Prakata
A lhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur ke
hadirat Allah swt., setelah berbulan-bulan
bergulat dengan tumpukan buku-buku dan laptop,
akhirnya buku sederhana ini berhasil penulis
rampungkan. Buku sederhana ini berjudul Apresiasi
Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya. Buku Apresiasi
Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya ini dikhususkan
untuk lingkungan sendiri, yaitu mahasiswa semester tiga
pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
i Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(FKIP) Universitas Wiralodra Indramayu.
Referensi penulisan buku Apresiasi Prosa Fiksi:
Teori dan Penerapannya ini, mengambil, merangkum,
menghimpun dari berbagai pendapat para ahli dan juga
sebagian merupakan hasil penelitian penulis sendiri.
Buku bahan ajar ini memuat delapan bab, yaitu:
(1) Prosa Fiksi; (2) Plot dan Pemplotan; (3) Tokoh dan
Penokohan; (4) Pelataran; (5) Penyudutpandangan; (6)
Tema dan Amanat; (7) Teori-teori Sastra Mutakhir; (8)
Teori Sastra Interdisipliner; (9) Penerapan Kajian Fiksi.
Buku Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan
Penerapannya ini mungkin tidak akan terwujud tanpa
dorongan, bantuan pemikiran, sumbang saran, lebih-
lebih semangat. Oleh karena itu, dengan kerendahan
hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Buku Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan
Penerapannya ini tentunya masih jauh seperti apa yang
diharapkan. Oleh karena itu penulis meminta kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk perbaikan buku
bahan ajar ini di masa mendatang. Semoga buku bahan
Imas Juidah & Eli Herlina ii
ajar yang sederhana ini dapat bermanfaat khususnya
bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Wiralodra Indramayu. Aamiin.
Indramayu, November 2020
Imas Juidah
iii Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ~ i
DAFTAR ISI ~ iv
BAB 1 PROSA FIKSI
A. Hakikat Prosa Fiksi ~ 1
B. Hakikat Apresiasi ~ 5
C. Pembedaan Fiksi ~ 9
1. Cerpen ~ 9
2. Novelet ~ 12
3. Novel ~ 13
4. Roman ~ 15
D. Novel Populer dan Novel Serius ~ 17
E. Unsur-unsur Fiksi ~ 19
1. Intrinsik dan Ekstrinsik ~ 20
2. Fakta, Tema, dan Sarana Cerita ~ 21
Imas Juidah & Eli Herlina iv
3. Cerita dan Wacana ~ 23
BAB 2 PLOT DAN PEMPLOTAN
A. Hakikat Plot dan Pemplotan ~ 25
B. Struktur Plot ~ 28
C. Kaidah Plot ~ 31
D. Jenis Plot ~ 34
BAB 3 TOKOH DAN PENOKOHAN
A. Hakikat Tokoh dan Penokohan ~ 40
B. Jenis Tokoh ~ 43
C. Cara Pelukisan Tokoh ~ 46
BAB 4 PELATARAN
A. Hakikat Latar ~ 51
B. Unsur Latar ~ 53
C. Tipe Latar ~ 55
D. Fungsi Latar ~ 56
BAB 5 PENYUDUTPANDANGAN
A. Hakikat Sudut Pandang ~ 58
B. Jenis Sudut Pandang ~ 59
v Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
C. Pentingnya Sudut Pandang ~ 65
BAB 6 TEMA
A. Hakikat Tema ~ 66
B. Jenis Tema ~ 67
C. Fungsi Tema ~ 70
D. Penafsiran Tema ~ 71
BAB 7 TEORI-TEORI SASTRA MUTAKHIR
A. Formalisme Rusia ~ 73
B. Strukturalisme ~ 81
C. Semiotika ~ 89
D. Resepsi Sastra ~ 96
E. Intertekstual ~ 106
F. Dekonstruksi ~ 111
G. Feminisme Sastra ~ 114
H. Poskolonialisme ~ 118
BAB 8 TEORI SASTRA INTERDISIPLINER
A. Sosiologi Sastra ~ 121
B. Psikologi Sastra ~ 124
C. Antropologi Sastra ~ 131
Imas Juidah & Eli Herlina vi
D. Sastra Bandingan ~ 134
E. Ekranisasi~ 137
BAB 9 PENERAPAN TEORI FEMINISME: FENOMENA
GENDER VIOLENCE TOKOH UTAMA
PEREMPUAN DALAM NOVEL DWILOGI
SLINDET KARYA KEDUNG DARMAN
ROMANSHA
A. Pendahuluan ~ 143
B. Pembahasan ~ 147
DAFTAR PUSTAKA ~ 161
RIWAYAT HIDUP ~ 164
vii Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Prosa Fiksi BAB
1
A. Hakikat Prosa Fiksi
Apa itu prosa? Kamus istilah sastra (2007: 157),
mengemukakan bahwa prosa adalah jenis karya sastra
yang dibedakan dari puisi karena tidak terikat oleh
kaidah puitika. Sedangkan menurut KBBI (2001: 899),
Prosa adalah karangan bebas (tidak terikat oleh
ikatan/kaidah seperti dalam puisi). Menurut
Nurgiyantoro (2013: 1-2), istilah prosa sebenarnya
dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia
dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam
bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap
baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin
kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas
pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra,
melainkan juga berbagai karya nonfiksi termasuk
Imas Juidah & Eli Herlina 1
penulisan berita dalam surat kabar. Namun, dalam
penulisan ini istilah dan pengertian prosa dibatasi pada
prosa sebagai salah satu genre sastra. Senada yang
disampaikan pendapat sebelumnya, Toyidin (2012:
187), mengemukakan bahwa salah satu genre karya
sastra dan kalau dibandingkan dengan puisi dan drama,
prosa lebih memiliki cerita berupa teks panjang dan
memiliki unsur-unsur tersendiri.
