The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E book ini berisi tentang materi bahan ajar APF

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2022-11-09 09:05:06

BUKU APRESIASI PROSA FIKSI

E book ini berisi tentang materi bahan ajar APF

Keywords: bahan ajar sastra,buku,apresiasi prosa fiksi

Bahkan, antar peristiwa penting yang satu dengan yang
lain sering disisipi oleh berbagai peristiwa tambahan,
atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian
latar dan suasana, yang kesemuanya itu dapat
memperlambat ketegangan cerita. Dalam kaitan ini
pengarang sengaja memanfaatkan apa yang disebut
digresi. Menurut Hartoko dan Rahmanto dalam
Nurgiyantoro (2013: 220), digresi adalah
penyimpangan dari tema pokok sekedar untuk
mempercantik cerita dengan unsur-unsur yang tidak
langsung berkaitan dengan tema.

4. Pembedaan Plot Berdasarkan Kriteria Isi
Friedman dalam Nurgiyantoro (2013: 222-223),

membedakan plot berdasarkan kriteria isi adalah
a. Plot peruntungan (plot of fortune) berhubungan

dengan cerita yang mengungkapkan nasib atau
peruntungan yang menimpa tokoh (utama) cerita
pada sebuah cerita fiksi. Plot peruntungan
dibedakan menjadi: plot gerak, plot sedih, plot tragis,

38 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

plot penghukuman, plot sentimental, dan plot
kekaguman.
b. Plot tokohan menunjuk pada adanya sifat
pementingan tokoh, ada tokoh, yang menjadi fokus
perhatian. Plot tokohan dibedakan menjadi plot
pendewasaan, plot pembentukan, plot pengujian,
dan plot kemunduran.
c. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang
menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan,
berbagai macam obsesi dan lain lain yang menjadi
masalah hidup dan kehidupan manusia. Dibedakan
menjadi plot pendidikan, plot pembukaan rahasia,
plot afektif, dan plot kekecewaan.

Imas Juidah & Eli Herlina 39

Tokoh dan Penokohan BAB
3

A. Hakikat Tokoh dan Penokohan

Istilah penokohan dan tokoh, perwatakan dan
watak atau karakterisasi dan karakter merupakan
isitilah-istilah dalam pembicaraan karya fiksi. Istilah
tokoh menunjuk pada orangnya, atau si pelaku cerita.
Watak dan perwatakan serta karakater atau juga
disebut penokohan menunjuk pada sifat dan sikap para
tokoh dalam sebuah cerita seperti yang ditafsirkan oleh
pembaca.

Nurgiyantoro (2013: 247), tokoh adalah orang
yang ditampilkan dalam sebuah cerita, sedangkan
penokohan adalah pelukisan atau gambaran yang jelas

40 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita. Hal sama juga diungkapkan Kosasih (2014: 67),
penokohan adalah cara pengarang mengggambarkan
dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh cerita.
Dalam menganalisis sebuah tokoh dapat dilihat dari tiga
dimensi, yaitu dimensi fisologis, dimensi psikologis, dan
dimensi sosial. Dimensi fisiologis dapat dilihat dari
bagaimana pengarang menggambarkan fisik tokoh.
Dimensi psikologis dapat dilihat dari bagaimana tokoh
dalam menghadapi dan memecahkan masalah. Dimensi
sosial dapat dilihat dari bagaimana hubungan tokoh
dengan tokoh yang lain.

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013:
247), mengemukakan bahwa tokoh cerita adalah orang-
orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif,
atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki
kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan
dalam tindakan. Istilah penokohan lebih luas
pengertiannya dari pada tokoh dan perwatakan.

Imas Juidah & Eli Herlina 41

Kewajaran. Fiksi adalah suatu bentuk karya
kreatif, maka bagaimana pengarang mewujudkan dan
mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak lepas
dari kebebasan kreativitasnya. Walau tokoh cerita
‘hanya’ merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia
haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara
wajar. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai
pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau
sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada
pembaca (Nurgiyantoro, 2013: 248-249).

Kesepertihidupan. Masalah kewajaran tokoh
cerita sering dikaitkan dengan kenyataan kehidupan
manusia sehari-hari. Tokoh cerita hendaknya bersifat
alami, memiliki sifat lifelikeness, ‘kesepertihidupan’,
paling tidak itulah harapan dari pembaca. Usaha
memahami atau menilai tokoh cerita hanya
mendasBar.kaJennidsirTiopkaodha kriteria kesepertihidupan saja
tidak cukup atau bahkan tidak tepat. Realitas kehidupan
manusia memang perlu dipertimbangkan dalam
kaitannya dengan kehidupan tokoh cerita
(Nurgiyantoro, 2013: 250-251).

