The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Tewasnya Gagak Hitam (Misteri Pertama) (Sidik Nugroho)

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by tlogosadangmtsm, 2022-05-31 09:39:34

Tewasnya Gagak Hitam

Tewasnya Gagak Hitam (Misteri Pertama) (Sidik Nugroho)

http://facebook.com/indonesiapustaka menjual bakso, satu menjual berbagai makanan cepat
saji. Tak jauh dari UGD dan dua restoran itulah
RSAB berada, bangunannya terpisah dengan Rumah
Sakit Jantung. Elang menarik topinya turun lebih
dalam sebelum masuk ke rumah sakit. Seorang sat­
pam berwajah ramah menyapanya. ”Pagi, Pak. Mau
berkunjung?”

”Istri saya dalam perjalanan kemari, bersama anak
saya,” kata Elang sambil tersenyum. ”Saya tadi bilang,
akan menunggu mereka di dalam.”

Satpam itu mengangguk, sedikit membungkuk,
mempersilakan Elang masuk. Di dalam ia duduk,
lalu melihat­lihat apa yang terpampang di depannya.
Terdengar tangis seorang anak, ibu yang sedang
menyusui, juga pasangan yang sedang bercakap­cakap.
Ia berjalan perlahan, melihat beberapa karangan
bunga untuk Dokter Nina Sekarwati yang dipajang
di dekat bagian informasi.

Di situ ia termenung, membayangkan perjalanan
hidup manusia. Waktu mereka baru lahir, orangtua
begitu menyayangi mereka, menimang­nimang mereka
setiap saat. Beberapa tahun kemudian, mereka
menjadi remaja­remaja bengal yang doyan menyontek
atau berpacaran di sekolah. lalu, selepas remaja,
kehidupan pun berganti lagi, berbagai pilihan
membentang di sepanjang jalan. Gagak Hitam, Mer­
pati Putih, jalan hidupnya begitu singkat—seperti
apakah masa kecil mereka dulu?

99

http://facebook.com/indonesiapustaka Elang menunduk, lamunannya buyar ketika pera­
wat di bagian informasi tampak memperhatikan
gerak­geriknya. Segera ia angkat tangan kirinya, pura­
pura melihat jam. Ia keluarkan ponsel dari sakunya,
dan langsung menyetel alarm yang berbunyi semenit
lagi. Ia berjalan santai, mengitari ruangan, menunggu
ponselnya berbunyi.

”Ya, masih dalam perjalanan. Macet?” kata Elang
sambil keluar. ”Yang sabar saja, aku sudah di sini.”
Elang berhenti bicara, tersenyum kepada satpam. Ia
sengaja berbicara dengan suara agak keras agar satpam
itu mendengarnya. ”Tadi dokternya kulihat sudah
ada, ada beberapa pasien yang sedang menunggu,”
kata Elang sambil meninggalkan gedung RSAB. ”Ya,
dan aku menunggu orang gila, yaitu diriku sendiri.
Hahaha.” Ia tertawa sendiri dengan penyamarannya,
setelah memastikan tidak ada orang di sekitarnya yang
menguntit.

Elang berjalan terus, berbelok ke kanan, keluar
rumah sakit. Ia berjalan sampai berada di depan
Hotel Twin Plaza, kembali ke Jalan Kota Bambu.
Sambil berjalan, benaknya dipenuhi berbagai rencana.
Sebelum kembali ke hotel, Elang mampir ke sebuah
toko untuk membeli beberapa barang.

100

http://facebook.com/indonesiapustaka 10

KAMIS, 27 November 2014, pukul delapan, alarm

ponsel Elang berbunyi. Ia terbangun, bergegas ke
kamar mandi, mencukur habis jenggotnya yang sudah
ia biarkan tumbuh hampir dua minggu. Ia hanya
mencukur sebagian kumisnya—entah kenapa, ia sering
merasa dirinya lebih berwibawa bila berkumis tipis.
Ia mandi, mengenakan setelan terbaru yang ia beli
sebelum berangkat ke Jakarta. Kemejanya berwarna
biru muda bergaris­garis putih, agak ketat, mem­
bungkus pinggangnya yang ramping. Celana katunnya
tidak terlalu longgar, setrikaannya juga masih rapi.

Di meja, barang­barang yang ia bawa sudah leng­
kap. Notes berisi beberapa catatan kasus Gagak Hi­
tam, juga informasi tentang Dokter Nina Sekarwati
yang berhasil diperolehnya dari Internet, sudah ter­

101

http://facebook.com/indonesiapustaka catat rapi. Di samping buku itu ia sudah menyiapkan
lukisan yang ia buat dengan kertas dan spidol yang
kemarin ia beli di toko dekat hotel. Targetnya hari
ini adalah Bunga, seorang dokter anak, sahabat
Dokter Nina. Ia tahu bahwa mereka bersahabat
karena sudah menemukan banyak informasi kedua
dokter itu di akun Facebook, Instagram, juga Twitter
mereka.

Kemarin Elang sudah masuk ke RSAB, melihat
bahwa Dokter Bunga membuka praktik dari pukul
09.00 hingga 16.00. Ia juga sempat mengobrol dengan
satpam, mendapat info bahwa pasien akan lebih
ramai bila menjelang siang hingga sore. Dokter itu
masih muda, Elang menduga umurnya tidak lebih
dari tiga puluh tahun. Entah benar atau tidak, di
akun Facebook­nya, ia mencantumkan status hubung­
an lajang. Dokter itu memiliki kulit yang mirip Irin,
tapi badannya lebih ramping.

Ada foto Dokter Bunga di akun Instagram­nya. Ia
sedang berada di sebuah taman yang rindang, menge­
nakan kain batik berwarna merah dan hitam untuk
menutupi pinggang sampai lututnya. Atasannya ada­
lah baju tanpa lengan yang membalut badan. Kain
itu ketat dan agak tipis. Foto lainnya menunjukkan
ia sedang berada di pantai, duduk menekuk lutut di
batang pohon kelapa yang tumbang. Ia difoto dari
depan, wajah dan mata yang ia sipitkan memandang
ke samping. Rambutnya berkibar­kibar ditiup angin
pantai.

102

http://facebook.com/indonesiapustaka Dokter anak ternyata tidak selalu keibuan. Ah...
generalisasi—ia teringat lagi kata­kata Agung. Seksi,
menggoda, dan begitu penuh gairah hidup, itulah
kesan yang ia dapatkan tentang Dokter Bunga. Betapa
ia ingin memikat dokter itu, dan mungkin akan
mengubah rencananya untuk tidak diantar ke rumah
Dokter Nina, tapi mengobrol di suatu tempat.

Baginya, untuk memikat wanita asing, ada tiga hal
yang harus disiapkan: pakaian yang modis­elegan,
beberapa lelucon atau godaan dalam obrolan, dan
pujian kecil yang unik atau lahir dari pengamatan
yang tidak terduga. Pujian kecil itu bukan kata­kata
seperti ”senyum Anda manis” atau ”Anda cantik
sekali”; melainkan seperti ini: ”Saya jarang melihat
motif batik yang Anda kenakan, Anda cocok sekali
memakainya.” Sejauh ini, ia sering berhasil.

Elang menyemprotkan minyak wangi, mengingat­
ingat identitasnya sekali lagi: pria yang sedang dalam
proses perceraian, memiliki seorang anak, datang dari
Bandung, hendak menyampaikan belasungkawa atas
kematian Dokter Nina. Sambil mematut diri di cer­
min, Elang mengingatkan diri terus­menerus untuk
tidak melakukan hal yang tidak­tidak kepada dokter
seksi itu.

Ia menggulung lukisan yang dibuatnya, menem­
pelkan selotip kecil di akhir gulungan. Ia memasukkan
notes, ponsel, dompet, dan sebuah bolpoin ke tas
kulit yang ia gantungkan di pundak kanan. Elang
sekali lagi memandang cermin, penampilannya tam­

103

http://facebook.com/indonesiapustaka pak sempurna. Sepuluh menit sebelum pukul sem­
bilan, Elang keluar dari kamar hotel, mampir ke
warung bakmi yang ia kunjungi kemarin.

”Kok kayaknya pernah lihat, ya?” kata penjual
bakmi ketika Elang datang.

”lho, saya kan yang kemarin ke sini,” katanya
sambil tersenyum, lalu duduk. Elang begitu senang
bisa mengelabui orang dengan penampilannya. Ke­
marin jelas berbeda. Kacamata netral yang ia ke­
nakan, topi, jenggot, kumis, dan celana pendek—
benar­benar lain. Ah, betapa ia mencintai apa yang
sedang ia kerjakan. Sambil makan, ia membayangkan
bagaimana ekspresi Dokter Bunga bila bertemu
dengannya.

Elang keluar dari warung bakmi itu pukul 09.15.
Ia melangkah dengan tegap. Siapa pun yang melihat­
nya takkan menduga ia pelukis yang sehari­hari be­
kerja tanpa baju. Beberapa orang yang ia temui di
jalan dan koridor rumah sakit bahkan tersenyum
melihat penampilannya, menatapnya kagum.

Elang sampai di depan RSAB pukul 09.30. Satpam
yang bertugas berbeda dari kemarin. Ia segera ke
bagian informasi, mendaftarkan anak bernama Ange­
lita untuk diperiksa. Petugas yang menyambutnya
tampak ceria, tak berhenti tersenyum. ”Anak saya
masih dalam perjalanan kemari, sekitar lima belas
menit lagi sampai, bersama ibunya,” kata Elang
setelah menulis data­data di kartu registrasi. Ia meng­

104

http://facebook.com/indonesiapustaka ubah suaranya agak berat, mirip suara pria dalam
iklan pembersih wajah yang ia dengar tadi pagi di
televisi.

Petugas mengatakan sambil tesenyum, ”Bapak men­
dapat nomor tiga.”

