ditopang oleh beberapa konsep teori sosial lainnya
seperti fakta kemausiaan, homologi, kelas sosial, subjek
transindividual, dan pandangan dunia (2009:203).
3. Strukturalisme Naratologi
Naratologi berasal dari kata narratio dan logos.
Narratio berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat, dan
logos berarti ilmu. Naratologi dissebut juga sebagai teori
wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori
wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat
konsep mengenai cerita dan penceritaan. Naratologi
berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model
sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek,
predikat, dan objek penderita (Ratna, 2009: 128). Awal
perkembangan teori narasi terdapat beerapa tokoh
pelopornya, yaitu Aristoteles (cerita dan teks), Henry
James (tokoh dan cerita), Forster (tokoh bundar dan
datar). Percy Lubbock (teknik naratif), Vladimir Propp
(peran dan fungsi), claude Levi-Strauss (struktur mitos),
Tzevetan Todorov (historie dan discourse), Claude
Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story,
88 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
text), Greimas (tata bahasa naratif dan struktur aktan),
dan Sholmith Rimmon-Kenan (story, text, narration).
C. Semiotika
Pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan
semiotik masing-masing berakar dalam kondisi yang
berbeda sesuai dengan latar belakang sosial yang
menghasilkannya. Menurut Noth (1990: 307,346) ada
empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran
semiotika, yaitu semantik, logika, retorika, dan
hermeneutika. Culler (1977: 6) menyebutkan
strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang
identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada
karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986:
54) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk
ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya
dapat dioperasikan secara bersama-sama.
Imas Juidah & Eli Herlina 89
Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza
Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa
Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain
menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion,
yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas,
sebuah teori, semiotika berarti studi sistematis
mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana
cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan
manusia.
Menurut van Zoest (1993:1), semiotika
memperoleh perhatian yang lebih serius abad ke-18,
sekaligus mulai menggunakan istilah semiotika, yaitu
oleh J.H. Lambert. Atas dasar perkembangan ilmu
ketandaan seperti di ataslah Halliday (1992: 4-5)
menyebutkan semiotika sebagai kajian umum, di mana
bahasa dan sastra hanyalah satu di antara bidang di
dalamnya. Para ahli semiotik modern mengatakan
bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan
dua nama, yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss
bernama Ferdinand Saussure dan seorang filsuf
Amerika bernama Charles Sanders Pierce.
90 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
1. Teori Semiotic Peirce
Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu
dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu
yang lain. Sebuah tanda –yang disebutnya sebagai
representamen– haruslah mengacu (atau mewakili)
sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga
menyebutnya sebagai designatum, detotatum, dan
dewasa ini orang menyebutnya dengan istilah referent).
Proses pewakilan tanda terhadap acuannya terjadi pada
saat tanda itu ditafsirkan dalam hubunganya dengan
yang diwakili. Hal itulah yang disebutnya sebagai
interpretant, yaitu pemahaman makna yang timbul
dengan kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi.
Proses pewakilan itu disebut semiosis. Semiosis
adalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi
sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya
Hoed dalam Nurgiyantoro (2013: 68). Proses semiosis
yang menuntut kehadiran bersama antara tanda objek
dan interpretant itu oleh Peirce disebut sebagai triadic.
Preice membedakan hubungan antara tanda denagn
acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon,
Imas Juidah & Eli Herlina 91
jika ia berupa hubungan kemiripan, (2) Indeks, jika ia
berupa hubungan kedekatan eksistensi , dan (3) simbol ,
jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara
konvensi Abram dan Van Zoes dalam Nurgiyantoro
(2013: 68).
2. Teori Semiotik Saussure
Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan
pengembangan teori linguistik secara umum, maka
istilah-istilah yang dipakai (oleh para penganutnya pun)
untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah-
istilah dan model linguistik. Bahasa sebagai sebuah
sistem tanda menurut Saussure, memiliki dua unsure
yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant
dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud
significant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran
atau huruf-huruf tulisan, sedang signifie (petanda)
adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang
terkandung dalam penanda tersebut Abrams dalam
Nurgiyantoro (2013: 70).
Menurut Todorov dalam Nurgiyantoro (2013:
71), kajian dikelompokkan berdasarkan aspek verbal,
92 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
sintaksis, dan semantik, sedang menurut kaum formalis
Rusia dibedakan ke dalam wilayah kajian stilistika,
komposisi, dan tematik. Kajian semiotik karya sastra,
dengan demikian dapat dimulai dengan mengkaji
kebahasaannya dengan menggunakan tataran-tataran
seperti dalam studi linguistik.
Salah satu teori Saussure yang dipergunakan
secara luas di bidang kesastraan adalah konsep
sintagmatik dan paradigmatik dalam sebuah wacana,
kata-kata saling berhubungan dan berkesinambungan
sesuai dengan sifat liniaritas bahasa, dan tidak mungkin
orang melafalkan dua unsur sekaligus. Di pihak lain, di
luar wacana, kata-kata yang mempunyai kesamaan
berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kekayaan
tiap individu dalam bentuk langue. Hubungan yang
bersifat linier itu disebut hubungan sintagmatik, sedang
hubungan asosiatif itu disebut hubungan paradigmatik.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dapat
atau sering diterapkan pada kajian fiksi ataupun puisi.
Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, kita akan
melihat adanya hubungan antara penanda dengan
Imas Juidah & Eli Herlina 93
petanda yang jumlahnya amat banyak. Pertama, kita
akan melihat aspek formal karya itu yang berupa
deretan kata, kalimat, alinea, dan seterusnya
membentuk sebuah teks yang utuh. Hubungan tersebut
adalah hubungan antara penanda dan petanda,
hubungan antara unsur-unsur yang hadir secara
bersama. Karena baik kata, kalimat, alinea maupun yang
lain dapat dilihat kehadirannya dalam teks itu,
hubungan iitu juga sering disebut sebagai hubungan in
praesentia.
Tiap aspek formal, kata, kalimat, tersebut pasti
berhubungan dengan aspek makna sebab tidak mungkin
kehadiran aspek formal (bahasa) itu tanpa didahului
oleh kehadiran konsep makna. Hubungan sintagmatik
dipergunakan untuk menelaah struktur karya dengan
menekankan urutan satuan-satuan makna karya yang
analisis. Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang
bersifat linear, hubungan konfigurasi, peristiwa, atau
tokoh. Tiap satuan cerita juga disebut sekuens, dapat
terdiri dari sejumlah motif (satuan makna, biasanya
berisi satu peristiwa) dalam kajian karya fiksi tiap
94 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
satuan cerita dan motif diberi simbol-simbol atau
notasi-notasi tertentu.
Menurut Barthes dalam Nurgiyantoro (2013: 74),
satuan cerita mempunyai dua fungsi: fungsi utama dan
fungsi katalisator. Satuan fungsi utama yang sebagai
fungsi utama adalah berfungsi menentukan jalan cerita
(plot), sedang yang sebagai katalisator berfungsi
menghubungkan funfsi-fungsi utama itu. Hubungan
paradigmatik di pihk lain merupakan hubungan makna
dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan
makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak
hadir. Dengan demikian kajian paradigmatik dalam
sebuah karya fiksi berupa kajina tentang tokoh,
perwatakan tokoh, hubungan antartokoh, suasana,
gagasan, hubungannya dengan latar, dan lain-lain. Dasar
kajian ini adalah konotasi asosiasi-asosiasi yang muncul
dalam pikiran pembaca.
Imas Juidah & Eli Herlina 95
D. Resepsi Sastra
Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang
meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan
pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan.
Resepsi sastra berasal dari bahasa Latin yaitu recipere
yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan
pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap
karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya.
Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya
dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai
proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu
(Rokhmansyah, 2014:111).
Lebih lanjut, Junus (1985:1) mengemukakan
hakikat resepsi sastra adalah pemaknaan oleh pembaca
terhadap karya sastra sehingga dapat memberikan
reaksi atau tanggapan. Selanjutnya, Segers (2000:35)
mengemukakan estetika resepsi adalah ajaran yang
96 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
menyelidiki teks sastra dengan dasar reaksi pembaca
terhadap teks sastra. Dengan penyelidikan tersebut,
pembaca dapat memutuskan sebuah teks sastra
digolongkan memiliki mutu sastra atau tidak. Sementara
itu, Vodicka (dalam Segers, 2000:52) berpendapat
resepsi sastra memahami karya sastra sebagai objek
estetis dalam kesadaran pembaca. Pembaca menerima,
menafsirkan, dan mengevaluasi karya sastra secara
estetis. Suatu teks baru punya makna bila sudah
memiliki hubungan dengan pembaca. Siswanto
(2008:93) memaknai resepsi sastra sebagai kajian yang
mempelajari tentang bagaimana pembaca memberikan
makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga
dapat memberikan tanggapan aktif atau pasif.
Pradopo (2013: 206) memaknai estetika resepsi
adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan
pembaca terhadap karya sastra. Endraswara (2013:
119) berpendapat resepsi sastra merupakan reaksi
pembaca terhadap teks. Reaksi tersebut dapat positif
dan juga negatif. Resepsi yang bersifat positif mungkin
akan membuat pembaca senang atau tertawa,
Imas Juidah & Eli Herlina 97
sebaliknya resepsi negatif mungkin akan membuat
pembaca sedih, jengkel, atau antipati terhadap teks
sastra. Abdullah (dalam Jabrohim, 2015:145)
mengemukakan resepsi sastra adalah aliran yang
meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada reaksi
atau tanggapan pembaca terhadap teks.
Dalam dunia kesusastraan, teori resepsi yang
banyak digunakan adalah teori resepsi Hans Robert
Jauss (horizon harapan) dan Wolfgang Iser (pembaca
implisit).
1. Hans Robert Jauss: Horizon Harapan
Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang
terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi.
Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa
penafsiran bukan sebagai penemuan makna objektif
atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin
1998: 133). Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan
Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau
estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah
yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami
karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang
98 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
mampu menentukan nasib dan peranannya dari
segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya
dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat
diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti
yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-
masing. Baru dalam kaitannya dengan pembaca, karya
sastra mendapat makna dan fungsinya.
Pengalaman pembaca yang dimaksud
mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan
efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang
bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada
setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan
yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan
menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman
pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara
tanggapan baru pembacanya dengan teks yang
membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan
pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak
bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi
dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki
pembaca atas pengalaman sebelumnya (Jauss 1983: 21).
Imas Juidah & Eli Herlina 99
Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada
sesuatu yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai
teori yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak
pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan
pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara
satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan
karena adanya perbedaan horizon harapan dari masing-
masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa
setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis,
artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan
pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas
dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari
horizon harapan setiap pembacanya.
