SEJARAH SOSIAL KESULTANAN LANGKAT Pagar, dkk
ii SEJARAH SOSIAL KESULTANAN LANGKAT Penulis: Pagar Fatimah Zuhrah Shiyamu Manurung Masmedia Pinem Dede Burhanudin Asep Saefullah Desain Cover & Layout Isi: TitianArt Diterbitkan oleh: LITBANGDIKLAT PRESS JL. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta Pusat Telepon: 021-3920688 Fax: 021-3920688 Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017 Cetakan Pertama - September 2020 I S B N: 978-623-91689-9-5
iii KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan nikmatnya tercurahkan kepada kita. Atas berkat rahmat dan rida Allah jua, penulisan sejarah Kesultanan Langkat ini dapat diselesaikan, dan kini hasilnya diterbitkan menjadi buku oleh LitbangDiklat Press (LD Press) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Sebagaimana diketahui Indonesia, dan Nusantara dalam konteks yang lebih luas, sungguh wilayah yang eksotis, subur makmur dan menarik perhatian banyak kalangan. Salah satu daya tariknya adakah keanekaragaman dalam berbagai hal, baik hayati maupun nabati, rasa, golongan, suku, maupun agama, serta warna-warni sosial budaya, seni, tradisi, dan lokalitasnya. Salah satu rekaman warna-warni sosial budaya dan lokalitasnya terdapat dalam sejarah lokal. Maka, dalam rangka melestarikan, memelihara, dan memanfaatkan warisan sejarah lokal tersebutlah digagas suatu kegiatan yang berkaitan dengan sejarah sosial keagamaan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya adalah Sejarah Kesultanan Langkat yang berada di Provinsi Sumatera Utara.
iv Kesultanam Langkat adalah fakta sejarah dan meninggalkan banyak peninggalan artefaktual, khazanah kebudayaan, dan warisan-warisan nonmaterial lainnya berupa falsafah hidup dan semangat perjuangan memajukan dan mencerdaskan rakyat serta membangun peradaban dan karakter bangsa. Kesultanan Langkat merupakan salah satu kerajaan di Provinsi Sumatera Utara dengan corak Islam. Kesultanan Langkat dikenal sebagai Kerajaan Melayu yang dahulu termasuk wilayah Sumatera Timur; bermula dari Kerajaan Aru sekitar tahun 1500 sampai dengan terjadinya revolusi sosial pada 1946, yang mengakhiri sejarah Kesultanan Langkat. Kesultanan Langkat memiliki kekayaan berupa ladang minyak, yang merupakan yang pertama di Indonesia, dan juga perkebunan yang luas, yang menjadikannya sebagai kesultanan terkaya di Asia Tenggara hingga masa kolonial Belanda. Saat ini, Langkat merupakan salah satu Kabupaten di Sumatera Utara. Dinamika sosial-keagamaan, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan dalam perjalanan panjang sejarah Kesultanan Langkat sesungguhnya telah memberikan pengaruh yang kuat pada masyarakat, khususnya masyarakat Melayu di Langkat. Sampai saat ini, perilaku keislaman dapat dijumpai di sana-sini di Kabupaten Langkat; aktivitas keagamaan sehari-hari, seperti salat berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama, dapat dengan mudah dijumpai dan masih ada hingga kini. Selain itu, sumbangan kesultanan ini kepada Republik Indonesia cukup membanggakan; salah satu pujangga besar dan Pahlawan Nasional berasal dari Langkat, yakni Amir Hamzah, dan Wakil Presiden RI ketiga, juga berasal dari sini, yaitu Adam Malik. Sedikit uraian tersebut dapat memberikan gambaran betapa pentingnya sejarah ditulis dan dipublikasikan. Oleh karena itu, dalam rangka mengambil inspirasi, hikmah, dan pelajaran yang sangat berharga tersebut, buku ini disajikan ke hadapan para pembaca yang budiman. Buku ini berasal dari hasil penelitian tentang sejarah sosial-keagamaan Kesultanan Langkat, kerjasama antara Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi dengan Lembaga Penelitian UINSU, Medan pada tahun 2018.
v Selanjutnya, kepada LD Press diucapkan banyak terima kasih atas kesediaannya menerbitkan hasil penelitian ini. Semoga hasil usaha ini dapat memberikan manfaat seluas-luasnya bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan juga untuk menggali warisan sejarah dan khazanah keagamaan di Indonesia. Kesemuanya diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam melestarikan, memelihara, dan memanfaatkan warisan dan nilai sejarah, serta dapat berguna bagi penguatan jati diri dan pembangunan karakter bangsa. Terakhir kami sampaikan permohonan maaf apabila masih terdapat kekurangan di sana sini. Saran, masukan, dan kritik membangun dapat disampaikan kepada kami untuk perbaikan di masa yang akan datang. Demikian, semoga bermanfaat dan mendapat rida Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa. Ãmîn Yâ Rabbal-‘âlamîn. Jakarta-Medan, Februari 2020 Tim Penulis
vi
vii Daftar Isi KATA PENGANTAR ..................................................................... iii DAFTAR ISI .............................................................................. vii BAGIAN PERTAMA..................................................................... 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1 BAGIAN KEDUA ........................................................................ 17 SEJARAH DAN KEJAYAAN KESULTANAN LANGKAT ..............................17 A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat ........................................17 B. Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan Langkat................25 C. Raja-Raja pada Kesultanan Langkat Sejak 1568-1927 ...................27 BAGIAN KETIGA........................................................................ 41 MASA KEJAYAAN DAN KEMUNDURAN KESULTANAN LANGKAT..............41 A. Masa Merintis Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa ...........41 B. Masa Puncak Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz......45 C. Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat ..............................................54 D. Masa Kemunduran Kesultanan Langkat ........................................73 BAGIAN KEEMPAT..................................................................... 79 KESULTANAN LANGKAT DALAM BERBAGAI DIMENSI ...........................79 A. Dimensi Keagamaan ..................................................................79 B. Dimensi Sosial dan Budaya .........................................................87 C. Dimensi Ekonomi .......................................................................90
viii D. Dimensi Politik...........................................................................91 E. Dimensi Intelektual ....................................................................94 BAGIAN KELIMA ....................................................................... 99 FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT MELAYU PADA MASA KESULTANAN LANGKAT ......................................................................................99 A. Falsafah Adat Orang Melayu .......................................................99 B. Falsafah Hidup Melayu Langkat.................................................. 105 C. Ciri-Ciri Budaya Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada Masa Kesultanan Langkat ........................................................ 109 D. Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat .............................. 111 BAGIAN KEENAM .................................................................... 117 REVOLUSI SOSIAL DI KESULTANAN LANGKAT DAN KONTRIBUSI KESULTANAN LANGKAT UNTUK NKRI .............................................. 117 A. Latar Belakang Revolusi Sosial .................................................. 117 B. Terjadinya Revolusi Sosial ........................................................ 121 C. Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke-Indonesia-an. 137 BAGIAN KETUJUH .................................................................... 159 PENUTUP .................................................................................... 159 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 163 INDEKS....................................................................................... 169 BIODATA PENULIS........................................................................ 175
1 BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN Provinsi Sumatera Utara dengan berbagai cerita dan sejarahnya di kabupaten/kota di sana mengundang banyak kalangan, terutama sarjana dan pemerhati sejarah untuk mengkajinya. Ini merupakan sebuah upaya mengumpulkan informasi dan pelajaran berharga kepada generasigenerasi di masa mendatang. Informasi mengenai kerajaan-kerajaan dalam sejarah di Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu warisan budaya yang mengandung beragam dan berlimpah inspirasi sehingga keberadaannya perlu dipelihara, dilestarikan, dan didayagunakan oleh berbagai kalangan. Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara memiliki sejarah kerajaan dengan corak ke-Islaman1 yang sangat kuat, yakni Kesultanan Langkat. Kesultanan ini dikenal masyarakat luas sebagai kerajaan Melayu terpandang serta masyhur ketika itu. Kesultanan Langkat, 1Ketika pada abad ke-13 Kerajaan Aru masih berdiri, terjadi proses peng-Islam-an ke daerah-daerah pedalaman, yaitu Karo, Simalungun, Padang Lawas. Sehingga sering disebut memeluk agama Islam sama dengan masuk Melayu. Lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), h.
2 yang pada masa lalu dikenal sebagai wilayah Sumatera Timur2 , dalam sejarahnya banyak menarik para pengkaji sejarah di kawasan Nusantara maupun manca negara dari berbagai aspek keilmuan, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, linguistik, arkeologi, dan filologi.3 Oleh karena itu, mengkaji dan mengungkap dinamika kehidupan sosialkeagamaan Islam pada masa Kesultanan Langkat tersebut dapat membawa warna yang sangat menarik bagi daerah Langkat sendiri maupun masyarakat umum. Khazanah budaya dan warisan sejarahnya dijadikan pelajaran dan landasan hostoris bagi masyarakat Kabupaten Langkat khususnya dan bagi masyarakat lain pada umumnya dalam rangka membangun kebudayaan dan karakter bangsa berdasarkan nilai-nilai keagamaan (baca: Islam) di masa yang akan datang. Secara historis, Fachruddin Ray, seorang ahli sejarah Langkat, menjelaskan bahwa nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pohon ini dahulu banyak dijumpai di tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri Kota Tanjung Pura. Nama tersebut melekat menjadi istilah pada Kesultanan Langkat.4 2Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara, Situs Sejarah Dunia Kilang Minyak Pangkalan Berandan (Medan: Balitbang Provinsi Sumatera Utara, 2011), h. 41. 3Sebagai tambahan bahwa dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat. Banyak perguruan tinggi yang membuka prodi ataupun jurusan baru. Untuk meningkatkan kualitas keilmuan yang ada maka perguruan tinggi banyak melakukan penelitian. Belakangan ini terdapat kecenderungan para ilmuwan untuk menggunakan beberapa metode dan pendekatan di dalam sebuah penelitian. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas berbagai persoalan manusia yang semakin kompleks. Salah satu metode penelitian yang digunakan oleh para ilmuwann adalah metode penelitian sejarah. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan ilmu itu sendiri sejarah tidak lagi dianggap sekadar ceritera masa lalu yang kaya mitologis, mistis, dan herois, melainkan sejarah adalah ilmu yang perlu ditunjang pemahaman kritis dan metodologis. Penelitian sejarah menjadi penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan kita bisa mengambil berbagai pelajaran peradaban masa lalu. 4Wawancara dengan Fachruddin Ray di kediamannya di Stabat, tanggal, 24 maret 2018.
3 Kesultanan Langkat secara geografis berada di wilayah Sumatera Timur.5 Kesultanan ini memiliki kekayaan terbanyak jika dibandingkan dengan kesultanan di Deli dan kesultanan di Serdang6 Kekayaan Kesultanan Langkat sangat mendukung perkembangan keagamaan Islam ketika itu sehingga penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam sebagai sarana peningkatan pemahaman Islam dan praktik keislaman di masjid-masjid atau tempat lainnya sangat diperhatikan. Salah satu wujud perhatian itu adalah batuan dari kesultanan untuk penyelenggaraannya. Oleh karena itu, Kesultanan Langkat menjadi terkenal sebagai Kerajaan Melayu bercorak Islam yang kuat. Gambaran tersebut membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan kebudayaan Islam khususnya di daerah Langkat. Sejarah Kesultanan Langkat secara ringkas sejak awal berdiri, masa kejayaan hingga masa berakhirnya, memiliki para sultan dengan silsilah berikut: Dewa Sahdan (1500-1580) di Kuta Buluh, Dewa Sakti (1580-1612) dan wafat pada Perang Aceh, Raja Abdullah atau Marhum Guri (1612- 1673), Raja Kahar (1673-1750) berkuasa di Kota Dalam Secanggang, Badiulzaman (1750-1814), Kejeruan Tuah Hitam (1814-1823), Raja Ahmad (1824-1870), Sultan Musa (1870-1896) di Tanjung Pura, Sultan Abdul Aziz (1896-1926) di Tanjung Pura, Sultan Mahmud (1926-1946) di Binjai.7 Perkembangan dan kebudayaan Islam yang terdapat dalam sejarah Kesultanan Langkat dapat dilihat dari sejumlah peninggalannya, antara lain seni arsitektur Islam yang terdapat di masjid, madrasah, dan bangunanbangunan pemerintahan. Corak keislaman yang melekat pada Kesultanan 5Sebelum menjadi negara kesatuan, Indonesia sempat menyandang status sebagai negara federalis, Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Saat itulah terdapat banyak negara bagian di Indonesia, salah satunya adalah Negara Sumatera Timur (NST). Lihat Sinar Basarshah II, Tuanku Luckman, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur (Medan: Yayasan Kesultanan Serdang, 2006), h. 565. Sebagai informasi bahwa Negara Sumatera Timur yang disingkat NST didirikan oleh Belanda dalam usaha mempertahankan daerah kaya minyak, perkebunan tembakau dan karet. Lihat http:// lenteratimur.com. Diakses pada tanggal 15 Juli 2018. 6Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan EliteTradisional, Terj. Tom Anwar (Jakarta: Komunitas Bambu,2012), h. 64 7Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban (Stabat: Stabat Media, 2013), h. 80.
