PENDUKUNG TERBAIK, PENYEMBUH PALING
AMPUH
Karya: Louis Angelina Mitha L.
“Kita nggak bisa kayak gini terus, kita harus cari cara
buat keluar dari situasi ini.” Sinta menahan senyumannya
ketika mendengar Laura tiba-tiba berbicara dengan nada
serius, sungguh tidak cocok dengan sifat aslinya yang periang
dan suka bercanda.
“Mau gimana lagi, Ra? Hal ini di luar kendali kita,
nggak mungkin kalau kita maksa masuk sekolah sendiri kan?
Cuma berdua lagi,” ucap Sinta memberi pengertian lewat
videocall yang sudah berjalan selama dua puluh tiga menit.
Tiga belas bulan sudah berlalu, selama itu pula seluruh siswa
di Indonesia harus belajar di rumah mereka masing-masing.
Hal itulah yang membuat Laura semakin gelisah, sudah dua
semester lebih ia tidak melihat sahabatnya ini.
Betapa rindunya dia dengan suasana rusuh dari kelas
mereka yang sedang jamkos, dengan bu Ha yang sudah jadi
langganan kantinnya, juga dengan sederet buku di
perpustakaan sekolahnya.
“Aku pengen semuanya balik kayak dulu, Sin. Aku
pengen keadaan balik normal bukannya kita yang malah
dibuat new normallah, PSBBlah, atau apalah itu.” Kali ini
Laura mengerucutkan bibirnya, jika saja Sinta berada di
42
sebelahnya mungkin ia sudah menarik gemas bibir Laura
yang sangat mancung itu.
“Sabar, Ra. Ini juga kan buat keselamatan kita sendiri,
Covid-19 bukan penyakit biasa yang bisa kita sepelein. Udah
ah, jangan ngeluh terus nggak baik.”
***
“Ini sudah terlalu lama, kondisi psikologis dan cognitive
learning loss anak-anak kita sudah terlalu kritis ….”
“Itu bagaimana logikanya saat kasus harian masih 6.000
bahkan pernah 10.000 sekolah malah dibuka? Ini bisa
mengerikan dan menciptakan klaster sekolah ….”
“Jadi bukan harus vaksinasi dulu baru buka. Tapi kalau
gurunya sudah vaksinasi dia wajib memberi opsi tatap
muka ….”
Laura selalu mendengarkan berita di televisi juga
membaca berita di internet dengan saksama. Ia berdoa setulus
hati dan memohon sekuat tenaga kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Semoga saja kali ini keputusan Pemerintah berpihak
kepadanya hingga sekolah bisa dibuka kembali, ia sangat
ingin memakai jas almamaternya lagi.
Padahal dulu ia tidak suka memakai jas almamater karena
dinilai hanya membuat badan bertambah gerah saja, tapi
43
sekarang ia seperti mendapatkan sebuah karma. Laura rindu
sekolahnya!
***
Seorang gadis terlihat sedang bertopang dagu di dalam
kamarnya, Laura merasa tidak memiliki semangat untuk
belajar lagi. Sebenarnya, semangat belajarnya terkikis
perlahan sejak ia merasa dibohongi oleh libur dua minggu
yang tiba-tiba saja “berkembang biak” secara tidak terduga.
“Gini banget ya … aku udah persis kayak pengangguran,
luntang-lantung di rumah karena nggak ada kegiatan, nggak
boleh jalan-jalan, nggak dapet penghasilan lewat uang jajan,
jomblo lagi. Paket komplit!”
Ia mengehembuskan napas lewat mulut secara perlahan,
membuatnya terlihat seperti pengangguran sungguhan yang
sedang dililit banyak hutang.
Samar ia mendengar suara bunda tengah memanggilnya
dari arah dapur, Laura pun bangkit dari duduknya segera
menghampiri sang ibu sebelum ia mengeluhkan anak semata
wayangnya itu.
“Iya, Bunda?”
“Tadi ada undangan dari karang taruna buat kamu.
Katanya ada kegiatan penyuluhan di kantor desa, Sayang.”
44
Laura mengerutkan keningnya. “Kok buat aku? Kenapa
undangannya bukan buat Bunda?”
“Ya kalau Bunda yang ikut … nanti namanya ganti jadi
PKK,” ucap bunda yang sukses membuat Laura tertawa.
“Karang taruna kok udah boleh ngadain kegiatan, Bunda?
Kita semua kan lagi dipingit atas nama ‘Pembatasan Sekolah,
Berjumpa, dan Berkeliaran.’”
***
Laura menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia merasa
bingung dengan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah
selama ini. PSBB selesai dilanjutkan PSBB transisi, setelah
itu jadi PPKM darurat, lanjut ke PPKM level empat.
Terus berlanjut seolah tidak cepat habis masa berlakunya,
bahkan Laura sudah pasrah dengan keadaan sekarang. Biarlah
seragam sekolahnya ia museumkan nanti sore, daripada
menganggur tidak terpakai di lemari bajunya.
“Apa aku nyoba nyari kerja aja ya? Tapi kerja apa yang
nggak butuh ijazah sekolah? Emmm … Kuli bangunan?
Idihhh enggak ah, nggak mau.”
Selain bingung dengan kehidupan sekolahnya, Laura juga
bingung tentang isi dompet dan pengeluarannya sebagai
remaja perempuan. Ya sekalipun yang dipakai hanya
45
kosmetik biasa, tapi pembeliannya tetap butuh uang yang
cukup banyak jika dikalikan dengan angka sepuluh.
Apalagi ia mempunyai prinsip, “Seorang pelajar tidak
akan pernah berhenti ‘mengunyah’ mulai dari pengalaman
hidup, materi pelajaran, dan jajan sekolah.” Dengan prinsip
itu, Laura pasti menghabiskan separuh uang sakunya untuk
membeli batagor, dimsum, somay, dan aneka makanan
lainnya.
Ia adalah anak tunggal. Mungkin dengan sekali merengek
ke orang tuanya, Laura bisa mendapat apa yang ia inginkan
dalam sekejap. Tapi Laura tidak mau seperti itu. Ia tau
ekonomi masyarakat sedang morat-marit karena diterpa
pandemi, tak terkecuali usaha toko kelontong milik ayahnya.
***
“Halo, Im?”
“Halo, Ra. Aku pengen cerita ke kamu soal kegiatan
kemasyar–” Laura langsung menjauhkan ponsel dari
telinganya, memandang benda itu dengan tatapan horor.
Paket internet yang ia miliki sepertinya sudah ludes sampai-
sampai panggilannya langsung terputus begitu saja.
Padahal Ima -teman sekelas Laura- belum sempat
menyelesaikan kalimatnya. “Gusti Pangeran ... kemasyar apa?
Padang Mahsyar??” ucapnya gemas. Ini adalah salah satu
permasalahan yang kerap kali dihadapi Laura.
46
Paket internet Laura seperti menguap terbawa angin jika
digunakan saat masa pandemi seperti sekarang. Tapi tunggu,
tolong jangan salahkan ia yang bersikap boros atau tidak bisa
berhemat kuota. Ini tentang situasi.
Saat seharusnya ia bisa berbincang, bercerita banyak hal,
dan berkumpul bersama teman-temannya, tetapi tidak bisa ia
lakukan karena terkurung pembatasan sosial.
Ia bosan, kesepian, dan tidak suka sendirian. Jadilah ia
menghibur diri dengan berbagai tontonan yang ada di
YouTube, ditambah dengan kegiatan KBM dilakukan secara
daring. Tentu saja itu membutuhkan kuota yang cukup
banyak.
***
Beberapa bulan kemudian.
Hari ini Laura tidak ingin berhenti tersenyum. Bahkan
masker yang ia kenakan tidak bisa menutupi rasa bahagiannya,
hal itu terbukti dari matanya yang menyipit dan nada
bicaranya yang sangat gembira.
