ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya
berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat dikatakan,
ekranisasi adalah proses perubahan bisa mengalami
penciutan, penambahan dan perubahan dengan
sejumlah variasi.
Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala
sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, alur,
penokohan, latar, suasana, dan gaya sebuah novel
dibangun dengan kata-kata. Pemindahan novel ke layar
putih, berarti terjadinya perubahan pada alat-alat yang
dipakai, yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia
gambar-gambar yang bergerak berkelanjutan. Sebab di
dalam film, cerita, alur, penokohan, latar, suasana dan
gaya diungkapkan melalui gambar-gambar yang
bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan
atau diungkapkan dengan katakata, kini harus
diterjemahkan ke dunia gambar-gambar.
Eneste (1991:60–61) menyatakan bahwa pada
proses penggarapannya pun terjadi perubahan. Novel
adalah kreasi individual dan merupakan hasil kerja
perseorangan. Seseorang yang mempunyai pengalaman,
138 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
pemikiran, ide, atau hal lain, dapat saja menuliskannya
di atas kertas dan jadilah sebuah novel yang siap untuk
dibaca atau tidak dibaca orang lain. Tidak demikian
pembuatan film. Film merupakan kerja gotong royong.
Bagus tidaknya sebuah film, banyak bergantung pada
keharmonisan kerja unit-unit di dalamnya: produser,
penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata
artistik, perekam suara, para pemain, dan lain-lain.
Dengan kata lain, ekranisasi berarti proses perubahan
dari sesuatu yang dihasilkan secara individual menjadi
sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (gotong-
royong).
Eneste (1991:61—66) perubahan yang terjadi
dalam ekranisasi adalah sebagai berikut.
1. Pengurangan
Salah satu langkah yang ditempuh dalam proses
transformasi karya sastra ke film adalah pengurangan.
Pengurangan adalah pengurangan atau pemotongan
unsur cerita karya sastra dalam proses transformasi.
Eneste (1991:61) menyatakan bahwa pengurangan
dapat dilakukan terhadap unsur karya sastra seperti
Imas Juidah & Eli Herlina 139
cerita, alur, tokoh, latar, maupun suasana. Dengan
adanya proses pengurangan atau pemotongan maka
tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan
dijumpai pula dalam film. Dengan demikian akan terjadi
pemotongan-pemotongan atau penghilangan bagian di
dalam karya sastra dalam proses transformasi ke film.
Eneste (1991:61—62) menjelaskan bahwa
pengurangan atau pemotongan pada unsur cerita sastra
dilakukan karena beberapa hal, yaitu: (1) anggapan
bahwa adegan maupun tokoh tertentu dalam karya
sastra tersebut tidak diperlukan atau tidak penting
ditampilkan dalam film. Selain itu, latar cerita dalam
novel tidak mungkin dipindahkan secara keseluruhan ke
dalam film, karena film akan menjadi panjang sekali.
Oleh karena itu, latar yang ditampilkan dalam film
hanya latar yang memadai atau yang penting-penting
saja. Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari
pertimbangan tujuan dan durasi waktu penayangan. (2)
Alasan mengganggu, yaitu adanya anggapan atau alasan
sineas bahwa menghadirkan unsur-unsur tersebut
justru dapat mengganggu cerita di dalam film. (3)
140 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Adanya keterbatasan teknis film atau medium film,
bahwa tidak semua bagian adegan atau cerita dalam
karya sastra dapat dihadirkan di dalam film. (4) Alasan
penonton atau audiens, hal ini juga berkaitan dengan
persoalan durasi waktu.
2. Penambahan
Eneste (1991:64) menyatakan bahwa seorang
sutradara mempunyai alasan tertentu melakukan
penambahan dalam filmnya karena penambahan itu
penting dari sudut filmis.
3. Perubahan Bervariasi
Perubahan bervariasi adalah hal ketiga yang
memungkinkan terjadi dalam proses transformasi dari
karya sastra ke film. Menurut Eneste (1991:65),
ekranisasi memungkinkan terjadinya variasi-variasi
tertentu antara novel dan film. Variasi di sini bisa
terjadi dalam ranah ide cerita, gaya penceritaan, dan
sebagainya. Terjadinya variasi dalam transformasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media
yang digunakan, persoalan penonton, durasi waktu
pemutaran. Eneste (1991:67) menyatakan bahwa dalam
Imas Juidah & Eli Herlina 141
mengekranisasi pembuat film merasa perlu membuat
variasi-variasi dalam film, sehingga terkesan film yang
didasarkan atas novel itu tidak seasli novelnya.