”Baik,” kata Elang sambil tersenyum. ”Oh ya, saya
suka sekali dengan nomor tiga, Mbak.”

”Kenapa, Pak?” tanya petugas itu, tampak pena­
saran.

”Negara kita baru saja punya presiden baru. Salam­
nya salam tiga jari, Persatuan Indonesia.”

”Ah, Bapak bisa saja,” kata petugas berkacamata
itu sambil tersenyum lebih lebar.

”Belum selesai, Mbak,” sahut Elang buru­buru.
”Memangnya, ada yang lainnya?”
”Tadi pagi saya keluar dari hotel, seorang penjaga
warung membuatkan bakmi yang enak, dia tersenyum
saat menghidangkannya. lalu, di perjalanan kemari,
seorang tukang becak juga tersenyum kepada saya.
Dan, yang ketiga, saya melihat Mbak. Senyum Mbak,
sungguh... berbeda dari kedua orang sebelumnya.”
”Ah... Bapak ini lho...”
Elang tersenyum, memajukan wajahnya, melihat
nama petugas itu. ”Tesha... apakah sedang gembira
hari ini? Atau mungkin, sedang berbunga­bunga?”
bisik Elang. ”Melihat kamu, entah kenapa, saya kok
jadi teringat lagu Iwan Fals.”
”Iwan Fals? Saya juga suka. lagu yang mana?”
”Kumenanti Seorang Kekasih.”

105

http://facebook.com/indonesiapustaka Tesha berbalik, Elang sempat melihat pipinya
bersemu merah. Elang melangkah perlahan, berbalik,
lalu duduk. Wanita... lagi­lagi wanita. Ia bertaruh
dengan diri sendiri, sebelum meninggalkan RSAB,
setelah menemui Dokter Bunga, ia bisa mendapatkan
kontak Tesha. Ia akan mencobanya nanti, merancang
situasi agar bisa mendapatkannya.

Elang menduga umur Tesha tidak sampai 25 ta­
hun. Kulitnya kuning langsat, tapi lebih gelap dari­
pada Irin. Belum semenit duduk, ia mendengar Tesha
memanggil pasien dengan nomor urut dua. Elang
pura­pura memperhatikan jam dinding di belakang
Tesha, ingin melihat apakah gadis itu melihatnya.
Dugaannya tidak salah, gadis itu bahkan meliriknya
dua kali.

Elang pun mengeluarkan ponsel, pura­pura menulis
pesan kepada seseorang. Sambil berpura­pura, pikir­
annya terus bekerja. Menit demi menit berlalu, tak
ada tanda­tanda bahwa Tesha akan mendatanginya.
Ia duduk, sibuk dengan ponselnya. Ia sudah me­
nyiapkan alasan bila dilarang masuk tanpa membawa
si kecil Angelita yang tak pernah ada.

Hampir dua puluh menit pasien dengan nomor
urut dua berada di ruang Dokter Bunga. Terdengar
panggilan dari Tesha: ”Angelita!”

Elang masih menempelkan ponsel di telinganya
saat menghampiri Tesha, pura­pura berbicara. Saat
berada di depan Tesha ia pun memasukkan ponsel
ke sakunya. Ia meminta izin masuk terlebih dulu,

106

http://facebook.com/indonesiapustaka berkata bahwa Angelita dan ibunya sudah berada di
dekat Hotel Twin Plaza. ”Kurang dari lima menit lagi
sampai, saya akan bercerita dulu tentang penyakitnya
kepada Dokter,” kata Elang dengan gaya bicara yang
agak cepat.

Tesha mengangguk, tersenyum manis kepadanya.
Elang tidak lagi memperhatikan senyumnya. Yang di­
perhatikannya sekilas dari Tesha adalah... tubuhnya.

Saat membuka pintu, Elang terpana beberapa detik
melihat sosok dokter di depannya. Namanya benar­
benar sesuai penampilannya. Dokter Bunga memiliki
kulit wajah yang begitu halus, juga rambut yang hitam
dan lurus, mengingatkan Elang pada seorang wanita
dalam iklan sampo yang disukainya. Ia mengatur
napas, menenangkan diri, sebelum akhirnya berkata,
”Selamat pagi, Dokter Bunga.”

Dokter itu mengangguk pelan, tapi tak terse­
nyum.

Elang berdeham, mengerutkan dahi. Ia teringat
pada foto­foto dokter itu. Di hadapannya, sang dokter
yang mengenakan jubah dokter, sungguh terlihat lain.
Ia menangkap aura kewibawaan pada dokter itu.
”Saya sebenarnya... sedang berduka, Dokter,” katanya
dengan suara yang agak serak, meletakkan gulungan
lukisan di meja. ”Saya sangat tidak nyaman masuk
ke ruangan ini, sebenarnya bukan untuk... berkon­
sultasi.”

”Jadi?” kata Dokter Bunga sambil melihat kertas
tergulung di mejanya.

107

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Anak saya, Angelita, baru saja meninggal seminggu
lalu. Dia anak yang manis dan lucu,” kata Elang sambil
sedikit menunduk. ”Dan... dokter yang membantu
persalinannya adalah Dokter Nina Sekarwati.”

Elang melihat Dokter Bunga menganga, matanya
menyipit. ”Oh...” katanya, menggeleng pelan. ”Anak
Anda meninggal karena...?”

”Jantungnya lemah sejak kecil, tidak berfungsi
dengan baik. Denyutnya tidak menguat walau dipacu
dengan berbagai alat dan aktivitas, dan daya tubuhnya
sangat lemah. Akhirnya, dia meninggal.”

Dokter Bunga menunduk, mengelus keningnya
dengan salah satu telapak tangan.

”Hari ini saya kemari karena ingin memberikan
sesuatu untuk Dokter,” kata Elang sambil melepaskan
selotip yang melekat pada gulungan kertas. ”Ini
lukisan yang dibuat anak saya untuk Dokter Nina.”

Dokter Bunga mengamati lukisan itu beberapa
detik. Di lukisan itu Elang menggambar seorang anak
kecil yang duduk di kasur, dan di sebelahnya ada
dokter yang baru saja memeriksanya. Anak kecil itu
memegang bunga mawar, digambarkan Elang seperti
hendak menyerahkannya kepada sang dokter.

Di lukisan itu, dokter tersebut berkata, ”Cepat
sembuh, Angelita. Kamu anak yang manis, imut, dan
lucu.” Angelita berkata: ”Terima kasih, Dokter, sudah
menolong saya. Saya ingin menjadi dokter kalau
sudah besar.” Tentu, lukisan itu dibuatnya lebih jelek

108

http://facebook.com/indonesiapustaka daripada biasanya, sedapat mungkin mirip lukisan
anak­anak.

Tangan Dokter Bunga bergetar. Ia berdeham kecil,
terbatuk­batuk, meminum beberapa teguk air dari
dalam gelas di mejanya, sepertinya untuk menghalangi
air matanya tumpah. ”Sekarang saya hidup sendiri,
karena anak saya hanya satu, dan saya sedang pisah
ranjang dengan istri saya.” Elang pun sadar, ia ter­
bawa suasana, terlalu cepat mengatakan persoalan
pribadi.

Untunglah Dokter Bunga tetap menunduk, tampak
tak terlalu peduli dengan hal itu.

”Saya ingin menyerahkan lukisan ini sebagai ke­
nang­kenangan untuk Dokter Nina. Tapi dia sudah
nggak ada. Anak saya dulu selalu bercita­cita menjadi
dokter. Saya berkata kepadanya bahwa jasa seorang
dokter sangatlah besar, nyawa manusia taruhannya.
Dia meninggal saat usianya belum genap lima tahun.
Dia suka sekali menggambar.

”Saya berduka dengan berita yang saya baca ten­
tang kematian Dokter Nina. Dan, betapa malangnya
saya, selama beliau hidup, belum sempat membawa
lukisan ini untuknya. Kebetulan, saya tinggal di Ban­
dung.” Elang mengeluarkan ponsel dari saku cela­
nanya, menunjukkan gambar gadis kecil yang imut,
ia unduh dari Internet. ”Ini anak saya. Angelita.”

”Jadi, ini lukisan untuk almarhumah?” tanya Dok­
ter Bunga sambil memandangi foto dan lukisan itu

109

http://facebook.com/indonesiapustaka bergantian. Ada senyum tipis yang terbentuk di wa­
jahnya.

Elang mengangguk. ”Dulu saya pernah mengobrol
dengan Dokter Nina, beliau berkata Dokter Bunga
adalah sahabatnya. Saya kemari membawa lukisan ini
untuk dititipkan ke keluarga Dokter Nina.”

Dokter itu tersenyum makin lebar, kesedihannya
tampaknya sirna. ”Oh ya, Anda tinggal di Bandung?”

Elang mengangguk, sangat bahagia mendapat
pertanyaan itu. ”Iya, ada apa, Dokter?”

”Nggak apa­apa. Saya juga dulu tinggal di Bandung.
Saya hargai usaha Anda jauh­jauh kemari untuk
membawakan lukisan ini. Oh ya, nama Anda sia­
pa?”

”Saya... Kurniawan, Dokter.” Pikiran Elang ber­
gerak cepat. ”Oh ya, saya juga akan tinggal beberapa
hari di sini. Kebetulan sedang cuti dari pekerjaan.
Ingin menenangkan pikiran.”

