Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Kesatuan dan Keesaan Gereja
di Tanah Banten
Pdt. Dr. Junit Sihombing, M.Th
2
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Katalog dalam terbitan (KDT)
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Disusun oleh Junit Sihombing
Copyright : Junit Sihombing
Diterbitkan oleh Nafiri Sion Publishing
Jl. Letda Ntasir RBOJ-25
Cibubur Country, Cikeas Bogor
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Editor : Natalia
Desain Sampul & Tata Letak : Dimas Ariandri Krisdianto
ISBN 978-623-56410-27
3
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
SEKAPUR SIRIH
U nity atau kesatuan
merupakan perihal
esensi dalam
kehidupan
kekristenan. Unity adalah kehendak
Tuhan. Firman Tuhan jelas
memerintahkan agar gereja sebagai
tubuh Kristus hidup dalam kesatuan
dan kebersamaan (Mazmur 133:1).
Dengan kata lain, gereja Tuhan tidak
boleh hidup sendiri-sendiri, terpisah-
pisah atau bahkan terpecah belah. Kita tidak boleh hanya memikirkan
kepentingan (lembaga) gereja kita sendiri.
Gereja Tuhan dari latar belakang denominasi apa pun, sejatinya bersatu
untuk mengentaskan beragam persoalan bukan hanya di dalam tubuh
gereja itu sendiri, melainkan juga persoalan yang terjadi di lingkungan
luar gereja. Kesatuan diperlukan agar gereja mampu mengemban dan
menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Allah Bapa. Kesatuan
membuat pelayanan yang gereja lakukan menjadi jauh lebih efektif dan
maksimal, sehingga dampak yang ditimbulkan pun menjadi jauh lebih
luas dan masif.
Karenanya, mengobarkan dan menciptakan semangat kesatuan di
antara jemaat dan gereja Tuhan merupakan panggilan dan tanggung
4
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
jawab kita bersama, tanpa pandang bulu. Karenanya saya bersyukur dan
ucapkan selamat atas terbitnya buku “Kesatuan dan Keesaan Gereja
di Tanah Banten” .
Memahami apa yang disampaikan penulis, buku ini dapat menjadi
perenungan sekaligus evaluasi bagi setiap kita, terutama gereja-gereja
maupun lembaga-lembaga gereja yang ada di Wilayah Provinsi Banten,
apakah kita sudah benar-benar mempraktikkan unity atau kesatuan
dalam hidup bergereja dan beragama? Apakah sebagai (lembaga) gereja
kita sudah mendorong kesatuan dan keesaan gereja di Banten? Ini
waktunya kita berbenah diri dan berubah agar kita dapat berbuah sesuai
kehendakNya!
Tuhan Yesus memberkati.
Gembala GBI WTC Serpong
Pdt. Dr. Ir. Yonathan Wiryohadi
5
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
SEKAPUR SIRIH
Indonesia yang dikenal
sebagai bangsa majemuk
karena keragamannya
yang terdiri dari suku bangsa,
bahasa dan agama. Hal itu dapat
dimaknai sebagai sebuah kekuatan
dalam menggalang persatuan
nasional namun di sisi yang lain,
memiliki potensi yang rentan oleh
perpecahan dalam kehidupan
bernegara, jikalau masyarakatnya tidak hidup dalam kerukunan. Salah satu
faktor pemicu sulitnya hidup dalam kerukunan adalah adanya perbedaan
yang tidak terkelola dengan baik sehingga mengarah kepada perselisihan dan
konflik terbuka.
Ketidakrukunan tersebut tidak hanya terjadi dalam hubungan antar umat
beragama semata melainkan juga bisa terjadi dalam intern umat beragama.
Masalah yang timbul biasanya saat pelaksanaan kebebasan dalam melakukan
ajaran suatu agama dan kepercayaannya termasuk penyiaran agama tidak
lagi mempertimbangkan kebebasan yang dimiliki oleh penganut agama
lain. Padahal, setiap orang mempunyai kebabasan memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing serta beribadat menurut keyakinannya dimana
negara juga menjamin kebebasan tersebut.
6
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Kerukunan Umat Beragama
Kerukunan umat beragama adalah hubungan sesama umat beragama yang
dilandasi toleransi, saling pengertian, menghormati dan menghargai kesetaraan
dalam pengamalan ajaran agamanya serta kerjasama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dan,
kerukunan beragama merupakan salah satu bagian penting dari kerukunan
nasional dimana pemeliharaannya menjadi tanggung jawab bersama umat
beragama dan pemerintah Pusat tidak terkecuali pemerintah daerah. Tentang
kewajiban dan tanggung jawab pemeliharaan kerukunan umat beragama di
daerahnya masing-masing ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Pasal 22 (a) yang berbunyi,”Dalam menyelenggarakan otonomi,
daerah mempunyai kewajiban: melindungi masyarakat, menjaga persatuan,
kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Walaupun, rumusan tersebut sepertinya sederhana akan tetapi sesungguhnya
sangat fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kerukunan
nasional dapat terwujud dalam beragam bentuk termasuk kerukunan
umat beragama. Kendati, hal itu terkait dengan penyelenggaraan urusan
pemerintahan bidang agama, akan tetapi pemeliharaan atau penjagaan
kerukunan umat beragama menjadi kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah.
Kerukunan Intern Umat Beragama
Kesatuan dan Keesaan Gereja adalah salah satu ciri bahwa kerukunan yang
dinamis di kalangan internal sudah kuat. Tentu saja hal ini dapat memberikan
sumbangan yang sangat berharga dalam membangun kerukunan antar umat
beragama yang hakiki dan bukan kerukunan semu.
7
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Asas Kesatuan dan Keesaan Gereja yang terdapat dalam Alkitab adalah
juga factum historis berupa lambang atau simbol iman Kristen yaitu Salib. Salib
dalam perspektif Agama Kristen menunjukkan kelepasan dan keselamatan
manusia. Mengutip pendapat Prof. Dr. J. A. B Jongeneel dalam Buku Hukum
Kemerdekaan: Buku Pegangan Etik Kristen, merumuksan enam makna
tentang salib yaitu : suatu ketaatan sampai mati, pengorbanan diri sendiri, tanda
kemenangan, pengampunan dosa, perdamaian dan penggantian. Mengenai
hal itu rasanya semua umat Kristen tidak ada yang keberatan dengan asas yang
dimaksud dan pandangan Prof. Dr. J.A.B Jongeneel ini.
Selain itu, Agama Kristen juga mengajarkan Agape. Yakni, cinta altruistic
murni yang tidak memperhitungkan untung rugi. Diajarkan pula kesatuan dan
kesabaran sebagai manifestasi ajaran cinta kasih. Pada abad ke-20 semangat
persatuan di lingkungan Kekristenan berkembang dan diperjuangkan. Upaya
persatuan yang dikenal juga sebagai Gerakan Oikumene (The Ecumenical
Movement).
Jadi jelas bahwa Kesatuan dan Keesaan Gereja sangatlah penting dalam
memelihara kerukunan intern umat Kristen dan akan menjadi sumbangan
berharga dalam mensukseskan pembangunan nasional. Karena sajatinya,
kerukunan intern umat beragama adalah bagian dari kerukunan antar umat
beragama. Dan, kerukunan umat beragama merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional. Maka tidak dapat dibayangkan, bagaimana kelanjutan
dan keberhasilan pembangunan nasional, jika negara ini terus menerus dilanda
konflik internal umat beragama dan antar umat beragama.
Diakui bahwa upaya memelihara kerukunan internal umat beragama
tidaklah mudah. Justru menjadi pekerjaan yang berat dan sulit. Namun,
disinilah letak nilai perjuangannya, sehingga terwujudnya kerukunan internal
umat beragama bukan perkara mustahil. Asal dilakukan dengan penuh
kesabaran, tekun dan konsisten yang dibarengi dengan semangat juang yang
8
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
tinggi. Sebab, perjuangan tersebut harus diyakini sebagai kewajiban agama
dan mempunyai nilai ibadah dalam melaksanakannya.
Sebagai langkah awal yang dinilai cukup strategis dalam mewujudkan
kerukunan internal umat beragama adalah upaya sungguh-sungguh
merumuskan seperangkat asas, nilai dan norma yang disepakati bersama serta
dituangkan dalam bentuk kode etik interaksi sosial keagamaan di kalangan
intern. Kode etik ini harus dijadikan acuan dan dilaksanakan bersama dalam
membangun hubungan intern umat beragama yang harmonis sehingga
kerukunan tersebut dapat terwujud.
Karya Pdt. Dr. Junit Sihombing dalam Kesatuan dan Keesaan Gereja di
Tanah Banten, diharapkan menjadi sumbangan berharga dalam memelihara
kerukunan intern umat Kristen.
Serang, 15 Juni 2022
Dr. A.M Romly MA., M.Hum
Ketua FKUB Provinsi Banten
9
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
KATA PENGANTAR
Bersyukur kepada Tuhan, itulah yang patut saya haturkan atas selesainya
Buku Keesaan dan Kesatuan Gereja di Tanah Banten. Sebuah catatan
desertasi yang dituangkan dalam sebuah karya sebagai bentuk dedikasi
penulis kepada seluruh elemen Kristiani yang ada di Provinsi Banten.
Kesatuan dan Keesaan Gereja di tanah Banten merupakan wujud dari
kerinduan penulis sebagai Pembimbing Masyarakat Kristen Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Banten, bahwasannya harus dan mesti terjadi
sebagai bentuk implementasi tanggung jawab Gereja terhadap Gerakan
Ekumenikal.
Penulis berharap hadirnya Buku Kesatuan dan Keesaan Gereja di tanah
Banten ini membuka cakrawala berpikir setiap insan kristiani untuk terus
menggelorakan kebersamaan demi Gereja yang satu, kudus dan Am di tanah
Banten.
Secara khusus penulis berterima kasih kepada Pastor Dr. Wiryohadi,
Gembala GBI WTC Serpong, Tangerang Selatan yang sangat membantu
dalam segala hal sehingga penulis dapat menyelesaikan buku ini dengan baik
tanpa kesulitan apapun.
Dan, juga kepada Istriku tercinta Pdt. Lisda Romulo Girsang, S.Th serta
anak semata wayang yang Tuhan percayakan kepada kami, Jonathan Kevin
Sihombing yang terus mendoakan, mendukung serta memberi semangat
dalam penulisan karya ini.
Diatas segalanya, Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja yang kita agungkan
dan muliakan akan menjadi penopang dan penolongku selalu. Selamat
membaca Buku Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten, Tuhan Yesus
beserta kita.
