The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Tata Gereja dan Tata Laksana GKI

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by yesaya.marihot, 2021-03-27 11:45:44

Tata Gereja GKI

Tata Gereja dan Tata Laksana GKI

Keywords: Tata Gereja

1

TATA GEREJA
DAN

TATA LAKSANA
GEREJA KRISTEN INDONESIA

2

MUKADIMAH

[1] Oleh bimbingan dan pertolongan Roh Kudus, Gereja Kristen Indonesia yang merupakan kelanjutan
dan wujud kesatuan dari Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah,
dan Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur, dalam menggumuli Firman Allah yang disaksikan oleh Alkitab
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, di tengah-tengah dunia dalam konteks Indonesia pada masa kini,
dengan ini menyatakan pokok-pokok pemahaman dan pengakuan imannya mengenai gereja yang
universal dan mengenai dirinya sendiri secara partikular sebagai berikut:

[2] Secara universal, gereja bersumber pada Allah yang menyelamatkan melalui karya-Nya di dalam dan
sepanjang sejarah. Karya penyelamatan Allah –yang mencapai puncaknya pada Tuhan Yesus Kristus–
dilakukan secara menyeluruh dan meliputi segala sesuatu menuju pemenuhan Kerajaan Allah. Dalam
rangka karya penyelamatan itu, melalui perjanjian-Nya, Allah menghimpun umat pilihan-Nya yang
dimulai dari umat Israel dan dilanjutkan dengan umat Allah yang baru dalam Tuhan Yesus Kristus
melalui kuasa Roh Kudus, yaitu gereja. Sebagai umat baru, gereja itu esa. Keesaan gereja itu adalah
keesaan dalam kepelbagaian. Dengan demikian, gereja adalah persekutuan yang esa dari orang-orang
beriman kepada Yesus Kristus –Tuhan dan Juru Selamat dunia– yang dengan kuasa Roh Kudus dipanggil
dan diutus Allah untuk berperanserta dalam mengerjakan misi Allah, yaitu karya penyelamatan Allah di
dunia.

[3] Dalam rangka berperanserta mengerjakan misi Allah, gereja melaksanakan misinya. Misi gereja itu
dilaksanakan oleh seluruh anggota gereja dalam konteks masyarakat, bangsa, dan negara di mana gereja
ditempatkan.

[4] Misi gereja dilaksanakan oleh gereja, baik dengan mewujudkan persekutuan dengan Allah dan
dengan sesama secara terus-menerus berdasarkan kasih, maupun dalam bentuk kesaksian dan pelayanan.

[5] Dalam rangka melaksanakan misi gereja, anggota gereja berperan secara hakiki sesuai dengan
panggilan Allah dan karunia Roh Kudus. Sehubungan dengan itu, anggota gereja yang dipanggil menjadi
pejabat gerejawi berperan memimpin gereja. Hubungan antara pejabat gerejawi dan anggota gereja
bukan merupakan hubungan yang hierarkis, melainkan hubungan fungsional yang timbal balik dan
dinamis, dialasi oleh kasih.

[6] Misi gereja itu dilaksanakan di tengah-tengah situasi yang senantiasa berubah dan berkembang.
Karena itu, untuk melaksanakan misinya dengan baik, gereja dalam keseluruhan dan keutuhannya
dipanggil untuk terus-menerus melakukan pembangunan gereja.

[7] Secara partikular, GKI di samping memahami dirinya sebagai bagian dari gereja Tuhan Yesus
Kristus Yang Esa, juga memahami dirinya sebagai bagian dari gereja-gereja di Indonesia, dan bagian dari
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

[8] Keberadaan GKI dimaksudkan sebagai sumbangan bagi proses yang lebih nyata dari Gereja Kristen
Yang Esa di Indonesia, dan bagi pelaksanaan yang lebih baik dari misi Allah. Oleh karena itu, wujud
kesatuan GKI adalah kesatuan yang fungsional, yang dicerminkan dalam bentuk kesatuan struktural yang
organis, dengan tetap menghargai dan memanfaatkan semua kekayaan serta kepelbagaian warisan historis
yang ada di dalamnya.

3

[9] Sebagai gereja di Indonesia, GKI mengakui bahwa gereja dan negara memiliki kewenangan masing-
masing yang tidak boleh dicampuri oleh yang lain, namun keduanya adalah mitra sejajar yang saling
menghormati, saling mengingatkan, dan saling membantu.
[10] Dalam kebersamaan yang dijiwai oleh iman Kristen serta semangat persatuan dan kesatuan bangsa,
GKI membuka diri untuk bekerja sama dan berdialog dengan gereja-gereja lain, pemerintah, serta
kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat, guna mengusahakan kesejahteraan, keadilan,
perdamaian dan keutuhan ciptaan bagi seluruh rakyat Indonesia.
[11] Agar GKI dapat mewujudkan kesatuannya yang utuh dan dinamis serta dapat melaksanakan misinya
secara berdayaguna (efisien) dan berhasilguna (efektif), Tata Gereja dan Tata Laksana GKI ini disusun,
disahkan, dan diberlakukan secara resmi oleh Majelis Sinode GKI menjadi perangkat peraturan dan
sarana organisasional gerejawi. Tata Gereja dan Tata Laksana GKI ini disusun berdasarkan sistem
penataan gereja presbiterial-sinodal. Sebagai satu kesatuan yang utuh Tata Gereja dan Tata Laksana GKI
terdiri dari:
1. Tata Gereja, yang meliputi:

a. Mukadimah.
b. Tata Dasar.
2. Tata Laksana.

4

PENJELASAN TENTANG MUKADIMAH

Mukadimah adalah pernyataan pemahaman teologis GKI mengenai gereja secara universal dan
partikular.

Alinea 1

1. Hanya dalam Roh Kudus, GKI dapat mengungkapkan pemahaman imannya mengenai gereja yang
universal dan mengenai dirinya sendiri secara partikular melalui Mukadimah ini.

2. Dalam bimbingan dan pertolongan Roh Kudus, GKI menggumuli Firman Allah. Pergumulan itu
terjadi secara terus-menerus dalam perjumpaan dengan Allah yang hidup, yang menyatakan diri-Nya
dalam Tuhan Yesus Kristus seperti yang diberitakan oleh Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru.

3. Pergumulan GKI dengan Firman Allah terjadi dalam konteks Indonesia pada masa kini. Namun
dalam memahami konteksnya, GKI melihat dirinya juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
dunia ini. Karena itu pengungkapan diri dan fungsi GKI pada konteks Indonesia harus dimengerti
secara luas dalam konteks dunia.

4. Dari pergumulan seperti tersebut di atas, GKI menyatakan pokok-pokok pemahaman dan pengakuan
imannya mengenai gereja yang universal dan mengenai dirinya sendiri secara partikular. Pada satu
sisi, pemahaman diri GKI secara umum dan mendasar sudah tercakup dalam pemahaman yang
universal. Pada sisi lain, pemahaman diri GKI secara partikular memuat pokok-pokok yang bersifat
khusus dengan bertolak dari dasar pemahaman yang universal.

5. Sebagai hasil dari pekabaran Injil yang dilakukan oleh tenaga-tenaga dalam dan luar negeri, di Jawa
Timur pada tanggal 22 Februari 1934 berdirilah gereja yang dalam perkembangannya kemudian
disebut Gereja Kristen Indonesia Jawa Timur; di Jawa Barat pada tanggal 24 Maret 1940 berdirilah
gereja yang dalam perkembangannya kemudian disebut Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat; dan di
Jawa Tengah pada tanggal 8 Agustus 1945 berdirilah gereja yang dalam perkembangannya kemudian
disebut Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah. Ketiga gereja itu sejak tanggal 27 Maret 1962 telah
berupaya menggalang kebersamaan untuk mewujudkan penyatuan Gereja Kristen Indonesia dalam
Sinode Am Gereja Kristen Indonesia. Pada tanggal 26 Agustus 1988 ketiga gereja tersebut menjadi
satu gereja yang diberi nama Gereja Kristen Indonesia.

Alinea 2

1. Sumber keberadaan gereja di dunia bukan dari dirinya sendiri dan bukan dari dunia ini, melainkan
dari Allah yang melakukan karya penyelamatan-Nya di dalam dan sepanjang sejarah. Ungkapan “di
dalam dan sepanjang sejarah” menunjuk pada karya penyelamatan Allah yang melingkupi seluruh
waktu dan peristiwa dalam dunia ini sejak manusia jatuh ke dalam dosa sampai akhir zaman. Karya
penyelamatan ini melibatkan umat manusia dan dunia.

2. Karya penyelamatan Allah itu membebaskan dunia dan manusia dari dosa dan membawa dunia serta
manusia kepada kehidupan baru yang sesungguhnya dalam relasi yang benar dengan Allah, dengan
sesama dan dengan seluruh ciptaan.

3. Sejarah yang di dalamnya Allah berkarya menyelamatkan adalah sejarah dunia ini.
4. Di dalam sejarah dunia, Allah berkarya melalui sejarah keselamatan yang dinyatakan melalui

perjanjian-Nya. Perjanjian Allah itu, pada satu sisi merangkumi prakarsa dan tindakan kasih Allah
untuk mengikat diri-Nya dan memanggil manusia, dan pada sisi lain, merangkumi jawaban manusia
dengan kasih dan kepatuhan atas prakarsa dan karya Allah. Sejarah keselamatan itu dimulai dari
sejarah tindakan Allah melalui umat Israel, lalu sejarah tindakan Allah melalui Tuhan Yesus Kristus,
dan dilanjutkan dengan sejarah karya Allah melalui gereja-Nya.

5

5. Dari segi perjanjian dalam kerangka sejarah penyelamatan Allah itu, Tuhan Yesus Kristus adalah
Dasar dan Kepala Gereja yang mencirikan keberadaan gereja sebagai umat Allah yang baru. Pada
satu pihak, gereja tidak dapat dilepaskan dari umat Israel dalam Perjanjian Lama. Pada pihak lain,
keberadaan gereja sebagai umat yang baru berdasar pada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat
dunia.

6. Hanya oleh Roh Kuduslah, Tuhan Yesus Kristus menjadi dan diakui sebagai Dasar dan Kepala
Gereja. Pada satu pihak, Roh Kudus secara terus-menerus membarui gereja dan kehidupan kini
dan di sini. Pada pihak lain, Roh Kudus secara terus-menerus mengarahkan gereja untuk hidup
dan bertumbuh ke masa depan, yaitu ke arah penggenapan yang sempurna dari karya
penyelamatan Allah itu.

7. Di dalam Tuhan Yesus Kristus melalui kuasa Roh Kudus, gereja sebagai umat yang baru itu esa. Pada
satu pihak, keesaan gereja yang berakar pada Tuhan Yesus Kristus bersifat “diberikan”, pada pihak
lain, oleh kuasa Roh Kudus gereja dipanggil untuk mewujudkan keesaan itu secara nyata.

8. Keesaan gereja adalah keesaan dalam kepelbagaian. Di dalam Tuhan Yesus Kristus, gereja secara
hakiki adalah esa. Namun dalam kenyataan sejarah, gereja Tuhan Yesus Kristus yang esa telah
mewujud menjadi satuan-satuan historis yang berkepelbagaian jika ditinjau dari segi-segi sejarah,
kebudayaan, tradisi, cara hidup dan berpikir, organisasi, dan lain-lain. Bertolak dari kenyataan ini,
hanya dengan kuasa Roh Kudus, setiap gereja yang menjadi bagian dari gereja Tuhan Yesus Kristus
itu dimampukan untuk mewujudkan keesaan dalam kepelbagaian.

9. Dengan demikian gereja sebagai umat yang baru merupakan kesatuan organis yang bertumbuh terus
serta membawa janji pembebasan manusia dan dunia dari dosa. Gereja memang terikat pada ruang
dan waktu sebagai suatu kenyataan historis di dunia. Namun, justru karena seluruh keberadaannya
mengarah kepada penggenapan karya penyelamatan Allah itu, gereja dipanggil dan diutus oleh Allah
untuk berperanserta dalam pemberlakuan rencana dan karya penyelamatan Allah itu di dalam dan
bagi dunia ini.

Alinea 3

1. Karya penyelamatan Allah yang universal dan meliputi segala sesuatu disebut sebagai misi Allah.
Pada hakikatnya Allah sendirilah yang menjalankan misi-Nya. Namun gereja mendapat tempat dan
panggilan untuk turut berperanserta dalam pemberlakuan misi Allah itu melalui pelaksanaan misinya
sendiri. Misi Allah tidak dapat dibatasi hanya pada misi gereja. Dalam kerangka sejarah
penyelamatan Allah di dunia, misi Allah dinyatakan juga melalui misi gereja, dan dengan demikian
misi gereja bersumber dari dan melayani misi Allah.

2. Gereja dalam keutuhan dan keseluruhannya adalah pelaksana misi gereja. Itu berarti seluruh anggota
gereja baik secara pribadi maupun bersama-sama bertanggungjawab dalam pelaksanaan misi gereja.

3. Gereja dipanggil dan diutus oleh Allah untuk melaksanakan misinya –dalam kerangka misi Allah– di
dalam dan bagi dunia. Oleh karena itu, misi gereja harus dilaksanakan dalam konteks masyarakat,
bangsa dan negara di mana gereja ditempatkan.

Alinea 4

Misi gereja dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas persekutuan, kesaksian, dan
pelayanan. Dalam kenyataannya, misi gereja itu dibagi menjadi dua bagian besar yang tidak dapat
dilepaskan satu dari lainnya. Pada satu sisi, dalam memberlakukan misinya, gereja mewujudkan
persekutuan yang memberikan tekanan utama pada keberadaannya. Pada sisi lain, misi gereja itu
diberlakukan oleh gereja dengan melaksanakan kesaksian dan pelayanan yang memberikan tekanan
utama pada kekaryaannya.

Alinea 5

6

1. Anggota gereja berperan secara hakiki dalam melaksanakan misi gereja. Itu berarti, anggota gereja
mempunyai peranan yang sangat menentukan sebagai pelaku yang secara nyata melaksanakan misi
gereja. Pada satu sisi, peranan anggota gereja yang demikian menentukan didasarkan pada panggilan
Allah yang dimengerti sebagai pemberian anugerah, tugas dan tanggung jawab dari Allah kepada
umat-Nya. Pada sisi lain, peranan tersebut diwujudkan sesuai dengan karunia Roh Kudus yang
dimengerti sebagai pelbagai talenta, kemampuan, keahlian, dan lain-lain yang dianugerahkan Allah
kepada setiap anggota gereja.

2. Tuhan memanggil sebagian anggota gereja untuk menjadi pejabat gerejawi yang berperan melayani
dan memperlengkapi gereja agar mampu melaksanakan misi gereja.

3. Hubungan antara anggota gereja dengan pejabat gerejawi bersifat fungsional dalam pengertian bahwa
keduanya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan dalam rangka melaksanakan misi gereja.

Alinea 6

1. Yang dimaksudkan dengan istilah “pembangunan” dalam “pembangunan gereja” bukan dalam arti
pembangunan fisik (misalnya pembangunan gedung gereja atau pembangunan rumah ibadat). Arti
istilah “pembangunan” di sini, yang mengacu terutama kepada istilah “oikodome” dalam Perjanjian
Baru, adalah pembangunan spiritual dalam pengertian yang seluas-luasnya, sebagai tugas dari
persekutuan Kristen secara utuh dan menyeluruh.

2. Pada hakikatnya Allah adalah Pelaku Utama dalam pembangunan gereja. Namun, karena Allah telah
memilih dan berkenan memakai umat-Nya sebagai rekan sekerja-Nya, secara konkret dan operasional
gereja menjadi pelaku pembangunan gereja. Yang dimaksudkan dengan gereja dalam hal ini adalah
seluruh anggota dan pejabat gerejawinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sebagai
kesatuan.

Alinea 7

Cukup jelas.

Alinea 8

1. Kesatuan GKI bukanlah kesatuan yang bersifat abstrak, tetapi kesatuan yang dinampakkan dalam satu
organisasi yang utuh dengan satu tata gereja. Walaupun demikian, mengingat GKI berasal dari GKI
Jawa Barat, GKI Jawa Tengah dan GKI Jawa Timur yang mempunyai warisan historis yang berbeda-
beda dan konteks lingkungan yang khas, kesatuan itu harus terbuka kepada kepelbagaian yang ada
dan tidak hanya menekankan keseragaman yang mematikan kreativitas dan kekayaan warisan historis
yang dimiliki oleh bagian masing-masing.

2. GKI sebagai satu kesatuan tidak bersifat eksklusif, yaitu tertutup pada dirinya sendiri saja, melainkan
merupakan bagian yang utuh dari gereja-gereja di Indonesia yang terhisap dalam Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia, yang sejak terbentuknya pada tanggal 25 Mei 1950 berada dalam perjalanan
sejarah yang sama, yaitu mengupayakan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.

3. Kesatuan GKI tidak hanya dipandang sebagai tujuan, tetapi juga dimaksudkan untuk memampukan
GKI melakukan fungsinya di dunia, khususnya di Indonesia. Kesatuan GKI itu pada satu pihak selalu
berada dalam proses perubahan pada dirinya sendiri, namun pada pihak lain juga dalam proses
memengaruhi dan mengubah lingkungan di luarnya. Karena itu kesatuan ini disebut sebagai kesatuan
yang bersifat fungsional: pertama, dengan mendasarkan diri pada Kristus dan oleh kuasa Roh Kudus,
kesatuan GKI berfungsi ikut mengambil bagian dalam perjuangan mewujudnyatakan keesaan Gereja
Tuhan Yesus Kristus, khususnya di Indonesia; kedua, kesatuan GKI itu berfungsi melibatkan diri
dalam misi Allah di dunia, khususnya di Indonesia.

4. Sesuai dengan hakikatnya, GKI tidak memberikan kemungkinan pemisahan diri dari kesatuan GKI.

7

Alinea 9

1. Pada dasarnya GKI mengakui bahwa negara dan gereja adalah dua lembaga yang berasal dari Allah
yang mempunyai tugas panggilan dan kewenangannya masing-masing. Karena itu gereja tidak boleh
mencampuri langsung atau mengambil alih wewenang negara. Sebaliknya, negara tidak boleh
membatasi kebebasan gereja dalam menyatakan diri dan menjalankan fungsinya. Namun demikian,
gereja dan negara harus hidup saling berdampingan, membina hubungan baik dan saling bekerja
sama.

2. Dalam kerangka hubungan gereja dan negara seperti itu, GKI mengakui dan berpegang pada Firman
Allah, yaitu Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebagai dasar dan norma satu-satunya bagi
kehidupan gereja dalam segala aspeknya. Dalam terang ini GKI bersama dengan seluruh bangsa
Indonesia menerima Pancasila sebagai asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Yang dimaksudkan dengan Pancasila adalah sebagaimana yang dimuat dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, yang formulasinya adalah: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2)
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.

3. GKI mendukung, terlibat dan berpartisipasi penuh dalam pembangunan nasional oleh karena GKI
memahami pembangunan nasional sebagai upaya sengaja dan terencana untuk mewujudkan
kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik dalam arti yang seluas-luasnya dan sepenuh-penuhnya.
Dukungan, keterlibatan dan partisipasi tersebut harus diwujudkan dengan sikap positif, kreatif, kritis
dan realistis. Positif artinya terbuka terhadap hal yang baik; kreatif artinya dalam kuat kuasa Roh
Kudus terlibat secara aktif dalam usaha-usaha pembaruan; kritis artinya melihat segala sesuatu dalam
terang Firman Allah; realistis artinya sadar akan waktu dan batas-batas kenyataan dan tidak terbawa
oleh impian kosong.