Horizon harapan adalah harapan-harapan
pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca
sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra
yang dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap
aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing
karya di dalam momen historis melalui bentuk dan
pemahaman atas ganre, dari bentuk dan tema karya
yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan
100 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam
kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks
karya sastra mampu menstimulus proses psikis
pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang
dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut
mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya
yang dibacanya.
Horizon harapan seseorang ditentukan oleh
tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan
kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya
sastra. Menurut Segers (dalam Pradopo 2003: 208)
horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama,
ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-
teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan
oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks
yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan
antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca
untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari
harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas
dari pengetahuannya tentang kehidupan.
Imas Juidah & Eli Herlina 101
Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca
sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1)
pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra, (2)
pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan
bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman
membaca karya sastra, (3) pengetahuan dan
pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa
sastra dengan bahasa sehari-hari atau bahasa nonsastra
pada umumnya, dan (4) sidang pembaca bayangan.
Dalam buku Toward an Aesthetic of Reception,
Jauss (1983: 20-45) dipaparkan tujuh tesis sebagai
berikut. Pertama, karya sastra bukanlah obyek yang
bisa berdiri sendiri dengan persepsi yang sama kepada
pembaca di setiap waktu. Karya sastra tersebut bukan
sebuah monolog, tetapi lebih menyerupai sebuah
orkestra yang beresonansi baru kepada pembacanya.
Karya sastra membebaskan sebuah teks dari kumpulan
kata-katanya. Kedua, karya sastra ketika muncul
sebagai karya baru, tidaklah muncul sebagai sesuatu
yang benar-benar baru, tetapi membawa sinyal yang
jelas atau tersirat dan karakter-karakter yang akrab
102 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
maupun kiasan kepada pembaca. Hal ini
membangkitkan perasaan kepada pembaca seolah-olah
ia pernah membaca dan membawa pembaca ke
perasaan emosional atau spesifik. Ketiga, jarak antara
harapan dan karya sastra antara sesuatu yang pernah
didengar atau dibaca dan dengan perubahannya
dituntut dalam sebuah resepsi dari sebuah karya baru.
Keempat, jenis resepsi yang berbeda akan
dihasilkan pada zaman yang berbeda. Karya yang
dihasilkan pada masa lalu akan diresepsi berbeda pada
masa ini. Kelima, deskripsi dari sebuah karya sastra
merupakan pertemuan antara sesuatu yang baru
dengan lama. Keenam, jika sebuah perspektif dari
sebuah resepsi berbenturan dengan pemahaman sebuah
karya baru dengan yang lama, maka dimungkinkan
untuk mengambil jalan tengah sinkronik. Ketujuh,
fungsi sosial dari suatu karya sastra terwujud ketika
pembaca memasuki ruang ekspektasinya, memunculkan
pemahaman akan dunia sehingga akan mempengaruhi
sikap sosialnya. Dari berbagai pendapat mengenai
resepsi sastra tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Imas Juidah & Eli Herlina 103
resepsi sastra merupakan pemberian tanggapan positif
atau negatif terhadap sebuah karya sastra oleh
pembaca. Zaman yang berbeda ketika meresepsi sebuah
karya sastra yang sama, dapat menghasilkan resepsi
yang berbeda.
2. Wolfgang Iser: Pembacaan Implisit
Wolfgang Iser (1926-2007) adalah salah seorang
pakar ilmu-ilmu sastra berkebangsaan Jerman yang
terkenal dengan teori respons pembaca (reader-
response theory). Iser lebih menfokuskan perhatiannya
kepada hubungan individual antara teks dan pembaca
(Wirkungs Estetik, estetika pengolahan). Pembaca yang
dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual,
melainkan Implied Reader (pembaca implisit). Secara
singkat dapat dikatakan bahwa ‘pembaca Implisit’
merupakan suatu instansi di dalam teks yang
memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan
pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan
oleh teks–teks itu sendiri, yang memungkinkan kita
membaca teks itu dengan cara tertentu.
104 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Iser mengemukakan resepsinya dalam bukunya yang
terkenal The Arch of Reading: A Theory of Aesthetic
Response (1978). Menurut Iser, tak seorang pun yang
menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian
terhadap karya sastra. Sekalipun orang berbicara mengenai
otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon
pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan
membaca adalah interaksi antara struktur teks dan
pembacanya. Teori Fenomenologi seni telah menekankan
bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah
teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks.
Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang
diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan
kegiatan konkretisasi (realisasi makna teks oleh pembaca).
Iser (1978:20-21), menyebutkan bahwa karya sastra
memiliki dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik.
Kutub artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik
merupakan realisasi yang diberikan oleh pembaca.
Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks
(perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan
pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca,
fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra
Imas Juidah & Eli Herlina 105
harus dimulai dari kode-kode struktur yang di muat dalam
teks. Aspek verbal (struktur bahasa) perlu dipahami agar
menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur
itu tidak berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca.
Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan
mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang
merupakan kepenuhan penerimaan teks.
E. Intertekstual
Pendekatan intertekstual diperkenalkan atau
dikembangkan lebih jauh oleh Julia Cristeva.
Intertekstual pertama kali ilhami oleh gagasan
pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang
mempunyai minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin,
pendekatan intertekstual menekankan pengertian
bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan,
sisipan, atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra
106 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan, atau
kutipan.
