantara itu Saka
Palwaguna yang tengah semedi untuk memulihkan tenaganya, kini
telah terjaga.
69
Api Berkobar di Karang Sedana
“Oh, semedimu telah selesai adik Wulan, bagaimana keadaan
tubuhmu?”
“Sudah terasa jauh lebih baik kakang.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Kakang, makanlah buah-buahan itu untuk meyegarkan
tubuh kakang.”
“Eh,adik Wulan darimana kau dapatkan buah-buahan ini?
“Dari hutan kecil yang tak jauh dari goa ini, kakang, cicipilah
manis sekali.”
“Eh iya, iya…, kau baik sekali adik Wulan, terimakasih ya,”
kata Saka Palwaguna lantas memakan buah-buahan yang ada di atas
daun pisang.
“Kakang yang baik sekali, kakang yang menyelamatkan
jiwaku, aku tidak tahu harus membalas bagaimana.”
“Ahh, sudahlah adik Wulan, kau jangan membicarakan balas
budi diantara sesama kita, entah bagaimana nasib Kerajaan Karang
Sedana, aku khawatir gerbang utama sudah berhasil mereka
hancurkan, dan hancurlah sudah, Karang Sedana sudah tidak mungkin
menahan serbuan dari para pemberontak.”
“Kakang Saka, bagaimana kalau kita susul kakang Awuk dan
kakang Seta.”
“Jangan adik Wulan, banyak yang terjadi dalam setengah hari
ini, belum tentu kita dapat menemukan mereka, kaupun belum
sembuh benar.”
“Tidak kakang, kita harus segera menyusul mereka, kita tidak
bisa berdiam diri di sini sedang kakang Seta dan kakang Awuk
menyabung nyawa dengan para pemberontak itu.”
“Ehh, tapi….”
“Kakang harus pergi bersamaku ke Karang Sedana,” tandas
gadis manis itu mulai menunjukan kekerasan hatinya.
“Baiklah adik Wulan.”
“Bagus kakang mari kita berlomba ke Karang Sedana,”ujar
Anting Wulan, tak menunggu lama keduanya tampak melesat
menggunakan aji kidang mamprung.
70
Api Berkobar di Karang Sedana
“Adik Wulan kau belum sembuh benar, hemat tenagamu
untuk pertempuran di sana” ujar Saka Palwaguna yang menjajari lari
cepat kidang mamprung milik Anting Wulan.
“Hihih…, kita lihat saja nanti kakang Saka,” kata gadis manis
itu lantas menambah kecepatan larinya, Saka Palwaguna hanya
menggelengkan kepala melihat tingkah adik seperguruannya itu, ia
pun segera mempercepat larinya mengejar Anting Wulan yang
tubuhnya kini sudah jauh meningalkan dirinya.
Semantara itu pertemuran antara prabu Aji Konda dibantu
Dampu Awuk dan Seta Keling melawan para prajurit pemberontak
semakin memprihatinkan, gempuran bertubi-tubi sudah menguras
sebagian tenaganya, prabu Aji Konda yang dikeroyok belasan prajurit
musuh mulai kewalahan apalagi ditambah gempuran ki Demang
Suwanda yang agaknya sudah tidak sabar ingin menjatuhkannya, Seta
Keling dan Dampu Awuk yang berusaha mendekati prabu Aji Konda
terhalang puluhan prajurit musuh.
Dalam satu kesempatan ki demang Suwanda berhasil
menyarangkan pukulan telak melanda dada prabu Aji Konda, raja
karang Sedana itu limbung beberapa saat sebelum tendangan
melingkar ki Suwanda melanda kepalanya di tambah jatuhan tumit
telak menghujan bahu prabu Aji Konda hingga ambruk ke tanah.
“Cepat…, cepat, anak muda tinggalkan tempat ini biarkan
aku mati di halaman istanaku,” seru prabu Aji Konda memperingatkan
Seta Keling dan Dampu Awuk yang kondisinya pun sangat
memprihatinkan, kedua murid eyang Wanayasa itu sudah mulai
kelelahan, beberapa luka dari goresan senjata tajam tampak di tubuh
keduanya.
Keadaan Prabu Aji Konda, Seta Keling dan Dampu Awuk
yang terkepung pasukan pemberontak sangat memprihatinkan,
derasnya serangan dari segala penjuru tidak dapat dibendung lagi,
goresan pedang yang memercikan darah di tubuh ketiganya mulai
mengganggu konsentrasi hingga pada saat yang genting sekelebatan
bayangan hitam kini sudah berada di samping Prabu Aji Konda tepat
sebelum pedang Demang Suwanda menembus dada raja Karang
Sedana tersebut, hembusan angin dingin yang keluar dari tubuh orang
itu seakan membekukan tulang persendian, pedang ki Demang
71
Api Berkobar di Karang Sedana
Suwanda tertahan, bergetar hebat satu jengkal dari tubuh prabu Aji
Konda.
“Heh, curang kalian semua, mengeroyok tiga orang dengan
puluhan prajurit juga tokoh nomor satu golongan hitam,” kata orang
bertopeng hitam itu pelan, perlahan orang bertopeng hitam itu gapit
lengan prabu Aji Konda yang sudah mencapai batas kekuatannya.
“Siapa kau orang bertopeng? Apakah kau seorang pengecut
hina,” kata ki Dalem Sentana, dipandanginya orang bertopeng hitam
itu dengan tajam.
“Heh, hehehe…, ki Sentana, aku bukan pengecut hina, atau
penghianat hina, aku ingin meluruskan yang tidak benar, menolong
yang sangat membutuhkan.”
“Heh, ki Demang Suwanda.”
“Saya ki Sentana.”
“Lepaskan topeng orang gila itu, aku ingin tahu siapa dia.”
“Baik ki Sentana,” kata ki Demang Suwand, perlahan
pendekar tua itu kembali mencabut pedangnya.
“Gusti prabu, kita akan segera pergi dari sini, pegang erat
tangan hamba,” bisik orang bertopeng hitam itu pelan, prabu Aji
Konda hanya mampu mengangguk.
“Serang mereka semua…!”
Tidak menunggu aba-aba dua kali puluhan prajurit dibantu
tokoh-tokoh nomor satu golongan hitam kembali mengadakan
penyerangan, orang bertopeng hitam ganda tertawa, begitu telapak
tangan kanannya dikembangkan ke depan serangkum angin dingin
sesaat menghentikan laju serangan dan dalam sekali jejakan kaki ke
tanah, orang bertopeng hitam itu melenting ke udara sambil
mendukung prabu Aji Konda keluar dari kepungan.
“Terimakasih anak muda, selamatkan dirimu segera…!” kata
orang bertopeng hitam yang dalam sekali lompatan tubuhnya kini
sudah jauh meningalkan pintu gerbang utama Karang Sedana,
semantara Seta Keling dan Dampu Awuk memanpaatkan situasi
sekejap itu untuk mengetrapkan aji kidang mamprung, tubuh
keduanya melenting cepat laksana kilat ke tengah ibu kota Karang
Sedana.
72
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kejar mereka, aku menghendaki kedua anak muda itu hidup
atau mati,” teriak ki Dalem Sentana, diikuti melesatnya beberapa
tokoh golongan hitam dan para prajurit pemberontak, namun sampai
beberapa lama para prajurit dan para pendekar golongan hitam itu
tidak mampu mengejar dan menemukan buruannya.
“Ampun tuanku, mereka semua berhasil meloloskan diri,
para prajurit pun tokoh-tokoh pilihan tidak mampu menemukan
mereka,” kata ki Demang Suwanda dengan nada suara sedikit
bergetar.
“Kurang ajar, bodoh kalian semua, lakukan pengejaran, cari
dan temukan Aji Konda dan keluarganya, sebar orang-orang kalian,
hadiah besar menanti sapapun yang dapat menangkapnya.”
“Baik, baik ki Sentana.”
“Dan untuk kedua anak muda itu, ia lari ke tengah kota raja,
cari dan bunuh keduanya.”
“Baik, ki Sentana akan saya laksanakan.”
“Bagus, “ tandas ki Dalem Sentana.
“Ki Darpo, kau bersama Jagal Pati, Jagal Lanang, jagal Belo
dan beberapa kawan mencari Aji Konda sedang aku dan beberapa
prajurit mencari kedua anak muda itu.
“Baik ki Demang.”
“Berangkatlah segera,” tandas ki Demang Suwanda. Tidak
membuang waktu merekapun segera menjalankan tugasnya masing-
masing.
“Ki Sentana, ehh…, tuan sekarang telah berhasil , Karang
Sedana sudah berada di tangan tuan, silahkan ambil singgasana itu,”
kata ki Demang Suwanda.
