The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini merupakan buku teks Apresiasi Prosa Fiksi

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2023-07-21 20:32:40

Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya

Buku ini merupakan buku teks Apresiasi Prosa Fiksi

Keywords: Apresiasi Prosa Fiksi,Sastra,APF

Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya 39 BAB 7 TEMA A. Hakikat Tema Menurut Stanton (2012: 41), tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Kemudian Nurgiyantoro (2013: 114), juga menjelaskan tema adalah gagasan dasar secara umum menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit (terkandung di dalam teks). Sedangkan menurut Kosasih (2014: 60), tema adalah gagasan yang menjalin struktur isi cerita. Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia: sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat adanya banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua (Stanton, 2012: 36-37). Untuk menemukan sebuah tema karya fiksi, pembaca harus memahami kandungan dan isi cerita. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Waluyo (2011: 6) yang menyatakan bahwa pemahaman tema tidak dapat dicapai tanpa memahami keseluruhan cerita secara holistik. Tema dari novel biasanya mengambil dari masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. B. Jenis Tema Tema dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis bergantung dari segi mana penjenisan itu dilakukan. Penjenisan tema berikut


40 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya ini dilakukan berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan dari tingkat keutamaannya. 1. Tema Tradisional dan Nontradisional Menurut Nurgiyantoro (2013: 125-126), tema yang berdasarkan kebiasaan jalan cerita dari tema tersebut terbagi menjadi dua bagian: pertama tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema hanya “itu-itu” saja, dalam arti tema itu telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan diberbagai cerita, termasuk cerita lama. Kedua tema non-tradisional mengangkat sesuatu yang tidak lazim, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, menjadi melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain. 2. Tingkatan tema menurut Shipley Dalam Dictionary of World Literature, Shipley (1943: 1141), mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan dalam cerita. Kemudian juga Shipley (1943: 1141), membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatantingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkatan tumbuhan dan mahkluk hidup ke tingkat yang paling tinggi dicapai oleh manusia. Tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut. a. Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecule. b. Tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man a protoplasm. c. Tema tingkat sosial, manusia sebagai mahkluk sosial, man as socius. d. Tema tingkat egois, manusia sebagai individu, man as individualism. e. Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya.


Imas Juidah, dkk. 41 3. Tema Utama dan Tema Tambahan Menurut Nurgiyantoro (2013: 133), berdasarkan tema yang mendasari jalannya cerita terbagi menjadi dua yaitu tema utama (pokok) atau tema mayor merupakan makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Tema tambahan atau tema minor merupakan makna-makna tambahan bersifat mempertegas eksistensi makna utama atau tema mayor. C. Fungsi Tema Fungsi tema menurut Sayuti (2017: 203) yaitu sebagai berikut. Pertama, memberi kontribusi bagi elemen struktural lain seperti plot, tokoh, dan latar. Kedua, menjadi elemen penyatu terakhir bagi keseluruhan fiksi. Artinya, pengarang menciptaka n dan membentuk plot, membawa tokohnya menjadi ada, baik secara sadar maupun tidak, eksplisit maupun implisit, pada dasarnya merupakan perilaku responsif terhadap tema yang telah dipilih dan telah mengarahkannya. Ketiga, tema berfungsi melayani visi. Artinya, responsi total sang pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagat raya. D. Penafsiran Tema Dalam menafsirkan sebuah tema tentu pembaca tidaklah mudah untuk menemukan apa tema yang terkandung dalam sebuah cerita atau karya sastra itu sendiri, karena tema memiliki sifat ekspilisit atau tersembunyi. Cara menafsirkan tema menurut Waluyo (2011: 7) antara lain adalah dengan kisi-kisi sebagai berikut. 1. Jangan sampai bertentangan dengan setiap rincian cerita 2. Harus dapat dibuktikan secara langsung dalam teks prosa fiksi itu 3. Penafsiran tema tidak hanya berdasarkan perkiraan 4. Tema cerita berkaitan dengan rincian cerita yang ditonjolkan Sementara itu Nurgiyantoro (2013: 136-137) mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menafsirkan tema sebagai berikut.


42 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya 1. Memahami cerita itu sendiri. 2. Memahami dan mencari kejelasan ide-ide perwatakan. 3. Memahami peristiwa-peristiwa konflik. 4. Memahami latar. 5. Memahami tokoh. Stanton (2012: 44-45), mengemukakan dalam usaha menemukan dan menafsirkan tema sebuah novel, secara lebih khusus dan rinci, adapun kriterianya sebagai brikut. 1. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detail cerita yang menonjol. 2. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detail cerita. 3. Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam novel yang bersangkutan. 4. Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.


Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya 43 BAB 8 TEORI-TEORI SASTRA MUTAKHIR A. Formalisme Rusia Teori formalisme muncul berkembang di Rusia dan dibawa oleh kelompok Formalisme Rusia. Teori formalisme muncul sebagai akibat penolakan pada paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas dan sebagai reaksi terhadap studi biografi. Pada umumnya, Formalisme Rusia dianggap sebagai pelopor bagi tumbuh dan berkembangnya teoriteori strukturalisme. Formalisme adalah salah satu mazhab dalam teori sastra modern. Kelahiran mazhab ini dirintis oleh sejumlah ahli linguitik dan ahli sastra di Rusia. Kaum formalis cenderung untuk mengkaji teks secara formal, yaitu dalam kaitannya dengan struktur bahasa (Rokhmansyah, 2014: 63). Kaum formalis berupaya mengkaji karya sastra genre fiksi dan mencoba memadukan unsur-unsur yang membentuk karya sastra ke dalam suatu sistem yang padu dan menyeluruh (Rokhmansyah, 2014: 64). Lebih lanjut menurut Jefferson dalam Rokhmansyah (2014: 65) bahwa pengkajian sastra kaum formalis berdasar pada perbedaan antara peristiwa di satu pihak dengan penciptaan di pihak lain, yaitu antara fabula dengan sjuzet. Fabula merupakan bahan dasar yang berupa jalan cerita menurut kronologi peristiwa, sedangkan sjuzet merupakan sarana untuk menjadikan jalan cerita menjadi ganjil dan aneh. Perbedaan antara “cerita” dengan “alur” diberi tempat yang penting dalam teori naratif kaum formalis Rusia. Mereka menekankan bahwa hanya “alur” (sjuzet) yang sungguh-sungguh bersifat kesastraan, sedangkan “cerita” (fabula) hanya sebagai bahan mentah yang menunggu pengolahan dari tangan pengarang. Sjuzet bukan hanya susunan peristiwa-peristiwa cerita, melainkan juga semua sarana


44 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya yang digunakan untuk menyela dan menunda penceritaan, serta yang ditujukan untuk menarik perhatian pembaca terhadap bentuk prosa tersebut. Penyusunan sjuzet didasarkan pada gagasan defamiliarisasi yang mencegah pembaca dari cara memandang peristiwa-peristiwa sebagai hal yang khas dan sudah lazim (Selden dalam Rokhmansyah, 2014: 65). Menurut Rokhmansyah (2014 : 66-68) secara lebih rinci, pokok gagasan, istilah dan dalil utama formalisme terhadap karya sastra adalah sebagai berikut. 1. Defamiliarisasi dan Deotomatisasi Menurut kaum formalis, sifat kesastraan muncul sebagai akibat penyusunan dan penggubahan bahan yang semula bersifat netral. Para pengarang menyulap teks-teks dengan efek mengasingkan dan melepaskannya dari otomatisasi. Proses penyulapan oleh pengarang ini disebut defamiliarisasi, yakni teknik membuat teks menjadi aneh dan asing. Istilah defamiliarisasi dikemukakan oleh Skhlovsky untuk menyebut teknik bercerita dengan gaya bahasa yang menonjol dan menyimpang dari biasanya. Dalam proses penikmatan atau pencerapan pembaca, efek deotomatisasi dirasakan sebagai sesuatu yang aneh atau defamiliar. Proses defamiliarisasi itu mengubah tanggapan kita terhadap dunia. Dengan teknik penyingkapan rahasia, pembaca dapat meneliti dan memahami sarana-sarana (bahasa) yang dipergunakan pengarang. Teknik-teknik itu misalnya menunda, menyisipi, memperlambat, memperpanjang, atau mengulur-ulur suatu kisah sehingga menarik perhatian karena tidak dapat ditanggapi secara otomatis. 2. Teori Naratif Dengan menerima konsep struktur, kaum formalis Rusia memperkenalkan dikotomi baru antara struktur (yang terorganisasi) dengan bahan material (yang tak terorganisir), menggantikan dikotomi lama antara bentuk dan isi. Jadi struktur sebuah teks sastra mencakup baik aspek formal maupun semantik. Kaum formalis Rusia memberikan perhatian khusus terhadap teori naratif. Untuk kepentingan analisis teks naratif, mereka menekankan perbedaan antara cerita, alur, dan motif Menurut mereka, yang sungguh-sungguh bersifat kesusastraan adalah alur, sedangkan cerita hanyalah bahan mentah


Imas Juidah, dkk. 45 yang masih membutuhkan pengolahan pengarang. Motif merupakan kesatuan terkecil dalam peristiwa yang diceritakan. Alur adalah penyusunan artistik motif-motif sebagai akibat penerapan penyulapan terhadap cerita. Alur bukan hanya sekedar susunan peristiwa melainkan juga sarana yang dipergunakan pengarang untuk menyela dan menunda penceritaan. Digresi-digresi, permainan-permainan tipograifs, pemindahan bagian-bagian teks serta deskripsi-deskripsi yang diperluas merupakan sarana yang ditujukan untuk menarik dan mengaktifkan perhatian pembaca terhadap novel-novel. Cerita itu sendiri hanya merupakan rangkaian kronologis dari peristiwa-peristiwa yang diceritakan. 3. Analisis Motif Secara sangat umum, motif berarti sebuah unsur yang penuh arti dan yang diulang-ulang di dalam satu atau sejumlah karya. Di dalam satu karya, motif merupakan unsur arti yang paling kecil di dalam cerita. Pengertian motif di sini memperoleh fungsi sintaksis. Bila motif itu dibaca dan direfleksi maka pembaca melihat motif-motif itu dalam keseluruhan dan dapat menyimpulkan satu motif dasarnya. Bila motif dasar tadi dirumuskan kembali secara metabahasa, maka kita akan menjumpai tema sebuah karya. Misalnya dalam cerita Panji dijumpai tema cinta sejati mengatasi segala rintangan. Bila berkaitan dengan berbagai karya (pendekatan historis-komparatif), sebuah kesatuan semantis yang selalu muncul dalam karya-karya itu. Misalnya motif pencarian seorang ayah atau kekasih (motif Panji yang dijumpai dalam berbagai cerita di Asia Tenggara), atau motif Oedipus, dan sebagainya. Boris Tomashevsky menyebut motif sebagai satuan alur terkecil. Ia membedakan motif terikat dengan motif bebas. Motif terikat adalah motif yang sungguh-sungguh diperlukan oleh cerita, sedangkan motif bebas merupakan aspek yang tidak esensial ditinjau dari sudut pandang cerita. Meskipun demikian, motif bebas justru secara potensial merupakan fokus seni karena memberikan peluang kepada pengarang untuk menyisipkan unsur-unsur artistik ke dalam keseluruhan alurnya. 4. Fungsi Puitik dan Objek Estetik Istilah fungsi mengacu pada penempatan suatu karya sastra dalam suatu modul komunikasi yang meliputi relasi antara pengarang, teks,


46 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya dan pembaca. Isitlah ini muncul sebagai reaksi terhadap studi sastra Formalisme yang terlalu terpaku pada aspek sarana kesusastraan tanpa menempatkannya dalam konteks tertentu. Menurut Jakobson, dalam setiap ungkapan bahasa terdapat sejumlah fungsi, misalnya fungsi referensial, emotif, konatif, dan puitik, yang berkaitan dengan beberapa faktor seperti konteks, juru bicara, pengarang, penerima, pembaca, dan isi atau pesan bahasa itu sendiri. Dalam pemakaian bahasa sastra, fungsi puitis paling dominan. Pesan bahasa dimanipulasi secara fonis, grafis, leksikosemantis sehingga kita menyadari bahwa pesan yang bersangkutan harus dibaca sebagai karya sastra. Jan Mukarovsky, seorang ahli strukturalisme Praha, memperkenalkan istilah “objek estetik” sebagai lawan dari istilah “artefak”. Artefak adalah karya sastra yang sudah utuh dan tidak berubah. Artefak itu akan menjadi objek setetik bila sudah dihayati dan dinikmati oleh pembaca. Dalam pengalaman pencerapan pembaca, karya sastra dapat memiliki arti yang berbeda-beda tergantung pada harapan pembacanya. Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum Formalis. B. Strukturalisme Istilah struktur (structurlism dalam bahasa Inggris) secara etimologis berasal dari bahasa Latin struere yang berarti mendirikan atau membangun. Konsep struktur pertama kali digunakan sebagai konsep arsitektur, yang mengandung arti dasar sebagai cara sebuah bangunan didirikan. Pengertian teori strukturalisme secara definitif memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsur-unsur yang berbeda, Ratna (2006: 93). Sedangkan, Nurgiyantoro (2013: 57), mengatakan bahwa pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis dan Strukturalisme Praha. Ia mendapat pengaruh langsung dari teori Saussure yang mengubah studi linguistik dari pendekatan diakronik ke sinkronik.


