The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by kkusyoto, 2021-12-14 23:11:53

TEMPLATE NASKAH GUEPEDIA BTL 1. PDFx

TEMPLATE NASKAH GUEPEDIA BTL 1. PDFx

Api Berkobar di Karang Sedana

“Bibi benar, tapi aku lebih tertarik dengan beberapa orang
yang kumpul di sana, sedang apakah meraka, mari kita lihat ke sana
bibi Cempaka.”

“Baiklah raden, ayo kita lihat mereka.”
Keduanya lantas menghampiri keramaian dari sekelompok
anak murid padepokan goa larang yang tengah berlatih olah
kanuragan.
“Bibi Cempaka, aku ingin sekali mempelajari kanuragan
seperti mereka. Aku ingin seperti paman Seta, kelak aku akan
membalas sakit hati ibunda yang telah dihina orang-orang jahat.”
“Benar, raden harus menjadi orang tangguh seperti mereka,
supaya kelak bisa merebut kembali Karang Sedana dari orang-orang
jahat itu.”
“Aku bertekad mempelajari ilmu kanuragan bi.”
“Baiklah raden, bibi akan menyampaikan maksud raden pada
ibunda, setelah ibunda raden pulih dari sakitnya.”
“Bibi Cempaka, darahku terasa bergolak, dadaku berdebar
kencang, keinginan ini semakin kuat.”
“Bersabarlah raden, kita tunggu ibunda raden sembuh.”
“Tidak bibi Cempaka, aku akan menungu ibunda sembuh
sambil berlatih ilmu kanuragan. Aku akan menemui paman Seta agar
diperkenankan belajar di padepokan ini”
“Baiklah raden, mari bibi antar menemui tuan Seta.”
Keduanya lantas menuju bilik Seta Keling.
“Ada apa Cempaka?”
“Maap tuan Seta. Majikan saya ini ingin mempelajari ilmu
kanuragan. Saya harap tuan bisa membimbingnya.”
“Ohya, bagus…, bagus sekali raden. Tapi apakah hal ini
tidak tergesa-gesa, alangkah baiknya kita tunggu ibunda raden
sembuh, bukankah raden akan tinggal cukup lama di padepokan ini.”
“Paman Seta benar. Tapi entahlah sepertinya saya tidak bisa
menahan lebih lama lagi gejolak dalam dada saya ini.”
“Aku memahami perasan raden itu, tapi sesuai dengan
namanya olah kanuragan tidak bisa dipelajari dengan cepat dan
tergesa apalagi dibalut oleh emosi dan dendam. Lagi pula raden belum
mendapat izin ibunda raden ”

151

Api Berkobar di Karang Sedana

“Saya sudah mendapat izin, paman Seta. Ibunda saya
menghendaki saya menjadi pemuda yang tangguh seperti paman
Seta.”

“Ah, baiklah raden. Akan ku sampaikan keinginan raden
pada eyang resi. Raden beristirahatlah, nanti aku akan memberi tahu
raden.”

“Baiklah, mari bibi Cempaka kita kembali ke kamar untuk
istirahat.”

“Mari raden.”
Raden Purbaya dan emban pengasuhnya Cempaka segera
kembali ke biliknya untuk istirahat, sementara Seta Keling masih
tertegun di tempatnya.
“Aku melihat sinar mata penuh dendam dalam diri bocah
itu,” gumam Seta Keling. “Agaknya penghinaan yang diterimanya
dalam beberapa hari ini menggoncangkan jiwanya, hyahh…, aku akan
menyampaikan permintaannya pada eyang resi.”
Permohonan raden Purbaya yang disapaikan Seta Keling
akhirnya diterima oleh eyang resi Wanayasa. Sebagai dasar untuk
mempelajari olah kanuragan eyang resi memrintahkan ki Luminta
sebagai guru olah dasar kanuragan. Sebelum fajar menyingsing raden
Purbaya telah siap dengan semangat tinggi untuk segera mempelajari
jurus-jurus ilmu kesaktian yang kelak akan dipergunakanyauntuk
membalaskan dendam ibundanya.
“Jika raden ingin mempelajari olah kanuragan, raden harus
giat berlatih untuk mengejar ketinggalan dari angkatan pertama.
Mereka sudah mulai dari dua bulan lalu.”
“Saya mengerti paman Luminta. Saya akan berlatih sungguh-
sungguh.”
“Bagus raden. Nah, mari kita melatih daya tahan tubuh, ayo
kita berlari mengitari padepokan ini raden.”
“Baik paman Luminta,” kata raden Purbaya bersemangat lalu
mulai berlari-lari kecil mengitari padepokan goa larang dengan
semangat tinggi yang bergejolak di dalam dadanya mengikuti aki
Luminta sebagai pelatih bagi murid pemula di padepokan goa larang.
Mentari belum sepenuhnya muncul, suasana padepokan masih dingin

152

Api Berkobar di Karang Sedana

terbalut kabut keduanya terus berlari mengelilingi padepokan goa
larang.

“Ayo raden harus berusaha hingga batas akhir kekuatan yang
raden miliki, nanti raden akan mendapat tambahan tenaga baru,” kata
ki Luminta demi dilihatnya raden purbaya mulai kelelahan.

“Baik, baik paman.
Kembali keduanya berlari-lari kecil mengitari padepokan goa
larang.
“Cukup raden. Istirahatlah sebentar lalu kita lanjutkan di
sungai kering berbatu-batu di sebalah sana.”
“Baik paman…, “ kata raden Purbaya terengah-engah.
Maka begitulah dengan semangat tinggi Raden Purbaya terus
berlatih dan berlatih. Istirahat sejenak lalu kembali berlatih ketahanan
fisik. Begitu seterusnya, dari hari-ke hari, minggu ke minggu dan
bulan ke bulan. Dua bulan sudah pangeran karang Sedana itu
menggembleng diri demi satu tujuan membalas dendam.
“Paman Luminta, kenapa paman belum juga mengajari saya
ilmu kepandaian berkelahi. Kenapa paman terus menyuruh saya
berlari dan berlari seperti permainan anak-anak saja.”
“Raden. Yang saya ajarkan ini adalah dasar dari ilmu olah
kanuragan, sesuai dengan namanya kanuragan adalah ilmu yang
berdasarkan pada gerak tubuh, dan akan berkembang hingga olah
batin. Dan semua itu harus memiliki dasar yaitu tubuh yang telah
terbina. Jadi, yang saya ajarkan sekarang adalah dasar yang sangat
penting. Apa raden sudah mengerti?’
“Iya paman. Tapi kapan saya bisa belajar ilmu kanuragan?”
“Nanti, jika daya tahan raden sudah teruji.”
“Baiklah paman.”

