“Alhamdulillah Kakak udah siuman,” ucap bunda tersenyum.
“A—aus,” ucap Zero terbata-bata.
“Ah.. iya minum Bun!” ucap Zarina, bundanya pun segera memberikan segelas air
dengan sedotan. “Pelan-pelan ya Za.” Dengan amat telaten Zarina memberikan minum
tersebut.
Ayah dan bundanya pun tersenyum, mereka saling merangkul melihat pemandangan
indah di depannya.
○○○
“Tunangan lo udah siuman?” tanya Gina ketika baru saja Zarina menceritakan rasa
bahagianya.
“Iyap! Padahal gue pengen nggak berangkat hari ini tapi nggak diizini sama Bunda,”
jawab Zarina dengan akhir yang tak bersemangat.
“Ye.. bolos mulu kesenengan lo!” Gina menyenggol lengan temannya itu. “Eh iya..
btw itu bundanya siapa? Bunda lo apa bunda Zero sih? Gue tuh bingung mikirin dari
kemaren,” celetuknya.
Zarina cengengesan ketika mengingat teman semejanya itu belum tahu siapa Zero.
“Bunda gue sama Zerolah, gimana sih lo!” ia menjitak kepala Gina gemas.
“Ish! Sakit Zar. Elo mah mentang-mentang tunangan sombong nganggep emaknya
Zero emak lo juga!”
“Gin, Zero itu bukan tunangan gue,” celetuk Zarina.
“Terus?”
“Coba tebak!”
Gina mendecap mendengar ucapan temannya itu. “Gue lagi males mikir.” Diletakkan
kepalanya di antara tangan yang melipat di atas meja.
“Dih, songong!”
“Kemaren ulangan b.indo Zar, gue remedial,” gumam Gina akhirnya.
101
“Lah.. Bahasa Indonesia aja masa remidi lo! Bahasa sehari-hari juga, orang pinter gitu
kalik ya?”
Sore sepulang sekolah adalah hal yang dinanti-nanti Zarina karena ia sangat tidak
sabar untuk bertemu dengan kembarannya. Sesampainya ia di rumah sakit pun rasa
bahagianya semakin memuncak kala sanak saudara datang menjenguk Zero, mulai dari oma
opa, adik juga kakak ayah dan bunda, serta sepupu juga keponakan keduanya. Hingga hari
semakin sore mereka pun satu persatu berpamitan pulang.
“Za, gue bawa sesuatu buat lo,” ucap Zarina ketika tinggal mereka berdua di ruangan
tersebut.
“Apaan?” jawab Zero yang sibuk mengutak-atik ponselnya.
“Ish! Mainan Hp mulu sih lo, dengerin gue kek!” gerutu gadis itu kesal.
Zero melirik kembarannya dengan senyum jahilnya. “Ze, ini Hp siapa?” tanyanya
sembari memainkan ponsel yang sedari tadi ditangannya berputar-putar.
“Heh? Hp lo kan?” Zarina melirik ponsel ditangan kembarannya. “Eh.. baru!”
diserobotnya ponsel itu dengan kilat. “Loh kok wallpaper-nya foto Leo sama Niki?” ia
melirik Zero tak paham.
“Kenapa Hp Leo bisa ada di sini?” tanya Zero menyelidik.
“Hp Leo? Iya ya, kenapa coba?” ditopangnya dagu dengan tangannya, berpikir.
Pletak!
“Aw! Lo ya lagi sakit masih aja jitak gue!” sungut Zarina sembari memegang
kepalanya yang menjadi korban jitakan kembarannya.
“Lo tuh bego kok dipelihara sih! Maksud gue tanya kenapa Hp Leo bisa di sini tuh
kapan dia kesini?!” geram Zero.
Seketika senyum pepsodent gadis itu pun merekah dan detik itu juga dipeluknya
tubuh laki-laki itu. “Zero.. gue kangen lo bilang gue bego dan gue seneng akhirnya gue masih
bisa denger lo bilang gitu ke gue,” ucapnya terus memeluk tubuh Zero di atas ranjang itu.
Zero tersenyum miring. “Jadi selama gue koma elo takut gue mati ya? Hm.. harusnya
kemaren pas gue ketemu malaikat pencabut nyawa gue minta mati aja saat itu juga.”
102
Mendengar penuturan Zero membuat Zarina melepaskan pelukannya, ditatapnya wajah sok
melas itu tajam.
“Kok nyebelin banget sih! Lo bener-bener milih mati? Heh?!” geram Zarina dengan
kedua tangan terlipat di depan dada.
Zero kembali tersenyum, diayunkan tangan yang terpasang infus itu hingga
menyentuh puncak kepala gadis itu. “Gue seneng ternyata elo khawatir sama gue, gue seneng
ternyata kembaran gue sayang sama gue.” Diusapnya lembut puncak kepala Zarina lembut.
Seketika Zarina pun luluh, dipegangnya tangan Zero yang menyentuh kepalanya
kemudian diturunkannya tangan itu. “Za, lo tahu kan gue benci sama lo nggak bener-bener
benci sama lo? Lo emang nyebelin tapi selamanya lo kembaran gue.”
“Gue tahu, gue tahu lo sayang dan cinta sama gue. Gue tahu Zarina dan gue pun juga
gitu sama lo,” ucap Zero lembut.
Detik itu juga dipeluknya Zero kembali. “Jangan pernah tinggalin gue, Zero,”
bisiknya. Zero pun mengangguk pelan sembari mengusap puncak kepala kembarannya.
Gue sayang elo, gue cinta sama elo, Zarina. Tapi bisakah lebih dari saudara
kembar?
○○○
Jam hampir menunjukkan pukul tujuh pagi, namun seseorang yang ditunggunya tak
juga datang. “Leo kok belom dateng ya?” gumam Zarina.
“Bolos lagi kalik,” celetuk Gina yang sedang asyik membaca novel yang baru
dipinjamnya dari perpustakaan.
Zarina kembali teringat bahwasanya Leo tak berangkat sekolah kemarin tanpa surat
ijin atau semacamnya, ia juga tak melihat Niki di area sekolah terutama kantin.
Nanti gue ke rumah Leo aja kali ya, balikin HP-nya?, batin Zarina menimang-
nimang.
Akhirnya ia pun bertekad untuk menghampiri Leo ke rumahnya, ia hanya berniat
untuk mengembalikan ponsel laki-laki itu saja tidak lebih.
Tok.. tok.. tok..
103
Diketuknya pintu rumah besar itu sekali lagi, sepertinya bel rumah tersebut tidak
berfungsi.
Ceklek!
Zarina selangkah mundur dengan harap-harap cemas. Dilihatnya laki-laki bertubuh
tinggi dengan wajah yang tak asing. Laki-laki itu menaikkan satu alisnya tegas.
“Egh, Leo?”
Eh.. bukan deh! Sorot matanya beda tapi mukanya mirip banget, batin Zarina
menelaah.
Dilihatnya penampilan laki-laki di depannya dengan sesama, kemeja putih dibalut jas
hitam elegan juga dasi hitam, celana kain juga sepatu kantor senada.
Oh.. astaga! Abangnya Leo?!”
“Cari siapa?” lamunan gadis itu buyar ketika laki-laki di depannya bersuara.
“Egh, maaf.. saya cari Leo,” jawab Zarina berusaha menetralkan rasa gugupnya.
“Kamu siapa? Ada perlu apa? Rasa-rasanya saya belum pernah melihatmu.” Laki-laki
itu meneliti wajah Zarina dengan sorot mata tajamnya.
Jujur, Zarina sangat takut dengan situasi ini. “Egh, maaf sebelumnya Kak..
perkenalkan nama saya Zarina, saya teman sekelasnya Leo dan tujuan saya kesini untuk
mengembalikan ponselnya yang tertinggal,” jelasnya tanpa jeda.
Laki-laki itu memicingkan matanya kemudian tersenyum tipis. “Masuk!” perintahnya
sembari menggeser tubuhnya untuk memberi jalan masuk gadis di depannya.
Dahi Zarina berkerut, ia kembali bingung. “Egh, Kak.. saya cuman mau ketemu Leo
untuk mengembalikan ponselnya, kalau Leo tidak ada di rumah saya ijin pamit saja,”
ucapnya santun sembari sedikit menundukkan kepalanya.
“Saya mengizinkan kamu masuk, masuklah dulu.”
Dengan susah payah ditelannya saliva gadis itu, ia menyesal tak mengizinkan Gina
untuk menemaninya tadi. Akhirnya ia pun melangkahkan kakinya memasuki rumah mewah
nan megah itu untuk kedua kalinya.
“Duduklah, mau minum apa?” tawar laki-laki berjas itu.
104
“Egh, nggak usah repot-repot Kak, saya hanya sebentar,” tolak Zarina cepat.
Mereka pun akhirnya duduk berseberangan pada sebuah sofa, sofa bermotif dengan
warna merah Maron elegan.
Laki-laki itu berdehem sembari membenarkan dasinya. “Jadi, kamu temannya Leo?
Sekelas?”
“Iya Kak.”
“Kenapa ponsel Leo bisa tertinggal di tempatmu?” tanya laki-laki itu lagi.
Zarina berdehem sebentar. “Lusa kemarin Leo sempat menjenguk saudara saya yang
sedang sakit dan ternyata ponselnya tertinggal,” tukasnya sopan.
Laki-laki yang Zarina yakin kakaknya Leo itu pun menghela napas gusar. “Sudah dua
hari Leo tak pulang ke rumah. Kamu tahu di mana dia?” ia menatap Zarina dengan sorot
matanya itu kembali.
“Egh, saya juga kurang tahu Kak. Dua hari ini Leo juga tidak berangkat sekolah,”
jawab Zarina gugup.
“Hh.. anak itu suka sekali bolos,” gumam laki-laki itu. “Oh.. bagaimana dengan Niki?
Kamu tahu?” tanyanya spontan.
“Niki? Egh, Niki yang saya tahu sama dengan Niki yang Kakak maksud bukan ya?”
gumam Zarina menerka-nerka.
“Niki itu satu-satunya teman perempuan Leo yang sering kesini makanya saya kaget
ketika tahu kamu temannya Leo. Mungkin kamu bisa ke rumah Niki,” usul laki-laki itu
dengan perasaan yang cukup tenang.
“Egh, kalau saya boleh tahu.. kenapa Kak?” tanya Zarina hati-hati.
Laki-laki itu membenarkan jasnya, siap bercerita. “Saya kenal baik dengan Niki juga
keluarganya dan keluarga saya diberikan amanat untuk menjaga Niki karena kondisinya yang
memprihatinkan ketika ia kehilangan keluarganya. Salah satunya Leo yang selalu menjaga
Niki,” jelasnya. “Tapi kamu tahu? Leo menjaga Niki adalah pilihan yang salah! Leo semakin
berandal begitu pun Niki, kerjaan mereka hanyalah berfoya-foya dan tidak memedulikan
pendidikannya, kerjaannya hanya membuat onar. Pusing saya,” lanjutnya sembari memegang
kepalanya.
105
Menjadi berandal? Berfoya-foya? Pembuat onar? Kenapa dia berpikir kalau itu
semua penyebabnya? Ternyata benar apa kata Leo bahwa abangnya pun tak pernah peduli
dengan adiknya.
“Maaf Kak sebelumnya saya menyela.. tapi setahu saya apa yang Kakak lihat dari Leo
bukanlah karena ia menjaga Niki dan Niki menjadi seperti itu bukanlah karena Leo, mereka
mempunyai masalah pribadi,” ucap Zarina memberanikan diri.
“Maksud kamu?”
“Egh, gini Kak.. awalnya saya memang mengenal Leo sebagai anak nakal dan
berandal sekolah tapi yang Leo lakukan beralasan, dia ingin bebas dari hidupnya, dia ingin
keluar dari jeruji besi yang maaf sebelumnya.. Kakak juga Ayah Kakak buat,” ucap Zarina
sedikit tak enak. “Begitu pun dengan Niki, dia menjadi seperti yang Kakak pikir bukan
karena Leo tapi karena gangguan psikisnya yang sedikit terganggu akibat kepergian
keluarganya. Jadi.. jadi kedua orang itu sebenarnya tidak saling tarik ulur untuk membuat
orang-orang di dekat mereka mengira bahwa alasan seperti Kakaklah yang membuat mereka
seperti itu. Bukan Kak.”
“Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?” tanya laki-laki itu dengan sorot mata
tajamnya lagi.
“Egh, saya melihat Leo tidak hanya dari sikap berandalnya Kak. Kakak kan abangnya
Leo pasti Kakak tahu luar dalamnya Leo tanpa bertanya pada saya,” jawab Zarina sembari
menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Egh, maaf Kak sebelumnya jika ucapan saya tadi
kurang berkenang. Kalau begitu saya ijin pamit pulang Kak.” Ia pun sudah berdiri sembari
begitu pun dengan laki-laki yang diajaknya berbincang tadi. “Permisi Kak,” ucapnya dan
berlalu dari rumah tersebut.
○○○
Malam ini Zarina diberikan amanat pada kedua orang tuanya untuk menjaga
abangnya di rumah sakit karena mereka akan menghadiri undangan kantor sang ayah.
Sebenarnya sang bunda enggan untuk ikut karena ingin menemani kedua anaknya tapi baik
Zero juga Zarina terus meyakinkan bundanya bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.
“Ya udah.. Bunda sama Ayah pergi tapi kalian hati-hati ya, kalau ada apa-apa
langsung telepon Bunda,” ucap bundanya kembali mewanti-wanti.
106
“Tenang aja Bun, kan ada Dokter.” Zarina tersenyum hingga gigi putihnya terlihat.
“Ya udah hati-hati ya kalian, besok pagi Bunda sama Ayah kesini soalnya nanti bisa
pulang sampai larut.. kan nggak mungkin Bunda ke rumah sakit,” ucap bundanya. Kedua
anak kembarnya pun mengangguk setuju.
Akhirnya saudara kembar itu pun berada di dalam satu ruangan tersebut dalam diam.
Kini Zarina tengah mengutak-atik ponselnya dengan beberapa buku terbuka di atas meja.