Imas Juidah, dkk. 47 Menurut Endraswara (2003:50), ide dasar strukturalis adalah menolak kaum mimetik (yang menganggap karya sastra sebagai tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap karya sastra sebagai ungkapan watak dan perasaan pengarang), dan menentang asumsi bahwa karya sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembaca.Pendapat yang berbeda juga dikemukakan oleh Nurgiyantoro. Menurut Nurgiyantoro (2007:36-37), strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan yang menekankan pada kajian hubungan antar unsur pembangun karya sastra yang bersangkutan. Definisi strukturalisme oleh Nurgiyantoro ini tidak lagi merupakan definisi secara umum namun lebih menekankan definisi strukturalisme dalam dunia sastra. Strukturalisme dalam penelitian sastra, sering dipandang sebagai teori atau pendekatan. Hal ini pun tidak salah karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. Endraswara (2003:49), menjelaskan bahwa kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra, sering dipandang sebagai teori atau pendekatan. Hal ini tidak salah karena baik pendekatan maupun teori saling melengkapi dalam penelitian sastra. pendekatan strukturalisme akan menjadi sisi pandang apa yang akan diungkap melalui karya sastra, sedangkan teori adalah pisau analisisnya. Teeuw (1983:61), menyatakan bahwa prioritas pertama sebelum yang lain-lain, tanpa itu kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri, tidak akan tertangkap. Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan kaarya sastra. Karena pandangan keotonomian, di samping juga pandangan bahwa setiap karya sastra memiliki sifat keunikanya sendiri, analisis sebuah karya pun tak perlu dikaitkan dengan karya-karya yang lain. Jika terlibat pun hanya terbatas pada karya-karya tertentu yang berkaitan. Untuk mengungkapkan struktur sesuai dengan teori strukturalisme maka dilakukan tahap-tahap dalam analisis. Hawkes dalamTeeuw (1988:141) menunjukan tiga aspek konsep struktur yaitu: 1. Gagasan keseluruhan (wholeness), koherensi intrinsik: bagianbagiannya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktr maupun bagian-bagiannya.


48 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya 2. Gagasan transformasi (transformation): struktur itu menyanggupi prosedur-prosedur transformasi yang terus menerus memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. 3. Gagasan regulasi diri (self-regulation): strutur tidak memerlukan hal-hal di luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformsainya; struktur itu otonom terhadap rujukan pada sistem-sistem lain. Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan di atas strukturalisme menurut Ratna (2007: 91) berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, mengenai unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur-unsur dengan totalitasnya. Secara etimologi, struktur berasal dari kata struktural (latin) yang berarti bentuk atau bangunan. Teori struktural merupakan salah satu teori yang digunakan dalam penelitian sastra dengan mengaitkan unsur-unsur yang ada di dalamnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Adapun langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam menganalisis struktur dalam karya sastra, seperti yang diungkapkan Nurgiyantoro (2013: 55-56), dalam langkah-langkah analisis struktural sebagai berikut: 1. mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra secara lengkap dan jelas, mana yang tema dan mana yang tokoh; 2. mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui tema, alur, penokohan, dan latar dalam sebuah karya sastra; 3. menghubungkan masing-masing unsur sehingga memperoleh kepaduan makna secara menyeluruh dari sebuah karya sastra. Berikut ini beberapa perkembangan teori strukturalisme. 1. Strukturalisme Dinamik Strukturalisme dinamik pertama kali dikemukakan oleh Jan Mukarovsky dan Felik Vodicka, didasarkan atas kelemahankelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan dari formalisme. Strukturalisme dinamik bertujuan untuk menyempurnakan strukturalisme yang hanya memprioritaskan


Imas Juidah, dkk. 49 unsur-unsur intrinsik karya sastra. Strukturalisme dinamik adalah pendekatan atas karya sastra dengan menerapkan kerja strukturalisme atas dasar konsep semiotik. Analisis struktural murni mengasingkan karya sastra dari kerangka kesejarahan dan relevansi eksistensialnya. Strukturalisme dinamik yang dikembangkan Mukarovsky dan Vodicka mencoba memahami karya sastra berdasarkan kesadaran bahwa karya sastra sebagai struktur paad hakikatnya memiliki ciri khas yaitu sebagai tanda (sign). Tanda baru mendapat makna sepenuhnya bila sudah melalui tanggapan pembaca. Dengan demikian, ada pengaruh timbal balik antara tanda dan pembacanya. Pembaca dalam memberi makna terikat pada konvensi tanda. Jadi, dengan kerangka semiotik itu dapat diproduksi makna dalam karya sastra yang merupakan struktur sistem tanda (Rokhmansyah, 2014: 73). 2. Strukturalisme Genetik Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Terori ini dikemukannya pada tahun 1956 dengan terbitnya buku The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the Tragedies of Racine. Teori dan pendekatan yang dimunculkannya ini dikembangkan sebagai sintesis atas pemikirann Jean Piaget, George Lukacs, dan Karl Marx. Strukturalisme genetik mencoba mengaitkan antara teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial (Rokhmansyah, 2014: 74). Secara definitif, Ratna menjelaskan lebih lanjut bahwa strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra. Meskipun demikian, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep teori sosial lainnya seperti fakta kemausiaan, homologi, kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia (2009:203). 3. Strukturalisme Naratologi Naratologi berasal dari kata narratio dan logos. Narratio berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat, dan logos berarti ilmu. Naratologi dissebut juga sebagai teori wacana (teks) naratif. Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan. Naratologi berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis, sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita (Ratna, 2009: 128). Awal


50 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya perkembangan teori narasi terdapat beerapa tokoh pelopornya, yaitu Aristoteles (cerita dan teks), Henry James (tokoh dan cerita), Forster (tokoh bundar dan datar). Percy Lubbock (teknik naratif), Vladimir Propp (peran dan fungsi), claude Levi-Strauss (struktur mitos), Tzevetan Todorov (historie dan discourse), Claude Bremond (struktur dan fungsi), Mieke Bal (fabula, story, text), Greimas (tata bahasa naratif dan struktur aktan), dan Sholmith Rimmon-Kenan (story, text, narration). C. Semiotika Pada dasarnya kelahiran strukturalisme dan semiotik masing-masing berakar dalam kondisi yang berbeda sesuai dengan latar belakang sosial yang menghasilkannya. Menurut Noth (1990: 307,346) ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika, yaitu semantik, logika, retorika, dan hermeneutika. Culler (1977: 6) menyebutkan strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Selden (1986: 54) menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam bidang ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas, sebuah teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Menurut van Zoest (1993:1), semiotika memperoleh perhatian yang lebih serius abad ke-18, sekaligus mulai menggunakan istilah semiotika, yaitu oleh J.H. Lambert. Atas dasar perkembangan ilmu ketandaan seperti di ataslah Halliday (1992: 4-5) menyebutkan semiotika sebagai kajian umum, di mana bahasa dan sastra hanyalah satu di antara bidang di dalamnya. Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama, yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand Saussure dan seorang filsuf Amerika bernama Charles Sanders Pierce.


Imas Juidah, dkk. 51 1. Teori Semiotic Peirce Teori Peirce mengatakan bahwa sesuatu itu dapat disebut sebagai tanda jika ia mewakili sesuatu yang lain. Sebuah tanda –yang disebutnya sebagai representamen– haruslah mengacu (atau mewakili) sesuatu yang disebutnya sebagai objek (acuan, ia juga menyebutnya sebagai designatum, detotatum, dan dewasa ini orang menyebutnya dengan istilah referent). Proses pewakilan tanda terhadap acuannya terjadi pada saat tanda itu ditafsirkan dalam hubunganya dengan yang diwakili. Hal itulah yang disebutnya sebagai interpretant, yaitu pemahaman makna yang timbul dengan kognisi (penerima tanda) lewat interpretasi. Proses pewakilan itu disebut semiosis. Semiosis adalah suatu proses dimana suatu tanda berfungsi sebagai tanda, yaitu mewakili sesuatu yang ditandainya Hoed dalam Nurgiyantoro (2013: 68). Proses semiosis yang menuntut kehadiran bersama antara tanda objek dan interpretant itu oleh Peirce disebut sebagai triadic. Preice membedakan hubungan antara tanda denagn acuannya ke dalam tiga jenis hubungan, yaitu (1) ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan, (2) Indeks, jika ia berupa hubungan kedekatan eksistensi , dan (3) simbol , jika ia berupa hubungan yang sudah terbentuk secara konvensi Abram dan Van Zoes dalam Nurgiyantoro (2013: 68). 2. Teori Semiotik Saussure Teori Saussure sebenarnya berkaitan dengan pengembangan teori linguistik secara umum, maka istilah-istilah yang dipakai (oleh para penganutnya pun) untuk bidang kajian semiotik meminjam dari istilah-istilah dan model linguistik. Bahasa sebagai sebuah sistem tanda menurut Saussure, memiliki dua unsure yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda. Wujud significant (penanda) dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedang signifie (petanda) adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 70). Menurut Todorov dalam Nurgiyantoro (2013: 71), kajian dikelompokkan berdasarkan aspek verbal, sintaksis, dan semantik, sedang menurut kaum formalis Rusia dibedakan ke dalam wilayah kajian stilistika, komposisi, dan tematik. Kajian semiotik karya sastra,


