Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
kebutuhan pemerintah dan masyarakat untuk berdialog antar-anggota gereja
dari berbagai denominasi. Kalau gereja itu tidak mengesa (bersatu) maka akan
membuat kacau Komunitas Banten danKomunitas internal gereja itu sendiri.
Kebutuhan akan gereja yang mengesa sangat penting ketika ada persoalan
bersama yang harus segera segera diatasi. Misalnya, ketika ada persoalan maka
mustahil bisa ditanyakan kepada semua gereja (lembaga gereja yang di Banten).
Begitu juga kalau ada kebutuhan, maka mustahil juga dimintakan kepada
semua gereja. Keempat, gereja itu mengesa berangkat dari realitas potensi
kemajuan cara berpikir gereja dan kemajuan kinerja Kristianitas di Banten
yang diwariskan dalam semangat untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dan kesehatan.
Selain itu, Beny juga menegaskan bahwa upaya untuk menggerakan keesaan
gereja di Banten harus mengacu pada dua unsur : Pertama, berdasarkan
konsep teologi bahwa keesaan gereja itu adalah titah, doa, dan gaya hidup
Tuhan sendiri yang terungkap dalam doa Yesus (Yohanes 17 : 23, yaitu Doa
Yesus untuk para murid – Ub Omens unum sint, supaya mereka bersatu).
Kedua, gereja harus belajar dari pengajaran Tuhan yaitu bahwa orang Kristen
percaya dan mengalami Trinitariasme di dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus
sebagai contoh konkret dari kepelbagaian yaitu bahwa Allah itu Esa. Namun,
Dia menyatakan pribadi di dalam Bapa, Anak, dan Ros Kudus. Artinya
keesaan gereja itu memungkinkan adanya kepelbagian, sesuai dengan hakekat
dan fungsinya. Jadi pengalaman tentang Allah yang trinitarianistik menjadi
dorongan bagi Gereja untuk “mengesa”. Ajaran Yesus tentang Pokok Anggur
(Yohanes 15:1-16) merupakan prinsip teologis yang mendorong keesaan
gereja di Banten. Hal yang sama juga ditekankan dalam Pengajaran Paulus.
151
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
2. Tantangan Gerakan Keesaan di Banten
Upaya untuk mewujudkan keesaan gereja di Banten tidak selalu mudah.
Beny mengakui tantangan nyata untuk mengesa dalam kehidupan menggereja
di Banten adalah egosentrisme masing-masing gereja yang terwujud dalam
bentuk fanatisme aliran. Fanatisme itu terungkap secara nyata dalam bentuk
sikap bahwa setiap lembaga gereja tidak lagi membutuhkan lembaga gereja
lain. Hal ini membuat gereja sulit untuk bersatu seperti air dan minyak.
Namun Beny melihat bahwa fanatisme dalam diri gereja itu sendiri
sebenarnya merupakan sebuah fenomena yang terus berkembang secara
dinamis sejak gereja itu hadir. Ia mengacu pada pengalaman Paulus, yang
pernah menegaskan “Aku Paulus, dia Apolos dan dua-duanya sama-sama
bekerja, Tetapi Tuhan yang memberi pertumbuhan,”. Kehadiran gereja di
tengah kepelbagian identitasnya, sebenarnya bisadiatasi kalau masing-masing
gereja bisa merendahkan hati, melakukan koreksi bersama, memantapkan
visi dan misi bersama. Tanpa evaluasi dan koreksi dirimustahil memiliki visi
keesaan gereja.
B. Peran Bimas Kristen Mendorong Keesaan Gereja
Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen di Provinsi Banten berdiri pada
tahun 2003. Pembentukan itu tidak lama setelah Banten berpisah dengan Jawa
Barat pada tahun 2000. Setelah secara definitif resmi sebagai provinsi, Kantor
Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama juga terbentuk. Kanwil Kemenag
membawahi sejumlah Bimas yang dipimpim oleh seorang Pembimas, yaitu
Bimas Kristen, Bimas Katolik, Bimas Hindu, Bimas Budha, dan Bimas Islam.
Secara struktur kepegawaian Pembinasmasuk dalam Eselon III.
Ada kondisi yang cukup memprihatinkan saat Bimas Kristen terbentuk di
Banten, selain tidak memiliki kantor juga belum dikenal oleh lembaga-lembaga
gereja yang ada di Banten. Sebab, saat itu sebagian besar lembaga-lembaga
152
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
gereja di Banten khususnya ketika membutuhkan bantuan pemerintah,
umumnya masih berhubungan dengan Bimas Kristen yang ada di Jawa Barat.
Kantor Bimas Kristen berukuran kecil, menempati ruang yang sama dan
sempitbersama dengan Bimas agama lain, yaitu Bimas Katolik, Bimas Hindu,
dan Bimas Budha. Kondisi itu berlangsung selama tiga tahun hingga 2005.
Sementara Bimas Islam menempati ruang tersendiri.
1. Tugas Mempersatukan Gereja
Salah tugas utama Bimas Kristen di Benten adalah mempersatukangereja-
gereja yang ada di sana. Walaupun, bukan pekerjaan yang tidak mudah
namun yang bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugas tersebut
adalah Pembimas. Dalam rangka untuk mendorong keesaan gereja di Banten,
tugas pertama yang dilakukan Pembimas pada saat itu adalah mensosialisasi
tentang keberadaan Bimas Kristen di Banten. Maklumlah, karena sejumlah
lembaga gereja yang ada di Banten menyangka Bimas Kristen masih berada
di Bandung, Jawa Barat.
Menurut Pdt. Benny Halim, sebelum terbentuk Bimas Kristen di Banten,
lembaga-lembaga gereja yang ada sulit berkoordinasi dengan Bimas Kristen
Jawa Barat. Hal itu terjadi karena faktor jarak yang terlalu jauh. Kondisi itu
juga dialami oleh Bimas Kristen Jawa Barat dimana Pembimas Kristen Jawa
Barat kesulitan untuk berkoordinasi dengan gereja-gereja yang ada di Cilegon,
Serang dan Tangerang.
Namun, setelah Bimas Kristen terbentuk di Banten, koordinasi dengan
sejumlah gereja secara perlahan berjalan normal. Kementerian Agama RI
melalui Direktorat Jenderal Bimas Kristen menunjuk Youke Singal sebagai
Pembimas Kristen pertama di Banten. Dalam menjalankannya sebagai
Pembimas yakni mendorong kesatuan gereja-gereja tidaklah mudah. Menurut
Benny, Youke Singal punya komitmen yang kuat dalam memotivasi gereja-
153
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
gereja. Bahkan dalam beberapa kesempatan, ia mengingatkan warga gereja soal
tanggung jawab politik orang Kristen. Pasalnya menurut pemikiran Youke,
secara kalkulatif dan kuantitatif, pembentukan sebuah partai Kristen tidak
memenuhi syarat. Karena itu, ia mengingatkan warga gereja yang ada di Banten
untuk membuat pilihan yang efektif. Selain itu, ia juga meminta agar setiap
lembaga gereja meningkatkan rasa kepedulian antara satu sama lain. Misalnya :
gereja yang sudah mapan (settle) diminta kesediaannya untuk membantu gereja
yang tengah berjuang. Kepedulian ini merupakan sebuah upaya konkret untuk
mewujudkan keesaan gereja di Banten.