“Ze?” panggil Zero namun tak ada jawaban. “Ze!” panggilnya lagi namun kembali tak
ada jawaban.
Zero pun mulai geram, diambilnya buah apel di meja dekat ranjangnya kemudian
dilemparnya apel tersebut.
“Argh!” Zarina menatap kembarannya dengan dahi berkerut. “Apaan sih lo?! Gue lagi
sibuk ngerjain pe-er nih!” sergapnya menatap tajam Zero.
“Ngerjain pe-er apa mainan Hp heh?!”
“Ck, gue kan lagi nanya Gina gimana cara ngerjainnya,” jawab Zarina meletakkan
ponselnya, disandarkan tubuhnya di sofa. “Capek gue.”
“Lo tanya caranya apa jawabannya heh?!” ucap Zero dan hanya mendapat lirikkan
dari kembarannya.
Zarina pun beranjak dari sofa dan duduk di kursi samping ranjang Zero. “Za, lo belom
cerita sama gue kenapa lo bisa kayak gini,” ucapnya.
“Kayak gini gimana?” tanya Zero tak paham.
“Ck, kenapa lo bisa kecelakaan sampe kayak gini?” tanya Zarina serius.
Zero menghela napas, ia kembali mengingat kejadian sebelum ia mengalami
kecelakaan itu yaitu ketika ia dan tim basketnya baru saja menyelesaikan pertandingan basket
di sekolahan Zarina.
Pada saat itu Zero berada di parkiran untuk mengambil motornya namun ia teringat
pada Zarina, tidak mungkin bukan ia meninggalkan kembarannya. Akhirnya ia kembali
hendak mencari Zarina dan mengajaknya pulang namun niatnya terhenti ketika seseorang
mencegah jalannya.
107
“Zer, ijinin gue buat cerita sedikit!” ucap Leo kala itu.
Zero menaikkan satu alisnya dengan sorot mata tajam dan detik berikutnya ia berlalu
dari hadapan Leo.
“Lo nggak tahu apa-apa tentang kematian Nadin! Tapi dengan mudah lo memfitnah
gue sebagai pembunuhnya?!” teriakkan Leo membuat langkah laki-laki yang membisu itu
terhenti, Leo tersenyum tipis. “Gue sama sekali nggak punya niat ataupun rencana buat
bunuh Nadin! Nadin maksa gue berhenti in motor karena dia lupa mau ngasih handphone lo
yang dia bawa karena waktu itu lo nitip Hp lo ke Nadin kan?”
Leo terdiam beberapa saat, ia ingin tahu apa respons Zero saat mendengar sebagian
ceritanya namun Zero masih membisu membelakanginya. “Padahal gue udah bilang sama
Nadin biar nanti gue yang ngasih ke elo tapi dia pengen tanya sesuatu ke elo Zer.” Zero
menolehkan sedikit kepalanya ke samping. “Dia pengen tahu siapa cewek yang nge-chat
elo!” detik itu juga Zero membalikkan tubuhnya menatap Leo dengan jarak sepuluh meter
dan secara bersamaan sebuah ponsel meluncur dari tangan Leo dan berhenti tepat di depan
sepatu Zero.
Zero menatap ponsel di bawahnya dengan nanar. Ponsel lamanya ketika ia masih di
Bandung, layar ponselnya pun sudah retak.
“Awalnya Nadin keserempet karena dia turun dari motor gue, dia lari dan nyebrang
tapi gue emang nyesel karena gue nurutin kemauan Nadin buat berhenti in motor! Nadin
ditabrak truk dan gue liat secara langsung dengan mata gue sendiri!” Leo melangkah
perlahan. “Sialnya gue nggak bisa ngapa-ngapain Zer! Gue nggak bisa jadi penyelamat
Nadin! Dan lo tahu siapa cewek yang nge-chat elo?” ia menatap tajam wajah Zero yang
sudah pucat. “Namanya Zarina!”
Deg! Sesaat detak jantung laki-laki yang sedari tadi membisu itu berhenti berdetak,
tubuhnya seketika menegang.
Apa?! Siapa? Zarina? Bahkan dia saudara gue? Saudara kembar? Dan kenapa
Nadin harus bela-belain balik buat tanya itu ke gue? Kenapa Nad?!
“Saat itu gue mikir kalo Nadin ada rasa sama lo sampe dia rela kehilangan nyawanya
cuman buat tanya satu hal nggak berguna kayak gitu! Sekarang lo bisa mikir Zer? Elo masih
mau nyalahin gue karena maksa Nadin buat pulang bareng gue? Elo masih cap gue sebagai
108
pembunuh Nadin? Kalo elo yang nganter Nadin bisa jadi kalian berdua yang mati karena
Nadin tanya ini itu tentang siapa Zarina! Lo pikir dong Zer!” saat ini jaraknya dengan Zero
sudah dekat, ditatapnya dengan sinis sahabat lamanya.
“Mungkin kalo elo yang nganter Nadin malem itu bisa jadi kalian berdua yang
mati!”
Zero kembali teringat ucapan kembarannya kala itu tentang kemungkinan-
kemungkinan yang bisa terjadi. “Brengsek!” detik itu juga ia mendorong tubuh Leo dan
berlalu dengan motornya.
“Zero!” teriak Leo yang menyusul laki-laki dengan berjuta emosi itu.
Dengan liar Zero mengendarai motornya sehingga membuat pemakai jalan lainnya
ketakutan, Leo pun sulit untuk mengejarnya hingga tak disangka-sangka motor Zero
kehilangan keseimbangan ketika sebuah mobil dari berlawanan arah dan kecelakaan itu pun
terjadi. Ia tak ingat apa-apa.
Zarina tertegun mendengar cerita kembarannya tentang sebuah masa lalu yang belum
terselesaikan. Kenapa bisa sampai serumit ini? Tentu saja karena adanya korban atas semua
hal-hal kecil itu. “Gue minta maaf Za. Jujur, gue nggak tahu apa-apa! Tentang elo sama Leo
juga tentang Nadin,” ucapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Zero tersenyum akhirnya. “Enggak papa. Bener kata lo Ze kalo ini semua adalah
takdir Tuhan dan nggak seharusnya gue egois selama ini.”
“Elo cinta Nadin?” tanya Zarina hati-hati.
Zero kembali tersenyum, dihapusnya air mata yang menetes di pipi Zarina. “Cinta gue
cuman buat lo, Zarina.”
Zarina mendengar itu pun luluh, dengan segera dipeluknya Zero dengan penuh
kelembutan dan kehangatan. “Gue juga cinta sama lo, Zero.”
...tapi selamanya cinta elo ke gue ataupun sebaliknya hanya cinta sebagai saudara
kandung, enggak lebih, batin Zarina melanjutkan.
109
SEPULUH
Indahnya persahabatan itu dilihat bukan dari populer atau tidaknya kita, tapi persahabatan
itu dilihat dari cara kita menyayangi satu sama lain. -Niki.
“Zero, makasih lo sama Leo udah baik sama gue,” ucap gadis berwajah lembut
itu dengan dress putih yang melekat pada tubuhnya.
“Nad, maafin gue belum bisa jaga elo,” ucap Zero sembari menggenggam lembut
tangan gadis di depannya.
“Sstt.. elo nggak salah, elo udah dengan baik ngejaga dan ngelindungin gue Zer dan
gue minta buat jaga Zarina dengan lebih baik,” ucap gadis itu.
“Nad, lo tahu kan Zarina saudara gue? Dia adek gue! Dia.. dia—”
“Gue tahu.. gue tahu Zero. Jaga dia ya, jangan kecewain dia. Gue sayang elo Zero.”
Perlahan genggaman tangan Zero mengendur. Gadis itu tersenyum dan berlalu dari
hadapannya.
“Nad! Nadin! Jangan tinggalin gue! Nadin!”
Grek! Zero tersadar dari tidurnya, ia bermimpi. Nadin hadir di mimpinya? Dilihatnya
perempuan tengah tertidur di sampingnya membelakangi, kembarannya. Kemudian dielusnya
puncak kepala Zarina lembut hingga membuat gadis itu menggeliat.
Perlahan Zarina membuka matanya ketika ada tangan yang mengusap kepalanya
lembut. Ia baru ingat jika semalam tidur satu ranjang dengan kembarannya yang masih sakit.
Ia pun membalikkan badannya untuk menatap laki-laki tampan yang memeluknya
semalaman. “Zero, udah bangun?” tanyanya yang melihat mata sayu Zero.
Zero tersenyum, kembali dielusnya kepala Zarina dengan tangannya kanannya yang
masih diperban. “Gue sayang elo Zarina,” bisiknya.
110
Zarina pun ikut tersenyum, didekatkan dirinya semakin dekat dengan kepala
menunduk dan Zero pun kembali memeluk gadis di sampingnya.
Gue juga sayang elo Zero, selamanya.
○○○
Pagi ini Zarina kembali dibuat bingung dengan Leo yang tak juga berangkat sekolah,
bayangkan saja sudah hampir seminggu dan ia pun tak melihat kehadiran Niki di sekolah.
Sebenarnya ada apa dengan dua orang itu?
“Nanti kita ke rumahnya Niki yuk!” ajaknya pada Gina saat jam istirahat.
“Hah? Ngapain?” kaget Gina.
“Gue khawatir sama dia,” jawab Zarina.
Gina menghela napas, menatap temannya yang sudah hampir setengah tahun duduk
berdua itu dengan heran. “Zar, kok lo bisa sih khawatir sama orang kayak dia? Padahal jelas-
jelas dia udah ngelakuin nggak baik sama lo! Ck, hati lo terbuat dari apa sih?”
Zarina tersenyum, Gina memang lebih dulu mengenal Niki tapi ia lebih tahu siapa
Niki. “Lo nggak tahu ada sebuah rahasia kan?”
“Maksudnya?” Gina membenarkan kacamatanya.
Zarina tersenyum tipis. “Makanya lo harus ikut gue nanti!” tukasnya.
Akhirnya mereka pun pergi ke alamat yang sudah mereka dapatkan dari seorang guru.
Tujuan mereka memang hanya berniat menjenguk teman karena sudah seminggu tak ada
kabar dan untungnya Gina membawa motor jadi mereka tak perlu repot dengan kendaraan.
“Ini Zar?” tanya Gina ketika mereka berhenti di depan rumah bak istana itu, hampir
serupa dengan milik Leo.
Zarina mengangguk. “Iya, sama kok alamatnya.”
Keduanya pun turun dari motor dan melangkahkan kaki perlahan ke dalam
pekarangan luas rumah tersebut. “Permisi,” salam Zarina di depan gerbang tinggi tersebut.
“Nggak ada orang Zar, balik yuk.. perasaan gue nggak enak,” ucap Gina kalut.
111
“Bentar ih Gin!” Zarina segera mencegah temannya itu yang ingin kabur. “Permisi!”
ucapnya lagi lebih keras.
Gerbang itu pun terbuka perlahan dan muncullah perempuan paruh baya dengan
dasternya. “Iya.. cari siapa ya Non?” ucapnya ramah.
“Egh, maaf.. apa benar ini rumah Niki?” tanya Zarina gugup.
“Oh.. temannya Non Niki? Tapi maaf, Non Niki nggak ada di rumah,” jawab bibi
yang mereka yakini adalah asisten rumah tangga di rumah besar tersebut.
Dua gadis dengan seragam putih abu-abu itu pun saling pandang. “Kalau boleh tahu
di mana ya Bi?” tanya Zarina hati-hati.
○○○
“Rumah sakit jiwa?” lirih Gina tak percaya.
Keduanya baru saja memarkirkan motornya di salah satu rumah sakit jiwa dekat kota,
lumayan jauh. Mereka pun saling pandang dan kembali menatap gedung besar yang baru
pertama kalinya mereka injakkan.
“Yok!” Zarina menggandeng tangan temannya kuat-kuat, ia tahu Gina amat takut
begitu pun dengan dirinya.
Setelah bertanya pada resepsionis, keduanya pun kembali melangkahkan kaki
menyusuri koridor rumah sakit tersebut. Dilihatnya banyak para pasien yang berkeliaran
dengan pengawasan dari para suster namun tentu saja membuat mereka bergidik ngeri hingga
tak sengaja keduanya menabrak seseorang.
“Eh.. sorry,” ucap ketiganya hampir bersamaan.
“Leo?!” kembali dua gadis itu dikagetkan pada seseorang yang ditabraknya ternyata
itu Leo, teman sekelasnya.
“Kalian? Kalian ngapain di sini?!” tanya Leo cemas.
“Kita nyari Niki, bener Niki dirawat di sini?” tanya Zarina hati-hati.
Kini ketiganya duduk membisu pada kantin khusus pengunjung rumah sakit tersebut.
Namun entah sudah sejak kapan tak ada yang memulai bicara hingga akhirnya terdengar
deheman laki-laki teman sekelasnya itu. “Kalian tahu dari mana kalo Niki di sini?” tanyanya.
112
Zarina dan Gina pun saling lirik bingung, namun dengan cepat Zarina memosisikan
duduknya sedikit lebih nyaman. “Tadi kita ke rumah Niki dan kata asisten rumahnya, Niki
ada di sini,” jawabnya.
“Niki cerita sesuatu nggak pas gue sama dia dari jenguk Zero terakhir?” pertanyaan
Leo kembali mengingatkan Zarina saat Niki menceritakan masa kelamnya. Ia kembali
berpikir jika memang benar penyebab Niki masuk ke rumah sakit ini karena hal itu.
“Apa karena itu Le?” tanya Zarina hati-hati.
Didetik yang bersamaan Leo pun menghela napas pasrah. “Terakhir Niki masuk
rumah sakit ini pas dia selesai cerita sama gue tentang hidupnya yang dia rasa tak adil,
tentang Tuhan mengambil seluruh kebahagiaan yang dia miliki dan sejak itu dia semakin sulit
berinteraksi dengan dunia luar tapi pelan-pelan gue ngasih pengarahan dan pengertian ke
Niki, gue bilang sama dia kalo orang lain juga dirinya nggak perlu tahu masa lalunya. Tapi
ternyata dia malah ngulangin kesalahannya dan cerita sama orang lain lagi, gue tahu pasti dia
berusaha mati-matian buat tetap tegar tapi ternyata masih belom bisa Zar,” jelasnya.