52 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya dengan demikian dapat dimulai dengan mengkaji kebahasaannya dengan menggunakan tataran-tataran seperti dalam studi linguistik. Salah satu teori Saussure yang dipergunakan secara luas di bidang kesastraan adalah konsep sintagmatik dan paradigmatik dalam sebuah wacana, kata-kata saling berhubungan dan berkesinambungan sesuai dengan sifat liniaritas bahasa, dan tidak mungkin orang melafalkan dua unsur sekaligus. Di pihak lain, di luar wacana, kata-kata yang mempunyai kesamaan berasosiasi dalam ingatan dan menjadi bagian kekayaan tiap individu dalam bentuk langue. Hubungan yang bersifat linier itu disebut hubungan sintagmatik, sedang hubungan asosiatif itu disebut hubungan paradigmatik. Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dapat atau sering diterapkan pada kajian fiksi ataupun puisi. Berhadapan dengan sebuah karya fiksi, kita akan melihat adanya hubungan antara penanda dengan petanda yang jumlahnya amat banyak. Pertama, kita akan melihat aspek formal karya itu yang berupa deretan kata, kalimat, alinea, dan seterusnya membentuk sebuah teks yang utuh. Hubungan tersebut adalah hubungan antara penanda dan petanda, hubungan antara unsur-unsur yang hadir secara bersama. Karena baik kata, kalimat, alinea maupun yang lain dapat dilihat kehadirannya dalam teks itu, hubungan iitu juga sering disebut sebagai hubungan in praesentia. Tiap aspek formal, kata, kalimat, tersebut pasti berhubungan dengan aspek makna sebab tidak mungkin kehadiran aspek formal (bahasa) itu tanpa didahului oleh kehadiran konsep makna. Hubungan sintagmatik dipergunakan untuk menelaah struktur karya dengan menekankan urutan satuan-satuan makna karya yang analisis. Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang bersifat linear, hubungan konfigurasi, peristiwa, atau tokoh. Tiap satuan cerita juga disebut sekuens, dapat terdiri dari sejumlah motif (satuan makna, biasanya berisi satu peristiwa) dalam kajian karya fiksi tiap satuan cerita dan motif diberi simbol-simbol atau notasi-notasi tertentu. Menurut Barthes dalam Nurgiyantoro (2013: 74), satuan cerita mempunyai dua fungsi: fungsi utama dan fungsi katalisator. Satuan fungsi utama yang sebagai fungsi utama adalah berfungsi menentukan jalan cerita (plot), sedang yang sebagai katalisator berfungsi menghubungkan funfsi-fungsi utama itu. Hubungan paradigmatik di pihk lain merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan


Imas Juidah, dkk. 53 asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Dengan demikian kajian paradigmatik dalam sebuah karya fiksi berupa kajina tentang tokoh, perwatakan tokoh, hubungan antartokoh, suasana, gagasan, hubungannya dengan latar, dan lain-lain. Dasar kajian ini adalah konotasi asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca. D. Resepsi Sastra Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Resepsi sastra berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Rokhmansyah, 2014:111). Lebih lanjut, Junus (1985:1) mengemukakan hakikat resepsi sastra adalah pemaknaan oleh pembaca terhadap karya sastra sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan. Selanjutnya, Segers (2000:35) mengemukakan estetika resepsi adalah ajaran yang menyelidiki teks sastra dengan dasar reaksi pembaca terhadap teks sastra. Dengan penyelidikan tersebut, pembaca dapat memutuskan sebuah teks sastra digolongkan memiliki mutu sastra atau tidak. Sementara itu, Vodicka (dalam Segers, 2000:52) berpendapat resepsi sastra memahami karya sastra sebagai objek estetis dalam kesadaran pembaca. Pembaca menerima, menafsirkan, dan mengevaluasi karya sastra secara estetis. Suatu teks baru punya makna bila sudah memiliki hubungan dengan pembaca. Siswanto (2008:93) memaknai resepsi sastra sebagai kajian yang mempelajari tentang bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan tanggapan aktif atau pasif. Pradopo (2013: 206) memaknai estetika resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Endraswara (2013: 119) berpendapat resepsi sastra merupakan reaksi pembaca terhadap teks. Reaksi tersebut dapat positif dan


54 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya juga negatif. Resepsi yang bersifat positif mungkin akan membuat pembaca senang atau tertawa, sebaliknya resepsi negatif mungkin akan membuat pembaca sedih, jengkel, atau antipati terhadap teks sastra. Abdullah (dalam Jabrohim, 2015:145) mengemukakan resepsi sastra adalah aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada reaksi atau tanggapan pembaca terhadap teks. Dalam dunia kesusastraan, teori resepsi yang banyak digunakan adalah teori resepsi Hans Robert Jauss (horizon harapan) dan Wolfgang Iser (pembaca implisit). 1. Hans Robert Jauss: Horizon Harapan Hans Robert Jauss menjadi pemikir yang terkenal mengenai nasib pembaca dalam teori resepsi. Jauss dan Iser sama-sama memandang bahwa penafsiran bukan sebagai penemuan makna objektif atau makna yang tersembunyi dalam teks (Nuryatin 1998: 133). Kata kunci dari konsep yang diperkenalkan Jauss adalah Rezeptions und wirkungsästhetik atau estetika tanggapan dan efek. Menurutnya, pembacalah yang menilai, menikmati, menafsirkan, dan memahami karya sastra. Pembaca dalam kondisi demikianlah yang mampu menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah sastra dan estetika. Resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari rangka sejarahnya seperti yang terwujud dalam horison harapan pembaca masing-masing. Baru dalamkaitannya dengan pembaca, karya sastra mendapat makna dan fungsinya. Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya. Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya (Jauss 1983: 21). Teori resepsi meletakkan posisi pembaca pada sesuatu yang penting. Resepsi dapat dikatakan sebagai teori yang meneliti teks


Imas Juidah, dkk. 55 sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberikan reaksi atau tanggapan pada teks sastra tersebut. Perbedaan tanggapan antara satu pembaca dengan pembaca yang lain disebabkan karena adanya perbedaan horizon harapan dari masing-masing pembaca tersebut. Jauss mengungkapkan bahwa setiap penelitian sastra umunya harus bersifat historis, artinya penelitian resepsi sebuah karya dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat diteliti lepas dari kerangka sejarahnya seperti yang terwujud dari horizon harapan setiap pembacanya. Horizon harapan adalah harapan-harapan pembaca karya sastra sebelum membacanya. Pembaca sudah mempunyai wujud harapan dalam karya sastra yang dibacanya. Horison harapan muncul pada tiap aktivitas pembacaan pembaca untuk masing-masing karya di dalam momen historis melalui bentuk dan pemahamanatas ganre, dari bentuk dan tema karya yang telah dikenal, dan dari oposisi antara puisi dan bahasa praktis. Karya sastra tidak berada dalam kekosongan informasi. Dengan kondisi tersebut, teks karya sastra mampu menstimulus proses psikis pembaca dalam meresepsi teks karya sastra yang dibacanya sehingga bagian dari proses tersebut mengimplikasikan adanya harapan-harapan atas karya yang dibacanya. Horizon harapan seseorang ditentukan oleh tingkat pendidikan, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan seseorang dalam menanggapi suatu karya sastra. Menurut Segers (dalam Pradopo 2003: 208) horizon harapan ditentukan oleh tiga kriteria, pertama, ditentukan oleh norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca. Kedua, ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Ketiga, pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan. Menurut Jauss horizon harapan setiap pembaca sastra dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) pengetahuan pembaca mengenai genre-genre sastra, (2) pengetahuan dan pemahaman mengenai tema dan bentuk sastra yang mereka dapat melalui pengalaman membaca karya sastra, (3) pengetahuan dan pemahaman terhadap pertentangan antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-


56 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya hari atau bahasa nonsastra pada umumnya, dan (4) sidang pembaca bayangan. Dalam buku Toward an Aesthetic of Reception, Jauss (1983: 20- 45) dipaparkan tujuh tesis sebagai berikut. Pertama, karya sastra bukanlah obyek yang bisa berdiri sendiri dengan persepsi yang sama kepada pembaca di setiap waktu. Karya sastra tersebut bukan sebuah monolog, tetapi lebih menyerupai sebuah orkestra yang beresonansi baru kepada pembacanya. Karya sastra membebaskan sebuah teks dari kumpulan kata-katanya. Kedua, karya sastra ketika muncul sebagai karya baru, tidaklah muncul sebagai sesuatu yang benar-benar baru, tetapi membawa sinyal yang jelas atau tersirat dan karakter-karakter yang akrab maupun kiasan kepada pembaca. Hal ini membangkitkan perasaan kepada pembaca seolah-olah ia pernah membaca dan membawa pembaca ke perasaan emosional atau spesifik. Ketiga, jarak antara harapan dan karya sastra antara sesuatu yang pernah didengar atau dibaca dan dengan perubahannya dituntut dalam sebuah resepsi dari sebuah karya baru. Keempat, jenis resepsi yang berbeda akan dihasilkan pada zaman yang berbeda. Karya yang dihasilkan pada masa lalu akan diresepsi berbeda pada masa ini. Kelima, deskripsi dari sebuah karya sastra merupakan pertemuan antara sesuatu yang baru dengan lama. Keenam, jika sebuah perspektif dari sebuah resepsi berbenturan dengan pemahaman sebuah karya baru dengan yang lama, maka dimungkinkan untuk mengambil jalan tengah sinkronik. Ketujuh, fungsi sosial dari suatu karya sastra terwujud ketika pembaca memasuki ruang ekspektasinya, memunculkan pemahaman akan dunia sehingga akan mempengaruhi sikap sosialnya. Dari berbagai pendapat mengenai resepsi sastra tersebut, dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan pemberian tanggapan positif atau negatif terhadap sebuah karya sastra oleh pembaca. Zaman yang berbeda ketika meresepsi sebuah karya sastra yang sama, dapat menghasilkan resepsi yang berbeda. 2. Wolfgang Iser: Pembacaan Implisit Wolfgang Iser (1926-2007) adalah salah seorang pakar ilmuilmu sastra berkebangsaan Jerman yang terkenal dengan teori respons pembaca (reader-response theory). Iser lebih menfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca


Imas Juidah, dkk. 57 (Wirkungs Estetik, estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser bukanlah pembaca konkret individual, melainkan Implied Reader (pembaca implisit). Secara singkat dapat dikatakan bahwa ‘pembaca Implisit’ merupakan suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks–teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu. Iser mengemukakan resepsinya dalam bukunya yang terkenal The Arch of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1978). Menurut Iser, tak seorang pun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra. Sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Oleh karena itu, observasi terhadap respon pembaca merupakan studi yang esensial. Pusat kegiatan membaca adalah interaksi antara struktur teks dan pembacanya. Teori Fenomenologi seni telah menekankan bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan sebuah teks sastra, melainkan juga aksi dalam menanggapi teks. Teks itu sendiri hanyalah aspekaspek skematik yang diciptakan pengarang, yang akan digantikan dengan kegiatan konkretisasi (realisasi makna teks oleh pembaca). Iser (1978:20-21), menyebutkan bahwa karya sastra memiliki dua kutub, yakni kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah kutub pengarang, dan kutub estetik merupakan realisasi yang diberikan oleh pembaca. Aktualisasi yang benar terjadi di dalam interaksi antara teks (perhatian terhadap teknik pengarang, struktur bahasa) dan pembaca (psikologi pembaca dalam proses membaca, fungsi struktur bahasa terhadap pembaca). Penelitian sastra harus dimulai dari kodekode struktur yang di muat dalam teks. Aspek verbal (struktur bahasa) perlu dipahami agar menghindarkan penerimaan yang arbitrer. Fungsi struktur itu tidak berlaku selama belum ada efeknya bagi pembaca. Oleh karena itu penelitian perlu dilanjutkan dengan mendeskripsikan interaksi antara bahasa dan pembaca, yang merupakan kepenuhan penerimaan teks. E. Intertekstual Pendekatan intertekstual diperkenalkan atau dikembangkan lebih jauh oleh Julia Cristeva. Intertekstual pertama kali ilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai


58 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya minat besar pada sastra. Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan, sisipan, atau cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan, atau kutipan. Menurut Cristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipankutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teksteks lain (Rokhmansyah, 2014: 119). Cristeva berpendapat bahwa setiap teks terjalin dari kutipan, pengarang akan mengambil komponenkomponen teks yang lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang utuh. Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Cristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan (Worton dalam Rokhmansyah, 2014: 120). Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lain-lain, di antara teks-teks yang dikaji. Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut masalah ada dan tidaknya hubungan antarteks dan kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini Luxemburg dkk. dalam Nurgiyantoro (2013: 77), mengartikan intertekstualitas sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu tradisi budaya, sosial dan sastra, yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapanpun karya ditulis ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastrsaan yang ditulis sebelumnya.


