The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-Book ini berisi mengenai bahan ajar Mata Kuliah Teori Sastra

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2022-11-09 10:59:50

BUKU TEORI SASTRA

E-Book ini berisi mengenai bahan ajar Mata Kuliah Teori Sastra

Keywords: buku,teori sastra

tersebut dikarenakan tanpa konflik sebuah drama akan
terasa hambar.
c. Latar dan Ruang

Latar merupakan identitas permasalahan drama
sebagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan
dalam penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah
diketahui melalui alur dan penokohan, maka latar dan ruang
memperjelas suasana, tempat, serta waktu peristiwa itu
berlaku. Latar dan ruang dalam drama memperjelas
pembaca untuk mengidentifikasikan permasalahan drama.
Dengan demikian, latar berkaitan dengan penokohan dan
alur. Oleh karena itu, latar harus menunjang alur dan
penokohan dalam membangun permasalahan dan konflik.
d. Gaya Bahasa

Pembicaraan tentang gaya bahasa menyangkut
tentang kemahiran pengarang mempergunakan bahasa
sebagai medium drama. Penggunaan bahasa tulis dengan
segala kelebihan dan kekurangannya harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya oleh pengarang. Penggunaan bahasa harus
relevan dan menunjang permasalahan-permasalahan yang
hendak dikemukakan. Selanjutnya, bahasa yang digunakan
harus serasi dengan teknik-teknik yang digunakan. Selain
itu, bahasa yang digunakan harus tepat merumuskan alur,
penokohan, latar dan ruang, dan tentu saja semua itu
bermuara pada ketepatan perumusan tema teks drama. Gaya
bahasa dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu
perbandingan, pertentangan, penegasan, dan sindiran.
Sebagaimana di dalam karya sastra lainnya, di dalam drama
para pengarang pun memanfaatkan gaya bahasa. Pemberian
ciri khas gaya bahasa seorang tokoh melalui ucapan, dialog,
oleh pengarang sangat penting diperhatikan oleh pembaca.
Dengan demikian, salah satu usaha untuk memahami drama

yaitu dengan mengamati ciri khas gaya bahasa para tokoh
yang “dibentuk” oleh pengarang.
e. Tema dan Amanat

Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai
peristiwa, penokohan dan latar. Tema adalah inti
permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam
karyanya. Oleh karena itu, tema merupakan hasil konklusi
dari berbagai peristiwa yang masing-masing mengemban
permasalahan, tetapi hanya ada sebuah tema sebagai intisari
dari permasalahan-permasalahan tersebut. Amanat di dalam
drama boleh jadi lebih dari satu, asalkan ada kaitannya
dengan tema. Pencarian amanat pada dasarnya identik atau
sejalan dengan teknik pencarian tema. Oleh sebab itu,
amanat juga merupakan kristalistik dari berbagai peritiwa,
perilaku, tokoh, latar, dan ruang cerita.

Tema dan amanat tidak diperlukan dan tidak
dipentingkan dalam analisis drama. Hal tersebut
dikarenakan bukan itulah tujuan pengarang mengungkapkan
permasalahan fenomena budaya. Penceritaan drama
dilakukan untuk memperluas wawasan kemanusiaan,
memperluas budi pekerti, memperpeka diri terhadap dilema
kehidupan manusia, mengundang pembaca untuk toleran
dan bersimpati dengan permasalahan kemanusiaan,
mengajak pembaca untuk melakukan tamasya spiritual dan
estetis sambil melirik permasalahan individu dan
lingkungannnya, memberikan tanggapan psikis kepada
pembaca terhadap persoalan yang selama ini luput dari
pengamatannya, memberikan kenikmatan psikis dengan
membimbing imajinasi pembaca, dan lain sebagainya.

2. Unsur Ekstrinsik Drama
Unsur ekstrinsik drama sama halnya dengan unsur

ekstrinsik sebuah prosa fiksi. Unsur ekstrinsik drama juga

berperan sebagai unsur yang mempengaruhi bangun sebuah
drama. Unsur ekstrinsik drama, yaitu biografi pengarang,
psikologi pembaca, psikologi pengarang, keadaan ekonomi,
politik, dan sosial.

C. Jenis-jenis Drama

Jenis drama ditentukan bergantung pada dasar yang
digunakan. Penjenisan drama terbagi menjadi lima, yaitu
berdasarkan bentuk dan bahasanya, berdasarkan isi
ceritanya, berdasarkan pelakunya, berdasarkan masanya,
dan berdasarkan kuantitas cakapannya.
1. Berdasarkan Bentuk dan Bahasanya

Berdasarkan bentuk dan bahasanya, drama
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
a) Drama Puisi

Drama puisi adalah drama yang sebagian besar
cakapannya disusun dalam bentuk puisi atau
menggunakan unsur-unsur puisi.
b) Drama Prosa
Drama prosa yaitu drama yang cakapannya disusun
dalam bentuk prosa.
c) Drama Campuran
Drama campuran yaitu dalam satu drama terdapat
bahasa prosa dan juga terdapat bahasa puisi.

2. Berdasarkan Isi Ceritanya
Berdasarkan isi ceritanya, drama dapat dikelompokkan
menjadi lima, yaitu sebagai berikut.

a) Drama Tragedi

Drama tragedi adalah sebuah drama yang penuh

dengan keedihan dan kemalangan.

Ciri-cirinya:
o Menggarap subjek dengan serius;
o Emosi utamanya ada rasa kasihan, sedih atau

takut;
o Pelaku utamanya orang yang penting dan

dipentingkan (orang yang herois);
o Segala insiden atau kejadiannya harus wajar.

b) Drama Komedi

Drama komedi adalah drama yang lucu dan

menggelitik penuh dengan keceriaan.

Ciri-ciriya:
o Subjeknya ringan, cerah;
o Kejadian mungkin dan seakan-akan terjadi;
o Kejadian muncul dari tokoh;
o Kelucuan yang serius (benar-benar lucu).

c) Drama Tragedi-Komedi

Drama tragedi-komedi yaitu sebuah drama yang

didalamnya terdapat perpaduan antara komedi dan

tragedi.

d) Melodrama

Melodrama yaitu lakuan tragedi yang berlebih-

lebihan dan dialognya diucapkan dengan diiringi

musik atau melodi.

Ciri-cirinya:
o Subjeknya serius tetapi para tokohnya tidak

seautentik tragedi;
o Unsur-unsur perubahan termasuk ke dalam

melodrama artinya ada perubahan yang terjadi.

o Rasa kasihan memang ada, tetapi cenderung
kearah sentimental. Rasa kasihan itu muncul
kalau yang dihadapi merasa sedih;

o Sang pahlawan atau tokoh utama biasanya
memang dalam perjuangan

e) Farce
Farce yaitu drama komedi yang dilebih-lebihkan.
Farce nyaris mirip dengan dagelan atau lelucon
namun tidak sepenuhnya dagelan.
Ciri-cirinya:
o Kejadian atau tokohnya mungkin ada atau terjadi
tetapi, kemungkinannya tidak sebesar komedi;
o Kelucuan seenaknya yang tidak teratur dan tidak
menentu;
o Bersifat episodik, hanya memerlukan kredibilitas
atau keyakinan-keyakinan sementara;
o Segala sesuatu yang terjadi muncul dari situasi
yang menjadikan orang tertawa.

3. Berdasarkan Pelakunya
Berdasarkan pelakunya, drama dikelompokkan menjadi
dua, yaitu sebagai berikut.
a) Drama Anak-anak
Drama Anak-anak yaitu drama yang dimainkan
siapa saja untuk kepentingan pendidikan anak-anak.
Ciri-cirinya:
o Untuk konsumsi anak-anak;
o Penontonnya anak-anak;
o Para aktor bukan anak-anak saja, tetapi orang
yang memenuhi syarat menjadi aktor atau
aktris;
o Tema dan isi sesuai dengan perkembangan jiwa
dan mental anak-anak;

o Penyuguhan lakon dilakukan secara cermat
untuk penoton yang terdiri dari anak-anak itu;

b) Kreatif Dramatik
Kreatif dramatik yaitu drama yang semua perannya
dilakukan oleh anak-anak.
Ciri-cirinya:
o Memupuk kerja sama yang baik dalam pergaulan
sosial, antara yang satu dengan yang lain saling
menghormati dan saling mengerti;
o Memberi kesempatan kepada anak-anak untuk
melahirkan kreasi sehingga bisa berpikir kreatif;
o Mengembangkan emosi yang sehat kepada anak-
anak;
o Menghilangkan sifat malu, gugup dan lain-lain;
o Menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri;
o Mengurangi kenakalan, kejahatan anak-anak;
o Mengembangkan apresiasi dan sikap yang baik.

4. Berdasarkan Masanya
Berdasarkan masanya, drama dikelompokkan menjadi
dua, yaitu sebagai berikut.
a) Drama Lama/Klasik
Drama klasik adalah drama yang umumnya
menceritakan tentang kesaktian kehidupan istana
atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar
biasa, dan lain sebagainya.
b) Drama Baru/Modern
Drama modern merupakan drama yang memiliki
tujuan untuk memberikan pendidikan kepada
masyarakat yang umumnya bertemakan kehidupan
manusia sehari-hari.

5. Berdasarkan Kuantitas Cakapannya
Berdasarkan kuantitas cakapannya, drama dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
a) Pantomim
Pantomim adalah drama tanpa menggunakan kata-
kata atau hanya dilakukan dengan gerakan saja.
b) Minikata
Minikata adalah drama yang menonjolkan gerakan
sehingga hanya sedikit menggunakan kata-kata.
c) Dialog-monolog
Dialog-monolog adalah drama yang menggunakan
banyak kata-kata.