Kedua gadis di depannya pun saling membeku tak percaya mendengar penuturan Leo.
“Sekarang Niki di mana?” tanya Zarina lirih.
“Dia baru aja disuntik obat penenang, tadi dia sempat ngamuk.” Leo menghela
napasnya kembali. “Gue nggak ngertilah harus gimana Zar,” gumamnya sembari mengusap
wajahnya kasar.
Ketiga orang tersebut pun diam dalam kesunyian, mereka kembali termenung dengan
sejuknya angin di sore hari. Terdengar beberapa kali helaan napas dari ketiga orang tersebut.
“Mas Leo!” teriakan nyaring itu membuat ketiganya menolehkan kepala mencari
sumber suara, dilihatnya seorang dengan pakaian suster berlari tergopoh-gopoh ke arah
mereka.
“Kenapa Sus?” tanya Leo yang sudah bangkit dari duduknya begitu pun dengan
Zarina dan Gina.
“Mbak Niki! Kumat lagi, dia nyari Mas Leo!” jelas seorang suster itu dan detik
berikutnya Leo sudah berlari menuju tempat tujuannya.
Zarina dan Gina pun saling pandang dan mereka pun mengikuti langkah panjang Leo.
113
Sesampainya di ruangan tersebut, mereka dikagetkan dengan teriakan histeris dari
mulut Niki. Dengan sigap Leo segera menghampiri dan memeluk gadis itu erat-erat. “Nik,
tenang Nik! Gue ada di sini, lo nggak perlu takut!” ucapnya berusaha menenangkan.
Niki terus berontak dan berteriak kadang ia juga memanggil orang tuanya juga nama
Leo. Namun tindakannya terhenti ketika matanya menatap Zarina. “Zarina?” panggilnya lirih.
Perlahan Zarina melangkahkan kakinya mendekat. Pelukan Leo dan Niki pun sedikit
merenggang. Gina yang melihatnya dari jauh pun harap-harap cemas semoga tak terjadi hal
buruk.
“Niki.. gue minta maaf,” ucap Zarina.
Detik itu juga tubuhnya dipeluk erat oleh Niki, terdengar pula isakkan tangisnya.
Dua hari sudah Zarina juga Gina mengunjungi Niki di tempat dan ruangan yang sama,
tempat di mana orang-orang yang mengalami gangguan mental maupun psikis dirawat di
sana. Lambat laun keadaan Niki pun mulai membaik, ia sudah kembali bisa merespons
orang-orang di sekitarnya. Begitu pun dengan Leo yang sudah mulai ke sekolah lagi karena ia
dipaksa oleh kembarannya Zero itu untuk tetap bersekolah.
“Zar.. Gin.. maafin gue selama ini ya, maafin sikap gue selama ini sama kalian,” ucap
Niki ketika tiga orang itu berada di taman rumah sakit tersebut.
“Nggak usah bahas yang lalu ya Nik.. gue ataupun Gina pengen ngelupain semua itu,”
ucap Zarina lirih.
Gina menggerakkan bibirnya sebentar sebelum berbicara. “Iya Nik.. kita kan bisa jadi
teman,” terangnya.
“Teman?” lirih Niki dengan pandangan kosong.
Zarina dan Gina pun saling pandang dengan cemas, mereka takut sesuatu akan terjadi
pada Niki.
“Gue salah ngomong kayaknya,” bisik Gina pada teman semejanya itu amat lirih.
Niki menatap kedua orang itu di depannya kemudian muncullah sebuah lekuk di
bibirnya. “Gue boleh jadi teman kalian?” tanyanya lirih.
114
Zarina dan Gina kembali saling menatap dan kembali menatap Niki sembari
mengangguk. “Boleh! Boleh banget!” ucap keduanya antusias dan detik berikutnya pun
mereka saling berpelukan.
○○○
“Tinggal gimana cara lo ngendaliin emosi dan ego. Biar saja apa kata orang lo itu
siapa dulu asal mereka tahu siapa elo sekarang, cuek aja.”
“Niki!” Niki tersentak kaget ketika seseorang mengagetkannya hingga ia tersadar dari
lamunan mautnya.
Niki tersenyum ketika ia melihat di depannya kini sudah berdiri teman bahkan sahabat
barunya, Zarina dan Gina. “Lo ngangetin gue aja sih!” gayanya sok merajuk.
“Ye.. lo lama-lama kayak Zarina, banyak ngelamun trus ngomel kalo dikagetin,”
celetuk Gina.
“Sialan lo!” Zarina segera menoyor kepala temannya itu. “Udah yok, kita ke kantin.
Laper gue,” ajak Zarina yang sudah menarik tangan dua orang di depannya itu dengan paksa.
Mereka pun berjalan beriringan menuju kantin sembari bercengkerama juga tertawa,
namun langkahnya terhenti ketika beberapa orang menghalangi jalannya. Zarina segera
memicingkan matanya ke arah Niki.
“Apa kabar Nik? Lama nggak ada kabar nggak tahunya lo gabung sama kurcaci ini,
iya? Hebat!” ucap sinis Arana.
Ya.. orang yang menghalangi jalan mereka adalah tiga teman Niki dulu, in the gang-
nya Niki CS dulu.
“Mumpung kalian masih dikasih waktu buat hidup lebih lama jadi mending pada tobat
deh,” celetuk Zarina dengan tatapan sinisnya pada ketiga orang di depannya.
“Wah nyolot nih anak!” geram Lita.
“Nyolot? Kalo gue nyolot, kalian apa? Kolot?” detik itu juga tubuh Zarina terdorong
beberapa langkah karena didorong oleh Arana. “Santai dong! Lo sekarang jadi leader?
Leader buangan kan? Nggak usah belagu deh,” bisik Zarina di akhir kata.
115
“Lo makin kurang ajar ya!” Arana melirik Niki yang sedari diam pada rangkulan
Gina. “Nik, lo sekarang nurut banget ya, ngebiarin jabatan lo sebagai leader diambil sama
dia!” tunjuknya tepat di depan wajah Zarina.
“Ei.. hati-hati tuh jari, mau jarinya dipatahin? Nggak cuman tunangan gue yang bisa
kayak gitu, gue juga bisa kok,” ucap Zarina sembari menepis jari Arana yang menunjuk
wajahnya. Ia pun membenarkan posisi berdirinya sebentar. “Gini ya, jabatan apa pun itu
nggak penting buat persahabatan. Kalo lo bangga dengan jabatan sebagai leader sekarang
berarti kalian—” ia menunjuk Lita juga Tia bergantian. “... udah dijadiin babu sama A-RA-
NA! Masih nggak sadar juga? Pikir dong makanya!” Zarina menunjuk pelipisnya dengan
telunjuk.
“Eh.. lo nggak ngerti apa-apa ya—”
“Nggak ngerti lo bilang? Gue nggak bego-bego banget kalik! Bahkan gue masih bisa
mikir buat dapetin teman bukan mau aja jadi babunya orang itu yang udah lama ngincer
jabatan leader. Ck, kasian.”
Dilihatnya Lita juga Tia berbisik-bisik, bahkan mereka lupa pernah membenci Niki
hanya karena mereka dianggap babu oleh Niki tapi sekarang mereka menyadari satu hal
bahwa Arana-lah yang tidak tulus menjadikan mereka sahabat.
“Udah ya.. ngomong sama lo nggak bakalan ada abisnya, rasanya gue pengen
muntahin semua isi perut gue di muka lo! Bye, jangan lupa tobat!” sebelum berlalu Zarina
sempat menepuk bahu Arana juga kedua cucurutnya.
Setelah mereka selesai dengan urusannya di perjalanan tadi, mereka pun langsung
menuju kantin untuk menyantap jajanan di sana. Namun sedari tadi wajah Niki terlihat sayu
dan pucat. “Lo nggak papa Nik?” tanya Zarina lembut sembari memegang punggung tangan
gadis itu.
Niki tak segera menjawab, kedua matanya bergantian menatap Zarina juga Gina.
“Kenapa gue baru sadar kalo ada orang sebaik dan setulus kalian di dunia ini,” lirihnya serak.
Zarina dan Gina segera tersenyum mendengarnya. “Ada banyak kok Nik, asal elo liat
dari hati,” ucap Gina, Zarina pun ikut mengangguk.
116
“Tadi gue baru ngerasain rasanya ditindas sama entah siapa dia yang berani-beraninya
ngomong belagu kayak tadi dan gue ngebayangin ketika gue ngelakuin itu ke kalian dulu.”
Pelupuk mata Niki sudah penuh dengan air mata yang akan tumpah.
“Lupain masa lalu Nik, elo ataupun orang lain nggak perlu tahu,” ucap Zarina
mengingat kalimat itu dari Leo.
○○○
Sore di hari ke-16 Zero dirawat di rumah sakit pun tiba, di mana hari ini ia sudah
dinyatakan pulang kembali ke rumah. Mendengar itu pun Zarina sangat senang, sepulang
sekolah tadi ia langsung meluncur untuk membantu saudara kembarnya itu pulang ke rumah
begitu pun dengan ayah bundanya.
“Gue seneng lo udah bisa pulang, gue seneng lo sembuh Za,” ucap Zarina ketika ia
singgah sebentar di kamar kembarannya.
“Gue juga seneng Ze masih bisa liat elo yang cantik,” ucap Zero sembari menyelipkan
anak rambut gadis di depannya ke belakang telinga.
Zarina memicingkan matanya. “Gombal anjir! Apaan sih lo!” ia mendorong sedikit
tubuh kembarannya yang mendekat.
“Sstt..” dengan segera diletakkan telunjuk Zero tepat di depan bibir gadis itu lembut,
kemudian ditatapnya wajah itu dalam. “Boleh ya sekali?” tanyanya. Perlahan diturunkannya
telunjuk itu, matanya kembali meneliti wajah kembarannya dan berhenti di bibir merah
Cherry dan detik itu juga cup, bibirnya menyentuh bibir merah Zarina sebentar.
Zarina yang tak percaya dengan tindakan kembarannya pun membulatkan matanya
tak percaya, beberapa kali dikedipkan kedua matanya itu. “Za—”
Zero tersenyum melihat respons kembarannya. “Balik kamar gih, nanti dicariin
Bunda,” potongnya lembut. Karena tak segera mendapat respons, ia pun menangkupkan
kedua pipi gadis di depannya hingga bibir itu monyong. “Mau lagi hem?” baru saja ia
mendekatkan wajahnya dengan wajah Zarina, dengan segera gadis itu mendorongnya kesal.
“Ck, mesum lo!” umpat Zarina dan berlalu keluar kamar kembarannya.
117
Gue nggak tahu Ze perasaan apa ini, gue mati-matian buat menolak rasa yang sudah
gue ciptain tapi semakin gue tolak semakin pula rasa ini tumbuh. Gue tahu ini salah, tapi
bolehkan selagi lo belum milik orang lain?
Di satu sisi, Zarina berusaha mengontrol detak jantung juga deru napasnya. Setelah
pergi dari kamar kembarannya, pikirannya tak henti-henti memikirkan sesuatu yang baru saja
terjadi. Perlahan disentuh bibirnya pelan, bayangan itu pun kembali melintas dan dengan
segera digeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. Kembali ia mendengar detak jantungnya
yang amat kencang. “Ah sial! Kenapa ini?!”
Entah sejak kapan rasa itu terus tumbuh, rasa yang lebih dari kata suka, rasa yang
lebih dari kata sayang, dan jika ada kata yang lebih dari kata cinta pun masih kurang. Namun,
ada yang salah dengan rasa itu karena rasa itu tumbuh dari kedua insan yang saling berbagi
rahim ketika di dalam perut bundanya. Mereka kembar, saudara kembar dan rasanya mereka
menyimpan semua rasa yang berbeda satu sama lain. Rasa ingin memiliki lebih dari saudara
kembar, lebih dari hanya setia berdiri di sampingnya tapi rasa ingin memiliki untuk dipeluk
untuk hidupnya kelak.. Tapi bisakah? Tidak, tidak akan pernah bisa!
○○○
Ketika dua insan itu tengah bersenda gurau di taman belakang rumah, tiba-tiba
mereka dikagetkan dengan kehadiran laki-laki bersetelan necis dengan balutan kemeja dan
jas kantornya. Keduanya pun menghentikan aktivitas mereka tapi mengabaikan orang
tersebut.
“Leo, gue perlu ngomong sama lo!” ucapan laki-laki itu membuat orang yang
diajaknya berbicara mendongak.
“Mau apa lo?!” Leo bangkit dari duduknya dan bersihadap dengan laki-laki yang
sudah hidup dengannya 17 tahun.
“Leo, ijinin gue ngobrol sama lo sebagai abang lo!” ucap laki-laki yang bernama Lean
itu, abang Leo.
Leo berdecap membuang muka. “Lo mau ngingetin gue lagi kalo lo abang yang baik
dan bertanggung jawab? Nggak guna asal lo tahu!” ia menunjuk wajah Lean menusuk.
118
Gadis yang sedari tadi bersama Leo pun angkat bicara, ia harus ikut andil dalam
permasalahan kakak beradik itu. “Leo, udah kenapa sih.. berhenti ya, lo harus dengerin apa
kata Bang Lean!”
“Nik, lo jangan bela dia deh! Lo lupa sama apa yang udah dia lakuin sama kita?
Memfitnah sesuatu yang harusnya nggak dia ucapin buat elo!” geram Leo menatap Niki
tajam.
“Gue minta maaf,” potong Lean cepat.
Leo dan Niki pun menatap Lean dan saling berpandangan. “Makan semua kata maaf
yang mau lo utarakan ke gue karena itu nggak ada gunanya! Ngerti lo?!” bentak Leo
membabi buta.
“Leo.. Leo berhenti gue bilang! Abang lo mau minta maaf, tolong biarin dia
ngomong!” teriak Niki tak kalah kencang.