Alinea 10

1. GKI terpanggil untuk mengusahakan kesejahteraan –yaitu syalom– yang berisikan keadilan,
perdamaian dan keutuhan seluruh ciptaan. Untuk mewujudkannya, GKI harus membuka diri bersedia
bekerja sama dan berdialog dengan semua pihak dan golongan yang berkemauan baik.

2. Mengusahakan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan adalah tiga (3) sisi misioner yang saling
terkait dan tak terpisahkan. Perdamaian yang GKI perjuangkan adalah perdamaian yang berkeadilan,
bukan sekadar keadaan status quo. Keadilan yang GKI upayakan adalah keadilan yang
memperdamaikan, bukan yang justru mempertentangkan antara satu kelompok dengan kelompok
yang lain dan antara satu golongan dengan golongan yang lain. Dan akhirnya, keadilan dan
perdamaian itu bukan hanya antarmanusia saja, melainkan keadilan dan perdamaian di dalam konteks
keutuhan seluruh ciptaan Allah.

3. Yang dimaksud dengan “keutuhan ciptaan” adalah bahwa seluruh ciptaan Allah saling terkait di
dalam satu sistem kehidupan yang integral, di mana semua yang ada di dalamnya saling bergantung
dan saling membutuhkan satu sama lain. Punahnya atau rusaknya satu unsur akan mengganggu
keutuhan seluruh sistem. Pada gilirannya ini akan membahayakan semua unsur di dalam sistem yang
bersangkutan.

4. Manusia tidak boleh hanya memikirkan kepentingan dan kenyamanannya sendiri, dengan
mengabaikan hak hidup ciptaan yang lain. GKI dipanggil bukan hanya untuk mengusahakan
kesejahteraan bagi manusia saja, melainkan bagi seluruh kehidupan di dalam seluruh alam ciptaan
Allah.

Alinea 11

8

1. Sebagaimana sudah diungkapkan dalam alinea-alinea sebelumnya, sumber keberadaan dan misi GKI
secara hakiki adalah Allah sendiri. Karena itu GKI sebagai satu lembaga/organisasi bukan
lembaga/organisasi biasa dan harus berbeda secara hakiki dari organisasi-organisasi/lembaga-
lembaga lainnya di dunia. Tetapi karena GKI adalah satu lembaga/organisasi yang berkeberadaan dan
menjalankan misinya di dunia ini, GKI memerlukan perangkat peraturan resmi dan sarana
organisasional gerejawi yang fungsional. Hal itulah yang dituangkan dalam Tata Gereja dan Tata
Laksana GKI ini.

2. Tata Gereja dan Tata Laksana GKI ini adalah satu varian dari sistem penataan gereja presbiterial-
sinodal. Sebagai bentuk penataan organisasional gerejawi GKI, sistem ini mempunyai dua aspek
dasar, yaitu wujud kesatuan GKI yang melaksanakan misi GKI dan lembaga kepemimpinan GKI.
a. Wujud kesatuan dari GKI bertolak dari Jemaat sebagai wujud kesatuan basis yang adalah wadah
persekutuan dari para anggota GKI sebagai orang-orang percaya. Wujud kesatuan basis ini
kemudian diperluas menjadi wujud kesatuan Klasis, selanjutnya diperluas lagi menjadi wujud
kesatuan Sinode Wilayah, dan akhirnya diperluas lagi dalam wujud kesatuan Sinode sebagai
wujud kesatuan yang terluas.
b. Lembaga kepemimpinan GKI disebut sebagai majelis. Majelis adalah lembaga yang bersifat
tetap, yang menjadi wadah bagi para pejabat gerejawi untuk menjalankan pelayanan
kepemimpinan mereka secara kolektif-kolegial. Sejajar dengan wujud kesatuan GKI, kemajelisan
dimulai dari Majelis Jemaat sebagai lembaga kepemimpinan Jemaat, yang kemudian diperluas
menjadi Majelis Klasis, selanjutnya Majelis Sinode Wilayah, dan akhirnya Majelis Sinode.

3. Mukadimah memuat dasar eklesiologis bagi peraturan-peraturan dalam Tata Dasar GKI dan Tata
Laksana GKI. Eklesiologi GKI dirumuskan dalam bentuk pernyataan-pernyataan teologis-konfesional
(baca: pengakuan iman) GKI mengenai gereja. Pernyataan-pernyataan tersebut pada dasarnya adalah
mengenai identitas gereja yang bersifat universal (berlaku secara umum) dan partikular (mengenai
diri GKI sendiri) dengan kerangka bipolar (berpusat pada dua kutub: apa/siapa gereja dan apa
misinya). Mukadimah diberi penjelasan dalam Penjelasan tentang Mukadimah. Penjelasan tentang
Mukadimah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Mukadimah dan harus dibaca bersama
dengan Mukadimah sehingga Mukadimah dapat dipahami secara penuh.

4. Tata Dasar GKI memuat definisi diri GKI yang merupakan penjabaran dari eklesiologi GKI dan
dirumuskan dalam bentuk peraturan dasar yang singkat, padat, dan tidak-operasional. Tata Dasar
diberi penjelasan dalam Penjelasan tentang Tata Dasar. Penjelasan tentang Tata Dasar merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Tata Dasar dan harus dibaca bersama dengan Tata Dasar sehingga
Tata Dasar dapat dipahami secara penuh.

5. Tata Laksana GKI memuat penjabaran dari Tata Dasar GKI dalam bentuk peraturan yang operasional
dan terinci, yang berisi:
a. Pengertian/ketentuan gerejawi.
b. Persyaratan gerejawi.
c. Prosedur gerejawi.

6. Tata Laksana GKI diperlengkapi dengan Peranti Gerejawi GKI agar persyaratan-persyaratan gerejawi
dalam Tata Laksana GKI dapat dipenuhi dan prosedur-prosedur GKI dalam Tata Laksana GKI dapat
diwujudkan.

9

TATA DASAR

Pasal 1
HAKIKAT DAN WUJUD

1. GKI adalah gereja Tuhan Yesus Kristus yang saat ini mewujud sebagai Jemaat-jemaat, Klasis-klasis,
Sinode Wilayah-sinode wilayah, dan Sinode di Indonesia, yang melaksanakan misinya dalam
kerangka misi Allah di dunia.

2. a. Jemaat adalah wujud kesatuan GKI yang hadir dan melaksanakan misinya di wilayah tertentu dan
merupakan persekutuan dari keseluruhan anggota di wilayah itu.
b. Klasis adalah wujud kesatuan GKI yang hadir dan melaksanakan misinya di wilayah tertentu dan
merupakan persekutuan dari keseluruhan Jemaat di wilayah itu.
c. Sinode Wilayah adalah wujud kesatuan GKI yang hadir dan melaksanakan misinya di wilayah
tertentu dan merupakan persekutuan dari keseluruhan Klasis di wilayah itu.
d. Sinode adalah wujud kesatuan GKI yang hadir dan melaksanakan misinya di wilayah tertentu dan
merupakan persekutuan dari keseluruhan Sinode Wilayah di wilayah itu.

3. Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode, masing-masing dan bersama-sama merupakan
perwujudan GKI sebagai satu gereja yang lengkap dan utuh.

4. GKI tidak memberikan kemungkinan bagi pemisahan diri Jemaat, Klasis, dan Sinode Wilayah.

Pasal 2
NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN

1. Nama
a. GKI dalam wujud Jemaat disebut: GKI … (alamat lengkap, nama jalan dan kota, nama wilayah
dan kota, atau nama kota).
b. GKI dalam wujud Klasis disebut: GKI Klasis ... (nama kota atau nama wilayah).
c. GKI dalam wujud Sinode Wilayah disebut: GKI Sinode Wilayah … (nama propinsi).
d. GKI dalam wujud Sinode disebut: Gereja Kristen Indonesia.

2. Tempat Kedudukan
a. Tempat kedudukan GKI dalam wujud Jemaat ditetapkan oleh Majelis Jemaatnya.
b. Tempat kedudukan GKI dalam wujud Klasis ditetapkan oleh Majelis Klasisnya.
c. Tempat kedudukan GKI dalam wujud Sinode Wilayah ditetapkan oleh Majelis Sinode
Wilayahnya
d. Tempat kedudukan GKI dalam wujud Sinode adalah Jakarta.

Pasal 3
PENGAKUAN IMAN

1. GKI mengaku imannya bahwa Yesus Kristus adalah:
a. Tuhan dan Juru Selamat dunia, Sumber kebenaran dan hidup.
b. Kepala Gereja, yang mendirikan gereja dan yang memanggil gereja untuk hidup dalam iman dan
misinya.

2. GKI mengaku imannya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah Firman Allah,
yang menjadi dasar dan norma satu-satunya bagi kehidupan gereja.

3. GKI, dalam persekutuan dengan Gereja Tuhan Yesus Kristus di segala abad dan tempat, menerima
Pengakuan Iman Rasuli (Lampiran 1), Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel (Lampiran 2), dan
Pengakuan Iman Athanasius (Lampiran 3).

10

4. GKI, dalam ikatan dengan tradisi Reformasi, menerima Katekismus Heidelberg.
5. GKI, dalam persekutuan dengan gereja-gereja di Indonesia, menerima Pemahaman Bersama Iman

Kristen (PBIK) dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) (Lampiran 4).

Pasal 4
TUJUAN

GKI bertujuan ikut mengerjakan misi Allah dengan mewujudkan persekutuan serta melaksanakan
kesaksian dan pelayanan.

Pasal 5
PERSEKUTUAN

1. GKI mewujudkan persekutuan dengan Allah dan dengan sesama saudara seiman.
2. Persekutuan itu diwujudkan secara pribadi dan bersama-sama.
3. Persekutuan itu dilakukan:

a. Dalam lingkup GKI.
b. Dalam gerakan keesaan gereja.

Pasal 6
KESAKSIAN DAN PELAYANAN

1. GKI melaksanakan kesaksian dan pelayanan dalam masyarakat melalui perkataan dan perbuatan.
2. Kesaksian dan pelayanan itu dilaksanakan secara pribadi dan bersama-sama.
3. Kesaksian dan pelayanan itu juga dilaksanakan GKI dalam kerja sama kemitraan dengan gereja-

gereja lain, pemerintah dan masyarakat.

Pasal 7
PEMBANGUNAN GEREJA

1. Pengertian Dasar
a. Pembangunan gereja adalah keseluruhan upaya yang dilakukan oleh GKI pada semua lingkupnya,
yaitu Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode, untuk merencanakan dan melaksanakan
proses-proses perubahan (transformasi) secara menyeluruh, terpadu, terarah, dan bersinambung,
dalam hubungan timbal-balik dengan masyarakat di mana GKI hidup dan berkarya.
b. Pembangunan gereja bertujuan agar Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode GKI, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, mampu mewujudkan persekutuan serta melaksanakan
kesaksian dan pelayanan sesuai dengan kehendak Allah di dalam Kristus di lingkungannya
masing-masing.

2. Pembangunan gereja pada setiap lingkup GKI harus memberikan dampak timbal-balik yang positif
dan konstruktif bagi kehidupan dan karya dari lingkup-lingkup GKI lainnya secara keseluruhan.

Pasal 8
KEANGGOTAAN

1. Anggota GKI terdiri dari:
a. Anggota baptisan, yaitu anggota GKI yang telah menerima baptisan kudus anak.
b. Anggota sidi, yaitu anggota GKI yang telah menerima baptisan kudus dewasa atau anggota
baptisan yang telah menerima pelayanan pengakuan percaya/sidi.

2. Anggota berfungsi melaksanakan misi gereja dan pembangunan gereja.

11

Pasal 9
JABATAN GEREJAWI

1. Jabatan gerejawi GKI terdiri dari:
a. Penatua.
b. Pendeta.

2. Penatua dan pendeta berfungsi memimpin gereja.
3. Fungsi kepemimpinan penatua dan pendeta diwujudkan dalam kerangka pembangunan gereja:

a. Di lingkup Jemaat dalam dan melalui Majelis Jemaat.
b. Di lingkup Klasis dalam dan melalui Majelis Klasis dan Badan Pekerja Majelis Klasis.
c. Di lingkup Sinode Wilayah dalam dan melalui Majelis Sinode Wilayah dan Badan Pekerja

Majelis Sinode Wilayah.
d. Di lingkup Sinode dalam dan melalui Majelis Sinode dan Badan Pekerja Majelis Sinode.

Pasal 10
KEPEMIMPINAN

1. Pimpinan
a. Dalam wujud Jemaat, GKI dipimpin oleh Majelis Jemaat yang anggota-anggotanya terdiri dari
semua pejabat gerejawi dalam Jemaat yang bersangkutan. Sesuai dengan kebutuhan, Majelis
Jemaat dapat mempunyai Badan Pekerja Majelis Jemaat sebagai pimpinan harian, yang diangkat
oleh dan bertanggungjawab kepada Majelis Jemaat.
b. Dalam wujud Klasis, GKI dipimpin oleh Majelis Klasis yang anggota-anggotanya terdiri dari
keseluruhan Majelis Jemaat dalam Klasis yang bersangkutan. Pimpinan harian Majelis Klasis
adalah Badan Pekerja Majelis Klasis yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada Majelis
Klasis.
c. Dalam wujud Sinode Wilayah, GKI dipimpin oleh Majelis Sinode Wilayah yang anggota-
anggotanya terdiri dari keseluruhan Majelis Klasis dalam Sinode Wilayah yang bersangkutan.
Pimpinan harian Majelis Sinode Wilayah adalah Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang
diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada Majelis Sinode Wilayah.
d. Dalam wujud Sinode, GKI dipimpin oleh Majelis Sinode yang anggota-anggotanya terdiri dari
keseluruhan Majelis Sinode Wilayah dalam Sinode. Pimpinan harian Majelis Sinode adalah
Badan Pekerja Majelis Sinode yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada Majelis Sinode.

2. Tugas
a. Majelis Jemaat bertugas memimpin Jemaat agar Jemaat melaksanakan pembangunan gereja pada
lingkup Jemaat untuk mencapai tujuan GKI di lingkup Jemaat. Jika terdapat Badan Pekerja
Majelis Jemaat, Badan Pekerja Majelis Jemaat bertugas selaku pimpinan harian Majelis Jemaat.
b. Majelis Klasis bertugas memimpin Jemaat-jemaat dalam Klasis agar mereka melaksanakan
pembangunan gereja pada lingkup Klasis untuk mencapai tujuan GKI di lingkup Klasis. Badan
Pekerja Majelis Klasis bertugas selaku pimpinan harian Majelis Klasis.
c. Majelis Sinode Wilayah bertugas memimpin Jemaat-jemaat dalam Sinode Wilayah agar mereka
melaksanakan pembangunan gereja pada lingkup Sinode Wilayah untuk mencapai tujuan GKI di
lingkup Sinode Wilayah. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah bertugas selaku pimpinan harian
Majelis Sinode Wilayah.
d. Majelis Sinode bertugas memimpin Jemaat-jemaat dalam Sinode agar mereka melaksanakan
pembangunan gereja pada lingkup Sinode untuk mencapai tujuan GKI di lingkup Sinode. Badan
Pekerja Majelis Sinode bertugas selaku pimpinan harian Majelis Sinode.

3. Wewenang
a. Majelis Jemaat mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya. Jika terdapat Badan
Pekerja Majelis Jemaat, Badan Pekerja Majelis Jemaat mendapat wewenang dari Majelis Jemaat
untuk melaksanakan tugasnya.

12

b. Majelis Klasis mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya. Badan Pekerja Majelis
Klasis mendapat wewenang dari Majelis Klasis untuk melaksanakan tugasnya.

c. Majelis Sinode Wilayah mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya. Badan Pekerja
Majelis Sinode Wilayah mendapat wewenang dari Majelis Sinode Wilayah untuk melaksanakan
tugasnya.

d. Majelis Sinode mempunyai wewenang untuk melaksanakan tugasnya. Badan Pekerja Majelis
Sinode mendapat wewenang dari Majelis Sinode untuk melaksanakan tugasnya.

4. Pertanggungjawaban
a. Majelis Jemaat harus mempertanggungjawabkan tugas yang diembannya sesuai dengan
wewenang yang dimilikinya.
b. Majelis Klasis harus mempertanggungjawabkan tugas yang diembannya sesuai dengan
wewenang yang dimilikinya.
c. Majelis Sinode Wilayah harus mempertanggungjawabkan tugas yang diembannya sesuai dengan
wewenang yang dimilikinya.
d. Majelis Sinode harus mempertanggungjawabkan tugas yang diembannya sesuai dengan
wewenang yang dimilikinya.

5. Persidangan Gerejawi
a. Persidangan Majelis Jemaat adalah sarana bagi Majelis Jemaat untuk mengambil keputusan.
Persidangan Majelis Jemaat dihadiri oleh anggota-anggota Majelis Jemaat dari Jemaat yang
bersangkutan. Keputusan Majelis Jemaat harus diterima oleh anggota-anggota dalam Jemaat yang
bersangkutan.
b. Persidangan Majelis Klasis adalah sarana bagi Majelis Klasis untuk mengambil keputusan.
Persidangan Majelis Klasis dihadiri oleh Majelis Jemaat-Majelis Jemaat dalam Klasis yang
bersangkutan. Keputusan Majelis Klasis harus diterima oleh Jemaat-jemaat dalam Klasis yang
bersangkutan.
c. Persidangan Majelis Sinode Wilayah adalah sarana bagi Majelis Sinode Wilayah untuk
mengambil keputusan. Persidangan Majelis Sinode Wilayah dihadiri oleh Majelis Klasis-Majelis
Klasis dalam Sinode Wilayah yang bersangkutan. Keputusan Majelis Sinode Wilayah harus
diterima oleh Jemaat-jemaat dalam Sinode Wilayah yang bersangkutan.
d. Persidangan Majelis Sinode adalah sarana bagi Majelis Sinode untuk mengambil keputusan.
Persidangan Majelis Sinode dihadiri oleh Majelis Sinode Wilayah-Majelis Sinode Wilayah dalam
Sinode. Keputusan Majelis Sinode harus diterima oleh Jemaat-jemaat dalam Sinode.

6. Rapat Kerja
a. Badan Pekerja Majelis Klasis dapat menyelenggarakan Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Klasis
di antara dua Persidangan Majelis Klasis sebagai sarana untuk mengambil keputusan dengan
melibatkan Majelis Jemaat-Majelis Jemaat dalam Klasisnya.
b. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah dapat menyelenggarakan Rapat Kerja Badan Pekerja
Majelis Sinode Wilayah di antara dua Persidangan Majelis Sinode Wilayah sebagai sarana untuk
mengambil keputusan dengan melibatkan Badan Pekerja Majelis Klasis-Badan Pekerja Majelis
Klasis dalam Sinode Wilayahnya.
c. Badan Pekerja Majelis Sinode dapat menyelenggarakan Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis
Sinode di antara dua Persidangan Majelis Sinode sebagai sarana untuk mengambil keputusan
dengan melibatkan Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah-Badan Pekerja Majelis Sinode
Wilayah dalam Sinode.

7. Peninjauan Ulang dan Banding
Jika ada keputusan Majelis Jemaat, Majelis Klasis, Majelis Sinode Wilayah, atau Majelis Sinode yang
dianggap salah, dapat dilakukan peninjauan ulang oleh Majelis yang mengambil keputusan itu,
kemudian dapat dilakukan banding kepada Majelis dari lingkup yang lebih luas. Untuk keputusan
Majelis Sinode yang dianggap salah hanya dilakukan peninjauan ulang.