D. Rangkuman

Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang
diproyeksikan di atas pentas yang bertujuan
menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan
pertikaian dan emosi melalui acting dan dialog. Drama
sebagai karya fiksi, terdiri dari unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik drama meliputi tokoh, peran dan
karakter, motivasi, konflik, peristiwa, dan alur, latar dan
ruang, gaya bahasa, serta tema dan amanat. Sedangkan,
unsur ekstrinsik drama sama halnya seperti unsur ekstrisik
prosa yang meliputi keadaan subjektivitas pengarang,
psikologi pembaca, psikologi pengarang, psikologi dalam
karya, keadaan ekonomi, politik, sosial, pandangan hidup,
dan latar belakang kehidupan pengarang.

Penjenisan drama terbagi menjadi lima, yaitu
berdasarkan bentuk dan bahasanya, berdasarkan isi

ceritanya, berdasarkan pelakunya, berdasarkan masanya,
dan berdasarkan kuantitas cakapannya. Berdasarkan bentuk
dan bahasanya, drama dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
drama puisi, drama prosa, dan drama campuran.
Berdasarkan isi ceritanya, drama dikelompokkan menjadi
lima, yaitu drama tragedi, drama komedi, drama tragedi-
komedi, melodrama, dan farce. Berdasarkan pelakunya,
drama dikelompokkan menjadi dua, yaitu drama anak-anak,
dan kreatif dramatik. Berdasarkan masanya, drama dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu drama lama/klasik, dan
drama baru/modern. Berdasarkan kuantitas cakapannya,
drama dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pantomim,
minikata, dan dialog-monolog.

E. Uji Pemahaman Bab 6

Bagaimanakah pemahaman Anda terhadap drama?
Untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap bab
ini, cobalah kerjakan tugas di bawah ini!
1. Uraikan dengan singkat pengertian drama!
2. Jelaskan perbedaan unsur intrinsik prosa dengan unsur

intrinsik drama!
3. Apa yang dimaksud dengan motivasi, konflik, peristiwa,

dan alur dalam drama!
4. Persoalan penamaan, peran, keadaan fisik, keadaan

psikis, dan karakter merupakan faktor-faktor yang
melekat dalam tokoh dapat dijadikan sebagai sumber

data untuk memahami makna drama. Jelaskan
pernyataan tersebut dan sertakan dengan contoh!
5. Jelaskan perbedaan drama anak-anak dan kreatif
dramatik!
6. Sebutkan ciri-ciri drama komedi! Jelaskan pula
perbedaan antara drama komedi dengan farce!
7. Berilah tanggapan terhadap pementasan suatu drama!

BAB ALIRAN SASTRA
7

Aliran-aliran dalam kesusastraan memiliki kesamaan
dengan aliran dalam kesenian yang lain, misalnya dalam
seni lukis, seni drama, bahkan dalam dunia filsafat dan
kehidupan sosial. Aliran dalam kesusastraan berhubungan
erat dengan sikap dan pandangan hidup pengarang yang
mendasari penciptaan sebuah karya. Artinya, jika kita ingin
mengelompokkan sastrawan ke dalam aliran
tertentu, hendaknya berdasarkan buah karya mereka.
Dengan demikian, seorang pengarang bisa dimasukkan ke
dalam beberapa aliran, karena corak karyanya yang
bermacam-macam.

Aoh. K. Hadimadja dalam bukunya “Aliran-aliran
Klasik Romantik, dan Realisme dalam Kesusastraan”
mengatakan bahwa “aliran itu tidak lain daripada keyakinan
yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham,
ditimbulkan karena menentang paham-paham lama.
Adakalanya para penganut aliran yang sama tidak sepaham
benar-benar, akan tetapi pada dasarnya mereka tidak
bertentangan, dan ciri-cirinya pengarang membawa
pembawaan dan kepribadian yang khas atau ada seorang

karena ciri-ciri yang umum itu, mereka dapat digolongkan
ke dalam aliran tertentu”.

Sementara itu, H.B. Jassin dalam bukunya “Tiga
Penyair dan Daerahnya” menyatakan bahwa aliran dalam
sastra dapat “ mengenai cara pengucapan daripada isi yang
diucapkan, tetapi ada pula aliran-aliran yang menyatakan
isi“.
Dari penjelasan di atas dapatlah kita pahami bahwa aliran
dalam sastra sebenarnya berpangkal pada kesadaran
sastrawan untuk menentang paham atau aliran sebelumnya.
Perlawanan menentang paham atau aliran lama itu
diwujudkan dalam bentuk ciptaan yang menunjukkan ciri
lain daripada yang ada sebelumnya. Ingatkah Anda pada
kumpulan sanjak “Tiga Menguak Takdir”? Kumpulan sajak
itu sebenarnya merupakan bukti perlawanan kelompok
penyair muda (Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani)
terhadap Sutan Takdir Alisjahbana. Perlawanan itu bertolak
dari konsepsi kesenian yang berbeda antara dua kelompok
sastrawan itu (Pujangga Baru versus Angkatan ‘45). Berikut
akan dijelaskan mengenai aliran yang terdapat dalam sastra.

A. Aliran Impresionisme

Aliran impresionisme merupakan aliran dalam karya
sastra yang memuat atau berisi kesan-kesan indrawi yang
dirasakan oleh pengarang. Aliran impresionisme dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.

1. Aliran Realisme

Aliran realisme mengutamakan realitas kehidupan.

melukiskan kenyataan dalam kehidupan seperti apa adanya

selama dalam batas kesopanan. Sastra realis merupakan

kutub seberang dari sastra imajis. Apa yang diungkapkan

pengarang realis adalah hal-hal yang nyata, yang pernah

terjadi, bukan imajinatif belaka. Berdasarkan hal tersebut,

biografi, otobiografi, true-story, album kisah nyata, roman

sejarah, dapat dikelompokkan ke dalam sastra realis. Sastra

realis juga berbeda dengan berita surat kabar atau laporan

kejadian, karena ia tidak semata-mata realistik. Sebagai

karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan

kreativitas yang tinggi.

Contoh sastra Aliran realisme ini, yaitu novel
“Chairul Tanjung Si Anak Singkong” karya Chairul
Tanjung, novel “Habibie & Ainun” karya Bacharuddin Jusuf
Habibie, novel “Hafalan Shalat Delisa”, novel “Moga
Bunda Disayang Allah” karya Tere Liye, novel “Laskar
Pelangi” karya Andrea Hirata, novel “Pada Sebuah Kapal”
karya N.H. Dini, novel “Kota Harmoni” karya Idrus, novel
“Tak Ada Hari Esok” karya Mochtar Lubis, Novel
“Fatimah“ karya Titie Said, “Rindu Ibu adalah Rinduku”
karya Motinggo Boesye, dan novel biografis “Pangeran dari
Seberang“ karya N.H.Dini tentang Amir Hamzah.

2. Aliran Naturalisme

Aliran naturalisme merupakan aliran yang

mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa

mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. Pengarang

naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para

penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan
tajam. Kumpulan sanjak F. Rahardi, “ Catatan Harian Sang
Koruptor “ dan “ Sumpah WTS “, beberapa sanjak Rendra “
Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta “, “ Rick dari

Corona “, “ Sajak Gadis dan Majikan “, Sajak SLA “ bisa
ditunjuk sebagai contoh pengibar aliran ini. Sedangkan, dari
khazanah lama “ Surabaya “ nya Idrus bisa digunakan
sebagai contoh karya sastra aliran naturalisme.
3. Aliran Neonaturalisme

Aliran neonaturalisme melukiskan kehidupan secara
objektif, baik segi positif maupun negatif. Aliran
neonaturalisme biasanya lebih menonjolkan hal-hal yang
baik. Contoh karya sasstra beraliran neonaturalisme yaitu
novel “Tak Putus Dirundung Malang” karya Sutan Takdir
Alisyahbana.
4. Aliran Determinisme

Aliran determinisme menggambarkan tokoh-tokoh
cerita dikuasai oleh nasibnya, sehingga tokoh tersebut tidak
sanggup dan tidak mampu lagi ke luar dari takdir yang telah
jatuh pada dirinya. Takdir yang dimaksudkan tersebut
bukanlah takdir dari Tuhan sesuai dengan konsepsi yang
berlaku pada agama langit, melainkan takdir yang lebih
tepat dikatakan sebagai akibat yang tak dapat dielakkan
karena peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya, berupa
faktor-faktor biologis, lingkungan dan sosial.

Determinisme berpendapat bahwa tragedi hidup
manusia sudah tercetak dalam kemutlakan, merupakan
paksaan nasib yang tak bisa ditembus oleh segenap daya dan
ikhtiar sang pelaku. Orang sadar dengan kodratnya, sebagai
wong cilik, sebagai hamba sahaya, sebagai sang kurban,
sehingga tidak akan banyak menuntut. Determinisme bisa
dijumpai dalam “ Pengakuan Pariyem “ nya Linus Suryadi
AG, novel “ Kuterima Penderitaan Ini, novel “Di Bawah
Lindungan Ka’bah” oleh Hamka.

B. Aliran Ekspresionisme

Aliran ekspresionisme merupakan aliran dalam karya
sastra yang merupakan pernyataan jiwa atau pancaran jiwa
pengarang secara spontan. Aliran ekspresionisme dapat
dikelompokkan menjadi enam, yaitu sebagai berikut.
1. Aliran Romantisme

Aliran romantis ini merupakan aliran yang
mengutamakan dan mementingkan curahan perasaan yang
indah dan menggetarkan yang diungkapkan melalui
keindahan diksi dan gaya bahasa yang mendayu-dayu dan
membuai sukma. Lukisan yang bersifat fantastis yang
menonjol sehingga membawa pembaca dalam impian.
Tokoh-tokoh dalam fiksi romantik sering digambarkan
dengan sangat dikuasai oleh perasaannya dalam
merumuskan segala persoalan. Dikisahkan juga tokoh-tokoh
yang mengasingkan diri ke tempat terpencil yang jauh dari
keramaian karena tak tahan menghadapi hidup yang keras
dan kejam.