Fiksi, di sisi lain merupakan rekaan atau
khayalan. Secara etimologi, kata fiksi atau fiction berasal
dari bahasa Latin fictio atau fictum yang berarti,
“membentuk, membuat, mengadakan, menciptakan”
(Webster’s New Collegiate Dictionary dalam Toyidin,
2012: 188). Sementara itu, fiksi menurut Alterbernd dan
Lewis (1966), dapat diartikan sebagai “prosa naratif
yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan
mengandung kebenaran yang mendramatisasikan
hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang
mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan
pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu
dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan
tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hiburan
2 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan
manusia.” Selanjutnya, menurut Abrams (1981: 61), fiksi
menyaran pada prosa narataif, yang dalam hal ini adalah
novel dan cerpen, bahkan kemudian fiksi sering
dianggap bersinonim dengan novel.
Fiksi dengan demikian menceritakan berbagai
masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
lingkungan dan sesama juga interaksinya dengan diri
sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi
merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi
pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau
berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai
hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan
perenungan secara mendalam, perenungan terhadap
hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang
dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi
kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas
sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model”
kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang
sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni
yang berunsur estetik dominan (Nurgiyantoro, 2013: 3).
Imas Juidah & Eli Herlina 3
Oleh karena itu, bagaimanapun, fiksi merupakan
sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di
dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca
di samping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah
karya fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri
untuk memperoleh kepuasan batin. Betapa pun saratnya
pengalaman dan permasalahan kehidupan yang
ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap
merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan
bangun struktur yang koheren, dan tetap mempunyai
tujuan estetik (Wellek & Warren dalam Nurgiyantoro,
2013: 3).
Prosa fiksi dalam pengertian kesusastraan juga
disebut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau
wacana naratif (narrative discource) dalam pendekatan
struktural dan semiotik (Nurgiyantoro, 2013: 2).
Demikian, dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa prosa fiksi merupakan jenis karya
sastra yang berupa prosa, yang memiliki unsur-unsu di
dalamnya dan bersifat imajinatif (khayalan).
4 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
B. Hakikat Apresiasi
Kegiatan membaca prosa fiksi pada dasarnya
merupakan kegiatan apresiasi sastra secara langsung.
Apakah arti kata “apresisasi”? langkah-langkah apa
sajakah yang tercakup dalam kata apresiasi? Jawaban
dari pertanyaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
Secara etimologis apresiasi berasal dari dari
bahasa latin apreciatio yang berarti “mengindahkan”
atau “menghargai”. Dalam KBBI kata apresiasi
mempunyai beberapa arti diantaranya: (1) ‘Kesadaran
terhadap nilai seni dan budaya’, (2) ‘penilaian atau
penghargaan terhadap sesuatu’ (Depdiknas, 2002:63).
Secara leksikal istilah apresiasi mengacu pada
pengertian pemahaman dan pengenalan yang tepat,
pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang
memberikan penilaian (Hornby, 1973). Secara harfiah
apresiasi adalah memahami, menikmati, dan menghargai
atau menilai. Dalam hubungan dengan kegiatan
membaca karya sastra, jelas bahwa seorang pembaca
Imas Juidah & Eli Herlina 5
tidak akan dapat menikmati karya itu sebelum ia
memahami dan juga merasakan apa yang terkandung
dalam karya sastra sastra itu sendiri. Demikian juga
halnya dengan penghargaan dan penilaian; seorang
pembaca tidak akan dapat menghargai atau memberi
penilaian terhadap mutu suatu karya sastra tanpa
terlebih dulu ia memahami, menikmati, atau tidak
menikmatinya.
Selanjutnya, dalam kamus istilah sastra
Indonesia, apresiasi berarti penghargaan. Apresiasi
sastra berarti penghargaan terhadap karya sastra.
Penghargaan dalam konteks apresiasi adalah
penghargaan yang timbul atas dasar kesadaran dan
pemahaman nilai-nilai karya sastra (Tusthi, 1991:24).
Pengertian yang sejalan juga diungkapkan oleh Effendi
bahwa apresiasi adalah menggauli cipta sastra dengan
sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap cipta sastra (2002: 6).
Pendapat Effendi tersebut dapat disimpulkan bahwa
kegiatan apresiasi merupakan sebuah kebutuhan yang
mampu memuaskan rohanimya.