142 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Penerapan Teori Feminisme: BAB
Fenomena Gender Violence Tokoh 9
Utama Perempuan dalam Novel
Dwilogi Slindet Karya Kedung Darma
Romansha
A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan proses kreatif dari
seorang pengarang yang menghasilkan sebuah gagasan,
konsep, dan ide yang mengambil tema dari masyarakat.
Proses kreatif ini menjadikan masyarakat (pembaca)
merasa bahwa karya sastra yang dibuat pengarang
menggambarkan kehidupan dirinya sendiri, walaupun
gambaran kehidupan ini berdasarkan imajinasi yang
dibuat pengarang. Sastra dengan demikian
Imas Juidah & Eli Herlina 143
menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu
sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Damono,
1979:1). Sastra sebagai bagian dari kebudayaan
memiliki peranan yang cukup penting dalam
mendokumentasikan apa yang terjadi dalam
masyarakat. Karya sastra pada dasarnya terdiri atas tiga
jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama. Masing-masing jenis
karya sastra tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Khusus prosa, memiliki cara tersendiri
dalam menyampaikan suatu cerita. Prosa biasanya
berisi cerita yang panjang, di dalamnya terdapat konflik
dan diakhiri dengan penyelesaian yang disesuaikan
dengan tema cerita. Prosa terdiri atas dua macam, yaitu
prosa fiksi dan prosa nonfiksi. Salah satu jenis prosa
fiksi adalah novel.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra
yang di dalamnya memuat sejumlah peristiwa, gejala
sosial, budaya, politik yang pernah terjadi di masyarakat
pada masa tertentu. Kisah yang dimuat dalam novel pun
beragam sangat beragam seperti kisah percintaan,
sosial, agama, sindiran ekonomi, dan yang paling
144 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
mendapat perhatian yaitu tentang seks, perempuan, dan
kesetaraan gender. Kesadaran mengenai pentingnya
keadilan dan kesetaraan gender, atau yang lebih dikenal
dengan feminisme merupakan salah satu fenomena
yang mengemukan dalam sejumlah karya sastra di
Indonesia. Walaupun tidak digambarkan secara
eksplisit, sejumlah novel Indonesia sejak awal
perkembangannya, ternyata telah mempersoalkan
pentingnya keadilan dan kesetaraan gender.
Kekerasan gender telah mengakibatkan hal-hal
yang tidak menyenangkan seperti pembunuhan,
penyiksaan, dan pencerahan terhadap perempuan baik
secara fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi. Sebuah
artikel yang diterbitkan oleh pusat penelitian UNICEF
dengan judul Domestic Violence Against Women and Girls
mengungkapkan bahwa deklarasi PBB telah
menetapkan bahwa kekerasan terhadap perempuan
merupakan kekerasan gender yang telah menyebabkan
penderitaan fisik, seksual dan psikologis terhadap kaum
perempuan, termasuk ancaman bagi kemerdekaannya
baik di dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat
Imas Juidah & Eli Herlina 145
(Coomaraswamy, 2008: 2). Perbedaan gender ini
kemudian menimbulkan terjadinya struktur
ketidakadilan seperti marginalisasi, subordinasi, dan
bahkan kekerasan (violence) terhadap kaum
perempuan.
Perempuan selama ini dipandang sebagai sosok
yang lemah. Banyak anggapan yang beredar di
masyarakat tentang diri perempuan itu sendiri yang
menyebabkan perempuan semakin terpinggirkan.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diasumsikan bahwa
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam
masyarakat juga dapat ditemukan dalam karya sastra,
termasuk Dwilogi “Slindet” karya Kedung Darma
Romansha yang berlatar di Cikedung-Indramayu. Oleh
karena itu, pembahasan mengenai kekerasan terhadap
perempuan dalam Dwilogi “Slindet” karya Kedung
Darma Romansha penting dilakukan untuk
mendapatkan gambaran tentang kekerasan terhadap
perempuan yang terjadi di dalam kehidupan
masyarakat Indramayu. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan bentuk gender violence yang dialami
146 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
tokoh utama perempuan dalam novel Dwilogi Kelir
Slindet karya Kedung Darma Romansha yang meliputi
physical violence, psychological violence, dan sexual
violence tokoh utama novel Dwilogi Kelir Slindet karya
Kedung Darma Romansha.
