Api Berkobar di Karang Sedana
Pandan Sari itu telah memberi pelajaran laki-laki tambun tersebut
ketika ia menuntut haknya sebagai penerus kepemimpinannya,
seyogyanya Dandung Amoksa berhak menjabat sebagai kepala desa
namun ketika ki Pandan Sengkala mendengar Dandung Amoksa
adalah pemimpin perampok hutan bambu ki Pandan Sengkala
memutuskan mengangkat Damar Maya adik Dandung Amoksa
sebagai kepala desa Pandan Sari.
“Selama satu purnama anak itu tidak terdengar kabarnya,
sampai satu ketika disaat aku sedang makan aku merasakan sesuatu,
aku muntahkan makanan itu namun sebagian racun telah menyerang
pembuluh darah pada kedua mataku, rupanya anak bejat itu telah
meracuni aku lewat tukang masak yang ia bayar.”
“Damar Maya keluar kau keparat!” kata Dandung Amoksa
yang pada satu siang kembali mendatangi desa Pandan Sari, kali ini
lelaki tambun tersebut membawa anak buahnya.
“Kakang Dandung apa yang kau lakukan pada ayah kita?”
“Seharusnya aku yang menggantikan ayah, bukan kau
keroco.”
“Itu bukan kemauanku kakang.”
“Banyak cincong, anak-anak bereskan orang tua buta dan
anak setan ini!” sentak Dandung Amoksa disusul melesatnya beberapa
orang bertampang sangar menyerang Damar Maya dan ki Pandan
Sengkala yang kondisinya lemah akibat racun yang mulai menjalar ke
seluruh pembuluh darahnya, pertempuran yang tak seimbangpun
pecah.
“Dalam pertempuran itu aku yang lemah dapat diringkus dan
dijebloskan ke sini, sedang adiknya Damar Maya dibunuhnya dengan
keji.”
“Iblis gendut itu benar-benar licik, awas kalau aku sudah
memiliki kemampuan aku balaskan semua sakit hati ini padanya,”
geram raden Purbaya setelah mendengarkan semua cerita ki Pandan
Sengkala.
“Hemat amarahmu bocah, di tempat ini kau hanya diberi
makan sekali, duduklah, bersandar dekatku.”
“Baik kek.”
-o0o-
101
Api Berkobar di Karang Sedana
Setelah berhasil meloloskan diri dari kepungan prajurit dan
tokoh golongan hitam yang telah menguasai Karang Sedana, Saka
Palwa Guna dan Anting Wulan memutuskan menunggu di goa batu
tempat dimana dulu Saka Palwaguna menyembuhkan luka dalam
Anting Wulan, kedua remaja murid padepokan goa larang itu duduk di
hadapan api uggun di depan mulut goa sambil berbincang-bincang,
malam belumlah larut hawa dingin terasa mencucuk persendian.
“Adik Wulan, mungkin kalau kau sudah tua penampilanmu
akan seperti itu,” kata Saka Palwaguna membuat dara manis itu
kontan cemberut.
“Kakang tega, kakang mau saya jadi bahan olok-olok,” ujar
Anting Wulan yang merasa kesal, gadis manis itu mulai merajuk.
“Eh, saya hanya bercanda adik Wulan, pada dasarnya kau
gadis yang manis tentu ketika tua garis kecantikanmu akan tetap
terlihat.”
“Benar begitu kakakng?” kata Anting Wulan dengan mata
berbinar.
“Iya, masa aku kakangmu ini membohongi mu.”
“Eh, cantikan mana saya dengan Intan Pandini?”
“Kenapa kau tanyakan itu adik Wulan.”
“Kakang Saka.”
“Iya, ada apa adik Wulan.”
“Kakang mencintai Intan Pandini?”
“Ehh saya…, saya….” Belum selesai Saka Palwaguna
meneruskan kalimatnya, pendengarannya yang tajam menangkap
gerak mencurgakan, keduanya lantas melesat masuk ke dalam semak
belukar, namun ketika tahu siapa yang datang keduanya lantas
menemui dua orang yang ternyata Seta Keling dan Dampu Awuk.
“Bagaimana kabar kalian?”
“Kami baik-baik saja kakang Seta, bagaimana dengan kakang
sendiri dan adik Dampu?”
“Kami baru saja keluar dari tempat persembunyian sambil
menyembuhkan luka dalam,” ujar Dampu Awuk.
102
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang Seta dan kakang Dampu terluka?” kata Anting
Wulan, kecemasan tergambar jelas di wajahnya.
“Yah,pukulan beberapa tokoh golongan hitam telak melanda
dada kami.”
“Ah sudahlah, ayo adik Wulan bakarkan daging kering itu
buat kakang Seta dan adik Dampu.”
“Baik kakang Saka,” ujar gadis manis itu lantas membolak
balik daging kering di atas bara api. Selagi keempat murid padepokan
goa larang itu belum puas menikmati makananya, di kejauhan
terdengar derap dua ekor kuda menuju ke tempat mereka, dengan
sigap keempatnya melesat ke semak belukar.
“Eh, Apung kau periksa sebelah sana, aku coba masuk ke
dalam goa itu,”kata ki Podang lantas bergegas ke mulut goa. Kedua
orang anak buah ki Dandung Amokas itu tengah dalam perjalanan ke
kota raja Karang Sedana mengemban tugas ki Dandung untuk
menyampaikan bahwa pelarian dari Karang Sedana ada di desa
Pandan Sari.
“Emm, goa ini gelap sekali, eh Apung apa yang kau
lakukan?”
“Ini ki Podang, ada daging, saya lapar ki.”
“Eh berikan daging itu padaku,” sela ki Podang lantas
merenggut daging panggang yang sedang dimakan Apung.
“Aki Podang curang, itu bakarlah sendiri.”
“Eh dengar Apung goblok, nanti kau akan makan daging
seperti ini bersama keluargamu tiap hari selama sebulan,” ujar aki
Podang sambil mengunyah daging panggang dengan lahapnya.
“Aki bohong, dari mana aki punya uang sebanyak itu?”
“Dengar Apung goblok…., kalau kita sampai di Karang
Sedana dan memberi kabar pada ki Sentana kita akan dapat hadiah.”
“Oh, aku mengerti,aki akan memberitahukan tentang
tawanan dari Karang Sedana itu kan.”
“Eh, kau tahu dari mana goblok, sudahlah cepat habiskan
makanan mu, kita segera pergi,” ujar ki Podang lantas bangkit dari
duduk menepuk debu di celana dan bersiap naik ke atas punggung
kuda, namun saat itulah empat bayangan telah berdiri di hadapanya.
“Tunggu dulu sobat…!”
103
Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh, siapa kalian? Aku aki Podang tidak punya waktu
meladeni kalian minggir.”
“Podang, mulutmu itu nyerocos seperti burung kepodang.”
“Eh perempuan jaga bicara mu.”
“Aki Podang kami minta keadilan, kau sudah menghabiskan
makanan kami, sekarang kami minta ganti rugi,” sela Seta Keling.
“Kalau aku tidak mau kau mau apa, eh Apung bereskan
mereka.”
Bruakkk!!
Apung terpental dan bergulingan ke tanah begitu sosok
Anting Wulan melabrak dirinya.
“Kurang ajar kau rasakan ini,” kata ki Podang lantas
menyerang dengan pedang miliknya, seperti tadi dengan sekali gebrak
pedang ki Podang mental entah kemana, Seta Keling tampak
mencengkeram lengan lelaki tinggi kurus itu sampai melintir.
“Ampun…, ampun tuan,jangan bunuh saya?”
“Kami akan melepasmu jika kau mau mengatakan siapa
tawanan dari Karang Sedana itu?”
“Baik-baik aku akan jelaskan, tolong lepaskan
cengkeramanmu ini.”
“Nah, ceritakan siapa tawanan itu?”
“Permaisuri prabu Aji Konda dan anaknya, Purbaya yang ada
di desa kami.”
“Dimana desa mu?”
“Pandan Sari.”
“Antarkan kami ke sana?” sela Anting Wulan.
“Tapi…, tapi.”
“Antarkan kami ke desa mu atau kupatahkan lenganmu itu,”
dengus Anting Wulan.
“Sabar adik Wulan, ki Podang akan mengantarkan kita ke
desanya, bukan begitu ki Podang,”sela Saka Palwaguna yang bersiap
mencengkeram urat nadi lelaki tinggi kurus tersebut.
“Iya baik, baik.”
“Periksalah kawanmu itu, mungkin ia terluka,” ujar Seta
Keling.
104
Api Berkobar di Karang Sedana
“Ayo Apung kita kembali…,” kata ki Podang sambil
memapah Apung kawannya.
“Balik kemana ki Podang?”
“Ya Pandan Sari, goblok…,”
“Pergunakan kuda kalian, kami akan mengikuti dari
belakang,” ujar Seta Keling.
Tak lama, aki Podang dan Apung kembali terguncang-guncang di atas
kudanya, sedang keempat murid padepokan goa larang dengan
mengetrapkan aji Kidang Mamprung mengikutinya dari belakang.
“Awas kalau sampai besok pagi belum sapai ke desa kalian,
kupatahkan lenganmu,” ancam Dampu Awuk.
“Iya tuan, kami tidak berani membohongi kalian.”
“Percepat lari kuda kalian.” Sentak Dampu Awuk.
Keempat murid dari padepokan goa larang itu tampak melesat
mengejar waktu, di saat celeret jingga di ufuk timur batas gerbang
desa Pandan Sari sudah nampak di kejauhan.
o0o
Hari masih sangat pagi begitu ki Podang dan Apung sampai
di desa Pandan Sari, lelaki tinggi kurus itu tampak pucat pias
memikirkan akan murkanya aki Dandung Amoksa, di depan bilik aki
Podang bertemu dengan ki Dandung Amoksa.
“Eh Podang, kau sudah kembali, tugasmu sudah kau
laksanakan?”
“Anu ki Dandung, belum ki.”
“Kau gila Podang,” sentak ki Dandung murka.
“Tapi…, tapi ki, ada hal penting.”
“Apa lagi Podang! Persoalan apa lagi yang kau bawa?”
“Ada orang yang ingin bertemu ki Dandung.”
“Kau gila, Podang. Ayo kita temui mereka,” sentak ki
Dandung lantas melangkah cepat menuju halaman.
“Hemmph…, monyet, apakah kalian yang memaksa Podang
kembali?”
“Betul ki Dandung, kami ingin menjemput tawanan dari
Karang Sedana itu,” ujar Seta Keling tanpa tedeng aling-aling.
“Hemmph…, moyet, Podang…, Podang…!”
“Saya…, saya ki Dandung.”
105
Api Berkobar di Karang Sedana
“Bunuh mereka semua cepat…!”
“Tapi…, tapi..ki, mereka…, mereka.”
“Hihihihi…, kenapa bukan kau saja yang melayani kami ki
Dandung,” ejak Anting Wulan.
“Hemph…perempuan ku pecahkan kepalamu,” sentak ki
Dandung yang dalam satu gerak beberapa jurus melanda Anting
Wulan.
“Podang ambilkan senjataku,” sentak ki Dandung geram.
“Hihihi…, aku akan menunggu datangnya sejatamu ki
Dandung,” ejak Anting Wulan sambil mengelak ke sana ke mari
menghindari serangan lalaki tambun tersebut.
“Itu senjatamu sudah datang ki Dandung,” kata Anting
Wulan sambil tertawa-tawa mengejek.
“Rasakan senjataku ini…!” kata ki Dandung sambil
memutar-mutar rantai dengan bandul bergerigi di ujungnya dengan
cepat, namun yang dihadapinya kali ini adalah Anting Wulan, salah
satu murid goa larang yang paling bandel dan usil maka dalam satu
kesempatan senjata rantai ki Dandung Amoksa sudah dapat direbutnya
sekaligus beberapa pukulan dihadiahkan gadis manis itu.
“Ahhh, aku menyerah anak muda, jangan bunuh aku,” kata ki
Dandung memelas.
“Tunjukan di mana tahanan itu, ki Dandung.”
“Baik, mari aku tunjukan,” kata ki Dandung Amoksa
kemudian berjalan menuju sebuah bangunan besar di samping
rumahnya diiringi keempat murid padepokan goa larang yang tidak
menduga akal licik Dandung Amoksa.
“Heheh, kalian rasakan enam puluh pengawalku,” gumam ki
Dandung dalam hati.
“Nah, di sinilah tempatnya anak muda,aku akan masuk.”
“Yah kau masuklah, awas jangan macam-macam dengan
kami,”ancam Seta Keling.
Ki Dandung tampak tersenyum, lelaki tambun itu lantas
masuk kedalam ruangan yang sejatinya adalah barak para prajuritnya.
Tak lama ki Dandung keluar kembali sambil menyeringai licik.
106
Api Berkobar di Karang Sedana
“Hemphh…, aku sebenarnya setuju kalau kalian membawa
tawanan itu, tapi…, hehehe…, pengawal-pengawalku tidak,” kata ki
Dandung dengan senyum.
“Kurang ajar, apa maksudmu?” belum Seta Keling
menyelesaikan kalimatnya dari dalam bangunan melesat puluhan
prajurit menyerang keempatnya.
“Licik…, adi Saka,adi Awuk dan adi Wulan, hadapi mereka
saya akan ikuti Dandung licik itu,” geram Seta Keling lantas melesat
mengikuti ke mana ki Dandung menghilang sedang ketiga remaja
murid goa larang itu bertempur mati-matian menghadapi enam puluh
prajurit ki Dandung Amoksa.
“Ah, ia kembali ke tempat semula, apakah di sana tawanan
itu,” pikir Seta Keling.
Semantara itu dengan tergesa ki Dandung Amoksa memaksa
masuk dengan mendobrak pintu dimana Rara Angken, raden Angling
Purbaya dan emban pengasuh Cempaka berada.