Contoh karya sastra beraliran romantik, yaitu puisi-
puisi Amir Hamzah “Buah Rindu“, “Karena Kasihmu“,
“Memuji Dikau“, “Mengawan“, “Do’a“, karya-karya
Hamka “Tenggelamnya Kapal Van der Wijk“, “Di Bawah
Lindungan Ka’bah“, “Di dalam Lembah Kehidupan“, dan
novel-novel Habiburahman El-Shirazy “Pudarnya Pesona
Cleopatra”, “Cinta Suci Zahrana”.
2. Aliran Idealisme

Aliran idealisme yaitu aliran dalam kesusastraan
yang mengungkapkan hal-hal yang ideal, pengarangnya
penuh perasaan dan cita-cita. Pengarang idealis berpendapat

bahwa sastra punya peran untuk suatu perubahan sosial ke

arah yang positif. Sastra bertenden, sebutan untuk karya-

karya pengarang idealis, diharapkan mampu mengubah

sikap hidup masyarakat atau pembaca dari yang kurang baik

menjadi baik, dari yang statis menjadi dinamis, dari yang

malas menjadi rajin, dan seterusnya. Contoh karya sastra
idealis, yaitu “Habis Gelap Terbitlah Terang“ karya R.A.
Kartini, novel “Layar Terkembang“ karya Sutan Takdir
Alisyahbana, novel “Kemarau“ karya A.A. Navis.

3. Aliran Psikologisme

Aliran psikologisme yaitu aliran yang

mengutamakan pembahasan masalah kejiwaan dalam

kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam cerita. Aliran

psikologisme dalam novel, suasana jiwa dan konflik batin

para pelaku disoroti dengan tajam, detail dan mendalam.

Contoh karya sastra beraliran psikologisme, yaitu novel
“Belenggu” karya Armijn Pane, “Atheis“ karya Achdiat
Kartamiharja, “Royan Revolusi “ dan “Kemelut hidup“
karya Ramadhan K.H., “Damai dalam Badai“ dan “Cintaku
Selalu Padamu“ karya Motenggo Boesye, “Bila Malam
Bertambah Malam“ karya Putu Wijaya, dan kumpulan
cerpen “Seyum Karyamin” karya Ahmad Tohari.

4. Aliran Mistisisme

Aliran mistisisme melukiskan pengalaman yang

bersifat ketuhanan, keajaiban, dan keabadian. Pengarang

melalui karyanya bermaksud mencari dan mendekatkan diri

(utamanya jiwa) kepada Tuhan. Contoh karya sastra aliran
psikologisme, yaitu puisi “Doa” karya Lea Concerina, puisi
“Nyanyian Sunyi” karya Amir Hamzah, “Kekasih Abadi”
karya Bahrun Rangkuti, “Noda Kelawa” karya Sanusi Pane,
“Sedih dan Gembira” karya Usman Ismail.

5. Aliran Surrealisme
Aliran surrealisme ini adalah aliran yang terlalu

mengagungkan kebebasan kreatif dan berimajinasi sehingga
hasil yang dicapai menjadi antilogika dan antirealitas. Bisa
jadi apa yang terungkap itu pada mulanya berangkat dari
kenyataan sekitar, tetapi karena desain imajinasinya itu
sudah demikian kuat dan jauh sehingga terasa ekstrim dan
radikal. Contoh karya sastra aliran surrealisme, yaitu
cerpen-cerpen Danarto “Godlob“, “Ziarah” karya Iwan
Simatumpang, “Radio Masyarakat” karya Rosihan Anwar,
“Aki” karya Idrus.
6. Aliran Simbolisme

Simbolisme merupakan aliran dalam sastra yang
mencoba mengungkapkan ide-ide dan emosi lebih dengan
sugesti-sugesti daripada menggunakan ekspresi langsung,
melalui objek-objek, kata-kata dan bunyi. Aliran ini
merupakan reaksi terhadap realisme dan naturalisme yang
hanya berpijak pada kenyataan semata. Sementara itu, sastra
simbolik banyak menggunakan simbol atau lambang dalam
mengungkapkan pemikiran, emosi, secara samar-samar dan
misterius.

Karya simbolik terkadang sukar dipahami dan hanya
secara samar-samar ditangkap maknanya. Penyair simbolik
bahkan menyukai yang samar-samar karena bagi mereka
puisi harus merupakan teka-teki bagi orang biasa, tetapi
sebenarnya merupakan musik yang indah bagi yang dapat
menghayati dan menikmatinya. Puisi simbolik mencapai
keindahannya dengan mengungkapkan objek secara tidak
langsung, secara sugestif, dan dengan memperhitungkan
efek musiknya yang mengandung makna.

Aliran simbolisme dengan begitu, banyak
menggunakan kata-kata kias, lambang-lambang, kata-kata
yang bermakna simbolik untuk melukiskan sesuatu.

Misalnya, “Dengarkanlah Keluhan Pohon Mangga“ karya
Maria Amin, “Sebuah Lok Hitam“ puisi Hartoyo
Andangjaya, puisi-puisi karya Sutardji Qalzoum Bachri, dan
semua fabel (misalnya “Serial Kancil”, “Hikayat Kalilah
dan Daminah”) juga termasuk dalam contoh aliran
simbolisme ini.

C. Rangkuman

Aliran dalam kesusastraan berhubungan erat dengan
sikap dan pandangan hidup pengarang yang mendasari
penciptaan sebuah karya. Aliran sastra secara garis besarnya
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu aliran
impresionisme dan aliran ekspresionisme. Aliran
impresionisme merupakan aliran dalam karya sastra yang
memuat atau berisi kesan-kesan indrawi yang dirasakan oleh
pengarang. Aliran impresionisme dapat dikelompokkan
menjadi empat, yaitu aliran realisme, aliran naturalisme,
aliran neonaturalisme dan aliran derterminisme. Aliran
Ekspresionisme merupakan aliran dalam karya sastra yang
merupakan pernyataan jiwa atau pancaran jiwa pengarang
secara spontan. Aliran ekspresionisme dapat dikelompokkan
menjadi enam, yaitu aliran romantisme, aliran idealisme,
aliran psikologisme, aliran mistisisme, aliran surralisme, dan
aliran simbolisme.

D. Uji Pemahaman Bab 7

Apakah Anda sudah menguasai Bab 7 dengan baik?
Anda bisa menguji pemahaman Anda dengan mengerjakan
tugas-tugas berikut ini!
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan aliran dalam

kesusastraan!
2. Aliran dalam karya sastra terbagi menjadi aliran

impresionisme dan aliran ekspresionisme. Jelaskan
perbedaan aliran impresionisme dan aliran
ekspresionisme!
3. Sebutkan dan jelaskanlah aliran-aliran impresionisme!
4. Jelaskan perbedaan antara aliran naturalisme dan aliran
neonaturalisme!
5. Carilah sebuah novel yang beraliran naturalisme dan
beraliran neonaturalisme!
6. Sebutkan dan Jelaskanlah aliran-aliran ekspresionisme!
7. Kelompokkanlah karya sastra berdasarkan aliran-aliran
ekspresionisme!
8. Carila sebuah karya fiksi yang termasuk dalam aliran
psikologisme dan aliran surrealisme!

BAB PENDEKATAN SASTRA
8

Mengkaji sebuah karja sastra, kita tidak dapat
melepaskan diri dari cara pandang yang bersifat parsial,
maka ketika mengkaji karya sastra, sering kali seseorang
akan memfokuskan perhatiannya hanya kepada aspek-aspek
tertentu dari karya sastra. Aspek-aspek tertentu itu misalnya
berkenaan dengan persoalan estetika, moralitas, psikologi,
masyarakat, beserta dengan aspek-aspeknya yang lebih rinci
lagi. Berdasarkan hal tersebut, maka muncul berbagai
macam pendekatan kajian sastra. Berikut akan disampaikan
mengenai mcam-macam pendekatan dalam kajian sastra.

A. Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif adalah pendekatan kajian sastra
yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra.
Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada
karya sastra. Karya sastra menjadi sesuatu yang inti (Junus

dalam Siswanto, 2008: 183). Pendekatan objektif dicetuskan
oleh kelompok peneliti Rusia pada tahun 1915-1930 yang
biasa disebut kaum Formalis, dengan tokoh utama Roman
Jakobson, shklovsky, Eichhenbaum, dan Tynjanov. Pada
awalnya, para Formalis ingin membebaskan ilmu sastra dari
kungkungan ilmu-ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah,
atau kebudayaan. Hal tersebut dikarenakan ketidakpuasan
terhadap kritik spiritualitas poetika Romantik, kaum
Formalis Rusia mengusahakan pendekatan ilmiah bagi teori
dengan tujuan untuk menggali apa yang secara khusus
bersifat kesusastraan dalam berbagai teks.

Berdasarkan pendekatan objektif, karya sastra
dipandang sebagai tanda, lepas dari fungsi referensial atau
mimetiknya. Karya sastra menjadi tanda yang otonom, yang
hubungannya dengan kenyataan bersifat tidak langsung.
Dengan kata lain, karya sastra dianggap sebagai struktur
yang otonom dan bebas dari hubungan dengan realitas,
pengarang, dan pembaca. Tugas utama peneliti yaitu
meneliti struktur karya sastra yang kompleks dan
multidimensional yang setiap aspek dan unsur berkaitan
dengan aspek dan unsur lain untuk mencapa totalitas makna
secara penuh.