”Di Jakarta Anda tinggal di...?”
Oh, Elang sungguh tak menduga dokter cantik ini
ingin tahu ia tinggal di mana. ”Saya menginap di
Hotel Twin Plaza, dan...,” kata Elang sambil menarik
napas agak panjang, ”kalau Dokter ada waktu, mung­
kin bisa menemani saya sepulang Dokter kerja untuk
makan malam. Saya ingin tahu beberapa hal tentang
Dokter Nina.”
”Anda masih ingin tahu tentang Dokter Nina?
Untuk apa?”
Itu pertanyaan yang tak terduga. Elang menatap

110

http://facebook.com/indonesiapustaka dokter itu dengan lembut, tak ingin tampak sedang
berpikir keras. Pikirannya mengembara, teringat Ga­
gak Hitam, sang penulis. ”Saya ingin menulis sebuah
buku, untuk diri saya sendiri, menjadi kenangan hi­
dup saya. Di buku itu saya akan mengisahkan tentang
keluarga kecil yang dulu pernah saya miliki. Walaupun
kini saya sendiri, ada sesuatu yang hendak saya
kenang, termasuk jasa seorang dokter yang menangani
anak saya, yaitu Dokter Nina, sahabat Anda.”

Dokter itu menunduk, tersenyum. ”Kelihatannya
menarik,” katanya sambil mengangkat wajah.

”Jadi, Dokter, saya boleh meminta kartu nama
Dokter?”

Dokter itu tertawa kecil, menunduk, menarik laci
meja. ”Ini,” katanya sambil menyodorkan kartu nama.
”Semua kontak di sana aktif.”

”Baik. Kapan Dokter ada waktu luang?”
Dokter itu memandang kalender yang tergantung
di dinding di belakang Elang. ”Sekarang... Kamis.
Mungkin Jumat malam, Sabtu, atau Minggu, saya
agak luang.”
”Terima kasih, Dokter,” kata Elang sambil berdiri,
mengulurkan tangan, menjabat tangan Dokter itu.
Dengan suara yang agak berat dan senyum lebar
berkata, ”Saya berharap Dokter mau meluangkan
waktu makan malam dengan saya dalam waktu dekat.
Paling tidak, itu akan membuat saya tidak merasa
bersalah karena saya baru saja berkonsultasi dengan
Dokter di jam kerja. Dan, saya mohon, kunjungan

111

http://facebook.com/indonesiapustaka saya kali ini kita berdua saja yang mengetahuinya
karena saya tidak enak dengan pasien lain atau pera­
wat yang ada di depan.”

Dokter Bunga mengangguk, menggerakkan tangan­
nya. ”Ah, nggak apa­apa. Saya senang dengan kejutan
yang menyenangkan pagi ini. Ya, akan saya usahakan
bertemu Anda dalam waktu dekat.”

Elang bertanya, ”Oh ya, Dokter, daripada menjadi
ganjalan, saya ingin bertanya, apakah saya harus tetap
membayar?”

Dokter Bunga menggeleng, tersenyum kecil.
Elang menjabat tangan Dokter Bunga, tersenyum
lebar untuk meninggalkan kesan. ”Sampai jumpa lagi,
Dokter. Saya senang mendapat kesempatan bercerita
dengan Anda pagi ini.”
Sebelum Elang membuka pintu, suara Dokter
Bunga menahannya. ”Nama lengkap anak Anda...?”
katanya sambil berdiri. Elang pun melihat sekilas
badan dokter itu—sesuai fotonya, tinggi dan ram­
ping.
”Angelita Kurniawan,” kata Elang sambil membalik
badan.

Elang tidak langsung keluar, ia mampir ke toilet. Ia
lega, tentu upaya pendekatan dengan bantuan lukisan
itu akan sangat efektif. Dokter Bunga akan tersentuh
hatinya lalu membagi banyak cerita tentang Dokter
Nina.

112

http://facebook.com/indonesiapustaka Elang memikirkan cara untuk mendapatkan kontak
Tesha dan mengarang cerita berbeda yang membuat
anak khayalannya tidak muncul. Semalam ia resah
juga tidur sendiri di kamar. Mungkin saja Tesha mau
diajak mengobrol, atau bahkan bercinta. Dokter
Bunga agak kecil kemungkinannya. Caranya tersenyum
dan menanggapi Elang tak menunjukkan tanda­tanda
kuat bahwa ia menyukainya. Ia bahkan tidak bisa
melucu di depan dokter itu. Pikiran itu liar sebenar­
nya, dan Agung akan marah jika ia mengetahui hal
ini. Tapi, kesepian, oh kesepian... siapa yang kuat
bertahan menghadapinya ketika ia sedang sendiri di
tempat yang asing?

Ia pun mendapatkan ide, keluar dari toilet, meng­
hampiri Tesha. ”Mbak Tesha,” katanya sambil me­
majukan badan di depan Tesha.

”Oh iya, anak dan istri Anda tidak jadi datang?”
Pertanyaan itu membuat Elang menyimpulkan, Dokter
Bunga tidak mengobrol dengannya tentang Elang.

”Kelihatannya ada masalah dengan mobil mereka.
Tolong jangan beritahu Dokter Bunga, ya? Tadi istri
saya berbohong, bilang sudah sampai Hotel Twin
Plaza, tapi mereka ternyata baru sampai di jalan tol.
Jadi, tadi saya cuma mengobrol saja dengan Dokter
Bunga.”

”Dia mau mengobrol dengan Anda tadi, hampir...,”
kata Tesha melihat jam, ”lima belas menit?”

”Iya. Memangnya kenapa?”
Tesha memandang ke kanan dan kiri, berkata,

113

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Dia itu judes, Pak. Jarang mau bicara. Tapi,” katanya
sambil tersenyum kecil, menatap wajah Elang, ”saya
nggak heran sih kalau dia betah ngobrol dengan
Bapak.”

Elang pun mendapat sinyal, meraih peluang. ”Iya
sih... tapi saya jadi nggak enak, menyita waktunya.
Jadi begini, besok atau lusa saya akan memastikan
anak saya dibawa kemari. Bolehkah saya meminta
kontak Mbak Tesha?”

”Untuk apa?”
”Saya perhatikan, kalau menjelang siang atau sore
suasananya agak ramai. Jadi, untuk memastikan no­
mor antrean sih.”
Tesha menunduk, mengerling. ”Boleh sih,” katanya
sambil mengambil selembar kertas. Waktu berdiri
mengambil kertas yang berada di lemari kecil di
samping mejanya, Elang melihat bokong wanita itu
yang montok. Tesha agak pendek, tingginya hanya
sedagu Elang. Sosoknya mungil, tingginya tak sampai
160 sentimeter dan beratnya mungkin tidak sampai
lima puluh kilogram. ”Bapak bisa menghubungi saya,”
katanya setelah menuliskan nomor ponselnya. ”Tapi
kalau jam­jam segini kirim pesan saja. Perawat yang
menjadi asisten Bu Dokter nggak selalu saya. Ada
perawat satunya lagi, namanya Yuli. Soalnya, kami
kalau sedang dinas seperti ini, nggak enak kalau te­
rima telepon.”
”Kalau sedang nggak dinas?” kata Elang, setengah
berbisik.

114

http://facebook.com/indonesiapustaka Gadis itu menyembunyikan senyumnya, menunduk.
Elang ingin menjabat tangan gadis itu, tapi meng­
urungkan niatnya. Di balik kacamata, sepasang mata
Tesha sedikit berbinar, membuat wajahnya kian ma­
nis. Elang tersenyum, mengucapkan terima kasih,
beranjak pergi, lalu meninggalkan rumah sakit.

115

http://facebook.com/indonesiapustaka 11

DUA kontak wanita cantik sudah dikantonginya,

hati kecilnya bahagia. Tidak sia­sia ia menghabiskan
hampir sejuta rupiah untuk membeli setelan baru
yang dikenakannya. Ia meninggalkan RSAB sekitar
pukul sepuluh, kembali ke Bamboo Inn.

Sebelum sampai di hotel ia mampir membeli
beberapa koran. Sampai di kamar hotel, ia membaca
dan mencari­cari berita investigasi tentang Dokter
Bunga. Tidak ada satu pun koran yang membahasnya.
Ia membanting badan ke kasur, bingung dengan apa
yang harus ia kerjakan selanjutnya. Ia pun menelepon
Agung, menceritakan apa yang baru saja ia alami.

Dari percakapan di telepon Agung mengabari
bahwa ia masih terus menyelidiki keberadaan alamat
Gabriel, orang yang dikirimi sesuatu oleh Gagak
Hitam. Ia sudah mengontak Kantor Pos di Malang,

116

http://facebook.com/indonesiapustaka meminta petugas mereka terus melacak di mana
kiriman itu berada. Selain itu, ia menerima kabar
dari Polres Jakarta Barat bahwa polisi yang ditugasi
untuk menyelidiki peristiwa bunuh diri Dokter Nina
bernama Siswoyo.

”Apakah aku perlu berkenalan dengan Siswoyo?”
tanya Elang.

”Untuk saat ini, belum. Aku mendapat kabar,
Siswoyo sedang menyelidiki orang­orang yang berada
di rumah Dokter Nina. Dia sedang mengumpulkan
informasi dari cerita­cerita orang di rumahnya, apa
yang dialami Dokter Nina akhir­akhir ini, dan ba­
gaimana sikap atau kebiasaannya.”

”Apakah kasus ini jadi perhatian di kalangan
kepolisian? Maksudku, jadi berita besar? Di koran
kulihat sepi­sepi saja.”

”Oh, justru di kantor polisi di sini ramai dibica­
rakan. Gagak Hitam dan Merpati Putih... begitu
biasanya polisi­polisi menyebut kasus ini. Dan aku,
bahkan kita berdua, mulai mendapat simpati dari
beberapa rekanku. Mereka memberi pujian. Mereka
yang dulu memintaku mengabaikan kasus ini se­
karang malah mendukungku menyelidiki kasus ini
hingga tuntas.”

Setelah pembicaraan di telepon selesai, Elang pun
mengirim pesan pendek kepada Tesha: Halo, Tesha.
Ini Pak Kurniawan yang tadi anaknya nggak jadi diperiksa.
Simpan nomor saya ya.

