tokoh yang tidak diketahui orang lain dapat diungkapkan.
Kelemahan autobiografi yaitu tokoh sering
menyembunyikan hal-hal yang dapat memberikan citra
buruk bagi dirinya.
5. Sejarah
Sejarah adalah cerita tentang zaman lampau suatu
masyarakat berdasarkan sumber-sumber tertulis maupun
tidak tertulis. Meskipun karya sejarah mendasarkan diri
pada fakta yang diperoleh dari beberapa sumber, namun
penyajiannya tidak pernah lepas dari unsur khayali
pengarangnya. Fakta sejarah biasanya terbatas dan tidak
lengkap sehingga untuk menggambarkan zaman lammpau
itu pengarang perlu merekonstruksinya berdasarkan daya
khayal atas imajinasinya sehingga peristiwa itu menjadi
lengkap dan terpahami. Karya sejarah yang bernilai sastra
biasanya terdapat dalam karya sastra klasik Indonesia.
Sejarah dapat disajikan secara hidup dengan penggambaran-
penggambaran konkret yang dapat dihayati pembacanya.
6. Memoar
Memoar pada dasarnya adalah sebuah autobiografi,
yakni riwayat yang ditulis oleh tokohnya sendiri. Bedanya
memoar membatasi diri pada sepenggal pengalaman
tokohnya, misalnya peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh
selama Perang Dunia Kedua saja. Fakta dalam memoar
adalah memoar itu sendiri, meskipun dala m memoar itu
unsur imaji penulisnya ikut berperan.
7. Catatan Harian
Catatan harian adalah catatan seseorang tentang
dirinya dan lingkungan hidupnya yang ditulis secara teratur.
Catatan harian sering dinilai berkadar sastra karena ditulis
secara jujur, spontan, sehingga menghasilkan ungkapan-
ungkapan pribadi yang asli dan jernih, yakni salah satu
kualitas yang dihargai dalam sastra.
8. Surat-surat
Surat tokoh tertentu untuk orang lain dapat dinilai
sebagai karya sastra karena kualitas yang sama seperti
terdapat dalam catatan harian.
Genre sastra non-imajinatif ini belum berkembang
baik di Indonesia sehingga adanya genre tersebut kurang
dikenal sebagai bagian dari sastra. Apa yang disebut karya
sastra di Indonesia selama ini hanya menyangkut karya-
karya imaji saja.
B. Sastra Imajinatif
Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk
menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka
pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan
agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya
terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra
imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan
walaupun sebenarnya fakta atau realitas kehidupan sehari-
hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif. Sastra
imajinatif dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu sebagai
berikut.
1. Puisi
Secara etimologis kata puisi berasal dari bahasa
Yunani poeima yang berarti membuat, poesis yang berarti
pembuatan, atau poeities yang berarti pembuat, pembangun,
atau pembentuk. Dalam bahasa Inggris puisi disebut poem
atau poetry yang tidak jauh berbeda dengan to make atau to
create. Puisi diartikan “membuat” dan “pembuatan” karena
melalui puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan
dunia sendiri, yang mungkin berisi pesan, atau gambaran
suasana-suasana tertentu, baik fisik maupun batiniah.
Waluyo (1987:25) mengemukakan, puisi adalah bentuk
karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan
penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
(lihat Bab 4)
2. Prosa
Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi
(fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif
(narative discource). Istilah prosa atau fiksi dalam
pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan.
Oleh karena itu, fiksi merupakan karya naratif yang isinya
tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 2012: 2). Sedangkan menurut Aminuddin
(2010:66), prosa rekaan adalah kisahan atau cerita yang
diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan,
latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang
bertolak dari hasil imaji pengarangnya sehingga menjalin
suatu cerita. (lihat Bab 5)
3. Drama
Drama berasal dari bahasa yunani draomai, yang
berarti ‘berbuat, bertindak, atau beraksi’. Drama merupakan
tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas.
Drama disebut juga sandiwara. Kata ini berasal dari bahasa
Jawa, yaitu sandi yang berarti ‘tersembunyi’ dan warah
yang berarti ‘ajaran’. Dengan demikian, sandiwara berarti
ajaran yang tersembunyi dalam tingkah laku dan
percakapan. Dalam perkembangan selanjutnya, kata
sandiwara jarang dipakai lagi dan yang lebih populer adalah
kata drama.
Dengan begitu, drama merupakan bentuk karya
sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
menyampaikan pertikaian dan emosi melalui acting dan
dialog. Acting dan dialog dalam drama tidak jauh beda
dengan acting (perilaku) dan dialog yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan melihat drama, penonton
seolah-olah melihat kehidupan dan kejadian dalam
masyarakat. Hal ini karena drama merupakan potret
kehidupan manusia, yang suka dan duka, konflik, dan aneka
kehidupan lainnya penuh warna. (lihat Bab 6)
C. Rangkuman
Sastra non-imajinatif adalah karya sastra yang
diciptakan berdasarkan fakta atau kenyataan yang terjadi
sebenarnya yang dituangkan dengan gaya sastra atau dengan
imajinasi. Sastra non-imajinatid diantaranya, yaitu esai,
kritik, sejarah, biografi, autobiografi, memoar, catatan
harian, surat-surat. Esai adalah karangan pendek tentang
sesuatu fakta yang dikupas menurut pandangan pribadi
penulisnya. Kritik adalah penilaian atau penghakiman
terhadap karya sastra. Biografi adalah riwat hidup seseorang
yang ditulis oleh orang lain. Autobiografi adalah riwayat
hidup seseorang yang ditulis oleh dirinya sendiri. Sejarah
adalah kejadian masa lalu yang ditulis oleh sejarawan.
Sastra imajinatif adalah karya sastra yang diciptakan
berdasarkan imajinasi pengarang. Sastra imajinatif
diantaranya, yaitu puisi, prosa, dan drama. Puisi adalah
bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan
perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batinnya.
Prosa atau disebut juga fiksi merupakan karya naratif yang
isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Drama
adalah tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas
pentas.
D. Uji Pemahaman Bab 3
Apakah Anda sudah menguasai Bab 3 dengan baik?
Anda bisa menguji pemahaman Anda dengan mengerjakan
latihan-latihan berikut ini!
1. Jelaskan apa yang membedakan antara karya sastra
imajinatif dengan karya sastra non-imajinatif!
2. Apa sajakah yang termasuk dalam karya sastra non-
imajinatif!
3. Jelaskan perbedaan antara esai formal dengan esai non-
formal atau esai pribadi!
4. Sastra imajinatif diantaranya, yaitu puisi, prosa, dan
drama. Jelaskan perbedaan ketiganya!
5. Apa yang disebut karya sastra di Indonesia selama ini
hanya menyangkut karya-karya imaji saja. Sedangkan,
genre sastra non-imajinatif ini belum berkembang baik
di Indonesia sehingga adanya genre tersebut kurang
dikenal sebagai bagian dari sastra. Jelaskan pendapat
Anda!
BAB PUISI
4
Puisi sebagai salah satu jenis sastra merupakan
pernyataan sastra yang paling inti. Semua unsur seni
kesusastraan mengental dalam puisi, oleh karena itu puisi
merupakan pernyataan seni sastra yang paling baku.
Seringkali istilah “puisi” disamakan dengan “sajak”. Akan
tetapi, puisi dengan sajak tidaklah sama. Puisi merupakan
jenis sastra yang melingkupi sajak, sedangkan sajak adalah
individu puisi. Dalam istilah bahasa Inggrisnya puisi adalah
poetry dan sajak adalah poem. Sebelum ada istilah puisi,
istilah sajak digunakan untuk menyebutkan jenis sastranya
(puisi) ataupun individu sastranya (sajak).
Memahami makna puisi atau sajak tidaklah mudah,
terlebih lagi puisi yang akhir-akhir ini bermunculan, puisi
semakin sulit dan kompleks. Hal ini disebabkan oleh
keinginan para penyair untuk menyajikan kemajuan seni
yang setinggi-tingginya hingga memberikan kenikmatan
seni. Dengan demikian, puisi merupakan sebuah totalitas
stau sebuah struktur dari elemen-elemen atau unsur-unsur
pembangun puisi. Dari zaman ke zaman wujud struktur
puisi itu berubah-ubah tetapi tetap sebagai struktur. Untuk
itu, agar dapat memahami puisi dengan baik, diperlukan
pemahaman mengenai pengertian pusi, struktur fisik dan
batin puisi, dan jenis-jenis puisi yang akan dibahas dalam
bab ini.
A. Pengertian Puisi
Secara etimologis kata puisi berasal dari bahasa
Yunani poeima yang berarti membuat, poesis yang berarti
pembuatan, atau poeities yang berarti pembuat, pembangun,
atau pembentuk. Di Inggris puisi itu disebut poem atau
poetry yang tidak jauh berbeda dengan to make atau to
create sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi itu
disebut maker. Menurut Riffaterre (dalam Pradopo,1987:12-
13) puisi menyatakan sesuatu secara tak langsung, yaitu
mengatakan sesuatu dengan cara yang lain, berbeda dengan
kelaziman orang mengungkapkan gagasan atau perasaan.