“Tapi ki Demang, aku belum tenang duduk di takhta Karang
Sedana selama Aji Konda belum tertangkap.”
“Tuan bisa melakukannya sambil membina dan mencari
tambahan pasukan baru, ini harus dilakukan segera karena Ranghyang
Prabu Sora akan menagih imbalan yang tuan janjikan padanya.”
“Ki Demang, katakana pada Ranghyang prabu Sora, aku
ingat semua janjiku, begitu beliau menginginkan pasukan aku akan
segera mengirimkannya, tapi kuharap pasukan Indraprahasta jangan
dulu kau Tarik aku masih memerlukannya membina keamanan.”
73
Api Berkobar di Karang Sedana
“Baik, baik prabu Sentana.”
“Ki Demang, sebentar lagi aku akan menobatkan diri sebagai
kepala pemerintahan Karang Sedana bergelar Prabu Jaya Sentana,
tolong sampaikan hal ini pada Ranghyang Prabu Sora.”
“Baik gusti prabu Jaya Sentana,” kata ki Demang Suwanda,
keduanya lantas masuk ke dalam istana Karang Sedana.
-o0o-
Anting Wulan dan Saka Palwaguna baru saja tiba tidak jauh
dari pintu gerbang utama Karang Sedana teregun melihat banyaknya
prajurit pemberontak lalu-lalng di jalan-jalan utama kotaraja.
“Tunggu adik Wulan, agaknya pertempuran sudah selesai,
jangan sembrono kita harus tahu dulu situasai di dalam.”
“Tapi kakang Saka, bagaimana dengan nasib kakang Seta dan
kakang Awuk?”
“Iya kita akan mencari tahu, tapi harus berhati-hati.”
“Jika terjadi sesuatu dengan kakang-kakangku, aku akan
membuat perhitunga khusus dengan mereka, akan ku bakar mereka
yang meyusahkan kakang-kakangku,” tandas Anting Wulan.
“Sudahlah adik Wulan, bukan waktunya mengumbar amarah
saat ini, tapi berpikir tenang.”
“Berpikir tenang, tanpa berbuat sesuatu?”
“Tentu saja kita akian berbuat sesuatu, kita akan bertindak
tapi tidak sembrono.”
“Lalu apa saran kakang?”
“Adik Wulan, kau rapihkan rambut dan pakailah ikat
kepalamu, aku ingin kau terlihat seperti laki-laki.”
“Demi untuk kakangku aku lakukan ini, jika tidak aku lebih
senang mencungkil mata laki-laki kurang ajar dari pada menghindar
seperti orang ketakutan.”
“Kita tidak takut adik Wulan, tapi seperti katamu tadi ini
untuk kepentingan kakang Seta dan adik Dampu Awuk.”
“Hehh, baiklah kakang.”
“Tunggu, alismu sedikit dipertebal, kulit wajah mu juga
jangan seputih dan sehalus itu.”
“Eh, baik kakang Saka, sebentar ya.”
74
Api Berkobar di Karang Sedana
Setelah menyiapkan penyamarannya Anting Wulan dan Saka
Palwaguna yang mengurai rambutnya yang semula digelung benar-
benar tidak dikenali lagi, dengan jalan yang dibuat-buat keduanya
tampak seperti orang desa yang ketakutan melihat para prajurit yang
lalu lalang di jalan utama Karang Sedana.
“Adik Wulan, kendalikan dirimu, jangan berbuat hal yang
dapat merusak rencana kita mencari tahu keberadaan kakang Seta dan
adik Awuk di dalam kota raja.”
“Iya, aku mengerti kakang Saka.”
Dengan tertatih-tatih keduanya kini memasuki pintu gerbang
utama Karang Sedana dengan beberapa penduduk yang juga ingin
masuk, penjagaan di pintu gerbang utama diperuntukan bagi yang
akan keluar meninggalkan Karang Sedana, dengan demikian keduanya
berhasil memasuki gerbang utama.
Beberapa saat kemudian keduanya tiba tidak jauh dari
halaman istana karang Sedana yang tampak porak poranda, kepulan
asap masih membumbung di udara, api masih berkobar di berbagai
sudut kedaton.
“Hem, tidak ada sesuatupun yang bisa dijadikan petunjuk di
mana kakang Seta dan kakang Awuk berada,” gumam Anting Wulan.
“Kita harus dapat mencari tahu, ah ya ikut aku adik Wulan.”
“Kemana kakang Saka?”
“Adik Wulan kau ingat gadis yang kita tolong itu, ayo kita
menemuinya.”
“Heh, baiklah kita ke rumah gadis mu,” kata Anting Wulan
ketus.
“Hey, kau masih bisa bercanda dalam situasi seperti ini adik
Wulan.”
“Hehh, kakang juga masih teringat Intan Pandini pada saat
seperti ini.”
“Sudahlah adik Wulan, ayo kita ke sana, hati-hati prajurit di
sebelah kananmu memperhatikan kita,” bisik Saka Palwaguna.
“Heh, baiklah kakang,” kata Anting Wulan, keduanya kini
berjalan melewati para prajurit pemberontak yang masih berseliweran,
di sebuah tikungan keduanya hentikan langkah, di sebuah rumah yang
cukup besar Saka Palwaguna tampak mengetuk pintu.
75
Api Berkobar di Karang Sedana
“Sampurasun…, sampurasun.”
“Rampes,” terdengar jawaban dari dalam seiring terbukanya
pintu rumah besar tersebut, seraut wajah ayu muncul di ambang pintu.
“Siapakah tuan? Hendak mencari siapa.”
“Intan, apa kau sudah tidak mengenaliku lagi?”
“Ehh, kakang…, kakang Saka, dan ini tentu Anting Wulan,
mari…, mari silahkan masuk.”
“Iyah…, Intan di mana pamanmu?
”Ada, paman dan bibi ada di belakang sedang berbincang-
bincang dengan tetangga.”
“Intan siapa yang mencariku itu?” terdengar suara laki-laki
tua dari dalam.
“Ini kakang Saka yang telah menolong saya paman.”
“Siapa mereka Intan?’” kata lelaki tua yang baru datang
tertatih-tatih menghampiri Intan Pandini.
“Ini kakang Saka dan…emh.”
“Panuluh, kawan saya bernama Sada Panuluh,” sela Saka
Palwaguna, Sada Panuluh adalah tetanggaku di Banyu Anyar,”
imbuhnya.
“Ehhh, apa maksud kalian berkunjung dalam situasai seperti
ini,” kata orang tua itu merasa kurang senang dengan kedatangan Saka
Palwaguna dan Anting Wulan.
“Justru saya menjadi bingung melihat situasi yang tiba-tiba
saja seperti ini,” ujar Saka Palwaguna, seakan baru terjadi perang
besar.”
“Anak muda, aku ki Cangkara tak ingin karena
kedatanganmu kemari jadi urusan dengan para prajurit pemberontak
itu.”
“Prajurit pemberontak,” gumam Saka Palawaguna.
“Iya, siang tadi Karang Sedana sudah jatuh ke tangan para
pemberontak,” kata ki Cangkara.
“Ahh…, kasihan sekali sang prabu, jika ia tidak gugur dalam
pertempuran tentu akan digantung bersama para pejabat atau dengan
keluarganya,” sela Saka Palwaguna.
“Ah tidak, tidak, sang prabu beserta keluarganya berhasil
melokoskan diri ,” kata Ki Cangkara.
76
Api Berkobar di Karang Sedana
“Meloloskan diri?”
“Iyah, dan kini para prajurit pemberontak sedang berusaha
mengejarnya, keadaan di kota raja saat ini sangat rawan anak muda,
tidak sembarang orang diperbolehkan meningalkan kota raja dengan
mudah,” kata ki Cangkara mengakhiri kalimatnya.
“Jika demikan tinggalah di sini kakang Saka, ehh…, kakang
Panuluh,” sela Intan Pandini yang sedari tadi diam mendengarkan.
“Dasar anak bodoh, para prajurit pemberontak sebentar lagi
akan mengadakan pemeriksaan di setiap rumah,” kata ki Cangkara
gusar.
“Pemeriksaan,” gumam Saka Palwaguna.
“Iyah, mereka mencari dua anak muda pengikut sang prabu
Aji Konda, yang berhasil melarikan diri,” kata ki Cengkara.
“Dua orang pengikut prabu Aji Konda,” sela Saka
Palwaguna.
“Yah, dua orang anak muda yang berkepandaian tinggi,
menurut prajurit pemberontak itu,” imbuh ki Cangkara.
Mendadak dari dalam rumah muncul perempuan paruh baya
dengan wajah panik menemui ki Cangkara yang sedang berbincang
dengan tamunya.
“Pak mereka datang, mereka datang, eh…, siapa mereka
pak?’ kata istri ki Cangkara itu bingung ketika melihat Saka
Palwaguna dan Anting Wulan ada di dalam rumahnya.