4 Langkat berdampak besar pengaruhnya terhadap masyarakat Melayu Kabupaten Langkat hingga kini. Sebagai contoh kebiasaan Kesultanan Langkat yang hingga saat ini masih menjadi tradisi di masyarakat Kabupaten Langkat adalah perayaan dan kegiatan agama berkaitan dengan hari-hari besar Islam, seperti pada bulan Ramadan. Pada masa Kesultanan Langkat, Raja selalu memberikan bantuan ke masjid-masjid berupa makanan dan minuman bagi masyarakat yang melaksanakan salat tarawih, witir dan tadarus serta memberikan bantuan berupa sedekah kepada masyarakat yang kurang mampu ketika menjelang Idul Fitri.8 Hal ini menjadikan masyarakat selalu menaruh simpati kepada para sultan, karena pihak kesultanan begitu aktif dalam memberikan bantuan yang bersifat keagamaan. Gambaran tersebut menurut Bungaran karena agama yang dominan dianut orang Melayu adalah agama Islam, sehingga sering disebut masuk Islam berarti masuk Melayu.9 Wilayah Langkat dijuluki sebagai Kota Islam karena secara keseluruhan penduduknya menganut agama Islam, dan sangat kental akan budaya Islamnya.10 Sebab kehadiran Islam sebagai agama pada kenyataannya memang tidak hanya bersifat kerohanian saja melainkan juga membawa konsepsi-konsepsi kemasyarakatan, kebudayaan, kesenian, dan bahkan politik kenegaraan pada Kesultanan Langkat. Istilah atau penyebutan “Islam itu adalah Melayu dan Melayu itu adalah Islam” merupakan keberhasilan Kesultanan Langkat menciptakan dasar-dasar agama Islam sebagai budaya hidup sehari-hari masyarakat Melayu.11 Budaya dan gerakan tersebut tercipta ketika kohesi antara pesisir (sultan-sultan) dan pedalaman (panglima-panglima) ditumbuhkan dalam 8Djohar dalam Seminar sehari bersama Deputi Menpora, Prof Dr Ir Djohar Arifin Husin, Sabtu (16/1) di gedung Darma Wanita Pertamina, Pangkalan Brandan, dikutip dari hasil wawancara Abdul Kadir Ahmadi dan M. Yusuf Thaif (tokoh masyarakat Tanjung Pura), tanggal 25 oktober 2005. 9Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir..., h. 13 10M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, (Jakarta Selatan: Najm, 2011), h. 107. 11"Jadi suku Melayu itu sangat identik dengan agama Islam,”. Penuturan Djohar dalam Seminar sehari bersama Deputi Menpora, Prof Dr Ir Djohar Arifin Husin, Sabtu (16/1) di gedung Darma Wanita Pertamina, Pangkalan Brandan.
5 kelembagaan-kelembagaan “Datuk Empat Suku”.12Usman menuturkan bahwa proses Melayunisasi dari kelembagaan “Datuk Empat Suku” sejalan dengan Islamisasi.13Dengan demikian, ruang kehidupan masyarakat Islam Melayu di bawah kepemimpinan para Sultan Langkat menjadikan Islam sebagai ideologi yang digunakan untuk mengatur hubungan terhadap pengaruh budaya kolonialisme. Walaupun, faktor keturunan sering merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang di dalam masyarakat.14 Penuturan Usman dikuatkan oleh Sulaiman Zuhdi bahwa berkembangnya Kesultanan Langkat sebagaimana dimaksud terjadi pada tahun 1804 dipimpinan oleh Sultan Musa. Sistem pemerintahannya, raja dan datuk diakui sebagai kepala pemerintahan dan kepala adat.15 Akan tetapi perkembangan pendidikan keagamaan belum mengarah pada model pendidikan formal. Di masa Sultan Musa lahirlah tarekat Naqsabandiyah sebagai lembaga keagamaan yang perkembangannya didukung oleh Kesultanan Langkat sebagai kerajaan terkaya di Sumatera Timur.16 Selain itu juga Kesultanan Langkat sebagai suku bangsa Melayu mempunyai falsafah Melayu yang dijadikan dasar membangun sistem pemerintahan. Falsafah Melayu itu berbunyi bahwa Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah. Melayu itu artinya berbudaya, yang sifatnya 12Usman Pelly, “Melayu dan Batak dalam Strategi Kolonial”, Simposium Disertasi Dr. Daniel Perret: Batak dan Melayu, Unimed Medan, 20 Juli 2010; Waspada 22 Juli 2010 dalam Etnisitas dalam Politik Multikultural (Medan, Casa Mesra Publisher, 2015), h. 503 13Ibid. 14Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13 15Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas…, h. 91. 16Anthony Reid, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, Terj. Tom Anwar (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 64-65. Sedangkan kesultana lainnya semasa itu ialah Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Sebagai tambahan informasi bahwa Negara Sumatera Timur didirikan oleh Belanda dalam usaha mempertahankan daerah kaya minyak, perkebunan tembakau dan karet. Negara Sumatera Timur saat ini telah menjadi Provinsi Sumatera Utara. Bagi Belanda, hasil perkebunan karet dan minyak sangat penting dalam usaha penjajahan wilayah Indonesia saat itu. Sebelumnya pada 8 Oktober 1947, Belanda juga mendeklarasikan Daerah Istimewa Sumatera Timur dengan gubernur Dr. Tengku Mansur, seorang bangsawan Kesultanan Asahan yang juga ketua organisasi Persatuan Sumatera Timur.
6 nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, dan lain-lain. Melayu itu berarti beradat yang sifatnya regional dalam Bhineka Tunggal Ika dengan tepung tawar, balai, pulut kuning, dan sebagainya yang mengikat tua dan muda. Melayu itu artinya berturai, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukunn dan tertib, mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan saling menghargai secara timbal-balik. Melayu itu maksudnya berilmu, yang artinya pribadi diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebathinan.17 Kehidupan sosial keagamaan Islam masyarakat Melayu di bawah kekuasaan Kesultanan Langkat menampilkan corak masyarakat Islam yang berbeda dengan masyarakat Islam lainnya. Kedamaian dan keharmonisan antara sesama warga tetap terjaga dalam budaya Islam Melayu walaupun masyarakat Langkat memiliki keragaman suku etnis dan agama. Selain itu, sebagaimana dijelaskan Sulaiman Zuhdi bahwa kebijakan Kesultanan Langkat menetapkan aturan-aturan keagamaan Islam pada masyarakatnya dengan mempertimbangkan adat, budaya, dan kearifan lokal Melayu. Tujuan dari kebijakan Kesultanan Langkat tersebut agar kebutuhan budaya masyarakat Melayu Langkat dapat diakomodir dalam aturan-aturan agama. Gambaran kebijakan itu menunjukkan bahwa tradisi-tradisi pra Islam yang masih ada dalam budaya Melayu tidak dapat dihilangkan begitu saja. Berhadarkan hal itu, penetapan hukum Islam sebagai dasar kebijakan Kesultanan Langkat terbentuk atas dasar adat istiadat dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat.18 Selanjutnya dari aspek perekonomian Kesultanan Langkat yang didukung oleh sejumlah perkebunan yang luas, dan pertambangan minyak19 sangat memperkuat dan mengharumkan Kesultanan Langkat sebagai kerajaan Islam Melayu.20 Kesultanan Langkat yang dipimpin oleh 14 sultan21 17Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir…, h.13 18Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas…, h. 90 19Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 447. 20Perdagangan pada masa lalu telah mengalami kemajuan dengan adanya pelabuhanpelabuhan di pantai timur Sumatera. Pada 1814-1815 seluruh Sumatera Timur mengekspor 2.846 pikul lada ke Penang, dan pada 1822 mengekspor lada hingga mencapai 30.000 pikul. lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12
7 sampai berakhir kejayaannya meninggalkan lambang-lambang keagamaan Islam, antara lain Kesultanan Langkat sebagai lambang kekuatan politik Islam, Masjid Azizi sebagai lambang sosial-keagamaan, Jamaiyah Mahmudiyah sebagai lembaga pendidikan Islam, dan Kampung Babussalam sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Naqsabandiyah.22 Dalam mewujudkan suatu negara baru hasil perjuangan bangsa yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah hal yang mudah seperti apa yang direncanakan. Terlebih lagi di negara baru tersebut telah ada dan telah beratus tahun tumbuh kerajaan-kerajaan yang mempunyai kekuasaan dan wewenang secara otonom dan mandiri. Tiba-tiba, kerajaankerajaan ini harus bergabung dan berada di bawah satu kekuasaan, yakni di dalam satu negara Republik Indonesia. Hal ini tidak disetujui oleh kerajaan-kerajaan tersebut sehingga memunculkan revolusi sosial. Revolusi ini dengan secara paksa mengikis habis bentuk-bentuk lama dan menciptakan bentuk dan sistem baru, seperti yang terjadi pada revolusi sosial di Sumatera Timur dan Langkat. Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan Melayu di Sumatera Timur mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret 1946, tidak terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik pandai, bahkan rakyat Kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak dari kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Sebagai contoh di Kesultanan Asahan, dikabarkan telah jatuh korban jiwa sebanyak 15.000 orang, demikian juga pada tempat-tempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai tempat pembantaian paling parah. 23 Dengan demikian berakhirlah riwayat kesultanan di Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat. 21M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi…, h. 50. 22Zainal Arifin, Jamaiyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 20. 23Andika Bakti, “Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur Di Kesultanan Langkat Dalam Surat Kabar (Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat)”, https:// jurnal.usu.ac.id. Dilihat pada 12 September 2018.
8 Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Demi eksistensi Negara Republik Indonesia yang sangat diharapkan dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar Kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung terus, tetapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi karena telah diserkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Maka, berlakulah situasi “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).” Uraian sebelumnya memberikan daya tarik untuk membuka kembali sejarah Kesultanan Langkat dengan fokus kajian pada aspek sejarah sosialkeagamaan Islam di Kesultanan Langkat. Berdasarkan latar belakang dan pertimbangan tersebut, dilakukan penelitian mengenai “Sejarah Sosial Kesultanan Langkat”. Berbagai aspek sejarah Kesultanan Langkat sangat menarik untuk diungkap. Akan tetapi, karena beberapa keterbatasan seperti waktu, tenaga, dan dana, perlu dibatasi pada beberapa hal pokok yang menjadi fokus kajian saat ini. Fokus kajian yang dimaksud setidaknya meliputi enam rumusan masalah berikut: 1) Bagaimana sejarah lahir dan berdirinya Kesultanan Langkat? 2) Apa saja capaian Kesultanan Langkat pada masa kejayaannya? 3) Mengapa dan apa saja faktor-faktor kemunduran Kesultanan Langkat? 4) Bagaimana perkembangan Kesultanan Langkat dalam berbagai dimensi? 5) Bagaimana terjadinya revolusi sosial di Kesultanan Langkat? dan 6) Apa saja kontribusi Kesultanan Langkat untuk NKRI? Berdasarkan hal tersebut, maka kajian sejarah Kesultanan Langkat ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui sejarah lahir dan berdirinya Kesultanan Langkat; 2) Mengungkap capaian Kesultanan Langkat pada masa kejayaannya; 3) Mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor kemunduran Kesultanan Langkat; 4) Mengetahui perkembangan Kesultanan Langkat dalam berbagai dimensi; 5) Mengungkap peristiwa revolusi sosial di Kesultanan Langkat; dan 6) Mengetahui kontribusi Kesultanan Langkat untuk NKRI.