Sosialisasi ke gereja-gereja tentang tugas-tugas yang akan dijalankan oleh
Pembimas memang tidak begitu mudah. Meski demikian, hal itu tidak
mengurangi semangat Pembimas dan para staf terus memperkenalkan Bimas
Kristen di Banten. Sosialisasi yang dilakukan sangat diperlukan, terutama bagi
sebagian gereja di Banten yang saat itu menganggap Bimas Kristen masih berada
di Jawa Barat. Seiring berjalannya waktu berkat kerja keras, sejumlah gereja mulai
bergabung. Gereja pertama yang bergabung dengan Bimas Kristen Banten yaitu
Gereja GBI Elieser Serang. Pihak Bimas bekerjasama dengan GBI Elieser untuk
melakukan sosialisasi ke gereja-gereja lainnya. Bahkan, bisa dikatakan jika GBI
Elieser sebagai corong untuk memperkenalkan Bimas Kristen. GBI Elieser
berada dibawah pimpinan Pdt. Pandiangan yang memberikan kontribusi cukup
signifikan. Ia memberi support yang luar biasa dengan meminjamkan kursi, meja,
dan mesin ketik dan segala sesuatu yang diperlukan Bimas Kristen.
Dengan bergabungnya GBI Elieser maka keberadaan Bimas Kristen di
Banten kian dikenal luas sehingga banyak gereja yang ikut bergabung. Dengan
demikian, maka untuk segala urusan yang berhubungan dengan pemerintah
tidak perlu lagi ke Bimas Kristen di Bandung. Kendati, belum memiliki kantor
karena kondisi yang pas-pasan selama tiga tahun, pada tahun 2005 akhirnya bisa
memiliki kantor sendiri.
154
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Padawaktu itu Kanwil Kementerian Agama mendapatkan tanah hibah dari
Gubernur Banten Ratu Atut Koisiah di kawasan Palima Serang. Di atas tanah
seluas 5000 meter itu Kanwil Kementerian Agama yang membawahi lima
Bimas dibangun. Meskipun kondisi ruangan saat itu belum memadai, namun
ada kegembiraan karena Bimas Kristen menempati satu ruang sendiri, dan
tidak lagi berhimpitan dengan Bimas agama lainnya.
Seiring dengan perjalanan waktu, Bimas Kristen terus melakukan banyak
pembenahan di lingkungan internal lembaga gereja dan gereja-gereja Kristen
terutama dalam hal komunikasi. Dalam usahanya mempersatukan lembaga-
lembaga yang ada di Banten tidak selalu berjalan mulus. Keegoisan masing-
masing gereja masih kerap terjadi dan merupakan persoalan yang dominan.
Meskipun begitu, fenomena tersebut tidak mematahkan semangat Pembimas
dan para stafnya untuk terus berusaha menjalin persatuan di antara lembaga
gereja sampai hari ini. Pada tahun 2013 Pembimas Banten, Youke Singal
memasuki masa pensiun dan digantikan oleh Nani J. Siahaan yang akan
memimpin sampai dengan tahun 2019.
Tidak jauh berbeda dengan kepemimpinan sebelumnya, Nani J. Siahaan juga
terus melakukan perbaikan baik dari segi internal maupun organisasi gereja.
Hal itu disebabkan masih ada lembaga-lembaga gereja yang semuanya belum
bersedia menyatu saat harus berurusan dengan pemerintah, terutama yang
menyangkut kepentingan seluruh gereja di Banten. Sudah barang tentu, tugas
Bimas Kristen tidak mengatur kondisi internal masing-masing lembaga gereja
sebab mereka telah memiliki aturannya sendiri. Namun, sebagai pembimbing
dan penyuluh menjadi salah satu tugas utama Pembimas Provinsi yakni
menyatukan lembaga gereja dan menjaga kekompakan yang ada.
Pada saat itu pembenahan harus dilakukan sesegera mungkin, karena
pemerintah Provinsi Banten menginginkan agar lembaga atau organisasi
gereja di Banten memiliki wadah lokal atau forum bersama yang mewakili
155
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
semua kepentingan jemaat gereja di sana. Wadah lokal tersebut sama sekali
tidak berkaitan dengan lembaga aras. Melainkan lebih sebagai sarana yang
menyatukan kepentingan gereja saat berhubungan dengan pemerintah
Provinsi Banten. Hal itu dianggap perlu jika mengingat hubungan antar
lembaga sampai saat ini masih mengalami pasang surut.
2. Mendorong Keesaan Gereja
Tentang tugas Bimas Kristen yang mencoba untuk mendorong keesaan
gereja-gereja di Banten, Dr. A.M Romly selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) Provinsi Banten mengaku, bahwa tugas Bimas Kristen memang tidak
mudah. Terlebih lagi, Pembimas Kristen mempunyai pekerjaan rumah besar
untuk meyakinkan lembaga-lembaga gereja di Banten untuk bersatu. Namun,
ia optimis bahwa tugas untuk merangkul semua gereja akan tetap berjalan
dengan baik seiring dengan perjalanan waktu. Ia melihat Pembimas Kristen
dari periode ke periode sudah melakukan kerja keras dan sudah banyak
lembaga gereja memahami pentingnya gerakan keesaan.
Romly menambahkan, salah satu tantangan yang dihadapi oleh Pembimas
Kristen saat ini adalah bagaimana harus bersikap sama terhadap semua gereja
yang dilayaninya dan tidak memihak kepada salah satu denominasi. Kendati,
seorang Pembimas berasal dari gereja tertentu namun harus tetap bekerja untuk
kepentingan semua gereja yang berada di bawah naungan Bimas Kristen. Ia melihat
bahwa hingga saat ini Pembimas telah memberikan pengayoman kepada semua
gereja Kristen di Banten. Misalnya, jika ada persoalan terkait masalah penolakan
terhadap pendirian gereja atau rumah ibadat di Banten, maka Pembimas dengan
organisasi lain bergerak cepat dan langsung turun ke lapangan.
Mengenai peran Pembimas dalam mendorong keesaan gereja di Banten,
Romly menuturkan ada tiga sikap yang harus dimiliki Pembimas dan
diteladani. Pertama, memiliki semangat ekumenisme. Artinya, Pembimas
156
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
mampu mendorong gereja-gereja untuk berdialog dalam satu wadah bersama.
Kedua, seorang Pembimas harus bekerja keras. Artinya, perhatiannya terhadap
umat tidak hanya sebatas pada level gagasan, akan tetapi juga harus sampai ke
tingkat praksis sampai di akar rumput (umat). Caranya, Pembimas harus bisa
turun ke lapangan dan mendengar langsung apa yang dialami dan dikeluhkan
oleh para jemaat. Ketiga, Pembimas harus memiliki rasa kasih sayang. Artinya,
pembimas harus memberikan pelayanan untuk semua dan tidak boleh ada
diskriminatif dalam pelayanan.