-o0o-

Dua bulan sebelumnya, begitu rombongan Seta Keling
sampai di padepokan goa larang, dimana Sariti murid ki Parang
pungkur ikut serta, ketika ada kesempatan. Sariti, salah seorang
anggota tongkat merah segera menyampaikan surat yang ditulis aki
Parang Pungkur untuk resi Wanayasa. Sariti menyerahkan bungkusan
kain putih yang tergulung rapih pada guru besar padepokan goa larang

153

Api Berkobar di Karang Sedana

tersebut. Sang resi menerima dan segera membacanya. Setelah selesai
membaca surat, sang resi tampak tersenyum.

“Sudah berapa lama kau mengenal murid-murid ku, Sariti?”
“Eh, baru beberapa hari ini saja eyang resi.”
“Oh, apakah kau mengetahui isi surat ini?”
“Belum eyang. Apakah saya boleh tahu.”
“Hahaha…, benar-benar tua gila Pungkur itu. Tidak waras
dan sangat usil.”
“Ehh, kenapa eyang berkata begitu pada guru saya?” kata
Sariti sedikit kaget dengan pernyataan resi Wanayasa.
“Hehehe…, sekarang siapakah diantara murid-muridku yang
kau kenal baik?” kata resi Wanayasa balik bertanya membuat Sariti
semakin bingung.
“Eh,apa maksud eyang resi?”
“Oh, maksudku, siapa diantara ketiga orang murid laki-laki
ku yang kau kenal dengan baik.”
“Saya, saya baru mengenal mereka eyang, kenapa?”
“Eh, gurumu menghendaki agar dia bisa mengikat tali
kekeluargaan, begitu.”
“Jadi…, jadi guru saya…,”
“Hyah…, dia menghendaki agar kau menikah dengan salah
seorang murid ku.”
“Keterlaluan, guru keterlaluan telah mempermainkan ku
seperti ini,” kata Sariti yang mulai paham dengan isi surat dari
gurunya untuk sang resi Wanayasa.
“Eh, sebentar…, dengarkan dulu nak. Aku tidak menolak
juga tidak menerima permintaan gurumu itu, tapi sampaikanlah
padanya bahwa semua masalah itu aku serahkan pada kalian sendiri.
Karena ini adalah hak dan urusan kalian.”
“Saya permisi eyang. Saya segera kembali ke padepokan
saya,” sela Sariti yang buru-buru pamit dan segera meninggalkan bilik
resi Wanayasa. Ia berlari dengan hati tersinggung karena
dipermainkan oleh gurunya. Seta Keling dan saudara-saudaranya
terkejut melihat sikap Sariti yang tengah menuntun kudanya dengan
tergesa.
“Ada apa Sariti?”

154

Api Berkobar di Karang Sedana

“Eh, tidak apa-apa kakang Seta.”
“Tapi kenapa kau sangat terburu-buru?”
“Saya harus kembali Wulan. Saya sudah menyampaikan
pesan guru saya pada eyang resi. Dan saya harus segera kembali.
Permisi,” kata gadis manis bertongkat merah itu lantas menggebrak
kuda tunggangannya meninggalkan regol padepokan goa larang.
“Pasti terjadi sesuatu setelah berbincang dengan eyang resi,”
gumam Anting Wulan yang masih memandang tubuh gadis manis
tersebut terguncang-guncang di atas pelana kudanya.
“Hem…, aku akan tanyakan hal itu pada eyang resi. Ayo
adik Saka kau ikutlah dengan ku.”
“Eh, biarlah aku yang akan tanyakan pada eyang resi,” sela
Anting Wulan lantas gadis manis ini segera menuju bilik resi
Wanayasa diikuti Seta Keling.
“Sebenarnya masalah ini tidak ada hubunganya denga mu,
Wulan,” kata resi Wanayasa ketika Anting Wulan menanyakan prihal
Sariti yang pergi begitu saja dengan tergesa-gesa. “Ini masalah
kakang-kakang mu,”menambahkan eyang resi Wanayasa.
“Tapi masalah kakang-kakangku adalah masalah aku juga
eyang,” sela Anting Wulan.
“Hyah…, iya, kau boleh mengetahuinya. Parang pungkur
sahabatku itu menghendaki agar muridnya Sariti menikah dengan
salah satu kakangmu.”
“Jadi maksud eyang guru…,”
“Ya, aku tidak langsung menerima atau menolaknya. Semua
aku serahkan pada Sariti dan juga pada kalian murid-murid ku.”
“Lalu kenapa Sariti bersikap seperti itu eyang guru?” kata
Anting Wulan.
“Eh,anak itu jelas merasa malu, dan tersinggung dengan
gurunya yang tidak menjelaskan dan memnicarakan dulu isi surat itu.”
“Oh, jadi Sariti tidak mengetahui isi surat itu?”
“Benar Wulan. Ia amat terkejut ketika aku jelaskan maksud
dari gurunya.”
“Tapi kenapa ia bersikap seperti itu. bukankah sama saja ia
menghina kakang Seta.”
“AdikWulan. “

155

Api Berkobar di Karang Sedana

“Iya kakang, sikapnya yang pergi begitu saja dari padepokan
seakan ia tidak setuju dengan isi surat itu, dan itu sama saja dengan
menghina kakng Seta.”

“Lalu apa hubunganya dengan ku,adik Wulan?”
“Bukankah aki Parang Pungkur suka dan setuju dengan
kakang Seta?”
“Tidak begitu Wulan,” sela resi Wanayasa. “Ki Parang
Pungkur tidak menyebut nama seorangpun dari kakang mu. Aku tidak
akan memaksa kakangmu.”
“Hem, maap eyang. Saya belum memikirkan masalah itu,”
kata Seta Keling dengan suara bergetar seakan menahan gejolak dalam
dirinya.”Saya belum siap membina rumah tangga.” Imbuh
“Aku tidak akan memaksamu, Seta. Aku hanya
mengingatkan hal itu sudah seharusnya kau pikirkan. Umurmu sudah
cukup untuk itu. oleh karena itu aku memberi kesempatan padamu
dulu.”
“Eh, maap eyang saya belum bisa melakukannya.”
“Hyah, baiklah. Jika demikian aku akan menayakan hal ini
pada Saka Palwaguna.”
“Sariti itu cantik sekali kakang,” sela Anting Wulan “Apalagi
yang kakang pilih dan cari?”
“Ah…, Anting. Agaknya kau tidak menyadari betapa aku
sangat mencintaimu. Hahh…,agaknya kau justru lebih memperhatikan
adik Saka,” gumam Seta Keling dalam hati.
“Bagaimana kakang? Kami di padepokan ini ingin sekali
mengadakan perayaan besar.”
“Hahhh…, sudahlah Wulan. Aku akan membrikan waktu
pada kakang mu untuk memikirkannya, tapi ingat Seta janganlah hal
ini mengganggu konsentrasi latihan kalian. Aku akan segera
menurunkan kincir metu tingkat delapan pada mu, aku akan coba
menyempurnakan tingkat sembilan yang baru aku kuasai. Nah kalian
boleh pergi.”
“Baik eyang resi,” ujar keduanya takzim lantas berlalu
meninggalkan ruang pribadi resi Wanayasa.