8. Perwakilan

13

Majelis Jemaat, Badan Pekerja Majelis Klasis, Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah, dan Badan
Pekerja Majelis Sinode dapat menunjuk wakil-wakilnya untuk urusan-urusan tertentu.
9. Badan Pelayanan
Sesuai dengan kebutuhan pelayanan yang ada, Majelis Jemaat, Majelis Klasis dan/atau Badan Pekerja
Majelis Klasis, Majelis Sinode Wilayah dan/atau Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah, serta
Majelis Sinode dan/atau Badan Pekerja Majelis Sinode dapat membentuk badan pelayanan yang
diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada lembaga yang mengangkatnya.
10. Tenaga Pelayanan Gerejawi
Sesuai dengan kebutuhan pelayanan yang ada, Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode dapat
mempunyai tenaga pelayanan gerejawi yang diangkat oleh dan bertanggungjawab kepada Majelis
Jemaat, Badan Pekerja Majelis Klasis, Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah, atau Badan Pekerja
Majelis Sinode sesuai dengan lingkup pelayanannya.

Pasal 11
HARTA MILIK

1. Harta milik GKI adalah milik Allah yang dipercayakan kepada GKI untuk melaksanakan misinya.
2. GKI dalam wujud Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode masing-masing memiliki harta milik

atas nama GKI sebagai Jemaat atau Klasis atau Sinode Wilayah atau Sinode.
3. GKI memperoleh harta miliknya terutama dari persembahan anggota yang berdasarkan atas dan

didorong oleh kesadaran tentang penatalayanan, juga dari sumber-sumber lain dengan cara-cara yang
tidak bertentangan dengan Firman Allah dan Ajaran GKI.
4. Harta milik GKI terdiri dari uang, surat berharga, barang bergerak dan tidak bergerak, serta kekayaan
intelektual.
5. GKI harus mengelola harta miliknya dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan Firman Allah
dan Ajaran GKI.

Pasal 12
TATA LAKSANA

Penjabaran dari Tata Dasar GKI diatur lebih lanjut dalam Tata Laksana GKI.

Pasal 13
PERUBAHAN

1. Mukadimah dari Tata Gereja GKI dan Tata Dasar GKI dapat diubah oleh Majelis Sinode dalam
Persidangan Majelis Sinode berdasarkan usul dari:
a. Majelis Sinode Wilayah, yang dapat berasal dari:
1) Anggota sidi melalui dan disetujui oleh Majelis Jemaat, Majelis Klasis, dan Majelis Sinode
Wilayah.
2) Majelis Jemaat melalui dan disetujui oleh Majelis Klasis dan Majelis Sinode Wilayah.
3) Badan Pekerja Majelis Jemaat melalui dan disetujui oleh Majelis Jemaat, Majelis Klasis, dan
Majelis Sinode Wilayah.
4) Majelis Klasis melalui dan disetujui oleh Majelis Sinode Wilayah.
5) Badan Pekerja Majelis Klasis melalui dan disetujui oleh Majelis Klasis dan Majelis Sinode
Wilayah.
6) Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah melalui dan disetujui oleh Majelis Sinode Wilayah.
7) Majelis Sinode Wilayah.
b. Badan Pekerja Majelis Sinode.

2. Setiap usul perubahan harus menjadi bahan dari dan dimasukkan ke dalam acara Persidangan Majelis
Sinode melalui Badan Pekerja Majelis Sinode.

14

Pasal 14
PENUTUP
Hal-hal yang belum diatur dalam Tata Dasar GKI diputuskan oleh Majelis Jemaat, atau Majelis Klasis,
atau Majelis Sinode Wilayah, atau Majelis Sinode dalam persidangannya masing-masing, sesuai dengan
tugas dan wewenangnya, sejauh tidak bertentangan dengan Tata Gereja dan Tata Laksana GKI.

15

PENJELASAN TENTANG TATA DASAR

Pasal 1
HAKIKAT DAN WUJUD

1. Ungkapan “saat ini” mengandung pengertian bahwa tidak tertutup kemungkinan bagi GKI untuk
berada di wilayah lain kelak.

2. a. 1) Dalam wujud kesatuan GKI, Jemaat adalah wujud kesatuan yang paling dasar.
2) Yang dimaksud dengan wilayah pada Jemaat adalah keseluruhan wilayah di mana Jemaat itu
berada. Dalam hal ini, tidak tertutup kemungkinan bahwa (sebagian) wilayah dari sebuah
Jemaat bertumpang tindih dengan (sebagian) wilayah dari Jemaat lain.

b. 1) Dalam wujud kesatuan GKI, Klasis adalah wujud kesatuan yang lebih luas daripada Jemaat,
dan yang meliputi semua Jemaat dalam Klasis itu.

2) Yang dimaksud dengan wilayah pada Klasis adalah keseluruhan wilayah di mana Jemaat-
jemaat dalam kesatuan Klasis itu berada. Dalam hal ini, tidak tertutup kemungkinan (sebagian)
wilayah dari sebuah Klasis bertumpang tindih dengan (sebagian) wilayah Klasis lain.

c. 1) Dalam wujud kesatuan GKI, Sinode Wilayah adalah wujud kesatuan yang lebih luas daripada
Klasis, dan yang meliputi semua Klasis dalam Sinode Wilayah itu.

2) Yang dimaksud dengan wilayah pada Sinode Wilayah adalah keseluruhan wilayah di mana
Klasis-klasis dalam kesatuan Sinode Wilayah itu berada. Dalam hal ini, tidak tertutup
kemungkinan bahwa (sebagian) wilayah dari sebuah Sinode Wilayah bertumpang tindih dengan
(sebagian) wilayah dari Sinode Wilayah lain.

d. 1) Dalam wujud kesatuan GKI, Sinode adalah wujud kesatuan yang paling luas, dan yang meliputi
semua Sinode Wilayah dalam Sinode.

2) Yang dimaksud dengan wilayah pada Sinode adalah keseluruhan wilayah di mana Sinode
Wilayah-sinode wilayah dalam kesatuan Sinode itu berada.

3. a. 1) GKI merupakan satu sistem organisasi yang utuh dan lengkap yang terdiri dari empat (4) wujud
kesatuan yaitu kesatuan Jemaat, kesatuan Klasis, kesatuan Sinode Wilayah dan kesatuan
Sinode.

2) Wujud kesatuan GKI itu secara keseluruhan dapat dijelaskan sebagai sebuah kesatuan rangkap
empat yang terdiri dari empat lingkup yang saling bertumpang tindih.

3) Karena semua wujud kesatuan GKI itu terletak pada bidang yang sama, tidak dikenal sama
sekali pemahaman tentang jenjang atau tingkatan seolah-olah ada sebuah wujud kesatuan yang
berada di bawah atau di atas wujud kesatuan yang lain.

b. 1) Dalam kesatuan GKI yang rangkap empat itu, setiap wujud kesatuan (Jemaat atau Klasis atau
Sinode Wilayah atau Sinode) dapat dipandang sebagai wujud kesatuan yang berdiri sendiri dan
yang merepresentasikan GKI pada lingkup masing-masing.

2) Namun keempat wujud kesatuan itu sama sekali tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan satu
dari yang lainnya, karena semuanya (Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah dan Sinode) itulah yang
secara bersama-sama dan serentak merepresentasikan GKI sebagai sebuah gereja yang utuh dan
lengkap.

c. GKI adalah satu Badan Hukum yang mencakup semua wujud kesatuan GKI yaitu Jemaat, Klasis,
Sinode Wilayah dan Sinode.

4. Cukup jelas.

Pasal 2
NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN

16

1. Nama
a. Jika dalam satu (1) kota ada beberapa Jemaat GKI, penamaan Jemaat-jemaat itu memakai alamat
lengkap, nama jalan dan kota, atau nama wilayah dan kota. Jika dalam satu (1) kota hanya ada
satu (1) Jemaat GKI, penamaan Jemaat itu memakai nama kota saja. Jika kemudian muncul
Jemaat GKI lain di kota tersebut, nama Jemaat yang baru muncul itu harus ditetapkan sesuai
dengan ketentuan di atas, demikian juga nama Jemaat yang sudah ada harus diubah sesuai dengan
ketentuan di atas.
b. Nama Klasis diambil dari nama salah satu kota/wilayah di mana terdapat setidaknya sebuah
Jemaat dari Klasis itu.
c. Nama Sinode Wilayah diambil dari nama satu propinsi atau daerah yang setingkat dengan
propinsi di mana terdapat setidaknya sebuah Klasis dari Sinode Wilayah itu.
d. Cukup jelas.

2. Tempat kedudukan
a. Cukup jelas.
b. Cukup jelas.
c. Cukup jelas.
d. Cukup jelas.

Pasal 3
PENGAKUAN IMAN

1. Cukup jelas.
2. Yang dimaksudkan dengan Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah “Alkitab yaitu

Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam terjemahan baru, yang diselenggarakan oleh Lembaga
Alkitab Indonesia”.
3. Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel, dan Pengakuan Iman Athanasius
adalah tiga pengakuan iman ekumenis yang diterima dan dimiliki oleh Gereja Tuhan Yesus Kristus di
segala abad dan tempat. Dalam praktik liturgis, GKI memakai Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan
Iman Nicea-Konstantinopel. Teks dari ketiga pengakuan iman tersebut dimuat dalam Lampiran.
4. Katekismus Heidelberg adalah dokumen konfesi yang utama dari alur Calvinis abad XVI. Penerimaan
di sini dimaksudkan sebagai penerimaan kekayaan warisan historis untuk memberikan kepada GKI
ciri Reformasi umumnya dan Reformasi Calvinis khususnya.
5. Teks Pemahaman Bersama Iman Kristen dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia dimuat dalam
Lampiran.

Pasal 4
TUJUAN

Cukup jelas.

Pasal 5
PERSEKUTUAN

1. Cukup jelas.
2. Cukup jelas.
3. Perwujudan persekutuan baik dalam lingkup GKI maupun dalam gerakan keesaan gereja dipahami

tidak hanya sebagai yang terarah ke dalam, melainkan sekaligus sebagai yang terarah ke luar untuk
menjadi kesaksian bagi dunia agar dunia percaya.

17

Pasal 6
KESAKSIAN DAN PELAYANAN

1. Cukup jelas.
2. Cukup jelas.
3. Cukup jelas.

Pasal 7
PEMBANGUNAN GEREJA

1. Cukup jelas.
2. Cukup jelas.

Pasal 8
KEANGGOTAAN

1. Cukup jelas.
2. Cukup jelas.

Pasal 9
JABATAN GEREJAWI

1. Penatua (disingkat: Pnt.) dan pendeta (disingkat: Pdt.) secara hakiki mempunyai kedudukan yang
sama dalam pengertian yang satu tidak berada di bawah atau di atas yang lain. Dengan demikian di
dalam GKI tidak dikenal hierarki jabatan gerejawi. Hierarki jabatan gerejawi dalam bentuk apa pun
harus dihindarkan (jika belum terjadi, namun potensial dapat terjadi) atau ditolak (jika telah menjadi
kenyataan dalam praktik kehidupan gerejawi).

2. Kepemimpinan yang dijalankan oleh penatua dan pendeta pada hakikatnya adalah kepemimpinan
yang melayani dengan meneladan kepada Kristus. Dengan demikian di dalam GKI setiap bentuk
kepemimpinan yang berorientasi kepada kekuasaan dan kepentingan diri sendiri harus dihindarkan
(jika belum terjadi, namun potensial dapat terjadi) atau ditolak (jika telah menjadi kenyataan dalam
praktik kehidupan gerejawi).

3. Pembangunan gereja merupakan kerangka yang bersifat umum dan luas bagi penatua dan pendeta
untuk melaksanakan pelayanan kepemimpinan gerejawi mereka. Dalam perspektif ini dapat dikatakan
bahwa penatua dan pendeta mempunyai tugas umum yang mereka laksanakan secara bersama. Dalam
tugas umum itu terliput semua tugas kepemimpinan gerejawi yang diemban oleh penatua dan
pendeta.

Pasal 10
KEPEMIMPINAN

1. Pimpinan
a. Majelis Jemaat adalah sebuah lembaga kepemimpinan kolektif. Jika terdapat Badan Pekerja
Majelis Jemaat, Badan Pekerja Majelis Jemaat terdiri dari beberapa anggota Majelis Jemaat dan
juga merupakan sebuah lembaga kepemimpinan kolektif.
b. Dalam kenyataan, Majelis Klasis tidak mungkin melaksanakan tugas kepemimpinannya sehari-
hari secara operasional. Karena itu, beberapa dari antara anggota Majelis Klasis ditugasi untuk
menjadi pimpinan harian dalam wadah Badan Pekerja Majelis Klasis sebagai sebuah lembaga
kepemimpinan kolektif.
c. Dalam kenyataan, Majelis Sinode Wilayah tidak mungkin melaksanakan tugas kepemimpinannya
sehari-hari secara operasional. Karena itu beberapa dari antara anggota Majelis Sinode Wilayah

18

ditugasi untuk menjadi pimpinan harian dalam wadah Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah
sebagai sebuah lembaga kepemimpinan kolektif.
d. Dalam kenyataan, Majelis Sinode tidak mungkin melaksanakan tugas kepemimpinannya sehari-
hari secara operasional. Karena itu beberapa dari antara anggota Majelis Sinode ditugasi untuk
menjadi pimpinan harian dalam wadah Badan Pekerja Majelis Sinode sebagai sebuah lembaga
kepemimpinan kolektif.
2. Tugas
a. Pada dasarnya tugas memimpin melingkupi tindakan-tindakan:
1) Menentukan arah.
2) Menggerakkan orang-orang menuju ke arah tersebut.
3) Memfasilitasi transformasi dalam proses berjalan bersama menuju ke arah tersebut.
4) Memaknai peristiwa-peristiwa yang terjadi secara teologis.
5) Mendapatkan dan memelihara kepercayaan dari mereka yang dipimpin.
b. Sama dengan Butir 2.a di atas.
c. Sama dengan Butir 2.a di atas.
d. Sama dengan Butir 2.a di atas.
3. Wewenang
a. Wewenang Majelis Jemaat pada hakikatnya berasal dari Allah yang memanggil pejabat-pejabat
gerejawi –yang menjadi anggota-anggota Majelis Jemaat– melalui Jemaat.
b. Wewenang Majelis Klasis pada hakikatnya berasal dari Allah yang memanggil pejabat-pejabat
gerejawi –yang menjadi anggota-anggota Majelis Klasis– melalui Jemaat.
c. Wewenang Majelis Sinode Wilayah pada hakikatnya berasal dari Allah yang memanggil pejabat-
pejabat gerejawi –yang menjadi anggota-anggota Majelis Sinode Wilayah– melalui Jemaat.
d. Wewenang Majelis Sinode pada hakikatnya berasal dari Allah yang memanggil pejabat-pejabat
gerejawi –yang menjadi anggota-anggota Majelis Sinode– melalui Jemaat.
4. Pertanggungjawaban
a. Sesuai dengan wewenang yang berasal dari Allah, Majelis Jemaat pada hakikatnya
bertanggungjawab kepada Allah. Secara operasional, pertanggungjawaban Majelis Jemaat
dilaksanakan oleh Majelis Jemaat melalui Persidangan Majelis Jemaat.
b. Sesuai dengan wewenang yang berasal dari Allah, Majelis Klasis pada hakikatnya
bertanggungjawab kepada Allah. Secara operasional, pertanggungjawaban Majelis Klasis
dilaksanakan oleh Majelis Klasis melalui Persidangan Majelis Klasis.
c. Sesuai dengan wewenang yang berasal dari Allah, Majelis Sinode Wilayah pada hakikatnya
bertanggungjawab kepada Allah. Secara operasional, pertanggungjawaban Majelis Sinode
Wilayah dilaksanakan oleh Majelis Sinode Wilayah melalui Persidangan Majelis Sinode
Wilayah.
d. Sesuai dengan wewenang yang berasal dari Allah, Majelis Sinode pada hakikatnya
bertanggungjawab kepada Allah. Secara operasional, pertanggungjawaban Majelis Sinode
dilaksanakan oleh Majelis Sinode melalui Persidangan Majelis Sinode.
5. Persidangan Gerejawi
a. Cukup jelas.
b. Cukup jelas.
c. Cukup jelas.
d. Cukup jelas.
6. Rapat Kerja
a. Cukup jelas.
b. Cukup jelas.
c. Cukup jelas.
7. Peninjauan Ulang dan Banding
Cukup jelas.
8. Perwakilan

19

Cukup jelas.
9. Badan Pelayanan

Cukup jelas.
10. Tenaga Pelayanan Gerejawi

Cukup jelas.

Pasal 11
HARTA MILIK

1. Harta milik GKI adalah milik Allah. GKI dalam hal ini dipercaya oleh Allah untuk mengelolanya.
Hanya dalam pengertian itulah GKI dapat disebut sebagai pemilik.

2. Cukup jelas.
3. Cukup jelas.
4. Harta milik berupa barang tidak bergerak yang telah dimiliki atas nama Jemaat, Klasis, Sinode

Wilayah, dan Sinode sebelum pemberlakuan Tata Gereja GKI pada tanggal 26 Agustus 2003 tetap
atas nama lembaga masing-masing. Harta milik berupa barang tidak bergerak yang telah dimiliki atas
nama Jemaat, Klasis, Sinode Wilayah, dan Sinode sesudah pemberlakuan Tata Gereja GKI pada
tanggal 26 Agustus 2003 adalah atas nama GKI sebagai Sinode. Dalam keadaan di mana
pengatasnamaan GKI sebagai Sinode tidak dimungkinkan oleh peraturan pemerintah di wilayah
tertentu, harta tidak bergerak dapat diatasnamakan GKI sebagai Sinode Wilayah.
5. Cukup jelas.

Pasal 12
TATA LAKSANA

1. Cukup jelas.
2. Cukup jelas.

Pasal 13
PERUBAHAN

Cukup jelas.

Pasal 14
PENUTUP

Cukup jelas.

20

TATA LAKSANA

A. HAKIKAT DAN WUJUD

BAB I
JEMAAT

Pasal 1
TAHAPAN UNTUK PELEMBAGAAN JEMAAT

Jemaat dilembagakan setelah melalui dua tahap yaitu Pos Jemaat dan Bakal Jemaat.

Pasal 2
POS JEMAAT

1. Pos Jemaat adalah wadah kegiatan persekutuan, kesaksian, dan pelayanan Jemaat di suatu wilayah
tertentu yang diarahkan untuk menjadi Bakal Jemaat.

2. Syarat
a. Terdapat sekurang-kurangnya 15 (lima belas) anggota sidi dari Jemaat yang membentuknya.
b. Tersedia tempat kebaktian yang tetap.
c. Telah menyelenggarakan kebaktian secara teratur sekurang-kurangnya sekali seminggu.
d. Ada sekurang-kurangnya tiga (3) anggota sidi yang bersedia menjadi anggota Badan Pengurus
Pos Jemaat, yang satu dengan lainnya tidak mempunyai hubungan suami-istri, mertua-menantu,
orang tua-anak dan saudara sekandung.
e. Sesuai dengan Kebijakan dan Strategi Pengembangan GKI.

