The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

E-Book ini berisi mengenai bahan ajar Mata Kuliah Teori Sastra

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by imas.juidah, 2022-11-09 10:59:50

BUKU TEORI SASTRA

E-Book ini berisi mengenai bahan ajar Mata Kuliah Teori Sastra

Keywords: buku,teori sastra

teks yang bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan
kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan, dan
sebagainya. Selanjutnya, dalam semiotik, istilah
intertekstual dipergunakan menurut arti yang lebih luas.
Segala sesuatu yang melingkungi kita (kebudayaan, politik,
dan sebagainya) dapat dianggap sebagai sebuah ‘teks’. Teks
yang berbahasa ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain
tersebut. Proses terjadinya sebuah teks diumpamakan
dengan proses tenunan. Setiap arti ditenunkan ke dalam
suatu pola arti lain (Hartoko & B. Rahmanto, 1986: 67).

Pendekatan intertekstual diperkenalkan atau
dikembangkan lebih jauh oleh Julia Kristeva. Kristeva
menyatakan (dalam Junus, 1985:87-89) bahwa
intertekstualitas adalah hakikat suatu teks yang di dalamnya
ada teks lain. Dengan kata lain, intertekstualitas adalah
kehadiran suatu teks pada teks lain. Intertekstual pertama
diilhami oleh gagasan pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang
filsuf Rusia yang mempuyai minat besar pada sastra.
Menurut Bakhtin, pendekatan intertekstual menekankan
pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai
tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks
sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau
kutipan. Menurut Kristeva, tiap teks merupakan sebuah
mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan
dan transformasi dari teks-teks lain. Kristeva berpendapat
bahwa setiap terjalin dari kutipan, peresapan, dan
transformasi teks-teks lain. Sewaktu pengarang menulis,
pengarang akan mengambil komponen-komponen teks yang
lain sebagai bahan dasar untuk penciptaan karyanya. Semua
itu disusun dan diberi warna dengan penyesuaian dan jika
perlu mungkin ditambah supaya menjadi sebuah karya yang
utuh.


Untuk lebih menegaskan pendapat tersebut,
Kristeva mengajukan dua alasan. Pertama, pengarang adalah
seorang pembaca teks sebelum menulis teks. Proses
penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa
dihindarkan dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan
pengaruh. Kedua, sebuah teks tersedia hanya melalui proses
pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan atau
penentangan terletak pada pengarang melalui proses
pembacaan (Worton dalam Rokhmansyah, 2014:120).

Intertekstual menurut Kristeva mempunyai prinsip
dan kaidah tersendiri dalam penelitian karya sastra, antara
lain: (1) pada hakikatnya sebuah teks itu mengandung
berbagai teks; (2) studi intertekstualitas berarti menganalisis
unsur intrinsik dan ekstrinsik teks; (3) studi interteks
mengkaji keseimbangan antara unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di
masyarakat; (4) dalam kaitan proses kreatif pengarang,
kehadiran sebuah teks merupakan hasil yang diperoleh dari
teks-teks lain; (5) dalam kaitan studi interteks, pengertian
teks (sastra) jangan ditafsir hanya atas bahan sastra, tetapi
harus mencakup seluruh unsur teks, termasuk juga unsur
bahasa (Endraswara, 2011: 201).

Menurut Kristeva, setiap teks, termasuk teks sastra,
merupakan mozaik kutipan-kutipan dan merupakan
tanggapan atau penyerapan (transformasi teks-teks lain).
Oleh karena itu, suatu teks baru bermakna penuh dalam
hubungannya dengan teks-teks lain. Menurut Riffatere, teks
tertentu yang menjadi latar penciptaan teks baru itu disebut
hipogram. Selain itu, teks yang menyerap (mentransformasi)
hipogram itu disebut teks transformasi. Hubungan antara
teks yang terdahulu dengan teks yang kemudian itu disebut
hubungan intertekstual. Intertekstual adalah feomena resepsi


pengarang terhadap teks-teks yang pernah dibacanya dan
dilibatkan dalam ciptaannya.