“Ayoh nyai cepat iku denganku,” geram ki Dandung dengan
pandangan buas.
“Ada apa ki,kenapa aki seperti ini?”
“Ayo cepat…!” geram ki Dandung lantas menyambar tubuh
raden Purbaya begitu Seta Keling sudah berada di ruangan tersebut.
“Ki Dandung, aku kira kau bisa bersikap kesatria.”
“Akhhh, persetan…,dalam situasai seperti ini apapun akan
aku lakukan, minggir beri aku jalan atau kupatahkan leher anak ini,”
kata ki Dandung sambil mendukung raden Purbaya yang terus
meronta dan menjerit, saat itulah ketiga saudara seperguruanya
datang, rupanya mereka berhasil membereskan para pengawal ki
Dandung.
“Ada apa kakang? Apakah ia permaisuri prabu Aji Konda?”
“Benar adi Wulan.”
“Minggir…, awas siapapun yang mengikuti aku, kupatahkan
leher anak ini,” ancam ki Dandung lantas naik ke punggung kuda
dengan raden Purbaya sebagai sanderanya, digebraknya kuda itu
hingga melesat cepat menuju selatan.
“Wulan biarkan dia pergi,” sela Seta Keling.
107
Api Berkobar di Karang Sedana
“Purbaya anakku, bagaimana dengan anaku…!” jerit Rara
Angken.
“Tenanglah tuanku, kami akan berusaha mengejarnya,” kata
Seta Keling, namun karena tekanan batin yang sangat berat dalam
beberapa hari, akhirnya permaisuri prabu Aji Konda itupun pingsan.
“Adi Saka, adi Awuk, kejar orang itu, biar adik Wulan dan
aku mengurus permaisuri prabu Aji Konda ini terlebih dahulu.”
“Baik kakang Seta,” ujar keduanya lantas melesat ke selatan
mengejar ki Dandung Amoksa yang sudah terlebih dahulu pergi
sambil menyandera raden Purbaya.
Ki Dandung bagai kesetanan pacu kudanya tanpa henti menuju jalan
yang mulai rimbun oleh pepohonan di sebuah hutan ki Dandung
hentikan kudanya ketika raden Purbaya terus memaki-makinya,
dengan amarah yang meluap ki Dandung hajar raden Purbaya habis-
habisan, namun malah bocah pemberani itu menantangnya, mengingat
waktunya sedikit ki Dandung kembali sambar tubuh bocah itu dan
pacu kudanya tanpa memperdulikan makian raden Purbaya, di sebuah
hutam bambu ki Dandung Amoksa hentikan kuda tungganganya.
“Hemmph, tempat ini semakin tidak terurus sejak aku
tinggalkan tiga bulan yang lalu, aku harus memberi tanda pada guru
agar tidak mati konyol karena jebakannya,” memikir sampai di situ
ketika berada di mulut goa ki Dandung Amoksa berteriak memangil
gurunya.
“Guru…, ini aku Dandung yang datang.”
Hemm, kaukah Dandung, kemana saja kau selama ini?”
“Maapkan saya guru,” kata ki Dandung sambil bersimpuh di
hadapan lelaki tua berselempang kain hitam, hilang sudah kesangaran
ki Dandung Amoksa di hadapan gurunya itu.
“Siapakah anak ini Dandung, muridmu kah?”
“Ia putra Aji Konda, guru…, aku akan membawanya pada ki
Sentana.”
“Rupanya kau berobah pikiran setelah mereka berhasil
menjalankan rencananya.”
“Ampun guru, saya datang kemari minta pertolongan
guru,”rengek ki Dandung bersamaan di luar goa, ki Sampar Angin,
108
Api Berkobar di Karang Sedana
guru dari ki Dandung melihat dua orang pemuda datang ke
markasnya.
“Hem, dua orang pemuda itukah yang menyusahkan mu,
Dandung?”
“Betul guru, mereka sangat tangguh.”
“Hemp, minggirlah Dandung lihat bagaimana aku akan
menghadapi mereka, percuma kau selama ini aku didik kalau tetap
goblok,” dengus ki Sampar Angin.
Saka Palwaguna dan Dampu Awuk yang baru datang tampak tertegun
di mulut goa, kedua remaja murid goa larang itu tampak ragu untuk
memasuki goa.
“Hawakwakwaka…, mengapa kalian ragu hah, ayo masuklah
ambil anak ini,” terdengar teriakan lantang dari mulut goa membuat
darah Dadung Awuk mendidih.
“Hai siapapun kau, keluarlah pengecut hadapi kami!” sentak
Dampu Awuk.
“Ayo anak muda, kalau kau jantan, masuklah kemari.”
“Keparat, aku akan masuk kakang Saka.”
“Jangan adi Awuk, biarkan dia yang keluar terlebih dahulu.”
“Tidak kakang Saka, aku akan coba masuk.”
“Baiklah, jika kau memaksa adi Awuk,hati-hatilah.”
“Baik kakang,” setelah mendapat persetujuan dari
kakangnya, pemuda tinggi besar dengan cambang lebat di wajah
gagahnya itu secepat kilat melompat ke mulut goa, baru lima langkah
dari dalam goa melesat puluhan jarum-jarum halus, sebat pemuda
gagah itu lentingkan badannya ke udara, senjata maut berupa jarum-
jarum halus melesat satu senti di bawah kakinya.
“Pembokong licik, keluar kau hadapi aku, Dampu Awuk!”
“Hakakakakaka…, bagus sekali anak muda, dalam situasi
genting kau masih mampu mengelak dari senjata rahasiaku.”
Terdengar suara lantang dari dalam goa.
“Bocah ayo kau keluar,” kata ki Sampar Angin.
“Guru jangan sampai anak itu lolos,” sela Dandung Amoksa
cemas, manakala ki SamparAngin, gurunya menyuruh raden Purbaya
keluar dari dalam goa.
109
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau perhatikan saja Dandung bodoh,” dengus ki Sapar
Angin.
Semantara di luar goa, Saka Palwaguna dan Dampu Awuk
tertegun beberapa kejap mana kala dari dalam goa muncul raden
Purbaya sambil berlari-lari kecil.
“Ke sini raden…!” teriak Saka palwaguna.
Raden Purbaya berlari secepat yang ia mampu menuju Saka
Palwaguna, namun dari dalam goa meluncur seutas tali tipis menjirat
badannya di sertai serangan senjata rahasia dan dalam hitungan detik
tubuh raden Purbaya kembali tertarik masuk ke dalam goa.
“Kurang ajar, keluar kau…!”
“Hawakwakwak…, ambilah anak ini jika kalian mampu, nah
bocah kau keluarlah lagi,” kata ki Sampar Angin.
“Tidak, aku tidak mau dipermainkan lagi oleh mu,” tandas
raden Purbaya.
“Hwakwakwak, benar kau tidak mau keluar bocah?” kata ki
Sampar Angin yang secara tiba-tiba kembali melemparkan tubuh
raden Purbaya yang diikat seutas tali tipis ke luar goa, Saka
palwaguna yang sedari tadi siaga secapat kilat memburu tubuh raden
Purbaya dan dengan gerak akrobatik ditangkapnya tubuh bocah
tersebut sambil tangan kanannya memutus tali tipis dengan belati.
“Hawakwakwak…, agaknya kalian murid-murid Wanayasa,
gerak tubuhmu memutuskan tali itu adalah gerak kincir metu, dan
kalian berhasil memaksaku keluar,” sentak ki Sampar Angin yang
dalam satu gerak tubuhnya meluncur kekuar goa diikuti puluhan
senjata rahasia.
Kedua murid eyang resi Wanayasa itu dengan sigap
menangkis semua senjata rahasia dengan jurus kincir metu.
“Lari raden…, lari selamatkan dirimu!” teriak
Sakapawaguna.
“Hawakakakaka, Wanayasa terlalu bangga dengan kincir
metunya, nah anak muda hadapilah aku ki Sampar Angin,” sentak
lelaki tua tersebut lantas menyerbu dengan jurus-jurus andalannya,
saat itulah Anting Wulan dan Seta Keling bersama Rara Angken,
Cempaka juga ki Pandan Sengkala yang telah dibebaskan juga seluruh
110
Api Berkobar di Karang Sedana
penduduk Pandan Sari termasuk ki Podang cs muncul di tempat
tersebut.
“Dimana anak durhaka itu hah, kupecahkan
kepalanya,”sentak ki Pandan Sengkala membuat Dandung Amoksa
yang berdiri di mulut goa kontak pucat pias wajahnya.
“Heh, Dandung kenapa kau gemetar begitu, siapakah orang
tua itu?”
“Tentu saja dia gemetar menghadapi ayahnya,” sela Anting
Wulan.
“Oh, wakwakwak, mengapa tidak kau bunuh saja ayahmu itu
Dandung.”
“Heh setan tua, agaknya kaulah yang mempengahruhi pikiran
Dandung?
“Tenanglah ki Pandan, biar kami urus ki Sampar Angin itu,”
sela Seta Keling.
“Oh, jadi ia ki Sampar Angin itu, mampukah kalian
menghadapi iblis itu?”
“Akan kami usahakan ki,” ujar Saka Palwaguna.
Ki Pandan Sengkala segera menepi bersamaan dengan datangnya
raden Purbaya menghampiriya.
“Kakek kita ketemu lagi.”
“Hemm, bocah syukurlah kau selamat, katakana padaku di
manakah Dandung berada.”
“Ia berdiri tepat di mulut goa, sebelah kiri kakek.”
“Bagus, kau rasakan ini anak durhaka,” sentak ki Pandang
Sengkala, dalam satu kelebat orang tua itu tampak bertarung sengait
dengan Dandung Amoksa, sedangkan keempat anggota ning sewu
dengan aba-aba Seta Keling segera membentuk formasi penyerangan
barisan empat kincir, menggempur ki Sampar Angin bak air bah tanpa
jeda, ki Sampar Angin yang menyaksikan Dandung Amoksa terdesak
hebat oleh gempuran ayahnya menjadi khawatir maka dengan sekali
lenting disambarnya tubuh Dandung Amoksa, berkelebat cepat
meningalkan tempat tersebut.
“Tunggulah pembalasan ku, anak muda!” sentak ki Sampar
Angin sambil membimbing muridnya Dandung Amoksa.
“Tidak usah dikejar adi Dampu,” kata Seta Keling.
111
Api Berkobar di Karang Sedana
“Terimakasih anak muda, kalian telah menyelamatkan
anakku, Purbaya.”
“Itu sudah kewajiban kami tuanku.”
“Untuk senantara waktu tuanku bisa tinggal bersama kami di
goa larang.”
“Nah ki Podang, bantulah ki Pandan Sengkala mengurus
desanya, kelak jika kami kembali kau membuat ulah, kubunuh kau.”
“Iya, tuan….”
Setelah berpamitan dengan ki Pandan Sengkala, keempat
murid eyang resi Wanayasa itu segera berangkat menuju padepokan
goa larang. Seta Keling sebagai ketua rombongan mengusulkan untuk
menggunakan jalan besar agar cepat sampai ke goa larang, lain halnya
dengan perjalanan yang Rara Angkel lakukan, bersama keempat
pemuda perkasa murid padepokan goa larang rombongan itu segera
memacu kuda tunggangannya masing-masing, di kejauhan tampak
gerbang kota Kancarupa yang tampak ramai, kota Kancarupa terleta di
antara perbatasan sebelah timur Karang Sedana dan Kerajaan Galuh.
Di tengah perjalanan, Cempaka emban pengasuh Purbaya mendadak
merasakan sakit pada dadanya, segera Anting Wula memberikan obat.
“Apakah lukanya berbahaya bibi Anting?”
“Tidak, di penginapan nanti saya akan mengurusnya.”
“Kalau begitu kita istirahat dulu di penginapan yang ada di
kota Kancarupa,” usul Seta Keling.
Ketika hari menjelang sore mereka tiba di kota Kancarupa, sebuah
kota ramaidengan pertemuan para pedagang dari Karang Sedana dan
Galuh, rumah makan besar dan penginapan bersih banyak dijumpai di
setiap sudut kota Kancarupa.
“Hem, rumah makan ini cukup bersih, juga menyediakan
kamar penginapan, mari tuanku hamba kira tempat ini cukup baik,”
kata Seta Keling.
“Di manapun bagiku tidak apa, tempat ini lebih baik daripada
hutan belantara yang beberapa waktu kulalui,” gumam Rara Angken.
“ Tunggu anak muda.”
“Iya tuankau.”
“Untuk menghindari kecurigan orang, panggillah aku
dengan sebutan nyai atau apa saja.”
112
Api Berkobar di Karang Sedana
“Benar tuanku, eh…, nyai, saya harap juga memanggil kami
dengan sebutan nama saja,” sela Seta Keling.
“Oh, baik Seta, ayo kita masuk,”ujar Rara Angken.
“Bibi anting, tolong turunkan bibi Cempaka,” sela Raden
Purbaya.
“Baik raden, mari adik Cempaka,” kata Anting Wulan
kemudian membantu Cempaka turun dari kuda. Tak lama rombongan
Seta Keling telah berada di dalam rumah makan tersebut.
“Aku merasakan sesuatu yang tidak wajar dengan dua orang
di sudut sana, lihatlah mereka selalu mencuri pandang pada kita,”
bisik Anting Wulan.
“Iyah kau benar adik Wulan, akupun merasakan ketidak
wajaran sejak kita memasuki gerbang kota ini,” ujar Saka Palwaguna.
“Biar aku tanya mereka, apa maunya,” sela Dampu Awuk,
pemuda tinggi besar itu lantas bangkit dari duduknya.
“Jangan memancing keributan dalam situasi seperti ini, adik
Awuk,”sela Seta Keling.
“Adik Wulan, naiklah ke kamar atas ajak nyai dan Cepaka
istirahat biar Purbaya menghabiskan makananya,” kata Seta Keling.