Bahkan ia adalah siswa yang berangkat paling awal di
kelasnya, dengan riang Laura menyanyikan lagu Indonesia
Raya seolah ia baru saja merdeka. Dengan gerakan lambat ia
membuka tirai yang menutupi jendela kelasnya, membuat
adegan bertambah dramatis dengan berkata. “Akhirnya,
47
setelah puluhan purnama aku bisa ngerasain belajar di ruang
kelas lagi.”
“Lebay. Kayak ada harta karun aja di kelas ini,” ucap
Aditya yang baru datang dan menduduki kursi di seberang
kanan Laura.
“Tepat! Di sini ada jutaan harta karun ... dan kamu salah
satunya.”
Ucapan Laura berhasil membuat Aditya salah tingkah
sendiri ketika mendengarnya. Sementara Laura hanya bisa
cengengesan saja karena berhasil membalas kejulidan teman
satu kelasnya itu.
Laura memandang jam tangan warna hijau mint yang ada
di tangan kanannya, masih ada waktu tiga puluh lima menit
lagi sebelum kelasnya di mulai. Mungkin jalan-jalan di
koridor sekolah adalah pilihan terbaik, lagipula sahabatnya
juga belum datang.
***
Laura tengah menggenggam sebotol air mineral yang baru
ia beli dari kantin. Sembari berjalan menuju lapangan basket
di sekolahnya, Laura tersenyum kecil ketika memikirkan
kehidupan sekolahnya. Tanpa dirasa ternyata ia sudah kelas
dua belas sekarang, ia tertawa ringan saat mengingat dirinya
yang sering mengeluh karena tidak bisa menikmati masa
SMAnya dengan benar di sekolah ini.
48
Selain belajar, ia ingin bersenang-senang dengan
temannya juga. Paling tidak, ia ingin merasakan satu kali
berwisata dengan teman satu kelasnyanya. Tapi mengingat
pandemi yang belum hilang sepenuhnya dari Indonesia, Laura
mengganti keinginan itu. Sekarang, hanya dengan masuk
sekolah seperti hari ini saja ia bisa merasakan kesenangan
yang luar biasa.
Sekolah ini adalah candunya. Tempat indah yang ia
gunakan untuk menimba ilmu itu seakan berubah menjadi
medan magnet terkuat yang terus menariknya untuk selalu
berada di sana. Di sekolah itu pula Laura bertemu dengan
sahabat-sahabatnya, pendukung terbaik yang berperan
penting dalam membatu Laura menemukan semangat
belajarnya lagi.
Dan di sekolah ini Laura menemukan sebuah penawar,
penawar yang menjadi penyembuh paling ampuh sekaligus
berkhasiat menumbuhkan semangat baru untuk Laura
disetiap paginya.
Saat ini Laura sudah sampai di lapangan basket, ia
celingukan dan berjalan dengan hati-hati agar tidak ada yang
melihatnya. Untuk terakhir kali, Laura memandang botol air
mineral yang sudah ia beri note bertuliskan “Fighting!!!” dan
menaruhnya di samping tas seseorang yang sedang berlatih
basket seorang diri di lapangan itu.
49
Entah apa maksudnya, tapi bagi Laura orang itu adalah
obatnya. Obat yang mungkin tidak memiliki tanggal
kadaluarsa, namun memiliki masa untuk punah.
“Baru dateng kok langsung pergi. Nggak mau duduk
dulu?”
Suara itu membuat Laura membeku ditempat ia berdiri. Ia
menolehkan kepalanya secara perlahan dan menemukan
seorang murid laki-laki yang tengah tersenyum sangat manis,
menatap ke arahnya.
***
Laura sangat bersyukur kepada Tuhan. Juga mensyukuri
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah sebagai
bentuk penanggulangan wabah Corona. Kebijakan-kebijakan
yang sempat Laura keluhkan karena dirasa sangat mengekang
dan membatasinya, ternyata punya keajaiban besar yang amat
luar biasa.
Covid-19 sudah hilang dari tanah air. Ekonomi
masyarakat juga sudah pulih. Sekolah kembali dibuka. Dan
Laura sudah bertekad untuk semangat dalam belajar, pantang
untuk mengeluh apalagi menyerah, dan ia akan berusaha
mewujudkan impiannya untuk berkuliah di Kampus Terbaik!
50
REALITAS MIMPI DAN PANDEMI
Karya: Hanung Raratri N. Q.
Di malam hari yang dingin, seorang gadis berambut
panjang bergelombang serta bermata coklat mengkilat tengah
menyelesaikan tugas matematika yang diberikan oleh
gurunya. Dia adalah Miranda, atau biasa dipanggil Mira.
Angin yang berhembus perlahan serta alunan musik dari band
legendaris favoritnyalah yang menemaninya dalam
mengerjakan soal-soal dari pelajaran yang menjadi mimpi
buruk bagi kebanyakan siswa itu. Mira bukanlah seorang
anak yang rajin dan juga pandai dalam pelajaran. Tetapi ia
sangat menghormati gurunya dan mengerjakan semua tugas
yang diberikan oleh gurunya. Entah jawabannya benar atau
salah, ia tidak peduli, yang penting adalah ia sudah
menjalankan kewajiban dan berusaha keras untuk memahami
setiap pelajaran yang diajarkan oleh sang guru. Menurutnya
meskipun tidak mendapatkan nilai yang bagus, menghormati
dan menghargai guru lebih berharga dan ilmu yang didapat
juga akan berkah.
51
Ia beranjak dari kursi untuk mengambil segelas air di
dapur, namun langkahnya terhenti saat ibu dan ayah
memanggil di ruang keluarga. “Mira kemarilah sayang, Ibu
dan ayah ingin berbicara denganmu,” panggil ibunya. “Iya
ibu,” jawabnya. “Mira kamu sudah kelas 12 kan?” tanya ayah.
“Iya yah,” jawabnya sambil bertanya-tanya apa yang ingin
dibicarakan kedua orang tua itu.
“Nak, seperti yang kamu tahu bahwa dunia sedang
dilanda pandemi. Semua aspek kehidupan sekarang berubah.
Di negara kita sendiri gencar dilaksanakan PPKM dan
perekonomian juga semakin memburuk.” “Mira, maafkan
ayah!” ucap laki-laki paruh baya itu. “Usaha peternakan kita
semakin menurun Nak, Ayah sudah berusaha untuk
mempertahankan tetapi biaya pengeluaran tetap lebih besar
dari pada pendapatan kita, laki-laki itu dengan sangat lembut
berusaha menjelaskan. “Harga pakan ayam sangat mahal
sementara harga jual telur sangat rendah belum ditambah di
luar sana banyak orang-orang yang juga kesusahan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari,” nampaknya penjelasan
yang tadi masih dirasa kurang oleh sang ayah. “Ayah harap
kamu mengerti dengan kondisi keluarga kita saat ini,”
52
penjelasan dari ayahnya terlihat serius. Keluarga mira
bukanlah keluarga kaya raya, hanya keluarga kecil yang
sederhana. Ayahnya memiliki peternakan ayam yang tidak
begitu banyak namun cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan untuk biaya sekolah selama ini. Apalagi di
masa pandemi, banyak orang kesulitan untuk mendapat
pekerjaan. Bukan hanya keluarga Mira saja, tetapi banyak
dari tetangga yang juga peternak ayam turut merasakan hal
ini. Bahkan seluruh peternak ayam di kota itu telah
melakukan demo terhadap pemerintah untuk menstabilkan
harga jual telur agar para peternak tidak terlalu merugi.
“Maafkan ayah. Mungkin saat ini ayah belum bisa
menyekolahkan kamu sampai ke perguruan tinggi dulu ya
Nak,” ucap ayahnya dengan lebih lembut. Setelah
mendengarkan penjelasan dari ayahnya, mira terdiam cukup
lama. Seperti terdapat sebuah petir yang menyambar,
meruntuhkan impiannya. Matanya sibuk mengamati ibu dan
ayah yang ada di hadapannya ini. Kedua orang tuanya yang
semakin tua dan lelah, ayahnya yang sudah mulai sakit-
sakitan. Mimpinya untuk dapat merasakan bangku
perkuliahan harus ia tunda terlebih dahulu. Tetapi di satu sisi
53
ia juga sadar tentang bagaimana kondisi keluarganya saat ini
dan seberapa besar kemampuan yang dimilikinya. Bukan dia
tidak ingin mengejar pendidikan setinggi mungkin, hanya saja
ia tidak ingin bersikap egois dan menuntut kedua orang tua
untuk menyekolahkannya.