Intertekstualitas memiliki fokus ganda. Pada satu
pihak, interteks menarik perhatian kita pada kepentingan
teks-teks terdahulu, termasuk penolakan terhadap otonomi
teks, dan bahwa sebuah karya hanya memiliki makna jika
hal-hal tertentu telah lebih dahulu ditulis. Di pihak lain,
intertekstualitas membimbing kita untuk mengetahui teks-
teks pertama untuk menolong mengartikan sebuah kode
dengan kemungkinan variasi arti yang berbeda-beda.
Dengan demikian, intertekstualitas menjadi sebuah nama
untuk menyebut karya interelasi terhadap teks terdahulu,
daripada menunjukkan keterlibatannya dalam wilayah
diskursif kebudayaan: kaitan antara teks dengan variasi-
variasi bahasa atau makna-makna praktis budaya dan
kaitannya dengan teks tertentu yang dipandang
memungkinkan kode-kode kebudayaan. Studi
intertekstualitas bukanlah investigasi asal dan pengaruh
sebagaimana dalam tradisional. Jaringannya lebih luas
dengan memasukkan praktik diskursif yang anonim. Kode
yang orisinal telah hilang, sehingga membuat kemungkinan
pemaknaan praktis terhadap teks terakhir (Culler,
1981:103).

Dalam konsep intertekstual, teks yang menjadi
dasar penciptaan teks, yang ditulis kemudian, dipandang
sebagai bentuk hipogram. Karya yang diciptakan
berdasarkan hipogram itu disebut sebagai karya transformasi
karena mentransformasikan hipogram itu. Unsur-unsur yang
diserap sebuah teks dari teks-teks hipogram yang mungkin
berupa kata, sintagma, model bentuk, gagasan, atau pelbagai
unsur-unsur intrinsik yang lain, bahkan dapat pula berupa
sifat kontradiksinya, akan menghasilkan sebuah karya yang
baru sehingga hipogramnya mungkin tidak dikenali lagi atau


bahkan dilupakan (Riffatere dalam Rokhmansyah,
2014:121). Hal ini memungkinkan lahirnya dua buah karya
yang mempunyai tema sama, tetapi berbeda cara penyajian
ceritanya. Demikian sebaliknya, terdapat cara penyajian
ceritanya yang sama, tetapi berbeda dari segi temanya
(Culler dalam Rokhmansyah, 2014:121).

Hipogram dibedakan menjadi dua macam, yakni
hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram
potensial tidak eksplisit dalam teks, tetapi dapat
diabstraksikan dari teks. Hipogram potensial merupakan
potensi sistem tanda pada sebuah teks sehingga makna teks
dapat dipahami pada karya itu sendiri, tanpa pengacu pada
teks yang sudah ada sebelumnya. Hipogram potensial itu
adalah matriks yang merupakan inti dari teks atau kata
kunci, yang dapat berupa kata, frase, klausa, atau kalimat
sederhana. Sedangkan, hipogram aktual adalah teks nyata,
yang dapat berupa kata, frase, kalimat, peribahasa, atau
sebuah teks, yang menjadi latar penciptaan teks baru
sehingga signifikasi teks harus ditemukan dengan mengacu
pada teks lain atau teks yang sudah ada sebelumnya. Teks
dalam pengertian umum bukan hanya teks tertulis atau teks
lisan, tetapi juga adat istiadat, kebudayaan, agama dan
bahkan alam semesta (dunia) ini adalah teks. Oleh sebab itu,
hipogram yang menjadi latar penciptaan teks baru itu, bukan
hanya teks tertulis atau teks lisan, tetapi juga dapat berupa
adat istiadat, kebudayaan, agama, bahkan dunia ini.
Hipogram tersebut direspon atau ditanggapi oleh teks baru.
Tanggapan tersebut dapat berupa penerusan atau
penentangan tradisi atau konvensi. Adanya tanggapan itu
menunjukkan bahwa keberadaan suatu teks sastra adalah
dalam rangka fungsi yang ditujukan kepada pembaca.