“Mari nyai, ayo adik Cempaka,” ujar Anting Wulan sambil
membimbing Cempaka dan mengiringi Rara Angken meniti tangga ke
kamar atas penginapan tersebut.
“Ayo kau habiskan makananmu Purbaya,” kata Seta Keling.
“Eh, aku sudah selesai, paman ayo kita naik,” ujar Purbaya.
Ketika mereka akan naik ke lantai atas penginapan, dari arah pintu
rumah makan masuklah pengemis tua, berjalan tersarug-sarug
meminta sedekah pada tiap meja tamu yang sedang makan. Purbaya
yang tidak melihat seorang tamupun memberi sedekah segera
memanggil pengemis tua tersebut.
“Kek, kakek pengemis kemarilah,”
“Eh iyah, ada apa tuan kecil?”
“Bukankah kau mencari makan.”
“Iyah benar tuan kecil, apakah tuan kecil akan memberikan
sedekah untuk makan saya hari ini.”
“Kau lihat, di mejaku masih banyak sisa makanan yang
masih utuh, ambilah kek, kau bisa makan sepuas hatimu.”
113
Api Berkobar di Karang Sedana
“Hehehe…, iya,iya…, terimakasih, terimakasih tuan kecil,”
ujar kakek pengemis itu lantas mengambil beberapa makanan di atas
meja.
“Malam ini aku menginap di sini, besok pagi dan siang, kau
dapat kemari lagi, kami akan memberimu makan lagi, bukan begitu
paman Seta?”
“Hahaha, benar Purbaya, kekek dapat datang lagi besok saat
kita makan di sini.”
“Ah, terimakasih tuan.”
“Purbaya, ayo kita istirahat.”
“Mari paman.”
Malam harinya, suasana dimana rombongan Seta Keling
menginap terasa dicekam kesunyian yang amat sangat, akan tetapi di
jalan raya yang lengang itu dengan jarak antara dua tombak tampak
dua bayangan seakan sedang berjaga-jaga dengan kewaspadaan tinggi,
suasana tegang semakin meningkat, dan suasana itupun segera
dirasakan Seta Keling dan kawan-kawannya.
“Adik Saka, adik Awuk, aku merasakan suasana tidak wajar
yang terjadi di sekitar kita.”
“Kesunyian inikah kakang,” sela Saka Palwaguna.
“Coba aku lihat dari jendela ini,” ujar Saka Palwaguna lantas
membuka jendela penginapan.
“Kakang, lihat itu, dua orang mencurigakan di sana, dua
orang lainnya pun ada di sudut sebelah sana,” sela Dampu Awuk.
“Siapa mereka, sangat mencurigakan sekali kakang,” ujar
Saka Palwaguna.
“Beritahu adik Wulan di kamar sebalah agar hati-hati.”
“Baik kakang,” kata Saka Palwaguna lantas keluar kamar dan
mengetuk pintu kamar yang di tempati Anting Wulan, Rara Angken
dan Cempaka.
“Dimana adik Wulan, nyai?”
“Di balik pintu itu, Wulan sedang mengobati Cempaka, ada
apa adik Saka,kelihatannya kau bingung sekali?”
“Tidak nyai, biar saya kembali ke sebelah dulu, permisi
nyai.”
114
Api Berkobar di Karang Sedana
“Tunggu kakang, aku sudah selesai,” kata Anting Wulan
yang muncul dari balik pintu.
“Ada apa kakang?”
“Kakang Seta meminta kau untuk berhati-hati, suasana di
luar sangat mencurigakan.”
“Oh ya…, aku tidak dapat merasakannya, aku sedang
mencurahkan perhatianku pada Cempaka.”
“Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Sudah membaik kakang.”
“Baiklah jika begitu.”
Saat itulah Anting Wulan mendengar sesuatu yang
mencurigakan di atas atap penginapan,
“Siapa kalian!” teriak Anting Wulan.
“Kau mencurigai sesuatu adik Wulan?”
“Iya kakang, langkah beberapa orang di atas genteng.”
“Gerakan mereka sangat cepat, bayangannya pun tidak bisa
tertangkap.”
“Sudah tentu adik Awuk, karena kita kehabisan waktu
dengan membuka dulu jendela ini,” sela Seta keling. Keempat murid
padepokan goa larang itu kembali tersentak mendengar jeritan Rara
Angken dari kamarnya, sontak keempatnya melesat masuk ke dalam
kamar Rara Angken.
“Ada apa nyai?”
“Itu, itu di dinding bilik itu.”
“Paser, apa ada yang datang kemari?”
“Tidak paman, paser itu dilempar ketka ibu sedang melihat
keluar,” sela Purbaya.
Lihat kakang, agaknya paser itu berisi pesan.”
“Tunggu adik Wulan, aku khawatir gulungan daun rontak di
paser dibubuhi racun, emh adik Saka bagaiana pendapat mu” kata Seta
Keling.
“Tidak kakang, paser ini tidak beracun juga daun rontalnya.”
“Hem, pesan ini agaknya untuk kita, entah apa artinya, kau
bacalah adik Saka.”
“Mencari makan dengan bekal kaleng dan tongkat, mencari
teman dengan bekal kejujuran dan niat, sepotong daging, semangkuk
115
Api Berkobar di Karang Sedana
sayur dan sepiring nasi yang diberikan tanpa pamrih dan hati bersih
bernilai setinggi gunung dan sedalam lautan budi, akan kami bayar
dengan taruhan nyawa kami.”
“Aneh sekali, seperti sajak seorang pengemis,” sela Anting
Wulan.
“Eh ya, pengemis, adik Saka, apakah…, tapi tidak mungkin,”
gumam Seta Keling.
“Ada apa kakang Seta?”
“Adik Wulan, tadi sore ketika kau baru saja naik ke atas
penginapan, ada pengemis datang dan Purbaya memberi makan
pengemis itu.”
“Oh, pengemis yang saya kasih makan itu paman Seta?”
“Iya bentul Purbaya.”
“Kakang Seta, apakah pengemis itu orang sakti yang sedang
menyamar?”
“Aku tidak tahu, tapi mungkin saja adik Wulan.”
“Kakang, aku akan keluar menanyakan pada beberapa orang
yang tampak berjaga-jaga di sekitar penginapan ini.”
“Tunggu adik Wulan, biar aku temani, adik Awuk dan adik
Saka biar berjaga di sini.”
“Baik kakang Seta.”
Anting Wulan dan Seta Keling lantas melesat dari jendela
penginapan, mendarat dengan ringan di hadapan seorang gadis manis
berpakaian pengemis dengan tongkat berwarna merah dalam
genggaman tangan kanannya.
“Sobat siapakah kalian?” sapa Anting Wulan.
“Saya salah satu orang yang bertanggung jawab atas
kehadiran mereka, kami mendapat perintah dari guru untuk
mengamankan penginapan ini dari pengacau,” menerangkan sang
gadis berpakaian pengemis namun sangat bersih.
“Pengacau, siapakah yang kalian maksudkan?”
“Ki Darpo dan para begundalnya, malam ini akan datang
untuk merebut pelarian dari Karang Sedana.”
“Hem, ki Darpo. Lalau siapakah kalian ini?” kata Anting
Wulan.
116
Api Berkobar di Karang Sedana
“Eh, maap. Dari pakian yang kalian kenakan agaknya kalian
dari perguruan pengemis tongkat merah?” sela Seta Keling.
“Benar tuan, saya salah seorang muridnya, bersiaplah tuan
mereka sudah tiba,” ujar gadis tersebut lantas berteriak lantang pada
beberapa orang yang berada di atas genteng penginapan.
“Berhenti kau pencuri busuk!”
“Siapakah kau? Megapa menghalangi kami bocah,” sentak
seseorang bertampang sangar.
“Berhentilah membuat kekacauan di sini, orang yang kalian
cari berada dalam lindungan kami,” sentak sang gadis.
“Heh…, bocah kecil, sungguh besar sekali mulutmu,
sadarkah apa yang baru saja kau katakan.”
“Huh, tinggalkan tempat ini sebelum kami melumatkan
begundal-begundalmu, kami sudah tahu rencana kalian.”
“Hahah, darimana kau tahu rencana kami, bocah sombong?”
“Kalian tidak perlu tahu, turunlah dari atas penginapan itu
dan segera pergi dari penginapan ini.”
“Hahaha, adi Jagal Pati, saat ini di hadapanmu ada seorang
gadis manis memaksa untuk mengurungkan niatmu. Kini apa yang
akan kau lakukan?”
“Hemh, sebainya kita jangan membuang-buang waktu
kakang Darpo, aku khawatir mereka segera pergi dari tempat ini.”
Jagal Pati yang tidak sabaran langsung menyerang Sariti,
pertarungan antara Jagal Pati dengan Sariti berlangsung dengan sengit.
Tongkat merah di tangan Sariti berputar cepat lakasana gasing meliuk-
liuk kemudian menggebuk cepat membuat Jagal Pati yang hendak
melempar Sariti tersentak kaget, melihat hal itu Ki Darpo langsung
turun glanggang membantu Jagal Pati, walau dikeroyok dua orang
pendekar golongan hitam, Sariti dengan tenang mampu mengatasi
serangan lawannya, ki Darpo bersuit nyaring disusul munculnya tiga
puluh orang anak buahnya yang langsung menyerang.
“Kakang Seta apakah kita hanya jadi penonton,” kata Anting
Wulan.
“Agaknya gadis itu mampu mengatasi lawan-lawannya, oh
iya di mana raden Purbaya?”
117
Api Berkobar di Karang Sedana
Keempat murid padepokan goa larang yang tengah menonton
jalannya pertempuran antara anak buah ki Darpo dan anggota
pengemis tongkat merah tersentak kaget bilaman mendengar derai
tawa raden Purbaya yang digendong seorang kekek tua di atas sebuah
pohon.
“Oh Purbaya anakku diculik kekek pengemis,” jerit Rara
Angken.
“Tidak nyai, saya percaya dengan kekek itu,” ujar Seta
Keling.
“Apa yang harus kita lakukan kakang Seta?”
“Ayo kita turun ke samping halaman penginapan ini,” ujar
Seta Keling.
Baru saja keempat murid padepokan goa larang sampai di
halaman samping sebuah bayangan dengan kecepatan tinggi
menggempur mereka dengan tiba-tiba.
“Hadapi dengan bayangan empat kincir!” sentak Seta Keling,
saat itulah kekek tua yang menggendong raden Purbaya sudah berada
di tengah-tengah gelanggang.
“Hehehe…, Sampar Angin, kau masih saja mengurusi urusan
orang-orang muda, lepaskan mereka Sampar Angin.”
“Hemmp, rupanya kau pengemis sudra, ki Parang Pungkur.”
“Ayo bocah baik kau menepilah, biar aku kasih pelajaran
kakek tua yang masih suka ikut campur urusan orang ini,” kata kakek
Parang Pungkur dijawab anggukan raden Purbaya yang langsung lari
ke arah Anting Wulan.
“Ayolah Sampar angin kita bermain-main sebentar, hehehe.”
“Hemph, terimalah rantai mautku ini Pungkur,” sentak ki
Sampar Angin lantas putar rantai dengan bandul bergerigi di ujungnya
itu dengan cepat, hal yang sama pun dilakukan oleh ki Parang
Pungkur, tongkat merah di tangan kananya berputar dengan cepat
laksana titiran, detik berikut pertempuran antara jago tua itu
berlangsung dengan sengit, sementara pertempuran antara anggota
tongkat merah dan anak buah ki Darpu memasuki babak penentuan,
satu per satu anak buah ki Darpo tumbang sedang ki Darpo dan Jagal
Pati yang menghadapi Sariti mulai kewalahan walau Jagal Lanang dan
Jagal Belo membantunya, apalagi Ki Dandung Amoksa yang terlibat
118
Api Berkobar di Karang Sedana
pertempuran mulai kewalahan mengadapi gempuran anggota tongkat
merah, maka dengan bersuit nyaring ki Sampar Angin memerintahkan
Dandung Amoksa mundur, melihat itu Jagal pati dan ki Darpo pun
melakukan hal yang sama.
“Hehehe…, lunas sudah hutangku, bocah baik. Sepotong
daging, semangkuk sayur dan sepiring nasi sudah lunas aku bayar
mala mini juga, hehehe,” kata sang kekek sambil masih terkekeh-
kekeh.
“Eh kakek tua.”
“Iya, anak muda.”
“Kami ucapkan terimakasih atas bantuan kakek, kalau boleh
tahu dari mana kekek mengetahui rencana mereka?” kata Seta Keling.
“Hehehehe, anak muda, peristiwa apakah yang tidak
diketahui oleh Parang Pungkur, hehehe..., apapun yang terjadi di dunia
kependekaran tanah Jawa dan Pasundan ini, pasti ku ketahui heh,
hehehe, tanyakan saja pada gurumu siapakah aku ini heh.”
“Baiklah jika demikian, tapi ada satu hal yang ingin saya
tanyakan pada kekek.”
“Hush, simpan saja dulu semua pertanyaan mu anak muda,
kalian kembalilah ke beristirahat dengan tenang, percayalah mereka
tidak akan mengganggu kalian untuk semantara.”
“Eh, baiklah kek, eh nona saya juga mengucapkan
banyak….”
“Hush cukup, cukup…, kau sudah mengucapkan terimakasih
padaku, itu sudah cukup mereka semua muridku, kau tidak usah
mengucapkan terimakasih satu per satu pada mereka, sudah…, sudah
pergilah istirahat.”
“Eh, baik-baik kek.”
“Ayolah kita kembali ke kamar, adik Cempaka, Purbaya,”
ujar Anting Wulan lantas menggandeng kedua bocah itu masuk ke
penginapan.
“Terimakasih kek,” kata Purbaya.
