ANTOLOGI CERITA PENDEK
PRODUKSI: OLEH:
Tim Literasi SMANKA Siswa – Siswi SMAN 1 Kademangan
Buah karya siswa-siswi SMANKA
Dalam peringatan Bulan Bahasa
ISBN:
978-623-5853-14-7
Cetakan Pertama: Januari, 2022
Hak cipta 2022, Pada penulis isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © Muara Books, 2022
All Right Reserved
Desain Sampul : @labibrohman_
Penata Letak : @labibrohman_
Hak Cipta dilindungi Undang-undang Republik Indonesia Nomor
19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Pasal 72
Penerbit Muara Books
(Grup Penerbit CV Muara Media Pustaka)
Kediri, Jawa Timur
Sambutan Kepala SMA Negeri 1 Kademangan
Assalamualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, kita patut bersyukur
atas nikmat sehat yang diberikan
Tuhan Yang Maha Esa pada kita
semua, sehingga buku Rindu Sekolah
ini bisa selesai dan terbit sesuai yang
kita rencanakan. Saya sampaikan terimakasih kepada tim
literasi SMA Negeri 1 Kademangan yang telah berhasil
mewujudkan program literasinya dalam penerbitan buku
Rindu Sekolah, dan juga saya ucapkan selamat kepada semua
siswa yang telah berhasil dan sukses dalam menulis cerita
pendek sehingga bisa andil dalam menyumbangkan hasil
tulisannya dalam buku ini.
Rindu Sekolah merupakan buku kumpulan cerita
pendek yang ditulis oleh siswa SMA Negeri 1 Kademangan,
sebagai wadah siswa untuk belajar dan mengembangkan
kompetensinya dalam menulis, yang juga sebagai wujud
berkembangnya literasi di sekolah. Buku ini berisikan
ii
pengalaman siswa atau juga imajinasi siswa selama pandemi
Covid-19, yang mengungkapkan bagaimana lika liku pelajar
semasa pandemi. Harapannya pengalaman yang dirasakan
siswa tidak hilang begitu saja, tapi bisa tersimpan dalam
tulisan yang tentunya akan bisa menginspirasi pembaca
dimasa yang akan datang.
Pesan saya pada anak-anak, ayo terus semangat untuk
tetap rajin membaca dan menulis, karena dengan membaca
dan menulis akan banyak ilmu yang akan bisa kalian serap
sebagai modal dalam mengembangkan studi kalian dan juga
bekal hidup kalian terjun ke masyarakat nantinya. Semakin
banyak karya inovasi yang dikembangkan di SMA Negeri 1
Kademangan lewat karya anak-anak akan semakin mewarnai
sekolah ini sebagai sekolah yang selalu membangun budaya
literasinya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Endah Purwati, M.Pd.
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas
segala karunia sehingga buku dengan judul “Rindu Sekolah”
dapat terbit. Penerbitan buku ini merupakan pelaksanaan
salah satu program literasi SMA Negeri 1 Kademangan tahun
2021. Kegiatan ini diarahkan untuk menumbuhkan motivasi
menulis bagi siswa. Buku kumpulan cerita pendek ini juga
menjadi wahana untuk mengungkap segala rasa siswa selama
pandemi.
Ucapan terima kasih tiada terhingga kepada Kepala
SMA Negeri 1 Kademangan atas sarana yang diberikan. Buku
ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan.
Tim Literasi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ..............................................................i
Sambutan Kepala SMAN 1 Kademangan ....................ii
Kata Pengantar .............................................................iv
Daftar Isi ......................................................................v
1. Fajar yang Kembali Terbit ........................................1
2. Pertemuan yang dirindukan .....................................15
3. Tak Selamanya Menyedihkan ..................................24
4. Dua Minggu? ............................................................34
5. Pendukung Terbaik, Penyembuh Paling Ampuh .....42
6. Realitas Mimpi dan Pandemi ....................................51
7. Ungkapan Hatiku .....................................................59
8. Aku, Dia, dan Mimpi Kita .......................................66
9. Catatan Rindu Untuk Sekolahku ..............................70
10. Di Masa Pandemi Kakakku Pahlawanku ...............80
11. I’M Possible ...........................................................83
12. Kegiatan Keluarga Manghadapi Pandemi ..............93
13. Keluargaku Menghadapi Pandemi .........................95
14. Kerinduan Dalam Sepi ...........................................101
15. Kerinduan Ini .........................................................109
16. OHANA .................................................................115
v
17. Pandemi Hambatan Keluarga .................................121
18. Pandemi yang Tak Kunjung Usai ...........................126
19. Pesona Gawai Saat Pandemi ..................................131
20. Rindu Akan Sekolahku ...........................................137
21. Rindu Sekolah ........................................................142
22. Sekolah yang Dirindukan .......................................147
23. Story of Pandemic ..................................................154
24. Tanpa Tanda Jasa ...................................................160
25. Terlambat Ujian ......................................................164
FAJAR YANG KEMBALI TERBIT
Karya: Andre Kurniawan
Siapa yang menyangka bahwa malapetaka ini
hadir di tengah masyarakat Indonesia, malapetaka
yang menyengsarakan jutaan manusia dan
menewaskan ratusan ribu nyawa. Ini bukanlah amarah
Tuhan karena Tuhan itu maha sabar dan maha
penyayang. Ini semua hanyalah cobaan yang Tuhan
berikan kepada kita untuk menghapuskan dosa-dosa
kita yang apabila kita hitung tidak akan cukup waktu
seumur hidup kita untuk menyelesaikannya.
Ardanu Saputra pemuda yang lebih sering disapa
Danu yang lahir pada Sabtu, 29 Mei 2004 silam, kini
tumbuh menjadi pemuda dewasa. Hidup di lingkungan
keluarga yang sederhana tidak membuatnya patah
semangat untuk meraih semua mimpinya. Masa telah
berlalu dan tak dapat diulangi bagaikan pedang yang
menebas sasarannya. Danu kini telah menjadi salah
satu siswa SMA Negeri di kotanya. Ia yang dulunya
dikenal sebagai murid rajin dan pandai kini hanya
1
menjadi cerita masa lalu tentang Danu, semua itu
berawal di suatu ketika.
Kilng.. kling.. suara dering WhatsApp menandakan
masuknya tugas. Seperti biasa Danu yang terbaring di
atas armada kamarnya mengenakan busana muslim
dan sarung yang Ia gunakan untuk solat subuh pagi
tadi mulai membuka handphone yang dari tadi sudah
mengusik mimpi indahnya.
“Tugas lagi, tugas lagi kapan sih sehari aja gausah
ada tugas online kaya gini” Ketusnya ketika Ia
mendapati tugas sudah dikirim oleh bapak ibu guru.
[29/1 06.30] Pak Fisika:“Tolong diperhatikan siswa
yang bernama Ardanu belum mengumpulkan tugas
pertama dan kedua, tolong segera dilengkapi atau
kalau tidak dilengkapi tidak dapat mengikuti ujian
tengah semester tahun ini.” Ucap seorang guru Fisika
kepada Danu melalui grop kelas yang telah dibuat.