Mira tersenyum kepada ibu dan ayahnya sambil
menahan air mata agar tidak jatuh dan membuat mereka
merasa bersalah. “Iya Bu, Yah tidak apa-apa. Aku akan
belajar hidup mandiri dan setelah ini aku akan bekerja, Mira
mulai merespon pernyataan orang tuanya. “Nanti jika aku
sudah bisa mengumpulkan uang, maka aku akan melanjutkan
pendidikanku,” Mirna berusaha menjelaskan. “Hal yang
paling aku butuhkan saat ini adalah doa dan restu dari Ayah
dan Ibu,” ucapnya yang membuat kedua orang tuanya terdiam
dan berlinang air mata. “Aku memohon kepada kalian untuk
terus mendoakan dan mendukungku hingga aku menjadi
orang yang sukses!” suara Mirna mengiba. “Lagi pula,
bukankah sukses itu butuh perjuangan. mereka yang sukses
adalah mereka yang tidak putus asa, mereka yang bangkit,
mereka yang tidak pernah berhenti untuk mencoba
menggapai apa yang mereka inginkan, “ Mirna terus
54
memberikan pengertian pada orang tuanya. Walaupun pada
dasarnya ada sembilu yang berusaha ditutup rapat dalam
dadanya. “Dan Mira pernah mendengar sebuah pepatah
bahwa banyak jalan menuju roma, banyak jalan yang bisa
ditempuh untuk mencapai tujuan, mencapai kesuksesan yang
kita inginkan,” tambahnya yang membuat ibu dan ayahnya
mengukir senyum takjub kepadanya. Namun di dalam rasa
takjub itu sebenarnya juga tersimpan rasa sesak yang tak
mungkin diucapkan pada gadis belia itu. “Mira ingin kok
menempuh pendidikan setinggi mungkin sampai S3 bahkan
jika Mira mampu menggapai cita- cita Mira setinggi mungkin,
tetapi mungkin jalan yang mira tempuh berbeda dengan
teman-teman,” ungkap Mira yang langsung mendapat
pelukan dari kedua orang tuanya. “Kami takjub kepadamu
Nak, kami akan terus mendoakan dan mendukungmu agar
kamu bisa menjadi orang yang sukses dan menggapai apa
yang kamu cita-citakan” ucap ayahnya. Mereka berpelukan
erat dan menguatkan satu sama lain.
Mira memang bukanlah seorang siswi yang sangat
pandai dan berprestasi, ia juga tidak memiliki bakat spesial
yang membuatnya menarik. Ia tidak pandai dalam bernyanyi,
55
menari, atau olahraga. Yaaa… bisa dibilang dia hanyalah
anak biasa seperti teman-teman sebayanya. Tetapi, ia adalah
seorang anak dengan sejuta mimpi di hidupnya. Saat ia
memiliki sebuah tekad untuk menggapai sesuatu, ia akan
mewujudkannya sekuat tenaga. Pantang menyerah sebelum
kata berhasil dapat digenggamnya. Ia tidak akan lelah
mencari jalan untuk bisa meraih tujuannya. Kebiasaannya
adalah gemar membaca atau menonton motivasi-motivasi
dari orang-orang yang telah sukses menggapai apa yang
mereka mimpikan dalam hidup. Seperti contoh Jack Ma,
seorang tokoh dari China yang telah mendunia dengan
perusahaan Alibaba. Bob Sadino, pengusaha sukses
Indonesia yang memiliki banyak bisnis di berbagai bidang.
Dan masih banyak lagi. Ia mendapat banyak motivasi dari
orang-orang sukses tersebut. Bukan hasil dari kesuksesan
mereka yang ia lihat, melainkan cerita perjuangan dibaliknya.
Ia belajar banyak dari kisah perjuangan yang harus ditempuh
untuk menuju kesuksesan.
Matahari telah datang membawa senyumnya yang
dapat menerangi wajah sang bumi. Mira bergegas berangkat
ke sekolah untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya,
56
yaitu ilmu dari bapak ibu guru. Ia mencoba untuk tetap tegar
dan mengembalikan jiwa optimisnya, setelah merasa sedih
merasakan apa yang sedang dialami keluarganya. Walaupun
sekolahnya kini masih belum sepenuhnya tatap muka dan
harus mematuhi protokol kesehatan, ia tetap harus semangat
untuk menjalani tugasnya sebagai seorang pelajar. Ia telah
ditunggu oleh kedua sahabatnya, Gerry dan Toni. “Selamat
pagi calon orang-orang sukses,” sapa Mira kepada kedua
sahabatnya. Sahabatnya yang merupakan tempat untuk
berbagi suka dukanya. “Selamat pagi Mira,” jawab
sahabatnya hampir bersamaan. “Mir, jangan cemberut gitu
dong!” ucap Toni. “Iya mir, lagi pula tenang aja bukan cuma
kamu kok yang belum bisa kuliah nanti kami juga,” ucap
Gerry. Kedua sahabatnya itu juga sama seperti Mira, seorang
anak dari keluarga sederhana. Gerry yang ayahnya hanya
memiliki bengkel motor kecil, tetapi ia sangat suka terhadap
teknologi dan elektronik. Ia suka membetulkan barang-
barang elektronik yang rusak menjadi seperti baru lagi. Toni
yang ibunya hanya memiliki toko kelontong kecil, tetapi ia
sangat suka terhadap hitungan dan hal-hal yang berbau
ekonomi.
57
“Bukankah kau yang selama ini menasihati kami untuk
jangan pernah menyerah dalam berjuang untuk menjadi orang
sukses?” sahut Toni. “Benar, setiap orang pasti pernah
mengalami apa itu gagal dan jatuh tetapi mereka juga harus
ingat bahwa ada impian yang sedang menunggu untuk
diwujudkan!” tambah Gerry. Kedua sahabatnya itu ikut
tertular menjadi anak yang semangat dan optimis berkat
asupan motivasi yang kerap Mira berikan kepada mereka.
“Baiklah sahabatku ayo kita semangat lagi, kita buktikan pada
dunia walaupun kita hanya orang biasa dan berasal dari
keluarga yang sederhana,” Mira tampak memompa semangat
lagi. Mirna masih terus melanjutkan usahanya sebagai
motivator, “Tetapi kita juga bisa menjadi orang yang sukses
yang mengharumkan nama keluarga, negara dan, tanah air
kita.” “Kita bisa menjadi motivasi untuk orang lain agar terus
maju meraih impian mereka,” ucap Mira yang kini
semangatnya telah kembali lagi berkat sahabatnya tersebut.
“Ayo bangkit!!!” sahut mereka bertiga.
58
UNGKAPAN HATIKU
Karya: Bunga Emas Agnesta Anjani
Selesai sholat Isya ku tatap langit-langit kamarku.
Setelah puas, aku alihkan pandanganku ke tempat bekas
sujudku, air mataku jatuh. Ingin curhat kepada Allah, tapi
bingung mau mulai dari mana. Fisik dan pikiranku lelah. Aku
tidak yakin apakah aku depresi. Maksudku aku tidak sedih,
tapi aku juga tidak benar-benar bahagia. Aku bisa tertawa,
bercanda, dan tersenyum di siang hari. Tapi terkadang, saat
aku sendirian di malam hari, aku lupa bagaimana rasanya.
Pandemi ini membuatku terjebak dalam keadaan yang
teramat melelahkan. Fisik dan mentalku begitu lelah dengan
cerita hidup ini. Selalu dibanding-bandingkan dengan remaja
lain seusiaku, dihakimi tanpa tau bagaimana keadaanku yang
sebenarnya. Dan sekarang aku hanyalah seseorang yang
berusaha untuk sanggup dalam ketidak sanggupan.
