1
MY TWIN
-Bukan tentang napsu yang menggebu-
2
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan pada Allah swt., karena saya dapat menerbitkan karya tulis
ini sehingga dapat dinikmati banyak kalangan.
My Twin adalah tulisan pertama yang saya ajukan pada penerbit sehingga ini adalah
novel pertama saya. Novel ini menceritakan banyak kisah seperti kekeluargaan, persahabatan,
dan percintaan yang sering maupun belum pernah terjadi pada anak remaja.
Semoga novel ini dapat memotivasi juga menginspirasi banyak anak remaja dan
semoga nilai yang terkandung di dalamnya dapat dipetik dan diterapkan untuk kehidupan
sehari-hari.
Terima kasih.
Penulis
3
Thank to
Alhamdulillah saya panjatkan puji syukur pada Allah swt., terima kasih telah
mewujudkan impian saya membuat buku pertama ini.
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada banyak
pihak yang telah membantu saya menciptakan novel remaja ini. Pertama-tama saya
mengucapkan terima kasih pada Syifah Publisher karena berkat promo-promonya saya dapat
menerbitkan sebuah buku, buku pertama yang sudah saya impikan sejak lama.
Juga tak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih pada seseorang yang sudah saya
anggap Mbak, Bunda, bahkan teman curhat karena berkat rekomendasinya, berkat ajakannya
di segala event tulis menulis juga promo ini saya punya buku sendiri, terima kasih Mbak
Aning a.k.a Yuni Cahyaningsih a.k.a Yoon.
Saya juga mengucapkan terima kasih pada kedua orang tua dan keluarga yang secara
tidak langsung mendukung hobi saya.
Terima kasih juga saya ucapkan pada teman terbaik saya yang sudah bersama-sama
dalam menimba ilmu selama 3 tahun. Dia adalah teman, sahabat, dan saudara bagi saya, dia
adalah orang pertama yang selalu membaca cerita saya dan mengenalkan saya pada dunia
orange (Wattpad). Ayuk Bagaswari a.k.a Ayuk Jung/Ayuk B J hehe.. sori dia pencinta
London a.k.a Harris J, terima kasih banyak pokoknya.. juga satu lagi teman sepermainan saya
sebenarnya males nyebutin haha.. Nopikk.. makasih Nofita Sari, teman yang kadang bisa
merubah mood baik menjadi buruk tapi juga bisa merubah mood buruk menjadi baik.
Dan juga untuk yang terakhir tapi sangat istimewa. Saya sangat berterima kasih
dengan orang ini karena berkat dia saya dapat membuat cerita ini, karena berkat namanya
saya terinspirasi untuk membuat kisah ini. Ya.. dialah tokoh Zarina dalam novel ini, terima
kasih Zarina a.k.a Ari Nursiyam yang sudah memberikan banyak cerita tentang Korea,
memberikan banyak rekomendasi drama sehingga saya mendapatkan inspirasi yang luar biasa
melimpah.
Oiya.. satu lagi.. terima kasih pada para pembaca setia wattpad yang selalu membuat
saya bersemangat untuk melanjutkan cerita ini.
4
Sekali lagi terima kasih untuk semuanya, maaf jika saya tidak dapat menyebutkan
satu persatu tapi sekali lagi terima kasih. Jika ada kata yang lebih tinggi dari terima kasih
pasti saya memilih kata itu, sekali lagi terima kasih banyak.
5
PROLOG
Ketika kami lahir. –Twins.
Sepasang suami istri itu menitikkan air mata ketika melihat dua bayi kembar di
dalam rajang kecil.
“Mereka laki-laki dan perempuan,” ucap sang suami sembari mengelus pundak istri
tercintanya.
“Mereka cantik dan tampan.” Sang istri terus menatap buah hatinya itu yang sedang
terlelap.
“Seperti kita. Mau kamu namai mereka siapa?” tanya sang suami sembari mengecup
puncak kepala istrinya.
“Siapa kakaknya?”
“Yang laki-laki,” jawab sang suami.
Perempuan itu tersenyum. “Za untuk Zero dan Ze untuk Zarina.”
“Loh.. kenapa begitu?”
“Karena Zero kakaknya, abjad ‘A’ untuk kakaknya dan abjad ‘E’ untuk adiknya,”
jelas perempuan yang baru melahirkan malaikat-malaikat kecil itu pagi tadi. “Lagi pula, aku
ingin mereka saling mengingat dan terikat karena mereka saudara kembar,” lanjutnya.
Laki-laki yang sudah bersamanya dua tahun itu pun tersenyum, ia memeluk
perempuan yang telah menjadi istrinya dengan sayang.
Zero Putra Pratama Adi, itulah nama si malaikat tampan. Mereka berharap Zero akan
menjadi kakak yang menjaga dan melindungi adiknya. Zarina Putri Permata Adi, dan ialah
adik dari Zero, malaikat keduanya yang sangat cantik.
Mereka sangat bersyukur dititipkan dua malaikat yang lucu dan menggemaskan,
mereka berjanji akan merawat dan menyayanginya.
6
7
SATU
“Dia Abang gue. Dia kembaran gue.” -Zarina.
17 tahun kemudian.
Zarina sebutannya, gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin. “Cantik,”
gumamnya sembari tersenyum, ia kembali merapikan seragam putih abu-
abunya.
Hari ini adalah hari pertamanya di sekolah baru sebagai anak SMA kelas tiga setelah
kemarin ia sekeluarga baru saja pindah keluar kota. Bukan pindah karena pekerjaan orang tua
atau semacamnya tapi pindah karena ia baru saja dikeluarkan dari sekolah lamanya di
Bandung, gara-gara perkelahiannya dengan kakak kelas.
Zarina melangkahkan kaki jenjangnya menuju meja makan, di sana sudah ada sang
bunda sedang menyiapkan sarapan. “Zero mana Bun?” tanyanya sembari mencomot tempe
goreng buatan bundanya.
“Kakak?” tanya bunda berbalik.
“Ck, iya Kak Zero,” ucapnya sembari menekankan kata ‘kak’.
“Dibiasain dong Ze kalo manggil Kakak tuh,” sang bunda kembali mengingatkannya,
sedangkan Zarina berdecap. “Masih di kamar tuh, tumben biasanya rajin,” lanjut bundanya.
Dengan malas Zarina berjalan kembali ke atas, ke kamar kakaknya.
Tok.. tok.. tok..
“Zero, lo mau sekolah nggak sih?!” teriaknya tepat di depan pintu kembarannya itu.
Ceklek!
Pintu terbuka dan menampakkan sosok laki-laki tampan dengan seragam sekolahnya.
“Lo ngapain sih?! Toa banget!” sergapnya dengan wajahnya yang kelewat cool.
8
“Egh, a.. anu.. itu..” gadis itu gelagapan, ia menyumpah serapahi dirinya sendiri
tentang mengapa ia harus gugup ketika melihat kembarannya yang kelewat tampan.
“Udah yok!” dengan segera dirangkulnya Zarina dan berjalan beriringan menuju meja
makan.
Kurang dari jam tujuh pagi mereka sudah sampai di sekolah. Perjalanan mereka
memang tidak membutuhkan waktu lama, kira-kira 15 menit. Zero memarkirkan motornya di
depan gerbang sekolah kembarannya.
Ya.. mereka beda sekolah. Sebenarnya itu bukan keinginan orang tuanya atau kedua
saudara kembar itu tapi itu semua adalah keinginan Zarina.
Sebenarnya gue nggak mau pisah sekolah sama elo Ze, batin Zero menatap
kembarannya.
“Ngapain lo liatin gue?!” sergap Zarina ketika ia tak sengaja memergoki
kembarannya sedang memandanginya tanpa berkedip.
“Ge-er banget sih jadi orang!” Zero menyentil kening gadis itu gemas.
“Sakit Zero peak!” teriak Zarina sembari mengusap-usap kening mulusnya. Ia
kembali merapikan rambutnya, digunakannya spion motor kembarannya untuk berkaca.
“Cepet sana gih masuk, gue mau cabut nih.” Zero membenarkan posisi kaca spionnya
dan bersiap menyalakan mesin motornya.
“Ck, Zero!” pekik Zarina kesal.
“Salim dulu.” Zero mengulurkan tangannya.
Zarina menatapnya heran, dinaikkan sebelah alisnya. “Emang lo siapanya gue?”
“Abang lo lah! Amnesia lo?!” geram Zero lagi.
Zarina berdecap dan menurut. “Udah sana! Hus.. hus..” ia melambai-lambaikan kedua
tangannya seperti mengusir ayam yang sering berkeliaran di halaman rumah.
Tanpa berucap lagi laki-laki tampan itu berlalu dari hadapannya.
“Anak baru ya? Belagu!” Zarina tersentak ketika mendengar suara centil itu, ia segera
membalikkan tubuhnya, dilihatnya empat cewek dengan dandanan modis. Namun Zarina tak
peduli, ia mengacuhkan mereka dan berjalan masuk ke area sekolah.
9
“Gila, belagu banget! Belum tahu siapa kita rupanya dia,” terdengar suara berbeda
tapi Zarina tahu itu salah satu dari mereka.
Gue anak baru dan udah punya musuh!, batin Zarina miris.
○○○
Kelas yang tadinya ramai seketika sunyi senyap ketika seorang guru masuk ke kelas
mereka diikuti siswa tampan dengan tinggi 180 cm itu.
“Pagi anak-anak,” sapa guru cantik itu.
“Pagi Bu,” jawab murid-muridnya bersemangat.
“Bu, itu siapa cowok cakep bener,” celetuk siswi yang duduk di kursi nomor tiga dan
sukses saja membuat teman-temannya berseru gaduh.
“Ganjen amat lu Mel!”
“Kayak cantik aja lo!”
“Gue yang nggak ganteng aja ogah ama elo!”
“Eits.. sudah-sudah! Kenapa jadi ribut sih!” sang guru menengahi, suasana pun
kembali tenang. “Hari ini kita kedatangan teman baru,” lanjutnya.
Kelas kembali gaduh ketika mereka tahu akan mendapati teman baru dan mungkin
juga musuh baru ketika ulangan.
“Nah kan anak baru!” kembali terdengar celetukkan.
“Nah.. Zero coba perkenalkan diri,” ucap sang guru ramah.
“Iya Bu.” Zero tersenyum ramah pada sang guru. “Nama gue Zero,” ucapnya singkat.
“Hoa.. kece banget lu!”
“Senyumnya itu loh nggak nahan!”
“Culik aku Bang!” dan banyak celotehan sana sini dari siswi-siswi juga kegaduhan
yang diciptakan para siswa yang merasa tersaingi.
“Ayo.. tenang sebentar! Tenang!” sang guru kembali menengahi sambil memukul-
mukul meja dengan menghapus papan tulis.
10
“Ah.. nggak seru nih Bu Pita,” celetuk seorang siswa berwajah garang.
“Toro takut ke saing!” sergap siswa-siswa lainnya.
“Hei.. sudah dong ribut-ributnya! Zero, kamu bisa duduk di kursi kosong itu ya,” ucap
guru cantik yang bernama Bu Pita itu.
Zero mengangguk dan berlalu menuju kursi yang dimaksud, dua kursi kosong di
pojok paling belakang.
○○○
Pelajaran pun kembali di mulai, semua murid sibuk dengan kegiatannya masing-
masing.