Diam sejenak sembari membaca pesan tersebut,
menarik nafas panjang kemudian mengeluarkannya,
mengambil keputusan untuk menutup laptop yang ada
di depannya. Segera Ia mengganti WhatsApp yang ada
di HP nya menjadi sebuah game online yang setiap
2
hari Ia mainkan ketika teman sekelasnya sedang sibuk
mengerjakan tugas sekolah.
“Kalah lagi, kalah lagi. Ah game apaan si dapat
temen noob melulu sekali kali kek dapet temen yang
bisa gendong gitu?” Melempar HP nya ke atas kasur
merupakan hal yang selalu Danu lakukan ketika kalah
main game.
“Nak ayo sarapan dulu! Ibu masak makanan
kesukaanmu hari ini.” Teriak Sunarti perempuan
tangguh yang selama ini telah membesarkan Danu
dengan kasih sayangnya. “Iya Buk ini masih beres-
beres kamar,” jawab Danu. Di meja makan, sebuah
tangan putih bersih nan indah mengambil sesuap nasi
kemudian mengarahkan suapan itu kepada Danu
sembari berkata, “Nak gimana belajarnya selama ini,
tidak ada kendala kan? Ibu dan Bapakmu itu, selalu
berdoa dan berharap bahwa kelak suatu saat nanti
kamu akan menjadi orang yang sukses baik di dunia
maupun di akhirat aamiin.” “Alhamdulillah Buk
Danu tidak mengalami kendala sama sekali, Danu
juga belajar dengan sungguh-sungguh kok. Semoga
saja Danu bisa mewujudkaan semua itikad baik Bapak
3
sama Ibuk.” Balas Danu kepada Ibunya dengan
pandangan kosong yang mengarah ke bawah
mengingat akan suatu kebenaran yang Ia tutupi
Ibu Danu menyerahkan sisa makanan di piring yang
belum selesai Ia suapkan, karena teringat bahwa Ia
harus pergi ke pasar untuk membeli beberapa
kebutuhan rumah yang habis. Kebetulan letak pasar
tidak terlalu jauh cuma sekitar dua kilometer dari
rumah mereka. Sehingga tak perlu mobil mewah,
Sunarti hanya perlu berangkat menggunakan sepeda
bututnya yang selalu ia pakai untuk pergi ke daerah
yang jaraknya cukup dekat.
Gemuruh riuh perbincangan manusia, bau amis
ikan, dan daging mentah menyelimuti pagi cerah di
kota yang lekat dengan suasana tawar-menawar.
Sesekali Sunarti yang tengah menuntun sepedanya
menyapa penjual yang ada di tepi jalan sembari
melirik dagangan mereka. Ia pun memutuskan untuk
menghentikan penjelajahannya tepat di depan warung
favoritnya. “Sresst sresst Nih mak kakung seikat,
tempenya dua, tahunya tiga uangnya lima belas ribu
rupiah udah pass.” Ucap seorang pembeli yang
4
membayar belanjaannya sembari menyemprotkan
handsanitaizer di uang tersebut. “Sekarang itu semua
serba susah yuu, harus jaga jarak lah, pakai masker
lah, tambah lagi nih uang harus basah kuyup kena
parfum corona,” balas penjual dengan cetus sambil
mengipat kipatkan uang yang terkena handsanitaizer.
“Handsanitaizer Mak namanya, bukan parfum
corona” Sahut Yono karyawan penjual yang sedang
menata dagangan di depan. “Diam lu Yono kerja gih
yang bener!” Sunarti yang berada di depan Yono
menyambung perkataan Yono dengan maksud
bercanda.
Fantofel hitam mengkilap, seragam coklat
muda yang menandakan Ia adalah seorang pegawai
negara berhenti tepat di samping Sunarti yang sedang
memilih sayur. Mata Sunarti sedikit melirik ke bet
nama yang terjait di baju pegawai itu, tertuliskan
Diana Maharani. Ia mulai menginat nama itu tanpa
ragu Sunarti menyapa pegawai yang ada di
sampingnya itu. “Permisi ini bu Diana wali kelasnya
Danu kan?” “Iya bu bener banget, ini bu Narti ya,
mamanya Danu?” Balas Diana atas sapaan Narti.
5
“Betul sekali bu.” “Alhamdulillah bu kita bertemu di
sini, ibu sekeluarga apa kabar sehat kan? Tadi itu
sebenarnya habis dari sini mau mampir ke rumah ibu
eh ternyata ketemu di sini.”
Dengan suara yang sedikit berbisik Sunarti
bertanya kepada Diana, “Alhamdulillah bu, sehat bu,
ngomong-ngomong Bu Diana mau membicarakan
Danu ya? Kalau iya, di sana aja bu sambil duduk
jangan di sini!” sambil menunjuk kursi yang sengaja
disediakan di depan toko. Diana pun mengiyakan
kemauan Sunarti.
“Eh mau kemana tuh yu gajadi belanja apa?”
Tanya Yono yang melihat Sunarti pergi ke luar took.
“Jadi Yon tapi bentar, ini masih ada panggilan
khusus. Ini nih Bu Diana wali kelasnya Danu.” “Oh
wali kelasnya Danu, wah masih cantik dan muda ya?”
candaan Yono melihat paras ayu Diana. “Dasar mulut
clutak sudah punya istri masih aja lirik sana sini,”
ketus Sunarti mendengar candaan Yono.
Mereka duduk di kursi depan toko. Dengan
senyuman ceria yang terpahat di wajahnya Sunarti
menunjukan bahwa Ia siap menerima kabar baik dari
6
Diana. Hayalan yang melintas di kepalanya sangatlah
banyak. Pikirannya sudah membayangkan bahwa
Diana akan meyampaikan kabar tentang prestasi Danu
di sekolah. Diana yang mulai menyadari makna dari
raut wajah Sunarti menjadi gugup dan kebingungan
ingin memulai percakapan ini dari arah mana. Dengan
berat hati Ia mengungkapkan niat dan tujuannya
menemui Sunarti.
Senyuman dan keindahan yang semulanya
terpahat di raut wajah Sunarti kini telah berubah
menjadi lautan api. Senyum hangatnya berubah
menjadi amarah seketika Ia mendengar apa yang
Diana sampaikan padanya. Diana saat itu hanya bisa
meminta maaf pada Sunarti karena telah
menyampaikan hal yang tidak mengenakkan ini.
Dengan sedikit senyuman Sunarti mengatakan bahwa
Ia tidak mempermasalahkan hal itu, justru Ia sangat
berterimakasih karena Diana karena mau
menuyampaikan hal penting ini. Kekecewaan
membuat Sunarti mati kata Ia pun segera permisi
beranjak dari tempat duduknya lalu pergi
meninggalkan Diana.
7
“Loh yu mau ke mana katanya jadi belanja?”
Tanya Yono yang melihat Sunarti malah menuju ke
tempat sepedanya diparkirkan, namun saat itu Sunarti
yang tengah naik pitam tidak menggubris perkataan
Yono dan pergi begitu saja.