9 Selanjutnya, dalam penelitian ini terdapat keterbatasan-keterbatasan, antara lain: 1. Sejarah menurut Dudung Abdurrahman yang dikutipnya dari Kuntowijoyo adalah “kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia”. Menurutnya definisi tersebut mengandung dua makna sekaligus, yakni sejarah sebagai kisah atau cerita merupakan sejarah dalam pengertian secara subjektif, karena peristiwa masa lalu itu telah menjadi pengetahuan manusia; sedangkan sejarah sebagai peristiwa merupakan sejarah secara objektif, sebab peristiwa masa lampau itu masih di luar pengetahuan manusia. Berdasarkan pengertian terakhir, peristiwa sejarah itu mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia.24 Berdasarkan pengertian di atas, maka sejarah di sini mengemukakan sejarah Kesultanan Langkat mencakup segala hal yang dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh kalangan narasumber yang mengetahui tentang sejarah Kesultanan Langkat. 2. Kesultanan Langkat: kepemimpinan Kesultanan Langkat terdiri dari 14 sultan. Dalam penelitian ini dibatasi pada masa Kesultanan Langkat yang dimulai dari adanya penandatanganan perjanjian dengan Belanda, dan Raja Langkat diakui sebagai Sultan pada tahun 1877 hingga masa berakhirnya Kesultanan Langkat. Tahun 1877 merupakan masa kepemimpinan Sultan Musa yang merupakan Sultan kedelapan yang dianggap sebagai perintis Kesultanan Langkat. 3. Sejarah sosial adalah sejarah yang memusatkan perhatian pada masyarakat yang terabaikan, terasingkan, atau termarjinalkan yang merupakan aktor sejarah sosial. Peran-peran masyarakat dalam sebuah peristiwa di masa lampau menjadi fokus bahasan sejarah sosial. Sejarah sosial sendiri bertolak belakangan dengan sejarah politik, karena dalam sejarah politik lebih memusatkan perhatian pada tokohtokoh besar dalam kajiannya. Dalam kajian sejarah sosial memusatkan 24Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak, 2011), h. 1.
10 perhatian pada struktur sosial masyarakat. Misalnya, lapisan masyarakat kota dan desa dicermati untuk melihat golongan-golongan sosial yang beragam seperti elite, bangsawan, pedagang, buruh, petani, dan seniman. Dengan demikian sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang luas, selain penulisan tetang lapisan masyarakat kota dan desa dalam penulisan sejarah sosial juga bisa mengkaji masalah perubahan pada masyarakat tradisional ke modern. Studi terhadap sejarah sosial Kesultanan Langkat secara khusus belum pernah dilakukan tetapi beberapa studi yang berkaitan dengan Sejarah Kesultanan Langkat, dapat dijadikan sebagai referensi dan kajian terdahulu untuk studi ini. Kajian-kajian yang terkait dengan masalah ini dapat dikelompokan menjadi tiga pembahasan, yakni: Pertama, sejarah Kesultanan Langkat; Kedua, perkembangan sosial-keagamaan Kesultanan Langkat dan kaitannya dengan dimensi keagamaan, pendidikan, budaya, politik, dan hokum; dan ketiga, rekontruksi sosial-keagamaan Kesultanan Langkat. Kajian-kajian tersebut dilakukan berdasarkan pengelompokan berikut: - Pemerintah Kabupaten langkat di Kota Stabat menerbitkan buku berjudul Biografi Ulama Langkat Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam). - Anthony Reid yang berjudul Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional, diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Komunitas Bambu pada tahun 2012. - Tengkoe Hasjim, yang berjudul Riwajat Toean Sjeh Abdoel Wahab Toean Goeroe Besilam dan Keradjaan Langkat diterbitkan di Medan, oleh H. MIJ Indische Drukkerij Afd. - Devita Syahfitri sebagai Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan pada tahun 2014 melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan Judul “Peranan Kejeruan Bingai Terhadap Keberadaan Kesultanan Langkat Pada Tahun 1824-1896 Abad ke XIX”. - Ahmad Fuad Said yang berjudul Sejarah Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam yang diterbitkan di Medan oleh Pustaka Babussalam, tahun 1991. - M. Kasim Abdurrahman yang berjudul Studi Sejarah Masjid Azizi
11 Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara yang diterbitkan di Jakarta Selatan oleh penerbit Najm pada tahun 2011. - Hapri Wannazemi sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan pada tahun 2013 melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Eksistensi Thariqat Naqsabandiyah Besilam”. - Muhammad Alfin sebagai Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan pada tahun 2014 melaksanakan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Kehidupan Sosial-Ekonomi Bangsawan Langkat 1942-1947”. - Djohar Arifin Husin yang berjudul Sejarah Kesultanan Langkat yang diterbitkan di Medan pada tahun 2013. - Hendri Dalimunte sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan tahun 2012 melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Pemikiran dan Kebijakan Syekh Abdul Wahab Rokan Dalam Mengembangkan Dakwah Islam”. Secara umum, karya-karya sebelumnya yang telah dilakukan terhadap penelitian yang berkaitan dengan Sejarah Kesultanan Langkat lebih memfokuskan pada sejarah biografi seseorang atau sejarah Langkat dalam dimensi yang sangat umum. Sedangkan penelitian ini memfokuskan pada sejarah Kesultanan Langkat pada aspek sosial-keagamaan Islamnya. Sebagaimana yang telah diuraian di atas, bahwa penelitian ini mencoba mengungkapkan kembali sejarah Kesultanan Langkat berfokus pada dimensi sosial-keagamaan pada masa tersebut. Oleh karena itu, penelitian sejarah Kesultanan Langkat dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian sejarah.25 Adapun tahapan-tahapan tersebut antara lain: 25Metode itu sendri berarti cara, jalan, atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis. Metode disini dapat dibedakan dari metodologi adalah Sicience of Methods yakni ilmu yang membicarakan jalan. Secara umum metode penelitian dapat diartikan sebagai cara ilmia untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu dan Menurut Abdulrahman, Apa bila tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-pristiwa masa lampau maka metode yang digunakan adalah metode histiris. Metode historis itu bertumpun pada empat langkah
12 Pertama, heuristik adalah tahap pengumpulan data dan informasi. Ketrampilan peneliti untuk mengumpulkan data dan informasi dengan cara menemukan, menangani dan memperinci bibliografi, mengklasifikasikan dan memelihara catatan-catatan. Pengumpulan informasi dapat melalui buku-buku dari perpustakaan, dokumen resmi, arsip atau bahan tulisan yang bersifat kajian arkeologis serta seluruh yang dianggap relevan dengan penelitian sejarah Kesultanan Langkat. Informasi secara lisan akan dilakukan dengan teknik wawancara dengan narasumber. Kedua, verifikasi atau kritik sumber. Pada tahap ini dilakukan proses pengujian terhadap data sejarah Kesultanan Langkat. Cara pengujiannya dengan membandingkan dan menghadirkan sejumlah data lain dari persitiwa sejarah yang sama lainnya. Tahap verifikasi atau kritik sumber menurut Suhartono untuk mendapatkan keotentikan dan kredibilitas sumber melalui kritik yang dilakukan terhadap sumber-sumber.26 Pada tahap ini diuji keaslian sumber melalui kritik ekstern meliputi otensitas atau keaslian sumber. Selanjutnya keabsahan tentang kebenaran sumber melalui kritik intern, artinya peneliti diharapkan dapat berlaku obyektif dan netral dalam memperlakukan data yang telah diperolehnya sehingga peristiwa sejarah yang telah diteliti tidak hilang makna dan kebenaran sejarahnya. Ketiga, interpretasi. Tahap ini merupakan tahap menafsirkan data yang telah menjadi fakta dengan cara analisis (menguraikan) dan sintesis (mengumpulkan) data yang relevan.27 Pada tahap analisis, peneliti menguraikan sedetail mungkin ketiga fakta (mentifact, sociofact, dan artifact) dari berbagai sumber atau data sehingga unsur-unsur kecil dalam fakta tersebut menampakkan koherensinya. Tekhnik analisis data dalam penelitian ini bersifat analisis data kualitatif. Teknik analisis data kualitatif adalah analisis data yang bersifat menerangkan, bukan melalui kegiatan: Heuristik, kritik, Interprstasi, dan Histiografi. Lihat Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak, 2011), h.53 26Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 35. 27Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta, Bentang Budaya: 2013), h.102. sebagai tambahan bahwa tahap interpertasi dilakukan agar fakta-fakta yang tampaknya terlepas antara satu sama lain bisa menjadi satu hubungan yang saling berkaitan.