“Nama gue Gina,” ucap perempuan dengan kacamata yang bertengger di hidungnya,
ia mengulurkan tangan.
“Zarina,” jawab Zarina sembari membalas uluran tangannya.
Mereka pun tersenyum, berikutnya sibuk memperhatikan guru yang sedang
menerangkan.
Zarina menghela napas, ia menopang dagunya dengan satu tangan. Ia terus
menggerutu karena dirinya mendapat kursi tepat di depan meja guru. Zarina itu bukan tipe
murid yang memperhatikan, jika saja ia duduk di kursi paling belakang, ia sudah tertidur
pulas. Belum lagi ketika ia harus duduk dengan perempuan yang sepertinya kutu buku itu
karena sejak tadi teman semejanya itu sibuk mencatat hal-hal penting yang dilontarkan guru
saat menerangkan.
Sungguh menyebalkan, gerutunya dalam hati.
Diliriknya teman barunya itu yang sedang asik mencatat apa yang dilontarkan sang
guru dan kembali membuatnya menghela napas.
Ini anak nerd ya.. pantes nggak ada yang mau jejer, batinnya menganalisa.
Zarina kembali mengingat kejadian tadi pagi ketika ia sedang mencari ruang BK, ia
justru menabrak seorang siswa yang baru keluar dari ruang BK tersebut.
“Aduh!” ringisnya ketika seseorang menabraknya hingga terjatuh.
“Sorry,” ucap cowok itu dan kembali berlari sekencang-kencangnya.
11
“Ya ampun cowok nggak tahu diri!” gerutu Zarina sembari berusaha bangkit dari
terjatuhnya.
“Leo!” teriakkan maut itu membuatnya tercengang dan tiba-tiba seorang guru muda
menabraknya tapi untungnya tidak sampai terjatuh.
“Aduh.. duh,” ringis keduanya. Zarina berusaha sekuat tenaga menahan dirinya agar
tidak terjatuh lagi.
“Eh, maaf ya Nak.. Ibu nggak sengaja,” ucap guru itu dengan nada khawatir.
“Enggak papa kok Bu,” jawab Zarina ramah.
“Kamu tadi liat Leo lari ke mana tidak?” tanya guru itu lagi.
Zarina mengerutkan keningnya. “Leo? Saya nggak kenal Bu, saya anak baru,”
jelasnya.
“Oh.. kamu anak baru? Mau ke ruang BK? Yuk.. sini Ibu antar,” sang guru pun
mengantarnya masuk ke dalam ruang BK.
Apa Leo yang dimaksud guru itu cowok yang nabrak gue? Tuh cowok kan pas banget
keluar dari ruang BK, lari-lari lagi, batin Zarina bertanya-tanya.
“Zarina!”
“Eh.. apaan?!” Zarina tersentak ketika Gina berteriak di depan telinganya.
“Lo ngelamunin apaan? Atau lo laper? Mau ke kantin?” tanya cewek berkacamata
dengan rambut diikat satu itu memberondong.
“Eh.. udah istirahat?” Zarina celingak-celinguk melihat sekelilingnya yang sudah
hampir separuh kelas kosong.
“Jadi dari tadi lo nggak merhatiin pas pelajaran? Wah.. kalo sampe ketauan tadi lo
pasti dihukum,” celetuk Gina dan membuat Zarina cengengesan.
Hari pertama di sekolah baru pun berakhir juga, seperti yang sudah disepakati
keluarga Adi Pratama bahwa Zero setia mengantar jemput adiknya.
“Lama banget sih lo!” sungut Zero yang sudah berada di depan gerbang sekolah
kembarannya.
12
“Lo kok udah di sini sih? Jangan bilang lo nungguin gue di sini?” sergap Zarina
sembari menunjuk wajah tampan itu.
“Emangnya gue nggak sekolah?! Kurang kerjaan banget,” jawab Zero cuek.
“Siapa Zar? Pacar lo?” bisik Gina yang sedari tadi berada di samping Zarina.
“Hah? Bukan! Gila lo, dia itu—”
“Tunangannya,” potong Zero cepat dan detik itu juga Zarina melotot ke arahnya.
“Lo—”
“Gue Zero, tunangannya Zarina,” potong Zero sembari mengulurkan tangannya ke
arah Gina.
“Egh, gue Gina,” jawab Gina menyambut uluran tangannya.
“Ya udah Gina.. kita duluan ya,” ucap Zero dan merangkul Zarina mesra.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya gadis itu menggerutu dan memukul kepala
Zero yang terlindungi oleh helm. Ia kesal dengan sikap kembarannya yang sok keren dan
ganteng itu walau pun pada kenyataannya memang benar adanya tapi bukan dengan cara
mengaku-aku bahwa ia tunangannya juga.
“Gue benci sama lo!” semprot Zarina ketika mereka sampai di rumah, diserahkannya
helm dengan kasar dan masuk ke dalam rumah.
“Lo kan emang benci sama gue dari kapan tahu!” teriak Zero dengan senyum tipisnya.
○○○
Kini meja makan itu sudah penuh dengan berbagai lauk pauk juga sayur, sang bunda
yang memasaknya namun anak kembarannya tak ada yang menyentuh barang sedikit saja.
“Kok tumben kalian diem-dieman? Ada masalah di sekolah?” tanya sang bunda dari
patry.
“Enggak,” jawab keduanya berbarengan dan sukses saja membuat saudara kembar itu
saling lirik dengan tatapan tajam.
“Gimana sekolah barunya?” kini giliran sang ayah bertanya.
“Baik,” jawab mereka bersamaan lagi.
13
“Lo kok ikut-ikutan sih?!” sergap Zarina cepat.
“Siapa yang ikut-ikutan?! Elo itu! Elo kan adek jadi pasti adek ngikutin abangnya,”
ucap Zero tak terima.
“Jangan bawa adek kakak segala deh!” gerutu Zarina kesal.
“Kalian kalo lagi marahan bisa kompak juga ya,” celetuk sang ayah.
“Ayah!” teriak keduanya lagi secara bersamaan, mereka kembali saling melempar
tatapan maut.
Zarina geram, ia ingin sekali menyumpah serapahi kembarannya itu tapi tidak
mungkin di depan kedua orang tuanya. Sebenarnya entah apa yang membuatnya membenci
Zero karena jelas-jelas laki-laki itu adalah kembarannya, seseorang yang diajaknya berbagi
rahim saat di perut sang bunda, laki-laki yang telah bersamanya selama 17 tahun, saling
berbagi, bercerita, juga melindungi.
Walau pun ia membenci Zero, tapi ia juga tak benar-benar membencinya. Ia tak akan
bisa hidup sendirian karena Zero adalah jantungnya, karena Zero adalah embusan napasnya.
Bahkan Zero adalah satu-satunya orang yang selalu membelanya, ah.. tidak! Mungkin itu
pengecualian karena nyatanya Zero pernah menghianatinya.
Gue sayang elo tapi gue benci elo Zero, batin Zarina pilu.
○○○
“Jangan pulang sebelum gue jemput!” perintah Zero.
“Emangnya lo pikir gue tawanan lo apa?! Nggak usah sok deh!” sergap Zarina malas.
“Udah sana masuk kelas!” Zero mengacak rambut gadis itu gemas.
“Astaga Zero! Rambut gue berantakan lagi!” teriak Zarina geram. Ia pun menjambak
rambut kembarannya dengan buas.
“Astaga Zarina! Lo gila ya? Lepas kek! Elah lepas!” berusaha sekuat tenaga Zero
melepas jambakan gadis itu.
“Huh! Awas lo di rumah nanti!” ancam Zarina setelah melepas tangannya dari rambut
cowok itu.
14
“Gue nggak takut!” setelah mengucapkan demikian, buru-buru Zero menyalakan
mesin motornya dan berlalu.
“Cowok resek!” umpatnya geram. Baru saja ia berbalik untuk berjalan menuju kelas,
lagi dan lagi ia menabrak seseorang.
“Ah!” Zarina kehilangan keseimbangan, tubuhnya terdorong ke belakang namun hap!
Ada tangan yang menahan pinggangnya supaya ia tak terjatuh.
Zarina tercekat, ia tak dapat bernapas ketika wajah itu tepat berada di dekatnya.
“Elo?” ucap Zarina tertahan.
“Kalo jalan bisa hati-hati nggak? Ini bukan jalan nenek moyang lo!” bagai di semprot
dengan air liur ketika cowok itu berkata demikian.
“Leo!” keduanya tersentak ketika mendengar teriakan melengking itu datang.
Laki-laki itu segera menarik tubuh Zarina hingga berdiri tegak seperti semula.
“Kenapa?” sergap cowok itu pada cewek bergaya centil itu.
Cewek itu menatap Zarina geram. “Elo lagi?! Anak baru yang belagu!” ucapnya
penuh dengan emosi.
Eh.. siapa sih nih cewek? Oh.. dia bukannya gerombolan cewek-cewek modis itu ya?,
batin Zarina mengingat-ingat.
“Sorry, gue nggak punya banyak waktu.” Zarina berlalu begitu saja dari kedua insan
itu.
“Eh.. cewek belagu?! Main kabur aja lo!” teriak cewek itu lagi.
“Niki udah kenapa sih?! Berisik tahu!” sergap cowok itu geram.
Sesampainya di kelas, Zarina meletakan tasnya asal ke atas meja. Ia kesal kenapa
hari-harinya di sekolah jadi seperti ini. Di sekolah lamanya dulu ia menjadi troublemaker dan
tukang bully, bukan.. bukan tukang bully, hanya saja membela orang yang benar tapi
sekarang ia yang menjadi korban bully karena seorang cowok? Oh.. ayolah itu bukan gaya
Zarina.
“Zar, lo tadi ketangkep basah mesra sama Leo di depan Niki ya?” tiba-tiba Gina
muncul, duduk di sampingnya.
15
“Leo? Niki? Mereka itu siapa sih? Gue nggak kenal!” ucap Zarina kesal.
“Masa lo nggak tau sih, Leo itu—” perkataan Gina terhenti ketika seorang cowok
dengan dandanan berandalnya masuk ke dalam kelas. “Itu yang namanya Leo,” bisik Gina
padanya.
Zarina tercengang menatap cowok yang katanya bernama Leo.
Cowok itu bukannya yang tadi di gerbang sekolah? Tunggu! Bukannya dia juga
cowok yang nabrak gue di depan ruang BK? Iya, Leo kan namanya? Jadi gue satu kelas
sama dia?!
“Jadi dia yang namanya Leo?” bisik Zarina pada teman semejanya itu.
“Iyap.. dan kayaknya lo harus hati-hati karena lo udah ada di daftar merah milik Niki
CS,” ucap Gina mengerikan.
“Maksud lo apaan sih?!” sergap Zarina menatap Gina tak mengerti.
“Nanti gue ceritain.”
○○○
“Eh.. lo Zero kan ya?” ucap laki-laki tinggi menghampiri meja Zero.
“Iya.”
“Gue Al.” Laki-laki itu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Zero. “Lo kenapa
pindah ke sini? Kan udah kelas tiga, bentar lagi juga lulus,” lanjut cowok yang bernama Al
itu.
“Gara-gara adek gue,” jawab Zero yang mulai sibuk dengan ponsel ya.
“Wah.. lu punya adek? Cewek apa cowok?” sergap Al cepat.