Untuk mengungkapkan adanya hubungan interteks
dalam penelitian biasanya didasarkan pada resepsi aktif


pengarang dan resepsi pembaca sebagai pengkaji.
Maksudnya, pembaca dalam hubungan ini adalah pembaca
sebagai pengkaji. Pengkaji pada dasarnya juga pembaca
yang dengan bekal ilmu pengetahuan dan pengalamannya
berada dalam rangkaian pembacaan yang terakhir. Dengan
demikian, latar belakang pengetahuan dan pengalaman
pembaca akan memengaruhi makna yang diungkapkannya
(Rokhmansyah, 2014: 122).

Pendekatan intertekstual dapat dilakukan dengan
langkah-langkah: (1) penyalinan, penyaduran,
penerjemahan; (2) pembacaan berulang-ulang; (3)
membandingkan dan menilai teks-teks yang berbeda dengan
teks yang lain; (4) memberi makna terhadap teks-teks yang
berbeda (Ezmir dan Saifur Rohman, 2016:206).

G. Pendekatan Feminisme

Feminisme berasal dari kata Latin, yaitu femina
yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Teori sastra
feminis, yaitu teori yang berhubungan dengan gerakan
perempuan, adalah salah satu aliran yang banyak
memberikan sumbangan dalam perkembangan studi
kultural. Sastra feminis berakar dari pemahaman mengenai
inferioritas perempuan. Feminisme diawali oleh persepsi
tentang ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-
laki di masyarakat. Akibat persepsi ini, timbul pelbagai
upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut guna
mengeleminasi dan menemukan formula penyetaraan hak


perempuan dan laki-laki dalam segala bidang sesuai dengan
potensi sebagai manusia (human being). Konsep feminisme
adalah membalikkan paradigma bahwa perempuan berada di
bawah dominasi laki-laki, perempuan adalah pelengkap, dan
perempuan sebagai mahluk kedua. Sejalan dengan konsep
tersebut, studi feminisme dalam sastra adalah studi literer
perempuan, pengarang perempuan, tokoh perempuan, dan
sebagainya.

Berdasarkan hal tersebut, konsep kunci feminis
adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki.
Feminisme selain merupakan gerakan kebudayaan, politik,
sosial, dan ekonomi, juga merupakan salah satu teori sastra,
yaitu sastra feminis. Teori sastra feminis melihat bagaimana
nilai-nilai budaya yang dianut suatu masyarakat, suatu
kebudayaan, yang menempatkan perempuan pada
kedudukan tertentu serta melihat bagaimana nilai-nilai
tersebut memengaruhi hubungan antara perempuan dan laki-
laki dalam tingkatan psikologis dan budaya. Dalam
hubungannya dengan studi kultural, studi ini merupakan
gerakan keilmuan dan praksis kebudayaan yang mencoba
cerdas dan kritis dalam menangkap teori kebudayaan. Studi
ini bertujuan menimbulkan kesadaran yang akan
membebaskan manusia dari masyarakat irasional. Arti
sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang
sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis
kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra,
dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat
perbedaan di antara semuanya yang juga membuat
perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan
pada faktor luar yang memengaruhi situasi karang-
mengarang (Sugihastuti, 2005: 5).

Secara lebih luas feminisme dapat digambarkan
sebagai sebuah kesadaran tentang adanya ketidakadilan


yang sistematis bagi perempuan di seluruh dunia.
Selanjutnya, menurut Goefe (dalam Rokhmansyah, 2014:
127) feminisme adalah teori tentang persamaan hak antara
laki-laki dan perempuan di segala bidang. Suatu kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta
kepentingan perempuan. Hal ini disebabkan karena
perempuan selalu mengalami ketimpangan gender selama
ini. Feminisme berupaya menggali identitas perempuan
yang selama ini tertutupi hegemoni patriarkat. Identitas
diperlukan sebagai dasar pergerakan memperjuangkan
kesamaan hak dan membongkar akar dari segala
ketertindasan perempuan. Tujuan feminis adalah mengakhiri
dominasi laki-laki dengan cara menghancurkan struktur
budaya, segala hukum dan aturan-aturan yang menempatkan
perempuan sebagai korban yang tidak tampak dan tidak
berharga. Hal ini diterima perempuan sebagai marginalisasi,
subordinasi, stereotipe, dan kekerasan.