156

Api Berkobar di Karang Sedana

Semantara itu Raden Purbaya tampak duduk termenung diatas
pembaringanya. Putra mahkota Karang Sedana itu tertegun bilamana
emban pengasuhnya datang mendekat.

“Raden kenapa masih di sini, bukankah sore ini raden harus
latihan?”

“Bibi Cempaka dari mana?”
“Menengok ibunda raden, menurut beliau besok sudah bisa
pindah ke kamar ini.”
“Betulkah bi, sehabis latihan tadi pagi ibunda tidak bilang
apa-apa.”
“Waktu saya datang eyang resi sedang mengobati. Mungkin
beliau dengar hal ini darinya, wajah ibunda raden sudah mulai cerah.”
Saat itulah terdengar ketukan di pintu dan teriakan ki
Luminta dari luar.
“Raden ayolah ini sudah semakin sore, kita harus berlatih
disungai itu sebelum hari bertambah gelap.”
Dengan tergopoh Cempaka membukakan pintu untuk ki
Luminta.
“Eh maap paman Luminta. Majikan saya tertidur tapi kini ia
sudah siap. Sebentar paman.”
“Iyah…, ya.”
“Ayolah, raden harus berlatih. Jangan kecewakan ibunda
raden,” bujuk Cempaka pada jungjungannya. “Bukankah ibunda raden
menghendaki raden menjadi pemuda yang tangguh seperti paman Seta
Keling.”
“Eh, baiklah saya akan pergi,” kata raden Purbaya lantas
turun dari pebaringan dan menghampiri ki Luminta. Tak menunggu
lama keduanya telah berlari lari di sepanjang sungaikering berbatu-
batu.
“Paman sampai kapankah saya harus berlatih seperti ini?
Kapan saya diberi ilmu pukulan untuk menyerang lawan.”
“Yah, nanti, jika daya tahan tubuh raden sudah cukup.”
“Tapi sampai kapan paman?”
“Nanti raden. Jika raden sudah dapat mengelilingi padepokan
ini hingga sepuluh kali putaran tanpa henti, raden hanya mampu enam
kali putaran.”

157

Api Berkobar di Karang Sedana

“Oh benarkan paman. Jika saya dapat megelilingi padepokan
sampai sepuluh putaran tanpa henti paman akan memberikan ilmu
pukulan untuk menyerang lawan.”

“Iya, betul raden.”
“Saya akan mencobanya saat ini juga paman.”
“Kau belum mampu raden. Jangan memaksakan diri,
mungkin jika raden berlatih tiap pagi dan sore raden akan mampu
melakukannya.”
“Saya akan melakukannya sekarang paman.”
“Ehh, baiklah beristirshatlah dulu baru raden melakukannya.”
“Tidak paman. Saya sudah segar dan tidak merasa lelah.”
“Tapi raden baru saja berlatih melompat di atas batu sungai
itu.”
“Sudahlah paman, hitunglah. Saya akan memulai putaran
pertama.”
Putaran demi putaran kemudian dilakukan raden Purbaya
dengan semangat, lima putaran berhasil dilaluinya.
“Hem, luar biasa semangat anak ini, tekadnya ingin
mempelajari kanuragan membuat tenaganya berlipat ganda, sudah
lima putaran ia masih segar dan tidak ada tanda kelelahan,” gumam ki
Luminta.
Putaran ke delapan mampu dilalui raden Purbaya dengan
baik, mamasuki putaran ke sembilan anak yang masih berusia dua
belas tahun ini mulai lelah, langkahnya mulai limbiung namun
semangatnya tetap menyala.
“Sudahlah raden, tidak perlu menyelesaikan sampai putaran
terakhir jangan memaksakan diri.”
“Tidak paman, aku harus menyelesaikan sepuluh putaran
ini.”
Dengan langkah yang semakin limbung raden Purbaya terus
memaksakan langkahnya hingga ke putaran terakhir, ia menghampiri
ki Luminta dengan langkah tertatih.
“Saya berhasil bukan…?”
“Iyah. Raden berhasil. Mulai besok pagi saya akan
menajarkan…,” belum selesai ki Luminta dengan kalimatnya raden

158

Api Berkobar di Karang Sedana

Purbaya yang sudah tidak kuat lagi menahan rasa kegembiraan dan
kelelahan jatuh pingsan.

“Oh raden…, raden…!”
Ki Luminta segera menyambar tubuh putra prabu Aji Konda
itu setelah mengurut dan memijat bagian peredaran darah raden
Purbaya putra mahkota Karang Sedana itu pun siuman dari
pingsannya.
“Raden terlalu memaksakan diri membuat paman cemas, ayo
kita pulang dan malam ini harus beristirahat dengan baik.”
“Baik paman.”
Keesokan harinya ketika burung-burung mulai berkicau
menyambut sang mentari pagi yang baru saja muncul di cakrawala
timur. Raden Purbaya dan ki Luminta sudah sampai di tempat latihan.
“Bagaimana raden, apakah sudah hilang semua kelelahan
yang raden paksakan kemarin?”
“Sudah paman, hanya saja otot-otot saya masih terasa kaku.
Semalaman saya tidur.”
“Nanti juga akan hilang dengan sendirinya raden. Nah,
sekarang perhatikanlah jurus pertama yang akan paman ajarkan adalah
jurus pertama atau tingkatan pertama kincir metu. Perhatikanlah
raden.”
Kedua kaki ki Luminta merenggang sejajar dengan kedua
tangan terkepal di sisi pinggang. Jurus pertama atau pembuka kincir
metu kemudian diperagakan oleh lelaki paruh baya tersebut.
“Nah raden. Ini adalah jurus pertama atau pembuka dari
kincir metu yang disebut gerbang dewata. Sekarang raden peragakan
seperti yang paman lakukan tadi.”
“Baik paman…,”
“Iya begitu raden, kaki dalam posisi kuda-kuda sejajar tubuh
dan keduanya agak ditekuk sedikit, kedua tangan yang tadi di
pinggang diangkat tinggi ke atas lalu diputar.”
Walau agak kaku raden Purbaya berusaha memainkan jurus
pertama kincir metu itu dengan semangat.
“Bagaimana paman?’

159

Api Berkobar di Karang Sedana

“Yah bagus raden. Tapi raden hanya menghapal gerakanya
saja, raden harus mengisi gerakan tersebut dengan tenaga. Raden bisa
mencobanya lagi, perlahan saja jangan buru-buru.”