Meskipun begitu, Romly melihat ada sejumlah tantangan nyata yang
dihadapi Bimas Kristen di Banten dalam mendorong keesaan gereja. Pertama,
masing-masing gereja masih mempertahankan egonya sendiri dengan melihat
diri sebagai gereja yang paling besar, sehingga tidak perlu bergabung dengan
yang lain dalam gerakan keesaan. Di sini seorang Pembimas ditantang untuk
membangun kebersamaan sebagai satu Komunitas Kristen tanpa melihat latar
belakang aliran dan doktrin. Kedua, persaingan dalam mencari umat. Umat
akan dengan mudah pindah dari gereja yang satu ke gereja lainnya, kalau tidak
mendapat pelayanan yang semestinya.Namun, ia menambahkan masalah yang
terakhir sebenarnya bukan hanya dialami oleh gereja-gereja tetapi juga umat
beragama lainnya.
C. Pembentukan Wadah dan Forum Dialog
1. Forum Ekumenis
Ketika Provisni Banten resmi berdiri tahun 2000, maka sejumlah
lembaga gereja yang sudah ada di Banten merasa perlu membentuk sebuah
forum atau wadah yang bisa mendorong keesaan gereja. Gerakan keesaan
gereja merupakan sebuah kebutuhan. Menurut Pendeta Benny, sebelum
Provinsi Banten terbentuk sesungguhnya sudah ada forum ekumenis di
157
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
tingkat kabupaten hingga kecamatan di Wilayah Banten seperti Forum
Komunikasi Kristiani Banten (FKKB) dan Forum Komunikasi Gereja
Gereja (FKGG). Keberadaan forum ekumenis tersebut menunjukkan
bahwa dinamika keesaan gereja di Banten sudah ada sebelum menjadi
provinsi tersendiri. Dengan demikian secara faktual gerakan keesaan
gereja di Banten sesungguhnya digaungkan sebelum adanya Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Banten. Dalam catatan
sejarah memang harus diakui bahwa lembaga-lembaga gereja yang berada
di bawah naungan PGI merupakan yang pertama mempelopori gerakan
keesaan gereja di Indonesia.
Namun, dalam perkembangan setelah forum ekumenis terbentuk ada
dua tantangan dalam mewujudkan keesaan gereja di Banten. Pertama,
sejumlah orang yang tergabung dalam ekumenis tersebut tidak memiliki
ketulusan dan kekuatan komitmen dalam gerakan keesaan gereja. Mereka
tergoda menggunakan forum tersebut untuk mempromosi diri, terutama
terjadi saat pesta demokrasi (pemilu dan pilkada).
Kedua, Lembaga PGIW merasa bahwa upaya untuk membentuk keesaan
gereja di Banten merupakan tanggung jawabnya. Kondisi ini cukup
membingungkan bagi lembaga-lembaga gereja lain yang tidak berafiliasi
dengan PGIW di Banten. Timbul pertanyaan apakah gerakan keesaan
gereja di Banten merupakan tanggung jawab PGIW saja atau lembaga-
lembaga gereja yang tergabung dalam forum ekumenis yang sudah ada.
2. Pembentukan Muspija
Benny berpendapat, pembentukan Muspija ketika peran FKKB dan
FKGG mulai redup sehingga masing-masing lembaga gereja mengklaim
sebagai lembaga yang merepresentasikan semua gereja di Banten. Hal
ini kerap terjadi biasanya pada saat perayaan gerejawi misalnya Natal
158
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
bersama. Hari ini PGIW merayakan Natal umat Kristen se-Banten, hari
berikutnya Gereja Injili merayakan Natal bersama. Demikian pula Gereja
Pentakosta mengadakan Natal bersama pada hari berikutnya lagi. Semua
gereja tersebut mengklaim dirinya merepresentasi seluruh gereja di Banten.
Tentu saja keadaan itu membingungkan umat Kristen, karena tidak bisa
membedakan mana lembaga atau forum yang sungguh-sungguh mewakili
semua orang Kristen di Banten.
Persoalan tersebut menyadarkan sejumlah lembaga gereja tentang
perlunya sebuah rumah bersama. Mengingat, belum ada wadah bersama
antar gereja yang mewakili kepentingan semua umat Kristen di Banten.
Berangkat dari hal itu maka Gubernur dan Kanwil Kementerian Agama
Banten, mendorong gereja-gereja untuk membentuk wadah bersama
yang mewakili semua kepentingan gereja atau umat Kristen di sana.
Pembentukan wadah yang dinilai sangat diperlukan mengingat agama
lain seperti Islam, Hindu, dan Budha telah memiliki wadah yang mewakili
kepentingan umatnya.
Dalam rangka untuk menyatukan semua gereja di Banten Pembimas
pertama, Youke Singal menganisiasi untuk membentuk Muspija
(Musyarawah Pimpinan Gereja). Muspija merupakan sebuah forum atau
wadah lokal yang menyatukan semua lembaga gereja di Banten terutama
dalam menjalin hubungan dengan Pemerintah Provinsi Banten. Sejumlah
Lembaga gereja yang bergabung di Muspija antara lain, PGPI, PGIW,
PGLII, Advent dan Baptis. Muspija ini hanya ada di Banten dan bersifat
lokal. Oleh karena itu, Muspija tidak berurusan dengan lembaga aras
gereja dan tidak mencampuri urusan internal karena setiap lembaga gereja
memiliki aturan sendiri. Wadah ini hanya bertugas merumuskan langkah-
langkah bersama dari pimpinan gereja di Banten.
159
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Dengan adanya Muspija menjadi jawaban atas keinginan Pemerintah
Provinsi Banten saat berurusan dengan pemerintah. Contohnya terasa
lebih mudah dalam menjalin kontak dengan umat Kristen. Oleh karena
itu, Kanwil Kemenag Banten terus mendorong kerukunan intern umat
beragama. Semua komunitas agama diajak untuk membangun Banten
secara bersama-sama. Sementara soal urusan organisasi keagamaan
diserahkan kepada masing-masing agama. Meskipun sudah ada Muspija
dan diakui sebagai wadah yang mewakili umat Kristen Banten, namun
pemerintah tetap mengunjungi komunitas gereja lainnya.
Salah satu tokoh yang berperan dalam mendorong terbentuknya Muspija
adalah Dr. A.M Romly, yang menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah
(Kakanwil) Kementerian Agama Provinsi Banten pada saat itu. Menurutnya,
salah satu hal yang mendorong pihaknya meminta lembaga-lembaga Gereja
Kristen membentuk wadah seperti Muspija karena ada banyak denominasi
gereja di Banten, sehingga pemerintah tidak bisa melayani gereja satu persatu.
Pemerintah melalui Kementerian Agama menghendaki agar semua Gereja
mendapat pelayanan yang penuh, sehingga tidak ada yang terlewati. Selain itu,
Romly mengakui biasanya saat menjelang hari-hari besar keagamaan seperti
Hari Natal, masing-masing komunitas (lembaga) gereja di Banten mengajukan
proposal permohonan dana kepada Gubernur sekaligus kehadirannya pada
perayaan Natal.