“Persetan sama itu semua Nik! Gue udah kehabisan stok buat maafin orang bejat
kayak dia!” setelah mengucapkan itu, Leo berlalu dari tempatnya.
“Tapi lo nggak pernah tahu seberapa besarnya gue mati-matian buat beraniin diri
bilang gini ke elo!” teriakkan Lean membuat langkah Leo berhenti. “Gue minta maaf sama
kalian terutama sama elo Leo, gue emang bukan abang yang baik buat lo bahkan gue nggak
pantes jadi abang karena emang gue bejat! Gue nggak pernah tahu apa yang dirasa dan
diharapkan adeknya! Gue emang egois Le! Bahkan gue nggak pernah tahu apa-apa tentang
elo, justru orang lain lebih tahu tentang siapa elo! Gue emang nggak akan pernah pantas
untuk hidup Leo!” ucapan Lean semakin lama semakin pelan dan terdesak oleh napas yang
memburu. Tubuh laki-laki itu sudah lunglai ke atas rumput hijau, membiarkan celana
kantornya basah dan kotor.
“Bang, udah Bang cukup! Udah nggak papa.” Niki berusaha menahan tubuh laki-laki
itu agar tidak benar-benar terjatuh ke tanah.
“Maafin gue Niki, gue nggak pernah tahu apa yang terjadi tentang elo, yang gue tahu
cuman tindakan elo yang seakan-akan nggak peduli sama hidup lo. Gue minta maaf nggak
pernah tahu apa-apa tentang kalian,” ucap Lean menatap Niki sayu.
“Bang Lean nggak pernah salah, mungkin memang sebagian orang menyimpan
sakitnya sendiri dengan bertindak bodoh, tapi aku ataupun Leo sadar untuk saling sharing apa
119
pun masalah yang kita hadapi dan bukan malah merugikan banyak pihak,” ucap Niki
berusaha meyakinkan Lean juga dirinya sendiri.
“Cukup Niki!” bentak Leo keras. Ia melangkah menuju dua orang itu. “Berhenti buat
bilang apa yang seharusnya elo nggak bisa bilang! Gue nggak mau lo kenapa-napa lagi!”
Niki menengadahkan kepalanya menatap Leo yang berdiri di depannya. “Yuk, Bang
bangun!” ucapnya sembari membantu Lean berdiri.
“Leo, gue—”
“Nggak perlu! Gue tahu lo mau bilang apa, justru seharusnya gue yang bilang gitu ke
elo. Gue nggak pantes jadi adek lo Le, gue terlalu hancur sedangkan elo anak kebanggaan
bokap,” ucap Leo cepat.
“Lo juga bisa jadi kebanggaan bokap Le, gue bakal bantu elo tapi ijin in gue buat
mulai jadi abang yang bisa ngertiin adeknya. Ya?” Lean dan Leo pun saling menatap dan
detik itu juga keduanya saling merangkul dan berpelukan.
Cuman satu mimpi gue, bukan jadi anak kebanggaan bokap tapi jadi adik yang
bangga punya kakak kayak elo, Lean.
120
SEBELAS
Sayang gue ke dia itu hanya sebatas saudara, enggak lebih! Tapi kenapa dia berani
melakukan hal itu sama gue?! Dan membuat dilema dalam hati gue. -Zarina.
“Kurang lebih lima bulan lagi kalian akan melaksanakan Ujian Nasional,
walaupun rasanya masih lama tapi kalian sudah disibukkan dengan ujian
latihan seperti try out juga TPM. Jadi Ibu harap kalian harus giat belajar mulai sekarang,”
terang Bu Uni selaku wali kelas 12IPA1.
“Baik Bu!” seru semua murid di dalam kelas tersebut.
Kasak-kusuk pun mulai terdengar, beberapa mereka membicarakan tentang les,
pelajaran tambahan di luar jam sekolah begitu pun dengan gadis berkacamata tersebut. “Lo
mau les di mana Zar? Bareng gue aja yok, biar gue ada temennya,” ajak Gina.
“Gue nggak suka les Gin, belajar di rumah aja lebih enak,” jawab Zarina dengan
senyumnya merekah.
“Dih.. kalo lo les kan nilai matematika lo bisa ngalahin gue, percaya deh.”
“Jadi maksud lo pinter elo gitu sama gue? Enak aja lo! Gue juga bisa ngalahin elo
tanpa les!” sergap Zarina tak terima.
Gina cekikikan mendengar penuturan temannya itu. “Slow ngapa Neng, lagi ‘dapet’
ya lo! Jhaha.”
Zarina kembali berdecap mendengar ejekan orang yang duduk di sebelahnya itu. Ia
pun teringat pada seseorang yang bisa membantunya menyelesaikan masalah ini, saat itu juga
senyum liciknya tampak.
Zero!
“ZERO!” teriak Zarina setelah ia sudah berada di rumah.
121
Entah sudah berapa kali ia memanggil dan mengetuk pintu kamar kembarannya, Ia
bahkan masih menggunakan seragam sekolahnya.
Dok.. dok.. dok.. kembali ia mengedor pintu kamar itu keras-keras sambil terus
memanggil nama kembarannya.
Ceklek! “Apaan sih lo?!” sergap sang empunya kamar setelah berhasil membuka
pintu tersebut.
Zarina melangkahkan kakinya mundur dengan senyumnya yang tersungging di bibir.
“Lo lagi ngapain sih, lama banget.”
“Lagi ngapain lagi ngapain! Ya gue lagi ganti bajulah, lah elo ngapain belom ganti
baju udah rame cari ribut di sini?!” geram Zero lagi.
“Za, bantuin gue mau nggak?” Zarina mengeluarkan wajah innocent-nya.
Laki-laki dengan setelan kaus oblong dan celana pendek selutut itu pun menaikkan
satu alisnya menerka-nerka. “Bantuin apaan? Jangan aneh-aneh!” ucapnya yang sudah
memperingatkan.
“Lo mau nggak jadi gue les gue? Mau ya.. mau!” Zarina sudah menangkupkan kedua
tangannya di depan dada, memohon.
Zero melongo tak percaya dengan permintaan gadis di depannya dan detik itu juga
tawanya menyembur. “Lo bayar gue berapa jadi guru les hem?” tanyanya disela-sela tawa.
Bibir gadis itu sudah mengerucut. Rasanya bodoh sekali ia sudah memohon-mohon
hal yang malah membuatnya dipermalukan seperti ini. “Ck, ya udah kalo nggak mau!”
gerutunya yang sudah melangkahkan kaki menuju kamar sebelah. Namun langkahnya
terhenti ketika seseorang mencekal juga menarik tubuhnya hingga berbenturan dengan tubuh
tegap kembarannya.
Zarina membulatkan matanya ketika jarak mereka yang sangat dekat bahkan tak
berjarak. “Zero! Lo gila—”
“Iya, gue emang gila kalo elo ngambek terus! Lo imut! Sial!” umpatnya di akhir
sembari melepas cekalannya pada Zarina. “Kapan gue bisa jadi guru les lo?”
“Egh, lo mau beneran?” tanya Zarina antusias.
122
Zero mengangguk kecil. “Emang lo peringkat terakhir di kelas sampe nyuruh gue jadi
guru lo? Berarti lo mengakui kalo kembaran lo yang ganteng ini pinter ya?” ucapnya
melantur hingga membuat Zarina kembali berdecap.
“Sombong nggak perlu dipelihara! Ck, mau enggak malah?”
“Ya udah ayok sekarang!”
Mereka pun sudah siap di meja belajar kamar Zarina, beberapa buku pun sudah
berserakan di atas meja juga kasur. Awal yang dilakukan Zero adalah menjelaskan dan
berakhir memberikan beberapa soal untuk Zarina. Namun memang dasarnya otak gadis itu
tersumbat atau kenapa karena setiap penjelasan yang sudah dijelaskan oleh kembarannya itu
bak seperti angin lalu, sama sekali tidak ada yang mencantol.
“Gini.. gue ulangin lagi! Lo harus serius, ngerti?!” perintah Zero dan mendapat
anggukkan dari kembarannya.
Zero kembali menjelaskan dengan bahasa yang paling mudah untuk dicerna oleh
kembarannya itu tapi lagi dan lagi sulit untuk dipahami Zarina.
“Elo teranginnya pelan-pelan ngapa!” geram Zarina.
“Ini udah lebih dari kata pelan Ze! Harusnya ini teknik pengajaran buat anak TK, asal
lo tahu!” Zero pun ikut geram.
Pletak!
“Sialan lo!” umpat Zarina sembari menjitak kepala Zero gemas.
Waktu pun terus berjalan, dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan bulan ke bulan.
Hampir setiap hari saudara kembar itu belajar bersama dan saling bersenda gurau. Zarina pun
sudah banyak peningkatan setelah dibantu kembarannya dalam akademiknya dan kini sudah
bulan kedua mereka belajar bersama.
“Ze, lo udah selesai belom sampe nomor lima? Gue udah selesai sampe nomor 20
nih,” ucap Zero yang masih sibuk dengan buku di depannya. “Ze?” panggilnya lagi ketika tak
mendapat respons dari kembarannya.
“Astaga! Si Kapten Yo sama Dokter Kang bakalan merried beneran?!” terdengar
gumaman Zarina hingga membuat Zero meliriknya.
“Ze.. Ze..” Zero menjawil-jawil lengan Zarina beberapa kali.
123
“Ck, apaan sih! Bentar ngapa!” ucap Zarina yang terus menghindar dari tangan jahil
itu.
“Lo liat apaan sih?” Zero segera mendesak kepala kembarannya agar ia dapat melihat
sesuatu yang terpampang di layar ponsel gadis itu.
“Ck, ini gue lagi liat—” ucapannya terpotong ketika ia menyadari sesuatu. “Eh.. Za,
gue nggak liat apa-apa! Serius!” ucapnya spontan sembari mematikan layar ponselnya yang
menyala. “Yok.. lanjut belajar, sampe mana tadi?” dengan PD-nya Zarina sibuk membolak-
balikkan buku di depannya.
“Sampe Bekasi!” semprot Zero sembari menjitak kepala Zarina kesal. “Elo ya, dari
tadi suruh ngerjain lima soal aja nggak cepet-cepet dikerjain! Gimana mau pinter lo!”
“Ya maap.. gue kan capek Za, istirahat bentar ya,” ucap Zarina yang sudah
menghempaskan tubuhnya bersender pada kursi. “Capek,” gumamnya dengan kedua mata
yang tertutup rapat.
“Ze, si Niki itu udah jadi temen lo? Kok bisa?” tanya Zero setelah menyesap
minumnya.
“Niki itu ada sedikit gangguan psikisnya jadi gue maklum kalo dulu dia nge-bully
gue,” jawab Zarina tanpa mengubah posisi juga tak membuka kedua matanya.
“Gila maksud lo?” pertanyaan Zero pun membuat kedua mata Zarina membuka lebar.
“Ish, kalo ngomong hati-hati ngapa!” Zarina memukul bahu kembarannya keras.
“Gini lo Za, gue sempet cari info di internet ada beberapa orang mengalami trauma atas
kejadian masa lampaunya yang kelam hingga membuat orang tersebut bisa takut sendirian
atau berusaha berani untuk sendirian dan kalo apa yang gue lihat dan gue tahu tentang Niki,
dia itu tuh takut sendirian dan takut sama dunia luar yang ramai tapi dia berusaha buat berani
dan melawan rasa takutnya dengan membuat orang lain takut, ya contohnya kayak dia nge-
bully, dia kan bully gue karena dikiranya gue ambil Leo dari tangan dia jadi bisa juga
kemungkinan besar dia takut seseorang yang udah ada dihidup juga hatinya diambil orang
lain,” terangnya panjang.
Setelah mendengarkan penuturan panjang kembarannya itu suara tepuk tangan pun
menggema dalam ruangan yang berisi dua orang tersebut. “Kok lo pinter sih!” ucap Zero
sembari mengelus-elus gemas puncak kepala kembarannya.
124
“Lo kalo mau muji nggak usah pakek kata pinter segala deh! Tersinggung gue!”
celetuk Zarina yang sudah kembali sibuk dengan ponselnya. “Oh ya.. btw lo sama Leo
gimana?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel.
“Tahu!” jawaban Zero membuat Zarina memicingkan matanya.
“Lo kenapa sih! Kayak cewek, ngambeknya lama. Udah kenapa sih Za.. belajar buat
maafin kesalahan orang lain,” ucap Zarina.
“Kayak elo maafin si Niki? Tunangannya si brengsek itu?” ucapan Zero kembali
membuat Zarina gemas dan memukul lengan kembarannya gemas.
Zero pun tersenyum menatap kembarannya itu yang mulai menggerutu dan
mengerucutkan bibirnya seperti sekarang. “Ze...”
“Hem?” Zarina pun langsung menolehkan kepala menatap Zero dan detik itu juga
pandangan mereka bertemu, keduanya membisu dalam diam.
“Gue sayang elo,” ucap Zero.
Zarina tersenyum tipis. “Gue juga,” jawabnya dan kembali sibuk dengan ponselnya.
Please Zero, jangan lakukan sesuatu yang aneh!, batin Zarina kalut.
“Ze, lo pernah nyari nggak sih di internet tentang brother and sister complex?” tanya
Zero sedikit canggung.
“Apaan tuh? Gue nggak tahu!” jawab Zarina cepat yang masih sibuk dengan
ponselnya.
“Tentang saudara yang saling suka. Lo sering mikir nggak sih kalo itu bisa terjadi di
antara kita?”
“Bisa terjadi apaan sih?! Gue nggak ngerti! Gue ke toilet bentar ya Za, kebelet.” Baru
saja Zarina hendak melangkahkan kakinya keluar kamar namun dengan segera Zero langsung
mencekal tangannya.
“Mungkin nggak kalo lo jatuh hati sama gue?” tanya Zero cepat.
“Ya enggaklah.. ge-er banget lo!” sergap Zarina cepat.
“Tapi lo percaya kalo gue yang jatuh hati sama elo?”
125
Zarina mengerutkan keningnya bingung. “Egh, maksud lo apa sih Za?”