“Baik paman, saya akan mencobanya lagi,” kata raden
Purbaya kemudian kembali menggelar jurus pertama kincir metu. Saat
itulah Seta keling datang dan mengabarkan bahwa ibundanya telah
dipindahkan dari ruang pemulihan ke kamarnya. Betapa senangnya
raden Purbanya mendengar kabar tersebut, ia memohon pada ki
Luminta untuk segera menengok ibundanya.

“Ibunda sudah sembuh?” kata raden Purbaya ketika sampai
di kamarnya.

“Oh, Purbaya. Ibunda sudah tidak merasakan sakit seperti
waktu lalu”

“Tapi kemapa ibunda tidak bangun dari tempat tidur?”
“Yah, ibunda belum mampu bangun, seakan-akan kedua
tangan dan kaki bunda tidak ada.”
“Apakah selamanya akan seperti ini ibunda?”
“Oh, tentu saja tidak anakku. Nanti kalau eyang resi berhasil
menemukan obatnya racun yang masih tersisa akan punah. Oh iya,
bagaimana dengan latihan mu?”
“Jangan khawatir ibunda, ananda akan berlatih siang malam
agar menjadi tangguh, kelak dapat membalaskan penghinaan yang kita
terima selama ini,” kata raden Purbaya berapi-api membuat ibunya
tertegun beberapa kejap.
“Cempak, aku membutuhkan pertolonganmu sepenuhnya.
Rawat dan perhatikan anakku dengan baik.”
“Jangan khawatir gusti, itu menjadi tugas dan kewajiban
hamba. Sekarang beristirahatlah gusti”
“Benar istirahatlah ibunda, saya akan menjaga ibunda di
sini.”
“Anakku, kau bermainlah diluar bersama Cempaka, ibunda
ingin istirahat sendiri.”
“Tapi…,”
“Sudahlah raden, biarkan ibunda raden istirahat, ayo kita
main di luar,” kata Cempaka sambil menggandeng tangan raden
Purbaya.

160

Api Berkobar di Karang Sedana

o0o
Hari masih sangat pagi. Kabut tipis melayang-layang diantara

pepohonan janakeling yang tumbuh subur di seputar padepokan goa
larang. Sang resi Wanayasa dengan cermat tampak memperhatikan
keempat murid utamanya yang sedang berlatih, sebentar-sebentar sang
resi mengelus janggut putihnya sambil menganguk-angguk.

“Cukup anak-anakku,” teriak sang resi menghentikan latihan.
“Aku kini sudah tahu sejauh mana perkembangan ilmu
kalian,” kata sang resi.
“Saya yang bodoh belum mampu mengembangkan ilmu
kincir metu kebanggan kita dengan baik,” keluh Anting Wulan.
“Demikianpula saya eyang, saya satu-satunya yang paling
bodoh. Sampai saat ini belum mampu menyerap dan menyamai
ilmunya kakang-kakng saya, bahkan adik Wulan sendiri mampu
menjatukan saya.”
“Sudahlah Awuk. Aku mengerti mengapa kau mengalami hal
seperti itu, bukannya kau bodoh, kau memiliki kemampuan sama
dengan kakang-kakangmu, tapi sikapmu dalam mempelajari ilmu
banyak mempengaruhi keberhasilanmu, Awuk.”
“Tergesa-gesa dalam menyerap ilmu menyebabkan apa yang
sekarang ini kau alami. Nah, dalam pertemuan ini aku akan coba
membuka lebih banyak mengenai kincir metu.” Eyang resi Wanayasa
hentikan sejenak kalimatnya memberi kesempatan pada murid-
muridnya untuk meresapi semua kata-katanya.
“Kincir metu termasuk ilmu kelas satu di dunia kependekaran
saat ini. Ilmu ini terdiri dari sepuluh tingkatan. Kau Awuk, berhasil
mempelajari sampai tingkat lima. Anting Wulan ke enam. Saka
Palwaguna ke enam dan kakangmu Seta Keling sudah menapai tingkat
khusus yakni tingkat ke enam. Untuk dapat menguasai tingkatan ke
tujuh, delapan dan sepuluh kalian dituntut tidak hanya berlatih dan
mempelajari saja akan tetapi pada tingkatan ini kalian harus benar-
benar menghayati dan mengadakan satu ritual tirakat, untuk hal itu
kalian bisa tanyakan langsung pada kakangmu Seta Keling yang telah
berhasil mencapai tingkat tujuh.”

161

Api Berkobar di Karang Sedana

“Eyang guru sendiri bukankah sudah mencapai tingkat
sembilan, kenapa tidak mengajarkannya pada kami?” sela Anting
Wulan.

“Eh, Seta. Coba kau jelaskan hal itu pada adikmu, Wulan.”
“Baik eyang resi.”
“Adik Wulan. Baik aku dan eyang seri tidak bisa
menjabarkan kincir metu tingkat ke tujuh, seperti yang pernah aku
katakana tingkatan ke tujuh itu adalah pengulangan dari tingkatan
sebelumnya akan tetapi ada pecahan gerak khusus yang menimbulkan
reflek otomatis, hal itu tidak terbayangkan oleh adik sekalian jika
tanpa pendalaman seperti di katakana eyang resi.” Menerangkan Seta
Keling.
“Nah, ini aku berikan salinan dari tiap tingkatan pada kalian.
Dan untukmu Awuk, tingkat ke enam dapat kau minta pada embah
Jatis di ruang kitab.”
“Baik eyang guru.”
“Sekarang kalian bisa meningalkan ruangan ini. Jka aku
memerlukan kalian aku akan menghubungi kalian di bukit batu larang
di sebalah padepokan kita.”
“Jadi kami semua harus mempelajari salinan kitab ini di
tempat itu eyang?”
“Benar Wulan. Bahkan di sanapun tidak boleh terlalu sering
berhubungan, penguasaan ilmu itu kelak tergantung dari tirakat kalian
masing-masing. Kalian bisa mengambil masing-masing satu goa untuk
tempat kalian selama berlatih. Aku memberikan waktu tiga purnama.
Nah, kita akan bertemu lagi setelah kalian berhasil menyempurnakan
ilmu tersebut.”
“Baiklah eyang, kami akan bersiap pergi ke bukit larang,”
kata Seta Keling.
“Berangkatlah anak-anakku, doaku selalu menyertai kalian,”
kata sang resi Wanayasa sambil menengadahkan telapak tangannya ke
atas. Perlahan kedua mata resi Wanayasa terpejam, keempatnya
kembali menyembah kemudian berlalu satu persatu meninggalkan
bilik pribadi pemimpin padepokan goa larang dalam khusuk
semadinya.

-o0o-

162

Api Berkobar di Karang Sedana

Padepokan goa larang pada hari itu sangat sibuk. Beberapa

cantrik bergotong royong membersihkan halaman dan pekarangan

padepokan. Tanaman hias ditata sedemikian rupa, rumput dipangkas

dan daun daun kering dikumpulkan pada satu tempat lalu dibakar.