Imas Juidah, dkk. 59 Hiporgam merupakan teks-teks kesastraan yang dijadikan dasar penulisan bagi teks (Riffaterre dalam Nurgiyantoro (2013: 78)). Istilah hipogram, barangkali dapat di Indonesiakan menjadi latar, yaitu dasar walau mungkin tidak tampak secara eksplisit, bagi penulisan teks yang lain. Ada di bagian lain, dinyatakan bahwa untuk mendapatkan makna yang sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial-budayanya, dalam hubungan pembicaraan intertekstual ini berkenaan dengan konteks sejarah sastranya. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sebuah karya sastra baik itu puisi maupun prosa mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan maupun pertentangan. Dengan demikian, membicarakan karya sastra itu sebaiknya dalam hubungannya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya (Pradopo, 2013: 167). Sejalan dengan pendapat di atas, Culler dalam Ratna (2007: 213), mengungkapkan ada beberapa konsep penting yang harus dijelaskan agar pemahaman secara intertekstual dapat dicapai secara maksimal. Konsep-konsep yang dimaksudkan di antaranya: recuperation (prinsip penemuan kembali), naturalization (prinsip untuk membuat yang semula menjadi asing menjadi biasa), motivation (prinsip penyesuaian, bahwa teks tidak arbitrer atau tidak koheren ), vraisemblation (prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau sesuatu yang lain). Lebih lanjut Todorov dalam Ratna (2007: 213), menunjukkan tiga model hubungan teks dalam kaitannya dengan ciri-ciri vraisemblation, yaitu: 1) sebagai model hubungan teks tertentu dengan teks lain yang tersebar di masyarakat, yang disebut sebagai opini umum, 2) hubungan teks terhadap genre tertentu, dan 3) kedok yang menutupi teks itu sendiri, tetapi yang memungkinkanya untuk menghubungkan dengan realitas, bukan pada hukum-hukumnya sendiri. F. Dekonstruksi Munculnya pascastrukturalis secara otomatis akan melupakan struktur dan akan mendekonstruksi karya sastra sehingga pascastrukturalis juga sering disebut dengan istilah dekonstruksi. Dekonstruksi merupakan ragam teori sastra yang tidak begitu menghiraukan


60 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya struktur karya sastra. Menurut Ratna (2009: 222) dekonstruksi, yang dipelopori oleh Jaques Derrida, menolak adanya logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lain yang bersifat hierarkis dikhotomis. Dekonstruksi pada hakikatnya merupakan suatu cara membaca sebuah teks yang menumbangkan anggapan (walau hal itu hanya secara implisit) bahwa sebauh teks itu memiliki landasan, dalam sistem bahasa yang berlaku, untuk menegaskan struktur, keutuhan, dan makna yang telah menentu Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 89). Teori dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa telah memilki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungkapan atau bentukbentuk kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek yang bermakna tertentu dan pasti. Mendekonstruksi sebuah wacana (kesastraan), dengan demikian adalah menunjukkan bagaimana meruntuhkan filososif yang melandasinya atau beroposisi secara hierarkhis terhadap sesuatu yang menjadi landasannya, dengan cara mengidentifikasi bentuk-bentuk operasional retorika yang ada dalam teks itu yang memproduksi dasar argument yang merupakan konsep utama Culler dalam Nurgiyantoro (2013: 90). Paham dekonstruksi mula-mula dikembangkan oleh seorang filosofis Perancis, Jacques Derrida, dan kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh seperti Paul de Man, J Hills Militer, dan bahkan juga Levy-Strauss. Langkah-langkah penereapan pendekatan dekonstruksi, seperti disintesiskan oleh Rodolph Gasche (dalam Rokhmansyah, 2014: 125) adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks dimana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. 2. Membongkar oposisi biner yaitu dengan cara membalik oposisi biner marginal menjadi dominan, decentering, sous rature, dan pengubahan perspektif. 3. Memperkenalkan sebuah gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisi lama.


Imas Juidah, dkk. 61 Langkah-langkah tersebut jelas menunjukkan bahwa pembacaan dekonstrukstif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna yang ada dalam teks, sedangkan dekonstruksi berupaya untuk membuktikan bahwa makna itu tidak tunggal. G. Feminisme Sastra Lahirnya pendekatan ini berawal pada kebanyakan cerita fiksi kedudukan tokoh perempuan sering diperlakukan, dipandang, atau diposisikan rendah daripada tokoh laki-laki. Pada umumnya novel angkatan Balai Pustaka, tokoh perempuan tidak berhak memilih jodoh sendiri, tidak memiliki suara untuk ikut mengambil keputusan bahkan yang menyangkut kepentingan dirinya sebagai manusia. Keadaan inilah yang menyebabkan perempuan menggugat karena merasa tidak diperlakukan secara adil. Mereka tidak mau menerima keadaan yang memandang dan memperlakukannya sebagai warga negara kelas dua, keadaan yang menyubordinasikan kaumnya. Keadaan tersebut menyebabkan munculnya gerakan atau paham feminisme sebagai bagian dari kajian sastra dan budaya tahun 1970- an. Di Indonesia, emansipasi mulai diperhatikan sejak Repelita III (1979/1980-1983 /1984), ditandai dengan pengangkatan menteri Negara urusan peranan wanita. Secara akademis ditandai dengan dibukanya program studi kajian wanita di UGM dan Universitas Indonesia. Tokoh tokoh feminis atau pengarang perempuan di Indonesia antara lain: Saryamin, Hamidah, Maria Amin, Nursyamsyu, Waluyati, Idah Nasution, S.Rukiah, Siti Nuraini, Swarsih Djojo Puspito, NH. Dini, Titie Said, Titis Basino, Popi Hutagalung, Isma Sawitri, Marga T., La Rose, Aryanti, Marianne Katoppo, Maria A. Sarjono, Yati M. Wiharja, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan sebagainya. Menurut Maggie Hum dalam Nurgiyantoro (2013: 108), mengemukakan bahwa feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan menciptakan dunia bagi perempuan. Sedangkan menurut Ratna (2013: 184), dalam pengertian yang paling luas feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu


62 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi mauoun kehiduoan sosial pada umumnya. Dalam pengertian yang lebih sempit yaitu dalam sastra, feminis dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra abik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Feminisme menurut Goefe (melalui Sugihastuti dan Suharto, 2002: 18) adalah teori tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di segala bidang. Suatu kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Hal ini disebabkan perempuan mengalami ketimpangan gender selama ini. Feminisme hegemoni patriarkat. Identitas diperlukan sebagai dasar pergerakan memperjuangkan kesamaan hak dan membongkar akar dari segala ketertindasan perempuan. Tujuan feeminnis adalah mengakhiri dominasi laki-laki dengan cara menghancurkan struktur budaya, segala hukum dan aturan-aturan yang menempatkan perempuan sebagai korban yang tidak tampak dan tidak berharga. Hal ini diterima perempuan sebagai marginalisasi, subordinasi, stereotipe, dan kekerasan. Menurut Fakih (2003: 99-100) feminisme berangkat dari asumsi bahwa perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem yang dahulu tidak adil menuju ke sistem yang lebih adil bagi kedua jenis kelamin. Hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial. Puncak cita-cita feminis adalah menciptakan sebuah tatanan baru yang lebih baik dan lebih adil untuk laki-laki dan perempuan. H. Poskolonialisme Teori poskolonial dapat didefinisikan sebagai teori kritis yang mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kolonialisme (Ratna, 2008: 120). Analisis menggunakan teori poskolonial dapat digunakan untuk menelusuri aspek-aspek tersembunyi atau dengan sengaja disembunyikan sehingga dapat diketahui bagaimana kekuasaan itu bekerja. Selain itu, untuk membonngkar disiplin, lembaga, ideologi, yang mendasarinya. Dalam hubungan inilah, bahasa, sastra, dan kebudayaan dapat memainkan peranan sebab dalam ketiga


Imas Juidah, dkk. 63 gejala tersebut mengandung wacana sebagaimana diintensikan oleh kelompok kolonialis (Ratna, 2008: 104). Teori poskolonial awanya dikhususkan bagi penelitian negaranegara yang secara langsung pernah menjadi koloni. Tetapi, pada perkembangannya, poskolonialisme dianggap telah berpengaruh secara global. Fungsi selanjutnya, dengan adanya teori tersebut adalah adanya kesadaran nasional. Selanjutnya, pengalaman yang pernah ada di Indonesia mengenai hegemoni penjajah terhadap bangsa Indonesia bisa dijadikan pelajaran untuk menata masa depan yang lebih baik. Objek kajian poskolonialisme di Indonesia yang secara umum mengacu kepada poskolonialisme Barat, mengalami beberapa masalah. Pertama, objek tidak bisa dibatasi secara pasti. Meskipun demikian, dalam ruang lingkup yang paling sempit, objek poskolonialisme di Indonesia adalah masa-masa sesudah proklamasi. Dalam hal ini, poskolonialisme sama dengan pascakolonialisme. Secara harfiah, pascakolonialisme di Indonesia mulai tanggal 17 Agustus 1945, sejak diumumkannya proklamasi kemerdekaan Soekarno-Hatta. Kedua, secara definitif poskolonialisme adalah teori, pemahaman, dalam kaitannya dengan kondisi-kondisi suatu wilayah negara yang pernah mengalami kolonisasi. Jadi, objeknya terbentang sejak Belanda tiba pertama kali di Banten sampai sekarang. Ketiga, dengan mempertimbangkan kaitannya dengan orientalisme maka objek poskolonialisme sudah ada sebelum kedatangan bangsa Belanda dan kolonialis lain hingga sekarang. Tokoh-tokoh poskolonialisme yaitu Edward Said, Homi, K Bhaba, dan Gayatri Spivak.


Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya 65 BAB 9 TEORI SASTRA INTERDISIPLINER A. Sosiologi Sastra Bidang sosiologi sastra merupakan bidang interdispliner ilmu sastra dengan teori-teori ilmu sosial. Sosiologi sasta menurut Damono (1979: 2) merupakan pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatn. Menurut Endraswara (2008: 87-88) sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif, b) studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, c) studi proses sosial yaitu bagaimana masyarakat bekerja dan bagaimanaa masyarakat melangsungkan kehidupannya. Menurut Ratna (2003: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain: 1) pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya; 2) pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya; 3) pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakngi; 4) sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat; dan 5) sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdepedensi antara sastra dengan masyarakat. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial. Wellek dan warren (dalam Rokhmansyah, 2014: 148) membagi sosiologi sastra sebagai berikut. 1. Sosiologi pengarang, profesi pengaramg, dan isntitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan ideologi


66 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai mahluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 1989: 112). 2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. 3. Sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuk banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya. B. Sosiopragmatik Sosiopragmatik merupakan kajian atau telaah tentang lingkungan setempat khususnya mengenai penggunaan bahasa (Tarigan, 1986:26). Berdasarkan hal tersebut, sosiopragmatik tidak hanya telaah tentang bahasa tetapi juga lingkungan sosial setempat yang mendukung bahasa tersebut. Dapat disimpulkan bahwa sosiopragmatik sangat erat kaitannya dengan sosiologi. Dengan demikian, sosiopragmatik merupakan titik temu antara sosiologi dan pragmatik. Sosiopragmatik sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang mempersoalkan penggunaan bahasa dalam lingkungan sosial terdiri dari berbagai macam pokok permasalahan yang dapat dijadikan dasar pengkajian. Permasalahan dalam sosiopragmatik yang dapat dijadikan dasar pengkajian di antaranya yaitu mengenai telaah penggunaan umpatan, eufemisme, dan peristiwa tutur yang akan dijelaskan sebagai berikut. 1. Umpatan Umpatan digambarkan sebagai penggunaan bahasa yang menyinggung dan terjadi di hampir semua budaya (Stephens, Atkins, & Kingston,