Zero segera menarik tubuh Zarina agar kembali duduk pada kursinya. “Kalo gue yang
jatuh hati sama lo, itu mungkin terjadi?” ulangnya menatap manik mata gadis di depannya.
“Za.. lo lagi bercanda kan? Lo kenapa sih?” tanya Zarina gugup.
“Sorry Ze, gue jatuh hati bahkan jatuh cinta sama lo.”
Deg! Tiba-tiba saja tubuh gadis itu menegang, jantungnya berdetak lebih cepat dari
biasanya dan begitu terdengar. Entah kenapa ini tapi ia merasa apa yang diutarakan
kembarannya itu tulus dari dalam hati. “Za—”
“Lo pernah bilang kan sayang dan cinta sama gue? Gue juga gitu Ze—”
“Itu rasa antar saudara Za! Lo kenapa sih nggak bisa memahami setiap apa yang gue
bilang tentang perasaan! Gue emang sayang bahkan cinta sama lo tapi dalam tanda kutip rasa
sayang pada saudara Za!” potong Zarina cepat. Entah kenapa keringat dingin sudah mulai
bercucuran di pelipisnya.
“Tapi apa yang gue rasain lebih dari sekedar perasaan antar saudara kembar Zarina.
Gue nggak tahu kapan perasaan ini muncul tapi yang jelas gue lihat elo lebih dari sekedar
adik, lo ngerti nggak sih?!”
“Enggak! Gue nggak ngerti sama apa yang lo bilang barusan dan gue nggak percaya
sama omong kosong lo! Please Zero, jangan kayak gini!” Zarina kalut, napasnya memburu
dan tersengal-sengal.
Perlahan digenggamnya tangan kembarannya itu, namun dengan cepat Zarina
menepisnya. “Zero, tolong dengerin gue! Sampai kapan pun lo akan tetap jadi abang gue,
begitu pun sebaliknya! Dan perasaan yang gue punya enggak lebih dari saudara!” gertak
Zarina cepat.
“Tapi perasaan yang gue punya—”
“Gue nggak peduli sama perasaan yang lo punya! Karena apa pun itu perasaan lo
sama gue, itu semua nggak akan merubah keputusan gue!” Zarina pun berlalu keluar
kamarnya setelah mengucapkan hal tersebut, ditundukkannya kepala untuk menahan tangis
yang sewaktu-waktu bisa pecah.
126
Katanya cinta anak remaja itu indah dan menyenangkan tapi bisa juga sewaktu-waktu
cinta yang tumbuh manis itu akan luntur dan saling menyakiti. Tapi Zarina merasa tak adil
dengan masa remaja yang Tuhan berikan padanya. Kenapa pula ia harus terjebak dengan
cinta saudara kandungnya sendiri? Bahkan mereka kembar. Kenapa pula Zero mempunyai
perasaan itu padanya? Sejak kapan?! Selama ini mereka memang saling berbagi kasih sayang
tapi satu sama lain tak pernah ada yang menyinggung hal seserius itu.
Gue berusaha mati-matian buat hal ini nggak terjadi, Zero. Tapi kenapa elo malah
dengan gampangnya bilang kayak gitu dan merusak ikatan persaudaraan kita?! Dengan
mudahnya lo bilang gitu terang-terangan, lo mikir nggak si Za apa yang bisa saja terjadi
antara kita?!
○○○
Waktu terus berjalan hingga latihan ujian untuk menuju Ujian Nasional tingkat
SMA/SMK/MA pun beberapa kali sudah dilalui. Semua murid juga mulai disibukkan dengan
pelajaran tambahan hingga menjelang petang, mereka berusaha semaksimal mungkin untuk
hasil yang memuaskan.
“Niki mana ya? Katanya tadi mau ketemu,” gumam Gina saat dirinya juga Zarina
tengah berjalan menyusuri koridor setelah try out Bahasa Inggris telah usai. “Zar!” ia segera
menyenggol teman itu yang sedari tadi tak merespons ucapannya.
Zarina tersadar dari lamunannya. “Ya? Apa?”
“Lo kenapa sih? Melamun? Kok belakangan ini lo banyak diem Zar?” tanya Gina
memberondong.
“Egh, enggak papa.. biasa aja kok, elo aja yang berlebihan,” jawab Zarina kembali
fokus ke jalan. “Eh, itu Niki!” ucapnya cepat ketika pandangannya menangkap sosok yang
mereka cari.
Gina segera mengikuti arah pandang Zarina. “Eh iya, sama Leo. Samperin nggak?”
tanyanya melirik sekilas Zarina.
“Ayok! Ngapain sih harus takut.” Zarina segera menarik lengan Gina dan melangkah
mendekati dua orang yang tengah mengobrol asyik itu. “Niki,” panggilnya ketika jarak
mereka sudah dekat.
127
Niki dan Leo pun segera menolehkan kepalanya menuju sumber suara. “Eh, hai..
sorry jadi kalian yang ke kelas gue,” ucap Niki sembari tersenyum.
“Ya udah Nik, gue tunggu di depan ya kalo kalian udah selesai. Dah..” ucap Leo
sembari mengusap puncak kepala Niki penuh mesra sebelum ia berlalu dari hadapan tiga
cewek itu, Niki pun mengangguk dengan senyum.
“Kalian?” ucapan Gina terpotong bersamaan dengan pandangannya yang menatap
punggung Leo yang sudah berlalu juga Niki bergantian. Niki tersenyum malu-malu melihat
respons Gina yang mudah menebak itu.
“Balikan ya sama Leo?” tanya Zarina lebih dulu.
“Enggak balikan karena emang selama ini kami nggak pernah jadian,” jawab Niki
cepat.
“Serius?!” sergap Gina tak kalah cepat.
“Kalian tahu kan gimana gue dulu, suka ngaku-ngaku apa yang seharusnya bukan
milik gue,” ucap Niki mengingatkan.
“Tapi gue seneng sama elo yang sekarang Nik.” Zarina mengusap lengan Niki lembut.
Mereka pun melangkahkan kaki menuju depan gerbang sekolah di mana Leo sudah
menunggu salah satu dari mereka. “Berarti kalian jadian dong sekarang?” tanya Gina yang
masih penasaran.
“Kepo lo!” Zarina segera menoyor kepala temannya itu gemas, kemudian terdengar
tawa ketiganya bersamaan.
Sesampainya mereka di depan gerbang dilihatnya Leo juga Zero saling bertatapan
dengan jarak yang tidak dekat juga tidak jauh. Susah payah Zarina menetralkan detak
jantungnya agar tak berdetak kencang.
“Zar, tunangan lo sama Leo?” bisik Gina.
“Gue udah bilang sama Leo buat memperbaiki hubungan persahabatan dia sama Zero
tapi masalah cowok tentang satu cewek itu lebih susah ya dari masalah cewek tentang satu
cowok,” ucap Niki menatap dua laki-laki tampan yang tengah membisu.
“Zero,” lirih Zarina ketika jarak mereka sudah dekat. Zero pun segera melirik
kembarannya yang tengah berjalan mendekat dengan dua temannya.
128
“Ayok pulang!” ucap Zero yang sudah naik ke motornya dan memakai helm. Zarina
pun menurut tanpa babibu, dipakainya helm dan naik ke jok belakang motor kembarannya,
motor itu pun melesat setelah ia pamit pada ketiga orang yang melihat di sana.
“Mereka beda,” gumam Gina sembari menatap kepergian dua sejoli itu.
“Mereka ada masalah ya?” tanya Niki.
“Gue juga nggak tahu, biasa si orang pacaran. Gue mah jomblo kagak tahu.”
“Ye.. pengen lo!” ejek Niki pada temannya itu sembari cekikikan.
Pacaran? Siapa? Zarina dan Zero? Katanya adik kakak, saudara kembar?, batin Leo
setelah mendengar percakapan singkat dua perempuan di sampingnya sekarang.
○○○
Malam ini Zarina kembali berkutat dengan kegiatannya di dalam kamar untuk belajar
mempersiapkan beberapa latihan ujian menjelang Ujian Nasional, namun konsentrasinya
pecah terbagi dua ketika pikirannya beralih pada kembarannya, pada masalah yang terjadi
antara dirinya dan Zero, dan pada hubungan yang terjalin selama ini harus terputus.
Kembali ia menghela napas ketika lagi-lagi pikiran itu masuk tanpa permisi bahkan
materi yang sedang berusaha dipelajarinya pun tak ada satu pun yang masuk. Ia pun bangkit
dari duduknya, mondar-mandir tak tentu arah untuk memikirkan cara supaya hubungannya
dengan Zero bisa membaik.
“Apa gue ngomong aja sama Zero?” gumamnya sembari mengetuk-ngetuk dagunya
dengan jari telunjuk. “Tapi gimana ngomongnya? Gue harus mulai dari mana?! Hah!”
ucapnya lagi frustrasi.
Akhirnya keputusan pun diambil, dilangkahkan kaki jenjangnya keluar kamar namun
langkahnya terhenti ketika ia membuka pintu kamarnya karena kembarannya sudah berdiri
diambang pintu. Zarina menelan salivanya susah payah, ia mengumpat dalam hati karena tak
hati-hati.
Zero melangkahkan kakinya ke depan dan di saat yang bersamaan Zarina
melangkahkan kakinya ke belakang hingga tanpa sadar ketika Zero berhasil masuk ke kamar
kembarannya, ia menutup pintu itu tanpa mengalihkan pandangan dari gadis di depannya
yang sudah pucat pasi.
129
“Zero, mau lo ap—” teriak Zarina ketika kembarannya menutup pintu kamarnya
namun entah kenapa tercekat begitu saja.
“Gue mau ngomong sama lo!” ucap Zero tegas dan kaku.
Lagi-lagi Zarina menelan salivanya susah payah, ia terus melangkah mundur kecil-
kecil ketika laki-laki di depannya terus melangkah maju hingga tanpa ia sadar kakinya
menyentuh pinggir kasur, ia pun berhenti. “Za, kita ngomong baik-baik ya,” ucapnya takut.
Zero kembali melangkahkan kakinya ke depan hingga jari-jari kakinya bersentuhan
dengan jari kaki Zarina. “Gue udah berusaha nahan buat nggak bahas hal itu tapi kenapa lo
malah mengungkit konflik itu? Hem?” tanyanya sembari memajukan wajahnya pada gadis
itu.
Zarina gelagapan, dimundurkan tubuhnya takut hingga ia kehilangan keseimbangan
dan terjatuh di atas kasurnya begitu pun dengan Zero, tanpa dosa laki-laki itu ikut ambruk di
kasur menindihi dirinya. “Ze.. Zero—” lagi-lagi Zarina hanya dapat mengeluarkan suara
kecilnya.
Zero menyeringai sadis. “Kenapa? Kenapa sekarang lo nggak teriak di depan muka
gue lagi? Kenapa lo jadi pasrah gue kayak gini sama lo? Kenapa Zarina sayang?” ia
melakukan aksinya dengan mengelus pipi kiri Zarina lembut.
“Ze—Zero! Stop gue bilang!” tudengan cepat Zarina menepis tangan itu yang sempat
mengelus pipinya.
Zero kembali tersenyum. “Gue salah Zarina, gue emang bego! Gue gila! Iya gue
gila!” ucapnya tanpa mengubah posisinya yang masih berada di atas kembarannya yang
tertidur di kasur. “Tolong gue!” detik itu juga ia memeluk kembarannya, disembunyikan
kepalanya di leher Zarina.
Zarina kembali dikagetkan dengan sikap Zero yang sewaktu-waktu bisa berubah.
Dielusnya punggung laki-laki itu lembut. “Gue nggak minta lo buat berhenti sayang dan cinta
sama gue tapi gue cuman minta satu dari lo Zero.. jadi Zero yang dulu, yang cuek, jahil, tapi
sayang banget sama gue, jadi Zero si kembaran gue, satu-satunya abang yang gue punya.
Ya?” ucapnya lembut.
Zero melepaskan pelukannya, ditatapnya Zarina dalam. “Gue bakal berhenti melihat
lo sebagai seorang gadis yang gue suka, sayang, dan cinta.. asal dengan satu syarat!”
130
Zarina mengerutkan keningnya tak mengerti. “Gue nggak minta lo buat—” ucapannya
tiba-tiba terputus ketika bibir Zero menyentuh bibirnya sekilas, detik itu juga dibulatkan
matanya tak percaya. “Zero!” lagi, Zero kembali mengecup sekilas bibirnya.
“Lo bisa diem dulu? Atau mau gue santap rakus juga itu bibir lo, pilih mana?”
perkataan Zero membuat bulu kuduk Zarina merinding. “Gue bakal berhenti kalo lo punya
orang yang disayang selain gue!”
“Za—” kembali bibir itu menempel. “Ish! Lo apa-apaan sih?! Berhenti gue bilang?!”
ucap Zarina kalut. Ia sadar ini sudah di luar batas, tidak seharusnya mereka melakukan ini.
“Lo budek atau apa si? Gue bakal berhenti kalo lo punya orang yang lo sayang dan
tunjuki itu ke gue! Ngerti?!” Zero bangkit dari posisinya awal dan duduk di kasur tersebut,
Zarina pun demikian.
“Lo gila!”
“Emang iya!” keduanya pun saling bertatapan hingga didetik berikutnya Zero kembali
menempelkan bibirnya pada bibir merah Cherry gadis itu cukup lama. Zarina pun berontak
beberapa saat namun dengan cepat ditahannya tangan itu oleh Zero. “Sorry,” ucap Zero
setelah melepas ciuman panas itu.
Zarina tertegun beberapa saat sebelum ia menyadari sesuatu. “Sorry lo bilang?! Lo
masih berani bilang kata itu setelah melakukan hal bejat kayak tadi?! Lo keterlaluan Za!
Keluar dari kamar gue sekarang!!!” teriaknya membabi buta.
“Ze—”
“Keluar gue bilang! Bangsat!” teriak Zarina lagi lengkap dengan umpatannya,
pertama kali diucapkan pada kembarannya.
Zero pun menurut dan akhirnya keluar dari kamar tersebut dan ditutupnya kembali
pintu kamar kembarannya. Detik berikutnya air mata Zarina tak dapat dibendung lagi,
tangisnya telah pecah, ia tak menyangka dengan apa yang sudah dilakukan kembarannya baru
saja, ini keterlaluan.