Kesibukan para murid-murid goa larang itu tidak lepas dari rencana

prabu Sanna mahaprabu Galuh yang akan mengirimkan putranya

reden Karmapala yang akan berguru di padepokan goa larang. Dan

pada waktu yang sudah ditentukan rombongan raden Karmapala tiba

di padepokan goa larang.
“Selamat datang cucuku Karmapala,” kata resi Wanayasa

menyambut kedatangan raden Karmapala putra prabu Sanna dari

seorang selir.
“Terimakasih eyang resi Wanayasa,” ujar putra prabu Sanna

sambil menyembah. “Terimalah salam bakti saya,” imbuhnya.
“Iyah, bangunlah Karmapala, cucuku. Bagaimana kabar

ayahandamu?”

“Ayahanda prabu dalam keadaan sehat eyang.”
“Bagus…, bagus. Tahukah kau kenapa ayahandamu
mengirim mu kemari, ke padepokan yang sunyi ini?”
“Ayahanda prabu mengharapkan saya menjadi pemuda yang
kuat lahir maupun batin.”

dulu.” “Betul sekali cucuku. Nah, untuk saat ini kau istirahatlah

“Baik eyang resi.”
“Jatis, kau urus rombongan dari Galuh ini.”

“Baik eyang resi.”
“Dan kau Parmi, antar cucuku ini ke biliknya untuk
istirahat.”
“Baik eyang resi, mari raden saya antar ke bilik raden.”
“Heyy paman Rimbun, kemarilah bawa semua
perlengkapanku.”

163

Api Berkobar di Karang Sedana

“Baik, baik raden,” kata lelaki tua ringkih itu sambil tertatih-
tatih menurunkan semua barang-barang milik raden Karmapala, eyang
resi Wanayasa hanya diam sesekali ia menarik napas panjang dan
menghembuskannya perlahan.

“Oh iya eyang. Nanti paman rimbun akan menamani saya di
sini.”

“Betul tuan resi. Saya mendapat perintah dari mahaprabu
Sanna untuk menemani raden Karmapala selama di padepokan.

“Hemm, iya iya. Jagalah junjunganmu itu dengan baik,
Rimbun.”

“Baik tuan resi,” kata ki Rimbun kemudian melangkah
tertatih-tatih sambil membawa semua perlengkapan raden Karmapala.

“Hehh…, semoga anak itu tidak merepotkan ku. Sikapnya
yang manja sewaktu-waktu bisa saja membuat ramai padepokan ini.
Aku akan tegas jika anak itu membuat ulah,”gumam resi Wanayasa
dalam hati.

Di tempat lain bi Parmi yang telah membersihkan bilik untuk
raden Karmapala segera menemui putra mahaprabu Sanna yang
duduk-duduk di beranda rumah pangung.

“Semuanya sudah rapih den, silahkan istirahat.”
“Tunggu bi, siapa namamu?”
“Nama saya Parmi den.”
“Eh bi Parmi, apakah bilik ini sudah dibersihkan dengan
benar?”
“Sudah den, bahkan alas tempat tidurnya pun baru den.”
“Baiklah. Sekarang kau boleh pergi bi.”
“Baik den, saya pamit.”
“Ya kau boleh pergi, tapi sebentar di mana letak pemandian.
Aku ingin mandi sebelum istirahat.”
“Di bawah sana den, di bawah sembilan mata air dewa.”
“Jadi aku harus berjalan jauh kalau mau mandi atau
membasuh muka?”
“Iya den, tapi kalau hanya membasuh muka saya bisa
membawakan airnya den.”
“Nah, cepat bawa airnya kemari.”

164

Api Berkobar di Karang Sedana

“Baik den,” ujar bi Parmi tergopoh-gopoh menuruni bukit
menuju sembilan mata air dewa.

“Paman Rimbun dimana kau…!”
“Saya, saya di sini den.” Kata lelaki tua sambil mengucek ke
dua matanya.
“Apa yang paman lakukan di dalam sama?”
“Maap den saya ketiduran.”
“Hehhh, paman.”
“Maap den.”
“Paman. Tahukah kau kenapa ayahanda mengirim ku ke
padepokan ini?”
“Tentu saja tahu den. Ayahanda raden mengharap raden
mempelajari ilmu lah….”
“Hentikan paman. Aku tahu semuanya, aku akan
mempelajari semua ilmu kanuragan dan kesaktian dari padepokan
eyangku ini.”
“Betul den.”
Raden Karmapala mendengus. Matanya menyipit begitu
melihat satu sosok anak yang sebaya dengan dirinya berjalan
menuruni bukit kicil menuju sembilan mata air dewa.
“Hey paman Rimbun siapakah anak itu. Panggil dia, aku
ingin bermain dengannya. ”
“Baik den,” kata ki Rimbun kemudian berlari menghampiri
raden Purbaya yang akan menuju pancuran di bawah sembilan mata
air dewa.
“Eh bocah kecil tunggu dulu.”
“Ada apa paman memanggil saya?”
“Lihat itu, pangeran Karmapala ingin kau menemuinya.”
“Tapi saya mau ke pancuran paman.”
“Ehh…, kau gila apa. Jungjunganmu pangeran Karmapala
memanggil mu. Ayo cepat temui jungjunganmu.”
“Baiklah paman,” kata raden Purbaya yang bersama-sama ki
Rimbun menghadap raden Karmapala yang sudah tidak sabar
menunggu.
“Maap den. Anak gunung ini tidak tahu sopan santun, dia
hendak menolak panggilan raden,” kata ki Rimbun.

165

Api Berkobar di Karang Sedana

“Heyy, benarkah kau menolak panggilan ku?”

“Sama sekali tidak raden. Saya hendak membasuh tubuh dan
wajah saya sebelum menghadap raden.”

“Siapa namamu?”
“Purbaya.”

“Nah Purbaya, aku ingin berkawan dengamu karena aku akan
tinggal di padepokan eyangku ini.”

“Baik raden. Maap raden, jika tidak ada lagi yang diperlukan.
Saya pamit mau ke pancuran di bawah sana.”

“Jika begitu mari kita sama-sama ke pancuran, kau pun ikut
paman Rimbun.”

“Baik, baik den.”

Ketiganya melangkah perlahan menuruni bukit menuju

pancuran di bawah sembilan mata air dewa. Di tengah jalan mereka

berpapasan dengan bi parmi yang dengan susah payah membawa air

yang di tamping dalam periuk.
“Loh den, ini airnya sudah bibi bawakan.”
“Saya akan ke pancuran itu bi,” ujar raden Karmapala sambil

terus berjalan melewati bi Parmi yang kebingungan.
“Pakai saja air itu untuk membasuh mukamu bi,” ejak ki

Rimbun sambil berlari-lari kecil menjajari raden Karmapala dan raden

purbaya.
“Huhh…, bagaimana ini. Jauh-jauh aku ke pancuran, dasar

anak raja,”gumam bi Parmi dengan sewot.