Sebagai bentuk perkembangan formalisme dalam
kajian sastra, muncullah kajian strukturalisme. Menurut
pandangan strukturalisme, kajian sastra harus berpusat pada
karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan
sebagai sebagai pencipta atau pembaca sebagai penikmat.
Dalam pendekatan ini, karya sastra dianggap sebagai sebuah
struktur. Ia hadir dan dibangun oleh sejumlah unsur yang
berperan penting secara fungsional. Menurut Wellek dan
Warren yang dimaksud dengan struktur adalah struktur isi
(content) dan struktur bentuk (form). Isi berkaitan dengan
gagasan yang diekspresikan pengarang, sedangkan bentuk

adalah cara pengarang menulis. Masih senada dengan hal
tersebut, pradopo (1997:118) mengatakan bahwa struktur
karya sastra adalah susunan unsur-unsur yang bersistem,
yang diantara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik,
saling menentukan. Lebih lanjut, Pradopo (1997:118)
menjelaskan bahwa unsur-unsur dalam karya sastra
bukanlah merupakan unsur yang berdiri sendiri, melainkan
saling terkait, saling berkaitan, dan saling bergantung. Jadi,
dalam analisis dengan menggunakan pendekatan struktural,
unsur dalam struktur karya sastra tidak memiliki makna
dengan sendirinya, akan tetapi maknanya ditentukan oleh
hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung
dalam struktur tersebut.

Menurut Teeuw, analisis struktural mencoba
menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur
karya sastra tersebut sebagai kesatuan struktural yang
bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Jadi,
unsur karya sastra tersebut haruslah dipahami sebagai
bagian dari keseluruhan karya sastra. Menurut Pradopo
dalam Jabrohim (2001:54), salah satu ciri khas pendekatan
struktural adalah asanya anggapan bahwa di dalam dirinya
sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom
yang dapat dipahami sebagai kesatuan yang bulat dengan
unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan. Dengan
demikian, analisis struktural bertujuan untuk membongkar
dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua unsur-unsur
dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan
makna menyeluruh.

Banyak kritik yang ditujukan terhadap strukturalisme.
Menurut Teeuw kelemahan kajian struktural berpangkal
pada empat hal, yaitu (1) kajian struktural belum merupakan
teori sastra; (2) karya sastra tidak dapat diteliti secara

terasing tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra
dengan latar belakang sejarah; (3) adanya struktur yang
objektif pada karya sastra makin disangsikan, sedangkan
peran pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi
karya sastra semakin ditonjolkan dengan segala konsekuensi
untuk analisis struktural; (4) analisis yang menekankan
otonomi karya sasta juga menghilangkan konteks dan
fungsinya sehingga karya itu dimenaragadingkan dan
kehilangan hubungan sosialnya (Siswanto, 2008: 185).

Sedangkan, menurut Junus, keberhasilan penelitian
strukturalisme lebih banyak dtentukan oleh kualitas
penelitinya dibandingkan dengan keungguan metode dan
teorinya. Selain itu, kelemahan strukturalisme menurut
Junus, yaitu (1) strukturalisme mengabaikan hakikat
kesejarahan sehingga tidak dapat mempelajari perubahan;
(2) strukturalisme merupakan generalisasi kosong karena
mengabaikan keistimewaan yang mungkin ada pada suatu
karya sehingga kreativitas seorang sastrawan tidak
diperhatikan; (3) strukturalisme terlalu menyederhanakan
kepada pemikiran oposisi duaan (binary) sehingga
mengabaikan kompleksitas karya sastra; dan (4)
strukturalisme bersifat netralis pluralistik, melihat suatu
karya sastra tanpa melihat suatu nilai estetika.

Setelah pendekatan strukturalis, pada akhir tahun
1960-an, muncullah kelompok pascastrukturalisme. Tokoh-
tokoh pascastrukturalis yaitu Roland Barthes, Julia Kristeva,
Jacques Lacan, Jacques Derrida, dan Lucien Goldmann.
Para pascastrukturalis adalah para strukturalis yang tiba-tiba
melihat pemikiran mereka yang keliru. Dasar pendekatan
kelompok pascastrukturalis adalah ketidakpercayaan
terhadap bahasa. Bahasa tidak mungkin mencermikan
kenyataan atau tidak mungkin dicek berdasarkan kenyataan.
Pemakaian bahasa dalam teks menciptakan sebuah

kenyataan yang hanya terdiri dalam bentuk bahasa sebagai
dunia tanda. Setiap teks merupakan semacam tenunan yang
tidak mungkin kita tentukan atau telusuri artinya secara
definitif.

Terdapat tiga bentuk strukturalisme, yaitu
strukturalisme klasik, strukturalisme genetik, dan
strukturalisme dinamik. Strukturalisme klasik adalah
strukturalisme yang paling awal. Ia merupakan
strukturalisme paten, yaitu kajian yang hanya mengkaji
struktur semata. Dalam kajian sastra, struktur macam ini
tidak peduli dengan hal lain kecuali yang berkaitan dengan
struktur di dalam karya sastra. Tidak ada hal lain yang
diteliti kecuali struktur karya sastra.

Penerapan strukturalisme klasik dalam karya sastra
dilakukan dengan cara memadukan fakta sastra dengan tema
sehingga makna sastra dapat dipahami dengan jelas. Akan
tetapi perlu dicatat bahwa pemahaman dan pengkajian
antarstruktur fakta sastra tersebut harus ditopang oleh
pengetahuan yang mendalam tetang pengertian, peran,
fungsi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur
tersebut. Misalnya, ketika peneliti membahas unsur tokoh
dalam novel, maka ia harus tahu apa itu tokoh dalam novel
dan fungsinya tersebut denga baik dalam struktur bangunan
sebuah novel. Meski tampak mampu menggambarkan karya
sastra secara objektif, namun dibalik itu ada dua hal yang
menjadi kelemahan strukturalisme klise ini, yaitu: (1)
peneliti melepaskan sastra dari latar belakangnya; dan (2) ia
mengasingan sastra dari relevansinya dengan budaya. Hal
tersebut dikarenakan sastra tidak lahir begitu saja, ia
dilatarbelakangi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.

Berdasarkan kelemahan tersebut, muncullah dua
bentuk strukturalisme lain, yaitu strukturalisme genetik dan
strukturalisme dinamik. Strukturalisme genetik adalah

strukturalisme yang tidak hanya melibatkan struktur sastra
melainkan juga kehidupan pengarang dan kondisi sosial
masyarakat yang mendorong karya itu lahir. Arti genetik itu
sendiri adalah “asal usul karya sastra” yang berarti diri
pengarang dan kenyataan sejarah yang turut
mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan. Tokoh
strukturalisme genetik yaitu Lucien Goldmann.

Adapun penerapan terhadap pendekatan
strukturalisme genetik ini, dapat dilakukan dengan dimulai
dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara parsial
maupun kajian secara keseluruhan. Selanjutnya, mengkaji
latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang karena
ia merupakan bagian dari komunitas masyarakat tertentu. Di
samping itu, tidak luput juga untuk mengkaji latar belakang
sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra
saat ia diciptakan oleh pengarang. Tahap akhir dari kegiatan
ini, yaitu mengungkap pandangan dunia pengarang tersebut.

Sedangkan, munculnya strukturalisme dinamik yaitu
akibat ketidakpuasan terhadap kajian strukturalisme klasik.
Maksud “dinamik” tersebut mengacu pada dinamika yang
diakibatkan pembacaan kreatif dan pembaca yang dibekali
konsiliasi yang selalu berubah, ia dianggap sebagai homo
significan, mahluk yang membaca dan menciptakan tanda.
Jadi, dapat dikatakan bahwa strukturalisme dinamik adalah
kajian strukturalisme dalam rangka semiotik. Artinya, karya
sastra dikaitkan dengan sistem tanda. Tanda mempunyai dua
fungsi, yaitu otonom yakni tidak menunjuk di luar dirinya
dan informasional, yakni menyampaikan pikiran, perasaan,
dan gagasan. Adapun penerapannya dapat dilakukan dengan
pertama-tama menjelaskan struktur karya sastra yang
diteliti. Selanjutnya, menjelaskan kaitan pengarang, realitas,
karya sastra, dan pembaca.

B. Pendekatan Pragmatik

Secara umum pendekatan pragmatik yaitu pendekatan
kajian sastra yang ingin memperlihatkan kesan dan
penermaan pembaca terhadap karya sastra. Munculnya
pendekatan pragmatik bertolak dari teori resepsi sastra
dalam khazanah pemahaman karya sastra yang merupakan
reaksi terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam
pendekatan struktural. Sebab pendekatan struktural ternyata
tidak mampu berbuat banyak dalam upaya membantu
seorang dalam menangkap dan memberi makna karya sastra.
Pendekatan struktural hanya dapat mejelaskan lapis
permukaan dari teks sastra karena hanya berbicara tentang
struktur dalam karya sastra. Untuk dapat menangkap segi-
segi lain itu para paka mengemukakan sebuah pendekatan
baru, yaitu pendekatan pragmatik.

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian sastra
yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca
dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra.
Pembaca memiliki peranan yang sangat penting dalam
menentukan sebuah karya merupakan karya sastra atau
bukan. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, akhirnya karya
sastra akan sampai juga kepada pembaca, ditujukan kepada
pembaca. Sebagai sebuah keutuhan komunikasi sastrawan-
karya sastra-pembaca, maka pada hakikatnya karya yang
tidak sampai ketangan pembacanya, bukanlah karya sastra.
Karya sastra tidak mempunyai keberadaan nyata sampai
karya sastra itu dibaca. Pembacalah yang menerapkan kode
yang ditulis sastrawan untuk menyampaikan pesan
(Siswanto, 2008:190).