Menurut Cristeva, tiap teks merupakan sebuah
mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan
penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain
(Rokhmansyah, 2014: 119). Cristeva berpendapat
bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, pengarang akan
mengambil komponen-komponen teks yang lain sebagai
bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu
disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika
perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya
yang utuh.
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Cristeva
mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah
seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses
penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa
dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan
pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui
proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan
atau penentangan terletak pada pengarang melalui
Imas Juidah & Eli Herlina 107
proses pembacaan (Worton dalam Rokhmansyah, 2014:
120).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa intertekstual dimaksudkan sebagai
kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai
bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk
menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik
seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya)
bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji.
Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk
memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya
tersebut masalah ada dan tidaknya hubungan antarteks
dan kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran
pembaca.
Dalam kaitan ini Luxemburg dkk. dalam
Nurgiyantoro (2013: 77), mengartikan intertekstualitas
sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu
interteks suatu tradisi budaya, sosial dan sastra, yang
tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian
bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan
dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Kajian
108 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapanpun
karya ditulis ia tidak mungkin lahir dari situasi
kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua
konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya
yang khusus berupa teks-teks kesastrsaan yang ditulis
sebelumnya.
Hiporgam merupakan teks-teks kesastraan yang
dijadikan dasar penulisan bagi teks (Riffaterre dalam
Nurgiyantoro (2013: 78)). Istilah hipogram, barangkali
dapat di Indonesiakan menjadi latar, yaitu dasar walau
mungkin tidak tampak secara eksplisit, bagi penulisan
teks yang lain. Ada di bagian lain, dinyatakan bahwa
untuk mendapatkan makna yang sepenuhnya itu dalam
menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari
konteks sejarah dan konteks sosial-budayanya, dalam
hubungan pembicaraan intertekstual ini berkenaan
dengan konteks sejarah sastranya. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa sebuah karya sastra baik itu puisi
maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara
karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang
kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan
Imas Juidah & Eli Herlina 109
maupun pertentangan. Dengan demikian,
membicarakan karya sastra itu sebaiknya dalam
hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau
sesudahnya (Pradopo, 2013: 167).
Sejalan dengan pendapat di atas, Culler dalam
Ratna (2007: 213), mengungkapkan ada beberapa
konsep penting yang harus dijelaskan agar pemahaman
secara intertekstual dapat dicapai secara maksimal.
Konsep-konsep yang dimaksudkan di antaranya:
recuperation (prinsip penemuan kembali),
naturalization (prinsip untuk membuat yang semula
menjadi asing menjadi biasa), motivation (prinsip
penyesuaian, bahwa teks tidak arbitrer atau tidak
koheren ), vraisemblation (prinsip integrasi antara satu
teks dengan teks atau sesuatu yang lain).
Lebih lanjut Todorov dalam Ratna (2007: 213),
menunjukkan tiga model hubungan teks dalam
kaitannya dengan ciri-ciri vraisemblation, yaitu: 1)
sebagai model hubungan teks tertentu dengan teks lain
yang tersebar di masyarakat, yang disebut sebagai opini
umum, 2) hubungan teks terhadap genre tertentu, dan
110 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
3) kedok yang menutupi teks itu sendiri, tetapi yang
memungkinkanya untuk menghubungkan dengan
realitas, bukan pada hukum-hukumnya sendiri.
F. Dekonstruksi
Munculnya pascastrukturalis secara otomatis
akan melupakan struktur dan akan mendekonstruksi
karya sastra sehingga pascastrukturalis juga sering
disebut dengan istilah dekonstruksi. Dekonstruksi
merupakan ragam teori sastra yang tidak begitu
menghiraukan struktur karya sastra. Menurut Ratna
(2009: 222) dekonstruksi, yang dipelopori oleh Jaques
Derrida, menolak adanya logosentrisme dan
fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan
oposisi biner dan cara-cara berpikir lain yang bersifat
hierarkis dikhotomis.
Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu
cara membaca sebuah teks yang menumbangkan
Imas Juidah & Eli Herlina 111
anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa
sebauh teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa
yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan,
dan makna yang telah menentu Abrams dalam
Nurgiyantoro (2013: 89).
Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa
bahasa telah memilki makna yang pasti, tertentu, dan
konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme
klasik. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk
kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan
objek yang bermakna tertentu dan pasti.
Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan),
dengan demikian adalah menunjukkan bagaimana
meruntuhkan filososif yang melandasinya atau
beroposisi secara hierarkhis terhadap sesuatu yang
menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi
bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam
teks itu yang memproduksi dasar argument yang
merupakan konsep utama Culler dalam Nurgiyantoro
(2013: 90). Paham dekonstruksi mula-mula
dikembangkan oleh seorang filosofis Perancis, Jacques
112 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Derrida, dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh
seperti Paul de Man, J Hills Militer, dan bahkan juga
Levy-Strauss.
Langkah-langkah penereapan pendekatan
dekonstruksi, seperti disintesiskan oleh Rodolph Gasche
(dalam Rokhmansyah, 2014: 125) adalah sebagai
berikut.
1. Mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks dimana
biasanya terlihat peristilahan mana yang
diistimewakan secara sistematis dan mana yang
tidak.
2. Membongkar oposisi biner yaitu dengan cara
membalik oposisi biner marginal menjadi dominan,
decentering, sous rature, dan pengubahan perspektif.
3. Memperkenalkan sebuah gagasan baru yang
ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori
oposisi lama.