Mark Flanagan berpendapat bahwa Poetry is an
imaginative awareness of experience expressed through
meaning, sound, and rhythmic language choices so as to
evoke an emotional response. Jika diterjemahkan pengertian
puisi dapat diartikan sebagai sebuah khayalan secara sadar
dari pengalaman yang dideskripsikan melalui arti, suara dan
pilihan bahasa berirama untuk membangkitkan sebuah
tanggapan emosional. Selanjutnya, menurut Perrine (dikutip
Siswantoro, 2010:23) puisi dapat didefinisikan sebagai
bahasa yang mengatakan lebih banyak dan lebih intensif
daripada apa yang dikatakan oleh bahasa harian. Sedangkan
menurut Altenbernd seperti yang dikutip Pradopo (2005:5-
6) puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat
penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama
(bermetrum) (as the interpretive dramatization of
experience in metrical language). Pendapat yang senada
dengan Riffaterre dan Altenbernd adalah pendapat
Rahmanto (2001:47) yang menyatakan bahwa puisi
merupakan bentuk karya sastra dengan bahasa yang terpilih
dan tersusun dengan perhatian penuh dan ketrampilan
khusus. Coleridge (dalam Pradopo, 2005:5-6) juga
mengemukakan bahwa puisi itu adalah kata-kata yang
terindah dalam susunan terindah. Keempat definisi tersebut
mempunyai kesamaan yaitu dengan menyatakan secara
implisit bahwa puisi sebagai bentuk sastra dengan
menggunakan kata-kata sebagai media pengungkapannya.
Dari berbagai pendapat di atas Wheeler (1966:30)
menyimpulkan ada empat elemen utama dalam sebuah puisi,
yaitu: (1) poetry is language; (2) poetry is use of language
rather than a kind of language; (3) poetry is artful, not
natural, and (4) poetry aims at the fulfillment of a purpose
instrinsic to the language itself. Jika diterjemahkan keempat
elemen tersebut, yaitu: (1) puisi adalah bahasa; (2) puisi
adalah penggunaan bahasa bukan jenis bahasa; (3) puisi
adalah seni, tidak alami, dan (4) puisi bertujuan untuk
pemenuhan tujuan instrinsik untuk bahasa itu sendiri.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara
imajinatif dan disusun dengan menggunakan semua
kekuatan bahasa dengan menggunakan struktur fisik dan
struktur batinnya.
B. Unsur Intrinsik Puisi
Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari
unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur tadi dinyatakan
bersifat padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa
mengaitkan unsur yang lainnya. Unsur-unsur itu bersifat
fungsional dalam kesatuannya dan juga bersifat fungsional
terhadap unsur lainnya. Unsur pokok yang terdapat dalam
sebuah puisi terdiri atas struktur fisik atau metode puisi dan
struktur batin atau hakikat puisi.
1. Struktur Fisik
Struktur fisik puisi atau unsur-unsur bentuk puisi, yakni
unsur estetik yang membangun struktur dari luar puisi.
Struktur fisik ada yang menyebutnya sebagai metode
puisi, yaitu medium untuk mengungkapkn makna yang
hendak disampaikan oleh penyair. Unsur-unsur tersebut
dapat ditelaah satu persatu, tetapi unsur-unsur tersebut
merupakan kesatuan yang utuh. Struktur fisik puisi yaitu
sebagai berikut.
a. Diksi
Diksi adalah pemilihan kata-kata yang dilakukan
oleh penyair dalam puisinya. Penyair sangat cermat
dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis
harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi
dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah
konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam
keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, di samping
memilih kata yang tepat, penyair juga
mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan
atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata
diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi
makna menurut kehendak penyair.
b. Pengimajian
Pengimajian yaitu kata atau susunan kata-kata yang
dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
panglihatan, pendengaran, dan perasaan. Ada
hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata
konkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan
pengimajian dan karena itu kata-kata menjadi lebih
konkret seperti kita hayati melalui penglihatan,
pendengaran atau cita rasa. Baris atau bait puisi itu
seolah mengandung gema suara (imaji auditif),
benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang
dapat dirasakan, diraba atau disentuh (imaji taktil).
Ungkapan perasaan penyair dijelmakan ke dalam
gambaran konkret mirip musik atau gambar atau cita
rasa tertentu. Jika penyair ingin menghadirkan imaji
pendengaran (auditif), maka puisi itu seolah-olah
memperdengarkan sesuatu; jika penyair ingin
melukiskan imaji penglihatan (visual), maka puisi itu
seolah-olah melukiskan sesuatu yang bergerak-
gerak; jika imaji taktil yang ingin digambarkan,
pembaca seolah-olah merasakan sentuhan perasaan.
Imaji dapat dibagi menjadi tujuh, yaitu imaji
penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman,
pencecapan, perasaan, dan imaji gerak
c. Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap
dengan indra. Kata konkret berhubungan erat dengan
imaji. Hal tersebut dikarenakan untuk
membangkitkan imaji pembaca, kata-kata harus
diperkonkret. Maksudnya ialah bahwa kata-kata itu
dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh.
Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret
ini juga erat hubungannya dengan penggunaan
kiasan dan lambang. Jika penyair mahir
memperkonkretkan kata-kata, pembaca seolah-olah
melihat, mendengar, atau merasa apa yang
dilukiskan penyair. Dengan demikian, pembaca
terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya.
d. Bahasa Figuratif (Majas)
Majas ialah bahasa berkias yang dapat
menghidupkan atau meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Sudjito, 1986:128).
Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi
prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau
kaya akan makna (Waluyu, 1987:83). Perrine
menyatakan bahwa bahasa figuratif dipandang lebih
efektif untuk menyatakan apa yang dimaksud
penyair karena (1) bahasa figuratif mampu
menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) bahasa
figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji
tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak
menjadi konkret dan menjadikan puisi lebih nikmat
dibaca, (3) bahasa figuratif adalah cara menambah
intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan
menyampaikan sikap penyair, (4) bahasa figuratif
adalah cara untuk mengonsentrasikan makna yang
hendak disampaikan dan cara menyampaikan
sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang
singkat (Waluyo, 1987:83).
e. Verifikasi (Rima, Ritme, dan Metrum)
Verifikasi dalam puisi terdiri atas rima, ritme, dan
metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi
baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Rima
mencakup: (1) ono matope, (2) bentuk intern pola
bunyi, (3) pengulangan kata atau ungkapan.
Digunakan kata rima untuk mengganti istilah
persajakan pada sistem lama karena diharapkan
penempatan bunyi dan pengulangannya tidak hanya
pada akhir setiap baris, namun juga untuk
keseluruhan baris dan bait. Ritme merupakan tinggi
rendah, panjang pendek, keras lemahnya bunyi.
Ritme sangat menonjol bila puisi itu dibacakan.
Dalam ritme pemotongan-pemotongan baris menjadi
frasa yang berulang-ulang, merupakan unsur yang
memperindah puisi. Sedangkan metrum adalah
pengulangan tekanan kata yang tetap. Metrum
bersifat statis.
f. Tipografi
Tipografi atau tata wajah yaitu bentuk puisi seperti
halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-
kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang
tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut
menentukan pemaknaan terhadap puisi. Tipografi
merupakan pembeda yang penting antara puisi
dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak
membangun paragraf, namun membentuk bait. Baris
puisi tidak bermula dari tepi kiri dan berakhir ke tepi
kanan baris. Tepi kiri atau tepi kanan dari halaman
yang memuat puisi belum terpenuhi tulisan, hal ini
tidak berlaku bagi tulisan yang berbentuk prosa. Ciri
yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi.
2. Struktur Batin
Struktur batin puisi mengungkapkan apa yang hendak
disampaikan oleh penyair dengan perasaan dan suasana
jiwanya. Struktur batin terdiri dari tema, perasaa, nada
dan susana, dan amanat.
a. Tema
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter
yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau
pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam
jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama
pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa
hubungan antara penyair dengan Tuhan, puisi
bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa
rasa belas kasih atau kemanusiaan, puisi bertema
kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongan untuk
memprotes ketidakadilan, tema puisinya adalah
protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau tema
kedukaan hati karena cinta. Dengan latar belakang
pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan
memberikan tafsiran tema yang sama pada sebuah
puisi karena tema puisi bersifat lugas, objektif, dan
khusus. Tema puisi harus harus dihubungkan dengan
penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang
terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus
(penyair), tetapi objektif (bagi semua penafsir), dan
lugas (tidak dibuat-buat).
b. Perasaan
Perasaan dalam puisi yaitu sikap penyair terhadap
pokok permasalahan yang terdapat dalam puisi.
Pengungkapan tema dan rasa berkaitan erat dengan
latar belakang sosial dan psikologis penyair,
misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis
kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat,
usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, serta
pengetahuan. Dalam menciptakan puisi, perasaan
penyair ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati
oleh pembaca. Untuk mengungkapkan tema yang
sama, penyair yang satu dengan perasaan yang
berbeda dari penyair lainnya akan menghasilkan
puisi yang berbeda pula. Perasaan yang menjiwai
puisi bisa perasaan sedih, gembira, terharu, terasing,
patah hati, cemburu, kesepian, takut, dan menyesal.
c. Nada dan Suasana
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap
pembaca. Dari sikap itu terciptalah suasana puisi.
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap
tertentu terhadap pembaca, apakah dia ingin bersikap
menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau
bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada
pembaca.
d. Amanat
Amanat, pesan atau nasihat merupakan kesan yang
ditangkap pembaca setelah membaca puisi. Amanat
dirumuskan sendiri oleh pembaca. Berdasarkan hal
tersebut, sikap dan pengalaman pembaca sangat
berpengaruh kepada amanat puisi. Dengan begitu,
cara menyimpulkan amanat puisi sangat berkaitan
dengan cara pandang pembaca terhadap suatu hal.