Serang, Juni 2022
Dr. Junit Sihombing, M.Th
10
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................10
DAFTAR ISI ..............................................................................................................11
PENDAHULUAN ....................................................................................................14
BAB 1 Gereja
1. Pengertian ………………………………………….….….23
2. Tugas Gereja ……………………………………….….….27
A. Keesaan Gereja ……………………………………..…….36
1. Dasar Alkitabiah Keesaan Gereja …………………..……..37
2. Upaya mewujudkan Gerakan Keesaan Melalui Oikumene.......43
3. Tantangan Gerakan Ekumenis Global……………….…….48
4. Tantangan Gerakan Ekumenis di Indonesia……….………52
B. Lembaga-Lembaga Gereja …………………………..…….54
1. Gereja Lutheran ……………………………………...……57
2. Gereja Calvinis ……………………………………...…….61
3. Gereja Baptis ………………………………………...……68
4. Gereja Metodis ……………………………………...…….77
5. Gereja Pentakosta Indonesia………………………....…….82
6. Persekutuan Injili Indonesia ……………………....……….94
7. Gereja Advent Hari Ketujuh ……………………......……103
8. Bala Keselamatan …………………………………..…….112
9. Aliran Saksi Yehuwa ……………………..............................118
BAB 2 Bimbingan Masyarakat Kristen
1. Gambaran Bimas Kristen …………………………...........122
2. Tugas Dirjen Bimas Kristen………………....……….........126
11
BAB Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
3 Gambaran Sekilas Perkembangan Agama Kristen di Banten
1. Pedagang Eropa........................................................................ 136
2. Komunitas Kristen Jengkol (Cikuya)..................................... 140
3. Bubarnya Komunitas Kristen Jengkol ..................................148
A. Upaya Keesaan Gereja di Banten
1. Empat Motivasi Yang Mendorong Keesaan Gereja
di Banten .................................................................................... 150
2. Tantangan Gerakan Keesaan di Banten ...............................152
B Peran Bimas Kristen Mendorong Keesaan Gereja
1. Tugas Mempersatukan Gereja ...............................................153
2. Mendorong Keesaan Gereja .................................................. 156
C. Pembentukan Forum Dialog
1. Forum Ekumenis .....................................................................157
2. Pembentukan Muspija..............................................................158
BAB 4 Pentingnya Kesatuan dan Keesaan Gereja di Banten
1. Karakteristik Data
A. Populasi, Sampel dan Waktu Penelitian ................................162
B. Teknik Pengumpulan Data .....................................................162
C. Variabel Penelitian.....................................................................162
2. Skala Pengukuran Variabel ......................................................163
3. Analisa Jawaban Responden
A. Peran Bimas Kristen Dalam Mendorong Keesaan Gereja di
Banten .......................................................................................................165
12
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
B. Peran Lembaga Gereja Dalam Mendorong Keesaan Gereja di
Banten.......................................................................................................168
C. Peran Forum Dialog Dalam Mendorong Keesaan Gereja di
Banten ......................................................................................................171
4. Pengujian Hipotesis
1. Variabel Peran Bimas Kristen Dalam Mendorong Keesaan Gereja
di Banten........................................................................................................173
2. Variabel Peran Lembaga Gereja Dalam Mendorong Keesaan
Gereja di Banten.........................................................................................175
3. Varibel Peran Forum Dialog Mendorong Keesaan Gereja di
Banten .......................................................................................................... 177
4. Pembahasan Khusus ................................................................................. 179
BAB 5 Epilog........................................................................................................................184
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................187
BIODATA ................................................................................................................................189
13
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
PENDAHULUAN
GEREJA merupakan persekutuan orang percaya sekaligus umat
pilihan yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah Bapa, keluar
dari kegelapan menuju kepada Tuhan Yesus Kristus, Sang
Terang Dunia. Keberadaan gereja ada di segala tempat dan tidak dibatasi
oleh waktu baik dalam persekutuan, pelayanan, maupun kesaksian di tengah
kehidupan masyarakat dan negara. Gambaran tersebut adalah persatuan
dengan Yesus Kristus sebagai dasar terbentuknya gereja yang dinamis. Salah
satu tugas gereja yakni dipangil untuk bersaksi memberitakan Injil Kerajaan
Allah. Yang artinya keselamatan hanya melalui Tuhan Yesus Kristus semata
atau sebagai jaminan kehidupan dan keselamatan manusia. Kendati, sarat
dengan pergumulan dan penderitaan namun gereja dipanggil Tuhan untuk
mengusahakan damai sejahtera bagi semua orang. (Merphin Panjaitan dalam
artikel : Gerakan Keesaan Gereja di Indonesia : Suatu Pemikiran Tentang Gerakan
Keesaan Gereja dan Perannya Untuk Kemajuan Indonesia).
Sejak manusia ada di bumi hingga saat ini, berlaku sebuah hukum yang
tidak pernah berubah yaitu “hidup adalah kerjasama”. Sebagaimana kita
ketahui, peradaban manusia dapat berkembang adalah hasil dari kerjasama
antar manusia, mulai dari lingkungan masyarakat, negara maupun dunia.
Dalam perjalanan sejarah, gereja berada di tengah masyarakat untuk
mewujudkan masyarakat egaliter dengan mengakui kesetaraan martabat
manusia. Tidak terkecuali, memperjuangkan kemajuan dan kebaikan bersama
dengan sukarela, setara, dan saling mempercayai. Kemajuan yang dialami oleh
satu pihak, maka akan mendorong kemajuan bagi pihak lainnya. Sebaliknya,
jika terjadi kemerosotan disatu pihak maka akan menahan kemajuan pada
14
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
pihak lain. Interaksi sosial dalam masyarakat egaliter menghasilkan perubahan
mengikuti pergerakan spiral, terkadang naik dan turun.
Gereja baru yang bermunculan selalu membawa visi dan misi tersendiri.
Dari situ pula muncul sejumlah lembaga atau organisasi yang menaungi
beberapa gereja. Tidak jarang, banyak silang pendapat terjadi di dalam internal
gereja sehingga kerap kali muncul perpecahan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
orang-orang yang ada dalam lembaga gereja adalah manusia biasa dengan
segala kelemahannya. Adanya pertentangan dan polarisasi diantara warga
gereja atau lembaga gereja satu dengan yang lain dapat dipicu oleh beragam
hal seperti : mementingkan diri sendiri termasuk dalam mempertahankan
prestise, tidak adanya kesepakatan untuk menentukan siapa yang berwenang
dalam menentukan keputusan terakhir apabila timbul suatu perselisihan,
adanya ketidakpuasan terhadap organisasi, sampai soal perbedaan bangsa,
suku, bahasa, tradisi, dan kelompok. Walaupun, diperhadapkan dengan
kondisi demikian, akan tetapi gereja justru tetap bertumbuh dan berkembang.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa mewujudkan keesaan gereja
kalau masing-masing pihak mempertahankan keegoisan dan keunggulannya
sendiri serta enggan untuk mengakui kehadiran pihak lain. Kondisi seperti ini
tentu akan membuat polarisasi diantara warga gereja, terutama lembaga gereja
yang mau tidak mau harus tetap bertahan.
Ketika Banten ditetapkan sebagai wilayah yang mengalami pemekaran
dan menjadi provinsi baru, Bimas Kristen pun berdiri. Sebelumnya Banten
masih tergabung dengan Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan saat itu sudah ada
enam lembaga gereja di Banten, antara lain : PGI (Persekutuan Gereja-
Gereja Indonesia), PGLII (Persatuan Gereja-gerejadan Lembaga-lembaga Injil
Indonesia), PGPI (Persekutuan Gereja Pentakosta Indonesia), PGIW Banten
(Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia Wilayah Banten) Advent dan Baptis.
15
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Dan jika menjelang perayaan gerejawi bisanya semua lembaga tersebut mengajukan
sendiri proposal kepada pemerintah, tanpa melibatkan lembaga gereja
lainnya. Bahkan, masing-masing pihak mengklaim sebagai lembaga yang
merepresentasi umat Kristen di Banten. Kondisi ini membuat pemerintah
bingung dalam menentukan lembaga gereja yang mewakili semua umat
Kristen.
Pemerintah tidak mau melayani satu persatu, guna menciptakan
keseimbangan dan rasa keadilan diantara lembaga gereja yang ada. Berdasarkan
kondisi itu maka pemerintah menghendaki untuk membuat sebuah wadah
yang dapat menyatukan semua gereja di Banten.
Untuk mewujudkan rencana tersebut, Pembimas Kristen yang pertama,
Youke Singal mengundang para pemimpin dari masing-masing lembaga
gereja untuk membicarakan pembentukan wadah lokal yang bisa menaungi
semua gereja di Banten. Wadah itu bukan lembaga aras, tetapi bersifat lokal
dan hanya ada di Banten saja. Hal itu sesuai dengan tugas dan peran Bimas
Kristen, sebagai perpanjangan tangan pemerintah Provinsi Banten. Termasuk
melaksanakan pelayanan, bimbingan, pembinaan, dan pengelolaan sistem
informasi di bidang bimbingan masyarakat Kristen berdasarkan kebijakan
teknis yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama.
Para pemimpin Gereja akhirnya sepakat untuk membentuk wadah atau
lembaga dengan nama Musyawarah Pimpinan Gereja atau MUSPIJA.
MUSPIJA dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Kantor
Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama Provinsi Banten yang pada saat itu
dijabat H.A.M. Romly pada tahun 2017. Setiap lembaga menjadi pengurus
di Muspija. Sehingga Muspija menjadi satu-satunya wadah yang mewakili
semua kepentingan gereja di Banten ketika berhubungan dengan pemerintah.
Setelah Muspija resmi terbentuk, maka tidak ada lagi lembaga gereja lain yang
16
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
mengklaim sebagai lembaga yang mewakili semua gereja di Banten. Semua
aspirasi yang ingin disampaikan kepada pemerintah harus melalui Muspija.
Dengan kesepakatan tersebut, pemerintah hanya menggandeng Muspija
dalam membangun hubungan dengan gereja-gereja yang ada di Banten.
Meskipun Muspija bukan lembaga aras, tetapi secara langsung Muspija
dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan Keesaan Gereja Yesus Kristus
di Banten. Maka secara tidak langsung hal ini juga memperlihatkan kerinduan
umat Kristen di Banten, untuk mewujudkan persatuan dalam semangat
persaudaraan sudah mulai terealisasi.
Ketika semua gereja berada dalam satu organisasi, maka gereja memiliki
daya tawar yang tinggi. Sebagai sebuah organisasi yang kuat maka suara
umat Kristen di Banten sangat diperhitungkan oleh pemerintah, baik
dalam kehidupan politik, pengembangan sosial budaya dan peningkatan
kesejahteraan. Diharapkan organisasi tersebut terarah kepada Keesaan gereja.
Namun seiring perjalanan waktu, dua lembaga gereja yaitu PGI dan PGPI
memilih keluar dari Muspija. Kedua lembaga itu tidak memberikan alasan yang
jelas soal keputusan itu. Bimas Kristen yang memiliki tugas untuk membimbing
dan mengayomi semua gereja di Banten, tidak pernah lelah untuk mengajak
semua pihak yang saling berseberangan agar bersatu dan bersedia untuk
menyingkirkan keegoisannya. Bahkan, dalam beberapa kesempatan terlontar
gagasan jika memang ada pihak tertentu yang tidak senang dengan nama
Muspija maka bisa diganti dengan nama lain yang lebih representatif. Asalkan,
tetap ada satu wadah lokal yang menjamin Kesatuan dan Keesaan gereja di
Banten.
Maka jika demikian, pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang mendorong
PGI dan juga PGPI tidak bergabung dengan Muspija hingga saat ini. Apakah
PGI merasa sebagai lembaga yang lebih representatif mewakili seluruh gereja
17
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
di Banten dibandingan dengan Muspija? Temuan di lapangan menunjukkan
ada semacam tuduhan dari lembaga tertentu, jika Muspija cendrung menjadi
lembaga aras. Sehingga, dianggap tidak bisa mewakili semua gereja Kristen di
Banten, ketika berhubungan dengan pemerintah. Akan tetapi, jika ditelusuri
bahwa saat pembentukan Muspija maka tuduhan tersebut terlalu subyektif
dan tidak mendasar.