Langkah-langkah tersebut jelas menunjukkan
bahwa pembacaan dekonstrukstif berbeda dari
pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari
Imas Juidah & Eli Herlina 113
makna yang ada dalam teks, sedangkan dekonstruksi
berupaya untuk membuktikan bahwa makna itu tidak
tunggal.
G. Feminisme Sastra
Lahirnya pendekatan ini berawal pada
kebanyakan cerita fiksi kedudukan tokoh perempuan
sering diperlakukan, dipandang, atau diposisikan
rendah daripada tokoh laki-laki. Pada umumnya novel
angkatan Balai Pustaka, tokoh perempuan tidak berhak
memilih jodoh sendiri, tidak memiliki suara untuk ikut
mengambil keputusan bahkan yang menyangkut
kepentingan dirinya sebagai manusia.
Keadaan inilah yang menyebabkan perempuan
menggugat karena merasa tidak diperlakukan secara
adil. Mereka tidak mau menerima keadaan yang
memandang dan memperlakukannya sebagai warga
114 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
negara kelas dua, keadaan yang menyubordinasikan
kaumnya. Keadaan tersebut menyebabkan munculnya
gerakan atau paham feminisme sebagai bagian dari
kajian sastra dan budaya tahun 1970-an.
Di Indonesia, emansipasi mulai diperhatikan
sejak Repelita III (1979/1980-1983 /1984), ditandai
dengan pengangkatan menteri Negara urusan peranan
wanita. Secara akademis ditandai dengan dibukanya
program studi kajian wanita di UGM dan Universitas
Indonesia. Tokoh tokoh feminis atau pengarang
perempuan di Indonesia antara lain: Saryamin,
Hamidah, Maria Amin, Nursyamsyu, Waluyati, Idah
Nasution, S.Rukiah, Siti Nuraini, Swarsih Djojo Puspito,
NH. Dini, Titie Said, Titis Basino, Popi Hutagalung, Isma
Sawitri, Marga T., La Rose, Aryanti, Marianne Katoppo,
Maria A. Sarjono, Yati M. Wiharja, Oka Rusmini, Ayu
Utami, Dee, dan sebagainya.
Menurut Maggie Hum dalam Nurgiyantoro
(2013: 108), mengemukakan bahwa feminisme
menggabungkan doktrin persamaan hak bagi
perempuan menjadi gerakan yang terorganisasi untuk
Imas Juidah & Eli Herlina 115
mencapai hak asasi dengan sebuah ideologi
transformasi sosial yang bertujuan menciptakan dunia
bagi perempuan. Sedangkan menurut Ratna (2013:
184), dalam pengertian yang paling luas feminis adalah
gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu
yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan
direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam
bidang politik dan ekonomi mauoun kehiduoan sosial
pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit
yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara
memahami karya sastra abik dalam kaitannya dengan
proses produksi maupun resepsi.
Feminisme menurut Goefe (melalui Sugihastuti
dan Suharto, 2002: 18) adalah teori tentang persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan di segala bidang.
Suatu kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan
hak-hak serta kepentingan perempuan. Hal ini
disebabkan perempuan mengalami ketimpangan gender
selama ini. Feminisme hegemoni patriarkat. Identitas
diperlukan sebagai dasar pergerakan memperjuangkan
kesamaan hak dan membongkar akar dari segala
116 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
ketertindasan perempuan. Tujuan feeminnis adalah
mengakhiri dominasi laki-laki dengan cara
menghancurkan struktur budaya, segala hukum dan
aturan-aturan yang menempatkan perempuan sebagai
korban yang tidak tampak dan tidak berharga. Hal ini
diterima perempuan sebagai marginalisasi, subordinasi,
stereotipe, dan kekerasan.
Menurut Fakih (2003: 99-100) feminisme
berangkat dari asumsi bahwa perempuan pada
dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Feminisme
merupakan perjuangan dalam rangka
mentransformasikan sistem yang dahulu tidak adil
menuju ke sistem yang lebih adil bagi kedua jenis
kelamin. Hakikat feminisme adalah gerakan
transformasi sosial. Puncak cita-cita feminis adalah
menciptakan sebuah tatanan baru yang lebih baik dan
lebih adil untuk laki-laki dan perempuan.
Imas Juidah & Eli Herlina 117
H. Poskolonialisme
Teori poskolonial dapat didefinisikan sebagai
teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat
yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008: 120).
Analisis menggunakan teori poskolonial dapat
digunakan untuk menelusuri aspek-aspek tersembunyi
atau dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat
diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja. Selain itu,
untuk membonngkar disiplin, lembaga, ideologi, yang
mendasarinya. Dalam hubungan inilah, bahasa, sastra,
dan kebudayaan dapat memainkan peranan sebab
dalam ketiga gejala tersebut mengandung wacana
sebagaimana diintensikan oleh kelompok kolonialis
(Ratna, 2008: 104).
Teori poskolonial awanya dikhususkan bagi
penelitian negara-negara yang secara langsung pernah
menjadi koloni. Tetapi, pada perkembangannya,
118 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
poskolonialisme dianggap telah berpengaruh secara
global. Fungsi selanjutnya, dengan adanya teori tersebut
adalah adanya kesadaran nasional. Selanjutnya,
pengalaman yang pernah ada di Indonesia mengenai
hegemoni penjajah terhadap bangsa Indonesia bisa
dijadikan pelajaran untuk menata masa depan yang
lebih baik.