Meskipun ditentukan berdasarkan cara pandang
pembaca, amanat tidak dapat lepas dari tema dan isi
puisi yang dikemukakan penyair. Amanat yang
hendak disampaikan oleh penyair dapat ditelaah
setelah kita memahami tema, rasa, dan nada puisi
itu. Tujuan atau amanat merupakan hal yang
mendorong penyair untuk menciptakan puisinya.
Amanat tersirat dibalik kata-kata yang disusun, dan
juga berada dibalik tema yang diungkapkan. Amanat
yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin
secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun
lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang
diberikan.
C. Unsur Ekstrinsik Puisi
Unsur ekstrinsik adalah unsur luar yang
melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Unsur ekstrinsik
bisa berupa kondisi sosial, motivasi, tendensi yang
mendorong dan memengaruhi kepengarangan sosial. Unsur
ekstrinsik itu dapat meliputi: 1) tradisi dan nilai-nilai; 2)
struktur kehidupan sosial; 3) keyakinan dan pandangan
hidup; 4) suasana politik; 5) lingkungan hidup; 6) agama,
dan sebagainya. Wellek Warren (dalam Waluyo, 1994:64)
menyatakan unsur ekstrinsik puisi, yaitu: 1) biografi
pengarang; 2) psikologi (proses kreatif); 3) sosiologis
(kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat; dan 4) filosofis
(aliran filsafat pengarang).
D. Jenis-jenis Puisi
Menurut zamannya, puisi dibedakan menjadi empat,
yaitu puisi lama, puisi baru, puisi, modern, dan puisi
kontemporer.
1. Puisi Lama
Puisi lama adalah puisi yang terikat oleh berbagai
macam aturan, diantaranya jumlah kata dalam satu baris,
julah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu
baris, rima, ritme, dan lain sebagainya. Ciri-ciri puisi
lama, yaitu (1) tidak ada nama pengarangnya, (2)
disampaikan dari mulut ke mulut, (3) sangat terikat oleh
aturan-aturan. Puisi lama dibedakan menjadi beberapa
jenis, yaitu mantra, syair, pantun, gurindam, karmina,
talibun, dan seloka.
a. Mantra
Mantra adalah kata-kata atau ucapan-ucapan yang
dianggap memiliki kekuatan gaib. Singkatnya,
mantra adalah kata-kata sakti.
b. Syair
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab yang
berisi cerita atau nasihat. Ciri syair, yaitu tiap bait
terdiri dari empat baris, bersajak a-a-a-a.
c. Pantun
Pantun adalah puisi yang tiap bait terdiri dari empat
baris bersajak a-b-a-b. Dua baris awal disebut
sampiran dan dua baris akhir disebut isi. Pantun
terdiri dari pantun anak, pantun jenaka, pantun
agama atau nasihat, pantun muda-mudi, pantun teka-
teki.
d. Gurindam
Gurindam adalah puisi yang terdiri dari dua baris
tiap baitnya, bersajak a-a berisi nasihat.
e. Karmina
Karmina atau yang sering disebut sebagai pantun
pendek. Karmina seperti pantun tetapi pendek, yaitu
terdiri dari dua baris tiap baitnya, bersajak a-a. Baris
pertama disebut sampiran dan baris kedua isi.
f. Talibun
Talibun yaitu pantun panjang yang terdiri dari
bilangan genap, mulai dari 6, 8, 10, dan seterusnya.
Talibun terdiri dari sampiran dan isi sama seperti
pantun.
g. Seloka
Seloka atau yang disebut juga sebagai pantun
berkait. Disebut berkait karena baris kedua dan baris
keempat pada bait pertama dijadkan baris pertama
dan ketiga pada bait berikutnya, dan begitu
seterusnya.
2. Puisi Baru
Puisi baru yaitu puisi yang jika dilihat dari bentuknya
lebih bebas dibandingkan puisi lama baik dalam segi
jumlah baris, suku kata, maupun rima. Puisi baru
dibedakan berdasarkan bentuk dan isinya.
a. Puisi baru berdasarkan bentuknya
Berdasarkan bentuknya puisi baru dapat dibagi
menjadi delapan, yaitu distikon (2 baris), tersina (3
baris), quartrain (4 baris), quint (5 baris), sektet (6
baris), septima (7 baris), oktaf (8 baris), dan soneta
(14 baris)
b. Puisi baru berdasarkan isinya
Berdasarkan isinya, puisi dibagi menjadi: (1) balada,
(2) elegi, (3) ode, (4) romance, (5) satire, (6) himne,
(7) epigram, (8) epik, (9) serenada. Balada adalah
puisi yang berisi kisah atau cerita. Elegi adalah
adalah puisi ratapan yang mengungkapkan rasa
pedih dan kedukaan seseorang. Ode adalah puisi
yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki
jasa atau sikap kepahlawanan. Romance adalah puisi
yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap
sang kekasih. Satire adalah puisi yang berisi
sindiran/kritik tentang kepincangan suatu kelompok
masyarakat. Himne adalah puisi pujaan kepada
Tuhan, bangsa, dan tanah air. Epigram adalah puisi
yang berisi tuntutan atau ajaran hidup. Epik adalah
cerita tentang kepahlawanan yang digabungkan atau
dicampur dengan unsur mitos, legenda, cerita rakyat,
dan sejarah. Serenada adalah puisi atau sajak
percintaan yang dapat dinyanyikan
3. Puisi Modern
Puisi modern adalah puisi yang tidak lagi terikat oleh
rima, bait, dan lain sebagainya. Puisi modern lebih
mementingkan makna dibandingkan bentuk dan adanya
kebebasan menggunakan bahasa Indonesia. Menurut
Jalil (1990) puisi modern ini muncul, sejak kehadiran
Jepang di Indonesia. Walaupun kehadiran Jepang di
Indonesia memberikan kesengsaraan bagi masyarakat,
namun bagi penyair memberikan kandungan keuntungan
yang sangat besar, yaitu adanya kebebasan
menggunakan bahasa Indonesia. Puisi modern di
Indonesia dimulai sejak kelahiran kelahiran sajak-sajak
Chairil Anwar.
4. Puisi Kontemporer
Puisi kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha
lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi
kontemporer lebih mementingkan bentuk grafis dan
isinya tidak hanya mengungkapkan perasaan diri si
penyair, tetapi tuntutan kaharusan, kemestian, dan
kebenaran menjadi tahap yang utama dalam
menciptakan sebuah puisi. Oleh karena itu Tema puisi
kontemporer biasanya tentang protes, atau bisa juga
mengenai humanisme, kritik sosial, ataupun perjuangan.
E. Rangkuman
Puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara
imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua
kekuatan bahasa yakni dengan mengkonsentrasikan struktur
fisik dan struktur batinnya. Puisi terdiri dari dua unsur
pokok, yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian
itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat
keterjalinan dan semua unsur itu membentuk totalitas makna
yang utuh.
Struktur fisik puisi terdari dari diksi, pengimajian,
kata konkret, bahasa figuratif, verifikasi, dan tipografi. Diksi
yaitu pilihan kata khas yang dilakukan penyair dalam
puisinya. Pengimajian yaitu kata-kata atau susunan kata-
kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris,
seperti panglihatan, pendengaran, dan perasaan. Kata
konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap dengan indra.
Bahasa figuratif atau majas ialah bahasa berkias yang dapat
menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu. Verifikasi dalam puisi terdiri atas rima,
ritme, dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi
baik di awal, tengah, maupun akhir baris puisi. Ritme
merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras lemahnya
bunyi. Sedangkan metrum adalah irama yang tetap.
Tipografi adalah tata wajah atau bentuk perwajahan puisi.
Struktur batin puisi terdari dari tema, perasaan, nada
dan suasana, dan Amanat. Tema adalah gagasan pokok yang
diungkapkan oleh penyair. Perasaan dalam puisi adalah
perasaan yang disampaikan penyair melalui puisinya. Nada
puisi ialah sikap batin yang diekspresikan penyair kepada
pembaca. Suasana puisi ialah suasana batin pembaca akibat
membaca puisi. Amanat puisi adalah maksud yang hendak
disampaikan atau himbauan atau pesan atau tujuan yang
hendak disampaikan penyair.
Jenis puisi menurut zamannya dibagi menjadi puisi
lama, puisi baru, puisi modern, dan puisi kontemporer. Puisi
lama diantaranya yaitu mantra, syair, pantun, gurindam,
talibun, karmina, dan seloka. Puisi baru dibedakan
berdasarkan bentuk dan isinya. Berdasarkan bentuknya,
puisi baru meliputi distikon, terzina, quartrain, quint, sektet,
septima, oktaf, dan soneta. Sedangkan, berdasarkan isinya,
puisi baru dibagi menjadi balada, elegi, satire, ode, epigram,
himne, epik, romance, dan serenada.
A. Uji Pemahaman Bab 4
Apakah Anda sudah memahami hal ihwal puisi?
Untuk mengetahui pemahaman Anda mengenai puisi,
kerjakanlah tugas-tugas di bawah ini!
1. Apakah puisi itu? Jelaskanlah dengan menggunakan
bahasa Anda sendiri!
2. Jelaskan unsur-unsur yang terkandung dalam bangun
struktur puisi!
3. Jelaskan dengan singkat tentang pengertian perwajahan
puisi (tipografi)!
4. Apakah perwajahan yang terdapat dalam puisi tersebut
dapat mendukung makna puisi?
5. Imaji apa sajakah yang sering muncul dalam puisi?
Carilah puisi yang mengandung lebih dari dua imaji!
6. Jelaskan secara singkat fungsi majas atau bahasa
figuratif dalam puisi!
7. Carilah sebuah puisi yang di dalamnya mengandung
beberapa macam rima!