Seperti diketahui, bahwa pembentukan Muspija merupakan hasil kesepakatan
bersama. Selain itu pula, Muspija merupakan wadah lokal yang dianggap
sebagai sarana mempersatukan semua gereja yang ada di Banten, sehingga
tidak berbicara tentang aras. Atau dengan kata lain, Muspija merupakan
organisasi lokal yang hanya berada di Banten dan tidak memiliki struktur
kepengurusan seperti lembaga aras lainnya yang memiliki struktur mulai dari
pusat hingga ke tingkat wilayah.
Dalam kapasitasnya sebagai organisasi atau wadah lokal, Muspija tidak
pernah mencampuri urusan internal masing-masing gereja misalnya, soal
doktrin atau tata ibadat. Karena hal itu merupakan kewenangan dan aturan
dari gereja itu sendiri. Kalau memang Muspija merupakan lembaga aras seperti
yang dituduhkan oleh lembaga tertentu, maka pertanyaan mengapa Lembaga
Gereja seperti PGLII, PGIW Banten, Adven, dan Baptis masih bergabung di
Muspija. Padahal, seperti kita ketahui bahwa keempatnya merupakan lembaga
aras.
Selama belasan tahun Bimas Kristen terus berupaya untuk mengajak semua
lembaga gereja yang ada di Banten untuk bersatu dalam satu wadah. Hal ini
juga merupakan bagian dari upaya mewujudkan keesaaan gereja sekaligus
mendorong persatuan gereja sebagai Satu Tubuh Kristus. Yakni, memiliki
banyak anggota tetapi hanya satu tubuh dan Yesus Kristus sendiri sebagai
Kepala. Upaya ini rupanya tidak selalu berhasil. PGI tetap enggan untuk
18
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
bergabung dan tidak mau menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah
melalui Muspija.
Apakah keengganan itu ada hubungan dengan keberadaan PGI sebagai
lembagaaras terbesar di Indonesia? Bila mengacu pada sejarah, PGI merupakan
lembaga aras Kristen terbesar di Indonesia. Ada ribuan gereja yang berada di
bawah naungan PGI. Tidak hanya itu, PGI juga memiliki kepengurusan mulai
dari tingkat pusat,wilayah, hingga daerah. Dalam tingkat nasional, Pemerintah
Pusat menganggap PGI sebagai lembaga resmi yang mewakili semua gereja
Kristen di Indonesia dalam membangun komunikasi dengan pemerintah.
Dalam berbagai kesempatan PGI bersama dengan kelompok agama lain
selalu tampil mewakili gereja-gereja Kristen di Indonesia.
Jika mengacu pada posisi tersebut maka PGI menganggap sebagai lembaga
aras terbesar dan memiliki hubungan langsung dengan pemerintah pusat.
Tampaknya juga merasa berhak mewakili semua lembaga-lembaga gereja
dalam berhubungan dengan pemerintah provinsi maupun dengan pemerintah
Kabupaten/Kota, termasuk di Banten.
Sejatinya semangat persatuan dan kebersamaan di antara lembaga gereja
menjadi sangat krusialketika gereja dipanggil menjadi “Garam” dan “Terang
Dunia” di tanah Banten. Bagaimana gereja bisa memposisikan diri sebagai
‘Garam dan Terang’ kalau terjadi polarisasi dan pertikaian diantara sesama
lembaga gereja?
Seruan untuk membangun persatuan dan merajut persaudaraan sangatlah
penting, apalagi jika mengingat persoalan yang dihadapi sejumlah gereja di
Banten. Selama bertahun-tahun, entah berapa banyak jumlah gereja yang
mengalami kesulitan untuk bisa mendapatkan izin membangun gereja
dari pemerintah. Meski ada lembaga gereja yang sudah mengantongi izin
mendirikan tempat ibadah, tapi karena penolakan masyarakat di akar rumput
19
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
akhirnya batal. Kondisi tersebut sulit diprediksi, entah sampai kapan hal itu
akan berakhir.
Selain itu, tingkat toleransi antara umat beragama di Banten juga
memprihatinkan. Survei indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang
dirilis Kementerian Agama Republik Indonesia terkait tingkat kerukunan
atau toleransi antar-umat beragama di seluruh provinsi di Indonesia pada
tahun 2019, Provinsi Banten menempati urutan ke-31dengan nilai skor 68,9
(Daftar Skor Indeks Kerukunan Beragama versi Kemenag 2019”, dalam tirto.id).
Sementara tingkat toleransi paling rendah adalah Provinsi Aceh dengan skor
60,2 Sedangkan tingkat toleransi paling tinggi adalah Provinsi Papua Barat
dengan skor 82,1. Survei indeks KUB itu dilakukan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan
pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan
(Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat) Kemenag.
Dengan mengacu pada indeks di atas, maka tergambar bahwa Banten
masuk dalam kondisi tingkat toleransi yang cukup memprihatinkan. Dengan
demikian, bagaimana gereja bisa berkembang dengan baik di Banten, bila
berhadapan dengan kondisi seperti ini. Untuk tingkat toleransi diantara para
pemimpin agama memang tidak ada kendala sama sekali. Tetapi, bukan berarti
itu menggambarkan kondisi toleransi di akar rumput.
Ketika ada bangunan gereja berdiri di satu tempat, begitu mudahnya
masyarakat di akar rumput langsung membongkar. Kondisi seperti ini
seharusnya mendorong semua lembaga gereja di Banten untuk bersatu.
Terlebih dalam memperjuangkan haknya sebagai warga negara yang memiliki
kesempatan yang sama dengan warga negara lain. Semangat kebersamaan
dan mau bekerjasama serta rela untuk mengesampingkan keegoisan masing-
20
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
masing lembaga maka akan membuat gereja menjadi sebuah kekuatan yang
cukup diperhitungkan di Banten. Dengan begitu, maka kesewenangan
kelompok lain untuk menggusur tempat ibadah diperkirakan bisa semakin
berkurang.
Terkait dengan kerjasama, Herbert Blumer mengatakan, bahwa sebuah
kerjasama menghasilkan saling pengertian, saling memperhatikan dan saling
membantu (Merphin Panjaitan, 2013). Melalui kerjasama kehidupan menjadi
lebih terjamin dan peradaban manusia dapat berkembang diantaranya dalam
bentuk perubahan dari masyarakat tanpa negara menjadi masyarakat bernegara.
Oleh karena itu, tenaga dan waktu lebih baik digunakan untuk saling membantu
daripada saling membunuh. Dan, lebih baik meningkatkan kerjasama daripada
berkonflik. Sebab, jika konflik sangat dominan dan berlangsung lama, maka
masyarakat kekurangan waktu untuk berkembang.
Menurut Herbert Blumer, konflik berkepanjangan mengganggu kerjasama,
meningkat menjadi permusuhan, dan kemudian dapat berlanjut ke peperangan.
Dan, kalau perang berlangsung terlalu lama, peradaban manusia merosot
tajam sampai ke titik terendah seperti binatang liar. Oleh karena itu kerjasama
menjadi penting. Dalam sejarah peradaban, dari waktu ke waktu manusia
terus bergerak maju, sejak awal kehadirannya di mukabumi ini. Manusia lebih
banyak membangun kerjasama daripada konflik. Hal seperti ini juga berlaku
dalam gereja.
Mengacu pada pengalaman menggereja dan interaksi sosial antar lembaga
gereja di Provinsi Banten, terutama sejak Bimbingan Masyarakat (Bimas)
Kristen terbentuk tahun 2003 di Provinsi Banten, maka akan diketahui
sejauhmana peran Bimas Kristen dalam mendorong Kesatuan dan Keesaan
gereja di Banten. Itulah salah satu alasan mengapa buku ini ditulis, selain
juga memberikan gambaran yang kongkret sesuai fakta dan data, bagaimana
21
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
pengaruh Bimas Kristen terhadap Muspija sebagai lembaga lokal yang diakui
sebagai wadah yang mempersatukan semua lembaga gereja di Banten.
Setelah membaca buku ini, penulis berharap pembaca mengetahui upaya
Bimas Kristen Banten dalam mempersatukan lembaga-lembaga gereja melalui
Muspija termasuk dalam hal toleransi beragama di Banten. Diharapkan
melalui buku ini maka ada peningkatan kualitas hubungan baik antar lembaga
gereja yang ada, maupun dalam hal toleransi dan kerukunan umat beragama.
Sehingga gereja dapat menjadi garam dan terang dimanapun berada serta
memuliakan nama Tuhan Yesus Kristus.
22
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
BAB 1
GEREJA
1. Pengertian Gereja
Secara etimologis Kata Gereja berasal dari Bahasa Portugis “igreja” yang adalah
ejaan Portugis yang diambil dari kata Latin “ecclesia’, berasal dari Bahasa Yunani
“ekklesia”. Ekklesia berarti dipanggil keluar (ek= keluar ; dan kaleo= memanggil).
Menurut Yosep Kristianto, dkk, kata Yunani itu dalam Kitab Suci sering diartikan
sebagai “kumpulan” atau “pertemuan” atau “jemaat” namun bukan sembarang
kumpulan atau himpunan, melainkan kelompok atau himpunan orang yang
dipanggil keluar secara khusus.
Memang semua orang dipanggil keluar, tetapi pada kenyataannya hanya sebagian
yang mau keluar. Arti keluar disini adalah keluar dari dosa, keluar dari hidup yang
sia-sia, dari kegelapan rohani, dari hukuman kekal (bdk 1 Petrus 2:9). Dari sinilah
kita mendapat definisi atau pengertian tentang jemaat atau warga jemaat.
Gereja adalah suatu himpunan istimewa yang terdiri dari orang-orang yang
mendengar dan menurut panggilan Allah. Mereka bertobat dari dosa, percaya
kepada Yesus Kristus, dilahirkan kembali oleh Roh Suci, dan sekarang sebagai
milik Allah mereka hidup dalam kesucian. Tanah air mereka ada di sorga (Roma
1:6,7; Efesus 5:25-28; Filipi 3:20).
Jadi jelas bahwa gereja bukan hanya sekumpulan orang yang memiliki
sejumlah masalah dalam pergulatannya di tengah dunia. Akan tetapi, juga
menjadi tanda kehadiran Allah di tengah dunia. Gereja adalah umat Allah,
karena semua anggota yang dihimpun dalam satu Gereja bukan karena jasanya
23
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
sendiri, tetapi semata-mata dipanggil oleh Allah untuk membangun sebuah
persekutuan (koinonia).
Dalam Bukunya Menjadi Murid Yesus (Yosep Kristianto, dkk) diuraikan
bahwa ada dua hal penting yang terkandung. Pertama, Gereja bukanlah
organisasi manusia melainkan perwujudan karya Allah yang kongkret. Tekanan
ada pada pilihan dan kasih Allah. Kedua, Gereja bukan hanya pimpinan gereja,
petugas atau gembala sidang saja. Tetapi, semua anggota warga jemaat yang
beriman kepada Yesus Kristus.