Feminisme menurut Fakih (dalam Rokhmansyah,
2014:128) berangkat dari asumsi bahwa perempuan pada
dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Feminisme merupakan
perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem yang
dahulu tidak adil menuju ke sistem yang lebih adil bagi
kedua jenis kelamin. Hakikat feminisme adalah gerakan
transformasi sosial. Puncak cita-cita feminis adalah
menciptakan sebuah tatanan baru yang lebih baik dan lebih
adil untuk laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hal
tersebut, inti tujuan feminisme adalah meningkatkan
kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar de-
ngan kedudukan serta derajat laki-laki. Perjuangan serta
usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup
berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak
dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki
(Djajanegara, 2000:4).


Dipandang dari sudut sosial, feminisme mucul dari
rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarki yang ada pada
masyarakat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Millet
dalam buku Sexual Politics yang menggunakan istilah
patriarki (pemerintahan Ayah). Istilah ini mempunyai arti
sangat mementingkan garis keturunan laki-laki. Budaya
patriarki juga menggunakan kekuatan secara langsung
ataupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah
tangga untuk membatasi perempuan. Konsep yang dianggap
tidak adil inilah yang digunakan sebagai dasar oleh Millet
untuk mengungkap sebab penindasan terhadap perempuan
(Rokhmansyah, 2014:128).

Terdapat dua hal penting yang harus dipahami
dalam membahas masalah perempuan, yaitu antara seks dan
gender. Pengertian seks atau jenis kelamin mengacu pada
adanya perbedaan antara dua jenis kelamin manusia yaitu
laki-laki dan perempuan yang secara biologis terdapat pada
setiap orang. Jenis kelamin ini tidak akan berubah dan
merupakan ketentuan dari Tuhan. Pengertian gender
mengacu pada sifat yang terdapat pada kaum laki-laki atau
perempuan yang terbentuk melalui proses sosial maupun
kultural dalam mayarakat.

Berkaitan dengan fenoema feminisme dalam
dunia sastra, Faruk menyatakan bahwa bahasa adalah proses
yang terus menerus melakukan “tindakan gender” dalam
berbagai situasi interaksi antara perempuan dengan laki-laki
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika laki-laki dan
perempuan berpikir melakukan komunikasi kebahasaan,
mereka dihadapkan pada bahasa sebagai sebuah kondisi
objektif yang bersifat eksternal yang memberikan batas,
kerangka dan bahkan arah terhadap apa yang dapat
dipikirkan dan dikemukakannya (Rokhmansyah, 2014:128).


Jika bahasa menjadi alat reproduksi gender maka
sastra diharapkan berperan sebaliknya, yakni sebagai
realitas tandingan yang dapat menihilkan bahasa sebagai
alat legitimasi realitas keseharian yang dominan tersebut.
sastra modern, misalnya, sejak semula menempatkan diri
sebagai sebuah aktivitas dengan harapan aktivitas tersebut
mampu menerobos segala kemungkinan yang ditutup oleh
bahasa. Perempuan di dalam karya sastra ditampilkan dalam
kerangka hubungan ekuivalen dengan seperangkat tata nilai
marginal dan yang tersubordinasi lainnya, yaitu
sentimentalis, perasaan, spiritualitas. Oleh tata nilai
marginal tersebut, perempuan hampir selalu terbentur pada
batas untuk ditampilkan sebagai tokoh yang harus dibela
atau korban yang selalu diimbau untuk mendapatkan
perhatian.