42 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

B. Jenis Tokoh

Nurgiyantoro (2013: 258-260), membedakan
tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi ke dalam
beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana
penamaan itu dilakukan.
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya
tokoh dalam sebuah cerita dibedakan menjadi dua, yaitu
tokoh utama dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah
tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-
menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita,
sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh-tokoh yang
hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam
cerita.
2. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Imas Juidah & Eli Herlina 43

Dilihat dari fungsi penampilan tokoh tokoh dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang
dikagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan
norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sebuah
fiksi harus mengandung konflik, ketegangan, khususnya
konflik dan ketegangan yang dialami tokoh protagonis.
Tokoh penyebab terjadinya konflik disebut tokoh
antagonis.
3. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Dilihat dari perwatakannya tokoh cerita dapat
dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh
kompleks atau tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah
tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi dan
satu sifat atau watak tertentu saja, sedangkan tokoh
kompleks atau bulat adalah tokoh yang memiliki dan
diungkap berbagai sisi kehidupannya, sisi
kepribadiannya, dan jati dirinya.
4. Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Dilihat dari berkembang atau tidaknya
perwatakan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh

44 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh
cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan
atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya
peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang
adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan
perkembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
5. Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Berdasarkan kemunginan pencerminan tokoh
cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan
nyata, cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh tipikal
dan tokoh netral. Tokoh tipikal merupakan
penggambaran, pencerminan, atau penunjukan
terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat
dalam sebuah lembaga, atau seorang invidu sebagai
bagian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata.
Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi
demi cerita itu sendiri, tokoh imajinatif yang hanya
hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi, tokoh itu
hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi cinta, atau

Imas Juidah & Eli Herlina 45

bahkan dialah sebenarnya yang empunya cerita, pelaku
cerita, dan yang diceritakan.

C. Cara Pelukisan Tokoh

Dalam memahami watak pelaku atau tokoh,
Aminuddin (2013: 80), mengatakan ada beberapa cara
bagi pembaca untuk menelusurinya misalnya sebagai
berikut.
1. lewat tuturan pengarang terhadap karakteristik

pelakunya;
2. gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran

lingkungan kehidupannya maupun cara berpakaian;
3. menunjukan bagaimana perilakunya;
4. melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang

dirinya sendiri;
5. memahami bagaimana jalan pikirannya;
6. melihat tokoh lain berbicara tentangnya;

46 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

7. melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya;
melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu
memberikan reaksi terhadapnya;

8. melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh
yang lainnya.
Nurgiyantoro (2013: 278-301), menjelaskan

teknik pelukisan tokoh dibagi menjadi dua yaitu teknik
ekspositori dan teknik dramatik.
1. Teknik Ekspositori

Teknik ekspositori disebut juga sebagai teknik
analitis, pelukisan tokoh cerita dilakukan dengan
memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara
langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh
pengarang kehadapan pembaca dengan cara tidak
berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung
disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa
sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan ciri
fisiknya.
2. Teknik Dramatik

Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik,
artinya mirip dengan yang ditampilkan pada drama,

Imas Juidah & Eli Herlina 47

yaitu dilakukan secara tidak langsung. Pengarang tidak
mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta
tingkah laku para tokoh.
Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2013: 285-300), membagi
dan menjelaskan wujud penggambaran teknik dramatik
sebagai berikut.
a. Teknik Cakapan

Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
cerita biasanya juga dimaksudkan untuk
mengembangkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan.
b. Teknik Tingkah Laku

Jika teknik cakapan dimaksudkan untuk
menunjukkan tingkah laku verbal yang berwujud kata-
kata dan atau dialog para tokoh, teknik tingkah laku
menunjuk pada tindakan verbal, fisik. Apa yang
dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah
laku, dalam banyak dapat dipandang sebagai
menunjukkan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang
mencerminkan perwatakannya.
c. Teknik Pikiran dan Perasaan

48 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

Bagaimana keadaan dan jalan pikiran serta
perasaan, apa yang melintas di dalam pikiran dan
perasaan, serta apa yang (sering) dipikir dan dirasakan
oleh seorang tokoh, dalam banyak hal akan
mencerminkan sifat-sifat jati dirinya juga.
d. Teknis Arus Kesadaran

Teknik arus kesadaran berkaitan erat dengan
teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tidak dapat
dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama
karena memang sama-sama menggambarkan tingkah
laku batin seorang tokoh.
e. Teknik Reaksi Tokoh

Teknis reaksi tokoh dimaksudkan sebagai reaksi
tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata,
dan sikap -tingkah-laku orang lain, dan sebagainya yang
berupa rangasang dari luar diri koh yang bersangkutan.
f. Teknik Reaksi Tokoh Lain

Reaksi tokoh lain dimaksudkan sebagai reaksi
yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama,
atau tokoh yang dipelajari kediriannya, yang berupa
pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.

Imas Juidah & Eli Herlina 49

Pendek kata, reaksi tokoh lain merupakan penilaian
kedirian tokoh (utama) cerita oleh tokoh-tokoh cerita
yang lain dalam sebuah karya.
g. Teknik Pelukisan Latar

Suasana latar atau dalam hal ini tempat sekitar
tokoh juga sering dipakai untuk melukiskan jati dirinya.
Pelukisan suasana latar dan dapat lebih
mengintensifkan sifat kedirian tokoh seperti yang telah
diungkapkan dengan berbagai teknik yang lain.
h. Teknik Pelukisan Fisik

Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan
keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang
sengaja mencari dan memperhubungkan adanya
keterkaitan itu. Misalnya bibir tipis menyaran pada sifat
ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat
tidak mau mengalah.