Gereja merupakan hasil pewartaan Injil yang disambut manusia dengan iman
dan tobat. Yesus mengumpulkan sejumlah orang di sekitar-Nya dan mereka
mendengar pemberitaan-Nya lalu menjadi percaya dan bertobat. Dalam keempat
Injil terdapat sejumlah cerita tentang beberapa orang setelah mendengar firman
Yesus, kemudian mengikuti dan menyertai Dia (Matius 4:18-22). Namun,
hukuman salib yang menimpa Yesus rupanya sangat mengecewakan pengikut-
pengikut-Nya dan akhirnya mereka meninggalkannya-Nya. Iman kepercayaan
dan pertobatan mereka ternyata hanya sementara saja. Hingga suatu hari
sejumlah murid Yesus akhirnya mendapat pengalaman Paskah. Pengalaman
tersebut di satu sisi, membenarkan dan menjelaskan pemberitaan dan karya
Yesus dahulu. Di sisi yang lain, semakin dijelaskan makna dan artinya oleh
pemberitaan dan karya Yesus sebelumnya.
Bahwa pengalaman pengikut Yesus dahulu dan sekarang saling berkaitan
dan menjelaskan. Pengalaman Paskah itu tidak hanya membangkitkan kembali
iman kepercayaan kepada Yesus melainkan juga membawa pertobatan, serta
meneguhkan keyakinan mereka. Dari pengalaman itu akhirnya membentuk
jemaat Kristen yang pertama, berdasarkan pada pengalaman langsung terhadap
diri Yesus Kristus, baik yang dahulu maupun kemudian.
24
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Pada dasarnya Paskah tidak hanya sebatas pada pengalaman akan Roh
Kudus, namun juga kebangkitan Yesus Kristus. Untuk itu, dalam Kisah Para
Rasul, kelahiran Gereja ditempatkan pada hari Pentakosta, meskipun murid-
murid berkumpul karena pengalaman Paskah (Kisah Para Rasul 1:14). Pada
Bab 2 dalam Kisah Para Rasul, pada Hari Pentakosta para murid untuk
pertama kalinya mendapat pengalaman akan Roh Kudus. Meskipun demikian,
kelahiran Gereja tidak terlepas dari hidup Yesus.
Tentu saja, tidak dikatakan bahwa selagi Yesus hidup dan berkarya sudah
“mendirikan Gereja”. Jadi kelahiran Geereja selalu berhubungan dengan
Yesus. Terdapat kesinambungan tetapi terputus oleh wafat Yesus, lalu
dipulihkan kembali oleh pengalaman akan Roh Kudus. Berkat kebangkitan
Kristus, iman para murid semakin diperkuat. Maka, Gereja adalah adalah umat
yang mengimani Kristus, sehingga disebut umat yang membentuk sebuah
kumpulan orang yang sudah diselamatkan oleh Kristus. Persekutuan tersebut
tidak hanya nampak dalam kegiatan kebersamaan, bercengkrama, berbincang,
tetapi juga lewat kegiatan liturgi atau kebaktian bersama (kebaktian umat).
Gereja umat Allah terus berkembang dan semakin meluas karena
pemberitaan Injil oleh para murid dan warga jemaat yang mengimani serta
mendapat pengalamanPaskah. Tidak hanya percaya dan bertobat namun juga
dijiwai dan dibimbing oleh Roh Kudus. Pengalaman inilah yang menciptakan
persekutuan (warga jemaat) yang terus dibangun tanpa henti hingga di
pelosok-pelosok negeri. Pemberitaan Injil Yesus Kristus yang bangkit dan
mulia merupakan bukti bahwa Dia adalah satu-satunya penyelamat dunia.
Tanpa pemberitaan Injil orang tidak dapat percaya dan sulit bertobat kepada
Allah yang menyelamatkan melalui Yesus Kristus, sehingga mustahil dapat
menyambut keselamatan menurut kebenaran.
25
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Pada dasarnya Gereja adalah persekutuan semua orang yang dari dalam
hatinya tersentuh oleh Allah (Kisah Para Rasul 2:37;16:14), menanggapi
pemberitaan Injil dengan percaya dan bertobat. Gereja sebagai umat Allah
adalah persekutuan orang yang “dipanggil” oleh Allah, persekutuan orang yang
percaya akan karya keselamatan Allah melalui Yesus Kristus, mengimaninya
dan mewartakan. Allah memilih umat-Nya sebagai rekan kerja di dunia dengan
maksud tersendiri. Tujuan Allah memilih umat-Nya adalah untuk menyelamatkan
dunia. Dengan demikian, Ia menunjukkan kepada umatnya suatu hubungan atau
komunikasi antara dua belah pihak, yaitu Allah dan manusia. Hubungan itu telah
diperlihatkan dalam Kristus.
Dalam rentang sejarah, hubungan Allah dengan manusia dimeteraikan atau
diresmikan dengan suatu perjanjian, yaitu perjanjian cinta kasih. Dan hal itu
menjadi dasar perjanjian umat dengan Allah. Dalam karya keselamatan umat
Allah digambarkan tengah dalam perjalanan, melewati padang pasir menuju Tanah
Terjanji. Tanah terjanji itulah yang dikatakan sebagai keselamatan. Demikian juga
halnya Gereja sebagai umat Allah selalu dicirikan oleh sebuah kenyataan, yakni
berjalan menuju peziarahan ke tanah terjanji, ke rumah Bapa. Dikatakan Nico
Syukur Dister dalam Buku Pengantar Teologi, Ciri Gereja sebagai umat Allah
terlihat dari panggilan dan inisiatif Allah, persekutuan, hubungan mesra antara
manusia dengan Allah, karya keselamatan dan peziarahan yang tak kunjung habis.
Jika Gereja sebagai umat Allah maka ada dasar dan konsekuensi yang harus
ditanggung, yaitu tidak ada lagi perbedaan kedudukan dalam gereja antara pimpinan
gereja atau gembala sidang serta dengan warga jemaat biasa. Semuanya memiliki
hak dan kedudukan sama namun yang membedakan hanya peran dan tugasnya
saja. Kesatuan tidak lagi didasarkan pada struktural organisatoris, tetapi pada Roh
Allah yang telah menjadikan umat-Nya sebagai bangsa atau umat pilihan. Dengan
demikian semua warga jemaat sadar bahwa sebagai warga umat Allah, setiap orang
secara pribadi dipanggil untuk turut terlibat dalam kehidupan menjemaat.
26
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Masih menurut Yosep Kristianto dkk, hidup menjemaat pada dasarnya
merupakan hakikat Gereja itu sendiri yang terletak pada persaudaraan dan cinta
kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup jemaat mula-mula. Hal ini dapat
dilihat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47. Dalam teks ini dikisahkan bagaimana
hidup jemaat mula-mula dengan penuh hidup kasih. Mereka memulai hidup baru
yang berfokus pada Kristus dan melakukan persekutuan dengan setia. Ada rasa
tanggung jawab yang kuat dan selalu terlibat dalam pengajaran. Mereka merasa
bahwa Tuhan menuntun melalui pengajarannya dan pemberitaan firman-Nya.
2. Tugas Gereja
Ada beberapa tugas utama gereja dalam mengatasi beragam persoalan umat
sekaligus membawa umat kepada keselamatan melalui perjumpaan secara pribadi
dengan Yesus Kristus. Dalam sejarah gereja memiliki lima tugas (panca tugas)
utama, antara lain : Diakonia (pelayanan), Koinonia (persekutuan), Marturia
(kesaksian), Liturgia (ibadat atau doa), Kerygma (pewartaan atau memawartakan
kabar gembira). Panca tugas Gereja itu ini memiliki hubungan yang erat satu sama
lain.
a. Diakonia
Salah satu pemberdayaan jemaat dalam lingkup tanggung jawab Gereja tidak
bisa dilepaskan dari masalah pelayanan atau praktek diakonia terutama dalam
soal ekonomi. Kata “diakonia” berasal dari Bahasa Yunani yang berarti pelayanan
meja. Sedangkan Diakonos adalah orang yang melayani meja. Pada Perjanjian
Baru kata “diakonia” mengacu pada hidup serta karya Yesus dan jemaat.
Misi Yesus di dunia ini adalah pelayanan kasih dan berita tentang kedatangan
Kerajaan Allah. Oleh karena itu, Diakonia merupakan refleksi praktis dari
27
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Firman yang diberitakan dalam Gereja. Melalui Firman itulah maka tindakan
yang nyata akan mendorong orang untuk lebih rajin dan bijak dalam mengelola
ekonomi, sehingga tercipta sebuah keseimbangan antara kehidupan jasmani dan
rohani seperti yang diinginkan Tuhan. Usaha memberdayakan jemaat merupakan
bagian yang integral dari tindakan iman. Tuhan Yesus telah memberikan contoh
pelayanan yang baik kepada dunia seperti memberikan makan pada yang lapar
(Matius 14:13-21), membela hak wanita yang di rajam (Yohanes 7:53 dan 8:1-11),
dan menyembuhkan orang (Lukas 6:6-11). Ini merupakan bagian tugas penting
dari tugas persekutuan Gereja-gereja dalam melayani jemaatnya di mana saja.
Dalam Buku Yesus Wong Cilik, Josef P. Widyatmadja mengatakan,
bahwa Diakonia bukanlah semata-mata memberikan uang bagi orang yang
membutuhkan. Namun, diakonia lebih merupakan panggilan hidup bagi setiap
orang Kristen “untuk berbagi”. Pelayanan itu tidak dibatasi oleh dinding gereja
tetapi menjangkau dan mencakup berbagai bidang kehidupan baik sosial,
ekonomi, politik dan sebagainya. Terutama membantu dan melayani mereka yang
tidak bersuara karena kekerasan dan trauma dengan tekaan politik. Pelayanan
diakonia merupakan pelayanan kepada Tuhan atau melayani Sang Raja (Matius
25:31-46, Amsal 19:17, Ayub 29:12-13).
b. Koinonia
Yang berarti persekutuan atau keluarga. Sesuai dengan firman Tuhan tentang
Koinonia atau keluarga adalah persekutuan pertama yang diciptakan Allah di
dunia. Hal ini menegaskan bahwa keluarga merupakan dasar dari kehidupan
manusia. Tidak ada manusia yang dapat hidup, bertumbuh dan berkembang
tanpa keluarga. Alkitab menegaskan, bahwa persekutuan sebagai keluarga Kristus
merupakan jati diri Gereja. Salah satu tugas panggilan Gereja (Koinonia), karena
gereja bertumbuh dan kuat jika hidup dalam persekutuan sebagai anggota keluarga
Allah.
28
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Menurut Krismas Imanta Barus, konsep Koinonia ini dipelihara dan tetap
dipercayai sebagai dasar eklesiologi jemaat sampai saat ini. Sebagai keluarga, anggota
gereja hidup dalam ke salingtergantungan dan sistem kepedulian yang unik (berbeda
dengan dunia ini), diasah dan diteguhkan dalam Ibadah, serta Perjamuan Kudus
sebagai komunitas yang suci. Keluarga Allah dipanggil untuk tetap setia dalam
iman namun fleksibel dan dinamis dalam menghadapi pergumulan hidup sampai
penggenapan Hari Tuhan (parusia) .
Semua dapat dijalankan melalui spirit gereja yakni persekutuan interdependence yang
sinergis. Arti kata interdependency, kehidupan dalam kesalingtergantungan sebagai
anggota keluarga/tubuh Kristus. Persekutuan itu tercermain dalam kolaborasi
sinergis saling menopang, peduli, memberi diri kepada orang lain, dan kepada
seluruh ciptaan, unit-unit pelayanan gereja, termasuk pelayanan masyarakat dan
pemerintah.
c. Marturia
Tugas yang cukup penting dan melekat dalam diri Gereja adalah memberikan
kesaksian atau Marturia. Marturia berasal dari Bahasa Yunani yakni martyria. Marturia
merupakan salah satu istilah yang dipakai Gereja dalam melakukan aktivitas imannya
yakni kesaksian iman. Yang artinya pemberitaan Injil sebagai berita keselamatan
bagi manusia. Marturia biasanya disandingkan dengan tugas gereja yang lain yaitu
Koinonia dan diakonia.