“Mereka kakang Saka bi, yang menolongku,” kata Intan
Pandini.
“Eh, mereka sedang kemari pak, rumah ki Sentul di ujung
jalan ini sudah dimasukin prajurit-prajurit pemberontak itu,” kata istri
ki Cangkara panik.
“Eahh, celaka anak muda, kau harus segera meninggalkan
rumahku sebelum aku digantung karena kehadiranmu.”
“Kenapa begitu paman, bukankah kedua kakang yang
menolongku ini tidak bersalah,” sela Intan Pandini.
“Sudahlah Intan, biarlah kami segera pergi dari sini,” kata
Saka Palwaguna yang bersiap melangkah pergi bersama Anting
Wulan.
77
Api Berkobar di Karang Sedana
“Tunggu anak muda, tunggu dulu,” sela istri ki Cangkara,
”bagaimana jika para prajurit itu melihat mereka keluar dari rumah
kita pak, justru keadaan kita juga akan semakin berat, kita tidak dapat
menjelaskan hal yang sebenarnya tentang kedua anak muda ini,”
menerangkan istri ki Cangkara.
“Ahhh, baiklah anak muda aku terpaksa menerima kalian di
sini, dan dihadapan para prajurit pemberontak nanti kalian akan
kuakui sebagai kemenakanku,” ujar ki Cangkara seiring suara ketukan
pintu yang sangat keras dari luar.
“Bukaaaa…! Buka pintu ini…!”
“Itu dia, mereka sudah datang bu, cepat kau bukakan pintu,”
kata ki Cangkara, sementara ketukan pintu semakin kencang disertai
teriaka-teriakan para prajurit pemberontak dari luar.
“Aku takut pak, aku takut, ayolah kita sama-sama
menemuinya pak,” kata istri ki Cangkara sambil menggigil ketakutan.
“Iyah…, sebentar tuan kami datang,” kara ki Cangkara
sambil membuka pintu rumahnya dengan tergesa-gesa.
“Kenapa lama sekali kau bukakan pintu untuk kami?” kata
salah seorang prajurit pemberontak.
“Maap tuan, kami sedang berbincang di dalam dengan
kemenakan kami, di dalam sana cukup jauh dari sini tuan,” kilah ki
Cangkara.
“Rumahmu cukup bagus orang tua, kau seorang saudagar?”
“Bukan tuan, saya hanya seorang pedagang kecil, nama saya
ki Cangkara dan semua penduduk di sini tahu saya orang baik-baik
tuan.”
“Hem, cepat geledah dan periksa isi rumah ini!” sentak
pemimpin prajurit pemberontak itu lantang, beberapa prajurit
langsung mengadakan penggeledahan di tiap sudut rumah ki
Cangkara.
Ki Jaya yang merupakan pemimpin prajurit pemberontak
yang sesungguhnya adalah seorang perwira dari kerajaan
Indraprahasta segera memerintahkan enam orang prajurit untuk
menggeledah rumah ki Cangkara.
“Siapakah mereka ini ki Cangkara?” kata ki Jaya demi
melihat kedua orang yang dicurigainya.
78
Api Berkobar di Karang Sedana
“Mereka adalah kemenakan saya tuan.”
“Ketiga-tiganya?”
“Iya ketiga-tiganya tuan.”
“Hem, lalu dimana anakmu?”
“Eh, saya tidak mempunyai anak tuan hingga saya
memelihara mereka seperti anak saya sendiri,” kata ki Cangkara coba
menjelaskan.
“Hem, aku mencari dua orang pelarian, dua orang anak muda yang
sakti dan tampan, ehhh…,” gumam ki Jaya sambil menatap Saka
Palwaguna dan Anting Wulan dalam penyamarannya.
Brakkk…!
“Bukan bodoh seperti kemenakanmu ki Cangkara.”
Mendadak ki Jaya melancarkan serangannya pada Saka
Palwaguna, pemuda murid eyang Wanayasa yang sedang menyamar
itu terpelanting kebelakang dan ambruk di tanah ketika pukulan ki
Jaya telak melanda dadanya.
“Jangan tuan, jangan. Kenapa tuan memukul kemenakan saya
tuan,” kata nyai Cangkara sembari merangkul tubuh Saka Palwaguna,
sedang ki Cangkara, Anting Wulan dan Intan Pandini terpaku di
tempatnya masing-masing.
“Aku mencurigai mereka, tapi aku telah salah duga agaknya
mereka benar-benar orang bodoh,” gumam ki Jaya yang merasa tidak
bersalah sama sekali setelah menyarangkan pukulanya pada Saka
Palwaguna.
“Iya tuan, mereka adalah orang bodoh, eh…, Saka dan kau
Panuluh mintalah maap pada tuan prajurit ini,” sela ki Cangkara.
“Iyah, maapkan saya…, tuan prajurit,” kata Saka Palwaguna
sembari menyebah seakan-akan ia takut pada ki Jaya yang ganda
tertawa-tawa senang melihat tingkah dua orang yang dianggapnya
bodoh tersebut.
“Panuluh, kau telah menimbulkan kecurigaan dari tuan
prajurit ini, mintalah maap,” kata nyai Cangkara.
“Tidak, aku tidak akan meminta maap,” sela Anting Wulan,
semua yang berada di rumah ki Cangkara terkejut bukan main
mendengar pernyataan dan sikap Panuluh yang sesunggunya Anting
Wulan, tidak terkecuali Saka Palwaguna kakangnya, ki Cangkara dan
79
Api Berkobar di Karang Sedana
istrinya langsung pucat, genetar ketakutan, sedang ki Jaya pemimpin
prajurit pemberontak berkumis lebat itu menggeram marah.
“Eh Panuluh, kau telah menimbulkan kecurigaan pada tuan
prajurit, ayo minta maaplah padanya,” kata ki Cangkara yang
mendadak gelisah dengan tingkah Anting Wulan.
“Tidak, aku tidak akan meminta maap,” tandas Anting Wulan
tegas.
“Adik Wulan, apakah kau ingin membuat susah paman
Cangkara?” bisik Saka Palwaguna yang mulai khawatir dengan sikap
adik seperguruannya itu.
“Anak setan, kau harus minta maap pada tuan prajurit ini,
lakukan jangan sampai aku marah,” ujar Ki Cangkara.
“Eh, kakang Panuluh, mintalah maap padanya,” sela Intan
Pandini.
“Tidak, aku tidak akan minta maap sedikitpun, aku tidak
bersalah padanya,” pungkas Panuluh atau Anting Wulan tegas,
membuat Ki Jaya semakin berang.
“Hehh…, agaknya anak ini tak takut mati ki Cangkara,
jangan salahkan kami jika aku keluar meninggalkan bangkai di
sini,”geram Ki Jaya.
“Tuan prajurit, anak itu memang bersalah tapi…,” sela Ki
Cangkara terbata sambil memohon-mohon.
“Iya, jangan bunuh dia tuan,” ujar istri ki Cangkara,
perempuan tua itu tampak menggigil ketakutan.
“Hahh…, aku berbuat kasar karena ulah kemenakanmu
sendiri,” dengus ki Jaya lantas memerintahkan anak buahnya
menangkap Panuluh.
“Heh Sopa, tangkap anak muda kurus itu dan paksa dia
berlutut di hadapanku,” geram ki Jaya.
“Baik tuan,” ujar seorang prajurit pemberontak lantas
mempersempit jarak bermaksud meringkus Panuluh.
“Hai anak muda, cepat berlutut sebelum kubenturkan
kepalamu di lantai,” ujar Sopa yang semakin dekat.
“Aku lebih suka jika kau membenturkan kepalaku, ayoh
silahkan,” ejek Panuluh.
80
Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh, kurang ajar, bocah gelo kupatahkan tanganmu,” sentak
Sopa lantas berkelebat menerjang Panuluh yang dalam satu gerak
replek tangan kanan Sopa telah berada dalam cengkramannya.
“Ayoh patahkan tanganku, benturkan kepalaku jika kau
mampu,” dengus Panuluh membuat prajurit pemberontak itu meringis
kesakitan.
“Ah, lepaskan tanganku bocah gelo…!”
“Ayo bunuh bocah itu!” sentak ki Jaya.
Tanpa membuang waktu beberapa anak buah ki Jaya
merangsek Panuluh yang masih memiting lengan salah satu prajurit
pemberontak, melihat hal itu Panuluh mendorong tubuh Sopa hingga
menabrak teman-temannya sendiri.
“Nah, menggelidinglah kau Sopa,” kata Anting Wulan lantas
ditendangnya tubuh Sopa hingga melabrak rekan-rekannya sendiri, hal
mana membuat Ki Jaya semakin gusar.