B. Pembahasan
Fenomena Gender Violence Novel Kelir Slindet
Karya Kedung Darma Romansha
1. Kekerasan Fisik (Physical Violence)
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan wujud
kekerasan fisik dalam tokoh utama pada novel Kelir
Slindet karya Kedung Darma Romansha, yaitu “Penyanyi
dangdut” dan “Safitri”. Berikut data dan hasil
analisisnya.
Jika ada yang bergoyang dalam posisi rendah,
maka anak-anak usil itu, dengan sebatang lidi kecil
Imas Juidah & Eli Herlina 147
menyogok-nyogokkan lidi ke bagian tubuh tertentu si
penyanyi dangdut (Kelir Slindet, 2014: 28).
Ditariknya tangan Safitri, tapi Safitri menolak.
Malah ia kembali naik kembali ke panggung (Kelir
Slindet, 2014: 172).
2. Kekerasan Psikologi (Psychological Violence)
Psychological violence atau kekerasan psikologi
adalah setiap perbuatan dan ucapan mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya
pada seseorang. Kekerasan psikologi memang tidak
meninggalkan bekas sebagaimana kekerasan fisik, tetapi
berkaitan dengan harga diri perempuan. Pelanggaran
komitmen, penyelewengan, teror mental dan teror
pembunuhan, serta pengucapan kata-kata yang tidak
menyenangkan merupakan kekerasan psikologi yang
dialami oleh tokoh perempuan (Sofia, 2009:42).
Kekerasan psikologi pada tokoh perempuan dalam
novel Kelir Slindet karya Kedung Darma Romansha yaitu
berupa pengucapan kata-kata yang tidak
menyenangkan. Berikut data dan hasil analisisnya.
148 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
“Sedang apa kamu di sini? Tidak lihat ada orang
latihan kasidah? Mengganggu latihan saja, pergi! Dasar
anak malas! Bodoh!” bentak musthafa dengan ketus
(Kelir Slindet, 2014: 4).
“Anak telembuk, tetap telembuk! Ngimpi jadi
orang terkenal!” Ketus Sukirman (Kelir Slindet, 2014: 20).
“Mending dengan Santi, masih kencang tubuhnya.
Daripada sama kamu, hah, sudah kendor. Urus saja
anakmu itu, jangan bermimpi banyak jadi penyanyi
dangdur terkenal. Goblok!” (Kelir Slindet, 2014: 21).
“Biarkan saja, namanya juga anaknya kaji
nyupang, cocok sama anaknya telembuk, sama-sama
tidak benarnya,” lanjut Sulistiowati. Mulutnya kadang
melenceng ke kanan dan ke kiri mengikuti muatan kata
yang diucapkannya (Kelir Slindet, 2014: 44).
“Anak bodoh, kalau kamu menikah dengan
Musthafa, semua beban taka da lagi. Hidup kita makmur,
Fit. Emak tidak perlu bercita-cita jadi TKW ke Arab Saudi
lagi. Cukup di Cikedung sambil menimang cucu (Kelir
Slindet, 2014: 72).
“Emak lakukan seperti ini untuk masa depanmu.
Goblok! Kamu ingin Emak jadi telembuk lagi?! Punya
anak satu-satunya susah diatur. Diajak benar tidak mau.
Sudah untung kita diperhatikan keluarga Kaji Nasir.
Dasar anak tidak tahu diri!” (Kelir Slindet, 2014: 72-73).
Imas Juidah & Eli Herlina 149
“Hei! Mau kemana kamu? Kalau mau pergi tape-
nya dimatiin dulu! Goblok! Anak sialan!” mulut Saritem
terus nyerocos mengantarkan Safitri pergi. Saritem
masuk ke dalam kamar Safitri dan mematikan tapenya
(Kelir Slindet, 2014: 74).