“Lihat kakak sepupumu, di terima di salah satu universitas
terbaik di malang!”
“Lihat dia, walaupun masih sekolah sudah bisa menghasilkan
uang sendiri!”
“Temanmu bisa dapat beasiswa, menang banyak lomba, dapat
banyak piala. Kamu kok gitu-gitu aja?”
59
Bukankah aku dan dia berbeda. Kenapa standar
kesuksesan seorang pelajar di mata masyarakat harus di
samaratakan. Hanya karena sudah terbiasa bukan berarti aku
tidak apa-apa, bukan berarti aku tidak sakit di dalam, bukan
berarti rasa sakitnya sudah hilang, bukan berarti aku tidak
ingin menangis.
Materi dan pelajaran sekolah yang sangat sulit sekali aku
pahami dalam keadaan pandemi seperti ini. Lingkungan yang
selalu menuntut aku untuk bisa dalam segala hal.
Aghhhh.............Apakah aku terlalu egois jika aku ilang, aku
ingin menghilang dan mencari ketenangan. Aku seperti orang
yang tidak tau apa-apa, tapi aku merasa diriku berubah,
bahkan aku tidak bicara dan tertawa seperti biasanya lagi.
Aku sangat lelah dengan semuanya.
Di pagi hari aku harus membantu ibuku, mulai dari
memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjaga adikku,
membantunya mengerjakan tugas. Belum lagi jika ayahku
pulang dari berdagang, aku harus membantu membereskan
sisa dagangannya. Dan masih ada tugas sekolahku yang
terbengkalai di atas meja belajarku. Aku tidak masalah atau
mengeluh tentang hal itu, karena itu memang sudah menjadi
kewajiban dan tanggung jawabku. Aku tau kedua orang tuaku
lelah, dan membutuhkan bantuanku. Aku hanya ingin mereka
mengerti bahwa aku juga lelah, aku juga ingin di mengerti.
Suatu hari, seorang tetangga menyapaku. “Enak ya
sekolahnya di rumah, bisa santai-santai, bisa tiduran sambil
60
main HP sepuasnya. Nggak usah belajar juga pasti lulus, itu
kemarin pas dapat juara satu paling cuma kebetulan, atau
gurumu yang salah memeriksa lembar ujian.”
Aku hanya tersenyum kecut. Mereka tidak tau bagaimana
hidupku yang sebenarnya. Mereka tidak tau sekeras apa aku
berjuang dan berusaha memahami pelajaran sekolah tanpa
ada guru yang bisa menjelaskan secara langsung kepadaku.
Sesulit inikah mencari penerimaan dari masyarakat. Oang
tuaku sibuk mencari nafkah untuk aku dan adikku, karena
pada masa pandemi seperti ini sangat sulit untuk mencari
sesuap nasi. Mereka hanya punya sedikit waktu sisa untuk
mendengar keluhanku dan adikku. Kadang, aku merasa iba
dan tidak tega mengambil waktu yang seharusnya mereka
gunakan untuk istirahat hanya untuk mendengarkan cerita
tentang dunia yang sangat kejam padaku.
Aku butuh seseorang untuk menjadi pendengar
kegaduhan hatiku. Tapi siapa, bantal dan guling, atau gayung
kamar mandi? Bahkan aku tidak hafal dengan nama-nama
teman sekelasku dan yang mana orangnya. Bagaimana aku
bisa menemukan teman bicara jika virus ini terus
menghalangiku untuk mencari relasi.
Aku berteriak sekencang-kencangnya, meremas
seluruh udara di paru-paruku hingga pita suara ini berhenti
bergetar. Lalu aku akan meneriakkan lagi seluruh perasaan
yang aku punya hingga urat nadiku hampir putus. Aku yakin
teriakan ku yang tanpa suara ini akan terdengar sangat bising
61
oleh semesta. Pernah hal gila terlintas di pikiranku. Kira-kira
begini ucapku saat itu. ”Kematian pasti sangat indah, karena
sudah tidak ada lagi hari kemarin, tidak ada lagi hari esok,
sudah tidak ada lagi hal-hal melelahkan dan sudah tidak ada
lagi yang memaksa berdamai dengan diri sendiri.” Ya...... itu
pemikiran paling konyol yang pernah ada di pikiranku.
Kemudia aku memencet ponsel tanpa arah. Beralih pada salah
satu aplikasi dan menemukan sebuah tulisan yang menarik
perhatianku. Katanya...............
‘Semua orang punya cerita tentang rumitnya perjalanan hidup
dan dasyatnya badai ujian di dunia. Likuan yang terjadi,
beberapa kali mematahkan langkah kaki. Namun nyatanya,
hingga saat ini segalanya masih bisa dilewati. Kuncinya
“jalani saja” apapun itu semua sudah ada porsinya dan Allah
maha tau yang terbaik, padahal dirasa tidak mampu oleh kita.’
Begitu kira-kira isinya. Takdir adalah milik Allah tapi doa dan
usaha adalah milik kita. Setelah melihat barisan kata yang
tanpa sengaja lewat di layar hpku, pola fikirku berubah.
Dalam keadaan seperti ini, banyak karyawan yang
terkena PHK, banyak anak yang tidak bisa melanjutkan
pendidikan mereka, banyak keluarga yang di tinggalkan
anggotanya, banyak orang yang berlarian kesana kemari
mencari tabung oksigen untuk menyambung hidup salah satu
anggota keluarganya yang terbaring lemah di ranjang rumah
sakit. Banyak anak kecil yang menangis karena kelaparan,
62
meminta belas kasihan pada mereka yang lewat lalu lalang di
trotoar jalan.
Seorang ayah yang menangis dalam diam,
kebingungan kemana lagi harus mencari uang untuk membeli
sebulir nasi. Begitu pun orang tuaku, mereka jarang ada
waktu untukku dan adikku, karena mereka sibuk mencari apa
yang nantinya akan aku nikmati. Bukan uang tapi
kebahagiaan anaknya.
Sementara aku? Aku hanya sibuk mengeluh,
menyalahkan dunia. Merasa bahwa diriku adalah manusia
paling menyedihkan di dunia. Mereka yang di uji dengan
ujian yang lebih berat dari pada aku masih bisa bersyukur dan
berterima kasih kepada tuhan. Mereka kuat, mereka bisa,
kenapa aku tidak?
Aku tidur di kasur empuk dengan perut kenyang.
Keinginanku selalu terpenuhi asalkan ayah dan ibuku ada
uang. Kesehatan yang selalu dianugrahkan kepadaku, Tuhan
yang selalu menyertaiku, kedua orang tua dan adikku yang
begitu menyayangiku dan mencintaiku bagaimana pun
keadaanku. Mereka yang selalu memaafkan dan memaklumi
kesalahan-kesalahan ku. Juga orang-orang yang selalu
menjadi alasan kebahagiaanku.
Lantas mengapa jika mereka sedikit menuntutku,
mengharapkan sesuatu yang lebih dariku. Toh itu juga demi
kebaikanku. Aku marah karena mereka tidak melihat
63
kesulitanku, tapi aku sendiri pun juga jarang mau melihat
letihnya mereka membesarkanku dan adikku. 30 detik, dalam
waktu sesingkat itu, deretan kata yang tersusun dalam sebuah
kalimat mengubah pola fikirku. Mungkin itu sudah
direncanakan oleh Tuhan. Atau mungkin itu adalah cara tuhan
meluruskan pemikiranku dan mengajariku cara bersyukur.
Semenjak saat itu aku selalu menanamkan fikiran
positif di dalam diriku, dan yaaa… itu sukses merubah
hidupku. Semua orang yang sekarang tinggal di bumi baru
pertama kali menjalani kehidupan. Jadi, kalau kita melakukan
sebuah kesalahan, itu bukanlah sebuah kejahatan. Aku
menanamkan kalimat ini di dalam hatiku ketika aku merasa
lelah dan gagal. Kalimatnya seperti ini.