Imas Juidah, dkk. 67 2009). Sementara itu, menurut McEnery (2006: 2) umpatan termasuk dalam salah satu contoh bahasa yang buruk. Kata umpatan memiliki banyak sebutan, seperti kata-kata kotor, kata makian, sumpah serapah, bahasa cabul, bahasa kasar, bahasa tabu, dan bahasa vulgar. Dalam istilah yang mendasar, umpatan mengacu pada penggunaan kata-kata yang berpotensi menyinggung, tidak pantas, dan tidak diterima dalam konteks sosial (Fagersten, 2012: 3). Umpatan ialah perkataan yang kasar dan kotor yang diucapkan karena marah. Sedangkan, mengumpat yaitu mengeluarkan perkataan yang buruk-buruk disebabkan marah pada seseorang. Sejalan dengan hal tersebut, Crystal (1995: 172) menjelaskan bahwa kata umpatan ialah perkataan yang cenderung dijauhi oleh masyarakat karena mereka menganggap perkataan tersebut terasa kurang pantas apabila dikatakan. Sementara itu, Wijana dan Rohmadi juga menjelaskan bahwa umpatan ialah ekspresi yang dilakukan oleh seseorang ketika mengalami tekanan ataupun dalam situasi yang kurang nyaman (2013: 165). Selanjutnya, menurut Allan (2006) kata umpatan atau makian ialah kata yang digunakan untuk mengungkapkan segala macam ketidaksukaan, kebencian, atau ketidakpuasannya terhadap keadaan yang sedang dihadapinya. Selain itu, penggunaan kata umpatan juga dipakai untuk mengungkapkan pujian, keheranan, dan menciptakan suasana pembicaraan yang akrab. Anderson & Trudgill (1992) mengelompokkan kata umpatan menjadi empat bentuk yaitu: (1) sumpah serapah; (2) kata kasar; (3) lucu; dan (4) tambahan. Selanjutnya, Karjalainen (2002) mengkategorikan umpatan menjadi tujuh bentuk yaitu: (1) sexual organs, sexual relation; (2) religion, church; (3) excrement; (4) death; (5) the physically or mentally disabled; (6) prostitution; (7) narcotics, crime. Sementara itu, Battistella (2005:72) mengkategorikan bentuk umpatan menjadi empat bentuk, yaitu: (1) julukan; (2) kata-kata kotor; (3) kata-kata vulgar; dan (4) kata-kata cabul. Selain itu, Wardhaugh (1986) membagi kata umpatan menjadi enam bentuk, yaitu: (1) ekskresi; (2) kematian; (3) organ tubuh; (4) masalah keagamaan; (5) masalah pelacuran; (6) istilah seks. Sementara itu, menurut Hughes (1991) menjelaskan terdapat enam bentuk kata umpatan, yaitu (1) istilah genital; (2) istilah ekskretoris; (3) istilah hewan; (4) istilah anatomi; (5) istilah imbecilic; (6) istilah umum. Selain itu, Searle (1975) mengklasifikasikan bentuk umpatan berdasarkan teori tindak tutur, yaitu: (1) asertif; (2) direktif; (3) komisif;


68 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya (4) ekspresif; dan (5) deklaratif. Mengumpat adalah proses ketika seseorang berusaha menggunakan kekuatannya untuk menjatuhkan lawan bicaranya (Montagu, 2001, hlm.15). Pada umumnya, umpatan selalu dihubungkan dengan kemarahan atau frustasi. Padahal, orang mengumpat untuk beberapa alasan, fungsi, dan dalam berbagai situasi. Fungsi kata umpatan adalah untuk mengungkapkan perasaan manusia terutama dalam keadaan marah, terkejut, kesal dan bercanda. Menurut Partridge (1984) fungsi sebenarnya dari kata umpatan adalah untuk menghina, mengejek, dan mengutuk seseorang atau sesuatu dengan kata-kata yang tidak senonoh. Sebenarnya banyak jenis umpatan yang dilarang untuk ditampilkan dalam percakapan apapun baik formal maupun informal. Namun saat ini orang sering menggunakan banyak umpatan dalam percakapannya dengan temantemannya terutama ketika sedang bercanda. Menurut Crystal (1995: 61) umpatan dapat menjadi ciri kebahasaan yang dominan, dengan kalimat yang mengandung banyak kata tabu. Orang lain menggunakan umpatan untuk mengekspresikan emosi, kemarahan, kekesalan, dan keintimannya. Terkait dengan penjelasan di atas, Crystal (1995: 10) mengatakan umpatan digunakan untuk mengungkapkan perasaan mereka terutama ketika seseorang sedang marah. Fungsi dari umpatan adalah untuk mengekspresikan perasaan mereka, umumnya untuk mengekspresikan kemarahan atau emosi, kekecewaan, lelucon dan kejutan. Dalam penelitian ini konsep umpatan merupakan kata-kata yang dipergunakan dalam mengekspresikan perasaan pembicara. Perasaan itu bisa berupa amarah, kesal, jengkel, bercanda, keintiman, berjanji, atau meyakinkan sesuatu. Oleh karena itu, beberapa ahli menguraikan fungsi atau tujuan dari kata umpatan. Menurut Rothwell (1973), kata umpatan memiliki lima fungsi atau tujuan, yaitu: (1) untuk mendapatkan perhatian; (2) untuk mediskreditkan seseorang; (3) untuk memprovokasi; (4) menciptakan identifikasi interpersonal; (5) sebagai katarsis. Sementara itu, fungsi kata umpatan menurut Anderson & Trudgill dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) motif psikologis; (2) motif sosial; (3) motif linguistik. Sementara itu, menurut Pinker (2008: 350), kata umpatan bisa digunakan secara deskriptif, idiomatik, kekerasan, empatik, dan sebagai katarsis.


Imas Juidah, dkk. 69 2. Eufemisme Eufemisme secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani. Eu artinya bagus dan phemeoo berarti berbicara. Berdasarkan proses morfologisnya, eufemisme dapat diartikan sebagai perkataan yang baik (Almufawez, 2018: 201). Menurut Allan (2001: 148) eufemisme diartikan sebagai bentuk kata atau frasa yang bisa dipakai seseorang sebagai opsi untuk mengungkapkan suatu ungkapan yang diperkirakan bisa menimbulkan ketidaksesuaian bagi pendengar. Dengan kata lain, eufemisme bisa dipakai sebagai bentuk ekspresi untuk menjaga perasaan orang lain dan membuat ungkapan yang tidak menyenangkan menjadi pantas untuk di dengar. Selaras dengan pernyataan Duda (dalam Alvestad, 2014: 162) yang menyatakan bahwa eufemisme ialah kata kata ekspresi yang halus dan tidak menyinggung yang dipakai untuk mengganti ungkapan yang tabu atau terlalu kasar dan tidak pantas. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Malo & Mohammed (2014: 3) bahwa eufemisme ialah ungkapan ungkapan yang sopan, halus, dan menyenangkan. Dalam berkomunikasi eufemisme sering dipakai dalam berbagai bahasa ranah sosial seperti hukum, politik, agama, dan bidang pendidikan. Selanjutnya, Fernandez (2014: 6) menjelaskan eufemisme sebagai proses penurunan atau penggantian konsep yang tidak menyenangkan untuk memberikan keamanan dan tidak melanggar konvensi sosial. Lebih lanjut, menurut Keraf (2005) eufemisme dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan yang lebih halus untuk mengganti perkataan yang dirasa dapat menyinggung perasaan, menghina atau mengatakan sesuatu yang kurang menyenangkan. Selanjutnya, eufemisme merupakan katakata atau frasa yang dapat mengubah kata tabu untuk menghindari hal yang tidak mengenakan, dapat menggantikan kata-kata tabu untuk menghindari ketakutan, salah pengertian, tidak menyenangkan, dan lebih dapat diterima dalam interaksi sosial (Habibi & Khairuna, 2018). Penutur perlu mengetahui pengetahuan eufemisme untuk mewakili pelarian ke kenyamanan, dan itu bisa menjadi cara alternatif untuk mengurangi ketegangan saat berkomunikasi meskipun mereka membahas topik tabu. Siswa yang menyukai kata-kata tabu dapat menggunakan eufemisme sebagai penggantinya. Namun, mereka harus mencari banyak informasi tentang hal itu melalui media untuk memahami bagaimana menggunakannya dalam komunikasi sosial.


70 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya Eufemisme dapat melunakkan kata-kata kasar, menghaluskan yang kasar, mengubah apa yang negatif terdengar positif. Hal ini juga menciptakan nuansa yang berbeda dalam percakapan meskipun pembicara berbicara tentang kematian, aborsi, atau seks. Komunikator akan menyambut baik kata-kata eufemisme karena tidak terdengar negatif bagi mereka. Misalnya, ketika ingin mengatakan tentang anak-anak yang lahir dari hubungan haram, maka akan mengatakan “anak haram” bukan “anak dosa”. Selain itu, mereka akan mengatakan orang-orang berada di jalan, bukan tunawisma. Eufemisme menghadirkan persepsi negatif dari orang lain karena mereka enggan mengatakan kebenaran secara langsung (Enright, 2014). Burridge (2012) berpendapat sebaliknya; ia menyatakan bahwa penggunaan eufemisme menunjukkan pembicara menghormati orang lain. Selain itu, dapat juga membantu untuk mengetahui sikap pembicara dan membantu meningkatkan variasi bahasa. Singkatnya, mengenal eufemisme dalam konteks sosial sangat bermanfaat bagi siswa karena penggunaan eufemisme dapat menciptakan percakapan yang nyaman dalam situasi sosial, tidak merugikan orang lain, dan melindungi sekelompok orang dari kesalahpahaman. Holder, dikutip dalam Jackova (2010) mengklasifikasikan eufemisme ke dalam beberapa kategori: kematian, agama, politik, bisnis, penyakit dan obat-obatan, tubuh dan seks manusia, dan kecanduan. Kata-kata eufemisme yang berhubungan dengan kematian adalah misalnya dapat dikatakan dengan istilah wafat, berkalang tanah, mati, berpulang ke rahmatullah, tewas, mangkat, ajal datang atau mengembuskan nafas terakhir, serta binasa. Selanjutnya, Shaari (1993), mendefinisikan eufemisme sebagai pemakaian kata atau frasa tertentu yang lebih halus untuk mengganti perkataan yang dianggap menyinggung, kasar, kotor, ataupun menyakitkan. Tujuan eufemisme yaitu agar apa yang disampaikan oleh pembicara tidak menyinggung perasaan lawan bicara atau pendengar. Seperti contoh dalam kalimat, “Saya izin ke belakang” merupakan salah satu contoh pemakaian eufemisme yang bermaksud “Saya izin membuang air”. Frasa membuang air tersebut menunjukkan kata eufemisme yang bermaksud kencing. Dengan demikian, eufemisme merupakan bahasa atau sebuah ungkapan yang halus dan sopan. Selanjutnya, eufemisme merupakan bahasa yang sangat cermat dalam memilah kata atau frasa yang sopan untuk menghantarkan pesan serta perasaan (Omar, 2004).