“Iya, iya…, ayo beristirahatlah sekaran,” ujar ki Parang
Pungkur sembari mempersilahkan semuanya naik ke penginapan.
Malam beranjak larut, suasana kembali sepi, sunyi dan dingin
membuat rombongan Seta Keling terlelap begitu cepat, mereka
119
Api Berkobar di Karang Sedana
percaya setidaknya untuk malam ini dapat beristirahat dengan aman.
Keesokan harinya mereka makan bersama di bawah penginapan.
“Hem, dimana mereka paman? Mengapa tidak kelihatan,
kemarin banyak pengemis berkeliaran di rumah makan ini.” Kata
Purbaya, ekor matanya menyapu jalanan yang mulai ramai dengan
lalu-lalang orang.
“Iya, aneh sekali kakang Seta, tidak ada pengemis
seorangpun,” sela Saka Palwaguna.
“Agaknya kedatangan mereka kemarin sengaja untuk
menolong kita, bukannya makanan yang diberikan Purbaya,” gumam
Seta Keling.
“Tapi dari mana mereka tahu rencana ki Darpo?” kata Anting
Wulan.
“Itulah yang membuatku penasaran,” sela Seta Keling.
“Apakah guru bisa menjawab semua kejadian ini,” kata
Anting Wulan.
“Sudahlah, baiknya kita lanjutkan perjalanan, eh…,
bagaimana nyai?”
“Iyah aku setuju, lagi pula Cempaka kondisinya sudah
membaik,” kata Rara Angken.
Setelah dirasa cukup semuanya segera naik ke kudanya
masing-masing, matahari beranjak tinggi begitu rombongan Seta
Keling meninggalkan kota Kanca Rupa yang semakin ramai dengan
aktifitas jual beli.
“Kakang apakah besok pagi kita akan sampai di goa larang?”
kata Anting Wulan yang berkuda dengan Cempaka.
“Saya kira demikian adik Wulan,” ujar Seta Keling yang satu
kuda dengan raden Purbaya.
“Hey, apakah kalian tidak merasakan kita diikuti seseorang,”
sela Saka Palwaguna.
“Hem, iyah…, seorang berkuda mengikuti kita di belakang,
tapi apakah kakang Saka yakin ia menguntit perjalaan kita?”
“Aku yakin adik Wulan, orang itu mengikuti kita, cobalah
hentikan kuda kalian,” ujar Saka Palwaguna sambil menarik tali
kekang kuda tunggangannya diikuti yang lainnya.
120
Api Berkobar di Karang Sedana
“Nah, kalian lihat orang itupun menghentikan kudanya,” kata
Saka Palwaguna.
“Kakang Seta, mengenal orang itu?”
“Eh, tidak adik Saka, baiknya kita lanjutkan perjalanan,” ujar
Seta Keling lantas kembali melepas tali kekang kudanya.
“Apakah orang itu bermaksud jahat pada kita?” kata Rara
Angken dengan wajah khawatir.
“Saya kira tidak nyai, orang itu mengikuti kita dengan
terang-terangan,” sela Saka Palwaguna.
“Iyah, tapi apa maksud orang itu mengikuti kita, kakang
Awuk mari kita temuai orang itu.”
“Tunggu adik Wulan, mengapa kau repot-repot mengurusi
orang itu.”
“Maap kakang Seta, saya penasaran dengan orang itu,” sela
Anting Wulan lantas melesat dari punggung kuda menggunakan ajian
kidang mamprung menghampiri orang berkuda yang diduga
menguntit perjalanan mereka.
“Bukankah kau murid perguruan tongkat merah?” kata
Anting Wulan begitu berada tiga tindak di hadapan orang berkuda
yang tampak kaget atas kehadiran Anting Wulan.
“Maapkan saya, telah mengikuti kalian secara diam-diam.”
“Apa maksud mu mengikuti kami?”
“Saya diperintah guru untuk mengawal kalian sampai di goa
larang, guru saya menulis surat buat eyang resi Wanayasa, guru
kalian.”
“Eh, kami tidak butuh kau kawal, dan malam tadipun kami
tidak butuh bantuan kalian,” sela Anting Wulan ketus.
“Tapi ini itu semua atas perintah guru kami.”
“Apakah dengan cara seperti itupun atas perintah guru mu?”
“Eh, saya…, saya…,” ujar gadis ini terbata-bata, saat itulah
rombongan Seta Keling telah berada di antara keduanya.
“Lihatlah akibat perbuatanmu, kau telah menghambat
perjalanan kami,” kata Anting Wulan membuat Sariti, salah satu
murid perguruan tongkat merah itu tertunduk dalam.
“Oh, kau gadis murid perguruan tongkat merah itu?” kata
Dampu Awuk.
121
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang dia akan ke goa larang untuk menyampaikan surat
pada guru,” sela Anting Wulan.
“Kalau begitu mari kita sama-sama ke goa larang,” ujar Seta
Keling.
“Eh, maap biarlah saya mengikuti kalian dengan cara ini.”
“Tak baik melakukan perjalanan bersama dengan cara itu,
aku kira gurumu pun akan kecewa dengan sikap mu.”
“Ah, sudahlah kakang Seta, apakah kita akan memaksa orang
yang tidak suka dengan kita,” sela Dampu Awuk yang mulai tidak
sabaran.
“Baiklah, saya ikut dengan kalian, maapkan sikapku,” kata
Sariti pelan.
Setelah tidak adalagi yang perlu dibahas rombongan Seta Keling
segera memacu kudanya masing-masing meningalkan perbatasan kota
Kanca Rupa.
Semantara itu di istana Karang Sedana, ki Sentana sebagai
penasihat dalem Karang Sedana kini telah menabalkan dirinya
sebagai raja dengan gelar Jaya Suntana, pada kesempatan itu tengah
berbincang serius dengan ki demang Suwanda, yang tidak lain utusan
khusus dari Kerajaan Indraprahasta.
“Mohon beribu ampun baginda Jaya Suntana, senapati Darpo
dan anak buahnya gagal menangkap pelarian itu yang kini berada di
goa larang, juga Aji Konda sampai saat ini belum ditemukan
keberadaannya,” kata ki Darpo. “Saran saya lebih baik kita hentikan
pengejaran dan lebih terpokus untuk menghimpun kekuatan.”
“Iyah, aku setuju dengan usulmu itu ki demang, akan tetapi
mungkinkah aku dapat mengambil kembali pelarian itu dari goa
larang dan melampiaskan dendamku pada anak-anak muridnya, juga
tawanan itu.”
“Tentu saja tuanku, apakah tuanku khawatir karena goa
larang merupakan padepokan resi Wanayasa, paman dari prabu Sanna
dari Galuh?”
“Hal itu yang menjadi beban pikiranku, ki demang.”
“Jangan khawatir tuanku, percayalah Ranghyang Prabu Sora
telah menjanjikan apapun yang tuanku inginkan termasuk
membalaskan dendam pada goa larang, asalkan mulai saat ini tuanku
122
Api Berkobar di Karang Sedana
harus membina dan menyiapkan paling sedikit sepuluh ribu tentara
yang kelak dipinjamkan pada ranghyang prabu Sora.”
“Hyah, aku mengerti ki Demang, hal itu telah aku limpahkan
pada patih Darpo untuk segera dilaksanakan.”
“Jika demikian hamba akan kembali dengan separuh pasukan
terlebih dahulu, minggu kemudian kembali lagi ke sini untuk
mengambil sisa pasukan berikutnya, dan tentu saja membawa khabar
pasukan khusus untuk membantu tuanku membalas dendam pada goa
larang dan pelarian itu.”
“Hyah, terimakasih ki demang atas semua bantuanmu,” ujar
prabu Jaya Suntana.
Ternyata kebaikan yang diberikan ranghyang Prabusora dari
Indraprahasta pada prabu Jaya Suntana tersipan pamrih besar yaitu
prabu Jaya Suntana diminta menyediakan tentara sebanyak seribu jiwa
untuk diperbantukan ke Indraprahasta.
-o0o-
Semantara itu rombongan Seta Keling telah memasuki desa
terakhir sebelum sampai di padepokan goa larang, desa Sumur Opat.
Mendadak Seta Keling menghentikan laju tunggangannya.
“Ada apa kakang? Mengapa kita berhenti di sini,” kata
Dampu Awuk.
“Kita istirahat dulu di sini untuk membersihkan badan,
bagaimana pandangan orang-orang Sumur Opat kalau melihat kondisi
kita lusuh seperti ini, itu akan meninggalkan kesan kurang baik bagi
padepokan goa larang,” ujar Seta Keling.
“Apakah bibi salah satu murid dari kakek Parang Pungkur?”
kata Purbaya ketika mereka melepas lelah di pinggir desa Sumur
Opat.
“Benar adik kecil, ada apakah?”
“Kakek Pungkur baik sekali, bahkan ia mengatakan akan
mengangkatku menjadi muridnya kelak,” kata Purbaya sambil
memperlihatkan sebuah kalung yang diberikan ki Parang Pungkur
kemarin.
“Eh, darimana kau dapatkan kalung itu, berikan padaku,” sela
Sariti lantas menyambar kalung yang berada di tangan Purbaya.
123
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kenapa bibi mengambil kalung ku, kembalikan bi.”
“Tidak, kau pasti…, dari mana kau dapatkan kalung ini,”
sentak Sariti.
“Sariti, kembalikan kalung Purbaya,” kata Anting Wulan
dengan nada suara mulai tinggi.
“Tidak, ini kalung lambang pergurun kami, kalian lihat ini
mirip bukan dengan kalung milikku,” ujar Sariti sambil
memperlihatkan kalung miliknya.
“Tapi kalung itu milikku,” sela Purbaya tidak mau kalah
gertak.
“Ah, Purbaya…, katakanlah dari mana kau dapatkan kalung
itu?” kata Seta Keling sambil memperhatikan kalung yang terbuat dari
kulit dengan lambang lima bulan yang saling bergandengan, sedang
kalung yang dipakai Sariti nyaris tak berbeda hanya milik Sariti
memiliki tiga buah bulan yang saling bergandengan.
“Kakek Pungkur yang memberikannya pada saya,” kata
Purbaya.
“Guru yang memberikannya padamu? Tidak masuk akal,
kalung itu memberi tanda kusus pada pemakainya sebagai pimpinan
atau anggota terhormat dari perguruan kami,” tandas Sariti.
“Nah, jika begitu kenapa kau tidak menghormati pemegang
kalung itu? kenapa kau justru berbuat kasar padanya, kau murid
murtad yang tidak berbakti pada perguruan,” kata Anting Wulan
membuat gadis ayu itu tertunduk dalam.
“Benar apa yang katakana nona, ini kalung mu tuan kecil dan
hukumlah saya murid tongkat merah yang tidak tahu diri,” ujar Sariti
lantas menjatuhkan lututnya di hadapan Purbaya.
“Eh, apa ini, bangunlah bibi Sariti, aku bukan anggota dari
perguruanmu, kata kakek Pungkur nanti kalau ada jodoh saya akan
menjadi muridnya, ayo bangunlah bibi Sariti.”
“Sudahlah nona, ayo bangunlah, kita istirahat sebentar
sebelum melanjutkan perjalaan,” sela Seta Keling.
Setelah dirasa cukup istirahat rombongan Seta Keling segera
melanjutkan perjalanan dan ketika senja mulai turun rombongan itu
telah sampai di desa Sumur Opat, sebuah dusun kecil yang hanya
beberapa jam saja dari padepokan goa larang.
124
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kakang Seta, malam ini kita istirahat dimana? Kita tidak
bisa tidur di rumah kepala desa, rombongan kali ini banyak sekali,”
kata Anting Wulan.
“Yah, kita langsung ke balai desa menemui aki Sura,” ujar
Seta Keling.
“Eh kakang lihat itu, Made Ludira, dari bagian perpustakan,
mau apa anak itu keluyuran sampai ke sini,” kata Anting Wulan begitu
seorang pemuda jangkung salah satu murid padepokan goa larang
terlihat di antara beberapa orang yang keluar masuk dari sebuah
lumbung tua yang sudah tidak terpakai lagi.
“Hyah, gerak-geriknya sagat mencurigakan, akan kutegur
dia” gumam Dampu Awuk.
“Jangan adik Awuk, biarlah adik Saka dan adik Wulan yang
akan mengawasi gerak-geriknya, aku curiga dengan bungkusan yang
dibawanya.”
“Baik kakang Seta, ayo adik Wulan kita jalan kaki saja,” kata
Saka Palwaguna dijawab anggukan Anting Wulan, lantas keduanya
melesat dari punggung kuda masing-masing dan dengan langkah
ringan mengikuti Made Ludira, salah satu saudara seperguruannya
yang kini telah memasuki sebuah banguan besar.
“Rumah siapakah itu kakang Saka?”
“Itu sebuah lumbung padi yang sudah tidak terpakai adik
Wulan.”
“Mau apa anak itu sebenarnya.”
“Marilah kita intai dari sisi sebelah sini, adik Wulan,” kata
Saka Palwaguna, dengan sedikit melobangi dinding bambu yang telah
rapuh kedua murid padepokan goa larang itu mulai mengintai ke
dalam, dan betapa terkejutnya Saka Palwaguna dan Anting Wulan,
ternyata lumbung padi tua itu adalah tempat perjudian sekaligus
rumah bordil.
“Kurang ajar, ternyata anak itu bermaksud melampiaskan
napsu bejatnya,” geram Saka Palwaguna yang melihat Made Ludira
bersama seorang gadis penghibur tengah bercengkerama.