“Ayo cepat, bunuh anak itu!” sentak Ki Jaya.
Lima orang prajurit pemberontak langsung menyerang Anting Wulan,
pertarungan di dalam rumah Ki Cangkara berlangsung dengan sengit.
“Kau harus mempertangung jawabkan kemenakan mu ki
Cangkara,” geram Ki Jaya membuat lelaki tua itu gemetar ketakutan.
“Tapi…,tapi tuan, mereka….”
“Ah, ki Cangkara, kau tak perlu khawatir dan bertanggung
jawab, kamilah yang akan menangungnya,” sela Saka Palwaguna
tampak menata kuda-kuda penyerangan.
“Kau…, kedatangan kalian benar-benar menyusahkan kami,
kuremukkan kepalamu anak muda,” raung Ki Cangkara sembari
mengepalkan tangannya..
“Paman, jangan pukul kakang Saka,” jerit Intan Pandini yang
kini telah berdiri di hadapan pamannya, melindungi Saka Palwaguna.
“Kau membela anak muda ini yang telah menyusahkan kita,
minggir kau,” gertak Ki Cangkara, semantara pertarungan antara
Anting Wulan dan lima orang prajurit pemberontak semakin seru.
“Panuluh, cepat bereskan lawan-lawan mu!”
Anting Wulan yang sejak tadi asik mempermainkan lawan-lawannya
mendengar perintah Saka Palwaguna segera merobah kuda-kuda,
gerakannya yang semula menyesuaikan kemampuan lawan kini
81
Api Berkobar di Karang Sedana
bergerak semakin lincah, tubuh dan tanganya bergerak secepat angin
dalam sekejap kelima prajurit pemberontak berkaparan pingsan di
lantai.
“Kalian pasti teman orang yang kami cari!”sentak Ki Jaya
gusar lantas menyerang Saka Palwaguna dengan pedangnya.
“Maap aku tidak ada waktu bermain-main denganmu,”tandas
Saka Palwaguna, tubuh pemuda tampan itu seketika bergerak cepat
dan dalam hitungan detik telah berhasil melumpuhkan Ki Jaya.
“Celaka anak muda, apa yang kau perbuat ini akan
menyusahkan kami,”keluh nyai Cangkara, jangan kau apa-apakan
tuan prajurit itu,”teriak nyai Cangkara yang melihat tubuh Ki Jaya
dalam pitingan tangan kokoh Saka Palwaguna.
“Dengar perempuan tua dan kau laki-laki pengecut, duduklah
kalian di sana cepat! Jangan ada yang bergerak selama aku melakukan
pemeriksaan pada prajurit ini, kalau tidak kubunuh kalian,”gertak
Saka Palwaguna membuat Intan Pandini terbelalak tak percaya akan
kekasaran Saka Palwaguna.
“Kakang Saka…!”
“Dan kau cah ayu diamlah di tempatmu,”sela Saka
Palwaguna sembari mengedipkan sebelah matanya pada Intan Pandini.
“Kakang Saka mengedipkan sebelah matanya padaku,
agaknya ia sedang membuat rencana,”membhatin Intan Pandini yang
kini telah duduk menjelepok bersama paman dan bibinya.
“Dengar aku patahkan lenganmu jika kau tidak menjawab
pertanyaan atau jawabanmu tidak memuaskan aku,”ancam Saka
Palwaguna sambil memiting lengan Ki Jaya yang meringis kesakitan.
“Kau akan segera mampus di kota raja ini anak muda, teman-
temanku akan datang mencari aku ke mari,” sentak Ki Jaya.
“Aku tidak memerlukan kalimat itu dari mulutmu,”sentak
Saka Palwaguna yang mengencangkan cengkramanya.
“Lepaskan, lepaskan aku anak muda.”
“Dengar pertanyaanku, di mana prabu Aji Konda?” kata Saka
Palwaguna sembari melintir pergelangan tangan Ki Jaya yang masih
bungkam seribu bahasa.
“Baik…, baik, aku akan jawab.”
“Jawab…!”
82
Api Berkobar di Karang Sedana
“Prabu Aji Konda sudah tidak ada di sini, ia dilarikan laki-
laki bertopeng hitam.”
“Bagus, pertanyaan kedua, siapa yang kalian cari?”
“Dua orang anak muda seusia mu, mereka berhasil
meloloskan diri.”
“Bagus, pertanyaan terakhir, siapa kalian dan dari pasukan
mana?’
“Kami…, kami hanya rakyat biasa yang dilatih.”
“Kau bohong…,”geram Saka Palwaguna kembali
mengencangkan cengraman dan pitingan pada lengan Ki Jaya.
“Baik…, baik.., aku akan berkata yang sebenarnya…,”kata
Ki Jaya yang sudah merasa tidak tahan dengan perlakuan Saka
Palwaguna pada dirinya, saat itulah pintu belakang rumah Ki
Cangkara digedor prajurit pemberontak.”
“Celaka mereka datang, adik Wulan segera tinggalkan tempat
ini,”tandas Saka Palwaguna lantas keduanya melesat menembus
wuwungan rumah Ki Cangkara.
“Hahaha…, terimakasih Ki Cangkara atas bangtuanmu,
semoga kau digantung para prajurit pemberontak itu,”kata Saka
Palwaguna lantas sosoknya melesat cepat meninggalkan wuwungan
rumah menyusul Anting Wulan yang sudah melesat jauh
meninggalkan rumah Ki Cangkara, di sebuah bangunan tua kedua
murid padepokan goa larang itu hentikan lari.
“Kakang Saka apa rencana mu?”
“Kita tinggalkan kota raja ini, menyusul kakang Seta dan
adik Awuk.”
“Bukankah kakang Seta dan kakang Awuk belum kita
temukan.”
“Aku yakin mereka berhasil meloloskan diri dari kota raja,
ayo adik Wulan hari mulai senja.”
“Baik kakang Saka, tapi perbuatan mu tadi kakang.”
“Ah, adik Wulan, aku terpaksa melakukannya, demi
keselamatan mereka, biarlah mereka membenci kita asal mereka
selamat dari tuduhan para prajurit pemberontak itu,”kata Saka
Palwaguna lantas mengajak Anting Wulan mendekati pintu gerbang
utama yang mulai ramai didatangi para prajurit. Nampaknya berita
83
Api Berkobar di Karang Sedana
dari rumah Ki Cangkara sudah menyebar luas, beberapa prajurit dan
para pendekar golongan hitam mulai berdatangan, Anting Wulan dan
Saka Palwaguna segera bertindak cepat sebelum semua tokoh utama
golongan hitam berkumpul dengan kecepatan gerak menyerang
prajurit terdekat dan sebelum semua prajurit dan tokoh golongan
hitam bergabung dengan cepat menetrapkan aji Kidang Mamprung,
dalam sekejap keduanya telah jauh meninggalkan kota raja Karang
Sedana.
-o0o-
Nun jauh di pinggiran kota raja Karang Sedana, Roro
Angken permaisuri prabu Aji Konda, bersama putranya Raden
Angling Purbaya, Cempaka emban pengasuh, dan hulubalang
Karewang yang mengawal melalui lorong rahasia puri istana yang
terletak di pinggir benteng. Atas perintah Prabu Aji Konda kini
keempatnya telah sampai di satu tempat asing, pada satu hutan kecil
keempatnya hentikan langkah.
“Ibunda kita mau kemana? Mengapa ayahanda prabu tidak
bersama kita?” kata Raden Angling Purbaya.
“Nanti ayahandamu meyusul anakku, Pubaya,” ujar Rara
Angken dengan sedan yang tertahan.
“Kenapa ibunda menangis?”
“Ibunda ingat ayahandamu, Purbaya.”
“Bukankah ayahanda akan menyusul kita, jadi tidak usah
bersedih ibunda.”
“Eh, paman Karewang.”
“Hamba tuanku.”
“Bisakah kita istirahat di sini?”
Hulubalang Karewang tampak mengedarkan pandangan
matanya keseantero tempat, prajurit khusus Karang Sedana itu
menarik napas panjang sebelum bicara.
“Hamba kira bisa tuanku, kita sudah jauh meninggalkan kota
raja, hutan kecil ini tidak mungkin diketahui mereka.”
“Cempaka, ambil kain tebal buat tidur putraku.”
“Baik tuanku.”
“Tidak ibunda, Purbaya tidak mau tidur.”
84
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau harus istirahat anakku, perjalanan kita masih cukup
panjang.”
“Tidurlah raden, nanti dibangunkan jika sudah cukup
istirahat,” sela Cempaka lalu menggelar kain tebal di bawah sebuah
pohon rindang.
“Tidak bibi Cempaka, aku tidak bisa tidur…., eh paman
Karewang.”