Tak sampai dua menit Elang mendapat balasan:

117

http://facebook.com/indonesiapustaka Oh, Pak Kurniawan. Masih nunggu istrinya ya? Apa istri
dan anaknya sudah sampai?

Ah, dia mendapat pertanyaan. Elang membuat
bunyi ”klik” dengan jari tengah dan jempolnya. Elang
mengingat­ingat, tadi ia hanya bercerita kepada
Dokter Bunga bahwa ia berasal dari Bandung. Anak
dan istri ternyata nggak jadi berangkat, mereka masih di
Bandung.

lama tidak ada balasan, Elang berganti pakaian
dan keluar hotel untuk mencari makan. Saat ia keluar
dari hotel, sebuah pesan masuk: Oh... dari Bandung
ya. Sekarang Bapak sudah kembali ke Bandung?

Elang tersenyum lebar mendapat balasan itu. Ia
tak segera membalas pesan, membiarkannya. Nanti
saja. Ia pun mengarahkan pikirannya untuk sementara
ke persoalan lain, menata pikirannya. Bagaimanapun,
ia sedang berada dalam tugas penting, tidak pantas
rasanya mencari­cari peluang untuk menggoda wani­
ta.

Bapak sudah makan? Elang ingin memaki, tapi hati
kecilnya senang membaca pesan Tesha—ia baru saja
selesai makan.

Ia memikirkan jawaban beberapa menit. Sudah.
Baru saja makan. Oh ya, saya msh di Jakarta. Tesha lagi
apa? Kalau istirahat, boleh saya telepon?

Tak sampai semenit ponsel Elang berbunyi. Tesha
menelepon Elang, tapi memutuskan panggilan itu
beberapa detik kemudian. Elang paham sekali, itu

118

http://facebook.com/indonesiapustaka isyarat: teleponlah saya. Elang pun memikirkan bebe­
rapa hal sebelum akhirnya menelepon.

”Tesha... lagi istirahat nih? Sudah makan?”
”Iya, Pak. Saya baru saja makan. Kita makan
bareng kelihatannya, tapi di tempat yang berbeda.”
Elang tertawa kecil, mengubah nada bicaranya. Ia
ingin menampilkan kesan sedang kebingungan. ”Saya
sedang bingung waktu tadi makan, Tesha. Mau
kembali ke Bandung atau tinggal di Jakarta. Setelah
saya pikir­pikir, saya memutuskan menginap di Jakarta
malam ini. Capek kalau bolak­balik Bandung­Jakarta.
Nah, saya perlu bantuanmu. Di mana ya tempat
menginap di dekat rumah sakit?”
”Wah... banyak, Pak.” Ia pun menyebutkan nama
hotel dan penginapan di sekitar rumah sakit.
Elang sudah tahu semuanya, tapi berkali­kali ia
berkata ”oh”, berpura­pura mengerti penjelasannya.
”Baiklah, saya mungkin akan menginap di Bamboo
Inn.”
”Wah, baguslah kalau begitu. Rumah kos saya
masih di Jalan Kota Bambu juga kok, Pak. Kalau dari
Bamboo Inn nggak sampai setengah kilometer.”
Elang tak sadar mengepalkan tinjunya. ”Kalau Te­
sha punya waktu luang nanti malam, maukah makan
malam bersama?”
Terdengar tawa kecil Tesha. ”Mau sih, Pak. Tapi
nggak enak ah, Bapak sudah beristri, beranak.”
Elang pun mengeluarkan jurus yang tadi sudah
direncanakannya. ”Tesha, jujur saja, saya dan istri

119

http://facebook.com/indonesiapustaka saya mau bercerai. Dia sering berbohong. lihat saja
kejadian tadi pagi. Saya jadi malu sama Bu Dokter.
Untung dia mau mengobrol dengan saya.”

”Oh... Bapak mau bercerai?”
”Iya, Tesha.”
”Hm... nanti deh, sebelum jam enam saya kabari.
Saya sebenarnya nggak ada acara nanti malam, cuma
saya perlu pikir­pikir dulu untuk makan malam de­
ngan Bapak.”
”Ya... baiklah, saya tunggu. Saya pengin ada teman
ngobrol waktu makan. Kelihatannya Tesha asyik kalau
diajak ngobrol, mungkin kita ngobrol soal lagu­lagu
Iwan Fals.”

Seperti dugaan Elang, Tesha setuju dengan ajakan
makan malam itu. Elang berkata acara makan malam­
nya sederhana saja, tidak perlu yang mewah­mewah,
dan kalau bisa di tempat kesukaan Tesha. Tesha pun
mengajak Elang ke warung nasi goreng langganannya.
Warung itu tidak jauh dari Bamboo Inn, jaraknya
sekitar dua ratus meter.

Mereka bertemu di warung itu jam delapan malam.
Tesha mengenakan kaus agak ketat berwarna ungu
muda bergambar Teddy Bear dan bercelana jins. Ia
tampak manis dan segar.

Mereka berdua memesan masakan yang sama: nasi
goreng spesial. Elang memuji masakan di situ, walau­

120

http://facebook.com/indonesiapustaka pun menurutnya kurang enak. Setelah makan, Elang
mengajaknya ke hotel, minum kopi, sambil mengobrol.
Awalnya Tesha menolak, tetap ingin mengobrol di
warung nasi goreng itu. Tapi tempat itu ramai, tidak
enak berlama­lama di situ.

Jadi, begitu mereka duduk setelah memesan kopi,
Elang bertanya, ”Tadi Tesha berkata, Dokter Bunga
judes, jarang mau diajak bicara. Kalau dengan Tesha
sendiri bagaimana?” Ia menanyakannya sambil was­
was, khawatir bila Dokter Bunga bercerita bahwa si
kecil Angelita sudah meninggal dunia.

Wanita pekerja selalu sama modelnya. Mereka suka
sekali membicarakan atasannya. Raut wajah Tesha
yang tadi sedikit diliputi ketakutan pun seketika ber­
ubah. ”Wah, dengan saya hampir nggak pernah bi­
cara, Pak! Dia itu sebenarnya kurang komunikatif.
Dia sih kelihatannya lumayan dekat dengan Yuli,
perawat selain saya yang kadang jadi asistennya. Dia
jauh berbeda dengan almarhumah.”

Elang merasa aman, apa yang ia obrolkan dengan
Dokter Bunga tentunya tidak sampai kepada Tesha.
Tapi ia juga terperanjat ketika Tesha menyebut kata
terakhir. Ia berpikir sejenak sebelum berpura­pura.
”Almarhumah?”

”Oh iya, saya lupa, Bapak nggak kenal dengan
Dokter Nina. Dia yang saya maksud. Banyak suster
yang suka sama dia. Entahlah, kenapa Dokter Nina
dan Dokter Bunga bisa bersahabat.”

121

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Jadi... kenapa Tesha teringat kepada Dokter Ni­
na?”

”Iya, ya? Entahlah... kenapa saya mengingatnya.
Saya cuma kangen dengan sosoknya. Dia sangat
keibuan, tapi nasibnya begitu malang.”

”Dia meninggal karena apa?”
Tesha menggeleng lemah lalu menatap Elang, ber­
kata, ”Malam ini saya nggak mau bercerita. Terlalu
tragis, Pak. Kita cerita yang lainnya saja, ya?”
Elang pun mendengus. ”Baik, bagusnya kita meng­
obrolkan apa?”
”Tentang... keluarga Bapak, mungkin? Kalau...
Bapak nggak keberatan?”
Elang mengetuk­ngetukkan telunjuk di meja. Ia ter­
senyum kecil, mengangguk. Ia pun mengarang cerita
bahwa ia akan bercerai dalam waktu dekat karena
istrinya, yang menjadi sekretaris manajer di sebuah
perusahaan kulit di Bandung, tertangkap basah ber­
selingkuh dengan manajernya. Elang pun menyisipkan
cerita bahwa ia bekerja secara freelance sebagai arsi­
tektur, sering menangani proyek­proyek yang lumayan.
Saat bercerita, Elang jadi merasa bersalah karena Tesha
tampak menelan semua ceritanya.
Ia yang mahir berdusta, atau Tesha yang terlalu
lugu?
Tesha juga bercerita tentang dirinya. Ia berasal dari
Garut, baru bekerja dua tahun di RSAB, umurnya
24 tahun. Kedua orangtuanya masih ada, tinggal ber­
sama adiknya di Garut. Elang sempat ingin bertanya

122

http://facebook.com/indonesiapustaka tentang kekasihnya, tapi menahannya. Ia khawatir
pertanyaan itu malah mengganggu rencananya meng­
ajak Tesha bercinta.

Elang dan Tesha terus bertukar cerita sampai ham­
pir pukul sepuluh malam. Elang menengok ke luar
jendela, hujan turun rintik­rintik. Awan begitu gelap,
gerimis ini akan menjadi hujan lebat dalam hitungan
menit. Ia pun berkata, ”Kelihatannya saya harus
mengantar Tesha pulang.”

Tesha melihat ke luar jendela. ”Oh... iya, sudah
gerimis.”

”Iya, soalnya nggak ada payung. Nanti Tesha ke­
hujanan.”

”Kenapa Bapak harus mengantar saya? Saya kan
bisa pulang sendiri?”

Elang sudah menyiapkan jawabannya. ”Saya perlu
membeli rokok di toko. Toko itu searah dengan
rumah kosmu. Kalaupun Tesha keberatan saya antar
pulang, saya akan ke toko itu saja,” kata Elang sambil
berdiri. Ia menuju kasir, membayar. Ia mengatur na­
pas saat melihat gerimis yang makin deras.

Elang dan Tesha keluar hotel. Suara guntur terde­
ngar, air tumpah dari langit saat mereka baru berjalan
sekitar dua puluh langkah. Elang bersorak­sorai dalam
hati ketika berkata, ”Aduh... basah kuyup nih kalau
terus dilanjutkan!”