“Anak bejat, biar aku beri pelajaran dia,”sentak Anting
Wulan yang sudah kehiangan kesabarannya, maka dengan segera
gadis manis itu bermaksud menjebol sisi lumbung padi, namun lebih
125
Api Berkobar di Karang Sedana
cepat dari gerakan Anting Wulan, secara repleks Saka Palwaguna
segera merangkul dan membekap mulutnya, beberapa lama kesunyian
menggantung di udara, kedua pasang mata bening saling beradu
pandang beberapa kejap, geletar aneh menjalar dari simpul-simpul
syaraf keduanya, Anting Wulan segera melepas rengkuhan tangan
kokoh Saka Palwaguna dari tubuhnya isak tertahan meluncur dari
bebir gadis manis tersebut, Saka Palwaguna yang menyadari
tindakannya pun menjadi kaget atas apa yang telah diperbuatya pada
Anting Wulan.
“Maapkan saya adik Wulan, tidak ada jalan lain untuk
menghentikanmu, jika kau marah tolong tunda dulu, setelah ini semua
selesai saya siap menerima hukuman darimu,” ujar Saka Palwaguna di
sela isak tertahan Anting Wulan.
“Kakang Saka, aku tidak marah atau benci karena
perbuatanmu itu,” desah gadis manis tersebut dalam hati.
“Adik Wulan, maapkan perbuatan saya tadi, saya tidak ada
maksud.”
“Tidak kakang, saya tidak marah, mari kita lihat apa yang
akan dilakukan anak bejat itu,” gumam Anting Wulan, matanya masih
memandang sendu pada Saka Palwaguna dengan sejuta perasan
membuncah di hatinya.
“Agaknya dialah orang yang kita tunggu,” gumam Saka
Palwaguna.
“Pendeta itu, kakang?”
“Sepertinya pendeta itu yang ditunggu Made Ludira, apakah
kau kenal pendeta itu adik Wulan?”
“Tidak kakang, pendeta itu bukan seperti pendeta yang
memiliki jiwa welas asih.”
“Kau benar adik wulan, sorot mata pendeta itu justru
mengisyaratkan kebegisan dan kekejamannya,” kata Saka Palwaguna.
Keduanya terus memperhatikan gerak-gerik pendeta tinggi
besar dengan tongkat di tangannya yang melangkah pelan dan masuk
ke dalam lumbgung desa yang sudah tidak terpakai lagi dan ketika
pendeta itu tiba di dalam, semua laki-laki bertampang seram yang
semula sibuk berjudi seketika terdiam, tidak ada seorang pun yang
berani mengeluarkan suara.
126
Api Berkobar di Karang Sedana
“Hemp…, di mana Made Ludira, aku mencari orang itu,
apakah dia sudah datang,” dengus sang pendeta, suaranya terdengar
sember dan dalam dengan seringai dingin ketika menyelesaikan
kalimatnya.
Derit pintu terdengar disusul sosok Made Ludira yang tersenyum
simpul menyongsong kedatangan pendeta tersebut.
“Ah, tuan pendeta sudah datang, saya sudah sejak tadi
menunggu di sini,” kata Made Ludira dengan senyum masih
mengembang di bibirnya.
“Sebaiknya kita bicara di tempat lain, ayo cepat kutunggu
kau di luar, eh…, kenapa kalian diam saja ayo teruskan permainan
kalian,” kata pendeta tersebut lantas bergegas keluar dari lumbung tua
yang kembali riuh dengan suara orang berjudi.
“Kenapa tidak di sini saja tuan pendeta, apakah tuan tidak
membawa uangnya? Maap jika begitu saya tidak akan memberikan
kitab ini, saya mendapatkan kitab ini dengan resiko besar,” ujar Made
Ludira sembari memperlihatkan sebuah bungkusan.
“Hemp, jangan khawatir…, aku akan memberikan
imbalansesuai yang ku janjikan, tapi aku akan melihat dulu apakahkau
benar membawa barang yang aku butuhkan, heh,” geram sang pendeta
sambilmenatap tajam bungkusan yang dibawa murid padepokan goa
larang tersebut.
“Hehehe…, tuan akan melihatnya, ayo kemana kita akan
pergi.”
“Hemph…, kita ke pinggir sungai kering itu, ayo,” kata
pendeta tersebut lantas melangkah cepat menuju pinggiran sungai
kering, keduanya tampak duduk berhadap-hadapan. Semantara itu,
Saka Palwaguna dan Anting Wulan yang menguntit Made Ludira pun
telah berada beberapa tombak dari sunga kering dimana Made Ludira
perlahan mengeluarkan beberapa kitab dari dalam bungkusan.
“Hem, agaknya Made Ludira membawa kitab dari padepokan
kita kakang,” bisik Anting Wulan.
“Hem, iyah aku kira begitu, adik Wulan.”
“Kakang agaknya pendeta itu bukan berasal dari biara di
sekitar sini.”
127
Api Berkobar di Karang Sedana
“Kau benar adik Wulan, sepertinya pendeta itu berasal dari
Jawa bagian tengah, sepertinya dari Mataram, kau perhatikan ikat
kepala yang dikenakannya.”
“Lihat kakang, mereka mulai berbincang.”
“Hati-hati adik Wulan,jangan terlalu dekat, ku kira pendeta
itu bukan orang sembarangan, ayo kita gunakan ilmu empat arah
pembeda gerak.”
“Baik kakang.”
Tak berapa lama kedua murid padepokan goa larang itu telah
mendengar semua pembicaraan Made Ludira dengan sang pendeta.
“Mana kitab-kitab itu Made?”
“Kuharap tuan pendeta menambah sedikit imbalan yang tuan
janjijan, seperti yang saya katakan tadi kitab-kitab ini saya dapatkan
dengan perjuangan dan resiko besar.”
“Sudahlah, kau tidak usah khawatir keluarkan saja kitab-
kitab itu.”
“Eh, iya tuan pendeta,” ujar Made Ludira yang segera
membuka bungkusan yang dibawanya, Anting Wulan yang tengah
mengetrapkan aji empat arah pembeda gerak menjadi gusar melihat isi
bungkusan yang dibuka Made Ludira.
“Kurang Ajar, itu kitab-kitab kincir metu kakang.”
“Tenanglah adik Wulan, kita masih memiliki banyak waktu,
aku ingin tahu lebih jauh siapakan sebenarnya pendeta itu.”
“Baiklah, tapi berjanjilah, kakang akan menyerahkan
penghianat itu padaku.”
“Adik Wulan, tahanlah emosimu.”
Semantara itu betapa terkejutnya Made Ludira ketika pendeta
tinggi besar di hadapannya membanting semua kitab yang ada
ditangannya.
“Hehhh, kitab apa yang kau berikan padaku, ini bukan kitab
kincir metu yang aku cari,” kata pendeta itu sambil melemparkan
kitab yang ada di tanganya pada Made Ludira.
“Tuan pendeta, jangan menghina kitab ini sedemikian rupa,
kitab inilah yang saya dan kawan-kawan jadikan petunjuk
mempelajari kincir metu.”
128
Api Berkobar di Karang Sedana
“Hahh…, anak muda, kalau hanya untuk kitab seperti ini
buat apa aku jauh-jauh datang kemari, hah.”
“Bukankah tuan mengatakan pada saya, tuan akan memenuhi
undangan guru untuk acara sembahyang.”
“Hahaha…, jadi kau pikir aku akan ikut sembahyang untuk
keperluan Karang Sedana, hah, biarkan Karang Sedana dilanda
kemarau, jika memang si tua Wanayasa meminta hujan biarlah ia
meminta bersama pendeta-pendeta lain yang kurang pekerjaan seperti
gurumu itu.”
“Jadi tuan datang kemari benar-benar untuk….”
“Dengar Made, kitab yang kau bawa itu tidak lebih dari
salinan dasar dari kincir metu yang telah disederhanakan oleh si tua
Wanayasa untuk murid-murid bodoh seperti mu, selamanya kau jadi
bodoh dengan mempelajari kitab seperti itu”
“Heh, kau menghina ku tuan pendeta, aku bisa meremukan
mulutmu yang lancing itu.”
Pendeta berperawakan tinggi besar itu hanya tersenyum
mengejek, membuat darah muda Made Ludira menggelegak sampai
ke ubun-ubun, dengan emosi pemuda murid padepokan goa larang itu
lancarkan serangan pembuka namun betapa terkejutnya ia, lebih cepat
dari gerakan Made Ludira, pendeta tersebut telah memiting dan
melintir pergelangan tangannya.
“Ampun tuan pendeta, sakit…, sakit sekali, lepaskan tangan
saya.”
“Dengar anak muda,kalau aku mau aku bisa membunuhmu
sekarang juga.”
“Ampun tuan pendeta….”
“Hehh, baiklah…, aku masih memberi mu satu kesempatan
lagi,” ujar pendeta tersebut lantas mendorong tubuh Made Ludira
hingga terjengkang dan bergulingan di tanah berumput.
“Kau lihat apa yang aku pegang ini,” kata sang pendeta
sambil memperlihatkan beberapa batu mulia di telapak tangannya.
“Permata-permata ini akan jadi milikmu, kau bisa berjudi
sepuas hati dengan batu-batu mulia ini, asal kau berhasil membawa
kitab kincir metu yang asli padaku.”
129
Api Berkobar di Karang Sedana
“Tapi tuan pendeta, kitab itu tidak saya temukan di
perpustakaan padepokan yang saya kelola.”
“Tentu saja, tapi aku yakin, pasti si tua Wanayasa
menyimpannya kitab-kitab itu di kamar pribadinya.”
“Baik tuan pendeta, saya mengerti, lantas jika kitab itu sudah
saya dapatkan di mana saya bisa menemui tuan pendeta.”
“Aku menunggu mu di sini, cepatlah pergi dan bawa kembali
kitab-kitab itu.”
“Baik…, baik tuan pendeta.”
Made Ludira segera memasukkan kembali beberapa kitab
kincir metu ke dalam bungkusan, dengan tertatih-tatih pemuda murid
goa larang itu mengingalkan pinggiran sungai kering seiring selimut
malam yang mulai melingkupi kawasan tersebut, hal yang sama pun
dilakukan oleh pendeta berperawakan tinggi besar itu, dengan sekali
lompat sosoknya telah raib dari pandangan mata biasa.
“Ayo adik Wulan kita selidiki siapa sebenarnya pendeta itu.”
“Tapi kakang bagaimana dengan Made Ludira, ia akan
mencuri kitab kincir metu dari kamar eyang Wanayasa.”
“Aku kira dia tidak akan melakukannya malam ini, ayo adik
Wulan, langkah pendeta itu sangat cepat sekali,” bisik Saka
Palwaguna, keduanya tampak melesat cepat sambil mengetrapkan aji
empat arah pembeda gerak. Pada sebuah pondok tua Saka palwaguna
dan Anting Wulan hentikan langkah.
“Bagaimana adik Wulan?”
“Sepertinya pendeta itu hanya seorang diri di dalam,
kakang.”
“Aku sagat penasaran sekali pada pendeta ini, ia tidak
memperlihatkan ciri khas jurus perguruannya ketika mengajar Made
Ludira,” gumam Saka Palwaguna.
“Kakang, saya akan menyamar untuk menyelidiki pendeta
itu.”
“Jangan adik Wulan, sangat berbahaya.”
“Kau tenanglah kakang Saka,” bisik Anting Wulan,
kemudian gadis pemberani itu segera menghampiri pintu pondok dan
mengetuknya, seraut wajah bengis tampak menjulurkan kepala dari
balik pintu.
130
Api Berkobar di Karang Sedana
“Siapa kau anak manis? Kenapa malam-malam seperti ini
masih keluyuran heh.”
“Saya…, saya penduduk desa di pinggir ujung sawah, tuan
pendeta, apakah tuan pendeta melihat suami saya?” kata Anting
Wulan dengan suara dan gestur tubuh dibuat seperti orang desa.
“Hemm, aku sangat mencurigai mu anak manis,” ujar
pendeta tinggi besar tersebut, lantas secepat kilat menyambar lengan
gadis cantik yang ada di hadapannya, Anting Wulan yang sudah
mengira akan sergapan itu sudah sedari tadi telah melonggarkan
simpul syaraf dan otot-otot kanuragannya tampak meringis kesakitan
begitu tangan kekar sang pendeta mencengkeramnya dengan kuat,
gadis itu merintih-rintih kesakitan.
“Aduh…, sakit tuan pendeta, apa salah saya, tolong lepaskan
cengkeramanmu tuan pendeta….”
“Hem…, agaknya kau memang benar kelinci manis yang
sedang mencari suami, apakah suamimu itu sudah tidak waras hingga
kau mencarinya seperti ini?”
“Tuan pendeta benar….”
“Hahahah…, tinggalkan saja lelaki macam itu, kau bisa
mencari laki-laki lain yang lebih baik.”
“Tidak mungkin tuan pendeta, ia adalah ayah dari anak saya
satu-satunya, apakah tuan pendeta bisa menyembuhkan suami saya
itu?”
“Aku tidak punya banyak waktu anak manis, mungkin besok
aku sudah tidak ada di pondok ini lagi, sekarang pergilah aku sedang
menunggu guruku.”
“Oh, guru tuan pendeta barang kali bisa menolong suami
saya itu.”
“Sudahlah aku sudah bosan berbincang denganmu, sekarang
pergilah,” kata pendeta tersebut lantas menutup kembali pintu bilik.
Anting Wulan segera meninggalkan gubuk tersebut dan mendapati
kakangnya Saka Palwaguna yang tampak cemas menunggu
kehadirannya.
“Adik Wulan, aku sangat khawatir sekali ketika kau
dicengkeram pendeta tersebut,” kata Saka Palwaguna.
“Kakang, guru dari pendeta itu akan datang.”
131
Api Berkobar di Karang Sedana
“Iyah, aku sudah mendengar semuanya dengan aji empat arah
pembeda gerak, sayang sekali kau tidak bisa mengorek keterangan
dari mana ia berasal.”
“Sekilas ketika ia mencengkeram lengan, saya melihat
gambar kelelawar tergurat di lengan kanannya, kakang.”