13 angka-angka, dan bentuknya berupa tulisan yang dikritisi oleh peneliti dan dapat ditangkap makna tersirat dari benda atau buku-buku atau dokumen. Oleh karena itu, pada proses menganalisis permasalahan dari penelitian ini, digunakan pendekatan sosiologi agama.28 Keempat, historiografi. Historiografi merupakan tahap akhir dari penelitian sejarah. Historiografi merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah. Pelaporan hasil penelitian sejarah dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal (fase perencanaan), penyajian hasil kritik dan analisis data yang meliputi pengantar, hasil penelitian, dan simpulan, serta dapat ditambah dengan rekomendasi.29 Pada tahap inilah hasil dari proses pencarian sumber, kritik sumber, dan penafsiran sumber dituangkan secara tertulis dalam sebuah sistematika penulisan yang baku, secara deskriptifanalitik, kronologis, dan terbagi dalam beberapa bab dan subbab. Adapun dalam tahap pengumpulan data, berikut ini teknik yang digunakannya, yaitu: 1. Observasi; Tehnik observasi yang digunakan adalah pengamatan tersamar (unobtrusive observation) dan bersifat non-partisipan, di mana peneliti hanya bertindak sebagai pengamat dan tidak terlibat langsung dalam kegiatan yang dilakukan subjek penelitian. Metode observasi ini sekaligus akan digunakan sebagai analisis silang terhadap data yang diperoleh melalui wawancara. 2. Wawancara; Penelitian ini menggunakan indepth interview dengan teknik semi terstruktur (semi structured interviews). Teknik ini dipilih karena peneliti ingin mengontrol informasi yang ingin diperoleh dari subjek dan informan penelitian dengan tetap membuka kemungkinan 28Oleh karenanya maka sosiologi agama di sini merupakan studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat. Sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. 29M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi. Ilmu Sejarah Sebuah Penganta (Jakarta: Kencana, 2014), h. 231
14 munculnya pertanyaan susulan ketika wawancara berlangsung. Dengan teknik ini, peneliti akan dibekali dengan interview guide yang berisi kisi-kisi pertanyaan untuk dikembangkan ketika melakukan wawancara dengan subjek penelitian. 3. Studi Dokumen dan Literatur; Penelitian ini juga akan mencakup penelusuran informasi dan data yang relevan atau yang dapat membantu pemahaman peneliti tentang sejarah sosial-keagamaan pada masa kekuasaan Kesultanan Langkat. Penelusuran ini dilakukan terhadap sumber berbeda seperti dokumen, arsip, buku, artikel, dan berita yang dipublikasi melalui majalah atau surat kabar, monograph, laporan penelitian, jurnal ilmiah, publikasi online di website dan sebagainya. Setelah data terkumpul, tahap selanjutnya adalah analisis data. Data kualitatif yang diperoleh dari wawancara dan studi dokumen atau literatur akan dianalisis secara kualitatif. Proses analisis data meliputi tiga tahap yang dilakukan secara siklus, yaitu reduksi data, tampilan data dan penarikan kesimpulan. Transksrip wawancara dan catatan-catatan lapangan akan direduksi, diberi kode dan dikategorisasikan berdasarkan jenis dan relevansinya dalam menjawab pertanyaan penelitian. Data yang telah terseleksi tersebut ditampilkan untuk memudahkan proses interpretasi atau pemaknaan dan penarikan kesimpulan. Sebelum sampai pada tahap penulisan laporan hasil, atau historiografi dalam konteks penulisan sejarah ini, dilakukan pula proses penjaminan keabsahan data. Adapun teknik penjaminan keabsahan data yang digunakan adalah teknik umum yang terdapat dalam penelitian kualitatif, yaitu kredibilitas dan transferabilitas (credibility and transferability). Untuk menjamin tingkat keterpercayaan data yang diperoleh, dilakukan dua hal berikut: a. Sedapat mungkin memperpanjang keterlibatan di lapangan penelitian untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang hal tertentu dan untuk menguji informasi tertentu yang mungkin disalahtafsirkan peneliti atau informan. b. Triangulasi sumber dan metode. Data yang diperoleh dicek ulang dengan menyilang informasi dari sumber berbeda, khususnya antara
15 hasil wawancara dengan data dokumen atau iteratur.30 Tahap akhir penelitian sejarah adalah historiografi, yakni menyajikan uraian sejarah berdasarkan data yang telah dikumpulkan, dikritisi, baik intern maupun ekstern, informasinya maupun sumbernya, kemudian diverifikasi dan diberikan interpretasi dan analisis. Sehubungan dengan itu, perlu disusun sistematika penyajiannya agar memudahkan para pembaca untuk mengetahui pokok-pokok bahasannya dan hasil yang ingin diketahuinya. Adapun sistematika pembahasan sejarah Kesultanan Langkat ini adalah sebagai berikut: Bagian Pertama, Pendahuluan. Bagian ini menjelaskan latar belakang dan pentingnya penulisan sejarah Kesultanan Langkat, khususnya aspek sosial-keagamaanya, kemudian pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan istilah, kajian terdahulu, dan metodologi, serta sistematika pembahasan. Bagian Kedua, uraian tentang Sejarah dan Kejayaan Kesultanan Langkat. Bagian ini meliputi Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat, Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan Langkat, dan Raja-Raja pada Kesultanan Langkat sejak 1568-1927. Bagian Ketiga, yaitu tentang Masa Kejayaan dan Kemunduran Kesultanan Langkat. Pembahasan Bagian Ketiga mencakup Masa Merintis Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa, Masa Puncak Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz, dan Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat, serta Masa Kemunduran Kesultanan Langkat. Bagian Keempat tentang Kesultanan Langkat Dalam Berbagai Dimensi, yaitu Dimensi Keagamaan, Dimensi Sosial dan Budaya, Dimensi Ekonomi, Dimensi Politik, dan Dimensi Intelektual. Bagian Kelima berisi tentang Falsafah Hidup Masyarakat Melayu pada Masa Kesultanan Langkat, dan mencakup pembahasan hal-hal berikut: Falsafah Adat Orang Melayu, Falsafah Hidup Melayu Langkat, Ciri-ciri Budaya Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada Masa Kesultanan Langkat, dan 30Miles, Matthew dan M. Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Terj. Tjejep Rohandi, Jakarta, UI Press, 1992.
16 Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat. Bagian Keenam menyajikan pembahasan mengenai Revolusi Sosial Di Kesultanan Langkat Dan Kontribusi Kesultanan Langkat untuk NKRI. Uraiannya meliputi Latar Belakang Revolusi Sosial, Terjadinya Revolusi Sosial, dan Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan KeIndonesiaan. Bagian Ketujuh, sebagai bagian terakhir, adalah Penutup, terdiri atas Kesimpulan dan Saran. Kesimpulan mencakup saripati dari hasil kajian tentang sejarah Kesultanan Langkat ini, khususnya terkait socialkeagamaannya. Adapun saran, khususnya untuk kajian sejarah Kesultanan Langkat secara khusus, dan kajian sejarah kesultanan secara umum diharapkan dapat terus ditingkatkan dan dijaga keberlangsungannya. Saran juga disampaikan untuk Pemerintah Daerah, baik Kabupaten Langkat maupun Provinsi Sumatera Utara, khususnya dalam pelestarian, pemeliharaan, dan pemanfaatan warisan sejarah dan khazanah kebudayaan agama bagi pembangunan bangsa dan penguatan karekter generasi yang akan datang.
17 BAGIAN KEDUA SEJARAH DAN KEJAYAAN KESULTANAN LANGKAT A. Sejarah Berdirinya Kesultanan Langkat 1. Penamaan Langkat Nama Langkat berasal dari nama sebuah pohon yang menyerupai pohon langsat. Penduduk Melayu setempat mengenalnya dengan sebutan “pohon Langkat”. Pohon langkat memiliki buah yang lebih besar dari buah langsat namun lebih kecil dari buah duku. Rasanya pahit dan kelat. Pokok Langkat sejenis dengan Pokok Pakam, yang membedakan, Pokok Langkat dicirikan oleh daging buah yang kenyal seperti rambutan Berahrang, diameter buah 2,2-2,9 cm dan diameter biji 1,25-1,40 cm. Sedangkan Pakam dicirikan oleh daging buahnya yang agak lembek dan lengket dengan diamater buah 1,4-2,0 cm. Tanaman ini mudah beraptasi dengan kondisi panas maupun dingin. Baik Pakam maupun Langkat, dahulu selain dimanfaatkan buahnya untuk ‘pencuci mulut’, ianya berfaedah untuk rawatan berubatan seperti penyembuh luka, bahan mandian untuk penyakit gatal dan peninggi tuah dan sebagainya.1 Pohon ini dahulu banyak dijumpai di 1http://datok zulanhar.blogspot.com/2016/10/pohon-langkat.html. diakses pada tanggal 18 Juli 2018.
18 tepian Sungai Langkat, yakni di hilir Sungai Batang Serangan yang mengaliri kota Tanjung Pura2 dan merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang/ Malaysia. Banyaknya pohon Langkat di Sungai Batang Serangan lalu bertemu dengan Sungai Wampu, namanya kemudian menjadi Sungai Langkat. Kedua sungai tersebut masing-masing bermuara di Kuala langkat dan Tapak Kuda. Menurut penuturan Zainal Arifin AKA selaku sejarawan Langkat bahwa pohon langkat kini sudah jarang dikarenakan kayunya banyak dimanfaat oleh kalangan manusia untuk kebutuhan hidup atau tradisi budaya yang diyakini harus menggunakan kayu khusus tersebut, oleh karenanya jika pun ada pohon langkat dimungkinkan sangat cukup sulit menemukannya kembali.3 Pohon tersebut menurut beliau hanya terdapat di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat.4 Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan nama kerajaan Langkat.5 Menurut beberapa orang tua di Langkat, dan dibenarkan oleh penuturan Bapak Basri bahwa pokok Langkat memiliki tuah makanya Langkat makmur bertuah. Dahulunya pokok-pokok Langkat banyak ditebang salah satu etnis yang berstatus bukan pribumi atau etnis di luar negeri ini dengan ciri muka berpenampilan mata cipit membuat peti mati untuk jenazah mereka masa itu, karena mereka yakin si mayat akan bertuah di alam sana. Oleh karena itu, asumsi yang sangat kuat adalah akibat keyakinan mereka akhirnya memlangkakan pokok berbuah manis ini yang kini disebut Matoa, kayunya 2Nama Tanjung Pura berasal dari kata “Tanjung” yang berarti semenanjung ataupun daerah paling ujung, dan “Pura” yang menunjukkan pada keberadaan pura-pura kecil yang dahulu ada di sekitar Tanjung Pura. Dengan demikian, nama Tanjung Pura dinisbatkan pada proses didirikannya sebuah pura atau istana di daerah paling ujung yaitu antara pertemuan Sungai Batang Serangan dan Sungai Batang Durian. 3Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 22 Agustus 2018 di Tanjung Pura. 4Ibid. 5Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Stabat, 1995, h. 20.
19 menjadi azimat rezeki dengan jampi tuah diri.6 Lambang Kesultanan Langkat 2. Sejarah Dewa Syahdan dan Kerajaan Aru Kerajaan Melayu Kesultanan Langkat awal mula terbentuknya dari Kerajaan Aru yang berpusat di Besitang.7 Sejumlah penulis sejarah Langkat menjelaskan bahwa di antara leluhur Kerajaan Langkat yang diketahui adalah seorang petinggi Kerajaan Aru bernama Dewa Syahdan yang diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580 M. Mengenai asal-usul Dewa Syahdan sebagai silsilah awal dari Kesultanan Langkat kalangan sejarahwan berbeda pendapat. Pertama, sebagian kalangan berpendapat, Dewa Syahdan lahir di tengah hutan belantara dan dibesarkan di Kuta Buluh (dekat kaki gunung Sinabung), dan diperkirakan hidup pada tahun 1500 sampai 1580 masehi. Kedua, sebagian ahli sejarah lainnya berpendapat bahwa Dewa Syahdan adalah putra Raja Kerajaan Haru yang dibungkus oleh istri raja, lalu diletakkan di bawah pohon buluh (bambu) di Kerajaan Kutabuluh.8Ketiga, sebagian lainnya 6Hasil wawancara dengan Bapak Basri di Desa Selesai, tanggal 15 Juli 2018. 7Tim Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat, (Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara: Medan 1980), h. 28. 8Tim Survai, Ibid.,
20 berpendapat bahwa Dewa Syahdan sebagai saudara dari Putri Hijau, yang kemudian mendirikan Kerajaan Aru pertama di Besitang.9 Keempat, sebagian kalangan lain berpendapat terombo Kesultanan Langkat menyatakan bahwa nama leluhur dinasti Langkat yang paling awal adalah Dewa Syahdan. Diperkirakan masa kekuasaannya tahun 1500 sampai 1580. Menurut terombo Langkat, Dewa Syahdan datang dari arah pantai yang berbatasan dengan Kerajaan Aceh. Ia menjadi anak beru dari Sibayak Kota Buluh di Tanah Karo. Kemudian ia dikenal dengan gelar Sibayak Si Pintar Ukum oleh orang-orang Karo, menurut pihak Karo ia marga Perangin-angin Kuta Buluh. Ia mempunyai regalia rantai emas buatan Aceh dan kain Minangkabau. Tidak berapa lama kemudian ia turun ke Deli Tua, kemudian ia pindah ke Guri atau Buluh Cina sekarang.10 Sampai saat ini asal usul Dewa Syahdan masih menjadi simpang siur, artinya sejumlah perbedaan keterangan masih dijadikan variasi penjelasan, oleh karenanya maka secara subtansial muasal atau asal-usul Dewa Syahdan sesungguhnya memiliki keterkaitan dan keterikatan walaupun terkesan antara satu dan lainnya memiliki argumentasi sejarah yang cukup berbeda. Kerajaan Aru11 awalnya beragama Hindu/Buddha dan berganti keyakinan menjadi Islam. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai, mereka 9Ibid. 10Lihat https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018. Tulisan tersebut dikutip dalam buku karya Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006. Tetapi dari keterangan lain pengakuan dari para tetua Langkat, hingga kini yang menganggap dirinya adalah keturunan marga Perangin-angin. Utamanya yang berasal dari Bahorok mapun Tanjung Pura. Padahal, jika dilihat dari pandangan orang Karo semula ihwal Kerajaan Aru, tentu ini menjadi membingunkan. 11Selanjutnya lihat juga pada situs tersebut bahwa saat ini belum ada mufakat mengenai siapa Kerajaan Aru itu. Masyarakat Karo, misalnya, menyebutkan bahwa Aru merupakan Haru yang berasal dari kata “Karo”. Karena itu, masyarakat Aru merupakan masyarakat Karo yang didirikan oleh klan Kembaren. Dalam “Pustaka Kembaren” (1927), marga Kembaren disebut berasal dari Pagaruyung di Tanah Minangkabau. Orang Karo ini, menurut Majalah Inside Sumatera (November 2008), tak mau disamakan dengan marga Karo yang sekarang, yang disebut sebagai Karo-Karo (bukan asli). Orang Karo-Karo, seperti Tarigan, Sembiring, Perangin-angin, Sitepu, dan Ginting, baru turun ke Deli pada awal abad ke-17. Sejumlah sumber lain juga menyebutkan bahwa Kerajaan Aru merupakan
21 diislamkan oleh rombongan Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad.12 Dokumen lain menyebutkan melalui “Sejarah Melayu” bahwa rombongan Nakhoda Ismail dan Fakir mula-mula mengislamkan Fansuri (Barus Sekarang), kemudian Lamiri (Lamuri, Ramni) lalu ke Haru dan dari sana barulah Raja Samudera Pasai yang bernama Merah Silau yang kemudian menjadi Sultan Malikussaleh diislamkan.13 Peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan abad ke-13 dan diketahui juga bahwasannya Marco Polo bertemu dengan Malikussaleh pada tahun 1292 M ketika mengunjungi Pasai. Hal ini juga dikuatkan dengan ditemukannya batu nisan Sultan yang bertarikh 1297 M dan masih dijumpai di Pasai.14 Pengislaman kerajaan tersebut, termasuk juga Aru menurut Zainal merupakan efek dari pertemuan-dagang antara negara.15Selanjutnya Islam merupakan agama yang lebih bisa kompromi dengan tradisi Hindu/ Buddha.16 Betapapun identitas Kerajaan Aru belum terkuak penuh, Tengku Luckman Sinar dalam buku “Sari Sejarah Serdang” (1971) mencatat bahwa nama Aru muncul pertama kali pada 1282 dalam catatan Tionghoa pada masa kepemimpinan Kublai Khan. Pada masa itu juga kota Cina yang terletak di antara Sungai Buluh Cina dan Sungai Belawan merupakan perdagangan dari Kerajaan Aru, terutama ketika masa Dinasti Sung Selatan (antara abad ke-13 dan ke-15) yang mana kapal-kapal Tiongkok langsung kerajaan Melayu yang amat besar pada zamannya. Akan tetapi, Daniel Perret dalam buku “Kolonialisme dan Etnisitas” (2010), yang merujuk pada R. Djajadiningrat dalam buku “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek” (1934), mengatakan bahwa dalam bahasa Aceh “Haro” atau “Karu” berarti suasana bergejolak dan rusuh di sebuah wilayah. 12Rustam, Laporan Penelitian: Syekh Abdullah Afifuddin Langkat (Studi Pemikiran dan Perkembangan Gerakan (Medan, LP2M IAIN SU), h. 30 13T. Lukman Sinar, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur, (Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang, 2006) h. 12 14T. Luckman Sinar, Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera Utara, paper dalam seminar dakwah Islam se-Sumatera Utara, tgl. 29-31 Maret 1981. Lihat juga harian Analisa tgl. 10 April 1981. 15Wawancara dengan Zainal Arifin AKA, tanggal 28 Juli 2018. 16Ahmad Y. Samantho, Oman Abdurrahman et.all, Peradaban Atlantis Nusantara: Berbagai Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan Keberadaannya (Jakarta, Ufuk Press: 2011), h. 214. Pergaulan budaya pun kembali memadat dan ketat, dalam regulasi semacam syariah, adat dan sebagainya.