“Kenapa kamu menolak lamarannya? Sudah
untung dia menyukaimu. Jarang-jarang orang seperti
musthafa melamarmu. Kurang apa dia? Kaya, pandai,
dan terpandang di kampung ini. Kamu sudah cukup umur
Safitri. Dasar anak bodoh! Dikasih hati malah meludahi.
Kamu ingin emakmu ini jadi telembuk lagi? Kita ini
miskin. Ingat, miskin Safitri,” terang Saritem sambil
memendam kejengkelannya (Kelir Slindet, 2014: 95).
“Hei, sudah berani melawan orang tua. Sudah
untung anak telembuk dilamar seorang dari keluarga
baik-baik. Koplok! Memang susah ngurus anak gadis satu
ini. Terus saja nyanyi dangdut, lama-lama kamu jadi
penyanyi danggut keliling. Sialan!” (Kelir Slindet, 2014:
97).
3. Kekerasan Seksual (Sexual Violence)
Sexual violence atau kekerasan seksual dilakukan
dengan pemaksaan hubungan seksual melalui ancaman,
intimidasi atau paksaan secara fisik, memaksa
hubungan seksual yang tidak diinginkan atau memaksa
hubungan dengan orang lain (Coomarawamy, 2008:2).
150 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Kekerasan seksual dirasakan langsung oleh penyanyi
dangdut dalam novel Kelir Slindet yang melakukan
paksaan secara fisik dengan cara memasukkan kepala
seorang penyawer ke dalam rok penyanyi dangdut,
menyelipkan uang saweran ke dalam bra penyanyi
dangdut dan tangan penyawer meraba bagian punggung
sampai pinggul. Berikut data dan kutipannya.
Ada penyawer yang tiba-tiba terlentang dan
kepalanya masuk ke dalam rok. “Awas jatuh yang di
dalam rok!” teriak seseorang dari belakang. Kemudian
penyawer segera bangkit dan berlagak mabuk sambil
menyelipkan uang ke dalam bra perempuan bahenol itu.
Sementara di gigir punggung depan, tangan-
tangan menyerempet pinggul penyanyi dangdut,
kemudian ia cium kembali tangannya – semacam bau
birahi yang membuatnya bergairah (Kelir Slindet, 2014:
27).
Keseluruhan masalah kekerasan terhadap tokoh
perempuan yang terdapat pada novel Kelir Slindet karya
Kedung Darma Romansha yaitu meliputi kekerasan
fisik, kekerasan psikologi, dan kekerasan seksual.
Imas Juidah & Eli Herlina 151
Fenomena Gender Violence Tokoh Utama
Perempuan dalam Novel Telembuk Karya Kedung
Darma Romansha
1. Kekerasan Fisik (Physical Violence)
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan wujud
kekerasan fisik dalam tokoh utama pada novel Telembuk
karya Kedung Darma Romansha, yaitu “Safitri”. Berikut
data dan hasil analisisnya.
Safitri, yang tiba-tiba dibungkam dari belakang
oleh segerombolan para lelaki yang berjumlah tiga
orang, iya membabibuta tangan Safitri menjambak
rambut orang yang tengah membungkam dari belakang
sesaat orang itu melepas bungkamnya Safitri
mendorongnya dengan kuat-kuat dan orang tersebut
hampir saja terjatuh. Tak lama kemudian Safitri
melepaskan celana dalamnya."Ayo! Kalian mau ini?!"
Safitri duduk mengangkang, memperlihatkan
kemaluannya."kenapa diam?! Bajingan! Kirik!"ketiga
laki-laki itu diam."ayo lakukan, bajingan! kalau cuma
tubuhku yang kalian mau, aku kasih! Bajingan tengik!"
Safitri meradang. "Yang ini jangan diambil, kirik!"iya
berdiri dengan sempoyongan sambil tarik-menarik
dengan laki-laki itu.laki-laki itu meluap kemarahannya
kemudian ia tarik tas itu dengan paksa lalu didorongnya
152 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Safitri dengan kasar. Tubuh Safitri tersungkur ke depan.