50 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

Pelataran BAB
4

A. Hakikat Latar

Latar atau setting meliputi tempat, waktu, dan
budaya yang digunakan dalam suatu cerita (Kosasih,
2014: 67). Menurut Stanton (2012: 35), latar adalah
lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam
cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-
peristiwa yang sedang berlangsung. Menurut Abrams
dalam Stanton (2012: 216), latar atau setting disebut
juga sebagai tumpu, menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang akan diceritakan.

Imas Juidah & Eli Herlina 51

Menurut Nurgiyantoro (2013: 302), latar adalah
landas tumpu yang menyaran pada pengertian tempat,
hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar
memberikan pijakan cerita yang secara konkret dan
jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realitas
kepada pembaca.

Latar menurut Nurgiyantoro (2013: 227-230),
ada tiga macam, yaitu latar tempat, latar waktu, dan
latar sosial. Latar tempat adalah latar yang menyaran
pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Latar waktu adalah latar yang
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi.

Jadi dapat disimpulkan bahwa latar adalah
tempat, waktu, setting dan hubungan lingkungan sekitar

52 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

dengan terjadinya sebuah cerita yang konkret dan jelas
serta memberikan kesan realitas kepada pembaca.

B. Unsur Latar

Unsur latar dapat dibedakan ke tiga unsur pokok,
yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur tersebut
saling berkaitan dan saling memengaruhi satu sama
lain.
1. Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya
peristowa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa
tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu,
mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah
“kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan

Imas Juidah & Eli Herlina 53

dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut
biasanyadihubungkan dengan waktu faktual, waktu
yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah.
3. Latar Sosial

Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat
mencakup berbagai masalah lingkup yang cukup
kompleks, berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,
keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.

54 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

C. Tipe Latar

Latar suatu fiksi biasanya dibedakan menjadi dua
tipe, yaitu latar netral dan latar tipikal. Latar netral
merupakan latar yang menunjukan sifat umum pada
latar itu sendiri, tidak memiliki dan tidak
mendeskripsikan sifat khusus tertentu yang menonjol
yang terdapat dalam sebuah latar. Sifat yang
ditunjukkan latar netral lebih merupakan sifat umum
terhadap hal yang sejenis, misalnya desa, kota, hutan,
pasar, yang dapat berlaku dimana saja.

Latar tipikal di pihak lain, adalah unsur latar
yang memiliki dan menonjolkan sifat khas latar tertentu
baik yang menyangkut unsur tempat, waktu, maupun
sosial. Jika membaca Telembuk misalnya, kita akan
merasakan dominannya lingkungan sosial yang
digambarkan, yaitu lingkungan sosial masyarakat
Cikedung-Indramayu.

Imas Juidah & Eli Herlina 55

D. Fungsi Latar

Ada beberapa fungsi yang dapat ditempati oleh
latar dalam fiksi, yaitu latar sebagai metafora, latar
sebagai atmosfer, dan latar sebagai pengedepanan.

1. Latar sebagai Metaforik
Istilah metafora menunjuk pada suatu

pembandingan yang mungkin berupa sifat, keadaan,
suasana, ataupun sesuatu yang lain. Novel sebagai
sebuah karya kreatif tentu saja karya bentuk-bentuk
ungkapan metafora, khususnya sebagai sarana
pendayagunaan unsur stile, sesuai dengan budaya
bangsa yang bersangkutan.
2. Latar sebagai Atmosfer

Istilah atmosfer mengingatkan kita lapisan udara
tempat kehidupan dunia berlangsung. Atmosfer dalam
cerita merupakan udara yang dihirup pembaca sewaktu

56 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

memasuki dunia rekaan. Atmosfer berupa deskripsi
kondisi latar yang mampu menciptakan suasana
tertentu, misalnya suasana ceria, romantik, sedih,
muram, maut, misteri dan sebagainya.

3. Latar sebagai Pengedepanan
Pengedapanan elemen latar dalam fiksi dapat

berupa penonjolan waktu dan dapat pula berupa
penonjolan tempat saja. Dalam banyak fiksi, waktu
terjadinya peristiwa atau tindakan tertentu adalah
sangat penting. Seperti dalam tokoh “Bawuk” dalam
Bawuk, dan “Karman” dalam Kubah adalah tokoh-tokoh
yang kehidupannya begitu terpengaruh oleh latar
G30S/PKI.

Imas Juidah & Eli Herlina 57

Penyudutpandangan BAB
5

B. Hakikat Sudut Pandang

Sudut pandang, point of view, viewpoint,
merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Stanton
digolongkan sebagai sarana cerita, literaty device.
Walau demikian, tidak berarti bahwa peran sudut
pandang dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang
haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya,
sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh
terhadap penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca
terhadap sebuah karya fiksi pun dalam banyak hal akan
dipengaruhi oleh bentuk sudut pandang. Abrams dalam
Nurgiyantoro (2013: 338), mengatakan bahwa sudut
pandang, point of view, menunjuk pada pada cara

58 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

sebuah cerita dikisahkan. Sudut pandang merupakan
cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah
karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut
pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik,
siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu
yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik
pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap
kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi
disalurkan melalui sudut pandang tokoh, lewat
kacamata tokoh cerita.

B. Jenis Sudut Pandang
Umumnya, sudut pandang dikelompokkan
menjadi tiga jenis berdasarkan persona tokoh cerita,
yaitu, persona pertama, ketiga dan campuran.