Bisakah Zero, lo berhenti melakukan hal gila itu?! Kalo lo terus kayak gini, lo cuman
bakal merusak persaudaraan kita aja!
131
DUABELAS
Gue ambil segala risiko yang akan terjadi nanti karena suatu saat akan ada orang lain yang
masuk ke dalam hidup juga hati lo, tapi percaya atau enggak selamanya lo punya gue begitu
pun sebaliknya. -My Twin.
Waktu yang dinanti-nanti seluruh siswa kelas tiga Sekolah Menengah Atas itu
pun tiba, hari di mana mereka seakan bertaruh nyawa atas hari itu. Ya.. Ujian
Nasional namanya, dari sekian banyak tugas, ulangan, atau ujian di sekolah tapi hanya Ujian
Nasional yang paling ditakutkan bagi para siswa bahkan bisa disebut sebagai monster.
Seluruh siswa dari mulai yang paling pintar dan rajin sampai siswa yang urakan pun
mereka terus membawa buku ke mana-mana untuk dibaca sewaktu-waktu, pokoknya masa
Ujian Nasional mereka semua mendadak menjadi kutu buku.
“Hah, gue kesel banget deh! Kenapa tadi majas yang keluar yang susah-susah sih?!
Gue kan cuman hafal personifikasi, metafora.. terus apa ya? Em.. itu bola-bola apa sih Zar?”
gumam Gina sembari menyenggol lengan Zarina.
“Hiperbola,” jawab Zarina tanpa mengalihkan pandangannya dari buku matematika.
“Ha.. iya itu! Ck.. tadi malah yang keluar apa sih ya tadi? Hepatitis?” Gina
meletakkan telunjuknya di dagu sambil berpikir.
“Hepatitis kan penyakit Oneng! Ck, parah lo Gin,” sungut Zarina sembari
memicingkan matanya.
“Iyalah apa itu tis.. tis.. pokoknya. Ah.. kesel, nilai Bahasa Indonesia gue berapa coba
nanti?” gumam Gina lagi yang sudah menyembunyikan wajahnya pada tekukan tangan di
atas meja.
“Gin?” panggil Zarina tanpa berpaling dari bukunya dan hanya mendapatkan
deheman dari temannya yang masih terdiam itu. “Gina!” ia pun tak tanggung-tanggung,
disenggolnya kencang tubuh Gina hingga tersetak.
132
“Ngapa sih lo Zar? Gue lagi pusing nih!” sungut Gina sembari memegang kepalanya.
“Dicariin tuh!” Zarina menggunakan dagunya untuk menunjuk ke arah pintu kelas.
Gina pun segera mengikuti padangan ke arah pintu, detik itu juga matanya membulat.
Ia pun segera bangkit dari duduknya dan berlari menuju orang yang mencarinya.
Lama Zarina menunggu, akhirnya ia memutuskan untuk membereskan buku-bukunya
karena Zero sudah menunggu di depan gerbang. Namun langkahnya terhenti ketika Gina
menghadangnya diambang pintu. Dilihatnya ekspresi temannya itu sesama, bahagia yang
menggebu-gebu. “Kenapa lo?” sergapnya cepat.
“I.. itu.. itu..” ucap Gina terbata-bata sembari menunjuk ke arah luar.
“Apaan sih?” Zarina pun penasaran dan melonggok keluar pintu, tak ada siapa-siapa.
“Apaan sih lo! Udah ah.. gue balik ya—”
“Zar.. bentar!” dengan cepat Gina menahan pergelangan tangan Zarina.
“Ya apa? Lo ngomong dong! Siapa sih tadi yang nyariin elo? Cowok kan?” terka
Zarina.
Rasa gugup itu kembali datang pada diri Gina. “Itu cowok yang gue suka!” bisiknya.
“Hah?! Adek kelas?!”
○○○
Empat hari sudah berlalu begitu cepat, itu artinya Ujian Nasional telah selesai dan
tentu saja masa-masa setelah Ujian adalah waktunya untuk balas dendam dengan waktu.
Balas dendam dengan cara bermalas-malasan atau berkeliaran resfreshing setelah kemarin
waktu mereka habiskan dengan belajar, belajar, dan belajar.
“Gimana ujiannya?” tanya bunda si kembar ketika seluruh keluarga Adi Pratama
berkumpul di ruang keluarga.
“Lancar Bun,” jawab Zero dan Zarina bersamaan.
“Kok tumben kalian nggak marahan pas ngomong bareng?” tanya ayah menatap
anaknya bergantian.
“Nggak papa Yah,” jawab Zarina yang sudah sibuk mengganti channel acara televisi.
133
“Kenapa sih? Cerita sini sama Bunda.” Sang bunda mengelus lembut puncak kepala
putrinya lembut.
Kalau saja bunda tahu apa yang terjadi antara gue sama Zero tentang tumbuhnya
rasa cinta lebih dari saudara, tentang perasaan terlarang ini, dan tentang tindakan Zero ke
gue pasti bunda juga ayah bakal pisahin gue sama Zero sejauh mungkin. Enggak, gue nggak
mau itu sampai terjadi! Satu-satunya cara adalah bicara in ini baik-baik sama Zero, kasih
pengertian sama Zero bahwa selamanya perasaan dia ke gue begitu pun sebaliknya nggak
akan pernah terbalaskan, batin Zarina. Ia kembali melirik Zero yang juga tengah meliriknya.
Hari demi hari kembali dilalui, entah mengapa waktu terasa begitu cepat berlalu. Kini
Zarina kembali masuk ke sekolah setelah libur panjang seusai Ujian Nasional, ia ke sekolah
untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kelulusan juga salah satunya mengikuti tes
SNMPTN dan banyak hal lainnya.
“Lo mau masuk universitas mana Zar?” tanya Gina sembari menyesap kopi susunya
yang tinggal separuh.
“Nggak tahu.. gue masih bingung,” jawab Zarina lebih kepada seperti gumaman.
Gina melirik temannya itu yang kini kembali melamun. “Lo kenapa sih Zar, melamun
terus. Cerita kalik sama gue, kan kita udah kenal satu tahun.. nggak berasa ya?” gumamnya di
akhir kalimat.
“Gin.. lo pernah denger saudara saling suka nggak sih?” tanya Zarina menatap Gina
dalam.
“Saling suka gimana?”
“Em.. gini deh, menurut lo saudara kandung itu bisa menyatu enggak? Errr.. merried
maksud gue.” Mendengar penuturan Zarina membuat Gina tersentak bahkan ia sampai
terbatuk-batuk. “Pelan-pelan dong kalo minum, gue nggak minta kok,” celetuk Zarina
sembari mengusap-usap punggung Gina.
“Lo gila ya?” kini pertanyaan Gina membuat Zarina membulatkan matanya kaget.
“Yang namanya saudara kandung itu nggak bakalan bisa nikah! Nggak mungkin Zar!” sergap
Gina cepat.
“Kenapa nggak mungkin?” tanya Zarina polos.
134
Gina pun menepuk dahinya dengan telapak tangan. “Lo nggak pernah merhatiin
pelajaran IPA ya gini deh. Jadi gini ya Zar.. larangan menikahi saudara kandungnya itu bukan
hanya karena undang-undang atau agama tapi juga nggak baik buat kedua belah pihak, bisa
merusak keturunan,” terangnya mantap.
“Gitu ya Gin? Jadi nggak mungkin?”
“Ya nggak mungkinlah! Nggak etis juga, misal nih ya lo punya abang trus elo
merried sama abang lo.. aneh nggak tuh? Anehlah, abang adek tuh nggak mungkin punya
perasaan suka lebih dari saudara mungkin cuman orang-orang yang nggak waras aja kayak
gitu,” jelas Gina lagi menerawang.
Orang-orang nggak waras ya? Berarti gue sama Zero nggak waras ya?, batin Zarina
ngilu.
“Eh tapi btw kenapa lo nanyain gitu? Lo naksir siapa? Emang lo punya abang? Atau
sepupu? Lo naksir saudara lo Zar?!”
“Setan lo! Bisa diem nggak sih! Ya.. enggak, gue kan cuman nanya tutup panci!”
gerutu Zarina sembari menjitak kepala Gina gemas.
Untungnya saat ini mereka hanya berdua di dalam kelas karena memang tidak semua
murid kelas tiga berangkat hanya anak yang benar-benar rajin dan rajin main untuk sekedar
menghabiskan waktu dengan teman-temannya karena saat-saat berharga seperti inilah yang
harus dipergunakan baik-baik karena setelah kelulusan nanti belum tentu mereka akan
bertemu kembali.
“Zarina?” suara itu membuat dua cewek tersebut melirik ke arah pintu, dilihatnya
Zero tengah berdiri diambang pintu.
“Zero?” Zarina segera bangkit dari duduknya. “Eh Gin.. gue duluan ya. Dah..” ia pun
segera melangkahkan kaki menuju kembarannya itu dan menarik Zero untuk keluar dari
kelas.
“Lo kenapa sih?” tanya Zero saat dirinya masih ditarik oleh Zarina entah ke mana.
“Kita pulang!” sergap Zarina cepat, saat itu juga Zero menghempaskan tangannya dan
cekalan itu terlepas. “Zero!” pekiknya kesal.
“Lo kenapa sih jadi berubah gini sama gue?” tanya Zero serius.
135
“Za!” Zarina gelagapan, beberapa kali ia menengok untuk memastikan tak ada orang
lain selain mereka di sana. “Please jangan bahas itu! Gue nggak mau ya lo bahas itu
sekarang!”
“Kenapa sih lo harus mulai? Kenapa elo harus memulai itu lagi? Kenapa sih Ze
percakapan kita nggak bisa kayak dulu lagi? Kenapa—”
“Lo masih tanya kenapa? Elo yang mulai Za! Elo yang bikin konflik ini memuncak!
Ini kan mau lo? Setelah elo bilang sama gue kalo lo suka sama gue dan lo mengharapkan jadi
seperti ini kan? Jawab gue bilang?!” ucap Zarina penuh penekanan tapi ia juga tak bisa
berteriak karena mereka berada di lingkungan sekolah tepatnya si koridor paling pojok hanya
ada beberapa kelas yang tak berhuni.
“Kenapa emangnya? Kenapa lo nggak suka gue mengakui perasaan gue ke elo?”
“Lo gila Za! Lo masih aja tanya kenapa?! Nggak waras lo,” gumam Zarina.
Detik itu juga dipegangnya kuat-kuat kedua bahu Zarina. “Gue bilang kenapa? Apa lo
punya orang yang lo sayang selain gue? Siapa? Kasih tahu gue?!”
Zarina memejamkan matanya sebentar lalu membukanya, ia benci dengan keadaan
ini. “Iya! Elo bukan satu-satunya cowok yang gue sayang! Karena elo cuman abang gue! Dan
asal lo tahu gue nggak punya perasan lebih sama lo karena gue suka sama Leo!” sukses sudah
ia mengucapkan itu. Entah kenapa ia mengambil keputusan itu, alasannya hanya satu, Zarina
hanya ingin Zero melupakan perasaan itu, perasaan yang seharusnya tak pernah tumbuh di
dalam hati dan membuat egonya semakin kuat.
Zero menatap kembarannya sayu, pandangannya buyar, kedua tangannya di bahu
gadis itu pun mengendur.
“Apa lo bilang Zar?” tunggu, kalimat itu tidak keluar dari mulut Zero. Keduanya
segera menoleh mencari sumber suara dan detik itu juga Zarina tercekat, rasa kagetnya tak
bisa disembunyikan olehnya.
“Ni—Niki?” ucap Zarina lirih ketika melihat Niki berdiri tak jauh dari mereka dengan
wajah pucatnya. Ia pun segera menghampiri Niki namun gadis itu sudah berlalu lebih dulu.
“Niki dengerin penjelasan gue dulu sebentar!” teriaknya yang sudah mengejar Niki.
Niki terus berlari dengan tangisnya yang terus keluar hingga entah kenapa tenaganya
habis, ia kehilangan seluruh tenaganya, ia pun terjatuh di tanah.
136
“Niki!” Zarina pun segera menghampiri Niki dan memegang bahunya kuat-kuat.
“Niki.. gue—”
“Pergi lo Zar! Lo penghianat! Lo munafik Zar! Gue benci sama lo!” ucap Niki
membabi buta dengan terus memberontak tak ingin disentuh oleh Zarina.
“Nik.. please Nik, lo jangan salah paham! Dengerin gue!”
“Nggak! Gue nggak mau denger apa-apa! Pergi lo Zar! Pergi!” isakkan tangisnya kini
mulai terdengar, gumaman demi gumaman silih berganti namun tak jelas, kedua tangannya
digunakan untuk menutup telinganya.
“Niki, gue minta maaf.. tapi apa yang lo denger itu nggak bener, please ngertiin gue,”
ucap Zarina lirih namun Niki tetap pada posisi semulanya tanpa memedulikan orang yang
tengah mengajaknya berbicara.
“Niki kenapa?” Zarina segera mendongakkan kepalanya ketika mendengar pertanyaan
itu.
Leo segera melangkahkan kakinya lebar-lebar, dielusnya puncak kepala Niki lembut.
“Kenapa Zar?” Leo segera mengalihkan pandangannya ke arah Zarina.
“I—itu...”
“Dia mau rebut elo dari gue Le! Usir dia dari sini Le! Usir!!!” teriak Niki di akhir
katanya.
Berkali-kali Zarina menelan salivanya susah payah, ia telah melakukan satu kesalahan
besar.
○○○
Zarina kembali gusar, hatinya tak tenang ketika ia mengetahui bahwa kembarannya
tak pulang semalaman. Setelah kejadian mereka berantem di sekolahannya ia tak lagi
bertemu Zero karena saat itu ia membantu Leo untuk membawa Niki ke rumah sakit. Ya..
Niki kembali mengalami gangguan psikisnya akibat trauma. Zarina kembali menyesal ketika
hal itu terjadi karena dirinya tapi ia lebih cemas lagi ketika Zero tak pulang semalaman.