Saat itu Banten dipimpin oleh Gubernur Ratu Atut Chosiyah. Oleh
sebab banyaknya permintaan agar gubernur hadir dalam setiap perayaan
Natal bersama yang diselenggarakan gereja, ia kesulitan mengatur jadwal
kehadirannya. Romly menambahkan, jika permintaan tersebut tidak dilayani
maka gubernur merasa seperti tidak memberikan pelayanan penuh kepada
komunitas Kristen.
160
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Menurut Pendeta Beny Halim, sebagai wadah yang mewakili gereja-gereja
di Banten, Muspija tidak membawa satu aliran, tetapi melibatkan semua
gereja dan hanya membawa satu misi kekristenan. Muspija merupakan
sebuah wadah lokal dan tidak pernah mengambil-alih fungsi lembaga-
lembaga gereja yang ada. Oleh sebab itu sangat tidak tepat apabila ada
yang menuduh Muspija merupakan lembaga aras.Seperti yang ditegaskan
Dirjen Bimas Kristen yang menyatakan lembaga aras itu hanya ada di
lingkup nasional sedangkan lingkup daerah hanya gereja-gereja bukan aras.
Benny menambahkan, hingga saat ini Muspija hadir untuk
memperjuangkan keesaan gereja di Banten. Sehingga yang diperjuangkan
Muspija bukan kepentingan gereja tertentu, melainkan semua kepentingan
gereja yang berasal dari berbagai aliran. Oleh karena itu, ia yakin bahawa
visi dan misi terkait keesaan gereja sangat konkret ada di Muspija. Oleh
karena itu setiap anggota bisa berdialog dan bekerjasama. Dan, ini
merupakan salah satu keunikan Muspija.
Sementara itu, menurut Benny, jika ada yang mengusulkan agar Muspija
diganti dengan wadah lain yang lebih mempresentasikan semua gereja di
Banten, sesungguhnya tidak ada masalah. Usulan itu adalah hak semua
anggota gereja. Namun, ia mengingatkan bahwa wadah baru yang akan
dibentuk itu, harus lebih baik dari Muspija.
Dalam berhubungan dengan pemerintah, hingga saat ini Muspija
merupakan satu-satu forum alternatif yang diakui oleh Pemprov Banten.
Dan, sejauh ini semua anggota dapat berdialog dan mampu mengendalikan
ego masing-masing. Hal itu bisa terwujud karena mempunyai satu visi
sebagai anggota Tubuh Kristus. Jadi, meskipun banyak anggota, tetapi
kepala hanya satu yakni Yesus Kristus.
161
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
BAB 4
PENTINGNYA KESATUAN
DAN KEESAAN GEREJA
A. Analisis Data Penelitian
1. Karakteristik Data
a. Populasi, Sampel dan Waktu Penelitian
Dalam penulisan buku ini, saya pernah mengadakan sebuah penelitian.
Dengan dilatarbelakangi sebuah pertanyaan,”Bagaimana kontribusi dan peran
Bimas Kristen, Lembaga-lembaga gereja dan wadah atau forum dialog dalam
mendorong gerakan kesatuan dan keesaan gereja di lingkungan Provinsi
Banten?’’. Disini penulis mengambil sampel penelitian warga gereja yang
mempunyai kontribusi dalam mendorong gerakan Keesaan Gereja Banten
dengan rentang usia 20 hingga 60 tahun. Untuk jumlah sampel yang diambil
adalah 55 orang dan dilakukan secara acak (randon sampling) dimana penelitian
ini berlangsung dari Juli - Oktober 2020.
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer yang diperoleh dari responden dilakukan dengan menggunakan
kuesioner tertutup. Kuesioner berisi sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan
kontribusi dan peran Bimas Kristen, Lembaga-lembaga Gereja serta wadah atau
forum dialog dalam mendorong Keesaan Gereja di lingkungan Provinsi Banten.
162
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
c. Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang akan diteliti terdiri dari :
1) Variabel Keesaan Gereja (X)
2) Variabel Bimas Kristen (Y1)
3) Variabel Lembaga Gereja (Y2)
4) Variabel Forum Dialog (Y3)
Berikut ini gambar kerangka yang menjelaskan hubungan antara Bimas
Kristen, Lembaga-lembaga Gereja dan Forum Dialog (wadah) dalam upaya
mendorong Keesaan Gereja di Banten.
2. Skala Pengukuran Variabel
Skala pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala
Guttman Cross-Section (Skala Guttman Tradisional). Penggunaan Skala Guttman
tradisional dalam penelitian dapat dilakukan bila peneliti ingin mendapatkan
jawaban tegas terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan dan selalu dibuat
dalam dua pilihan yaitu “ya dan tidak”, “benar dan salah”, “positf dan negative”.
163
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Untuk menilai sebuah jawaban misalnya untuk jawaban “Positif ” atau “Ya” diberi
skor “1” sedangkan jawaban “Negatif ” atau “Tidak” diberi skor “0”.
Dengan demikian bila jawaban dari pertanyaan adalah “Setuju” atau “Ya”
diberi skor “1”, sementara “Tidak Setuju” atau “Tidak” diberi skor “0”. Bila
skor dikonversikan dalam persentase maka secara logika dapat dijabarkan
untukjawaban setuju skor 1 = 1 x 100% = 100% dan tidak setuju diberi skor
0 = 0 x 100% = 0% (Sugiyono, 2014).
Namun dalam praktek hasil pengukuran Skala Guttman sering tidak
ditemukan angka presentase “0%” atau “100%”. Oleh karena itu, untuk
memudahkan pengukuran maka digunakan rentang persentase antara 0%
hingga 50%, dan 50% hingga 100%. Misalnya kalau hasil pengukuran (titik
penyesuaian) 30%, maka ditempatkan pada rentang skala 0%-50%, sedangkan
kalau hasil pengukuran 75% maka disebut “mendekati tidak, atau “mendekati
tidak setuju”. Sedangkan hasil pengukuran yang berada pada rentang 50%
hingga 100% disebut “mendekati setuju”, atau “mendekati ya”.
Tabel 1
Skor Pernyataan Skala Guttman
164
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
B. Analisa Jawaban Responden
1. Peran Bimas Kristen Dalam Mendorong Keesaan Gereja di
Banten
Tabel 2
Presentase Jawaban “Ya” dan “Tidak” Dari Responden
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 15 responden yang menjawab “Ya”
ada 74,81% responden menyatakan Bimas Kristen memiliki peran cukup
besar dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten, sedangkan yang menjawab
“Tidak” berjumlah 25,19%.
165
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Tabel 3
Tabulasi Skor Jawaban Masing-Masing Responden
166
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Keterangan :
P1 adalah Pertanyaan Pertama; P2 : Pertanyaan Kedua; P3 : Pertanyaan
Ketiga; P4 : Pertanyaan Keempat; dan P5 : Pertanyaan Kelima; P6 : Pertanyaan
Keenam; P7 : Pertanyaan Ketujuh; P8 : Pertanyaan Kedelapan; dan P9 :
Pertanyaan Kesembilan. Sedangkan, kolom nomor adalah nama responden
yang diganti dengan angka. Berdasarkan Skala Guttman yang dihitung adalah
responden yang menjawab “Ya” dengan skor “1”, sementara yang menjawab
“Tidak” skornya “0”(nol) sehingga tidak perlu dihitung jumlahnya.