“Gambar kelelawar.”
“Betul kakang, apakah kakang mengenali gambar tersebut.”
“Tidak adik Wulan, tapi kita bisa tanyakan hal itu pada eyang
guru.”
“Kalau begitu kita harus segera tiba di goa larang,
kakakng,aku khawatir Made Ludira memanfaatkan situasai di saat
prosesi sembahyang meminta hujan besok pagi untuk masuk ke dalam
bilik eyang guru.”
“Kau benar adik Wulan, ayo kita temui kakang Seta dan
meminta izin pergi terlebih dahulu ke goa larang.”
Anting Wulan menganguk, tak berapa lama keduanya telah
bergabung kembali dengan Saudara seperguruannya dan menceritakan
hasil pengintaiannya atas diri Made Ludira dan seorang pendeta
dengan gambar kelelawar pada lengannya, atas izin Seta Keling kedua
remaja itu segera bergegas meningalkan desa Sumur Opat menuju
padepokan goa larang dengan mengetrapkan aji kidang mamprung.
-o0o-
Padepokan goa larang adalah sebuah tempat dimana semua
anggota dan murid-muridnya menimba ilmu baik lahir maupun batin.
Mereka yang telah sah dinyatakan sebagai anggota atau murid dari
padepokan tersebut adalah yang telah dinyatakan lulus dalam ujian
saringan. Padepokan mempunyai keistimewaan yang sangat khusus
yang tidak dimiliki oleh padepokan-padepokan lainnya lain di tanah
Jawa. Hampir setiap tahun padepokan goa larang dikunjungi oleh
mahaprabu Sanna. Maharaja besar di tanah pasundan. Karena
pimpinanya yaitu eyang resi Wayanasa merupakan paman dari
mahaprabu Sanna.
132
Api Berkobar di Karang Sedana
Suasana masih sangat pagi ketika Saka Palwaguna dan
Anting Wulan memasuki kawasan padepokan goa larang, kabut tipis
melayang-layang di antara perbukitan hijau yang mengelilingi
kawasan telaga Denuh, panorama alam situ atau telaga Denuh begitu
indah mempesona terutama di waktu pagi dan menjelang matahari
tenggelam di ufuk barat, di sisi selatan telaga terdapat sebuah air
terjun, gemuruh airnya menimpa sungai kecil di bawahnya yang
membentuk sembilan mata air yang mengaliri sebuah sungai bebatuan
mengelilingi padepokan goa larang di mana eyang resi Wanayasa
menggembleng murid-muridnya, agak naik ke atas bukit terdapat
undak-undak batu alami yang bisa dilalui sambil menunggang kuda,di
puncak bukit sebuah lapangan luas berumput hijau terhampar
luassejauh mata memandang, sekitar seratus meter setelah melewati
padang rumput sebuah gapura dari rangkaian bambu berdiri gagah
menyambut kedua sejoli tersebut.
“Lihatlah kakang padepokan kita.”
“Iyah adik Wulan, begitu indah dan asri.”
“Betul kakang, walau kekeringan melanda tapi lihatlah air
sungai tetap bening dan jernih mengalir melewati padepokan.”
“Itu semua berkat karunia dewata yang senantiasa menjaga
sembilan mata air dewa, adik Wulan,” kata Saka Palwaguna.
Saat itulah kedua sejoli itu melihat Made Ludira di antara
murid-murid padepokan.
“Kakang, ayo kita kasih pelajaran murid murtad itu,” sela
Anting Wulan yang bersiap melesat menghampiri Made Ludira.
“Sabarlah adik Wulan, kalau kita langsung bertindak tanpa
bukti kita akan disangka memfitnah dan membuat onar.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan, kakang?”
“Kita awasi anak itu sampai melakukan rencananya.”
“Baiklah kakang mari kita temui eyang resi.”
“Mari adik Wulan.”
Setelah menambatkan kuda di pagedogan yang terdapat di
belakang padepokan, dan berbasa-basi sebentar dengan beberapa
murid perguruan, Saka Palwaguna dan Anting Wulan kini sudah
berbincang hangat dengan gurunya, resi Wanayasa di bilik pribadinya.
133
Api Berkobar di Karang Sedana
Matahari beranjak tinggi, kesibukan di padepokan goa larang
mulai tampak, para tamu sudah mulai berdatangan. Hari itu
padepokan goa larang akan melaksanakan prosesi sembahyang
meminta hujan.
“Salam hormat dan rasa kangen kami pada eyang resi.”kata
kedua sejoli itu berbarengan sambil merangkapkan kedua telapak
tangannya di depan dada.
“Hyah…, anak-anakku, salam kalian saya terima, Wulan…,
Saka,” kata eyang Resi Wanayasa dengan nada bicara penuh welas
asih.
“Terimakasih eyang resi.”
“Duduklah dengan tenang, lantas ceritakan semua perjalan
kalian selama kurang lebih tiga bulan ini, oh iya kemana kedua
saudara mu, Seta Keling dan Dampu Awuk?”
“Kakang Awuk dan kakang Seta serta rombongan masih
tertinggal di belakang, kami yang sudah sangat kangen dan rindu pada
padepokan mendahului mereka eyang,” kata Anting Wulan sambil
tetap merapatkan kedua telapak tangannya di dada.
“Ah, iya.., iya, siapakah rombongan yang bersama Seta
Keling dan Dampu Awuk itu?”
“Permaisuri prabu Aji Konda dan anaknya raden Purbaya
bersama emban pengasuhnya, juga seorang anggota perguruan tongkat
merah yang akan menyerahkan surat buat eyang resi,” kata Saka
Palwaguna takzim.
“Tongkat merah, iyah…, iyah, Pungkur…,Pungkur, iya orang
baik dan sangat baik padaku,” gumam sang resi bijak itu sambil
mengelus jenggot putihnya yang menjela sampai ke dada.
“Apakah ia termasuk dalam pendekar golongan putih,
eyang?” kata Anting Wulan.
“Tentu saja, tentu saja Wulan, iya salah satu pendekar
golongan putih walau kadang sikapnya itu yang sangat
menjengkelkan, tapi ia orang baik.”
Maka secara bergantian Saka Palwaguna dan Anting Wulan
menceritakan semua pengalamannya selama kurang lebih tiga bulan di
mulai dari jatuhnya Karang Sedana, penyelamatan permaisuri prabu
Aji Konda dan anaknya raden Purbaya, pertemuannya dengan aki
134
Api Berkobar di Karang Sedana
Parang Pungkur dan Sariti, namun masalah Made Ludira yang akan
mencuri kitab pusaka sengaja mereka rahasiakan.
“Eyang, darimana ki Parang Pungkur mengetahui bahwa
kami akan mengalami kesulitan waktu di penginapan?” kata Anting
Wulan.
“Pungkur itu raja pengemis yang menguasai wilayah tanah
Jawa dan Pasundan, murid dan anggotanya banyak sekali, tongkat
merah merupakan perkumpulan terorganisir jadi apa yang terjadi
dalam dunia kependekaran tanah Jawa dan Pasundan akan
diketahuinya dengan mudah,” kata resi Wanayasa sambil terbatuk-
batuk.
“Hari mulai siang, kalian berdua aku minta mempersiapkan
diri untuk menyambut para tamu-tamu yang sudah berdatangan,
sebentar lagi prosesi sembahyang meminta hujan akan dimulai.”
“Baik eyang, kami mohon diri,” ujar Saka Palwaguna dan
Anting Wulan.
Baru saja Saka palwaguna dan Anting Wulan keluar dari kamar resi
Wanayasa. Terdengar reriakan beberapa murid padepokan dari ruang
para tamu undangan.
“Paman Jatis tolong, paman Jatis,” teriak beberapa murid
padepokan sambil berlari menghampiri seorang lelaki paruh baya
yang baru saja keluar dari biliknya.
“Ada apa ini? Kenapa kau teriak-teriak seperti orang gila.”
“Tolong mbah Jatis. Seorang tamu kedapatan meninggal.”
“Hah. Meninggal! Siapa yang meninggal?”
“Seorang pendeta. Tamu kita.”
“Heh…, celaka bagaimana bisa terjadi?”
”Di ruang tamu tiba-tiba gempar. Pendeta itu meninggal
dengan tubuh menghitam paman. Sepertinya keracunan.”
“Heh. Bertitahu eyang resi. Aku akan segera ke sana.”
“Baik paman Jatis.” Ujar beberapa murid padepokan sambil
berlari-lari mengiringi lelaki paruh baya tersebut menuju tempat
kejadian.
“Adik Wulan ayo kita ke sana.”
“Ayo kakang.”
135
Api Berkobar di Karang Sedana
Di ruang tamu padepokan telah banyak orang berkerumun.
Dengan cepat lelaki paruh baya itu segera memeriksa kondisi salah
seorang pendeta yang tergeletak di lantai. pendeta itu sudah tak
bernyawa.
“Celaka adik Wulan.”
“Ada apa kakang?”
“Kejadian ini tentu berkaitan dengan Made Ludira.”
“Maksud kakang?”
“Eyang resi pasti sedang menuju kemari. Meninggalkan
kamarnya dan…”
“Ayo kakang kita kembali ke kamar eyang resi.”
“Ayo adik Wulan.”
Keduanya lantas berkelebat cepat kembali ke kamar resi
Wanayasa. Di tengah jalan Anting Wulan dan Saka palwaguna
berpapasan dengan gurunya.
Resi Wanayasa tidak sempat lagi memperhatikan raut wajah
cemas kedua muridnya tersebut ia dengan tergesa menuju ruang tamu
padepokan. Semantara itu Saka Palwaguna dan Anting Wulan telah
sampai di samping bilik pribadi gurunya. Keduanya menyelinap di
balik dinding dan memperhatikan situasi.
“Hati-hati adik Wulan. Jangan sampai kita dilihat bajingan
itu. aku yakin ini ulahnya. Ia akan menggunakan situasi panik ini. ”
“Lihat kakang itu orangnya,’ bisik Anting Wulan.
“Licik sekali orang ini. Lihat kakang ia masuk ke kamar
eyang resi.”
“Sabar adik Wulan. Kita tunggu sebentar lagi, ketika ia telah
mengambil kitab itu baru kita sergap.
Made Ludira yang merasa situasinya aman dan yakin tidak ada
seorangpun yang memperhatikan dirinya segera masuk ke dalam
kamar pribadi resi Wanayasa.
“Pasti kitab itu diletakan di dalam peti ini.” Gumam Made
Ludira lantas membuka tutup peti tersebut.
“Hem, ada beberapa kitab. Pasti kitab ini yang dimaksud
pendeta itu. kepalang basah, aku ambil saja keempat kitab ini.”
Made Ludira segera menganbil dan memasukan empat buah
kitab ke balik pakaiannya.
136
Api Berkobar di Karang Sedana
“Sesuai rencana ku. Aku harus segera meninggalkan
padepokan ini.”
Made Ludira tampak keluar dari ruang pribadi resi Wanayasa.
“Ayo kakang. Made Ludira telah keluar dari kamar eyahg
resi.”
“Baiklah. Mari adik Wulan.”
Keduanya lantas melesat dan menghadang Made Ludira yang tampak
terkejut bukan main melihat kemunculan Anting Wulan dan Saka
Palwaguna di hadapannya.
“Tunggu adik Made…!”
“Ehh, kakang Saka dan adik Wulan. Rupanya kalian sudah
kembali ke padepokan?” kata pemuda ini sambil menekan rasa
jerihnya.
“Baru saja adik Made. Apakah kau tidak mengetahui
kejadian pembunuhan di kamar tamu?”
“Siapakah yang terbunuh kakang Saka?”
“Seorang pendeta, salah seorang tamu kita. Ayolah kita
melihat ke sana adik made.”
“Ehh, baiknya kalian duluan. Aku akan menyusul setelah
mengabil keperluan upacara di belakang.”
“Adik Made kenapa tidak tertarik.”
Saat itulah dua orang murid senior melintas di hadapan mereka.
“Paman Sanip. Paman Calung. Kemari sebentar.” Teriak
Saka Palwaguna.
Saat itulah Made Ludira segera berlari. Namun Anting Wulan
yang sejak tadi telah geram segera menghadang langkahnya.
“Mau kemana kau. Ayoh kembalikan kitab-kitab eyang resi.”
“Aku tidak mempunyai urusan dengan mu. Minggir!”
“Huh. Apakah kau mau merasakan pukulan ku. Made?”
“Sudahlah Wulan. Jika kalian ada persoalan selesaikanlah
dengan baik,”sela salah seorang murid senior tersebut.
“Minggir Wulan. Aku mau lewat.”
“Wulan sudahlah. Jangan rebut dalam situasai seperti
ini.”kembali murid senior tersebut mengingatkan Anting Wulan yang
tampak merentangkan tangan siap mencengkeram Made Ludira.
137
Api Berkobar di Karang Sedana
“Minggir Wulan!”sentak Made Ludira lantas menerjang ke
depan. Anting Wulan yang telah bersiaga sejak tadi dengan segera
berkelebat dan menerjang Made Ludira. Saat itulah muncul paman
Jatis.
“Hentikan. Anak gila, kenapa kalian rebut dalam situasai
seperti ini?’
“Wulan menghalangi langkahku yang akan melihat kejadian
di kamar tamu kita, guru.”
“Hihihi…, manusia busuk. Kau kira dapat lepas dari tangan
ku.”
“Wulan. Kenapa kau membuat keributan?”
“Paman akan menyesal jika membiarkan anak setan ini pergi.
Ayo keluarkan isi bajumu sebelum aku paksa.”
“Made Ludira. Ada apa dengan mu? Apa yang telah kau
lakukan.”
“Saya akan jelaskan jika kedua orang itu sudah tidak ada lagi.
Paman guru.”
“Saka dan Wulan. Kalian tinggalkan tempat ini.”