‘memangnya kenapa kalau bukan yang terbaik? Nggak apa-
apa kok sebenarnya.’
‘emang kenapa kalau nggak semua orang suka sama aku?
Nggak apa-apa kok, nggak mungkin juga ada orang yang bisa
disukai semua orang.’
‘emang kenapa kalau aku pernah ngelakuin kesalahan?
Nggak apa-apa kok, aku bisa bertumbuh darinya.’
Aku belajar dari konsep self acceptence bahwa penerimaan
merupakan bagian yang sangat penting di dalam kehidupan.
Jika kehidupanku adalah sebuah puzzel, aku harus
mempelajari tiap potong puzzel, bentuk yang akan di hasilkan,
64
bagian kosong dan harus di isi. Ah iya, aku juga harus
menerima bahwa ada bagian kosong yang tidak akan pernah
bisa aku isi. Karena itu tetap bagian dari puzzel ku.
Kalau kamu sedang membaca tulisan ini, ini untuk kamu.
Penerimaan paling berarti adalah penerimaan dari dalam diri
kamu sendiri. Percuma kalau kamu di senangi dan di terima
oleh orang lain, tapi kamu tidak nyaman dengan diri kamu,
dan kamu tidak bisa menerima diri kamu apa adanya, itu tidak
ada gunanya. Sama sekali tidak ada. Itu semua hanya sia-sia.
Jangan terlalu mudah untuk di patahkan. Memang perkara
yang tidak mudah, tapi cobalah menjadi lebih kuat. Biarkan
orang lain dengan pemikirannya, dan kamu tetap dengan
keteguhhanmu. Apapun yang terjadi, siapapun yang
menghakimi, selama kamu tidak keluar dari porosmu, maka
biarkan kamu tetap menjadi dirimu-sendiri. Satu-satunya
yang berhak menentukan keberhargaanmu adalah dirimu
sendiri.
Lagi-lagi dirimu sendiri. Karena tidak ada yang mampu
menjadi kamu, sebaik dirimu. Kadang, banyak sekali
pertanyaan yang tidak bisa aku jawab sendiri. Terkadang juga,
akupun marah dengan diriku sendiri. Tapi tanpa diri ini, siapa
lagi yang mau aku ajak berjuang. Hargai dirimu dan usahamu,
cas dulu mentalmu dan tunjukkan kepada dunia seberapa
terang dirimu bisa menyala.
65
AKU, DIA, DAN MIMPI KITA
Oleh: Marsa Elma Saputri
Assalamualaikum, hai perkenalkan namaku Marsa
Elma Saputri, keluarga dan teman-temanku memanggilku
dengan sebutan “Marsa”. Namun, banyak juga yang
memanggilku dengan sebutan “Aca”. Aku kini masih duduk
di bangku Sekolah Menengah Atas kelas 11 di SMA Negeri 1
Kademangan.
Membicarakan tentang persahabatan, menurutku
sahabat adalah orang kedua setelah keluarga. Sahabat menjadi
tempatku berkeluh kesah, meminta solusi bahkan pendapat di
saat tidak ada satupun anggota keluargaku yang bisa ku
jadikan tempat untuk pulang dan bersandar.
Aku memiliki satu sahabat yang sampai saat ini masih
berada di sampingku, sebut saja dia Lala. Kami bersahabat
sejak aku dan dia masih sangat dini, bahkan ketika kami
menginjak ke bangku pendidikan, aku dan dia pun memilih
sekolah yang sama mulai dari TK, SD, SMP. Namun, karena
ada mimpi yang harus kami gapai dan perjuangkan, aku dan
dia memilih berbeda jalan. Dia berjalan dengan mimpinya
dan aku berjalan dengan mimpiku. Aku dan dia berbeda
sekolah, tapi itu bukanlah hal yang menjadi penghalang kita
untuk bersama.
66
“Apakah aku harus ikut bersekolah denganmu? Agar
kita bisa bersama, aku takut kamu menemukan sahabat baru”
ucapku. Katakan saja aku berlebihan, tapi memang seperti itu
lah aku. Aku terlalu takut untuk kehilangan orang yang aku
sayang lagi.
“Mengapa pindah? Tetaplah berada di jalanmu, kita
hanya berbeda jalan bukan berbeda tujuan. Ingat mimpi kita,
bukankah kita memiliki mimpi untuk membeli barang tanpa
melihat harga? Semangat dong!” ucapnya dengan tenang
namun menyiratkan kesedihan.
Namun kini, aku dan dia sudah mulai jarang berkabar.
Dia tengah sibuk dengan jabatannya sebagai sekertaris OSIS
dan sekretaris Paskibraka yaaa… Pasukan Pengibar Bendera
Pusaka, salah satu ekstra di sekolah. Bangga? Jelas banggalah
hehe…., dia memang seambisi itu. Bisa disimpulkan,
sepertinya aku dan dia memang saling melengkapi. Aku yang
pemalas dan suka mager, sedangkan dia yang super aktif dan
semangat. Tidak sampai disitu, berbagai pikiran negatif mulai
muncul dipikiranku. Ku pikir dia tidak mengabariku karena
sudah ada sahabat baru, syukurlah tidak.
“Kamu melupakanku?” tanyaku sambil menunggu
balasan di ponselku. Beberapa jam kemudian, muncul
notifikasi yang aku tunggu-tunggu.
67
“Maaf, tidak. Hanya saja akhir-akhir ini aku sedang
disibukkan dengan tugasku sebagai sekertaris OSIS dan
Paski.”
“Wawww! Ternyata sifat ambisiusmu tidak berubah
sama sekali,” ketikku diakhiri dengan emot tertawa.
“Tidak, malah sekarang ada sedikit penyesalan pada
diriku. Sungguh ini sangat melelahkan, belum lagi tugas
sekolah yang ugal-ugalan.”
“Semangat ya cantik, nikmati tugas-tugasmu!”
pernyataanku yang ku akhiri dengan kekehan.
Percakapan kami masih berlanjut hingga larut malam,
karena hanya pada jam segitu kami bisa saling bercakap
walau benda persegi ini yang menjadi perantaranya. Mulai
dari percakapan yang tidak jelas hingga percakapan yang
berkualitas. Tidak lupa setiap kami bercakap kami selalu
menanyakan tentang hari kita masing-masing. Ketika ada
salah satu yang rindu, maka kami berdua saling
menyempatkan untuk bertemu. Aku yang mendatangi
kostnya atau dia yang mendatangi rumahku. Seperti itulah
hari-hariku bersamanya, terlihat menyebalkan dan sangat
monoton. Tapi asal kalian tau, aku selalu berdoa semoga dia
selalu bersamaku, dan semoga persahabatan kami terus
terjalin hingga kakek nenek. Karena hanya bersama dia aku
bisa merasakan apa artinya ketulusan, kenyamanan, dan
kebahagiaan yang bisa aku dapatakan dari seorang teman. Oh
iya, jangan kalian pikir jalan persahabatan kami mulus yaaa!
68
Jawabannya adalah tidak, banyak masalah yang datang,
banyak konflik yang menghampiri, dan banyak debat yang
terucap. Cukup segitu dulu ya ceritaku, aku masih ingin
melanjutkan seduhan kopiku hehe. Terimakasih, dan sampai
jumpa.
69
CATATAN RINDU UNTUK SEKOLAHKU
Karya: Wini Ati Rahayu
Saga Putra Alexander, siswa paling bijaksana di
kelasnya. Ia menjabat sebagai ketua kelas. Saga mempunyai
jiwa kepemimpinan yang baik, banyak yang suka berteman
dengannya. Bagaimana tidak suka jika setiap harinya mereka
akan selalu dibuat tertawa jika bersama Saga. Karena selain
bijksana, ia juga merupakan siswa yang asyik.