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan tema, perasaan,
nada dan suasana dalam puisi!
9. Jelaskan bagaimana pembaca menangkap amanat yang
disampaikan penyair!
BAB PROSA FIKSI
5
A. Pengertian Prosa Fiksi
Istilah prosa dalam bidang kesusastraan sering
dihubungkan dengan kata fiksi sehingga banyak yang
menggabungkan kedua istilah tersebut menjadi prosa fiksi.
Kata prosa diambil dari bahasa Inggris, prose yang berarti
bahasa tertulis atau tulisan. Sedangkan kata fiksi berasal dari
kata fiction yang berarti khayalan, rekaan, atau tidak
berdasarkan kenyataan. Berdasarkan hal tersebut, prosa fiksi
mengarah pada suatu karya sastra yang menceritakan
sesuatu yang bersifat khayalan atau tidak terjadi secara
sungguh-sungguh. Singkatnya, prosa fiksi berarti karangan
atau cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal tersebut, sejalan
dengan pendapat Abrams bahwa fiksi merupakan karya
naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah
(Nurgiyantoro, 2012:2). Oleh karena itu, peristiwa yang
terjadi dalam karya sastra tidak perlu dicari kebenarannya
dalam dunia nyata. Hal tersebut dikarenakan kebenaran
dalam dunia nyata tidak selalu sejalan dengan kebenaran
yang terdapat dalam karya fiksi. Kebenaran dalam dunia
fiksi yaitu bergantung pada keyakinan dan pandangan
pengarang mengenai masalah hidup dan kehidupan. Prosa
sebagai karya sastra yang imajiner dan fiktif menawarkan
berbagai macam persoalan dan permasalahan manusia dan
kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang mengamati
dan menghayati berbagai macam persoalan tentang
kemanusiaan dan kehidupan tersebut dengan penuh
penghayatan yang kemudian dengan imajinasi yang tinggi
dituangkannya ke dalam karya sastra. Oleh karena itu, fiksi
menurut Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro yaitu
prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya
masuk akal dan mengandung kebenaran yang
mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia
(2012:2-3). Berdasarkan hal tersebut, walaupun bersifat
imajinatif atau khayalan, tidak benar kalau prosa fiksi
dianggap sebagai hasil lamunan belaka, melainkan hasil
pengamatan, penghayatan, dan perenungan secara intens.
Pengamatan terhadap sikap dan perilaku manusia,
penghayatan terhadap manusia dan kemanusiaan, serta
perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan. Dengan
kata lain, prosa sebagai karya fiksi mengangkat dan
mengungkapkan kembali berbagai macam permasalahan
dalam kehidupan melalui penghayatan yang intens, seleksi-
subjektif, dan diolah dengan daya imajinatif-kreatif yang
tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa
prosa fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi
kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitasnya
sebagai karya seni.
Dengan demikian, prosa fiksi menceritakan berbagai
masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan
manusia lain, manusia dengan lingkungannya, dan
interaksinya antara manusia dengan Tuhan. Dengan begitu,
penciptaan prosa fiksi sebagai karya sastra yaitu hasil dari
kontemplasi, interaksi, dan reaksi pengarang terhadap
lingkungan dan kehidupan. Namun, prosa fiksi sebagai
sebuah cerita juga harus menunjukkan sosoknya sebagai
karya sastra yang menonjolkan nilai estetis. Oleh karena itu,
sebagai karya sastra estetis, prosa fiksi sebagai sebuah cerita
juga harus memberikan hiburan kepada pembaca. Dengan
begitu, prosa fiksi selain menyuguhkan persoalan dan
permasalahan kehidupan, sebuah karya fiksi haruslah tetap
sebagai cerita yang menarik, tetap sebagai bangunan
struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik.
A. Unsur-unsur Pembangun Prosa Fiksi
Sebuah karya fiksi merupakan sebuah cerita yang
terdiri dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur
pembangun prosa meliputi unsur pembangun dari luar dan
unsur pembangun dari dalam. Unsur pembangun dari dalam
disebut dengan unsur intrinsik. Sedangkan, unsur
pembangun dari luar disebut dengan unsur ekstrinsik.
1. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik prosa, yaitu tema, alur, latar, tokoh
dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
a. Tema
Tema yaitu gagasan, ide, atau pikiran utama yang
mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal
tolak pengarang dalam memaparkan sebuah cerita. Tema
juga merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita. Oleh
karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh
cerita. Tema dengan begitu, “mengikat” kehadiran atau
ketidakhadiran unsur-unsur intrinsik yang lainnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tema yaitu
sesuatu yang menjadi dasar cerita, sesuatu yang
menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi pokok
masalah dalam cerita. Tema sebuah karya sastra selalu
berkaitan dengan makna pengalaman dalam kehidupan.
Melalui karyanya tersebut, pengarang menawarkan
berbagai macam bentuk kehidupan dan mengajak
pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati
berbagai macam persoalan kehidupan dari sudut
pandang pengarang dalam menyikapinya. Berbagai
macam persoalan yang diungkapkan dalam karya fiksi
berupa pengalaman yang bersifat individual dan sosial,
misalnya masalah persahabatan, permusuhan, pertikaian,
percintaan, pengkhianatan, kepahlawanan, keadilan,
keagamaan, kesombongan, dan lain sebagainya.
Tema seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada
hakikatnya merupakan makna sebuah cerita. Makna
cerita dalam karya sastra (prosa) memiliki lebih dari satu
penafsiran. Artinya, dalam karya sastra terdapat tema
utama dan tema tambahan. Tema utama atau tema
sentral atau disebut juga tema mayor yaitu tema yang
menjadi pusat seluruh rangkaian peristiwa dalam cerita.
Sedangkan tema tambahan atau yang disebut sebagai
tema minor yaitu tema-tema lain yang mengiringi tema
utama.
b. Alur
Alur atau plot merupakan unsur intrinsik prosa fiksi
yang paling penting diantara unsur-unsur intrinsik
lainnya. Hal tersebut dikarenakan keberhasilan sebuah
karya sastra yang memiliki nilai estetis yang tinggi
disuguhkan melalui pengembangan alur atau pengaluran
yang baik. Alur menurut Stanton yaitu cerita berisi
urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat,
maksudnya peristiwa yang satu disebabkan atau
menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain
(Nurgiyantoro, 2012:113). Pernyataan tersebut senada
dengan pernyataan dari Forster yang menyatakan bahwa
plot yaitu peristiwa-peristiwa dalam cerita yang
menekankan adanya hubungan kausalitas atau sebab
akibat (Nurgiyantoro, 2012:113). Berdasarkan kedua
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang
disebut plot yaitu apabila adanya hubungan kausalitas
dalam cerita. Sedangkan perisiwa-peristiwa yang hanya
menunjukkan hubungan urutan waktu bukan termasuk
alur.
Unsur terpenting dalam alur yaitu peristiwa, konflik, dan
klimaks. Peristiwaatau kejadian adalah peralihan dari
satu keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dalam
Nurgiyantoro, 2012:117). Peristiwa dalam
pengembangan dan penyajian alur dibedakan menjad
tiga, yaitu peristiwa fungsional, peristiwa kaitan, dan
peristiwa acuan. Peristiwa fungsional yaitu peristiwa
yang sangat berpengaruh dalam pengembangan plot atau
inti cerita dalam sebuah karya fiksi. Peristiwa kaitan
yaitu peristiwa-peristiwa yang berfungsi untuk
mengaitkan peristiwa-peristiwa penting dalam cerita.
Sedangkan peristiwa acuan yaitu peristiwa yang tidak
secara langsung berhubungan dengan pengembangan
plot, tetapi berhubungan dengan masalah perwatakan
dan suasana yang melingkupi batin seorang tokoh.
Unsur penting kedua dalam alur atau plot yaitu adanya
konflik. Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang
tidak menyenangkan yang dialami oleh tokoh. Konflik
dalam cerita merupakan sesuatu yang esensial dalam
pengembangan plot atau alur. Unsur selanjtnya, yaitu
klimaks. Klimaks menurut Stanton yaitu saat konflik
telah mencapai tingkat intensitas tertinggi, dan saat itu
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari
kejadiannya (Nurgiyantoro, 2012: 127). Klimaks sangat
menentukan perkembangan plot. Klimaks merupakan
titik pertemuan antara kejadian yang satu dengan
kejadian yang lain dan menentukan bagaimana
permasalahan akan diselesaikan. Singkatnya, klimaks
merupakan “nasib” tokoh utama cerita akan ditentukan.
Unsur-unsur tersebut akan membuat cerita menjadi lebih
menarik dan hidup. Alur dengan demikian tidak hanya
berkaitan dengan apa yang terjadi, tetapi juga
mengungkap mengapa dan bagaimana suatu peristiwa
dan konflik dalam cerita bisa terjadi. Secara umum, alur
sebuh cerita terbagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal,
tahap tengah, dan tahap akhir. Tahap awal sebuah cerita
pada umumnya disebut juga sebagai tahap perkenalan,
misalnya pengenalan tokoh, pengenalan latar, atau
pengenalan suasana. Tahap tengah yaitu tahap
pemunculan konflik, pertikaian, dan permasalahan yang
semakin meningkat dan menegangkan. Sedangkan,
tahap akhir cerita disebut juga sebagai tahap
penyelesaian. Pada bagian ini, konflik-konflik yang
sudah mencapai klimaksnya atau konflik yang sudah
menegang mulai dikendorkan dan mulai dimunculkan
jalan keluarnya. Singkatnya, bagian ini menceritakan
akhir dari sebuah cerita. Akhir sebuah cerita terdapat
dua kemungkinan yaitu kebahagiaan (happy end) atau
kesedihan (sad end). Sedangkan, cara penyelesaian
sebuah cerita bisa menggunakan penyelesaian terbuka
atau penyelesaian tertutup.
