The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-Book ini berisi mengenai bahan ajar Mata Kuliah Teori Sastra

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2022-11-09 10:59:50

BUKU TEORI SASTRA

E-Book ini berisi mengenai bahan ajar Mata Kuliah Teori Sastra

Keywords: buku,teori sastra

Imas Juidah, M. Pd.

TEORI SASTRA

Sebuah Pengantar

Unwir

2016

Kata Pengantar

S astra merupakan salah satu materi penting yang ada
di dalam perkuliahan di samping materi
keterampilan berbahasa. Mengingat pentingnya ilmu
sastra bagi khalayak pembaca dan pemerhati sastra, buku ini
berusaha menyajikan teori tentang kesusastraan. Selain itu,
buku ini ditujukan kepada para mahasiswa Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di lingkungan
Universitas Wiralodra Indramayu yang ingin memperdalam
ilmu sastra khususnya teori sastra.

Buku sederhana ini diberi judul Teori Sastra:
Sebuah Pengantar karena di dalamnya membahas dasar-
dasar teori sastra dan juga beberapa pendekatan sastra.
Mengingat selama ini mahasiswa selalu “galau” saat
mencari referensi tentang ilmu sastra dan mencari contoh
dalam menganalisis karya sastra dengan berbagai macam
pendekatan. Hal tersebut bukan karena buku-buku yang
berhubungan dengan teori sastra jumlahnya sedikit,
melainkan buku-buku yang membicarakan mengenai teori
sastra jumlahnya relatif banyak, apalagi yang berbahasa
asing. Namun, buku-buku yang demikian tidak mudah untuk
sampai ke “tangan” mahasiswa yang disebabkan oleh
berbagai kendala. Di antaranya yaitu tidak mudah
mendapatkan buku-buku tersebut dan kurangnya

kemampuan dalam menguasai bahasa asing serta kurang
memahami buku-buku hasil terjemahan.

Oleh karena itu, buku Teori Sastra: Sebuah
Pengantar ini ditulis untuk “meramaikan” dunia penulisan
buku-buku kesastraan, sekaligus mengurangi “kegalauan”
mahasiswa dalam mencari referensi untuk mata kuliah teori
sastra. Selain itu, buku ini sebagai pegangan mahasiswa
Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebagai
pegangan mahasiswa, buku ini memuat delapan bab, yaitu:
(1) Pendahuluan; (2) Hakikat Sastra; (3) Genre sastra; (4)
Puisi; (5) Prosa Fiksi; (6) Drama; (7) Aliran Sastra; (8)
Pendekatan Sastra.

Pastilah buku ini tidak akan terwujud tanpa
dorongan semangat, bantuan, sumbangan pikiran, dan
kemudahan-kemudahan. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berjasa. Terima kasih saya ucapkan
kepada Bapak Drs. Agus Nasihin, M.Pd., yang telah
memberikan dorongan kepada saya untuk mewujudkan buku
ini dan memberikan sumbangan pikiran, wawasan, dan
masukan dalam membuat buku ini. Salam hormat saya
persembahkan untuk ibunda, Juju Juariah yang selalu
memberikan dukungan dan semangat. Di atas segalanya,
saya panjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt., atas
limpahan rahmat dan karunia sehingga buku sederhana ini
dapat diselesaikan. Kepada teman-teman yang memberikan
saran-saran dan mendorong pula penulisan buku ini, saya
ucapkan terima kasih.

Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, demikian
juga dengan isi buku ini yang masih sangat jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan dan kesempurnaan
buku ini di masa yang akan datang. Semoga buku ini

bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Wiralodra
Indramayu.

Indramayu, 5 Agustus 2016

Imas Juidah

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ~ i
DAFTAR ISI ~ iv

BAB I PENDAHULUAN
A. Sastra dan Studi Sastra ~ 3
B. Teori, Sejarah, dan Kritik Sastra ~ 5
C. Hubungan Teori, Sejarah, dan Kritik Sastra ~ 8
D. Sastra Umum, Nasional, dan Bandingan ~ 10
E. Rangkuman ~ 14
F. Uji Pemahaman Bab 1 ~15

BAB II HAKIKAT SASTRA
A. Pengertian dan Batasan Sastra ~ 18
B. Ciri Sastra ~ 22
C. Mutu Karya Sastra ~ 24
D. Manfaat karya Sastra ~ 28
E. Proses Penciptaan Karya Sastra ~ 32
F. Rangkuman ~ 34
G. Uji Pemahaman Bab 2 ~ 35

BAB III GENRE SASTRA
A. Sastra Non-imajinatif ~ 38
1. Esei ~ 38
2. Kritik ~ 40
3. Biografi ~ 41
4. Autobiografi ~ 41
5. Sejarah ~ 42
6. Memoar ~ 42
7. Catatan Harian ~ 42

8. Surat-surat ~ 42
B. Sastra Imajinatif ~ 43

1. Puisi ~ 43
2. Prosa ~ 44
3. Drama ~ 44
C. Rangkuman ~ 45
D. Uji Pemahaman Bab 3 ~ 46

BAB IV PUISI
A. Pengertian Puisi ~ 48
B. Unsur Intrinsik Puisi ~ 50
1. Struktur Fisik ~ 50
2. Struktur Batin ~ 53
C. Unsur Ekstrinsik Puisi ~ 56
D. Jenis-jenis Puisi ~ 56
E. Rangkuman ~ 60
F. Uji Pemahaman Bab 4 ~ 61

BAB V PROSA FIKSI
A. Pengertian Prosa Fiksi~ 47
B. Unsur-unsur Pembangun Prosa Fiksi ~ 65

1. Unsur Intrinsik ~ 65
2. Unsur Ekstrinsik ~ 77
C. Jenis-jenis Prosa Fiksi~ 79
D. Rangkuman ~ 82
E. Uji Pemahaman Bab 5 ~

BAB VI DRAMA
A. Pengertian Drama ~ 86
B. Unsur-unsur Pembangun Drama ~ 87
1. Unsur Intrinsik ~ 88
2. Unsur Ekstrinsik ~ 93
C. Jenis-jenis Drama~ 94

D. Rangkuman ~ 98
E. Uji Pemahaman Bab 6 ~ 99

BAB VII ALIRAN SASTRA
A. Aliran Impresionisme ~ 102
1. Realisme ~ 103
2. Naturalisme ~ 103
3. Neonaturalisme ~ 104
4. Determinisme ~ 104
B. Aliran Ekspresionisme ~ 105
1. Romantisme ~ 105
2. Idealisme ~ 105
3. Psikologisme ~ 106
4. Mistisme ~ 106
5. Surrealisme ~ 107
6. Simbolisme ~ 107
C. Rangkuman ~ 108
D. Uji Pemahaman Bab 7 ~ 109

BAB VIII PENDEKATAN SASTRA
A. Pendekatan Objektif ~ 110
B. Pendekatan Pragmatik ~ 116
C. Pendekatan Ekspresif ~124
D. Pendekatan Mimetik ~ 128
E. Pendekatan Dekonstruksi ~137
F. Pendekatan Intertekstualitas ~ 141
G. Pendekatan Feminisme ~ 146
H. Rangkuman ~ 157
I. Uji Pemahaman Bab 8 ~ 159

DAFTAR PUSTAKA ~ 160
RIWAYAT HIDUP ~ 164



BAB PENDAHULUAN
1

Apakah sastra itu? Pertanyaan yang sangat sederhana
namun tidak mudah untuk menjawabnya. Pertanyaan
tentang apa itu sastra dan apa yang bukan sastra, sampai
sekarang tidak ada jawaban yang memuaskan untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Selama ini banyak para ahli
yang berusaha mencoba mendefinisikan sastra namun setiap
jawaban yang diberikan tidak akan menimbulkan kepuasan
bagi yang bertanya. Hal tersebut dikarenakan sastra adalah
karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi
dan penciptaan, sedangkan tugas membuat batasan
merupakan tugas keilmuan. Inilah sebabnya setiap usaha
membuat batasan sastra hanya sebatas pemerian atau
gambaran dari salah satu segi sastra saja. Tiap segi hanya
memunculkan sebagian dari kebenaran, sehingga tidak
mungkin ada batasan sastra yang sanggup meliputi semua
segi kebenaran tentang sastra.

Walaupun sulit mendefinisikan sastra, namun jika
seseorang ditanya tentang apakah ia pernah membaca sastra,
maka akan dijawab dengan “ya, pernah, belum atau tidak”.

Begitu juga ketika seseorang ditanya tentang apakah ia
menyukai sastra, maka jawabannya antara “ya” atau “tidak”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya dalam
keseharian mereka mengenal sastra sebagai sebuah objek
yang selalu dihadapinya, tetapi secara konseptual mereka
sulit menjelaskan apa itu sastra.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang yang
menyukai karya sastra. Hal tersebut dikarenakan dalam
karya sastra banyak menggunakan kata-kata mutiara, kata-
kata indah yang penuh makna, kata-kata konotasi,
ungkapan-ungkapan yang bersifat persuasif yang
merupakan salah satu ciri khas keindahan dalam sastra.
Keindahan yang disajikan dalam karya sastra memberikan
daya tarik kepada pembaca untuk menyukai dan menikmati
karya sastra. Berdasarkan hal tersebut, kecenderungan
masyarakat terhadap sastra sangat besar. Namun, tentu saja
diperlukan lebih banyak pengertian untuk menjadi seorang
penggemar sastra, yakni rasa ingin tahu dan kesabaran,
pengalaman dalam membaca karya-karya sastra dan
pengalaman mengenai hidup itu sendiri, dan itu semua tidak
begitu saja dapat disalurkan melalui buku-buku pelajaran.
Mempelajari sastra tidak pernah dapat dibatasi pada suatu
pendekatan formal dan sistematik saja, tetapi studi formal
dan sistematik juga tidak dapat dikesampingkan.