Melihat anaknya duduk saantai di teras rumah
menjadi sambutan pedas yang pertama kali didapat
oleh Sunarti pasca berita tidak mengenakan yang telah
disampaikan oleh Diana. Dengan santai dan seperti
biasanya Danu menghampiri Sunarti ketika Ia turun
dari sepeda dan bersungkem dengannya, namun kali
ini ketika Danu menghampiri Sunarti bukannya
menerima sugkem Danu malah mendapati Ibunya
mengabaikan tangannya yang sudah mapan. “Buk hari
ini Ibuk gajadi belanja yaaa kok gabawa sayur? Buk
ada apa, ibu marah sama Danu?” tanya Danu
sembari mengikuti Sunarti yang masuk ke dalam
rumah tanpa merespon perkataan dan sungkem Danu.
Dari depan pintu terlihat Sunarti yang sedang
duduk mengeluarkan air matanya, tetesan yang
membanjiri pipinya diiringi dengan tatapan tajam ke
arah Danu membuat Danu semakin kebingungan.
8
Danu mencoba mendekati Ibunya dan menanyakan
apa yang telah terjadi pada ibuya. “Apa yang kamu
harap dari ibumu nak, kebahagiaan, kebanggaan
ataukah hidup yang beruntung? Semua itu akan Ibu
dapat darimu nak, tetapi apa yang terjadi, kamu tidak
menyangi ibumu sama sekali, kamu bohong sama
ibu.” Tangis Sunarti pecah sembari mengutarakan
kekecewaannya pada Danu. Ketika anaknya bertanya
apa yang membuatnya bersedih. Ia pun menghampiri
Ibunya menunduk, hanya bisa meneteskan air mata
kemudian menanyakan kesalahan apa yang telah Danu
perbuat hingga ibunya menangis. Sunarti yang
semulanya berbicara dengan suara pelan mendadak
membentak Danu dan berkata. “Kamu berbohong
pada ibu kamu bilang kamu rajin belajar, ternyata itu
semua hanya omong kosong. Di pasar ibu bertemu
dengan Bu Diana wali kelas kamu dia menceritakan
hal yang…. Dan ibu sangat kecwa mendengar itu
semua.” “Asalkan ibu tahu, Danu tuh capek buk, jika
harus terus belajar dalam kondisi seperti ini.” Sunarti
yang mendengar jawaban Danu seketika langsung
mengangkat tangannya dengan maksud agar Danu
9
berhenti bicara. Danu merasa sangat kecewa karena
sanggahannya diabaikan. Ia pun segera pergi menuju
kamar meninggalkan Sunarti.
Di dalam kesunyian hati yang selaras dengan
kesunyian ruangan, Danu meneteskan air mata
mengingat akan jejak hidupnya semasa ia masih
duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah. “Bapak Ibu
wali murid yang kami hormati, perlu diketahui
bahwa selama lima dekade sekolah ini berdiri setiap
tahunnya akan melahirkan generasi-generasi cerdas
penerus bangsa dan ini adalah tahun pertama di
mana siswa terbaik itu berjenis kelamin laki-laki
yang sebelum-sebelumnya selalu diraih oleh siswi
perempuan. Dan dengan bangga saya umumkan
bahwa siswa dengan predikat terbaik pada tahun
ajaran 2019/2020 adalah Ananda Ardanu Saputra.”
Teriakan puji syukur kepada Allah bergema di rumah
Danu ketika Ia telah dinobatkan menjadi lulusan
dengan predikat terbaik pada purnawiyata yang digelar
secara virtual. Bapak Danu yang sangat senang
melihat anaknya mendapatkan penghargaan tak segan
memeluk Danu. Ia juga berjanji kepada Danu akan
10
bekerja dengan keras untuk memenuhi kebutuhan
Danu, bahkan jika perlu Ia akan pergi ke luar negeri.
Sayangnya itu hanyalah euphoria masa lalu
yang sedang Danu ingat di dalam benaknya.
Tersenyum tipis Danu menghapus eluh di pipinya
karena teringat bahwa hari itu ia sangatlah bahagia,
seakan Dunia telah Ia genggam, namun semenjak hari
itu semuanya menjadi hampa bagikan seruling yang
telah tak mampu menyuarakan kemerduanya.
Kamis 15 Juni 2020 Kompas TV
Indonesia: “Saudara untuk mengantisipasi
penularan virus Corona pemerintah mengambil
keputusan meliburkan sekolah mulai dari tingkat
kanak-kanak hingga sekolah tingkat atas. Libur
dimulai hari senin tanggal 16 Juni hingga 29 Juni
mendatang, pemerintah juga menghimbau kepada
masyarakat agar tidak membuat kegiatan yang dapat
menimbulkan keramaian. Warga yang mengalami
demam tinggi disertai pilek dan batuk untuk segera
memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan
terdekat. Abdul Rahman Kompas TV melaporkan.”
11
“Breaakk” Emosi yang menguasai
Danu membuatnya melemparkan buku di genggaman
tangannya karena mengingat berita yang telah
membuat hidupnya berubah, menangis sendu ia
menatap kumpulan buku yang ada di meja belajar.
Pikiran kotornya mulai meracuni hati nurani.
Berencana untuk membakar semua buku sekolahnya
dan mulai berhenti sekolah karena Ia sudah tidak
sanggup lagi untuk belajar dalam kondisi seperti ini,
tampaknya sudah di depan mata hanya tinggal
menuang minyak ke dalam tumpukan buku dan
menyalakan korek api maka semua buku di depannya
akan terbakar hangus. Namun sang Khaliq
berkehendak lain karena seruan mulia menggema di
pendengaran Danu. “Hayya alashshalaah, Hayya
alashshalaah, Hayya alalfalaah, Hayya alalfalaah,”
(marilah solat, marilah menuju kepada kejayaan.
Gema Azan yang berkumandang membuatnya
pikirannya sadar akan semua kesalahannya. Teringat
bahwa Allah telah menyerukan bahwasannya jarak
untuk mencapai kesuksesan dan kemenangan hanyalah
antara sujud dan sajadahnya. Segera Ia keluar dan
12
mencari Ibunya dan mengurungkan semua niatnya
untuk menghabisi pendidikan di masa SMA. Danu
yang mengetahui ibunya sedang berdiam diri di dalam
kamar dengan pintu terkunci segera mendodoki pintu
sembari menangis dan berkata. “Buuk maafin Danu,
Danu ngaku sudah salah, Danu berbohong pada ibu
dan tidak mengerjakan tugas sekolah dengan baik,
Danu sangat menyesal, Danu sudah menjadi anak
yang durhaka, anak yang tidak patuh dengan
orangtua dan gurunya. Danu janji buk Danu akan
berubah dan tidak mengulangi kesalahan ini. Danu
mohon maafkan Danu buk, restu Allah hanya akan
ada jika ibu juga merestui setiap langkah Danu.”