3. Prosedur
a. Majelis Jemaat mengajukan permohonan tertulis kepada Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah
yang terkait untuk mendirikan sebuah Pos Jemaat dengan tembusan kepada Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait dan Badan Pekerja Majelis Sinode. Permohonan tersebut harus
disertai dengan keterangan mengenai terpenuhinya syarat-syarat Pos Jemaat pada Tata Laksana
Pasal 2:2.
b. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait melakukan Perlawatan Umum Insidental
Jemaat dengan melibatkan Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait.
c. Berdasarkan perlawatan tersebut Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait menyusun
laporan perlawatan dan rekomendasi tentang rencana pendirian Pos Jemaat tersebut untuk
disampaikan dalam Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terdekat.
d. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait dalam rapat kerjanya mempertimbangkan
laporan perlawatan dan rekomendasi Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait untuk
mengambil keputusan mengabulkan atau menolak permohonan Majelis Jemaat tersebut.
e. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait menyampaikan keputusan tersebut kepada
Majelis Jemaat pemohon dengan tembusan kepada Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait dan
Badan Pekerja Majelis Sinode.
f. Jika Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah mengabulkan permohonan Majelis
Jemaat tersebut, Majelis Jemaat yang bersangkutan menyelenggarakan Kebaktian Peresmian Pos
Jemaat, dengan menggunakan Liturgi yang ditetapkan oleh Majelis Sinode, termasuk pelantikan
Badan Pengurus Pos Jemaat, selambat-lambatnya tiga (3) bulan sejak permohonan tersebut
dikabulkan. Kebaktian Peresmian Pos Jemaat dilayani oleh Pendeta. Dalam Kebaktian Peresmian

21

Pos Jemaat itu Badan Pekerja Majelis Sinode menyerahkan Piagam Peresmian Pos Jemaat kepada
Majelis Jemaat yang bersangkutan. Formulasi Piagam Peresmian Pos Jemaat dimuat dalam
Peranti Administrasi.
g. Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait melaporkan tentang Pos Jemaat baru itu kepada
Majelis Klasis dalam Persidangan Majelis Klasis yang terdekat.
h. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait melaporkan tentang Pos Jemaat baru itu
kepada Majelis Sinode Wilayah dalam Persidangan Majelis Sinode Wilayah terdekat, dengan
tembusan Badan Pekerja Majelis Sinode.
4. Sebuah Pos Jemaat dapat dibentuk oleh lebih dari satu Jemaat.

Pasal 3
BAKAL JEMAAT

1. Bakal Jemaat adalah bagian dari Jemaat yang merupakan pengembangan dari Pos Jemaat yang
diarahkan untuk menjadi Jemaat.

2. Syarat
a. Terdapat sekurang-kurangnya lima puluh (50) anggota sidi dari Jemaat yang membentuknya yang
bersedia terlibat dalam kegiatan pelayanan di Bakal Jemaat yang akan dibentuk.
b. Tersedia tempat kebaktian yang tetap.
c. Telah menyelenggarakan kebaktian minggu setiap hari Minggu dan kegiatan-kegiatan lain dalam
bidang persekutuan, kesaksian, dan pelayanan secara teratur.
d. Terdapat sekurang-kurangnya lima (5) anggota sidi yang dinilai mampu dan bersedia menjadi
Badan Pimpinan Bakal Jemaat, yang satu dengan lainnya tidak mempunyai hubungan suami-istri,
mertua-menantu, orang tua-anak, dan saudara sekandung.
e. Persembahan yang terkumpul dalam Pos Jemaat yang akan dijadikan Bakal Jemaat dalam tahun
pelayanan terakhir sekurang-kurangnya mencapai 40% (empatpuluh persen) dari pengeluaran Pos
Jemaat tersebut pada tahun pelayanan itu.
f. Sesuai dengan Kebijakan dan Strategi Pengembangan GKI.

3. Prosedur
a. Majelis Jemaat mengajukan permohonan tertulis kepada Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah
yang terkait untuk peningkatan status Pos Jemaat menjadi Bakal Jemaat dengan tembusan kepada
Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait dan Badan Pekerja Majelis Sinode. Permohonan
tersebut harus disertai keterangan mengenai terpenuhinya syarat-syarat Bakal Jemaat pada Tata
Laksana Pasal 3:2.
b. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait melakukan Perlawatan Umum Insidental
Jemaat dengan melibatkan Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait.
c. Berdasarkan perlawatan tersebut Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait menyusun
laporan perlawatan dan rekomendasi tentang rencana peningkatan status Pos Jemaat menjadi
Bakal Jemaat tersebut untuk disampaikan dalam Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode
Wilayah yang terdekat.
d. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait dalam rapat kerjanya mempertimbangkan
laporan perlawatan dan rekomendasi Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait untuk
mengambil keputusan mengabulkan atau menolak permohonan Majelis Jemaat tersebut.
e. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait menyampaikan keputusan tersebut kepada
Majelis Jemaat pemohon dengan tembusan kepada Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait dan
Badan Pekerja Majelis Sinode.
f. Jika Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah mengabulkan permohonan Majelis
Jemaat tersebut, Majelis Jemaat yang bersangkutan menyelenggarakan Kebaktian Peresmian
Bakal Jemaat, dengan menggunakan Liturgi Peresmian Bakal Jemaat, termasuk pelantikan
Badan Pimpinan Bakal Jemaat, selambat-lambatnya enam (6) bulan sejak persetujuan ditetapkan.
Kebaktian Peresmian Bakal Jemaat dilayani oleh Pendeta. Dalam Kebaktian Peresmian Bakal

22

Jemaat itu Badan Pekerja Majelis Sinode menyerahkan Piagam Peresmian Bakal Jemaat kepada
Majelis Jemaat yang bersangkutan. Formulasi Piagam Peresmian Bakal Jemaat dimuat dalam
Peranti Administrasi.
g. Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait melaporkan tentang Bakal Jemaat baru itu kepada
Majelis Klasis dalam Persidangan Majelis Klasis yang terdekat.
h. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait melaporkan tentang Bakal Jemaat baru itu
kepada Majelis Sinode Wilayah dalam Persidangan Majelis Sinode Wilayah yang terdekat,
dengan tembusan Badan Pekerja Majelis Sinode.

Pasal 4
PERUBAHAN STATUS BAKAL JEMAAT MENJADI POS JEMAAT

Sebuah Bakal Jemaat dapat diubah statusnya menjadi Pos Jemaat dengan persetujuan Majelis Klasis,
apabila tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai Bakal Jemaat seperti yang tercantum dalam Tata
Laksana Pasal 3:2 sekalipun telah dilakukan usaha-usaha yang optimal oleh Majelis Jemaat yang
bersangkutan. Majelis Jemaat yang bersangkutan melaporkannya kepada Badan Pekerja Majelis Klasis
yang terkait, Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait, dan Badan Pekerja Majelis Sinode.

Pasal 5
JEMAAT

1. Syarat
a. Terdapat sekurang-kurangnya seratus (100) anggota sidi dari Jemaat yang melembagakan yang
bersedia menjadi anggota Jemaat yang akan dilembagakan itu.
b. Tersedia tempat kebaktian yang tetap.
c. Mampu mewujudkan persekutuan serta melaksanakan kesaksian dan pelayanan berdasarkan
kesadaran anggota-anggotanya akan panggilan Kristus.
d. Mampu mengatur diri sendiri berdasarkan potensi kepemimpinan yang ada pada anggota-
anggotanya.
e. Mampu membiayai keperluan-keperluannya berdasarkan kesadaran tentang penatalayanan dari
anggota-anggotanya.
f. Terdapat sekurang-kurangnya tujuh (7) orang anggota sidi yang akan diteguhkan sebagai
penatua.
g. Sesuai dengan Kebijakan dan Strategi Pengembangan GKI.

2. Prosedur
a. Majelis Jemaat mengajukan permohonan tertulis kepada Badan Pekerja Majelis Sinode dengan
tembusan kepada Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait dan Badan Pekerja Majelis
Klasis yang terkait untuk melembagakan sebuah Bakal Jemaatnya menjadi Jemaat. Permohonan
tersebut harus disertai keterangan mengenai terpenuhinya syarat pelembagaan Jemaat yang
tercantum dalam Pasal 5:1.
b. Badan Pekerja Majelis Sinode melakukan Perlawatan Umum Insidental Jemaat dan meninjau
keadaan di tempat dengan melibatkan Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait dan Badan
Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait.
c. Berdasarkan perlawatan tersebut Badan Pekerja Majelis Sinode menyusun laporan perlawatan
dan rekomendasi tentang rencana pelembagaan Bakal Jemaat menjadi Jemaat untuk disampaikan
dalam Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode yang terdekat.
d. Badan Pekerja Majelis Sinode dalam rapat kerjanya mempertimbangkan laporan perlawatan dan
rekomendasi Badan Pekerja Majelis Sinode untuk mengambil keputusan mengabulkan atau
menolak permohonan Majelis Jemaat tersebut.

23

e. Badan Pekerja Majelis Sinode menyampaikan keputusan tersebut kepada Majelis Jemaat
pemohon dengan tembusan kepada Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait dan Badan Pekerja
Majelis Sinode Wilayah yang terkait.

f. Jika Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode mengabulkan permohonan Majelis Jemaat
tersebut, Majelis Jemaat yang bersangkutan menyelenggarakan Kebaktian Pelembagaan Jemaat,
termasuk peneguhan penatua, dengan menggunakan Liturgi Pelembagaan Jemaat, selambat-
lambatnya enam (6) bulan sejak permohonan tersebut dikabulkan. Kebaktian Pelembagaan
Jemaat dilayani oleh pendeta. Dalam Kebaktian Pelembagaan Jemaat itu Badan Pekerja Majelis
Sinode menyerahkan Piagam Pelembagaan Jemaat kepada Jemaat yang bersangkutan. Formulasi
Piagam Pelembagaan Jemaat dimuat dalam Peranti Administrasi..

g. Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait melaporkan Jemaat baru itu kepada Majelis Klasis
untuk diterima sebagai anggota Klasis dalam Persidangan Majelis Klasis yang terdekat.

h. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait melaporkan tentang Jemaat baru itu kepada
Majelis Sinode Wilayah untuk diterima sebagai anggota Sinode Wilayah dalam Persidangan
Majelis Sinode Wilayah yang terdekat.

i. Badan Pekerja Majelis Sinode melaporkan tentang Jemaat baru itu kepada Majelis Sinode untuk
diterima sebagai anggota Sinode dalam Persidangan Majelis Sinode yang terdekat.

Pasal 6
PERUBAHAN STATUS JEMAAT MENJADI BAKAL JEMAAT

1. Jika sebuah Jemaat tidak dapat lagi memenuhi syarat sebagai Jemaat seperti yang tercantum dalam
Tata Laksana Pasal 5:1 sekalipun telah dilakukan usaha-usaha yang optimal oleh Majelis Jemaat yang
bersangkutan maupun oleh Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait, statusnya dapat diubah menjadi
Bakal Jemaat.

2. Prosedur
a. Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait mengajukan permohonan tertulis kepada Badan
Pekerja Majelis Sinode untuk perubahan status Jemaat disertai keterangan lengkap mengenai
alasan-alasannya, dengan tembusan kepada Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait.
b. Badan Pekerja Majelis Sinode melakukan Perlawatan Umum Insidental Jemaat dan meninjau
keadaan di tempat dengan melibatkan Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait dan
Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait.
c. Badan Pekerja Majelis Sinode menyampaikan laporan perlawatan serta rekomendasi tentang
permohonan Badan Pekerja Majelis Klasis tersebut kepada Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis
Sinode yang terdekat.
d. Badan Pekerja Majelis Sinode dalam rapat kerjanya mempertimbangkan laporan perlawatan dan
rekomendasi Badan Pekerja Majelis Sinode untuk mengambil keputusan mengabulkan atau
menolak permohonan Badan Pekerja Majelis Klasis tersebut.
e. Jika Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode tersebut mengabulkan permohonan perubahan
status jemaat tersebut, Badan Pekerja Majelis Sinode menunjuk salah satu Jemaat dalam Klasis
yang terkait untuk menerima Jemaat yang diubah statusnya tersebut sebagai Bakal Jemaat dari
Jemaat tersebut.
f. Majelis Jemaat yang ditunjuk menyelenggarakan Kebaktian Peresmian Bakal Jemaat, termasuk
pelantikan Badan Pengurus Bakal Jemaat, dengan menggunakan Liturgi Peresmian Bakal Jemaat
dan dilayani oleh pendeta, selambat-lambatnya enam (6) bulan sejak permohonan perubahan
status Jemaat dikabulkan dan melaporkannya kepada Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait,
Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait, dan Badan Pekerja Majelis Sinode.
g. Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait melaporkan hal tersebut kepada Majelis Klasis yang
terkait dalam Persidangan Majelis Klasis yang terdekat.
h. Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait melaporkan hal tersebut kepada Majelis
Sinode Wilayah dalam Persidangan Majelis Sinode Wilayah yang terdekat.

24

i. Badan Pekerja Majelis Sinode melaporkan hal tersebut kepada Majelis Sinode dalam Persidangan
Majelis Sinode yang terdekat.

Pasal 7
PENGGABUNGAN JEMAAT DARI GEREJA LAIN

1. Penggabungan jemaat dari gereja lain dimungkinkan jika tidak mengganggu hubungan ekumenis
antara GKI dengan gereja tersebut.

2. Jemaat yang dimaksudkan adalah jemaat independen atau yang diserahkan oleh pimpinan sinode dari
gereja yang bersangkutan.

3. Prosedur
a. Pimpinan jemaat yang ingin menggabungkan diri atau pimpinan sinode dari jemaat yang ingin
menggabungkan diri mengajukan permohonan tertulis kepada Badan Pekerja Majelis Sinode.
Permohonan tersebut berisi alasan bergabung yang dilengkapi dengan keterangan mengenai
sejarah, ajaran, peraturan gereja, badan hukum, daftar anggota, inventaris/harta milik dan
kegiatan gerejanya, serta pernyataan kesediaan menerima Tata Gereja dan Tata Laksana GKI.
b. Badan Pekerja Majelis Sinode bersama dengan Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait dan
Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait melakukan perkunjungan kepada pimpinan
jemaat yang ingin menggabungkan diri dan/atau pimpinan sinodenya.
c. Berdasarkan perkunjungan tersebut, Badan Pekerja Majelis Sinode menyusun laporan
perkunjungan dan rekomendasi tentang permohonan tersebut untuk disampaikan dalam Rapat
Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode yang terdekat.
d. Badan Pekerja Majelis Sinode dalam Rapat Kerjanya mempertimbangkan laporan perkunjungan
dan rekomendasi Badan Pekerja Majelis Sinode untuk mengambil keputusan mengabulkan atau
menolak permohonan tersebut.
e. Jika Badan Pekerja Majelis Sinode dalam Rapat Kerjanya mengabulkan permohonan tersebut,
Badan Pekerja Majelis Sinode memproses agar jemaat tersebut menjadi Bakal Jemaat atau Pos
Jemaat dari sebuah Jemaat tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
f. Jika Badan Pekerja Majelis Sinode dalam Rapat Kerjanya tidak langsung mengabulkan
permohonan tersebut karena masalah ajaran, Badan Pekerja Majelis Sinode menunjuk sebuah
Jemaat tertentu, untuk melakukan katekisasi serta baptisan atau sidi kepada anggota-anggotanya
dan melakukan pembinaan tentang ajaran GKI serta Tata Gereja dan Tata Laksana GKI. Selama
waktu itu Jemaat tersebut tetap dipimpin oleh pimpinan jemaatnya dengan didampingi oleh
Majelis Jemaat dari Jemaat yang telah ditunjuk. Jika Badan Pekerja Majelis Sinode berpendapat
bahwa masalah ajaran sudah diselesaikan dengan baik, Badan Pekerja Majelis Sinode
memproses agar jemaat tersebut menjadi Bakal Jemaat atau Pos Jemaat dari sebuah Jemaat
tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
g. Harta milik dari Jemaat yang menggabungkan diri diserahkan kepada Badan Pekerja Majelis
Sinode untuk diteruskan kepada Jemaat induk untuk diserahkan kepada dan dikelola oleh Bakal
Jemaat atau Pos Jemaat yang dibentuk.
h. Jika Jemaat pemohon mempunyai pendeta dan ingin mempertahankannya, pendeta tersebut
diproses sesuai dengan ketentuan dalam Tata Laksana Bab XXVIII.

BAB II
KLASIS

Pasal 8
PENATAAN KLASIS

1. Penataan Klasis ditetapkan dengan memerhatikan:

25

a. Jumlah Jemaat sekurang-kurangnya tujuh (7) dan paling banyak lima belas (15).
b. Keseimbangan daya dan dana.
c. Letak geografis.
d. Kebijakan dan Strategi Pengembangan GKI.
2. Usul penataan Klasis dapat diajukan kepada Majelis Sinode Wilayah oleh Majelis Klasis atau Badan
Pekerja Majelis Sinode Wilayah dengan syarat sudah dilakukan studi kelayakan oleh Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait bersama Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait.
3. Jika penataan Klasis itu menyangkut Jemaat-jemaat lintas Sinode Wilayah, penataaan dilakukan
bersama Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah-Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah, dengan
melibatkan Badan Pekerja Majelis Klasis-Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait, dan ditetapkan
oleh Majelis Sinode Wilayah-Majelis Sinode Wilayah yang terkait.
4. Penataan Klasis ditetapkan oleh Majelis Sinode Wilayah.
5. Hasil penataan Klasis dilaporkan kepada Majelis Sinode.

BAB III
SINODE WILAYAH

Pasal 9
PENATAAN SINODE WILAYAH

1. Penataan Sinode Wilayah ditetapkan dengan memerhatikan:
a. Jumlah Klasis sekurang-kurangnya tiga (3) dan paling banyak delapan (8).
b. Keseimbangan daya dan dana.
c. Letak geografis.
d. Kebijakan dan Strategi Pengembangan GKI.

2. Usul penataan Sinode Wilayah dapat diajukan kepada Majelis Sinode oleh Majelis Sinode Wilayah
atau Badan Pekerja Majelis Sinode dengan syarat sudah dilakukan studi kelayakan oleh Badan
Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait bersama dengan Badan Pekerja Majelis Sinode.

3. Penataan Sinode Wilayah ditetapkan oleh Majelis Sinode.

B. NAMA DAN LOGO

Bab IV
NAMA

Pasal 10
CONTOH NAMA

Contoh nama Jemaat, Pos Jemaat, Bakal Jemaat, Klasis, dan Sinode Wilayah dimuat dalam Pedoman
Pelaksanaan tentang Contoh Nama Jemaat, Pos Jemaat, Bakal Jemaat, Klasis, dan Sinode Wilayah.

Bab V
LOGO GKI

26

Pasal 11
MAKNA LOGO GKI
1. Sebagai tanda yang secara simbolis menggambarkan hakikat GKI sebagai gereja, GKI menetapkan
logo GKI sebagai berikut:

GAMBAR LOGO
GKI

2. Penjelasan:
a. Perahu melambangkan gereja Tuhan yang bergerak maju memenuhi tugas panggilannya di dunia
dan pengakuan GKI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari gereja-gereja Tuhan untuk
mewujudkan Gereja Yang Esa di Indonesia dan di dunia.
b. Salib melambangkan kasih dan pengurbanan Tuhan Yesus Kristus yang menentukan jalan hidup
GKI.
c. Gelombang melambangkan dunia yang penuh tantangan dan peluang ke mana GKI diutus.
d. Alfa dan Omega melambangkan Tuhan Allah yang kekal, yang berkuasa menetapkan dan
menyertai seluruh perjalanan GKI.