Perkembangan selanjutnya dari pendekatan pragmatik
yaitu pendekatan resepsi sastra. Menurut Teeuw (dalam
Pradopo, 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk
dalam orientasi pragmatik. Resepsi sastra merupakan aliran
sastra yang meneliti teks sastra dengan mempertimbangkan
pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya pembaca
dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu, dan golongan sosial.
Selain itu, pembaca juga yang menentukan makna da nilai
dari karya sastra, sehingga karya sastra mempunyai nilai
karena ada pembaca yang memberikan nilai.

Resepsi sastra adalah kajian yang mempelajari
bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya
sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi
atau tanggapan terhadapnya, baik tanggapan pasif maupun
aktif. Pentingnya peranan pembaca dalam memberikan arti
terhadap karya sastra dapat dilihat pada kenyataan bahwa
karya yang sama akan dimaknai secara berbeda oleh
pembaca yang berbeda. Dalam bidang kritik, Damono
menyatakan “dua orang kritikus tidak mungkin
menghasilkan kritik-kritik yang persis sama meskipun
mereka telah bertemu dengan sajak yang sama”.

Pembahasan mengenai pendekatan resepsi sastra,
tidak akan lepas dari pembicaraan mengenai tokoh-tokoh
pemikir teori resepsi tersebut. Tokoh yang menonjol dalam
mengembangkan pendekatan resepsi adalah Hans Robert
Jauss dan Wolfgang Iser, sehingga dikenal adanya kajian
tentang resepsi sastra atau resepsi estetik. Selain itu, dikenal
juga tokoh lain, seperti Gerald Frince, Husserl, Heidegger,
Gadamer, Stanley Fish, Michael Riffatere, Jonathan Culler,
Norman Holland, dan David Bleich.

Hans Robert Jauss adalah tokoh utama dalam ilmu
sastra yang menekankan peranan pembaca. Pendekatan

tersebut mirip dengan teori Mukarovsky dan Vodicka. Jauss
merupakan seorang ahli sastra Perancis abad pertengahan
dari Universitas Konstanz di Jerman. Jauss mendapat
pendidikan sebagai seorang filolog terutama filolog tradisi
Romawi. Jauss juga terpengaruh oleh “fenomenologi” dari
sang gurunya, Hans Georg Gadamer. Jauss dalam bukunya
Toward an Aesthetic of Reception (1982) terutama juga
dalam bagian “Literary History as a Challenge to Literary
Theory” memberikan satu uraian tentang dasar-dasar teori
estetika resepsi yang ia kembangkan. Menurut Jauss, teori
yang dikembangkan oleh dirinya merupakan satu usaha
untuk memberikan jembatan antara dua tradisi dalam teori
kesusastraan yakni tradisi formalistik dan tradisi marxisme.

Sebagai seorang ahli dalam bisangsastra lama, Jauss
beranggapan bahwa karya sastra lama merupakan produk
masa lampau yang memiliki relevansi dengan masa
sekarang, dalam arti ada nilai-nilai terntentu untuk orang
yang membacanya. Untuk menggambarkan relevansi itu
Jauss memperkenalkan konsep yang terkenal yaitu
“Horizon Harapan” yang memungkinkan terjadinya
penerimaan dan pengolahan dalam batin pembaca terhadap
sebuah objek literer. Melalui penelitian resepsi, Jauss ingin
merombak sejarah sastra masa itu yang terkesan hanya
memaparkan sederetan pengarang dan jenis sastra (genre).
Fokus perhatiannya adalah proses sebuah karya sastra
diterima, sejak pertama kali ditulis sampai penerimaan-
penerimaan selanjutnya.

Berdasarkan hal tersebut, teori Jauss bertujuan untuk
menulis sejarah sastra. Jauss beranggapan bahwa tulisan-
tulisan sejarah yang ada selama ini dipandang sebagai
sejarah palsu. Tulisan-tulisan yang dimaksudkan itu di
antaranya adalah tulisan yang hanya mneyebutkan karya,
tahun, dan pngarangnya. Karya sastra dipandang sebagai

objek yang tidak mati pada zamannya saja. Karya sastra
akan dianggap sebagai karya sastra bila dia mendapat
tanggapan dari pembaca melalui kegiatan membaca
(Susanto, 2012:211-216).

Berbeda dengan Jauss yang lebih menekankan resepsi
sastra untuk tujuan penulisan sejarah sastra dan hasil
tanggapannya, Wolfgang Iser lebih memfokuskan teorinya
pada efek kesan “wirkung”, yakni cara sebuah teks
mengarahkan reaksi-reaksi pembaca untuk memahaminya.
Teori Iser ini sering juga disebut dengan teori estetika
resepsi yang menekankan pada proses pembacaan. Iser
memiliki pandangan bahwa teks sastra itu tidak dapat
disamakan, baik dengan objek-objek nyata dari dunia
pembaca atau pun dengan pengalaman pembacanya sendiri.
Ketidaksamaan itu oleh Iser sering disebut dengan “ruang
kosong” yang harus diisi oleh pembaca. Pembaca yang
dimaksud oleh Iser adalah pembaca implisit, bukan
pembaca konkret individual. Pembaca implisit adalah suatu
instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya
komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain,
pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang
memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, kita sebagai pembaca diajak
untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam
karya sastra, membentuk dunia sendiri sesuai dengan
imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di
dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh
tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca
ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung), pembaca
dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro
atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dan lain
sebagainya. Hal itu tidak terlepas karena Iser juga
mengintroduksi konsep ruang kosong, ruang yang

disediakan oleh penulis, di mana pembaca secara kreatif,
secara bebas dapat mengisinya. Ruang kosong
mengandaikan teks bersifat terbuka, penulis seolah – olah
hanya menyediakan kerangka secara global sehingga
pembaca secara aktif dan kreatif dapat berpartisipasi
(Susanto, 2012:217-222).

Jonathan Culler menyatakan bahwa suatu teori
pembacaan harus mengungkap operasi penafsiran yang
dipergunakan pembaca. Berbeda pembaca menghasilkan
penafsiran yang berbeda. Bermacam-macam penafsiran
itulah yang harus diterangkan oleh teori pragmatik.
Sekalipun pembaca mungkin berbeda tentang pemahaman
arti, tetapi mungkin sekali mereka mengikuti perangkat
konvensi penafsiran yang sama. Culler mengakui bahwa
konvensi yang dapat diterapkan pada satu genre tidak dapat
diterapkan kepada yang lain. Konvensi penafsiran akan
berbeda dari satu periode ke periode yang lain. Sebagai
strukturalis, Culler yakin bahwa teori berurusan dengan
sistem arti yang statis, sinkronis, dan bukan dengan teori
yang historis diakronis.

Michael Riffaterre mengembangkan teorinya dalam
Semiotics of Peotry (1978). Sepaham dengan kaum Formalis
Rusia dalam memandang puisi sebagai sebuah penggunaan
bahasa yang khusus. Bahasa umum itu praktis dan
dipergunakan untuk menunjuk sesuatu jenis “kenyataan”,
sedangkan bahasa puitik berpusat pada pesan sebagai suatu
tujuan dirinya sendiri. Riffaterre berpendapat bahwa
pembaca yang berkompeten melampaui arti permukaan. Jika
kita memandang sajak sebagai seutas tali, pernyataan kita
membatasi perhatian kita kepada “arti”-nya, yang
sesungguhnya apa yang dikatakan itu untuk
menggambarkan satuan-satuan informasi. Jika kita hanya
memperhatikan arti sebuah puisi, kita mereduksinya

menjadi seutas tali rangkaian yang tak berhubungan
(mungkin tanpa arti). Untuk memahami “arti” puisi
hanyalah dibutuhkan kompetensi linguistik biasa. Namun
untuk menghadapi “ketidakgramatikalan” yang sering
dijumpai dalam pembacaan sebuah sajak, diperlukan
“kompetensi sastra”. Pembaca dipaksa untuk mengungkap
suatu makna tingkat kedua (yang lebih tinggi) yang akan
menerangkan ciri-ciri ketidakgramatikalan teks itu.

Norman Holland mengembangkan teorinya dengan
mengatakan bahwa teks sastra itu sama seperti pengalaman
kehidupan. Setiap orang mengembangkan semacam gaya
meniru yang oleh Holland disebut dengan tema identitas
yang meliputi setiap aspek dari tingkah lakunya dan juga
aksi penafsirannya. Holland adalah seorang psikoanalis
yang beraliran ego psikologi. Holland mengembangkan
model yang sering disebut sebagai model biaktif, yakni teks
mengatur tanggapan pembaca dengan cara aktif yang mana
pembaca memulai dan mengeluarkan tanggapannya. Konsep
psikologi identitas dan pembaca menjadi kata kunci teori
Holland ini.

Pradopo (2012:210-211) mengemukakan bahwa
penelitian resepsi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis adalah
penelitian resepsi sastra yang menggunakan tanggapan
pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai
responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian
resepsi dengan metode ini dapat dilakukan dengan cara
menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan
menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner.
Oleh karena itu, penelitian resepsi sinkronis ini dapat
digolongkan menjadi penelitian eksperimental. Penelitian
resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena
sukar dalam pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana

diungkapkan oleh Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119)
bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat
mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan.
Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya
dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan
penentuan teori.