Tesha tampak bingung, terus berjalan. Elang belum
sampai ke toko itu. Ia bisa merasakan keraguan dalam
diri Tesha. langkahnya terayun makin pelan. Elang

123

http://facebook.com/indonesiapustaka pun menggenggam tangannya, lalu berkata, ”Sudahlah,
kita kembali ke hotel saja yuk!”

Tesha menurut, mereka kembali ke hotel. Pakaian
mereka berdua hampir basah kuyup. Elang menggan­
deng tangan Tesha, berlari­lari kecil, berkata kepada­
nya, ”Saya punya pakaian ganti, nanti bisa dipakai.”

Tesha tak menjawab, wajahnya cemberut. Sesampai
di kamar, Elang membuka tasnya, menyerahkan satu
kemeja dan celana pendek kepada Tesha. ”Di kamar
mandi ada handuk. Tesha silakan mandi, ganti baju
dulu.”

Tesha menurut, tapi masih cemberut. Elang men­
dengar suara air mengalir di kamar mandi. Ia pun
menunggu di kamar sambil menenangkan diri untuk
tak berlaku kurang ajar di mata gadis itu.

lima menit kemudian Tesha keluar. Ia hanya me­
ngenakan kemeja Elang. Wajahnya sudah tidak cem­
berut, malah tersenyum lebar.

Setelah itu giliran Elang ke kamar mandi, mem­
bawa pakaian ganti.

Elang mendapati Tesha berbaring menghadap
tembok ketika ia keluar. Seluruh badannya ia tutupi
selimut, kecuali leher, kepala, dan tangan kanannya.
”Pak,” katanya tanpa menoleh, ”maaf, saya ngantuk
banget.”

”Oh, tidak apa­apa, silakan tidur, Tesha.” Elang
kecewa.

Elang menyalakan televisi, menonton berita. Ia
melihat jam dinding. Sudah setengah sebelas malam.

124

http://facebook.com/indonesiapustaka Ia mematikan lampu utama, menyalakan lampu tidur.
Elang pun berbaring membelakangi Tesha. Entahlah,
Tesha sedang tertidur atau sekadar berpura­pura.

Hampir setengah jam Elang menonton, ia pun
mengantuk, dan mematikan televisi. Ia mengubah
posisi tidurnya—telentang, menghadap langit­langit
kamar. Baru saja akan terlelap, ia merasakan gerakan
di kasur. Di sampingnya, Tesha bergerak juga. Dari
menghadap tembok, ia sekarang telentang, seperti
Elang. Elang menoleh, memperhatikan wajahnya.
Gadis itu terpejam. Elang menggerakkan tangannya
di balik selimut, mencari tangan Tesha. Ia genggam
perlahan jemari gadis itu, mengelusnya perlahan.

Elang tak menduga, Tesha balas mengelus jema­
rinya. Elang pun menoleh, melihat wajah gadis itu.
Ia tersenyum, lalu tertawa kecil, dan matanya terbuka.
”Bapak kok pegang­pegang tangan saya sih?” katanya
tanpa menoleh.

”Hm...,” kata Elang, ”ada yang pura­pura tidur
ternyata.”

”Iya nih, Pak, ngantuknya hilang. Bapak sudah
ngantuk?”

”Belum sih,” dusta Elang. ”Sebenarnya pengin ajak
kamu bikin permainan anak­anak, tapi kamu dari
tadi tidur terus.”

”Mainan anak­anak? Ah, apaan sih, Pak?” Suaranya
kali ini terdengar manja, Tesha menoleh, bahkan
sedikit menggerakkan badannya, mendekati Elang,

125

http://facebook.com/indonesiapustaka menatap kedua matanya. Tatapan itu di mata Elang
berarti: lampu merah mati, lampu hijau menyala.

Elang pun mendekatkan kepala, berbisik. ”Main
dokter­dokteran. Saya dokternya, kamu pasiennya. Mau
nggak?”

”Hmm...,” katanya sambil memejam, ”iya deh. Saya
pura­pura tidur, saya kan sakit.”

Setelah itu, permainan pun berlanjut sesuai ke­
inginan Elang.

Tesha terlelap dalam pelukan Elang. Sebelum tidur,
Elang pun bertanya tentang kekasihnya. Ia bercerita
bahwa kekasihnya berselingkuh, sudah meninggal­
kannya hampir enam bulan. Ia sudah lama ingin
bercinta—tak harus dengan orang yang berstatus
sebagai kekasih barunya—tapi tak menemukan sosok
yang menarik, sampai Elang datang kepadanya.

Tesha tampak pesimistis dengan hubungan asmara
yang berkomitmen. Sejak pacarnya selingkuh, Tesha
beranggapan bahwa bercinta di ranjang tak harus
dilakukan dengan orang yang suatu saat akan menjadi
suaminya. ”Aku lebih sering mendengar kisah cinta
yang nggak setia, Pak,” desah Tesha.

”Aku juga mungkin nggak akan setia. Cinta kadang
kala seperti hujan, Tesha. Setelah datang, lalu sirna,”
kata Elang di depan wajahnya, lalu mengecup bibir­
nya dengan lembut. Ia tahu wanita mudah dibius
dengan kata­kata yang terdengar puitis sebelum mere­

126

http://facebook.com/indonesiapustaka ka tidur atau setelah bercinta, walaupun kata­kata itu
ngawur, seperti yang baru saja ia katakan.

Tesha menyambut kecupan itu sambil terpejam.
Begitulah, seorang wanita akan menunjukkan sifat
aslinya bila sudah jatuh dalam pelukan pria, apalagi
setelah bercinta. Tesha yang santun berubah menjadi
centil, manja, dan ternyata suka sekali memasang
wajah cemberut, pura­pura marah. Sungguh, ia mem­
butuhkan kasih sayang.

Elang seketika teringat kepada Irin yang pernah
mengatakan bahwa wanita jauh lebih sering memi­
kirkan seks ketimbang pria.

Elang memeluk gadis itu dan membelai­belai ram­
butnya, membuat Tesha terkikik, dan tergoda sekali
lagi.

127

http://facebook.com/indonesiapustaka 12

JUMAT, 28 November 2014, pukul tujuh pagi, Tesha

bersiap­siap kembali ke rumah kosnya. Ia menolak
diantar Elang karena khawatir bertemu dengan be­
berapa teman perawat atau pedagang yang menge­
nalnya. Elang berjanji akan menghubunginya lagi,
dan bila ia ke Jakarta akan mengajak Tesha berte­
mu.

Elang pun sendiri di kamar, bingung harus mela­
kukan apa. Ia membolak­balik buku TTS yang ia
bawa, berusaha menjawab soal yang belum diselesai­
kannya pada halaman­halaman yang hilang, tapi
pikirannya enggan memikirkan kata­kata itu. Ia ber­
niat menghubungi Dokter Bunga nanti malam. Ia
pun tidur lagi tak lama setelah Tesha kembali ke
kosnya.

Agung menelepon Elang, menanyakan kabarnya.

128

http://facebook.com/indonesiapustaka Elang sama sekali tak bercerita tentang Tesha. Walau­
pun ia bukan polisi, dan sekadar membantu, ia tak
ingin dianggap memanfaatkan kesempatan untuk
menggoda para gadis. Irin juga menelepon Elang pagi
itu, menanyakan kabarnya. Irin mengaku bahwa ia
sedang berada di Pontianak, mengurus beberapa hal,
lalu mengajak bertemu. Elang mengaku berada di
Ngabang, sebuah kabupaten di Kalimantan Barat,
sedang mengerjakan proyek melukis yang ia dapatkan
dari Kantor Bupati. Seperti biasa, Irin percaya.

Setelah Irin menelepon, Elang pun makin sadar,
menyelidiki suatu kasus bukanlah perkara mudah.
Perlu kesabaran tinggi. Hanya untuk menggali infor­
masi dari satu target, yaitu Dokter Bunga, ia harus
menunggu dan menunggu. Kesempatan untuk berte­
mu dengan sang dokter pun harus dimanfaatkan
sebaik­baiknya: informasi penting harus diperoleh,
sementara waktunya tidak banyak. Ia harus menyamar,
memutar otak untuk dialog­dialog yang tak terduga.

Ia jadi bertanya­tanya: perlukah semua ini ia la­
kukan? Tapi ia sedang tidak banyak ilham membuat
lukisan baru. Ia pun menyadari, tekadnya menyelidiki
kasus ini sedikit memudar karena ia baru saja ber­
senang­senang dengan Tesha, gadis imut yang mengge­
maskan.

Sekitar pukul sebelas siang Elang meninggalkan
hotel untuk mencari makan. Sungguh ia tak men­
duga, bertemu lagi dengan dua bersaudara yang ia
temui waktu ia baru sampai di Jakarta, di warung

129

http://facebook.com/indonesiapustaka makan tempat ia memesan mi goreng dan es teh
manis. Mereka berdua berada di mulut gang, tam­
paknya baru pulang dari rumah sakit.