“Baiklah, kau hati-hatilah Made, aku tidak akan melepaskan
mu.”kata Anting Wulan lantas pergi meningalkan Made Ludira dan
paman Jatis.
“Kalian berdua juga tinggalkan tempat ini.”
“Baik paman Jatis.”
“Nah. Sekarang katakana apakah kau telah membuat satu
kesalahan?”
“Kedua orang itu mencurigaiku mencuri paman.”
“Tapi. Apa yang ada di balik bajumu itu. made?”
“Aku menemukan benda berharga dan mereka bermaksud
merampasnya paman.”
“Coba perlihatkan benda itu.”
“Ini paman….”
Made Ludira segera merogoh di balik baju. Tapi dengan
cepat tanganya melayang dan memukul kepala paman Jatis yang
terkejut bukan main mendapat serangan mendadak dari Made Ludira.
Ia gelagapan dan merasakan tubuhnya kehilangan bobot.
138
Api Berkobar di Karang Sedana
“Maap paman guru. Selamat tinggal.”kata Made Ludira
lantas bersiap berkelebat pergi. Saat ituah sebuah bayangan melesat
dan menghadang langkahnya.
“Tunggu. Mau kemana kau bocah setan!” teriak Anting
Wulan yang sedari tadi memperhatikan dari balik rimbun pepohonan.
Dalam sekali gebrak, tubuh Made Ludira terjungkal mencium tanah.
“Kakang Saka. Serahkan manusia bejat ini padaku. Kakang
lihat kondisi paman Jatis.”
“Minggir kau…!”
“Kali ini aku tidak segan lagi manusia bejat,”sentak Anting
Wulan yang dalam satu kelebat telah mendaratkan beberapa
tendangan telak pada wajah dan dada Made Ludira. Pemuda ini
terhuyung dan ambruk namun segera bangkit bersiap mengadakan
penyerangan. Saat itulah muncul Resi Wanayasa.
“Tunggu anakku Wulan. Apa yang terjadi sampai kau
menurunkan tangan kejam pada saudara mu sendiri?”
“Eyang. Made Ludira telah melakukan kesalahan besar yang
tidak mungkin seisi padepokan ini memaapkanya.”
“Apa yang telah dilakukannya?”
“Eyang lihat sendiri. Apa yang telah dilakukannya pada
paman Jatis. Dan apa yang disembunyikan bajingan ini di balik
bajunya”
“Made Ludira. Itu namammu bukan?”
“Betul eyang resi.”
“Apa yang sudah kau lakukan anakku?”
“Saya menemukan ini eyang….”
Made Ludira yang merasa semakin terpojok dan putus asa
tidak melihat jalan lagi untuk meyelamatkan diri. Pemuda ini menjadi
nekad, ia segera memasukan tangan ke balik baju, mengangambil
bubuk beracun yang diberikan pendeta tinggi besar yang ditemuinya
di desa Sumur Opat. Dengan cepat melemparkanya pada resi
Wanayasa.
“Awas eyang bubuk beracun!” teriak Anting Wulan.
“Bubuk beracun. Bahaya sekali kalau ku singkap. Banyak
anak-anak ku di sekeliling tempat ini.” Membatin sang resi. Tidak ada
pilihan lain dengan cepat dihisapnya bubuk beracun tersebut dengan
139
Api Berkobar di Karang Sedana
segera. Begitu semua bubuk telah berada di mulut dengan sigap
mahaguru padepokan goa larang itu berkelebat cepat dan
memuntahkan bubuk beracun ke tempat yang aman. Semantara
Anting Wulan dengan satu gerak epat telah merobohkan Made Ludira.
“Kakang saka tolong bantu saya mengambil kitab itu.”
“Apa yang terjadi sebenarnya?”
“Ini eyang. Kitab-kitab yang dicuri Made.”
“Ahhh, kitab kincir metu. Dan kitab-kitab goa larang. Jadi
anak itu telah masuk ke kamarku dan mengambilnya.”
Saat itulah paman Jatis telah siuman dari pingsan dan
menghabur mencari Made Ludira.
“Mana anak kurang ajar itu!”
“Hai Jatis. Kemarilah….”
“Anak itu telah melakukan kegilaan pada ku. Kakang
Wanayasa.”
“Anak itu telah melakukan kesalahan patal. Ia berusaha
membawa keluar kitab-kitab ini.”kata Resi Wanayasa sambil
memperlihatkan beberapa kitab.
“Bahkan ia adalah seorang pembunuh,”sela Anting Wulan.
“Apa maksud mu. Wulan?”
“Ia yang melakukan keributan dan pembunuhan tersebut agar
memancing eyang meningalkan bilik eyang.”
“Kau jangan asal menuduh Wulan.”
“Paman Jatis. Kedatangan kami mendahului kakang Seta dan
kakang Awuk untuk membongkar kebusukan anak itu.”
“Marilah Jatis dan kalian berdua Saka dan Anting ikut ke
kamarku. Kita bicarakan semua itu di dalam sana”
“Baik kakang. Saya akan menyusul nanti setelah memberi
pengarahan pada murid-murid untuk mengurus mayat pendeta itu.”
“Baiklah….”
Resi Wanayasa melangkah pelan diiringi Anting Wulan dan
Saka palwaguna memasuki ruang pribadinya. Setelah itu menyusul
paman Jatis. Di dalam kamar keempatnya terlibat obrolan serius.
“Nah. Saka, Wulan. Ceritakanlah apa yang kau ketahui.”
140
Api Berkobar di Karang Sedana
Maka dengan runut Saka Palwaguna bergantian dengan
Anting Wulan meneritakan semua kejadian yang di alaminya di
Sumur Opat.
“Hemm. Jika kalian mengetahui dari awal kenapa tidak
menceritakanya pada kami begitu kalian datang. Kakang Wanayasa
kedua anak inipun bersalah” kata paman Jatis membuat Anting Wulan
sedikit meradang.
“Paman Jatis. Jika kami langsung mengatakan tanpa bukti.
Kami akan dituduh menfitnah.”
“Tapi karena perbuatan kalian ini mengakibatkan jatuh
korban.”
“Paman Jatis. Peristiwa tadi saja sebagai contoh. Made yang
telah tertangkap basah malah paman menyingkirkan saya.”
“Sudahah Jatis, Wulan. Semua telah terjadi. Yang menjadi
masalah sekarang kehadiran tokoh yang amat merisaukan hatiku.”
“Eyang siapakah tokoh tersebut yang terdapat rajah kelelawar
di lengannya itu.”
“Tiga puluh tahun yang lalu. Ketika aku dan Jatis masih di
padepokan Cakrabuana. Kala itu muncullah seorang tokoh yang
sangat buas dan ganas. Tidak ada seorang pun yang mampu mengatasi
kesaktiannya. Nama aslinya tidak seorangpun tahu. Ia hadir begitu
saja di tanah Jawa ini. Malang melintang dengan menjatuhkan semua
tokoh sakti di tanah Jawa dan Pasundan. Ia bergelar Jerangkong
Hidup. Karena fisiknya saat itu hanya tulang yang sedikit di balut
kulit.”
“Lalu apa hubungan pendeta itu dengannya eyang?”
“Begini Wulan. Jurus andalannya yang menjatuhkan semua
tokoh sakti kala itu adalah jurus kelelawar sakti. Iblis buas itu kala
bertempur seakan tidak menginjak tanah. Ia menyerang musuhnya
bagai kelelawar sakti dari angkasa.”
“Apakah eyang menduga pendeta itu salah satu ahli
warisnya?”
“Saka. Aku tidak mengharapkan seperti itu. semoga saja iblis
itu hilang tanpa sempat mewariskan ilmunya.”
“Tapi kemanakah iblis jerangkong itu sekarang. Eyang?”
141
Api Berkobar di Karang Sedana
“Wulan. Iblis itu berhasil dikalahkan oleh resi Sanata Darma.
Ia diajak sang resi mengasingkan diri. Sejak itulah jerangkong hidup
yang amat menggemparkan itu tidak terdengar lagi namanya.”
“Apakah saat itu eyang tidak dapat mengalahkanya?”
“Saat itu. guruku pun Mamang Kuraya yang telah menguasai
kincir metu tingkat sembilan. Belum dapat mengalahkannya. Bahkan
jika resi Sanata Darma tidak menolong, guruku itu akan tewas di
tangan Jerangkong Hidup. Maka dari itu aku dan Jatis mendirikan
padepokan ini untuk berkonsentrasi dalam menyempurnakan tingkat
akhir kincir metu.”
“Aku yakin. Jika kita berhasil menguasai kincir metu tingkat
akhir yaitu tingkat sepuluh. Padepokan kita akan semakin disegani.
Dan kita dapat melindungi tanah pasundan ini dari rongrongan iblis
manapun.”
“Saya dengar. Eyang telah menguaasai kincir metu sampai
tingkat sembilan?”
“Yah. Itu benar.”
“Lalu bagaimana dengan Mamang Kuraya. Guru eyang itu?”
“Sudahlah. Satu saat aku akan ceritakan. Sekarang
istirahatlah kalian untuk persiapan sembahyang nanti siang,”
“Baiklah eyang.”
Semantara itu. setelah mendegar keterangan dari Anting
Wulan dan Saka palwaguna. Paman Jatis sebagai penanggung jawab
padepokan juga pengasuh dari Made Ludira merasa dipermalukan
oleh kelakuan anak didiknya itu. ia pun segera menemui Made Ludira
di ruang tahanannya.
“Anak durhakan kemari kau. Merangkaklah padaku!”
“Ampun guru. Ampunkan saya. Saya khilap guru.”
“Siapakah nama pendeta temanmu itu Made?”
“Saya. Saya tidak tahu guru. Pendeta itu saya temui ketika
saya…, saya.”
“Main gila dengan perempuan dan berjudi.”
“Ampunkan saya guru. Saya menyesal.”
“Hemm. Main gila dan berjudi ada ketentuan masa hukuman
dan pertaubatan. Tapi untuk pembunuhan belum ada ketentuan
142
Api Berkobar di Karang Sedana
hukuman apa yang akan kau jalani. Eyang resi tidak pernah tahu akan
memiliki murid durhaka seperti mu.”
“Saya menyesal guru.”
“Sudahlah. Sekarag katakana dimana pendeta sesat itu?”
“Ia berada di sekitar sungai kering desa sumur opat.guru.”
“Baiklah aku akan kasih pelajaran pendeta sesat itu.”
“Hati-hatilah guru. Pendeta itu sakti sekali. Ia mampu
mematahkan jurus saya dengan dada terbuka.”
“Hem, itu buat kamu yang bodoh. Ia akan tahu siapa Jatis
Sarompa dari goa larang.” Habis berkata demikian lelaki paruh baya
itu berlalu meninggalkan ruang tahanan Made Ludira. Tanpa
sepengetahuan eyang resi Wanayasa. Paman Jatis gebrak kuda
tungganganya menuju desa Sumur Opat.
Sementara itu beberapa pendeta tampak mengadakan
sembahyang untuk memohon hujan atas kemarau yang
berkepanjangan. Mereka berkumpul mengitari sembilan mata air dewa
yang disucikan. Setelah selesai dengan kidung-kidung pujian satu
persatu para pendeta menciduk air yang mulai menyusut kemudian
memercikannya ke udara dan tanah-tanah kering di sekitarnya.
“Adik Wulan. Kenapa kakang Seta dan rombonganya belum
tiba juga di goa larang? Aku khawatir terjadi sesuatu dengan mereka.”
Kata Seta Keling di sela-sela upacara permohonan hujan.
“Eh, aku kira sebentar lagi mereka datang, kakang. Kita
tunggu saja.”
“Hyah…, kita tunggu saja. Mudah-mudahan tidak terjadi
sesuatu dengan rombongan itu.”
“Hai…, lihat itu. Ada penunggang kuda menuju padepokan
kita,” kata Anting Wulan sambil mengarahkan telunjuknya ke pintu
gerbang padepokan goa larang.
“Ayo kakang. Kita tunggu di pintu pagar padepokan.”
“Mari adik Wulan.” Kata Saka Palwaguna, keduanya lantas
menyambut seorang lelaki tegap yang segera menghentikan kudanya.
“Maap sahabat. Siapakah andika? Dan ada keperluan apa
mengunjungi padepokan kami?” sapa Saka Palwaguna.
Sesaat lelaki kekar tertegun, lantas turun dari kudanya.
“Kenapa padepokan ini lain dari biasanya, sepi sekali.”
143
Api Berkobar di Karang Sedana
“kami sedang melakukan sembahyang di belakang
padepokan. Ada yang bisa kami bantu kisanak?”
“Aku utusan dari prabu Sanna, ingin bertemu dengan sang
resi.”
“Kalau begitu mari silahkan masuk. Mohon menunggu
sebentar di dalam.”
“Baiklah.”
Ketiganya lantas memasuki pintu gerbang padepokan menuju
halaman. Anting Wulan dan Saka Palwaguna mempersilahkan utusan
dari Kerajaan Galuh itu menunggu di pendopo sedang keduanya
segera menemu gurunya, resi Wanayasa.
Semantara itu sang resi Wanayasa yang telah selesai
memimpin sembahyang permohonan hujan segera mengurus jasad
tamunya yang menjadi korban kebiadaban salah seorang muridnya,
Made Ludira.
“Kematian rekan ku ini akibat kehilafan dan kesalahan kami
dalam mendidik murid. Maka dengan ini aku Wanayasa menyatakan
bertanggung jawab. Kelak aku akan mengunjungi biaranya bersama
muridku, Made Ludira. Menebus dosa-dosanya.” Kata sang resi
Wanayasa di hadapan para pendeta dan undanganpun dipersilahkan
istirahat. Resi Wanayasa kemudian memanggil Saka Palwa Guna dan
Anting Wulan.
“Eyang memangil kami?”