C. AJARAN

Bab VI
AJARAN

Pasal 12
AJARAN
1. Dengan berpegang pada pengakuan iman GKI yang dicantumkan dalam Tata Dasar Pasal 3, ajaran
GKI dijabarkan dan dituangkan dalam buku katekisasi dan pegangan ajaran.
2. Buku katekisasi GKI terdiri dari:
a. Tumbuh dalam Kristus.
b. Tuhan Ajarlah Aku.
3. GKI menerima pegangan ajaran yang telah ada, yaitu:
a. Pegangan Ajaran mengenai Alkitab (Lampiran 5).

27

b. Pegangan Ajaran mengenai Gereja (Lampiran 6).
c. Pegangan Ajaran mengenai Pentakosta Baru (Kharismatik) (Lampiran 7):

1) Bahasa lidah.
2) Kesembuhan.
3) Wahyu penglihatan.
4) Baptisan kudus.
5) Perjamuan kudus.

D. PERSEKUTUAN

Bab VII
KEBAKTIAN

Pasal 13
JENIS

1. Kebaktian Minggu
Kebaktian Minggu adalah kebaktian yang diselenggarakan pada hari Minggu.

2. Kebaktian Hari Raya Gerejawi
Untuk merayakan peristiwa-peristiwa Kristus sepanjang tahun gerejawi diselenggarakan Kebaktian
Hari Raya Gerejawi pada: Minggu-minggu Adven, Malam Natal, Natal, Minggu Epifani, Minggu
Baptisan Tuhan Yesus Kristus, Minggu Transfigurasi, Rabu Abu, Minggu-minggu Prapaskah, Kamis
Putih, Jumat Agung, Paskah, Minggu-minggu Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus Kristus, Pentakosta,
Minggu Trinitas, dan Minggu Kristus Raja.

3. Kebaktian untuk Peristiwa Khusus Gerejawi
Untuk peristiwa-peristiwa khusus gerejawi diselenggarakan:
a. Kebaktian Inisiasi.
b. Kebaktian Ordinasi.
c. Kebaktian Institusionalisasi.
d. Kebaktian Pastoral.

4. Kebaktian Lain
Kebaktian-kebaktian lain yang diselenggarakan berdasarkan kebutuhan dalam rangka kehidupan
bergereja dan bernegara antara lain untuk:
a. Hari Reformasi.
b. Tutup Tahun.
c. Tahun Baru.
d. Hari Ulang Tahun GKI.
e. Hari Ulang Tahun Jemaat.
f. Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

5. Kebaktian Keluarga
Dalam rangka kehidupan Jemaat diselenggarakan kebaktian keluarga, baik untuk keluarga sendiri
maupun yang melibatkan orang lain di luar keluarga yang bersangkutan, untuk antara lain kebaktian
harian, hari ulang tahun, hari ulang tahun pernikahan, penghiburan, dan pertunangan.

6. Kebaktian oleh Badan Pelayanan
Kebaktian yang diselenggarakan oleh badan pelayanan jemaat, badan pelayanan klasis, badan
pelayanan sinode wilayah, dan badan pelayanan sinode dalam rangka pelaksanaan tugas pelayanan
mereka.
Pasal 14
PENANGGUNGJAWAB DAN PENYELENGGARA

28

1. Jemaat
a. Majelis Jemaat adalah penanggung jawab atas seluruh kebaktian yang diselenggarakan dalam
Jemaatnya.
b. Majelis Jemaat berkewajiban untuk menyelenggarakan Kebaktian Minggu, Kebaktian Hari Raya
Gerejawi, kebaktian pada peristiwa khusus gerejawi, dan kebaktian-kebaktian lain sesuai dengan
kebutuhan.
c. Majelis Jemaat dalam rangka pelaksanaan kebaktian dapat memanggil pendeta atau tenaga
pelayanan dari gereja lain sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan tentang Syarat Pendeta atau
Pelayan dari Gereja Lain untuk Melayani Kebaktian atau Acara-acara Lain Yang Terkait dengan
Ajaran.
d. Majelis Jemaat dapat mengadakan pertukaran pelayan kebaktian dengan gereja lain yang seajaran
dengan GKI. Daftar Gereja yang seajaran dengan GKI ditetapkan oleh Badan Pekerja Majelis
Sinode melalui Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode.
e. Kebaktian keluarga untuk keluarga sendiri dilaksanakan oleh keluarga yang bersangkutan.
f. Kebaktian keluarga yang melibatkan orang lain di luar keluarga yang bersangkutan dengan
pemimpin/pengkhotbah dari luar Jemaat maupun yang terkait dengan Jemaatnya dilaksanakan
setelah berkonsultasi dengan Majelis Jemaatnya.
g. Badan pelayanan jemaat dapat menyelenggarakan kebaktian yang berhubungan dengan tugas
pelayanannya.

2. Klasis
a. Majelis Klasis dapat menyelenggarakan kebaktian dalam rangka persidangan-persidangan
gerejawinya.
b. Badan pelayanan klasis dapat menyelenggarakan kebaktian dalam rangka pelaksanaan tugas
pelayanannya.

3. Sinode Wilayah
a. Majelis Sinode Wilayah dapat menyelenggarakan kebaktian dalam rangka persidangan-
persidangan gerejawinya.
b. Badan pelayanan sinode wilayah dapat menyelenggarakan kebaktian dalam rangka pelaksanaan
tugas pelayanannya.

4. Sinode
a. Majelis Sinode dapat menyelenggarakan kebaktian dalam rangka persidangan-persidangan
gerejawinya.
b. Badan pelayanan sinode dapat menyelenggarakan kebaktian dalam rangka pelaksanaan tugas
pelayanannya.

Pasal 15
LITURGI

Majelis Sinode menetapkan Liturgi GKI, yang terdiri dari:
1. Liturgi Minggu
2. Liturgi Inisiasi, yang terdiri dari:

a. Liturgi Baptisan Kudus Dewasa.
b. Liturgi Baptisan Kudus Anak.
c. Liturgi Pengakuan Percaya/Sidi.
d. Liturgi Penerimaan Anggota.
e. Liturgi Pembaruan Pengakuan Percaya.
3. Liturgi Perjamuan Kudus, yang terdiri dari:
a. Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus.
b. Liturgi Perjamuan Kudus.
4. Liturgi Ordinasi, yang terdiri dari:
a. Liturgi Peneguhan Penatua.

29

b. Liturgi Penahbisan Pendeta.
c. Liturgi Peneguhan Pendeta.
d. Liturgi Penahbisan Pendeta Tugas Khusus.
e. Liturgi Peneguhan Pendeta Tugas Khusus.
f. Liturgi Emeritasi Pendeta.
g. Liturgi Pelantikan Tenaga Pelayan Gerejawi.
5. Liturgi Institusionalisasi, yang terdiri dari:
a. Liturgi Peresmian Pos Jemaat.
b. Liturgi Peresmian Bakal Jemaat.
c. Liturgi Pelembagaan Jemaat.
d. Liturgi Pelantikan Badan Pelayanan Jemaat.
e. Liturgi Pelantikan Badan Pekerja Majelis Jemaat dan Badan Pemeriksa Harta Milik Jemaat.
f. Liturgi Pelantikan Badan Pekerja Majelis Klasis dan Badan Pemeriksa Harta Milik Klasis.
g. Liturgi Pelantikan Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah dan Badan Pemeriksa Harta Milik

Sinode Wilayah.
h. Liturgi Pelantikan Badan Pekerja Majelis Sinode dan Badan Pemeriksa Harta Milik Sinode.
6. Liturgi Pastoral, yang terdiri dari:
a. Liturgi Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan.
b. Liturgi Pemakaman/Kremasi.

Pasal 16
BUKU NYANYIAN

1. Majelis Sinode menetapkan buku nyanyian untuk kebaktian-kebaktian yang liturginya ditetapkan oleh
Majelis Sinode.

2. Buku nyanyian tersebut terdiri dari Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Kidung Baru, dan Pelengkap
Kidung Jemaat.

3. Di luar Butir 2 di atas, Majelis Jemaat bertanggungjawab untuk menyeleksi nyanyian-nyanyian yang
dipakai dalam kebaktian dan kegiatan-kegiatan lain sesuai dengan ajaran GKI dan mengawasi
pemakaiannya.
Pasal 17
LEKSIONARI

1. Pengertian
Leksionari adalah daftar pembacaan Alkitab yang disusun menurut tahun gerejawi.

2. Pemakaian
Leksionari dipakai dalam liturgi GKI untuk Kebaktian Minggu dan Kebaktian Hari Raya Gerejawi.

3. Tujuan Pemakaian
Leksionari dipakai dalam liturgi GKI agar:
a. Alkitab dibacakan secara lebih utuh dalam Kebaktian Minggu dan Kebaktian Hari Raya
Gerejawi.
b. Liturgi GKI mempunyai pola pembacaan Alkitab yang ekumenis dan sesuai dengan peringatan
tentang peristiwa Kristus.

4. Sumber
Leksionari yang dipakai GKI diambil dari The Revised Common Lectionary untuk pembacaan hari
Minggu (Sunday/weekly readings) yang memiliki siklus tiga (3) tahunan.

5. Siklus Bacaan
Siklus pembacaan dalam leksionari untuk Kebaktian Minggu dan Kebaktian Hari Raya Gerejawi
terdiri dari tahun A (Matius), tahun B (Markus), dan tahun C (Lukas).

Pasal 18

30

PAKAIAN LITURGIS PENDETA
1. Jenis

Pakaian liturgis pendeta terdiri dari:
a. Toga yaitu jubah berwarna hitam yang biasa dikenal sebagai jubah Jenewa, dengan perlengkapan

stola dan kalung salib.
b. Jas dengan kemeja hitam atau kemeja warna lain yang sesuai dengan warna liturgis, dengan

perlengkapan pin salib.
2. Perlengkapan

a. Stola
Stola adalah perlengkapan yang berbentuk kain sutra polos panjang dengan warna liturgis. Stola
dihias dengan simbol Allah Tritunggal.

b. Kerah Pendeta
Kerah pendeta adalah perlengkapan kemeja yang berwarna putih.

c. Kalung Salib
Kalung salib adalah perlengkapan pakaian liturgis yang melambangkan Kristus terbuat dari
logam berwarna emas dan dikeluarkan oleh Majelis Sinode demi keseragaman.

d. Pin Salib
Pin salib adalah perlengkapan pakaian liturgis yang melambangkan Kristus.

3. Gambar dan Makna Simbol pada Stola
a. Stola diberi simbol Allah Tritunggal sebagai berikut:

GAMBAR SIMBOL ALLAH TRITUNGGAL

b. Simbol Allah Tritunggal itu terdiri dari tiga simbol yang dirangkaikan menjadi satu, yaitu:
1) Simbol “tangan Allah” (Latin: manus Dei) yang merupakan simbol Allah Bapa.
Gambar tangan kanan yang menghadap ke atas, dengan jempol, telunjuk, dan jari tengah
terbuka sedangkan jari manis dan kelingking tertekuk adalah simbol kuasa, kepemilikan,
pemeliharaan, dan berkat Allah atas seluruh ciptaan-Nya.
2) Simbol “salib” yang merupakan simbol Allah Anak (Yesus Kristus).
Gambar salib adalah simbol penderitaan dan kematian Tuhan Yesus Kristus yang, bersama
dengan kebangkitan-Nya, merupakan bagian dan puncak karya keselamatan Allah, di dan
bagi dunia ini.
3) Simbol “burung merpati” yang merupakan simbol Allah Roh Kudus.
Gambar burung merpati yang putih bersih dan terbang dengan kebebasannya adalah simbol
Allah Roh Kudus yang membimbing, menguatkan, menghiburkan, dan membarui gereja-Nya
dan umat manusia.

4. Model dan Pemakaian
Ketentuan tentang model dan pemakaian pakaian liturgis pendeta diatur dalam Pedoman Pelaksanaan
tentang Model dan Pemakaian Pakaian Liturgis Pendeta.

Pasal 19
WARNA LITURGIS

Untuk mencirikan Tahun Gerejawi dan peristiwa-peristiwa lain, ditetapkan warna liturgis yang diatur
lebih lanjut dalam Pedoman Pelaksanaan tentang Warna-warna Liturgis.

Bab VIII
SAKRAMEN

31

Pasal 20
JENIS

Sakramen yang diakui dan dilaksanakan oleh GKI adalah:
1. Baptisan kudus, yaitu baptisan kudus dewasa dan baptisan kudus anak.
2. Perjamuan kudus.

Pasal 21
BAPTISAN KUDUS DEWASA

1. Baptisan kudus dewasa adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada orang yang mengaku imannya
bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat dunia.

2. Syarat
a. Telah berusia lima belas (15) tahun.
b. Kelakuan dan/atau paham pengajarannya sesuai dengan Firman Allah dan ajaran GKI.
c. Telah menyelesaikan katekisasi. Jika ada orang yang telah menyelesaikan katekisasi di gereja lain
yang mempunyai perbedaan ajaran dengan GKI, ia perlu diperlengkapi dengan penjelasan tentang
pokok-pokok ajaran yang berbeda itu dan pengenalan tentang GKI.
d. Ditetapkan layak oleh Majelis Jemaat setelah mengikuti percakapan gerejawi yang
diselenggarakan oleh Majelis Jemaat berkenaan dengan pemahaman dan penghayatan imannya.
e. Jika calon baptisan berasal dari agama lain dan secara hukum belum dewasa, ia harus mendapat
izin tertulis dari kedua orang tua atau walinya. Yang dimaksudkan dengan “belum dewasa”
adalah usia di bawah delapan belas (18) tahun (UU RI Nomor 23/2002 tentang Perlindungan
Anak Pasal 1.1.)

3. Prosedur
a. Calon baptisan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat dengan menggunakan
formulir yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi.
b. Majelis Jemaat melakukan percakapan gerejawi yang meliputi pemahaman dan penghayatan
calon baptisan tentang:
1) Dasar dan motivasi calon baptisan kudus dewasa.
2) Pokok-pokok iman Kristen terutama mengenai Allah, manusia, dosa, keselamatan, hidup
baru, gereja, Alkitab, kerajaan Allah.
3) Tanggung jawab dan hak sebagai anggota.
4) Hal-hal lain yang dianggap perlu.
c. Jika Majelis Jemaat memandang calon baptisan layak untuk menerima pelayanan baptisan,
Majelis Jemaat mewartakan nama dan alamat calon baptisan dalam warta jemaat selama tiga (3)
hari Minggu berturut-turut untuk memberikan kesempatan kepada anggota untuk ikut mendoakan
dan mempertimbangkannya.
d. Jika masa pewartaan tiga (3) hari Minggu telah selesai dan tidak ada keberatan yang sah dari
anggota sidi, Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan baptisan kudus dewasa dalam Kebaktian
Minggu atau Kebaktian Hari Raya Gerejawi dengan menggunakan Liturgi Baptisan Kudus
Dewasa dan dilayani oleh pendeta.
e. Keberatan dinyatakan sah jika:
1) Diajukan tertulis secara pribadi dengan mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta
dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari anggota yang mengajukan keberatan tersebut dan
tidak merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama.
2) Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat baptisan kudus dewasa.
3) Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Jemaat.
f. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Jemaat menangguhkan pelaksanaan pelayanan baptisan
kudus dewasa bagi calon baptisan yang bersangkutan sampai persoalannya selesai atau
membatalkan pelaksanaannya. Jika Majelis Jemaat pada akhirnya membatalkan pelaksanaan

32

pelayanan baptisan kudus dewasa bagi calon baptisan yang bersangkutan, Majelis Jemaat
mewartakan hal tersebut dalam warta jemaat.
g. Majelis Jemaat memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang
mengajukan.
h. Baptisan dilaksanakan dengan percikan air dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.
i. Majelis Jemaat memberikan Piagam Baptisan Kudus Dewasa kepada yang dibaptiskan yang
formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi dan mencatat namanya dalam Buku Induk
Anggota GKI.
4. Baptisan Kudus Dewasa atas Permohonan Jemaat atau Gereja Lain
a. Majelis Jemaat dapat melaksanakan pelayanan baptisan kudus dewasa atas permohonan dari
jemaat atau gereja lain.
b. Prosedur
1) Majelis Jemaat menerima surat permohonan dari majelis/pimpinan jemaat/gereja pemohon.
2) Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan baptisan kudus dewasa dengan mengikuti ketentuan

sebagaimana tercantum dalam Tata Laksana Pasal 21:3.a-h. Khusus bagi Majelis Jemaat
GKI, Majelis Jemaat pemohon juga melaksanakan Tata Laksana Pasal 21:3.a-g. Percakapan
gerejawi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Majelis Jemaat pelaksana dan
majelis/pimpinan jemaat pemohon.
3) Majelis Jemaat memberikan Piagam Baptisan Kudus Dewasa tanpa mencatat nama yang
dibaptis dalam Buku Induk Anggota GKI. Nomor induk keanggotaan dicatat oleh Jemaat
pemohon.
4) Majelis Jemaat memberitahukan secara tertulis kepada majelis/pimpinan jemaat/gereja
pemohon tentang pelaksanaan baptisan kudus dewasa tersebut.

Pasal 22
BAPTISAN KUDUS ANAK

1. Baptisan kudus anak adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada anak berdasarkan perjanjian
anugerah Allah dalam Tuhan Yesus Kristus dan pengakuan iman orang tua/walinya yang sah secara
hukum. Yang dimaksudkan dengan wali adalah:
a. Orang yang ditetapkan secara hukum sebagai wali anak tersebut, atau
b. Orang yang mendapatkan persetujuan tertulis dari orang tua anak yang bersangkutan untuk
mewakilinya, atau
c. Orang yang bertanggungjawab atas pemeliharaan anak yatim piatu Kristen.

2. Syarat
a. Calon berusia di bawah lima belas (15) tahun.
b. Kedua atau salah satu orang tua/walinya adalah anggota sidi dari Jemaat yang bersangkutan dan
tidak berada di bawah penggembalaan khusus. Jika salah satu orang tua/walinya belum anggota
sidi, orang tua/wali yang bersangkutan sebaiknya menyatakan persetujuan tertulis yang
formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi.
c. Orang tua/walinya ditetapkan layak oleh Majelis Jemaat setelah mengikuti percakapan gerejawi
yang diselenggarakan oleh Majelis Jemaat berkenaan dengan pemahaman dan penghayatan
imannya.