“Hamba raden….”
“Ceritakanlah, apa sebenarnya yang terjadi. Jika ini
kunjungan ke Gunung Sawal megapa tidak memakai kereta Kerajaan,
diam-diam melalui lorong istana, saya memakai pakaian orang lain,
paman dan ibunda pasti menyembuyikan sesuatu.”
“Ceritakanlah tuanku, agaknya raden Purbaya sudah
merasakan sesuatu,” sela hulubalang Karewang.
“Paman Karweang jelaskalah hal itu pada Purbaya anakku.”
“Baiklah tuanku, eh begini raden, Karang Sedana sedang
dilanda perang.”
“Perang? Seperti diceritakan ayahanda manusia saling
membunuh untuk mencapai kemenangan.”
“Iya raden, begitulah yang sekarang terjadi di Karang
Sedana.”
“Jadi saat ini ayahanda sedang berperang, sedang
membunuh?”
“Ayahanda raden sedang berjuang mempertahankan haknya
dan hak raden.”
“Apakah ayahanda akan mati dalam peperangan itu, paman?”
Hulubalang Karewang tercekat beberapa kejap, dihirupnya
udara sekadar menawarkan gejolak perasaannya, perwira Karang
Sedana itu tersenyum dan berusaha mebesarkan hati junjungannya.
“Ayahanda raden adalah seorang yang sakti, ayahanda raden
akan selamat.”
“Paman bohong! Paman dusta, ayahanda akan mati.”
“Oh, Purbaya anakku….”
“Ibunda juga dusta, ayahanda akan mati kalau tidak kenapa
ibunda menangis?”
85
Api Berkobar di Karang Sedana
“Dengarlah raden, kita meninggalkan Karang Sedana saat
perang sedang berlangsung, ayahanda raden pasti mampu meloloskan
diri.”
“Paman bohong, ayahda adalah seorang kesatria tidak
mungkin dia melarikan diri.”
“Paman Karewang kita teruskan perjalanan,” sela Rara
Angken. Purbaya anakku dengar, Karang Sedana mungkin telah
dikuasai musuh tapi tidak berarti ayandamu perlaya,” ujarnya
mencoba memenangkan putra mahkota Karang Sedana tersebut.
“Siapakah musuh-musuh ayahanda itu ibunda?”
“Sudahlah anakku, kelak kau pasti akan mengetahuinya
sendiri.”
“Iyah, jika saatnya tiba aku akan membalas semua perbuatan
mereka yang telah menusahkan kita,” dengus raden Angling Purbaya.
“Marilah raden, kita lanjutkan perjalanan,” kata hulubalang
Karewang.
Dengan menahan tangis dan langkah tersarug-sarug Roro
Angken melanjutkan perjalanannya ke Gunung Sawal, raden Angling
Purbaya yang telah mengetahui duduk persoalannya justru berjalan
dengan gagah di samping ibundanya, seakan siap membela jika ada
orang yang akan mengganggu. Matahari mulai bergesar ke barat
ketika keempatnya memasuki sebuah hutan kecil.
“Paman Karewang masih jauhkah Gunung Sawal itu?”kata
permaisuri Rara Angken dengan napas memburu.
“Kita belum lagi menyelesaikan separuh perjalanan, tuanku.”
“Begitu jauhkah paman?”
“Bagaimana kalau kita mempersingkat dengan naik kuda
tuanku?”
“Tidakah itu akan membahayakan, paman.”
“Hamba rasa tidak tuanku, kita sudah keluar dari perbatasan
Karang Sedana.”
“Bagaimana Purbaya? Apa kita istirahat atau melanjutkan
perjalanan.”
“Ananda masih kuat ibunda.”
“Bagus anakku.”
86
Api Berkobar di Karang Sedana
Baru saja keempatnya melangkah di kejauhan tampak dua
orang penunggang kuda mendatanginya.
“Tuanku ada dua orang penunggang kuda menuju kemari,”
kata hulubalang Karewang.
“Apakah mereka pasukan pemberontak, paman?’
“Mereka memberi tanda supaya kita berhenti,” bisik
Karewang.
Dua orang laki-laki berkuda yang salah satunya berwajah
kekanak-kanakan kini sudah menghadang langkah hulubalang
Karewang dan permaisuri Rara Angken.
“Heh siapa kalian? Kenapa berada di sini,” kata lelaki tua
jangkung dari atas pungung kudanya sedang lelaki muda berwajah
kekanak-kanakan masih asik duduk di atas tunggangannya.
“Kami penduduk desa di pinggiran kota raja Karang Sedana,
tuan,” ujar Karewang.”Kami sekeluarga bermaksud ke Gunung
Sawal,” imbuhnya.
“Mengapa bisa sampai ke hutan ini?”
“Kami sengaja memotong jalan.”
“Apakah kalian bukan penduduk desa Pandan Sari?’
“Di manakah desa itu tuan?”
“Hemm, aku curigadengan kalian,”gumam lelaki jangkung
tersebut lalu berteriak memanggil kawannya yang masih asik
memilin-milin kumis tipisnya.
“Apung…!”
“Iya ki Podang.”
“Coba kau periksa mereka.”
“Baik ki Podang,” ujar lelaki muda bertampang kekanak-
kanakan, kemudian melompat turun dari punggung kuda dan
mendekati hulubalang Karewang dan Rara Angken.
“Ayo buka bugkusan yang kalian bawa,” kata Apung lantas
bergerak mendekati Rara Angken namun segera dihalang-halangi
hulubalang Karewang.
“Tunggu, kau tidak bisa berbuat semaumu kawan, kau tidak
aku izinkan menyentuh siapapun yang berjalan denganku,” tandas
hulubalang Karewang membuat kedua lelaki itu terperangah tidak
percaya, ada orang yang berani menentangnya.
87
Api Berkobar di Karang Sedana
“Lihat aki Podang, dia berani melawan kita, boleh aku hajar
aki?”
“Lakukan sesuka hatimu Apung, tapi jangan kau ganggu
anak dan kedua wanita itu.”
“Apung mengerti aki,”kata lelaki muda berwajah kekanak-
kanakan itu lantas mempersempit jarak hulubalang Karewang yang
masih bergeming di tempatnya.
“Hai sobat, aki Podang mengizinkan aku untuk memotong
lidahmu yang kurang ajar itu, lihatlah pedangku ini ia selalu aku asah
dan kumandikan dengan air kembang,” cerocos Apung membuat aki
Podang kehilangan kesabaran dengan tingkah anak buahnya.
“Apung…! Ayo jangan banyak bicara, selesaikan orang itu.”
“Nah, kini darah dari lidahmu itu yang akan
memandikannya!” sentak Apung kemudian merangsek ke depan
menyerang hulubalang Karewang yang sedari tadi telah siaga, Apung
tidak menyadari dengan siapa dia berhadapan maka dalam satu gerak
halus lelaki bertampang kekanak-kanakan itu sudah terlempar keluar
dari arena.
“Kurang ajar, rupanya kau punya nyali juga, pantas berani kabur dari
Pandan Sari,” dengus aki Podang geram. “Sekarang hadapi aku,”
pungkas aki Podang lantas melompat dari punggung kudanya,
mencabut senjata kemudian lancarkan serangan pada hulubalang
Karewang.
“Aku sudah katakana yang sebenarnya, tapi kau tidak
percaya, ayoh sekarang majulah!” tandas hulubalang Karewang yang
menghindari tusukan senjata lawan yang mengincar dadanya.
Pertarungan antara aki Podang dan hulubalang Karewang
berlangsung sangat cepat, pedang di tangan lelaki tua itu menderu
mencari sasaran, kadang membabat atas bawah kiri lalu bersilang kiri
dan kanan membentuk jurus swastika, namun kentara sekali
kemampuan aki Podang jauh di bawah hulubalang Karewang, dalam
beberapa jurus lelaki tua itu mulai keteteran menghadapi serangan
beruntun dari lawannya, hal mana membuat Apung merasa khawatir.
“Celaka, aki Podang akan kalah,” gumam Apung dari pinggir
arena.
88
Api Berkobar di Karang Sedana
“Apung…., beri tahu kawan lain, lesatkan panah api…,
cepat!” sentak aki Podang yang sudah mulai kehabisan tenaga, tanpa
dikomando dua kali lelaki bertampang bocah itu segera melesatkan
anak panah berapi ke udara.
“Celaka, ia mamanggil bala bantuan, aku harus segera
membereskan lelaki ini,” memikir sampai di situ Karewang segera
mempercepat gerakannya dan dalam satu kesmpatan aki Podang
mampu dijatuhkannya sedang Apung sudah terlebih dahulu kabur
entah kemana.
“Ampunkan aku anak muda, jangan bunuh aku,” rengek aki
Podang.