Perjuangan serta usaha gerakan feminisme untuk
mencapai tujuan, persmaan hak dan kepentingan mereka
mencakup berbagai cara, di antaranya ialah memperoleh
hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-
laki. Berkaitan dengan itu, muncullah istilah equal right’s
movement atau gerakan persamaan hak. Cara lain adalah
dengan membebaskan perempuan dari ikatan lingkungan
domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga. Cara
tersebut sering dinamakan women’s liberation movement,
disingkat Women’s lib atau women’s emancipation
movement, yaitu gerakan pembebasan kaum perempuan
(Djajanegara dalam Rokhmansyah, 2014: 133).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
munculnya ide-ide feminis itu bermula dari kenyataan
bahwa keadaan belum sejajarnya hak antara laki-laki dan
perempuan di dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Kesadaran akan tidak adanya kesejajaran hak yang terjadi
dalam masyarakat inilah yang kemudian melahirkan kritik


feminis. Perwujudan dari kritik feminis dilakukan melalui
berbagai hal, baik melalui sikap, melalui penulisan artikel,
puisi, novel, maupun berbagai media lain yang
memungkinkan untuk dapat menyampaikan gagasan atau
ide sebagai bentuk kritik feminis terhadap keadaan dan
pandangan sosial yang terdapat dalam masyarakat.

Dalam fase awal feminis modern, tulisan tentang
kesusastraan lebih sering mempunyai tekanan politis, dalam
arti bahwa penulisan tetang feminisme menyatakan perasaan
marah atas ketidakadilan. Gerakan inilah yang digunakan
untuk meningkatkan kesadaran “politis” perempuan atas
tekanan laki-laki. Menarik untuk dicatat mengenai
persamaan-persamaan antara tipe feminisme dan bentuk-
bentuk radikalisme politik yang lain. Perempuan sebagai
kelompok yang ditekan mungkin dan telah dibandingkan
dengan orang hitam dan kelas pekerja sebagaimana
ditunjukkan oleh seorang feminis Perancis, Simone de
Beauvoir. Meskipun disejajarkan seperti orang hitam,
perempuan bukanlah minoritas. Tidak seperti kaum proletar
yang diciptakan oleh politik kelas pekerja dan disahkan oleh
sejarah, perempuan bukanlah hasil sejarah.

Lalu apakah yang menyebabkan feminisme
bergerak melalui kesusastraan? Salah satunya adalah
persepsi bahwa secara umum, kesusastran dianggap
berfungsi sebagai alat legitimasi budaya patriarki. Pertama,
nilai dan konvensi sastra sendiri telah dibentuk oleh laki-laki
dan perempuan sering berjuang unutk mengungkapan
urusannya sendiri dalam bentuk yang mungkin tidak sesuai.
Dalam narasi misalnya, konvensi yang membentuk
petualangan dan perburuan romantik memperlihatkan
dorongan dan tujuan seorang “lelaki”, yakni untuk
menaklukkan dan mengusai perempuan. Kedua, penulis
laki-laki menunjukkan tulisan kepada para pembacanya


seolah-olah mereka semuanya adalah laki-laki. Pembaca
perempuan pun dipaksa secara tidak sadar membaca sebagai
laki-laki.

Barret memberikan analisis feminis yang bersifat
marxis tentang penggambaran jenis kelamin sebagai berikut.
1. Barret sependapat dengan seorang matrealis yang

bernama Virginia Wolf yang menyatakan bahwa secara
material, ada kondisi yang membedakan laki-laki dan
perempuan dalam menghasilkan kesusastraan. Kondisi
ini sekaligus memengaruhi bentuk dan isi tulisan
mereka.
2. Ideologi jenis kelamin memengaruhi cara baca hasil
penulisan laki-laki dan perempuan.
3. Barret juga memberikan masukan bahwa kritikus
feminis harus memperhitungkan kodrat fiksional teks-
teks sastra dan tidak begitu saja mengutuk semua penulis
pria yang memamerkan seksisme dalam buku mereka
dan bersetuju dengan para penulis wanita untuk
mengangkat persoalan jenis kelamin. Pendapat tersebut
berpedoman pada teori yang mengungkapkan bahwa
sebuah teks tidak mempunyai arti tetap dan mengandung
penafsiran yang bergantung pada keadaan dan ideologi
pembaca (Rokhmansyah, 2014: 135).