3. Prosedur
a. Orang tua/walinya mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat dengan menggunakan
formulir yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi.
b. Majelis Jemaat melakukan percakapan gerejawi yang meliputi pemahaman dan penghayatan
iman orang tua/wali tentang:

33

1) Dasar dan motivasi pengajuan permohonan baptisan kudus anak.
2) Makna baptisan kudus anak.
3) Tanggung jawab sebagai orang tua/wali yang membaptiskan anaknya untuk mendidik

anaknya dalam iman Kristen dan mendorong anaknya untuk mengaku percaya/sidi.
4) Hal-hal lain yang dianggap perlu.
c. Jika Majelis Jemaat memandang orang tua/wali dari calon baptisan layak untuk membaptiskan
anaknya, Majelis Jemaat mewartakan nama dan alamat calon baptisan serta nama dan alamat
orang tua/walinya dalam warta jemaat selama tiga (3) hari Minggu berturut-turut untuk
memberikan kesempatan kepada anggota ikut mendoakan dan mempertimbangkannya.
d. Jika masa pewartaan tiga (3) hari Minggu telah selesai dan tidak ada keberatan yang sah dari
anggota sidi, Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan baptisan kudus anak dalam Kebaktian
Minggu atau Kebaktian Hari Raya Gerejawi dengan menggunakan Liturgi Baptisan Kudus Anak
dan dilayani oleh pendeta.
e. Keberatan dinyatakan sah jika:
1) Diajukan tertulis secara pribadi dengan mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta

dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari anggota yang mengajukan keberatan tersebut dan
tidak merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama.
2) Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat baptisan kudus anak.
3) Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Jemaat.
f. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Jemaat menangguhkan pelaksanaan pelayanan baptisan
kudus anak bagi calon baptisan yang bersangkutan sampai persoalannya selesai atau
membatalkan pelaksanaannya. Jika Majelis Jemaat pada akhirnya membatalkan pelaksanaan
pelayanan baptisan kudus anak bagi calon baptisan yang bersangkutan, Majelis Jemaat
mewartakan hal tersebut dalam warta jemaat.
g. Majelis Jemaat memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang
mengajukan.
h. Baptisan dilaksanakan dengan percikan air dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.
i. Majelis Jemaat memberikan Piagam Baptisan Kudus Anak kepada orang tua/wali dari anak yang
dibaptiskan, yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi dan mencatat namanya dalam
Buku Induk Anggota GKI.
4. Baptisan Kudus Anak atas Permohonan Jemaat atau Gereja Lain
a. Majelis Jemaat dapat melaksanakan pelayanan baptisan kudus anak atas permohonan dari jemaat
atau gereja lain.
b. Prosedur
1) Majelis Jemaat pelaksana mendapat surat permohonan dari Majelis Jemaat atau pimpinan
jemaat gereja lain.
2) Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan baptisan kudus anak atas permohonan itu dengan
mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam Tata Laksana Pasal 22:3.a-h. Dalam
lingkup GKI, Majelis Jemaat pemohon juga melaksanakan Tata Laksana Pasal 22:3.a-g.
Percakapan gerejawi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Majelis Jemaat
pelaksana dan majelis/pimpinan jemaat pemohon.
3) Majelis Jemaat pelaksana memberikan Piagam Baptisan Kudus Anak tanpa mencatat
namanya dalam Buku Induk Anggota GKI, dan melaporkan pelaksanaannya kepada Majelis
Jemaat pemohon.
4) Majelis Jemaat pelaksana memberitahukan secara tertulis kepada Majelis Jemaat atau
pimpinan gereja pemohon tentang pelaksanaan baptisan kudus anak tersebut.

Pasal 23
BAPTISAN KUDUS DALAM KEADAAN DARURAT

34

1. Baptisan kudus dalam keadaan darurat adalah baptisan kudus yang dilayankan kepada orang jompo
atau orang dewasa yang sakit keras yang masih dapat mengaku imannya, atau kepada anak yang sakit
keras atas dasar pengakuan iman orang tuanya/walinya.

2. Majelis Jemaat melaksanakan percakapan penggembalaan dengan calon baptisan (bagi baptisan
kudus dewasa) atau dengan orang tuanya/walinya (bagi baptisan kudus anak) mengenai pengakuan
imannya.

3. Baptisan kudus dalam keadaan darurat dilaksanakan dalam kebaktian di tempat calon berada,
dilayankan oleh pendeta dan didampingi oleh paling sedikit satu (1) orang penatua.

4. Majelis Jemaat mewartakan hal tersebut kepada anggota pada hari Minggu terdekat.
5. Majelis Jemaat memberikan Piagam Baptisan Kudus Dewasa kepada yang dibaptiskan atau Piagam

Baptisan Kudus Anak kepada orang tua/walinya, dan mencatat namanya dalam Buku Induk Anggota
GKI.

Pasal 24
PENGAKUAN PERCAYA/SIDI

1. Pengakuan percaya/sidi adalah pengakuan percaya yang dilayankan berkenaan dengan baptisan kudus
anak yang telah diterima oleh seorang anggota baptisan.

2. Syarat
a. Telah berusia lima belas (15) tahun.
b. Telah menerima baptisan kudus anak.
c. Tidak berada di bawah penggembalaan khusus.
d. Telah menyelesaikan katekisasi. Jika ada orang yang katekisasinya diselesaikan di gereja lain
yang mempunyai perbedaan ajaran dengan GKI, ia perlu diperlengkapi dengan penjelasan tentang
pokok-pokok ajaran yang berbeda itu dan pengenalan tentang GKI.
e. Ditetapkan layak oleh Majelis Jemaat setelah mengikuti percakapan gerejawi yang
diselenggarakan oleh Majelis Jemaat berkenaan dengan pemahaman dan penghayatan imannya.

3. Prosedur
a. Calon yang akan mengaku percaya/sidi mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat
dengan menggunakan formulir yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi.
b. Majelis Jemaat melakukan percakapan gerejawi yang meliputi pemahaman dan penghayatan
iman calon tentang:
1) Dasar dan motivasi pengajuan permohonan pelayanan pengakuan percaya/sidi.
2) Pokok-pokok iman Kristen terutama mengenai Allah, manusia, dosa, keselamatan, hidup
baru, gereja, Alkitab, kerajaan Allah
3) Tanggung jawab dan hak sebagai anggota.
4) Hal-hal lain yang dianggap perlu.
c. Jika Majelis Jemaat memandang calon layak untuk mengaku percaya/sidi, Majelis Jemaat
mewartakan nama dan alamat calon yang akan mengaku percaya/sidi dalam warta jemaat selama
tiga (3) hari Minggu berturut-turut untuk memberikan kesempatan kepada anggota untuk ikut
mendoakan dan mempertimbangkannya.
d. Jika masa pewartaan tiga (3) hari Minggu telah selesai dan tidak ada keberatan yang sah dari
anggota sidi, Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan pengakuan percaya/sidi dalam Kebaktian
Minggu atau Kebaktian Hari Raya Gerejawi dengan menggunakan Liturgi Pengakuan
Percaya/Sidi dan dilayani oleh pendeta.
e. Keberatan dinyatakan sah jika:

35

1) Diajukan tertulis secara pribadi dengan mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta
dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari anggota yang mengajukan keberatan tersebut dan
tidak merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama.

2) Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat pengakuan percaya/sidi.
3) Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Jemaat.
f. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Jemaat menangguhkan pelaksanaan pengakuan percaya/sidi
calon yang bersangkutan sampai persoalannya selesai, atau Majelis Jemaat dapat membatalkan
pelaksanaannya. Jika Majelis Jemaat pada akhirnya membatalkan pelaksanaan pelayanan
pengakuan percaya/sidi bagi calon yang bersangkutan, Majelis Jemaat mewartakan hal tersebut
dalam warta jemaat.
g. Majelis Jemaat memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang
mengajukan.
h. Pengakuan percaya/sidi dilaksanakan dengan penumpangan tangan oleh pendeta.
i. Majelis Jemaat memberikan Piagam Pengakuan Percaya/Sidi kepada yang diteguhkan, yang
formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi dan mencatat namanya dalam Buku Induk
Anggota GKI.
4. Pengakuan Percaya/Sidi atas Permohonan Jemaat atau Gereja Lain
a. Majelis Jemaat dapat melaksanakan pelayanan pengakuan percaya/sidi atas permohonan dari
jemaat atau gereja lain.
b. Prosedur
1) Majelis Jemaat menerima surat permohonan dari majelis/pimpinan jemaat/gereja pemohon.
2) Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan pengakuan percaya/sidi dengan mengikuti ketentuan

sebagaimana yang tercantum dalam Tata Laksana Pasal 24:3.a-h. Khusus bagi Majelis Jemaat
GKI, Majelis Jemaat pemohon juga melaksanakan Tata Laksana Pasal 24:3 a-g. Percakapan
gerejawi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara Majelis Jemaat pelaksana dan
majelis/pimpinan jemaat pemohon.
3) Majelis Jemaat memberikan Piagam Pengakuan Percaya/Sidi tanpa mencatat nama yang
mengaku percaya/sidi dalam Buku Induk Anggota GKI.
4) Majelis Jemaat memberitahukan secara tertulis kepada majelis/ pimpinan jemaat/gereja
pemohon tentang pelaksanaan pengakuan percaya/sidi tersebut.
5. Bagi calon yang adalah anggota baptisan dari jemaat/gereja lain dan ingin menjadi anggota dari
Jemaat pelaksana, pengakuan percaya/sidinya dapat dilaksanakan setelah yang bersangkutan
menempuh proses perpindahan keanggotaan.

Pasal 25
PERJAMUAN KUDUS

1. Perjamuan kudus harus dirayakan di Jemaat sekurang-kurangnya empat (4) kali dalam setahun.
2. Yang diperkenankan ikut mengambil bagian dalam perjamuan kudus adalah anggota sidi dan anggota

sidi gereja lain sebagai tamu, yang tidak berada di bawah penggembalaan khusus.
3. Majelis Jemaat mempersiapkan perayaan perjamuan kudus agar anggota memahami dan menghayati

arti perjamuan kudus serta melakukan pemeriksaan diri (sensura morum), dengan:
a. Mewartakan perayaan perjamuan kudus tersebut selama tiga (3) hari Minggu berturut-turut

dengan mencantumkan Formulir Persiapan Perjamuan Kudus yang ditetapkan oleh Majelis
Sinode.
b. Melaksanakan Kebaktian Persiapan Perjamuan Kudus pada Kebaktian Minggu terakhir sebelum
perayaan Perjamuan Kudus tersebut, dengan menggunakan Liturgi Persiapan Perjamuan Kudus.
4. Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan perjamuan kudus dalam Kebaktian Minggu dan/atau
Kebaktian Hari Raya Gerejawi serta kebaktian pembukaan/penutupan persidangan dengan
menggunakan Liturgi Perjamuan Kudus dan dilayani oleh pendeta.

36

5. Perjamuan kudus menggunakan roti dan air anggur. Bagi anggota yang tidak bisa minum air anggur
disediakan teh atau air.

6. Dalam rangka perayaan perjamuan kudus terjadwal, Majelis Jemaat dapat melaksanakan pelayanan
perjamuan kudus di rumah atau di rumah sakit pada hari yang ditetapkan, yang dilayankan oleh
pendeta dengan menggunakan Liturgi Perjamuan Kudus yang disesuaikan, bagi:
a. Anggota yang sudah uzur tetapi masih mampu memahami dan menghayati arti perjamuan kudus,
dan yang tidak dapat mengikuti perjamuan kudus di tempat kebaktian.
b. Anggota yang sakit tetapi masih mampu memahami dan menghayati arti perjamuan kudus, yang
tidak dapat mengikuti Kebaktian Minggu dalam waktu yang lama.

Bab IX
KATEKISASI

Pasal 26
KATEKISASI

1. Katekisasi adalah pendidikan iman dan ajaran tentang pokok-pokok iman Kristen untuk
mempersiapkan katekisan menjadi anggota sidi yang memahami dan melaksanakan tugas
panggilannya dalam kehidupannya secara utuh.

2. Katekisasi dilaksanakan oleh Majelis Jemaat dan dilayankan oleh pendeta atau orang yang ditunjuk
oleh Majelis Jemaat.

3. Katekisasi berlangsung selama sembilan (9) sampai dua belas (12) bulan yang diselenggarakan
seminggu sekali dengan menggunakan buku katekisasi yang disebutkan dalam Pasal 17.

4. Bagi kasus-kasus tertentu di mana calon tidak dapat mengikuti katekisasi menurut waktu yang
ditentukan, Majelis Jemaat menentukan lama penyelenggaraan dan menyesuaikan bahan
katekisasinya.

Bab X
PERNIKAHAN GEREJAWI

Pasal 27
PENGERTIAN

1. Pernikahan gerejawi adalah peneguhan dan pemberkatan secara gerejawi bagi seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk menjadi pasangan suami-istri dalam ikatan perjanjian seumur hidup yang
bersifat monogamis dan yang tidak dapat dipisahkan, berdasarkan kasih dan kesetiaan mereka di
hadapan Allah dan jemaat-Nya.

2. Pernikahan gerejawi dilaksanakan dalam Kebaktian Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan di
tempat kebaktian jemaat.

Pasal 28
SYARAT

1. Kedua atau salah satu calon mempelai adalah anggota sidi, kecuali yang diatur dalam peraturan
mengenai pernikahan gerejawi dengan ketentuan khusus, yang tidak berada di bawah penggembalaan
khusus.

2. Calon mempelai telah mengikuti Pembinaan Pranikah yang bahannya ditetapkan oleh Badan Pekerja
Majelis Sinode melalui Rapat Kerja Badan Pekerja Majelis Sinode.

3. Calon mempelai telah mendapatkan surat keterangan atau bukti pendaftaran dari Kantor Catatan Sipil
yang menyatakan bahwa pasangan tersebut memenuhi syarat untuk dicatat pernikahannya, atau calon

37

mempelai telah membuat surat pernyataan tentang kesediaannya untuk mencatatkan pernikahannya di
Kantor Catatan Sipil, yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi.

Pasal 29
PROSEDUR

1. Calon mempelai mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat dengan menggunakan
formulir yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi, selambat-lambatnya tiga (3) bulan
sebelum pernikahan gerejawinya dilaksanakan.

2. Majelis Jemaat melakukan percakapan gerejawi dengan calon mempelai tentang:
a. Dasar-dasar pernikahan kristiani.
b. Dasar dan motivasi pernikahan gerejawi.
c. Tanggung jawab sebagai keluarga Kristen.
d. Hal-hal lain yang dianggap perlu.

3. Jika Majelis Jemaat memandang calon mempelai layak untuk menerima peneguhan dan pemberkatan
pernikahan, Majelis Jemaat mewartakan nama dan alamat calon mempelai dalam warta jemaat selama
tiga (3) hari Minggu berturut-turut untuk memberikan kesempatan kepada anggota ikut mendoakan
dan mempertimbangkannya.

4. Jika masa pewartaan tiga (3) hari Minggu telah usai dan tidak ada keberatan yang sah dari anggota
sidi, Majelis Jemaat melaksanakan pelayanan pernikahan gerejawinya dengan menggunakan Liturgi
Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan dan dilayani oleh pendeta.

5. Keberatan dinyatakan sah jika:
a. Diajukan tertulis secara pribadi dengan mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta
dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari anggota yang mengajukan keberatan tersebut dan
tidak merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama.
b. Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat pernikahan gerejawi.
c. Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Jemaat.

6. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Jemaat menangguhkan pelaksanaan pernikahan gerejawi itu
sampai persoalannya selesai atau membatalkan pelaksanaannya. Jika Majelis Jemaat pada akhirnya
membatalkan pelaksanaan pernikahan gerejawi itu, Majelis Jemaat mewartakan hal tersebut dalam
warta jemaat.

7. Majelis Jemaat memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang mengajukan.
8. Majelis Jemaat memberikan Piagam Pernikahan Gerejawi kepada kedua mempelai yang formulasinya

dimuat dalam Peranti Administrasi dan mencatat pernikahannya dalam Buku Induk Anggota GKI.
9. Bagi calon mempelai yang salah satunya bukan anggota sidi berlaku ketentuan tambahan sebagai

berikut:
a. Jika salah seorang dari calon mempelai adalah anggota sidi atau anggota baptisan dari jemaat

atau gereja lain, ia terlebih dahulu meminta surat persetujuan dari Majelis Jemaat atau pimpinan
gerejanya. Jika ia tidak berhasil memperoleh surat tersebut, Majelis Jemaat mengirim surat
kepada Majelis Jemaat atau pimpinan gereja asalnya untuk meminta surat persetujuan. Jika
Majelis Jemaat dalam waktu empat (4) minggu tidak memperoleh surat persetujuan, calon dapat
menunjukkan surat baptisan/surat pengakuan percaya, atau surat keterangan lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Jika salah seorang calon mempelai bukan anggota, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis
dengan menggunakan formulir yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi, bahwa:
1) Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.
2) Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/istrinya untuk tetap hidup dan beribadat

menurut iman Kristen.
3) Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik

secara Kristiani.
10. Pernikahan Gerejawi atas Permohonan Jemaat/Gereja Lain

38

a. Majelis Jemaat dapat melaksanakan pelayanan pernikahan gerejawi atas permohonan tertulis dari
jemaat atau gereja lain dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

b. Pembinaan Pranikah dan percakapan gerejawi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan antara
Majelis Jemaat dengan pimpinan jemaat/gereja pemohon.

c. Pewartaan harus dilaksanakan oleh Majelis Jemaat dan majelis/pimpinan gereja pemohon.
d. Piagam Pernikahan Gerejawi diberikan kepada mempelai oleh Majelis Jemaat.
e. Majelis Jemaat memberitahukan secara tertulis kepada Majelis Jemaat atau pimpinan

jemaat/gereja pemohon tentang pelaksanaan pernikahan gerejawi tersebut.

Pasal 30
PERNIKAHAN GEREJAWI SECARA EKUMENIS

DENGAN GEREJA KATOLIK

1. Pengertian
Majelis Jemaat dimungkinkan untuk melaksanakan pelayanan pernikahan gerejawi secara ekumenis
dengan Gereja Katolik, yaitu pernikahan gerejawi bagi anggota GKI dan anggota Gereja Katolik yang
dilaksanakan oleh Majelis Jemaat bersama Gereja Katolik serta dilayani oleh pendeta dan pastor
secara bersama.

2. Pernikahan Gerejawi Ekumenis Yang Dilaksanakan di GKI
a. Prosedur
1) Calon mempelai mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat selambat-
lambatnya tiga (3) bulan sebelum kebaktian pernikahan gerejawi secara ekumenis dengan
Gereja Katolik dilaksanakan.
2) Calon yang berasal dari Gereja Katolik menyerahkan fotokopi surat permohonan tertulis
yang diajukan kepada gerejanya sesuai dengan hukum kanonik.
3) Majelis Jemaat menulis surat pemberitahuan kepada Gereja Katolik tentang permohonan
pelayanan kebaktian pernikahan gerejawi tersebut.
4) Prosedur selanjutnya sesuai dengan Tata Laksana Pasal 29:2-8.
b. Liturgi
Liturgi yang digunakan mengacu pada Liturgi Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan GKI.

3. Pernikahan Gerejawi Ekumenis Yang Dilaksanakan di Gereja Katolik
a. Prosedur
1) Calon mempelai mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat selambat-
lambatnya tiga (3) bulan sebelum kebaktian pernikahan gerejawi secara ekumenis dengan
Gereja Katolik dilaksanakan.
2) Prosedur di Gereja Katolik mempergunakan prosedur yang berlaku di Gereja Katolik.
3) Majelis Jemaat menerima pemberitahuan dari Gereja Katolik bahwa kebaktian pernikahan
gerejawi tersebut telah disetujui.
4) Prosedur selanjutnya sesuai dengan Tata Laksana Pasal 29:3-7 dengan penyesuaian
seperlunya.
b. Liturgi
Liturgi yang digunakan mengacu pada liturgi pernikahan Gereja Katolik.

Pasal 31
PERNIKAHAN GEREJAWI DENGAN KETENTUAN KHUSUS

1. Pengertian
Majelis Jemaat dimungkinkan untuk melaksanakan pelayanan pernikahan gerejawi dengan ketentuan
khusus untuk kasus-kasus antara lain:
a. Kedua calon mempelai adalah anggota baptisan.