Alur yang baik dikembangkan dengan memenuhi
kaidah-kaidah pengaluran, yaitu plausibilitas
(plausibility), adanya unsur kejutan (surprise), rasa ingin
tahu (suspense), dan kesatupaduan (unity). Plausibilitas
menyaran pada pengertian dapat dipercaya oleh logika.
Sebuah cerita selain harus bersifat plausible, juga harus
memiliki kadar suspense yang tinggi atau
membangkitkan rasa ingin tahu pembaca. Alur cerita
yang menarik, di samping bersifat plausible, dan
mampu membangkitkan rasa ingin tahu pembaca, juga
mampu memberikan surprise atau kejutan kepada
pembaca. Kaidah pengaluran yang terakhir, yaitu
keutuhan, kesatupaduan (unity). Kesatupaduan
menyaran pada pengertian berbagai unsur yang
terkandung dalam alur memiliki keterkaitan satu sama
lain.
Alur pada umumnya dapat dikategorikan berdasarkan
kriteria urutan waktu, kriteria jumlah, kriteria kepadatan,
dan kriteria isi. Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot
atau alur dapat dibedakan menjadi alur maju, lurus,
progresif dan alur mundur, sorot balik, regresif. Disebut
alur lurus atau alur progresif dikarenakan peristiwa-
peristiwa yang diceritakan bersifat kronologis, artinya
peristiwa pertama diikuti peristiwa kedua dan
selanjutnya. Sedangkan, alur mundur atau regresif yaitu
peristiwa-peristiwa yang diceritakan tidak bersifat
kronologis. Berdasarkan kriteria jumlahnya, alur dapat
dikelompokkan menjadi alur tunggal dan alur majemuk.
Alur tunggal, yaitu alur yang hanya mengembangkan
sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh
protagonis sebagai hero. Sedangkan alur majemuk
memiliki lebih dari satu alur dan tokoh yang diceritakan
serta permasalahan yang dimunculkan lebih dari satu.
Berdasarkan kriteria kepadatan, alur dapat dibagi
menjadi dua, yaitu alur longgar dan alur rapat. Alur
longgar, yaitu pergantian peristiwa-peristiwa dalam
cerita bersifat lambat. Artinya, antara peristiwa penting
yang satu dengan peristiwa penting yang lain dalam
cerita disisipi dengan peristiwa tambahan yang
mengurangi ketegangan dalam cerita. Sedangkan, alur
rapat yaitu peristiwa-peristiwa dalam cerita terjalin
secara terus menerus mengikuti jalannya cerita.
Berdasarkan kriteria isi, alur dibagi menjadi tiga yaitu
alur peruntungan, alur tokohan, dan alur pemikiran. Alur
peruntungan berhubungan dengan nasib tokoh utama
yang diceritakan. Alur tokohan menyaran pada
pementingan tokoh atau tokoh yang menjadi fokus
perhatian dalam cerita. Sedangkan, alur pemikiran
mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran,
perasaan dan berbagai masalah lain yang berhubungan
dengan kehidupan kemanusiaan.
c. Latar
Latar atau setting menyaran pada pengertian tempat,
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Latar atau
setting dalam sebuah cerita biasanya dimunculkan
diawal cerita pada tahap penyituasian, yaitu pengenalan
tempat, suasana, bahkan juga waktu. Namun, bukan
berarti pelukisan latar atau setting ini hanya terdapat
pada awal cerita saja, melainkan di setiap tahapan cerita
terdapat latar. Pelukisan latar dalam cerita memberikan
kesan “realistis” kepada pembaca sehingga dapat
membangkitkan daya imaji pembaca. Pembaca dengan
begitu, dapat membayangkan tempat dan suasana yang
terdapat dalam cerita.
Latar sebagai unsur karya fiksi dibedakan menjadi tiga,
yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar
tempat berhubungan dengan lokasi terjadinya peristiwa-
peristiwa yang dimunculkan dalam cerita. Penggunaan
latar tempat dengan nama-nama tempat tertentu harus
sesuai dengan tempat yang sebenarnya. Oleh karena itu,
pengarang sebelum menuliskan nama-nama tempat
haruslah mengetahui secara detil tentang tempat yang
diceritakan tersebut. Sedangkan, latar waktu berkaitan
dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa
yang terdapat dalam cerita. Latar waktu biasanya
dihubungkan dengan waktu yang berkaitan dengan
peristiwa sejarah. Selanjutnya, latar sosial menyaran
pada hal-hal yang berhubungan dengan kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, dan
cara berpikir masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi tersebut. Di samping itu,
latar sosial juga berkaitan dengan status sosial tokoh
dalam cerita, misalnya rendah, menengah, atau atas.
d. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting
dalam karya fiksi, di samping unsur plot dan pemplotan.
Tokoh merujuk pada pelaku cerita atau orang-orang
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif. Sedangkan
penokohan tidak hanya merujuk pada pelaku cerita saja,
melainkan lengkap dengan perwatakan yang melingkupi
tokoh. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penokohan
cakupannya lebih luas dibandingkan tokoh. Tokoh
hanya sekedar orangnya sedangkan penokohan meliputi
watak dan karakter si pelaku cerita. Walaupun tokoh
dalam cerita merupakan ciptaan pengarang, namun
tokoh yang diciptakan harus wajar sebagaimana tokoh
dalam kehidupan nyata. Pengarang menciptakan tokoh
atau menghadirkan tokoh sebagai pembawa dan
penyampai amanat atau pesan yang sengaja ingin
disampaikan oleh pengarang.
Tokoh-tokoh cerita dalam karya fiksi dapat dibedakan
menjadi lima, yaitu berdasarkan segi peranan atau
tingkat pentingnya tokoh, berdasarkan fungsi
penampilan tokoh, berdasarkan perwatakannya,
berdasarkan berkembang atau tidaknya perwatakan, dan
berdasarkan pencerminan tokoh cerita. Berdasarkan segi
peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita,
terdapat tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan
secara terus menurus dalam cerita yaitu disebut tokoh
utama. Sebaliknya, terdapat tokoh yang hanya
dimunculkan sesekali atau beberapa kali dalam cerita
yaitu disebut tokoh tambahan. Berdasarkan fungsi
penampilan tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis yaitu
tokoh yang dikagumi atau disebut tokoh hero. Tokoh
protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan
pandangan dan harapan pembaca. Sebaliknya, tokoh
antagonis merupakan tokoh yang dibenci pembaca atau
disebut juga sebagai tokoh jahat dalam sebuah cerita.
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat
dibedakan menjadi tokoh sederhana dan tokoh kompleks
atau tokoh bulat. Tokoh sederhana, yaitu tokoh yang
hanya memiliki satu karakter atau sifat dan watak yang
tertentu saja. Tokoh sederhana dengan demikian, hanya
menampilkan satu sisi kehidupannya saja. Sedangkan,
tokoh kompleks atau tokoh bulat yaitu tokoh yang
memiliki berbagai karakter, sifat dan watak bermacam-
macam. Tokoh bulat dengan demikian menunjukkan
semua sisi kepribadian seorang tokoh cerita sehingga
tokoh bulat lebih mirip dengan kehidupan manusia
sesungguhnya yang terdiri dari sisi positif dan sisi
negatif. Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya
perwatakan, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh
statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis yaitu tokoh
cerita yang tidak mengalami perubahan atau
perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya
berbagai peristiwa yang terjadi. Sedangkan, tokoh
berkembang yaitu tokoh cerita yang mengalami
perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan
dengan perkembangan peristiwa dan plot dalam cerita.
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita
terhadap sekelompok manusia dari kehidupan nyata,
tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh tipikal dan
tokoh netral. Tokoh tipikal yaitu tokoh yang sedikit
menampilkan individualitasnya namun lebih banyak
menonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya.
Tokoh netral, dipihak lain yaitu tokoh cerita yang
bereksistensi demi cerita itu sendiri.
e. Sudut Pandang
Sudut pandang atau point of view pada hakikatnya
merupakan cara, siasat, strategi, dan teknik yang
digunakan oleh pengarang dalam sebuah cerita yang
dikisahkannya. Dengan demikian, sudut pandang
menyaran pada cara atau pandangan pengarang dalam
mengisahkan sebuah cerita. Sudut pandang dalam karya
fiksi merupakan unsur yang sangat penting dan
menentukan. Penentuan sudut pandang dianggap
penting karena akan berpengaruh terhadap pemilihan
bentuk-bentuk gramatik dan retorika yang digunakan
pengarang. Pemilihan bentuk-bentuk gramatik dan
retorika yang digunakan pengarang akan berpengaruh
besar terhadap pembaca. Pembaca akan lebih mudah
menangkap isi cerita apabila adanya kejelasan dan
kesesuaian bentuk-bentuk gramatik dan retorika dengan
sudut pandang yang dipilih pengarag. Penggunaan sudut
pandang tertentu tidak hanya berkaitan dengan masalah
pemilihan saja, tetapi juga berhubungan dengan
masalah kebiasaan dan kesukaan pengarang. Hal
tersebut dikarenakan setiap pengarang mempunyai gaya
tersendiri, begitu juga dengan pemilihan sudut pandang.