Pagi ini cuaca sangat cerah, secerah wajah Saga yang sedang
menikmati sepiring nasi goreng bersama kedua temannya,
Aksa dan Zea. Ketiganya sedang berada di kantin sekolah
mereka, SMAN 1 Kademangan.
“Eh dengar-dengar bakal ada pentas drama ya minggu
depan?” tanya Zea mengawali percakapan.
“Hah,yang benar ? Kata siapa kamu?” Tanya Aksa.
“Anak-anak pengurus osis,” jawab Zea.
70
“Wah, bakal seru nih, pokoknya kelas kita harus ikut dan
jadi pemenang,” sahut Saga bersemangat.
Setelah mereka menghabiskan nasi goreng milik masing-
masing mereka memutuskan untuk kembali ke kelas dan
berencana untuk merundingkan perihal pentas drama bersama
teman sekelas. Diskusi berlangsung dengan seru, karena
semua dengan begitu aktif memberikan saran dan pendapat.
“Kalo menurut aku, kayaknya kalo kita mentasin drama
Romeo and Juliet bakal seru deh?” ujar Riki, salah satu siswa
di kelas mereka.
“Boleh juga sih itu.”
“Setuju, kayaknya seru deh.”
Banyak yang setuju dengan pendapat Riki, akhirnya
mereka memutuskan untuk memilih judul Romeo and Juliet
untuk pentas drama mereka.
Saga terlihat sangat bersemangat untuk pentas drama
ini. Terlebih dia ditunjuk oleh teman-temannya untuk
memerankan tokoh Romeo. Saga dan teman-teman
sekelasnya mulai mempersiapkan segala hal yang diperlukan
71
untuk pentas drama mereka. Mulai dari menulis naskah,
berlatih akting, serta menyiapkan properti. Sampai semua
sudah siap dan mereka hanya tinggal pentas dua hari lagi.
Mereka benar-benar menyiapkan segala sesuatu dengan
sangat baik dan tersusun.
Hingga satu hal yang tidak pernah mereka duga terjadi.
Pada hari senin tepatnya saat upacara, tiba-tiba kepala sekolah
mengumumkan bahwa sekolah diliburkan selama dua
minggu karena adanya covid-19 menyerang Indonesia. Itu
berarti pentas drama yang mereka siapkan dengan begitu
maksimal harus ditunda hingga dua minggu lamanya atau
lebih parahnya terancam batal.
Keadaan kelas sangat ricuh, semuanya mengeluh
karena pentasnya harus ditunda dan yang mereka takutkan
akan dibatalkan. Persiapan yang mereka lakukan sudah sangat
matang, biaya yang mereka keluarkan juga tidak sedikit. Saga
pun juga khawatir jika pentas drama ini sangat batal, teman-
temannya pasti akan sangat kecewa.
“Ga, gimana dong ini, kita bisa rugi kalau sampai pentasnya
batal?” tanya Zea, raut kesal tercetak jelas di wajahnya.
72
“Sia-sia dong kita latihan berhari-hari?” sahut Aksa.
Saga yang melihat teman-temannya cemas dan kesal
berusaha untuk menenangkan mereka, walau pada
kenyataannya ia sendiripun juga mencemaskan hal yang sama.
Setidaknya ia harus berusaha tenang dan berpikir positif agar
teman-temannya juga tenang.
“Semuanya tolong tenang, dengerin aku! Kalian jangan
mikir yang aneh-aneh, kita berdoa aja semoga pentas
dramanya nggak dibatalkan. Aku yakin setelah libur dua
minggu pentasnya akan berlanjut dan berjalan dengan
lancar.”
Kata-kata Saga berhasil membuat teman-temannya
lebih tenang dan tidak ricuh lagi. Mereka mulai berdoa
bersama agar acaranya tidak dibatalkan dan latihan yang
mereka lakukan berhari-hari tidak berakhir sia-sia. Mereka
yakin hal baik akan terjadi jika mereka memikirkan hal yang
baik pula. Sebaliknya jika mereka berpikir hal yang buruk,
maka hal buruk bisa saja benar-benar terjadi.
73
Memasuki hari pertama liburan di masa pandemi Saga masih
bisa menikmati liburannya, dia juga sudah tidak terlalu
memikirkan masalah pentas drama kemarin.
Saga menghabiskan waktunya dengan melakukan
segala aktifitas hanya di rumah karena kebijakan pemerintah
yang tidak memperbolehkan seluruh warga Indonesia untuk
beraktifitas di luar rumah.
Sebenarnya Saga senang-senang saja menjalani
aktifitasnya seperti ini. Karena tugas rumah pun tidak
diberikan oleh guru sekolahnya. Hal ini membuatnya benar-
benar hanya bersantai di rumah menikmati liburannya.
“Wah ternyata seru juga liburan kayak gini. Nggak perlu
bangun pagi, nggak ada tugas lagi. Bisa bersantai deh aku.”
Monolog Saga yang sedang bermain ponsel di kamarnya.
Hari demi hari sudah berlalu, hingga pada saat minggu
kedua dan tiba pada satu hari sebelum masuk sekolah, hal
yang tidak Saga duga terjadi. Pihak sekolah mengumumkan
pada website sekolah bahwa libur karena pandemi covid-19
diperpanjang hingga dua minggu lagi.
74
Saga benar-benar terkejut akan hal itu begitupun juga
dengan teman-temannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi,
pentas darma dibatalkan. Saga dan teman-temannyaa begitu
kecewa mendengar pengumuman tersebut, mau tidak mau
mereka harus menelan kenyataan pahit itu.
Pentas drama yang sudah mereka persiapkan
sedemikian rupa benar-benar dibatalkan. Mereka harus
merelakan tenaga dan biaya yang sudah mereka keluarkan.
Saga sedang berkomunikasi dengan beberapa
temanya lewat panggilan video. Mereka saling berkeluh
kesah dan meluapkan kekecewaannya perihal dibatalkannya
pentas drama.
“Aku nggak menyangka pentas dramanya benar-benar
dibatalkan, ” ucap Riki mengeluh.
“Aku juga nggak habis pikir sama pihak sekolah, bisa-bisanya
mereka nggak mikirin tenaga dan biaya yang sudah kita
keluarkan,” sahut Aksa.
“Sudahlah, ini kan juga di luar kendali pihak sekolah, kalau
sekolah memaksa untuk pentas yang ada kita dapat sanksi
75
dari pemerintah,” Saga berusaha untuk menenangkan teman-
temannya kembali.
“Iya benar kata Saga, lagian bakal repot kalau kita sampai
dapat sanksi,” ujar Zea membantu Saga menenangkan
temannya.
“Yaudah mau gimana lagi, mau nggak mau kita harus bisa
ikhlas,” balas Riki.
Saga dan yang lainnya mengangguk setuju, lagi pula tidak ada
gunanya terlalu banyak mengeluh.
Hari terus berlanjut, Saga mulai merasa bosan selalu
beraktifitas di rumah saja. Ia merindukan sekolah dan juga
teman-temannya, walaupun tugas sekolah sudah diberikan
dan pembelajaran berlangsung secara daring, namun Saga
tetap merasa rindu. Biasanya ia akan belajar bersama teman-
temannya di kelas, bermain dan bercanda bersama. Namun
sekarang, ia hanya bisa melihat temannya di layar laptop.
“Aku jadi rindu belajar di kelas rindu sama teman-teman,
bosan juga kalau pembelajaranya kayak gini,” ucap Saga
bermonolog. Saga mulai belajar beradaptasi dengan
76
kehidupanya yang baru, karena ia tidak tahu bahkan tidak ada
yang tahu kapan pandemi covid-19 ini akan berakhir. Jadi,
mau tidak mau ia harus terbiasa.