6 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk
memahami karya sastra paling tidak meliputi tiga hal,
yaitu interpretasi tau penafsiran, analisis atau
penguraian, dan evaluasi atau penilaian (Simatupang
1980; Pradopo 1982). Berikut penjelasan langkah-
langkah apresiasi.
Penafsiran adalah upaya memahami karya sastra
dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat
karya sastra itu sendiri. Dalam hubungan ini, Abrams
membedakan tafsiran menjadi dua hal, yaitu dalam arti
sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit,
penafsiran merupakan upaya untuk memperjelas arti
bahasa dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar.
Lazimnya penafsiran difokuskan pada kegelapan,
ambiguitas, atau kiasan-kiasan. Dalam arti luas,
penafsiran atau menafsirkan ialah membuat jelas arti
karya sastra yang bermediakan bahasa itu, yaitu
meliputi struktur karya sastra seperti tema, plot, tokoh,
dan lain sebagainya (Sayuti, 2017: 52).
Analisis ialah pengguraian karya sastra atas
bagian-bagian atau norma-normanya. Analisis fiksi
meliputi analisis terhadap semua elemen pembangun
Imas Juidah & Eli Herlina 7
fiksi, yang mencakup fakta cerita dan sarana cerita.
Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. Sedangkan,
sarana cerita meliputi hal-hal yang dimanfaatkan oleh
pengarang dalam memilih dan menata detail-detail
cerita sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti
unsur judul, sudut pandang, gaya dan nada, dan
sebagainya. Penafsiran dan analisis memungkinkan
pembaca untuk memberikan penilaian kepada karya
sastra secara tepat sesuai dengan hakikatnya (Sayuti,
2017: 53).
Penilaian adalah usaha menemukan kadar
keberhasilan atau keindahan suatu karya sastra. Dengan
adanya penilaian dimungkinkan untuk membuat
pemilihan antarkarya sastra yang baik dan yang jelek,
yang berhasil dan yang gagal, yang bermutu tinggi,
sedang, rendah. Jika penilaian dapat dilakukan sebaik-
baiknya, penghargaan kepada karya sastra pun dapat
dilakukan secara wajar dan sepantasnya. Untuk itu,
diperlukan suatu kriteria, yakni kriteria keindahan atau
keberhasilan suatu karya sastra . pembicaraan mengenai
penilaian ini membutuhkan wawasan estetika (Sayuti,
2017: 54).
8 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
C. Pembedaan Fiksi
Istilah dan pengertian fiksi dalam penulisan ini
dibatasi pada karya yang berbentuk prosa, prosa naratif,
atau teks naratif (narrative text). Dengan demikian,
karya fiksi dalam hal ini menunjuk pada karya yang
berwujud cerpen, novelet, novel, dan roman. Pada
bagian ini akan dibicarakan beberapa perbeedaan antara
subgenre prosa fiksi tersebut secara garis besar.
1. Cerpen
Cerita pendek atau yang biasa disingkat menjadi
cerpen merupakan ekspresi pikiran pengarang yang
menggunakan media bahasa. Apa yang digambarkan
dalam sebuah cerpen merupakan rekaan pengarangnya,
bukan kejadian yang sebenarnya. Akan tetapi, tidak
mustahil pengarang mengambil ide ceritanya dari
peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam hal ini riwayat penulisan cerpen di
Indonesia pada awal 1910-an, yaitu ketika
Imas Juidah & Eli Herlina 9
dikenalkannya cerita-cerita yang pendek dan lucu yang
ditulis oleh M. Kasim bersama Suman Hs. Cerpen
“Bertengkar Berbisik” (1929) karya M. Kasim dianggap
sebagai cerpen pertama di Indonesia, sedangkan “Teman
Duduk” (Balai Pustaka, 1936) karya M. Kasim juga
dianggap sebagai kumpulan cerpen pertama dalam
sastra Indonesia.
Menurut Sumardjo dalam Toyidin (2012: 223),
cerpen ialah cerita yang pendek. Pendek di sini berarti
cerita yang habis dibaca sekitar 10 menit, atau sekitar
setengah jam. Cerita yang dapat dibaca sekali duduk.
Atau cerita yang terdiri dari 500 hingga 5000 kata.
Bahkan ada pula cerpen yang berisikan beberapa puluh
dan ribuan kata, itulah yang dikatakan cerpen yang
panjang. Pada umumnya cerpen-cerpen Indonesia
berisikan 5-4 lembar folio dengan maksimal 20 lembar
folio yang menggunakan spasi rangkap.
Senada yang disampaikan pendapat sebelumnya,
Ajip Rosidi dalam Tarigan (2011: 180), mengemukakan
bahwa cerpen atau cerita pendek adalah cerita yang
pendek dan merupakan suatu kubalatan ide yang
lengkap, bulat, dan singkat. Semua bagian dari sebuah
10 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
cerpen harus terikat pada suatu kesatuan jiwa: pendek,
padat, dan lengkap. Dari beberapa pendapat yang
dikemukakan di atas bahwa cerpen ialah cerita pendek
yang dibaca sekali duduk yang artinya tidak
memerlukan waktu yang lama antara setengah sampai
dua jam, yang terdiri dari 500 hingga 5000 kata, dan
merupakan suatu kebulatan ide yang lengkap dan
singkat.
Sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang
diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal yang
memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Selain itu,
watak tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara
penuh. Tokoh dalam cerpen biasanya langsung
ditunjukkan karakternya. Selanjutnya, dimensi waktu
dalam cerpen juga cenderung terbatas walaupun
dijumpai juga cerpen-cerpen yang menunjukkan dimensi
waktu yang relatif luas. Ringkasnya, cerpen
menunjukkan kualitas yang bersifat pemadatan
(compression), pemusatan (concenstration), dan
pendalaman (intensity) yang semuanya berkaitan
dengan panjang cerita dan kualitas struktural yang
Imas Juidah & Eli Herlina 11
diisyaratkan oleh panjang cerita tersebut (Sayuti, 2017:
56).
2. Novelet
Kata Novellette diturunkan dari kata novel
ditambah dengan suffiks-ette yang berarti “kecil”.
Dengan singkat Novelette merupakan “novel kecil” atau
sebuah karya fiksi yang cukup panjang, tidak terlalu
panjang, tidak pula terlalu pendek. Menurut
Nurgiyantoro (2013: 12) Novelet adalah karya sastra
yang lebih pendek daripada novel, tetapi lebih panjang
dari pada cerpen, katakanlah pertengahan diantara
keduanya. Menurut Tarigan (2011: 178) Novelet jika
ditinjau dari segi jumlah katanya yakni berkisar antara
10.000 – 35.000 kata; minimal 10.000 kata, maksimal
35.000 kata. Sedangkan menurut Sumardjo dan Saini
(1988: 31) novelet adalah cerita berbentuk prosa yang
panjangnya antara novel dan cerita pendek yang ukuran
tebalnya sekitar 60 sampai 100 halaman. Misalnya
contoh dari novelet Indonesia adalah karya Mira W. yang
berjudul Sematkan Rinduku di Dadamu, Pudarnya Pesona
Cleao Patra karya Habiburrahman El-Shirazy.
12 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
3. Novel
Hampir berkebalikan dengan cerpen yang
bersifat padat, novel cenderung bersifat luas. Jika cerpen
lebih mengutamakan intensitas, novel yang baik
cenderung menitikberatkan munculnya kompleksitas.
Novel dari bahasa Italia Novella yang berarti ‘sebuah
barang baru yang kecil’. Novel juga bisa dikatakan
sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia
yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia
imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur
intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh dan
penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain yang
kesemuanya tentu saja, juga bersifat imajinatif
(Nurgiyantoro, 2013: 5). Selain bersifat imajinatif tentu
saja sastra harus bersifat menarik, sastra harus memiliki
struktur dan tujuan estetis, koherensi dan efek tertentu
(Wellek dan Warren, 2014: 254). Sedangkan menurut
Sumardjo dan Saini (1988: 29), menjelaskan bahwa
novel secara arti luas adalah cerita berbentuk prosa
dalam ukuran luas. Ukuran yang luas di sini dapat
berarti cerita dangan plot (alur), tema, yang kompleks,
Imas Juidah & Eli Herlina 13
karakter yang banyak, dan suasana serta setting yang
beragam.
Sebuah novel jelas tidak dapat selesai dibaca
dalam sekali duduk. Karena panjangnya, sebuah novel
secara khusus memiliki peluang yang cukup untuk
mempermasalahkan karakter tokoh dalam sebuah
perjalanan waktu dan kronologi. Novel juga
memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar
mengenai tempat (ruang) tertentu. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika posisi manusia dalam
masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu
menarik perhatian para novelis (Sayuti, 2017: 57).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa novel merupakan sebuah karangan
imajinatif dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya
seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar,
sudut pandang yang mengisahkan peristiwa dengan
permasalahan yang sangat kompleks dari tokoh-
tokohnya yang diadaptasi dari kehidupan nyata. Berikut
contoh-contoh novel yaitu Amba karya Laksmi
Pamuntjak, Pulang karya Leila S. Chudori, Telembuk
karya Kedung Darma Romansha, Laskar Pelangi karya
14 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Andrea Hirata, Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi, dan
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan lain
sebagainya.
4. Roman
Roman masuk ke Indonesia lewat kesusastraan
Belanda pada abad ke-19. Roman yang masuk ke
Indonesia kabur pengertiannya dengan novel. Namun,
pada dasarnya baik novel maupun roman menceritakan
hal luar biasa yang terjadi dalam kehidupan manusia
sehingga jalan hidup tokoh cerita yang ditampilkan
dapat berubah. Jassin (dalam Nurgiyantoro)
berpendapat bahwa roman yakni cerita prosa yang
melukiskan pengalaman batin dari beberapa orang yang
berhubungan satu dengan yang lain dalam suatu
keadaan. Pengertian itu mungkin ditambah lagi dengan
‘menceritakan tokoh sejak dari ayunan sampai ke kubur’
dan ‘lebih banyak melukiskan seluruh kehidupan pelaku,
mendalami sifat watak, dan melukiskan sekitar tempat
hidup pelaku roman’ (Nurgiantoro, 2013 :15-16).