Imas Juidah & Eli Herlina 59

1. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Menurut Nurgiyantoro (2013: 352), menjelaskan

bahwa sudut pandang persona pertama, first-person
point of view, “aku”, narator adalah seseorang ikut
terlibat dalam cerita. “Aku” tokoh yang berkisah,
mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, self
consciousness, mengisahkan peristiwa dan tindakan,
yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan,
serta sikapnya terhadap orang (tokoh) lain kepada
pembaca.
b. “Aku” Tokoh Utama

Sudut pandang “aku” tokoh utama ini
mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang
dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri
sendiri, maupun fisik, hubungannya dengan sesuatu
yang di luar dirinya. “Aku” menjadi fokus, pusat
kesadaran, pusat cerita. Tokoh “aku” menjadi tokoh
utama ini, first-person central, memiliki kebebasan
untuk memilih masalah-masalah yang akan diceritakan,
tokoh ini biasanya menjadi tokoh protagonis

60 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

memungkinkan pembaca menjadi benar-benar terlibat
dan mendapat empati penuh dari pembaca itu sendiri.
b. “Aku” Tokoh Tambahan

Dalam sudut pandang ini tokoh “aku” muncul
sebagai tokoh tambahan hadir untuk membawakan
cerita kepada pembaca, sedang tokoh cerita yang
dikisahkan itu kemudian “dibiarkan’ untuk
mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya.
Adapun contoh “Aku” Tokoh Tambahan dikutip dari
sebuah novel sebagai berikut.

Aku sandarkan kepalaku pada tugu Jono. Aku
pandang tamasya di sekitar bukit lewat
lindungan sejuk Ray Ban. Pribadi Jono akulah
yang paling kenal. Rumahnya dekat rumahku.
Sejak SMP hingga SMA duduk sebangku atau
berdampingan. Pasukan kami sama.
Angin sejuk dan lembut: hawa panas dan kering.
Aku nyalakan sebatang “Wembley” lagi dan Jono
berkata dalam makamnya:………….
(“Senyum” dalam Hujan Kepagian, 1966: 12) .

2. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”
Sudut pandang persona ketiga “dia”, narator

adalah seseorang yang berada di luar cerita yang

Imas Juidah & Eli Herlina 61

menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut
nama, atau kata gantinya; ia, dia mereka. Sudut
pandang “dia” dapat dibedakan ke dalam dua golongan
berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan
pengarang terhadap bahan ceritanya.
a. “Dia” Mahatahu

Nurgiyantoro (2013: 348), menjelaskan bahwa
“Dia” mahatahu merupakan pihak pengarang, narator,
dapat bebas menceritakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tokoh “dia”. Dalam sudut pandang
ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun
pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal
yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator
mengetahui segalanya tentang tokoh, peristiwa, dan
tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya,
bahkan ia mampu berpindah-pindah dari tokoh “dia”
yang satu ke “dia” yang lain. Adapun contoh sudut
pandang “Dia” mahatahu dikutip dari sebuah novel
sebagai berikut.

Dia melihat betapa Maria sekuat tenaga menjaga
dirinya jangan menangis terisak-isak karena ada
ibunya, dan karena ibunya telah mengatakan

62 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

padanya, bahwa semua ini akan terjadi, dan
Maria mengatakan pada ibunya dia akan kuat
menahanya.
Apa yang dilakukan Maria kini? tanya Sadeli pada
dirinya sendiri. Dan Sadeli tak tahu, bahwa saat
itu Maria sedang terbaring di tempat tidurnya,
air mata mengalir membasahi pipinya,
membasahi bantalnya, dan dia mencoba
menghidupkan kembali dalam ingatannya, dalam
seluruh badannya apa yang pernah terjadi di
tempat tidur antara dia dengan Sadeli (Maut dan
Cinta, 1977: 245-246).

b. “Dia” Terbatas, “Dia” sebagai Pengamat.
Stanton dalam Nurgiyantoro (2013: 350),

mengemukakan bahwa sudut pandang “dia” terbatas,
seperti halnya dalam “dia” mahatahu, pengarang
melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir,
dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya
pada seorang tokoh saja. Adapun contoh “Dia” Terbatas,
“Dia” sebagai Pengamat dikutip dari sebuah novel
sebagai berikut.

Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang
bersusah payah mencabut sebatang singkong.
Namun ketiganya masih masih terlampau lemah
untuk mengalahkan cengkeraman akar ketela
yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan

Imas Juidah & Eli Herlina 63

membatu. Mereka terengah-engah, namun
batang singkong itu tetap tegak di tengahnya.
Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah
seorang anak di antara mereka tidak menemukan
akal.
“Cari sebatang cungkil”, kata Rasus kepada dua
temannya, “tanpa cungkil mustahil kita dapat
mencabut singkong sialan ini” (Ronggeng Dukuh
Paruk, 1986: 7-8).

3. Sudut Pandang Campuran
Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel

mungkin saja lebih dari satu teknik. Pengarang dapat
berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain
untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Sudut pandang
campuran dalam sebuah novel, mungkin berupa
penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan
teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat,
persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh
utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi.

64 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

C. Pentingnya Sudut Pandang

Pemilihan sudut pandang menjadi penting
karena hal itu tidak hanya berhubungan dengan
masalah gaya saja, walau tidak dapat disangkal bahwa
pemilihan bentuk-bentuk gramatika dan retorika juga
penting dan berpengaruh.