Sesampainya di pancuran Raden Karmapala dan raden

Purbaya tampak asik mandi di bawah derasnya guyuran sembilan

mata air dewa. Suasana yang sejuk melenakan siapapun yang berada

di tempat itu. pepohonan rindang seakan manjadi payung alami dari

ganasnya sinar matahari.
“Saya selalu berlatih di tempat ini raden.”

mari.” “Berlatih apa Purbaya?”
“Latihan melompat. Dari sungai kering di sana sampai ke

“Ilmu apa itu Purbaya?”
“Itu untuk melatih daya tahan tubuh raden.”
“Apa kau tidak diajari ilmu silat atau kanuragan, Purbaya?”

166

Api Berkobar di Karang Sedana

“Saya baru diajarkan satu jurus pukulan.”
“Hah satu jurus pukulan.”
“Karena saya baru di sini, raden.”
“Kau berasal dari mana Purbaya?”
Belum sempat raden Purbaya menjawab pertanyaan raden
Karmapala dari atas bukit bi Parmi memanggi raden Karmapala untuk
menghadap resi Wanayasa.
“Kau pergilah dulu bi Parmi, nanti saya menyusul.”
“Baiklah. Raden Purbaya tolong nanti antarkan Raden
Karmapala ke bilik Eyang Resi.”
“Baik bi parmi.”
“Eh bi Parmi. Mengapa kau memanggil raden pada
Purbaya?”
“Iya raden.”
“Siapakah kau sebenarnya Purbaya?”
“Aku adalah putra ayahanda prabu Aji Konda dari Karang
Sedana yang kini telah tersingkir.”
“Ohh, jadi kau anak raja juga?”
“Benar raden.”
“Bagus sekali. Jadi aku tidak salah memilihmu saebagai
kawanku Purbaya.”
“Sebaikmya raden segera menemui eyang resi Wanayasa.”
“Baiklah ayo kita tinggalkan tempat ini.”
Setelah membasuh wajah raden Karmapala dan raden Purbaya
kembali ke padepokan goa larang.

-o0o-

Semantara itu di Karang Sedana. Sang prabu Jaya Suntana
sedang berbincang serius dengan para tamu undanganya.

“Tuanku mereka inilah yang akan membantu rencana kita,”
kata ki demang Suwanda. “Ia adalah ki Sampar Angin.”

“Apakah kalian mengerti semua rencana yang akan kami
jalankan?” kata prabu Jaya Suntana dari atas singgasananya.

“Sudah tuanku. Melakukan gerkan khusus ke padepokan goa
larang.”

167

Api Berkobar di Karang Sedana

“Apakah kau yakin akan berhasil, ki Sampar? Apakah kau
mengerti kekuatan apa yang akan kau hadapi.”

“saya tuanku. Hamba sudah paham dengan kekuatan apa
yang nanti hamba hadapi. Ki demang Suwanda telah memberikan
dana cukup untuk melakukan gerakan ini. Dengan dana itu, hamba
yakin mampu menghimpun kawan-kawan dari dunia hitam untuk
menjalankan rencana ini.”

“Baiklah ki Sampar. Carilah dan rekrut tenaga lebih banyak.
Aku tidak ingin mendengar kata gagal. Dan ingat ki Sampar. Serangan
ini adalah dari musuh-musuh Wanayasa dan ning sewu yang
mendendam pada mereka. Jadi bukan dariku. Bukan dari prabu Jaya
Suntana. Kau mengerti ki Sampar?”

“Hamba mengerti tuanku. Pemerintahan Galuh hamba jamin
tidak mengetahui semua rencana tuanku ini.”

“Bagus sekali ki Sampar. Jika rencana berhasil aku berikan
hadiah khusus buatmu.”

“Terimakasih tuanku, tapi apakah tindakan tuanku pada
Karang Sedana tidak membuat sang prabu Sanna marah.”

“Dengar ki Sampar. Yang aku lakukan adalah kehendak dari
semua rakyat Karang Sedana. Mereka sudah tidak senang dengan gaya
kepemimpinan Aji Konda. Untuk itulah aku mewujudkan keinginan
rakyat, dan prabu Sanna di Galuh telah aku kirim berita semua yang
terjadi di Karang Sedana.’

“Hamba mengerti tuanku.”
“Nah ki Sampar istirahatlah dulu sebelum kau melakukan
rencana itu.”
“Terimakasih tuanku.”
Setalah di rasa cukup ki Sampar Angin tampak meninggalkan
pintu gerbang kerajaan Karang Sedana. Ia pacu kuda tungangannya
dengan cepat.
“Hem. Aku harus segera menenui Dandung muridku, biarlah
dia yang akan menghubungi Prabangkara kakangku dan semua
pendekar golongan hitam. Tapi dimana anak itu,” membati ki Sampar
Angin dari atas punggung kuda yang dipacunya dengan kencang.
Belum lama berselang pendengaran tajam ki Sampar Angin seperti
mendengar pertarungan. Ia segera gebrak kuda tungangannya

168

Api Berkobar di Karang Sedana

mendatangi pusat keributan. Dan alangkah kagetnya orang tua
berselempang kain hitam ini begitu melihat muridnya, Dandung Awuk
tengah bertarung dengan dua orang pendeta.

“Guru kedua pendeta ini sudah mempermalukan kita,” teriak
Dandung Awuk.

“Mundur kau Dandung, siapa kau pendeta murtad.”
“Hahaha…, aku memang pendeta murtad pak tua. Kenapa
kau marah pada ku?”
“Kau akan menyesal pendeta gundul.”
“Baiklah terimalah seranganku ini.”
Pendeta tinggi besar berkepala gundul itu ternyata Rakosa
Pala murid dari Girindra Sana. Batu sebesar kerbau kini telah berada
di atas kepalanya siap dilempar pada ki Sampar Angin. Batu
melunncur deras tapi dengan cepat kisampar angin menangkap dengan
tasbehnya batu itu kini berputar cepat.
“Siapakah dia, ilmunya tinggi sekali,” keluh Rakosa pala.
“Mana sesumbarmu tadi, terimalah ajalmu pendeta murtad.”
“Baiklah akan ku coba dengan kelelawar sakti,” gumam
Rakosa Pala. Tubuhnya kini tampak melenting ke atas dan siap
melakukan penyerangan. Ki Sampar Angin tersentak mengenali jurus
yang diperagakan lawnnya.
“Tunggu kepala gundul…!” sentak ki Sampar Angin.
“Ada apa pak tua?
“Apa hubunganmu dengan si gundul Girinda Sana?”
“Apa kau takut pak tua?”
“Jangan membuatku arah gundul. Aku tidak ingin kesalahan
tangan membunuh murid kawanku.”
“Huah…, agaknya kau mengenal guruku.”
“Tentu saja.”
“Dimana dia?”
“Di desa sebalah sana ki.”
“Lalu apa yang terjadi dengan muridku itu?”
“Murid aki keterlaluan sekali. Ia hendak merampas kudaku.”
“Sudahlah. Ayo Dandung kita temui kawanku dulu. Girinda
Sana. Untung saja dua tahun lalu ia mempertunjukan jurus kelelawar
saktinya padaku. Jika tidak, aku kesalahan tangan padamu gundul.”