Parahnya lagi ketika kedua orang tuanya sedang berada di Yogyakarta, di rumah neneknya
tapi mungkin itu hal baik karena dengan begitu kedua orang tuanya tak perlu tahu masalah
mereka.
137
Tapi Zarina juga semakin cemas ketika hingga malam berikutnya Zero tak juga
pulang. Ia bingung harus bagaimana, bahkan Zarina tak punya satu pun kontak teman
kembarannya itu. Ah.. memusingkan.
“Lo ke mana sih Za?”
Ting nong.. ting nong..
Lamunannya buyar ketika ia mendengar suara bel rumahnya berbunyi. Dengan malas
dilangkahkan kakinya berniat membukakan pintu dan setelah pintu dibuka tampaklah
seseorang yang tak asing. “Siapa ya?” tanyanya.
Laki-laki itu tersenyum. “Gue Al, temennya Zero. Masa lupa sih?” jawab sang tamu
yang ternyata Al.
“Oh.. Al,” gumam Zarina sembari memutar bola mata. “Eh.. Al? Temennya Zero?
Iya?” sergapnya cepat ketika ia mengingat sesuatu.
“Iya.. kenapa emangnya?” detik itu juga ditariknya Al untuk masuk ke dalam rumah.
Sudah hampir tiga jam Zarina berkeliling mencari kembarannya ditemani oleh Al tapi
tak juga mereka menemukan Zero. Untungnya tadi Al datang ke rumahnya, katanya hanya
sekedar main tapi justru kehadirannya itu bisa membantu Zarina mencari Zero.
“Emang Zero suka kabur-kaburan ya Zar?” tanya Al yang sibuk menyetir mobilnya.
Zarina menghela napas pelan. “Kami ada masalah tapi ini masalah besar dari biasanya
sih, nggak ngertilah gue sama dia.”
“Di sekolah Zero anaknya pendiem banget, susah buat bergaul sama dia tapi
untungnya dia nganggep gue temen sih.”
Zarina sama sekali tak mendengarkan ucapan laki-laki di sampingnya itu karena
pandangannya fokus pada satu titik. “Eh.. Al, bentar-bentar! Coba berhenti!” instruksinya
buru-buru.
“Eh kenapa?” perlahan Al menepikan mobilnya.
“Itu.. motornya Zero kan ya?” tunjuk Zarina dari jendela kaca mobil ke arah tempat
parkir pada sebuah club.
138
“Iya sih kayaknya,” jawab Al yang terus melihat sebuah motor yang mirip dengan
milik Zero terparkir.
“Ayok turun!” Zarina sudah sibuk membuka pintu mobil tersebut dan turun dari sana,
Al pun demikian.
Keduanya pun melangkahkan kakinya mendekat ke arah motor tersebut. “Lo hafal
pelat motornya kagak?” tanya Al.
“Ck, boro-boro gue ngapalin pelat motor Zero, gue tahu kelasnya Zero aja kagak,”
celetuk Zarina.
“Btw lo yakin Zero kesini? Tempat kayak gini? Nggak nyangka gue,” ucap Al
menatap gedung yang selalu aktif malam hari itu.
“Dulu.. sama Zero suka main ke tempat beginian,” jawab Zarina.
“Wah.. ngeri ya berarti lo pada.”
“Udah yok masuk! Cari Zero, bisa jadi juga Zero kesini.” Zarina sudah lebih dulu
melangkahkan kakinya masuk ke club tersebut dan diikuti Al.
Baru saja mereka masuk tempat tersebut, netranya sudah menangkap sosok Zero
dengan pakaiannya yang kusut dan keadaan yang buruk sekali tengah dikelilingi tante-tante
berpakaian seksi. Saat itu juga Zarina menghampirinya. “Minggir! Minggir!”
“Ih.. apaan sih ni anak!”
“Siapa lagi, sok banget!”
“Ganggu banget sih!”
“Minggir gue bilang! Zero, ayo pulang!” Zarina sudah mengalungkan tangan Zero di
lehernya.
“Eh.. elu siapa main ambil si ganteng kita?” celetuk salah satu tante tersebut.
“Dia tunangan gue! Mau apa lo semua?!” sentak Zarina cepat. “Al, bantu gue!”
ucapnya ketika melihat Al mematung menyaksikan, dengan gelagapan Al membantu
membopong Zero.
“Zarina.. tunangan elo? Sayang...” terdengar gumaman lirih dari mulut Zero.
139
○○○
Kini kembali ditatapnya wajah lesu Zero yang sudah tertidur nyenyak di atas kasur,
Al baru saja pulang setelah membantu Zero untuk mengganti pakaiannya.
Zarina kembali menghela napas gusar. “Lo kenapa kayak gini sih Za?” dielusnya dahi
laki-laki itu lembut.
Cahaya di pagi hari mulai menyelinap masuk ke cela jendela, laki-laki yang masih
tertidur nyenyak itu perlahan membuka kedua matanya, ia menggeliat.
Di mana ini?, batinnya bertanya.
Bau alkohol membuat dirinya ingin memuntahkan seluruh isi dalam perutnya, namun
baru saja ia hendak turun dari kasur tiba-tiba pergerakannya terhenti ketika melihat seorang
gadis tertidur duduk di samping kasurnya dengan kepala di kasur. Disingkirkannya rambut
yang menutupi wajah gadis itu sehingga ia dapat melihat siapa orang itu. “Zarina?” ucapnya
ketika melihat kembarannya tertidur pulas.
Dieluskan puncak kepala gadis itu lembut, ingatannya kembali pulih. “Maafin gue Ze,
gue kayak gini jadi elo yang repot. Gue sayang elo Ze.” Dikecupnya kening gadis itu pelan
tapi hal itu sukses membuat Zarina menggeliat dan membuka kedua matanya.
“Egh, Zero?” ucap Zarina sembari mengucek matanya. “Lo udah bangun? Badan lo
udah enakkan? Lo mau apa? Laper ya? Mau makan apa?” tanyanya memberondong.
Zero tersenyum mendengar semua pertanyaan kembarannya, ia merasakan ketulusan
itu.
“Za? Apa yang sakit?” Zarina segera meletakan punggung tangannya pada dahi Zero.
“Anget sih,” gumamnya.
Detik itu juga Zero memegang tangan Zarina yang bertengger di dahinya, kemudian
digenggamnya. “Bukan di situ sakitnya tapi di sini.” Zero meletakan tangan kembarannya di
dadanya, tepat di letak jantungnya yang berdetak kencang.
“Za, berhenti main-main ya,” ucap Zarina sembari menarik tangannya dari dada Zero.
“Gue buat in bubur mau?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Emangnya lo bisa masak?”
140
Zarina meringis. “Ya enggaklah, tapi kan ada Google, gampang itu. Bentar ya.”
Zarina segera berlalu melangkahkan kakinya keluar kamar.
Zero tersenyum melihat kembarannya yang sangat gugup, dipegang dahinya itu. “Ya
jelaslah anget, namanya juga masih hidup,” gumamnya.
Setengah jam berlalu, Zero baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengeringkan
rambutnya yang masih basah. “Zarina belom selesai masak? Ck, kayak bisa masak aja tuh
anak,” gumamnya sembari mencari baju di lemari.
“Za.. buburnya udah jadi!” ucap Zarina bersemangat sembari membawa nampan
berisi sepiring bubur dan juga teh hangat.
“Uwa!!!” teriak keduanya secara bersamaan.
“Zero! Lo mesum banget! Pakek baju lo!” teriak Zarina sembari menundukkan
kepalanya ketika melihat kembarannya hanya memakai celana selutut tanpa sehelai kain
menutupi badan roti sobeknya.
“Ck, ngagetin aja sih lo! Ini gue juga lagi nyari baju,” jawab Zero yang sudah
mengambil kaos warna hitam dengan gambar di tengahnya, dipakainya kaos tersebut.
“Udah belom?” lirih Zarina yang masih menundukkan kepalanya.
Zero melirik kembarannya itu dengan senyum tipisnya kemudian dipegang dagu
Zarina dan didongakkannya. “Udah,” jawabnya saat mata mereka saling pandang satu sama
lain.
Zarina segera tersadar dan segera membuang muka agar tangan Zero yang menyentuh
dagunya terlepas. “Yuk makan!” ajaknya yang sudah berjalan ke meja dekat kasur. “Makan
di mana? Di sini aja deh ya, gue udah bawa kesini juga.”
Setelah Zarina meletakan nampan itu di meja, ditengokkan kepalanya menatap Zero
yang ternyata sudah berada tepat di belakangnya bahkan tubuhnya bertubrukan dengan tubuh
Zero. “Astaga!” kagetnya. Didongakkan kepalanya menatap Zero.
“Ze...” Zero mendekatkan wajahnya dengan wajah kembarannya hingga membuat
Zarina memundurkan tubuhnya bahkan kedua tangannya digunakan untuk memegang tepi
meja di belakangnya.
“Zero,” cicit Zarina kalut.
141
Zero menghentikan pergerakannya ketika hidung mereka saling berbenturan, ia hanya
berdehem. Zarina menatap mata kembarannya dalam, amat dalam. Jantungnya tak dapat
berdetak normal bahkan ia mendengarnya hingga satu kecupan sekilas mengenai bibirnya.
Susah payah Zarina menelan salivanya, ia tak menyangka Zero melakukan hal itu lagi, ingin
rasanya didorong tubuh Zero kuat-kuat tapi hal itu akan memicu emosi dirinya juga Zero
yang menyebabkan mereka kembali berkelahi.
Zero menatap kembarannya yang terdiam dengan mata yang berkedip beberapa kali.
“Ze, gue sayang banget sama elo,” ucapnya lirih.
“Gue juga,” jawab Zarina cepat.
Zero pun tersenyum amat manis. Ia tak menyangka akan mendapatkan respons sebaik
ini dari kembarannya. Kini kembali di dekatkan wajahnya dengan wajah kembarannya,
kecupan manis dilayangkan pada bibir Zarina cukup lama, satu tangannya kini meraih
tembok di belakang Zarina sebagai penyanggah.
Tubuh Zarina semakin terdorong karena Zero terus menekannya hingga segelas teh
yang berada di atas meja belakangnya terjatuh dan pecah namun tak membuat keduanya
menghentikan aktivitasnya.
Zero melepaskan kecupan panasnya. Ditatapnya Zarina yang masih memejamkan
matanya, kemudian dikecupkan sekilas bibir itu hingga membuat Zarina membuka matanya.
“Udah ya,” ucapnya serak.
Bukannya menjawab, Zarina malah mengalungkan kedua tangannya pada leher Zero
ke belakang. “Gue benci mengatakannya Zero, apalagi melakukannya tapi elo malah dengan
mudah ngelakuin ini ke gue. Lo pikir gue nggak tergoda?” ucapnya dengan senyum licik.
Perlahan dikecupkan bibir Zero sekilas.
Namun Zero segera tersadar, dilepaskan paksa ciuman itu. “Berhenti Ze! Gue nggak
akan biarin lo kayak gue!” ucapnya tegas menatap manik mata kembarannya.
“Kalo elo berhasil buat gue berhenti, kenapa gue enggak bisa buat elo berhenti
Zero?!” sela Zarina cepat.
Laki-laki tanpa itu menelan salivanya susah payah. “Gue minta ma—”
“Berhenti minta maaf kalo elo terus buat kesalahan itu! Lo dasar nggak sama apa
yang lo lakuin?!”
142
“Iya.. gue minta ma—”
“Berhenti gue bilang!” tegas Zarina dengan tatapan matanya tajam. Ia tak habis pikir
dengan tindakan kembarannya, kakaknya sendiri!
Lo sadar nggak sama apa yang lo lakuin? Bukan.. tapi gue sadar nggak sama apa
yang kita lakuin?! Ini gila!, batin Zarina kalut.
“Berhenti ya Za, berhenti buat kayak gini. Sampai kapan pun kita nggak bakal bisa
lebih dari saudara. Lo harus ngerti ya?” ucapnya amat lirih.
Zarina menangkupkan pipi Zero dengan kedua tangannya. “Gue pengen lo tetep ada
di samping gue sebagai sandaran bahu buat gue, seseorang yang menghapus air mata gue
ketika ada laki-laki yang menghancurkan hati gue. Gue mau elo selalu ada di samping gue,
sebagai satu-satunya orang tempat gue mencurahkan segala keluh kesah gue. Gue mau itu elo
dan bukan orang lain, Zero.”
“Gue janji Zarina. Gue bakal selalu ada buat lo, gue bakal menjaga dan melindungi
elo dari siapa pun di luaran sana yang berniat atau enggak buat nyakitin elo dan gue janji
nggak akan nyakitin kembaran gue sendiri. Maafin gue Zarina,” ucap Zero yang sudah
kembali memeluk kembarannya erat.
Sampai raga dan hati ini jadi milik orang lain, lo bakalan jadi milik gue, Zero!, batin
Zarina.
Selamanya lo hanya milik gue walaupun ke depannya kelak raga dan hati lo bakal
jadi milik orang lain, Zarina!, batin Zero.
Semua ini bukan soal hati ataupun nafsu tapi soal diri yang rela menahan dan
mempertahankan. Bukan dengan cara mengejar dan bukan dengan cara memegang agar tidak
pergi untuk selalu bisa memilikinya. Lepaskan saja, biarkan saja diri itu berkeliaran keluar
masuk ke dalam hidup dan hati banyak orang, tak perlu takut kehilangan karena sampai
kapan pun yang bersama akan tetap bersama, yang sedarah akan tetap sedarah, dan yang
serahim tahu di mana batas diri untuk tidak berusaha memiliki.
Mereka memang saling memiliki. Memiliki untuk menjaga hati dan juga nafsu, tidak
sulit kedengarannya tapi tidak mudah untuk keduanya menguatkan hati dan meyakinkan diri
bahwa selamanya mereka hanya akan bersatu dalam ikatan kuat persaudaraan, tidak lebih
karena memang nyatanya darah lebih kental daripada air.