Lubuk hati terdalam Sunarti terketuk Ia
pun keluar menemui Danu. Mengangkat anaknya yang
sedang tersimpuh di depan pintu menyesali semua
kesalahannya. “Nakkkk… ketahuilah ibu tidak pernah
membencimu, Ibu akan selalu mendoakan mu
meskipun kamu sudah membohongi Ibu. Semua ini ibu
lakukan karena ibu sangat mencintaimu. Ibu
memaafkan mu Nak, Ibu memaafkanmu. Tidak akan
ada ibu di dunia ini yang tega melihat anaknya
13
menderita begitupun dengan ibumu ini, ibu tidak mau
kamu tidak berhasil dalam hidupmu nanti itulah
sebabnya ibu selalu tegas denganmu,” peluk sunarti
pada anaknya dengan tetesan air mata yang mengalir.
“Danu paham bukk mulai sekarang Danu janji, Danu
akan menjadi Danu yang dulu yang selalu rajin
belajar, Danu akan mengerjakan semua tugas sekolah
meskipun sekarang dalam masa kondisi khusus seperti
pandemi saat ini. Danu berjanji tidak akan membuat
bapak dan ibu kecewa bahkan bersedih lagi.”
14
PERTEMUAN YANG DIRINDUKAN
Karya: Mauladatun Nurul Azizah
Kisah ini bukan hanya tentang aku yang menjadi tokoh
utamanya. Ini adalah sepenggal kisah antara aku dan
sahabatku, tentang bagaimana mengarungi dunia ini. Dunia
yang begitu luas dengan keajaiban-keajaiban yang ada di
dalamnya.
Perkenalkan namaku Maurina Najwa Azizah, seorang
putri yang sedang menempuh pendidikan jenjang SMA.
Semua orang biasa memanggilku dengan nama terakhir yaitu
Azizah. Mengenai nama-nama sahabatku, biarlah mereka
tersemat dalam bait-bait cerita ini.
Sebelum aku bertemu dengan para sahabatku, aku adalah
seorang anak introvert yang tak banyak bicara. Percaya atau
tidak, tapi itulah faktanya. Saat pertama kali aku
menginjakkan kaki di sekolah ini, tidak ada seorang teman di
sampingku. Sebenarnya ini bukanlah sekolah yang sejak lama
kuimpikan. Tapi takdir memilih jalan untuk aku bersekolah di
sini. Manusia memang bisa berencana tapi Tuhan yang
menentukan.
15
"Assalamualaikum," sapaku saat memasuki ruang kelas.
Beberapa dari mereka ada yang menjawab salamku dan ada
yang tak acuh dengan kedatanganku. Aku yang memang ingin
duduk di depan, mulai memperhatikan bangku depan yang
masih kosong.
Di bangku depan meja guru ada seorang siswi
berkacamata yang sedang duduk sendiri dengan memainkan
ponselnya. Aku menghampiri bangku tersebut dengan kepala
menunduk.
"Maaf kak, apakah kursi di samping kakak kosong?
Kalau iya, apa boleh saya duduk disini?" ucapku mengawali
pembicaraan.
"Enggak ada, silahkan duduk Kak," jawabnya dengan
nada malu-malu.
"Perkenalkan namaku Azizah. Nama Kakak siapa?"
tanyaku padanya.
"Namaku Indri," imbasnya.
Indri seorang gadis cantik berpipi bulat, tak lupa dengan
kacamata yang selalu menghiasi matanya. Dia adalah sahabat
pertamaku di sekolah ini. Sebuah perkenalan singkat berubah
menjadi kebiasaan selalu bersama. Ternyata, kisah di antara
kami juga sama.
16
Sama-sama mengikhlaskan dan menerima keputusan
takdir. Hari demi hari terlewati, perasaan ikhlas itu sudah
membentengi diri. Takdir memang selalu memberikan buah
hasil dari keikhlasan. Pintu alasan mengapa aku berada di
sekolah ini, terbuka sangat lebar.
Aku ingat akan perkataan seorang guru saat upacara di
awal kita berkumpul.
"Bukan bersekolah di sekolah favorit, tapi menjadi favorit
di sekolahmu," terang guru yang bernama Pak Redi.
Kata-kata itu seakan menghipnotisku. Pikiran dan hatiku
menjadi terbuka. Perlahan aku menyadari bahwa potensi diri
dan skill lebih penting daripada letak sekolah. Berlian di
letakkan dimanapun akan tetap menjadi berlian yang berharga.
Setelah satu bulan, aku dan teman-teman satu kelas
menjadi akrab. Mulai dari nama dan karakter sudah hafal di
luar kepala. Tak kusangka, teman-teman sekelasku sangatlah
solid dan kompak.
Seperti tidak ada persaingan nilai di antara kami. Kami
lebih sering menghabiskan waktu istirahat di dalam kelas.
Pintu selalu tertutup itulah identitas kelas kami. Teman-teman
ada yang tidur di belakang, bermain HP, makan bekal dari
17
rumah dan mendengarkan musik atau menonton film di
proyektor.
Kebersamaan di antara kami terus terjaga harmonis. Hal-
hal lucu dan absurd mewarnai hari-hari kami. Sifat masing-
masing siswa selalu menunjukkan kekonyolan. Bersenda
gurau dengan guru pun kami lakukan.
Aku dan Indri kemana-kemana selalu berdua. Entah itu ke
kantin, ke mushola atau ke kamar mandi. Suatu ketika
gabunglah dua personil baru di circle persahabatan kami. Suci
dan Putri namanya. Putri sama dengan aku dan Indri yang
mengenakan hijab di kepala.
Sedangkan Suci, dia hanya memakai kuncitan untuk
merapikan rambutnya. Agama yang dianutnya berbeda
dengan kita bertiga. Namun, ini bukan tentang cerita beda
agama.
Kembali lagi ke topik awal. Kami berempat sekarang
menjadi sahabat baik. Menjalani hari demi hari dengan
kebersamaan dan penuh suka cita. Berbagi nasihat, saling
memotivasi dan menjadi support system terus kita lakukan.
Semester ganjil terlewati dengan penuh kesenangan.
Tibalah bulan Februari, bulan dimana kami semua
merayakan HUT sekolah tercinta. Pada saat itu, banyak
18
kegiatan yang digelar. Lebih meriahnya lagi, SMA kita bisa
mengundang penyanyi ambyar Denny Caknan. Semuanya
berubah menjadi kenangan. Awal bulan Mei, sekolah
diliburkan karena adanya pandemi Covid-19. Diumumkan
bahwa akan belajar di rumah selama dua minggu.
"Eh guys, hangout kemana nih. Libur dua minggu
lumayan buat refreshing," kata Suci.
"Bukan libur, tapi belajar dari rumah," sambung Putri
dengan menepuh dahinya.
"Ih, gitu aja ngegas," jawab Suci.
"Sudah-sudah, sekarang bukan waktunya untuk hangout.
Kita harus tetap di rumah untuk memutus rantai penyebaran
covid-19," terangku untuk melerai mereka.
Pada akhirnya, kami semua berdiam diri di rumah
tanpa kabar jelas kapan akan kembali belajar di sekolah.