Berdasarkan hal tersebut, untuk bisa memahami dan
menikmati karya sastra itu diperlukan pemahaman tentang
teori sastra. Teori sastra menjelaskan kepada kita tentang
konsep sastra sebagai salah satu disiplin ilmu humaniora
yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan
penikmatan fenomena yang terkandung di dalamnya.
Dengan mempelajari teori sastra, kita akan memahami
fenomena kehidupan manusia yang tertuang di dalam teori
sastra. Begitu juga sebaliknya, dengan memahami fenomena

kehidupan manusia dalam teori sastra kita akan memahami
pula teori sastra. Dalam bab ini diharapkan mahasiswa dapat
memahami ruang lingkup sastra dan ilmu sastra, pengertian
teori, sejarah, dan kritik sastra, dan hubungan teori, sejarah,
dan kritik sastra, sastra umum, sastra badingan dan sastra
nasional sebagai bekal untuk memahami hakikat sastra.

A. Sastra dan Studi Sastra

Kita selama ini sering mengaburkan definisi sastra
dan studi sastra. Darma (2004:1) membedakan ruang
lingkup sastra (literature) dengan ruang lingkup studi sastra
(literatury Study). Ruang lingkup sastra adalah kreativitas
penciptaan karya sastra dengan segala rupa estetikanya,
sedangkan ruang lingkup studi sastra adalah ilmu
pengetahuan dengan sastra sebagai objeknya. Pernyataan
tersebut sejalan dengan pendapat Wellek & Warren (1989:3)
menyatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif,
sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang
ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sastra atau karya
sastra memfokuskan pada penciptaan karya atau kreativitas
manusia melalui media bahasa. Pertanggungjawaban sastra
yaitu estetika dengan segala kreativitasnya. Sedangkan studi
sastra memfokuskan pada ilmu pengetahuan kemanusiaan
(humaniora). Pertanggungjawaban studi sastra yaitu logika
ilmiah dengan metode-metode ilmiahnya.

Kritik sastra dan sejarah sastra sama-sama mencoba
mencirikan kekhasan sebuah karya sastra, seorang

pengarang, suatu periode, atau kesusastraan nasional
tertentu. Tetapi usaha menguraikan ciri-ciri khas karya
sastra hanya dapat dilakukan secara universal jika
didasarkan pada suatu teori sastra. Teori sastra inilah yang
sangat dibutuhkan oleh studi sastra saat ini. Hal tersebut
tidak berarti bahwa pemahaman dan apresiasi tidak penting
lagi. Pemahaman dan apresiasi adalah syarat yang harus
dipenuhi sebelum mengembangkan pengetahuan dan
pemikiran terhadap karya sastra. Akan tetapi,
bagaimanapun pentingnya keahlian membaca bagi seorang
ilmuwan sastra, studi sastra bukan hanya alat untuk
mendukung pemahaman terhadap karya sastra. Hal tersebut
dikarenakan pemahaman hanyalah sebuah prasayarat.
Dengan demikian, meskipun pemahaman itu dicapai melalui
membaca secara kritis dan teliti, keahlian membaca barulah
merupakan tujuan yang harus dicapai secara pribadi saja.
Keahlian membaca memang sangat diperlukan dan menjadi
dasar untuk membudayakan apresiasi sastra dalam
masyarakat. Tetapi keahlian atau seni membaca tidak dapat
menggantikan studi sastra, yang jangkauannya melampaui
apresiasi perorangan. Studi sastra adalah sebuah cabang
ilmu pengetahuan yang berkembang secara terus menerus.

Dengan demikian, studi sastra mempelajari teks-teks
sastra secara sistematis sesuai fungsinya di dalam
masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, tugas studi sastra
yaitu meneliti dan merumuskan sastra (sifat-sifat atau ciri-
ciri khas kesastraan dan fungsi sastra dalam masyarakat)
secara umum dan sistematis. Sedangkan kegunaan studi
sastra yaitu dapat membantu dalam memahami karya sastra
secara lebih baik.

B. Teori, Sejarah, dan Kritik Sastra

Dalam wilayah studi sastra, Wellek & Warren (1989:
38-39) membagi batas-batas wilayah keilmuan menjadi tiga
bidang, yaitu: teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari
tentang prinsip-prinsip, hukum kategori, kriteria karya sastra
yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Secara
umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem
ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menerapkan pola
pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati.
Teori berisi konsep atau uraian tentang hukum-hukum
umum suatu objek ilmu pengetahuan dari suatu titik
pandang tetrtentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis
dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah
kesahihannya pada objek atau gejala-gejala yang diamati
tersebut.

Menurut Susanto (2012:13-17), teori sastra
mempelajari kaidah-kaidah, paradigma-paradigma, dan
pemikiran-pemikiran masyarakat atau kelompok teoretikus
terhadap sastra. Pendek kata, teori sastra mempelajari
pandangan orang terhadap sastra. Teori sering diartikan
sebagai satu abstraksi tentang realitas melalui berbagai
pengujian. Oleh karena itu, teori seringkali menunjukkan
kerangka kerja sebagai satu manifestasi dari konsep. Konsep
secara sederhana dapat diartikan sebagai satu pengertian
yang menunjuk pada sesuatu yang dinyatakan dengan kata,
penamaan, atau pernyataan simbol. Secara luas dalam
konteks ini berbicara tentang teori sastra tentu tidak bisa
dilepaskan dari cara pandang orang atau komunitas tertentu

dalam mengartikan “sastra” itu sendiri. Karena adanya
tuntutan kerangka kerja yang praktis, teori sastra tentu saja
akan memiliki keberagaman dalam melihat realitas yang
dinamakan “sastra”. Teori menjadi semacam alat untuk para
intelektual atau ilmuwan dalam bidang sastra untuk
memperlakukan sastra itu sendiri.

Teori sastra sendiri memiliki berbagai pengertian
seiring dengan paradigma yang dibawanya. Teori sastra
dapat diartikan sebagai perangkat ide-ide dan metode yang
digunakan untuk praktik pembacaan sastra. Teori sastra juga
dapat diartikan sebagai sebuah cara atau langkah untuk
memahami sastra. Teori sastra pada prinsipnya juga
diformulasikan untuk memahami hubungan antara karya,
pengarang, pembaca, dan karya itu sendiri sebagai satu
bagunan atau konstruksi, antara karya dan konsumennya.
Pandangan dalam teori sastra pun mengalami perubahan-
perubahan seiring dengan perkembangan cara berpikir atau
kemajuan intelektual dari manusia. Pada awalnya, teori
sastra menerapkan satu pendekatan dalam memahami sastra
dalam konteks relevansi ilmu bahasa. Pada akhirnya, teori
sastra muncul sebagai satu solusi untuk menjelaskan tingkat
produksi teks sebagai satu bagian proses budaya daripada
sebagai satu produk individual dan jatuh pada persoalan
bagaimana teks itu dapat menciptakan satu budaya yang
baru.

Kritik satsra juga bagian dari ilmu sastra. Kritik
sastra pada mulanya sbagai suatu bentuk pengadilan
terhadap karya sastra atau fenomena kesusastraan, yakni
memberikan penilaian baik dan buruknya suatu karya atau
menilai karya dengan berbagai teori penilaian yang ada pada
zamannya. Namun, kritik sastra pada saat ini berisi
interpretasi dan pemahaman terhadap kesusastraan itu
sendiri, baik fenomena yang bersifat tekstual ataupun non-

tekstual. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra
ialah telaah sastra, kajian sastra, analisis sastra, dan
penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik
diperlukan kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman
yang banyak dalam menelaah, menganalisis, mengulas
karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup
dalam kehidupan yang bersifat non-literer, serta tentunya
penguasaan tentang teori sastra. Tugas kritikus sastra yaitu
menganalisis, menafsirkan, dan menilai suatu karya sastra.
Hadirnya kritik sastra merupakan langkah yang baik untuk
kesempurnaan karya sastra.

Dengan demikian, kritik sastra merupakan suatu
cabang ilmu sastra yang mengadakan analisis, penafsiran,
dan penilaian terhadap sebuah karya sastra. Kritik sastra
dapat dapat dilakukan secara intern dan ekstern. Kritik
sastra intern yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai
karya sastra berdasarkan struktur, pilihan kata, dan
konstruksi artinya. Sedangkan kritik sastra ekstern
menitikberatkan kepada faktor-faktor di luar teks, misalnya
kaitan pengarang dengan situasi zaman tertentu atau kaitan
pengarang dengan karya dan pembacanya.

Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang
mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu.
Sejarah sastra berusaha menyusun dan mempelajari karya
sastra sebagai bagian proses sejarah intelektual dalam satu
masyarakat. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra
pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena
sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia
sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar
masalah sastra. Sebagian suatu kegiatan keilmuan sastra,
seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya
sastra berdasarkan ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang

ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik isi
dan tematik.