Imas Juidah, dkk. 71 Lebih lanjut, Kadir (2003) memaknai eufemisme semacam majas pertautan yang mengandung frasa atau istilah yang lebih sopan yang berperan dalam mengubah frasa atau istilah tertentu yang cenderung tidak sopan, kasar, merisaukan, menyakitkan, seta menyudutkan. Berdasarkan definisi-defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa eufemisme ialah suatu penggunaan bahasa yang termasuk istilah halus dan tidak kasar untuk mengganti istilah yang cenderung tidak sopan, terlalu kasar, dan tabu. Istilah-istilah tersebut dapat berbentuk kiasan yang terdiri dari bentuk dilebih-lebihkan untuk memperoleh sebuah kesan tertentu. Selain itu, eufemisme dapat juga berupa istilah-istilah lainya yang dapat mewakili ungkapan tertentu dengan tujuan untuk memperhalus. Eufemisme terbentuk berdasarkan satuan kebahasaan. Satuan kebahasan tersebut bertingkat mulai dari yang kecil hingga yang terbesar. Satuan terkecil yang bermakna disebut kata dan satuan terbesar dalam sintaksis disebut kalimat. Satuan kebahasaan yang lebih besar dari kata disebut frasa dan yang lebih besar dari frasa disebut klausa. Tingkatan-tingkatan satuan bahasa itu disebut tataran gramatikal. Oleh karena itu, bentuk eufemisme dapat berupa satuan gramatikal yaitu kata, frasa, dan klausa. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Allan (2001: 148) yang menyebutkan bahwa eufemisme merupakan kata atau frasa yang digunakan sebagai alternatif dalam mengungkapkan sesuatu yang tidak disukai. Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa satuan gramatikal yang bisa dipakai dalam menentukan bentuk eufemisme yaitu satuan kata, frasa, dan klausa. Sementara itu, bentuk eufemisme juga dapat muncul dalam satuan gramatikal yang lebih besar (kalimat) (Kurniawati, 2011: 51). Lebih lanjut Allan dan Burridge (1991: 11) juga menjelaskan bahwa eufemisme merupkan bentuk pilihan terhadap ungkapan yang tidak sopan atau kurang berkenan dan digunakan untuk menghindari rasa malu. Selanjutnya, bentuk-bentuk eufemisme menurut Allan dan Buridge terdapat 16 bentuk yaitu: figurative expressions, methapor, flippancy, remodelling, circumlocutions, clipping, acronym, abbreviations, omission, one for one substation, general for specific, part for whole eupheisms, hyperbole, understatment, jargon, colloquial.


72 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya Penggunaan eufemisme dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berretorika bahasa tidak lepas dari fungsinya. Umumnya, eufemisme berfungsi untuk menjaga penutur dan lawan tutur dari sesuatu atau ungkapan yang tidak menyenangkan (Linfoot & Ham, 2005: 228). Selain itu, Wijana dan Rohmadi (2013:86) mennjelaskan fungsi eufemisme antara lain: (1) sebagai alat untuk menghaluskan ucapan, (2) sebagai alat untuk merahasiakan sesuatu, (3) sebagai alat untuk berdiplomasi, (4) sebagai alat pendidikan, (5) sebagai alat untuk menolak bahaya. Bentuk kebahasan yang mengandung eufemisme mempunyai hubungan manasuka dengan makna ataupun dengan referensinya. Referensi eufemisme menurut Wijana dan Rohmadi (2013: 79-104) yaitu sebagai berikut. Pertama, benda dan binatang. Menurut Wijana, suatu tempat atau benda yang tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya merupakan tempat atau benda yang bernuansa kotor, tidak senonoh, memalukan, melanggar etika, atau berbahaya. Misalnya air kencing digantikan air seni, urine, air kecil yang dianggap lebih halus. Begitu juga nama binatang seperti anjing digantikan dengan bentuk tiruan bunyinya, yaitu guguk. Kedua, bagian tubuh. Bagian-bagian tubuh tertentu yang fungsinya berhubungan dengan aktivitas seksual harus dihindari penyebutannya secara langsung. Ketiga, profesi. Masyarakat seringkali memandang rendah profesi yang dijalani oleh seseorang yang dirasa tidak bergengsi dan tidak terhormat. Bentuk eufemisme digunakan untuk menghormati orang-orang yang menjalani profesi semacam itu. Profesi yang sering dianggap rendah, tidak bergengsi dan tidak terhormat seperti babu atau jongos. Kata babu atau jongos merupakan kata yang dianggap kasar dan kurang sopan, maka diganti dengan bentuk eufemisme pramuwisma. Kata pramuwisma merupakan kata yang lebih halus dibandingkan kata babu atau jongos. Keempat, penyakit. Bentuk-bentuk eufemisme nama-nama penyakit ini berupa istilah-istilah yang lazim digunakan di bidang kedokteran. Pemakaian istilah-istilah tersebut digunakan untuk merahasiakan penyakit yang diderita oleh pasien dan untuk meninbulkan kesan sopan, buta, tuli, digantikan dengan tunanetra, tunarungu. Kelima, aktivitas. Aktivitas yang sering memerlukan bentuk eufemisme adalah aktivitas-aktivitas seksual. Kata bersenggama diganti dengan bergaul. Keenam, peristiwa. Peristiwa buruk atau menyedihkan yang dialami oleh seseorang harus dicarikan bentuk


Imas Juidah, dkk. 73 eufemisme untuk menghormati orang lain. Peristiwa buruk atau menyedihkan tersebut seperti kematian. Ketujuh, sifat atau keadaan. Sifat atau keadaan buruk seperti bodoh, tolol, dungu merupakan kata yang dianggap kasar sehingga harus digantikan dengan bentuk lain yang lebih halus, seperti kata kurang atau lemah. Sementara itu, Leech (1981: 53) mengungkapkan bahwa referensi eufemisme terdapat dalam kata-kata yang berhubungan dengan (1) kematian. Referensi ini berkaitan erat dengan sesuatu yang buruk dialami oleh seseorang. Penggunaan kata mati dinilai kurang dapat menghormati orang yang mengalaminya. Oleh karena itu, kata mati diganti dengan kata meninggal. (2) Penyakit. Penggunaan referensi penyakit biasanya dipakai dalam bidang kedokteran untuk menghormati penderitanya dan menutupi kesan menyeramkan. (3) Kejahatan dan pidana. Kejahatan dan pidana biasanya dihubungkan dengan perbuatan yang sadis, amoral, dan tercela. Hal tersebut membuat pelakunya merasakan malu dan terkesan dikucilkan di masyarakat. (4) hal-hal tabu. Hal tabu merupakan sesuatu yang dilarang untuk diungkapkan oleh seseorang. Hal ini biasanya berkaitan dengan adat dan budaya suatu masyarakat. (5) Seks dan apa-apa yang keluar dari tubuh. Ungkapan yang berkaitan dengan referensi seks dan apa yang keluar dari tubuh banyak ditemukan di masyarakat. Ungkapan dalam bidang medis misalnya air mani digunakan untuk menggantikan sperma. 3. Etnografi Komunikasi Etnografi komunikasi ialah cabang linguistik. Asal kata ‘etnografi’ yaitu dari kata ‘Ethnos’ dalam bahasa Yunani yang artinya ‘bangsa’ atau ‘orang’ serta ‘graphia’ artinya ‘tulisan’. Secara turunan, ‘etnografi’ berarti ‘tulisan’ tentang ‘bangsa’ atau ‘orang’ (Sagaji:2018). Sebutan etnography of speaking awal mulanya dipublikasikan oleh ahli antropologi dan sosiolog yang selanjutnya menjadi ahli linguistik Amerika, yaitu Dell Hymes. Kajian etnography of speaking awal mulanya disampaikan oleh Hymes melalui beberapa rentetan makalah yang ditulis pada 1960-an dan 1970-an. Selanjutnya, sebutan tersebut diganti oleh Hymes menjadi etnography of communication, sebab sebutan tersebut menurutnya lebih pas dan semakin terkenal belakangan ini. Dalam konteks ini, Hymes menjadikan ikatan secara jelas antara bahasa serta budaya. Hymes sepertinya kurang mempertimbangkan


74 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya permasalahan psikologis yaitu kesadaran selaku atensi yang nomor satu. Hymes (1972:340) menyatakan ujaran selaku sebuah pola sikap kebudayaan, tetapi ia pribadi tidak menjajaki riset bahasa serta budaya sebagai psikologi ataupun kesadaran. Namun kebalikannya, ia memprioritaskan berartinya riset perilaku ujar, wacana serta kinerja misalnya pembuatan ragam puitis yang seluruhnya diletakkan dalam konteks sosial. Singkatnya, etnografi merupakan bidang kajian yang berkaitan dengan deskripsi dan analisis budaya dan linguistik yang terkait dengan kode bahasa. Etnografi diartikan sebagai bidang kajian yang berkaitan dengan deskripsi dan analisis budaya (Cots, 1992). Dengan begitu dapat dikatakan kalau etnografi yaitu kajian mengenai hidup dan kehidupan serta budaya masyarakat ataupun etnik, misalnya mengenai tradisi, kesbiasaan, hukum, seni, agama, bahasa, politik, dan ideologi. Bidang kajian yang bersebelahan dengan etnografi yaitu etnologi. Etnologi merupakan kajian yang membandingkan budaya dari berbagai macam masyarakat ataupun golongan. Etnografi merupakan akar dari antropologi pada dasarnya ialah aktivitas periset untuk mengetahui cara orang-orang berhubungan dan berkolaborasi lewat permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hingga tahun 1960-an sedikit perhatian diberikan pada penggunaan bahasa dan pidato dalam masyarakat yang berbeda (Saville & Troike, 2003: 21). Selanjutnya, Schiffrin menjelaskan bahwa etnografi komunikasi yaitu salah satu metode analisis teks dalam linguistik yang mengacu pada bidang antropologi etnografi (1994). Saat ini, analisis wacana dan percakapan juga telah diintegrasikan ke dalam Etnografi Komunikasi (Leeds-Hurwitz, 2005). Meskipun teori-teori ini berfokus pada penggunaan bahasa dalam masyarakat, etnografi komunikasi berfokus terutama pada berbicara sebagai sistem sosial dan budaya dalam konteks khusus populasi bahasa yang lain (Philipsen & Coutu, 2005). Tugas ahli etnografi yaitu menemukan jawaban atas pertanyaan: (i) mengapa peristiwa tertentu terjadi dalam komunitas tutur? (ii) Mengapa komunitas tutur memiliki karakteristik khusus? (Cameron, 2001). Dengan demikian, etnografi bervariasi menurut gaya dan pendekatan yang digunakan dalam mengkaji kehidupan sosial dan budaya. Etnografi klasik atau antropologis adalah studi tentang manusia, institusi, adat istiadat, dan kode budaya (Malinowski dalam


Imas Juidah, dkk. 75 Hepburn, 2016: 51). Kritikus awal menyatakan bahwa etnografi mencakup lebih dari sekedar observasi dan analisis kelompok manusia, tetapi juga termasuk studi tentang individu sebagai entitas (Lévi-Strauss, Jacobson, & Schoepf, 1963). Baru-baru ini, para para ahli menyarankan bahwa etnografi mencakup mencakup “interaksi” dengan subjek (Hobbs & Wright, 2006). Tujuannya adalah untuk memberikan metode yang cocok untuk peneliti dalam memahami aturan sosial dan budaya. Jadi, etnografi budaya menurut Vidich dan Lyman (2000: 40) adalah kajian dalam mendeskripsikan “budaya rakyatnya”. Jadi, dalam bentuknya yang paling murni, tujuan etnografi adalah mempelajari interaksi manusia dan mencatat, seakurat mungkin, berbagai atribut yang membentuk suatu budaya dan yang mendukungnya. Selain itu, Duranti (1997) mengartikan etnografi sebagai gambaran tertulis dari organisasi dan aktivitas sosial, sumber daya simbolis dan material, serta praktik penafsiran sebagai ciri dari sekelompok orang tertentu. Etnografi komunikasi di pihak lain yaitu terkait dengan pertanyaan mengenai apa yang diketahui seseorang tentang pola dalam menggunakan bahasa yang tepat dalam pidato atau komunitasnya serta bagaimana dia mempelajarinya (Farah, 1998). Kontribusi Farah tersebut mengarah pada konsep penting yang sentral untuk pendekatan “kompetensi komunikatif.” Kompetensi komunikatif mengacu pada pengetahuan bawaan yang dimiliki setiap anggota kompeten dari komunitas tertentu yang dimiliki yang memungkinkan individu tersebut menggunakan bentuk-bentuk linguistik dengan benar agar menghasilkan maksud tertentu dalam komunitas tutur (Hymes, 1974). Selanjutnya, Gumperz (1972) berpendapat bahwa kompetensi komunikatif menggambarkan kemampuan pembicara untuk memilih ekspresi yang benar secara gramatikal yang tersedia bagi pembicara, sebagai tambahan, pembicara harus memiliki pengetahuan tentang bentuk yang secara tepat mencerminkan norma sosial yang mengatur perilaku dalam pertemuan tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa etnografi komunikasi berkaitan dengan situasi dan kegunaan, pola dan fungsi berbicara sebagai aktivitasnya sendiri (Hymes dalam Fasold, 1990: 39).