Sudut pandang memunyai hubungan psikologis
dengan pembaca. Pembaca membutuhkan persepsi yang
jelas tentang sudut pandang cerita. Pemahaman
pemahaman pembaca terhadap sebuah novel akan
dipengaruhi oleh kejelasan sudut pandangnya. Menurut
Stevick dalam Nurgiyantoro (2013: 340), pemahaman
pembaca pada sudut pandang akan menentukan
seberapa jauh persepsi dan penghayatan, bahkan juga
penilaiannya terhadap novel bersangkutan.

Imas Juidah & Eli Herlina 65

Tema BAB
6

A. Hakikat Tema

Menurut Stanton (2012: 41), tema adalah makna
sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar
unsurnya dengan cara yang sederhana. Kemudian
Nurgiyantoro (2013: 114), juga menjelaskan tema
adalah gagasan dasar secara umum menopang sebuah
karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat
abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat
motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit
(terkandung di dalam teks). Sedangkan menurut
Kosasih (2014: 60), tema adalah gagasan yang menjalin
struktur isi cerita.

66 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar
dengan makna dalam pengalaman manusia: sesuatu
yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat
adanya banyak cerita yang menggambarkan dan
menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia
seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan,
pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi,
atau bahkan usia tua (Stanton, 2012: 36-37). Untuk
menemukan sebuah tema karya fiksi, pembaca harus
memahami kandungan dan isi cerita. Tema dari novel
biasanya mengambil dari masalah yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri atau
pengalaman orang lain.

B. Jenis Tema

Tema dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
jenis bergantung dari segi mana penjenisan itu
dilakukan. Penjenisan tema berikut ini dilakukan

Imas Juidah & Eli Herlina 67

berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan
dikotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional,
penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa
menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat
keutamaannya.
1. Tema Tradisional dan Nontradisional

Menurut Nurgiyantoro (2013: 125-126), tema
yang berdasarkan kebiasaan jalan cerita dari tema
tersebut terbagi menjadi dua bagian: pertama tema
tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk
pada tema hanya “itu-itu” saja, dalam arti tema itu telah
lama dipergunakan dan dapat ditemukan diberbagai
cerita, termasuk cerita lama. Kedua tema non-
tradisional mengangkat sesuatu yang tidak lazim,
mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca,
menjadi melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi
mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi
afektif yang lain.

2. Tingkatan tema menurut Shipley
Dalam Dictionary of World Literature, Shipley

dalam Nurgiyantoro (2013: 130), mengartikan tema

68 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah
utama yang dituangkan dalam cerita. Kemudian juga
Shipley dalam Nurgiyantoro (2013: 130-132),
membedakan tema-tema karya sastra ke dalam
tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan
berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa yang disusun
dari tingkatan yang paling sederhana, tingkatan
tumbuhan dan mahkluk hidup ke tingkat yang paling
tinggi dicapai oleh manusia. Tingkatan tema yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam

tingkat kejiwaan) molekul, man as molecule.
b. Tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam

tingkat kejiwaan) protoplasma, man a protoplasm.
c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai mahkluk sosial,

man as socius.
d. Tema tingkat egois, manusia sebagai individu, man

as individualism.
e. Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk

tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia
mengalami dan atau mencapainya.

Imas Juidah & Eli Herlina 69

3. Tema Utama dan Tema Tambahan
Menurut Nurgiyantoro (2013: 133), berdasarkan tema
yang mendasari jalannya cerita terbagi menjadi dua
yaitu tema utama (pokok) atau tema mayor merupakan
makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan
dasar umum karya itu. Tema tambahan atau tema
minor merupakan makna-makna tambahan bersifat
mempertegas eksistensi makna utama atau tema mayor.

C. Fungsi Tema

Fungsi tema menurut Sayuti (2017: 203) yaitu
sebagai berikut. Pertama, memberi kontribusi bagi
elemen struktural lain seperti plot, tokoh, dan latar.
Kedua, menjadi elemen penyatu terakhir bagi
keseluruhan fiksi. Artinya, pengarang menciptaka n dan
membentuk plot, membawa tokohnya menjadi ada, baik
secara sadar maupun tidak, eksplisit maupun implisit,

70 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

pada dasarnya merupakan perilaku responsif terhadap
tema yang telah dipilih dan telah mengarahkannya.
Ketiga, tema berfungsi melayani visi. Artinya, responsi
total sang pengarang terhadap pengalaman dan
hubungan totalnya dengan jagat raya.

D. Penafsiran Tema

Dalam menafsirkan sebuah tema tentu pembaca
tidaklah mudah untuk menemukan apa tema yang
terkandung dalam sebuah cerita atau karya sastra itu
sendiri, karena tema memiliki sifat ekspilisit atau
tersembunyi. Menurut Nurgiyantoro (2013: 136-137),
ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menafsirkan tema sebagai berikut.

1. Memahami cerita itu sendiri.
2. Memahami dan mencari kejelasan ide-ide

perwatakan.
3. Memahami peristiwa-peristiwa konflik.