167
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
2. Peran Lembaga Gereja Dalam Mendorong Keesaan Gereja di
Banten
Tabel 4
Presentase Jawaban “Ya” dan “Tidak” Dari Responden
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 20 responden yang menjawab “Ya”
peran Lembaga-lembaga Gereja mendorong Keesaan Gereja di Banten
mencapai 76,66%, sementara yang menjawab “Tidak” 23,34%.
168
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Tabel 5
Tabulasi Skor Jawaban Masing-Masing
169
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Keterangan :
P1 adalah Pertanyaan Pertama; P2: Pertanyaan Kedua; P3: Pertanyaan
Ketiga; P4: Pertanyaan Keempat; P5 : Pertanyaan Kelima; P6: Pertanyaan
Keenam; P7: Pertanyaan Ketujuh; P8: Pertanyaan Kedelapan; P9: Pertanyaan
Kesembilan; P10: Pertanyaan Kesepuluh; P11: Pertanyaan Kesebelas; P12:
Pertanyaan Keduabelas; Sedangkan kolom nomor adalah nama responden
yang diganti dengan angka. Berdasarkan Skala Guttman yang dihitung adalah
responden yang menjawab “Ya” dengan skor “1”, sementara yang menjawab
“Tidak” skornya “0” (nol) sehingga tidak perlu dihitung jumlahnya.
170
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
3. Peran Forum Dialog Dalam Mendorong Keesaan Gereja di
Banten
Tabel 6
Persentase Jawaban “Ya” dan “Tidak” Dari Responden
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 20 responden yang menjawab “Ya”
peran Forum Dialog dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten mencapai
82,22%, sementara yang menjawab “Tidak” 17,78%
171
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Tabel 7
Tabulasi Skor Jawaban Masing-Masing Responden
172
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Keterangan : P1 adalah Pertanyaan Pertama; P2 : Pertanyaan Kedua;
P3: Pertanyaan Ketiga; P4: Pertanyaan Keempat; P5: Pertanyaan Kelima; P6:
Pertanyaan Keenam; P7: Pertanyaan Ketujuh; P8: Pertanyaan Kedelapan; P9
: Pertanyaan Kesembilan. Sedangkan kolom nomor adalah nama responden
yang diganti dengan angka. Berdasarkan Skala Guttman yang dihitung adalah
responden yang menjawab “Ya” dengan skor “1”, sementara yang menjawab
“Tidak” skornya “0” (nol) sehingga tidak perlu dihitung jumlahnya.
4. Pengujian Hipotesis
1. Variabel Peran Bimas Kristen Dalam Mendorong Keesaan
Gereja di Banten
Tabel 8
Nilai Rata-Rata Jawaban Responden
173
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Untuk menguji hipotesis sejauhmana frekuensi peran Bimas Kristen
dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten, maka terlebih dahulu harus
mengetahui posisi jawaban “Ya” dalam Skala Guttman. Untuk mengetahui
posisi persentase jawaban “Ya”dari angket yang diberikan kepada responden,
maka semua jawaban “Ya” dihitung terlebih dahulu dan selanjutnya
ditempatkan dalam rentang skala persentase sebagai berikut:
Nilai Jawaban “Ya” 1
Nilai Jawaban “Tidak” 0
Dikonversikan dalam pesentase :
Jawaban “Ya” : 1 x 100% : 100%
Jawaban “Tidak” : 0 x 100% : 0% (sehingga tidak perlu dihitung)
Perhitungan Jawaban “Ya” dari angket :
Jawaban “Ya” rata-rata : 11,22/15 x 100% = 74,80%
Bentuk gambar dalam Skala Guttman sebagai berikut:
0%_______________50% _______________100%
0%_______________50%____________74,80%___________ 100%
Menurut Skala Guttman bila posisi jawaban “Ya” berada pada rentang 0%
sampai 50% maka disebut “mendekati tidak” atau “mendekati tidak setuju”.
Sementara kalau posisi “Ya” berada pada rentang 50% hingga 100%, maka
disebut “mendekati setuju” atau “mendekati “Ya”. Posisi jawaban “Ya” dalam
skala ini berada pada rentang 50% hingga 100%, yaitu 74,80%. Itu berarti
peran Bimas Kristen dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten berada
pada rentang : “mendekati setuju” atau “mendekati “Ya”. Titik penyesuaian
74,80% yang berada di atas 50% menurut Skala Guttman memberikan
gambaran tentang besarnya peran Bimas Kristen dalam mendorong Keesaan
Gereja di Banten
174
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
2. Variabel Peran Lembaga Gereja Dalam Mendorong Keesaan
Gereja di Banten
Tabel 9
Nilai Rata-Rata Jawaban Responden
Item Pertanyaan Jawaban Ya Jawaban Tidak
P1 17 3
P2 14 6
P3 17 3
P4 17 3
P5 12 8
P6 14 6
P7 17 3
P8 16 4
P9 14 6
P10 14 6
P11 16 4
P12 17 4
184 56
Jumlah
Rata-Rata 15,33 4,67
175
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Untuk menguji hipotesis sejauhmana frekuensi peran Lembaga Gereja
mendorong keesaan gereja di Banten, maka harus lebih dahulu mengetahui
posisi jawaban “Ya” dalam Skala Guttman. Untuk mengetahui posisi
persentase jawaban “Ya”dari angket yang diberikan kepada responden, maka
semua jawaban “Ya” dihitung terlebih dahulu, dan selanjutnya ditempatkan
dalam rentang skala persentase sebagai berikut:
Nilai Jawaban “Ya” 1
Nilai Jawaban “Tidak” 0
Dikonversikan dalam persentase :
Jawaban “Ya” : 1 x 100% : 100%
Jawaban “Tidak” : 0 x 100% : 0% (sehingga tidak perlu dihitung)
Perhitungan Jawaban “Ya” dari angket :
Jawaban “Ya” rata-rata : 15.33/20 x 100% = 76.65%
Bentuk gambar dalam Skala Guttman sebagai berikut :
0%______________________50% _______- ________100%
0%______________________50% 76,65____________100%
Menurut Skala Guttman bila posisi jawaban “Ya” berada pada rentang
0% sampai 50% maka disebut “mendekati tidak” atau “mendekati tidak setuju”.
Sementara kalau posisi “Ya” berada pada rentang 50% hingga 100%, maka disebut
“mendekati setuju” atau “mendekati Ya”. Posisi jawaban “Ya” dalam skala ini berada
pada rentang 50% hingga 100%, yaitu 76,65%. Itu berarti peran Lembaga Gereja
dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten berada pada rentang : “mendekati
tidak setuju” atau “mendekati tidak”. Titik penyesuaian 76,65% yang berada
di atas 50 persen menurut Skala Guttman memberikan gambaran tentang
besarnya peran Lembaga Gereja dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten.