Kata “marturia” sendiri sangat dekat dengan kata “martir” (dalam bahasa Arab:
“syahid”) yaitu orang-orang yang mati karena memberitakan Injil pada zaman
sesudah Yesus Kristus. Akibat kepercayaan kepada Yesus, banyak orang Kristen
mula-mula yang mengalami penganiayaan dan hal ini terus berlanjut sampai sekarang.
Karena itu istilah “marturia” dan “martir” itu banyak dirancukan dan identik
dengan para “syuhada” yaitu orang-orang Kristen yang disiksa sampai mati
karena imannya. Atau para misionaris yang dibunuh dalam menjalankan
29
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
tugasnya menyampaikan berita Injil ke tempat-tempat yang belum pernah
mendengar firman Tuhan.
Istilah “marturia” ini sekarang lebih sering digantikan dengan kata
“Evangelisme”yang berarti pengabaran Injil Kristen atau praktik penyampaian
informasi mengenai doktrin suatu kepercayaan Kristen kepada orang lain.
Istilah “evangelisme” tidak terkait dengan tradisi Kristen manapun dan tidak
sama dengan istilah Evangelikalisme. Yakni, suatu kata yang dipakai untuk
menyebut kelompok atau gereja “Protestan Evangelikal” atau “Injili”.
Dalam Yunani kuno martyria digunakan dalam bidang hukum yakni saksi
solemnitas dan saksi prosesuil. Tugas saksi prosesuil adalah memberitahu
hakim tentang apa yang telah terjadi dan tidak menambahkan atau mengurangi
sesuatu. Dengan kata lain, saksi harus mengatakan kebenaran. Dan apa yang
dinyatakan oleh saksi, itulah yang disebut dengan kesaksian. Sedangkan di
dalamAlkitab (Septuaginta dalam dunia Yunani kuno), kata Marturia secara
khusus digunakan pada bidang hukum antara lain, saksi solemnitas dan saksi
prosesuil.
Tugas saksi terutama saksi prosesuil adalah memberitahu hakim tentang
apa yang telah terjadi dan tidak menambahkan atau mengurangkan sesuatu.
Dengan kata lain, saksi harus mengatakan kebenaran. Dan apa yang dinyatakan
oleh saksi, itulahyang disebut dengan kesaksian. Saat ini, marturia (kesaksian)
dipakai sebagai tugas Gereja dan orang percaya untuk bersaksi tentang kasih
Kristus kepada dunia. Disamping tugas lainya seperti bersekutu (koinonia)
dan melayani (diakonia) yang tak akan pernah berubah sepanjang zaman.
Tugas kesaksian adalah tugas panggilan bagi semua orang percaya atau bisa
disebut sebagai saksi-saksi Injil, baik secara sendiri dan atau bersama-sama
dalam persekutuan jemaat/gereja. Isi kesaksian adalah Injil Yesus Kristus yang
30
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
utuh. Oleh karena itu, setiap anggota Gereja harus sadar dan memahami,
bahwa Injil bukan hanya terbatas pada soal-soal rohani dan sorgawi saja.
Dalam Injil diberitakan bahwa Yesus mengampuni dosa, tapi juga
menyembuhkan dan memberi makan. Dengan demikian, setiap anggota
Gereja harus sadar dan paham bahwa Injil Yesus Kristus itu adalah berita
kesukaan mengenai pertobatan dan pembaharuan yang telah disediakan bagi
manusia (Markus 1:15). Tetapi juga berita kebebasan, keadilan, kebenaran dan
kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Lukas 4:18-21).
Alamat kesaksian adalah segenap manusia serta segala mahluk Gereja dan
warganya yang dipanggil untuk memberitakan kabar baik dari Allah untuk
semua orang, agar percaya dan diselamatkan (Matius 28:19-20 ; Lukas 24:47-
48). Di sisi lain, gereja dan warganya harus menyadari fungsinya sebagai
penguasa, pengelola serta pemelihara lingkungan hidup dan alam semesta.
Inilah yang dimaksudkan dengan tugas kesaksian kepada segala mahluk
(Markus 16:15).
Untuk mencapai sasaran ini, terdapat dua arah kesaksian gereja. Pertama,
Kesaksian Ke Dalam. Artinya, memberitakan Injil untuk membimbing dan
mendewasakan Gereja dan warganya agar diperlengkapi untuk melakukan
setiap perbuatan yang baik (2 Timotius 3:15- 17) sehingga dapat menjadi
“saksi Injil” di tengah-tengah lingkungan dan pekerjaannya. Tentu saja warga
Gereja harus dapat menghayati iman, etik danperilaku kristen sesuai Firman
Tuhan dalam hidup sehari-hari. Dalam melakukan kesaksiannya dapat
berbentuk kotbah, pembinaan, pendidikan/pengajaran bagi semua warga
gereja.
Kedua, Kesaksian Keluar. Artinya, memberitakan Injil kepada semua orang
dan segala mahluk dalam segala aspek kehidupannya. Kesaksian gereja atau
31
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
warga gereja harus dipahami dalam fungsi profetis yakni sebagai nabi yang
bertugas menyampaikan firman Tuhan termasuk dalam keteladanan Kristus,
yakni sebagai Garam dan Terang (Matius 5:13-14).
d. Liturgia
Liturgi (Leitourgia) berasal dari kata bahasa Yunani yakni dari
kata kerja “Leitourgian” (leos artinya rakyat dan ergon artinya kerja) yang berarti
bekerja untuk kepentingan umum, kerja bakti atau gotong royong. Orang
yang melakukan pekerjaan itu disebut “Leitourgos”. Dan pekerjaan luhur itu
disebut “Leitourgia”. Dalam palayanan Gereja, Liturgi adalah upaya yang sangat
membantu kaum beriman untuk penghayatan iman demi mengungkapkan
misteri Kristus serta hakikat asli pelayanan Gereja yang sejati. Fungsi liturgi
tersebut sangat menguatkan tenaga umat beriman untuk mewartakan Kristus
dan dengan sendirinya terpanggil mewartakannya termasuk kepada mereka
yang berada diluar Gereja.
Di pihak lain liturgi mendorong umat beriman supaya sesudah dipuaskan
dengan sakramen-sakramen, Paskah menjadi sehati dan sejiwa dalam kasih.
Jadi Liturgi bagaikan sumber yang mengalirkan rahmat kepada umat beriman
dan menjadi puncak kehidupan Gereja dalam seluruh aktivitas umat menuju
kehidupan yang sejati.
Dari pemahaman di atas maka sudah sepantasnya semua umat beriman
Kristiani terdorong untuk berpartisipasi mengambil bagian dalam pelayanan
liturgi gereja demi rahmat dan berkat untuk kehidupan sekarang dan yang
akan datang. Dalam tugasnya di bidang liturgi, Gereja atau umat beriman tidak
saja berpartisipasi, tetapi juga menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin
yang serasi. Oleh sebab itu, hati harus disesuaikan dengan apa yang diucapkan
dan bekerjasama dengan rahmat surgawi agar tidak sia-sia menerimanya. Dan
yang harus dipahami adalah keterlibatan sepenuhnya harus dari kesadaran
32
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
yang mendalam sehingga dapat secara aktif ikut dalam pelbagai perayaan
liturgi yang ada.
Liturgi adalah perayaan iman yang sekaligus pengungkapan iman gereja. Orang yang
ikut dalam perayaan iman turut ambil bagian dalam misteri yang dirayakan. Tentu saja
dalam hal ini bukan hanya dengan partisipasi lahiriah, tetapi yang paling penting adalah
hati yang ikut menghayati apa yang diungkapkan dalam doa. Sebab, disitulah Kristus
bersatu dengan umat yang berdoa. Dengan bentuk yang resmi, doa umat menjadi doa
seluruh Gereja sebagai mempelai Kristus, berdoa bersama Kristus, Sang Penyelamat,
sekaligus merupakan doa pribadi setiap anggota jemaat.
Doa dan ibadah merupakan salah tugas Gereja, selain menguduskan
umatnya dan manusia lainnya. Tugas ini disebut tugas imamiah Gereja. Kristus
Tuhan, Imam Agung, yang dipilih dari antara manusia menjadikan umat baru,
“kerajaan Imam- Imam bagi Allah dan Bapa-Nya” (Wahyu 1: 6: bdk. 5: 9-10).
Mereka yang dibaptis dan diurapi Roh Kudus disucikan menjadi kediaman
rohani dan imamat suci (sebagai orang Kristiani dengan segala perbuatan)
untuk mempersembahkan korban rohani dan mewartakan daya kekuatan-
Nya. Oleh karena itu, Gereja harus terus bertekun dalam doa, memuji Allah
dan mempersembahkan diri sebagai korban yang hidup, suci dan berkenan
kepada Allah. Gereja memiliki imamat umum dan imamat jabatan dengan
cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.
Semua umat mengambil bagian dalam imamat Kristus untuk melakukan
suatu ibadat rohani demi kemuliaan Allah dan keselamatan manusia. Ibadat
rohani adalah setiap ibadat yang dilakukan dalam Roh oleh setiap orang
Kristiani. Dalam urapan Roh, seluruh hidup orang Kristiani dapat dijadikan
satu ibadat rohani. “Persembahkan tubuhmu sebagai korban hidup, suci, dan
berkenan kepada Allah. Itulah ibadat rohani yang sejati” (Roma 12:1).
33
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
e. Karygma (Pewartaan)
“Kerygma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti karya pewartaan Kabar
Gembira. Dalam Perjanjian Baru ditemukan dua kata kerja Yunani yang
berhubungan dengan kerygma atau pewartaan ini yakni “kerussein” (Ibrani 5:12)
dan “didaskein” (Ibrani 6:1). Dalam perspektif biblis ini “kerussein” berarti
mewartakan secara meriah dan resmi kabar gembira tentang kedatangan
Kerajaan Allah yang dilakukan oleh para Rasul serta kesaksian tentang ajaran
dan karya Yesus Kristus. Kata kerja “kerussein” menunjuk pada aktivitas
pewartaan ditujukan kepada orang yang belum mengenal atau belum percaya
kepada Yesus Kristus.
Sedangkan kata kerja “didaskein” berarti mengajar atau memberikan pelajaran
kepada orang yang telah beriman agar semakin bertumbuh dan berkembang.
Dengan demikian “didaskein” merupakan aktivitas pewartaan yang bersifat
lanjutan dan diberikan kepada orang yang telah mengenal dan percaya kepada
Yesus Kristus, agar iman umat semakin berkembang ke arah kedewasaan.
Arti asli dari kata kerygma adalah bahwa karya pewartaan itu berkaitan erat
dengan mulut atau kata dalam menyampaikan sabda Tuhan kepada telinga
atau pendengaran yang menggerakkan hati manusia untuk berbuat ke arah
pertobatan.Melalui tindakan itu, kita diingatkan oleh pengajaran Rasul Paulus
bahwa iman itu tumbuh lewat pendengaran. Keselamatan itu diperoleh berkat
iman kepada Yesus Kristus (1 Timotius 2:4).