Safitri tak sadarkan diri (Telembuk, 2017:133).
"Bajingan...!!!! Kirik!!" teriak Diva kalap. "Pantas
saja uang ku selalu habis, pasti karena Telembuk satu ini!
Kirik! Setan! Bangsat kamu!" Diva menjerit campur
tangis yang berlebih. Iya lempar sepatu hak tinggi nya
kearah perempuan itu. Satu sepatu lolos melewati atas
kepala perempuan itu, yang satunya lagi mengenai buah
dada sebelah kiri perempuan itu. Plak! Satu tamparan
bang Alek mengenai pipi Diva."Dasar tlembuk nyupang!"
ujar Mang Alek (Telembuk, 2017: 89).
"Setelah perempuan sialan itu menemukan ku, aku
langsung digamparnya dan di dorong nya hingga
terjatuh. Seluruh barang-barangku ia pecahkan.
Dilemparnya segala barang ke dinding persis diatas ku.
Aku meringkuk kesakitan sambil terus menangis. Bahkan
aku tak tahu apa yang aku tangisi. Bergerak pun aku
takut. Aku tak tahu salahku apa dan harus bagaimana.
Sementara orang-orang hanya melihat dan
mengerumuni rumahku. Ada juga yang menggunjing ku.
Ujar Mak Dayem (Telembuk, 2017: 72).
"Benar, suamiku sedang mesra-mesraan dengan
seorang gadis seumuran denganku. Bajingan! Setan! Aku
marah. Entah marah pada diriku sendiri atau pada
suamiku. Aku kalap. Aku lempar botol minuman ke arah
suamiku dan perempuan itu. Meja warung berantakan.
Satu botol bir mengenai lengan perempuan itu. Satunya
lagi entah melesat ke mana. Suamiku marah besar. Dan
Imas Juidah & Eli Herlina 153
dengan alasan itu dia menceraikanku. Sangat sepele.
Begitu gampang seperti orang meludah. Bajingan!
Hidupku tak karuan teringat kejadian itu. Setan!"Mak
diam kembali menghentikan ceritanya (Telembuk, 2017:
74).
2. Kekerasan Psikologi (Psychological Violence)
Psychological violence atau kekerasan psikologi
adalah setiap perbuatan dan ucapan mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya
pada seseorang. Kekerasan psikologi memang tidak
meninggalkan bekas sebagaimana kekerasan fisik, tetapi
berkaitan dengan harga diri perempuan. Pelanggaran
komitmen, penyelewengan, teror mental dan teror
pembunuhan, serta pengucapan kata-kata yang tidak
menyenangkan merupakan kekerasan psikologi yang
dialami oleh tokoh perempuan (Sofia, 2009:42).
Kekerasan psikologi pada tokoh perempuan dalam
novel Telembuk karya Kedung Darma Romansha yaitu
berupa penyelewengan dan pengucapan kata-kata yang
tidak menyenangkan. Berikut data dan hasil analisisnya.
154 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
“Aku ingin terlepas dari pikiran-pikiran buruk.
Aku ingin lupa tentang semua yang terjadi terutama
tentang malam keparat itu. Aku ini senang aku ingin
melepaskan bayangan hitam itu sebab begitu
menyesakkan. Aku tidak tahu bagaimana semua itu bisa
terjadi di malam itu. Seolah seperti mimpi saja, mimpi
buruk yang setiap orang tak akan mau mengingatnya”
(Telembuk, 2017: 383).
“Dan gara-gara malam keparat itu pula orang-
orang menganggapku perempuan stress,bagaimana
seorang perempuan yang awalnya menyanyi kasidah lalu
tiba-tiba menjadi penyanyi dangdut dengan goyang
kesetanan di atas panggung. Ini gila. Ya. Aku memang
gila.”. (Telembuk, 2017: 191).
“Aku buka perutku dihadapan semua orang dan
aku teriak kalau aku memang hamil.pasti kalian ingin
tahu siapa yang menghamili ku.kenapa kalian harus
tahu? sepenting itukah aku bagi kalian? lalu ketika kalian
tahu siapa yang menghamiliku, kalian akan merasa
puas? Hidup ini cuma berisi celotehan celotehan orang.