39

b. Seorang calon mempelai adalah anggota baptisan sedangkan pasangannya belum anggota.
c. Adanya kemendesakan waktu dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga

prosedur yang normal tidak dapat dilaksanakan.
2. Prosedur

a. Calon mempelai mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Jemaat dengan menggunakan
formulir yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi, selambat-lambatnya satu (1)
bulan sebelum kebaktian pernikahan dilaksanakan.

b. Jika calon adalah anggota baptisan, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis bahwa sesudah
menikah ia akan secepatnya mengaku percaya/sidi.

c. Jika calon adalah bukan anggota, ia harus bersedia menyatakan secara tertulis dengan
menggunakan formulir yang formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi, bahwa:
1) Ia setuju pernikahannya hanya diteguhkan dan diberkati secara Kristiani.
2) Ia tidak akan menghambat atau menghalangi suami/istrinya untuk tetap hidup dan beribadat
menurut iman Kristen.
3) Ia tidak akan menghambat atau menghalangi anak-anak mereka untuk dibaptis dan dididik
secara Kristiani.

d. Majelis Jemaat mengadakan percakapan gerejawi dengan calon mempelai yang garis besarnya
meliputi:
1) Dasar-dasar pernikahan kristiani.
2) Dasar dan motivasi pernikahan gerejawi.
3) Tanggung jawab sebagai keluarga Kristen.
4) Hal-hal lain yang dianggap perlu.

e. Majelis Jemaat mewartakan nama dan alamat calon mempelai dalam warta jemaat selama dua (2)
hari Minggu berturut-turut untuk memberikan kesempatan kepada anggota ikut mendoakan dan
mempertimbangkannya.

f. Jika masa pewartaan dua (2) hari Minggu telah usai dan tidak ada keberatan dari anggota sidi,
Majelis Jemaat melaksanakan kebaktian pernikahan gerejawi di tempat kebaktian dan dilayankan
oleh pendeta dengan menggunakan Liturgi Peneguhan dan Pemberkatan Pernikahan.

g. Keberatan dinyatakan jika:
1) Diajukan tertulis secara pribadi dengan mencantumkan nama dan alamat yang jelas serta
dibubuhi tanda tangan atau cap ibu jari dari anggota yang mengajukan keberatan tersebut dan
tidak merupakan duplikasi dari surat keberatan yang lain mengenai hal yang sama.
2) Isinya mengenai tidak terpenuhinya syarat pernikahan gerejawi dengan ketentuan khusus.
3) Isinya terbukti benar sesuai dengan hasil penyelidikan Majelis Jemaat.

h. Jika ada keberatan yang sah, Majelis Jemaat menangguhkan pelaksanaan pernikahan gerejawi itu
sampai persoalannya selesai atau membatalkan pelaksanaannya. Jika Majelis Jemaat pada
akhirnya membatalkan pelaksanaan pernikahan gerejawi itu, Majelis Jemaat mewartakan hal
tersebut dalam warta jemaat.

i. Majelis Jemaat memberitahukan keputusan atas keberatan yang diajukan kepada yang
mengajukan.

j. Majelis Jemaat memberikan Piagam Pernikahan Gerejawi kepada kedua mempelai yang
formulasinya dimuat dalam Peranti Administrasi dan mencatat pernikahannya dalam Buku Induk
Anggota GKI.

Bab XI
PELAYANAN

40

Pasal 32
PELAYANAN

1. Pengertian
Pelayanan dalam rangka persekutuan adalah tindakan saling menguatkan dan melayani di antara
anggota, Jemaat, Klasis, dan Sinode Wilayah melalui pelbagai kegiatan.

2. Pelaksana
a. Setiap dan seluruh anggota GKI, secara pribadi atau bersama, terpanggil untuk melaksanakan
pelayanan.
b. Majelis Jemaat, Majelis Klasis, Majelis Sinode Wilayah, Majelis Sinode secara sendiri atau
bersama terpanggil untuk melaksanakan pelayanan.

Bab XII
PENGGEMBALAAN

Pasal 33
PENGERTIAN

Penggembalaan adalah pelayanan yang dilakukan di dalam kasih terhadap anggota dan/atau pejabat
gerejawi baik secara individual maupun komunal, serta terhadap lembaga gerejawi, untuk mendukung,
membimbing, menilik, menegur, menyembuhkan, dan mendamaikan agar ia atau mereka hidup taat
kepada Allah, dalam damai sejahtera dengan Allah, sesama, dan seluruh ciptaan Allah.

Pasal 34
PELAKSANA

Penggembalaan dilaksanakan oleh anggota dan/atau pejabat gerejawi dan/atau lembaga gerejawi.

Pasal 35
JENIS

Penggembalaan terdiri dari:
1. Penggembalaan umum.
2. Penggembalaan khusus.

Pasal 36
PENGGEMBALAAN UMUM

1. Penggembalaan umum terhadap anggota, pejabat gerejawi, dan lembaga gerejawi adalah
penggembalaan yang dilakukan terus menerus melalui berbagai kegiatan baik secara individual
maupun kelompok, dengan menggunakan berbagai bentuk seperti kebaktian, pembinaan, diakonia,
perkunjungan dan/atau percakapan pastoral, surat penggembalaan, perlawatan, atau bentuk-bentuk
penggembalaan lainnya.

2. Penggembalaan dalam hubungan dengan alam ciptaan Allah dapat diwujudkan melalui berbagai
kegiatan untuk menjaga dan memelihara sumber-sumber alam dan lingkungan hidup agar dapat tetap
lestari dan terhindar dari berbagai kerusakan yang ada.

3. Penggembalaan dalam hubungan dengan masyarakat dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan
yang mendatangkan damai sejahtera, kebenaran, dan keadilan dalam masyarakat. Dalam melakukan

41

tugas ini, gereja terpanggil untuk memberikan perhatian khusus kepada korban-korban ketidakadilan
dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia, serta orang-orang miskin yang tertekan dan tertindas.

Pasal 37
PENGGEMBALAAN KHUSUS

1. Penggembalaan khusus dilakukan terhadap anggota, pejabat gerejawi, dan lembaga gerejawi.
2. Penggembalaan khusus terhadap anggota dilaksanakan kepada anggota baptisan dan anggota sidi

yang:
a. kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah dan/atau
b. paham pengajarannya bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GKI,
sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, agar ia bertobat.
3. Penggembalaan khusus terhadap pejabat gerejawi dilaksanakan kepada penatua dan pendeta yang:
a. kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah dan/atau
b. menganut serta mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GKI,

termasuk menyalahgunakan dan/atau mengingkari jabatannya
sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, agar ia bertobat.
4. Penggembalaan khusus terhadap lembaga gerejawi dilaksanakan kepada Majelis Jemaat yang:
a. mengambil keputusan dan/atau
b. melakukan praktik bergereja
yang bertentangan dengan Firman Allah dan/atau Tata Gereja dan Tata Laksana GKI dan/atau ajaran
GKI dan/atau keputusan-keputusan dari Majelis Klasis dan/atau Majelis Sinode Wilayah dan/atau
Majelis Sinode, sehingga mengancam keutuhan Jemaat dan keutuhan GKI secara menyeluruh,
menyebabkan meluasnya ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan Ajaran GKI, dan
menyebabkan meluasnya praktik bergereja yang tidak sesuai dengan Tata Gereja dan Tata Laksana
GKI, agar Majelis Jemaat bertobat.

Pasal 38
DASAR UNTUK
PELAKSANAAN PENGGEMBALAAN KHUSUS

1. Terhadap Anggota
a. Jika ada seorang anggota baptisan atau anggota sidi dari sebuah Jemaat, yang diduga kelakuannya
bertentangan dengan Firman Allah dan/atau paham pengajarannya bertentangan dengan Firman
Allah dan ajaran GKI, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, terhadapnya dapat
ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum yang dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan
penggembalaan khusus bagi yang bersangkutan.
b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada:
1) Laporan tentang dugaan dari:
a) Anggota dari Jemaat tersebut,
b) Anggota atau penatua atau pendeta dari Jemaat lain,
yang diterima oleh penatua dan/atau pendeta dari Jemaat tersebut. Laporan tersebut
disampaikan secara lisan dan/atau tertulis yang dapat disertai dengan bukti-bukti awal.
Laporan tersebut belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan
khusus.
2) Dugaan dari penatua dan/atau pendeta dari Jemaat tersebut. Dugaan itu belum dapat dipakai
sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
c. Bertolak dari laporan/dugaan itu, penatua dan/atau pendeta tersebut melakukan klarifikasi,
termasuk kepada terlapor/terduga, untuk mengetahui kebenaran laporan/dugaan tersebut. Jika
terlapor adalah anggota baptisan, maka orang tua/walinya diikutsertakan.

42

d. Jika laporan/dugaan tersebut tidak benar, penatua dan/atau pendeta tersebut memutuskan bahwa
kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada pelapor. Penatua dan/atau
pendeta tersebut dapat melakukan langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.

e. Jika laporan/dugaan tersebut diakui benar oleh terlapor, penatua dan/atau pendeta itu melakukan
peneguran dan memberikan nasihat kepada terlapor dalam kasih agar ia bertobat. Jika terlapor
bertobat, penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai
sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.

f. Jika laporan/dugaan tersebut disangkal oleh terlapor, sedangkan penatua dan/atau pendeta itu
berpendapat bahwa laporan/dugaan tersebut benar, atau jika laporan/dugaan tersebut diakui benar
oleh terlapor tetapi ia tidak bertobat, penatua dan/atau pendeta itu melaporkan hal itu kepada
Majelis Jemaat secara lisan dan/atau tertulis.

g. Berdasarkan laporan dari penatua dan/atau pendeta itu, Majelis Jemaat melakukan penyelidikan
lebih lanjut mengenai kebenaran laporan itu.
1) Jika Majelis Jemaat menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak benar, Majelis Jemaat
memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada
anggota atau penatua atau pendeta yang melaporkan.
2) Jika Majelis Jemaat menyimpulkan bahwa laporan tersebut benar, Majelis Jemaat dalam
kerangka penggembalaan umum mengadakan percakapan pastoral secara optimal dengan
terlapor agar ia bertobat. Jika terlapor bertobat, Majelis Jemaat memutuskan bahwa
penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai sebagai
dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
3) Jika terlapor tidak bertobat dan terlapor adalah anggota baptisan, proses dilanjutkan ke Tata
Laksana Pasal 39.
4) Jika terlapor tidak bertobat dan terlapor adalah anggota sidi, proses dilanjutkan ke Tata
Laksana Pasal 40.

2. Terhadap Penatua
a. Jika ada seorang penatua yang melayani di sebuah Jemaat, yang diduga kelakuannya
bertentangan dengan Firman Allah dan/atau menganut dan mengajarkan ajaran yang
bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GKI, termasuk menyalahgunakan dan/atau
mengingkari jabatannya, sehingga menjadi batu sandungan bagi orang lain, terhadapnya dapat
ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum yang dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan
penggembalaan khusus bagi yang bersangkutan.
b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada:
1) Laporan tentang dugaan dari:
a) Anggota dari Jemaat tersebut,
b) Anggota atau penatua atau pendeta dari Jemaat lain,
yang diterima oleh penatua dan/atau pendeta dari Jemaat tersebut. Laporan tersebut
disampaikan secara lisan dan/atau tertulis yang dapat disertai dengan bukti-bukti awal.
Laporan tersebut belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan
khusus.
2) Dugaan dari penatua dan/atau pendeta dari Jemaat tersebut. Dugaan itu belum dapat dipakai
sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
c. Bertolak dari laporan/dugaan itu, penatua dan/atau pendeta tersebut melakukan klarifikasi,
termasuk kepada terlapor/terduga, untuk mengetahui kebenaran laporan/dugaan tersebut.
d. Jika laporan/dugaan tersebut tidak benar, penatua dan/atau pendeta tersebut memutuskan bahwa
kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada pelapor. Penatua dan/atau
pendeta tersebut dapat melakukan langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.
e. Jika laporan/dugaan tersebut diakui benar oleh terlapor, penatua dan/atau pendeta itu melakukan
peneguran dan memberikan nasihat kepada terlapor dalam kasih agar ia bertobat.

43

1) Jika terlapor bertobat, tetapi permasalahan ini diyakini oleh penatua dan/atau pendeta itu
membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan keberlangsungan pelayanan
Jemaat secara menyeluruh, penatua dan/atau pendeta itu harus melaporkannya kepada
Majelis Jemaat secara lisan dan/atau tertulis. Berdasarkan laporan tersebut Majelis Jemaat
melanjutkan penggembalaan terhadap yang bersangkutan untuk menolong ia memahami
kembali hakikat panggilan spiritualnya sebagai penatua dan penerimaan Jemaat terhadapnya.

2) Jika terlapor bertobat dan permasalahan ini diyakini oleh penatua dan/atau pendeta itu tidak
membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan keberlangsungan pelayanan
Jemaat secara menyeluruh, penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini
tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.

f. Jika laporan/dugaan tersebut disangkal oleh terlapor, sedangkan penatua dan/atau pendeta itu
berpendapat bahwa laporan tersebut diduga benar, atau jika laporan/dugaan tersebut diakui benar
oleh terlapor tetapi ia tidak bertobat, penatua dan/atau pendeta itu melaporkan hal itu kepada
Majelis Jemaat secara lisan dan/atau tertulis.

g. Berdasarkan laporan dari penatua dan/atau pendeta itu, Majelis Jemaat melakukan penyelidikan
lebih lanjut mengenai kebenaran laporan itu.
1) Jika Majelis Jemaat menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak benar, Majelis Jemaat
memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada
anggota atau penatua atau pendeta yang melaporkan. Majelis Jemaat dapat melakukan
langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.
2) Jika Majelis Jemaat menyimpulkan bahwa laporan tersebut benar, Majelis Jemaat dalam
kerangka penggembalaan umum mengadakan percakapan pastoral secara optimal dengan
terlapor agar ia bertobat. Jika terlapor bertobat tetapi permasalahannya tidak membawa
dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan keberlangsungan pelayanan Jemaat secara
menyeluruh, Majelis Jemaat memutuskan bahwa penggembalaan umum terhadapnya
dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan
penggembalaan khusus. Jika terlapor bertobat tetapi permasalahannya ternyata membawa
dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan keberlangsungan pelayanan Jemaat secara
menyeluruh, Majelis Jemaat melanjutkan penggembalaan terhadap yang bersangkutan untuk
menolong ia memahami kembali hakikat panggilan spiritualnya sebagai penatua dan
penerimaan Jemaat terhadapnya.
3) Jika terlapor tidak bertobat, proses dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 41.

3. Terhadap Pendeta yang Melayani Jemaat dan Pendeta Tugas Khusus Jemaat
a. Jika ada seorang pendeta yang melayani di sebuah Jemaat atau pendeta tugas khusus jemaat dari
sebuah Jemaat, yang diduga kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah dan/atau menganut
dan mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran GKI, termasuk
menyalahgunakan dan/atau mengingkari jabatannya, sehingga menjadi batu sandungan bagi
orang lain, terhadapnya dapat ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum yang dapat
menjadi dasar bagi pelaksanaan penggembalaan khusus bagi yang bersangkutan.
b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada:
1) Laporan tentang dugaan dari:
a) Anggota dari Jemaat tersebut,
b) Anggota atau penatua atau pendeta dari Jemaat lain,
yang diterima oleh penatua dan/atau pendeta dari Jemaat tersebut. Laporan tersebut
disampaikan secara lisan dan/atau tertulis yang dapat disertai dengan bukti-bukti awal.
Laporan tersebut belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan
khusus.
2) Dugaan dari penatua dan/atau pendeta dari Jemaat tersebut. Dugaan itu belum dapat dipakai
sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.

44

c. Bertolak dari laporan/dugaan itu, penatua dan/atau pendeta tersebut melakukan klarifikasi,
termasuk kepada terlapor/terduga, untuk mengetahui kebenaran laporan/dugaan tersebut.

d. Jika laporan/dugaan tersebut tidak benar, penatua dan/atau pendeta tersebut memutuskan bahwa
kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada pelapor. Penatua dan/atau
pendeta tersebut dapat melakukan langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.

e. Jika laporan tersebut diakui benar oleh terlapor, penatua dan/atau pendeta itu melakukan
peneguran dan memberikan nasihat kepada terlapor dalam kasih agar ia bertobat.
1) Jika terlapor bertobat, tetapi permasalahan ini diyakini oleh penatua dan/atau pendeta itu
membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan keberlangsungan pelayanan
Jemaat secara menyeluruh, penatua dan/atau pendeta itu harus melaporkannya kepada
Majelis Jemaat secara lisan dan/atau tertulis.
a) Sesudah menerima laporan tersebut, jika Majelis Jemaat berpendapat bahwa
permasalahan ini tidak membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan
keberlangsungan pelayanan Jemaat secara menyeluruh, penggembalaan umum terhadap
yang bersangkutan dinyatakan selesai dan yang bersangkutan dapat melanjutkan
pelayanannya sebagai pendeta pada Jemaat tersebut.
b) Jika sesudah menerima laporan tersebut Majelis Jemaat berpendapat bahwa permasalahan
ini benar-benar membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan
keberlangsungan pelayanan Jemaat secara menyeluruh, Majelis Jemaat meminta kepada
Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait untuk melakukan perlawatan khusus jemaat
yang melibatkan Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait dan Badan Pekerja
Majelis Sinode untuk menentukan pelayanan dari yang bersangkutan. Melalui perlawatan
khusus jemaat tersebut, Majelis Jemaat bersama dengan para pelawat memberikan
rekomendasi kepada Badan Pekerja Majelis Sinode mengenai pelayanan dari yang
bersangkutan, apakah pelayanan yang bersangkutan akan dilanjutkan di Jemaat yang
terkait atau yang bersangkutan harus menjalani mutasi. Rekomendasi tersebut dapat
menjadi keputusan bersama untuk ditindaklanjuti jika disetujui oleh Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait, Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait, dan
Badan Pekerja Majelis Sinode.
2) Jika terlapor bertobat dan permasalahan ini diyakini oleh penatua dan/atau pendeta itu tidak
membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan keberlangsungan pelayanan
Jemaat secara menyeluruh, penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini
tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.

f. Jika laporan/dugaan tersebut disangkal oleh terlapor, sedangkan penatua dan/atau pendeta itu
berpendapat bahwa laporan tersebut diduga benar, atau jika laporan/dugaan tersebut diakui benar
oleh terlapor tetapi ia tidak bertobat, penatua dan/atau pendeta itu melaporkan hal itu kepada
Majelis Jemaat secara lisan dan/atau tertulis.

g. Berdasarkan laporan dari penatua dan/atau pendeta itu, Majelis Jemaat melakukan penyelidikan
lebih lanjut mengenai kebenaran laporan itu.
1) Jika Majelis Jemaat menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak benar, Majelis Jemaat
memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada
anggota atau penatua atau pendeta yang melaporkan. Majelis Jemaat dapat melakukan
langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.
2) Jika Majelis Jemaat menyimpulkan bahwa laporan tersebut benar, Majelis Jemaat dalam
kerangka penggembalaan umum mengadakan percakapan pastoral secara optimal dengan
terlapor agar ia bertobat.
a) Jika terlapor bertobat dan Majelis Jemaat berpendapat bahwa permasalahan ini tidak
membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan keberlangsungan pelayanan
Jemaat secara menyeluruh, penggembalaan umum terhadap yang bersangkutan
dinyatakan selesai dan yang bersangkutan dapat melanjutkan pelayanannya sebagai
pendeta pada Jemaat tersebut.