Dasar dari tindakan pewartaan ini adalah Tuhan Yesus sendiri. Sedangkan
metode yang digunakan Yesus dalam melaksanakan tugas pewartaan tersebut
dengan membangun jejaring dan kepercayaan. Untuk itu, Yesus memanggil
para Rasul dengan melibatkan mereka dalam melaksanakan tugas pewartaan.
Demikian juga umat Kristiani semua diberi kepercayaan, dipanggil dan diutus
Tuhan Yesus untuk mengambil bagian dalam tugas pewartaan kabar gembira
34
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
(LG art 35) Tuhan Yesus mengutus kita semua dengan bersabda: “Pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu“ (Matius 28: 19-20).
Tugas utama pewartaan Gereja tidak hanya sebatas pewartaan global semata,
melainkan juga melalui kesaksian hidup yang dinilai cukup ampuh untuk ikut
berpartisipasi dalam aksi nyata. Partisipasi tersebut dapat dilakukan dengan
mengambil bagian melalui tugas pelayanan Gerejani dalam kehidupan bersama
umat di dalam kelompok basis. Kelompok umat basis merupakan tempat
persemaian benih pewartaan sabda Allah sehingga Gereja tetap tumbuh,
hidup dan berkembang.
Senada dengan itu dokumen Dialog dan Pewartaan menegaskan bahwa
pewartaan adalah komunikasi pesan Injil, misteri keselamatan yang
dilaksanakan Allah bagi semua orang dalam Yesus Kristus berkat kuasa
Roh Kudus. Pewartaan merupakan suatu ajakan untuk menyerahkan diri
dalam iman kepada Yesus Kristus dan melalui pembaptisan masuk ke dalam
persekutuan kaum beriman yang adalah Gereja. Pewartaan biasanya terarah
pada katekese yang bertujuan untuk memperdalam iman kepada Yesus
Kristus. Pewartaan adalah dasar, pusat dan sekaligus puncak dari evangelisasi.
Dialog Pewartaan mencantumkan sejumlah kualitas yang justru mencirikan
karya pewartaan itu sendiri.
Dan berikut adalah kualitas-kualitas pewartaan antara lain :
1) Pewartaan Yang Meyakinkan
Sebab tugas mewartakan itu bukan berhubungan dengan perkataan
manusia melainkan kesaksian tentang Firman Allah dan kehadiran Roh yang
berkesinambungan di semua tempat dan dalam segala waktu.
35
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
2) Pewartaan Yang Setia
Amanat yang disampaikan Gereja secara mendalam bersifat Gerejawi.
Pewartaan ini harus dilakukan dengan rendah hati. Maksudnya, bahwa orang-
orang yang mewartakan hanyalah “sarana” yang sempurna di dalam tangan Allah.
3) Penuh Hormat dan Dialogal
Dengan kesadaran bahwa Allah terlebih dahulu berkarya sebelum adanya para
misionaris (pewarta). Akhirnya pewartaan ini semestinya terinkulturasi oleh sikpa
hormat yang ada lebih dahulu dalam diri pewarta terhadap konteks budaya dan
agama dimana Injil itu akan diajarkan.
A. Keesaan Gereja
Kata keesaan berasal dari kata esa yang berarti “tunggal ; satu”. Sedangkan
kata keesaan berarti “sifat yang satu (tidak dua)”. Jadi kata keesaan berarti sifat
satu, tunggal, kesatuan dan tidak dapat dipisahkan.
Menurut Pdt. Benny Halim (Wawancara, 2020), Dalam konteks
Kekristenan, keesaan gereja berdasarkan dari keyakinan bahwa Tuhan Allah
yang menyelamatkan dunia melalui karya-Nya sendiri dan sepanjang sejarah
menghendaki umat-Nya bersatu. Allah yang hadir dalam pribadi Yesus, tidak
hanya berkarya tetapi juga menghimpunkan umatnya menjadi umat iman dalam
diri Israel. Ini yang ada dalam Perjanjian Lama dan umat Allah yang hadir di
dalam diri Kristus yang hadir di tengah-tengah dunia ini dalam diri gereja,
sebagaimana diungkapkan secara eksplisit dalam Alkitab Perjanjian Baru.
Karena itu, prinisip nyata dari keesaan gereja adalah berangkar dari karya dan
pribadi Allah Yang Esa
36
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
1. Dasar Alkitabiah Keesaan Gereja
Konsep keesaan gereja berdasarkan pandangan Paulus dalam suratnya
kepada Jemaat di Efesus dan Injil Yohanes 17
a. Keesaan Gereja dalam Paulus
Gereja yang Esa merupakan sebuah konsep teologis yang terdapat di dalam
surat Paulus kepada Jemaat di Efesus. Suart Efesus ditulis Paulus ketika sedang
berada dalam penjara. Ia menuliskan surat tersebut berdasarkan kondisi yang
dialami oleh Jemaat Efesus pada masa itu. Yaitu, mereka masih melakukan
penyembahan terhadap Dewa Yunani.
Dewa yang disembah saat itu adalah Dewa Artemis yang dipercaya sebagai
Dewa Kesuburan. Selain itu, mereka juga melakukan penyembahan dan
tunduk kepada Kaisar. Melihat keadaan tersebut, Paulus merasa tergerak dan
termotivasi untuk mengirim surat kepada Jemaat di Efesus.
Surat yang berisi nasihat, perintah dan himbauan untuk hidup dalam Kristus.
Paulus menekankan rencana Tuhan agar “Seluruh alam baik yang di surga
maupun di bumi, menjadi satu dengan Kristus sebagai kepala” (1:10). Surat
ini juga adalah seruan kepada umat Tuhan supaya mereka menghayati makna
dari rencana Tuhan untuk mempersatukan seluruh umat manusia melalui
Yesus Kristus.
Di dalam bagian pertama surat Efesus dikemukakan bagaimana penyatuan
itu terjadi. Disitu Paulus menceritakan bagaimana Tuhan telah memilih umat-
Nya memilih Yesus Kristus, anak-Nya mengampuni dan membebaskan dari
dosa serta bagaimana janji Tuhan itu dijamin oleh Roh Kudus.
Sedangkan didalam bagian kedua, ditekankan kepada para pembaca supaya
hidup rukun dalam kesatuan sebagai umat yang percaya kepada Kristus dapat
terlaksana. Untuk menunjukkan bahwa umat Tuhan telah bersatu dengan
37
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Kristus. Paulus menggunakan sejumlah kiasan. Jemaat adalah seperti tubuh,
Kristus sebagai kepalanya. Atau seperti sebuah bangunan yang batu sendinya
ialah Kritus, atau seperti seorang isteri dan Kristus sebagai suaminya.
Paulus sangat terharu saat mengingat rahmat Tuhan melalui Kristus, sehingga
ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam suratnya menunjukkan bahwa hatinya
makin meluap dengan perasaan syukur dan pujian kepada Tuhan. Segala
sesuatu ditinjau dari segi kasih Kristus, pengurbanan, pengampunan dan
kebaikan serta kesucian-Nya.
Dalam surat Efesus, Paulus mengungkapkan pandangan tentang Gereja yang
Esa adalah Gereja menyeluruh yang mencakup dari berbagai latarbelakang
kehidupan manusia, secara khusus meliputi orang-orang beriman di segala
tempat. Jadi gereja yang esa mencakup segala suku, ras, etnis, bahasa dan bersifat
universal, tidak dibatasi oleh apapun. Gereja yang esa harus dapat menjalankan
maksud, tujuan dan rencana yang Allah berikan. Tidak menunjukkan sebuah
kuantitas, tapi menunjukkan sifat-sifat dari Gereja.
Gereja yang esa harus mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi
setiap orang. Gereja Esa adalah gereja yang didalamnya terdapat orang Yahudi,
maupun bukan Yahudi. Mereka akan bersama-sama menikmati kekayaan
warisan Allah. Gereja yang esa mampu menyatukan berbagai latarbelakang
yang berbeda. Dengan demikian Gereja menjadi tempat berkumpulnya orang-
orang dari latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, dapat menerima
setiap orang dan memberi rasa aman dan nyaman bagi semua orang.
b. Keesaan Gereja Dalam Yohanes
Pandangan Alkitabiah tentang Keesaan Gereja terungkap dalam Injil
Yohanes 17. Berisi doa Tuhan Yesus untuk murid-murid-Nya. Di struktur
cerita Yohanes 17, Tuhan Yesus mendoakan murid-murid-Nya menjelang Ia
ditangkap, diadili, dan dihukum mati. Artinya doa ini terjadi pada saar Yesus
38
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
dan para murid mengalami kondisi yang sangat menegangkan. Di satu sisi
para murid berada dalam perasaan gelisah, takut dan sedih karena Guru
mereka akan ditangkap dan dihukum.
Menurut Yuliana Tacoh, dalam Buku Keesaan Gereja Dalam Perspektif
Yohanes 17, Sementara di sisi yang lain, Tuhan Yesus merasa terharu dan
sedih karena akan meninggalkan murid-murid-Nya dalam keadaan yang tidak
aman. Sebab itu, di dalam doa-Nya, Ia meminta kepada Bapa agar murid
tetap dipelihara di dalam kuasa dan kasih Allah Bapa dan agar mereka tidak
tercerai berai setelah penangkapan dan penyaliban diri-Nya. “Dan Aku tidak
ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia dan Aku
datang kepada-Mu ya Bapa yang Mahakudus, peliharalah mereka dalam nama-
Mu, yaitu nama-Mu yang telah Engkau berikan kepada-Ku, supaya mereka
menjadi satu sama seperti Kita,” (Yohanes 17:11) demikian antara lain doa
Tuhan Yesus.
Selanjutnya di dalam ayat 18:20-21 Tuhan Yesus mengatakan di dalam doa-
Nya: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian
pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia. Dan bukan untuk mereka
ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang yang percaya kepada-Ku
oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti
Engkau ya Bapa di dalam Aku dan Aku didalam Engkau, agar mereka juga
di dalam Kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus
Aku,”.
Di dalam doa ini ada tiga hal yang menarik untuk diperhatikan. Pertama,
supaya para murid menjadi satu. Kata “satu” yang dipakai dalam teks ini
mempunyai makna menjadi sebuah format yang tunggal dan dicirikan oleh
persatuan. Jadi kesatuan yang ditekankan disini bukanlah kesatuan dalam
bentuk peleburan atau percampuran beragam unsur menjadi satu, melainkan
39
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
persekutuan dan keesaan. Rasul Paulus dalam Surat Filipi mengataan:
“Hendaklah kamu sehati sepikir dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,
dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau pujian yang sia-sia. Sebaliknya
dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada
dirinya sendiri,”.
Dengan demikian, maksud Tuhan Yesus di dalam doanya adalah agar para
murid dapat menyatukan diri, agar saling mendukung dan tergantung satu sama
lain demi kelangsungan hidup mereka secara bersama. Hal ini dapat dipahami
mengingat penulisan Injil Yohanes, adalah untuk orang-orang Kristen yang terdiri
dari keturunan Yahudi dan keturunan Yunani. Diantara mereka ada kecenderungan
untuk memisahkan diri satu dengan yang lain karena isu perbedaan adat, budaya,
bahasa, dan gaya hidup. Untuk menghindari perpecahan diantara para murd Yesus
(orang-orang Kristen awal) Yohanes menempatkan harapannya di dalam Doa
Tuhan Yesus: Ut omnes unum sint : “supaya mereka semua menjadi satu”.