176
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
3. Variabel Peran Forum Dialog Dalam Mendorong Keesaan Gereja
di Banten
Tabel 10
Nilai Rata-Rata Jawaban Responden
177
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Untuk menguji hipotesis sejauhmana frekuensi Peran Forum Dialog dalam
mendorong Keesaan Gereja di Banten, maka harus lebih dahulu mengetahui
posisi jawaban “Ya” dalam Skala Guttman. Untuk mengetahui posisi
persentase jawaban “Ya” dari angket yang diberikan kepada responden, maka
semua jawaban “Ya” dihitung terlebih dahulu, dan selanjutnya ditempatkan
dalam rentang skala persentase sebagai berikut:
Nilai Jawaban “Ya” 1
Nilai Jawaban “Tidak” 0
Dikonversikan dalam pesentase :
Jawaban “Ya” : 1 x 100% : 100%
Jawaban “Tidak” : 0 x 100% : 0% (sehingga tidak perlu dihitung)
Perhitungan Jawaban “Ya” dari angket :
Jawaban “Ya” rata-rata : 16,44/20 x 100% = 82,20%
Bentuk gambar dalam Skala Guttman sebagai berikut:
0%_____________________50% ____________100%
0% _________________-__-50% ________82,20__ 100%
Menurut Skala Guttman bila posisi jawaban “Ya” berada pada rentang 0%
sampai 50% maka disebut “mendekati tidak” atau “mendekati tidak setuju”.
Sementara kalau posisi “Ya” berada pada rentang 50% hingga 100%, maka
disebut “mendekati setuju” atau “mendekati “Ya”. Posisi jawaban “Ya” dalam
skala ini berada pada rentang 50% hingga 100%, yaitu 82,20%.
178
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Itu berarti peran Forum Dialog dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten
cukup besar. Titik penyesuaian 82,20% yang berada di atas 50 persenmenurut
Skala Guttman memberikan petunjuk peran signifikan Forum Dialog (dialog)
dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten.
5. Pembahasan Khusus
Dari hasil penelitian dijelaskan sangat menarik untuk dianalisis, terutama
terkait dengan variabel yang diteliti.
A. Analisis terkait Peran Bimas Kristen dalam mendorong Keesaan Gereja
di Banten. Dari hasil penelitian menggambarkan bahwa Bimas Kristen
mempunya peran yang cukup signifikan dalam mendorong Keesaan
Gereja di Banten. Hal itu dapat dilihat melalui rentang jawaban “Ya” yang
berada pada kisaran 50% hinga 100% dengan titik penyesuain 74,80%
membenarkan hipotesis bahwa Bimas Kristen telah melakukan upaya
maksimal untuk mendorong gerakan Keesaan Gereja di Banten. Sedangkan,
titik penyesuaian pada rentang 50%-100% dalam Skala Guttman disebut
“Mendekati Setuju” atau “Mendekati Ya”. Pada sub pokok bahasan tentang
Skala Pengukuran Variabel (seperti yang dipaparkan pada awal bab ini)
secara eksplisit diuraikan bahwa titik pengukuran 60% ke atas yang berada
di rentang skala 50%-100% cenderung disebut disebut “Setuju” atau
“Positif ”. Dengan mengacu pada penjelasan ini, maka titik pengukuran
74,80% menunjukkan bahwa Bimas Kristen memiliki kontribusi yang
cukup besar dalam mendorong Keesaan Gereja di Provinsi Banten.
Titik penyesuaian 74,80% ini mendukung kondisi yang terjadi di lapangan
seperti yang diuraikan dalam Bab sebelumnya dimana Pembimbing
Masyarakat atau Pembimas Kristen telah melakukan pembenahan agar
gereja-gereja yang berada dibawah naungan Pembimas Kristen bersatu.
Pengakuan tersebut sesuai dengan peran dari Bimas Kristen yang cukup
signifikan yakni untuk mendorong Keesaan Gereja yang bisa dilihat dari
jawaban responden atas sejumlah pertanyaan. Misalnya, pertanyaan terkait:
179
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
“Apakah Bimas Kristen berperan aktif dalam mendorong keesaan gereja di
Banten?” Dari 15 responden ada 12 responden atau 80% yang menjawab
“Ya”. Sementara yang menjawab “Tidak” hanya 3 reponden atau 20%.
Itu berarti pengakuan terhadap keberadaan Bimas Kristen yang berada
dibawah tanggung jawab seorang Pembimas dalam mendorong Keesaan
Gereja cukup tinggi. Pengakuan serupa juga terungkap dalam jawaban atas
pertanyaan: “Apakah anda setuju tugas penting Pembimas Kristen dalam
rangka mewujudkan Keesaaan Gereja adalah merangkul semua gereja yang
berbeda kepentingan?” Ada 13 reponden atau 86,66% dari 15 responden
yang mengakui peran Pembimas Kristen dalam merangkul gereja- gereja
Banten untuk bersatu atau mengesa.
B. Analisis terkait peran Lembaga Gereja dalam mendorong Keesaan Gereja di
Banten. Hasil penelitian menunjukkan Lembaga-Lembaga Gereja memiliki
peran yang cukup besar dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten. Hal
itu dapat dilihat dari rentang jawaban “Ya” yang berada pada kisaran 50%
hingga 100% dengan titik penyesuaian 76,65% membenarkan hipotesis
bahwa Lembaga Gereja memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam
mendorong gerakan Keesaan Gereja di Banten. Titik penyesuaian pada
rentang 50%-100% dalam Skala Guttman disebut “Mendekati Setuju”
atau “Mendekati Ya”. Pada sub pokok bahasan tentang Skala Pengukuran
Variabel (seperti yang dipaparkan pada awal bab ini) secara eksplisit
diuraikan bahwa titik pengukuran 60% ke atas yang berada di rentang skala
50%-100% cenderung disebut disebut “setuju” atau “positif ”. Dengan
mengacu pada penjelasan ini, maka titik pengukuran 76,65% memberikan
indikasi bahwa Lembaga-Lembaga Gereja mempunyai kontribusi yang
cukup besar untuk mendorong Keesaan Gereja di Banten.
Titik penyesuaian 76,65% ini mendukung kondisi yang terjadi di
lapangan. Pengakuan terkait peran signifikan Lembaga Gereja dalam
mendorong Keesaan Gereja bisa dilihat dari jawaban responden atas
180
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
sejumlah pertanyaan. Misalnya, pertanyaan terkait: “Lembaga-lembaga
gereja sebaiknya melihat Keesaan Gereja dalam konteks fungsional dan
bukan dalam konteks struktur kelembagaan!”.
Dari 20 responden ada 17 responden atau 85% yang menjawab “Ya”
sementara yang menjawab “Tidak” hanya 3 reponden atau 15%. Itu
berarti pengakuan terhadap keberadaan Lembaga-lembaga Gereja
untuk mendorong Keesaan Gereja cukup tinggi. Pengakuan serupa juga
terungkap dalam jawaban atas pertanyaan: “Apakah Lembaga-lembaga
Gereja di Banten cukup “berperan aktif dalam mendorong keesaan atau
kesatuan gereja di Banten?” Ada 16 atau 70% dari 20 responden yang
mengakui peran aktif Lembaga Gereja mendorong mendorong Keesaan
Gereja di Banten.
Meskipun mayoritas responden mengakui besarnya peran Lembaga
Gereja dalam mendorong Keesaan Gereja, namun banyak pula responden
yang mengakui kalau gerakan Keesaan Gereja di Banten tidak mudah. Hal
itu terjadi karena masih ada perbedaan persepsi soal tanggung jawab yakni
siapa yang menjadi tanggung jawab utama dalam mendorong Keesaan
Gereja di Banten.