Imas Juidah & Eli Herlina 71

4. Memahami latar.
5. Memahami tokoh.
Stanton (2012: 44-45), mengemukakan dalam
usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel,
secara lebih khusus dan rinci, adapun kriterianya
sebagai brikut.
1. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya

mempertimbangkan tiap detail cerita yang
menonjol.
2. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya
tidak bersifat bertentangan dengan tiap
detail cerita.
3. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya
tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti
yang tidak dinyatakan baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam novel yang
bersangkutan.

4. Penafsiran tema sebuah novel

haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti
yang secara langsung ada dan atau yang
disarankan dalam cerita.

72 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

Teori-teori Sastra BAB
Mutakhir 7

A. Formalisme Rusia

Teori formalisme muncul berkembang di Rusia
dan dibawa oleh kelompok Formalisme Rusia. Teori
formalisme muncul sebagai akibat penolakan pada
paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang
teguh prinsip-prinsip kausalitas dan sebagai reaksi
terhadap studi biografi. Pada umumnya, Formalisme
Rusia dianggap sebagai pelopor bagi tumbuh dan
berkembangnya teori-teori strukturalisme. Formalisme
adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern.
Kelahiran mazhab ini dirintis oleh sejumlah ahli
linguitik dan ahli sastra di Rusia. Kaum formalis

Imas Juidah & Eli Herlina 73

cenderung untuk mengkaji teks secara formal, yaitu
dalam kaitannya dengan struktur bahasa
(Rokhmansyah, 2014: 63).

Kaum formalis berupaya mengkaji karya sastra
genre fiksi dan mencoba memadukan unsur-unsur yang
membentuk karya sastra ke dalam suatu sistem yang
padu dan menyeluruh (Rokhmansyah, 2014: 64). Lebih
lanjut menurut Jefferson dalam Rokhmansyah (2014:
65) bahwa pengkajian sastra kaum formalis berdasar
pada perbedaan antara peristiwa di satu pihak dengan
penciptaan di pihak lain, yaitu antara fabula dengan
sjuzet. Fabula merupakan bahan dasar yang berupa
jalan cerita menurut kronologi peristiwa, sedangkan
sjuzet merupakan sarana untuk menjadikan jalan cerita
menjadi ganjil dan aneh.

Perbedaan antara “cerita” dengan “alur” diberi
tempat yang penting dalam teori naratif kaum formalis
Rusia. Mereka menekankan bahwa hanya “alur” (sjuzet)
yang sungguh-sungguh bersifat kesastraan, sedangkan
“cerita” (fabula) hanya sebagai bahan mentah yang
menunggu pengolahan dari tangan pengarang. Sjuzet

74 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

bukan hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita,
melainkan juga semua sarana yang digunakan untuk
menyela dan menunda penceritaan, serta yang
ditujukan untuk menarik perhatian pembaca terhadap
bentuk prosa tersebut. Penyusunan sjuzet didasarkan
pada gagasan defamiliarisasi yang mencegah pembaca
dari cara memandang peristiwa-peristiwa sebagai hal
yang khas dan sudah lazim (Selden dalam
Rokhmansyah, 2014: 65). Menurut Rokhmansyah (2014
: 66-68) secara lebih rinci, pokok gagasan, istilah dan
dalil utama formalisme terhadap karya sastra adalah
sebagai berikut.
1. Defamiliarisasi dan Deotomatisasi

Menurut kaum formalis, sifat kesastraan
munculsebagai akibat penyusunan dan penggubahan
bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang
menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan
melepaskannya dari otomatisasi. Proses penyulapan
oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi,
yakni teknik membuat teks menjadi aneh dan asing.
Istilah defamiliarisasi dikemukakan oleh Skhlovsky

Imas Juidah & Eli Herlina 75

untuk menyebut teknik bercerita dengan gaya bahasa

yang menonjol dan menyimpang dari biasanya. Dalam

proses penikmatan atau pencerapan pembaca, efek

deotomatisasi dirasakan sebagai sesuatu yang aneh atau

defamiliar. Proses defamiliarisasi itu mengubah

tanggapan kita terhadap dunia.

Dengan teknik penyingkapan rahasia, pembaca

dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa)

yang dipergunakan pengarang.

Teknik-teknik itu misalnya menunda, menyisipi,

memperlambat, memperpanjang, atau mengulur-ulur

suatu kisah sehingga menarik perhatian karena tidak

dapat ditanggapi secara otomatis.

2. Teori Naratif

Dengan menerima konsep struktur, kaum

formalis Rusia memperkenalkan dikotomi baru antara

struktur (yang terorganisasi) dengan bahan

material (yang tak terorganisir), menggantikan

dikotomi lama antara bentuk dan isi. Jadi struktur

sebuah teks sastra mencakup baik aspek formal maupun

semantik. Kaum formalis Rusia memberikan perhatian

76 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

khusus terhadap teori naratif. Untuk kepentingan
analisis teks naratif, mereka menekankan perbedaan
antara cerita, alur, dan motif
Menurut mereka, yang sungguh-sungguh bersifat
kesusastraan adalah alur, sedangkan cerita hanyalah
bahan mentah yang masih membutuhkan pengolahan
pengarang. Motif merupakan kesatuan terkecil dalam
peristiwa yang diceritakan. Alur adalah penyusunan
artistik motif-motif sebagai akibat penerapan
penyulapan terhadap cerita. Alur bukan hanya sekedar
susunan peristiwa melainkan juga sarana yang
dipergunakan pengarang untuk menyela dan
menunda penceritaan.
Digresi-digresi, permainan-permainan tipograifs,
pemindahan bagian-bagian teks serta deskripsi-
deskripsi yang diperluas merupakan sarana yang
ditujukan untuk menarik dan mengaktifkan perhatian
pembaca terhadap novel-novel. Cerita itu sendiri hanya
merupakan rangkaian kronologis dari peristiwa-
peristiwa yang diceritakan.