Saat itulah di kejauhan terlihat debu mengepul dan derap kaki
kuda banyak sekali dari ujung tebing batu, hal mana membuat aki
Podang merasa gembira, melihat situasi tersebut hulubalang
Karewang segera menaikan junjungannya Rara Angken, Raden
Angling Purbaya dan Cempaka emban pengasuh ke atas kuda milik
aki Podang.
“Pergilah ke utara tuanku, hamba kira kuda ini cukup baik,”
ujar Karewang.
“Eh hendak kau bawa kemana kudaku, kembalikan
kudaku…!”
Karewang tidak menghiraukan teriakan aki Podang, dengan
segera tarik tali kekang kuda dan tidak menungu lama kuda milik aki
Podang yang ditumpangi junjunganya itu melesat bak kilat bertepatan
dengan datangnya puluhan orang berkuda yang kini telah mengepung
hulubalang Karewang.
“Hahaha…, kau terlambat anak muda, kawan-kawanku sudah
datang,” ujar aki Podang kegirangan.
“Tangkap dia…!” sentak aki Podang.
Pertarungan pun kembali berkecamuk dengan sengait antara
hulubalang Karewang dengan para penjaga keamanan desa Pandan
Sari, kesempatan itu digunakan aki Podang untuk meloloskan diri.
-o0o-
Rara Angken pacu kuda milik aki podang bagai orang
kesetanan, yang ada dalam pikiran Permaisuri Prabu Aji Konda itu
89
Api Berkobar di Karang Sedana
hanya ingin pergi sejauh mungkin dan menghindari orang-orang yang
diangapnya berbahaya bagi keselamatan dirinya juga anaknya raden
Angling Purbaya.
“Ibunda apakah jalan yang kita tempuh benar?”
“Menurut paman Karewang begitu anakku, kita harus segera
meninggalkan tempat ini sejauh mungkin, mereka adalah orang jahat
yang suka membunuh,” ujar Roro Angken dengan napas terengah-
engah di atas pungung kuda yang melesat bagai kilat menerobos udara
pagi.
“Ibunda kasihan kuda ini, agaknya ia sudah tidak kuat lagi.”
“Benar tuanku, agaknya kuda ini mulai kelelahan,” timpal
Cempaka.
Benar saja, ketika melewati jalan yang mulai berliku, kuda
yang dikendarai Rara Angken mulai limbung, meringkik pelan
kemudian ambruk di rerumputan mengakibatkan ketiga
penunggangnya terlempar jatuh ke tahan berumput.
“Anakku Purbaya…, kau tidak apa-apa nak?”
“Saya tidak apa-apa ibunda.”
“Bagaimana denganmu, Cempaka?”
“Hamba juga tidak apa-apa tuanku.”
“Ayolah kita lanjutkan perjalanan,” kata Rara Angen.
Belum jauh meninggalkan kuda yang kini terkapar di tanah
karena kelelahan, di kejauhan tampak debu mengepul tak lama
beberapa orang yang dipimpin aki Podang kini sudah mengepung
ketiganya.
“Hahaha…, mau kemana kalian, ayo kembali ke Pandan
Sari,” sentak aki Podang lantas turun dari kuda diikuti beberapa orang
keamanan desa.
“Sudah aku katakana, kami bukan warga desa Pandan Sari!”
sentak Rara Angken.
“Kau tidak usah melawan nyai, anakmu ini jadi jaminanya,
ayo ikut!” kata aki Podang lantas menyambar lengan Raden Angling
Purbaya, anak laki-laki berusia sebelas tahun itu justru membiarkan
lengannya ditarik aki Podang, begitu sangat dekat dengan aki Podang,
Raden Angling Purbaya yang sejak tadi menahan amarah
merundukkan kepala begitu aki Podang lengah digigitnya tangan aki
90
Api Berkobar di Karang Sedana
Podang sekuat tenaga, lelaki tua itu seketika menjerit kesakitan
sembari mengibaskan lengannya membuat putra mahkota Karang
Sedana itu terlempar beberapa tombak.
“Purbaya anakku…!” jerit Rara Angken memburu anaknya
yang kini terkapar ditanah.
“Anak harimau, kurang ajar sekali kau kira tanganku ini apa
hah!” bentak aki Podang kemudian mendekat bocah pemberani yang
kini sudah berdiri dengan gagah di tempatnya.
“Kakek-kekek peot, kupecahkan kepalamu!” geram Raden
Angling Purbaya.
“Hahaha…, kau beruntung sekali mempunyai anak seperti
dia nyai, tapi apakah sekarang dia mampu menggigitku seperti tadi,”
ujar aki Podang secepat kilat lelaki tua itu kembali mencengkeram
lengan Raden Purbaya yang meronta berusaha melepaskan diri.
“Lepaskan dia aki, dia masih kecil tidak tahu apa yang
dilakukannya,” jerit Rara Angken.
“Baik asal kalian kembali ke Pandan Sari,” sentak aki
Podang, “Katakan pada anakmu, jangan berbuat macam-macam,”
imbuh aki Podang.
“Purbaya anakku, jangan kau bertindak jika ibu tidak
menyuruhmu.”
“Baik ibu, tapi saya akan pecahkan kepalanya jika ia
menyakiti ibu.”
“Sudah…, ayo kita kembali ke Pandan Sari,” sentak aki
Podang.
Rara Angken tidak bisa berbuat apa-apa, demi keselamatan
anaknya ia menurut saja ketika dibawa ke desa Pandan Sari oleh aki
Podang.
-o0o-
Lelaki tambun dengan cambang bawuk meranggas di
wajahnya nan kasar pelintir ujung kumisnya, tatapan matanya liar
menyorot tajam pada Rara Angken, Raden Angling Purbaya dan
Cempaka, ia ludahkan sisa kinang dalam pot tembaga.
“Hemm, bagus…, bagus aki Podang. Kau kembali berhasil
menggagalkan pelarian,” degusnya dengan gusar.
91
Api Berkobar di Karang Sedana
“Tapi kami bukan penduduk Pandan Sari ini ki,” ujar Rara
Angken.
“Hemmph, benarkah begitu, Podang.”
“Tapi…, tapi ki Dandung, mereka…, mereka sangat
mencurigakan,”kilah lelaki jangkung itu membela diri.
“Hemmph, siapakah kalian ini, dan mau kemana?”
“Kami penduduk desa di pinggir Kerajaan Karang Sedana ki
Dandung, kami sedang dalam perjalanan mencari ayah anak ini.”
“Siapakah gadis manis ini, anakmu juga kah?”
“Ia adik saya ki Dandung.”
“Ki Podang bilang ada lelaki berilmu silat tinggi, siapakah
dia nyai?”
“Ia paman dari anak saya, ki Dandung.
“Hemmph, bagiklah…, Podang siapkan kamar untuk mereka
istirahat.”
“Baik ki Dandung.”
“Tapi ki, kami tidak mau berlama-lama, kami harus
melanjutkan perjalanan.”
“Ahhh, pergunakan kesempatan ini untuk istirahat, kasihan
anak dan adikmu itu nyai,”ujar ki Dandung Amoksa setengah
memakasa.
“Ayo aku antarkan kalian ke kamar,” ujar aki Podang
setengah memaksa, ketiganya pun tidak ada pilihan kecuali menuruti
perintah lelaki tambun tersebut.
“Nah, ini kamar kalian ayo masuk,” kata ki Podang. “Ayo
masuk kenapa kalian ragu begitu,”
“Baiklah kami akan masuk,” ujar Rara Angken, ketiganya
dengan langkah ragu terpaksa masuk ke dalam kamar tersebut.
“Ayo Purbaya berbaringlah di ranjang itu, kau juga cempaka,
kita pergunaan waktu ini untuk istirahat,” kata Rara Angken lantas
duduk di kursi, di samping Raden Angling Purbaya.
“Sepertinya saya tidak bisa tuanku, suasana kampung ini
sangat aneh.”
“Yah, kau benar Cempaka, ki Dandung yang kelihatannya
ramah aku yakin dia bukanlah orang baik.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan tuanku?”
92
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kita berdoa saja pada dewata agar diberi keselamatan,
bagaimana nasib paman Karewang?”
“Hamba yakin, paman Karewang sedang mengupayakan
kebebasan kita, tuanku.”
Rara Angken mendesah, permaisuri prabu Aji Konda itu
pandang anaknya yang terbaring di atas ranjang dengan gundah.
“Kasihan sekali kau Purbaya, sebagai putra mahkota
seharusnya kau tetap di istana, bergelimang kemewahan tapi kini…,”
jerit bhatin Rara Angken, isaknya mulai terdengar membuat Raden
Angling Purbaya terbangun dari tidurnya.