Pernyataan ini terungkap dari jawaban responden atas pertanyaan:
“Apakah Anda setuju kalau PGWI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia
Wilayah Banten) sebagai organisasi atau lembaga gereja yang paling
representatif untuk mewakili aspirasi semua gereja di Banten terutama
dalam berhubungan dengan pihak lain, misalnya dengan pemerintah?” Dari
20 responden ada 14 atau 70% responden yang menyatakan setuju kalau
PGIW dijadikan sebagai lembaga gereja yang bertanggung jawab mewakili
kepentingan semua Lembaga Gereja lain di Banten dalam berhubungan
dengan pihak lain atau pihak ketiga. Sebaliknya, hanya ada 6 responden
atau 30% dari 20 responden yang menjawab “Tidak Setuju”.
Selain itu, responden juga mengakui bahwa tantangan untuk mendorong
Keesaan Gereja di Banten juga disebabkan kerena fanatisme terhadap
181
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
aliran atau doktrin masing- masing gereja. Hal ini terungkap dari jawaban
responden atas penyataan: “Polarisasi atau pertentangan di antara lembaga
gereja sering menjadi penghalang dalam mendorong keesaan atau kesatuan
gereja di Banten”. Ada 14 atau 70% dari 20 responden yang menjawab
“Ya” sementara yang menjawab “Tidak” hanya 6 responden atau 30%. Itu
berarti upaya untuk mendorong Keesaan Gereja di Banten membutuhkan
perjuangan yang berkesinambungan karena memang bukan perkara yang
mudah.
C. Ketiga, analisis terkait peran Forum Dialog dalam mendorong Keesaan
Gereja di Banten. Hasil penelitian menunjukkan Forum Dialog atau
wadah yang mempertemukan gereja-gereja yang berasal dari berbagai
denominasi memiliki peran penting dalam mendorong keesaan gereja
di Banten. Rentang jawaban “Ya” yang berada pada kisaran 50% hingga
100% dengan titik penyesuaian 82,20% membenarkan hipotesis bahwa
Forum Dialog antar-gereja memiliki kontribusi yang cukup signifikan
dalam mendorong gerakan Keesaan Gereja di Banten. Titik penyesuaian
pada rentang 50% - 100% dalam Skala Guttman disebut “Mendekati
Setuju” atau “Mendekati Ya”. Pada sub pokok bahasan tentang Skala
Pengukuran Variabel, secara eksplisit diuraikan bahwa titik pengukuran
60% ke atas yang berada di rentang skala 50%-100% cenderung disebut
disebut “Setuju” atau “Positif ”. Dengan mengacu pada penjelasan ini,
maka titik pengukuran 82,20% memberikan indikasi bahwa Forum Dialog
memberikan kontribusi yang cukup besar untuk mendorong Keesaan
Gereja di Banten.
Titik penyesuian 82,20% ini mendukung kondisi yang terjadi di lapangan.
Pengakuan terkait peran signifikan dari Forum Dialog dalam mendorong
Keesaan Gereja di Banten terungkap dari jawaban responden atas
sejumlah pertanyaan. Misalnya, pernyataan terkait: “Apakah forum dialog
atau wadah seperti Muspija (Musyawarah Pimpinan Gereja) mengambil
182
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
peran sebagai representasi gereja-gereja di Banten dalam berhubungan
dengan pihak lain seperti pemerintah?” Dari 20 responden ada 19 atau
95% responden yang menjawab “Ya” sementara yang menjawab “Tidak”
hanya 1 reponden atau 5%.
Itu berarti dukungan terhadap keberadaan Forum Dialog seperti Muspija
dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten sangat tinggi. Pengakuan
serupa juga bisa dilihat dari jawaban atas pertanyaan: “Apakah Muspija
berperan aktif dalam mendorong keesaan gereja di Banten?” Dari 20
responden ada 17 atau 85% responden yang mengakui peran aktif Forum
Dialog seperti Muspija dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten.
Hal serupa juga terungkap dalam jawaban atas pertanyaan: “Apakah
Muspija sebagai satu-satunya wadah alternatif yang diakui oleh pemerintah
sebagai representasi kepentingan gereja-gereja Kristen di Banten?”.
Dari 20 responden ada 16 atau 80% responden yang mengakui Muspija
sebagai wadah atau forum yang merepresentasi kepentingan gereja-gereja
di Banten. Itu berarti jawaban ini juga mengakui kontribusi signifikan
Muspija dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten.
183
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
BAB 5
EEPPIILLOOGG
Pada Bab ini peneliti menguraikan kesimpulan, saran dan rekomendasi yang
berhubungan dengan hasil penelitian. Berikut ini uraian dari masing-masing
pokok tersebut.
A. KESIMPULAN
Penulis melakukan serangkaian penelitian, maka dapat dilihat sejaumana
Bimas Kristen, Lembaga-Lembaga Gereja dan Forum Dialog berperan dalam
mendorong Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten. Dari penelitian ini
dapat ditarik tiga kesimpulan.
Pertama, melalui hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bimbingan
Masyarakat (Bimas) Kristen telah melakukan upaya maksimal dalam mendorong
gerakan Keesaan Gereja di Banten lewat sejumlah kegiatan pembenahan dengan
membangun komunikasi di antara sejumlah lembaga gereja yang berasa dari
berbagai latar belakang doktrin dan denominasi. Kesimpulan ini mengacu pada
persentase jawaban “Ya” dari responden secara keseluruhan sebesar 74,80%
yang mengakui kontribusi Bimas Kristen dalam mendorong gerakan Kesatuan
dan Keesaan Gereja di Banten. Kesimpulan ini juga diperkuat dengan jawaban
responden terkait dengan pertanyaan: “Apakah Bimas Kristen berperan aktif
dalam mendorong Kesatuan dan Keesaan gereja di Banten? Dari 15 responden
ada 12 responden atau 80% yang menjawab “Ya” sementara yang menjawab
“Tidak” hanya 3 reponden atau 20%. Itu berarti pengakuan terhadap peran
Bimas Kristen yang berada dibawah tanggung jawab seorang Pembimas dalam
mendorong Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten cukup tinggi.
184
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Kedua, hasil penelitian menunjukkan Lembaga-Lembaga Gereja memiliki
peran yang cukup signifikan dalam mendorong Kesatuan dan Keesaan
Gereja di Banten. Kesimpulan ini mengacu pada tanggapan responden
secara keseluruhan sebesar 76,65% yang mengakui peran penting Lembaga-
lembaga Gereja dalam mendukung gerakan Kesatuan dan Keesaan Gereja di
Banten. Meski demikian, ada tantangan besar yang dihadapi lembaga-lembaga
dalam mendukung gerakan kesatuan dan keesaan, terutama karena sejumlah
gereja masih fanatik dengan aliran atau doktrin dari gerejanya sendiri. Hal
ini tampaknya dari besarnya persentase pengakuan terhadap polarisasi atau
pertentangan di antara Lembaga Gereja yang menjadi faktor penghambat
mewujudkan gerakan kesatuan dan keesaan gereja di Banten. Ini terbukti
dari 20 responden ada 14 atau 70% responden mengakui adanya polarisasi
yang menghambat gerakan Keesaan Gereja di Banten. Oleh kerena itu upaya
untuk mewujudkan Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten bukanlah
perkara yang mudah.