Imas Juidah & Eli Herlina 77

3. Analisis Motif
Secara sangat umum, motif berarti sebuah unsur

yang penuh arti dan yang diulang-ulang di dalam satu
atau sejumlah karya. Di dalam satu karya, motif
merupakan unsur arti yang paling kecil di dalam cerita.
Pengertian motif di sini memperoleh fungsi sintaksis.
Bila motif itu dibaca dan direfleksi maka pembaca
melihat motif-motif itu dalam keseluruhan dan dapat
menyimpulkan satu motif dasarnya. Bila motif dasar
tadi dirumuskan kembali secara metabahasa, maka kita
akan menjumpai tema sebuah karya. Misalnya dalam
cerita Panji dijumpai tema cinta sejati mengatasi segala
rintangan. Bila berkaitan dengan berbagai karya
(pendekatan historis-komparatif), sebuah kesatuan
semantis yang selalu muncul dalam karya-karya itu.
Misalnya motif pencarian seorang ayah atau kekasih
(motif Panji yang dijumpai dalam berbagai cerita di Asia
Tenggara), atau motif Oedipus, dan sebagainya.

Boris Tomashevsky menyebut motif sebagai
satuan alur terkecil. Ia membedakan motif terikat
dengan motif bebas. Motif terikat adalah motif yang

78 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

sungguh-sungguh diperlukan oleh cerita, sedangkan
motif bebas merupakan aspek yang tidak esensial
ditinjau dari sudut pandang cerita. Meskipun demikian,
motif bebas justru secara potensial merupakan fokus
seni karena memberikan peluang kepada pengarang
untuk menyisipkan unsur-unsur artistik ke dalam
keseluruhan alurnya.
4. Fungsi Puitik dan Objek Estetik

Istilah fungsi mengacu pada penempatan suatu
karya sastra dalam suatu modul komunikasi yang
meliputi relasi antara pengarang, teks, dan pembaca.
Isitlah ini muncul sebagai reaksi terhadap studi sastra
Formalisme yang terlalu terpaku pada aspek sarana
kesusastraan tanpa menempatkannya dalam konteks
tertentu. Menurut Jakobson, dalam setiap ungkapan
bahasa terdapat sejumlah fungsi, misalnya fungsi
referensial, emotif, konatif, dan puitik, yang berkaitan
dengan beberapa faktor seperti konteks, juru bicara,
pengarang, penerima, pembaca, dan isi atau pesan
bahasa itu sendiri. Dalam pemakaian bahasa sastra,
fungsi puitis paling dominan. Pesan bahasa dimanipulasi

Imas Juidah & Eli Herlina 79

secara fonis, grafis, leksikosemantis sehingga kita
menyadari bahwa pesan yang bersangkutan harus
dibaca sebagai karya sastra.

Jan Mukarovsky, seorang ahli strukturalisme
Praha, memperkenalkan istilah “objek estetik” sebagai
lawan dari istilah “artefak”. Artefak adalah karya sastra
yang sudah utuh dan tidak berubah. Artefak itu akan
menjadi objek setetik bila sudah dihayati dan dinikmati
oleh pembaca. Dalam pengalaman pencerapan
pembaca, karya sastra dapat memiliki arti yang
berbeda-beda tergantung pada harapan pembacanya.
Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra
adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian
kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik.
Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah
teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum
Formalis.

80 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

B. Strukturalisme

Istilah struktur (structurlism dalam bahasa
Inggris) secara etimologis berasal dari bahasa
Latin struere yang berarti mendirikan atau membangun.
Konsep struktur pertama kali digunakan sebagai konsep
arsitektur, yang mengandung arti dasar sebagai cara
sebuah bangunan didirikan. Pengertian teori
strukturalisme secara definitif memberikan perhatian
terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya
sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama
maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda,
Ratna (2006: 93). Sedangkan, Nurgiyantoro (2013: 57),
mengatakan bahwa pendekatan struktural dipelopori
oleh kaum formalis dan Strukturalisme Praha. Ia
mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang
mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke
sinkronik.

Imas Juidah & Eli Herlina 81

Menurut Endraswara (2003:50), ide dasar
strukturalis adalah menolak kaum mimetik (yang
menganggap karya sastra sebagai tiruan kenyataan),
teori ekspresif (yang menganggap karya sastra sebagai
ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan
menentang asumsi bahwa karya sastra sebagai media
komunikasi antara pengarang dan pembaca. Pendapat
yang berbeda juga dikemukakan oleh Nurgiyantoro.
Menurut Nurgiyantoro (2007:36-37), strukturalisme
dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan
kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan
antar unsur pembangun karya sastra yang
bersangkutan. Definisi strukturalisme oleh
Nurgiyantoro ini tidak lagi merupakan definisi secara
umum namun lebih menekankan definisi strukturalisme
dalam dunia sastra. Strukturalisme dalam penelitian
sastra, sering dipandang sebagai teori atau pendekatan.
Hal ini pun tidak salah karena baik pendekatan maupun
teori saling melengkapi dalam penelitian sastra.