Zero menatap kenalannya itu bertanya-tanya. “Cewek,” jawabnya.
“Wus.. kenalin kek! Eh.. tapi bukan balita kan atau bayi gitu?”
“Sepantaran kita—”
“Cantik nggak? Pasti cantiklah, elo aja ganteng eh.. tapi masih gantengan gue ke
mana-mana sih,” celetuk Al panjang.
Ck, cowok gatel! Gue nggak akan kenalin lo sama Zarina, batin Zero.
16
○○○
“Berandal sekolah?!” serap Zarina lagi dan mendapat anggukan dari Gina.
Namanya Leo Tirtanu, berandal SMA 790, sering buat masalah dan berujung keluar
masuk BK. Kegiatannya cuman tawuran sama murid SMA lain dan gosipnya ia pernah
membunuh seorang siswa. Sebenarnya ia sempat di blacklist dari sekolah tapi sayang ia tak
juga di keluarkan karena sekolah belum mendapatkan bukti yang kuat soal beredarnya gosip
itu.
Begitulah penuturan Gina padanya. Zarina bahkan tak dapat menutup mulutnya ketika
mendengar cerita itu langsung dari orang yang sudah sekelas hampir dua tahun lebih itu
dengan Leo.
“Terus kalo si cewek centil itu?” tanya Zarina ketika ia ingat cewek centil dengan
dandanan modis itu.
“Siapa? Niki? Niki CS?”
“Gue nggak tau.. iya kalik.”
“Niki itu pacarnya Leo tapi dulu dan Niki punya geng yang beranggotakan empat
orang, dia sebagai leader. Mereka adalah tukang bully anak-anak yang lemah kayak gue
gitu,” jelas Gina.
“Kayak elo? Berarti elo pernah di bully sama mereka? Terus?” tanya Zarina
penasaran.
“Ya gitu deh pokoknya, tapi sekarang udah enggak.. mungkin karena udah dikasih
pelajaran sama Leo.”
“Maksud lo dikasih pelajaran sama Leo apa? Kok gue tambah nggak ngerti.” Zarina
menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.
“Pokoknya Leo sama Niki saling berkaitan. Lo emang nggak ngerti sekarang tapi
nanti lo juga ngerti,” jawab Gina.
17
DUA
Gue tahu kita kembar tapi kalau gue perhatian dan sayang nggak salahkan? -Zero.
Seorang perempuan sedang asyik menonton acara kesukaannya sembari
memangku stoples keripik singkong balado, sesekali ia tertawa cekikikan ketika
dalam acara televisi itu menampilkan adegan lucu.
“Berisik banget sih lo.” Tiba-tiba toples dipakukannya pindah alih, Zero lah
pelakunya.
“Ck, Zero! Lo ganggu gue tahu nggak?!” gertak Zarina geram.
“Enggak,” jawab laki-laki itu yang sudah mencomot keripik baladonya.
“Balikin keripik gue!” Zarina segera menyerangnya untuk mendapatkan kembali
keripik yang sedang dinikmatinya tadi.
“Ck, sekali-kali gue ngapa yang ngabisin! Rakus amat lo jadi cewek!” Zero segera
memeluk toples itu agar tidak diambil oleh kembarannya.
“Bodo amat! Balikin nggak! Sini! Jangan ganggu gue ngapa sih!” Zarina terus
berusaha mengambil toples itu yang sudah ditindihi tubuh laki-laki itu sembari dipeluk.
“Ogah!”
“Zero peak balikin!”
“Ogah ih! Ngeyel amat sih lo!”
“Za!”
“Eh.. ini pada ngapain sih?” aksi mereka terhenti ketika suara bundanya terdengar.
“Ini Bun, Zero ngambil keripik aku,” adu Zarina dengan wajah melasnya.
18
Sang bunda geleng-geleng kepala, kemudian melepas pelukan Zarina pada
kembarannya itu. “Kalian itu udah gede! Nggak baik main peluk-pelukan kayak gitu,” ucap
sang bunda yang sudah duduk di antara anak kembarnya.
“Emang kenapa Bun?” tanya Zarina polos.
“Haduh.. adek gue masih kecil ternyata,” celetuk Zero sembari memasukkan keripik
ke dalam mulutnya.
“Keripik gue!” teriak Zarina.
“Nih.” Sang bunda meletakkan stoples keripik di pangkuan gadis itu dan sukses saja
membuatnya tersenyum mengejek pada Zero.
“Lah.. Bunda curang! Aku mana?” Zero tak terima.
“Berdua dong, nanti kalo dikeluarin semua abis kalian makan,” jawab bundanya
sembari mengganti channel acara televisi.
“Bun.. jangan diganti dong! Aku lagi liat kartun tadi malah!” sergap Zarina sembari
mengambil remote dari tangan bundanya.
“Zarina kan udah dapet keripik. Kalian pada belajar sana! Ke kamar!” perintah bunda
tanpa mengalihkan pandangan dari televisi.
Detik itu juga Zero bangkit dari duduknya dan dengan cepat Zarina menyusul.
“Zero.. gendong,” rayuan maut Zarina membuat laki-laki itu menghentikan
pergerakannya.
“Manja,” celetuk bunda.
“Ya udah aku mau nonton TV lagi—”
“Eh.. Kak, cepet gendong adek!” bundanya mendorong Zarina agar mendekat pada
Zero karena memang tubuh gadis itu menutupi pandangannya menonton acara televisi.
Zero tak berkata, ia langsung saja berjongkok di depan gadis itu dan sukses membuat
Zarina bahagia setengah mati, dengan segera ia naik ke punggung kembarannya. Zero pun
menggendong Zarina di punggungnya selama perjalanan menuju lantai atas di mana kamar
mereka berada.
“Zero, gue berat nggak?” bisik Zarina ketika ia berada di gendongan Zero.
19
“Lo berat kayak kuda nil!” jawab Zero.
Zarina segera menoyor kepala kembarannya. “Ck, masa gue kurus kayak gini dibilang
berat, disamain sama kuda nil lagi! Yang cakepan dikit ngapa.”
Zero tersenyum ketika tangan Zarina mengalungkan kedua tangannya di leher laki-
laki itu dan kepalanya menyender di bahu kanannya.
“Zero,” lirih Zarina.
“Ya—” baru saja Zero menolehkan kepalanya ke kanan tiba-tiba bibir Cherry gadis
itu sudah mendarat ke pipinya.
Wajah Zero menegang, pandangannya langsung lurus ke depan. Sesampainya di
depan kamar kembarannya pun ia masih membisu.
“Za.. lo kenapa?” Zarina meneliti wajah laki-laki tampan itu dengan heran.
Detik itu juga Zero merendahkan tubuhnya sehingga sejajar dengan wajah
kembarannya. “Lo udah nyium pipi kanan gue, itu artinya lo harus cium pipi kiri gue,”
bisiknya.
Dahi gadis itu berkerut ketika mendengar penuturan Zero, ia memundurkan kepalanya
agar menjauh. “Mesum!” sergap Zarina cepat.
“Bodo! Cepet cium pipi yang satunya! Atau gue yang bakalan cium elo!” ancam Zero
dan itu sukses membuat gadis di depannya berdecap.
“Tutup mata lo!” perintah gadis itu. Zero pun tersenyum penuh kemenangan dan
menutup kedua matanya.
Zarina tersenyum jahil melihat kelakuan kembarannya. Akhirnya ia menepuk-nepuk
kedua pipi Zero dengan gemas. “Makan nih ciuman gue!” ia pun segera masuk ke dalam
kamarnya.
Zero segera membuka mata, ia berdecap. Gagal sudah kesempatannya.
○○○
Pagi berikutnya Zarina dan teman barunya, Gina sedang berjalan menuju kantin
karena mendadak perut mereka meminta makan namun belum sampai mereka di tempat
tujuan tiba-tiba ada beberapa orang yang dengan sengaja menghalangi perjalanan mereka.
20
“Hei.. cupu, sekarang punya temen baru?” ucap salah satu dari keempat cewek centil
itu, Niki menyolek dagu Gina dan membuatnya ketakutan. Zarina yakin merekalah Niki CS.
“Mau apa kalian?” tantang Zarina.
“Wow.. anak baru yang belagu nantangin lo Nik,” ucap cewek bertubuh jenjang,
terlihat nametag-nya bertuliskan Arana P.
“Lo berani sama kita?” Niki mendekatkan diri pada Zarina.
“Emang lo pada siapa?!” tanpa takut Zarina menunjuk bahu cewek itu dengan
sombong.
“Jadi lo belom tahu kita siapa?” Zarina mengalihkan pandangannya pada cewek
berambut pendek sebahu, ia mendecap.
“Nggak penting buat gue tentang siapa kalian,” ucap Zarina sembari melipat kedua
tangannya di depan dada.
“Wah.. sombong dia Nik! Kita hajar aja gimana?” ucap cewek bernama Arana itu.
Detik itu juga tangan Niki melayang untuk memukul pipi Zarina namun dengan sigap
ditangkapnya tangan itu.
“Lo nggak usah belagu jadi cewek! Emang kalian siapa?! Bahkan kalian bukan siapa-
siapa!” ucap Zarina menusuk, ia masih memegang kuat-kuat tangan Niki hingga cewek itu
menggeliat kesakitan. Kemudian dihempaskannya tangan itu dan berlalu sembari menarik
Gina menjauh.
Tanpa sadar ternyata mereka sudah menjadi tontonan gratis. Zarina juga baru
menyadari bahwa ada Leo yang menonton pertunjukan tersebut ketika tak sengaja mereka
berpapasan.
“Argh! Cewek kurang ajar!” teriak Niki sembari meremas kedua tangannya.
“Niki ikut gue!” tiba-tiba tangannya sudah ditarik oleh seseorang, Leo.
Niki pun menurut, sebenarnya ia senang ketika Leo kembali dekat dengannya tapi ia
juga tak tahu apa yang Leo rasakan, marah kah?
Akhirnya Leo menghentikan langkahnya di taman belakang sekolah, jarang ada orang
di sana. Ia menghempaskan tangan gadis itu kasar.
21
“Maksud lo tadi apa?!” sergap Leo tanpa aba-aba.
“Mak.. maksud gue? Leo, gue cuman nggak suka anak baru itu deketin lo!” teriak
Niki penuh emosi.
“Emang lo siapa gue? Gue tanya, emang lo siapa gue hah?!” Leo berteriak tepat di
depan wajah Niki yang sudah ditundukkan. “Lo nggak punya hak buat nge-bully dia Nik!
Apalagi bawa-bawa nama gue! Gue nggak suka! Ngerti nggak lo?!” lanjutnya.
Baru saja Leo membalikkan badan untuk berlalu, tiba-tiba tubuhnya sudah di peluk
erat oleh gadis itu.
“Gue minta maaf Le, gue cuman mau lo kayak dulu lagi.. sama gue,” cicit Niki
dengan isak tangisnya.
“Jangan minta maaf sama gue Nik! Dan jangan berharap gue bisa kayak dulu kalo elo
kayak sekarang! Berhenti buat cari perhatian gue!” dengan paksa dilepasnya pelukan Niki
dan ia berlalu begitu saja.
“Gue benci dengan keadaan yang mengharuskan gue kayak gini!” ucap lirih gadis itu
menatap kepergian Leo.