Joppy A. Saerang dalam Buku Oikumene dan Pemahamannya menurut Alkitab
berpendapat, bahwa kesatuan dalam Yohanes ayat 12a, merupakan kesatuan orang
percaya dibandingkan dengan kesatuan antara Bapa dan Anak. Sifat kesatuan ini
bukan persamaan melainkan adalah suatu analogi.
Tetapi yang jelas bahwa kesatuan antara orang percaya permulaannya hanya
mungkin diperoleh dalam hubungan Bapa dan Anak. Dikatakan oleh J.I. Ch,
Abineno dalam Buku Gereja dan Keesaan Gereja, yang dimaksud dalam doa
Tuhan Yesus ini dapat ditafsirkan dalam dua cara yakni:
1. Keberadaan kesatuan diantara orang percaya dan kesatuan antara Bapa dan
anak ada dalam kekekalan. Keduanya merupakan sifat dasar kesatuan antara
Bapa dan Anak yang rohani dapat bersatu menghadapi dunia ini. Ketika
orang percaya bersatu dalam iman, maka mereka mempunyai kuasa dan
pengaruh dalam menghadapi dunia.
40
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
2. Dalam Yohanes 17:21, Saerang mengutip pendapat Berkouwer yang
mengatakan bahwa masuk kesatuan dalam ayat ini bukanlah ‘kesatuan yang
mistik’ atau kesatuan batiniah yang tidak kelihatan, melainkan kesatuan
kebenaran, pengudusan dan kasih sebagai suatu realitas yang nampak dan
dapat dilihat oleh tiap-tiap orang.
Eka Darmaputera mengemukakan, bahwa kedua cara pandang di atas
mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Kesatuan diantara orang
percaya dalam realitas sangat dimungkinkan, karena terlebih dahulu terjadi
kesatuan kepercayaan dalam Kristus. Sebaliknya kesatuan rohani antara orang
percaya perlu suatu perwujudan supaya dunia boleh melihat dan percaya. Hal
keyakinan pada dasarnya adalah rohani dan kesatuan diantara orang percaya
pada hakekatnya adalah rohani, tetapi juga perlu kenyataan/perwujudan
dalam kehidupan (Efesus 4:1-6).
Dalam doanya Tuhan Yesus mengungkapkan bahwa kesatuan itu pada
dasarnya bersifat rohani dan hendaknya selalu ada dalam kehidupan tiap-tiap
orang. Kebanyakan dari para tokoh gereja bahwa kesatuan diartikan sama
dengan keesaan. Kesatuan di antara orang percaya hanya dimungkinkankarena
kepercayaan kepada Kristus (Yohanes 17:20). Kesatuan di antara orang
percaya berhubunga didasarkan kesatuan Bapa dan Anak. Kesatuan di sini
erat hubungannya dengan kebenaran, kekudusan (ay. 17,19), kemuliaan (ay.
22, 24) dan kasih (ay. 23, 26), semuanya untuk dapat dilihat orang (ay. 21, 24).
J.I.Ch, Abineno mengatakan, Bapa dan Anak secara zat/esensi adalah satu
(Yohanes 10:30), sehinggaa apa yang Bapa miliki juga dimiliki oleh Anak
(Yohanes 16:15). Namun, kesatuan tersebut tanpa dinyatakan kepada manusia,
maka hal itu sama sekali tidak berarti dan sulit dipahami oleh manusia.
Oleh karena itu, Kristus harus datang ke dalam dunia dan menyatakan hal
ini (Yohanes 1:14; band. Yohanes 17:24). Kedatangan Kristus sejak semula
41
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
yaitu melakukan kehendak Bapa untuk mati di atas kayu salib (Yohanes 3:14-
17). Kristus datang untuk menyatakan Allah Bapa kepada manusia (Yohanes
14:9-10). Tetapi dalam melihat hubungan Kristus yang unik dengan Allah
Bapa, dan sekaligus memperkenalkan Allah Bapa kepada manusia, maka itu
diwujudkan melalui perbuatan-perbuatanNya (Yohanes 14:11). Segala sesuatu
yang Kristus lakukan dan katakan, semuanya sesuai dengan kehendak Allah
Bapa (Yohanes 8:28).
Kesatuan orang percaya dalam kesatuan Bapa dan Anak (ayat 21), maka kesatuan
tersebut tercermin dalam melakukan segala pekerjaan yang sesuai dengan firman
Tuhan atau melakukan segala pekerjaan seperti Kristus melakukan pekerjaan
Allah. Kesatuan di antara orang percaya/gereja akan terwujud jikalau orang
percaya/gereja melakukan pekerjaan Tuhan sesuai dengan yang difirmankan
Tuhan, dengan demikian barulah dapat membawa orang-orang untuk percaya
kepada Kristus dan mengaku Kristus sungguh diutus Allah, sebagai Juru Selamat
(ayat 21). Berhubungan dengan kemuliaan, jika orang-orang percaya menyatakan
kemuliaan Kristus, maka ini akan menghasilkan kesatuan asasi.
Pemahaman tentang kesatuan di antara orang percaya/gereja di atas, hampir
sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Dr. Harun Hadiwijono yakni
bahwa kesatuan yang dirindukan oleh Kristus dalam doanya itu, adalah terletak
dalam berkata dan berbuat seperti yang difirmankan dan diperbuat oleh Bapa dan
Anak: Perkataan dan perbuatan mereka harus mendemonstrasikan Firman dan
karya Kristus dan Bapa.
Di situlah mereka dipersatukan dengan Bapa dan Anak. Jikalau semua itu
terjadi, maka dunia akan percaya bahwa Allah Bapa benar-benar telah mengutus
Kristus untuk menyelamatkan dunia ini. Berdasarkan hal ini, maka tidak benar
untuk menafsirkan doa Tuhan Yesus dalam Yohanes 17:20, 21, sebagai amanat
untuk mendirikan satu gereja yang esa.
42
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Kedua, rujukan persekutuan dan persatuan para murid adalah keesaan Tuhan.
Dalam hal ini, penekanan keesaan Tuhan tidak terletak pada kesamaan wujud
tetapi pada kesamaan misi, bahwa apa yang Tuhan Yesus lakukan di dunia
adalah misi Sang Bapa itu sendiri yaitu misi penyemalatan. Dan selanjutnya,
apa yang dkerjakan oleh para murid di dalam dunia adalah misi dari Sang Bapa
dan Sang Anak. Dengan demikian, misilah yang telah mempersekutukan dan
mempersatukan unsur-unsur ini. Dengan kata lain, di dalam misi Sang Bapa
dan Sang Anak sekalian orang percaya terhisap menjadi satu unit atau atau
sistem yang saling mendukung dan melengkapi.
Ketiga, adanya persekutuan dan persatuan diantara para murid, maka dunia
akan percaya kebenaran misi mereka. Atau dengan kata lain, persekutuan
dan persatuan diantara para murid atau orang-orang Kristen adalah bagian
dari misi itu sendiri. Jadi, misi tidak dapat dilepaskan dari persatuan dan
persekutuan murid-murid Tuhan Yesus (gereja) dan sebaliknya persekuuan
murid-murid Tuhan Yesus adalah bagian dari misi itu sendiri.
2. Upaya Mewujudkan Gerakan Keesaan Gereja Melalui Oikumene
a. Pengertian Oikumene
Secara etimologi kata Ekumene atau Oikumene berasal dari Bahasa Yunani
yakni Οικυµενε yang terdiri dari dua suku kata. Yaitu “Oikos” (Οικοσ) berarti
Rumah dan “Mene” (Μενειν) artinya “berdiam” atau tempat berdiam. Kata
Oikumene adalah istilah yag digunakan dalam dunia militer.
Istilah Oikumene ini, menunjuk kepada keseluruhan tempat atau wilayah
di bumi yang dihuni oleh manusia. Pada zaman pemerintahan Alexander
Agung, ini menunjuk kepada keseluruhan bagian bumi yang didiami oleh
manusia. Kata ini seringkali digunakan untuk menyebut daerah-daerah yang
didiami oleh orang-orang Yunani, sedangkan daerah yang tidak didiami oleh
orang bukan Yunani tidak disebut Ekumene.
43
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Bahasa Yunani Koine di bawah kekaisaran Romawi dan dalam perjanjian
Baru, kata Oikumene secara harafiah artinya dunia, namun yang dimaksud
adalah dunia di bawah kekuasaan Romawi. Dalam Surat Ibrani 2:5 muncul
kata Oikumene ten mellousan (Οικυµενε τεν Μελλουσαν). Istilah tersebut
memiliki makna yang merujuk pada Kerajaan Yesus Kristus yang akan datang
(dunia yang akan datang).
Pada awalnya kata Oikumene tidak memiliki makna yang berkaitan atau
berhubungan dengan kehidupan Gereja atau Kekristenan. Namun, sejak
Konsili di Nicea tahun 325 (Konsili Oikumene pertama) istilah Oikumene ini
diterima dan disahkan atau diteguhkan pemakaiannya sebagai istilah Gerejawi.
Dalam Buku Oikumenika Gereja, Nada Ridhoi Silitonga menuturkan, Pada
konsili pertama mengundang semua perwakilan Gereja yang ada di wilayah
kekaisaran atau wilayah kekuasaan Romawi. Istilah Oikumene ini disebut
sebagai wilayah kekuasaan Romawi. Pada saat itu dalam kenyataan dikenal
sebagai “seluruh dunia”. Dalam pandangan politik dan keagamaan, memang
pada waktu itu “hanya wilayah Romawi yang dipahami sebagai wilayah yang
didiami manusia dan sekaligus masyarakat Gereja”.
Kata Oikumene ini merupakan padanan atau sinonim dengan kata yang
juga dipakai dalam istilah Gereja yakni “Katolik” (Catholica-Latin), dan
“Univaersal”. Ketiga Istilah ini merujuk pada pengertian yang sama yakni
menunjuk pada ruang lingkup, hakekat dan tugas Gerejawi yang meliputi
seluruh dunia dan makhluk.
Dalam pengertian ini, maka Gerakan Oikumen selalu dikaitkan dengan
gerakan untuk keutuhan yang mengumpulkan kembali serta menjaga
integritas gereja. Di zaman modern ini Oikumene adalah upaya penyatuan
atau kerjasama antara denominasi-denominasi Gereja yang berbeda. Tradisi
gereja kemudian mengembangkan pemaknaan istilah Oikumene menjadi
44
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
“kehidupan dan panggilan bersama gereja-gereja di dunia melalui sikap dan
aktivitas persekutuan, pelayanan dan kesaksiannya”.
Dengan mengacu pada pengertian oikumene tersebut, maka gerakan
keesaan dapat dimaknai sebuah dinamika gereja Yesus Kristus dalam
mewujudkan iman dan panggilannya di tengah-tengah dunia yang sama.