Pengertian roman yang hampir mirip dengan
pengertian roman di atas diajukan oleh Surana
Imas Juidah & Eli Herlina 15
(1983:25) yang mendefinisikan roman sebagai karangan
yang menceritakan kehidupan manusia dengan suka dan
duka. Biasanya menceritakan kehidupan-kehidupan
pelakunya sejak kecil hingga meninggal. Sedangkan
menurut KBBI Pusat Bahasa, roman adalah karangan
prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut
watak dan isi jiwa masing-masing, pengertian roman ini
pun ditambahkan dengan lebih banyak membawa sifat-
sifat zamannya daripada drama atau puisi. Terdapat
perbedaan tentang penafsiran antara roman Jerman dan
roman Indonesia.
Dilihat dari sudut isinya, roman Jerman dapat
dipadankan dengan novel Indonesia karena isinya hanya
memuat tentang peristiwa-peristiwa spesial atau
penting dalam kehidupan tokohnya yang dialami dalam
suatu waktu saja, sedangkan roman Indonesia berisikan
tentang riwayat hidup seseorang (tokoh utama) dari
masa kecil hingga ia dewasa atau sampai ia meninggal.
Dari pernyataan tentang arti dan isi roman seperti yang
disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa roman
adalah sebuah karya saatra yang menceritakan tentang
kehidupan seseorang (tokoh utama) dari kecil hingga
16 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
dewasa, namun juga memuat peristiwa-peristiwa yang
khusus dalam perjalanan hidupnya.
D. Sastra Populer & Sastra Serius
Nurgiyantoro (2013: 19-28), mengemukakan
bahwa novel popular adalah novel yang popular pada
masanya dan banyak penggemarnya, khususnya
pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan masalah-
masalah aktual dan selalu menjaman, namun hanya
sampai tingkat permukaan. Sastra popular adalah
perekam kehidupan, dan tidak banyak
memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba
kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman
kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal
kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa
terhibur karena seseorang telah menceritakan
pengalamanya itu.
Imas Juidah & Eli Herlina 17
Novel serius di pihak lain, justru ”harus”
sanggup memberikan yang serba berkemungkinan, dan
itulah sebenarnya makna sastra yang satra. Pengalaman
dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam
novel jenis ini disoroti dan diungkapkan sampai ke inti
hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel
populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati
karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita
(Stanton, 1965: 2). Berhubung novel populer lebih
mengejar selera pembaca, komersial, ia tak akan
menceritakan sesuatu yang bersifat serius sebab hal itu
dapat berarti akan berkurangnya jumlah
penggemarnya.
Masalah percintaan banyak juga diangkat ke
dalam novel serius, namun ia bukan satu-satunya
masalah yang penting dan menarik untuk diungkap,
masalah kehidupan amat komplek, bukan sekedar cinta
asmara, melainkan juga hubungan sosial, ketuhanan,
maut, takut, cemas, dan bahkan masalah cinta itu pun
dapat ditujukan terhadap berbagai hal, misalnya cinta
kepada orang tua, saudara, tanah air, dan lain-lain.
18 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Novel serius biasanya berusaha
mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara
pengucapan yang baru pula. Singkatnya: unsur kebaruan
diutamakan. Novel serius mengambil realitas kehidupan
ini sebagai model, menuntut pembaca untuk
“mengoperasikan” daya intelektualnya, pembaca
dituntut untuk ikut merekonstruksikan duduk persoalan
masalah dan hubungan antar tokoh.
Novel serius tidak bersifat mengabdi kepada
selera pembaca, dan memang, pembaca novel jenis ini
tidak (mungkin) banyak. Hal itu tidak perlu dirisaukan
benar (walau tentu saja hal itu tetap saja
memprihatinkan).
E. Unsur-unsur Fiksi
Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangun
cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja
dikreasikan oleh pengarang. Sebuah karya fiksi
Imas Juidah & Eli Herlina 19
merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan
yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, karya
fiksi mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling
berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan dan
saling menggantungkan.
1. Intrinsik dan Ekstrinsik
Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang
bersama-sama membentuk sebuah totalitas, dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic)
adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri, unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang
secara faktual akan dijumpai ketika seseorang membaca
karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-
unsur yang secara langsung turut serta membangun
cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah
yang membuat sebuah novel berwujud. Atau, sebaliknya,
jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur cerita inilah
yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel.
Unsur yang dimaksud yaitu, peristiwa, cerita, plot,
20 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, gaya
bahasa, dan lain sebagainya (Nurgiyantoro, 2013: 23).
Unsur ekstrinsik (extrinsic) dipihak lain, adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi
secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra. Dengan kata lain, unsur-
unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya
sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.
Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh
terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan.
Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik
juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang
dimaksud antara lain yaitu keadaan subjektivitas
individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan
pandangan hidup yang kesemuanya itu akan
memengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur
biografi pengarang akan turut menentukan corak karya
yang dihasilkan. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah
psikologi, baik psikologi pengarang, psikologi pembaca,
maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya.
Keadaan lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik,
Imas Juidah & Eli Herlina 21
dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra
(Nurgiyantoro, 2013: 23-24).
2. Fakta, Tema, dan Sarana Cerita
Stanton membedakan unsur pembangun sebuah
novel ke dalam tiga bagian yaitu fakta, tema, dan sarana
cerita. Fakta (fact) dalam sebuah cerita meliputi
karakter (tokoh cerita), plot, dan setting. Ketiganya
merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat
dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam sebuah
novel. Oleh karena itu, ketiganya dapat pula disebut
sebagai struktur faktual (factual structure) atau derajat
faktual (factual structure) sebuah cerita. Ketiga unsur
tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan dalam
rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri. Tema adalah sesuatu yang menjadi
dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih,
rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal
tertentu, tema dapat disinonimkan dengan ide atau
tujuan utama cerita.
Sarana cerita adalah teknik yang digunakan oleh
pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail
22 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
cerita menjadi pola yang bermakna. Tujuan penggunaan
sarana kesastraan adalah untuk memungkinkan
pembaca melihat fakta sebagaimana yang ditafsirkan
pengarang, menafsirkan makna fakta sebagaimana yang
ditafsirkan pengarang, dan merasakan pengalaman
seperti yang dirasakan pengarang. Sarana cerita yang
dimaksud antara lain berupa sudut pandang
penceritaan, gaya bahasa dan nada, simbolisme, dan
ironi (Nurgiyantoro, 2013: 25).
3. Cerita dan Wacana
Menurut pandangan strukturalisme, unsur fiksi
dapat dibedakan ke dalam unsur cerita dan wacana.
Cerita merupakan isi dari ekspresi naratif, sedang
wacana merupakan bentuk dari sesuatu (cerita, isi) yang
diekspresikan. Cerita terdiri dari peristiwa dan wujud
keberadaannya atau eksistensinya. Peristiwa itu sendiri
dapat berupa tindakan, aksi, dan kejadian. Wujud
eksistensinya terdiri dari tokoh dan unsur-unsur latar.
Wacana di pihak lain, merupakan sarana untuk
mengungkapkan isi. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa unsur cerita adalah apa yang ingin dilukiskan
dalam teks naratif, sedang wacana adalah bagaimana
Imas Juidah & Eli Herlina 23
cara melukiskannya (Chatman dalam Nurgiyantoro,
2013: 26).
24 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Plot dan Pemplotan BAB
2
A. Hakikat Plot dan Pemplotan
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan
tak sedikit orang yang menganggap plot sebagai yang
terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain.
Secara umum, plot merupakan cerita yang berisi urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain
(Stanton, 2012: 26). Menurut Kosasih (2014: 63), plot
merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk
oleh hubungan sebab akibat. Forster dalam
Nurgiyantoro (2013: 167), berpendapat bahwa plot
merupakan peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai
Imas Juidah & Eli Herlina 25
penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Senada
dengan pendapat sebelumnya menurut Nurgiyantoro
(2013: 167), plot adalah urutan cerita yang terjadi atau
peristiwa yang selalu berdasarkan sebab akibat.
Selanjutnya, menurut Kenny (1966: 14) mengemukakan
plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan
dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena
pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab akibat.
Plot sebagai salah satu unsur fiksi memiliki tiga
unsur penting dalam pengembangan sebuah plot cerita..
Eksistensi plot itu sendiri sangat ditentukan oleh ketiga
unsur tersebut. Ketiga unsur tersebut yaitu peristiwa,
konflik, dan klimaks. Peristiwa adalah peralihan dari
suatu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dalam
Nurgiyantoro, 2013: 173). Berkaitan tentang pengertian
peristiwa Luxemburg dalam Nurgiyantoro (2013: 174-
175) mengategorikan peristiwa menjadi tiga yaitu
peristiwa fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa
acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa
yang menentukan dan atau memengaruhi
26 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
perkembangan plot. Peristiwa kaitan adalah peristiwa-
peristiwa yang berfungsi mengaitkan peristiwa-
peristiwa penting dalam pengurutan penyajian cerita
atau secara plot. Peristiwa acuan adalah peristiwa yang
tidak secara langsung berpengaruh dan atau
berhubungan dengan pengembangan plot, melainkan
mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan
dengan masalah perwatakan atau suasana yang
melingkupi batin seorang tokoh. Sedangkan, Ronald
Barthes dalam Nurgiyantoro (2013: 176)
mengategorikan peristiwa menjadi dua yaitu peristiwa
utama (peristiwa mayor) dan peristiwa pekengkap
(peristiwa minor). Dan istilah lain juga dikemukakan
oleh Chatman dalam Nurgiyantoro (2013: 177) dalam
mendefinisikan peristiwa menyebutkan bahwa
peristiwa utama itu sebagai kernel (kernels), sedangkan
peristiwa pelengkap sebagai satelit (satelits).