169

Api Berkobar di Karang Sedana

Tidak menunggu lama ketiganya bergegas meninggalkan tepi hutan
menuju desa sumur opat untuk menemui pendeta Girinda Sana.

Di tempat lain dalam waktu yang hampir bersamaan. Raden
Karmapala yang dikirim mahaprabu Sanna, ayahandanya untuk
belajar di padepokan goa larang hentikan lari dan sandarkan tubuhnya
di bawah sebuah pohon.

“Cukup paman Luminta, aku tidak mau lagi mengikuti semua
petunjukmu. Aku datang kemari bukan untuk berlari-lari seperti anak
kecil, aku ke sini mau mempelajari ilmu-ilmu sakti.”

“Tapi raden. Yang paman berikan ini adalah…”
“Dadar dari ilmu kanuragan. Bukankah itu yang ingn paman
katakana.”
“Betul raden.”
“Saya tahu dan tidak butuh itu. saya bukan Purbaya yang
bodoh. Jangan perlakukan saya seperti anak-anak.”
“Raden tidak akan bisa menguasai ilmu sakti jika daya tahan
tubuh raden lemah.”
“Saya tidak percaya. Ajarkan saja jurus-jurus sakti.”
“Baiklah raden. Hal ini akan saya bicarakan dengan mbah
Jatis.”
“Sapakah dia paman?”
“Pengasuh semua murid padepokan. Beliau adalah adik
seperguruan eyang resi Wanayasa.”
“Sudahlah aku ingin menantang Purbaya. Akan ingin bukti
daya tahan tubuh yang paman banggakan itu. Ayo Purbaya.”
“Janagan raden.” Sergah ki Luminta.
“Biarlah paman. Akupun ingin menjajal ilmu yang telah
paman ajarkan padaku.”
Kedua kesatria cilik ini saling berhadapan. Ki Luminta tidak bisa
berbuat apa-apa ketika keduanya saling baku hantam yang tentu saja
dalam satu kali gebrak raden Purbaya mampu dijatuhkan raden
karmapala.
“Mana paman? Daya tahan tubuh yang paman bangga-
bangakan itu.”
“Agaknya raden telah mendapatkan beberapa jurus ilmu
kanuragan?”

170

Api Berkobar di Karang Sedana

saja.” “Benar paman. Maka dari itu ajarkan Ilmu-ilmu yang sakti
“Aku akan mencobanya lagi raden.” Sela raden Purbaya lalu

bangkit dan kembali menyerang raden Karmapala namun jurus-jurus

yang dilancarkan raden Purbaya tidak ada artinya sama sekali

menghadapi jurus raden Karmapala hingga raden Purbaya jadi bulan-

bulanan hinga pada suatu saat raden Purbaya menyerang raden

Karmapala membabi buta dan bearhasil menyergap lawannya.
“Sudah cukup raden, lepaskan raden Karmapala dari

himpitan mu,” kata ki Luminta manakala raden Purbaya dengan nekad

memeluk lawan dan memiting serta menguncinya.
“Anak ini curang sekali paman. Ia menyerang dan memiting

saya tanpa aturan.”
“Hahah…, dalam satu perkelahian banyak cara digunakan.

Yang dilakukan raden Purbaya barusan banyak digunakan oleh jago
brkelahi dari seberang lautan,” ujar ki Luminta.

“Hey, tapi yang digunakan Purbaya adalah cara berkelahi
anak kampung.”

“Raden memang benar. Tapi mana ilmu yang selama ini

raden kuasai? Raden tidak berdaya dalam sergapan dan pitingan raden
Purbaya.”

“Ahh sudahlah paman. Saya capek mau istirahat,” sela raden

Karmapala ke,udian meninggalkan ki Luminta dan raden Karmapala

begitu saja.
“Tapi mengapa aku tidak mampu menjatuhkan raden

Karmapala dengan jurus yang aku kuasai paman.”
“Karena raden belum menguasai kincir metu denga baik.”

Ketika ki Luminta sedang memberikan pengarahan pada

raden Purbaya entah dari mana sumbernya terdengar tawa seseorang

namun tak tampak batang hidungnya.
“Siapa kisanak yang menertawakan kami. Ayo keluarlah!”

sentak ki Luminta. Namun bukannya berhenti justru tawa itu semakin

manjadi. Aki Luminta yang penasaran segera melesat dan berusaha

mencari sumber tawa yang semakin memekakan telinga namun

semakin dicari semakin keras tawa misterius tetap saja ki Luminta

171

Api Berkobar di Karang Sedana

tidak mampu menemukan siapa orang yang berbuat usil terhadap
dirinya.

“Bagaimana paman?”
“Tidak ada raden. Mungkin orang itu sudah meninggalkan
tempat ini. Sudahlah ayo kita lanjutkan saja latihan. Coba raden
peragakan lagi jurus gerbang dewata.”
“Baik.”
Raden Purbaya kembali melanjutkan latihan dalam
bimbingan ki Luminta. Dan pada kesempatan berikutnya ki Luminta
mengadap mbah Jatis atas permintaan raden Karmapala.
“Jika begitu aku saja yang menangani anak itu Luminta. Kau
urus raden Purbaya saja.”
“Termakasih guru. Jika demikian saya kembali ke sanggar.”
“Tunggu dulu Luminta aku ingin penjelasan darimu.”
“Silahkan guru.”
“Kau katakana bahwa raden Karmapala sudah memiliki
jurus-jurus dari luar padepokan ini. Apakah kau bisa mengenali jurus
itu?”
“Maap guru saya tidak mengenalnya. Namun menurut hemat
saya jurus itu bukanlah kelas satu di dunia persilatan.”
“Lalu sampai dimana ku membimbing raden Purbaya?’
“Saya sudah memberikan jurus ke dua dari tingkatan pertama
kincir metu.”
“Apakah anak itu rajin berlatih?”
“Luarbiasa sekali semangatnya guru. Jadi saya percepat
memberikan jurus pembuka kincir metu tersebut.”
“Bagus sekali Luminta. Berikan ia sesuai dengan
kebutuhanya, namun jangan terlalu dipaksakan juga jangan terlalu
lamban.”
“Baik guru. Kalau begitu saya pamit.”
“Silahkan Luminta.”
Ki Luminta segera meningalkan gurunya. Sepeninggal ki
Luminta mbah Jatis bergegas menemui raden Karmapala.
“Apakah jurus gerbang dewata ini ampuh mbah?”
“Jika jurus itu berdiri sendiri tidak ada artinhya raden.
Namun jika digabung dengan jurus serangan berukutnya akan jadi

172

Api Berkobar di Karang Sedana

satu gerak yang luarbiasa. Oh iya raden, mbah dengar raden sudah
pernah mempelajari ilmu kanuragan di istana Galuh.”