22 berniaga dengan jajahan-jajahan Sriwijaya dan melihat pula pembuktian hasil penggalian yang dikemukakan di Kota Cina itu (Labuhan Deli sekarang).17 Lukman menuturkan bahwa kerajaan Aru I merupakan kerajaan Islam yang telah berdiri pada pertengahan abad ke-13,18 dan merupakan kerajaan yang cukup masyhur di masa itu. Pada abad ke-15, Kerajaan Aru atau Haru sudah menguasai Tamiang (Aceh Timur), Panai hingga Rokan (Provinsi Riau). Jelasnya, ia meliputi sepanjang pesisir Sumatera Timur. Posisinya yang menghadap ke Selat Melaka membuat kerajaan ini memainkan peranan penting dalam perniagaan dan aktivitas maritim. Selat Melaka merupakan jalur perdagangan laut yang amat aktif dalam periode yang begitu panjang, yakni mulai abad permulaan masehi hingga abad 19. Bahkan, Perret menyebutkan bahwa dalam hal tempat perdagangan,19 Aru merupakan negara yang setara dengan Kerajaan Melaka semasa dipimpin oleh Sultan Mansyur Shah yang berkuasa dari 1456 sampai 1477.20 Uraian di atas menunjukkan bahwa Kerajaan Aru menjadi kerajaan Islam yang setara dengan Pasai dan Melaka menguasai lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Ini dibuktikan dengan catatan dari Tiongkok 17T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.,h. 12. Sebagai tambahan informasi bahwa penyerangan ini dikenal dengan nama “Ekspedisi Pamalayu” dan dituliskan dalam kronik “Paraton” yang tercatat bahwa “Haru bermusuhan”. Tetapi setelah pulih dari penjajahan Jawa Timur ini, Haru kembali jaya dan perdagangan kembali makmur. Hal ini dicatat oleh pedagang Persia, Fadiullah bin Abdul Kadir Rasyiduddin dalam bukunya “Jamiul Tarawikh”, bahwa negeri utama di Sumatera selain Lamuri juga Samudera, Barlak (Perlak) dan Dalmyan (Tamiang) lalu adalah Haru pada tahun 1310 M. Tetapi tidak lama, musibah yang kedua menimpa Haru kembali. Tepatnya tahun 1350 M, Kerajaan Hindu Majapahit dari Jawa Timur berambisi juga menaklukkan seluruh negeri dalam Kepulauan Nusantara ini. Lihat T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.,h. 13 18T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Perwira, 2005), h. 4 19Nama Aru kembali muncul pada 1413 dalam catatan Tionghoa dengan nama “A-lu” sebagai penghasil kemenyan. Pada 1436, sumber Tionghoa lain kembali menyebutkan bahwa “A-lu” memiliki beras, kamper, rempah-rempah, dan pedagang-pedagang Tionghoa sudah berdagang emas, perak, dan benda-benda dari besi, keramik, dan tembaga di Tan-Chiang (Tamiang). 20Lihat http://archive.lenteratimur.com/2011/06/aru-dahulu-langkat-kemudian/. Diakses pada tanggal 2 Juli 2018
23 ketika Haru mengirimkan misi ke Tiongkok Pada tahun 1282 M.21 Kerajaan Aru sebagai kerajaan Islam sebaliknya juga mendapat kunjungan dari para pedagang Cina yang armadanya dikepalai oleh Laksamana Cheng Ho/Zeng He (beragama Islam) selama era abad ke 15 itu. Pada masa itu Haru telah mempunyai mata uang sendiri yang terbuat dari sepotong kain yang disebut “K’oni sebagai alat pembayaran raja dan rakyat negeri ini yang beragama Islam.22 Gambaran saling melakukan kunjungan antara Kerajaan Aru dan China sangat berdampak positif antara keduanya, terlebih posisinya yang strategis membuat Kerajaan Aru menjadi pentas politik dan perdagangan bagi negara-negara lain. Perdagangan rempah, terutama lada, yang menjadi komoditas penting di samping emas yang membuat sering terjadi peperangan di antara Pasai-Haru-Melaka sampai pada pertengahan abad ke-16 M.23 Peristiwa serangan dari Kesultanan Aceh terhadap Kerajaan Aru pertama berujung pada hancurnya Kerajaan Aru dan Dewa Shadan sebagai pimpinan kerajaan melarikan diri dengan beberapa pengikutnya yang kemudian mendirikan Kerajaan Aru II di kawasan Deli Tua.24 Akan tetapi, nasib Kerajaan Aru II yang dipimpin oleh Dewa Sakti sebagai pengganti Dewa Sahdan tetap mendapat serangan dari Kesultanan Aceh hingga mengalami kehancuran. Serangan yang dilakukan oleh Kerajaan Aceh terhadap Kerajaan Aru II dipimpin oleh panglima Gocah Pahlawan sekitar tahun 1612. Puing-puing peninggalan Kerajaan Aru II ini dibangun kembali 21T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe.., h. 4. Pimpinan kelompok yang dikirim oleh kerajaan Aru ke Cina di tahun 1282 M sebagai penganut agama Islam. 22T. Lukman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe.,h. 5-6 23Ibid. 24Zainal Arifin AKA, menegaskan dalam bukunya “subuh Kelabu di Bukit Kubu” (2002) yang diterbtikan oleh Dewan Kesenian Langkat, Kerajaan Aru mendapat serangan dari kerajaan Aceh Darussalam dan berujung pada kekalahan peperangan itu merupakan peperangan yang cukup dahsyat hingga tujuh hari dan kerajaan Aceh menguasai ibukota Deli Tua (1539). Dewa Sahdan kembali menyelamatkan diri dan berhasil membangun kerajaan baru di Kota Rantang di daerah Hamparan Perak, dari keturunan kerajaan inilah kerajaan Langkat berdiri. Tetapi para keturunan pembesar Aru yang masih hidup dan berada di Besitang, Aru I, mereka kembali membangun reruntuhan kerajaan yang sudah luluh lantak.
24 dan merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Deli, dimana raja pertamanya adalah panglima perang Aceh tersebut, yaitu Gocah Pahlawan.25 Ketika itu Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda sedang meluaskan daerah kekuasaannya ke wilayah Sumatera Timur.26 Sebelum dan setelah meninggal dunia Dewa Syahdan, Kerajaan Aru mengalami perpindahan pusat kerajaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Kondisi ini disebabkan situasi perang dengan Kesultanan Aceh yang cukup panjang serta situasi politik kekuasaan di dalam Kerajaan Langkat. Dewa Syahdan mempunyai seorang putra bernama Dewa Sakti yang bergelar Kejeruan Hitam, merupakan pengganti memimpin kerajaan Aru setelah wafatnya Dewa Syahdan.27 Melalui tulisan Zainal Arifin, bahwa Kerajaan Melayu yang bernama Kerajaan Aru (Haru) merupakan asal muasal lahirnya Kesultanan Langkat. Silsilah keturunan pada Kesultanan Langkat berasal dari keturunan Kerajaan Aru tersebut.28 Bagan 129 25Tuanku Gocah Pahlawan merupakan salah seorang Panglima Angkatan Perang Aceh yang perkasa, berpangkat Laksamana Kuda Bintan, ditugaskan menjadi wakil Sultan Aceh untuk bekas wilayah Aru berkedudukan di Deli. Baginda berasal dari keturunan Mani Purindam dari Deli Akbar yang neneknya pernah menjadi Bendahara Pasai, lalu mengabdi sebagai Panglima utama dari Sultan Iskandar Muda Aceh (1636). 26Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, h.