○○○
“Diem lo!” ancam Niki setelah mendorong tubuh Zarina ke lantai hingga terjatuh.
Zarina mengeram kesakitan, ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tadi ketika jam
keempat ia ijin ke toilet dan sesampainya ia di toilet tiba-tiba keempat cewek itu
mengurungnya.
Kayaknya mereka udah ngerencanain ini sebelumnya, batin Zarina.
“Pegang dia!” perintah Niki pada ketika anak buahnya. Mereka pun menurut, Zarina
berontak ketika tangan dan kakinya di pegang.
“Lepas! Mau kalian apa hah?!” gertak Zarina.
Niki mendekat, merendahkan tubuhnya. “Mau kita? Lo masih berani tanya kayak
gitu? Lo nggak ngerasa bersalah?” bisiknya.
“Gue nggak pernah buat kesalahan sama kalian!” ucap Zarina penuh penekanan tepat
di depan wajah Niki.
22
Plak! Tamparan keras mengenai pipi mulusnya. Zarina menunduk, ia benci keadaan
lemah seperti ini.
Detik itu juga Niki memegang dagu gadis yang ditamparnya dan mendongakkannya.
“Jauhi Leo!” gertaknya.
Zarina tersenyum sinis. “Jadi gara-gara cowok? Ambil sana si Leo lo! Gua nggak
minat!”
Plak! Satu tamparan lebih keras. Bau amis darah yang keluar dari sudut bibirnya
menguar.
Zero.
“Lo berani ya sama gue?!”
“Gue enggak takut!” Zarina berontak hingga tangannya bebas, detik itu juga di
dorong tubuh Niki hingga terjungkal ke belakang.
“Niki!” teriak ketiga cucurutnya.
“Pegang dia kuat-kuat!” perintah Niki lagi.
“Lo bener-bener cari gara-gara ya sama gue?!” Niki bangkit dan merapikan
seragamnya.
“Bukan gue yang mulai! Tapi elo!” ucap Zarina berteriak.
“Elo nggak usah teriak-teriak juga!” pipi Zarina sudah ditekan dengan jari jemari
cewek itu. Rasa nyeri semakin terasa.
Brak! Lima cewek di dalam toilet itu kaget ketika suara pintu di dobrak dari luar.
“Niki! Keluar sekarang juga!” teriak seseorang dari luar.
“Ya ampun Nik ada yang tahu!” cemas cewek berwajah imut.
Brak! Sukses sudah pintu terbuka lebar dan menampakkan Leo dengan amarahnya
memuncak.
“Leo!”
Leo mendekat dan menatap Niki marah. “Lo apaan dia Nik? Lo udah gila ya?!”
Niki bangkit dari duduknya, ia menatap wajah Leo takut. “Leo.. lo—”
23
“Nggak usah lo ngomong lagi sama gue! Sekarang kalian pergi dari tempat ini atau
gue bakalan laporin ini sama BK!” ancam Leo berapi-api.
Keempat cewek itu pun ketakutan dan keluar dari toilet.
“Zarina!” teriak Gina yang baru datang, dengan segera ia berlari mendekat ke arah
teman semejanya yang sudah tergolek lemah di lantai.
○○○
Zarina, gadis itu masih menutup matanya rapat-rapat. Setelah kejadian di toilet itu ia
langsung dibawa ke UKS dan lukanya diobati. Tubuhnya sangat lemah, tenaganya seketika
tak ada bahkan hanya sekedar mengangkat tubuhnya.
“Lo mau ke mana Le?” tanya Gina ketika cowok itu berbalik badan.
“Gue harus laporin kejadian ini!”
“Jangan,” lirih Zarina sembari membuka kedua matanya.
“Kenapa Zar?” tanya Gina lembut.
“Masalah ini harus dilaporkan Nak,” tambah guru piket ruang kesehatan itu. Beliau
sangat kaget ketika melihat keadaan gadis itu yang sudah babak belur.
“Enggak usah.. gue nggak mau orang tua gue tahu. Please ya jangan laporin,” mohon
Zarina lagi.
Leo dan Gina pun saling pandang, mereka tahu apa yang akan terjadi jika pihak
sekolah mengetahuinya, juga keluarga dari masing-masing pihak.
Gue nggak mau ayah sama bunda tahu gue berantem lagi walau pun sebenarnya di
sini gue korbannya tapi gue nggak mau dimarahin lagi kayak dulu dan dibeda-bedakan sama
Zero yang kalem tingkat tinggi. Padahal Zero sama gue itu sama, sama-sama suka berantem,
bolos sekolah, dan pembuat onar.
○○○
Entah sejak kapan, laki-laki dengan wajah tampannya itu gelisah, ia merasa ada
sesuatu yang terjadi pada kembarannya. Hingga sampailah ia di sekolahan Zarina, dilihatnya
Zarina sedang jalan beriringan bersama temannya yang menggunakan kaca mata.
24
Zero mengerutkan dahinya ketika kembarannya menggunakan masker mulut dan
seragamnya yang sedikit lecek juga kotor, tidak seperti biasanya. “Lo kenapa?” tanyanya
ketika jarak mereka sudah dekat.
“Gue nggak papa,” jawab Zarina cuek.
Zero melirik sekilas Gina dan membuat perempuan itu gelagapan.
“Egh, mas tunangannya Zarina.. saya pulang duluan ya. Zar, gue duluan,” ucap Gina
dan berlalu dari hadapan mereka.
Zarina segera mengambil helm dan dipakainya.
“Lo kenapa?!” Zero menahan pergerakan Zarina, ia menatapnya tajam.
“Za, gue capek.. gue pengen pulang. Bisa?” Zero pun tak dapat berkutik, akhirnya ia
menurut.
Perjalanan menuju rumah sangat hening dan canggung, bahkan sesampainya mereka
di rumah pun juga. Zarina langsung masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pun dan itu tentu
saja membuat Zero menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.
Hingga pagi menjelang Zero tak juga melihat kembarannya keluar dari kamarnya.
“Ze?”
Tok.. tok.. tok..
Entah sudah berapa kali diketuknya pintu kamar itu namun sang empunya tak juga
membukakan pintu.
“Zarina.. buka dong please!” mohon Zero lagi. “Apa gue harus ancem ngedobrak ini
pintu kayak semalem? Zarina!” teriaknya sembari kembali mengetuk pintu.
“Kak, ada apa?” Zero tersentak ketika bundanya datang menghampiri. “Kenapa
Zarina? Semalem dia juga nggak mau makan kan?”
“Za nggak tau Bun.. kemaren pas Za jemput dia udah diem kayak gitu,” jawab Zero
lemah.
“Ini yang Ayah cemasin kalo kalian pisah sekolah! Harusnya Ayah nggak ngijinin
kalian pisah sekolah!” ucapan ayahnya membuat Zero menundukkan kepalanya dalam.
25
Ia tahu ada yang tak beres dengan kembarannya, tapi ia tak tahu apa itu. Terlalu sulit
menebaknya ketika ia belum tahu apa yang disembunyikan Zarina dibalik masker mulutnya
kemarin sore.
Ia pun kembali teringat kejadian semalam ketika dirinya berusaha membujuk Zarina
untuk keluar kamar tapi gadis itu malah berteriak tak ingin diganggu.
Ceklek! Pintu kamar itu terbuka dan menampakkan seorang gadis dengan masker
mulutnya.
“Za, yok berangkat!” Zarina langsung mengapit tangan Zero. “Bun, Yah.. aku sama
Kakak berangkat dulu ya,” ucapnya menatap kedua orang tuanya.
“Kalian nggak sarapan dulu?” tanya bundanya lembut.
“Udah telat Bun,” jawab Zarina sembari menatap jam di tangan kanannya.
Setelah mereka berpamitan, mereka pun berangkat sekolah dengan keadaan yang
semakin canggung, berbeda sekali bukan seperti mereka biasanya yang heboh.
“Kalo ada apa-apa hubungi gue! Jangan pulang sebelum gue jemput!” perintah Zero
bertambah setelah sampai di sekolahan kembarannya dan hanya mendapat anggukkan dari
gadis itu.
Zero tak terbiasa dengan respons kembarannya, biasanya Zarina selalu berteriak tak
jelas seperti ‘gue tauk bego!’ atau hal-hal yang membuat Zero kesal tapi sekarang berbeda
sekali dan Zero merasa kehilangan sosok kembarannya.
“Zarina,” sapa Gina tiba-tiba.
Zarina pun segera menarik temannya itu untuk menjauh dari Zero.
Gue tau elo nyembunyiin sesuatu dari gue Ze.
Sesampainya ia dan Gina di kelas, keduanya sudah disambut dengan sosok Leo di
depan pintu kelas. Zarina menegang, ia tak tahu harus bagaimana.
“Zarina, lo udah nggak papa?” tanya Leo sembari berjalan mendekat ke arah dua
teman sekelasnya itu.
“Gue.. gue nggak papa kok Le,” jawab Zarina kikuk.
26
“Lo nggak usah takut Zar, selama ada gue Niki nggak bakalan lakuin hal kayak
kemaren lagi.” Ucapan tegas Leo membuat Zarina menggenggam tangan Gina lebih kencang.
Gina melirik teman semejanya, menerka-nerka apa yang tengah dipikirkan gadis itu.
“Egh, kita masuk duluan ya Le,” ucapnya sembari menarik Zarina masuk ke kelas.
○○○
Sebenernya apa yang sedang terjadi sama Zarina? Apa dia berantem lagi? Tapi
sama siapa? Bahkan dia anak baru, mana mungkin dia udah punya musuh?
Zero kembali mengacak-acak rambutnya, ia frustrasi memikirkan apa yang terjadi
pada Zarina.
“Zero?”
“Eh.. ya?” Zero tersadar ketika ada seseorang yang memanggilnya lembut.
Didongakkan kepalanya untuk menatap orang itu.
“Sorry gue ganggu. Gue Dinda, temen sekelas lo,” ucap perempuan dengan poni
menutupi dahinya keseluruhan.
Oh ya?, batin Zero bertanya-tanya.
“Gue duduk di pojok depan jadi mungkin elo nggak pernah liat,” jelas perempuan
bernama Dinda itu sembari menunjuk mejanya yang berlawanan dengan meja Zero.
Zero mengangguk-angguk mengerti. Jujur, sebenarnya Zero belum pernah melihat
teman perempuannya ini, walau pun Zero itu cepat banyak yang mengenalnya tapi justru ia
yang tak mudah mengenal orang baru.
“Gue cuman mau ngasih ini, tugas Analisa Alam. Kita sekelompok,” jelas Dinda
sembari memberikan selembar foto kopi materi. “Tugasnya Bu Jeha, jangan bilang lo nggak
tau yang mana Bu Jeha?” tebaknya.
“Yang paha semua kan badannya?” tebak Zero dan itu sukses membuat Dinda tertawa
ringan.
Zero tercengang ketika melihat senyum dan tawa gadis itu. Ia seperti pernah
melihatnya namun pada akhirnya ia memalingkan padangan melihat kertas tersebut dengan
seksama.
27
“Eh.. sorry,” ucap Dinda sembari menutup mulutnya untuk menghentikan tawa. “Lo
bisa analisa apa aja yang ada di tempat lo yang berkaitan sama materi kita, besok kalo ada
jamnya Bu Jeha kita bahas lagi atau nggak kita bahas di rumah siapa gitu,” tambahnya.
“Oke.”
“Ya udah sih.. itu aja. Oh ya.. lo udah tau siapa anggota kelompok kita belom?” tanya
Dinda.
Zero mengerutkan keningnya berpikir.
“Gue tebak belom. Anggotanya ada Al sama Fika, jejeran gue. Si Al jejeran lo kan
sekarang?” tanya gadis itu.
“Iya,” jawab Zero seadanya.
“Ya udah itu aja kayaknya, makasih ya.” Setelah berucap demikian Dinda berlalu dari
hadapannya dan kembali duduk pada kursinya.
Ditatapnya sosok Dinda dari kejauhan.
Dinda? Nama itu, wajah itu, senyum itu, dan tawa itu ngingetin gue sama seseorang.
Seseorang yang udah lama pergi dari hidup gue.
“Woy.. Zer!” Zero tersentak kaget ketika seseorang berteriak di sampingnya.
“Ngagetin gue aja lo!” sungut Zero ketika ia tahu siapa yang mengagetkannya, siapa
lagi kalau bukan teman sebangkunya, Al.
“Mikirin apaan lo?” Al duduk di bangkunya dengan tangan yang sibuk memainkan
jambulnya.
Zero terdiam, pandangannya kembali terpusat pada gadis cantik nan imut yang baru
saja berbicara padanya. Detik itu juga Al mengikuti arah pandang laki-laki itu.
“Siapa? Fika? Atau Dinda?” tanya cowok berjambul itu.
“Kita sekelas sama mereka?” tanya Zero tanpa mengalihkan pandangannya.
“Masa lo nggak tau sih?! Wah.. kebangetan lo!” Al menoyor kepala Zero gemas.
“Kalo si Dinda itu emang manis, belom pernah nyicipin sih gue.”
Zero mengerutkan keningnya, melirik cowok gesrek itu. “Maksud lo?!”
28
Tawa Al mengembang. “Bercanda buset dah lo! Serius amat sih jadi anak! Jadi lo
naksir sama si Dinda? Iya deh.. yang penting bukan Fika, kalo dia mah nyablak banget, pelit
lagi beda jauh sama Dinda,” jelasnya menerawang.
Zero tertegun, entah kenapa ia merasakan suasana yang pernah ia rasakan pada
seseorang ketika bersama gadis bernama Dinda itu. Namun ia tersadar, digeleng-
gelengkannya kepala kuat-kuat.
“Gue nggak naksir dia.”
“Ck, nggak usah sok naif gitu ngapa bro!” Al menepuk pundak Zero iseng. “Oh ya..
gue mau ngajak lo main basket, mumpung jam kosong,” ajaknya.
Basket?
“Woy! Ayok mau enggak?!” Al sudah beranjak dari kursinya, berjalan keluar kelas.
Suasana sepanjang koridor terlihat sepi dan senyap tapi tak sedikit terdengar suara
gaduh dari beberapa kelas mungkin tak ada guru yang mengajar. Lapangan basket yang
tadinya sepi tak ada penghuninya pun kini sudah ada dua siswa sedang asyik saling
memperebutkan benda bundar itu.
Dengan lincah dan cekatan Zero men-dribble bola basket yang ada di tangannya, tak
kalah bersemangat Al pun dengan buas berusaha merebut bola itu namun gagal, gagal, dan
gagal.
“Ck!” terdengar cowok itu berdecap berkali-kali.
Hap! Yeah, Zero mencetak point dengan mudah. Dilemparnya bola tersebut pada
temannya itu yang sudah kehabisan napas. “Gue udahan!” ucapnya sembari mengangkat satu
tangannya, ia berjalan menuju pinggir lapangan.
Namun dengan mantap dilemparnya bola itu kembali pada si pemilik. “Kok nyerah
sih! Gue belom jadi ngalahin elo!” teriak Al dan mendapat tatapan maut pada si mata elang
itu.
“Gue nggak tega sama lo Al!” teriak Zero, ia kembali men-dribble bola dan
menggiringnya ke tengah lapangan.
29
Dengan sigap Al mengejarnya, ia terus berusaha berebut bola itu dan dapat! Namun,
ah.. baru sebentar bola itu ia dapatkan, dengan mudah Zero kembali merebutnya dan plug!
Zero kembali mencetak point.
“Ah.. main basket lo keren banget!” ucap Al ketika keduanya sudah menghabiskan
waktu cukup banyak untuk bermain basket.
Zero tak merespons, justru ia malah merebahkan tubuhnya ke tanah, ditutupnya kedua
mata rapat-rapat.
“Lo mau nggak ikut ekstra basket?” pertanyaan Al membuat Zero membuka satu
matanya.
“Ekstra basket?” ulang Zero setelah sukses membuka kedua matanya.
“Iya, cara main lo bagus dan kayaknya udah handal banget. Lo bisa jadi guru buat
mereka. Kalo lo ikut, gue juga mau ikut!” ucap Al bersemangat.
Zero kembali memosisikan tubuhnya duduk dan melirik temannya itu curiga.
“Eh.. maksud gue bukan gitu! Lo jadi cowok ke ge-eran banget sih!” Al menoyor
kepala cowok itu. “Gue tuh sebenernya pengen ikut basket tapi gue nggak jago,” terangnya.
“Nggak harus jago juga kalik! Kalo lo suka ya lo ikut aja. Justru yang nggak jago itu
yang harusnya ikut karena lama-lama latihan jadinya jago.” Ucapan Zero membuat cowok di
sampingnya melongo.
“Itu tadi yang ngomong elo Zer? Buset.. baru ini gue denger elo ngomong panjang
bener,” celetuk Al dan membuat Zero menjitak kepalanya.
30
TIGA
Bisa nggak rasa sakit lo dibagi sama gue? -Zero.
Sepulang sekolah seperti biasa Zero menjemput kembarannya, kali ini ia harus
tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Zarina kemarin. Tapi jujur, mencari tahu
apa yang disembunyikan gadis itu adalah hal tersulit bagi Zero, ia hanya dapat merasakan apa
yang dirasakan kembarannya dan bukan mengetahui faktanya.
Sesampainya ia di sekolahan kembarannya dan tidak menunggu waktu lama gadis itu
sudah keluar dari area sekolah dengan temannya, Gina.
Zarina tak banyak bicara, ia masih menutup separuh wajahnya dengan masker mulut.
Ingin rasanya Zero menanyakan dan memaksa gadis itu untuk mengatakan jujur, tapi ia juga
tak mau membuat kesal dan marah Zarina, ia harus bersabar dan pelan-pelan.
“Kenapa berhenti di sini Za?” pertanyaan itu terlontar dengan mulus dari bibir mungil
dibalik masker itu ketika motor yang ditumpanginya berhenti di sebuah kafetaria.
Zero mematikan mesin motornya dan membuka helm full face-nya. Ditengokkannya
kepala menyerong ke belakang agar dapat menatap kembarannya. “Kita makan dulu yuk, gue
laper,” ucap Zero lirih.
“Gue.. gue nggak laper. Gue pengen pulang! Tugas sekolah gue banyak Za!” rengek
Zarina kebingungan.
Jujur saja, ia memang bingung. Bagaimana bisa? Ia makan dengan kondisinya seperti
sekarang? Bahkan lukanya di sudut bibir belum pulih betul. Jika sudah begini Zero pasti tahu
apa yang terjadi.
“Bentar doang. Katanya di sini ada ice cream enak dan murah. Yok ah turun!”
Akhirnya Zarina menurut, perlahan ia turun dari motor gede milik kembarannya. Ia
menghela napas pasrah, ia sadar bahwa ini adalah salah satu strategi Zero untuk tahu apa
yang terjadi.
31
“Lo mau pesen apa?” tanya Zero sembari membolak-balikkan daftar menu.
“Gue nggak makan.” Jawaban singkat Zarina membuat Zero menghentikan
pergerakannya.
“Ck, gue pesenin ice cream ya,” tukas Zero tanpa meminta persetujuan dari
kembarannya.
Setelah pesanan keduanya sampai di meja, Zarina tak juga memakan ice cream-nya.
Ia bingung, tentu saja. Bagaimana cara memakannya jika mulutnya ditutupi dengan masker
padahal alasan utama ia memakai masker adalah agar tak ada yang tahu dengan lukanya.
“Ze?” Zero memegang tangan gadis itu yang bebas di atas meja.
Zarina tersentak, matanya beralih menatap netra itu dalam.
“Dimakan. Gue tahu apa yang lo sembunyiin dibalik masker itu, gue nggak akan
nanya macem-macem kalo emang lo nggak mau cerita.” Perkataan Zero membuat Zarina
mengeluh sesal.
Sebenarnya ia ingin sekali menceritakan semuanya pada kembarannya, karena
baginya beban yang dipikul sendiri itu rasanya sangat berat dan dengan menceritakannya saja
dapat meringankan itu semua.
Akhirnya perlahan dibuka masker yang sejak kemarin digunakannya untuk menutupi
hidung ke bawah sebatas dagu hingga Zero dapat melihat apa yang sebenarnya
disembunyikan Zarina. Luka memar di pipi kiri juga luka sobek di sudut bibirnya. Beberapa
kali laki-laki itu menelan salivanya dengan susah payah.
Apa yang sebenarnya terjadi sama lo Zarina?
Ingin rasanya ia menanyakan itu tapi tidak, ia tak ingin membuat mood gadis itu
semakin buruk.
“Lo nggak papa?” Zero mengelus tangan kembarannya yang kini sudah digenggam.
Oh ayolah.. bukankah mereka seperti sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara?
Saling memberikan kasih sayang dan perhatian. Pasti beberapa pasang mata yang melihat dua
insan itu mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih tapi pada kenyataannya mereka
adalah sedarah dan sedaging yang saling berbagi rahim selama 9 bulan 10 hari itu dalam
perut sang bunda.
32
Zero tercengang ketika gadis di depannya terisak, kepalanya sudah ditundukkan. “Ze,
lo kenapa?” dicondongkan tubuhnya agar lebih dekat pada gadis itu.
“Gue pengen makan ice cream tapi bibir gue sakit,” jawab Zarina sembari
mendongakkan kepalanya, setetes air mata jatuh melewati pipi mulus itu, ia berusaha untuk
membuat senyum di bibirnya.
Zero tersenyum namun dibalik senyumnya terdapat goresan lebar dihatinya. Ia tak
tahu apa yang harus dilakukannya. “Buat gue aja kalo gitu ya ice cream-nya.” Baru saja
tangannya hendak mengambil semangkuk ice cream milik kembarannya namun dengan
cekatan dipukulnya tangan itu oleh Zarina.
“Dasar! Udah ngasih malah diminta lagi!” gerutu gadis itu dengan kesal namun bagi
Zero itu sangat menggemaskan.
Keduanya pun kembali sibuk dengan hidangannya masing-masing. Zero bersyukur
karena kembarannya sudah kembali ceria, mengajaknya makan bersama adalah ide
terbaiknya.
Namun tak jauh dari meja mereka ada empat pasang mata sedang memperhatikan
dengan kesal dan penuh emosi.
“Lo harus sabar Nik,” cewek dengan tubuh mungil, Tia namanya, menenangkan
temannya.
“Kita labrak aja dia sekarang, apa-apaan coba deketin Leo dan sekarang ngumbar
kemesraan kayak gitu sama cowok lain! Ganjen banget!” geram cewek bernama Arana,
cewek kedua yang mudah emosi setelah Niki.