Dengan demikian, teori sastra merupakan studi
prinsip, kategori, dan kriteria, sedang studi karya-karya
konkret disebut kritik sastra dan sejarah sastra. Ada kalanya
istilah kritik sastra dipakai untuk mencakup teori sastra.
Namun, kedua istilah tersebut sebaiknya dibedakan.
Aristoteles adalah teoretikus karena berkecimpung di bidang
teori sastra, sedangkan H.B Jasin adalah kritikus karena
berkecimpung dalam bidang kritik sastra.

C. Hubungan Teori, Sejarah, dan Kritik Sastra

Ketiga bidang ilmu tersebut, yaitu teori sastra, kritik
sastra, dan sejarah sastra saling memengaruhi dan berkaitan
erat. Hal tersebut dikarenakan tidak mungkin kita menyusun
teori sastra tanpa kritik sastra dan sejarah sastra. Tidak
mungkin juga kita menyusun sejarah sastra tanpa kritik
sastra dan teori sastra. Begitu juga saat menyusun kritik
sastra tidak mungkin tanpa adanya teori sastra dan sejarah
sastra. Teori sastra jelas hanya dapat disusun berdasarkan
studi langsung terhadap karya sastra. Kriteria, kategori, dan
skema tidak mungkin diciptakan secara in vacuo alias tanpa
pijakan. Sebaliknya tidak mungkin ada kritik sastra dan
sejarah sastra tanpa satu set pertanyaan , suatu sistem
pemikiran, acuan, dan generalisasi (Wellek & Warren,
1989:39).

Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci
aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra, baik

konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur,
pilihan kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema,
tokoh, penokohan, alur, latar, dan lain sebagainya yang
membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain,kritik
sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah,
mengulas, memberi pertimbangan, serta memberikan
penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau
kekurangan karya sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah
penulis karya sastra dan sekaligus pembaca karya sastra.
Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra kritikus
sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi
sastra yang melingkupi karya sastra. Demikian juga terjadi
hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah
sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari
perkembangan sastra dari ke waktu, periode ke periode
sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya bangsa.
Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, atau daerah,
suatu keudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang
dihasilkan para peneliti sastra yang menunjukkan terjadinya
perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya
sastra dari periode-periode tertentu.

Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra
antara teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra terjalin
keterkaitan. Namun, ada yang berusaha memisahkan sejarah
sastra dari teori sastra dan kritik sastra. Pengkajian sejarah
sastra dianggap bersifat objektif sedangkan kritik sastra
bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra
menggunakan pendekatan kesewaktuan, sejarah sastra hanya
dapat didekati dengan penilaian atau kriteria yang ada pada
zaman itu. Bahkan dikatakan tidak terdapat kesinambungan
karya sastra suatu periode dengan periode berikutnya karena
sejarah sastra mewakili masa tertentu. Walaupun teori ini
mendapat kritikan dari teoretikus sejarah sastra, namun

pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris
dan Amerika. Namun demikian, dalam praktiknya, ketiga
disiplin ilmu tersebut saling terkait.

D. Sastra Umum, Nasional, dan Bandingan

Dalam pembahasan awal kita telah membedakan
teori, sejarah, dan kritik sastra. Dengan dasar lain, sekarang
kita akan mencoba membedakan sastra umum, sastra
nasional, dan sastra bandingan. Sastra pada umumnya tidak
dikaitkan dengan bangsa, negara, wilayah, atau geografi
tertentu. Sastra umum berkaitan dengan gerakan-gerakan
internasional, sebagaimana misalnya poetics dn teori sastra.
Poetics Aristoteles dan teori sastra strukturalisme, misalnya
menyebar ke seluruh dunia dan diaplikasikan juga di seluruh
dunia. Sastra umum dapat juga disebut sebagai sastra
universal, yaitu sastra yang nilai-nilainya ada dan dapat
diterapkan di seluruh dunia.

Sastra nasional yaitu sastra bangsa atau negara
tertentu, misalnya sastra indonesia, sastra Arab, sastra
Perancis, sastra Inggris, dan lain-lain. Tempat seorang
sastrawan dalam konteks sastra nasional pada umumnya
tidak ditentukan oleh bahasa karya sastra yang digunakan
sastrawan, tetapi oleh kewarganegaraannya. Sebagai contoh,
sastrawan Indonesia yang menulis karya sastra dengan
bahasa Inggris disebut sastrawan nasional Indonesia.

Sastra regional yaitu sastra dari kawasan geografi
tertentu yang mencakup beberapa negara, baik yang

menggunakan bahasa yang sama maupun yang
menggunakan bahasa yang berbeda, misalnya sastra
ASEAN (sastra negara-negara anggota ASEAN), sastra
Nusantara (sastra berbahasa Melayu, Indonesia, Malaysia,
Singapura), sastra Arab (sastra yang mencakup negara-
negara di kawasan teluk dan timur tengah).

Sastra dunia yaitu sastra yang reputasi sastrawan dan
karya-karyanya diakui secara internasional. Sebuah karya
sastra dapat dianggap sebagai karya sastra besar dan diakui
secara internasional manakala karya sastra tersebut ditulis
dengan bahasa yang baik, dan dengan tujuan untuk
menaikkan harkat dan derajat manusia sebagai mahluk yang
paling mulia.

Sstra bandingan atau comparative literature secara
sederhana dapat diartikan sebagai satu studi yang mencari
pengaruh, resepsi, sambutan, kesamaan, sifat-sifat, motif-
motif, genre, dan berbagai aspek satu karya pada satu
bangsa dengan satu karya dengan bangsa yang lain sehingga
tercipta satu pemahaman budaya. Dalam perbandingan
antara karya satu dengan yang lain diterapkan satu konsep
kesamaan, artinya tidak ada sifat keunggulan satu karya di
atas satu karya yang lain dari bangsa yang berbeda. Sastra
bandingan juga memasalahkan perbandingan antara karya
sastra dengan bidang-bidang yang lain, yakni ekonomi,
politik, agama, filsafat, sosiologi, dan lain-lain. Selain itu,
sastra bandingan juga memiliki sifat-sifat tertentu, yakni
komparatif, historis, teoritis, dan antar disipliner.
Perkembangan lebih lanjut dari sastra bandingan ini
memanfaatkan berbagai pemikiran masa kini ataupun teori-
teori masa kini, yakni pascakolonial dan studi gender
ataupun feminisme. Bahkan, penerjemahan dan adaptasi
satu karya juga menjadi bagian dari studi sastra bandingan

dengan menekankan pada persoalan motif-motif, tujuan, dan
dampak dari penerjemahan satu karya pada satu bangsa.

Dengan demikian, sastra bandingan adalah kajian
secara sistematik sastra-sastra antarnegara, maksudnya
karya sastra yang diperbandingkan haruslah karya sastra
yang sama genre dan tipenya. Tujuan sastra bandingan,
yaitu (1) untuk mencari pengurut karya sastra satu dengan
karya sastra yang lain, (2) untuk menentukan karya sastra
yang benar-benar orisinil dan mana yang bukan dalam
lingkup perjalanan sastra, (3) untuk menghilangkan kesan
karya sastra nasional tertentu lebih hebat dibanding karya
sastra nasional yang lain, (4) mencari keragaman budaya
dalam karya sastra, (5) untuk memperkokoh keuniversalan
konsep-konsep keindahan karya sastra, (6) menilai mutu dan
keindahan karya-karya dari negara-negara lain. Dalam
kesusastraan Indonesia kajian sastra bandingan belum begitu
populer dibandingkan negara lain. Dari segi teori, sastra
bandingan belum mendapat perhatian serius, padahal objek
garapannya cukup banyak tersedia dan terbentang luas.

Dalam khazanah kesusatraan bangsa-bangsa di dunia
ditemukan begitu banyak karya dalam berbagai genre yang
menunjukkan kesamaan-kesamaan yang tidak hanya
menyangkut unsur-unsur tertentu di dalam teks tetapi juga
kesamaan dalam wujud teks secara keseluruhan. Seperti
halnya kisah Oedipus (Yunani) dan Sangkuriang-Dayang
Sumbi (Sunda), pada novel Madame Bovary Karya Gustave
Flaubert (Perancis), dan Belengu karya Armijn Pane
(Indonesia). Contoh lain, yang memiliki kemiripan tentang
drama cinta sepasang kekasih yang tak sampai yaitu terlihat
dalam Romeo dan Juliet karangan William Shakespeare
(Eropa), Layla-Majnun karangan Nizami Ganjavi (Arab-
Persia), Siti Nurbaya karangan Marah Rusli (Indonesia), dan
Roro Mendut-Pronocitro (Jawa). Tidak sedikit, sastra daerah

di tanah air juga menampakkan kemiripan karena beberapa
cerita memiliki motif yang sama. Banyak dijumpai cerita
rakyat yang hampir sama tentang seorang pemuda
beristrikan bidadari. Contohnya, cerita raja Pala (Bali), Jaka
Tarub (Jawa), Malem Diwa (Aceh), dan lain-lain.

Tentang sastra bandingan menurut Wellek & Warren
sebagai pendukung aliran Amerika dijelaskan bahwa sastra
bandingan pada mulanya muncul dalam studi sastra lisan,
khususnya dalam bidang sastra rakyat. Selanjutnya, cerita
rakyat ini dicari asal-usulnya, daerah penyebarannya, dan
transformasinya ke sastra tulis (1989:47-48). Darma (2007:
53) mengatakan sastra bandingan lahir dari kesadaran
bahwa sastra tidak tunggal, namun sastra itu plural, serta
semua sastra ada kesamaan-kesamaan dan perbedaannya.
Kesamaan dapat terjadi karena masalah manusia,
sebagaimana yang terekan dalam sastra, pada hakikatnya
universal, dan perbedaan-perbedaan terjadi karena sastra
didominasi oleh situasi dan kondisi dalam suatu tempat.
Selanjutnya, pendapat Mahayana (2006:275) menyatakan
bahwa membandingkan dua karya sastra atau lebih dari
sedkitnya dua negara yang berbeda, dalam studi sastra,
termasuk ke dalam wilayah sastra bandingan. Bagian
terpenting dalam sastra bandingan yaitu harus ada karya
yang dibandingkan dan setidak-tidaknya mempunyai tiga
perbedaan bahasa, wilayah, politik. Dari perbedaan inilah
paling sedikit akan tersimpul bahwa perbedaan latar
belakang sosial budaya yang melingkari diri masing-masing
sastrawan, akan tercermin di dalam karya sastra yang
dihasilkannya. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, sastra
bandingan sebagai ilmu mencakup: (1) sastra bandingan
lama, yakni sastra bandingan yang menyangkut studi
naskah, (2) sastra bandingan lisan, yakni sastra bandingan
yang menyangkut teks-teks lisan yang di sampaikan dari

mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, dan dari satu
tempat ke tempat lain, (3) sastra bandingan modern, yakni
sastra bandingan yang menyangkut teks sastra modern.

E. Rangkuman

Ruang lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan
karya sastra dengan segala rupa estetikanya, sedangkan
ruang lingkup studi sastra adalah ilmu pengetahuan dengan
sastra sebagai objeknya. Sastra adalah suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah
cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, sastra atau
karya sastra memfokuskan pada penciptaan karya atau
kreativitas manusia melalui media bahasa. Sedangkan studi
sastra memfokuskan pada ilmu pengetahuan kemanusiaan
(humaniora).

Secara normatif, studi sastra dibagi menjadi
beberapa bidang, yakni teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang
mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum kategori,
kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang
bukan sastra. Kritik sastra merupakan suatu cabang ilmu
sastra yang mengadakan analisis, penafsiran, dan penilaian
terhadap sebuah karya sastra. Sejarah sastra bagian dari ilmu
sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke
waktu.

Ketiga bidang ilmu tersebut, yaitu teori sastra, kritik
sastra, dan sejarah sastra saling memengaruhi dan berkaitan
erat. Hal tersebut dikarenakan tidak mungkin menyusun

teori sastra tanpa kritik sastra dan sejarah sastra, dan krtitik
sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra.

Sastra umum dapat juga disebut sebagai sastra
universal, yaitu sastra yang nilai-nilainya ada dan dapat
diterapkan di seluruh dunia. Sastra nasional yaitu sastra
milik bangsa atau negara tertentu. Sastra bandingan
merupakan kegiatan membandingkan sastra sebuah negara
dengan sastra negara lain atau membandingkan sastra
dengan bidang lain.

F. Uji Pemahaman Bab 1

Sudahkah Anda memahami Bab 1 dengan baik?
Anda dapat menguji pemahaman Anda dengan
menyelesaikan latihan-latihan berikut ini!
1. Tunjukkanlah yang menjadi perbedaan antara sastra dan

studi sastra!
2. Apa sajakah yang tergolong dalam ruang lingkup studi

sastra?
3. Jelaskanlah masing-masing tugas dari ketiga bidang

ilmu sastra tersebut!
4. Benarkah antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah

sastra saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan?
Buktikan!
5. Jelaskanlah perbedaan antara sastra umum, sastra
bandingan, dan sastra nasional!
6. Carilah sebuah karya sastra baik puisi, prosa, maupun
drama dari dua negara berbeda yang memiliki kesamaan
unsur-unsurnya!

BAB HAKIKAT SASTRA
2

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa
pertanyaan mengenai apa itu sastra, sampai sekarang tidak
pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Namun, kita
dapat membedakan karya sastra dengan karya-karya (tulis)
lain yang bukan sastra berdasarkan hakikat sastra itu sendiri.
Hakikat sastra, yaitu imajiner atau khayali (fictionality),
bernilai seni (esthetic values), dan bahasa yang khas. Sastra
sebagai karya imajiner karena karya sastra diciptakan
dengan daya khayali yang bersifat rekaan. Namun, bukan
hanya sekedar khayalan belaka, karya sastra juga diciptakan
dari perenungan dan penghayatan tentang hidup dan
kehidupan, manusia dan kemanusiaan. Karya sastra memang
tidak bisa lepas dari masalah kehidupan kemanusian tetapi
sebagai karya imajiner, karya sastra memiliki kebenaran
tersendiri yang tidak selalu sejalan dengan kebenaran di
dunia nyata. Hal tersebut dikarenakan ketegangan antara
yang faktual dan imajiner justru merupakan esensial dalam
sastra. Sebagai karya imejiner, karya sastra juga lebih
banyak memberikan kemungkinan-kemungkinan.

Adanya nilai-nilai seni (estetis) bukan saja
merupakan persyaratan yang membedakan karya sastra
dengan karya lain, melankan justru dengan bantuan nilai-
nilai itulah sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya.
Oleh karena itu, sastra sebagai karya estetis harus bisa
menghibur dan menyuguhkan keindahan kepada pembaca.
Adapun syarat-syarat keindahan itu ialah (1) keutuhan
(unity); (2) keselarasan (harmony); (3) keseimbangan
(balance); dan penekanan yang tepat (right emphasis).
Keutuhan ialah bahwa suatu karya sastra (puisi, novel,
drama) harus utuh. Artinya, setiap bagian atau unsur yang
ada harus menunjang kepada usaha pengungkapan isi hati
sastrawan. Keselarasan berkenaan dengan hubungan satu
unsur dengan unsur lain harus saling menunjang dan saling
melengkapi bukan mengganggu atau malah
mengaburkannya. Keseimbangan ialah unsur-unsur atau
bagian-bagian karya sastra, baik dalam ukuran maupun
bobotnya, harus seimbang dengan fungsinya. Sebagai
contoh, adegan yang kurang penting dalam naskah drama
akan lebih pendek daripada adegan yang penting. Syarat
keindahan yang terakhir yaitu penekanan. Unsur atau bagian
yang penting dalam karya sastra harus mendapat penekanan
yang lebih daripada unsur atau bagian yang kurang penting.

Hakikat sastra yang terakhir yaitu bahasa khas.
Karya sastra sebagai bahasa yang khas sangat jelas tampak
pada karya-karya puisi. Namun, dalam karya berbentuk
prosa dan drama pun banyak sastrawan yang menggunakan
bahasa khas. Para sastrawan berusaha mengolah bahasa
yang dharapkan dapat meningkatkan daya ungkap dan
sekaligus keindahan bahasa itu. Baris-baris dalam puisi
bukan saja mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyairnya, akan tetapi menjadi daya tarik pula melalui
keindahan irama dan bunyinya. Bahasa dalam sebuah novel

juga diolah sedemikian rupa untuk mendapatkan efek yang
menarik dan membuat pembaca hanyut akan cerita yang
dipaparkan oleh sastrawan. Demikian pula halnya dengan
bahasa dalam drama. Ucapan seorang yang tampaknya
sederhana dan alamiah kalau diteliti dengan seksama
ternyata berbeda dengan ucapan seseorang dalam kehidupan
sehari-hari. Ucapan tokoh dalam drama sekaligus
mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh itu dan suasana
serta keadaan di mana tokoh itu berada. Dalam bab ini
diharapkan mahasiswa dapat memahami pengertian dan
batasan sastra, manfaat karya sastra, dan nilai-nilai karya
sastra.

A. Pengertian dan Batasan sastra

Sastra (Sansekerta: Shastra) merupakan kata
serapan dari bahasa Sansekerta ‘sastra’ yang berarti “teks
yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata
dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’
yang berarti “alat” atau “sasrana”. Dalam bahasa Indonesia
ditambahkan awalan su- yang berarti baik atau indah.
Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, sastra berarti
karangan yang indah atau karangan yang baik. Aspek
kebaikan dan keindahan dalam sastra belum lengkap kalau
tidak dikaitkan dengan kebenaran. Oleh karena itu, batasan
yang didasarkan pada etimologis, sastra sebagai karangan
yang indah belum berkenan di hati pecinta dan pencipta
sastra karena pengertian tersebut belum menggambarkan

sastra secara lengkap. Pengertian sastra tidak dapat
diselesaikan melalui batasan yang kaku maka para ahli
bekerja keras untuk membuat definisi yang canggih.
Namun, sampai saat ini definisi yang canggih itu belum
terjelma dengan baik.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, batasan sastra
sampai saat ini belum ada yang sesuai. Tentu saja hal itu ada
penyebabnya. Batasan sastra sulit didefinisikan dan sulit
dibuat, penyebabnya sebagai berikut:
1) Sastra bukan ilmu, sastra adalah seni. Dalam seni

banyak unsur kemanusian yang masuk ke dalamnya,
khususnya perasaan, karena terlalu dominan kedudukan
perasaan itu, maka sangat sulit diterapkan untuk metode
keilmuan. Perasaan, semangat, kepercayaan, keyakinan
sebagai unsur sastra sulit dibuat batasannya.
2) Sebuah batasan selalu berusaha mengungkapkan hakikat
sebuah sasaran. Hakikat itu sifatnya universal dan abadi.
Padahal apa yang disebut sastra itu bergantung pada
tempat dan waktu. Apa yang disebut karya sastra pada
tahun 1920-an di Indonesia, mungkin lima puluh tahun
kemudian kalau seseorang menulis karya semacam itu
tidak dianggap sastra lagi. Contoh lain, misalnya
seorang sastrawan Indonesia menulis sebuah karya
sastra dan dianggap demikian di Indonesia, tetapi di
Eropa karya semacam itu bisa jadi sudah tidak dianggap
karya sastra lagi. Dengan demikian, batasan sastra yang
dibuat untuk masa sekarang, mungkin lima puluh tahun
kemudian sudah berubah lagi. Hal itu dikarenakan sastra
dan pemilik sastranya berkembang.
3) Sebuah batasan sastra sulit menjangkau hakikat dari
semua jenis sastra. Sebuah batasan mungkin tepat untuk
jenis puisi, belum tentu tepat untuk jenis novel. Atau
mungkin sebuah batasan bertolak dari karya-karya esei

sehingga tidak tepat untuk puisi. Sastra bisa terdiri dari
berbagai bentuk ungkapan yang berbeda wataknya satu
sama lain. Bentuk-bentuk itu berupa puisi, cerita rekaan
berupa cerpen dan novel, drama, esei dan lain-lain.
4) Batasan tentang sastra biasanya tidak hanya berhenti
pada pembuat pemerian saja, tetapi juga suatu usaha
penilaian. Di sinilah letaknya batasan sastra itu selalu
mengacu kepada “apa yang disebut karya sastra yang
baik” untuk suatu zaman dan tempat. Sastra tidak lepas
dari penilaian namun penilaian itu tidak stabil hasilnya.
selalu naik turun hasilnya tergantung dari waktu dan
tempat. Dengan demikian, batasan sastra yang baik bagi
kaum romantik Pujangga Baru, belum tentu baik buat
kaum ekspresionis angkatan 45. Batasan sastra yang
baik bagi masyarakat Abad Pertengahan Eropa, sudah
tidak baik lagi bagi kaum Realis Abad ke-19 di Eropa.

Meskipun tidak mungkin membuat definisi sastra
yang memuaskan tetapi tetap saja selalu bermunculan
pengertian-pengertian sastra dari para ahli. Ada yang
mengatakan sastra adalah seni bahasa. Sastra adalah
ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra
adalah ekspresi pikiran dalam bahasa. Pikiran yang
dimaksud yaitu pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran,
dan ssemua kegiatan mental manusia. Batasan lain
mengatakan bahwa sastra adalah inspirasi kehidupan yang
dimateraikan dalam sebuah bentuk keindahan. Selanjutnya,
sastra adalah semua buku yang memuat perasaan
kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral dengan
sentuhan kesucian, keluasan, pandangan, dan bentuk yang
memesona. Lebih lanjut, berikut ini pengertian sastra dari
beberapa ahli.

1. Menurut Wellek & Warren, sastra adalah suatu kegiatan
kreatif dan sederetan karya seni.

2. Menurut Mursal Esten, sastra atau kesusastraan adalah
pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai
manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat)
melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang
positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).

3. Menurut Semi, sastra adalah suatu bentuk dan hasil
pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia
dan kehidupannya menggunakan bahasa.

4. Menurut Panuti Sudjiman, sastra sebagai karya lisan
atau tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan
seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan dalam isi,
dan ungkapannya.

5. Menurut Levere, sastra adalah deskripsi pengalaman
kemanusiaan yang memiliki dimensi personal dan sosial
sekaligus serta pengetahuan kemanusiaan yang sejajar
dengan bentuk hidup itu sendiri.

6. Menurut Plato, sastra adalah hasil peniruan atau
gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra
harus merupakan peneladanan alam semesta dan
sekaligus model kenyataan.

7. Menurut Aristoteles, sastra sebagai kegiatan lainnya
melalui agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat.

8. Menurut Sapardi, sastra adalah lembaga sosial yang
menggunakan bahasa sebagai medium. Bahasa itu
sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menyampaikan
gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial.

9. Menurut Sugihastuti, sastra merupakan media yang
digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan
gagasan-gagasan dan pengalamannya.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut,
terdapat beberapa unsur yang selalu disebut oleh para ahli.
Unsur-unsur itu adalah isi sastra yang berupa pikiran,
perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat, keyakinan,
kepercayaan dan lain-lain. Unsur kedua adalah ekspresi atau
ungkapan. Ekspresi adalah upaya mengeluarkan sesuatu
dari dalam diri manusia. Unsur ketiga adalah bentuk. Unsur
isi dalam diri manusia dapat diekspresikan ke luar dalam
berbagai bentuk. Bentuk ekspresi tersebut sangat beragam.
Ada ungkapan dalam bentuk bahasa, gerak, warna, wujud,
suara, bunyi dan lain-lain. Unsur keempat adalah bahasa.
Ciri khas pengungkapan bentuk dalam sastra adalah bahasa.
Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan
pribadi dalam suatu bentuk yang indah.

Dengan dasar unsur-unsur tadi, Sumardjo & Saini
membuat pengertian sastra dalam arti luas, yang tidak
menunjuk kepada nilai atau norma yang menjadi syarat
sesuatu karya disebut karya yang baik dan bermutu. Jadi
batasan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu
bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona
dengan alat bahasa (1988:3).

B. Ciri Sastra

Menurut Luxemburg (1992:4-6) beberapa ciri karya
sastra yang selalu muncul dari definisi-definisi yang pernah
diungkapkan antara lain.

1) Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan
sebuah imitasi. Sastawan menciptakan sebuah dunia
baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta
alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra merupakan
suatu luapan yang spontan.

2) Sastra bersifat otonom, artinya tidak mengacu kepada
sesuatu yang lain, dan sastra tidak bersifat komunikatif.
Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam
karyanya sendiri.

3) Karya sastra yang “otonom” itu bercirikan suatu
koherensi. Koherensi artinya suatu keselarasan yang
mendalam antara bentuk dan isi. Setiap isi berkaitan
dengan suatu bentuk atau ungkapan tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, bentuk menggambarkan isi.
Dengan demikian, bentuk dan isi saling berhubungan
dan saling berkaitan secara erat sehingga saling
menerangkan.

4) Sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal
yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan
tersebut berbagai macam bentuknya, ada pertentangan
antara yang disadari dan yang tidak disadari, antara pria
dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnya.

5) Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan oleh
bahasa sehari-hari. Dalam puisi dan bentuk-bentuk
sastra lainnya terdapat berbagai macam asosiasi dan
konotasi. Dalam sebuah teks sastra kita sering
menjumpai sederetan kata-kata yang tidak terungkapkan.
Oleh karena itu, dalam menafsirkan teks sastra tidak
boleh menafsirkan satu arti saja, melainkan harus
menemukan berbagai kemungkinan makna yang lain.

C. Mutu Karya Sastra

Karya sastra dewasa ini banyak yang bermunculan.
Untuk mengetahui bermutu atau tidaknya suatu karya sastra,
tentu kita harus bisa menelusuri selain bentuk ungkapan
yang indah, juga harus bisa menelusuri isi ungkapannya,
bahasa ungkapannya, dan nilai ekspresinya. Dengan kata
lain, langkah yang harus kita lakukan di dalam menelusuri
suatu karya sastra yang bermutu adalah penilaian bentuk, isi,
ekspresi, dan bahasa. Sumardjo dan Saini (1986:5-8)
menetapkan berberapa syarat yang menentukan bermutu
atau tidaknya suatu karya sastra, yaitu sebagai berikut.
1) Karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa

sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa.
Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan
disampakan kepada orang lain.
2) Sastra adalah komunikasi. Bentuk rekaman atau karya
sastra tadi harus dapat dikomunikasikan kepada orang
lain. Dapat saja seseorang membuat “karya sastra”,
namun kalau karya tersebut tidak dapat dipahami,
dikomunikasikan kepada orang lain, dan hanya
dimengerti oleh sastrawanna, maka karya demikian sulit
disebut sebagai karya sastra, apalagi karya yang
bermutu. Tetapi sering terjadi bahwa sebuah karya sastra
hanya dapat berkomunikasi dengan bebeapa orang saja.
Biasanya karya-karya sastra pembaharu bernasib
demikian. Peristiwa demikian tidak mustahil
menyangkut karya sastra yang bermutu. Bermutu atau
tidaknya sebuah karya sastra sama sekali tidak
ditentukan apakah karya itu dapat berkomunikasi dengan

sebanyak mungkin orang atau tidak. Sebuah karya sastra
bermutu tidak hanya dapat berkomunikasi dengan
pembaca yang terbatas, tetapi juga dapat berkomunikasi
dengan pembaca yang banyak.
3) Sastra adalah sebuah keteraturan. Sebuah karya sastra
harus memenuhi bentuk seni. Sebagai bentuk, sastra
harus mempunyai pola, dan pola bentuk ini mempunyai
sistemnya sendiri. Maka sebuah karya sastra yang baik
memiliki peraturan sendiri dalam dirinya. Tidak
mungkin ada karya sastra yang tidak teratur bentuknya.
Meskipun tampaknya memang ada karya sastra yang
“bentuknya tidak teratur”, namun kalau dianalisis lebih
jauh ternyata ia memiliki sistemnya sendiri yang
berbeda dengan pola bentuk yang sudah ada.
4) Sastra adalah penghiburan. Karya sastra yang baik
mampu memberikan rasa puas dan rasa senang kepada
pembacana. Karya sastra yang baik memberikan pesona,
membius pembacanya,, membuat pembaca larut di
dalamnya dan melupakan lajunya waktu. Karya sastra
yang baik tidak pernah membosankan, pembaca tidak
merasa “dipaksa membaca”, tidak dibebani sesuatu
kewajiban. Pembaca merasa bebas dan senang dalam
melarutkan diri dengan karya sastra. Sastra adalah
semacam permainan, dan pembaca asyik bermain di
dalamnya, senang dan gembira. Memang segi hiburan
karya sastra ini berbeda-beda kepekatannya. Ada yang
memberi kepuasan yang dalam, ada yang sedang dan
ada yang biasa saja. Ada kalanya pula seseorang
berhadapan dengan sebuah karya sastra yang dinilai
bermutu tinggi oleh para ahli sastra, namun ketika ia
membacanya bukan kepuasan rohaniah yang
diperolehnya, tetapi kebingungan. Ini boleh jadi

disebabkan oleh karya tersebut memiliki sistem yang
belum dikenal oleh pembaca tersebut.
5) Sastra adalah sebuah integrasi. Karya sastra yang baik
selalu menunjukkan adanya kesatuan unsur-unsurnya,
yakni keserasian antara isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi
pribadi sastrawannya. Karya sastra yang heebat dalam
kandungan isinya, namun dituangkan dalam bentuk yang
tidak memadai, apalagi dalam ekpresi bahasa yang tidak
unik dan kuat, akan mengurangi nilai sastranya. Sastra
yang baik harus menunjukkan dirinya semacam
organisme. Karya sastra demikian menjadi hidup karena
sistem kerja unsur-unsurnya sangat baik. Sebuah karya
sastra yang baik ibarat mesin mobil, yang unsur-
unsurnya memenuhi tugasnya secara baik dalam
sistemnya, sehingga mesin berjalan secara lancar dan
mulus.
6) Sebuah karya sastra yang bermutu merupakan
penemuan. Seperti seorang ahli ilmu pengetahuan
dihargai masyarakat karena penemuan ilmiahnya yang
baru sehingga memperkaya khazanah ilmunya, maka
seoarang sastrawan yang baik akan dihargai pula kalau
karya sastranya lain dari semua karya sastra yang ada
sebelumnya. Penemuan dalam karya sastra ini dapat
meliputi semua unsur karya sastra tersebut, tetapi boeh
juga hanya beberapa unsurnya. Dengan sendirinya
makin banyak unsur karya sastra diperbaharui dengan
penemuannya, makin bermutulah karyanya.
7) Karya sastra yang bermutu merupakan ekpresi
satrawannya. Dengan sendirinya hanya orang yang
jiwanya berisi saja yang mampu mengeluarkan sesuatu
dari dalam dirinya. Manusia yang kosong tidak dapat
mengekpresikan apa-apa. Karya sastra seseorang
mencerinkan isi kepribadian orang itu. Pribadi sastrawan

yang dalam pemikirannya, luas pandangannya, pekat
perasaannya, suci dan tulus hatinya, akan tercermin
dalam karya-karya sastranya. Ekspresi yang jujurlah
yang dihargai dalam karya sastra, sebab ada karya sastra
yang merupakan ekspresi pura-pura saja dari
sastrawannya, bahkan kadang tidak mengekpresikan
apa-apa kecuali bekerja secara rutin seperti tukang
pembuat kursi kodian; ada pula yang ekspresinya
bertendensi tertentu, dan sebagainya, kejujuran dan
ketulusan ekspresi sastrawan akan lekas terasa oleh
pembaca sastra yang berpengalaman.
8) Karya sastra yang bermutu merrupakan sebuah karya
yang pekat. Kepadatan isi dan bentuk, bahasa dan
ekspresi, adalah merupakan hasil kepekatan sastrawan
dalam menghayati kehidupannya. Untuk menghasilkan
karya sastra yang pekat (intens) diperlukan kepekatan
dalam menghadapi kehidupan ini. Namun kepekatan
dalam penghayatan hidup tanpa diimbangi dengan
kepekatan dalam teknik penulisan sastra, juga tidak akan
berhasil mengekspresikan isi jiwa tadi dalam bentuk
yang intens pula. Karya sastra yang bermutu, yang
pekat, sering dinamai sebagai mutiara sastra, karena
bentuknya yang mungil namun mempunyai nilai yaang
kaya raya. Kebalikan dari karya yang pekat adalah karya
sastra yang terlalu menghamburkan sesuatu tanpa
banyak manfaatnya.
9) Karya sastra yang bermutu merupakan penafsiran
kehidupan. Sebuah karya sastra dihargai karena ia
berhasil menunjukkan segi-segi baru dari kehidupan
yang kita kenal sehari-hari. Di sini sastra meneruskan
tugas kehidupan nyata seehari-hari. Kegidupan sehari-
hari ditinjau oleh sastrawan dan diberi makna, agar
pembacanya kelak setelah membaca karya sastra dapat

kembali ke kehidupan sehari-hari dengan pandangan
baru terhadap kehidupan. Karya sastra bukan bertugas
mencatat kehidupan sehari-hari, tetapi menafsirkan
kehidupan itu, memberikan arti kepada kehidupan itu
agar kehidupan tetap berharga dan lebih memanusiakan
manusia.
10) Karya sastra yang bermutu adalah sebuah pembaharuan.
Chairil Anwar dihargai dalam sejarah sastra Indonesia
karena ia membawakan pembaharuan dalam persajakan
Indonesia. Ia membuka pandangan baru dalam
persajakan. Chairil berhasil membuka dan menjadi
pelopor kesusastraan. Sastrawan pionir dan pembaharu
semacam ini jarang sekali muncul dalam sejarah.

Demikianlah sepuluh pegangan untuk menilai mutu
karya sastra. Butir 1-5 boleh dikatakan ukuran umum untuk
karya satra yang baik. Tetapi butir 6-10 menunjukkan mutu
keistimewaan karya-karya sastra besar. Makin banyak syarat
yang dipenuhi sebuah karya sastra menurut penilaian ini,
makin bermutulah karya tersebut.

D. Manfaat Karya Sastra

Kehadiran karya sastra dalam masyarakat
memberikan manfaat untuk kesejahteraan dan ketenangan
para anggota masyarakat. Adapun manfaat karya sastra
menurut Sumardjo dan Saini (1988:8-10) antara lain sebagai
berikut.

1) Karya satra besar memberikan kesadaran kepada para
pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini.
Daripadanya kita dapat memperoleh pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam tentang manusia, dunia,
dan kehidupan.

2) Karya sastra memberikan kegembiraan dan kepuasan
batin. Hiburan yang dilontarkan karya sastra itu
merupakan hiburan intelektual dan spiritual. Hiburan
yang lebih tinggi, lebih dalam daripada hiburan batin.

3) Karya sastra besar itu abadi. Majalah dan surat kabar
yang dibaca orang pada hari ini, telah terasa basi
seminggu kemudian. Tetapi karya sastra semacam
Mahabharata yang ditulis 2500 tahun yang lampau tetap
aktual untuk dibaca pada hari ini juga. Karya sastra
besar memiliki sifat-sifat abadi karena karena memuat
kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama
manusia masih ada.

4) Karya sastra besar itu tidak mengenal batas kebangsaan.
Meskipun sebuah karya sastra ditulis berdasarkan
keadaan setempat dan sezaman, namun ia selalu berhasil
menunjukkan hakikat kebenaran manusia dan
kehidupannya, sehingga kebenaran yang terdapat pada
karya sastra Jerman atau Rusia, misalnya, tetap berlaku
untuk kita di Indonesia. Masalah-masalah kemanusiaan
di Rusia abad ke-18, misalnya, adalah juga menjadi
masalah kemanusiaan kita sekarang di Indonesia.

5) Karya sastra besar adalah karya seni; indah dan
memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri
keindahannya. Kebutuhan terhadap keindahan adalah
kodrat manusia. Seni pada umumnya dan sastra pada
khususnya adalah karya kebudayaan yang diciptakan
manusia dan diperlukan manusia. Kebutuhan manusia
yang yang bersifat jasmaniah dipenuhi oleh ilmu

pengetahuan, teknologi, dan ekonomi. Kebutuhan
spiritualnya dipenuhi oleh agama dan seni.
6) Karya sastra dapat memberikan pada kita penghayatan
yang mendalam terhadap apa yang kita ketahui.
Pengetahuan yang kita peroleh bersifay penalaran, tetapi
pengetahuan itu dapat menjadi hidup dalam sastra. Kita
tahu bahwa membunuh itu jahat, tetapi pengetahuan itu
menjadi begitu hidup dan terasa kengerian kejahatannya
kalau kita membaca drama William Shakespeare,
Macebeth. Dengan karya sastra semacam itu kita diajak
memasuki dan menghayati pengalaman kejahatan
berupa pembunuhan. Dengan demikian, pengetahuan
kita tentang adanya larangan moral dan agama untuk
tidak membunuh menjadi lebih hidup dan lebih
terpahami.
7) Membaca karya sastra besar juga dapat menolong
pembacanya menjadi manusia berbudaya (cultured
man). Manusia berbudaya adalah manusia yang
responsif terhadap apa-apa yang luhur dalam hidup ini.
Manusia demikian itu selalu mencari nila-nilai
kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Salah satu cara
memperoleh nilai-nilai itu adalah lewat pergaulan
dengan karya-karya seni, termasuk karya-karya sastra
besar. Keindahan dan kecintaan untuk bergaul dengan
karya-karya seni dan sastra bagi manusia berbudaya,
akan membentuk dirinya menjadi manusia yang berpikir
dan berperasaan luhur serta mulia, karena karya-karya
seni besar memberikan pemikiran dan perasaan
semacam itu. Manusia berbudaya demikian diharapkan
menjadi manusia yang agung namun tetap sederhana,
bebas tapi mengontrol diri, kuat tetapi penuh
kelembutan.

Sedangkan menurut Kosasih (2012: 1-2) ketika
membaca karya sarta, baik itu berupa puisi, prosa, atau
drama, kita akan memperoleh hiburan, karena melalui karya
sastra kita mendapatkan kesenangan dan kepuasan batin
serta kita juga merasakan kenikmatan estetika. Kita sebagai
pembaca dihadapkan pada dunia rekaan yang mempesona,
antara lain berupa tokoh-tokoh yang menakjubkan, rentetan
peristiwa yang mencekam dan menegangkan, atau kata-kata
puistis yang indah dan sarat makna. Hal tersebut
dikarenakan karya sastra yang baik yaitu karya yang dapat
menggugah emosi pembacanya.

Karya sastra tidak hanya menyuguhkan kesenangan
belaka tetapi juga mengandung ajaran moral (didaktis),
estetika, dan berbagai hal yang menyangkut tata pergaulan
sesama umat manusia. Hal tersebut dikarenakan karya sastra
juga merupakan miniatur kehidupan dengan berbagai
persoalannya. Dengan begitu, karya sastra merupakan
cermin kehidupan dan melalui karya sastra itulah kita
memperoleh banyak pelajaran tentang hidup dan kehidupan.
Dengan demikian, manfaat karya sastra dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. Rekreatif, yaitu memberikan rasa senang, gembira, serta

menghibur.
2. Didaktif, yaitu mendidik para pembaca karana nilai-nilai

kebenaran dan kebaikan yang ada di dalamnya.
3. Estetis, yaitu memberikan nilai-nilai keindahan.
4. Moralitas, yaitu mengandung nilai moral yang tinggi

sehingga para pembaca dapat mengetahui moral yang
baik dan buruk.
5. Religiusitas, yaitu mengandung ajaran agama yang dapat
dijadikan teladan bagi para pembacanya.

Demikian beberapa manfaat dari karya-karya sastra
besar, terutama dari khazanah sastra dunia. Tentu saja masih

banyak manfaat lain yang tidak diuraikan di buku ini. Hanya
dengan bergaul sendiri dengan karya-karya sastra besar
tersebut orang dapat menemukan manfaat-manfaat lain
karya sastra.

E. Proses Penciptaan Karya Sastra

Karya sastra tidak tiba-tiba hadir begitu saja.
Karya sastra merupakan hasil kreativitas seseorang.
Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan poses
imaji pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Karya
sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil
imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala
sosial yang ada di sekitarnya. Akan tetapi karya sastra tidak
lahir dalam kekosongan budaya. Karya sastra dipengaruhi
oleh lingkungannya maka karya sastra merupakan ekspresi
zamannya sendiri sehingga ada hubungan sebab akibat
antara karya sastra dengan situasi sosial tempat
dilahirkannya.

Dengan demikian, terbentuknya karya sastra karena
pengarang mempunyai daya cipta, daya rasa, dan daya
karsa. Ketiga hal tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama
lainnya, sebab kalau ketiga hal tersebut dipisahkan tidak
mungkin karya sastra yang baik bisa terbentuk. Daya cipta
berhubungan dengan daya imajinasi yang kuat, daya rasa
berhubungan dengan hati, sedangkan daya karya
berhubungan dengan kehendak dan keinginan yang kuat.
Kalau seseorang memiliki daya cipta dan daya rasa, tetapi

daya karsanya untuk membuahkan sesuatu tidak ada,
mustahil bisa terbentuk karya sastra yang baik. Begitu pula
sebaliknya, kalau seseorang mempunyai daya karsa yang
menggebu-gebu, tetapi ia tidak mempunyai daya cipta dan
daya rasa yang kuat, mustahil bisa terbentuk karya sastra.
Kalau ketiganya sudah menyatu dengan baik, pasti karya
sastra yang baik akan terwujud nyata. Terwujudnya karya
sastra yang baik akan melalui proses. Proses terciptanya
sastra sebagai berikut.
1. Daya Cipta

Daya cipta memegang peranan penting dalam
menciptakan sebuah karya sastra. Untuk menciptakan
karya sastra yang bagus dan menyentuh dibutuhkan daya
imajinasi yang tinggi dan kuat. Seseorang yang
berimajinasi kuat akan berkarya dan mencurahkan
segala isi jiwanya untuk menciptakan karya sastra. Jadi,
dalam menulis pun dibutuhkan daya imajinasi yang
tinggi agar dapat membawa pembaca larut dalam
bacaannya.
2. Daya Rasa
Daya rasa berkaitan dengan hati atau rasa atau juga
perasaan. Daya rasa pencipta karya sastra lebih tajam
dan lebih peka terhadap kejanggalan yang ia lihat.
Semakin tajam perasaan dan kepekaan penulis terhadap
kesewenangan atau ketimpangan yang dirasakan atau
terjadi dalam masyarakat, akan semakin dalam
keinginan untuk menciptakan karya sastra. Hal tersebut
dikarenakan sastra selain merupakan pernyataan hati
nurani pengarang juga merupakan pengungkapan hati
nurani masyarakat.
3. Daya Karsa
Daya karsa ini adalah penentu sebuah karya sastra
tercipta atau tidak. Jika penulis mempunyai kehendak

dan keinginan yang kuat dalam menciptakan sebuah
karya sastra, maka karya sastra tersebut dapat tercipta.
Dengan kata lain, karsa itu niat atau kehendak. Dengan
demikian, terciptanya karya sastra tidak lepas dari
adanya daya cipta, daya rasa dan daya karsa.

F. Rangkuman

Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan
dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan
pesona dengan alat bahasa. Karya-karya sastra yang
bermutu selalu menampilkan unsur hiburan dan pendidikan
yang seimbang. Unsur hiburan dan pendidikan disajikan
secara kental dan menyatu dengan semua unsur intrinsiknya.
Oleh karena itu manfaat karya sastra, yaitu rekreatif,
didaktif, estetis, moralitas, dan religiusitas. Sedangkan,
untuk dapat menciptakan sebuah karya sastra, seseorang
harus memiliki daya cipta, daya rasa, dan daya karsa.

G. Uji Pemahaman Bab 2

Apakah Anda sudah menguasai Bab 2 dengan baik?
Anda bisa menguji pemahaman Anda dengan mengerjakan
tugas-tugas berikut ini!
1. Mengapa sastra sulit didefinisikan secara tepat?

Jelaskan!
2. Definisi sastra itu tidak lepas dari isi sastra, ungkapan,

bentuk, dan bahasa. Jelaskan maksud pernyataan
tersebut!
3. Untuk mendefinisikan sastra memang sulit, tetapi kita
dapat membedakan karya itu termasuk karya sastra atau
bukan karya sastra berdasarkan ciri-cirinya. Jelaskan!
4. Bacalah sebuah prosa (cerpen, novel) dan jelaskan
manfaat apa yang Anda rasakan setelah membaca prosa
tersebut!
5. Akhir-akhir ini banyak sekali karya sastra yang
bermunculan. Jelaskan perbedaan karya sastra yang
bermutu dengan karya sastra yang kurang bermutu!
6. Karya sastra itu harus berupa luapan batin pengarang,
harus mengandung nilai-nilai moral, dan sebagai karya
seni yang kompleks. Jelaskan maksud ketiga hal
tersebut!
7. Jelaskan dengan singkat pendapat yang menyatakan
bahwa karya sastra adalah hasil proses kreatif!
8. Di dalam karya sastra yang baik hendaknya
mengandung unity, balance, harmoni, dan right
emphasis. Uraikan keempat hal tersebut!

BAB Genre Sastra
3

Seperti telah dikemukakan diawal, pengertian sastra
tidak dapat diterapkan secara menyeluruh terhadap semua
jenis atau bentuk sastra. Jenis sastra ada bermacam ragam
dan semuanya itu menuntut “dinamai” sastra. Padahal
masing-masing jenis tadi memiliki watak dan bentuk yang
berbeda-beda. Hal tersebut dikarenakan setiap bentuk sastra
memiliki unsur-unsur yang membentuk pola secara berbeda
untuk tujuan-tujuan tertentu pula.