Endraswara (2003:49), menjelaskan bahwa
kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra,

82 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

sering dipandang sebagai teori atau pendekatan. Hal ini
tidak salah karena baik pendekatan maupun teori saling
melengkapi dalam penelitian sastra. pendekatan
strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang
akan diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori
adalah pisau analisisnya.

Teeuw (1983:61), menyatakan bahwa prioritas
pertama sebelum yang lain-lain, tanpa itu kebulatan
makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu
sendiri, tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur
karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai
sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi
unsur itu dalam keseluruhan kaarya sastra. Karena
pandangan keotonomian, di samping juga pandangan
bahwa setiap karya sastra memiliki sifat keunikanya
sendiri, analisis sebuah karya pun tak perlu dikaitkan
dengan karya-karya yang lain. Jika terlibat pun hanya
terbatas pada karya-karya tertentu yang berkaitan.
Untuk mengungkapkan struktur sesuai dengan teori
strukturalisme maka dilakukan tahap-tahap dalam

Imas Juidah & Eli Herlina 83

analisis. Hawkes dalamTeeuw (1988:141) menunjukan
tiga aspek konsep struktur yaitu:

a. Gagasan keseluruhan (wholeness), koherensi
intrinsik: bagian-bagiannya menyesuaikan diri
dengan seperangkat kaidah intrinsik yang
menentukan baik keseluruhan struktr maupun
bagian-bagiannya.

b. Gagasan transformasi (transformation): struktur
itu menyanggupi prosedur-prosedur
transformasi yang terus menerus memungkinkan
pembentukan bahan-bahan baru.

c. Gagasan regulasi diri (self-regulation): strutur
tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk
mempertahankan prosedur transformsainya;
struktur itu otonom terhadap rujukan pada
sistem-sistem lain.
Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan di

atas strukturalisme menurut Ratna (2007: 91) berarti
paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri,
dengan mekanisme antar hubungannya, mengenai
unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, di pihak

84 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

yang lain hubungan antara unsur-unsur dengan
totalitasnya. Secara etimologi, struktur berasal dari kata
struktural (latin) yang berarti bentuk atau bangunan.
Teori struktural merupakan salah satu teori yang
digunakan dalam penelitian sastra dengan mengaitkan
unsur-unsur yang ada di dalamnya menjadi satu
kesatuan yang utuh. Adapun langkah-langkah yang
harus diperhatikan dalam menganalisis struktur dalam
karya sastra, seperti yang diungkapkan Nurgiyantoro
(2013: 55-56), dalam langkah-langkah analisis
struktural sebagai berikut:

1) mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang
membangun karya sastra secara lengkap dan
jelas, mana yang tema dan mana yang tokoh;

2) mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi
sehingga diketahui tema, alur, penokohan, dan
latar dalam sebuah karya sastra;

3) menghubungkan masing-masing unsur sehingga
memperoleh kepaduan makna secara
menyeluruh dari sebuah karya sastra.

Imas Juidah & Eli Herlina 85

Berikut ini beberapa perkembangan teori

strukturalisme.

1. Strukturalisme Dinamik

Strukturalisme dinamik pertama kali

dikemukakan oleh Jan Mukarovsky dan Felik Vodicka,

didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme

sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan dari

formalisme. Strukturalisme dinamik bertujuan untuk

menyempurnakan strukturalisme yang hanya

memprioritaskan unsur-unsur intrinsik karya sastra.

Strukturalisme dinamik adalah pendekatan atas karya

sastra dengan menerapkan kerja strukturalisme atas

dasar konsep semiotik. Analisis struktural murni

mengasingkan karya sastra dari kerangka kesejarahan

dan relevansi eksistensialnya. Strukturalisme dinamik

yang dikembangkan Mukarovsky dan Vodicka mencoba

memahami karya sastra berdasarkan kesadaran bahwa

karya sastra sebagai struktur paad hakikatnya memiliki

ciri khas yaitu sebagai tanda (sign). Tanda baru

mendapat makna sepenuhnya bila sudah melalui

tanggapan pembaca. Dengan demikian, ada pengaruh

86 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

timbal balik antara tanda dan pembacanya. Pembaca
dalam memberi makna terikat pada konvensi tanda.
Jadi, dengan kerangka semiotik itu dapat diproduksi
makna dalam karya sastra yang merupakan struktur
sistem tanda (Rokhmansyah, 2014: 73).
2. Strukturalisme Genetik

Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien
Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-
Perancis. Terori ini dikemukannya pada tahun 1956
dengan terbitnya buku The Hidden God: a Study of Tragic
Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of
Racine. Teori dan pendekatan yang dimunculkannya ini
dikembangkan sebagai sintesis atas pemikirann Jean
Piaget, George Lukacs, dan Karl Marx. Strukturalisme
genetik mencoba mengaitkan antara teks sastra, penulis,
pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan
struktur sosial (Rokhmansyah, 2014: 74). Secara
definitif, Ratna menjelaskan lebih lanjut bahwa
strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan
memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra.
Meskipun demikian, strukturalisme genetik masih

Imas Juidah & Eli Herlina 87


Click to View FlipBook Version