”lho, Mas, ketemu lagi!” sapa si wanita.
”Iya, Mbak. Saya menginap di Bamboo Inn,” kata
Elang. Ia jadi teringat, dua orang itu pernah mem­
bahas tentang rumah­rumah penginapan. ”Oh ya,
kalau Mas dan Mbak, menginap di mana?”
Si pria menunjuk rumah bercat hijau, jaraknya
sekitar lima puluh meter dari tempat mereka berdiri.
”Mau ke sana?” tanyanya.
”Boleh. Saudara saya ada yang bakal datang juga
besok atau lusa, siapa tahu mau menginap di sana.”
Padahal Elang yang berkeinginan untuk pindah hotel.
Ia tak tahu sampai kapan berada di Jakarta, penyelidik­
annya berjalan lambat. Bila terus­menerus menginap
di hotel, uangnya akan habis.
Ia pun menyusuri gang, masuk ke rumah itu. Ru­
mahnya cukup rapi dan bersih, kamar mandinya
berada di dalam. Elang diperkenalkan dengan pemilik
rumah, seorang janda tua yang masih energik dan
bersemangat. Dua bersaudara itu bernama Ronny dan
linda. Mereka bercerita bahwa ayah mereka sudah
dioperasi kemarin dan berjalan lancar. ”Kami tinggal
menunggu saat­saat pemulihan. Kalau lancar, sepuluh
hari atau paling lama dua minggu lagi, kami akan
pulang ke Solo,” kata Ronny.
Elang ikut senang mendengarnya. Elang melihat­
lihat rumah itu sekitar sepuluh menit, berpamitan

130

http://facebook.com/indonesiapustaka setelah ia meminta nomor ponsel mereka, memper­
kenalkan diri sebagai Kurniawan. ”Saya mau ke Blok
M,” katanya. Padahal, sebelumnya ia tidak berencana
ke sana. Awalnya ia justru berencana menemui te­
mannya, seorang pelukis juga. Tapi ia berubah pikir­
an; ia enggan bercerita tentang apa yang sedang ia
lakukan di Jakarta kepada temannya.

Kedua orang itu memang sangat ramah. Mereka
mengantarkan Elang ke mulut gang, seraya menya­
rankan Elang menumpang taksi. Tapi Elang memilih
ojek. Di ujung Jalan Kota Bambu, dekat pertigaan
dengan Jalan S. Parman, banyak tukang ojek mangkal
di situ. Awalnya ia hanya keceplosan, tapi gagasan itu
menarik juga. ”Bang, antarkan ke Blok M ya,” kata­
nya kepada tukang ojek.

Elang hanya melihat­lihat berbagai barang yang ada
di Blok M, membeli beberapa kaus oblong murah
untuk beberapa hari ke depan. Setelah membeli kaus,
Elang melihat berbagai aksesori menarik yang dijual
di sebuah toko: pisau, samurai kecil, pentungan, juga
korek api berbentuk pistol, mirip revolver yang di­
bawa Agung, tapi lebih kecil. Ia menoleh ke sana
kemari, mencoba korek api itu. Kalau pelatuknya
ditarik, bara api keluar dari ujung pistol. Ah, menarik
sekali benda sialan satu ini!

Ia baru saja selesai makan, sedang akan menyulut
rokok dengan korek api pistol barunya ketika pon­
selnya berbunyi. ”Iya, dari siapa?”

”Ini Dokter Bunga.”

131

http://facebook.com/indonesiapustaka Rokok Elang terjatuh dari bibirnya. ”Oh ya,
Dokter. Bagaimana?”

”Nanti sore, bisakah kita bertemu?”
”Bisa, bisa, Dokter. Oh ya, dari mana dapat nomor
saya?”
”Dari Tesha, asisten saya. Ini saya sedang istirahat,
baru makan siang.”
”Oh... baiklah, Dokter. Kebetulan saya sedang
dalam perjalanan. Nanti saya hubungi sebelum jam
lima,” kata Elang sambil melihat jam. Sudah hampir
jam empat.
Selesai berbicara dengan Dokter Bunga, Elang pun
menelepon Tesha. ”Halo, Tesha, kenapa kamu beri­
kan nomorku ke Dokter Bunga?”
”Ah... saya nggak memberi nomor Bapak kok! Kan
kemarin Bapak menuliskan nomor Bapak di kartu
registrasi sebelum mendaftarkan... siapa anak Ba­
pak?”
Elang menepuk jidatnya. ”Angelita. Oh... iya, aku
baru ingat. Tapi, Dokter Bunga nggak mengajak kamu
ngobrol tentang anakku, aku, atau malah... hubungan
kita semalam?”
”Nggak, Pak. Sama sekali nggak. Sudah saya bilang,
kami hampir nggak pernah mengobrolkan tentang
pasien. Dia itu judes, Pak. Sama saya saja jarang sekali
mau senyum.”
Elang merasa lega. ”Ah, malangnya kamu. Kalau
aku maunya senyum terus tiap kali lihat kamu.”

132

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Tapi... Bapak nggak senyum deh semalam,” kata
Tesha dengan suara mengecil.

”Semalam? Maksudmu?”
”Waktu Bapak tidur.”
Oh, ternyata Elang tidur lebih dulu semalam.
”Iyalah, waktu tidur nggak senyum. Kan capek.”
”Ih... Bapak!” Suaranya terdengar manja.
Elang tertawa terbahak­bahak, tidak menduga ada
percakapan seperti ini. ”Jadi, sekarang lagi apa nih?”
”Baru selesai makan. Bapak sendiri sudah ma­
kan?”
”Barusan makan. Ini lagi di rumah kawan, di wila­
yah... Depok.”
”Oh gitu. Pak, udahan dulu ya. Sebentar lagi saya
masuk lagi.”
”Baiklah.” Elang mengembuskan napas panjang
dari mulutnya. Ia lega Tesha sama sekali tidak ber­
tanya apakah atau kenapa Dokter Bunga mengiriminya
pesan atau meneleponnya. Sejauh ini ia aman, dan
menduga bahwa Dokter Bunga tampaknya memiliki
ketertarikan kepadanya.
Tapi ia mewaspadai segala kemungkinan. Mungkin
saja dokter dan perawat itu bersekongkol untuk
memberi Elang pelajaran—tapi, untuk apa? Tesha tak
mungkin sejahat itu. Atau, mungkinkah penyamarannya
diketahui? Tidak mungkin. Ia memang kemarin se­
mestinya tak menuliskan nomor ponsel di kartu re­
gistrasi. Ia pun teringat, kemarin ia menuliskan no­
mor ponsel itu gara­gara melihat Tesha. Ia sering

133

http://facebook.com/indonesiapustaka memikirkan nomor ponsel kalau melihat wanita yang
menarik. Alamatnya kemarin hanya ditulis dengan
nama kota: Jakarta. Tapi, hanya itu kealpaannya.
Ingatannya masih kuat, identitas asli lainnya tidak
ada yang ia berikan.

Elang pun berjalan tanpa tujuan di Blok M sambil
memikirkan rencana bertemu Dokter Bunga. Aha, ia
segera teringat pada Hotel Twin Plaza! Dokter Bunga
jelas berbeda kelas dengan Tesha, ia mungkin akan
kurang nyaman kalau tahu Elang berada di Bamboo
Inn. Elang akan membawanya mengobrol di lobi atau
kafetaria Hotel Twin Plaza.

Pikiran gila itu muncul: ia bisa saja mengaku seba­
gai kawan seseorang yang menginap di hotel kepada
resepsionis, tapi mengaku menginap di hotel itu
kepada Dokter Bunga. Tapi, kalau ada tanda­tanda
dokter itu mau diajak bercinta, tentu ia akan kewa­
lahan memikirkan cara untuk check in. Dan, tidak
mungkin ia mengajak Dokter Bunga bertemu di hotel
itu, lalu check in—jelas, harga diri dokter itu akan
tercabik­cabik.

Begitulah, sebagai lelaki yang suka bertualang,
status sosial wanita yang diajak tidur kadang menjadi
tantangan menarik—model­model lukisan dan foto,
pengusaha seperti Irin, perawat seperti Tesha, dan
sekarang... dokter.

Elang pun mencari tahu tarif menginap di hotel
itu dari ponselnya. lumayan, untuk kelas standar
mencapai sembilan ratus ribu.

134

http://facebook.com/indonesiapustaka Ia teringat Irin, lalu meneleponnya. Ia bertanya,
apakah bisa mendapatkan voucher hotel. ”Ada teman­
ku sedang di Jakarta. Dia mendapatkan hotel yang
lumayan bagus, tapi tarifnya mahal.”

”Oh... itu gampang, Mas.” Irin menyebutkan se­
buah perusahaan travel. ”Mereka akan menentukan
harga yang lebih murah, lalu teman Mas itu akan
diminta transfer uang. Setelah transfer uang, mereka
akan mengonfirmasi pihak hotel. Setelah pihak hotel
dikonfirmasi, teman Mas akan dikabari, langsung deh
check in.”

Elang mengangguk­angguk mendengar penjelasan
Irin. Ia pun mencari nomor telepon perusahaan travel
itu di Internet, mencatatnya. Elang meneleponnya,
menanyakan tarif menginap di Hotel Twin Plaza.
”Diskonnya lumayan besar, Pak. Harga dari kami 530
ribu,” kata seorang petugas.

Elang pun menimbang­nimbang, beberapa kali
melihat jam tangan, sudah hampir setengah lima.
Akhirnya ia pun memutuskan menginap di Hotel
Twin Plaza yang berbintang empat. Harganya cuma
terpaut dua ratus ribu lebih sedikit dengan Bamboo
Inn. Sesekali perlulah ia menikmati hidup, walau
Dokter Bunga belum tentu menemaninya. Ia mene­
lepon lagi perusahaan travel itu, memesan kamar
hotel untuk semalam, kelas standar.

Elang mengirim pesan untuk Dokter Bunga: Saya
menginap di Hotel Twin Plaza, bisa kita bertemu di lobi
atau kafetaria hotel?

135

http://facebook.com/indonesiapustaka Sepuluh menit kemudian muncul balasan. Oh,
baik. nanti saya ke sana, sekitar jam enam.

Sudah hampir pukul lima sore. Elang mencari
ojek, akan kembali ke Bamboo Inn, berkemas, lalu
check out. Tapi, dalam perjalanan pulang, lalu lintas
macet luar biasa. Ketika Elang sampai di pangkalan
ojek, ia menerima pesan dari Dokter Bunga di
ponselnya: Lima belas menit lagi saya selesai kerja, terus
ke hotel. Tunggu ya. Sudah hampir pukul enam.