Konflik merupakan unsur yang esensial dalam
pengembangan plot sebuah fiksi, baik dari wujud dan isi
konflik, kualitas konflik, dan bangunan konflik yang
ditampilkan. Menurut Meredith dan Fitzgerald dalam
Imas Juidah & Eli Herlina 27
Nurgiyantoro (2013: 179) menjelaskan bahwa konflik
adalah sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang
terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, ia
(mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa
dirinya. Klimaks adalah saat konflik telat mencapai
tingkat intensitas tertinggi dan saat (hal) itu merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari terjadinya (Stanton
dalam Nurgiyantoro, 2013: 184).
B. Struktur Plot
Struktur plot sebuah karya fiksi secara umum
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu awal,
tengah, akhir. Aristoteles dalam Nurgiyantoro (2013:
201-205), mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah
terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah
(middle), dan tahap akhir (end). Tahap Awal
merupakan tahap pada sebuah cerita yang biasanya
disebut perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya
28 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan
dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-
tahap berikutnya. Tahap Tengah merupakan tahap
cerita yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian
menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah
mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi
semakin meningkat, semakin menegangkan. Tahap
akhir merupakan tahap cerita yang dapat juga disebut
tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai
akibat klimaks. Jadi, bagian ini misalnya berisi
kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal
bagaimanakah akhir sebuah cerita.
Sementara itu, Menurut Tasrif dalam
Nurgiyantoro (2013: 209-210), menjelaskan tahapan
plot menjadi lima bagian. Tahap Penyituasian
(Situation) adalah tahap yang berisi pelukisan dan
pengenalan latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan
tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal dan
lain-lain. Tahap Pemunculan Konflik (Generating
Circumstances) yaitu suatu tahap di mana masalah-
masalah dan peristiwa yang menyangkut terjadinya
Imas Juidah & Eli Herlina 29
konflik itu akan berkembang dan atau dikembangkan
menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. Tahap
Peningkatan Konflik (Rising Action) adalah tahap
konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya
semakin berkembang dan dikembangkan kadar
intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita makin mencekam dan menegangkan.
Konflik terjadi secara internal, eksternal, ataupun
keduanya antara kepentingannya masalah dan tokoh
yang mengarah ke klimaks semakin tidak dapat
dihindari. Tahap Klimaks (Climax) yaitu suatu tahap
konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi,
yang dijalankan dan atau ditampilkan para tokoh cerita
mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita
akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berperan
sebagai pelaku dan penderita menjadi konflik utama.
Tahap Penyelesaian (Denouement) adalah tahap
konflik telah mencapai klimaks diberi penyelesaian,
ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik lain, sub
konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada, juga
diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
30 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
C. Kaidah Plot
Menurut Kenny dalam Nurgiyantoro (2013: 188),
mengemukakan bahwa kaidah-kaidah pemplotan yaitu
plausibilitas (plausibility), kejutan (surprise), rasa ingin
tahu (suspense), kesatupaduan (unity).
1. Plausibilitas (plausibility)
Plausibilitas menunjuk pada pengertian suatu hal
yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita.
Plausibilitas mungkin dikaitkan dengan realitas
kehidupan, sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata.
Jadi, sebuah cerita yang mencerminkan realitas
kehidupan sesuai atau tidak bertentangan dengan sifat-
sifat dalam kehidupan faktual atau dapat diterima
secara akal dan tentu saja dengan menggunakan kriteria
realitas. Stanton dalam Nurgiyantoro (2013: 189), juga
mengemukakan sebuah cerita dikatakan memiliki sifat
plausible jika tokoh-tokoh cerita dan dunianya dapat
diimajinasi dan jika para tokoh serta dunianya tersebut
Imas Juidah & Eli Herlina 31
serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan mungkin
saja dapat terjadi.
2. Rasa Ingin Tahu (Suspense)
Sebuah cerita yang baik pasti memiliki kadar
suspense yang tinggi dan terjaga. Atau lebih tepatnya,
mampu membangkitkan suspense, membangkitkan rasa
ingin tahu di hati pembaca. Suspense menunjuk pada
adanya perasaan semacam kurang pasti terhadap
peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya yang
menimpa tokoh yang diberi simpati oleh pembaca
(Abrams dalam Nurgiyantoro, 2013: 193). Atau,
menunjuk pada adanya harapan yang belum pasti pada
pasti pembaca terhadap akhir sebuah cerita (Kenny
dalam Nurgiyantoro, 2013: 193). Istilah di dalam
suspense ada juga yang dinamakan foreshadowing, jika
suspense dipandang mampu memotivasi, menarik, dan
mengikat pembaca, ia haruslah dijaga terus menerus
“keberadaannya” dalam sebuah cerita.