Sedangkan, penelitian diakronis merupakan penelitian
resepsi sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan
pembaca dalam beberapa periode. Tetapi periode waktu
yang dimaksud masih berada dalam satu rentang waktu.
Penelitian diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan
pembaca dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra
atas karya sastra yang dibacanya, maupun dari teks-teks
yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya
penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan
pembaca yang berupa kritik sastra, baik yang termuat dalam
media massa maupun dalam jurnal ilmiah. Penelitian resepsi
diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul
sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual,
penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan.
Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang
dengan melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya
sastranya. Hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran,
maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra
lama maupun sastra modern.(Chamamah dalam Jabrohim
2001: 162-163).

Masing-masing metode mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Begitu juga dalam penelitian resepsi sastra.
Masing-masing metode, baik sinkronis maupun diakronis,
mempunyai kelebihan dan kelemahan. Menurut beberapa
ahli, penelitian sinkronis mempunyai beberapa kelemahan
dari segi proses kerjanya, karena termasuk penelitian
eksperimental. Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001:

119) penelitian yang tergolong eksperimental dapat
mengalami beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan.
Penelitian eksperimental dinilai sangat rumit, khususnya
dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan
penentuan teori. Selain itu, penelitian sinkronis hanya dapat
digunakan untuk mengetahui tanggapan pembaca pada satu
kurun waktu. Sehingga apabila diterapkan untuk karya
sastra yang terbit beberapa tahun yang lalu, akan sulit
membedakan antara tanggapan yang dulu dan masa
sekarang, karena terbentur masalah waktu.

Kelebihan dari penelitian resepsi sinkronis atau
eksperimental ini antara lain (1) reponden dapat ditentukan
tanpa harus mencari artikel kritik sastranya terlebih dahulu;
(2) penelitian resepsi sinkronis dapat dilakukan secara
langsung tanpa menunggu kemunculan kritik atau ulasan
mengenai karya sastra; dan (3) dapat dilakukan pada karya
sastra populer.

Sedangkan, kelebihan penelitian resepsi diakronis,
peneliti dapat melakukan penelitian atas hasil-hasil
intertekstual, penyalinan, penyaduran, maupun
penerjemahan, yang berupa karya sastra turunan. Biasanya
penelitian dengan menggunakan karya sastra turunan dapat
berupa karya sastra turunan dari karya sastra lama, karya
sastra tradisional, maupun karya sastra dunia. Dalam metode
diakronis ini, peneliti juga dapat menerapkan teori lain,
seperti teori intertekstualitas, teori sastra bandingan, teori
filologi, dan beberapa teori lain yang mendukung penelitian
resepsi diakronis. Hal ini umumnya diterapkan dalam
penelitian karya sastra turunan. Kelebihan lain dari
penelitian resepsi diakronis adalah kemudahan peneliti
dalam mencari data, yaitu tanggapan pembaca ideal
terhadap suatu karya sastra. Sehingga peneliti tidak harus

bersusah payah mencari data dengan teknik wawancara
maupun kuasioner pada responden.

Kelemahan penelitian resepsi diakronis akan dirasakan
oleh para peneliti pemula. Umumnya peneliti pemula akan
mengalami kesulitan dalam menentukan karya sastra yang
dijadikan objek penelitian. Karena umumnya karya sastra
yang dikenal banyak orang telah diteliti resepsinya oleh
peneliti-peneliti terdahulu, misalnya pada penelitian
tanggapan atas Belenggu, Madame Bovary, Sri Sumarah
dan Bawuk.

Selain itu, dalam penelitian terhadap karya sastra
turunan, khususnya hasil intertekstual, peneliti akan
kesulitan dalam menemukan teks asal dari karya sastra
turunan tersebut. Dalam bidang puisi, peneliti yang
menganalisis resepsi atas puisi Gotoloco karya Goenawan
Mohamad akan merasa kesulitan dalam mencari teks
Gatoloco yang asli. Hal ini mungkin juga dirasakan oleh
peneliti teks puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad
dan Subagiyo Sastrowardoyo, bahkan untuk beberapa puisi
modern yang mengadopsi cerita-cerita pewayangan.

C. Pendekatan Ekspresif

Menurut Abrams, pendekatan ekspresif adalah
pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan
kajiannya pada ekspresi perasaan atau temperamen penulis
(Siswanto, 2008: 181). Pada abad ke-18, pada masa
Romantik, perhatian terhadap sastrawan sebagai pencipta

karya sastra menjadi dominan. Junus mengungkapkan
bahwa karya sastra tidak akan hadir bila tidak ada yang
menciptakannya sehingga pencipta karya sastra sangat
penting kedudukannya (1985:2). Dengan begitu, karya
sastra merupakan anak kehidupan kreatif seorang penulis
dan mengungkapkan pribadi pengarang (Selden, 1985:52).
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Teeuw yang
menyatakan bahwa karya sastra tidak bisa dikaji dengan
mengabaikan kajian terhadap latar belakang sejarah dan
sistem sastra (semesta, pembaca, dan penulis). Informasi
tentang penulis memiliki peranan yang sangat penting dalam
kegiatan kajian dan apresiasi sastra. Ini dikarenakan karya
sastra pada hakikatnya adalah tuangan pengalaman (1984:
163-165). Pendapat lain mengatakan bahwa pendekatan
ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan
perhatiannya kepada upaya pengarang atau penyair
mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra (Semi,
1984).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan ekspresif menekankan perhatiannya kepada
penyair atau pengarang dalam mengungkapkan atau
mencurahkan segala pikiran, perasaan, dan pengalaman
pengarang pada saat melakukan proses penciptaan karya
sastra. Hal tersebut dikarenakan pengarang atau sastrawan
merupakan unsur pokok yang melahirkan pikiran-pikiran,
persepsi-persepsi, dan perasaan yang dikombinasikan dalam
karya sastra.

Atmazaki (1990:34-35) mengatakan bahwa
pementingan aspek ekspesif ini disebabkan oleh alasan-
alasan berikut: (1) pengarang adalah orang pandai. Ia adalah
filsuf yang ajarannya dianggap sebagai filsafat yang
menguasai cara berpikir manusia; (2) kata author berarti
pengarang, yang bila ditambah akhiran –ity berarti

berwenang atau berkuasa. Dalam hal ini yang dimaksudkan
sudah tentu penguasaan bahasa, namun menciptakan
kenyataan lewat bahasa yang tidak sama dengan kenyataan
alami. Akan tetapi, walaupun tidak sama kenyataan itu
adalah hakiki, kenyataan yang tinggi nilainya, sehingga
orang dapat bercermin dengan kenyataan tersebut; dan (3)
pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan
terhadap persoalan, punya wawasan kemanusiaan yang
tinggi dan dalam. Pengarang punya pemikiran dan perasaan
yang selalu lebih maju, walau dalam masyarakat hal ini
seringkali dianggap membingungkan lantaran rumitnya.

Dengan demikian, pendekatan ekspresif yaitu
pendekatan yang mengaitkan antara karya sastra dengan
pengarangnya. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
mengapresiasi karya sastra dengan pendekatan ekpresif,
yaitu sebagai berikut. Langkah pertama, harus mengetahui
biografi pengarang karya sastra yang akan dikaji. Langkah
kedua, seorang kritikus harus mengenal biografi pengarang
karya sastra yang akan dikaji. Langkah kedua, menafsirkan
unsur-unsur instrinsik yang terdapat dalam karya sastra.
Langkah ketiga, mengaitkan hasil penafsiran dengan latar
belakang pengarang dan latar belakang psikologis kejiwaan
pengarang.

Pendekatan ekspresif juga memiliki kelemahan dan
kelebihan. Kelemahan pendekatan ekspresif, yaitu: (1)
kecenderungan untuk selalu menyamakan realitas dalam
karya sastra tersebut dengan realitas yang dialami oleh
pengarang atau sastrawan. Padahal dalam kenyataannya
tidak semua karya sastra merupakan cerminan realitas diri
pengarang; dan (2) Pendapat para pembaca cenderung tidak
sesuai dengan apa yang diharapkan pengarang. Sedangkan
kelebihan pendekatan ekspresif, yaitu: (1) Pengarang dapat
bebas mengekspresikan karya sastra dengan apa yang

dialaminya; dan (2) Pembaca dapat merasakan apa yang
pengarang sampaikan dalam karangannya. Dalam
pendekatan ini, penilaian terhadap karya sastra ditekankan
pada keaslian dan kebaruan. Penilaian sebuah karya sastra
sebagian besar bergantung pada kadar kebaruan dan
penyimpangannya terhadap karya sebelumnya. Yang indah
hanya yang baru. Sesuatu yang baru dianggap lebih baik
daripada yang lama.

Selanjutnya, terdapat beberapa kritik bagi pendekatan
ekspresif yang disampaikan oleh kaum formalis,
strukturalis, dan pragmatis. Namun, Juhl mencoba untuk
mempertahankan kedudukan penulis karya sastra sebagai
faktor yang menentukan dalam penafsira karya sastra.
Alasannya yaitu: (1) ada kaitan logik antara pernyataan
mengenai arti sebuah karya dan pernyaataan mengenai niat
penulisnya; (2) penulis adalah orang yang nyata-nyata
terlibat dan bertanggung jawab atas proposisi yang diajukan
dalam karyanya; dan (3) karya sastra mempunyai satu dan
hanya satu arti. Niat bukalah yang dinyatakan secara
eksplisit oleh penulis mengenai rencava atau motif ataupun
susunan karyanya, melainkan apa yang diniatkan oleh kata-
kata yang dipergunakan dalam karyanya. Niat bukanlah
sesuatu yang dipikirkan sebelum penciptaan atau penulisan
karya sastra. Niat justru terwujud dalam proses perumusan
kalimat-kalimat yang dipakai dalam karya sastra (Teeuw,
1984:176-177).