Objek kajian poskolonialisme di Indonesia yang
secara umum mengacu kepada poskolonialisme Barat,
mengalami beberapa masalah. Pertama, objek tidak bisa
dibatasi secara pasti. Meskipun demikian, dalam ruang
lingkup yang paling sempit, objek poskolonialisme di
Indonesia adalah masa-masa sesudah proklamasi.
Dalam hal ini, poskolonialisme sama dengan
pascakolonialisme. Secara harfiah, pascakolonialisme di
Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1945, sejak
diumumkannya proklamasi kemerdekaan Soekarno-
Hatta.
Kedua, secara definitif poskolonialisme adalah
teori, pemahaman, dalam kaitannya dengan kondisi-
kondisi suatu wilayah negara yang pernah mengalami
Imas Juidah & Eli Herlina 119
kolonisasi. Jadi, objeknya terbentang sejak Belanda tiba
pertama kali di Banten sampai sekarang. Ketiga, dengan
mempertimbangkan kaitannya dengan orientalisme
maka objek poskolonialisme sudah ada sebelum
kedatangan bangsa Belanda dan kolonialis lain hingga
sekarang. Tokoh-tokoh poskolonialisme yaitu Edward
Said, Homi, K Bhaba, dan Gayatri Spivak.
120 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Teori Sastra Interdisipliner BAB
8
A. Sosiologi Sastra
Bidang sosiologi sastra merupakan bidang
interdispliner ilmu sastra dengan teori-teori ilmu sosial.
Sosiologi sasta menurut Damono (1979: 2) merupakan
pendekatan terhadap karya sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatn. Menurut
Endraswara (2008: 87-88) sosiologi sastra adalah
penelitian tentang: a) studi ilmiah manusia dan
masyarakat secara objektif, b) studi lembaga-lembaga
sosial lewat sastra dan sebaliknya, c) studi proses sosial
yaitu bagaimana masyarakat bekerja dan bagaimanaa
masyarakat melangsungkan kehidupannya.
Imas Juidah & Eli Herlina 121
Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi
mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan
dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara
karya sastra dengan masyarakat, antara lain: 1)
pemahaman terhadap karya sastra dengan
pertimbangan aspek kemasyarakatannya; 2)
pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai
dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di
dalamnya; 3) pemahaman terhadap karya sastra
sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang
melatarbelakngi; 4) sosiologi sastra adalah hubungan
dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat;
dan 5) sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas
interdepedensi antara sastra dengan masyarakat.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap
karya sastra yang masih mempertimbangkan karya
sastra dan segi-segi sosial. Wellek dan warren (dalam
Rokhmansyah, 2014: 148) membagi sosiologi sastra
sebagai berikut.
122 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
1. Sosiologi pengarang, profesi pengaramg, dan
isntitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini
adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar
belakang sosial status pengarang, dan ideologi
pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan
pengarang di luar karya sastra karena setiap
pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat
dipelajari sebagai mahluk sosial. Biografi pengarang
adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat
meluas ke lingkungan tempat tinggal. Dalam hal ini,
informasi tentang latar belakang keluarga, atau
posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran
dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang
(Wellek dan Warren, 1989: 112).
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya
sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya
sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan
yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari
sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret
kenyataan sosial.
Imas Juidah & Eli Herlina 123
3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca
dan dampak sosial karya sastra, pengarang
dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni
tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga
membentuk banyak orang meniru gaya hidup tokoh-
tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam
kehidupannya.
B. Psikologi Sastra
Psikologi sastra melakukan kajian sastra dengan
memandang karya sastra sebagai kegiatan kejiwaan
baik dari sang penulis maupun para pembacanya
(Kinanti, 2006). Karya sastra, terutama yang berbentuk
prosa seperti cerpen, drama dan novel pasti selalu
menampilkan kisah tokoh-tokoh dalam menjalani
kehidupan mereka. Dalam menuliskan karyanya, para
pengarang pasti menghadirkan tokoh dengan karakter
124 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
dan perilaku yang unik untuk menambah daya tarik
pada cerita yang dituliskannya. Aspek inilah yang
diangkat oleh psikologi sastra sebagai bahan kajian,
terutama mengenai latar belakang tindakan dan pikiran
dari para tokoh dalam karya sastra terkait.
Wellek dan Austin (1989:90) menjelaskan
bahwa psikologi sastra memiliki empat arti. Pertama,
psikologi sastra adalah pemahaman kejiwaan sang
penulis sebagai pribadi atau tipe. Kedua, pengkajian
terhadap proses kreatif dari karya tulis tersebut. Ketiga,
analisa terhadap hokum-hukum psikologi yang
diterapkan dalam karya sastra. Dan keempat, psikologi
sastra juga diartikan sebagai studi atas dampak sastra
terhadap kondisi kejiwaan daripada pembaca.
Sementara itu, menurut Ratna (240:350)
psikologi sastra adalah analisa terhadap sebuah karya
sastra dengan menggunakan pertimbangan dan
relevansi ilmu psikologi. Ini berarti penggunaan ilmu
psikologi dalam melakukan analisa terhadap karya
sastra dari sisi kejiwaan pengarang, tokoh maupun para
pembaca. Dengan kata lain, dapat juga dikatakan bahwa
Imas Juidah & Eli Herlina 125
psikologi sastra melakukan kajian terhadap kondisi
kejiwaan dari penulis, tokoh maupun pembaca hasil
karya sastra. Secara umum dapat diambil kesimpulan
adanya hubungan yang erat antara ilmu psikologi
dengan karya sastra.