Ah! Elang akan terlambat sampai Hotel Twin Plaza
kalau ia kembali ke Bamboo Inn. Dengan berat hati
ia pun berlari­lari kecil ke Hotel Twin Plaza. Ia tidak
bisa menumpang ojek karena jalan raya di situ hanya
searah. Elang berlari melawan arah lalu lintas ken­
daraan dari pertigaan itu ke Hotel Twin Plaza.

Elang sampai di hotel, segera mengirim pesan
sambil berjalan menuju resepsionis: Baik, Dokter. Saya
habis mandi. Saya akan turun sebentar lagi. Kita ketemu
di lobi. Di depan resepsionis ia berkata, ”Saya meme­
san kamar dengan bantuan travel. Saya mau check in,
atas nama Elang Bayu Angkasa.”

Resepsionis tersenyum, tatapannya menyiratkan
keprihatinan. Mungkin karena melihat dahi dan wa­
jah Elang yang penuh keringat. ”Ya, nama Anda
sudah terdaftar.” Ia pun mengeluarkan kartu untuk
masuk ke hotel, mirip kartu ATM, menyelipkannya
dalam sebuah map kecil dari karton. Di map itu
terselip juga dua kupon. Resepsionis menjelaskan,
satu kupon untuk memperoleh minuman, satu kupon

136

http://facebook.com/indonesiapustaka lainnya untuk makan pagi besok. Dua kupon itu
berlaku untuk dua orang.

Elang mendapat kamar di lantai sembilan. Ia
sempat mengamati sekilas arsitektur yang megah di
hotel itu. Ada beberapa pilar raksasa yang kokoh,
seperti penjaga yang akan mengamankan hotel itu
dari terpaan badai, atau bahkan tsunami. Di dalam
lift ia mendapat pesan: Saya dalam perjalanan. Sepuluh
menit lagi sampai.

Elang mengangkat kepala, menggerak­gerakkan
tangan. Di lantai sembilan, ia keluar dari lift dengan
cepat, menuju kamarnya. Ia masuk, segera mandi.
Untunglah ia membeli beberapa kaus—kaus yang ia
kenakan seharian hampir basah oleh keringatnya.

lima menit kemudian Elang keluar kamar. Tepat
di depan kamarnya ada jendela. Ia melihat kilat di
langit, hujan turun deras. Ah... mungkin saja Dokter
Bunga pakaiannya basah kuyup! Hatinya seketika
diliputi kebahagiaan.

Kemarin perawat, sekarang dokter!
Ia tertawa sendiri.

137

http://facebook.com/indonesiapustaka 13

DUGAAN Elang benar, pakaian Dokter Bunga basah.

Tinggi badannya tidak kurang dari 165 sentimeter,
lebih pendek sedikit dari Elang. Ia melihat dokter
itu ketika lift yang membawanya turun baru saja
terbuka. Tanpa harus berkata­kata, Elang tahu, dokter
itu malu duduk di lobi dengan pakaian basah.
Beberapa saat Elang menahan napas memperhatikan
tubuh semampai yang sedikit bergetar di depannya.
”Dokter, saya punya beberapa kaus. Maukah Dokter
ke kamar?”

Benar kata Tesha, dokter itu judes. Ia tak langsung
menjawab, tapi cemberut. ”Sebentar,” katanya sambil
menekan­nekan ponselnya. ”Ah, bajingan!”

Elang nyaris menganga mendengar kata umpatan
dokter itu baru saja. ”Dokter menghubungi siapa?”

Dokter Bunga tampak memaksakan senyumnya.

138

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Maaf, tadi saya menghubungi seseorang. Di luar
jangkauan. Mau saya minta supaya menjemput ke
sini, membawa pakaian ganti.”

Elang mengangkat kedua tangannya. ”Oh... ter­
serah. Bagaimana, Dokter akan menelepon lagi? Atau
kita ke kamar saya? Ada handuk juga di sana. Dokter
bisa mengeringkan badan.”

”Kamar Anda di lantai...?” tanya Dokter Bunga
bertanya sambil memajukan telunjuknya di nomor­
nomor lantai yang ada di samping lift.

”Sembilan.”
Tak sampai semenit, lift terbuka. Elang dan Dokter
Bunga masuk ke lift. Dokter Bunga memeluk tasnya
di depan dada dan perut, berdiri di pojok lift. Ia tam­
pak malu. Elang berdiri agak jauh, di pojok lift lainnya,
untuk membuat dokter itu merasa nyaman.
”Maaf, Dokter, jadi merepotkan Anda. Sampai
basah,” kata Elang di dalam lift, mencoba ramah.
Dokter itu tak mengubah raut wajahnya, bahkan
tampak seperti tak mendengar kata­kata Elang.
Pintu lift terbuka, Elang berjalan di depan dokter
itu, membawanya ke kamar. Setelah dokter itu masuk,
tanpa permisi, Elang langsung menutup pintu. Ia
ingin tahu seperti apa ekspresi Dokter Bunga. Elang
pikir, tampaknya semua orang tahu tata krama: pria
yang mengajak wanita asing ke dalam kamar atau
rumahnya dan membiarkan pintu terbuka berarti tak
berniat macam­macam. Tapi Dokter Bunga tidak
menunjukkan perubahan ekspresi. Mungkin saja ia

139

http://facebook.com/indonesiapustaka tidak tahu­menahu perihal tata krama itu. ”Boleh
saya langsung ke kamar mandi?”

”Silakan, Dokter.”
Elang melupakan sesuatu ketika dokter itu masuk
ke kamar mandi. Kausnya. Ia pun mengetuk pintu
kamar mandi beberapa kali. Ketika pintu terbuka,
Elang nyaris kehilangan keseimbangan. Dokter itu
berdiri tanpa sehelai kain membalut tubuhnya. Tadi
di lift ia tampak malu­malu dengan pakaian basahnya,
tapi sekarang bahkan tak menyembunyikan tubuhnya
di balik pintu. Dokter itu tersenyum kecil, meng­
ucapkan terima kasih ketika ia menerima kaus itu,
lalu menutup pintu perlahan. Tidak sampai lima
detik melihat pemandangan itu, kaki Elang tak bisa
tenang, terus bergetar.
Dokter Bunga termasuk salah satu wanita tercantik
dan terseksi yang pernah Elang lihat. Di dada kiri
sang dokter, tak jauh dari puncak payudaranya, ada
tato kupu­kupu berwarna kuning dan merah.
Muncul ide dalam otaknya. Ia pun mengetuk pintu
kamar mandi lalu membukanya.
Dokter Bunga mematikan shower, membalikkan
badannya. Tak disangka, dokter itu menyambutnya,
mereka berciuman. Elang memeluk pinggang Dokter
Bunga, dan sang dokter menumpangkan kedua
tangannya di pundak Elang. Bibir wanita itu bergerak­
gerak, tampak jelas bahwa ia berpengalaman dalam
bercinta, juga sedang menginginkan kehangatan.

140

http://facebook.com/indonesiapustaka ”Di kasur aja yuk, lebih seru...” Dokter Bunga
membalut badannya dengan handuk.

Sekujur tubuh Elang nyaris bergetar mendengar
kata­kata dokter itu. Supaya tak terlihat terlalu berse­
mangat, Elang pun mengambil handuk lain, menge­
ringkan badannya, sementara sang dokter keluar.

Ia mendapati Dokter Bunga telentang di kasur,
tanpa pakaian. Dokter Bunga mematikan lampu
utama, cahaya di kamar jadi tampak remang karena
hanya lampu di depan kamar mandi yang menyala.

Elang pun perlahan­lahan mendekatinya, melepas­
kan handuk yang membalut tubuhnya, membiarkannya
tergeletak di kasur. Elang sudah tak sabar.

Tiba­tiba wanita itu berguling, menjauhi Elang,
berdiri di seberang kasur, tangannya mengambil se­
suatu di bawah bantal.

”Angkat tangan! Katakan, Anda siapa?!” kata Dok­
ter Bunga di depannya, sambil mengacungkan pis­
tol.

Elang mengangkat tangan, berpikir apakah Dokter
Bunga bermain­main dengan mengambil korek api
pistolnya. Ia melirik meja tempat ia meletakkan kaus­
kaus yang dibelinya, korek api pistol, ponsel, dan
dompetnya. Meja itu panjang, hampir dua meter.
Kantong plastik yang berisi kaus­kaus dan korek api
pistol terletak agak jauh, dekat jendela hotel. Ujung
korek api itu bahkan tampak keluar dari plastik yang
membungkusnya.

”Dokter... Anda pikir saya siapa?” kata Elang

141

http://facebook.com/indonesiapustaka sambil angkat tangan. Ia jadi tampak benar­benar
dungu sekarang: telanjang, mengangkat tangan, dan
gairahnya seketika menguap. Tapi ia takut bergerak,
bahkan tidak bisa menutupi tubuhnya. Pistol itu bisa
saja meletup karena sedikit gerakan.

”Tidak ada satu pun pasien bernama Angelita
Kurniawan dalam daftar pasien yang pernah diperiksa
Dokter Nina Sekarwati!” bentak Dokter Bunga.
Wanita cantik dan seksi itu telanjang, tapi membentak­
bentak seperti orang kesurupan. Elang jadi ngeri.
”Katakan dengan jujur, apa mau Anda menyelidiki
Dokter Nina yang sudah meninggal, juga saya?”

”Dokter... tahan dulu. Jangan tembak,” kata Elang
sambil bergerak perlahan, mendekati meja. ”Saya...
saya memang seorang polisi.”

Terdengar suara tawanya yang mengerikan. ”Anda
begitu bodoh dalam tugas Anda menyamar. Anda
pembohong yang payah. Saya bahkan bisa melihatnya
dari gelagat Anda ketika kita bicara waktu itu. Tesha
asisten saya mungkin bisa Anda bohongi bahwa Anda
akan bercerai, tapi saya... tidak!”