Menurut Dr. J.L Ch. Abineno, gerakan keesaan mencakup dua hal mendasar,
yaitu : Pertama, perwujudan diri gereja Yesus Kristus yang esa di dalam iman
dan tugas panggilannya di dunia. Kedua, panggilan untuk mempersatukan
gereja yang telah terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa, ajaran dan
organisasi agar gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Dengan demikian
maka gerakan keesaan tidak hanya menekankan kesatuan lahiriah dan
organisatoris, melainkan kesatuan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus
adalah Tuhan dan Juruselamat Dunia serta kesatuan dalam panggilan untuk
melayani dunia dengan berlandaskan kasih.
b. Gerakan Keesaan dalam Lintasan Sejarah
Gerakan keesaan gereja hampir sama tuanya dengan sejarah gereja. Sejak
awal, gereja sudah menghadapi masalah perpecahan, misalnya perpecahan
antara gereja yang beranggotakan orang-orang keturunan Yahudi dan gereja
yangberanggotakan orang-orang keturunan non Yahudi. Pokok persoalannya
adalah mengenai pemberlakukan adat istiadat Yahudi terhadap orang-orang
Kristen non-Yahudi atau tidak. Ketika menghadapi persoalan ini, para rasul
mengadakan pertemuan di Yerusalem dan menghasilkan sebuah keputusan
bahwa orang-orang Kristen non-Yahudi tidak diwajibkan untuk melaksanakan
adat istiadat Yahudi ( Kisah Para Rasul 15). Dengan keputusan itu perpecahan
gereja dapat dihindari dan gerakan keesaan mulai menunjukan fungsinya.
(Yuliana Tacoh).
45
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Dalam perjalanannya pada perkembangan gereja, perpecahan antara
golongan tidak dapat dihindari. Pemicu perpecahan tersebut seperti perbedaan
pandangan atas sebuah persoalan dan perbedaan tafsiran atas sebuah teks.
Pada abad pertama, sudah lahir berbagai aliran di dalam gereja. Momentum
ini terus hidup dan berkembang di sepanjang abad pertengahan hingga pada
zaman reformasi. Dari situlah maka sekarang ini kita dapat menemukan
adanya berbagai aliran dan organisasi gereja di seluruh dunia. Secara garis
besar, ada tiga golongan atau aliran gereja di dunia yakni Gereja Ortodoks
Timur, Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Protestan.
Menjelang akhir abad ke-19 tumbuh kesadaran oikumenis di kalangan
mahasiswadan pemuda gereja. Pada tahun 1844 mereka mendirikan sebuah
organisasi oikumenis dengan nama “Young Men’s Christian Association”
(YMCA) yang kemudian disusul dengan Young Women’s Christian Association
(YWCA) pada tahun 1855. Kedua organisasi gerakan keesaan ini kemudian
menginspirasi lahirnya World Federation of Christian Students pada tahun 1895.
Semangat gerakan keesaan yang dipelopori mahasiwa dan pemuda menuai
respon yang positif dari para pemimpin gereja. Tahun 1910 para pemimpin
gereja menyadari, kendati organisasi dan ajarannya berbeda satu sama lain,
pada hakekatnya sebagai gereja Yesus Kristus adalah satu. Berdasarkan hal itu
maka diadakan konferensi oikumenis pertama di Kota Edinburgh. Peristiwa
tersebut menjadi salah satu momentum utama bagi gereja di dalam gerakan
keesaannya di zaman modern.
Hasil dari konferensi Edinburgh menjadi modal semangat untuk
mendekatkan diri kembali antara satu sama lain sebagai gereja Yesus Kristus,
agar tugas pelayanan dan kesaksian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Salah satu pelopor dari gerakan tersebut adalah Dr. John R. Mott dari World
Student Christian Federation (WSCF). Ia adalah seorang mahasiswa Cornell
46
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
University USA yang sangat aktif dalam pelayanan dan gerakan keesaan gereja.
Pada tahun 1926, ia berkunjung ke Indonesia untuk menghadiri Konggres
Pemimpin Pemuda di Bandung dan Yogyakarta. Kiprahnya tersebut cukup
menginspirasi gerakan keesaan di kalangan pemuda dan mahasiswa Kristen
Indonesia dengan semboyan Ut Omnes Unum Sint” (Yohanes 17:21). Sebagai
salah satu hasilnya dengan berdirinya Persekutuan Mahasiswa Kristen se-
Jawa pada 28 Desember 1932 di Kaliurang, Yogyakarta. Sekaligus menjadi
tunas bagi deklarasi berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia pada 9
Februari 1950.
Semangat gerakan keesaan yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa Kristen
rupanya mendorong para pemimpin gereja untuk membentuk sebuah wadah
keesaan yang dideklarasikan pada 25 Mei 1950 dan diberi nama Dewan
Gereja-gereja di Indonesia. Tujuan dari pendirian wadah gerakan keesaan
tersebut untuk mewujudkan keesaan gereja didalam persekutuan, pelayanan,
dan kesaksiannya di tengah masyarakat, bangsa dan negara kesatuan Republik
Indonesia.
C. Tantangan Mewujudkan Gerakan Keesaan Gereja
Tantangan nyata dalam upaya mewujudkan gerakan keesaan, sebagian orang
melihat bahwa Gerakan Ekumenis sebagai suatu usaha untuk menyatukan
seluruh gereja dengan mempunyai satu tata gereja, satu pengakuan iman, satu
papan nama dan satu kuasa administratif. (uniformitas). Hal ini berarti seluruh
gereja dengan berbagai latar belakang, berlainan suku, bahasa, kebudayaan
dan tradisi melebur jadi satu.
Menurut Gomar Gultom, Gerakan Ekumenis di Indonesia, antara Harapan
dan Realitas, dalam Jurnal Teologis dan Gereja berpendapat, bahwa hal ini
menyebabkan di satu pihak, orang kecewa karena menunggu sekian lama tidak
ada tanda-tanda peleburan jadi satu, gereja Kristen yang esa di Indonesia.
47
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Namun, di pihak lain ada orang yang khawatir dan takut jika seluruh gereja
harus meleburkan diri menjadi satu gereja. Hal ini berarti setiap gereja
kehilangan identitasnya. Paradigma berpikir seperti ini, membuat sebagian
gereja mengambil jarak dalam mengikuti gerakan ekumenis. Selama keputusan
bersama menguntungkan, maka akan ditaati. Jika tidak sesuai dengan selera
dan pendapat, maka akan berjalan sendiri-sendiri.
Gerakan ekumenis sebenarnya bukanlah gerakan soal menguntungkan atau
merugikan. Bukan pula tentang target tertentu untuk memenuhi porsi dari
kewajiban masing-masing gereja. Tetapi, Oikumene adalah suatu sikap iman
yang mendorong gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan
dan arah yang sama. Pada hakekatnya gereja itu sudah satu dalam Kristus,
sebagai kepala gereja serta menampakkan kesatuan gereja Yesus Kristus di
dunia.
Judo Poerwowidagdo mengelompokkan dua tantangan besar yang dihadapi
gereja-gereja dalam upaya mendorong Keesaan Gereja melalui gerakan
ekumenis, baik dalam dalam lingkup global (dunia) maupun dalam konteks
Indonesia. Dua tantangan itu antara lain, masalah teologis dan non-teologis.
3. Tantangan Gerakan Ekumenis Global
Ada sejumlah persoalan yang menghalangi dalam upaya mendorong keesaan
gereja melalui gerak ekumenis. Pertama adalah masalah teologis dan kedua
adalah masalah non-teologi.
a. Masalah Teologi
Merunut pada sejarah berdasarkan Alkitab, bahwa Gereja didirikan atas
dasar iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Seiring berjalannya waktu, banyak
bermunculan gereja-gereja baru, maka tumbuh juga berbagai ajaran teologi
48
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
atau doktrin (dogma) gereja yang berbeda-beda. Beragam ajaran dan teologi
serta dogma baru tersebut dipicu oleh perbedaan tafsiran atau interpretasi
terhadap Alkitab. Kendati, Alkitabnya sama namun penafsiran yang dilakukan
oleh gereja-gereja dalam konteks sejarah dan budaya yang berbeda-beda.
Gereja di berbagai belahan dunia tumbuh dengan bermacam-macam tradisi
yang diwariskan kepada para pengikutnya atau anggota gereja. Kehidupan
gereja tidak hanya memberi pengaruh melainkan juga dipengaruhi oleh
kehidupan ekonomi, politik, budaya serta religius yang berbeda-beda
dimana gereja tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, maka muncul
keterpecahbelahan dan persoalan dalam gereja. Menurut Judo Poerwowidagdo,
dalam perpektif gerakan ekumenis global, maka tujuan dari gerakan itu adalah
untuk mewujudkan kesatuan dalam iman dan persekutuanekaristi antara tiga
golongan gereja yaitu Gereja Protestan, Katolik dan Orthodox.
Namun, persoalannya tidak semua Gereja Protestan tergabung dalam
Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (DGD) dan tidak semua Gereja Katolik yang
berada di bawah keuskupan Roma (Kepemimpinan Paus yang berkedudukan
di Vatikan-Roma), dan juga tidak semua Gereja Othodox berada dalam satu
“payung” Ecumenical Patriarchate. Selain Gereja Protestan yang menjadi anggota
DGD, hampir semua Gereja Orthodox telah menjadi anggota DGD sejak
awal di tahun 1948. Selain itu, ada banyak gereja Katolik (Old Cathalic Churches)
yang juga menjadi anggota DGD, kecuali Gereja Roma Katolik tidak menjadi
anggota DGD. Gereja Roma Katolik hanya masuk di Komisi Iman dan Tata
Gereja DGD dan mempunyai wakil dan keanggotan penuh.
Persoalan utama yang dihadapi untuk mencapai tujuan keesaan ialah tidak
adanya saling pengakuan dan penerimaan dalam hal Perjamuan Kudus (Holy
Communion, Eucharist Holy Mass) antara gereja-gereja itu. Gereja Roma Katolik
secararesmi tidak mengizinkan orang untuk mengikuti/menerima Perjamuan
49
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
(Holly Mass) atau perayaan ekaristi kalau bukan merupakan anggota Gereja
Roma Katolik (RK). Demikian pun sebaliknya, Gereja Roma Katolik juga
tidak mengizinkan anggotanya untuk menerima misa atau Perjamuan Kudus
(Eucharist) dari gereja lain (Protestan atau Orthodox).
Hal serupa juga berlaku dalam Gereja Orthodox. Keadaan tersebut terjadi
karena belum ada saling pengakuan baptisan ataupun jabatan gerejawi antar
ketiga aliran utama dari gereja-gereja itu. Ada pula Gereja Protestan yang
menolak untuk melayani Perjamuan Kudus kepada anggota gereja lainnya
yang bukan sealiran (denominasi yang sama).
Selain ketiga pokok masalah teologis itu, masih ada juga berbagai persoalan
teologis lain, namun tidak terlalu penting dibandingkan dengan ketiga hal
tersebut diatas. Dalam masalah keesaan yang nyata atau visible unity, jika dilihat
dari perspektif gerakan ekumenis global, bukan berupaya untuk membentuk
satu gereja super berikut strukturnya. Keesaan tidak berarti keseragaman.
Dan tentang bentuk visible unity belum disepakati bersama. Sedangkan Diversity
atau keterbagian diakui penting. Namun, keterbagian semacam apa yang
diterima oleh gereja-gereja tersebut dan dapat mempertankan persekutuan
ekumenisnya?
b. Permasalahan Non-Teologis
Gomar Gultom berpendapat, Tidak dapat disangkal, bahwa selain masalah
teologis, ada pula masalah-masalah non-teologis yang menyebabkan berbagai
hambatan yang nyata dalam gereja-gereja secara ekumenis global. Yakni,
Sikap yang memutlakkan ajaran teologis atau doktrin/dogma gereja sendiri
dan menganggap salah ajaran teologis atau dogma/doktrin gereja lain sebaga
ajaran sesat. Tentu saja hal itu bisa menjadi “batu sandungan” utama dalam
usaha mempersatukan gereja-gereja sedunia.
50