3. Kejutan (surprise);
Plot sebuah cerita yang menarik, di samping
mampu membangkitkan suspense, rasa ingin tahu
32 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
pembaca, juga mampu memberikan surprise, kejutan,
sesuatu yang bersifat mengejutkan. Menurut Abrams
dalam Nurgiyantoro (2013: 195), plot sebuah cerita fiksi
dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang
dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan
menyimpang atau bahkan bertentangan dengan
harapan kita sebagai pembaca.
4. Kepaduan (unity)
Plot sebuah karya fiksi selain mengandung
palusibilitas, suspense, dan surprise haruslah dituntut
memiliki sebuah kesatupaduan atau keutuhan (unity).
Kesatupaduan menunjuk pada pengertian bahwa
berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-
peristiwa dan konflik, serta seluruh pengalaman
kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki
keterkaitan satu dengan yang lain.
Imas Juidah & Eli Herlina 33
D. Jenis Plot
Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis
yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau
kriteria yang berbeda pula. Jenis plot menurut
Nurgiyantoro (2013: 153-163) dapat dikategorikan
berdasarkan kriteria urutan waktu, jumlah,
kepadatan, dan isi.
1. Plot Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu
Nurgiyantoro (2013: 213-215), membedakan
alur berdasarkan urutan waktu menjadi tiga jenis, yaitu
sebagai berikut.
a. Plot Lurus, Maju, atau Progresif
Plot lurus, maju, atau progresif merupakan
alurnya peristiwa-peristiwa yang dikisahkan yang
bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama
diikuti oleh peristiwa-peristiwa kemudian. Cerita ini
diuraiakan secara urut dari tahap awal (penyituasian,
pengenalan, pemunculan konflik), tengah (konflik
34 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Apabila
diwujudkan dalam bentuk skema, sebagai berikut:
A-----B-----C-----D-----E
b. Plot Sorot Balik, Mundur, atau Flash-back
Plot sorot balik, mundur, atau Flash-back tidak
memulai cerita dari tahap awal, melainkan dari tahap
tengah atau bahkan dari tahap akhir, baru kemudian
tahap awal cerita dikisahkan. Plot ini langsung
menyuguhkan adegan-adegan konflik, padahal pembaca
belum mengetahui permasalahan yang menyebabkan
terjadinya konflik. Plot yang menghadapkan langsung
pembaca pada adegan-adegan konflik yang telah
meninggi, langsung menerjunkan pembaca ke tengah
pusaran pertentangan, disebut plot in medias res.
Apabila diwujudkan dengan sekma, sebagai berikut:
D1-----A-----B-----C-----D2-----E
c. Plot Campuran
Plot campuran merupakan gabungan dari plot
maju dan plot mundur. Pengkategorian plot sebuah
novel lebih didasarkan pada plot yang menonjol. Oleh
karena itu, dalam plot ini cerita diuraikan secara
Imas Juidah & Eli Herlina 35
progresif namun di dalamnya terdapat adegan sorot
balik atau plot mundur. Alur atau plot merupakan salah
satu unsur yang terpenting di dalam sebuah novel.
Cerita yang menarik tentu berawal dari alur atau jalan
cerita yang menarik pula. Di dalam alur terdapat
beberapa peristiwa-peristiwa yang mampu menarik
minat pembaca terhadap novel tersebut.
2. Plot Berdasarkan Kriteria Jumlah
Nurgiyantoro (2013: 2017), mengemukakan
bahwa berdasarkan kriteria jumlah membagi menjadi
dua karya fiksi berplot tunggal dan plot paralel atau
sub-subplot. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Plot tunggal. Karya fiksi yang berplot tunggal
biasanya hanya mengembangkan sebuah cerita
dengan menampilkan seorang tokoh utama
protagonis yang sebagai pahlawan (hero). Plot
tunggal digunakan jika pengarang ingin
memfokuskan “dominasi” seorang tokoh tertentu
sebagai pahlawan (hero), atau permasalahan
tertentu yang ditokohutamai seorang tertentu pula.
36 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
b. Plot paralel atau plot sub-subplot. Sebuah karya fiksi
yang memiliki lebih dari satu baik tokoh, alur cerita,
permasalahan dan konflik yang dihadapinya.
Struktur plot tersebut memiliki plot utama (main
plot) dan plot-plot tambahan (sub-subplot).
3. Plot Berdasarkan Kriteria Kepadatan
Nurgiyantoro (2013: 219-220), mengemukakan
bahwa kriteria kepadatan dimaksudkan sebagai padat
atau tidaknya pengembangan dan perkembangan cerita
pada sebuah karya fiksi.
a. Plot Padat
Plot padat merupakan plot yang disajikan secara
cepat, peristiwa fungsional terjadi susu-menyusul
dengan cepat, hubungan antar peristiwa juga terjalin
secara erat.
b. Plot Longgar.
Plot longgat merupakan plot yang pergantian
peristiwa demi peristiwa penting (fungsional)
berlangsung lambat di samping hubungan
antarperistiwa tersebut juga tidaklah begitu erat benar.
Imas Juidah & Eli Herlina 37