Tanpa menunggu instruksi apa pun lagi, Niki langsung menuju meja dua sejoli itu dan
diikuti ketiga temannya.
Brak!
Saudara kembar itu tersentak kaget ketika ada orang yang menggebrak mejanya.
“Apa-apaan nih?!” geram Zero tak terima.
“Eh.. elo si anak baru belagu yang ganjen itu kan?” sergap Arana penuh emosi
sembari menunjuk tepat di wajah Zarina.
33
Zarina langsung paham, dengan segera ia bangkit dari duduknya. “Mau kalian apa
sih? Belom puas elo-elo semua ngusik hidup gue?!”
“Santai bisa nggak jadi orang?!” kini Niki sudah mengambil alih berdiri di depan
Zarina. “Sayangnya kita nggak akan pernah puas sama apa yang uda kita lakuin ke elo!”
Zarina berdecih. “Rakus!” bisiknya menusuk.
“Maksud lo apa hah?!” teriak Niki sembari mendorong tubuh Zarina.
“Kalian apa-apaan sih?!” Zero pun tak tinggal diam, ia segera berdiri di depan Zarina
untuk melindungi.
“Lo siapa heh?!” ucap cewek berambut pendek, Lita namanya.
“Ganteng banget,” celetuk Tia sembari tersenyum genit ke arah Zero.
“Ya ampun Tia! Lo bisa nggak liat situasi?!” geram Lita pada sahabat satunya itu.
“Kalian siapa sih? Ada dan punya urusan apa sama tunangan gue?!” ucap Zero
berapi-api.
“Uu.. tunangan? Jadi lo tunangan si cewek ganjen itu?” tunjuk Niki mengarah pada
Zarina di balik tubuh tegap laki-laki itu.
“Jaga jari lo! Sekali lagi lo tunjuk-tunjuk Zarina pakek jari lo, gue patah in itu jari!”
ancaman Zero membuat keempat cewek itu bergidik ngeri.
“Ganteng-ganteng sadis,” bisik Tia.
“Balik aja yok! Gue masih pengen hidup,” bisik Lita juga.
“O.. oke.. kali ini kita bakal lepasin elo karena lo bawa bodyguard sekarang. Tapi gue
bilangin sekali lagi buat jauh-jauh dari tunangan gue! Ngerti nggak lo?!” setelah sang leader
mengucapkan demikian keempat cewek itu pun berlalu dari hadapan mereka.
○○○
Zero, laki-laki itu kembali termenung, ingatannya kembali pada yang terjadi tadi sore
di kafetaria tentang siapa keempat cewek itu, tentang Zarina, dan tentang apa hubungannya
mereka semua? Atau luka itu adalah hasil bullying dari keempat cewek itu?
34
Zero frustrasi memikirkan hal-hal yang belum mendapatkan jalan keluarnya itu.
Seandainya Zarina mau bercerita tanpa menutupi apa pun darinya pasti ia tak akan seburuk
ini.
Tok.. tok.. tok..
Pintu kamarnya diketuk seseorang dari luar, dengan malas Zero berjalan gontai untuk
membukakan pintu kamarnya.
“Astaga!” Zero berjengit ketika sesosok perempuan dengan rambut tergerai menutupi
seluruh wajahnya.
Perempuan itu segera mendongak dan tersenyum ala pepsodent.
“Astaga Zarina! Gue kirain apaan?!” Zero mengelus-elus dadanya.
“Lo takut ya?” goda Zarina sembari menoel-noel dagu laki-laki itu.
“Ck, ngapain lo kesini?” to the point Zero.
“Gue tidur di kamar lo boleh ya?” ucap Zarina sembari menyelonong masuk ke kamar
kembarannya.
“Eh.. Ze?” dengan segera disusulnya gadis itu setelah menutup pintu kamarnya.
“Balik sana ke kamar!”
“Ck, gue kan bilang mau tidur di kamar lo,” ucap Zarina yang sudah merebahkan
tubuhnya di kasur empuk kembarannya.
“Ya udah, gue tidur di kamar lo.” Baru saja Zero hendak mengambil bantal tiba-tiba
tangannya sudah dicekal oleh Zarina.
“Gue tidur di kamar lo sama elo! Gue lagi nggak mau sendirian. Boleh ya?” ucap
Zarina mengeluarkan jurus memelasnya.
“Ze, kita kan udah nggak dibolehin tidur bareng lagi. Kalo sampe Bunda tahu pasti
bukan cuman elo yang kena omel tapi gua juga,” terang Zero.
“Please, malem ini aja.” Zarina menangkupkan kedua tangannya di depan dada,
memohon.
35
Zero menghela napas pasrah dan akhirnya mengangguk lemah. Keduanya pun
membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sudah lama sekali mereka tidak sekamar, terakhir
ketika SMP kelas dua karena memang mereka tak diizinkan tidur satu ranjang lagi.
“Zero?” Zarina menarik lengan baju laki-laki yang memunggunginya itu.
Zero hanya berdehem sebagai jawaban tanpa mengubah posisinya.
“Zero, jangan punggungi gue dong,” rengek Zarina lagi dan itu sukses membuat Zero
membalikkan posisi tubuhnya menatap kembarannya.
“Apa sih? Udah malem, tidur!” laki-laki itu sudah kembali menutup kedua matanya.
“Za, kita bakalan kayak gini terus kan?” ucapan gadis itu hingga membuat Zero
kembali membuka matanya.
“Iya.”
“Jangan pernah tinggalin gue,” lirih Zarina.
“Gue nggak akan tinggalin elo Zarina.” Setelah mendengar jawaban kembarannya
kemudian Zarina menutup matanya, sedangkan Zero malah tak bisa menutup matanya,
pandangannya terarah pada wajah gadis yang sedang tertidur di depannya.
Kita pasti bakalan sama-sama terus Ze.
Pagi menjelang, suara burung-burung kecil bersenandung semakin membuat pagi itu
terasa indah dan tenteram. Seperti yang dirasakan gadis bertubuh mungil itu, ia kembali
menggeliat dengan mata yang masih tertutup. Bau maskulin masuk dalam indra
penciumannya, tubuhnya sulit di gerakan, ia seperti dalam kurungan. Akhirnya dibuka kedua
matanya dan didongakkan kepalanya untuk menatap siapa yang berani memeluknya.
Harusnya gue tahu risiko kalo tidur sama ini orang!, gerutunya setelah ia ingat
sesuatu.
Bayangkan saja sekarang ada laki-laki mesum sedang memeluknya erat.
“Zero?” desaknya sembari mendorong tubuh kekar kembarannya.
Zero berdehem sembari mengeratkan pelukannya namun tak juga membuka matanya.
“Zero, lo bau!” gerutu gadis itu lagi.
36
“Lima menit Ze,” gumam Zero dengan mata yang masih tertutup.
Zarina pun menghela napasnya pasrah. Ia kembali mengingat kejadian seperti ini
terjadi sekitar lima tahun yang lalu dan sebenarnya mereka tak boleh melakukan hal seperti
ini lagi oleh bundanya.
“Kalo sampe Bunda tau—”
Tok.. tok.. tok..
“Zero! Kak?! Kakak!” teriakan sang bunda membuat lamunan Zarina buyar, refleks ia
mendongakkan kepalanya dan pada waktu yang bersamaan Zero pun menundukkan
kepalanya menatap gadis yang dipeluknya semalaman.
“BUNDA!” pekik keduanya bersamaan.
Detik itu juga keduanya meloncat bangkit dari atas kasur. Saudara kembar itu
kelimpungan, bahaya kalau sampai bundanya tahu.
“Gue ngumpet di mana nih?!” wajah Zarina sudah lebih dari kata panik, ia mondar-
mandir sembari membawa boneka teddy bear-nya.
“Kak? Zarina di dalem ya?” teriakan bundanya kembali membuat keduanya sulit
berpikir.
“Kamar mandi! Iya.. kamar mandi Ze! Cepet!” Zero pun segera mendorong gadis itu
masuk ke kamar mandi dan ditutupnya pintu itu rapat-rapat.
“Kakak? Bener kan kalian di dalem?!”
Ceklek!
“Hoam.. apaan sih Bun? Masih ngantuk nih,” ucap Zero belaga sehabis bangun tidur.
Sang bunda celingak-celinguk mencari putrinya. “Zarina mana?”
“He? Zarina? Egh, Bunda ngelindur ya? Ini kan kamar Zero bukan Zarina. Kamar
Zarina tuh sebelah,” jawab Zero gelagapan.
“Iya Bunda tau, tapi anaknya nggak ada di kamar, nggak ada di mana-mana. Bunda
curiga kalian tidur berdua semalem.” Bundanya memicingkan mata menatap anak laki-
lakinya penuh selidik.
37
“Eng—enggak Bun.. beneran nggak ada,” ulang Zero berusaha meyakinkan sang
bunda.
“Bunda mau liat dulu!”
“Eh.. eh.. Bun, aku mau mandi nih nanti kesiangan.” Dengan sigap Zero menghalangi
langkah sang bunda.
“Ck, ya udah kalo Zarina nggak di sini, Bunda mau cari di tempat lain kalik aja dia
tidur jalan-jalan sampe rumah tetangga,” ucap sang bunda sembari berlalu.
Zero pun bernapas lega, kemudian kembali masuk ke kamarnya. Dibukanya pintu
kamar mandi dan bruk! Hampir saja, ia dapat menyeimbangi tubuhnya agar tidak terjatuh
ketika ada seseorang yang menabraknya. “Hey, lo kenapa?” tanyanya sembari mengelus
rambut Zarina lembut.
Gadis itu, ah.. bahkan ia memeluk kembarannya dengan erat. “Lo jahat!”
Zero menaikkan sebelah alisnya. “Gue? Jahat sama lo? Itu pasti.”
Dengan cepat di lepaskan pelukannya pada laki-laki itu, bibirnya sudah mengerucut.
“Ck, gue kan takut kalo disuruh ngumpet di kamar mandi!”
Zero tertegun melihat sifat kembarannya yang kekanak-kanakan. Ia tersenyum tipis.
“Gue minta maaf deh, janji nggak gitu lagi,” ucapnya sembari menangkupkan pipi gadis itu.
“Tauk ah! Gue kesel! Gue mau balik!” dengan kasar dihempaskannya tangan besar itu
dari pipinya. Kemudian ia berjalan mengendap-endap keluar kamar kembarannya, takut
ketahuan bundanya.
Namun saudara kembar itu juga tak dapat menyembunyikan apa yang tidak tahu dari
bundanya karena dengan mudah secara tidak langsung Zarina mengaku.
“Zarina kalo takut tidur sendiri, tidur sama Bunda aja nanti biar Ayah tidur kamar
tamu atau nggak tidur sama Kakak,” ucap sang bunda ketika kedua anaknya belum juga ada
yang mengaku.
Namun dengan gamblangnya Zarina menjawab, “Lah.. kamar Zero kan yang paling
deket, mana berani aku ke kamarnya Bunda malem-malem.”
“Nah kan ketahuan semalem tidur di kamar Kakak.”
38
Finally, bundanya pun tahu apa yang kedua anaknya itu sembunyikan.
“Pinter dikit ngapa!” bisik Zero kesal.