Mulut mulut genit dan cerewet akan menghiasi
sepanjang hidup kalian”.
“Dengan mulut kalian, kalian bisa mengubah
nasib seseorang jauh lebih buruk. Itulah mulut. Kalian
boleh tertawa. Menertawai diri sendiri.karena
kesenangan kalian belum tentu menjadi kesenangan
orang lain. Kalian lupa dengan hal ini. Aku, akulah salah
satunya. Kalian lupa denganku?aku Safitri anak
Imas Juidah & Eli Herlina 155
Telembuk dengan seorang bapak bajingan yang suka
mabuk dan doyan Telembuk. Itulah aku.” (Telembuk,
2017: 192-193).
Bagaimana rasanya jika seseorang dianggap
sampah? Dipermalukan banyak orang. Bahkan waktu itu
tidak ada satu orang pun yang mau mengulurkan
tangannya untukku. semua orang menyalahkanku.Aku
tidak tahu siapa yang mesti aku salahkan (Telembuk,
2017: 378).
“Sejak saat itu, rasanya pernikahan seperti
sesuatu yang hambar dan biasa. Maka, setahun kemudian
aku menikah kembali. Sebenarnya waktu itu aku sudah
menjadi Tembuk. Aku sudah tidak peduli apa itu cinta.
Yang terpenting adalah suami ku sanggup bertahan
hidup denganku sampai matiku. Aku bertemu dengan
suamiku itu di warung Cilege Indah. Ketika aku mangkal.
Dia pikir aku bukan Telembuk”. Ujar Mak Dayem
(Telembuk, 2017:75).
“Sekitar empat bulan aku memendam pedih dan
sakit hati dari kejadian itu. Aku hamil. Tapi kemudian
Aku berusaha menepis itu. Ditambah kekecewaanku pada
mukimin. Aku sudah tak peduli dengan orang-
orang.Apalagi ibu selalu mendesakku untuk menikah
dengan Ustadz Musthafa, dan beberapa orang yang
pernah menaruh cinta padaku. Di depanku, mereka
tampak seperti orang-orang tolol”(Telembuk, 2017: 382-
383).
156 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
"Tersenyumlah dengan tulus, seperti kamu
tersenyum pada orang yang kamu cintai."kata-kata itu
begitu melekat di kepala Safitri. Safitri mengusap air
matanya. Kenangan-kenangan itu timbul tenggelam.
Kadang ia harus menyelami waktu yang lampau itu.
Kadang ia harus menghirup nafas untuk keluar dari
kenangan itu. "Masalah wong Urip iku mung ana loro,
Nok. Lambe duwur karo lambe sor."kata-kata Mada yang
kembali datang menemuinya. Seandainya saat ini ada
Mak Dayem, bentuk iya tak serapuh itu, pikirnya. Safitri
sangat membutuhkan orang untuk menguatkan hatinya.
Tapi tak ada. Iya harus menguatkan dirinya sendiri.
Sepanjang jalan Safitri hanya diam. Hatinya seolah-olah
sudah menjadi batu.”(Telembuk, 2017: 226).
3. Kekerasan Seksual (Sexual Violence)
Sexual violence atau kekerasan seksual dilakukan
dengan pemaksaan hubungan seksual melalui ancaman,
intimidasi atau paksaan secara fisik, memaksa
hubungan seksual yang tidak diinginkan atau memaksa
hubungan dengan orang lain (Coomarawamy, 2008:2).
Kekerasan seksual dirasakan langsung oleh tokoh utama
dalam novel Telembuk yaitu “Safitri” yang dirampas
paksa harga dirinya oleh orang yang tidak bertanggung
jawab, lantaran kejadian yang terjadi pada malam
Imas Juidah & Eli Herlina 157
keparat itu. Kekerasan seksual yang dialami tokoh
utama pada novel Telembuk karya Kedung Darma
romansha yaitu berupa pemerkosaan, berikut data dan
kutipannya.