Terkadang pada malam hari sebelum tidur, ia
membayangkan hal-hal menyenangkan yang telah ia lalui
bersama teman-temannya saat di sekolah. Semua terasa
begitu menyenangkan pada kala itu, kalau bisa ia meminta ia
sangat ingin bisa bersekolah kembali, menuntut ilmu dan
membuat banyak kenangan bersama teman-temannya.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebenarnya ia juga
sedih. Kenangan semasa sekolah sangatlah berarti untuk
dirinya, sangat terasa aneh saat masa-masa sekolah harus ia
lewati dengan belajar di sekolah. Saga yakin, teman-
temannya pun merasakan hal yang sama. Ia dan teman
sekelasnya sangatlah kompak, bisa dilihat dari bagaimana
mereka bekerja keras bersama dalam mempersiapkan pentas
drama. Padahal jika pentas drama tersebut tidak dibatalkan,
itu akan menjadi sebuah kenangan indah yang tidak akan
Saga lupakan.
77
Jika mengingat sekolah dan teman-temannya, ia akan
bersedih kembali. Semuanya begitu berarti untuk dirinya,
Saga tidak menyangka libur dua minggu yang awalnya sangat
ia nikmati akan jadi hal sangat membosankan. Dan
kebalikannya, sekolah yang dulu ia pikir sangat
membosankan malah menjadi hal yang sangat ia rindukan.
Minggu demi minggu terlewati namun pandemi
covid-19 belum juga berkhir. Sama halnya dengan pandemi
covid-19 yang belum berakhir, rasa rindu di hatinya akan
sekolah juga belum berakhir. Saga sudah terbiasa dengan
sekolah mode daring namun ia tidak menyangkal jika ia bosan
dengan pembelajaran mode daring tersebut. Dan menurutnya
ilmu yang ia terima pun tidak maksimal, banyak materi yang
tidak ia pahami.
Sampai saat ini pun ia masih sangat berharap kalau ia
dapat bersekolah seperti biasa. Dan keinginannya pun
terwujud, pihak sekolah memberikan pengumuan terbaru.
Pembelajaran akan dilaksanakan tatap muka dengan kapasitas
50% setiap kelas.
78
Saga sangat bahagia mendengarnya. Walupun
kegiatan di sekolah tidak senormal sebelum pandemi
setidaknya hal ini dapat mengobati rasa rindunya terhadap
sekolah dan teman-temannya. Saga berharap pembelajarn
tatap muka ini akan terus berlanjut dan kembali berjalan
normal.
79
DI MASA PANDEMI KAKAKKU PAHLAWANKU
Karya: Fanela Rahma Anjani Aulia
Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara.
Namaku Rahma, aku gadis kecil yang cantik, pintar, dan
periang. Aku mempunyai kakak perempuan Faiftin namanya.
Kakakku galak penuh disiplin dan sangat pintar. Sekarang
aku duduk di kelas sepuluh dan aku adalah ketua kelas.
Menjadi ketua kelas di zaman pandemi sekarang ini tidak
semudah dan sekeren yang aku bayangkan, repotnya luar
biasa. Sekolah jarang masuk, sekali masuk ada sesi jamnya,
susah untuk koordinasi dengan teman-teman. Aku gak
menyesal sama sekali menjadi ketua kelas. Aku ingat sekali
kata-kata kakakku, kamu pasti bisa jangan takut mencoba,
belajar jadi pempimpin agar kelak saat kamu bekerja kamu
bisa mengatur anak buah yang lebih banyak lagi. Aku selalu
ingat pesan kakakku itu. Kakakku keren, aku selalu ingin
seperti kakakku. Kakak ku sangat hebat seorang prempuan
namun dia mandor di perkebunan karet di Jember.
80
Di tahun 2020 pandemi datang melanda Indonesia,
bahkan bukan hanya negeriku saja namun seluruh dunia.
Waktu pandemi melanda, aku masih duduk di kelas sembilan.
Aku sangat ingat sekali. Waktu itu, aku hampir saja tidak
melanjutkan sekolahku ke Sekolah Menengah Atas gara-gara
pandemi. Pandemi itu sangat merugikan keluargaku, aku tahu
mungkin tidak hanya keluargaku hampir semua keluarga,
semua kalangan, dan segala sektor terpengaruh. Usaha ibuku
turun drastis dan bahkan bisa dibilang bangkrut. Pada masa
sulit itulah kakakku menjadi pahlawa. Ia mengambil alih
semua tugas orang tua. Alhamdulilah, aku bisa lanjut sekolah
dengan segala upaya dan perjuangan kakakku yang merantau.
Walaupun untuk mengambil seragam sekolah saja harus
dengan menyicil tidak masalah, aku tetap semangat. Kakakku
bilang jangan takut dan jangan pernah malu, nanti jika kamu
di tegur guru belum membayar minta nomor telefonnya, kalau
perlu kepala sekolah, biar kakak yang hadapi katannya,
hahaha lucu tapi terharu juga dengan perjuangannya demi
adiknya. Aku janji akan sekolah dengan baik dan akan aku
buktikan kalau aku akan sukses. Aku yakin musibah pandemi
ini pasti selalu ada hikmah, dan Tuhan pasti memberikan aku
81
cobaan dan ujian hidup seperti ini suatu saat pasti akan
digantikan dengan kebahagian yang luar biasa. Dan semoga
pandemi cepat berlalu dan kehidupan segera normal kembali.
Aamiin
Kisah yang ku tulis mungkin sesingkat ini. Tapi aku
mejalaninya sungguh panjang sekali, penuh makna dan air
mata, bahkan aku merasaha seperti mimpi ternyata aku
mampu melewati semuanya. Aku hebat aku kuat aku bisa.
Semoga yang memiliki kisah sepertiku, tetap semangat
jangan mudah putus asa jalani semua dengan penuh syukur.
Jangan selalu menoleh ke atas, masih banyak orang yang di
bawah kita. Jangan lupa, niat yang baik selalu diberi jalan
oleh Tuhan. Prokes selalu di masa pandemi ini, jaga
kesehatan, metal, dan pikiran. Semangat!
82
I'M POSSIBLE
Karya: Regina Ayu Azzahra
Namanya Farhana Syafira atau sering dipanggil Hana.
Tahun ini adalah tahun terakhirnya berada di bangku sekolah
menengah atas. Saat di mana Ia seharusnya sudah serius
memikirkan akan melanjutkan kuliahnya, tetapi akibat
pandemi yang melanda semuanya membuat Hana menjadi
bimbang. Ya, keluarga Hana adalah salah satu dari sekian
banyak yang merasakan dampak dari pandemi ini.
Ayahnya dulu bekerja sebagai buruh pabrik, tetapi
sekarang dirumahkan dan beralih menjadi tukang ojek. Kakak
laki-lakinya juga masih belum bekerja karena belum ada
panggilan dari perusahaan tempatnya mendaftar hingga saat
ini. Hanya tinggal warung kecil-kecilan yang dimiliki
keluarganya sebagai sumber penghasilan sekarang. Warung
yang juga semakin lama semakin kosong karena tidak ada
cukup modal untuk mengisinya lagi. Karena masalah
ekonomi keluarganya inilah Hana berpikir untuk tidak
83
meneruskan kuliah dan membantu perekonomian
keluarganya dengan mencari pekerjaan.
………………
"Assalamualaikum, Bu… Hana pulang," ucapnya ketika
memasuki rumah.
"Waalaikumsalam. Tumben kamu pulang lebih sore dari
biasanya, Dek?" tanya Ibunya setelah melihat jam dinding
yang sudah menunjukkan pukul lima.
"Iya, Bu. Soalnya hari ini Hana ada bimbingan buat olimpiade
dua minggu lagi," jawabnya seraya menyalami tangan ibunya.
"Oh ya sudah. Sekarang Adek mandi saja, sebentar lagi kan
sudah Maghrib!"
"Ayah sama abang belum pulang ya, Bu?" tanya Hana ketika
melihat di rumahnya terlihat sepi.
"Belum. Paling pulang nanti malam sekalian."
"Hmm ... Sebenarnya Hana mau bicara sesuatu ...." ujar Hana
ragu dengan apa yang akan diucapkannya.
84
"Bicara? Tentang apa?" tanya Ibunya yang heran melihat
Hana yang terlihat ragu-ragu.