Dalam perkembangan studi sastra di Indonesia, tidak
banyak ahli atau peneliti yang menggunakan pendekatan
dan jenis kajian ekspresif. Kurangnya kajian ekspresif bisa
dilihat dari peelitian dan buku tentang sastrawan yang masih
sedikit. Perkembangan selanjutnya dari pendekatan
ekspresif yaitu terkenal dengan pendekatan sosiologi
pengarang.

D. Pendekatan Mimetik

Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian
sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan
karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi
dari realitas (Abrams dalam Siswanto, 2008: 188). Kajian
semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni. Plato
berpendapat bahwa seni hanya meniru dan membayangkan
hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. Ia berdiri di
bawah kenyataan itu sendiri. Wujud yang ideal tidak bisa
terjelma langsung dalam karya seni. Berdasarkan hal
tersebut, Plato menganggap bahwa karya seni berada di
bawah kenyataan karena hanya berupa tiruan dari tiruan
yang ada dipikiran manusia yang meniru kenyataan.

Hal tersebut, ada kaitannya dengan pandangan
Plato mengenai tataran tentang Ada. Yang nyata secara
mutlak hanya yang Baik. Derajat kenyataan semesta
tergantung pada derajat kedekatannya terhadap Ada yang
abadi. Dunia empirik tidak mewakili kenyataan yang
sungguh-sungguh, hanya dapat mendekatinya lewat
mimetik, peneladanan, pembayangan, atau peniruan. Bagi
Plato tidak ada pertentangan antara realisme dan idealisme
dalam seni. Seni yang terbaik lewat mimetik. Seni yang baik
harus truthful, benar. Seniman harus modest, rendah hati.

Pandangan Plato mengenai mimetik sangat
dipengaruhi oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide
yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya

mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia
terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan
tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ide yang terdapat
pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat diketahui
melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh
dengan panca indra. Menurut Plato, mimetik hanya terikat
pada ide pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi
sungguhan, mimetik hanya mampu menyarankan tataran
yang lebih tinggi. Mimetik yang dilakukan oleh seniman
dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung
terhadap dunia ide.

Selanjutnya, Plato sangat memandang rendah
seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republic
bagian kesepuluh. Bahkan, ia mengusir seniman dan
sastrawan dari negerinya karena menganggap seniman dan
sastrawan tidak berguna bagi Athena. Mereka dianggap
hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan
tersebut muncul karena mimetik yang dilakukan oleh
seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan
tentang kenyataan dan tetap jauh dari ‘kebenaran’. Seluruh
barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya
merupakan copy dari ide. Bagi Plato seorang tukang lebih
mulia dari pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang
membuat kursi, meja, lemari, dan lain sebagainya mampu
menghadirkan ide ke dalam bentuk yang dapat disentuh
panca indra. Sedangkan penyair dan seniman hanya
menjiplak kenyataan yang dapat disentuh panca indra
(seperti yang dihasilkan tukang), seniman atau penyair oleh
Plato hanya dianggap menjiplak dari jiplakan.

Berbeda dengan gurunya, Aristoteles sebagai murid
dari Plato menganggap karya seni adalah berada di atas
kenyataan karena karya seni sebagai katalisator untuk
menyucikan jiwa manusia. Dengan demikian, menurut

Aristoteles, seniman tidak meniru kenyataan, manusia, dan
peristiwa sebagaimana adanya. Seniman menciptakan
dunianya sendiri. Aristoteles adalah seorang pelopor
penentang pandangan Plato tentang mimetik yang berarti
juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni.
Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang
bisa meninggikan akal budi. Karya seni oleh Aristoteles
dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan
yang dapat membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya.

Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan
yang melakukan mimetik tidak semata-mata menjiplak
kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk
menghasilkan kebaruan. Seniman dan sastrawan
menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi
yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica,
Aristoteles mengemukakakan bahwa sastra bukan copy
(sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan
mengenai “universalia” (konsep-konsep umum). Dari
kenyataan yang menampakkan diri kacau balau seorang
seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk
kemudian diciptakan kembali menjadi ‘kodrat manusia yang
abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat
Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan
sastrawan jauh lebih tingi dari tukang kayu dan tukang-
tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).

Peneliti dari aliran Marxis dari sosiologi (psikologi)
sastra beranggapan bahwa karya seni sebagai dokumen
sosial (atau psikologi). Kenyataan bagi manusia dalam
kehidupan sehari-hari adalah kenyataan yang telah
ditafsirkan sebelum dan yang dialaminya secara subjektif
sebagai dunia yang bermakna dan koheren. Hubungan
antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan searah dan
sederhana. Hubungan itu merupakan interaksi yang

kompleks dan tak langsung: ditentukan oleh kovensi bahasa,
konvensi sosio-budaya, dan konvensi sastra (Teeuw dalam
Siswanto, 2008: 189).

Menurt Marx dan Engels dalam The German
Ideology, bukan kesadaran yang menentukan kehidupan,
melainkan kehidupanlah yang menentukan kesadaran.
Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keberadaan
mereka, melainkan keberadaan sosial yang menentukan
kesadaran mereka. Hubungan sosial antarmanusia diikat
dengan cara mereka memproduksi kehidupan materialnya.
Hubungan antarkelas kapitalis dan kelas proletar
membentuk basis ekonomi atau infrastruktur. Dari
infrastruktur ini di setiap periode muncul superstruktur,
yaitu bentuk-benuk hukum dan politik tertentu, negara
tertentu, yang berfungsi untuk melegitimasi kekuatan kelas
sosial yang memiliki alat-alat produksi. Superstruktur juga
terdiri atas bentuk-bentuk kesadaran sosial yang riil seperti
politik, agama, etika, estetika, dan seni (Eagleton dalam
Siswanto, 2008: 189).

Seni bagi Marxisme merupakan bagian dari
ideologi masyarakat. Memahami masyarakat berarti
pemahaman terhadap seluruh proses sosial tempat sastra
merupakan bagiannya. Karya sastra merupakan bentuk
persepsi (cara khusus dalam memandang dunia) dan
memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang
menjadi ideologi sosial suatu zaman. Memahami karya
sastra adalah memahami hubungan tak langsung antara
karya sastra dengan dunia ideologis tempat karya itu berada
yang muncul pada unsur-unsur karya sastra (Eagleton dalam
Siswanto, 2008: 189).

Ada beberapa kritik yang ditujukan kepada
pendekatan ini, antara lain kritik yang menyatakan bahwa
pendekatan ini terlalu memperhatikan aspek nonfiksi. Jika

hal itu terjadi, penelitian yang menggunakan pendekatan ini
harus bisa memadukan analisisnya, yaitu analisis terhadap
sastra dan analisis di luar sastra. Dengan demikian,
pendekatan mimetik pun mempunyai kelemahan dan
kelebihan. Kelebihan dari pendekatan mimetik, yaitu dapat
menggali makna dari karya sastra melalui segi sosial,
budaya, dan psikologi. Sedangkan, kelemahan pendekatan
mimetik, yaitu sering dilakukan perbandingan secara
langsung antara realitas faktual (nyata) sehingga hakikat
karya sastra yang fiktif imajiner sering dilupakan.
Perkembangan selanjutnya dari pendekatan mimetik yaitu
pendekatan sosiologi sastra.

Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra
dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah
sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara
pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan
ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model
pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya
sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mutlak
terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu
periode tertentu (Abrams, 1981:178). Sekalipun teori
sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum
Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra
merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup
muda (Damono, 1977:3), berkaitan dengan kemantapan dan
kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat
analisis sastra yang relatif masih labil dibandingkan dengan
teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.

Sejarah pertumbuhan konsep sosiologi sastra
didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh
seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient
being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam
kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra

juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam
jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari
kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki
keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan
masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti
pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam
berbagai dimensinya (Soemanto, 1993).

Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah
dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan
istilah 'mimesis'. Levin (1973:56-60) mengungkapkan
bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada
zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik.
Humanisme Renaissance sudah berupaya menghilangkan
pendekatan prinsipal antara sastra modern dan sastra kuno
dengan menggariskan paham bahwa masing-masing
kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki
pembayangan historis dalam zamannya. Dasar
pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam
zaman nasionalisme romantik, yang secara khusus meneliti
dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai
negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua
pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman
berikutnya, yakni positivisme ilmiah. Pada zaman
positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting
di antaranya yaitu Plato dan Aristoteles, Johann Gottfried
von Herder, Madame de Stael, dan Hippolyte Taine.

Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah
dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan
istilah mimesis, yang menyinggung hubungan antara sastra
dan masyarakat sebagai cermin. Pengertian mimesis
pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni
seperti dikemukakan Plato dan Aristoteles, dan dari abad ke

abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan
sastra di Eropa (Rokhmansyah, 2014:151).

Setelah Plato, muncul Johann Gottfried von Herder,
yang menolak pandangan Kant tentang rasa keindahan
hanya dapat ditimbulkan oleh suatu penilaian murni yang
tanpa pamrih. Herder beranggapan bahwa setiap karya sastra
berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu.
Herder menggunakan sejarah sebagai acuan untuk
menganalisis sastra dan menggunakan sastra sebagai alat
untuk memahami sejarah.