Teori psikologi yang banyak dimanfaatkan
teorinya dalam studi sastra adalah Sigmund Frued
dengan teorri psikoanalisisnya. Selain itu juga banyak
digunakan teori lain seperti Carl Gustav Jung (psikologi
kepribadian, Hurlock (psikologi perkembangan), dan
beberapa tokoh lainnya. Berikut akan dipaparkan teori
psikologi kepribadian yang sering digunakan dalam
penelitian psikologi sastra, yaitu psikoanalsis Frued dan
psikologi kepribadian Jung.
1. Psikoanalisis Sigmund Frued
Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga
tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar
(preconscious), dan tak sadar (unconscious). Freud
berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu
sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu das Es, das Ich,
126 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
dan das Ueber Ich (dalam bahasa Inggris dinyatakan
dengan the Id, the Ego, dan the Super Ego).
a. Id (das Es)
Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu,
ego sebagai perdana menteri dan superego sebagai
pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolut,
harus dihormati, manja, sewenang-wenang, dan
mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya
harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri
yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan
segala 19 pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan
tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego,
ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh
pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus
mengingatkan si id yang rakus dan serakah bahwa
pentingnya perilaku yang arif dan bijak. Id merupakan
energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar
memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya
kebutuhan: makan, sesk menolak rasa sakit atau tidak
nyaman. Menurut Freud, id berada di alam bawah sadar,
tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id
Imas Juidah & Eli Herlina 127
berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu
mencari kenikmatan dan selalu menghindari
ketidaknyamanan (Minderop, 2013: 21).
b. Ego (das Ich)
Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang
bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip
realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan
individu yang dibatasi oleh realitas. Seseorang penjahat,
misalnya, atau seorang yang hanya ingin memenuhi
kepuasan diri sendiri, tertahan dan terhalang oleh
realitas kehidupan yang dihadapi. Demikian pula
dengan adanya individu yang memiliki impuls-impuls
seksual dan agresivitas yang tinggi misalnya; tentu saja
nafsu-nafsu tersebut tidak terpuaskan tanpa
pengawasan. Demikianlah, ego menolong manusia
untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan
diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan
bagi dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar
dan alam bawah sadar. tugas ego memberi tempat pada
fungsi mental utama, misalnya: 20 penalaran,
penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan.
128 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Dengan alasan ini, ego merupakan pimpinan utama
dalam kepribadian; layaknya seorang pimpinan
perusahaan yang mampu mengambil keputusan
rasional demi kemajuan perusahaan. Id dan ego tidak
memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal
nilai baik dan buruk (Minderop, 2013: 22).
c. Superego (das Über Ich)
Struktur yang ketiga ialah superego yang
mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego
sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai
baik dan buruk (conscience). Sebagaimana id, superego
tidak mempertimbangkan realitas karena tidak
bergumul dengan hal-hal realistik, kecuali ketika impuls
seksual dan agresivitas id dapat terpuaskan dalam
pertimbangan moral. Jelasnya, sebagai berikut: misalnya
ego seseorang ingin melakukan hubungan seks secara
teratur agar karirnya tidak terganggu oleh kehadiran
anak; tetapi id orang tersebut menginginkan hubungan
seks yang memuaskan karena seks itu nikmat.
Kemudian superego timbul dan menengahi dengan
Imas Juidah & Eli Herlina 129
anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan
seks (Minderop, 2013: 22-23).
2. Psikologi Kepribadian C. G. Jung
Garis besar dari teori kepribadian Jung adalah
bahwa kepribadian seseorang terdiri dari dua alam
yaitu alam kesadaran (conscious) dan alam
ketaksadaran (unconscious). Struktur kesadaran
mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan
sikap jiwa. Sikap jiwa ialah energi psikis atau libido yang
menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap
dunianya. Arah energi psikis itu dapat keluar ataupun ke
dalam dan demikian pula arah orientasi manusia
terhadap dunianya dapat keluar ataupun ke dalam.
Berdasarkan atas sikap jiwanya manusia, dapat
digolongkan menjadi dua tipe, yaitu tipe ekstrovert dan
tipe introvert.
Fungsi jiwa merupakan suatu bentuk aktivitas
kejiwaan yang secara teori tidak berubah dalam
lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan
empat pokok fungsi jiwa, yaitu pikiran dan perasaan
130 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
yang merupakan fungsi rasional, serta penginderaan
dan instuisi yang merupakan fungsi irasional
(Suryabrata, 2010: 158). Sikap dan fungsi jiwa pada
struktur kesadaran manusia yang diungkapkan Jung
dapat digabungkan menjadi sebuah tipologi. Tipologi
Jung merupakan kombinasi sikap dan fungsi untuk
mendeskripsikan tipe kepribadian manusia. Jung
membagi tipe kepribadian manusia menjadi delapan
tipe, yaitu ektrovert pemikir, ekstovert perasa,
ekstrovert pengindera, ekstrovert intuitif, introvert
pemikir, introvert perasa, introvert pengindera, dan
intovert intuitif (Alwisol, 2011: 47).