76 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya C. Psikologi Sastra Psikologi sastra melakukan kajian sastra dengan memandang karya sastra sebagai kegiatan kejiwaan baik dari sang penulis maupun para pembacanya (Kinanti, 2006). Karya sastra, terutama yang berbentuk prosa seperti cerpen, drama dan novel pasti selalu menampilkan kisah tokoh-tokoh dalam menjalani kehidupan mereka. Dalam menuliskan karyanya, para pengarang pasti menghadirkan tokoh dengan karakter dan perilaku yang unik untuk menambah daya tarik pada cerita yang dituliskannya. Aspek inilah yang diangkat oleh psikologi sastra sebagai bahan kajian, terutama mengenai latar belakang tindakan dan pikiran dari para tokoh dalam karya sastra terkait. Wellek dan Austin (1989:90) menjelaskan bahwa psikologi sastra memiliki empat arti. Pertama, psikologi sastra adalah pemahaman kejiwaan sang penulis sebagai pribadi atau tipe. Kedua, pengkajian terhadap proses kreatif dari karya tulis tersebut. Ketiga, analisa terhadap hokum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra. Dan keempat, psikologi sastra juga diartikan sebagai studi atas dampak sastra terhadap kondisi kejiwaan daripada pembaca. Sementara itu, menurut Ratna (240:350) psikologi sastra adalah analisa terhadap sebuah karya sastra dengan menggunakan pertimbangan dan relevansi ilmu psikologi. Ini berarti penggunaan ilmu psikologi dalam melakukan analisa terhadap karya sastra dari sisi kejiwaan pengarang, tokoh maupun para pembaca. Dengan kata lain, dapat juga dikatakan bahwa psikologi sastra melakukan kajian terhadap kondisi kejiwaan dari penulis, tokoh maupun pembaca hasil karya sastra. Secara umum dapat diambil kesimpulan adanya hubungan yang erat antara ilmu psikologi dengan karya sastra. Teori psikologi yang banyak dimanfaatkan teorinya dalam studi sastra adalah Sigmund Frued dengan teorri psikoanalisisnya. Selain itu juga banyak digunakan teori lain seperti Carl Gustav Jung (psikologi kepribadian, Hurlock (psikologi perkembangan), dan beberapa tokoh lainnya. Berikut akan dipaparkan teori psikologi kepribadian yang sering digunakan dalam penelitian psikologi sastra, yaitu psikoanalsis Frued dan psikologi kepribadian Jung.


Imas Juidah, dkk. 77 1. Psikoanalisis Sigmund Frued Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkat kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak sadar (unconscious). Freud berpendapat bahwa kepribadian merupakan suatu sistem yang terdiri dari 3 unsur, yaitu das Es, das Ich, dan das Ueber Ich (dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan the Id, the Ego, dan the Super Ego). a. Id (das Es) Freud mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego sebagai perdana menteri dan superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolut, harus dihormati, manja, sewenang-wenang, dan mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang diibaratkan memiliki tugas harus menyelesaikan segala 19 pekerjaan yang terhubung dengan realitas dan tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan si id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak. Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar seperti misalnya kebutuhan: makan, sesk menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Menurut Freud, id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan, yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari ketidaknyamanan (Minderop, 2013: 21). b. Ego (das Ich) Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Seseorang penjahat, misalnya, atau seorang yang hanya ingin memenuhi kepuasan diri sendiri, tertahan dan terhalang oleh realitas kehidupan yang dihadapi. Demikian pula dengan adanya individu yang memiliki impuls-impuls seksual dan agresivitas yang tinggi misalnya; tentu saja nafsu-nafsu tersebut tidak terpuaskan tanpa pengawasan. Demikianlah, ego menolong


78 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya manusia untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar. tugas ego memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: 20 penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan alasan ini, ego merupakan pimpinan utama dalam kepribadian; layaknya seorang pimpinan perusahaan yang mampu mengambil keputusan rasional demi kemajuan perusahaan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk (Minderop, 2013: 22). c. Superego (das Über Ich) Struktur yang ketiga ialah superego yang mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan ‘hati nurani’ yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Sebagaimana id, superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergumul dengan hal-hal realistik, kecuali ketika impuls seksual dan agresivitas id dapat terpuaskan dalam pertimbangan moral. Jelasnya, sebagai berikut: misalnya ego seseorang ingin melakukan hubungan seks secara teratur agar karirnya tidak terganggu oleh kehadiran anak; tetapi id orang tersebut menginginkan hubungan seks yang memuaskan karena seks itu nikmat. Kemudian superego timbul dan menengahi dengan anggapan merasa berdosa dengan melakukan hubungan seks (Minderop, 2013: 22-23). 2. Psikologi Kepribadian C. G. Jung Garis besar dari teori kepribadian Jung adalah bahwa kepribadian seseorang terdiri dari dua alam yaitu alam kesadaran (conscious) dan alam ketaksadaran (unconscious). Struktur kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa. Sikap jiwa ialah energi psikis atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah energi psikis itu dapat keluar ataupun ke dalam dan demikian pula arah orientasi manusia terhadap dunianya dapat keluar ataupun ke dalam. Berdasarkan atas sikap jiwanya manusia, dapat digolongkan menjadi dua tipe, yaitu tipe ekstrovert dan tipe introvert.


Imas Juidah, dkk. 79 Fungsi jiwa merupakan suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tidak berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat pokok fungsi jiwa, yaitu pikiran dan perasaan yang merupakan fungsi rasional, serta penginderaan dan instuisi yang merupakan fungsi irasional (Suryabrata, 2010: 158). Sikap dan fungsi jiwa pada struktur kesadaran manusia yang diungkapkan Jung dapat digabungkan menjadi sebuah tipologi. Tipologi Jung merupakan kombinasi sikap dan fungsi untuk mendeskripsikan tipe kepribadian manusia. Jung membagi tipe kepribadian manusia menjadi delapan tipe, yaitu ektrovert pemikir, ekstovert perasa, ekstrovert pengindera, ekstrovert intuitif, introvert pemikir, introvert perasa, introvert pengindera, dan intovert intuitif (Alwisol, 2011: 47). D. Antropologi Sastra Antropologi sastra menurut Endaswara (2013:4) adalah penelitian terhadap pengaruh timbal balik antara sastra dan kebudayaan. Sejalan dengan pendapat tersebut Ratna (2011:31) antropologi sastra sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Kedekatan sastra dan antropologi tidak dapat diragukan antropologi sastra muncul dari banyaknya karya sastra yang syarat nilainilai budaya yang terkandung di dalamnya Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan manusia, seperti bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni, khususnya karya sastra (Ratna, 2011: 351). Berkaitan dengan tiga macam bentuk kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu kompleksitas ide, kompleksitas aktivitas, dan kompleksitas benda-benda, maka antropologi sastra memusatkan perhatian pada kompleksitas ide kebudayaan. Sejalan dengan pendapat di atas, Endraswara (2013:107) menyatakan bahwa penelitian antropologi sastra dapat menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat. Jadi, selain meneliti aspek sastra dari tulisan etnografi, fokus antropologi sastra adalah mengkaji aspek budaya masyarakat dalam


80 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya teks sastra. Oleh karena itu sesuai konteksnya, penelitian antropologi sastra seperti apa yang dikemukakan oleh Endaswara (2013:19) merupakan telaah struktur sastra (novel, cerpen, puisi, drama, cerita rakyat) lalu menghubungkannya dengan konsep atau konteks situasi sosial budayanya. Terkait dengan karya sastra yang di dalamnya terdapat tokoh dan penokohan, maka sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Endaswara di atas maka penelitian antropologi sastra merupakan penelitian yang menggambarkan perilaku dan sikap tokoh-tokoh (penokohan) dalam karya sastra tersebut guna mengungkap budaya masyarakat tertentu. E. Sastra Bandingan Sastra bandingan merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan yang ada dalam ilmu sastra. Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul di Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh SanteBeuve dalam sebuah artikelnya yang terbit tahun 1868 (Damono, 2005: 14). Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal abad ke-19 telah muncul studi sastra bandingan di Prancis. Sedangkan pengukuhan terhadap pendekatan perbandingan terjadi ketika jurnal Revue Litterature Comparee diterbitkan pertama kali pada tahun 1921. Dalam sastra bandingan dikenal dua mazhab, yaitu mazhab Amerika dan Prancis. Mazhab Amerika berpendapat bahwa sastra bandingan memberi peluang untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra, misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis berpendapat bahwa sastra bandingan hanya memperbandingkan sastra dengan sastra. Namun demikian, kedua mazhab tersebut bersepakat bahwa sastra bandingan harus bersifat lintas negara, artinya berusaha membandingkan sastra satu negara dengan sastra negara lain. Menurut Endraswara (2011) sastra bandingan adalah sebuah studi teks across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut wilayah


Imas Juidah, dkk. 81 geografis sastra. Konsep ini mempresentasikan bahwa sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam ini, guna merunut keterkaitan antar aspek kehidupan. Dalam sastra bandingan, perbedaan dan persamaan yang ada dalam sebuah karya sastra merupakan objek yang akan dibandingkan. Remak menjelaskan bahwa dalam sastra bandingan yang dibandingkan adalah kejadian sejarah, pertalian karya sastra, persamaan dan perbedaan, tema, genre, style, perangkat evolusi budaya, dan sebagainya (1990: 13). Remak lebih jauh juga memberikan batasan tentang objek sastra bandingan. Menurut Remak, yang menjadi objek sastra bandingan hanyalah karya sastra nasional dan karya sastra dunia (adiluhung). Selain itu, dapat dipahami bahwa dasar perbandingan adalah persamaan dan pertalian teks. Jadi, hakikat kajian sastra bandingan adalah mencari perbedaan atau kelainan, di samping persamaan dan pertalian teks dan yang terpenting dari kajian sastra bandingan adalah bagaimana seorang peneliti mampu menemukan serta membandingkan kekhasan sastra yang dibandingkan. Hutomo (1993: 19) menjelaskan bahwa, dalam praktek penelitian sastra bandingan di Indonesia, secara garis besar, dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut. 1. Sastra bandingan dalam kaitanya dengan filologi. 2. Sastra bandingan dalam hubunganya dengan sastra lisan. 3. Sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan tulis, baik yang tertulis dalam bahasa indonesia yang masih bernama Bahasa Melayu maupun yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. F. Ekranisasi Transformasi dari karya sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah ekranisasi. Istilah ini berasal dari bahasa Prancis, écran yang berarti ‘layar’. Ekranisasi adalah pelayar putihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film. Eneste (1991:60–61) menambahkan yang dimaksud dengan ekranisasi adalah pelayar