Selain itu, ada Madame de Stael membicarakan
hubungan antara sastra dengan lembaga-lembaga sosial
dalam buku De La Literature Consideree dans ses Rapots
aves les Instutions Sociales. Diungkapkan bahwa sastra
mendapat pengaruh dari agama, adat istiadat dan hukum,
dalam pengertian bahwa sastra adalah segala tulisan yang
melibatkan penggunaan pikiran kecuali ilmu fisika. Stael
memisahkan antara sastra Utara dan sastra Selatan untuk
wilayah Eropa. Sastra Utara bersifat murung atau
bersuasana sedih karena masyarakat yang mendiami Eropa
Utara suka murung dan merenung. Sastra Selatan berusaha
lebih cerah karena Eropa Selatan merupakan daerah sejuk,
penuh hutan lebat dan air sungai yang jernih. Iklim bukan
satu-satunya faktor yang memengaruhi sastra. Sifat-sifat
bangsa juga sangat memengaruhi perkembangan sastra
disuatu daerah karena sifaat-sifat bangsa dipengaruhi oleh
berbagai lembaga sosial seperti agama, hukum, dan politik.

Hippolyte Taine adalah seorang sejarawan kritikus
naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak
dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan
sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah
dengan menggunakan metode-metode seperti yang
digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya

History of English Literature (1863) dia menyebutkan
bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga
faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu).
Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan
momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu
kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta
karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang
menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya
diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang
diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen)
ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu.
Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial.

Konsep Taine mengenai milieu inilah yang
kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik
sastra dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine, terutama
yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan
Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel,
dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang
berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang
berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini
membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan
Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama
datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine
secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada
masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor
yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi
sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi
kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan
historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang
percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang
dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari
lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan
Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu,

khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik,
namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran
intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin
sosiologi sastra.

Teori-teori sosiologi sastra pada umumnya diadopsi
melalui teori-teori Barat yang kemudian disesuaikan dengan
kondisi-kondisi sastra Indonesia. Secara kronologis dapat
digolongkan menjadi beberapa kelompok, yaitu: a) teori-
teori positivistik (hubungan searah, keberadaan karya sastra
ditentukan oleh struktur sosial), b) teori-teori refleksi
(hubungan dwiarah, tetapi sastra masih bersifat pasif), c)
teori-teori dialektik (hubungan dwiarah, signifikasi kedua
gejala hadir secara simultan). Teori-teori yang dimaksudkan,
di antaranya sebagai berikut. 1) Teori mimesis (karya seni
sebagai tiruan masyarakat) oleh Plato dan Aristoteles. 2)
Teori sosiogeografis (pengaruh alam sekitar terhadap karya)
oleh Johan Gottfried von Herder dan Madame de Stael. 3)
Teori genetis (pengaruh ras, saat, dan lingkungan terhadap
asal-usul karya) oleh Hippolyte Taine. 4) Teori struktur
kelas (karya seni sebagai cermin kelas sosial tertentu), baik
oleh Marxis ortodoks maupun kelompok para-Marxis,
sebagai Marxis strukturalis. 5) Teori-teori interdependensi
(karya dalam hubungan saling menentukan dengan
masyarakat, sebagai mekanisme antarhubungan yang hakiki,
dengan intensitas yang berbeda-beda), seperti Louis de
Bonald, Alan Swingewood, Alexander Kern, Arnold
Hauser, A.P. Foulkes, Hugh Dalziel Duncan, A. Teeuw, dan
sebagainya.

Pendekatan sosiologi sastra tersebut yang paling
terkemuka dalam ilmu sastra adalah marxisme. Negara yang
mempunyai pandangan komunis, umumnya mengharuskan
pengarang di negara itu untuk menuruti garis pantai. Hal ini
mengakibatkan di negara itu tidak lahir karya-karya besar.

Sastra dan pengarang mempunyai peranan penting dalam
negara komunis untuk menjalankan strateginya. Tokoh
marxisme yaitu Karl Marx dan Frederick Engels, Georgei
Plekhanov, Georg Lukacs, David Craigh, dan Lenin dan
Goldman.

E. Pendekatan Dekonstruksi

Dekonstruksi berasal dari kata de + construktio
(latin). Pada umumnya de berarti ke bawah, pengurangan,
atau terlepas dari. Sedangkan kata Construktio berarti
bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi
dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan
intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang
sudah baku. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan
bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat
destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara
membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-
mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan
kultural sebab keseluruhan pernyataan tersebut adalah teks
yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai,
prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu.
Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya
melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun
tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara
efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-
fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka
kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh
stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah

dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu
sendiri.

Memahami dekonstruksi bukan sesuatu yang
mudah. Ini terkait pengertian yang sering keliru. Banyak
orang mengartikan dekonstruksi sebagai pembongkaran
sesuatu yang sudah mapan. Ini memang tidak dapat
dikatakan salah sepenuhnya. Tetapi, ini juga tidak dapat
dikatakan benar. Strategi dekonstruksi dalam membongkar
suatu teks bukan hanya menciptakan makna baru.

Bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi
filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus
membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan
menguatkan fondamen hierarki. Dengan demikian,
dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-
lapisan makna yang terdapat di dalam teks yang selama ini
sudah mapan.

Prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori
dekonstruksi yakni (1) Melacak unsur-unsur aporia (makna
paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi); dan (2)
Membalikan atau mengubah makna-makna yang sudah
dikonvensionalkan. Tujuan dekonstruksi Menurut Sarup
(2003:51) yaitu untuk membongkar tradisi metafisika Barat
seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean,
strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis
Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi,
disatu pihak mengungkap problematika wacana-wacana
yang dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika
dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.
Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan
ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung
banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks.

Tokoh terpenting di dalam teori ini adalah Jacques
Derrida, seorang Yahudi Alzair yang menjadi kritikus sastra
dan seorang filsuf di Perancis. Ia dilahirkan di El-Biar, salah
satu wilayah Aljazair pada 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia
pindah ke Prancis, tempat ia tinggal sampai akhir hayatnya.
Pada tahun 1952, ia belajar di Ecole normale supérieure,
Prancis, dan pernah juga mangajar di sana sesaat sebelum
kematiannya. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris
causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena
penyakit kanker pada 2004.

Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang
agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau dipaksa mundur
dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak,
semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar
dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi
warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka,
jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang
kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya
berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan
pentingnya kaum marginal dan yang lain dalam
pemikirannya kemudian.

Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole
Normale Superieure, di mana Sartre, Simone de Beauvoir,
dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis
memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu
pada usia 19. Sejak tahun 1974 (Bertens, 2001: 327) Derrida
ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan dosen filsafat yang
memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada
taraf sekolah menengah.

Derrida menerbitkan tiga bukunya yang sangat
berpengaruh pada tahun 1967 yaitu Of Grammatology,
Speech and Phenomena, dan Writing and Difference. Ketiga
buku tersebut dipakai untuk membaca berbagai macam teks,

baik sastra maupun nonsastra. Karya awal Derrida di bidang
filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi.
Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kaca mata
Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran
awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure,
Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada
para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya
terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai
'dekonstruksi'.

Dekonstruksi Derrida selalu diawali dengan hal-hal
yang tidak terpikirkan atau tidak boleh dipikirkan. Jadi,
paham ini menolak pandangan bahwa bahasa memiliki
makna yang pasti, sebagaiamana yang disodorkan oleh
strukturalisme. Tidak ada ungkapan atau bentuk-bentuk
kebahasaan yang dipergunakan untuk membahasakan objek
dan yang bermakna tertentu dan pasti. Oleh karena itulah
dekonstruksi termasuk dalam airan posstrukturalisme. Jika
strukturalisme dipandang sebagai sesuatu yang sistematik,
bahkan dianggap sebagai the science of sign maka
posstrukturalisme menolak hal tersebut. Sedangkan tujuan
dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dia menelanjangi agenda
tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
kepincangan dibalik teks-teks (Noris dalam Rokhmansyah,
2014: 124).

Pendekatan dekonstruksi ini bisa diterapkan dalam
menganaisis karya sasstra maupun filsfat. Dalam pembacaan
karya sastra, dekonstruksi bukan dimaksudkan untuk
menegaskan makna sebagaimana yang biasa dilakukan.
Derrida selalu ingin memulai filsafat dekonstruksinya dari
hal-hal yang tidak terpikirkan atau hal-hal yang tidak boleh
dipikirkan. Maksudnya, bahwa unsur-unsur yang
dilacaknya, untuk kemudian dibongkar, bukanlah hal yang

remeh temeh, melainkan unsur yang secara filosofis menjadi
penentu atau unsur yang menjadikan teks tersebut menjadi
filosofis (Noris dalam Rokhmansyah, 2014:125). Langkah-
langkah pendekatan dekonstruksi, seperti yang disintesiskan
oleh Rodolph Gasche melalui Noris (dalam Rokhmansyah,
2014:125) adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi hierarki oposisi dalam teks di mana

biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan
secara sistematis dan mana yang tidak.
2. Membongkar oposisi biner, yaitu dengan cara membalik
oposisi biner-marginal jadi dominan, decentering, sous
rature, dan pengubahan perspektif.
3. Memperkenalkan sebuah gagasan baru yang ternyata
tidak bisa dimasukan ke dalam kategori oposisi lama,

Langkah-langkah tersebut jelas menunjukkan
bahwa pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan
biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna yang ada
dalam teks, sedang dekonstruksi berupaya untuk
membuktikan bahwa makna itu tidak tunggal.

F. Pendekatan Intertekstualitas

Intertekstual adalah teks yang diempatkan di
tengah-tengah teks lain. Teks lain sering mendasari teks
yang bersangkutan. Dalam alam pikiran intertekstualitas
yang diilhami oleh ide-ide M. Bakhtin, sebuah teks
dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada
kerangka teks-teks lain. Dalam kerangka keseluruhan itu


Click to View FlipBook Version