Penggunaan berbagai teori feminis tersebut
diharapkan mampu memberikan pandangan-pandangan baru
terutama yang bekaitan dengan bagaimana karakter-karakter
perempuan diwakili dalam karya sastra. Hal inilah yang
mendorong para feminis menggunakan kritik sastra feminis
untuk menunjukkan citra perempuan. Kritik sastra feminis
juga berfungsi untuk membendung karya-karya penulis pria
yang menampilkan perempuan sebagai mahluk yang dengan
berbagai cara dapat ditekan, dipersalahtafsirkan, serta
disepelekan oleh tradisi patriarki yang dominan. Selain itu,


ternyata ada pula kajian tentang perempuan dalam tulisan
penulis laki-laki yang dapat menunjukkan tokoh-tokoh
perempuan yang kuat dan mungkin sekali mendukung nilai-
nilai feminis.

Sugihastuti (2002: 140) mengungkapkan bahwa
kritik sastra feminis adalah sebuah kritik sastra yang
memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya
jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya,
sastra, dan kehidupan manusia. Dengan mengacu pada
pendapat Sugihastuti di atas, Kolodny dalam Djajanegara
(2000: 20-30) menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra
feminis yaitu sebagai berikut.
1. Dengan kritik sastra feminis seseorang mampu

menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh
karya sastra yang dihasilkan di abad silam.
2. Membantu untuk memahami, menafsirkan, serta
menilai cerita-cerita rekaan penulis perempuan.

Berkaitan dengan cara penilaian, Djajanegara
(2000: 28-36) membagi ragam kritik sastra feminis menjadi
enam bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Kritik sastra feminis ideologis adalah kritik sastra yang

memusatkan perhatian pada citra serta stereotip
perempuan dalam karya sastra, meneliti
kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab
perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris
diabaikan dalam kritik sastra.
2. Kritik satsra feminis ginokritik yaitu mengkaji tulisan-
tulisan wanita (Penulis wanita). Ginokritik mencoba
mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar,
seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan
kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan
wanita dan laki-laki.


3. Kritik sastra feminis sosialis (marxis) yaitu meneliti
tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu
kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba
mengungkapkan bahwa wanita merupakan kelas
masyarakat yang tertindas.

4. Kritik sastra feminis psikoanalitik diterapkan pada
tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya
bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan
dirinya atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita,
sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya
merupakan cerminan atas penciptanya.

5. Kritik sastra lesbian yaitu meneliti penulis dan tokoh
perempuan saja. Kajian ini masih terbatas karena
beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya
tidak menyukai kelompok perempuan homoseksual dan
memandang mereka sebagai feminis radikal. Kedua,
waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan
pada tahun 1979-an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada
yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian
sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang
definisi lesbianisme. Keempat, disebabkan sikap
antipati para feminis dan masyarakat, penulis lesbian
terpaksa dalam bahasa yang terselubung serta
menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor
sendiri.

6. Kritik sastra etnik yaitu mempermasalahkan
diskriminasi seksual dan diskriminasi rasial dari kaum
kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun
perempuan.

Sasaran penting dalam analisis feminisme sastra
sedapat mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai
berikut.


1. Mengungkap karya-karya penulis wanita masa lalu dan
masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan
oleh tradisi. Dominasi budaya patriarkal harus terungkap
secara jelas dalam analisis.

2. Mengungkap berbagai tekanan pada tokoh wanita
dalam karya yang ditulis oleh pengarang pria.

3. Mengungkap ideologi pengarang wanita dan pria,
bagaimana mereka memandang diri sendiri dalam
kehidupan nyata.

4. Mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami
bagaimana proses kreatif kaum feminis. Apakah penulis
wanita memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau
tidak.

5. Mengungkap aspek psikoanalisa feminis, yaitu mengapa
wanita, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada
hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan
sebagainya (Endraswara, 2011: 146-147).