Mendengar betapa banyak kabar buruk dan kabar duka
mengenai virus ini sudah sangat membuatku frustasi.
Sungguh, aku merindukan kehidupan bebas sebelum ada
virus ini. Aku dan sahabat-sahabatku hanya bisa
berkomunikasi lewat sosial media. Betapa aku merindukan
waktu-waktu bersama mereka.
19
Waktu terus berjalan tanpa kusadari sekarang aku
telah naik di kelas 12. Tuhan, bahkan aku hanya menikmati
masa sekolahku tidak ada satu tahun tapi aku harus terkurung
dengan konyol karena virus menyebalkan itu. Keadaan
sahabat-sahabatku tidak terlalu berbeda denganku. Iya,
mereka juga mengeluhkan hal yang sama. Lihat, betapa
kompaknya kami.
Satu hal yang membuatku bertambah sebal adalah
tumpukan tugas yang tak kunjung reda. Ketika satu tugas
selesai aku telah ditunggu setumpuk tugas yang lain. Andai
aku bersekolah dengan normal pasti aku dan sahabat-
sahabatku akan bebas mengerjakan kelompok. Sungguh aku
merindukan mereka. Kemudian, di tengah aktivitas
mengerjakan tugas ponselku berbunyi. Kulihat ada notifikasi
pesan dari Putri. “Zah, coba kamu lihat instanya Suci dia
mengirim foto hangout dengan teman barunya!”
Segera kulihat dan benar, Suci berfoto dengan 2 teman
lainnya tengah hangout. Dan yang lebih menyakitkan adalah
caption di bawah foto tersebut 'Sahabat sejati yang mau
menemaniku kemana-mana bukan yang takut virus dan
mengabaikanku.’ Sungguh, bukan itu yang kami maksud.
Memang Suci beberapa kali mengajak kami untuk hangout.
20
Tapi kan, di tengah virus seperti ini tidak mungkin kami
keluar hanya untuk hangout.
Nasi telah menjadi bubur, pada akhirnya kami
bertengkar dengan Suci. Suci marah pada kami dan kami juga
sempat terpancing amarah dan ego yang pada akhirnya
menghancurkan persahabatan kami. Kalimat Suci sungguh
membuat hatiku terluka.
“Dari awal kalian memang tak pernah menganggapku
sahabat, tapi tidak perlu lagi menganggapku sahabat kalian.
Semoga kita tidak pernah bertemu lagi!” kata Suci saat itu.
Aku menangis untuk beberapa hari, aku merasa
bersalah pada Suci tapi aku juga marah padanya. Hingga
Bunda mendatangi kamarku.
“Zah, Bunda masuk ya?” tanya Bunda
“Iya bund, masuk aja nggak Zah kunci!” kataku.
“Bunda lihat, kamu beberapa hari ini terlihat murung
ya? Ada apa?” taya Bunda lagi dengan lembut. Kemudian,
kuceritakan dari awal permasalahan kami berempat.
“Zah, jika kalian akan bersama pasti takdir akan
menemukan jalannya. Sekarang kalian saling intropeksi dulu
saja ya. Biarkan Suci menenangkan dirinya dulu!” kata Bunda
padaku.
21
Mungkin benar kata bunda, biarkan takdir yang
mengembalikan kami. Waktu berjalan dengan lambat, Suci
masih sering terlihat hangout dengan temannya. Aku
bersyukur dia baik-baik saja dan bahagia. Kuharap dia juga
selalu sehat. Hubunganku dengan Putri dan Indri juga sedikit
renggang karena masalah ini, mungkin mereka juga merasa
tidak nyaman dan bersalah.
Hingga datanglah hari yang tidak kuingin terjadi, Suci
terkena Covid. Kabar yang sangat membuatku sedih, apalagi
Suci tidak bisa dihubungi. Hingga akhirnya, Indri
memberikan kabar dari tetangga Suci bahwa dia masih
dirawat di Rumah Sakit dalam keadaan yang tidak bisa
dibilang baik. Rasanya hatiku sungguh sesak. Ingin aku
segera kesana dan menjenguknya. Tapi itu akan sia-sia karena
sudah pasti aku tidak akan diizinkan masuk karena virus itu
menular dengan cepat. Setiap hari aku mendoakan
kesembuhan Suci, hingga Suci mengabariku.
Suci, “Zah, bagaimana kabarmu? Maaf karena kesalahanku
seharusnya aku mendengarkan nasehatmu. Kuharap setelah
aku sembuh, kita bisa bertemu yaaa?”
Me, “Alhamdulillah, kamu baik-baik saja. Iya mari bertemu
Ci, aku merindukan kamu.”
22
Tapi, takdir terkadang terlalu kejam pada manusia.
Sebelum aku bisa bertemu Suci, pemerintah mengumumkan
bahwa akan diterapkan PPKM level empat. Padahal, aku
sangat ingin bertemu dengan Suci. Namun, ini solusi terbaik
untuk mengatasi lonjakan kasus covid-19.
Tuhan, jika sekarang takdir membawaku jauh dari
mereka kumohon pertemukanlah kami sebelum waktu
kelulusan tiba. Aku merindukan sahabatku. Dengan
permasalahan kami, akhirnya kami sadar bahwa persahabatan
bukan hanya tentang selalu bertemu dan bermain tapi juga
tentang saling menjaga dan mengalahkan ego masing-masing.
23
TAK SELAMANYA MENYEDIHKAN
Karya: Naila Stephanie Putri
“Jangan pernah menyesali sehari pun dalam hidupmu.
Hari-hari baik akan membawamu pada kebahagiaan,
sedangkan hari-hari buruk akan membawamu pada
pengalaman yang sangat berharga dalam hidupmu.” Blitar,
September 2021
Suara Adzan subuh yang telah berkumandang
membuatku terbangun dari tidur nyenyak ku. Dengan
pandangan yang masih samar-samar, tangan yang diam,
mulai bergerak ke arah dimana jam terletak. Jam yang kini
sudah menunjukan pukul 04.40 WIB membuatku berusaha
semaksimal mungkin untuk mengumpulkan seluruh nyawaku
agar segera bangkit dari tempat tidur yang sangat nyaman itu.
Berat?? Ya, mungkin seperti itu, tapi aku harus segera bangun
dan melaksanakan kewajibanku. Hingga beberapa saat
kemudian dengan penuh semangat aku bangkit lalu berjalan
menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan mengambil air
wudhu. Akhirnya sholat subuh telah ku selesaikan, kini sang
fajar telah benar-benar menampakkan dirinya, itu artinya aku
24
harus segera menyiapkan segala keperluan untuk
pembelajaran tatap muka pertamaku di jenjang SMA hari ini.
Senang sekali rasanya, karena akhirnya bisa kembali memulai
pembelajaran secara langsung. Jujur saja, masih banyak
materi yang tidak ku pahami karena pembelajaran secara
online ini, maka dari itulah aku merasa begitu senang ketika
mendengar pemberitahuan bahwa hari ini anak kelas 10 dari
SMA NEGERI 1 KADEMANGAN akan melaksanakan
pembe-lajaran secara tatap muka, meskipun terbagi dalam
dua sesi. Dan jadwalku sebenarnya di sesi kedua, tetapi aku
ingin mempersiapkan semuanya sekarang agar nanti tidak
terburu-buru.