“Aku mencoba mengingat siapa lelaki itu. Tidak
bukan dia orangnya. Tidak mungkin. Aku berusaha lari
dari kejaran sesosok wajah gelap yang selama ini
mengintai ku.Aku tutup wajahku rapat-rapat aku coba
mengingat-ingat tapi tak bisa malam itu aku seperti
dibius. Dengan gusar aku coba memberontak. Tanganku
terus bergerak-gerak dengan berat, berusaha meraih
benda entah apa di kanan-kiriku. Tapi tak bisa dengan
cepat tangan si lelaki mulai mencengkram kedua
tanganku. Nafas lelaki itu bagai anjing yang lapar. Bau
debu basah, keringat, parfum murahan, tahi tikus,
menguar di kamar itu. Selangkanganku sakit, tubuhku
ngilu, dan nafasku sesak. Aku terus menangis sambil
menahan sakit. Pisahan Lamat, dengus nafas yang bacin,
air liur membasahi leher dan dadaku yang mungil.
Tulang tulang seperti remuk. Ngilu dan dadaku tambah
sesak. Tiba-tiba aku teringat hantu genderuwo yang
pernah diceritakan ibuku. Apa ini semacam jelmaan
genderuwo? Di dalam ketakberdayaan itu, aku teringat
wajah kedua orang tuaku.”(Telembuk 2017:370-380).
"Benar, suamiku sedang mesra-mesraan dengan
seorang gadis seumuran denganku. Bajingan! Setan! Aku
158 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
marah. Entah marah pada diriku sendiri atau pada
suamiku. Aku kalap. Aku lempar botol minuman ke arah
suamiku dan perempuan itu. Meja warung berantakan.
Satu botol bir mengenai lengan perempuan itu. Satunya
lagi entah melesat ke mana. Suamiku marah besar. Dan
dengan alasan itu dia menceraikanku. Sangat sepele.
Begitu gampang seperti orang meludah. Bajingan!
Hidupku tak karuan teringat kejadian itu. Setan!"Mak
diam kembali menghentikan ceritanya (Telembuk, 2017:
74).
Plok! Seseorang menapuk pantat perempuan yang
tengah duduk di warung remang-remang. "Kirik setan!"
umpat perempuan itu, "Bayar, pok!" lanjutnya. Laki-laki
itu hanya melengos sambil tertawa kecil (Telembuk,
2017: 38).
"Pantas saja uang ku selalu habis, pasti karena
Telembuk satu ini! Kirik! Setan! Bangsat kamu!" Diva
menjerit campur tangis yang berlebih. Iya lempar sepatu
hak tinggi nya kearah perempuan itu. Satu sepatu lolos
melewati atas kepala perempuan itu, yang satunya lagi
mengenai buah dada sebelah kiri perempuan itu
(Telembuk, 2017: 89).
Aku masih merasakan sakit di bagian
selangkangan. Bau tubuh lelaki itu pun masih melekat
ditubuh ku. Rasa ngilu tak juga hilang di kedua tanganku.
Lelaki itu meninggalkan goresan di beberapa bagian
tubuhku (Telembuk, 2017: 382).
Imas Juidah & Eli Herlina 159
Diva menggelayut di pundak Carta dan mencium
pipinya. Carta gemas dan terpancing berahinya. Lalu ia
remas pantat Diva dengan keras. "Kirik! Sakit goblok!
Halus dikit dong A...," ujar Diva manja.
"Memangnya kamu suka yang halus halus?"
"Ih, Aa ini. Malu ada Bos."
"Aw! Kirik! Sakit setan," teriak Carta, setelah Diva
meremas selangkangan Carta. Diva tertawa cekikikan.
Begitu juga dengan si Bos (Telembuk, 2017: 84-85).
Keseluruhan masalah kekerasan terhadap tokoh
perempuan yang terdapat pada novel Telembuk Karya
Kedung Darma Romansha yaitu meliputi kekerasan
fisik, kekerasan psikologi, dan kekerasan seksual.
160 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. (2009). Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Aziez, Furqon dan Abdul Hasyim. (2010). Menganalisis
Fiksi: Sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia.
Depdiknas. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Endraswara, Suwardi. (2013). Teori Kritik Sastra.
Yogyakarta: CAPS.
Kosasih, E. (2014). Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta:
Nobel Edumedia.
Minderop, Albertine. (2010). Psikologi Sastra. Karya
Sastra, Metode , Teori dan Contoh Kasus. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Nurgiyantoro, Burhan. (2013). Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gajah Mada.