Selanjutnya, Djajanegara memberikan gambaran
penelitian sastra dengan pendekatan feminis sebagai
berikut.
1. Peneliti mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh

perempuan di dalam sebuah karya yang dilanjutkan
dengan mencari kedudukan tokoh-tokoh tersebut di
dalam keluarga dan masyarakat. Misalnya, jika
kedudukannya sebagai seorang istri atau ibu, maka dia
akan bersifat inferior dan berposisi lebih rendah dari
pada kedudukan laki-laki di dalam suatu masyarakat
tradisional. Hal ini disebabkan karena tradisi
menghendaki dia berperan sebagai orang yang hanya
mengurus rumah tangga dan tidak layak mencari nafkah
sendiri. Di dalam rumah tangga yang konserpatif suami
adalah pencari nafkah tunggal. Sebagai orang yang


memiliki dan menguasai uang, suamilah yang
memegang kekuasaan dan hidup seorang istri menjadi
tergantung pada suaminya.
2. Peneliti mencari tahu tujuan hidup tokoh perempuan dari
gambaran langsung yang diberikan penulis. Misalnya,
penulis melukiskan tokoh perempuan sebagai pribadi
yang haus akan pendidikan atau pengetahuan dan rajin
berkarya di luar lingkungan rumah sehingga bisa diakui
masyarakat sebagai sosok yang memiliki jati diri sendiri
tanpa dikaitkan dengan kedudukan suami. Peneliti juga
harus memperhatikan pendirian atau ucapan tokoh
tersebut. apa yang dipikirkan, dilakukan, dan
dikatakannya akan banyak memberikan keterangan
tentang tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan
dengan tokoh perempuan yang sedang diamati.
3. Peneliti mengamati sikap penulis yang mungkin menulis
dengan kata-kata menyindir atau ironis, nada komik atau
memperolok-olok, mengkritik atau mendukung,
optimistik atau pesimistik. Nada dan suasana cerita pada
umumnya mampu mengungkapkan maksud penulis
dalam menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau
didukung para feminis. Untuk mengetahui pandangan
serta sikap penulis, sebaiknya peneliti juga
memperhatikan latar belakangnya karena tempat dan
waktu penulisan sebuah karya sastra banyak
memengaruhi pendirian dan sikap seorang penulis.


H. Rangkuman

Pendekatan objektif adalah pendekatan kajian
sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra.
Pembicaraan kesusastraan tidak akan ada bila tidak ada
karya sastra. Karya sastra menjadi sesuatu yang inti (Junus
dalam Siswanto, 2008: 183).

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan kajian
sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan
pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati
karya sastra. Pembaca memiliki peranan yang sangat
penting dalam menentukan sebuah karya merupakan karya
sastra atau bukan. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak,
akhirnya karya sastra akan sampai juga kepada pembaca,
ditujukan kepada pembaca.

Menurut Abrams, pendekatan ekspresif adalah
pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan
kajiannya pada ekspresi perasaan atau temperamen penulis
(Siswanto, 2008: 181).

Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian
sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan
karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi
dari realitas (Abrams dalam Siswanto, 2008: 188).

Dekonstruksi berasal dari kata de + construktio
(latin). Pada umumnya de berarti ke bawah, pengurangan,
atau terlepas dari. Sedangkan kata Construktio berarti
bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi
dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan


intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang
sudah baku.

Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian
terhadap sejumlah teks yang diduga mempunyai bentuk-
bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan
adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan,
peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di
antara teks yang dikaji. Secara khusus dapat dikatakan
bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek
tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada
karya yang muncul lebih kemudian.

feminisme adalah teori tentang persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan di segala bidang. Suatu
kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta
kepentingan perempuan. Hal ini disebabkan karena
perempuan selalu mengalami ketimpangan gender selama
ini. Feminisme berupaya menggali identitas perempuan
yang selama ini tertutupi hegemoni patriarkat.