143
144
EPILOG
Satu kalimat untuk masa ini, Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang kecuali orang itu
sendiri yang mengubah nasibnya. -All character in a story.
Tak henti-hentinya gadis bernama Zarina itu menggigit bibir bawahnya, kedua
tangannya sibuk berkutat tak jelas. Kini rasa cemas menyelimuti dirinya,
perasaan yang membuat ia kembali mengingat apa yang sudah dilakukannya pada seseorang.
Di saat yang bersamaan sebuah tangan menyentuh bahu kanannya dan mengusap lembut.
Ditengokkan kepalanya ke kiri dan tampaklah laki-laki berwajah tampan itu sembari
tersenyum. “Enggak papa,” bisik kembarannya.
“Masuk aja.. gue udah bilang sama Niki kalo kalian dateng.” Ucapan Leo membuat
Zarina kembali dilanda rasa cemas yang luar biasa.
“Yok!” baru saja Zero hendak melangkahkan kaki dengan rangkulannya yang belum
terlepas tiba-tiba pergerakannya terhenti ketika Zarina menahan tubuhnya untuk melangkah.
Dua cowok itu saling pandang bingung menatap Zarina. “Kenapa Ze?” tanya Zero.
“Le, lo yakin Niki nggak bakal ngamuk ngusir gue kayak kemaren-kemaren?” sergap
Zarina cepat dengan pertanyaan.
Leo tersenyum sesaat. “Gue udah banyak cerita ke Niki tentang kesalahpahaman ini.
Pelan-pelan dia bisa belajar kok buat kendalian emosinya dan nggak langsung ambil
kesimpulan, dia paham Zar jadi lo nggak usah takut,” terangnya tenang.
Zarina pun akhirnya mengangguk mengiakan. Akhirnya ketiganya masuk ke ruangan
tersebut. “Nik, ini ada Zarina sama Zero yang lo tahu mereka tunangan.. sebenarnya mereka
adek kakak. Gue udah pernah cerita kan?” Leo membuka percakapannya.
Niki hanya mengangguk dengan pandangan terus menatap ke arah Zero juga Zarina.
“Ya udah.. mending kalian kita tinggal aja deh berdua. Nggak papa kan.. Leo?” ucap Zero
dengan jeda pada akhir kalimatnya.
145
Leo menatap Zero dengan banyak pertanyaan yang berkeliaran di otaknya namun
sesaat ia tersadar. “Iya.. nggak papa. Kita tinggal ya.” Leo dan Zero pun keluar ruangan yang
berisikan dua perempuan itu yang masih saling diam.
Lama keduanya tak saling berucap sebelum akhirnya mereka mengucapkan kata yang
sama. “Maaf,” ucap keduanya bersamaan hingga membuat mereka saling pandang.
“Jadi lo sama Zero kembar?” pertanyaan itu keluar dari bibir pucat Niki.
Zarina menatap wajah Niki beberapa saat. “Lo punya abang?” ia malah balik
bertanya, Niki pun menggeleng sebagai jawaban. “Kalo lo jadi gue, gimana perasaan lo
ketika abang lo bahkan kembaran lo naksir sama elo?” tanya Zarina datar.
“Rasanya gue pengen mati,” jawab Niki.
Zarina tersenyum tipis. “Pilihan terakhir!” ucapnya cepat. Ditatapnya wajah Niki
dalam. “Gue cuman mau ngasih tahu ke Zero kalo dia nggak seharusnya jatuh hati sama
kembarannya sendiri. Gue cuman pengen ngebuka mata dia lebar-lebar buat liat di dunia ini
kalo apa yang dia rasakan sekarang nggak akan pernah terbalaskan,” ucapnya serius.
“Dengan lo bilang kalo lo suka sama Leo?”
“Gue minta maaf.”
“Kalo aja gue tahu kalian kembar, kalo aja gue tahu kalo persaudaraan kalian
complex, dan kalo aja penyakit gue nggak kambuh sewaktu-waktu mungkin gue bisa tebak
dari awal.” Niki menghela napas sebentar. “Tapi sayangnya ini gue Zar, sampai kapan pun
gue kayak gini, sampai kapan pun gue nggak akan bisa sembuh, sampai—”
“Berhenti Niki!” dengan cepat Zarina memotong ucapan Niki dan segera
memeluknya. “Gue nggak peduli sama apa yang terjadi sama lo pada masa apa pun karena
selamanya manusia nggak ada yang sempurna. Gue nggak peduli siapa elo dulu, yang gue
tahu elo yang sekarang dan ke depannya. Gue cuman pengen elo tahu itu Nik.” Penuturan
Zarina membuat Niki tersenyum mendengarnya, diusapnya punggung Zarina lembut dalam
pelukan.
Selamanya ia hanya punya cinta. Cinta itu bukan hanya tentang laki-laki dan
perempuan yang saling jatuh cinta tapi cinta itu bisa berupa banyak macam. Cinta tak akan
pernah bisa terucapkan dengan kata-kata dan tidak akan pernah sampai di telinga karena cinta
hanya dapat disampaikan lewat hati dan ditangkap oleh rasa.
146
Sedangkan di luar ruangan tersebut tampak dua laki-laki saling tatap. “...dari dulu
nggak pernah ada yang salah dan benar dalam masalah ini karena emang udah jalannya,”
ucap Zero lirih.
○○○
Malam kelulusan, malam di mana diadakannya perayaan atas kelulusan siswa-siswi
kelas tiga, kalau anak jaman sekarang menyebut prom night. Pesta perayaan atas keberhasilan
mereka setelah tiga tahun berjuang dan berusaha untuk menjadi yang terbaik dari yang baik.
“Lo ngapain? Mau.. ke mana?” tanya Zarina yang sudah siap dengan gaun panjangnya
berwarna hitam elegan, tidak lupa rambut panjang yang sengaja digelombang, dan juga riasan
wajahnya yang berbeda tapi tak berlebihan, intinya malam ini ia yang tercantik.
“Gue mau ikut elo,” jawab Zero sembari membenarkan jas berwarna merah emas
dipadu hitam dengan setelan luar biasa elegan.
“Ikut gue? Ke mana?!” tanya Zarina yang tak juga kunjung paham.
“Bunda yang nyuruh Kakak buat nemenin Ze. Bunda nggak akan biarin putri bunda
keluyuran sampe malem sendirian.” Ucapan bundanya membuat Zarina melongo tak percaya.
“Bunda.. kok gitu sih?! Ini kan acara prom night sekolahan Ze, nggak ada orang
asing!” renggek Zarina manja.
“Eh.. siapa bilang? Kan ada undangannya ajak keluarga boleh. Kenapa Ze nggak
kasih undangannya ke Bunda?” tanya bundanya sembari memainkan undangan cantik
ditangannya.
Zarina cengengesan dibuatnya. Sebenarnya bukan apa-apa ia tak memberitahu
undangan itu pada kedua orang tuanya, hanya saja teman-teman satu kelasnya sepakat tak
mengajak keluarga karena mereka hanya ingin merayakan bersama.
“Ya udah sana kalian berangkat nanti keburu telat. Nih pakek mobil Ayah,” ucap
bunda sembari memberikan kunci mobil pada Zero. Keduanya pun berpamitan.
Sesampainya mereka di tempat acara, tidak lain tidak bukan di SMA 790, mendadak
mereka menjadi pusat perhatian tak jarang keduanya mendapat siulan dari para laki-laki.
“Zarina!” teriakan itu membuat si empunya nama menoleh mencari sumber suara.
147
“Gina?!” teriak Zarina lebih kencang. “Lo cantik banget!” pujinya antusias ketika
melihat teman kutu buku semejanya itu cantik dengan balutan baju dan rok pesta berwarna
biru laut selutut, juga rambutnya yang dikepang cantik.
“Ck, sial! Lo ngejek gue ya?” celetuk Gina murung.
“Ih.. kagak, beneran elo cantik. Ke mana kacamata lo?” tanya Zarina ketika tak
melihat kacamata yang selalu bertengger dihidung Gina.
“Gue nggak pakek nih jadi dari tadi burem semua kelihatannya,” jawab Gina sembari
mengucek matanya pelan.
“Ya udah sini gue gandeng biar nggak nabrak lo.” Zarina sudah mengaitkan tangan
Gina pada lengannya. “Yok masuk! Za, lo mau masuk apa enggak?” tanyanya pada Zero
yang berada di belakang mereka.
Zero hanya mengangguk kecil dengan wajah datarnya. Mereka pun masuk ke dalam
aula yang sudah disulap dengan berbagai dekorasi cantik lainnya. “Tunangan lo ikut?” bisik
Gina pada Zarina.
Acara sebentar lagi akan segera dimulai tapi baik Zarina ataupun Gina tak juga
melihat Niki dan Leo di sana. “Niki dateng nggak ya?” gumam Zarina.
“Itu bukan si Zar? Burem-burem gitu,” ucap Gina sembari menyipitkan kedua
matanya menatap dua orang yang tak jauh dari mereka.
“Ah.. iya!” sergap Zarina ketika melihat Niki dan Leo berjalan mendekati mereka.
“Hey, sini!” teriaknya sembari melambaikan tangannya.
“Kalian cantik banget!” ucap Niki setelah sesi berpelukan ketiga cewek itu.
“Lo juga cantik Nik,” puji Gina.
“So beautiful. Lo kayak ratu semalam,” puji Zarina pula. Ia terpana melihat
penampilan Niki malam ini dengan gaun panjang berwarna putih dengan corak keemasan,
dan rambutnya yang bergelombang diikat menjadi satu ke belakang sangat cantik.
“Bisa aja deh kalian.” Ketiganya pun sibuk dengan obrolan yang terus terlontarkan
begitu saja.
148
Di satu sisi dua cowok dengan setelan jas berbeda itu diam saling tatap hingga didetik
berikutnya mereka saling bersalaman dan membenturkan satu bahunya. “Lo sahabat gue Le,”
bisik Zero.
“Selamanya gue emang sahabat lo,” ucap Leo dengan tawanya. Keduanya pun
mengepalkan tangan kanannya dan saling dibenturkan, kemudian tawa mereka pecah.
“Eh.. udah baikan?” celetuk Zarina hingga membuat ketiga cewek itu menatap dua
laki-laki dengan senyum tipis.
“Kalian aja bisa baikkan masa kita enggak,” jawab Leo.
“Marahnya cowok itu lebih cepet daripada cewek,” ucap Zero.
“Apaan! Elo marahnya aja dari tiga tahun yang lalu,” ucap Zarina gemas sembari
mengacak rambut Zero. Mereka pun tertawa sangat lepas.
“Kak Gina?” namun tawa mereka mendadak hilang ketika seorang laki-laki
berpakaian crew menghampiri mereka dengan memanggil Gina.
“Eh.. Tio?” gugup Gina sembari menyelipkan anak rambutnya sok imut.
“Gebet Gin.. gebet!” ucap Zarina dan Niki sembari mendorong Gina agar mendekat
pada cowok yang notabenenya adik kelas mereka yang bernama Tio. Tawa mereka pun
semakin menjadi-jadi ketika melihat Gina salah tingkah di depan Tio.
Ya.. kini sudah tak ada lagi yang namanya permusuhan dalam persahabatan. Kini
sudah tak ada lagi yang namanya benci sahabat sendiri. Kini kita telah menjadi satu tanpa ada
hati yang bermaksud memiliki karena sampai kapan pun memang kita akan tetap bersatu
dalam ikatan persahabatan dan persaudaraan.
Rasanya sudah lama sekali mereka tak tertawa, rasanya sudah lama sekali mereka tak
melepas bahagia mereka yang sesungguhnya, namun kini tak perlu lagi ada yang menutupi
kebahagiaan mereka, tak perlu lagi harus memakai topeng kebahagiaan karena saat ini
mereka sudah memiliki bahagia yang sesungguhnya.
Tidak perlu takut dengan masa lalumu, tidak perlu takut dengan masa depanmu dan
tidak perlu semua orang tahu siapa kamu dulu dan nanti karena hidup yang kita jalani adalah
saat ini, waktu ini, dan masa ini.
○○○
149
“Zero.. cepet keluar! Nanti kita telat ini,” teriak Zarina sembari terus menggedor-
gedor pintu kembarannya.
Ceklek! Pintu terbuka hingga membuat gadis itu memundurkan langkahnya.
“Berisik amat sih lo! Yok berangkat!” ucap Zero yang sudah siap dengan seragam
sama yang dikenakan Zarina, hitam putih dengan dasi.
Ya.. hari ini adalah waktu di mana mereka memulai hidup baru yang berbeda karena
hari ini adalah hari pertama mereka masuk kuliah, masa OSPEK kalau kata orang mah.
Mereka kuliah di perguruan negeri di Bandung. Ya.. mereka diberikan ijin oleh kedua
orang tuanya untuk kembali ke tanah kelahiran. Kini mereka memang hanya hidup berdua di
dalam rumah kontrakan tapi mereka berusaha untuk tak ada hal buruk yang terjadi selama
mereka memegang teguh janji.
“Rasanya baru kemaren kita masuk TK Ze,” gumam Zero dengan pandangan menatap
gedung besar di depannya.
“Dan rasanya baru kemaren gue kaget ada orang lain di rahimnya Bunda selain gue,”
gumam Zarina pula.
Pletak! “Emang lo ngerasain apa?!” gerutu Zero sembari menjitak kepala
kembarannya.
“Gue sayang elo Zero, my twin.”
“Dan gue lebih sayang sama elo Zarina, my twin.”
Keduanya saling pandang dengan senyum, diusapnya puncak kepala Zarina lembut.
Indahnya ketika kita bisa hidup dengan orang yang sudah bersama kita jauh sebelum
kita dilahirkan di dunia. Indahnya ketika kita hidup bersama orang yang menyebalkan dan
menjengkelkan tapi percaya atau tidak kita pasti akan merasa kehilangan ketika orang itu
pergi.
Sampai kapan pun elo milik gue Zarina, batin Zero.
Jangan pernah jauh ya dari gue Zero, batin Zarina memohon.
“Dorr!!!” keduanya tersentak kaget ketika ada yang mengagetkannya dari belakang.
“Niki?!” pekik Zarina.
150