Priyatni, Endah Tri. (2010). Membaca Sastra dengan
Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: Bumi Aksara.
Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Imas Juidah & Eli Herlina 161
Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Paradigma Sosiologi
Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip. (1976). Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.
Bandung: Bina Cipta.
Rokhmansyah, Alfian. (2014). Studi dan Pengkajian
sastra: Perkenalan Awal terhadap Ilmu Sastra.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sayuti, Suminto A. (2017). Berkenalan dengan Prosa
Fiksi. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.
Siswanto, Wahyudi. (2008). Pengantar Teori Sastra.
Jakarta: Grasindo.
Stanton, Robert. (2012). Teori Fiksi Robert Stanton.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumardjo dan Saini. (1988). Apresiasi Kesusatraan.
Jakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jakob. (1981). Segi Sosiologis Novel Indonesia.
Bandung: Pustaka Prima.
Tarigan, Henry Guntur. (2011). Prinsip-prinsip Dasar
Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw. A. (1980). Sastra Baru Indonesia. Flores: Nusa
Indah.
Toyidin. (2012). Sastra Indonesia Puisi, Prosa, Drama.
Subang: Pustaka Bintang.
162 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Wellek, Rene dan Austin Warren. (1995). Teori
Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Zaidan, Abdul Rozak. Dkk. (2007). Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: Balai Pustaka.
Imas Juidah & Eli Herlina 163
RIWAYAT HIDUP
Imas Juidah, lahir di
Indramayu pada 5
Februari 1989. Ia
sekarang tinggal di
Desa Tegalgirang
blok Girang RT 09
RW 04 Kecamatan
Bangodua
Kabupaten Indramayu. Ia merupakan anak kedua dari
dua bersaudara, dilahirkan oleh pasangan Ibu Juju
Juariah dan Bapak Kamid. Ia mengawali pendidikannya
di SD Karanggetas II pada 1995-2001. Ia melanjutkan
pendidikannya di SMP Negeri 2 Widasari pada 2001-
2004.
Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikannya di SMK
Negeri 1 Indramayu pada 2004-2007. Pada 2008 ia
melanjutkan Pendidikan di Universitas wiralodra
Indramayu mengambil Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia dan lulus menjadi Sarjana
164 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya
Pendidikan (S.Pd.) pada 2012. Pada tahun yang sama, ia
menjadi dosen di Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia sembari melanjutkan Pendidikan S2 di
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon dengan
mengambil Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia. Tepat dua tahun kemudian, ia berhasil
menyelesaikan pendidikannya dan meraih gelar
Magister Pendidikan (M.Pd.) pada 2014. Sekarang ia
sedang menempuh pendidikan S3 di Universitas Sebelas
Maret.
Eli Herlina, lahir di Garut
pada 31 Agustus 1984. Ia
sekarang tinggal di
Perumahan Graha Keandra
Kalijaga Blok N Nomor 4-
Cirebon. Ia merupakan
anak ketiga dari lima
bersaudara, dilahirkan oleh pasangan Ibu Dedah
Jubaedah dan Bapak Undang Maulani. Ia mengawali
pendidikannya di SDN 3 Cikajang-Garut pada 1991-
Imas Juidah & Eli Herlina 165
1997. Ia melanjutkan pendidikannya di SMPN 1
Cikajang-Garut pada 1997-2000.
Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikannya di SMAN 1
Cikajang (sekarang SMAN 4 Garut) pada 2000-2003.
Pada 2003 ia melanjutkan Pendidikan di Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung mengambil
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia dan lulus
menjadi Sarjana Sastra (S. S.) pada 2007. Satu tahun
kemudian, ia kembali berkuliah dengan memilih
program Akta IV di Universitas Islam Bandung (Unisba).
Setelah selesai mengikuti program tersebut, pada 2009
ia melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Bandung dengan mengambil Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Dua tahun
kemudian, yaitu tepatnya pada Desember 2011 ia
berhasil menyelesaikan pendidikannya dan meraih
gelar Magister Pendidikan (M. Pd.). Pada Februari 2012-
sekarang, ia mulai menjadi dosen di Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas
Wiralodra-Indramayu.
166 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya