The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Blur:

Saudara kembar?
Bagi seseorang yang mendengar itu pasti yang ada dibenak mereka,
Keren!
Wow!
Seru!
Tapi menurut gue? Nggak sama sekali! Karena gue saat ini merasakannya.
Nama gue Zarina Putri Permata Adi dan gue punya kembaran, Zero Putra Pratama Adi.
Kami memang kembar non identik.
Dan gue benci padanya! Dia selalu mengganggu ketenangan dan kebahagiaan gue!
Tapi jujur, gue nggak bisa hidup tanpanya.
Dia adalah separuh napas gue.


Cerita ini sudah dibaca lebih dari 23,5 ribu di wattpad. Pokoknya dijamin baper, percaya deh.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Rizki Tri Ananda, 2022-06-17 00:50:22

MY TWIN

Blur:

Saudara kembar?
Bagi seseorang yang mendengar itu pasti yang ada dibenak mereka,
Keren!
Wow!
Seru!
Tapi menurut gue? Nggak sama sekali! Karena gue saat ini merasakannya.
Nama gue Zarina Putri Permata Adi dan gue punya kembaran, Zero Putra Pratama Adi.
Kami memang kembar non identik.
Dan gue benci padanya! Dia selalu mengganggu ketenangan dan kebahagiaan gue!
Tapi jujur, gue nggak bisa hidup tanpanya.
Dia adalah separuh napas gue.


Cerita ini sudah dibaca lebih dari 23,5 ribu di wattpad. Pokoknya dijamin baper, percaya deh.

Keywords: #ebook #novel #mytwin #romance #remaja #sma #zarina #zero

di depan kakaknya. “Basi Lean!” bisiknya dan berlalu dari hadapan laki-laki yang bernama
Lean itu.

Entahlah, ia tak tahu kenapa semua bisa seperti ini. Ia benci dengan keadaan ini,
keadaan yang membuatnya marah pada satu-satunya orang yang dimilikinya. Ia tak mengerti
kenapa ia bisa bersikap seperti itu, tidak seharusnya ia melakukan hal semacam itu.

○○○

Hari ini dengan sangat terpaksa kembaran Zarina itu harus menerima kenyataan
bahwa ia harus menyambut kedatangan teman sekelompoknya di rumah. Sebenarnya ia malas
sekali karena memang ia belum terlalu dekat dengan mereka walaupun sudah lama ia
bersekolah di sekolah barunya.

Tapi akhirnya ia pasrah, ia mengalah karena terus didesak oleh teman semejanya
siapa lagi kalau bukan Al. Sepertinya ia tahu kenapa Al bersikukuh untuk mengadakan kerja
kelompok ini di rumah Zero, apalagi alasannya kalau bukan Zarina.

Namun sebelum ketiga teman sekelas juga sekelompoknya ke rumah, ia sudah lebih
dulu berada di sekolah kembarannya untuk menjemput.

“Motor lo udah sembuh?” tanya Zarina sembari memakai helm. Namun tak ada
jawaban apa pun dari laki-laki itu. “Pelit banget sih lo ngomong sama gue!” gerutunya geram.

“Cepet naik!” perintah Zero yang sudah menyalakan mesin motornya. Zarina pun
memoncongkan bibirnya dan menurut.

Sesampainya mereka di rumah, sudah terdapat dua motor terparkir di halaman. Zarina
mengerutkan keningnya ketika melihat tiga orang sepantarnya sedang mengobrol dengan
bundanya.

“Nah mereka udah sampe,” ucap sang bunda sembari tersenyum ketika melihat kedua
anaknya pulang dengan selamat.

“Assalamualaikum,” salam saudara kembar itu dan saling menyalami sang bunda
bergantian.

“Sorry lama,” ucap Zero dan mendapat anggukkan dari ketika temannya. “Yok
masuk!” ajaknya yang sudah berjalan ke dalam rumah.

51

“Zero! Ini temen-temen lo main ditinggal aja!” teriak Zarina sembari mengejar
kembarannya memasuki rumah.

“Ayo Nak, masuk yuk,” ramah sang bunda dengan senyumnya seperti biasa.
“I.. iya Tante,” jawab ketiganya malu-malu.
Mereka pun berjalan masuk rumah besar itu dengan perlahan. “Itu siapa?” bisik Fika
yang sedari tadi bertanya-tanya perempuan yang bersama dengan teman sekelasnya itu.
“Adeknya Zero,” jawab Al bangga.
“Loh, katanya dia tunangannya Zero?!” pekik Dinda kemudian.
“Hah?!”

Ketika teman Zero pun terus berbisik ketika sang tuan rumah masih sibuk mengganti
pakaian kamarnya. Kali ini mereka sedang duduk di ruang tamu dengan hidangan yang sudah
disiapkan bunda dari saudara kembar itu.

“Jadi namanya Zarina?” pertanyaan Fika mendapat anggukkan dari Dinda dan Al.
“Terus siapanya Zero?”

“Adeknya Zero!” jawab Al mantap.
“Tapi kapan itu Zarina bilang sendiri kalo dia itu tunangannya Zero!” sela Dinda
cepat.
“Tapi Zarina juga bilang sendiri kalo dia adeknya Zero!” Al pun terus bersikukuh
dengan jawabannya.

Keduanya pun saling melempar setiap kata, mengatakan kebenaran yang mereka tahu
siapa sebenarnya Zarina. Namun tetap saja tak ada yang mengalah, keduanya tetap
bersikukuh dengan pendiriannya masing-masing sehingga membuat Fika yang mendengarnya
merasa pusing.

“Ya ampun, udah kek! Mending nanti kita tanya langsung sama Zero siapa Zarina
sebenarnya.” Fika menengahi kedua temannya itu.

“Gue itu tunangannya Zero.”
“Hah?!” ketiganya menolehkan kepala menuju sumber suara. Dilihatnya Zarina
dengan pakaian casual-nya tengah berjalan mendekat ke arah mereka.

52

“Elo sama Zero? Jadi—” ucapan Al tertahan bahkan ia tak dapat melanjutkan kata-
katanya. Mulutnya terlalu kelu untuk sekedar menanyakan hal itu, rasanya harapan ia untuk
mengabet Zarina pupus sudah.

Zarina tersenyum sembari mendaratkan bokongnya di sofa sebelah Fika. “Kalian
temen sekelasnya Zero?” tanyanya.

Baru saja Fika hendak membuka suara, tiba-tiba Al menyela dengan cepat. “Zar, lo
kan pernah bilang kalo lo adeknya Zero bukan tunangan!”

Zarina mendengar itu menaikkan alisnya bingung namun detik itu juga ia tertawa
terbahak-bahak. “Jadi lo percaya?” tanyanya disela tawa.

“Dia itu kembaran gue!”

“Hah?!” ketiganya kembali tersentak ketika suara itu berasa dari mulut Zero.

Ketiga orang itu kembali terbelalak mendapat pengakuan dahsyat itu. “Masa sih
kembar? Kok nggak mirip?” guman Fika sambil sesekali menatap bergantian wajah Zero dan
Zarina.

“Kita ini kembar non identik, beda jenis kelamin pasti nggak miriplah.. anggep aja
cuman adek kakak,” jawab Zero santai.

“Gue nggak nyangka elo punya kembaran secantik ini Zer,” guman Al yang terus
menatap Zarina berbinar-binar. Detik itu juga Zero menyingkirkan wajah itu dari pandangan
kembarannya.

○○○

Kegaduhan di dalam kelas itu belum juga berangsur bahkan sampai bel masuk
berdenting, seisi kelas sibuk berbondong-bondong berlari ke kursi masing-masing namun tak
sedikit pula ada yang masih sibuk menyalin tugas rumah yang harusnya dikerjakan di rumah
tapi malah mereka kerjakan di sekolah, itu biasa terjadi pada setiap anak sekolah.

Baru beberapa menit pelajaran berlangsung dengan tenang tanpa ada gangguan tiba-
tiba saja seisi kelas dikagetkan dengan kedatangan Bu Rer, salah satu guru BK. Beliau
meminta ijin pada guru yang mengajar saat itu dan beliau masuk dengan disusul seorang
siswa.

“Leo!” bisik-bisik seisi kelas.

53

Ya, murid yang bersama Bu Rer adalah Leo, siswa berandal yang selalu membuat
onar, keluar masuk ruang BK adalah makanan sehari-harinya bahkan teman sekelasnya
berpikir Leo sudah keluar dari sekolahan karena ia diskors seminggu tapi tak berangkat
selama dua minggu.

Kemunculan Leo pun masih terus menjadi pembicaraan mulai dari anak kelas satu
hingga tiga terutama para siswi.

“Gue risi dengernya,” bisik Zarina pada Gina ketika mereka duduk di kursi kantin.
“Denger apa?” tanya Gina yang belum paham. Zarina hanya melirik sekilas dari meja
yang lain hingga meja satunya, temannya pun mengikuti arah pandangannya. “Santai aja kali,
ini tuh udah biasa terjadi kalo Leo buat masalah sampe diskors, ada yang pro juga kontra.”
“Masa sih gitu?” tanya Zarina belum yakin.
“Iya. Tapi yang gue bingung kenapa Leo masih tetep masuk ke sekolah ya padahal dia
berangkat jauh dari jadwal yang ditentukan. Kenapa dia nggak masuk sekolah aja sekalian,”
ucap Gina sembari berpikir.
“Mungkin disuruh orang tuanya?” tebak Zarina.
“Leo itu tinggal sendiri, setahu gue sih nyokapnya meninggal trus bokapnya nggak
tahu deh.”

Brak! Keduanya pun tersentak kaget ketika ada seseorang yang menggebrak meja
mereka. Keduanya pun menengadah untuk melihat siapa orang yang berani-beraninya
mengganggu jam istirahat mereka.

Zarina segera bangkit dari duduknya ketika tahu siapa orang itu. “Bisa nggak sih lo
nggak cari gara-gara? Sehari aja!” gertaknya pada perempuan satu itu, siapa lagi kalau bukan
Niki.

“Oh, lo berani sama gue?” ucap Niki berbisik.
“Emang lo siapa? Kenapa gue harus takut sama lo?! Emang lo malaikat pencabut
nyawa?”

Bruk! Tubuh Zarina terhuyung ketika Niki mendorongnya namun dengan sigap
ditahannya agar tidak terjatuh. “Lo bisa nggak usah pakek kekerasan?! Ini sekolah!”

54

“Persetan sama itu semua! Denger ya, gue bakal bales semua apa yang udah lo lakuin
sama gue—”

“Sayangnya gue nggak peduli tuh,” potong Zarina dengan senyum sinisnya.

Tanpa ampun Niki melayangkan tangannya hendak menampar perempuan di
depannya namun pergerakannya terhenti ketika ada tangan yang menahannya.

“Lo keterlaluan ya Nik!” sergap Leo, ternyata.
“Leo? Leo, lo udah balik sekolah lagi?” gugup perempuan yang mengaku tunangan
laki-laki itu.
Zarina tersenyum mengejek. “Ngakunya tunangan tapi tunangannya udah selesai
masa skors aja nggak tau.”
“Lo nggak usah ikut campur!” Niki menunjuk Zarina geram.
“Niki cukup! Cukup gue bilang!” teriak Leo buas. “Berhenti buat kayak gini Nik!
Berhenti buat cari gara-gara yang cuman menguras emosi lo doang! Kenapa sih lo jadi kayak
gini? Gue nggak kenal sama Niki yang sekarang, gue ngerasa asing sama lo yang sekarang
Nik.”
“Leo.. gue?”
“Kalo lo masih kayak gini, gue nggak segan-segan buat nggak peduli sama lo!
Padahal selama ini gue berusaha buat sabar dan selalu di samping lo. Gue berusaha ada buat
lo tapi apa yang lo lakuin? Apa balesan lo selama ini? Lo malah bully banyak orang. Kalo
tahu kayak gini dari awal gue nggak usah peduli sama lo!” ucap Leo penuh emosi.
“Gue minta maaf Leo.” Niki sudah menundukkan kepalanya.
“Jangan minta maaf sama gue! Minta maaf sama orang yang udah lo bully terutama
Zarina bahkan dia nggak tahu di mana kesalahannya tapi lo bully dia! Emang lo siapa? Lo
bahkan bukan siapa-siapa!” setelah mengucapkan demikian Leo berlalu dari kantin yang
sudah menjadi kerumunan itu, tentu saja mereka sudah menjadi tontonan gratis.

Bukan siapa-siapa? Kata-kata gue tuh, batin Zarina ketika mendengar kalimat
terakhir Leo.

55

LIMA

Kenapa masa lalu harus kembali datang dan teringat? Untuk apa? Untuk apa berlalu jika
pada akhirnya kembali? -Zero.

Suasana kelas yang hanya berisi empat siswa itu terasa mencekam, salah satu dari
mereka menundukkan kepalanya, kedua tangannya meremas ujung rok dengan
penuh emosi. Ia bingung apa yang sudah dilakukannya dan bagaimana menyelesaikannya.
“Gue kan udah bilang kalo hari ini Leo masuk sekolah lagi Nik! Sekarang bukan
waktu yang tepat buat labrak anak itu apalagi Leo udah ngasih kode keras!” terdengar
nyaring suara lantang itu dari bibir cewek bernama Arana.
Orang yang diajaknya berbicara menengadahkan kepala. “Lo nggak bilang gitu ya Ra!
Lo nggak bilang apa-apa perihal Leo berangkat sekolah lagi!”
“Gue bilang Nik! Tapi lo emang nggak pernah mau denger omongan temen lo sendiri!
Lo terlalu mentingin diri lo sendiri!” teriak Arana menatap Niki tajam.
“Lo jangan membalikkan fakta bisa nggak?!” Niki bangkit dari duduknya, menatap
Arana lebih tajam.
“Siapa yang membalikkan fakta?! Lo itu yang gampang emosi! Lo nggak pernah mau
denger omongan kita, lo cuman mikirin diri lo sendiri Nik! Sebenernya lo anggep kita apa
sih?! Babu?!” geram Arana berapi-api.
“Kalian apa-apaan sih? Kenapa jadi kalian yang berantem?! Udah dong!” Lita segera
berdiri di antara dua perempuan yang sedang bersitegang itu.
“Kalo emang gue anggep lo babu kenapa? Masalah? Masalah gue tanya?!” teriak
Niki.
Ketiganya terdiam ketika kalimat itu keluar dari mulut Niki. Mereka saling pandang
tak percaya, begitukah Niki menganggap mereka sebagai babu? Bukan teman atau bahkan
sahabat?

56

Niki tersadar dengan apa yang baru saja diucapkannya tadi. “Egh, mak.. maksud gue
bukan gitu, maksud gue tuh—”

“Oke, jadi selama ini lo anggep kita babu? Lo anggep gue babu? Sayangnya gue baru
nyadar Nik dan kayaknya gue mau berhenti aja jadi babu lo. Makasih udah jadi majikan yang
baik!” ucap Lita kemudian berlalu dari ruangan itu.

Arana tersenyum sinis. “Dari dulu sampe sekarang yang pantas jadi leader itu gue
Nik! Tapi dengan mudahnya lo ambil kekuasaan gue cuman karena lo punya Leo, itu sangat
memuakkan!” ia pun berlalu dari ruangan itu dengan penuh kemenangan.

Niki tercengang, lambat laun ia melirik Tia yang sedari tadi mendiam. “Tia.. gue—”

Tia berjalan mendekat dan menggenggam kedua tangan Niki. “Nik, gue nggak tau
masalah kalian apa karena emang koneksi gue kadang lemot tapi gue nggak nyangka lo bisa
bilang gitu ke kita. Lo sahabat gue Nik.” Niki tersenyum mendengar penuturan Tia. “Tapi
gue cari temen Nik, gue cari sahabat Nik bukannya malah dijadiin babu dan kayaknya lo
salah mengartikan antara sahabat dan babu. Sorry Nik, gue pengen jadi sahabat yang ngertiin
perasaan sahabatnya bukan jadi babu yang disuruh ini itu sama temennya sendiri.”

Perlahan genggaman tangan itu terlepas. Tia pun berlalu dari hadapan Niki dengan
kekecewaan yang mendalam. Detik itu juga pecah sudah tangis Niki, ia merasa sesak dihati,
ia merasa membakar kepercayaannya sendiri. Kepercayaan untuk menjadi orang yang
normal.

○○○

Bel pulang sekolah sudah berdenting sedari tadi namun Zarina belum juga beranjak
dari depan gerbang sekolah. Jelas saja ia belum pulang karena lagi-lagi Zero memintanya
untuk ke sekolahannya untuk menunggunya ekstra basket.

Awalnya ia menolak untuk ke sekolahan kembarannya itu tapi mau bagaimana lagi,
laki-laki itu terus mendesaknya dengan berbagai ancaman seperti, ‘lo bakal abis di rumah
nanti’ atau ‘lo harus bayar nanti di rumah’ yang tentu saja membuat gadis itu bergidik ngeri
membayangkan.

Namun sudah lebih dari 15 menit ia menunggu angkutan umum tak juga ada satu pun
yang lewat. Ia menengadahkan kepalanya menatap langit yang kini sudah kelabu.

“Mau ujan,” bisiknya hampir tak terdengar.

57

“Zarina?” mendengar namanya disebut dengan cepat dipalingkan kepalanya menuju
sumber suara.

“Eh, Leo?” ucapnya gugup ketika tahu siapa orang itu. Jujur ia masih merasa tak enak
hati atas kejadian tempo hari di kantin.

“Lo belom pulang? Nungguin apa?” tanya Leo yang masih duduk di atas jok
motornya.

“Gue.. nunggu bis,” jawab gadis itu kikuk.
“Rumah lo di mana? Bareng gue aja yok, mau ujan kayaknya,” ajak Leo ramah, ia
sudah mematikan mesin motornya.
“Egh, nggak usah.. makasih. Gue mau ke sekolahan abang gue dulu kok.” Zarina
berusaha keras untuk menolak ajakan Leo.

Lama-lama sama Leo nggak baik, dilabrak lagi sama Niki tahu rasa deh gue,
batinnya ngilu.

“Sekolahan abang lo di mana? Bareng gue aja, biasanya kalo mau ujan gini angkot
suka nggak ada.” Leo kembali membujuknya dengan berbagai alasan.

Zarina tak segera menjawab, ia kembali menatap awan yang semakin hitam.

Glerrr! Suara gemuruh membuat keduanya kaget apalagi Zarina, ia sudah menutup
wajahnya dengan kedua tangan.

“Ayok gue anter aja, gue tahu lo takut sama suara tadi,” ucap Leo yang sudah
memegang lengan Zarina.

Gadis itu kebingungan, ia tak tahu harus bagaimana.

Glerrr! Suara gemuruh kembali membuat jantung Zarina berdebar. Akhirnya ia
menurut, naik ke jok motor belakang milik teman sekelasnya itu.

Namun sayang, keberuntungan sedang tidak berpihak pada keduanya. Hujan turun
dengan derasnya membasahi tubuh mereka di sepanjang perjalanan.

“Zar, mampir rumah gue dulu ya!” teriak Leo di tengah lebatnya hujan namun Zarina
tak mendengarnya.

58

Motor itu pun berhenti di halaman rumah mewah. Setelah turun dari motor, Zarina
segera berlari menuju teras rumah tersebut untuk berteduh.

“Ayok masuk!” perintah Leo yang sudah lebih dulu membuka pintu rumah tersebut.
“Eh, ini rumah lo?” tanya gadis itu bingung.
“Iya, kan tadi gue bilang. Yok masuk!”

Zarina menggaruk tengkuknya berusaha mengingat perkataan Leo jika rumah besar
nan megah itu adalah rumah cowok itu.

Keduanya pun masuk ke rumah tersebut. Zarina terpesona melihat isi rumah tersebut,
interior yang memukau dan menggelegar.

“Gue masuk bentar ya, lo duduk dulu aja.” Setelah mengucapkan demikian Leo
berlalu dari hadapan gadis yang masih terpukau itu.

Namun Zarina tidak langsung duduk karena tak sengaja matanya menangkap berbagai
bingkai foto yang terpajang di laci berwarna hitam. Ia melihat berbagai foto di sana mulai
dari foto dua bayi, dua balita, dan dua laki-laki dewasa dengan wajah yang sulit dibedakan.
Zarina mengambil bingkai foto berukuran sedang itu, diamatinya orang yang ada di dalam
foto tersebut.

“Harusnya gue nggak ngebiarin foto-foto itu dipajang di sini.” Mendengar suara itu
membuat Zarina tersentak, dengan segera diletakkannya kembali bingkai foto tersebut.

“Sorry.”
“Nggak papa. Nih diminum dulu mumpung masih anget sama pakek dulu aja
handuknya biar nggak dingin.” Leo meletakkan nampan berisi dua gelas coklat hangat dan
diberikannya handuk pada Zarina.
“Makasih ya.”

Keadaan kembali hening, Leo sibuk mengaduk-aduk coklat panasnya sedangkan
Zarina sedang berpikir keras tentang foto yang dilihatnya tadi.

“Lo di rumah sendiri?” tanya Zarina hati-hati, ia hanya tak suka suasana canggung.
“Iya.”

59

Jawaban datar Leo membuat Zarina enggan untuk bertanya lebih dalam tapi ia juga
penasaran. “Kalo foto yang tadi gue—”

“Dia abang gue,” potong Leo cepat.

“Kembar?” Zarina memiringkan kepalanya untuk melihat wajah laki-laki yang duduk
di sampingnya.

Leo menolehkan kepalanya, menatap Zarina dalam. “Kembar? Yang bener aja.” Ia
membuang muka sembari tersenyum sinis. “Dia bukan kembaran gue! Dia abang gue
namanya Lean, cuman beda tiga tahun,” terangnya sembari mengalihkan pandangan menatap
bingkai foto yang di mana terpampang fotonya dan Lean.

“Kenapa lo tinggal sendirian?” tanya Zarina penasaran.

“Sebenernya gue tinggal sama Lean dari umur gue dua tahun gara-garanya nyokap
meninggal dan bokap merried lagi.” Leo tersenyum kecut mendengar kisah hidupnya sendiri.
“Tapi gue nggak ngerasa hidup sama seseorang karena nyatanya gue emang hidup sendirian
di rumah ini.”

Zarina tertegun, ia tak menyangka seorang Leo Tirtanu menyimpan banyak rahasia
tentang kehidupannya. Bahkan Leo mempunyai banyak konflik dalam hidupnya yang orang
lain bahkan tak pernah merasakannya.

“Ternyata Lean sama aja sama bokap, mereka sama-sama nggak akan pernah
nganggep gue ada.” Zarina kembali dikagetkan dengan kalimat yang keluar dari mulut Leo.
Hatinya terasa mencelus mendengar penuturan itu langsung dari seorang berandal di
sekolahnya.

“Kenapa lo bisa mikir gitu? Mereka pasti sayang dan peduli sama lo, mungkin cara
mereka aja yang lo nggak ngerti,” ucap Zarina lirih.

Leo mendengus. “Nggak ada orang yang bilang peduli tapi biarin orang itu hidup
sendirian. Lo pikir hidup sendiri itu enak?”

Tercekat. Zarina tak lagi dapat berkata-kata, terlalu rumit memang hidup laki-laki itu.

“Tapi.. seandainya gue bisa milih, gue lebih milih hidup sendirian dari pada hidup
sama orang-orang bermuka dua. Sayangnya gue nggak bisa Zar, gue nggak akan pernah bisa
kabur dari mereka!” ucap Leo kembali menatap Zarina.

60

Baru saja gadis itu hendak bersuara, tiba-tiba Leo sudah menyela. “Kalo lo tanya
kenapa, mungkin gue bakal dibutuhi sama mereka tapi nggak sekarang. Lo tau kenapa gue
selalu cari gara-gara di sekolah?” Zarina menggeleng sebagai jawaban. “Biar gue bisa keluar
dari sekolah dan keluar dari rumah ini,” jawab Leo mengalihkan pandangannya ke depan.

“Keluar dari rumah ini?” tanya Zarina hati-hati.
“Iya, bokap nggak akan nerima anak berandal kayak gue. Gue di blacklist dari
sekolah itu artinya gue bakal di blacklist dari keluarga ini,” jawab Leo kemudian menyesap
coklat hangatnya.
“Leo—”
“Zar, kayaknya hujan di luar udah nggak deres banget deh. Mau gue anter sekarang?”
potong Leo cepat.

Zarina gelagapan sebelum akhirnya mengangguk sebagai jawaban. Keduanya pun
berjalan menuju pintu utama untuk melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda namun
langkah gadis itu terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri di depan rumah Leo. “Zero?”
pekiknya ketika tahu kembarannya tengah berdiri di bawah hujan. Ia pun melangkah
mendekat begitu pun dengan Zero.

Setelah jarak mereka sudah dekat dengan cepat dicekalnya tangan Zarina dan
ditariknya agar berdiri di belakangnya. “Lo apain adek gue?!” sergap Zero menatap tajam
Leo.

“Za, dia temen gue!” sangkal Zarina cepat.
“Lo diem Zarina!” teriak Zero kalap. Ia kembali menarik kembarannya agar berdiri
tepat di belakangnya.
“Adek? Ze—Zero? Lo—”
“Nggak butuh waktu lama kan buat lo inget siapa gue?! Gue pikir lo udah mati!”
sergap Zero cepat dengan senyum sinisnya.

Zero kenal sama Leo?, batin Zarina bertanya.
“Zero, gue bisa kasih penjelasan soal—”

61

“Penjelasan? Semua udah jelas dan gue nggak perlu denger omong kosong lo lagi!
Dan satu lagi, jauh-jauh lo dari adek gue!” setelah mengucapkan demikian Zero segera
membawa Zarina berlalu dari halaman rumah Leo.

Leo mengacak rambutnya frustrasi, ia tak menyangka bisa kembali bertemu dengan
Zero. “Jadi, abangnya Zarina... Zero?”

Selama perjalanan pulang di antara saudara kembar itu tak ada yang memulai
pembicaraan tapi dalam pikiran Zarina kini banyak pertanyaan, kenapa Zero bisa ada di sana?
Dan kenapa Zero bisa kenal sama Leo?

Sesampainya di rumah pun Zero langsung berlalu dari hadapannya tapi bukan Zarina
jika membiarkan masalah ini berlarut-larut. Dengan sigap ditariknya jaket Zero ketika turun
dari motor. “Lo kenapa?” tanyanya.

“Gue nggak papa,” jawab Zero tanpa menatap Zarina.
“Gue tanya elo kenapa?” kini Zarina sudah membalikkan badan kembarannya.
“Bisa nggak lo jauh-jauh dari cowok tadi?”
“Maksud lo?”
Zero mendesah. “Nanti gue jelasin tapi sekarang biarin gue masuk!” baru saja ia
hendak melepas pegangan tangan Zarina di lengannya namun dengan sigap Zarina malah
meremas. “Aw! Sakit bego! Lo kalo nyebelin nggak tau situasi!” gerutu laki-laki itu.
Senyum manis pun tersungging di bibir merah Cherry gadis itu. “Ah.. lo kalo disuruh
ngambek nggak jago. Ya udah sana masuk, mandi gih,” ucapnya lembut.
“Cium dulu.” Zero sudah merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan wajah
kembarannya.
Senyum Zarina pun pudar dan berganti wajah menjengkelkan. “Makan nih ciuman
gue!” ia pun menepuk-nepuk kedua pipi kembarannya kemudian berlari masuk ke dalam
rumah.
“Ck, adek sialan!” teriak Zero geram.

○○○

62

Malam ini kediaman Adi Pratama terlihat sepi tak seperti biasanya hanya ada kedua
anak kembarnya tengah menonton acara televisi. Ayah dan bundanya ternyata sedang
menghadiri acara pernikahan salah satu rekan kerja sang ayah sebelum mereka pulang
sekolah.

“Za, lo laper nggak?” tanya Zarina sembari memasukkan keripik singkong balado ke
dalam mulutnya.

“Enggak,” jawab Zero dengan pandangan yang masih terarah pada layar besar di
depannya.

Zarina mendengus. “Masa nggak laper sih! Gue laper nih, makan yok!”
Zero menolehkan kepalanya menatap kembarannya. “Jadi lo mau dinner sama gue?
Hem?”
“Gue bukannya mau dinner sama lo! Gue cuman mau makan Za, laper tauk!” tangan
gadis itu sudah melayang menepis pipi Zero.
“Ish, nggak usah tampar-tampar segala kalik!” teriak Zero hingga mendekatkan
wajahnya dengan wajah kembarannya.
“Ih, nggak usah deket-deket juga kalik! Modus banget lo!” dengan susah payah
Zarina mendorong-dorong wajah Zero dengan kesal.
Zero segera memundurkan kepalanya. “Modus sama lo ini.”
“Dih, cari cewek sono! Jomblo kok dipelihara!”
“Kayak lo nggak jomblo aja!” sela Zero tak terima.
“Gue kan jomblo gara-gara elo juga. Siapa suruh bilang kalo elo tunangan gue?
Nggak ada!” Zarina kembali mengambil camilannya yang sempat tertunda.
“Kayak lo enggak aja! Dasar modus!”
“Elo yang modus!” sergap Zarina cepat.
“Elo!”
“Elo!”
“Elo!”

63

“El—eh Za, makan yuk,” ucap Zarina menghentikan aksinya, ia sudah memasang
wajah memelas dan detik itu juga tawa Zero menyembur. “Ish, malah diketawain!”

“Ya udah yok, gue masakin.” Zero sudah melangkah menuju dapur setelah tawanya
mereda.

Zarina pun mengikutinya. “Emang lo bisa masak?” tanyanya ketika mereka sampai di
dapur.

“Kagak.”

Bibir gadis itu sudah mengerucut mendengar jawaban kembarannya. Ia pun duduk di
meja patry melihat Zero tengah asyik memecahkan dua telur ke dalam mangkuk. “Lo masak
apa?” tanyanya.

“Lo liat gue megang apa?”
“Telor,” jawab Zarina. “Berarti lo mau masak pizza!” teriaknya antusias.
Pletak! Jitakan mendarat di kepala gadis itu. “Sakit peak!” sungutnya.
“Payah banget sih lo! Jadi cewek kok nggak bisa masak!” ucap Zero menatap
kembarannya.
“Ck, bikin pizza tuh juga pakek telor tauk! Ah.. elo itu yang payah!”

Zero pun tak menghiraukan ucapan kembarannya, ia tetap sibuk dengan masakannya
namun pergerakannya terhenti ketika ia kekurangan sesuatu. “Ze, ambilin garem dong!”
perintahnya.

“Di mana?” tanya Zarina yang masih duduk di meja patry.
“Di laci pojok deket kulkas,” jawab Zero.

Zarina pun melangkahkan kakinya menuju pojok patry, celingak-celinguk melihat
berbagai toples-toples kecil saling berjejer di laci gantung tersebut. “Garem yang mana Za?”

“Garem! Yang putih, masa lo nggak tau?!” jawab Zero sembari menyalakan kompor.
“Nih.” Zarina menyodorkan toples kecil dengan tutup bergambar frozen.

Zero pun menerimanya, membuka tutup toples tersebut dan menyendokkan sedikit,
namun pergerakannya terhenti. “Zarina cantik?” ucap Zero genit.

64

“Ya Zero ganteng?” jawab Zarina tak kalah genit.
“Lo tahu garem nggak sih?” tanya Zero yang sudah berdiri tepat di depan
kembarannya.
“Yang putih kan? Itu putih,” jawab Zarina sembari menunjuk garam yang
dimaksudnya tengah dipegang kembarannya.
“Gitu ya? Coba cicipin deh,” perintah Zero lembut, ia sudah menyendokkan sesendok
garam itu.
“Egh, nggak mau! Garem kan asin, lo mau bunuh gue ya?!” teriak Zarina sembari
menutup mulutnya rapat-rapat.
“Ini gula bego! Ck, masa lo garem aja nggak tahu sih! Payah!” geram Zero yang
sudah menatap kembarannya kesal.
Zarina meringis tak tahu dosa. “Gue tuh cuman nge-tes elo doang tahu,” ucapnya.
“Serah lo!”Zero sudah melangkahkan kakinya menuju laci pojok dekat kulkas untuk
mengambil garam yang asli.
Akhirnya Zero kembali melanjutkan masaknya yang sempat tertunda ini itu.
“Za, lo kenal sama Leo?” tanya Zarina ketika suasana berganti menjadi sepi nan
sunyi.
Dengan cepat Zero menolehkan kepalanya menatap Zarina. “Dia temen gue pas kita
di Bandung,” jawabnya yang sudah kembali sibuk membalik telur di penggorengan.
“Temen lo? Di Bandung? Kok bisa?

65

ENAM

Dia kembaran gue? Iya gue tahu! Dia milik gue tapi sampai kapan pun dia bakalan jadi
milik gue kan? -Zero.

Zarina masih terdiam setelah ia mendengar langsung siapa Leo dari mulut Zero.
Leo Tirtanu adalah sahabat karib Zero Putra Pratama Adi sejak mereka masih
duduk di bangku SD ketika di Bandung. Teman sepermainan, teman bercerita, juga teman
sesama anak nakal dan pembuat onar. Leo memang asli Bandung namun ketika kenaikan
kelas tiga SMP ia pindah karena pekerjaan ayahnya dan saat itu juga Zero dan Leo tak pernah
tahu kabar masing-masing.
“Terus kenapa lo marah sama Leo? Kenapa lo kayaknya benci banget sama dia?”
tanya Zarina setelah menyuapkan sesendok nasi serta telur buatan kembarannya ke mulut.
“Dulu gue sama Leo sahabatan deket banget bukan cuman kami berdua sih, ada satu
lagi namanya Nadin. Gue sama Leo selalu ada buat Nadin, selalu ngelindungi juga ngejaga
dia sampai suatu saat Leo sama Nadin kecelakaan.” Kedua tangan cowok itu sudah
diremasnya kuat-kuat. “Harusnya yang nganterin Nadin malem itu gue Ze, tapi Leo kekeh
buat nganter Nadin!” pandangan tertuju pada makanan di depannya yang sama sekali tak
disentuh.
Zarina membeku mendengar cerita kelam kembarannya. Ah.. ke mana saja ia selama
ini? Kenapa ia tak pernah tahu? Kenapa masalah semacam ini ia tak tahu?! Zarina terus
menggerutu dalam hati karena tak tahu apa-apa. Perlahan dielusnya punggung tangan
kembarannya lembut. “Terus Nadin sekarang di mana?” tanyanya hati-hati.
“Nadin udah meninggal satu jam setelah kecelakaan.” Jawaban Zero membuat Zarina
kembali tercekat, detik itu juga ia bangkit dari duduknya dan memeluk kembarannya sangat
erat.
“Lo nggak usah sedih lagi, ada gue di sini,” bisik Zarina tepat di dekat telinga kiri
Zero.

66

Zero pun mempererat pelukannya, ia merasa kembali mempunyai satu bahu yang
hilang, satu bahu yang selalu bisa menerima ia bersandar ketika terpuruk.

Detik berikutnya dilepasnya pelukan itu. “Nadin pasti udah bahagia di sana apalagi
kalo lo sama Leo baikkan, dia pasti bakal dengan tenang ninggalin kalian,” ucap Zarina
sembari meneteskan air mata.

“Eh, lo kok nangis sih,” ucap Zero sembari menghapus air mata yang dengan
lancangnya menerobos pertahanan gadis itu.

“Gue kan cewek, pasti gue nangislah apalagi kalo gue ada diposisi Nadin, dijaga juga
dilindungi cowok sekeren dan sekece elo. Kan, gue nangis lagi..” Zarina segera menghapus
air matanya dengan kasar. Ah.. ia cengeng sekali menangis di depan cowok yang sering
mengejeknya.

Zero terkekeh mendengar itu bahkan matanya sampai berbentuk bulat sabit dan
meneteskan air mata. “Elo kan emang udah dijaga juga dilindungi sama gue kenapa mesti iri.
Lo punya gue, gue punya lo, Zarina.”

“Lo punya gue, gue punya lo gimana sih? Gue nggak paham,” ucap Zarina sembari
menghapus air mata yang mengalir di pipi kembarannya. “Kok elo cengeng sih, nangis di
depan gue.”

Zero pun tersenyum ketika Zarina perhatian padanya. Kembarannya itu benar-benar
menggemaskan.

“Za, tidur yuk!” ajak Zarina yang sudah bangkit dari posisi dengan lutut yang
menempel di lantai itu, namun belum sepenuhnya ia berdiri tiba-tiba lengannya ditarik oleh
Zero hingga tubuhnya bertabrakan dengan kembarannya.

“Makasih ya Ze, lo adalah hidup gue, lo adalah jantung gue,” bisik Zero yang sudah
memeluk kembarannya.

Zarina pun tersenyum samar, dengan segera dibalasnya pelukan laki-laki itu. “Iya Za.
Lo adalah napas gue.”

Mereka pun saling memberi kehangatan satu sama lain, memberi kekuatan yang
mereka punya untuk separuh dirinya. Saat itu juga keduanya mendengar detak jantung yang
saling berbenturan, berpacu amat kencang. Detak jantung siapakah itu?

67

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB namun saudara kembar itu tak juga
kunjung ke kamar masing-masing. Kini keduanya masih sibuk mengobrol sembari menunggu
ayah dan bundanya pulang.

“Ayah sama Bunda kok lama ya?” gumam Zarina sembari memasukkan coklat ke
dalam mulutnya.

“Mereka sambil nge-date kalik ya?” gumam Zero demikian sembari ikut mencomot
coklat yang ada di tangan kembarannya.

“Astaga, enaknya.. harusnya tadi kita jalan-jalan aja ya?!” teriak Zarina histeris. “Ish,
ngambilnya jangan banyak-banyak dong!” dengan cepat ditepisnya tangan Zero yang terus
mengambil coklat itu.

“Bagi ngapa, pelit amat lo!”
“Ya tapi jangan banyak-banyak! Gue minta ke Ayah kan susah,” gerutu gadis itu
memeluk toples coklatnya.
“Anak Ayah kan nggak cuman elo! Gue juga, jadi gue juga boleh makan. Bagi sini!”
ucap Zero berusaha merebut toples di tangan kembarannya.
Dengan segera kedua tangan Zarina di naikkan tinggi-tinggi ke atas. “Ih.. jangan Za!”
detik itu juga digelitiknya ketiak Zarina dengan gemas. “Ah-hah.. Zero sialan! Berhenti kek!”
teriak Zarina yang sudah menurunkan kedua tangannya menahan geli.
“Bagi sini makanya!” ucap Zero yang masih terus menggelitik kembarannya.
“Iya.. iya.. berhenti tapi—ah-haha.” Zarina sudah tak kuat lagi, ia terus menggeliat
dan berontak namun sulit sekali untuk terlepas. Hingga tanpa sadar posisinya sudah merosot
pada sofa dan tampaklah Zero yang kini berada di atasnya.

Zero menghentikan aksinya, ditundukkan kepalanya menatap Zarina di bawahnya. Ia
tersenyum.

“Zero! Turun nggak lo!” perintah Zarina kalut. Namun Zero tak menggubris
perintahnya, ia malah mengelus pipi kiri Zarina. “Zero jangan mesum! Turun nggak lo!”
Zarina berontak namun kembarannya seperti menahannya sampai sulit bergerak.

“Lo cantik Zarina,” bisik Zero.

68

”Iya gue tauk! Tapi muka lo biasa aja dong!” teriak Zarina sembari menangkupkan
kedua pipi Zero dengan tangannya sehingga pandangan mereka bertemu.

Satu detik.
Tiga detik.
Tujuh detik.
“Seandainya kita bukan saudara kembar ya Ze,” bisik Zero yang sudah mendekatkan
wajahnya pada wajah kembarannya.
“Iya,” respons Zarina tak kalah berbisik.
Perlahan wajah Zero semakin dekat dan Zarina sudah mengalungkan kedua tangannya
pada tengkuk kembarannya, menekan tengkuk itu supaya wajah mereka semakin dekat.
Tuhan bisakah?
Bisakah—apa? Tidak! Tidak bisa!
Detik itu juga Zarina tersadar, dengan kencang didorongnya tubuh Zero hingga cowok
itu terjatuh di lantai.
“Aw!” ringis Zero ketika merasakan bokongnya mencium lantai. “Zarina peak!”
teriaknya menatap kembarannya tengah duduk di sofa.
“Elo itu yang peak! Gila! Hampir aja!” ucap Zarina sembari mengelap keringat di
pelipisnya.
“Kenapa? Enakkan?” ucap Zero yang sudah kembali duduk di samping gadis itu.
“Enak pala lo! Gue aduin Bunda tahu rasa!”
“Aduin aja, lo juga kena kok,” celetuk Zero hingga membuat Zarina menutup
mulutnya rapat-rapat.
Kini keduanya kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Zero sibuk memakan
coklat tanpa mendapat amukkan dari kembarannya karena Zarina tak mau hal semacam tadi
terjadi lagi. Gadis itu sudah sibuk mengutak-atik ponselnya.
“Astaga Za! Udah jam 12 masa?!” teriak gadis itu menepuk pipi kembarannya.

69

“Aduh.. duh.. tangan lo nggak bisa apa biasa aja!” geram Zero yang sudah mencekal
tangan nakal kembarannya.

Zarina cengengesan mendengarnya. “Ya sorry. Tapi Za, ini udah jam 12! Ayah sama
Bunda lama banget perginya.”

“Iya juga ya,” gumam Zero sembari melirik jendela yang berada di belakangnya. Ia
pun berdiri untuk membuka sedikit gorden yang tertutup tepat di belakang kembarannya.

Zarina mendongakkan kepalanya. “Udah ada?” tanyanya.
Zero menundukkan kepalanya menatap kembarannya. “Belom.” Terdengar dengusan
dari Zarina. Detik itu juga Zero mengecup bibirnya di kening gadis itu lembut.

Zarina yang merasakan sesuatu yang kenyal, lembut, dan basah di keningnya pun
sedikit mendongak. Saat itu juga Zero menghentikan kecupannya. “Gue sayang elo,” ucap
laki-laki itu dengan senyumnya.

“Gue juga sayang elo.” Setelah berucap demikian, Zarina mencium pipi kiri
kembarannya lama dan berakhir menggigit pipi itu.

“Aw! Sakit Zarina!” Zero mengelus-elus pipi yang digigit kembarannya.
“Lagian elo main cium-cium gue,” celetuk Zarina yang sudah melipat kedua
tangannya di depan dada.
“Oo.. lo mainnya sekarang gitu ya, menandakan kepemilikan,” ucap Zero dengan
senyum misteriusnya.
“Kepemilikan apaan? Gue tadi cuman—”
“Cuman apa? Hem?” goda Zero yang sudah mendekatkan kembali wajahnya dengan
wajah kembarannya. Semakin dekat.. dekat.. dekat.. dan..
“Aaa!” teriak Zarina bersamaan dengan lampu yang mati.
“PLN sialan!” geram Zero.

○○○

Pagi ini semua murid kelas 12IPA1 sudah bersiap di tengah lapangan basket pada
mata pelajaran olah raga. Setelah melakukan pemanasan juga berlari mengelilingi lapangan
satu kali, Pak Erwin selaku guru olah raga memimpin.

70

Kali ini Pak Erwin akan mengajarkan teknik juga cara bermain kegiatan olah raga
yang sudah sering didengar juga dimainkan anak remaja jaman sekarang, basket. Namun
pengecualian pada gadis cantik kembaran Zero itu, siapa lagi kalau bukan Zarina. Ya.. gadis
itu tak suka dengan permainan basket karena ia tak handal dalam memegang dan melempar
bola basket padahal jelas-jelas kembarannya sangat jago dalam bermain basket.

Tapi ia pasrah apa yang akan terjadi nanti bahkan ia terlalu pasrah ketika ada sebuah
bola melambung tinggi ke arahnya. Ia kewalahan, semua temannya berteriak memanggil
namanya namun gadis itu sudah kehilangan konsentrasi sehingga tanpa sadar bola tersebut
mendarat di keningnya.

“Ah!”
“Zarina!” teriak teman-temannya ketika Zarina sudah terkapar di tanah. Mereka
berbondong-bondong menghampirinya.
“Zar?”

“Zarina?”
“Zarina?” entah mengapa pendengarannya semakin berkurang, cahaya yang
dilihatnya tadi pun seakan meredup dan digantikan dengan kegelapan.

Tak beda jauh dengan yang terjadi pada kembarannya. Ya.. Zero merasa kepalanya
pusing ketika ia dan temannya Al juga anak kelas 10 dan 11 tengah asyik bermain basket.

“Lo kenapa Zer?” tanya Al ketika lagi-lagi ia melihat Zero seperti kesakitan
memegang kepalanya.

“Eng—enggak tahu nih, pusing doang sih rasanya,” jawab Zero sembari duduk di
pinggir lapangan.

“Lo istirahat dulu aja kalo gitu nanti kalo udah mendingan bisa dilanjut, ada gue ini,”
ucap Al dengan bangganya.

“Songong lo!” Zero menghantam perut temannya itu. “Ya udah sana lanjut main, gue
istirahat dulu bentar,” lanjutnya yang sudah merebahkan tubuhnya di tanah.

Al pun kembali menuju tengah lapangan, asyik bermain dengan adik kelasnya. Ya.. ia
dan Zero sudah beberapa minggu ini mengajari adik kelas dalam bermain basket setelah
mereka ikut ekstra basket.

71

Kenapa gue jadi kepikiran Zarina ya? Ze, lo nggak papa kan?, batin Zero bertanya-
tanya.

“Diminum dulu Zer.” Suara lembut itu masuk ke gendang telinganya. Diintipnya dari
cela-cela tangan yang digunakan untuk menutupi wajahnya.

“Eh Din?” ucap Zero sembari bangun dari tidurnya.
“Lo kenapa?” tanya Dinda yang sudah menyerahkan sebotol minum pada Zero.
“Nggak papa,” ucap Zero sembari membuka botol tersebut dan meneguk isinya.
“Zer—”
“Din—” panggil keduanya secara bersamaan dan saling tersenyum kikuk.
“Lo dulu aja,” ucap Zero mempersilahkan.
“Egh, lo dulu aja Zer.”
“Elo dulu nggak papa Din.”
“Elo dulu Zer, bener.” Ucapan juga senyum gadis di depannya membuat Zero
tersenyum tipis.
“Makasih minumnya,” ucap Zero dan mendapat anggukkan dari gadis itu. “Lo tadi
mau ngomong apa?” tanyanya teringat.
Dinda gelagapan, ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Egh, gue nge-tes aja. Ya
udah ya, gue balik kelas duluan.” Tanpa mendapat jawaban dari orang yang diajaknya
berbicara, ia sudah lebih dulu berlalu dari hadapan laki-laki tampan itu.

Kayak Nadin.
○○○

“Ze.. Zarina? Sstt.” Suara lembut nan halus itu tiba-tiba saja masuk ke dalam
mimpinya.

Perlahan gadis itu menggeliat, dibuka kedua matanya. Ingin rasanya ia mengumpat
pada seseorang yang sudah mengganggu tidurnya, namun dirinya sudah lebih dulu
dikagetkan dengan wajah laki-laki tampan yang sangat dekat dengan wajahnya. “Astaga!
Zero!” pekiknya sembari menjauhkan wajah itu dengan mendorongnya dengan tangan.

72

“Nggak usah pakek gampar-gampar juga kalik!” sergap laki-laki itu yang ternyata
kembarannya sendiri.

Zarina segera memosisikan tubuhnya untuk duduk namun dirasa nyeri di bagian
kepala. “Aduh,” keluhnya sembari memegang kening sebelah kirinya yang kini tertutup
perban.

“Lo tuh udah tahu sakit juga! Kenapa itu jidat? Sakit? Hem?” ucap Zero sembari
membantu kembarannya untuk duduk.

“Lo kok—ini di mana sih?” gadis itu menatap sekeliling, langit-langit putih dan
gorden berwarna hijau daun muda juga bau obat-obatan, matanya juga menangkap sosok
teman semejanya tengah berdiri di belakang Zero. “Sekolahan gue?! Jadi elo Gin yang bawa
cowok mesum ini ke sini?” tanyanya menatap temannya itu geram.

“Cowok mesum lo bilang? Wah.. kualat tahu rasa lo!” sergap Zero tak terima.
Gina mendekatkan dirinya pada ranjang tempat tidur gadis itu. “Sorry Zar, tadi cowok
lo tanya gue pas di gerbang trus gue baru inget kalo lo masih di UKS jadi gue ajak ke sini
sekalian jenguk elo,” jelas Gina lirih.
“Cowok gue?” lirih Zarina getir ketika ia ingat temannya itu belum tahu siapa Zero
sebenarnya. “Thanks ya Gin, tapi nggak seharusnya lo bawa cowok mesum kayak dia ke
sini!” tunjuknya pada jidat Zero.
“Ck, nggak sopan lo!” tepisnya sebal. “Udah yok pulang! Bunda pasti udah khawatir
apalagi tahu gue bawa lo pulang kayak gini,” ucap Zero sembari menekan kening gadis itu
yang terluka.

“Argh! Sakit Zero!” rintihnya kesakitan.
Zero malah tersenyum menanggapinya. “Padahal baru aja kemaren gue cium itu jidat,
ternyata bola aja cemburu sama gue,” celetuknya hingga membuat dua gadis itu melongo tak
percaya mendengar ucapan laki-laki itu.
“Egh, Gin.. itu nggak kayak yang lo pikir,” ucap Zarina menjelaskan pada temannya
itu. “Mulut lo gue perban mau?!” geramnya menatap kembarannya.
“Ya udah yok pulang!” ucap Zero sembari membereskan tas Zarina di atas kasur.

73

“Zar, lo tahu siapa yang bawa lo ke UKS tadi?” bisik Gina mendekatkan bibirnya
pada salah satu telinga temannya itu.

“Siapa?”
“Leo,” bisik Gina lebih lirih dari yang tadi. Zarina menatap temannya penuh dengan
tanda tanya. Benarkah? Leo?
“Yok pulang!” belum sempat ia bertanya lagi, Zero sudah siap dengan dirinya untuk
membawa pulang gadisnya itu, ralat saudara kembar maksudnya.

Mereka bertiga pun keluar dari ruang UKS karena memang jam berakhirnya belajar
mengajar sudah usai sejak tadi.

“Kenapa kedekatan mereka nggak kayak adek kakak?” tanpa mereka sadari ada
sepasang mata tengah memperhatikan mereka.

Sesampainya di rumah, saudara kembar itu sudah diberondong berbagai pertanyaan
oleh sang bunda. Bundanya berpikir jika anak perempuannya kembali berkelahi atau
semacamnya, bahkan si kembar tak dapat memotong pembicaraan bundanya yang sudah
panjang ke mana-mana.

“Pokoknya Bunda nggak mau tahu kalau Ayah sampai tahu! Bunda nggak mau bantu!
Kamu tuh ya udah dibilangin berhenti buat berantem! Berhenti Zarina! Kamu kan cewek,
nggak baik! Kamu juga Zero, ajarin kenapa sih adeknya, jaga adeknya baik-baik!” ucap
bundanya panjang macam rel kereta api.

“Bunda, bukan itu.. dengerin aku dulu dong,” potong Zarina berusaha menjelaskan.

“Apa? Zarina mau bilang apa? Mau bohong? Iya? Bunda nggak mau denger!” ucap
bunda yang sudah menutup kedua telinganya dengan telapak tangan.

“Ih, Bunda dengerin dulu! Ini bukan berantem!” Zarina berusaha menurunkan kedua
tangan bundanya yang masih setia sebagai penutup telinga.

“Ya udah Bunda dengerin, kenapa itu jidat?” sang bunda pun menyerah dan berniat
mendengarkan penjelasan putrinya.

“Egh, ini tuh.. anu.. ini..” dan saatnya gadis itu menjelaskan yang sebenarnya, ia tak
kunjung menjelaskan karena jujur sebenarnya ia malu jika bundanya tahu.

“Kenapa?” tanya bundanya penasaran.
74

“Dicium bola!” celetuk Zero ketika dengan sengaja ia mendengar perdebatan ibu dan
anak itu.

“Zero!” geram Zarina menatap garang kembarannya.
“Eh.. dicium bola? Kena bola? Bener Ze?” tanya sang bunda mengelus perban yang
menempel di kening putrinya dan dengan segera Zarina memeluk bundanya sembari
mengangguk. “Zarina tuh dari dulu sukanya dicium bola, sekali-kali Zarina dong yang nyium
bola,” ucap sang bunda sembari mengelus puncak kepala putrinya.

75

TUJUH

Gue selalu takut ketika bersama orang lain karena bagi gue sendirian itu lebih bahagia. -
Niki.

“Itu jidat lo udah sembuh beneran?” tanya Gina ketika ia dan Zarina tengah
berjalan menuju kantin sekolah.
“Masih rada nyut-nyutan sih tapi udah nggak kayak kemaren,” jawab Zarina sembari
memegang keningnya yang terluka hanya dilapisi hansaplast. Tanpa sadar ia bertabrakan
dengan seseorang. “Eh, sorry,” ucapnya pada seseorang yang ditabraknya.
Namun orang yang ditabraknya terus menundukkan kepalanya dan berlalu begitu saja
dari hadapan mereka.
“Itu Niki kan?” lamunan Zarina buyar ketika pertanyaan itu keluar dari mulut Gina.
“Iya, kok dia jinak banget ketemu gue? Biasanya mencak-mencak nggak jelas,”
gumam Zarina menatap kepergian Niki.
Mereka pun melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. “Mungkin dia udah dapet
peringatan keras dari Leo,” ucap Gina.
“Peringatan? Maksudnya? Kenapa Leo?” tanya Zarina kembali penasaran.
“Niki tuh nggak kayak gitu dulu, dia anak pendiem malah cenderung introvert tapi
setelah dia kenal Leo nggak tahu gimana ceritanya dia jadi punya geng,” jelas Gina hingga
mereka tak sadar sudah sampai kantin.
Keduanya duduk di meja paling pojok dan tanpa sengaja mata Zarina menangkap
gerombolan Niki CS hanya bedanya tak ada sang leader. “Itu kan gengnya Niki?” tunjuknya
dengan dagu dan diikuti pandangannya oleh Gina.
“Iya.. Arana yang paling tinggi, bisa dianggap dia leader nomor dua. Lita yang
rambut pendek, dia manis sih tapi nggak tahu hatinya. Kalo yang mukanya imut-imut itu Tia,

76

koneksinya suka lemot. Mereka itu sekelas, cuman Niki yang beda kelas,” terang Gina
sembari menatap tiga cewek yang tengah bersenda gurau tak jauh dari meja mereka.

“Kenapa mereka nggak berempat lagi? Terakhir Niki ngelabrak gue sendiri kan?
Kenapa ya Gin?” Zarina meletakkan telunjuknya di bawah dagu.

Gina mengedikkan bahunya tanda tak tahu. “Udahlah Zar, nggak usah mikirin
mereka. Bosen hidup lo?” senggolnya dengan siku.

“Sialan lo!”
○○○

Kedua orang yang tengah duduk di bangku tua itu sama-sama terdiam. Entah apa
yang sedang mereka pikirkan yang jelas pikiran mereka sedang kacau.

“Niki?” panggil cowok itu akhirnya dan detik itu juga cewek yang bernama Niki itu
menolehkan kepalanya. “Gue minta maaf.”

Perlahan terdengar isakkan tangis dari gadis di sampingnya. Jujur, ia tak ingin
melukai gadisnya maka detik itu direngkuhnya tubuh mungil itu. “Gue kayak gitu kemarin
karena gue nggak suka sama cara lo. Lo bukan kayak lo! Lo ngerti kan?” dilepaskan
pelukannya.

“Gue mau kita kayak dulu lagi Leo,” ucap lirih Niki.
“Tapi gue minta buat lo kembali kayak dulu lagi jangan jadi Niki kayak sekarang.
Gue bahkan nggak kenal sama elo yang sekarang. Ya?” Leo mengusap lembut pipi gadis
lemah di sampingnya.

Niki pun menganggukkan kepalanya dan dengan segera ia memeluk cowok di
depannya lembut. “Gue minta maaf.”

“Lo tahu gimana caranya minta maaf.”
○○○

Entah sudah berapa kali Zarina melirik jam yang melingkar di tangannya. Ia terus
mengumpat dalam hati ketika kembarannya tak juga datang untuk menjemput. Tumben sekali
Zero telat menjemput biasanya laki-laki itu sudah ada di depan gerbang sebelum gadis itu
keluar dari area sekolah.

77

“Zar?” merasa dirinya dipanggil dengan segera didongakkan kepalanya untuk melihat
seseorang di depannya.

“Eh.. elo?” gugup Zarina ketika tahu Leo lah orang itu.
“Nunggu siapa? Zero?” tanya Leo sembari mematikan mesin motornya. Zarina pun
hanya mengangguk kikuk. “Gue temenin ya, lo pasti nggak mau kalo gue anter,” tambahnya
yang sudah turun dari motornya.
“Sorry soal Zero waktu itu,” lirih Zarina.
“Nggak papa gue ngerti. Btw, lo belom tahu kalo gue temen lamanya Zero.. err
maksud gue mantan temen kalik ya?” Leo melirik gadis di sampingnya.
“Gue nggak pernah tahu kalo lo temennya Zero di Bandung—”
“Dan gue nggak pernah tahu lo adeknya Zero,” potong Leo cepat.

Zarina membuang mukanya, ia tersenyum kecut. Sesempit inikah dunia?
“Lo beneran adeknya Zero? Kandung?” Leo memiringkan kepalanya agar dapat
melihat wajah cantik itu. Zarina pun mengangguk pasti sebagai jawaban. “Ck, nggak mirip,”
gumam cowok itu akhirnya.
“Hah? Nggak mirip lo bilang? Gue sama Zero itu kembar asal lo tahu!” ups, Zarina
segera tersadar dengan apa yang baru saja diucapkannya di depan Leo. Ia pun segera
menutup mulut dengan telapak tangannya erat-erat.
“Hah?! Kembar?! Ck, bercanda lo receh banget.” Leo mendengus dengan senyum
tipisnya.

Zarina menghela napas saat itu juga. Entah kenapa ia hanya tak ingin banyak orang
tahu siapa sebenarnya Zero termasuk pada Leo.

“Jadi lo sama Zero sahabatan?” tanya Zarina mengalihkan pembicaraan.
Leo memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Zero udah cerita ke elo?”
liriknya.
“Tentang Nadin?” tanya Zarina hati-hati.
“Berarti udah?” Leo menghela napas kasar. “Seandainya Zero mau denger penjelasan
gue,” gumamnya.

78

Zarina menaikkan satu alisnya tak mengerti. “Apa Zero suka sama Nadin?”
“Lo percaya cinta pertama?” Leo malah balik bertanya.
“Gue nggak tahu apa itu cinta,” jawab Zarina dengan senyum kecutnya.
“Berarti lo harus tanya sama kembaran lo!” Leo melirik gadis di sampingnya yang
sudah mengeluarkan ekspresi kaget luar biasa, ia tersenyum tipis.
“Lo—” baru saja Zarina hendak mengeluarkan sebuah pertanyaan tiba-tiba berhenti
sebuah motor di depan mereka.
“Naik!” perintah sang pengendara motor itu dengan wajah yang tertutup helm full
face.
Zarina tahu siapa orang itu, siapa lagi kalau bukan Zero. “Le, gue—”
“Naik gue bilang!” perintahnya lagi.
“Zero bentar!” gertak Zarina menatap kembarannya.
“Naik gue bilang! Cepet!” Zero sudah mencekal lengan gadis itu dan mau tak mau
Zarina menurut.
“Leo, makasih kemaren lo udah nolongin gue pas kena bola,” ucap Zarina sebelum ia
naik ke jok motor kembarannya.

○○○
Malam ini Zarina sengaja berdiam diri di dalam kamar, didudukkan tubuhnya di atas
kasur sembari terus berpikir.
Tanya langsung sama Zero? Itu artinya Nadin memang cinta pertamanya Zero?,
gumam gadis itu dalam hati.
“Ze?” panggil Zero yang sudah bersandar diambang pintu kamar kembarannya namun
tak mendapat respons apa pun. Ia pun melangkahkan kakinya mendekat. “Zarina!” teriaknya
sembari menyentil kening gadis itu.
“Astaga! Zero! Apa-apaan sih lo?!” geram Zarina sembari menggosok-gosok
keningnya yang terasa panas.

79

Zero memosisikan dirinya duduk di depan gadis itu, menyilangkan kakinya di atas
kasur. “Gue mau ngomong serius sama lo.”

“Ck, apaan sih?! Gue mau tidur.” Baru saja tangannya memegang selimut tiba-tiba
penggerakannya ditahan. Ditatapnya dengan tajam laki-laki di depannya. “Apa?”

“JAUHI LEO!” ucap Zero penuh penekanan.
“Za, lo—”
“Lo ngerti kan arti dua kata yang gue ucapin tadi?”
“Za—”
“Zarina, please dengerin gue sebagai abang lo kali ini aja! Gue nggak mau lo mati
ditangan Leo,” mohon Zero menatap lembut kembarannya.

Mendengar kalimat itu keluar dari mulut Zero membuat Zarina menjitak kepala laki-
laki itu geram. “Kalo ngomong disaring dulu kek!”

Zero cengengesan. “Iya.. ampun.. kalimat terakhir tadi gue bercanda!”
“Nyebelin lo!”
“Tapi Ze, gue serius sama kalimat pertama gue. Jauhi Leo!” Zero kembali menatap
kembarannya serius.
“Apa karena Nadin? Apa Nadin cinta pertama lo?”

Jleb! Zero terpaku mendengar pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Zarina.
Hatinya terasa tertohok tanpa diminta, hatinya seperti ditimbun ribuan bongkahan batu.

“Ze, lo—”
“Zero, dengerin gue! Lo nyadar nggak sih? Lo benci sama Leo, sahabat lo sendiri
karena lo pikir Leo yang nyelakain Nadin? Lo pikir Leo sengaja bunuh Nadin? Lo pikir dong
Zero, itu tuh kecelakaan! Itu tuh takdir Tuhan!”
“Takdir Tuhan? Asal lo tahu ya Ze, kalo aja malem itu yang nganterin Nadin gue pasti
sampai detik ini Nadin masih hidup! Pasti Nadin masih ada di sebelah gue bahkan dia
bakalan jadi teman yang baik buat elo Ze! Dan sekarang lo dengan entengnya bawa-bawa
takdir?!” amarah Zero sudah memuncak, rahangnya sudah mengeras.

80

Zarina mendengus mendengar penuturan kembarannya. “Belom tentu, belom tentu
kalo elo yang nganter Nadin malem itu Nadin selamat! Bisa jadi kalo elo yang nganter Nadin,
justru kalian berdua yang mati, Zero!” ucapnya menatap sinis kembarannya. “Lo percaya
takdir Tuhan kan Za? Jadi bukannya gue sok suci bawa-bawa takdir!”

Zero membisu saat itu juga, ia tak mengerti, ia tak paham tentang apa yang sedang
berkelana dalam pikirannya. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia hanya mencari-cari
kesalahan Leo tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi.

“Coba lo bayangin kalo elo yang nganter Nadin malem itu dan kalian meninggal. Lo
bisa bayangin gimana gilanya saat kembaran gue mati?! Gue hidup sedangkan lo mati! Lo
bisa pikir gimana kalo jadi gue?! Lo—” ucapan Zarina terpotong ketika laki-laki itu sudah
memeluknya erat. Tanpa menunggu aba-aba air matanya pun sukses menghantam benteng
pertahanannya.

“Sorry, gue emang egois.” Zero mengusap lembut puncak kepala gadis itu.

“Jangan pernah lo tinggalin gue,” lirih Zarina dengan isaknya. Zero hanya
mengangguk sebagai jawaban. “...dan berhenti nyalahin orang lain juga diri lo sendiri,” lanjut
gadis itu.

Gue nggak bisa janji Ze.

○○○

Memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu bikin kepala gue jadi tambah pusing. Ah..
kenapa juga semua itu harus terjadi sama gue dan Leo? Dan kenapa harus Nadin yang jadi
korban? Kenapa?!

“Zer, besok lusa tim kita bakalan tanding di SMA 790,” ucap Al sembari menepuk
bahu Zero hingga cowok itu tersadar dari lamunannya.

“Hh? Apa?”