Sudut pandang banyak ragamnya bergantung dari mana
kita melihatnya. Berdasarkan bentuk persona tokoh
dalam cerita, sudut pandang dapat dibedakan menjadi
sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang
persona pertama “Aku”, dan sudut pandang campuran.
Dalam sudut padang persona ketiga, gaya “Dia”, narator
berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh
cerita dengan menyebut nama atau kata gantinya (ia, dia,
mereka). Sudut pandang “dia” berdasarkan kabebasan
dan keterikatan pengarang dalam cerita dapat dibedakan
menjadi dua golongan, yaitu sudut pandang “dia”
mahatau dan sudut pandang “dia” terbatas atau “dia”
sebagai pengamat. Dalam sudut pandang “dia” mahatau,
narator bebas menceritakan segala sesuatu secara
mendetil berhubungan dengan tokoh “dia”. Sedangkan,
dalam sudut pandang “dia” terbatas, narator berperan
hanya sebagai pengamat saja. Dengan demikian, ruang
lingkup narator terbatas pada apa yang dapat dijangkau
oleh indera.
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang
persona pertama “aku”, narator merupakan seseorang
yang ikut terlibat dalam cerita. Sudut pandang persona
pertama dapat dibedakan menjadi dua, yaitu “aku” tokoh
utama dan “aku” tokoh tambahan. Dalam sudut pandang
“aku” tokoh utama ini, si “aku” mengisahkan berbagai
macam peristiwa baik berupa fisik maupun batiniah
yang dialami oleh tokoh protagonis. Sedangkan sudut
pandang “aku” tambahan, si “aku” muncul hanya
sebagai tokoh tambahan atau saksi saja.
Dalam karya fiksi, mungkin saja pengarang
menggunakan lebih dari satu teknik penggunaan sudut
pandang dalam satu cerita. Dengan kata lain, sangat
dimungkinkan kalau seorang pengarang menggunakan
sudut pandang campuran dalam teknik pengisahannya.
Penggunaan sudut pandang campuran bisa berupa
campuran antara persona ketiga dan pertama, antara
“dia” dan “aku sekaligus secara bergantian dalam satu
cerita. Misalnya, pada awal cerita dikisahkan dari sudut
pandang “dia”, kemudian selanjutnya dikisahkan dari
sudut pandang “aku” dan selanjutnya diakhiri kembali
melalui sudut pandang “dia”. Selain itu, bisa juga berupa
penggunaan sudut pandang persona pertama dengan
teknik “aku” tokoh utama dengan “aku” tokoh
tambahan.
f. Gaya
Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari
bahasa latin stilus yang berarti ‘alat untuk menulis’.
Gaya dalam karya sastra mengandung pengertian cara
seseorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis
serta mampu menuansakan makna dan suasana yang
dapat meyentuh daya intelektual dan emosi pembaca
(Aminuddin, 2010:72). Sejalan dengan pengertian
tersebut, gaya menurut Sumardjo dan Saini adalah cara
khas pengungkapan seseorang. Cara bagaimana seorang
pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan
dan menceritakannya dalam sebuah karya sastra, itulah
gaya seorang pengarang (1988:92). Dengan demikian,
hasil karya sastra adalah cerminan diri si pengarang. Hal
tersebut dikarenakan setiap pengarang mempunyai gaya
bahasa sendiri dalam mengisahkan sebuah cerita dalam
karya sastra. Gaya dengan demikian, merujuk pada
aspek-aspek kebahasaan yang meliputi pilihan kata atau
diksi, struktur kalimat, bahasa figuratif, penggunaan
kohesi, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut
Aminuddin, terdapat tiga hal yang berhubungan dengan
gaya. Pertama, masalah media berupa kata dan kalimat.
Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan
keindahannya. Ketiga, seluk-beluk ekspresi pengarang
yang berhubungan erat dengan masalah individual
kepengarangan, maupun konteks sosial masyarakat yang
melatarbelakanginya.
g. Amanat
Sebuah karya sastra, fiksi, ditulis pengarang
mengandung sebuah amanat. Amanat merupakan pesan
yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca.
Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari
pesan-pesan moral yang disampaikan atau diamanatkan
oleh pengarang melalui cerita, sikap, dan tingkah laku
tokoh-tokoh dalam karya sastra. Karya sastra senantiasa
menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan
sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan
martabat manusia. Pesan moral dalam karya sastra atau
hikmah yang diperoleh pembaca melalui karya sastra,
selalu dalam pengertian yang baik. Oleh sebab itu, jika
dalam sebuah karya sastra menghadirkan sikap dan
tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang baik atau dapat
dikatakan ‘jahat’, tidaklah berarti bahwa pengarang
menyarankan pembaca untuk bertindak dan bersikap
demikian. Sikap dan tingkah lakh tokoh tersebut
hanyalah sebagai model, model yang kurang baik, yang
sengaja dihadirkan pengarang justru agar tidak diikuti
oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil
hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh ‘jahat’ tersebut.
2. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di
luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya
sastra. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa unsur
ekstrinsik berperan sebagai unsur yang mempengaruhi
bangun sebuah cerita. Oleh karena itu, unsur esktrinsik
karya sastra harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang
penting. Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur
ekstrinsik pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek
& Warren dalam Nurgiyantoro (2010:24), bagian yang
termasuk unsur ekstrinsik tersebut adalah sebagai berikut:
a. Keadaan subjektivitas individu pengarang yang
memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang
semuanya itu mempengaruhi karya sastra yang
dibuatnya.
b. Keadaan psikologis, baik psikologis pengarang,
psikologis pembaca, maupun penerapan prinsip
psikologis dalam karya.
c. Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi,
sosial, dan politik.
d. Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni,
agama, dan sebagainya.
e. Latar belakang kehidupan pengarang sebagai bagian dari
unsur ekstrinsik sangat mempengaruhi karya sastra.
Misalnya, pengarang yang berlatar belakang budaya
daerah tertentu, secara disadari atau tidak, akan
memasukkan unsur budaya tersebut ke dalam karya
sastra.
Menurut Malinowski, yang termasuk unsur budaya
adalah bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.
Unsur-unsur tersebut menjadi pendukung karya sastra.
Sebagai contoh, novel Siti Nurbaya sangat kental dengan
budaya Minangkabau. Hal ini sesuai dengan latar belakang
pengarangnya, Marah Rusli, yang berasal dari daerah
Minangkabau. Begitu pula novel Upacara karya Korrie
Layun Rampan yang dilatarbelakangi budaya Dayak
Kalimantan karena pengarangnya berasal dari daerah
Kalimantan.
Begitu pula dalam Novel Harimau! Harimau! karya
Mochtar Lubis, kita akan menemukan unsur ekstrinsik
berupa nilai-nilai budaya. Terutama, yang berkaitan dengan
sistem mata pencaharian, sistem teknologi, religi, dan
kesenian. Mata pencaharian yang ditekuni para tokoh dalam
novel tersebut sebagai pencari damar dan rotan di hutan.
Alat yang digunakan masih tradisional.
Selain budaya, latar belakang keagamaan atau
religiusitas pengarang juga dapat memengaruhi karya sastra.
Misalnya, Achdiat Kartamihardja dalam novel Atheis dan
Manifesto Khalifatullah, Danarto dalam novel Kubah, atau
Habiburahman El-Shirazi dalam Ayat-Ayat Cinta dan
Ketika Cinta Bertasbih.
Latar belakang kehidupan pengarang juga menjadi
penting dalam memengaruhi karya sastra. Sastrawan yang
hidup di perdesaan akan selalu menggambarkan kehidupan
masyarakat desa dengan segala permasalahannya. Misalnya,
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dengan demikian, unsur ekstrinsik tersebut menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra.
Unsur ekstrinsik memberikan warna dan rasa terhadap karya
sastra yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai
makna. Unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhi karya
dapat juga dijadikan potret realitas objektif pada saat karya
tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapat
memahami keadaan masyarakat dan suasana psikologis
pengarang pada saat itu.
C. Jenis-jenis Prosa Fiksi
Prosa berdasarkan jenisnya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu prosa lama dan prosa baru.
1. Prosa Lama
Prosa lama adalah gambaran kehidupan masyarakat
pada zaman dahulu yang belum mendapat pengaruh dari
kebudayaan Barat. Prosa lama di antaranya yaitu sebaga
berikut.
a. Hikayat
Hikayat merupakan cerita yang berisi tentang
kehidupan para dewa-dewi, pertarungan pangeran
dan raja yang ingin mendapatkan putri. Misalnya,
Hikayat Hang Jebat, Hikayat Panji Semirang,
Hikayat Hang Tuah.
b. Sejarah
Sejarah adalah salah satu bentuk prosa lama yang
bercerita tentang peristiwa-peristiwa tertentu.
Sejarah sastra lama berbeda dengan sejarah masa
kini. Sejarah pada zaman dahulu berisi peristiwa-
peristiwa yang bersifat khayal dan nilai
kebenarannya sangat sedikit. Sedangkan sejarah
pada masa kini merupakan lukisan peristiwa yang
benar-benar terjadi sesuai dengan fakta yang ada.
c. Kisah
Kisah adalah prosa lama yang berbentuk cerita
pendek. Kisah biasanya bercerita tentang sebuah
perjalanan, petualangan, dan pengalaman orang-
orang dahulu. Misalnya, kisah Raja Abdullah
menuju Kota Mekkah.
d. Dongeng
Dongeng yaitu salah satu bentuk prosa lama yang
sangat populer. Dongeng bercerita tentang khayalan-
khayalan masyarakat pada zaman dahulu. Ragam
dan bentuk dongeng pun berbeda-beda sesuai dengan
isinya. Bentuk-bentuk dongeng antara lain sebagai
berikut.
1) Mite
Mite adalah dongeng yang bercerita tentang
kepercayaan kepada alam-alam gaib atau kepada
benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan.
Contohnya, batu menangis, asal-usul kuntilanak,
dan lain sebagainya.
2) Legenda
Legenda adalah dongeng yang berisi tentang
riwayat atau asal-usul terjadinya sesuatu.
Contohnya, legenda Tangkuban Perahu, legenda
Danau Toba, dan lain sebagainya.
3) Fabel
Fabel adalah dongeng yang bercerita tentang
kehidupan binatang sebagai tokohnya.
Contohnya, si kancil yang cerdik, si Kancil dan
Buaya, Burung Gagak dan Burung Hantu.
4) Sage
Sage adalah dongeng yang bercerita tentang
kisah-kisah kepahlawanan, keberanian, dan kisah
kesaktian seseorang. Contohnya, Ciung Wanara,
Patih Gajah Mada, Caon Arang, dan lain
sebagainya.
5) Jenaka
Jenaka atau pandir adalah dongeng yang
bercerita tentang orang-orang bodoh yang
bernasib sial. Dongeng ini biasanya bersifat
humor dan menghibur pendengarnya dengan
kelucuan-kelucuan yang ada dalam cerita.
Contohnya, Pak Lebai Malang, Abunawas, si
Pandir, dan lain sebagainya.
2. Prosa Baru
Prosa baru adalah bentuk prosa yang muncul setelah
mendapat pengaruh dari budaya-budaya asing atau barat.
Bentuk prosa baru muncul setelah bentuk prosa lama
dianggap kuno. Bentuk-bentuk prosa baru di antaranya yaitu
sebagai berikut.
a. Roman
Roman adalah prosa baru yang menceritakan tentang
kehidupan seseorang yang dimulai dari lahir hingga
kematiannya. Prosa ini menyajikan suatu aspek
kehidupan masyarakat secara utuh dan menyeluruh
tentang suka dan dukanya. Selain itu, prosa bentuk
roman ini memiliki banyak alur yang bercabang-
cabang. Contohnya, roman Siti Nurbaya karya
Marah Rusli, roman Layar Terkembang karya Sutan
Takdir Alisyahbana, roman Salah Asuhan karya
Abdul Muis.
b. Novel
Novel adalah cerita yang berbentuk prosa dengan
ukuran yang sangat panjang. Novel menceritakan
sebagian kehidupan seseorang yang mengandung
beberapa konflik dan berakhir dengan perubahan
nasib kehidupan pelakunya. Contohnya, novel
Laskar Pelangi, novel Negeri 5 Menara, novel Bumi
Cinta, novel Bidadari-bidadari Surga.
c. Cerpen
Cerpen adalah salah satu bentuk prosa baru yang
cukup populer. Cerpen menceritakan sebuah
pengalaman atau sepenggal kehidupan tokoh
utamanya yang penuh pertikaian, peristiwa yang
mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung
kesan yang tidak mudah dilupakan. Bedanya dengan
novel, cepen hanya memiliki satu konflik dan
konflik tersebut tidak menyebabkan perubahan sikap
pada pelaku utamanya. Contohnya, cerpen
Robohnya Surau Kami karya A.A Navis, cerpen
Keluarga Gerilya karya Pramudya Ananta Toer, dan
lain-lain.
D. Rangkuman
Prosa fiksi mengarah pada suatu karya sastra yang
menceritakan sesuatu yang bersifat khayalan atau tidak
terjadi secara sungguh-sungguh. Singkatnya, prosa fiksi
berarti karangan atau cerita rekaan atau cerita khayalan.
Prosa sebagai karya fiksi, terdiri dari beberapa unsur
intrinsik. Unsur intrinsik prosa, yaitu tema, alur, latar, tokoh
dan penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang
mendasari suatu cerita. Tema juga merupakan jiwa dari
seluruh bagian cerita. Alur ialah urutan atau rangkaian
peristiwa dalam cerita berdasarkan hubungan kausalitas.
Latar atau setting menyaran pada pengertian tempat, waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
dalam sebuah cerita. Tokoh merujuk pada pelaku cerita atau
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif.
Sedangkan penokohan tidak hanya merujuk pada pelaku
cerita saja, melainkan lengkap dengan perwatakan yang
melingkupi tokoh. Sudut pandang pada hakikatnya
merupakan cara, siasat, strategi, dan teknik yang digunakan
oleh pengarang dalam sebuah cerita yang dikisahkannya.
Gaya Gaya dalam karya sastra mengandung pengertian cara
seseorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta
mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
meyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Amanat
merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca.
Sedangkan, unsur ekstrinsik prosa meliputi keadaan
subjektivitas pengarang, psikologi pembaca, psikologi
pengarang, psikologi dalam karya, keadaan ekonomi,
politik, sosial, pandangan hidup, dan latar belakang
kehidupan pengarang.
Prosa berdasarkan jenisnya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama
terbagi menjadi: hikayat, sejarah, kisah, dan dongeng.
Dongeng terbagi lagi menjadi: mite, legenda, fabel, sage,
jenaka. Sedangkan, prosa baru terbagi menjadi: roman,
novel, dan cerpen.
E. Uji Pemahaman Bab 5
Bagaimanakah penguasaan dan pemahaman Anda
seputar prosa fiksi? Untuk mengetahui penguasaan dan
pemahaman Anda mengenai prosa fiksi, kerjakanlah
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!
1. Uraikanlah dengan singkat pengertian prosa fiksi serta
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya!
2. Bagaimanakah peranan tema terhadap pemaknaan prosa
fiksi oleh pembaca?
3. Carilah sebuah prosa fiksi dan jelaskan bagaimana jenis
alur yang digunakannya? Jelaskan juga apakah sudah
memenuhi kaidah-kaidah pengaluran!
4. Carilah sebuah prosa fiksi yang berdasarkan
perwatakannya disebut sebagai tokoh bulat atau tokoh
kompleks!
5. Apakah yang dimaksud dengan latar atau setting dalam
prosa fiksi serta bagaimana ragamnya? Jelaskan!
6. Bagaimanakah hubungan latar dengan unsur-unsur lain
dalam prosa fiksi? Berikan contoh!
7. Bagaimanakah hubungan gaya dengan pengarang?
Jelaskan!
8. Jelaskanlah kaitan antara tema dengan amanat yang
terkandung dalam prosa fiksi!
9. Berdasarkan masanya prosa dapat dibagi menjadi prosa
lama dan prosa baru. Jelaskanlah perbedaan prosa lama
dan prosa baru!
10. Jelaskanlah perbedaan antara novel dan cerpen!
BAB DRAMA
6
Drama sebagai salah satu genre sastra memiliki
karakteristik khusus yang tidak ada pada genre puisi atau
pun prosa fiksi. Drama selain berdimensi sastra, di sisi lain
juga berdimensi seni pertunjukkan. Selama ini, pembicaraan
tentang drama hanya terfokus pada produk pementasan dan
pertunjukkannya saja. Penilaian terhadap nilai estetika
drama hanya dilakukan ketika berada di atas panggung.
Sedangkan, kritik dan telaah terhadap naskah-naskah drama
jarang disentuh. Selama ini, penelitian mengenai drama
sebagai genre sastra masih tidak memadai jika dibandingkan
dengan kedua genre sastra lainnya yaitu puisi dan prosa.
Dengan kata lain, pengkajian mengenai naskah drama
kurang populer, terkesan jalan di tempat dan terkurung di
ranah akademik. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
sangat terbatasnya jumlah penelitian terhadap genre drama.
Padahal, ketiga genre sasta yaitu puisi, prosa, dan drama
mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam dunia
kesusastraan. Oleh karena itu, pembahasan, pengkajian, atau
penelitian mengenai ketiga genre tersebut seharusnya
berimbang. Salah satu alasan kurang populernya pengkajian
atau penelitian mengenai genre drama yaitu kurangnya
wawasan dan pemahaman mengenai seluk beluk drama.
Untuk itu, pada bab ini akan membahas pengertian drama,
unsur intrinsik drama, dan jenis-jenis drama. Pembahasan
hal-hal tersebut diharapkan dapat menambah wawasan dan
minat pembaca untuk mengkaji dan meneliti drama.
A. Pengertian Drama
Drama secara etimologis berasal dari kata Yunani
draomai yang berarti ‘berbuat’, ‘berlaku’, ‘bertindak’,
‘bereaksi’ dan lain sebagainya. Aristoteles mengartikan
drama sebagai imitasi perbuatan manusia (Dewojati,
2012:8). Sedangkan, Ferdinand dan Balthaza (dalam
Hasanuddin, 2009:2) mengemukakan bahwa drama
merupakan kesenian yang melukiskan sifat dan sikap
manusia dan harus melahirkan kehendak manusia dengan
action dan perilaku. Pandangan lain disampaikan oleh
Hemilton dan Koning yang menyebut drama sebagai karya
sastra yang ditulis dalam bentuk percakapan dan
dimaksudkan untuk dipertunjukkan oleh aktor (Dewojati,
2012:8). Sejalan dengan pendapat Hemilton, Hassanuddin
membatasi drama sebagai suatu genre sastra yang ditulis
dalam bentuk diaolog-dialog dengan tujuan untuk
dipentaskan sebagai seni pertunjukkan (2012:8). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa drama merupakan
tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas
yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan
menyampaikan pertikaian dan emosi melalui acting dan
dialog. Acting dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda
dengan acting dan dialog yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan melihat drama, penonton seolah-olah
melihat kehidupan dan kejadian nyata dalam masyarakat.