“Saka. Aku tidak melihat Jatis sejak upacara ini dimulai.
Apakah kalian tahu dimana keberaadaan paman kalian itu?”
“Kami tidak melihatnya eyang.”
“Hemm, aneh sekali kemana adik Jatis,” gumam sang resi
Wanayasa.
“Saka, beritakan pada semua murid waspada, perketat
penjagaan, aku khawatir jika kedatangan tamu tak diundang yang akan
menyusahkan kita semua.”
“Eyang, hari ini kita kedatangan tamu khusus dari Galuh,”
sela Anting Wulan.
“Dari Galuh, siapa dia Wulan?”
“Utusan sang maha prabu Sanna, eyang.”
144
Api Berkobar di Karang Sedana
“Oh yah, dari Sanna, keponakan ku, hadapkan utusan itu
sekarang Wulan.”
“Baik eyang.”
“Dan kau Saka, laksanakan apa yang aku perintahkan tadi.
Perketat penjagaan.”
“Baik eyang resi.”
Tidak menunggu lama utusan dari Galuh itu diterima dengan
baik oleh eyang resi Wanayasa.
“Hamba mengaturkan sembah pada eyang resi Wanayasa,”
kata utusan Galuh takazim.
“Bangkitlah kisanak, aku dengar dari muridku kau utusan
Galuh, dari anakku Sanna?”
“Benar eyang resi. Saya diutus sang prabu untuk
menyampaikan pesannya.”
“Iya, iya, apa pesan darinya?’
“Sang prabu memohon agar mendidik dan merawat putra
beliau raden Karmapala.”
“Maksudnya kisanak?”
“Sang prabu hendak mengirim raden Karmapala belajar ilmu
lahir dan batin di padepokan goa larang ini.”
“Hehh, Karmapala…, Karmapala. Apakah dia adik dari putra
mahkota Sanjaya?”
“Raden Karmapala adalah putra sang prabu dari selirnya.”
“Baiklah, katakana pada rajamu aku menerima Karmapala
dengan senang hati di padepokan goa larang ini. Kapan dia akan
datang?”
“Sesegera mungkin eyang resi, dalam minggu ini.”
“Aku akan menunggu anak itu. nah sekarang istirahatlah
beberapa hari di sini kisanak.”
“Terimakasih eyang resi, tapi saya harus segera kembali ke
Galuh.”
“Baiklah, jika demikian sampaikan salamku pada tuanmu.”
“Akan saya sampaikan eyang resi. Saya permisi.”
“Silahkan kisanak.”
Sementara itu rombongan yang dipimpin Seta Keling.
Setelah beristirahat semalam di desa sumur opat. Keesokan harinya
145
Api Berkobar di Karang Sedana
begitu mentari sepenggalah segera melanjutkan perjalanan menuju
padepokan goa larang. Ketika mereka melalui sebuah hutan di satu
jalan sempit sebuah pohon berderak dan tumbang menghalangi jalan
membuat beberapa ekor kuda terkejut dan meringkik keras. Seta
Keling dan Dampu Awuk juga Sariti segera turun dari kudanya, dua
orang berpenampilan ala pendeta muncul dari rimbunnya tanaman
perdu.
“Siapakah kisanak-kisanak ini? Kenapa menghalangi
perjalanan kami,” kata Seta Keling.
“Hahaha…, ternyata pohon-pohon besar ini berhasil
menghentikan kalian,” kata satu sosok tinggi besar sambil bersidakep
jumawa.
“Tuan pendeta harap menepi dari jalan kami,” sela Seta
Keling.
“Guru serahkan mereka semua pada ku,” kata salah satu
pendeta berbadan gempal.
“Hem, silahkan Rakosa. Hati-hatilah kelihatannya mereka
cukup tangguh.”
“Jangan khawatir guru.” Ujar Rakosa kemudian maju dua
tindak “Apakah kalian ini murid-murid dari goa larang?”
“Benar kami murid-murid goa larang, apa maksud kalian
menghadang kami” ujar Seta Kaling.
“Hahaha…, aku ingin membuktikan kehebatan kincir metu
apakah berhak disejajarkan dengan ilmu kanuragan kelas satu di tanah
pasundan ini,” kata Rakosa Pala.
“Huh, lalu kenapa kalian menghendaki kitab kincir metu?”
sela Sariti yang sedari tadi diam.
“Heh, bagaimana bocah itu bisa mengetahui masalah itu
Rakosa?” sela sang guru.
“Saya, saya juga tidak mengerti guru,” ujar Rakosa gugup.
“Hahaha…, lihat kakang kedua pencuri itu malah saling ribut
sendiri,” sela Dampu Awuk sambil tersenum mengejek.
“Baiklah kami akui, memang tujuan kami adalah mengambil
kitab kincir metu itu,” kata Girinda Sana jujur membuat Dampu Awuk
tidak kuasa menahan tawanya.
146
Api Berkobar di Karang Sedana
“Hahaha…, apa kalian kira menghambil kitab kincir metu
semudah mengambil jagung di kebun petani,” ejek Dampu Awuk.
“Rakosa Pala, beri pelajaran pada bocah-bocah ini.”
“Baik guru.”
Rakosa Pala hentakan kakinya ke tanah, gelombang tenaga
dalam yang terhimpun pada kedua kakinya mampu mengibarkan
jubah yang dikenakannya. Perlahan tubuhnya membubung ke udara.
“Biar saya yang menghadapinya kakang.”
“Hati-hati adik Awuk. Hadapi dengan ajian kincir apung.”
Pertarungan antara keduanya pecah. Dampu Awuk dan
Rakosa Pala. Serangan demi serangan berlalu dengan cepat, di udara
mereka berdua laksana burung rajawali saling serang dan mengincar
kelemahan lawan. Jurus kincir apung dan kelelawar sakti saling
sengat, saling hantam namun belum ada tanda-tanda siapa pemenang
dan pecundang.
“Mudurlah Rakosa Pala, biar aku yang menghadapi mereka
semua,” teriak Girinda Sana demi melihat pertarungan yang berlarut-
larut tersebut.
“Baik guru,” ujar Rakosa Pala lantas lentingkan badanya ke
belakang meninggalkan Dampu Awuk.
“Hai majulah kalian semua, hadapi aku, Girinda Sana.”
Dampu Awuk, Seta Keling dan Sariti segera lesatkan badan
masing-masing dalam satu putaran mereka bertiga sudah terlibat
pertempuran seru melawan Girinda Sana. Mendadak pendeta tinggi
besar ini lentingkan tubuh ke belakang dan menghentikan
serangannya.
“Hai tuan pendeta kenapa berhenti, apa kau takut?” kata
Sariti.
“Hahaha…, aku Girinda Sana takut, sungguh keterlaluan.
Kau pengemis kecil apa hubunganmu dengan pengemis gila Parang
Pungkur?”
“Aku muridnya. Aku murid perguruan pengemis tongkat
merah.”
“Hemm, jika begitu menyingkirlah, aku tidak ada urusan
denganmu.”
147
Api Berkobar di Karang Sedana
“Aku berada di rombongan ini karena perintah dari guruku,
bagaimana mungkin aku menyingkir.”
“Hemm, anak gila. Jangan salahkan aku jika kau tidak bisa
mengemis lagi.”
“Kau yang seharusnya menyingkir.”
“Lima tahun lalu kalian dan goa larang boleh bangga dapat
mengalahkan aku. Tapi sekarang ayo majulah kalian.”
Pertempuran antara pendeta Girinda Sana melawan Seta
Keling, Dampu Awuk dan Sariti kembali berkobar. Melihat gurunya
dikeroyok sedemikian rupa pendeta Rakosa Pala segera turun
gelanggang dan segera berhadapan ke,bali dengan Dampu Awuk.
Pertempuran pun semakin berkecamuk dengan sengit. debu, batu dan
pasir berterbangan akibat efek pukulan tendangan dan aliran tenaga
dalam yang saling baku hantam membuat raden Purbaya, Rara angken
dan Cempaka segera berlndung di balik pepohonan yang banyak
tumbuh di sekitar pertempuran.
“Pengemis cantik, aku masih memberi kesmpatan padamu,
menyingkirlah…!”
“Aku lebih baik mati,” sentak Sariti membuat pendeta
Girinda Sana habis kesabaran, ia segera meningkatkan serangannya
membuat Sariti dan Seta Keling sedikit kewalahan. Semantara
pertarungan antara Dampu Awuk dan pendeta Rakosa pala kembali
pecah, kali ini pendeta itu menggunakan paser-paser kecil yang
dilawan pisau-pisau terbang Dampu Awuk. Rakosa Pala yang sedikit
kewalahan mengarahkan lemparan paser-pasernya mambabi buta.
Dampu Awuk berhasil menghindari serangan paser namun salah satu
paser tanpa sengaja mengenai Rara angken yang berlindung di baik
sebuah pohon. Melihat Rara angken terkena paser, Dampu Awuk
kalap, pemuda gagah itu segera meningkatkan jurus-jurusnya.
“Ibunda, ibunda…, sadarlah. Bibi Cempaka apa yang harus
aku lakukan?” kata raden Purbaya sambil mengguncang-guncang
tubuh ibunya.
“Bibi tidak tahu raden. Agaknya paser ini beracun.”
“Bibi Cempaka, lakukan sesuatu.”
Cempaka, emban pengasuh raden Purbaya tampak
kebingungan, nalurinya mengatakan ia harus menolong junggunganya
148
Api Berkobar di Karang Sedana
tersebut maka dengan keberanian yang dipaksakan ia segera mencabut
paser yang bersarang di dada junggunganya tersebut.
Sedang pertarungan sengit terus berlangsung antara pendeta
Rakosa Pala melawan Dampu Awuk dan Seta Keling menghadapi
pendeta Girinda Sana.
“Cukup sudah bermain-mainnya,” geram pendeta Girinda
Sana. Pendeta plontos dengan enam bulatan di batok kelapanya itu
rentangkan kedua tanganya lebar-lebar, angin tenaga dalam yang
keluar dari balik jubah hitam berkibar cepat diikuti tubuhnya yang
mengapung di udara. Dari atas ia kembali menggempur Seta Keling
dan Sariti dengan jurus kelelawar sakti andalanya. Kali ini Seta Keling
dan Sariti mulai terdesak hebat, beberapa kali sambaran jubah hitam
hampir saja menghantam dan mencerai beraikan lawan seperti yang
terjadi dengan beberapa batang pohon berderak-derak serta patah
dengan cabikan di beberapa batangnya. Sebuah jurus yang
mengerikan. Lengah sedikit saja nyawa taruhannya. Di saat yang
genting tersebut….
“Aku lawanmu pendeta sesat…!”
Sebuah teriakan terdengar dari pinggir arena pertarungan
disusul melesatnya satu sosok yang kini berdiri lima langkah di
hadapan pendeta Girinda Sana.
“Hemm, rupanya kau Jatis,” gumam pendeta Girinda Sana.
“Kau belum kapok juga pendeta sesat,” kata mbah Jatis
sembari maju satu tindak di hadapan lawannya.
“Seta cepat tolong wanita itu.”
“Sudah diamankan oleh Sariti, paman Jatis.”
Mbah Jatis mengangguk. Kebali tatapannya beradu dengan
pendeta Girinda Sana.
“Aku lawan mu, pendeta sesat,” gumam mbah Jatis.
“Urusan kita belum selesai Jatis Purut, satu ketika aku akan
mencarimu, Rakosa Pala ayo kita tinggalkan tempat ini.” Kata pendeta
Girinda Sana, tubuhnya berkelebat cepat dan hilang di antara semak
dan pepohonan hutan diikuti muridnya Rakosa pala.
“Apakah beliau permaisuri prabu Aji Konda itu?”
“Benar paman Jatis.”
“Bagaimana kondisinya Sariti?”
149
Api Berkobar di Karang Sedana
“Saya hanya berhasil menghentikan perdarahan dan laju
racun yang menuju jantung. Tapi bagian-bagian yang menuju otaknya
belum bisa saya atasi.”
“Mudah-mudahan kakang resi Wanayasa mampu
menyembuhkannya, ayo kita bawa ke padepokan goa Larang.”
“Baik paman Jatis,” kata Sariti dibantu Seta Keling manaikan
tubuh Rara Angken ke punggung kuda. Setelah semuanya siap,
mereka semua segera berangkat menuju padepokan goa larang.
o0o
Eyang resi Wanayasa hentikan sejenak aliran tenaga inti yang
disalurkan melalui telapak tangannya pada punggung Rara angken,
bulir-bulir keringat sebesar biji jagung membasah seluruh jubah putih
yang dikenakanya. Sang resi baru saja melakukan pengobatan prana,
berusaha memusnahkan sisa racun yang mengendap pada tubuh
permaisuri Karang Sedana tersebut.
“Hemm…, sulit, sulit sekali, racun sudah menyebar dan
sampai di otak serta bagian-bagian vital lainnya,” gumam sang resi
dengan wajah murung.
“Kek, apakah ada cara atau orang yang mampu menolong
bunda saya?”
“Sayangnya tidak ada nak.”
“Ada kek, tabib dewa, ia sahabat guru saya.”
“Hyahh…, kau benar Sariti. Tabib Dewa atau ki Poho
Sugala, di pesisir selatan”
“Jauh sekali dari sini, memakan waktu setengah purnama.”
“Hyah, tapi kau jangan putus asa Purbaya, aku akan berusaha
menolong ibumu sebisa yang aku lakukan.”
“Terimakasih kek.”
Raden Purbaya dan emban pengasuhnya Cempaka keluar dari
bilik pengobatan Rara angken, keduanya kini tampak duduk-duduk di
sebuah taman padepokan.
“Sebanarnya tempat ini tidak jauh beda dengan taman
Karang Sedana raden, lihatlah halaman dan padang rumput luas itu
serta air terjun buatan yang berderai melewati undak-undak batu.”
150