Sesampainya di sekolah, Zarina dikagetkan dengan gerombolan siswa-siswi dari kelas
satu sampai tiga sedang bergerombol di depan ruang BK.
“Ada apa ya Gin?” tanyanya pada temannya yang tadi tidak sengaja bertemu di
gerbang sekolah.
“Nggak tahu Zar, jawab Gina. Ia pun mencolek punggung seseorang. “Ada apaan?”
tanyanya.
“Leo!”
“Leo?!” ulang kedua gadis itu saling menatap.
“Leo kenapa?” sergap Gina cepat.
“Leo Tirtanu?” tambah Zarina.
“Ya iyalah Leo Tirtanu, siapa lagi coba nama Leo selain dia di sekolah kita,” celetuk
seorang siswa yang mendengar percakapan mereka.
“Leo kenapa?” ulang Gina.
“Dia abis tawuran lagi sama SMA 801 dan katanya dia matahin tangan murid sana.”
Jawaban teman sekelasnya itu membuat kedua gadis itu tercengang tak percaya apalagi
Zarina.
“Masa sih—”
Prit! Suara peluit Pak Elo membuat gerombolan itu bubar otomatis menuju kelas
masing-masing.
○○○
Zarina, gadis itu terus menggerutu ketika ia mendapat pesan dari kembarannya yang
menyuruhnya untuk ke sekolahan laki-laki itu.
My twin: gue ekstra basket. Lo ke sekolah gue!
Zarina: gue lgsung pulang aja ya
My twin: gk bisa! Lo ke sekolahan gue pokoknya!
39
Zarina: jalan kaki gtu?!
My twin: angkot banyak Ze
Zarina: gue gk bawa duop
Zarina: duir typo
Zarina: duitttt
Zarina: ah shit!
Zarina menggerutu ketika ia berkali-kali salah mengetik.
My twin: bodo
“Sialan!” geramnya ketika mendapat balasan tak mengenakan dari kembarannya.
Akhirnya mau tak mau Zarina menuju sekolahan Zero yang sebenarnya tidak terlalu
jauh tapi kalau berjalan kaki pun sungguh melelahkan. Ia pun celingak-celinguk mencari
lapangan basket di sekolahan kembarannya. Jujur, ia sedikit risi berada di sekolahan Zero
karena seragam identitas yang dikenakannya dengan siswa di sana berbeda.
Ck, mana sih lapangan basketnya? Apa ini sekolahan nggak punya lapangan basket?,
gerutunya dalam hati.
Akhirnya ia memberanikan diri bertanya pada seseorang. “Egh, permisi.”
“Ya?” jawab cowok itu dengan senyum manisnya.
Setidaknya Zarina dapat bernapas lega. “Kenal Zero?” tanyanya.
Cowok itu mengerutkan keningnya dalam. “Zero 12IPA2?”
Sekakmat! Zarina mengumpat dalam hati ketika ia bahkan tak tahu kembarannya itu
berada di kelas apa.
“Egh, Zero Putra Pratama Adi bukan?” tanya Zarina akhirnya, setidaknya ia tahu
nama panjang Zero.
“Oh.. dia, temen sekelas gue. Dia lagi main basket, yok gue anter.” Cowok itu pun
menemani Zarina menuju lapangan basket. “Lo siapanya Zero?” pertanyaan itu datang ketika
suasana kembali hening.
40
“Egh, gue.. gue adeknya Zero,” jawab Zarina sembari menutup kedua matanya cepat
dan membukanya lagi.
“Hah? Jadi elo adeknya Zero?” sergap cowok itu membuat Zarina mendelik. “Gue Al,
jejerannya Zero.” Cowok yang bernama Al itu mengulurkan tangannya.
Dengan ragu Zarina menyambut tangan itu. “Zarina.”
“Ck, namanya aja cantik kayak orangnya. Kenapa Zero nggak bilang punya adek
secantik lo?” gumaman Al membuat Zarina melirik cowok itu penuh selidik.
Sesampainya mereka di lapangan basket, dengan percaya diri Al berteriak pada Zero
yang sedang asyik men-dribble bola.
“Zero! Adek lo cantik banget!” seperti itulah teriakkan yang dihasilkan cowok
bertubuh tinggi itu dan sukses saja membuat konsentrasi Zero buyar.
Zero melangkah mendekati mereka berdua. “Kok lo nyampe nggak bilang-bilang
sih?”
“Gue udah nge-chat elo tapi nggak bales sama elo!” gerutu Zarina sembari
mengerucutkan bibirnya.
“Ck, cemberut aja cantik,” celetuk Al.
Zero melirik temannya itu dengan malas. “Lo main sana! Gue mau istirahat,” ucapnya
dan mendapat respons menyebalkan dari temannya itu.
Zero dan Zarina pun duduk di kursi penonton. Zarina terus menatap wajah tampan
kembarannya yang dipenuhi peluh namun tak dihiraukan oleh laki-laki itu.
“Ngapain lo liat-liat?” sergap Zero menatap kembarannya.
Zarina gelagapan namun dengan susah payah ia bersikap normal, diambilnya sekotak
kecil tisu dari dalam tasnya. “Nih, keringet lo bikin gue ngiler! Dilap dulu,” ucapnya
menyodorkan tisu tersebut.
Zero terkekeh ringan. “Kalo bikin lo ngiler ngapain dilap,” jawabnya tanpa
memedulikan tisu yang disodorkan kembarannya.
“Ck, tapi gue nggak suka!”
Bohong.
41
Dengan sadis dilapnya wajah Zero dengan kasar.
“Aduh.. duh.. pelan-pelan ngapa sih!”
“Nih lap sendiri!” Zarina pun melepaskan tisu ditangannya menempel di wajah
tampan kembarannya.
Lagi-lagi Zero kembali terkekeh pelan. Zarina pun tersenyum ketika bisa melihat
senyum dari laki-laki pelit senyum itu.
“Lo sejak kapan main basket lagi?” tanya gadis itu hati-hati.
“Hari ini,” jawab Zero tanpa menatap lawan bicaranya.
Zarina menelan salivanya susah payah dan berakhir memalingkan mukanya. Ia tahu
siapa Zero, cowok itu sudah lama sekali tak bermain basket padahal ketika mereka kecil dulu
Zero lah yang selalu mengajarinya tapi entah apa yang membuat Zero membenci basket. Dan
kini laki-laki itu kembali bermain basket?
“Lo kenapa bilang sama dia kalo lo adek gue?” Zarina tersadar dari lamunannya,
dilihatnya Zero masih dengan pandangan ke lapangan.
“Siapa? Al?” dipusatkan pandangannya pada cowok yang baru dikenalnya. “Mana
gue tau kalo temen lo genit kayak gitu,” lanjutnya.
Terdengar helaan napas Zero, kemudian ia kembali melanjutkan bermain basket.
Zarina, gadis itu berkali-kali tersenyum ketika melihat aksi kembarannya bermain basket. Ia
tak pernah menyangka mempunyai kembaran setampan dan sekeren Zero.
“Hai.” Terdengar sapaan dari samping kirinya, ditolehkan kepala menatap siapa orang
itu.
Zarina tersenyum ketika cowok berwajah blasteran sudah duduk di sampingnya.
“Gue Alan,” cowok yang bernama Alan itu mengulurkan tangannya.
“Zarina,” jawab Zarina tanpa membalas uluran tangan itu.
Keadaan kembali sunyi namun detik berikutnya suara cowok bernama Alan itu
kembali masuk ke gendang telinganya. “Lo SMA mana?”
“790,” jawab Zarina singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari lapangan.
42
“Ke sini nunggu siapa?” tanya Alan lagi.
“Tunangan gue.” Jawaban Zarina membuat suasana kembali hening dan senyap.
“Yang mana tunangan lo?” kembali Alan bertanya.
Zarina tak langsung menjawab, ia menatap Zero yang sedang asyik bermain basket
dan ketika Zero menatapnya dengan cepat Zarina menunjuk laki-laki itu. “Yang itu.”
Alan mengarahkan pandangannya menuju lapangan. “Dia tunangan lo? Elo nggak tau
kalo dia berandal sekolah?”
Zarina mengerutkan keningnya, rasanya ia ingin tertawa terbahak-bahak. Namun
tidak, ia masih bersikap cool. “Gue tahu.”
“Dia itu sering mainin cewek, gonta-ganti cewek dan pembuat onar. Suka keluar
masuk BK.” Alan kembali mengeluarkan jurusnya.
Zero itu jomblo! Asal lo tahu!, batin gadis itu.
“Gue tahu,” jawab Zarina tenang.
“Lo udah tahu tapi masih sama dia? Mendingan lo tinggalin lagi, jangan sampe lo
nikah sama dia trus ditinggalin.” Alan terus mengoceh tak tentu arah dan itu membuat Zarina
geram.
Detik itu juga Zero berjalan menuju kursi kembarannya dengan sorotan tajam ke arah
cowok yang duduk di samping Zarina. “Siapa lo?”
“Egh, tunangan lo cantik,” ucap Alan dan berlalu dari tempat mereka.
“Ngapain dia?” tanya Zero yang sudah membuka botol minuman dari gadis di
sampingnya.
“Dia ngasih tahu gue buat putusin elo soalnya kalo gue sampe nikah sama lo nanti gue
bakal ditelantarin sama lo,” jelas Zarina dengan wajah datarnya.
Brus!
“Ah, Zero jorok!” teriak Zarina ketika kembarannya menyemburkan minumannya
begitu saja.
“Tadi dia bilang apa?!” sergap Zero tak percaya.
43
Zarina tertawa terbahak-bahak. “Dia percaya banget kalo gue tunangan lo!”
44
EMPAT
Hidup gue sudah hancur jadi tolong jangan buat lebih dari kata hancur! -Leo.
Suasana pagi di hari minggu sangat menyenangkan untuk para pelajar apalagi
yang jomblo. Sama halnya seperti Zarina, gadis itu masih bergelut di atas kasur
empuknya, namun ketenangannya tak bertahan lama ketika ada seseorang yang menyibak
selimut tebalnya.
“Aaa.. Bunda dingin,” rengeknya masih menutup mata.
Pluk! Tiba-tiba sebuah benda keras mengenai kepalanya. “Bangun kebo!”
Zarina segera membuka matanya lebar-lebar. “Zero! Lo ganggu gue!” teriaknya
ketika tahu kembarannyalah yang mengganggu tidurnya di minggu pagi.
“Kebo banget sih adek gue ini! Katanya mau jalan-jalan? Atau batal aja nih—”
Baru saja Zero hendak berjalan keluar kamar gadis itu tiba-tiba Zarina sudah menarik
tangan kekar itu. “E.. iya jadi kok jadi.” Namun naas, Zero malah ambruk di atas kasurnya
dan menyebabkan mereka saling bertindihan.
“ZERO!” teriak Zarina luar biasa dahsyat.
Kini sampailah mereka di sebuah Mall kawasan ibu kota, namun gadis di samping
cowok tampan itu terus menampakkan wajah kesalnya.
“Lo kenapa sih manyun mulu? Pulang aja yok,” ajak Zero yang sudah mulai malas
melihat wajah menyebalkan itu terpampang di wajah kembarannya.
“Ih.. jangan pulang. Iya deh, gue senyum nih.” Zarina menampakkan senyum
memaksanya.