82 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya putihan atau pemindahan atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film (ecran dalam bahasa Perancis berarti layar). Pemindahan novel ke layar putih mau tidak mau mengakibatkan timbulnya berbagai perubahan. Oleh sebab itu dapat dikatakan, ekranisasi adalah proses perubahan bisa mengalami penciutan, penambahan dan perubahan dengan sejumlah variasi. Alat utama dalam novel adalah kata-kata, segala sesuatu disampaikan dengan kata-kata. Cerita, alur, penokohan, latar, suasana, dan gaya sebuah novel dibangun dengan kata-kata. Pemindahan novel ke layar putih, berarti terjadinya perubahan pada alat-alat yang dipakai, yakni mengubah dunia kata-kata menjadi dunia gambargambar yang bergerak berkelanjutan. Sebab di dalam film, cerita, alur, penokohan, latar, suasana dan gaya diungkapkan melalui gambargambar yang bergerak berkelanjutan. Apa yang tadinya dilukiskan atau diungkapkan dengan katakata, kini harus diterjemahkan ke dunia gambar-gambar. Eneste (1991:60–61) menyatakan bahwa pada proses penggarapannya pun terjadi perubahan. Novel adalah kreasi individual dan merupakan hasil kerja perseorangan. Seseorang yang mempunyai pengalaman, pemikiran, ide, atau hal lain, dapat saja menuliskannya di atas kertas dan jadilah sebuah novel yang siap untuk dibaca atau tidak dibaca orang lain. Tidak demikian pembuatan film. Film merupakan kerja gotong royong. Bagus tidaknya sebuah film, banyak bergantung pada keharmonisan kerja unit-unit di dalamnya: produser, penulis skenario, sutradara, juru kamera, penata artistik, perekam suara, para pemain, dan lain-lain. Dengan kata lain, ekranisasi berarti proses perubahan dari sesuatu yang dihasilkan secara individual menjadi sesuatu yang dihasilkan secara bersama-sama (gotong-royong). Eneste (1991:61—66) perubahan yang terjadi dalam ekranisasi adalah sebagai berikut. 1. Pengurangan Salah satu langkah yang ditempuh dalam proses transformasi karya sastra ke film adalah pengurangan. Pengurangan adalah pengurangan atau pemotongan unsur cerita karya sastra dalam proses transformasi. Eneste (1991:61) menyatakan bahwa pengurangan dapat dilakukan terhadap unsur karya sastra


Imas Juidah, dkk. 83 seperti cerita, alur, tokoh, latar, maupun suasana. Dengan adanya proses pengurangan atau pemotongan maka tidak semua hal yang diungkapkan dalam novel akan dijumpai pula dalam film. Dengan demikian akan terjadi pemotongan-pemotongan atau penghilangan bagian di dalam karya sastra dalam proses transformasi ke film. Eneste (1991:61—62) menjelaskan bahwa pengurangan atau pemotongan pada unsur cerita sastra dilakukan karena beberapa hal, yaitu: (1) anggapan bahwa adegan maupun tokoh tertentu dalam karya sastra tersebut tidak diperlukan atau tidak penting ditampilkan dalam film. Selain itu, latar cerita dalam novel tidak mungkin dipindahkan secara keseluruhan ke dalam film, karena film akan menjadi panjang sekali. Oleh karena itu, latar yang ditampilkan dalam film hanya latar yang memadai atau yang penting-penting saja. Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari pertimbangan tujuan dan durasi waktu penayangan. (2) Alasan mengganggu, yaitu adanya anggapan atau alasan sineas bahwa menghadirkan unsur-unsur tersebut justru dapat mengganggu cerita di dalam film. (3) Adanya keterbatasan teknis film atau medium film, bahwa tidak semua bagian adegan atau cerita dalam karya sastra dapat dihadirkan di dalam film. (4) Alasan penonton atau audiens, hal ini juga berkaitan dengan persoalan durasi waktu. 2. Penambahan Eneste (1991:64) menyatakan bahwa seorang sutradara mempunyai alasan tertentu melakukan penambahan dalam filmnya karena penambahan itu penting dari sudut filmis. 3. Perubahan Bervariasi Perubahan bervariasi adalah hal ketiga yang memungkinkan terjadi dalam proses transformasi dari karya sastra ke film. Menurut Eneste (1991:65), ekranisasi memungkinkan terjadinya variasi-variasi tertentu antara novel dan film. Variasi di sini bisa terjadi dalam ranah ide cerita, gaya penceritaan, dan sebagainya. Terjadinya variasi dalam transformasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain media yang digunakan, persoalan penonton, durasi waktu pemutaran. Eneste (1991:67)


84 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya menyatakan bahwa dalam mengekranisasi pembuat film merasa perlu membuat variasi-variasi dalam film, sehingga terkesan film yang didasarkan atas novel itu tidak seasli novelnya.


Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya 85 BAB 10 PENERAPAN KAJIAN SOSIOPRAGMATIK: UMPATAN DALAM NOVEL TELEMBUK KARYA KEDUNG DARMA ROMANSHA A. Sinopsis Novel S afitri merupakan anak seorang telembuk serta bapak yang bajingan, pemabuk, serta suka telembuk. Semenjak umur 9 tahun Safitri ingin jadi penyanyi dangdut populer. Saritem, Ibu Safitri, menyimpan harapan pada anaknya itu, kadang- kadang dia berpakaian muslimah walaupun nampak aneh, supaya memperoleh pujian serta kepedulian dari keluarga Haji Nasir, seseorang kuwu terpandang di Cikedung. Saritem juga telah menanggalkan status telembuknya cuma buat melindungi kehormatan Haji Nasir. Sebab anaknya, Safitri, jadi artis kasidah kepunyaan Ustaz Musthafa, ialah anak kesatu Haji Nasir. Tetapi tidak disangka. Mukimin, anak bungsu Haji Nasir, kesengsem dengan Safitri. Tiap terdapat latihan kasidah, dia senantiasa mengintip. Sembari bawa majalah porno yang dia curi dari kamar Musthafa, dia mengintip Safitri. Kemudian membayangkan Safitri menyanyi kasidah tanpa busana, serta dituntaskan dengan masturbasi. Aktivitas busuknya ini dia ulang- ulang kala terdapat latihan kasidah di musala bapaknya. Mukimin bergaul dengan begundal- begundal seumurannya, 14 tahun. Bermaksud buat mentlaktir sahabatnya, Mukimin mencuri uang milik bapaknya. Mukimin dapat dibilang tidak sempat mengaji, walaupun dia anak dari pemilik musala terkenal di kampungnya. Sebab, dalam seminggu paling- paling cuma sekali saja. Musthafa sangat geram dengan kelakuan Mukimin yang jahanam ini. Hingga tidak heran tiap hari pastilah Mukimin serta Musthafa ini beradu mulut.


86 Apresiasi Prosa Fiksi: Teori dan Penerapannya Tidak disangka pula, diam- diam Musthafa menaruh hasrat pada Safitri. Sekian kali, dia sempat datang buat mengutarakan cintanya. Mengatasnamakan menghindari zina, Musthafa melamar Safitri. Mendengar itu, ibu Safitri bahagia bukan kepalang semacam ingin umrah saja. Karena, kesenangannya ini mendekati Haji serta ia hendak besanan dengan seseorang Haji terpandang di kampungnya. Tiap hari dia menasehati Safitri guna segera menerima cinta Musthafa. Namun, siapa yang dapat menyangka, diam- diam Safitri lebih memilah Mukimin yang urakan itu. Sampai sesuatu hari Haji Nasir mencium gelagat ikatan Mukimin dengan Safitri, tanpa pengetahuan jika Musthafa juga jatuh hati pada Safitri. Haji Nasir mengirim suruhannya buat menemui Saritem supaya Safitri tidak berhubungan lagi dengan Mukimin. Pasti demikian merupakan cerita yang klise. Karena, tidak bisa jadi Haji Nasir serta- merta melarang ikatan 2 anak ingusan itu, jika sebabnya cuma status sosial belaka. Namun, apabila kita amati kembali kenapa Haji Nasir melarang ikatan Mukimin dengan Safitri, lebih tepatnya sebab Saritem serta Haji Nasir sempat menjalakan ikatan gelap saat sebelum dia naik haji serta jadi seseorang kuwu di desanya. Permasalahan perkara politik ialah kala ia kepingin mencalonkan kuwu lagi pada 1998. Pak Darmawan serta Haji Nasir merupakan rival politik semenjak kampung ini belum terdapat listrik. Sesudah Saritem memperoleh teguran dari Haji Nasir, Saritem nguntap serta mendatangi rumah Haji Nasir dengan kemarahan yang meluap- luap. Dia merasa tidak terima dengan perlakuan Haji Nasir. Saritem merasa karna dia seseorang telembuk, sehingga Safitri tidak layak menjalakan ikatan dengan Mukimin. Saritem berkoar- koar menerangkan ikatan gelapnya dengan Haji Nasir di depan banyak orang dengan kemarahan yang membabi buta. Saritem tidak terima dengan perlakuan Haji Nasir. Hingga Saritem juga menghalangi ikatan Safitri dan Mukimin guna melindungi gengsi serta harga dirinya. Sampai sesuatu hari, seketika Safitri nongol di tarling dangdut dengan bawa uang saweran sembari bergoyang kesetanan. Kemunculannya di atas panggung dangdut ini mengundang desassesus jika Safitri stress sebab ditolak oleh keluarga Haji Nasir. Kemunculan Safitri terus menjadi kerap di panggung dangdut, sampai akhirnya dia turut bernyanyi di atas panggung sembari bergoyang


Imas Juidah, dkk. 87 kesetanan. Kadangkala, dia tunggingkan pantatnya hingga nampak celana dalamnya, serta dia melangsungkannya dengan berniat. Di tengah- tengah kemunculan Safitri di atas panggung dangdut, disaat itu pula Safitri banyak dilamar oleh para ustaz, dari mulai ustaz Muhidin, Musthafa, hingga ustaz kampung sebelah melamar Safitri dengan satu hasrat serta tekad berjihad di jalan Allah. Guna mengembalikan Safitri ke jalur yang lurus. Namun, seluruh lamaran itu ditolak olehnya. Pada malam yang riuh kala penyanyi dangdut melontarkan pantatnya ke hadapan para pemirsa. Safitri terus bergoyang asik di hadapan orang- orang. Haji Caca naik ke panggung, menyawer serta meraba badan Safitri dengan hasrat naik- turun. Hingga pada akhirnya, Haji Caca merasa janggal dengan perut Safitri. Hingga, dia turun dari atas panggung serta memberitahukan kepada Sukirman yang tengah mabuk di warung remang- remang. Mendengar apa yang dikisahkan Haji Caca, Sukirman bergegas mendatangi Safitri serta menanyai apakah benar ia berbadan dua. Hingga, dengan muka jengkel, dia buka pakaiannya serta terlihatlah perut buncit itu, dengan teriak“ Ya, aku hamil! Lihat aku! Aku hamil! Mau apa?”, serta orang- orang juga menyangka Safitri sakit jiwa. Tidak sedikit orang yang mengatakan jika Safitri sakit jiwa. Safitri edan. Lalu, Safitri tidak pernah keluar rumah. Sukirman marah, karena dia berpendapat bahwa Mukimin lah yang telah menghamili Safitri. Dia marah kesetanan di depan rumah Haji Nasir. Akhirnya, Sondak dan orang-orang di sekitar menenangkannya. Tidak ada yang tahu siapa yang menghamili Safitri. Safitri hanya terdiam, lalu menangis. Namun, ketika orang-orang hendak menyelesaikan teka-teki kehamilan Safitri, ia menghilang. Menghilangnya Safitri di pagi itu, bersamaan dengan menghilangnya Mukimin. Sukirman dan Saritem kecewa melihat anaknya kabur dari rumah. Tidak henti-hentinya ia menyalahkan keluarga Haji Nasir. Tapi sayangnya ia tidak punya bukti sedikit pun mengenai kehamilan dan hilangnya Safitri, yang diduga dilakukan oleh si bejat Mukimin. Belum lagi masalah selesai, masalah baru menimpanya. Hingga suatu hari Govar dan Aan teman dekat Mukimin, mencurigai seseorang yang bernama Diva Fiesta. Penyanyi dangdut terkenal. Menurut Govar dan Aan wajahnya tidak asing. Sampai pada akhirnya, Govar dan Aan mengetahui sebuah rahasia yang


Click to View FlipBook Version