Hal ini karena drama merupakan potret kehidupan manusia
yang penuh warna.
Meskipun terdapat bermacam-macam definisi drama,
terdapat satu hal yang tetap dan menjadi ciri drama, yaitu
penyampaiannya dalam bentuk dialog atau action yang
dilakukan para tokohnya. Apabila seseorang membaca suatu
teks drama tanpa menyaksikan pementasan drama tersebut,
maka sang pembaca harus membayangkan alur peristiwanya
seperti yang terjadi di atas pentas. Selain itu, kekhususan
genre ini terletak pada tujuan drama yang memang ditulis
pengarang tidak hanya sebagai karya yang menceritakan
peristiwa secara imajinatif. Namun, karya tersebut juga
tidak menutup kemungkinan dapat dipentaskan di atas
panggung.
B. Unsur-unsur Pembangun Drama
Sebagai sebuah genre sastra, drama dibangun dan
dibentuk melalui unsur-unsur seperti yang terdapat dalam
genre sastra lainnya, terutama fiksi. Secara umum,
sebagaimana fiksi, di dalam drama juga terdapat unsur yang
membangun dan membentuk sastra dari dalam karya sastra
itu sendiri (intrinsik) dan unsur yang memengaruhi
penciptaan karya yang tentunya berasal dari luar karya
(ekstrinsik).
1. Unsur Intrinsik Drama
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2010:23). Dapat
dikatakan, unsur intrinsik ialah komponen yang terdapat di
dalam suatu drama atau bagian-bagian yang membangun
suatu drama. Adapun komponen-komponen yang
membangun suatu drama atau yang sering disebut sebagai
unsur intrinsik drama. Unsur intrinsik drama sedikit berbeda
dengan unsur intrinsik prosa fiksi. Di dalam drama tidak
ditemukan adanya unsur pencerita sebagaimana terdapat
dalam fiksi. Unsur pemaparan dalam prosa fiksi merupakan
sarana ampuh pengarang dalam mengembangkan daya
imajinasinya. Dengan begitu, alur dalam prosa fiksi terasa
lebih mengalir, dan menyentuh perasaan pembaca.
Sedangkan, dalam drama “para tokoh” berbicara dan
memaparkan sendiri secara langsung kepada pembaca atau
penonton. Berikut ini akan dijelaskan unsur intrinsik drama
menurut Hasanuddin (2009:103-123).
a. Tokoh, Peran, dan Karakter
Dalam hal penokohan, di dalamnya termasuk hal-hal
yang berkaitan dengan penamaan, pemeranan, keadaan fisik
tokoh (aspek fisiologis), keadaan kejiwaan tokoh (aspek
psikologis), keadaan sosial tokoh (aspek sosiologis), dan
karakter tokoh. Hal-hal yang termasuk di dalam
permasalahan penokohan ini saling berhubungan dalam
membangun konflik-konflik kemanusiaan yang merupakan
prasyarat utama drama. Bahkan di dalam drama, unsur
penokohan merupakan aspek penting. Selain melalui aspek
inilah aspek-aspek lain di dalam drama terkesan lebih tegas
dan jelas pengungkapannya dibandingkan dengan fiksi.
Tokoh-tokoh di dalam drama telah “dipersiapkan”
sebelumnya, maka hal-hal yang melekat pada seorang tokoh
dapat dijadikan sumber data untuk dapat memahami makna
drama secara keseluruhan. Faktor yang dimaksudkan
melekat langsung pada tokoh itu antara lain persoalan
penamaan, peran, keadaan fisik, keadaan psikis, dan
karakternya. Pemilihan aspek penamaan untuk tokoh sudah
diniatkan oleh pengarang sejak awal untuk mewakili
permasalahan dan konflik yang hendak dikemukakan. Oleh
sebab itu, dalam upaya penemuan permasalahan drama,
pembaca perlu mempertimbangkan unsur penamaan tokoh.
Dapat dikatakan, faktor nama merupakan suatu subsistem
dari sistem yang lebih besar. Nama di dalam drama dapat
menimbulkan persepsi dan resepsi tertentu.
Berdasarkan hal tersebut, pemberian nama tertentu
pada diri tokoh oleh pengarang akan memberikan pengaruh
pada diri tokohnya. Nama Sukijan dan Watiyem tentu tidak
menarik untuk dipergunakan sebagai nama-nama tokoh
drama dari kalangan yang berlatar masyarakat priyayi Jawa.
Sebaliknya, nama Margaret serasa kurang berterima jika
dipergunakan untuk menggambarkan seorang gadis desa
yang lugu, polos, dan pasrah pada nasib, walaupun
kemungkinan itu bisa saja terjadi. Dengan demikian, nama
dapat memberikan kesan, persepsi, serta resepsi tertentu
yang mungkin menyangkut bayangan tentang profil
kampung dan kota, kolot dan modern, ambisius dan pasrah,
genit dan lugu, kasar dan penyabar, dan lain sebagainya.
Tokoh-tokoh yang dihadirkan pengarang untuk
membangun dan menciptakan konflik-konflik biasanya
melalui peran-peran tertentu yang harus mereka lakukan.
Jarang seorang tokoh mempunyai peran tunggal, biasanya
tergantung dengan interaksi sosial yang dilakukannya.
Perubahan lawan interaksi sosial akan menyebabkan
berubahnya peran seorang tokoh. Setiap peran umumnya
selalu hadir berpasangan dengan peran lain dalam
membentuk suatu permasalahan atau konflik. Oleh sebab
itu, perubahan peran akan menyebabkan perubahan tingkah
laku, ucapan, tindakan, sebagai pewujudan pikiran dan
perasaan tokoh dalam perannya itu. Tingkah laku dan
ucapan tokoh membentuk satuan karakter yang bersumber
dari gejolak-gejolak psikis tokoh tersebut.
Dengan demikian, keberhasilan pengarang dapat
diukur sampai sejauh mana ia mengatur karakter yang
berbeda dalam berbagai peran. Dengan menghadirkan
tindakan-tindakan dan perilaku yang berulang dan “dipola”
dengan cara tertentu, pengarang dapat memberikan sinyal,
tokoh, peran, dan karakter seperti apa yang sedang ia
tampilkan kepada pembacanya.
b. Motivasi, Konflik, Peristiwa, dan Alur
Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam
drama, selain disebabkan oleh pertemuan dua tokoh atau
sekelompok tokoh yang memerankan peran yang berbeda,
juga dapat dibangun melalui laku. Laku dapat dipahami
sebagai gerakan atau tindakan para tokoh. Gerakan dan
tindakan para tokoh tersebut selanjutnya dapat membentuk
suatu peristiwa. Peristiwa-peristiwa yang terjadi membentuk
permasalahan-permasalahan dalam drama. Sebuah peristiwa
ditentukan oleh empat unsur secara simultan, yakni pelaku,
tindakan, tempat, serta waktu. Setiap peristiwa yang berlaku
atau terjadi selalu mempunyai hubungan sebab akibat.
Sesuatu peristiwa akan terjadi jika disebabkan oleh sesuatu
hal atau hal yang menjadi alasan mengapa peristiwa itu
terjadi. Di samping itu, setiap peristiwa yang berlaku akan
menimbulkan akibat tertentu yang mungkin saja berupa
munculnya peristiwa-peristiwa baru. Berdasarkan hal
tersebut, suatu tindakan, perbuatan, atau laku tidak mungkin
dilakukan begitu saja dan tiba-tiba oleh para tokoh. Harus
ada alasan (logika imajinatif) tentang mengapa laku tersebut
dilakukan oleh tokoh. Alasan tentang mengapa suatu laku
atau juga suatu peristiwa terjadi dapat disebut dengan istilah
motivasi. Laku atau atau tindakan merupakan perwujudan
drama, maka laku atau satuan peritiwa harus dijelaskan
melalui kerangka unsur dan totalitas mengapa hal tersebut
terjadi. Oleh sebab itu, motivasi merupakan dasar laku,
keseluruhan stimulus dinamis yang menjadi sebab pelaku
mengadakan respon-renspon.
Jika sebuah peristiwa atau beberapa peristiwa yang
dapat dikelompokkan itu dihubung-hubungkan, maka akan
terlihat susunan peristiwa secara kausalitas. Peristiwa
pertama menjadi penyebab atau menyebabkan peristiwa
yang lainnya. Pada akhirnya, pembaca akan menemukan
sebuah peristiwa yang saling berhubungan. Hubungan
antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain disebut
alur. Alur sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa yag saling
berhubungan secara kausalitas akan menunjukkan kaitan
sebab akibat. Jika hubungan kausalitas peristiwa terputus
dengan peristiwa yang lain maka dapat dikatakan bahwa
alur tersebut kurang baik. Alur yang baik adalah alur yang
memiliki kausalitas sesama peristiwa yang ada di dalam
sebuah teks drama.
Jika alur dilihat dalam sebuah bagian kausalitas,
maka akan ditemukan sebuah peristiwa yang dominan
berfungsi sebagai penyebab munculnya peristiwa-peristiwa
yang lain. Permasalahan dalam drama haruslah dicari pada
peristiwa yang dominan yang menjadi penyebab munculnya
konflik. Konflik dalam drama merupakan inti permasalahan
drama yang hendak diketengahkan pengarang. Di dalam
drama, biasanya konflik tidak segera diakhiri oleh pngarang.
Pengarang sedemikian rupa mempertahankan konflik untuk
menimbulkan rasa suspense pembaca. Konflik yang sudah
memuncak semakin didramatisir oleh pengarang. Hal