Tesha, wanita sialan itu—apakah ia yang membuat
semuanya jadi seperti ini? Bokong Elang menyentuh
benda di belakangnya. Kursi. Elang sempat melihat
kursi itu. Elang harus bicara agar pistol itu tak segera
meledak, menghabisi nyawanya. ”Jadi, apa kesalahan
saya, sampai­sampai Dokter menodong saya dengan
pistol? Saya memang menyelidiki sambil menyamar,

142

http://facebook.com/indonesiapustaka dan katakanlah saya memang bertindak bodoh, tapi
apa gunanya Dokter membunuh saya? Apakah Dokter
pembunuh, atau pelaku kejahatan?”

”Masalahnya adalah...”
Belum sempat Dokter Bunga melanjutkan kata­
katanya, Elang menunduk. Ia hanya bisa ditembak
kalau dokter itu melompat ke kasur. Dengan sekuat
tenaga ia genggam kaki kursi di sampingnya, lalu
melemparkannya ke arah Dokter Bunga. Salah satu
kaki meja itu mengenai perut Dokter Bunga yang
baru saja naik ke kasur. Ia menjerit kesakitan, ta­
ngannya yang memegang pistol teracung ke atas.
Elang yang melihat gerakan tangannya segera naik
ke kasur, berhasil merampas pistol dokter itu. Ia pun
menendang kursi tersebut dari kasur sampai terjatuh
ke bawah. Elang menindih Dokter Bunga. ”Dokter,
jangan macam­macam dengan saya. Apa yang baru
saja Anda lakukan malah akan menguatkan fakta
bahwa Anda seorang pembunuh.”
Dokter itu meludahi wajah Elang. ”Kau manusia
rendah!”
Elang yang tadi begitu bergairah pada dokter itu
kini berubah jijik. Karena bingung dengan apa yang
harus ia lakukan, Elang mengacungkan pistol, me­
minta dokter itu berganti pakaian, dan meninggalkan
kamar hotel.
”Baik, aku akan pergi. lepaskan aku!” bentak dok­
ter itu. Elang bangkit perlahan, masih mengacungkan
pistol ke wajah wanita itu. Sang dokter mundur

143

http://facebook.com/indonesiapustaka perlahan, Elang mengawasi gerakannya. Ia memegang
perut, merintih kesakitan, menunduk di dekat meja
kecil di samping kasur. Di atas meja itu ada lampu
baca dan asbak. ”Saya malu, telanjang,” katanya sam­
bil berbalik. Elang malu juga dengan ketelanjangannya,
mengambil handuk yang ada di kasur.

lagi­lagi Elang tak waspada, dokter itu mengambil
asbak yang terbuat dari kaca, dan melemparkannya
sekuat tenaga ke arah Elang sebelum ia menutupi
dirinya dengan handuk. Malang nasib Elang, asbak
itu menghantam kemaluannya. Kepalanya pusing
seketika, dan ia limbung, lalu terduduk.

Dokter Bunga berdiri, mendekati Elang dengan
cepat. Kini ia berhasil merebut pistol itu dari tangan­
nya. Elang mengatur napas, mengumpulkan konsen­
trasi dan kekuatannya. ”Kau tahu, jahanam!” kata
Dokter Bunga sambil mencekik leher Elang. ”Aku
tahu kau pelukis. Di neraka nanti, jangan suka ikut
campur masalah orang! Kau bahkan membuat lukisan
palsu, menipuku. Kau... Elang Bayu Angkasa!” Mon­
cong pistol itu sudah berada di kepala Elang.

Jantung Elang nyaris copot ketika namanya disebut!
Dokter itu bahkan tahu bahwa ia pelukis! Bayang­
bayang kematian seolah mendekatinya. Dengan sekuat
tenaga Elang memukulkan asbak yang tadi diraihnya
diam­diam ke arah Dokter Bunga.

Tak disangka, asbak tadi mengenai kepala si dokter.
Kepala dokter itu berdarah. Terdengar ledakan. Pelu­
ru pistol mengenai jendela, menghancurkan kaca.

144

http://facebook.com/indonesiapustaka Elang tak tahan. Ia menyarangkan pukulan sekeras­
kerasnya ke perut dan kepala dokter itu, membuatnya
limbung. Pistol itu terlepas dari genggaman Dokter
Bunga, terlempar satu meter. Ia memutuskan mening­
galkan kamar hotel. Nyawanya terancam. Kata ”nera­
ka” yang Dokter Bunga katakan benar­benar mem­
buatnya ingin muntah.

Ia membalut badannya dengan handuk, mengambil
dompet dan barang­barangnya di meja. Ia satukan
semuanya dalam sebuah plastik. Dokter itu masih
menggeliat di sudut kamar hotel, dekat jendela, per­
lahan tangannya mengacungkan pistol yang telah ia
raih kembali. Melihat gerakan tangannya, Elang tak
jadi mengambil kaus­kaus yang ia masukkan dalam
plastik di bagian meja tak jauh dari posisi Dokter
Bunga.

Saat hendak mencapai pintu keluar, Elang menoleh
ke kamar mandi, melihat pakaiannya yang tadi ia
letakkan di dekat wastafel. Ia menoleh ke belakang,
Dokter Bunga masih limbung. Ia masuk sebentar ke
kamar mandi, mengambil celana dalamnya, menge­
nakannya sambil terus memperhatikan Dokter Bunga.
Ia khawatir handuknya akan terlepas saat ia berlari­
lari. Waktu Elang selesai memakai celana dalam, mata
dokter itu merah, menyipit, kepalanya mulai tegak.
Elang menduga, sebentar lagi Dokter Bunga akan
berdiri, dan kembali menyerangnya. Ia khawatir harus
berkelahi lagi dengan dokter itu: kalau tidak terbu­
nuh, ia yang membunuh.

145

http://facebook.com/indonesiapustaka Elang begitu takut, jadi ia berlari keluar hotel hanya
bercelana dalam. Ia bahkan tak sempat menutup pintu
kamar hotel. Hotel sedang sepi, tak ada seorang pun
yang ia jumpai di koridor saat itu. Ia menekan­nekan
tombol lift sambil terus memperhatikan keadaan
sekelilingnya. Kalaupun dokter gila itu mengejarnya,
ia harus berpakaian telebih dulu, tidak mungkin
telanjang dan berlari­lari di koridor. Satu menit, dua
menit... lift akhirnya terbuka. Ah, betapa lega ia ketika
melihat hanya ada seorang pria di dalam lift.

Pria itu keheranan melihat Elang yang hanya
bercelana dalam sambil membawa sebuah plastik.
”Mas... kenapa?”

Elang memandangi wajah pria itu sambil mendelik.
”Saya bukan orang gila, nggak akan membunuh
Anda. Tapi kalau Anda menertawakan saya, saya bisa
melubangi leher Anda dengan ini,” katanya sambil
menunjukkan moncong korek api pistolnya yang ber­
ada di plastik. Ia ingin menodong pria itu, memintanya
melepaskan pakaian. Tapi ia khawatir pria itu akan
melapor, dan masalahnya jadi berbuntut panjang.

Pria itu langsung pucat, memandang ke arah pintu
sampai lift terbuka. Di dalam lift Elang menyusun
rencana. Ia harus menghadapi satpam dan resepsionis.
Ia akan mengatakan yang sejujurnya, hendak dibunuh
seorang dokter. Tapi, apakah cerita itu bisa dipercaya?
Ia pun teringat, tadi sudah menyerahkan selembar
fotokopi KTP­nya kepada resepsionis saat check in.

Setelah menimbang­nimbang, ia memutuskan ber­

146

http://facebook.com/indonesiapustaka lari saja, biar dianggap orang gila. Ia benar­benar tidak
siap dengan semua ini. Ia akan tertawa­tawa, bahkan
kalau perlu berguling­guling—yang penting lolos, bisa
keluar dari hotel.

Ia pun berlari dengan cepat ketika lift terbuka,
tertawa­tawa. Beberapa orang di lobi menatapnya de­
ngan aneh. Dari kejauhan ia melihat, tidak ada sat­
pam di bagian dalam hotel. Ia berlari makin cepat,
berhasil keluar. Satpam yang ada di luar malah ter­
tawa melihatnya, jelas tak mencurigai apa pun.

Elang lega, berhasil keluar hotel. Ia terus berlari.
Hujan sudah reda, tersisa gerimis. Beberapa orang di
jalan menertawakan dan meneriakinya. Ia sedih dan
geli—mengkhawatirkan perasaan yang bercampur baur
di benaknya. Dalam kesedihan dan kegeliannya ia
tetap berpikir, apa yang harus ia lakukan.

Sampai di pertigaan dekat pangkalan ojek, Elang
menoleh ke belakang. Tidak ada seorang pun yang
mengejarnya. Dokter Bunga tentu masih di hotel,
kecuali ada yang mengantarkan pakaian untuknya. Ia
berjalan sambil berpikir. Tesha bisa saja terlibat dalam
persoalan ini, dan ia akan dicari­cari di Bamboo Inn.
Oh, ia pun teringat kepada dua bersaudara itu,
Ronny dan linda. Orang­orang masih sangat ramai
di jalanan Kota Bambu. Elang tak tahan menjadi
tontonan, berlari lagi.

Ia membelok ke sebuah gang, menuju rumah
tempat dua bersaudara itu menginap. Di depan

147

http://facebook.com/indonesiapustaka rumah itu ia menelepon Ronny, memintanya keluar.
Oh, untunglah Ronny sedang berada di situ, dan
rumah sedang sepi. linda, saudaranya, sedang pergi.
”Akan saya jelaskan di dalam,” katanya kepada Ronny
yang menganga melihat penampilannya.

148


Click to View FlipBook Version