25 B. Peralihan Kerajaan Langkat Menjadi Kesultanan Langkat Subjudul ini menjelaskan sejarah Kerajaan Langkat30 setelah wafatnya Dewa Syahdan hingga diakuinya Kerajaan Langkat sebagai Kesultanan Langkat31 pada tahun 1877 M, atas penandatanganan perjanjian dengan Belanda pada tahun 1869. Langkat sebelumnya merupakan wilayah kepemimpinan Kesultanan Aceh, sebagaimana Raja Langkat berperan sebagai wakil atau penguasa lokal atas nama Sultan Aceh sampai awal abad ke-19. Namun, Kerajaan Langkat merasa tidak nyaman berada di bawah Kesultanan Aceh, maka raja-raja Langkat meminta perlindungan Kesultanan Siak. Akan tetapi, Kesultanan Aceh tetap melakukan pendekatan agar Langkat senantiasa berada di bawahnya namun usaha itu gagal, terlebih Kerajaan Langkat mendapatkan pengakuan sebagai Kesultanan Langkat oleh Belanda. Terpisahnya dari kesultanan Aceh oleh sejumlah kerajaan Langkat pada umumnya disebabkan budaya politik yang mengarah pada semangat kebersamaan, kekeluargaan, gotong royong, dan musyawarah dalam mengatasi persoalan dibawah kesultanan Aceh. Kesultanan Langkat yang dimaksud oleh keinginan Belanda tersebut adalah pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, di bawahnya berada Luhak 209. Sebagai informasi lain bahwa Langkat sebelumnya merupakan bawahan Kesultanan Aceh sampai awal abad ke-19 ini perlu untuk dicari kembali dokumennya karena terdapat data yang sedikiit membutuhkan penjelasan dari dokumen kerajaan kesultanan Aceh. 27Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006), h. 22. 28Zainal Arifin AKA, Langkat Dalam Sejarah., h. 21-22. 29https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018. 30Kerajaan Langkat adalah salah satu di antara lima Kerajaan-Kerajaan Melayu yang besar di Sumatera Timur yang berstatus “Lange Politiek Contract” yaitu mempunyai perjanjian politik yang tercantum di dalam berbagai pasal dimana ditentukan hak dan kekuasaannya oleh pemerintahan Hindia Belanda dan selebihnya sebagian besar wewenang tetap tinggal di dalam kekuasaan kerajaan. 31Demi kepentingan pelestarian Budaya Melayu Resam Langkat, maka tetap dilakukan pengangkatan Sultan Langkat, hingga saat ini pada tahun 2003 Y.M. Sri Paduka Tuanku Sultan Azwar ‘Abdu’l Jalil Rahmad Shah al-Haj ibni al-Marhum Tengku Maimun, cucu Sultan 7; anak dari putra ke10 Sultan, dinobatkan menjadi Sultan Langkat ke-13.
26 yang dipimpin pangeran. Di bawah luhak disebut kejeruan dipimpin oleh Datuk, yang merupakan raja kecil, kemudian distrik setingkat kecamatan seperti sekarang. Kejeruan dan distrik ini bertanggung jawab langsung kepada pangeran/kepada luhak. Sedangkan tingkat pemerintahan yang terendah adalah penghulu kampung yang boleh dipimpin oleh rakyat biasa dan bertanggung jawab langsung kepada datuk kejeruan. Sementara itu untuk mengepalai orang-orang Karo yang ada di Langkat maka diangkatlah penghulu balai (raja kecil Karo). Kesultanan Langkat32 merupakan salah satu Kesultanan Melayu terbesar yang ada di Sumatera Timur. Berdirinya Kesultanan Langkat berawal dari abad ke-16. Akan tetapi, eksistensi Kesultanan Langkat dan adanya pemimpin yang disebut sultan baru ada sejak tahun 1840. Ketika itu, pengertian sultan tidak hanya sebagai pemimpin pemerintahan dan ulil amri, tetapi juga sebagai pemimpin adat.33 Sejarah Langkat hingga mendapat pengakuan sebagai kesultanan menurut penuturan Zainal tidak terlepas dari peristiwa kedatangan orang Eropa di masa itu. Hal tersebut berdampak pada melemahnya kekuatan Aceh yang menguasai Kerajaan Langkat. Oleh karena itu, raja-raja Langkat terdorong untuk mencari dan membangun kemandirian mereka.34 Fenomena tersebut merupakan kemenangan sementara bagi rajaraja Langkat di dalam usaha perebutan kekuasaan dari Kesultanan Aceh. Perubahan ini telah memberikan dampak pada aspek budaya, ekonomi, dan psikologis yang menguntungkan bagi masyarakat Kerajaan Langkat. Peristiwa lepasnya Langkat dari kekuasaan Aceh terjadi pada 1857, yaitu 32Berpedoman kepada tradisi dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat, maka dapatlah ditetapkan kapan Raja Kahar mendirikan Kota Dalam yang merupakan cikal bakal Kerajaan Langkat kemudian hari. Setelah menelusuri beberapa sumber dan dilakukan perhitungan, maka Raja Kahar mendirikan kerajaannya bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H, atau tanggal 17 Januari 1750. Melalui seminar yang berlangsung di Stabat, pada tanggal 20 Juli 1994 atas kerjasama Tim Pemkab Langkat dengan sejumlah pakar dari jurusan sejarah Fakultas Sastra USU, maka dapat menentukan Hari Jadi Kabupaten Langkat yaitu 17 Januari 1750. 33Budi Agustono. “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”, dalam TesisS2 belum diterbitkan. Yogyakarta : Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1993, h. 30. 34Hasil wawancara dengan Zainal Arifin AKA, tanggal 18 Agustus 2018 di Stabat.
27 bahwa Belanda mengikat perjanjian persahabatan dengan Aceh sebagai dua bangsa yang merdeka. Dalam perjanjian tersebut diakui bahwa Deli, Langkat, dan Serdang berada di bawah pertuanan Aceh.35 Beberapa bulan kemudian, pada hari Senin 1 Februari 1858, Belanda mengikat perjanjian dengan Siak (Tractaat Siak). Salah satu isi perjanjian tersebut disebutkan bahwa Kerajaan Siak Sri Inderapura dan daerah taklukannya mengaku berada di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi bagian dari Hindia-Belanda. Setelah itu, Langkat pun membuat kontrak yang terpisah dengan Belanda pada tahun 1869 untuk memerdekakan Langkat dari Aceh dan Siak, kemudian mengakui Raja Langkat sebagai Sultan pada tahun 1887. Dengan politik Devide et Impera, Belanda berhasil mengatasi penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak serta menanamkan kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur.36 C. Raja-Raja pada Kesultanan Langkat sejak 1568-1927 Adapun raja-raja Langkat37 setelah wafatnya Dewa Syahdan hingga mendapat pengakuan sebagai Kesultanan Langkat dari Belanda di masa kepemimpinan Musa, adalah sebagai berikut: (1) 1568-1580: Panglima Dewa Shahdan, (2) 1580-1612: Panglima Dewa Sakti, anak raja sebelumnya. (3) 1612-1673: Raja Kahar bin Panglima Dewa Syahdan, anak raja sebelumnya. (4) 1673-1750: Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar, anak raja sebelumnya. (5) 1750-1818: Raja Kejuruan Hitam (Tuah Hitam) bin Bendahara Raja Badiuzzaman, anak raja sebelumnya. (6) 1818-1840: Raja Ahmad bin Raja Indra Bungsu, keponakan raja sebelumnya. (7) 1840-1896: Tuanku Sultan Haji Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah (Tengku Ngah) bin Raja Ahmad, anak raja sebelumnya. 1. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Panglima Dewa Sakti (1580- 1612) 35Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 7 Juli 2018. 36Ibid. 37Kesultanan Langkat dipimpin oleh 14 Raja atau Sultan. Lihat M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera Utara (Jakarta Selatan: Najm, 2000), h. 54
28 Dewa Sakti lahir tahun 1580-1612 dan wafat pada Perang Aceh. Ia merupakan putra dari Dewa Syahdan yang mendapatkan gelar dengan sebutan Kejeruan Hitam. Konon, Dewa Sakti yang dikenal dengan “Indra Sakti” merupakan adiknya Putri Hijau di Deli Tua. Suasana perperangan dengan Kesultanan Aceh di Deli Tua mengakibatkan hilangnya Dewa Sakti yang kemungkinan besar tewas dalam penyerangan. Peristiwa peperangan tersebut dalam rangka mempertahankan Kerajaan Haru II di Deli tua sekitar tahun 1612.Selanjutnya Dewa Sakti mangkat digantikan oleh putranya, yang setelah mangkatnya bergelar Marhom Guri (mungki sekali di Merah Milu kepada orang haru yang menentang Sultan Aceh Saidi Mukamil). Dimakamkan di Buluh Cina, Hamparan Perak sekarang. Marhom Guri digantikan oleh putranya Raja Kahar (1673). 2. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Kahar bin Panglima Dewa Syahdan (1612-1673) Bertahta Raja Kahar ibni al-Marhum Panglima Dewa Syahdan, Raja Langkat lahir tahun 1673-1750. Ketika mendirikan Kerajaan Langkat di Kota Dalam daerah antara Stabat dengan Kampung Inai (kecamatan Hinai), usianya sudah cukup tua kira-kira 77 tahun. Jadi, Raja Kahar diperkirakan hanya sebentar saja memerintah Langkat. Walaupun demikian menurut hasil wawancara dengan Bapak Haz menuturkan bahwa pada masa Raja Kahar nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat kerajaan masih berpindah-pindah.38Raja Kahar berputra Badiulzaman bergelar Sutan Bendahara, dan merupakan penerus beliau setelah wafatnya Raja kahar. 3. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Bendahara Raja Badiuzzaman bin Raja Kahar (1673-1750) Bertahta Sutan Bendahara Raja Badiuzzaman ibni al-Marhum Raja Kahar, Raja Langkat. Badiuzzaman merupakan pengganti Raja Kahar, seorang yang berpribadi kuat dan dengan cara damai telah memperluas daerahnya, kira-kira di abad ke-18. Ia dimakamkan di Punggai, bergelar Marhom Kaca Puri. Badiulzaman mempunyai 4 orang anak laki-laki 38Wawancara dengan Bapak Ray tanggal 19 April 2018.
29 yaitu Kejeruan Tuah Hitam, Raja Wan Jabar yang mendirikan Selesai, Syahban di Punggai dan Indra Bongsu yang tetap bersama Kerjeuran Hitam tinggal di Kota Dalam. Keempat orang putra ini membantu ayahandanya memerintah dan bolehlah dikatakan masing-masing sebagai Orang-orang Besar. Ketika Badiulzaman meninggal dunia ia digantikan oleh putranya yang tertua Kejeruan Tuah Hitam. Ia menetap di Jentera Malai, sebuah kampung dekat Kota Dalam. 4. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Kejeruan Hitam (1750- 1818) Bertahta Raja Hitam ibni al-Marhum Sutan Bendahara Raja Badiuzzaman (Kejeruan Tua), Raja Langkat pada tahun 1750-1818. Bentuk kerajaan di masa Raja Hitam tidak begitu jauh berbeda dengan ayahnya Badiuzzaman. Artinya keempat bersaudara ini memerintah dengan otonomi masing-masing. Menurut Zainal AK, bahwa Kejeruan Hitam tetap dijadikan oleh keempat kerajaan ini sebagai pemimpin tertinggi dan perkembangannya hingga memasuki abad ke 19. Raja Kejeruan Hitam merupakan seorang pemuda yang cekatan, bertekad merebut pemerintahan dengan bantuan Sultan Panglima dari Deli. Oleh karena itu perdagangan di negeri tersebut banyak terganggu sehingga perkelahian antara Kepala-kepala daerah pun tetap terjadi.39 Menurut informasi Anderson seorang penulis sejarah yang diungkapkan oleh Zainal bahwa Kejeruan Tuan Hitam pernah melakukan upaya bergabung dengan Sultan Panglima Mengedar Alam dari Deli untuk merebut pemerintahan kembali dari tangan Siak. Beliau mendatangi kerajaan Deli untuk mendapatkan bantuan prajurit, senjata dan amunisi. Tetapi dalam perjalanan menuju Langkat bantuan yang diperoleh dari kerajaan Deli tersebut meledak, peristiwa tersebut terjadi ketika menghilir sungai Deli.40 Gambaran perlawanan tersebut tidak menjadikan Langkat mampu berpisah dengan Kerajaan Siak, malah sebaliknya Langkat 39 Ibid 40 Tatkala itu merekapun sedang asik mandi. Akibat dari ledakan misui itu menewaskan mereka. Sebagai tambahan informasi di masa itu mulailah lahir daerah-daerah kekuasaan kecil di Langkat, kira-kira pada akhir abad ke-18.