“Ck, lo tadi denger gue ngomong nggak sih? Lusa kita tanding basket di SMA 790.
Kita harus berlatih semaksimal mungkin biar menang,” ucap Al bersemangat.

SMA 790? Kayaknya itu SMA.. iya bukan ya?

81

Dan jauh dari tempat Zero berada sekarang ada seorang gadis tengah tersedak bakso
yang baru saja dimasukkan ke dalam mulutnya. “SMA 731?!” sergapnya setelah mendengar
penuturan dari temannya.

“Iya, lo kenapa sih kagetnya gitu banget. Nih diminum dulu,” disodorkan gelas berisi
es jeruk pada Zarina.

“Seriusan lawannya SMA 731?!” tanya Zarina lagi setelah meneguk minumannya
hingga tandas.

“Iya Zar, gue kan udah bilang dari tadi. Lo kenapa sih?” Gina balik bertanya.
Zarina memegang kepalanya sembari bergumam, “Bahaya nih.. bahaya.”

Jika bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada mereka adalah kenyataan bahwa
tim basket sekolah Zero akan bertanding dengan tim basket kembarannya, itu artinya
sekolahan Zarina sebagai tuan rumah. Wow.

“Lo kenapa nggak cerita sama gue kalo sekolahan lo bakal tanding sama sekolahan
gue?!” sergap Zarina ketika ia dan kembarannya sampai rumah.

“Dan lo nggak pernah cerita sama gue kalo sekolahan lo jadi tuan rumah dalam
pertandingan ini?!” sergap Zero tak kalah geram.

Mereka saling bersihadap, menatap satu sama lain dengan sorotan mata yang tajam.
“Ya mana gue tahu!” teriak Zarina.

“Mana gue tahu juga kalo gitu!” Zero pun berlalu dari hadapan kembarannya,
melangkahkan kakinya hendak menuju kamar.

“Zero, tunggu! Gue belom selesai ngomong!” Zarina melangkahkan kakinya
mengejar Zero yang sudah menaiki tangga. “Zero!” dapat, ia mencekal lengan kembarannya.

“Apa sih?!” Zero membalikkan tubuhnya menatap Zarina yang berada satu tangga di
bawahnya.

“Kita harus buat strategi!”
Zero menaikkan satu alisnya tak mengerti. “Maksud lo?”
“Gue nggak mau ada yang tahu kalo elo abang gue! Gue nggak mau ada yang tahu
kalo kita kembar!” terang Zarina.

82

“Emang kenapa?”
“Ya.. gue mau kita nggak saling kenal aja dalam pertandingan besok,” gumam Zarina.
“Gue nggak setuju! Maksud lo apa sih Ze nggak mau nganggep saudara lo sendiri?
Terus kenapa kemaren lo nangis-nangis takut gue mati!” geram Zero menatap tajam
kembarannya.
“Ya.. bukan gitu maksud gue—”
“Oh.. gue tau! Lo nggak mau ada yang tahu kalo kita kembar karena lo mau nganggep
gue pacar bahkan tunangan lo di depan temen-temen lo? Iya? Ck, gampang itu.” Zero
tersenyum penuh kemenangan.
“Bukan gitu juga Zero.” Gadis itu berkacang pinggang. Susah sekali rasanya bekerja
sama dengan anak itu.
Zero merendahkan dirinya agar wajahnya sejajar dengan wajah kembarannya. “Terus
kenapa? Hm?”

Zarina menatap lekat-lekat wajah itu dan pandangannya berhenti pada mata coklat
kembarannya. “Lo bisa selesain masalah lo sama Leo?”

○○○

Akhirnya hari itu pun tiba, hari di mana diadakannya pertandingan basket antar
sekolah. Hari di mana SMA 790 menjadi tuan rumah dalam pertandingan itu. Siswa-siswi
SMA 790 pun sudah menyiapkan berbagai persiapan untuk menyambut lawan.

Zarina, gadis itu gusar sejak semalam. Ia terus memikirkan sesuatu yang akan terjadi
jika tim sekolahan Zero bertanding di sekolahnya apalagi ada Zero.

“Zar, bukannya tunangan lo itu SMA 731?” tanya Gina.
“Iya.” Zarina masih pada posisi awalnya, menopang dagu.
“Wah.. asyik dong ya diapelin sama tunangan,” celetuk Gina.
Zarina menghela napas malas. “Gin, lo bisa jaga rahasia nggak?”
“Rahasia apa Zar?” tanya Gina penasaran.
“Tentang hubungan gue sama Zero—”

83

“Oh.. lo backstreet ya sama dia?” tebakan Gina membuat Zarina kembali menghela
napas. Percuma saja teman semejanya itu belum tahu siapa sebenarnya Zero. “Tenang aja
Zar, gue nggak ember bocor kok,” lanjutnya.

Obrolan mereka terputus ketika mendengar teriakkan histeris para siswi yang tengah
berlarian sepanjang koridor.

“Ada apa ya Zar? Liat yok!” Gina bangkit dari duduknya, didongakkan kepalanya
untuk melihat keluar jendela. “Yok Zar!” tangannya sudah menarik lengan Zarina.

“Enggak ah!” tolak Zarina.
“Ayok ah elah lo!” Gina pun berhasil membuat gadis itu bangkit dari duduknya dan
menariknya mengikuti siswi lainnya yang berlarian.

Mereka pun sampai di kerumunan depan gerbang. Gina pun terus menerobos
kerumunan itu dengan tangan yang masih menarik Zarina hingga sampailah mereka di
deretan paling depan dan saat itulah Zarina tercengang melihat laki-laki tampan yang berdiri
lima meter darinya.

Zero?
“Tunangan lo tuh,” bisik Gina.

Zero menatap Zarina tak berkedip dan waktu yang bersamaan ia tersenyum manis
hingga membuat siswi-siswi di sana berteriak histeris. Detik itu juga Zarina membalikkan
badannya hendak berlalu dari kerumunan itu.

“Zarina!” namun pergerakannya terhenti ketika laki-laki itu memanggilnya. Ia
mengumpat dalam hati, bukankah ia sudah memperingatkan kembarannya kemarin?

Bisikan-bisikan berbagai macam pun masuk ke gendang telinganya hingga membuat
ia geram. Zarina pun kembali melangkahkan kakinya namun sial beribu-ribu sial tangannya
dicekal seseorang, ia tahu siapa orang itu siapa lagi kalau bukan yang memanggilnya.

“Zarina,” panggil Zero dan teriakkan histeris kembali terdengar.
“Apaan sih?!” baru saja gadis itu membalikkan badannya tiba-tiba bibir laki-laki itu
sudah menempel di keningnya.
“Huwa!!!”

84

“Anjir, menang banyak!”
“Gila!” dan masih banyak teriakkan-teriakkan histeris lainnya.
Zarina melongo tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan kembarannya,
dengan segera didorongnya tubuh laki-laki tampan itu, ditatapnya Zero dengan pandangan
membunuh dan detik itu juga ia berlalu dari kerumunan itu.
Maksud lo apa sih Zero?! Lo mau mempermalukan gue di sekolahan gue sendiri?
Mempermalukan gue di depan teman-teman gue? Atau gimana sih?!

Zarina terus menggerutu karena tindakan kembarannya yang kelewat batas. Tidak
seharusnya Zero bersikap demikian.

Kini gadis itu masih di dalam toilet. Ya.. setelah kejadian di depan gerbang tadi ia
berlari hingga berhenti di toilet karena jujur ia memang tak tahu harus ke mana. Akhirnya ia
menuju lapangan ketika mendapat pesan dari Gina jika pertandingan akan segera dimulai.

“Lo dari mana sih?” tanya Gina ketika mereka sudah duduk di kursi penonton.
“Toilet,” jawab Zarina singkat, ia meneguk minuman yang tadi sempat dibelinya di
kantin. Berlarian membuatnya haus.
“Cie.. yang tadi di kiss sama tunangan. So sweet banget sih tunangan lo Zar,” goda
Gina sembari menyenggol lengan temannya hingga minuman yang tengah diminum Zarina
menodai seragamnya.
“Ah.. Gina! Ck, tumpahkan jadinya?!” teriaknya kesal sedangkan temannya itu malah
cengengesan. “Kotor nih baju gue! Bawa tisu nggak?”
“Nih.” Tiba-tiba ada seseorang mengulurkan tangannya memberikan tisu padanya,
didongakkan kepalanya menatap orang itu.
“Egh, Leo? Makasih,” ucap Zarina ketika tahu siapa orang itu.

Setelah ia menerima tisu yang diberikan Leo, cowok itu berlalu begitu saja dari
hadapannya. Pandangannya terus mengikuti langkah Leo hingga berada di lapangan namun ia
tercekat ketika menangkap sosok Zero tengah menatapnya tajam.

Mati gue!

85

“Zar, hati-hati.. tunangan lo ngeliatinnya nggak sehat,” bisik Gina hingga membuat
Zarina memalingkan pandangannya dari lapangan.

Pertandingan pun berjalan sangat lancar bahkan teriakkan-teriakkan histeris dari para
siswi selaku tuan rumah terdengar di setiap sudut tapi bukan tim Leo yang mereka beri
semangat justru tim lawan yang mereka semangati, tim Zero. Ternyata Leo juga pandai
dalam bermain basket bahkan ia dipilih sebagai leader.

“Zarina?”
Ketika terdengar seseorang memanggil namanya, Zarina segera menolehkan kepala ke
kanan. “Ya? Eh.. Niki?” kagetnya setelah tahu siapa orang itu.
“Ternyata lo tahu nama gue padahal kita belom pernah kenalan,” ucap Niki.
“Lo juga tahu nama gue kan?” Zarina menaikkan satu alisnya.
Niki tersenyum tipis. “Anak SMA 731 yang paling ganteng itu siapa lo?” tanyanya.
Zarina segera mengalihkan pandangan kembali menatap ke lapangan. “Yang mana
yang paling ganteng?” dilihatnya Zero yang tengah mendribel bola basket menuju ring lawan.
“Ck, yang tadi nyium lo di gerbang,” jawab Niki cepat. “Oh iya.. dia yang sama lo di
kafe waktu itu kan? Tunangan lo?” selidik Niki dan saat itu dipalingkan wajah Zarina.
Kemudian kembali ditatapnya Niki dengan senyum kikuknya.
Suasana pun kembali seperti semula tapi jujur Zarina masih mewanti-wanti dirinya
untuk berhati-hati ketika bersama Niki.
“Sorry Zar.” Zarina segera menolehkan kepalanya menatap Niki.

Apa katanya?
“Sorry buat sikap gue ke elo selama ini,” tambah Niki menatap Zarina.
“Gue udah lupa kok,” jawab Zarina kembali menatap ke lapangan.
Niki tersenyum tipis. “Kenapa mudah banget sih buat lo lupain kesalahan orang lain?”
Zarina kembali menatap Niki dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Kalo gue mau,
gue bisa kok laporin elo sama temen-temen lo.”

86

Niki membeku mendengar penuturan perempuan yang pernah dilukainya. “Mereka
bukan temen-temen gue,” bisiknya sembari menundukkan kepala.

“Udah gue tebak.”
Niki mendongakkan kepalanya kembali menatap Zarina. “Kenapa elo enggak
ngelaporin?”
“Em.. kenapa ya? Mungkin bener kata lo, gue mudah ngelupain kesalahan orang
lain.”

87

DELAPAN

Seandainya gue punya dua nyawa, gue bakalan kasih kesempatan itu buat dia tapi kalau pun
gue cuman punya satu nyawa, gue juga nggak akan ragu-ragu kasih satu nyawa berharga
gue buat dia. -Zarina.

Pertandingan sudah berlangsung hingga beberapa babak dan sampailah pada
waktu istirahat di mana SMA 790 tim Leo akan beradu final dengan SMA 731
tim Zero, hal itulah yang membuat keadaan semakin memanas.
“Ze?” Zero mendekat ke kursi kembarannya, matanya melirik tajam pada perempuan
yang duduk di samping Zarina. “Lo yang ngelabrak gue sama Zarina waktu itu kan?!”
tunjuknya pada Niki.
Niki pun segera bangkit dari duduknya. “Egh, sorry soal yang waktu itu, bukan
maksud gue buat—”
“Sebenernya lo punya urusan apa sih sama Zarina? Lo punya dendam atau gimana?!”
potong Zero cepat.
Zarina pun ikut berdiri ketika emosi kembarannya sudah tak bisa terkontrol. “Zero,
udah Za! Niki udah minta maaf, dia ngaku salah.” Ia menenangkan kembarannya dengan
menahan lengan laki-laki itu.
“Dia kan orang yang udah bikin lo babak belur waktu itu? Dia kan orang yang udah
bully lo?!” kini Zero beralih menatap Zarina dengan sorot mata tajam.
“Ya—ya.. bukan gitu Za—” belum sempat Zarina melanjutkan kalimatnya karena
memang ia gugup, tiba-tiba ada seseorang menarik tangan Niki hingga keduanya berlalu dari
hadapan mereka.
Zero menatap orang yang sudah menarik Niki kemudian disunggingkan senyum
sinisnya. “Leo, ajarin tunangan lo tentang tata krama!” teriak Zero namun tak mendapat
respons dari orang yang diteriakinya.

88

Zarina melirik tajam ke arah kembarannya. “Zero, lo kenapa sih cari gara-gara?! Gue
kan udah bilang sama lo—” belum sempat ia menyelesaikan perkataannya tiba-tiba saja Zero
sudah membekap mulutnya.

“Lo bawa minum nggak?” tanya Zero lirih, ia melirik botol minum yang dipegang
gadis itu. Kemudian pandangannya kembali pada wajah cantik di depan, didekatkan
wajahnya dengan wajah itu semakin dekat dan hap! Ia berhasil mengambil botol minum itu,
diteguknya isi dalam botol dan duduk kursi yang ditempati Niki tadi.

Zarina mendecap kesal. “Sialan!” ia pun ikut duduk pada tempatnya.

“Ze, pokoknya lo harus ngedukung gue,” tukas Zero setelah kembali meneguk
minumnya hingga tandas.

“Eh.. ya nggak bisalah! Gue kan ada dipihak lawan lo.” Zarina menatap wajah
kembarannya yang basah oleh keringat.

“Tapi kan elo saudara gue!”

“Za, itu beda aturanlah! Kalo gue dukung elo itu sama aja gue penghianat, jadi gue
tetap ada di barisan pendukung SMA 790!” jelas Zarina bangga.

“Berarti lo penghianat! Nggak mau tahu pokoknya elo harus dukung gue dan kalo
sampe gue yang menang, lo harus turutin kemauan gue!” setelah mengucapkan demikian
Zero langsung berlari kembali menuju lapangan.

Zarina pun menggerutu tak jelas berharap orang yang tadi diajaknya bicara tak akan
hidup lama.

“Tunangan lo kece banget sih, ada keringet yang lumer gitu,” bisik Gina.

“Namanya Zero! Berhenti sebut-sebut dia tunangan bisa nggak sih!” gerutu Zarina
dan bangkit dari duduknya, berlalu meninggalkan temannya itu.

“Eh.. mau ke mana Zar?” teriak Gina.

“Beli minum,” jawab Zarina tak kalah kencang.

Satu hari itu pun akhirnya berakhir juga. Entah mengapa ada perasaan lega dalam diri
gadis cantik bernama Zarina itu karena untungnya tak ada insiden yang lebih buruk dari pagi
tadi sebelum pertandingan dimulai. Namun rasa lega itu tergantikan begitu saja ketika ia
mendapatkan sebuah kenyataan yang tak mengenakkan.

89

“Pertandingannya masih dilanjut satu babak?!” sergap gadis itu ketika ia mendapat
satu info dari teman semejanya. Gina pun mengangguk sebagai jawaban. “Kok bisa gitu?!”
sergap Zarina lagi.

“Soalnya tadi kan timnya Leo sama Zero seri dan berhubung waktunya udah nggak
cukup jadi ya.. dilanjut satu hari lagi besok,” jelas Gina sembari melepas kaca matanya. “Kok
burem ya?” gumamnya sembari menerawang kacamatanya.

“Haduh.. kenapa harus ada kayak gitu segala sih! Gue pikir cukup hari ini aja!”
gumam Zarina sembari mengacak-acak rambutnya.

Gina yang sedang sibuk mengelap kacamatanya melirik Zarina. “Lo kenapa sih Zar?
Kok kayaknya lo nggak bahagia gitu, ada masalah?”

Zarina menatap temannya itu dengan wajah memelas. “Gin, lo mau tahu sebuah
rahasia nggak?” bisiknya.

“Rahasia? Eh.. rahasia kok disebar-sebar sih,” celetuk Gina sembari memakai
kacamatanya kembali seperti semula.

Zarina menghela napas malas. “Mau nggak nih?”
“Em.. apaan deh emangnya?”
Lagi-lagi Zarina menghela napas, ditempelkannya pipi kiri di meja. “Gue udah nggak
mood.”
“Ish, kok nyebelin! Apaan? Kepo tahu!” Gina menatap Zarina dengan kesal.
“Jadi lo kepo? Serius? Masa?” Zarina menggoda temannya itu hingga membuatnya
kembali jengkel.
“Ck, apaan? Bikin anak orang kepo dosa tahu!”
Zarina cengengesan mendengar penuturan Gina, ia berdehem sebentar. “Jadi gini..
sebenarnya—”

Drrt.. drrt.. drrt..
Kalimatnya terhenti ketika ponsel yang diletakkan di meja bergetar. “Eh.. bentar ya,”
ucap Zarina menatap layar ponselnya.

90

“Siapa? Tunangan lo?” Gina melirik sekilas ponsel temannya yang duduk di
sebelahnya itu.

“Nggak ada namanya.”
“Angkat! Kalik aja penting.” Zarina pun menuruti perintah Gina. Diangkatnya telepon
tanpa nama itu.
“Ha—” sapaan teleponnya terpotong ketika seseorang di seberang sana sudah lebih
dulu berbicara.

Wajah Zarina seketika memucat, alisnya beberapa kali berkerut, bibirnya seketika
keluh.

“Zar? Kenapa?” Gina menggoyang-goyangkan lengan Zarina pelan. Ia merasa ada
yang tidak beres dengan temannya itu.

Dan di menit berikutnya setetes air mata menetes begitu saja dari pelupuk gadis yang
tengah menerima telepon itu. Diletakkannya ponsel yang sudah menampilkan panggilan
terputus.

“Zar, lo kenapa?!” Gina kembali mengguncang-guncangkan lengan juga bahu Zarina
bahkan suaranya sudah bergetar.

Pandangan Zarina yang semula kosong itu pun beralih menatap perempuan
berkacamata di depannya. “Ze—Zero... Zero, Gin,” lirihnya, bahkan amat lirih dan serak.

“Ze—Zero? Zero lo kenapa?”
○○○

Kedua perempuan berbalut seragam putih abu-abu itu pun terus berlari menyusuri
koridor rumah sakit setelah salah satu dari mereka menanyakan ruangan pada resepsionis.
Tak henti-hentinya Zarina terus berdoa semoga tak terjadi hal yang buruk pada kembarannya,
air matanya pun juga tak kunjung reda.

Setelah berlarian cukup jauh, mereka pun menemukan ruangan tersebut, Edelweis
Room, juga bersamaan dilihatnya Leo tengah duduk di kursi koridor rumah sakit dengan
kepala menunduk.

“Leo, Zero di mana?” lirih Zarina dengan suara seraknya.

91

Leo yang mendengar itu pun segera mendongakkan kepalanya. Dilihatnya di
depannya kini gadis cantik itu sudah kusut dan kacau. Ia pun berdiri tepat di depan Zarina.
“Masih ditangani dokter.” Mendengar penuturan itu pun Zarina kesulitan menelan salivanya,
tubuhnya kembali bergetar bahkan ia sulit bernapas.

“Zar...” Gina yang setia berada di samping temannya itu pun mengelus kedua lengan
Zarina lembut dan saat itu juga tubuh lemah itu pun lunglai. “Zar?! Zarina?!” Gina dan Leo
pun berusaha memapah Zarina dan mendudukkan tubuhnya di kursi.

“Zero.. Zero..” gumam Zarina dengan pandangan mata yang kosong.

“Yang sabar ya Zar, kita banyak berdoa aja,” ucap Gina menenangkan.

Hingga satu jam berselang pintu yang menangani Zero pun belum juga dibuka bahkan
sampai kedua orang tua si kembar datang dengan perasaan yang amat cemas dan khawatir.
Namun Zarina sama sekali tak dapat menjelaskan apa pun karena memang ia belum tahu
bagaimana kronologis kejadian yang di mana membuat kembarannya terbaring di rumah
sakit, maka Leo lah yang menjelaskan dan lagi-lagi pendengaran Zarina tak dapat mendengar
penuturan teman sekelasnya itu. Pandangannya kembali kosong dan pikirannya hanya
berkelana pada satu nama, Zero.

Kriet.. pintu itu pun akhirnya terbuka dan menampakkan beberapa dokter juga
perawat yang keluar dari ruangan tersebut. Semua yang sudah menunggu pun langsung
berhamburan meminta penjelasan.

“Gimana anak saya Dok? Bagaimana keadaannya?” tanya ayah yang berusaha
menutupi kecemasannya.

“Dok, Zero nggak papa kan? Dia baik-baik aja kan?!” namun bundanya tak dapat
menyembunyikan kecemasan juga kekhawatiran itu. Ibu mana yang tak sakit ketika
mengetahui anaknya kecelakaan semacam ini.

“Tenang.. Ibu Bapak semuanya, mari saya jelaskan di ruangan saya.” Sang dokter pun
mempersilahkan ayah dan bunda saudara kembar itu untuk menuju ruangan mereka.

Sebenarnya Zarina ingin sekali ikut untuk tahu keadaan Zero tapi ia tidak diizinkan
karena memang khusus untuk orang tuanya. Bundanya pun memberikan pengertian pada
putrinya itu. “Zarina jaga Kakak ya, nanti Bunda ceritain,” ucap sang bunda lembut sembari
menghapus air mata putrinya.

92

Zarina pun memeluk Gina erat-erat, rasanya separuh jantungnya berhenti berdetak,
rasanya separuh napasnya hilang begitu saja, dan rasanya seluruh hidupnya bergantung pada
keselamatan Zero.

Setelah menunggu waktu yang cukup lama, mereka dikagetkan ketika tim medis
memindahkan Zero dari ruangan tersebut. Zarina yang mengetahui itu pun kaget kepalang.
“Zero! Zero mau dibawa ke mana?! Ze—Zero!!!”

“Zarina sayang, tenang dulu tenang.” Bundanya datang langsung menghentikan
pergerakan Zarina dengan memeluknya. “Kakak harus menjalani operasi,” tambah bundanya
lirih.

Isak tangis Zarina pun kembali memuncak, dipeluknya erat-erat sang bunda. “Zero..
hiks.. Ze—ro...”

Gina dan Leo yang berada di sana pun tanpa sadar menitikkan air mata. Mereka tak
habis membayangkan jika berada diposisi Zero juga Zarina. Mempunyai kembaran yang
saling berbagi sakit dan luka.

○○○

Gadis cantik yang kini sudah lusuh itu pun masih menundukkan kepalanya yang
berada dipelukan sang bunda. Ayahnya pun setia duduk di sebelah istrinya. Operasi Zero
sudah berlangsung kira-kira lima jam yang lalu tapi untuk kebaikan kondisi sang pasien,
keluarga belum boleh menjenguk sampai Zero sudah dipindahkan di ruang inap. Gina dan
Leo pun sudah berpamitan ketika operasi Zero berhasil, mereka berjanji akan menjenguknya
kembali.

“Makan dulu yuk Ze, Zarina dari pulang sekolah tadi belum makan kan? Atau pulang
dulu? Mandi, ganti baju, sama sekalian bawa baju buat Kakak?” ucap bundanya lirih sembari
mengelus puncak kepala putrinya lembut.

Lagi-lagi Zarina menggeleng sebagai jawaban. Nafsunya untuk sekedar mencicipi
makan saja tak ada apalagi meninggalkan kembarannya terbaring sendirian di sini.

“Ayo dong Zarina.. nanti kalo Zarina sakit, Kakak pasti sedih.” Sang ayah pun ikut
membujuk putrinya itu. Namun Zarina pun kembali menggelengkan kepalanya.

Zarina kembali terisak ketika membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa
terjadi pada kembarannya. Kematian. Bagaimana tidak? Beberapa jam yang lalu bundanya

93

memberikan penjelasan mengenai keadaan Zero hingga laki-laki tampan yang notabenenya
adalah kembarannya itu mengalami pendarahan di bagian kepala akibat hantaman yang
cukup keras pada aspal juga lengan kanan Zero yang retak.

Zarina tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya jika hal itu terjadi pada
kembarannya. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan jika Zero benar-benar meninggalkan
dirinya sendirian.

“Lo bisa bayangin gimana gilanya gue kalo lo mati! Gue hidup sedangkan lo mati,
Zero!”

Ia kembali mengingat ucapannya pada Zero ketika mereka marah saat laki-laki itu
melarangnya dekat dengan Leo. Ia memang membenci Zero, ia benci pada kembarannya itu
tapi ia lebih benci ketika orang yang dibencinya pergi dari hidupnya. Bahkan ia akan
membenci dirinya sendiri jika hal itu terjadi.

Zero, gue sayang elo, gue cinta sama lo! Gue nggak mau lo pergi. Please Zero,
jangan pernah tinggalin gue. Lo pernah janji gitu kan sama gue? Jadi lo harus tepatin janji
itu! Sampai lo nggak nepatin janji lo buat selalu ada di samping gue, gue nggak bakal bisa
nyalahin siapa pun kecuali diri gue sendiri!