Ketiga, Forum Dialog seperti Muspija memiliki peran signifikan dalam
mendorong gerakan Keesaan Gereja di Banten. Kesimpulan bertitik tolak
pada tingginya persentase responden yaitu sebesar 82,20% yang mengakui
peran aktif Muspija dalam mendorong Keesaan Gereja di Banten. Kesimpulan
ini juga diperkuat oleh jawaban responden atas pertanyaan: “Apakah Muspija
sebagai satu-satunya wadah alternatif yang diakui oleh pemerintah sebagai
representasi kepentingan gereja-gereja Kristen di Banten?” Dari 20 responden
ada 16 atau 80% responden yang mengakui Muspija sebagai wadah atau
forum dialog yang merepresentasi kepentingan gereja-gereja di Banten dalam
berhubungan dengan pihak ketiga seperti pemerintah. Itu berarti keberadaan
Muspija memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya mewujudkan
gerakan Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten.
185
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
B. SARAN
Berdasarakan penelitian ada tiga saran yang ditujukan kepada Pembimas
Kristen, Pimpinan Gereja, dan warga gereja atau jemaat dalam rangka
mendukung upaya mewujudkan Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten.
Pertama, mengingat pentingnya peran Bimas Kristen dalam upaya
mewujudkan gerakan Kesatuan dan Keesaan Gereja di Banten, maka Pembimas
yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugas Bimas Kristen harus bisa
membumi terutama dalam menjalankan tugas pembimbingan dan penyuluhan.
Artinya, Pembimas harus turun langsung ke lapangan ketika warga gereja di
akar rumput yang mengalami masalah pelayanan tanpa perlakuan diskriminatif.
Kedua, pemimpian gereja atau organiasi gereja harus bisa melepaskan ego
masing-masing dengan membuka diri serta bekerjasama dengan gereja lain
dalam rangka memperkuat komunitas Gereja Kristen Banten tanpa memandang
latar belakang aliran atau doktrin.
Ketiga, warga gereja atau jemaat harus mengambil peran aktif mendukung
gerakan kesatuan dan keesaaan gereja lewat kegiatan kebersaaman, baik lewat
kegiatan sosial maupun kegiatan kerohanian dalam bentuk ibadat ekumenis.
C. REKOMENDASI
Dalam rangka untuk mewujudkan gerakan kesatuan dan keesaan Gereja di
Banten, maka penulis merekomendasikan semua lembaga atau organisasi gereja
untuk terlibat dalam berbagai kegiatan kebersamaan, seperti bakti sosial, Natal
atau Paskah Bersama, sesuai dengan keahlian dan kecakapan masing-masing.
Kegiatan kebersamaan merupakan wujud nyata dari upaya untuk
menghilangkan ego dan fanatisme doktrin. Tetapi di sisi lain kebersamaan itu
juga merupakan perwujudan persaudaraan yang saling meneguhkan dan simbol
satu tubuh dengan banyak anggota dimana Kristus adalah kepalanya.
186
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
DAFTAR PUSTAKA
Eka Darmaputra, 1974. Berbeda Tapi Bersatu. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Gomar Gultom, 2015. Gerakan Ekumenis di Indonesia Antara Harapan
dan Realita
Dalam Jurrnal Teologi dan Gereja. Vol.16.No.27
J.Ch, Abineno. Gereja dan Keesaan Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Joppy Saerang. Oikumene dan Pemahamannya Menurut Alkitab.
http://www.alkitab.sabda.org/
Josef P. Widyatmadja. Yesus Wong Cilik. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Konrad Raiser. Ecumenism in Transition
Krismas Imanta Barus. Koinonia Sebagai Tatanan Hidup Keluarga Allah.
https://gkkp.or.id
Mufti Ali, Ph.D. Misionarisme di Banten Rangkasbitung. STKIP Setia Budhi
Nada Ridhoi Silitonga. Oikumenika Gereja. https://www.slideshare.net/
Nico Syukur Dister. Jakarta. Pengantar Teologi. Jakarta : BPK Gunung
Mulia.
Pengertian Gereja Yang Esa. https://gkwi.org/multimedia-archive/
Renstra. 2015-2019. Unit Kerja Ditjen Bimas Kristen.
Yosep Kristianto, dkk. Menjadi Murid Yesus. Yogyakarta : Kanisius
Yuliana Tacoh. Keesaan Gereja Dalam Perspektif Yohanes.
http://binilang22.blogspot.com/2013/09
Wawancara Dr. A.M. Romly. 2020. Tugas Pembimbing Kristen. Banten
Wawancara Pdt. Benny Halim. 2020. Perkembangan Upaya Keesaan Gereja
di Provinsi Banten.
Wawancara Mufti Ali Ph.D.2020. Tentang Perkembangan Agama Kristen
di Banten.
https://gbt.or.id/sejarah-aliran-pentakosta-di-Indonesia/
https://profilegereja.wordpress.com/denominasi-gereja/
http//religionfacts.com/Christianity/denomination/
187
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
https://tirto.id/bagaimana-calvinisme-masuk-dan-berkembang-di- Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Gereja Baptis
https://gbt.or.id/sejarah-aliran-pentakosta-di-Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Bala_Keselamatan
https://tirto.id/saksi-saksi-yehuwa-kristen-tanpa-natal-salib-alkohol-dan-neraka
https://id.wikipedia.org/wiki/Saksi-Saksi_Yehuwa
188
Kesatuan dan Keesaan Gereja di Tanah Banten
Profil Penulis
Nama : Pdt. Dr. Junit Sihombing, M.Th
Alamat : Jl. Arya Wangsakara No.1 Bugel Karawaci Tangerang Banten
Status : Menikah dengan Lisda Romulo Girsang, S.Th
Anak : Jonathan Kevin Sihombing
Pendidikan :
- Doktor dari Sekolah Tinggi Theologi (STT) Ikat, Jakarta (2021)
- Master Theologi dari IFTK Jaffray, Jakarta (2009)
- Sarjana Theologi dari Sekolah Tinggi Theologi (STT) Wesley, Jakarta (2002)
- Sarjana dari IAKJ, Jakarta (2003)
- Sekolah Menengah Atas (SMA) Methodist II Palembang – Sumatera Selatan (1998)
- Sekolah Menengah Pertama (SMP) Ilir Timur – Sumatera Selatan (1995)
- Sekolah Dasar Negeri (SDN) 250 Palembang-Sumatera Selatan (1992)
Pekerjaan :
- Kepala Bimas Kristen di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten (2019 – Sekarang)
- Penyusun Bahan Bimbingan Teknis pada Bimas Kristen (2012 – 2018)
- Pelaksana pada Bimas Kristen (2007 – 2011)
- Pegawai pada Bimas Kristen (2002 - 2004)
Penghargaan :
- Karya Satya Lencana yang diberikan oleh Presiden RI, Joko Widodo (2018)
189