Aku yang tengah menyiapkan segala keperluan
sekolahku, tiba-tiba saja di datangi oleh ibuku “Hari ini jadi
masuk sekolah??” Beliau bertanya seraya mendekatiku
“Tentu dong..” Seru ku dengan raut muka yang begitu
sangat semangat. Ibu yang melihatku tampak semangat,
akhirnya mengeluarkan kata-kata mutiaranya yang membuat
jiwa semangatku semakin memberontak. Ya, seperti itulah
ibuku, dia selalu memiliki cara tersendiri untuk membuat
25
anaknya semakin semangat. Tetapi aku yakin seluruh ibu di
penjuru dunia pasti seperti itu.
Waktu telah menunjukan pukul 10.10 WIB, itu artinya
kini sudah waktunya aku untuk bersekolah. Aku yang saat ini
sudah berada di parkiran sekolah bersama dengan salah
seorang temanku akhirnya langsung memutuskan untuk
masuk karena jam pelajaran akan segera dimulai. Tenang saja,
protokol kesehatan yang disediakan sekolahku sangat aman
kok, jadi kita sebagai siswa bisa belajar dengan tenang dan
nyaman. Masuklah aku ke dalam ruang kelas yang di
dalamnya sudah terdapat beberapa siswa yang sedang
mempelajari materi yang baru saja diberikan oleh guru mata
pelajaran pertama yang kebetulan sekali pada saat itu tidak
bisa hadir untuk mengajar. Yah, lagi-lagi aku harus kembali
merasa belajar secara online meskipun kondisinya tengah
berada di sekolah, namun itu tak meruntuhkan semangat
belajarku. Aku mengingat apa yang tadi dikatakan oleh ibuku
dan ku jadikan hal tersebut sebagai patokan semangatku hari
ini.
Mata pelajaran pertama telah usai, itu artinya setelah
ini mata pelajaran kedua akan dimulai. Entahlah guru mata
26
pelajaran kedua akan masuk atau tidak, tetapi ku harap beliau
masuk dan mengajar kelasku. Dan benar saja, tak lama setelah
pertanyaan itu terlintas di pikiranku, guru mata pelajaran
kedua memasuki ruang kelasku dan menyapa seluruh siswa
yang berada di dalam kelas. Mata pelajaran kedua pun di
awali dengan canda tawa yang di ciptakan oleh guru tersebut.
Menyenangkan?? Tentu saja, ini salah satu hal yang ku
rindukan selama belajar secara online. Ku pikir di SMA ini
aku tak akan menemukan guru yang suka bercanda tawa,
nyatanya pikiranku itu salah, bahkan sekarang aku yakin
bahwa hampir seluruh guru yang ada di SMA ini senang
bercanda tawa dengan muridnya.
Tak terasa saja bel sudah berbunyi, itu tandanya jam
pelajaran telah selesai dan seluruh siswa akan kembali ke
rumah masing-masing. Namun entah mengapa mendengar bel
jam pelajaran berakhir rasanya sangat tidak menyenangkan
sekali. Ya, mungkin memang benar jika setiap siswa berada
di sekolah jam yang paling di tunggu adalah jam pulang
sekolah, tapi entahlah ada apa dengan diriku hari ini, malas
sekali rasanya untuk kembali ke rumah. Namun jika tidak
27
pulang ke rumah lantas aku harus pulang kemana? Jadi, mau
tidak mau aku harus tetap pulang.
Benar saja, baru saja aku melangkahkan kakiku masuk
ke dalam rumah, aku sudah disambut dengan pertengkaran itu
lagi. Aku melontarkan sebuah pertanyaan yang secara
spontan keluar dari mulutku, memang nadanya rendah, tetapi
suaraku itu masih bisa di dengar dengan jelas. Inilah yang
tidak ku suka semenjak pandemi covid-19 ini dimulai, kedua
orang tuaku sering sekali bertengkar hanya karena hal-hal
yang sepele. Aku kira dengan adanya pandemi ini keluargaku
akan tetap harmonis atau justru semakin harmonis, tapi
nyatanya aku salah, semua berbalik dari apa yang aku
pikirkan. Setelah bersalaman, aku langsung masuk ke dalam
kamar tanpa memperdulikan mereka yang masih saja
bertengkar. Aku membersihkan diriku dan memutuskan
untuk istirahat sejenak merebahkan badanku yang sedikit
lelah.
Pukul 15.30 WIB aku terbangun, aku membuka
ponselku sejenak karena ada sebuah pemberitahuan dari grup
kelas. Degg, pemberitahuan yang berisi tentang pembelajaran
akan kembali dilaksanakan secara online itu mampu merubah
28
raut mukaku dengan sangat cepat. Bagaimana tidak, pasalnya
saja baru satu hari melaksanakan pembelajaran secara tatap
muka, tetapi di hari berikutnya harus kembali melaksanakan
pembelajaran secara online. Ya, mau bagaimana lagi, aku tak
bisa berbuat apapun, lagi pula keputusan yang diberikan itu
juga untuk kebaikan seluruh masyarakat yang ada, agar mata
rantai penyebaran covid-19 segera terputus.
Rembulan malam telah berganti dengan mentari pagi
yang sangat indah. Hari ini adalah hari keduaku untuk
melaksanakan pembelajaran secara tatap muka di sekolah. Eh
maaf, sepertinya aku lupa bahwa hari ini akan kembali belajar
secara online lagi. Hahaha, ya sudahlah lupakan saja, yang
terpenting tetap bisa belajar. Ngomong-ngomong cuaca pagi
ini terlihat begitu cerah ya, namun sepertinya tidak dengan
suasana hatiku. Baru saja aku keluar dari kamar, tetapi sudah
di sambut dengan kericuhan yang sangat hebat hingga
membuat salah satu sudut lemari kaca yang berada di ruang
makan pecah. Melihat kondisi kedua orang tuaku yang terus
seperti itu membuatku tak kuasa lagi membendung kelelahan.
“Mau sampai kapan sih kalian akan tetap seperti ini?? Kalian
gak capek apa setiap hari berantem terus?? Maaf ma, pa kalau
29
sebelumnya aku lancang, tapi jujur aja aku udah capek sama
kelakuan mama dan papa yang kayak anak-anak ini, kalau ada
masalah tolong selesaikan dengan kepala dingin, karena kalau
kalian berantem pun gak akan pernah bisa menyelesaikan
masalah dan justru masalahnya akan semakin membesar.
Pandemi ini seharusnya bisa membuat kita semakin dekat,
tapi nyatanya apa? Ekspetasiku terlalu tinggi.” Aku
membuang napasku secara kasar dan pergi meninggalkan
kedua orang tuaku untuk kembali ke dalam kamar.
Ingin rasanya menangis sekencang-kencangnya, tapi
aku justru memutuskan untuk membuka buku pelajaranku
hari ini dan mengerjakan tugas-tugas yang telah diberikan.