45

b) Jika terlapor bertobat tetapi Majelis Jemaat berpendapat bahwa permasalahan ini benar-
benar membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan Jemaat dan keberlangsungan
pelayanan Jemaat secara menyeluruh, Majelis Jemaat meminta kepada Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait untuk melakukan perlawatan khusus jemaat yang melibatkan
Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait dan Badan Pekerja Majelis Sinode
untuk menentukan pelayanan dari yang bersangkutan. Melalui perlawatan khusus jemaat
tersebut, Majelis Jemaat bersama dengan para pelawat memberikan rekomendasi kepada
Badan Pekerja Majelis Sinode mengenai pelayanan dari yang bersangkutan, apakah
pelayanan yang bersangkutan akan dilanjutkan di Jemaat yang terkait atau yang
bersangkutan harus menjalani mutasi. Rekomendasi tersebut dapat menjadi keputusan
bersama untuk ditindaklanjuti jika disetujui oleh Badan Pekerja Majelis Klasis yang
terkait, Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait, dan Badan Pekerja Majelis
Sinode.

c) Jika terlapor tidak bertobat, proses dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 42.

4. Terhadap Pendeta Tugas Khusus Klasis/Sinode Wilayah/Sinode
a. Jika ada seorang pendeta tugas khusus klasis atau pendeta tugas khusus sinode wilayah atau
pendeta tugas khusus sinode, yang diduga kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah
dan/atau menganut dan mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran
GKI, termasuk menyalahgunakan dan/atau mengingkari jabatannya, sehingga menjadi batu
sandungan bagi orang lain, terhadapnya dapat ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum
yang dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan penggembalaan khusus bagi yang bersangkutan.
b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada:
1) Laporan tentang dugaan dari:
a) Anggota dari Jemaat Tumpuan dari pendeta tugas khusus yang bersangkutan,
b) Anggota atau penatua atau pendeta dari Jemaat lain,
yang diterima oleh penatua dan/atau pendeta dari Jemaat di mana pendeta tugas khusus yang
bersangkutan menjadi anggota. Laporan tersebut disampaikan secara lisan dan/atau tertulis
yang dapat disertai dengan bukti-bukti awal. Laporan tersebut belum dapat dipakai sebagai
dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
2) Dugaan dari penatua dan/atau pendeta dari Jemaat di mana pendeta tugas khusus yang
bersangkutan menjadi anggota. Dugaan itu belum dapat dipakai sebagai dasar untuk
melaksanakan penggembalaan khusus.
c. Bertolak dari laporan/dugaan itu, penatua dan/atau pendeta tersebut melakukan klarifikasi,
termasuk kepada terlapor/terduga, untuk mengetahui kebenaran laporan/dugaan tersebut.
d. Jika laporan/dugaan tersebut tidak benar, penatua dan/atau pendeta tersebut memutuskan bahwa
kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada pelapor. Penatua dan/atau
pendeta tersebut dapat melakukan langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.
e. Jika laporan/dugaan tersebut diakui benar oleh terlapor, penatua dan/atau pendeta itu melakukan
peneguran dan memberikan nasihat kepada terlapor dalam kasih agar ia bertobat.
1) Jika terlapor bertobat, tetapi permasalahan ini diyakini oleh penatua dan/atau pendeta itu
membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan klasis/sinode wilayah/sinode dan
keberlangsungan pelayanan klasis/sinode wilayah/sinode secara menyeluruh, penatua
dan/atau pendeta itu harus melaporkannya kepada Majelis Jemaat dari Jemaat Tumpuan dari
pendeta yang bersangkutan secara lisan dan/atau tertulis.
a) Sesudah menerima laporan tersebut, jika Majelis Jemaat berpendapat bahwa
permasalahan ini tidak membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan klasis/sinode
wilayah/sinode dan keberlangsungan pelayanan klasis/sinode wilayah/sinode secara
menyeluruh, penggembalaan umum terhadap yang bersangkutan dinyatakan selesai dan
yang bersangkutan dapat melanjutkan pelayanannya sebagai pendeta tugas khusus.

46

b) Jika sesudah menerima laporan tersebut Majelis Jemaat berpendapat bahwa permasalahan
ini benar-benar membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan klasis/sinode
wilayah/sinode dan keberlangsungan pelayanan klasis/sinode wilayah/sinode secara
menyeluruh, Majelis Jemaat meminta kepada Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait
untuk melakukan perlawatan khusus jemaat yang melibatkan Badan Pekerja Majelis
Sinode Wilayah yang terkait dan Badan Pekerja Majelis Sinode untuk menentukan
pelayanan dari yang bersangkutan. Melalui perlawatan khusus jemaat tersebut, Majelis
Jemaat bersama dengan para pelawat memberikan rekomendasi kepada Badan Pekerja
Majelis Sinode mengenai pelayanan dari yang bersangkutan, apakah pelayanan yang
bersangkutan sebagai pendeta tugas khusus akan dilanjutkan atau yang bersangkutan
harus menjalani mutasi. Rekomendasi tersebut dapat menjadi keputusan bersama untuk
ditindaklanjuti jika disetujui oleh Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait, Badan
Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait, dan Badan Pekerja Majelis Sinode.

2) Jika terlapor bertobat dan permasalahan ini diyakini oleh penatua dan/atau pendeta itu tidak
membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan klasis/sinode wilayah/sinode dan
keberlangsungan pelayanan klasis/sinode wilayah/sinode secara menyeluruh, penggembalaan
umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk
melaksanakan penggembalaan khusus.

f. Jika laporan/dugaan tersebut disangkal oleh terlapor, sedangkan penatua dan/atau pendeta itu
berpendapat bahwa laporan tersebut benar, atau jika laporan/dugaan tersebut diakui benar oleh
terlapor tetapi ia tidak bertobat, penatua dan/atau pendeta itu melaporkan hal itu kepada Majelis
Jemaat dari Jemaat Tumpuan dari pendeta tugas khusus dengan salinan kepada Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait/Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait /Badan Pekerja
Majelis Sinode.

g. Berdasarkan laporan dari penatua dan/atau pendeta itu, Majelis Jemaat bersama Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait/Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait/Badan Pekerja
Majelis Sinode melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai kebenaran laporan itu.
1) Jika Majelis Jemaat bersama Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait/Badan Pekerja
Majelis Sinode Wilayah yang terkait/Badan Pekerja Majelis Sinode menyimpulkan bahwa
laporan tersebut tidak benar, Majelis Jemaat bersama Badan Pekerja Majelis Klasis yang
terkait/Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait/Badan Pekerja Majelis Sinode
memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada
anggota atau penatua atau pendeta yang melaporkan. Majelis Jemaat dapat melakukan
langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.
2) Jika Majelis Jemaat bersama Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait/Badan Pekerja
Majelis Sinode Wilayah yang terkait/Badan Pekerja Majelis Sinode menyimpulkan bahwa
laporan tersebut benar, Majelis Jemaat bersama Badan Pekerja Majelis Klasis yang
terkait/Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait/Badan Pekerja Majelis Sinode
dalam kerangka penggembalaan umum mengadakan percakapan pastoral dengan terlapor
agar ia bertobat.
a) Jika terlapor bertobat dan Majelis Jemaat berpendapat bahwa permasalahan ini tidak
membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan klasis/sinode wilayah/sinode dan
keberlangsungan pelayanan klasis/sinode wilayah/sinode secara menyeluruh,
penggembalaan umum terhadap yang bersangkutan dinyatakan selesai dan yang
bersangkutan dapat melanjutkan pelayanannya sebagai pendeta tugas khusus.
b) Jika terlapor bertobat tetapi Majelis Jemaat berpendapat bahwa permasalahan ini benar-
benar membawa dampak yang lebih luas bagi kesatuan klasis/sinode wilayah/sinode dan
keberlangsungan pelayanan klasis/sinode wilayah/sinode secara menyeluruh, Majelis
Jemaat meminta kepada Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait untuk melakukan
perlawatan khusus jemaat yang melibatkan Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang
terkait dan Badan Pekerja Majelis Sinode untuk menentukan pelayanan dari yang

47

bersangkutan. Melalui perlawatan khusus jemaat tersebut, Majelis Jemaat bersama
dengan para pelawat memberikan rekomendasi kepada Badan Pekerja Majelis Sinode
mengenai pelayanan dari yang bersangkutan, apakah pelayanan yang bersangkutan
sebagai pendeta tugas khusus akan dilanjutkan atau yang bersangkutan harus menjalani
mutasi. Rekomendasi tersebut dapat menjadi keputusan bersama untuk ditindaklanjuti
jika disetujui oleh Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait, Badan Pekerja Majelis
Sinode Wilayah yang terkait, dan Badan Pekerja Majelis Sinode.
c) Jika terlapor tidak bertobat dan terlapor adalah pendeta tugas khusus klasis, proses
dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 43.
d) Jika terlapor tidak bertobat dan terlapor adalah pendeta tugas khusus sinode wilayah,
proses dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 44.
e) Jika terlapor tidak bertobat dan terlapor adalah pendeta tugas khusus sinode, proses
dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 45

5. Terhadap Pendeta Emeritus
a. Jika ada seorang pendeta emeritus, yang diduga kelakuannya bertentangan dengan Firman Allah
dan/atau menganut dan mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan ajaran
GKI, termasuk menyalahgunakan dan/atau mengingkari jabatannya, sehingga menjadi batu
sandungan bagi orang lain, terhadapnya dapat ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum
yang dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan penggembalaan khusus bagi yang bersangkutan.
b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada:
1) Laporan tentang dugaan dari:
a) Anggota dari Jemaat di mana pendeta emeritus tersebut menjadi anggota,
b) Anggota atau penatua atau pendeta dari Jemaat lain,
yang diterima oleh penatua dan/atau pendeta dari Jemaat di mana pendeta emeritus
tersebut menjadi anggota. Laporan tersebut disampaikan secara lisan dan/atau tertulis
yang dapat disertai dengan bukti-bukti awal. Laporan tersebut belum dapat dipakai
sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
2) Dugaan dari penatua dan/atau pendeta dari Jemaat di mana pendeta emeritus tersebut menjadi
anggota. Dugaan itu belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan
khusus.
c. Bertolak dari laporan/dugaan itu, penatua dan/atau pendeta tersebut melakukan klarifikasi,
termasuk kepada terlapor/terduga, untuk mengetahui kebenaran laporan/dugaan tersebut.
d. Jika laporan/dugaan tersebut tidak benar, penatua dan/atau pendeta tersebut memutuskan bahwa
kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada pelapor. Penatua dan/atau
pendeta tersebut dapat melakukan langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.
e. Jika laporan/dugaan tersebut diakui benar oleh terlapor, penatua dan/atau pendeta itu melakukan
peneguran dan memberikan nasihat kepada terlapor dalam kasih agar ia bertobat. Jika terlapor
bertobat, penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai
sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
f. Jika laporan/dugaan tersebut disangkal oleh terlapor, sedangkan penatua dan/atau pendeta itu
berpendapat bahwa laporan tersebut diduga benar, atau jika laporan/dugaan tersebut diakui benar
oleh terlapor tetapi ia tidak bertobat, penatua dan/atau pendeta itu melaporkan hal itu kepada
Majelis Jemaat dari Jemaat di mana pendeta emeritus menjadi anggotanya dengan tembusan
kepada Badan Pekerja Majelis Sinode.
g. Berdasarkan laporan dari penatua dan/atau pendeta itu, Majelis Jemaat melakukan penyelidikan
lebih lanjut mengenai kebenaran laporan itu.
1) Jika Majelis Jemaat menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak benar, Majelis Jemaat
memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada
anggota atau penatua atau pendeta yang melaporkan. Majelis Jemaat dapat melakukan
langkah-langkah penggembalaan umum terhadap pelapor.

48

2) Jika Majelis Jemaat menyimpulkan bahwa laporan tersebut benar, Majelis Jemaat dalam
kerangka penggembalaan umum mengadakan percakapan pastoral dengan terlapor agar ia
bertobat. Jika terlapor bertobat, Majelis Jemaat memutuskan bahwa penggembalaan umum
terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk
melaksanakan penggembalaan khusus.

3) Jika terlapor tidak bertobat, proses dilanjutkan ke Tata Laksana Pasal 46.

6. Terhadap Majelis Jemaat
a. Jika ada Majelis Jemaat dari sebuah Jemaat yang diduga mengambil keputusan dan/atau
melakukan praktik kehidupan dan pelayanan gerejawi yang bertentangan dengan Firman Allah
dan/atau Tata Gereja dan Tata Laksana GKI dan/atau Ajaran GKI dan/atau keputusan-keputusan
dari Majelis Klasis dan/atau Majelis Sinode Wilayah dan/atau Majelis Sinode, sehingga
mengancam keutuhan Jemaat dan keutuhan GKI secara menyeluruh, menyebabkan meluasnya
ajaran yang bertentangan dengan Firman Allah dan Ajaran GKI, dan menyebabkan meluasnya
praktik bergereja yang tidak sesuai dengan Tata Gereja dan Tata Laksana GKI, terhadapnya dapat
ditempuh langkah-langkah penggembalaan umum yang dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan
penggembalaan khusus bagi Majelis Jemaat tersebut.
b. Langkah-langkah itu harus didasarkan pada
1) Laporan tentang dugaan dari:
a) Majelis Jemaat dari Jemaat lain,
b) Badan Pekerja Majelis Klasis,
c) Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah,
d) Badan Pekerja Majelis Sinode,
yang diterima oleh Badan Pekerja Majelis Klasis dari Klasis yang terkait. Laporan tersebut
disampaikan secara tertulis yang dapat disertai dengan bukti-bukti awal. Laporan tersebut
belum dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
2) Dugaan dari Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait. Dugaan itu belum dapat dipakai
sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
c. Bertolak dari laporan/dugaan itu, Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait melakukan
klarifikasi, termasuk kepada terlapor/terduga, untuk mengetahui kebenaran laporan/dugaan
tersebut.
d. Jika laporan/dugaan tersebut diakui benar oleh terlapor, Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait
melakukan peneguran dan memberikan nasihat kepada terlapor dalam kasih agar ia bertobat. Jika
terlapor bertobat, penggembalaan umum terhadapnya dianggap selesai dan hal ini tidak dapat
dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan penggembalaan khusus.
e. Jika laporan/dugaan tersebut disangkal oleh terlapor, sedangkan Badan Pekerja Majelis Klasis
yang terkait berpendapat bahwa laporan tersebut benar, atau jika laporan/dugaan tersebut diakui
benar oleh terlapor tetapi ia tidak bertobat, Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait melaporkan
hal itu kepada Badan Pekerja Majelis Sinode dengan tembusan kepada Badan Pekerja Majelis
Sinode Wilayah yang terkait.
f. Badan Pekerja Majelis Sinode mengadakan perlawatan khusus jemaat kepada Majelis Jemaat
yang bersangkutan dengan melibatkan Badan Pekerja Majelis Klasis yang terkait dan Badan
Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait. Dalam perlawatan tersebut para pelawat melakukan
klarifikasi lagi dan peneguran jika dianggap perlu. Perlawatan itu dapat dilakukan lebih dari satu
(1) kali.
g. Para pelawat melaporkan hasil akhir perlawatannya kepada Badan Pekerja Majelis Sinode.
h. Jika Badan Pekerja Majelis Sinode dalam rapatnya yang melibatkan para pelawat, Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait dan Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait
menyimpulkan bahwa laporan tersebut tidak benar, Badan Pekerja Majelis Sinode memutuskan
bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada Majelis Jemaat terlapor

49

dan pelapor. Badan Pekerja Majelis Sinode dapat melakukan langkah-langkah penggembalaan
umum terhadap pelapor.
i. Jika Badan Pekerja Majelis Sinode dalam rapatnya yang melibatkan para pelawat, Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait dan Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait
menyimpulkan bahwa laporan tersebut benar dan terlapor bertobat, Badan Pekerja Majelis
Sinode memutuskan bahwa kasus ini dianggap selesai, dan hal tersebut diberitahukan kepada
Majelis Jemaat terlapor dan pelapor.
j. Jika Badan Pekerja Majelis Sinode dalam rapatnya yang melibatkan para pelawat, Badan Pekerja
Majelis Klasis yang terkait dan Badan Pekerja Majelis Sinode Wilayah yang terkait
menyimpulkan bahwa laporan tersebut benar dan terlapor tidak bertobat, proses dilanjutkan ke
Tata Laksana Pasal 47.

Pasal 39
PROSEDUR
PELAKSANAAN PENGGEMBALAAN KHUSUS
TERHADAP ANGGOTA BAPTISAN

1. Jika Majelis Jemaat sudah melaksanakan secara optimal percakapan pastoral dalam kerangka
penggembalaan umum terhadap seorang anggota baptisan terlapor (lihat Tata Laksana Pasal 38:1)
dan terlapor tidak bertobat, Majelis Jemaat dalam persidangannya menetapkan bahwa terlapor berada
di bawah penggembalaan khusus. Karena berada di bawah penggembalaan khusus, yang
bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengaku percaya, untuk menerima pelayanan pernikahan
gerejawi, dan untuk diproses menjadi anggota badan pelayanan jemaat. Jika yang bersangkutan sudah
menjadi anggota badan pelayanan jemaat, ia dinonaktifkan untuk paling lama enam (6) bulan dalam
badan pelayanan jemaat tersebut.

2. Majelis Jemaat melaksanakan penggembalaan khusus terhadap yang bersangkutan dalam bentuk
percakapan pastoral, pembimbingan, peneguran, dan pendampingan, agar yang bersangkutan
bertobat. Selama menjalani penggembalaan khusus itu yang bersangkutan terus menerus didoakan.

3. Jika dalam waktu paling lama enam (6) bulan yang bersangkutan bertobat, Majelis Jemaat dalam
persidangannya menetapkan bahwa penggembalaan khusus terhadapnya dinyatakan selesai dan yang
bersangkutan diperkenankan untuk mengaku percaya, untuk menerima pelayanan pernikahan
gerejawi, dan untuk diproses menjadi anggota badan pelayanan jemaat. Jika yang bersangkutan sudah
menjadi anggota badan pelayanan jemaat, ia diaktifkan kembali dalam badan pelayanan jemaat
tersebut.

4. Jika yang bersangkutan tetap tidak bertobat, yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengaku
percaya, tidak diperkenankan untuk menerima pelayanan pernikahan gerejawi, tidak diperkenankan
untuk diproses menjadi anggota badan pelayanan jemaat, dan keanggotaannya dalam badan
pelayanan dihentikan. Penggembalaan khusus terhadapnya tetap dilanjutkan terus oleh Majelis
Jemaat yang terkait tanpa batas waktu dan yang bersangkutan terus menerus didoakan.

Pasal 40
PROSEDUR
PELAKSANAAN PENGGEMBALAAN KHUSUS
TERHADAP ANGGOTA SIDI

1. Jika Majelis Jemaat sudah melaksanakan secara optimal percakapan pastoral dalam kerangka
penggembalaan umum terhadap seorang anggota sidi terlapor (lihat Tata Laksana Pasal 38:1) dan
terlapor tidak bertobat, Majelis Jemaat dalam persidangannya menetapkan bahwa terlapor berada di
bawah penggembalaan khusus. Karena berada di bawah penggembalaan khusus, yang bersangkutan
tidak diperkenankan untuk membaptiskan anaknya, untuk mengikuti perjamuan kudus, untuk

50


Click to View FlipBook Version