C. Antropologi Sastra
Antropologi sastra menurut Endaswara (2013:4)
adalah penelitian terhadap pengaruh timbal balik antara
sastra dan kebudayaan. Sejalan dengan pendapat
tersebut Ratna (2011:31) antropologi sastra sastra
Imas Juidah & Eli Herlina 131
adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra
dalam kaitannya dengan kebudayaan. Kedekatan sastra
dan antropologi tidak dapat diragukan antropologi
sastra muncul dari banyaknya karya sastra yang syarat
nilainilai budaya yang terkandung di dalamnya Dengan
melihat pembagian antropologi menjadi dua macam,
yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka
antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan
antropologi kultural, dengan karya-karya yang
dihasilkan manusia, seperti bahasa, religi, mitos,
sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya
karya sastra (Ratna, 2011: 351). Berkaitan dengan tiga
macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh
manusia, yaitu kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas,
dan kompleksitas benda-benda, maka antropologi sastra
memusatkan perhatian pada kompleksitas ide
kebudayaan. Sejalan dengan pendapat di atas,
Endraswara (2013:107) menyatakan bahwa penelitian
antropologi sastra dapat menitikberatkan pada dua hal.
Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau
sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya
132 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat
aspek-aspek budaya masyarakat.
Jadi, selain meneliti aspek sastra dari tulisan
etnografi, fokus antropologi sastra adalah mengkaji
aspek budaya masyarakat dalam teks sastra. Oleh
karena itu sesuai konteksnya, penelitian antropologi
sastra seperti apa yang dikemukakan oleh Endaswara
(2013:19) merupakan telaah struktur sastra (novel,
cerpen, puisi, drama, cerita rakyat) lalu
menghubungkannya dengan konsep atau konteks
situasi sosial budayanya. Terkait dengan karya sastra
yang di dalamnya terdapat tokoh dan penokohan, maka
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Endaswara
di atas maka penelitian antropologi sastra merupakan
penelitian yang menggambarkan perilaku dan sikap
tokoh-tokoh (penokohan) dalam karya sastra tersebut
guna mengungkap budaya masyarakat tertentu.
Imas Juidah & Eli Herlina 133
D. Sastra Bandingan
Sastra bandingan merupakan salah satu dari
sekian banyak pendekatan yang ada dalam ilmu sastra.
Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul di
Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan
dikemukan oleh SanteBeuve dalam sebuah artikelnya
yang terbit tahun 1868 (Damono, 2005: 14).
Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal
abad ke-19 telah muncul studi sastra bandingan di
Prancis. Sedangkan pengukuhan terhadap pendekatan
perbandingan terjadi ketika jurnal Revue Litterature
Comparee diterbitkan pertama kali pada tahun 1921.
Dalam sastra bandingan dikenal dua mazhab, yaitu
mazhab Amerika dan Prancis. Mazhab Amerika
berpendapat bahwa sastra bandingan memberi peluang
untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang
lain di luar sastra, misalnya seni, filsafat, sejarah, agama,
134 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis berpendapat
bahwa sastra bandingan hanya memperbandingkan
sastra dengan sastra. Namun demikian, kedua mazhab
tersebut bersepakat bahwa sastra bandingan harus
bersifat lintas negara, artinya berusaha membandingkan
sastra satu negara dengan sastra negara lain.
Menurut Endraswara (2011) sastra bandingan
adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini
merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak
memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu
dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat
membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda.
Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra
bandingan menurut wilayah geografis sastra. Konsep ini
mempresentasikan bahwa sastra bandingan memang
cukup luas. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya,
konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra
dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna
merunut keterkaitan antar aspek kehidupan.
Dalam sastra bandingan, perbedaan dan
persamaan yang ada dalam sebuah karya sastra
Imas Juidah & Eli Herlina 135
merupakan objek yang akan dibandingkan. Remak
menjelaskan bahwa dalam sastra bandingan yang
dibandingkan adalah kejadian sejarah, pertalian karya
sastra, persamaan dan perbedaan, tema, genre, style,
perangkat evolusi budaya, dan sebagainya (1990: 13).
Remak lebih jauh juga memberikan batasan tentang
objek sastra bandingan. Menurut Remak, yang menjadi
objek sastra bandingan hanyalah karya sastra nasional
dan karya sastra dunia (adiluhung).
Selain itu, dapat dipahami bahwa dasar
perbandingan adalah persamaan dan pertalian teks.
Jadi, hakikat kajian sastra bandingan adalah mencari
perbedaan atau kelainan, di samping persamaan dan
pertalian teks dan yang terpenting dari kajian sastra
bandingan adalah bagaimana seorang peneliti mampu
menemukan serta membandingkan kekhasan sastra
yang dibandingkan.
Hutomo (1993: 19) menjelaskan bahwa, dalam
praktek penelitian sastra bandingan di Indonesia, secara
garis besar, dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu
sebagai berikut.
136 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
1. Sastra bandingan dalam kaitanya dengan filologi.
2. Sastra bandingan dalam hubunganya dengan sastra
lisan.
3. Sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan
tulis, baik yang tertulis dalam bahasa indonesia yang
masih bernama Bahasa Melayu maupun yang ditulis
dalam Bahasa Indonesia.
E. Ekranisasi
Transformasi dari karya sastra ke bentuk film
dikenal dengan istilah ekranisasi. Istilah ini berasal dari
bahasa Prancis, écran yang berarti ‘layar’. Ekranisasi
adalah pelayar putihan atau pemindahan atau
pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste
(1991:60–61) menambahkan yang dimaksud dengan
ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan
atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran
dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel
Imas Juidah & Eli Herlina 137