30 ditaklukkan oleh Siak. Untuk jaminan kesetiaan Langkat, 2 orang putra Langkat, yaitu putra dari Kejuruan Tuah Hitam, bernama Nobatsyah, dan seorang putra dari Indra Bongsu, Raja Ahmad, dibawalah ke Siak untuk diindroktrinasi. Di Siak mereka dikawinkan dengan putri-putri Siak. Nobatsyah kawin dengan Tengku Fatimah dan Raja Ahmad kawin dengan Tengku Kanah. Tiada berapa kemudian Nobatsyah dan Ahmad dikembalikan ke langkat. Mereka bersama-sama memerintah di Langkat, yang pertama dengan gelar Raja Bendahara Kejeruan Jepura Bilad Jentera Malai (Nobatsyah anak pertama Kejeruan Tuah Hitam), sedangkan yang kedua bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat (anak Indra Bongsu adik ketiga Kejeruan Tuah Hitam). 5. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Ahmad 1818-1840 Bertahta Raja Ahmad ibn al-Marhum Raja Indra Bongsu, Raja Langkat pada tahun 1818-1840. Beliau bergelar Kejeruan Muda Wallah Jepura Bilad Langkat. Dimasa itu Langkat bukan dipimpin oleh satu Raja tetapi dua Raja yang memimpin Langkat. Raja Ahmad dan Raja Nobatsyah di awal mulanya mereka bersama-sama memerintah di Langkat akan tetapi berjalannya waktu keduanya mengalami perselisihan yang berujung pada peperangan. Perperang terjadi dikarenakan perebutan kekuasaan antara Raja Bendahara Nobatsyah dengan Kejeruan Muda Ahmad pada tahun 1820. Menurut Zainal bahwa Kerajaan Siak nampaknya dengan sengaja menciptakan raja ganda di Kerajaan Langkat dan sudah diperkirakan berujung pada sengketa kekuasaan antara keduanya.41 Di dalam perebutan kekuasaan itu, Nobatsyah dibantu oleh saudaranya Badaruddin, Tengku Panglima Besar Syahdan (anak dari Raja Syahdan Pungai), dan dibantu oleh iparnya Tuanku Zainal Abdidin (Serdang). Dipihak Kejeruan Muda Ahmad ialah semua anak-anak dari Raja Wan Punggai dan Selesai. Di dalam pertempuan yang terjadi antara kedua pihak ini di Punggai, tewaslah Tuanku Zainal Abidin Serdang dengan 40 lebih orang pahlawanpahlawan dari Serdang sehingga ia digelar “Marhom Mangkat di Punggai”. 41 Hasil wawancara dengan Zainal Arifin AKA tanggal 5 Juni 2018.
31 Menurut riwayat pertempuan kedua belah pihak ini, sedikit banyaknya adalah atas ‘permainan’ Stabat, yang merasa bahwa bukan Nobatsyah atau Ahmad tetapi Stabatlah yang berhak menjadi raja di Langkat. Kemudian Raja Bendahara Nobatsyah mati terbunuh. Di Bingai Raja Wan Desan bin Raja Wan Jabar menjadi Kejeruan. Ketika matinya Raja Bendahara Nobatsyah, maka Kejeruan Ahmad-lah satu-satunya yang memimpin Langkat dan diakui oleh Siak. Demikianlah gambaran akhir peristiwa kepemimpinan sebuah kerajaan yang pimpin oleh dua Raja, menurut Zainal jika dalam satu kapal dipimpin dua nakhoda pasti tidak akan menemukan satu persepsi42 oleh karenanya maka pertikaian antara keduanya tak dapat dihindarkan. Nobatsyah yang gugur ditangan Raja Ahmad dan Raja Ahmad menjadi Raja Langkat merupakan keinginan dan rencana Raja Siak, sebagaimana yang dituliskan oleh Zainal bahwa dalam memangku jabatan sebagai raja Langkat dimasa datang memang sudah dipersiapkan oleh Sultan Siak yakni anak dari Nobatsyah yaitu Alamsyah, namun Alamsyah usianya tidak panjang ketika kanak-kanak ia meninggal dunia. Raja Ahmad menjadi raja Langkat antara tahun 1827 sampai 1870, dimana zetel kerajaan dipindahkan dari jentera Malay ke Gebang dipinggiran muara Sungai Serapuh.43 beliau membuat peraturan-peraturan di mana Raja-raja Selesai, Stabat, Bahorok dan Bingai mendapat otonomi luas. Di Bahorok oleh Kejeruan Muda Ahmad diangkat salah satu seorang anggota keluarganya menjadi Kejeruan44, karena dengan mempunyai status kemerdekaannya yang luas di Bahorok. Kepemimpinan Raja Ahmad dengan sejumlah keturunan mereka menguasai wilayah-wilayah di sekitar Langkat seperti Kejeruan Stabat, Bingai, Selesai dan lain-lain. Dengan demikian, Kerajaan Langkat menjadi besar dan luas wilayahnya lebih disebabkan pada pembagian kekuasaan 42 Zainal Arifin AKA, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan, Mitra Medan, 2002), h. 25. 43Ibid. Istilah Gebang berasal dari Gerbang (pintu gerbang/gapura) kerajaan. 44 Kejeruan adalah Daerah atau Distrik yang diakui kedaulatannya oleh Kesultanan dan Pemerintahan Hindia-Belanda. Lihat M. Kasim Abdurraham, Sejarah Masjid., h. 23.
32 antara keturunan-keturunan raja Langkat, masing-masing dari mereka mendapat otoritas untuk mengelola wilayahnya masing-masing. Menurut Bungaran bahwa faktor keturunan sering merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang dalam masyarakat.45 Sebagai catatan sejarah bahwa Bahorok secara geografis merupakan taktik-politik yang sangat begitu banyak menuntut perhatian Kerajaan Langkat sebab wilayah tersebut terus menerus terancam oleh seranganserangan dari Gayo dan Alas di wilayah Aceh, dan Bahorok haruslah menjadi buffer state. Kemudian berikut menyusul periode kelahiran sesama Kejeruan yang ingin berpengaruh. Dalam kondisi tersebut, Stabat muncul sebagai tokoh yang penting. Bahorok dan Selesai melihat saja tanpa daya akan bertambah pengaruh Stabat. Oleh karena Stabat menjadi begitu penting sehingga dapat menjalankan hegemoni di atas daerah-daerah lain. Penduduk-penduduk Jentera Malai, Kota Dalam dan Selesai tidak senang atas perintah Stabat ini dan banyak yang mengungsi ke daerah pesisir di mana mereka membuat kampung-kampung baru dan meminta bantuan dari Siak agar mengamankan kembali keadaan seperti semula. Demikianlah suasana politik kekuasaan yang terjadi di Langkat sehingga kerajaan Siak memberikan bantuannya untuk berkuasa lagi. Kejeruan Muda Ahmad telah meninggal dunia termakan racun di Pungai.46 Teringatlah orang bahwa di Siak masih tinggal putra dari Nobatsyah, tetapi telah pula meninggal dunia di Siak, dan Sultan Siak pun menetapkan putra Kejeruan Mudah Ahmad bernama Tengku Musa sebagai pengganti Raja Langkat.47 Tengku Musa kemudian berangkat ke Langkat dan menetap di Kota Dalam. Menurut Haz Raja Musa mempunyai kepribadian yang sangat kuat dan oleh orang Langkat ia dianggap sebagai pembangun daerah Langkat hingga kini.48 6. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa Raja Musa (1870-1896) 45Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 13 46Zainal Arifin AKA, Langkat dalam.., h 26 47Ibid. 48Wawancara dengan Ray, tanggal 18 Juli 2018.
33 Bertahta Raja Musa ibni al-Marhum Raja Ahmad, Raja Langkat berkuasa tahun 1870-1896. Masa kepemimpinanya Langkat mulai mengarah pada perubahan atau perkembangan yang baik jika dibandingkan pada masa sebelumnya walaupun sistem pemerintahannya masih berbentuk tradisional, yaitu raja dan datuk diakui sebagai kepala pemerintahan dan adat. Raja Musa memimpin Kerajaan Langkat yang sudah diakui berubah sebutan menjadi Sultan iapun memindahkan zetel kerajaan dari Gebang ke kota Pati (Tanjung pura sekarang). Hal ini yang kemudian menjadikan Sultan Musa dianggap sebagai perintis Kerajaan Langkat di Tanjung Pura.49 Sebutan lengkap yang digelarkan oleh Belanda padanya Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah.50 Selanjutnya pada tahun 1881 Langkat dibagi atas 2 Onderafdeling, maka Pangeran mengangkat anaknya yang tertua, Tengku Sulung, sebagai wakilnya di Langkat Hulu yang beribukota di Binjai. Pada tahun 1884 Langkat berada langsung di bawah kedaulatan Hindia Belanda dan pada tahun 1887. Pemerintahan sultan Musa, kerajaan langkat masih mendapat tekanan dari pihak Aceh dan Belanda dan beberapa daerah di sekitar kerajaan Langkat, dengan ini sultan Musa lebih menekankan kepada perjanjian damai, sehingga pada masa pemerintahannnya kerajaan Langkat berkembang menjadi kerajaan yang megah dan besar. Ia secara damai meluaskan wilayahnya, sehingga wilayah kekuasaan Langkat bertambah luas mulai dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok, atau wilayah kesultanan Deli. Adapun batasan-batasan wilayah tersebut 49Djohar Arifin Husin, Sejarah Kesultanan Langkat (Medan: t.p, 2013), h. 16.; Zainal Arifin AKA, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 26. Tanjung Pura merupakan salah satu kota yang pernah menjadi pusat penyebaran Islam di Sumatera Utara. Ada empat pilar keagamaan di Tanjung Pura, yaitu Kerajaan Langkat sebagai lambang kekuatan politik Islam, Masjid Azizi sebagai lembaga sosial keagamaan, Jama’iyah Mahmudiyah sebagai lembaga pendidikan Islam, dan Kampung Babussalam sebagai pusat pengajaran dan penyebaran Tarekat Naqsabandiyah. Lihat Zainal Arifin AKA, Jama’iyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 20. 50Wawancara dengan Ray, tanggal 18 Juli 2018. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Pangeran Musa pribadi dinaikkan derajatnya oleh Belanda dengan memperoleh titel Sultan Al Haji Musa Alhamdainsyah. Selain itu ditetapkan pula putra bungsunya Tengku Montel alias Tengku Abdul Aziz sebagai penggantinya.