Aku berharap jika belajar pikiranku akan teralihkan, namun
nyatanya tidak seperti itu, pikiranku semakin tak karuan,
materi pelajaran tak bisa ku pahami dengan sempurna dan aku
masih saja terbayang-bayang bagaimana kejadian tadi pagi.
Pada akhirnya ketika seseorang lelah air mata adalah cara
yang paling ampuh untuk meringankannya. Memang benar
dengan menangis tak akan menyelesaikan masalah, tapi
setidaknya dengan menangis kita akan merasa bahwa beban
kita bisa sedikit berkurang dan membuat kita sedikit lega.
30
Waktu terus berjalan dengan begitu sangat cepat, hingga tak
ku sadari saat ini sudah menjelang malam. Seseorang yang
ememgang pundaku membuatku tersadar dari lamunan. Aku
melihat ke arah orang tersebut dan seperti dugaanku dia
adalah ibuku. Dia bertanya kepadaku mengapa aku tak keluar
kamar sejak kejadian itu, aku hanya menggeleng dan tak
menjawab sepatah kata pun, karena aku takut jika aku
menjawabnya ada kata-kataku yang salah dan membuatnya
semakin kepikiran. “Sayang, kalau ada masalah jangan di
pendam sendiri.” Degg, kata-kata itu langsung membuat air
mata yang sedari tadi ku tahan menetes dengan sempurna.
Dengan sangat cepat, ibuku langsung membawa tubuhku ke
dalam dekapannya.
Tangisanku pecah ketika aku memberanikan diri
untuk mengatakan bahwa aku lelah jika terus-menerus dalam
kondisi seperti ini, materi pelajaran tak bisa ku serap dengan
sempurna karena daring, belum lagi kalau setiap saat harus
melihat kedua orang tuaku terus saja berantem. Rindu sekali
rasanya dengan suasana sekolah offline sekaligus kondisi
keluargaku yang dulu sebelum menghadapi pandemi covid-
19. “Sayang, kamu boleh menangis karena lelah tapi kamu
31
harus ingat, jangan pernah menyerah. Teruslah berdoa tanpa
henti agar pandemi ini segera berakhir dan kamu bisa
melepaskan rindumu terhadap sekolah.” Ibuku terus
mengeluarkan kata-katanya untuk menyemangatiku agar
bangkit, bahkan ia meminta maaf kepadaku karena sudah
membuat beban pikiranku bertambah dan berjanji akan
memperbaiki hubungannya dengan papaku. Dan ya, usahanya
itu tak sia-sia, aku kembali semangat dan tersenyum kembali.
Keesokan harinya aku bangun dengan harapan
semuanya akan baik-baik saja tanpa ada kericuhan lagi. Dan
ternyata benar saja, pagi ini aku disambut dengan senyuman
dan sapaan hangat dari kedua orang tuaku. Aku berlari
memeluk keduanya karena tak kuasa membendung rasa
senang melihat mereka sudah kembali akur, bahkan melihat
mereka yang akur seperti ini membuatku semakin semangat
dalam menuntut ilmu meskipun masih secara daring.
Memang benar bahwa keluarga adalah support system terbaik
setelah diri sendiri.
Dengan semua yang telah terjadi ini, aku semakin
yakin bahwa setiap kejadian yang menimpa kita pasti ada
hikmah yang dapat diambil di dalamnya dan aku percaya
32
bahwa hidup ini tak selamanya akan menyedihkan hanya saja
roda kehidupan kita itu selalu berputar, kadang di atas kadang
juga di bawah. Aku juga semakin yakin bahwa cepat atau
lambat pandemi ini pasti akan cepat berlalu dan membuatku
melepaskan seluruh kerinduanku terhadap sekolah. Pandemi
covid-19 ini memberikanku pengalaman yang begitu banyak
dan sangat luar biasa.
33
DUA MINGGU?
Karya: Shely Amanda Gelby
Hari senin, minggu kedua bulan maret kala itu seorang
remaja berseragam biru putih berjalan tertatih-tatih dengan
tongkat bantu jalan yang terhimpit di ketiaknya. Terlihat
sebuah kaki jenjang terbalut perban coklat tepat di bagian
betis kanan. Kaki itu mulai melangkah memasuki halaman
yang setengah terhalang oleh sebuah gerbang tinggi. Diawali
dengan menyapa satpam hingga guru-guru yang sudah berdiri
di depan parkiran. Raut wajah mereka menampakkan betapa
terkejutnya melihat seorang siswi sekolah itu yang akhirnya
menunjukkan batang hidungnya lagi setelah dua bulan hilang
untuk sembuh. Dia adalah aku. Siswi kelas 9 sekolah
menengah pertama yang menghabiskan dua bulan lamanya
tanpa mencium aroma buku pelajaran. Patahan di tulang
kering lah pelakunya.
"Loh… Binta sudah sembuh? Ayo sini biar ibu bantu
masuk," ucap salah satu guru berkerudung biru sambil
mengedarkan pandangannya dari ujung kaki hingga kepalaku.
34
"Hehe, iya bu alhamdulillah. Tapi kali ini saya ulangannya
dimana Bu? Kalau buat naik tangga sepertinya masih belum
bisa," tanyaku pada guru berkerudung biru yang merupakan
salah satu guru bk di sekolah ku.
"Kamu nanti bisa mengerjakan di ruangan saya," jawab
beliau sembari ikut berjalan membantuku.
Aku mengangguk lalu melanjutkan langkahku. Kedua
bola mataku mengabsen seluruh titik yang sudah tak asing
lagi bagiku. Semuanya masih sama, hanya sedikit kurang
menarik karena aku datang dengan kondisi yang kurang baik.
Banyak tatap mata menyorot ke arahku. Menatap seakan aku
adalah seorang buronan. Dari kejauhan pula aku dapat
melihat beberapa teman sekelasku duduk pada kursi di lorong
yang sedikit gelap itu. Mereka sedikit tergemap karena aku
tak mengabari bila hari ini aku akan masuk sekolah. Mereka
berhamburan berlari ke arahku dengan raut wajah yang
sumringah. Mereka menanyakan kabar sambil ikut berjalan di
sebelahku. Kita mengobrol sebentar sebelum akhirnya alunan
bel tanda masuk kelas itu terdengar nyaring di gendang
telingaku.
35
Kini aku berada di sini. Duduk di tempat keramat yang
paling kuhindari sejak dulu. Tempat pengadilan bagi pelajar
bengal pembuat onar. Mendengar kata ruang BK saja sudah
membuatku bergidik ngeri. Apalagi sekarang, aku berada
disini. Bukan untuk menerima ceramah atau hukuman,
melainkan untuk mengerjakan pilihan ganda yang
terpampang pada komputer tepat di depan mataku. Semua
terdengar jelas di sini. Mulai dari skandal rahasia murid
sekolah hingga informasi rahasia lainnya.
Karena aku adalah anak yang kepo, aku menguping
pembicaraan guru-guru. Maaf aku ralat. Bukan menguping.