I. Uji Pemhaman Bab 8

Sudahkah Anda memahami Bab 8 dengan baik?
Anda dapat menguji pemahaman Anda dengan menjawab
latihan-latihan berikut ini!
1. Uraikan yang dimaksud dengan pendekatan struktural

dalam kajian sastra!
2. Tunjukkan kelemahan dan kelebihan pendekatan

pragmatik!
3. Jelaskanlah langkah-langkah dalam menganalisis dengan

pendekatan ekspresif!
4. Jelaskanlah teori sosiologi yang paling terkemuka dalam

ilmu sastra!
5. Jelaskanlah tokoh terpenting dalam munculnya

pendekatan dekonstruksi!
6. Jelaskanlah prinsip dan kaidah pendekatan

intertekstualitas menurut Kristeva!
7. Jelaskanlah inti tujuan pendekatan feminisme dalam

kajian sastra!


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2010. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra dan Teori Terapan. Padang:
Angkasa Jaya

Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs:
Semiotics, Literature, Deconstruction. London an
Henley: Routledge & Kegan Paul.

Djajanegara, Soenardjati. 2000. Kritik Sastra Feminis:
Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra
Bandingan. Jakarta: Bukupop.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra:
Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: Caps.

Ezmir & Saifur Rohman. 2016. Teori dan Pengajaran
Sastra. Jakarta: Rajawali Pers.

Hartokok, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia
Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Jabrohim (Ed.). 2001. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widia.


Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar.
Jakarta: Gramedia.

Kosasih, E. 2012. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra.
Bandung: Yrama Widya.

Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal dan Willem G. Weststeijn.
1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick
Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Mahayana, Maman. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia.
Jakarta: Bening Publishing.

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Partini, Sardjono-Pr. 1992. Pengantar Pengkajian Sastra.
Bandung: Pustaka Wina.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2011. Beberapa Teori Sastra,
Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies:
Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Rokhmansyah, Alfian. 2014. Studi dan Pengkajian Sastra:
Perkenalan Awal terhadap Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu.


Sarup, Madan. 2007. Posstrukturalisme dan
Posmodernisme: Sebuah Pengantar Kritis.
Yogyakarta: Jendela.

Selden, Raman. 1985. A Reader’s Guide to Contemporary
Literary Theory. The Harvester Press.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Grasindo.

Sugihastuti. 2005. Teori dan Apresiasi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Suhendar, M. E., dan Pien Supinah. 1993. Pendekatan
Teori, Sejarah, dan Apresiasi Sastra Indonesia.
Bandung: Pionir Jaya.

Sumardjo, Jakob dan Saini, K. M. 1988. Apresiasi
Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.

Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Caps.

Susanto, Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta:
Caps.

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.


Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka
Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

W.S Hasanuddin. 2009. Drama Karya Dalam Dua Dimensi:
Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis. Bandung:
Angkasa.


RIWAYAT HIDUP

Imas Juidah, lahir di

Indramayu pada 5 Februari

1989. Ia sekarang tinggal di

Desa Tegalgirang blok Girang

RT 09 RW 04 Kecamatan

Bangodua Kabupaten

Indramayu. Ia merupakan anak

kedua dari dua bersaudara,

dilahirkan oleh pasangan Ibu

Juju Juariah dan Bapak Kamid.

Ia mengawali pendidikannya di

SD Karanggetas II pada 1995-

2001. Ia melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2

Widasari pada 2001-2004.

Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikannya di SMK

Negeri 1 Indramayu pada 2004-2007. Setelah lulus SMK,

selama 1 tahun ia bekerja di salah satu PT yang ada di

Purwakarta. Kemudian, 2008 ia melanjutkan Pendidikan di

Universitas wiralodra (Unwir) Indramayu mengambil

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan

lulus menjadi Sarjana Pendidikan (S.Pd.) pada 2012. Pada

tahun yang sama, ia menjadi asisten dosen di Program Studi

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sembari

melanjutkan Pendidikan S2 di Universitas Swadaya

Gunung Jati (Unswagati) Cirebon dengan mengambil

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Tepat dua

tahun kemudian, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya

dan meraih gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada 2014.

Pada tahun yang sama pula, ia diangkat menjadi dosen tetap


yayasan Universitas Wiralodra Indramayu dan mengajar di
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.


Click to View FlipBook Version