34 antara lainnya: · Sebelah timur: berbatasan dengan Landschap Deli dan Serdang · Sebelah barat: berbatasan dengan Keresidenan Aceh · Sebelah utara dan selatan: berbatasan dengan Afdeeling Simalungun dan Tanah Karo.51 Pada masa Raja Musa, pusat kerajaan memiliki dua buah istana yang megah yang diberi nama istana Darul Aman dan istana Darussalam yang saling berdekatan.52 Istana Kerajaan Langkat Pertama Istana pertama disebut dengan istana Darussalam yang berada di pinggiran Sungai Batang Durian Tanjung Pura 53 Sebagai catatan bahwa semula istana Kerajaan Langkat dibangun di pinggir sungai Batang Durian Tanjung Pura di belakang Madrasah Jamaiyah. 51Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai, Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002, h. 5. Jika diselidiki dari perjalanan perpindahan pusat kerajaan Langkat, selalu berada di daerah yang bernama kota, diantaranya pusat kerajaan Aru I bernama kota Sipinang di hlu sungat Besitang. Kota Sipinang ini telah punah dan menjadi hutan dikawasan Taman Nasional Gunung Lauser (TNGL). Setelah hancur kerajaan Aru II di Deli Tua Kemudian berpindah ke Kota Rantang Hamparan Perak dan saat sekarang daerah ini hanya sebuah desa kota Rantang, lalu berpindah ke Kota Dalam dan Kota Datar. Daerah Sicanggang sekarang menjadi sebuah dusun Kota Pati (Tanjung Pura) yang terus berkembang hingga kini. 52Observasi lapangan ke Museum Tanjung Pura Langkat pada tanggal, 12 Juli 2018. 53Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai, Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002, h. 5
35 Kemudian istana dipindahkan dan dibangun ke arah kota. Istana baru itu bernama istana Darul Aman,54 istana lama bernama istana Darussalam. Istana Darul Aman55 bercirikan ornamen Arab dan terbuat dari batu bata. Sedangkan Istana Baru Darussalam terbuat dari kayu bercirikan ornamen Cina dan memiliki menara seperti pagoda di bagian tengah bangunannya. Istana ini menurut Zainal terletak di Kota Pati (Tanjung Pura sekarang) masih berbentuk rumah panggung berbahan dasar kayu papan. Istananya berhadapan dengan Sungai Batang Durian yang terletak di belakang Masjid Azizi.56 Istana Kerajaan Langkat Kedua Istana kedua tersebut bernama Darul Aman yang terletak di Kota Pati (Tanjung Pura sekarang) masih berbentuk rumah panggung berbahan dasar kayu papan. Istananya berhadapan dengan Sungai Batang Durian yang terletak di belakang Masjid Azizi. 57 Pada tahun 1850, Aceh kembali menyerang dan berusaha mendapatkan kembali kontrol atas tanah Langkat. Pemberian gelar megah untuk para penguasa lokal dan kehadiran administratif terjadi hanya untuk 54Zainal Arifin AKA, Riwayat, h. 26-27. 55Dari hasil kerjasama antara kaum planters dan Sultan Musa dalam konsesi onderneming, Sultan Musa mampu membangun istana Darul Aman (1880) yang cukup megah menurut ukuran masa itu. Istana itu letaknya agak ke kota yaitu di sekitar Jalan Istana (Jalan Amir Hamzah sekarang). Selain itu sultan mampu memiliki barang-barang mewah yang terpajang di dalam ruangan istana. 56Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah…, h. 5. 57Zainal Arifin AKA, Riwayat Tengku Amir Hamzah:…, h. 9
36 suatu periode. Akhirnya, kekuasaan Aceh bukan lagi menjadi tandingan bagi orang Eropa. Tujuh tahun kemudian, yakni tahun 1857, Belanda mengikat perjanjian persahabatan dengan Aceh sebagai dua bangsa yang merdeka. Dalam perjanjian tersebut diakui bahwa Deli, Langkat, dan Serdang berada di bawah pertuanan Aceh. Tetapi hanya beberapa bulan kemudian, pada hari Senin 1 Februari 1858 Belanda mengikat perjanjian dengan Siak (Tractaat Siak)58. Salah satu isi perjanjian tersebut disebutkan bahwa kerajaan Siak Sri Inderapura serta daerah taklukannya mengaku berada di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi bagian dari Hindia-Belanda.59 Sikap Belanda terhadap daerah taklukannya benar-benar memberikan efek positif salah satunya bagi Kesultanan Langkat. Hal ini terbukti ketika bulan Februari 1862 Sultan Musa secara terang-terangan datang ke Siak untuk meminta bantuan Belanda mengamankan wilayahnya dari pemberontakan-pemberontakan yang sering terjadi di wilayahnya, serta ancaman dari Aceh. Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika E. Netscher melakukan ekspedisi pertamanya ke Sumatera Timur dalam rangka mengikat kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur di bawah kekuasaan Belanda, di Langkat Netscher tidak mendapat hambatan apapun. Tahun 1869 Kesultanan Langkat di bawah kepemimpian Raja Musa membuat kontrak yang terpisah dengan Belanda pada tahun 1869 untuk memerdekakan Langkat dari Aceh dan Siak untuk mengakui Raja Langkat sebagai Sultan pada tahun 1887. Dengan politik Devide et Impera Belanda berhasil mengatasi penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak serta menanamkan kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur, salah satunya Kesultanan Langkat. Oleh karena itu kemerdekaan Kesultanan Langkat dari Aceh dan hasil kerjasama dengan Belanda dimasa Raja Musa membuat Langkat menjadi lebih makmur 58Traktaat Siak adalah perjanjian antara Belanda dengan Siak yang ditandatangani pada tanggal 1 Februari 1858. Salah satu isinya adalah Siak mengakui kedaulatan Belanda dan termasuk kerajaan-kerajaan yang ada di pantai timur Sumatera, seperti Deli, Serdang, Langkat, Asahan, dan Tamiang. 59Wawancara dengan Bapak Zainal Arifin AKA tanggal 7 Juli 2018.
37 melebihi harapan.60 Aspek keagamaan dari Raja Musa dapat dilihat dari sifat religiusnya, artinya tidak bisa dilepaskan dari peran seorang guru besar yang datang ke Langkat. Hal ini terlihat ketika kedatangan ulama tersebut yang bernama Syekh Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naksabandi atau yang lebih dikenal dengan Tuan Guru Besilam. Kedatangan Tuan Guru ke Langkat merupakan permintaan dari Sultan Musa. Kehadiran Tuan Guru Besilam sangat memegang peranan penting bagi Sultan Musa dalam memimpin kerajaannya. Tuan Guru Besilam dijadikan sebagai penasehat religius oleh Sultan Musa. Oleh karenanya sebahagian besar dari adat-adat Melayu sangat erat kaitannya pada kehidupan keagamaan masyarakat Langkat, maka pihak Kesultanan Langkat di masa Raja Musa dengan sikap religiusnya mengatur adat-adat Melayu tersebut sebagaimana kebebasan yang diberikan oleh Hindia-Belanda. Antara lainnya mengaji Al-Qur'an, tepian mandi, syair dan hikayat, hiburan dan kesenian, pakaian dalam pergaulan, mengirik padi, mendirikan rumah dan lain sebagainya.61 Misalnya dalam mengaji Al-Qur'an, setiap orang tua yang mempunyai anak wajib mengajari anaknya membaca Al-Qur'an sampai tamat (khatam). Jika orang tua mempunyai anak batas usia masuk mengaji, harus membawa anaknya kepada seorang guru mengaji sambil membawa pulut setalam, beras secupak, minyak lampu sebotol dan sepotong rotan. Walaupun belum ada pendidikan formal62 akan tetapi kegiatan pendidikan keagamaan tetap berlangsung dengan baik. Seiring uraian sebelumnya bahwa Sultan Musa dikenal sebagai seorang pemimpin yang saleh, alim, dan warak. Ia juga sangat mencintai para ulama dan memberikan perhatian besar terhadap pendidikan agama di Tanjung Pura. Pada masanya juga Negeri Langkat terkenal sebagai negeri 60Ibid. 61Abdul Kadir Ahmadi, Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat, (Tanjung Pura-Langkat: Pustaka Babusalam, 1992) h. 12 62Sulaiman Zuhdi, Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban (Stabat, Stabat Medio, 2013), 91-93.
38 yang sangat religius terutama setelah terbentuknya Kampung Babussalam.63 Meskipun terdapat campur tangan politik Pemerintahan Kolonial Belanda di dalam unsur pemerintahan kesultanan, tetapi Belanda masih memberikan keleluasaan terhadap sultan agar kekuasaan pemerintahan Kesultanan Langkat berjalan sesuai dengat adat yang berlaku selama ini. Oleh karenanya pada masa pemerintahannya Sultan Musa (1871) mencontoh Siak dan membentuk Lembaga Datuk Berempat, yang susunannya diambil dari kedatukan yang tidak mempunyai hubungan darah langsung dengan Raja-Raja Langkat (zuriat-zuriat yang paling banyak membantu tegaknya pemerintahan yang dibangun sejak awal masa kekuasaan Raja Ahmad).64 Selanjutnya dalam menjalankan pemerintahan di Kesultanan Langkat masa Raja Musa, sultan masih tetap mempercayai keluarga dan kerabat dekatnya yang memiliki potensi dan dapat dipercaya untuk menjalankan tugas tersebut. Artinya faktor keturunan sering merupakan penentu dalam mengetahui posisi seseorang dalam masyarakat.65 Misalnya, anak-laki-laki Sultan Musa yang bernama Tengku Sulong yang diangkat menjadi wakil (luhak) Langkat Hulu (1884-1896), dan Tengku Hamzah yang diangkat menjadi pangeran Langkat Hilir (1887-1899). Selain itu, sultan juga merekomendasi golongan bangsawan untuk menduduki jabatan di kerapatan (pengadilan) kesultanan dan perusahaan perkebunan asing. Dengan demikian sudah dapat dipastikan orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dalam tatanan birokrasi pemerintahan kesultanan adalah golongan bangsawan. Pada tahun 1892, oleh karena usianya yang telah lanjut, Sultan Musa mengadakan abdikasi dan mengangkat Tengku Abdul Azis sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah tahun 1893. Di akhir masa tuanya Baginda Sultan Musa kemudian bersuluk di 63M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid., h 46.; Tengkoe Hasjim, Riwajat Toean Sjeh Abdoel Wahab Toean Goeroe Besilam dan Keradjaan Langkat (Medan: H. Mij. Indische Drukkerij, t.t.), h. 7. 64Wawancara Ray, tanggal 2 Juni 2018. 65Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13
39 66https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018. Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab. 7. Kepemimpinan Kesultanan Langkat di Masa RajaSultan Abdul Aziz (1827-1927 M) Tengku Abdul Aziz66 Pemerintahan Kesultanan Langkat kemudian dilanjutkan oleh Tengku Abdul Aziz (1897-1927 M). Dia adalah putra ketiga dari Sultan Musa sebagai sultan ketujuh di Kesultanan Langkat. Ibunya bernama Tengku Maslurah binti Tengku Besar Desan dari Binjai, dia mendapat gelar Tengku Permaisuri. Semasa anak-anak dan remaja Tengku Abdul Aziz dididik oleh Sultan Musa di dalam istana. Tengku Abdul Aziz dikarunia 13 putra dan 10 putri. Tengku Abdul Aziz adalah seorang yang bijaksana dan berwibawa. Dia hidup dalam lingkungan istana. Semasa kanak-kanak sampai remaja dia mendapatkan pendidikan secara non-formal, yaitu sultan mendatangkan guru-guru ke istana untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada keluarga sultan. Tengku Abdul Aziz telah membawa Langkat pada zaman keemasannya. Ia
40 meninggal dunia pada tanggal 1 Juli 1927 M akibat menderita sakit gangguan pernafasan selama lebih kurang satu bulan dan dimakamkan di dekat Masjid Azizi Tanjung Pura. Ia mendapat gelar Marhum Darul Aman.67 Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Kesultanan Langkat mengalami kejayaan. Sultan Abdul Aziz terkenal sebagai orang yang bijaksana, berwibawa, dan memerhatikan rakyatnya. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz banyak masyarakat dari Pulau Jawa dan daerah di luar kekuasaan Kesultanan Langkat bermukim dan belajar di sana. Kejayaan masa Sultan Abdul Aziz diraih berkat kecakapan kepemimpinannya yang didukung oleh kebijakan pemerintahannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, maupun keagamaan. 67M. Eko Hendramawan Sembiring, “Sejarah Kota Tanjung Pura Tahun 1896-2014”, Skripsi (Medan: Unversitas Negeri Medan, 2014), hlm. 36.
41 BAGIAN KETIGA MASA KEJAYAAN DAN KEMUNDURAN KESULTANAN LANGKAT A. Masa Merintis Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Musa Nama Kabupaten Langkat diambil dari nama Kesultanan Langkat. Dahulu, penyebutan Langkat tertuju pada pusat pemerintahan Kesultanan Langkat yang pernah jaya dan sangat ramai, yaitu Tanjung Pura. Saat ini, Tanjung Pura hanya sebagai kota kecil dengan status ibu kota kecamatan. Setelah Indonesia merdeka, kondisi dan kapasitas kota ini jauh merosot, kendatipun sebagiaan bekas peninggalan sejarah kejayaannya masih dapat ditemukan di tempat ini. Dari aspek Historis, pusat pemerintahan di Langkat ini telah berkalikali mengalami perubahan. Pada masa kekuasaan Raja Ahmad di Kerajaan Langkat, pusat pemerintahan berada di Gebang. Ketika anaknya, Sultan Musa, menggantikannya, ia memindahkannya ke Tanjung Pura. Akhirnya, pada masa Sultan Mahmud, pusat pemerintahannya dipindah ke Kota Binjai. Setelah Indonesia merdeka, pusat pemerintahan Langkat dipindahkan ke Stabat. Di tempat inilah pusat pemerintahan Kabupaten Langkat