Dalam garis besarnya seperti telah dikemukakan
dalam “Hakikat Sastra” (lihat subbab c), terdapat tiga hal
yang membedakan karya sastra dan bukan sastra, yakni: (1)
sifat khayali sastra, (2) adanya nilai-nilai seni, dan (3)
adanya penggunaan bahasa secara khas. Namun dalam
praktiknya ketiga hal tersebut memiliki bobot dan nuansa
yang berbeda-beda antara satu jenis karya sastra dengan
karya sastra lainnya. Ciri karya sastra yang menuntut adanya
nilai-nilai seni boleh dikatakan tidak ada permasalahan,

karena semua karya sastra apa pun genrenya harus memiliki
nilai-nilai estetik atau seni. Namun dalam dua hal yang lain,
yakni sifat khayali dan penggunaan bahasa khas, ada
perbedaan-perbedaan yang mencolok sehingga perlu adanya
dua penggolongan jenis atau genre sastra.

Sastra dapat digolongkan menjadi dua kelompok,
yakni sastra imajinatif dan sastra non-imajinatif. Dalam
penggolongan sastra yang pertama, ciri khayali sastra agak
kuat dibanding dengan karya sastra non-imajinatif. Begitu
pula dalam penggunaan bahasanya, sastra imajinatif lebih
menekankan penggunaan bahasa konotatif dibandingkan
dengan sastra non-imajinatif yang lebih menekankan pada
penggunaan bahasa denotatif. namun, pada kenyataannya
tidak ada karya sastra imajinatif yang sepenuhnya khayali
dan berbahasa konotatif dan juga tidak selamanya karya
sastra non-imajinatif tidak bersifat khayali dan berbahasa
denotatif. Dalam karya sastra imajinatif maupun non-
imajinatif ciri-ciri khayali dan penggunaan bahasa denotatif-
konotatif tadi tidak ada ukurannya. Kedua unsur tersebut
bercampur baur pada mmasing-masing jenis karya sastra,
hanya bobot penekanannya dapat bergeser dan berbeda-
beda. Kalau dalam sebuah karya sastra unsur khayali agak
berkurang dan penggunaan bahasa cenderung denotatif,
maka karya demikian cenderung digolongkan ke dalam
karya sastra non-imajinatif dan begitu pula sebaliknya.

Berikut ini akan diuraikan masing-masing genre
karya sastra tersebut.

A. Sastra Non-imajinatif

Sastra non-imajinatif yaitu sastra yang lebih
menonjolkan unsur faktualnya daripada khayalinya dan
ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung
denotatif tidak menutup kemungkinan juga muncul bahasa
konotatif. Namun, kekonotatifan tersebut sangat bergantung
pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang. Jenis-jenis
karya sastra non-imajinatif, yaitu sebagai berikut.
1. Esai

Esai adalah karangan pendek tentang sesuatu fakta
yang dikupas menurut pandangan pribadi penulisnya. Dalam
esai, baik pikiran maupun perasaan dan keseluruhan pribadi
penulisnya tergambar dengan jelas. Esai merupakan
ungkapan pribadi penulisnya terhadap sesuatu fakta.
Membaca esai seperti mendengarkan penulisnya berbicara
secara akrab kepada pembacanya, seperti seorang sahabat
yang sedang mengungkapkan pengalaman, pikiran, perasaan
pribadinya. Seorang penulis esai yang pemberang akan lekas
terasa dalam kaeya-karyanya, begitu pula penulis esai yang
cerdas dan tajam pemikirannya akan terasa dalam karya-
karyanya.

Sebuah esai dapat berbicara tentang apa saja dan
tidak harus melulu berbicara tentang sastra. Esai dapat
membicarakan kehidupan semut, sebuah candi,
pemandangan alam, seorang pribadi, negara, masyarakat,
dan sebagainya. Meskipun dalam sastra keseluruhan pribadi
pengarang berbicara dalam karyanya, namun dalam esei
unsur pemikiran lebih menonjol dibanding dengan unsur
perasaan. Esei lebih banyak menganalisis fakta dengan

pemikiran yang logis. Oleh karena itu, tidak setiap karangan
pendek tentang sesuatu hal disebut karya sastra.

Esai digolongkan menjadi dua, yakni esai formal dan
esai non-formal (esai personal). Jenis esai personal inilah
yang biasanya dapat disebut karya sastra. Esai formal
ditulis dengan bahasa yang lugas dan dalam aturan-aturan
penulisan yang baku, sedangkan unsur pemikiran dan
analisisnya sangat dipentingkan. Sedangkan, pada esai
personal gaya bahasa lebih bebas dan unsur pemikiran serta
perasaan lebih leluasa masuk ke dalamnya. Dengan cara ini
maka keseluruhan kepribadian penulisnya dapat ditangkap
dalam esai-esainya. Cara mengupas sesuatu fakta dalam
esai dapat dibagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut.
a) Esai deskripsi, yakni menggambarkan sesuatu fakta

seperti apa adanya, tanpa ada kecenderungan penulisnya
untuk menjelaskan atau menafsirkan fakta. Esai ini
bertujuan “memotret” dan “melaporkan” apa yang
diketahui oleh penulisnya tanpa usaha komentar
terhadapnya.
b) Esai eksposisi, yakni menjelaskan sesuatu fakta
selengkap mungkin, mulai dari menjelaskan sebab-
akibatnya, kegunaannya, kelemahan dan kelebihannya,
dan lain-lain.
c) Esai argumentasi, yakni esai yang bukan hanya
menunjukkan suatu fakta melainkan juga menunjukkan
permasalahanya dan kemudian menganalisisnya dan
mengambil simpulan. Esai ini bertujuan memecahkan
sesuatu masalah yang berakhir dengan simpulan dari
penulisnya.
d) Esai narasi, yakni esai yang menggambarkan sesuatu
fakta dalam bentuk urutan yang kronologis dalam
bentuk cerita, misalnya esai tentang pertemuan

sastrawan Indonesia selama satu minggu dengan
sastrawan dunia yang berkunjung ke Indonesia.

Baik esai formal maupun esai non-formal atau
personal dapat ditulis berdasarkan empat cara tersebut. Esai
formal maupun esai non-formal mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan esai formal yaitu segala sesuatunya
serba lugas, mengedepankan fakta, dan logis.
Kelemahannya yaitu cenderung kaku dan kurang menarik
untuk dibaca. Sedangkan pada esai non-formal gaya
pengungkapan lebih bebas, tidak hanya melibatkan
pemikiran tetapi juga perasaan penulisnya sehingga lebih
menarik untuk dibaca. Namun kelemahannya yaitu kurang
objektif.
2. Kritik

Kritik adalah analisis untuk menilai suatu karya seni,
dalam hal ini karya sastra. Jadi, karya kritik sebenarnya
termasuk esai argumentasi dengan faktanya karya sastra.
Kritik berakhir dengan kesimpulan analisis. Kritik bukan
bertujuan hanya untuk menunjukkan keunggulan atau
kelemahan, baik atau buruk sebuah karya sastra kalau
dipandang dari sudut tertentu, tetapi sebenarnya hanya untuk
mendorong sastrawan agar bisa mencapai penciptaan sastra
sebaik mungkin dan mendorong juga kepada pembaca agar
bisa mengapresiasi karya sastra secara lebih baik.

Pada dasarnya ada dua jenis kritik sastra, yakni kritik
sastra intrinsik dan kritik sastra ekstrinsik. Kritik sastra
intrinsik menganalisis sebuah karya berdasarkan bentuk dan
gayanya atau membandingkan sebuah genre dengan genre
lainnya. Kritik intrinsik mengupas unsur-unsur karya,
menilai dan menyimpulkan kelemahan dan kelebihan
sebuah karya. Kritik sastra ekstrinsik menghubungkan karya
sastra dengan penulisnya, pembacanya, dan masyarakatnya,

yakni hal-hal di luar karya sastra itu sendiri. Kritik sastra
ekstrinsik melibatkan disiplin ilmu sejarah, sosiologi,
filsafat, agama, antropologi, dan sebagainya.

Di samping itu, kritik sastra juga dibedakan menjadi
kritik impresionistik, kritik penghakiman, dan kritik teknis.
Kritik impresionistik yaitu kritik yang berupa kesan-kesan
pribadi secara subjektif terhadap sebuah karya sastra
sehingga selera pribadi sangat berperan. Kritik penghakiman
yaitu kritik yang bekerja secara deduksi dengan berpegang
teguh pada ukuran-ukuran sastra tertentu untuk menetapkan
apakan sebuah karya sastra itu baik atau tidak. Kritik teksnis
yaitu kritik sastra yang bertujuan menunjukkan kelemahan-
kelemahan tertentu dari sebuah karya sastra agar
pengarangnya dapat memperbaiki kesalahan-kesalahannya
di kemudian hari.
3. Biografi

Biografi atau riwayat hidup adalah cerita tentang
hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain (sastrawan).
Tugas penulis biografi menghadirkan kembali jalan hidup
seseorang berdasarkan sumber-sumber atau fakta-fakta yang
dapat dikumpulkannya. Teknis penyusunan riwayat hidup
itu biasanya kronologis, dimulai dari kelahirannya, masa
kanak-kanak, masa muda, dewasa, dan akhir hayatnya.
Sebuah karya biografi biasanya menyangkut kehidupan
tokoh-tokoh penting dalam masyarakat atau tokoh-tokoh
sejarah.
4. Autobiografi

Autobiografi adalah biografi yang ditulis oleh
tokohnya sendiri atau bisa juga ditulis oleh orang lain atas
penuturan dan sepengetahuan tokohnya. Kelebihan
autobiografi yaitu peristiwa-peristiwa kecil yang tidak
diketahui orang lain karena tidak ada buktinya dapat
diungkapkan. Begitu pula sikap, pendapat, dan perasaan


Click to View FlipBook Version