“Betul mbah. Banyak pengawal ayahanda prabu yang
mengajari saya.”

“Coba raden tunjukan pada mbah.”
“Baik mbah,” kata raden Karmapala kemudian dengan lincah
ia peragakan satu jurus yang segera dihetikan mbah Jatis.
“Siapa yang mengajari jurus itu raden? Melihat gerakannya
itu adalah jurus dari seberang lautan.”
“Benar mbah. Jurus ini dari paman Pakih Sulung asal
Melayu. Ia adalah salah seorang pengawal pribadi ayahanda prabu.”
“Coba perlihatkan jurus lain raden.”
“Baik mbah,” kembali raden Karmapala memperlihatkan satu
jurus yang segera dihentikan kembali oleh mbah Jatis.
“Bagaimana mbah apakah mengenali jurus barusan?”
“Itu adalah kepalan sakti dari selatan.”
“Hebat. Mbah mampu mengetahui jurus-jurus yang saya
miliki. Tapi apakah jurus ini lebih baik dari jurus yang mbah miliki?”
“Hehehe…, mungkin iya, mungkin juga tidak raden.”
“Apa maksud mbah?”
“Tiap jurus atau ajian memiliki khas dan keragaman daya
serang yang berbeda satu dengan lainnya. Kehebatan sebuah jurus dan
ajian sangat tergantung sekali pada orang yang menerapkannya.”
“Saya kurang mengerti. Maksud mbah?’
“Hem. Kepalan sakti selatan itu akan berbeda jika gurumu
sendiri yang menggunakannya. Jadi jika raden ingin menjadi orang
tangguh persiapan dasar raden harus benar-benar sempurna.”
“Saya akan coba menuruti semua petunjuk mbah.”sela raden
Karmapala.
“Bagus. Untuk selanjutnya raden dilarang menggunakan
segala bentuk ilmu kanuragan dari luar padepokan goa larang ini dan
untuk jurus milik raden dilarang mempergunakannya.”
“Apakah tidak sayang mbah. Justru jurus saya lebih baik dari
Purbaya.”
“Hehe…, jika raden Purbaya memiliki tiga jurus saja dari
kincir metu. Raden akan mudah dikalahkanya.”

173

Api Berkobar di Karang Sedana

“Apakah mbah dapat mebuktikannya?”
“Oh. Boleh, bagaimana caranya raden.”
“Saya akan menyerang mbah dengan jurus saya. Dan mbah
gunakan jurus satu dan dua dari kincir metu.”
“Hahaha, boleh…boleh raden. Mbah akan tutup kedua mata
ini. Silahkan raden menyerang mbah.”
“Mbah sunguh-sungguh?”
“Iya.”
“Baiklah.”
Raden Karmapala yang merasa besar kepala dengan
kemampuanya segera menyerang mbah Jatis dengan jurus kepalan
saktinya. Namun haya meggesar tubuhnya sedikit serangan raden
Karmapala dengan mudah dimentahkan.
“Bagaimana raden?”
“Hem. Aku akan menyerangnya dari belakang,” gumam
raden Karmapala.
Raden Karmapala mengendap-endap memutari mbah Jatis
sampai di belakang punggung setelah itu dengan kepalan sakti
andalannya ia melompat dan menyerang mbeh Jatis yang dengan
mudah mampu menagkap tangan raden Karmapala.
“Kenapa mbah menggunakan Ilmu sihir.”
“Bukan raden. Ini adalah salah satu ilmu dari padepokan goa
larang?’
“Tapi mana mungkin mbah tahu serangan saya sedang mata
mbah tertutup?”
“Mbah mempergunakan Ilmu empat arah pembeda gerak.
Kemanapun raden bergerak mbah akan mengetahuinya.”
“Baiklah mbah. Ajarkan ilmu itu pada saya.”
“Pada saatnya nanti raden. Sekarang mari kita berlatih lagi.”
“Baik mbah.”
Dengan semangat tinggi raden Karmapala mengikuti perintah
mbah Jatis. Hari demi hari raden Karmapala berlatih dan berlatih
hingga ia mengusai jurus kincir metu tingkat lima. Semantara itu
raden Purbaya dalam didikan ki Luminta kini sudah menginjak jurus
ke tiga kincir metu tingkat pertama. Untuk itu raden Purbaya sudah
digabung dengan murid-murid tingkat dasar dari padepokan goa

174

Api Berkobar di Karang Sedana

larang. Sesuai tradisi yang berlaku di padepokan tiap tahun resi
Wanayasa selalu mengadakan pendadaran bagi murid-murid yang
sudah mencapai kincir metu tingkat lima. Raden Purbaya sangat ingin
mengikuti pendadaran tersebut maka dengan diam-diam ia selalu
memperhatikan para murid senor berlatih kincir metu tingkat lima
setelahnya raden Purbaya berlatih sendiri mengulang apa yang telah
diperhatikannya demi ambisi bisa mengikuti pendadaran.

Ketika raden Purbaya sedang berlatih sendirian. Sebuah tawa
berkumandang. Tawa itu begitu dekat namun tak tampak seorangpun
di tempat itu.

“Siapakah yang mengintip ku berlatih!” kata raden Purbaya.
Tawa itu semakin keras seakan merobek langit.
“Apa yang aku lakukan bukan mencuri ilmu tapi aku hanya
ingin ikut pendadaran,” teriak raden Purbaya.
Suara tawa misterius masih bergema namun sang pemilik
tawa tidak tampak batang hidungnya.
Siapakah pemilik tawa misterius tersebut?[]

Sampai jumpa di episode ke dua: Kisah Sepasang Anak Harimau.

175

Api Berkobar di Karang Sedana
Tentang Penulis

KUSYOTO, lahir di Indramayu 02 Juli
1977 bergiat di Dewan Kesenian
Indramayu, Komite Sastra, beberapa
tulisannya baik puisi dan cerpen di muat di
berbagai media Koran dan majalah
nasional, menulis baginya adalah sebuah
terapy hati dan ajang silaturahim dalam
menyampaikan ide, pesan dan gagasan,
selain menulis cerpen dan puisi ia juga
menulis novel genre fiksi Sejarah, ia juga
seorang praktisi kesehatan di sebuah Rumah Sakit swasta di bilangan
Indramayu.
Penulis dapat dihubungi di Email. [email protected]
Atau WA. 081380790380

176

Api Berkobar di Karang Sedana
177

Api Berkobar di Karang Sedana
178


Click to View FlipBook Version