“Ibunda menyuruhku istirahat, justru ibunda duduk di kursi
itu sabil menagis, ada apakah ibunda?apakah ibunda kangen dengan
ayahanda prabu.”
“Iyah anakku, ibunda kangen dengan ayahanda mu.”
“Mengapa menangis, bukankah kita akan bertemu ayahanda
di Gunung Sawal?”
Rara Angken hanya bisa mengangguk pelan, saat itulah
terdengar ketukan pintu aki Podang dari luar.
“Ada apa aki Podang?” kata Rara Angken dari balik pintu.
“Eh, ki Dandung menyuruhku untuk menjemput mu nyai.”
“Ada keperluan apa ki Dandung memanggilku?”
“Saya tidak tahu nyai.”
“Baiklah, ayo Purbaya, Cempaka kalian bersiaplah.”
“Tu, tunggu nyai. Ki Dandung hanya mengundang nyai
seorang.”
“Tidak,saya harus ikut dengan ibu,” sentak Purbaya membuat
ki Podang sedikit gusar.
“Kau di kamar saja, ayo nyai…,” kata ki Podang kemudian
meraih tangan Rara Angken.
“Lepaskan ibuku kakek peot,” pekik Purbaya lantas bergayut
di lengan lelaki tinggi kurus tersebut.
“Lepaskan tanganku anak setan,” sentak ki Podang sambil
mengibaskan lengannya membuat Purbaya terpental beberapa depa ke
belakang.
“Oh purbaya anakku,” jerit Rara Angken lantas memburu
tubuh anaknya.
93
Api Berkobar di Karang Sedana
kami.” “Ayo nyai, aki Dandung sudah lama menunggu.”
“Aku tidak mau pergi tanpa anakku,”dengus Rara Angken.
“Ingat nyai, kau bukan tamu terhormat, kalian tawanan
“Iyah memang kami tawanan kalian, tapi bukan berarti kalian
bisa berbuat seenaknya pada kami. Aku lebih baik mati dari pada
dipermalukan seperti ini,” tandas Rara Angken.
“Baik, kau memang wanita sejati, kita lihat saja nanti nyai,
kau boleh ikut bocah tapi ingat jangan macam-macam di hadapan ki
Dandung, ayo berangkat ki Dandung sudah teralu lama menungu,”
kata ki Podang lantas menggiring Rara Angken dan raden Angling
Purbaya sedang Cempaka disuruh menunggu di dalam kamar.
Ki Dandung Amoksa tersenyum kecut manakala aki Podang
datang bersama Rara Angken dan anaknya Purbaya.
“Emmph, Podang…, aku bilang bawa wanita itu saja, bukan
dengan anaknya.”
“T…, tapi, tapi ki…, ia memaksa untuk ikut bersama.”
“Aki Podang betul, jangan salahkan dia ki Dandung. Ada apa
memanggil ku?”
“Emmp, heheh…, aku memangilmu untuk…, untuk
membicarakan urusan pribadi, emmp…, Podang kau keluarlah
sebentar.”
“Baik ki Dandung,” ujar aki Podang lantas tinggalkan
ruangan tersebut.
“Ada apa ki Dandung?”
“Emph nyai, aku memerintah di Pandan Sari ini sendiri, aku
butuh pendamping, jadi aku ingin nyai jadi istriku…, hem, hehehe….”
“Oh, ki Dandung, aku bukanlah janda aku masih memiliki
suami.”
“Ibu ku tidak boleh menikah denganmu!” sela Purbaya,
bocah dua belas tahun itu langsung bangkit dan bersiap menyerang ki
Dandung.
“Eh bocah, kalau kau jadi putraku, tidak ada yang akan
menghinamu, hidupmu akan enak.”
“Tidak, kupukul kau, gendut,” sentak raden Purbaya lantas
melayangkan tinjunya pada perut ki Dandung, membuat lelaki tambun
94
Api Berkobar di Karang Sedana
itu berang. Tangan Purbaya segera diraih dan secepat kilat
dilemparnya tubuh bocah itu ke lantai.”
“Ahh, Purbaya…,” seru Rara Angken lantas menubruk tubuh
putranya.
“Agaknya aku berada di sarang perampok,” sentak Rara
Angken.
“Hemmp, hehehe…, kau sudah mengetahuinya nyai.”
“Ada apa ki Dandung?”kata ki Podang dari ambang pintu
ketika ia mendengar ribut-ribut.
“Emmph…, anak setan ini menyusahkanku, tangkap dan
kurung dia di ruang tahanan!”
“Baik ki Dandung, ayo bocah setan…!” sentak ki Podang
lantas meringkus raden Purbaya dan dibawanya bocah itu ke belakang.
“Ki Podang jangan sakiti anakku…!”
“Hai dengar wanita malang, kau harus mengambil keputusan,
anakmu jadi jaminannya,” sentak ki Dandung lantas tinggalkan Rara
Angken yang masih sesenggukan, permaisuri Karang Sedana itu
kembali ke kamar menemui Cempaka, sedang aki Podang memasukan
Raden Purbaya ke dalam tahanan, di dalam tahanan bocah pemberani
itu terus berteriak dan memaki membuat gaduh dan merepotkan para
penjaga, hingga ki Dandung kehilangan kesabaran, setelah disiksa
sedemikian rupa tubuh raden Purbaya digantung dengan kaki di atas.
“Ki, apakah aki berniat menggantung anak itu hingga mati?”
“Hemmph, kau turunkan setelah ini Podang, untung saja dia
putra wanita cantik itu kalau tidak sudah aku pecahkan kepalanya,
pindahkan bocah itu ke tahanan khusus.”
“Baik, baik ki Dandung.”
Semantara itu di dalam kamar, Rara Angken sangat bersedih
dengan kenyataan yang dihadapinya, Cempaka sang emban pengasuh
hanya mampu menghibur junjunganya dengan kemampuan yang ia
miliki.
“Jadi tuanku akan menerima permintaan ki Dandung?”
“Mungkin ini sudah takdirku Cempaka, Purbaya harus tetap
hidup agar kelak dia dapat membalaskan semua penghinaan ini.”
“Oh gusti Rara Angken, andai hamba bisa menggantikan
gusti, hamba bersedia berkorban.”
95
Api Berkobar di Karang Sedana
“Sudahlah Cempaka, mungkin ini sudah kehendak dewata,
sampaikan pada ki Dandung aku ingin menemuinya.”
“Baik tuanku,”ujar Cempaka lantas menemui salah seorang
penjaga dan mengutarakan maksud junjngannya. Dengan senyum
penuh kemenangan ki Dandung menemui Rara Angken.
“Aku dengar dari penjaga kau mau menemui aku nyai,
apakah kau sudah berobah pikiran nyai?”
“Iyah ki Dandung, aku bersedia menjadi istrimu.”
“Ohhhh…, nyai.”
“Tapi dengan syarat kembalikan Purbaya anakku sekarang
juga.”
“Ouhhh.., itu tidak mungkin, ehhh maksudku anakmu aku
tempatkan diruangan yang jauh dari sini, ia baru saja di bawa aki
Podang dengan seorang pengasuh.”
“Kau dusta ki Dandung, pasti telah terjadi sesuatu dengan
anakku.”
“Owehhh, nyai tidak usah khawatir anakmu baik-baik saja.”
Pada saat itulah di luar aki Podang terdengar berteriak-teriak
memanggil ki Dandung membuat lelaki tambun itu sangat marah.
“Podang gila, ada apa kau berteriak-teriak seperti itu hah?”
“Ada berita penting ki Dandung.”
“Katakan berita penting apa itu, Podang gila?”
Sebelum menjawan lelaki tinggi kurus melirik ke Rara
Angken.
“Bisakah kita bicara empat mata ki Dandung.”
“Baiklah….”
Ki Dandung Amoksa segera menyadari sesuatu hal penting
yang akan dikatakan ki Podang padanya, ia segera berpamitan pada
Rara Angken dan membawa ki Podang ke ruang pribadinya.
“Berita penting apa Podang?”
“Tadi ada beberapa prajurit Karang Sedana mencari aki dan
mengabarkan Jagal Pati akan datang menemui aki.”
“Hemp…, lalu apa hubungannya dengan ku, Podang?”
“Mereka sedang mencari pelarian dari Karang Sedana,
permaisuri Aji Konda dan putra mahkotanya yang bernama Purbaya,
pangeran itu berusia sekitar sebelas atau dua belas tahun ki.”
96
Api Berkobar di Karang Sedana
“Hah Purbaya…!”
“Iya ki Dandung.”
Untuk beberapa saat ki Dandung Amoksa tidak mampu
berkata-kata, hatinya berkecamuk dan risau begitu mengetahui
tahanannya itu ternyata permaisuri Karang Sedana dan bocah yang
disiksanya sedemikian rupa itu adalah seorang putra mahkota.