“Siapa yang nyuruh lo senyum,” ucap Zero acuh tak acuh dan berjalan mendahului
Zarina.
45
Zarina kembali menggerutu, ia bingung sebenarnya siapa yang sedang marah di sini.
“Jadi ceritanya gantian yang marah?” ia sudah mengapit tangannya di lengan Zero manja.
“Gue nggak marah! Bukannya elo yang—”
“Za! Ada topi! Liat yok!” belum sempat Zero menyelesaikan omongannya, dengan
lancang gadis itu memotongnya begitu saja.
Zarina pun menggeret kembarannya menuju toko topi, dengan semangat ia memilih-
milih beragam topi di sana hingga ia menemukan topi bercorak hitam merah bertuliskan ‘Z’
besar di tengah. Dikenakannya topi tersebut pada atas kepalanya. “Za, bagus nggak?”
tanyanya pada Zero yang sedang bersender di dinding.
“Cantik,” gumam Zero lirih.
“Gue tahu kalo gue cantik!” Zarina memukul lengan kembarannya dengan gemas.
“Ge-er banget sih!”
“Nih coba lo pakek!” Zarina tak memedulikan ucapan Zero, dengan semangat
dipakaikannya topi yang sama dengannya pada Zero. “Uwih.. cakep!”
“Gue emang ganteng.”
“Gue bilang cakep bukan ganteng!” semprot Zarina emosi. Ia pun memanggil mbak
penjaga toko itu. “Mbak ambil ini,” ucapnya menyerahkan topi yang dikenakannya.
“Satu atau dua Kak?” tanya mbaknya.
“Sa—eh.. dua Mbak.” Zarina berbalik mengambil topi yang masih dikenakan
kembarannya. “Bayar dulu kalik Za!” gerutunya pada laki-laki itu.
“Kok Mbaknya senyum-senyum sih?” ucapan Zero membuat Zarina menoleh
menatap mbak penjaga toko.
“Udah Mbak jangan diliatin terus nih orang, kalo jatuh cinta kan berabe Mbak.”
Pletak! Jitakan keras mengenai kepala Zarina. “Ish! Zero, sakit!” geramnya.
“Lo kalo ngomong nggak disaring dulu,” ucap Zero datar.
“Emang lo bawa saringan?” Zarina menaikkan satu alisnya.
46
Kembali terdengar cekikikan dari mbak penjaga toko dan membuat saudara kembar
itu tersenyum sok manis.
“Eh, iya ambil dua ya Kak?” tanya mbaknya tersadar.
“Iya Mbak,” jawab Zarina dan sesaat melirik ke arah Zero. “Za, bayar!” perintahnya.
“Kok gue? Elo yang beli juga,” tukas Zero tak terima.
“Elo kan cowok! Nggak mau tahu pokoknya cepet!” tuntas sudah Zero pun menurut.
“Pacarnya ya Kak?” tanya mbak penjaga toko.
“Hah?” kaget Zarina tak terima. “Gila aja Mbak saya pacaran sama dia!” tunjuknya
tepat mengenai hidung Zero. “Dia itu—”
“Udah Ze.. nggak usah dikasih tahu,” potong Zero cepat.
“Eh.. nggak bisa, ini harus dituntaskan!” Zarina kembali menatap mbak menjaga toko
tersebut dengan serius. “Jadi ya Mbak.. dia itu kembaran saya,” terangnya.
Mbak penjaga toko itu melongo tak percaya. “Seriusan Kak? Kok enggak mirip?”
tanyanya yang terus menatap saudara kembar itu bergantian.
Zero dan Zarina pun menaikturunkan kedua alisnya dengan senyum semanis
mungkin.
○○○
Bel pulang sekolah sudah berdenting sejak tadi namun entah sudah beberapa kali
Zarina menunggu kembarannya datang menjemput tapi Zero tak juga muncul. Beberapa kali
ia juga mengirim berbagai pesan pada Zero tapi tak juga mendapat respons darinya.
Lagi dan lagi ia menghela napas kasar dan berdecap ketika dirasa kakinya sudah
mulai pegal karena berdiri hampir setengah jam. Detik berikutnya berhenti sebuah bis tepat di
depannya dan muncullah sesosok orang yang dikenalnya dari pintu bis.
“Ze, ayok naik!” perintah orang itu yang ternyata Zero.
Zarina mengerutkan keningnya bingung, apakah ia tak salah lihat? Namun tak lama
lamunannya buyar ketika tangannya ditarik oleh laki-laki itu. Ia pun menurut dan berdesak-
desakkan di dalam bis tersebut.
47
“Lo.. kenapa naik bis?” tanya gadis itu akhirnya.
“Mo—” ucapannya terhenti ketika sopir bis mengerem mendadak sehingga membuat
tubuhnya sedikit menabrak kembarannya yang berdiri menghadap berlawanan dari
penumpang lainnya.
Zero berusaha memegang kuat-kuat pegangan yang menggantung di atas kepalanya,
ia menundukkan kepalanya melihat jarak yang sedikit antara dirinya dan Zarina, ia
tersenyum.
“Ih.. munduran ngapa!” ucap Zarina sembari mendorong bahu kanan Zero dengan
telunjuknya.
Zero kembali tersenyum dan memosisikan tubuhnya seperti semula. “Motor gue
mogok, besok baru bisa diambil.”
Zarina hanya mangut-mangut mendengar jawaban kembarannya itu, namun
pandangannya teralih pada perempuan di belakang Zero tengah tersenyum manis. Ia pun ikut
tersenyum hingga membuat Zero tersadar dengan sikap kembarannya.
“Ngapain lo senyum-senyum?” tanya laki-laki itu sembari menengok ke belakang. Ia
pun ikut tersenyum kikuk.
“Temennya Zero?” tanya Zarina pada perempuan itu.
“Iya. Gue Dinda,” jawab perempuan yang ternyata teman sekelasnya Zero. Ia
mengulurkan tangannya tepat di depan Zero.
“Hey, gue Zarina.” Zarina pun menyambut uluran tangannya dengan ramah.
“Pacarnya Zero?” pertanyaan itu amat lirih namun masih terdengar oleh Zero.
“Bukan!” sergap Zero sembari melepas tangan mereka yang masih saling bertautan.
“Dia itu—”
“Tunangannya,” potong Zarina cepat.
Zero pun menatap kembarannya penuh dengan emosi, sedangkan Zarina tersenyum
kemenangan.
48
Sesampainya di rumah, laki-laki tampan itu tak henti-hentinya mengomeli gadis itu.
Jujur, bagi Zarina ini bukanlah Zero banget dengan keadaan seperti ini. Biasanya Zero akan
bersikap biasa saja malah cenderung tak peduli, apalagi hanya masalah sepele seperti ini.
“Lo naksir sama Dinda?” sukses sudah gadis itu memuntahkan isi pikirannya.
Zero terdiam, ia tak lagi mengoceh malah cenderung tak mendengar satu pertanyaan
yang diucapkan kembarannya.
“Kenapa lo nggak suka gue bilang sama Dinda kalo gue tunangan lo? Padahal... lo
pernah ngelakuain itu sama temen gue.” Zarina menampilkan wajah sok bingungnya sembari
berpikir. “Jangan-jangan!! Ambb—” belum selesai ia berbicara tiba-tiba saja Zero sudah
membekap mulutnya.
“Nggak usah sok tahu deh!” ucap Zero akhirnya.
○○○
“Leo belom berangkat?” tanya Zarina pada Gina ketika ia baru saja masuk kelas dan
hanya mendapati gelengan dari teman semejanya itu.
Zarina kembali melirik kursi Leo, ia kembali menghela napas. Sudah lebih dari
seminggu Leo tak bersekolah, kabarnya ia di skors seminggu tapi ini sudah jauh dari kata
seminggu dan Leo belum juga kembali ke sekolah.
Entah kenapa Zarina merasa bahwa ucapan Leo kala itu ada benarnya bahwa ia tak
perlu takut pada Niki CS dan benar saja sudah beberapa hari ini ia tak lagi dilabrak oleh geng
cewek modis itu.
Namun, jauh berkilo-kilo meter dari gadis itu ada seorang siswa SMA yang merasa
terkurung pada dunianya sendiri. Laki-laki itu menundukkan kepalanya di pojok ruangan
yang biasa disebut kamar.
Kamar besar nan megah itu berada di dalam rumah yang luar biasa spektakuler
dengan interior desain orang ternama. Pasti jika ada yang melihat rumah bak istana itu orang-
orang akan merasa terpana dan bermimpi bisa menjadi salah satu anggota keluarga di sana.
Tapi hal itu berbanding terbalik dengan yang berada di dalamnya karena sejujurnya rumah
yang terlihat megah nan mewah itu tak menunjukkan adanya kehidupan yang indah seperti
kebanyakan rumah orang-orang sekitarnya.
49
Laki-laki yang masih mematung di pojok kamarnya itu tetap diam ketika ada
seseorang masuk ke ruangannya. Ia sama sekali tak ada minat untuk tahu siap orang yang
dengan lancang masuk ke ruangan pribadinya.
“Leo!” terdengar suara bariton di dalam ruangan yang hanya berisi dua orang itu.
Namun sang empunya lama tak juga merespons sapaan laki-laki dewasa bersetelan kemeja
dan jas hitam itu.
Laki-laki itu kembali membenarkan dasinya. “Saya dengar kamu kembali di skors—”
Leo segera menengadah, menatap laki-laki di depannya dengan sorot mata tajam.
“Nggak usah sok bijak dan formal! Gue benci itu!” geramnya penuh emosi. “Kalo lo nggak
ada urusan lain mending keluar dari kamar gue!”
“Leo! Oke, gue ngalah tapi tolong dengerin omongan gue!” tahan laki-laki ber-jas itu.
“Gue tahu Leo, lo sering kena skors kayak gini dan gue tau alesan lo ngelakuin ini. Tapi gue
mohon buat kembali sekolah, masa skors lo udah lebih dari seminggu. Apa lo nggak sayang
udah bertahan sekolah sampe detik ini? Apa lo nggak kasihan sama bokap yang—”
“Gue nggak pernah nyuruh bokap ngasih duitnya cuman buat nyekolahin anak kurang
ajar kayak gue! Kalo lo tahu alesan gue kenapa kayak gini berarti lo tahu apa yang gue nggak
suka!” Leo sudah bangkit dari duduknya, ia menatap laki-laki yang sudah bersamanya lebih
dari 15 tahun itu.
Laki-laki itu menahan pergelangan tangan Leo kencang. “Tapi nggak gini caranya
Leo!”
Leo menatap laki-laki yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya itu dengan tajam.
“Terus harus dengan cara apa lagi heh? Kurang lo ngeliat gue sengsara?! Lo nggak usah ikut
campur deh! Emangnya lo siapa?!” dengan kasar dihempaskannya tangan kekar laki-laki itu.
“Emang gue siapa? Lo masih nanya gue siapa? Gue abang lo! Gue peduli sama lo
Le!”
Mendengar ucapan kakaknya, Leo tersenyum sinis. Ia kembali menatap tajam orang
yang ia miliki di dunia ini, ah.. tidak! Bahkan kakaknya tidak peduli dengannya.
“Jadi lo ke sini cuman buat ngingetin gue kalo lo abang yang bertanggung jawab?
Abang yang sayang dan peduli sama keluarga terutama sama adeknya? Iya?!” ucapnya tepat
50