Lebih tepatnya tidak sengaja mendengar. Desas-desus akan
adanya pembelajaran dari rumah terdengar lirih di telingaku.
Mendengar bisikan seperti itu saja telingaku sudah serasa
terberkati. Bagaimana tidak bahagia? Bayangkan saja ketika
kalian menjadi orang pertama yang mendengar berita
istimewa bagi seluruh pelajar di muka bumi ini.
"Binta, sudah selesai mengerjakannya? Kok malah
senyum-senyum sendiri?" tanya salah seorang guru yang baru
keluar dari ruang lebih dalam. Aku hanya tersenyum malu
36
tanpa menjawab sepatah kata. Padahal dalam hati aku sudah
ingin berjoget saja rasanya.
Sepekan sudah aku mulus melewati penilaian akhir
semester itu. Hari sabtu kedua pada bulan Maret hampir
berakhir. Aku baru saja selesai melatih kakiku untuk berjalan
sedikit demi sedikit. Aku berada di sini. Ruang terang
bernuansa putih dengan pencahayaan yang minim.
Kurebahkan tubuhku pada kasur merah bercorak logo
manchester united, klub bola kesayanganku. Aku termangu
melihat gelapnya ambar lewat jendela. Ditemani nyanyian
hujan serta wangi petrikor yang merambah masuk melewati
dua lubang hidung ku.
Setelah cukup lama melamun, tanganku bergerak meraih
remote control televisi. Dipikir-pikir, tega juga aku
membiarkan televisi abu-abu itu menjadi berdebu karena
lama tak tersentuh. Ku tekan tombol bulat berwarna merah
hingga muncul gambar bergerak dibarengi sinar yang cukup
terang.
Ternyata masih sama. Wabah itu setia memenuhi seluruh
layar kaca. Nama corona sudah tak asing lagi di semesta.
37
Selalu terpampang besar pada setiap channel berita yang aku
lihat. Tak terlalu ku perhatikan sebelum ada sebuah berita
yang menarik perhatian sepasang nayanikaku. Satu hal yang
membuatku terkejut tak lain adalah adanya istilah baru yaitu
'lockdown' atau karantina. Istilah itu sedikit terdengar asing di
telinga. Setelah ku baca dengan saksama, ternyata hal itu
mengharuskan seluruh kegiatan masyarakat terpaksa
dikurangi bahkan ada beberapa yang dilarang beroperasi.
Pernyataan itu juga memaksa kegiatan belajar mengajar harus
dilakukan secara 'daring' selama dua minggu.
Berita tersebut semakin nyata setelah dibuktikan dengan
munculnya notif dari sebuah aplikasi berwarna hijau pada
gawai milikku. Warta itu terpampang jelas dan nyata dalam
sebuah suratan virtual. 'Yes' adalah kata pertama yang keluar
spontan dari mulutku. Sontak aku justru kegirangan.
Mengingat kaki ku yang masih belum sepenuhnya pulih
sangat merepotkan jika harus datang setiap pagi ke sekolah.
Kehidupan baru dimulai dari sekarang. Kini hari-hari
hanya ku habiskan dengan menatap benda kotak serba bisa itu.
Awalnya masih biasa saja, namun seiring berjalannya waktu
aku merasa ada yang sedikit janggal di benakku. Ternyata
38
rasanya sesulit ini. Berhadapan dengan kebiasaan baru yang
tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Rasa bosan selalu bertamu setiap hari bahkan menetap
dan enggan pergi. Aku benci situasi seperti ini. Bahkan kini
rindu pun beralih profesi menjadi hantu paling menakutkan
yang datang di setiap denting jam dinding.
Hari demi hari telah berlalu, bulan telah hitungan jari
berevolusi, dan masa biru putih ku akan berakhir sebentar lagi.
Bayangkan saja bagaimana rasanya berpisah tanpa kenangan,
tanpa ada aba-aba, lalu pergi begitu saja tanpa sekedar
mengucapkan kata selamat tinggal.
Kini aku berdiri disini. Tempat yang bukan lagi menjadi
jawaban ketika orang bertanya aku sekolah dimana. Aku
berjalan masuk tanpa tongkat penyangga lagi. Perban coklat
itu telah enyah dari betis kananku. Aku melihat wajah-wajah
lama yang biasa hadir di setiap jengkal kerinduanku. Namun,
suasana tak seperti dulu. Balutan kain persegi panjang di
setengah wajah mereka membuatku sedikit pangling
dibuatnya. Hanya ada mata sebagai media pengenal di antara
39
kita. Rindu ini sedikit terobati walau harus terhalang protokol
kesehatan lagi dan lagi.
Setelah lama menunggu akhirnya namaku disuarakan oleh
wali kelas. Aku beranjak maju ke depan untuk mengambil
sebuah buku album serta map berwarna biru bertuliskan
'ijazah' itu. Selesai bertanda tangan, aku berkeliling sebentar
di tempat itu. Sampai pada perjalanan terakhir, aku
menyempatkan diri menuju ke sebuah lorong gelap. Lorong
yang dulu selalu ramai kini terlihat sepi dan singklu. Dari
kejauhan aku melihat sebuah ruangan yang menarik
perhatianku. Ruangan yang didominasi warna hijau telur asin
itu tampak tergembok rapi dari luar. Aku berjalan mendekat
lalu melihat isi dalam ruangan tersebut melalui salah satu
jendela yang tidak tertutup tirai. Terlihat sangat kotor dan
berdebu. Beberapa mading telah berjatuhan di lantai. Ketika
melihat ke dalam ruangan itu otakku seakan bergerak
otomatis memutar film aktivitas masa lalu di ruangan itu.
Terlihat buram tapi nyata. Tempat dimana aku menyimpan
secercah kenangan walaupun tak lama. Namun, semuanya
telah usai. Kehidupan akan masih berjalan sebagaimana
mestinya meski tidak sesuai harapan kita, kan. Tidak ada
40
pilihan selain beradaptasi dengan kondisi sekarang.
Kebiasaan baru, tempat baru, dan orang-orang baru.
Dan ini aku beberapa bulan kemudian. Bersama metode
pembelajaran yang masih sama, namun dengan jenjang yang
berbeda. Materi masih sulit diterima. Koneksi jaringan
menjadi salah satu problem utama kegiatan belajar mengajar
yang orang-orang biasa menyebutnya dengan istilah 'daring'.
Malas, bosan, dan bingung sudah menjadi sarapan setiap hari.
Masa abu-abuku tampak kosong, hampa bak tak ada
kehidupan. Pandemi terus berjalan dengan tak berperasaan.
Menumpahkan segala keegoisannya tanpa belas kasihan.
Sketsa keindahan itu hanya tergambar dalam lamunan.
"Yes, libur dua minggu," Ucapku pada bulan Maret kala
itu. Empat kata yang kini menjadi sesal tak berujung.
Berkamuflase membentuk tumpukan rindu yang bertumpah
ruah di muara hepar. Ku kira ini semua adalah sementara yang
indah, namun aku salah. Ternyata ini lama yang susah.
41