“Agaknya ki Darpo telah berhasil melaksanakan niatnya,”
gumam ki Dandung.
“Lalu apa yang harus kita lakukan ki?”
“Aku tidak akan memberikan tawanan itu pada Jagal Pati,
jika dia datang katakan aku tidak ada di rumah, saat ini juga aku
perintahkan kau ke Karang Sedana, kabarkan pada ki Sentana yang
mungkin sudah menjadi raja mengenai tawanan itu.”
“Malam ini ki?”
“Iya Podang gila…!”
Belum selesai mereka berbincang diluar satu sosok
penunggang kuda hentikan tungganganya tepat di depan pintu regol,
empat orang penjaga tampak menyongsongnya.
“Hem, penjaga aku ingin bertemu ki Dandung.”
“Ia tidak ada di sini, turun kau dari kudamu jika bicara
dengan kami.”
“Hemm, monyet kau tidak tahu sedang berhadapan dengan
siapa hah?”
“Kau tamu tak diundang.”
“Kurang ajar, aku Jagal Pati, ki Dandung pun akan berpikir
dua kali jika berhadapan dengan ku,” sentak Jagal Pati lantas
melenting dari punggung kuda dan sekali gebrak empat orang
penjuaga dibuat terpelanting.
“Kau janga macam-macam ki sanak, kami berempat bisa saja
melakukan sesuatu padamu,” sentak penjaga tersebut lantas memberi
komando pada ketiga temannya untuk menyerang, mereka lupa
dengan gebrakan pertama yang membuatnya terpelanting.
“Hemm, aku tidak segan membunuh kalian, majulah jika
kalian sudah bosan hidup,” kata Jagal Pati sambil menatap tajam
keempat penjaga yang tercekat begitu bersitatap dengan mata Jagal
Pati.
97
Api Berkobar di Karang Sedana
“Ayo masukan pedang kalian, masukan cepat…!”
“Baik, baik ki…”
“Bagus,” ujar Jagal Pati penuh kemenangan, Jagal Pati
merupakan pendekar alirah hitam pemburu hadiah atau pembunuh
bayaran, bersama dua saudaranya Jagal Lanang dan Jagal Belo
merupakan gembong rampok yang sangat tersohor dan ditakuti,
mereka mampu membunuh lawan tanpa berkedip bahkan sambil
tersenyum, pembunuh berdarh dingin, dan kali ini Jagal Pati berhasil
memperdaya lawannya tanpa membuang tenaga.
“Hemm, gendut gila kau tidak bisa membohongi aku,
serahkan kedua tawanan itu, kaupun akan dapat bagaiannya.” Kata
Jagal Pati pada ki Dandung yang datang menghampirinya.
“Hemmmphh, ular hitam licik…, walau kau ubrak-abrik
Pandan Sari ini kau tidak akan menemukan mereka.”
“Gendut gila...!”
Saat itulah diluar pintu gerbang terdengar kegaduhan,disusul
ki Podang yang berlari tergopoh-gopoh meberikan laporan
bahwasanya barisan pasukan penduduk sedang menuju ke rumah ki
Dandung untuk memberontak di pimpin Karewang yang berhasil
mempengaruhi beberapa penduduk.
“Ular hitam tunggu!” sentak ki Dandung ketika melihat Jagal
Pati melompat ke atas punggung kuda dan bersiap pergi.
“Urus masalah mu sendiri gendut gila!”
“Apakah kau takut Ular Hitam!”
“Gendut gila, jangan memancing kemarahanku.”
“Aku memang mamancing kemarahamnu Ular Hitam, kau
tahu yang menggerakan para penduduk itu salah satu pelarian dari
Karang Sedana.”
“Tunjukan mana orangnya!” dengus Jagal Pati.
“Akupun belum tahu, tapi coba kau lihat laki-laki itu, dari
gerakannya kemungkinan ia salah satu prajurit Karang Sedana,” ujar
ki Dandung.
“Kau benar Dandung, ini menjadi urusanku,” sela Jagal Pati
lantas gebrak kudanya mendekati hulubalang Karewang. untuk
“Apakah kau yang menghasut penduduk
memberontak?” kata Jagal Pati lantang.
98
Api Berkobar di Karang Sedana
“Iya, kembalikan keluargaku,” tukas Karewang.
“Hemm, apakah kau sadar ucapanmu, kau bisa digantung jika
keluarga mereka mendengar ocehanmu,” sela Jaga Pati membuat
Karewang tercekat.
“Eh, siapa…, siapa kau?”
“Apakah kau sudah pikun sobat, atau pertempuran ini yang
membuatmu tidak mengenali aku.”
“Agaknya kau salah satu pemberontak?”
“Aku tidak ada waktu bermain-main denga mu, sobat,”
sentak Jagal Pati dalam satu gerak tubuh lalaki kekar itu melayang
dan dalam satu gerak tipu pedang Karewang mampu dibuat mental,
sebelum perwira Karang Sedana itu menyadari situasi sebuah benda
dingin dirasakanya masuk ke dalam jantungnya.
“Gendut gila, urusanku sudah selesai besok pagi aku akan
datang menjemput tawanan itu,” sentak Jagal Pati lantas gebrak kuda
tungangannya meningalkan desa Pandan Sari dan tubuh hulu baling
Karewang yang terkapar di tanah.
“Hahaha…., terimakasih Ular Hitam,” seru Dandung
Amokas lantas berkelebat menerjang barisan para penduduk, dengan
beringas lalaki tambun itu membantai satu persatu penduduk desa
Pandan Sari. Penduduk yang sudah kehilangan pemimpinnya itu
sontak kocar-kacir menyelamatkan diri.
“Hemmph, Podang segera kau berangkat ke Karang Sedana.”
“Baik ki,” ujar lelaki tinggi kurus itu lantas menghubungi
kawannya Apung, sedang ki Dandung Amoksa bergegas menemui
Rara Angken di biliknya, lalaki gendut itu lantas merayu Rara Angken
untuk melayani hasrat binatangnya, melihat hal itu Cempaka dengan
nekad menusukkan tusuk kondenya pada punggung Dandung
Amoksa, yang kalap menampar Cempaka hinga terpelanting, tusuk
konde lepas dan jatuh dekat Rara Angken.
“Berhenti ki Dandung, atau aku mati!” sentak Rara Angken
sambil menekan ujung tusuk konde itu pada pangkal lehernya.
“Jangan bertindak bodoh nyai,” rayu ki Dandung Amoksa.
“Berhenti, selangkah lagi maju, aku mati!” bentak Rara
Angken.
99
Api Berkobar di Karang Sedana
“Baik-baik, aku akan pergi nyai, jangan lakukan hal bodoh
itu lagi nyai.”
“Pergi…!”
Dengan tergopoh dan menahan sakit pada punggungnya, ki
Dandung Amoksa meningalkan bilik Rara Angken. Semantara itu di
dalam tahanan khusus, raden Purbaya masih berteriak-teriak dan
membanting apa saja yang ditemuinya, hingga sebuah suara
mengagetkan bocah ini.
“Rupanya ada orang lain di tempat ini,” membatin Purbaya
lantas dekati laki-laki tua buta yang duduk menjelepok di sudut
ruangan.
“Siapa kau? Bunuhlah aku jika itu perintahnya.”
“Tidak kek, saya pun tahanan di sini.”
“Ah, kau seorang bocah, apa yang dilakukannya padamu
bocah?”
“Iblis gendut itu menangkap kami kek, ia menuduh kami
pelarian dari desa Pandan Sari.”
“Jadi kau bukan penduduk Pandan Sari?”
“Bukan kek, kami dalam perjalanan menuju Gunung Sawal.”
“Kurang ajar anak itu, awas jika aku mampu keluar dari tepat
ini kupecahkan kepalanya,” sentak lalaki tua tersebut dan tanpa
dinyana lalaki tua buta itu mengamuk sejadi jadinya, raden Purbaya
segera berlindung dari segala benda yang berhamburan, setelah puas
mengamuk kembali lelaki tua buta itu duduk menjelepok di pojokan.
“Semua ini salahku bocah, salahku,” ratapnya membuat
raden Purbaya tertegun.
“Maksud kakek?”
“Semua yang terjadi akibat aku tidak mampu mendidik anak,
tahukah kau bocah Dandung sebenarnya adalah anakku.”
“Hah, iblis gendut itu anak kakek?”
“Hahah…, kau mungkin terkejut mendengarnya tapi itulah
yang terjadi, duduklah bersandar di dekatku akan aku ceritakan
semuanya.”
o0o
Ki Pandan Sengkala, tatap punggung Dandung Amoksa anak
pertamanya itu dengan masgul, beberapa menit lalu bekas kepala desa
100