Saudara mana yang tidak terpuruk ketika mendapati saudaranya tergolek lemah di
atas ranjang dengan selang infus juga alat-alat medis lainnya yang menempel ditubuhnya.
Saudara mana yang tak sedih?! Bahkan mereka kembar yang di mana sama-sama mempunyai
felling yang kuat, sama-sama merasakan sakit yang sama.

“Zarina.. Ze.. Zarina?” gadis itu menggeliat ketika seseorang memanggil namanya
bersamaan dengan pipi yang ditepuk lembut beberapa kali.

Zarina membuka kedua matanya pelan, buram. “Egh?”
“Mandi yuk, terus sarapan abis itu kita jenguk Kakak,” ucap ibu muda itu dengan
senyumnya.

“Zero!” Zarina segera bangkit dari tidurnya, pandangannya menyapu sekeliling.

Di mana ini?, tanyanya dalam hati.
“Semalam Ze tidur dipelukan Bunda terus Bunda bawa pulang sama Ayah juga, Ze
berat kata Ayah,” guyon bundanya dengan senyum tipis.

94

“Terus.. terus Zero? Zero sendirian Bun di sana?!” teriak Zarina kalut, ia tak habis
pikir kenapa kedua orang tuanya membiarkan dirinya meninggalkan Zero.

“Ze, Kakak nggak bakal sendirian. Di sana kan ada tim dokter juga suster yang jagain
Kakak,” ucap bundanya menjelaskan. “Sekarang siap-siap ya, hari ini Kakak dipindah ke
kamar inap jadi Ze bisa jenguk Kakak.”

Zarina pun akhirnya menurut. Jujur saja jika perutnya berisik meminta diisi walaupun
ia tak nafsu untuk sekedar menyendokkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Siang harinya Zero sudah dipindahkan di kamar inap karena kondisinya bisa dibilang
cukup baik, namun Zero belum juga siuman.

“Ze, Bunda cari makan dulu ya. Ze mau dibeliin apa buat makan siang?” bundanya
mengelus lembut rambut panjang putrinya.

“Apa aja Bun.” Bundanya pun tersenyum mendengar jawaban putrinya, beliau
bersyukur karena kini keadaan Zarina sudah kembali membaik, tidak seburuk kemarin.

Setelah kedua orang tuanya keluar dari kamar Zero, gadis itu pun langsung duduk di
kursi samping ranjang laki-laki itu. Dielusnya tangan kiri Zero yang terpasang selang infus,
ditatapnya wajah itu dalam.

“Za?” Zarina menelan salivanya susah payah. “Za, bangun dong. Gue kangen elo
jahili, gue kangen lo bilang bego ke gue, gue kangen lo bersikap nyebelin ke gue. Jadi please
bangun,” gumamnya bersamaan dengan setetes demi tetes bulir bening itu membasahi
pipinya.

“Za, lo percaya nggak sih kalo sebelum lo kayak gini gue sempet mikir pengen lo
mati aja soalnya lo nyebelin, masa nyuruh gue dukung tim basket elo padahal jelas-jelas—”
ucapan gadis itu terputus ketika air matanya tak dapat ditahan untuk tidak keluar. Rasanya ia
bodoh sekali sudah berharap jika orang menyebalkan itu tak akan hidup lama, rasanya ia
ingin menarik ucapannya.

“Gue minta maaf Zero, gue nggak benar-benar berharap lo pergi, gue nggak beneran
benci sama lo. Lo napas gue, lo detak jantung gue, lo hidup gue, Zero.” Zarina kembali
terisak, ditundukkan kepalanya sambil terus bergumam tak jelas.

○○○

95

Hari demi hari dijalani Zarina sendirian tanpa kehadiran laki-laki tampan
menyebalkan kembarannya itu. Sudah tiga hari Zero terbaring lemah di atas ranjang dengan
mata tertutupnya, kondisinya memang menunjukkan peningkatan namun belum ada tanda-
tanda jika ia akan segera siuman. Dan sudah tiga hari Zarina setia menemani kembarannya di
sana sampai ia merengek pada bundanya untuk tak berangkat sekolah, juga beberapa kali
temannya, Gina maupun Leo datang menjenguk dan juga teman sekelasnya Zero.

“Ze, Bunda pulang ke rumah dulu ya mau beberes rumah sama sekalian ambil
keperluan lainnya. Ze di sini sendiri nggak papa kan?” ucap bundanya ketika pagi di hari
keempat mereka menemani Zero.

“Iya.. nggak papa Bun,” jawab Zarina sembari menatap bundanya lembut.

Ceklek!

Keduanya menoleh ke arah pintu ketika suara pintu terbuka, muncullah Leo juga
diikuti dengan Niki. “Permisi Tante,” sapa Leo.

“Eh.. Nak Leo? Ayo masuk Nak,” sapa bunda ramah. Mereka pun menyalami bunda
bergantian. “Kebetulan ada Nak Leo sama temannya, tolong temani Zarina ya.. Tante mau
pulang sebentar,” ucap bunda.

“Iya Tante, dengan senang hati,” jawab Leo ramah.

Akhirnya sang bunda berpamitan dan tinggallah tiga orang itu berada di kamar inap
Zero untuk menemaninya.

“Duduk Nik,” ucap Zarina ramah sembari mempersilahkan Niki untuk duduk di sofa.
Niki pun mengangguk dan duduk bersebelahan dengan kembaran Zero itu.

“Gimana keadaan Zero?” Leo berdiri membelakangi mereka, menghadap ranjang
Zero.

“Kondisinya udah membaik dan semakin baik tapi belom ada tanda-tanda kapan Zero
siuman,” jawab Zarina menundukkan kepala.

Niki melirik gadis di sampingnya pilu, kemudian dielusnya punggung tangan gadis
itu. “Sabar ya Zar, pasti Zero sembuh,” ucapnya lembut. Zarina segera menoleh menatap Niki
dengan senyum.

96

Dua jam kemudian bertepatan dengan kedatangan bunda si kembar, Leo dan Niki
berpamitan pulang. Zarina pun mengantar keduanya menuju halaman depan.

“Oh ya, gue tebus obat lo bentar ya Nik. Zar, temenin Niki bentar,” pamit Leo ketika
ketiganya berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Niki pun mengangguk sebagai jawaban.

Zarina menatap kepergian Leo dengan tanda tanya dan melirik perempuan di
sampingnya. “Tebus obat? Obat lo? Lo sakit?” tanyanya.

“Menurut lo selama ini yang lo liat siapa gue itu.. Niki yang sehat?” Niki malah balik
bertanya.

Zarina semakin mengerutkan dahinya dalam, tak mengerti.
“Gue kayak orang gila, ya kan?” tambah Niki.

Keduanya pun duduk di kursi taman rumah sakit. Entah kenapa Niki mengajak Zarina
ke sana. “Gue punya gangguan psikis Zar.” Niki memulai pembicaraannya.

Zarina memiringkan kepalanya menatap Niki dalam.
“Gue trauma sendirian tapi gue terjebak sama hidup gue yang kelam dan gelap,
sendirian.” Niki menatap lurus pandangannya. “Lo ngerti?” ditengokkan kepalanya menatap
perempuan di sampingnya. Zarina menggeleng sebagai jawaban.
Niki kembali menatap ke depan. “Dulu, waktu gue masih kecil, waktu gue masih
menemukan sinar cahaya yang terang dari kebahagiaan, dan waktu kedua orang tua juga
kembaran gue masih hidup, gue kayak anak-anak lainnya yang kenal dunia luar.” Ucapan
Niki membuat napas Zarina berhenti beberapa detik. “Dan gue nggak ngerti kenapa Tuhan
ambil mereka dari gue. Tuhan ngerebut mereka dari pelukan gue,” tambah Niki.
“Nik—” Zarina ingin sekali memeluk perempuan di sampingnya tapi ia takut, ia takut
melukainya. Karena kadang pelukan itu bisa melukai.
Niki menatap Zarina dengan wajah pucatnya, tak ada air mata di sana. “Mereka pergi
saat malam juga hujan lebat, gue nggak tahu apa penyebabnya tapi yang gue inget mobil itu
oleng, tak terkendali dan tiba-tiba gue bangun, gue ngeliat darah di mana-mana. Gue liat
kembaran gue nggak sadar dipelukan gue. Gue nggak tahu apa yang terjadi Zar, semuanya
terlalu cepat menghantam.”

97

Buliran bening di pelupuk mata Zarina sudah tak bisa ia tahan dan dengan lancangnya
menetes. “Nik, cukup,” suaranya bergetar amat lirih.

Niki tersenyum tulus. “Lo nggak usah takut Zar, Zero pasti baik-baik aja. Lo harus
yakin!” detik itu juga Zarina memeluk Niki amat erat. Niki pun membalasnya dengan lembut.

“Lo yang harus kuat Nik! Lo harus kuat!” ucap Zarina bergetar.
Gue akan selalu kuat, batin Niki menatap langit biru cerah itu.

98

SEMBILAN

Kali ini gue bisa pastiin kalo elo bakal tenang dialam sana Nad. -Zero.

Setiap makhluk pasti akan mendapatkan giliran untuk kembali ke rumah asalnya,
kembali ke rumah Tuhan dan kapan itu waktunya hanya Sang Penciptalah yang
tahu.
Kematian memang selalu menyiksa batin yang ditinggalkan, meninggalkan bekas luka
yang sulit dihapuskan. Namun dengan kematian itulah cara Tuhan untuk menguatkan hati,
mempercayai bahwa kuasa-Nya memang benar ada. Karena dengan kematian itulah kita tahu
tentang menghargai hidup yang singkat ini dan dengan kematian kita tahu bagaimana cara
Tuhan menyayangi umatnya.
“Ze.. Ze.. Ze..” Zarina menggeliat ketika mendengar suara itu, suara lirih dan lemah.
“Zeee...” ia pun akhirnya membuka kedua matanya, diliriknya jam yang menunjukkan pukul
dua dini hari. “Ze..” kemudian pandangannya beralih menatap ranjang tempat tidur Zero.
“Zero?” lirihnya, ia pun segera mendekat ke ranjang itu. “Zero? Zero lo udah sadar?!”
tanyanya antusias ketika kembarannya membuka kedua matanya. “Bu—Bunda!” teriaknya
berusaha membangunkan tidur sang bunda namun tangannya dipegang lembut oleh tangan
Zero yang terpasang infus.
“Ze..” bisik Zero hampir tak terdengar.
“Iya Zero, ini gue. Kenapa? Lo kenapa? Ada yang sakit?” Zarina mendekatkan
wajahnya dengan wajah kembarannya, senyumnya tak kunjung pudar dari bibirnya.
“Ze..”
Pip.. pip.. pip..
Zarina tersentak kaget ketika mesin yang menyambungkan selang-selang ke tubuh
Zero berbunyi nyaring dan dengan waktu yang bersamaan Zero kesulitan bernapas dan
kembali menutup matanya. “Za! Za bangun Za! Zero! Zero bangun gue bilang!”

99

“Zarina? Kenapa Nak? Kenapa?” bunda dan ayahnya yang sedang terlelap pun
seketika terbangun ketika mendengar teriakkan putrinya.

Pip.. pip.. pip..
“Kenapa Kakak?!” sergap ayahnya ketika melihat mesin itu terus mengeluarkan
suara. Beliau pun langsung memencet tombol panggilan darurat untuk memanggil tim medis.

Selang beberapa menit pun tim medis segera datang ke ruangan tersebut. Zarina yang
terus berontak pun akhirnya dapat dipeluk bundanya dan mereka pun terpaksa harus keluar
ruangan tersebut.

Zarina terus menyumpah serapahi dirinya, ia amat merasa bersalah. Kenapa ia tak
langsung membangunkan orang tuanya? Kenapa ia tak langsung memanggil dokter? Kenapa?
Kenapa?!

“Tadi Zero udah sadar Bun.. hiks.. hiks..” ucap Zarina kesekian kalinya.
“Iya.. nggak papa Nak.. nggak papa. Pasti Kakak baik-baik aja, nggak papa.” Sang
bunda tak henti-hentinya berkata demikian ketika putrinya terus menyalahkan dirinya sendiri.
Dielusnya puncak kepala Zarina lembut.
“Maafin Ze, maafin Ze,” gumam Zarina lagi.
“Nggak papa sayang, nggak papa.” Sang bunda pun semakin mengeratkan pelukannya
dengan sang putri.

Satu jam pun berlalu, tim medis keluar dari ruangan tersebut. Ketiga orang yang
sedari tadi menunggu pun langsung berhamburan ke arahnya. “Gimana Zero Dok?” tanya
ayah.

“Syukurlah Zero tidak apa-apa, dia hanya syok ketika sudah siuman tadi.” Jawaban
dokter membuat ketiganya menghela napas lega.

“Zero udah sadar berarti Dok?” tanya Zarina tak sabaran.
Sang dokter pun mengangguk sembari tersenyum. “Iya, silakan jika ingin menemui
tapi jangan tanyakan hal-hal berat dulu,” ucap beliau.
“Zero? Zero!” Zarina pun segera berhambur ke pelukan Zero dengan hati yang
berbunga-bunga. “Zero, lo baik-baik aja kan? Iya kan?”

100


Click to View FlipBook Version