Gadis itu berucap dengan lirih dan kepalanya menunduk
karena takut mendengar respon Ibunya."Hana ... milih untuk
nggak lanjut kuliah Bu ...."
Ibunya merasa terkejut setelah mendengar perkataan anak
bungsunya itu. Bagaimana ia tidak terkejut ketika mendengar
anaknya yang selama ini selalu bercerita dengan optimis
tentang segala impian dan cita-cita yang ingin dicapainya,
sekarang justru ingin menyerah atas itu semua? Orang tua
mana yang tega melihat anaknya menyerah terhadap cita-
citanya sendiri?
"Dek, kamu nggak boleh nggak lanjut kuliah. Kamu memang
nggak ingat sama cita-cita kamu? Bukannya dulu kamu selalu
bilang ke ibu kalau ingin jadi peneliti antariksa? Terus kenapa
sekarang kamu nggak mau lanjut kuliah?" tanya Ibunya
terheran-heran.
"Tapi kalau Hana kuliah nanti Ibu sama Ayah harus bayar
biaya kuliah. Hana mau kerja buat bantu Ayah sama Ibu,
85
Hana nggak mau terus jadi beban kalian," ucapnya seraya
mulai berkaca-kaca.
Hati Ibunya mencelos mendengar kata-kata anaknya.
Karena alasan ekonomi keluarganya yang sulit membuat
anaknya berpikir untuk menyerah terhadap mimpinya.
"Dek, kamu itu bukan beban buat Ayah sama Ibu.
Kamu dan Abang itu adalah tanggung jawab kami. Kamu gak
boleh berpikir kalau kamu membebani, sebagai orang tua
memang sudah seharusnya kalau kamu bergantung pada
Ayah Ibu. Justru Ibu akan merasa lebih bersalah kalau kamu
nggak bisa mencapai cita-cita kamu karena lebih memilih
bantu Ayah sama Ibu kerja. Ibu merasa gagal sebagai orang
tua kamu karena menghambat kamu mencapai cita-cita."
Selama ini memang orang tuanya begitu mendukung
semua cita-citanya. Tapi Hana merasa ia terlalu egois jika
memaksa untuk tetap berkuliah di tengah keadaan ekonomi
keluarganya yang sulit. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk
membantu meringankan beban orang tuanya dengan memilih
bekerja setelah lulus, tetapi setelah mendengar perkataan
86
ibunya ia jadi merasa bersalah karena telah membuat Ibunya
menjadi berpikir seperti itu.
"Ibu sama Ayah nggak pernah memaksa kamu sama
Abang buat bantu kita. Yang penting kamu fokus sama cita-
cita kamu, lanjutkan kuliahnya. Masalah biaya biar itu urusan
kami orang tua. Kamu harus yakin kalau Allah pasti sudah
punya rencana untuk kita semua, pasti akan ada rezeki kalau
kita ada niat dan usaha," ucap ibunya menepuk kepala Hana
yang masih menunduk dari tadi.
"Iya, Bu. Maaf karena Hana tadi sempat berpikir nggak mau
lanjut kuliah."
"Nggak perlu minta maaf. Ibu juga yang salah karena bikin
kamu bisa berpikir begitu. Sekarang sana kamu mandi,
sebentar lagi adzan ini," ucap ibunya seraya tersenyum simpul.
"Hana mandi dulu kalau begitu," Hana berlalu masuk ke
kamarnya.
Setelah mandi dan sholat, Hana duduk di depan meja
belajarnya. Ia mulai merenungkan kata-kata ibunya dan
mencari cara untuk sedikit meringankan beban orang tuanya.
87
Ketika matanya menangkap sebuah gambar di depannya,
akhirnya ia mendapatkan ide.
Dengan sedikit terburu-buru tangannya mengambil
kertas dan pensil dan mulai mencorat-coret kertas itu menjadi
gambar. Ya, Hana sedang menggambar sebuah komik. Hana
berencana untuk mengirimkan karyanya ke beberapa redaksi
harian dan penerbit. Setelahnya, ia akan membuat iklan untuk
menggunakan jasanya dan menyebarkannya di sosial media.
Hana mengerti jika ini adalah sebuah hal yang tidak mudah,
tetapi setidaknya Hana telah mencoba berusaha. Sepanjang
sisa malam itu Hana habiskan untuk menyelesaikan naskah
komiknya.
………………
Dua minggu telah berlalu sejak Hana mengirimkan
naskahnya. Belum ada satu redaksi ataupun penerbit yang
menerima naskah komiknya. Saat ini Ia hanya sedang
berfokus untuk persiapan olimpiade yang akan diadakan
besok. Saat itu jam menunjukkan pukul delapan malam ketika
ibunya mengajaknya untuk makan. Mereka sekeluarga
berkumpul untuk makan malam bersama. Bukan dengan
88
makanan yang mewah, hanya tumis kangkung dan lauk
seadanya. Di tengah-tengah makan malam itu, suara Radit
yang merupakan kakak laki-laki Hana memecah keheningan.
"Yah, Bu. Radit tadi baru dapat panggilan dari
perusahaan tempat Radit kemarin daftar kerja. Insyaallah
mulai minggu depan Radit sudah bisa kerja di sana," ujarnya
yang mengejutkan semua orang di meja makan saat itu.
"Alhamdulillah, Bang. Kita semua ikut bahagia
dengarnya," ucap ibunya penuh syukur.
"Iya alhamdulillah, Bu. Lumayan nanti bisa bantu
buat bayar biaya kuliah adek." Radit bercanda dengan
mengacak-acak rambut adik perempuannya.
"Ihh, Abang! Berantakan jadinya rambut Hana!"
Protesnya Hana malah mengundang tawa ketiga orang
lainnya.
"Oh iya, Dek. Kamu besok olimpiade kan? Habis ini
jangan lupa berdoa dan belajar, kalau sudah selesai langsung
tidur!" Perkataan sang ibu mengembalikan fokus Hana.
89
"Wih, Adek besok mau ikut lomba, Bu? Semangat ya
adeknya Abang! Kalau menang jangan lupa traktir Abangnya,
oke?" sahut Abangnya dengan jahil.
Hana hanya memutar bola matanya menghadapi
kejahilan kakak laki-lakinya itu. Sementara ayah dan ibunya
hanya tersenyum melihat interaksi anak-anaknya.
………………
"Assalamualaikum, Hana pulang." Hana mengucap salam
ketika memasuki rumah dengan membawa piala di tangan.
"Waalaikumsalam. Lho kok kamu pulang bawa-bawa piala,
Dek?" ucap Ibunya heran melihat piala di tangan Hana.
"Ini piala Hana dapat dari juara 2 olimpiade hari ini, Bu!"
ujarnya dengan penuh kegembiraan.
"Alhamdulillah, Dek. Selamat ya! Ibu bangga sekali sama
kamu!" ungkap Ibunya penuh suka cita.
"Oh iya, Bu. Tadi Hana juga dapat hadiah berupa uang. Ibu
simpan ya!" Hana menyerahkan amplop yang diambil dari
tasnya kepada ibunya.
90
"Nggak usah, Dek. Itu uang kamu. Terserah mau kamu pakai
buat apa." Tolak ibunya secara halus.
"Hmm ... Kalau begitu, Hana sebenernya ada ide bikin usaha
dari uang ini. Ibu mau bantu nggak?"
"Oh ya? Usaha apa?"
"Hana kepikiran mau buat cookies, tapi Hana sendiri nggak
bisa bikinnya. Jadi Ibu bisa, kan bantu Hana?" ungkapnya
kepada Ibunya.
"Bisa kok. Jadi kita mulai bikin kapan?" ucap Ibunya
memberi penawaran.
"Sekarang!" serunya dengan penuh semangat.
"Ya kamu sana ganti baju dulu. Habis itu kita beli bahan-
bahannya dulu oke?"
"Siap kapten!"
………………
Kini sudah hampir setahun usaha cookies Hana dan
Ibunya berjalan. Kondisi ekonomi keluarganya juga semakin
91