92 kabupaten. Peristiwa-peristiwa berikut akan dijelaskan secara ringkas dalam bagian ini. Ketika pusat Kesultanan Langkat masih berpindah-pindah, wilayah teritorial dan kekuasaan hanya terbatas pada wilayah yang kecil dan di sekitar berdirinya pusat kerajaan tersebut. Beberapa hal yang dapat di ketahui dari berpindah-pindahnya pusat kerajaan Langkat adalah berkaitan dengan masalah keamanan dan penyerbuan oleh kerajaan-kerajaan lain, serta pemilihan tempat yang strategis bagi perkembangan kerajaan. Ketika itu Langkat bukan merupakan kerajaan yang memiliki angkatan armada perang yang kuat, sehingga dengan mudah dapat dikuasai dan dikalahkan oleh kerajaan yang besar seperti Aceh dan Siak. Setelah kalah dan pusat kerajaan dihancurkan oleh kerajaan lain maka raja Langkat berhasil melarikan diri dan kembali membangun kerajaan di tempat yang lain. Pada awal abad ke-19 kerajaan Siak Sri Inderapura berhasil menaklukkan Langkat di mana ketika itu yang berkuasa adalah Kejeruan Tuah Hitam maka untuk menjamin kesetiaan Langkat kepada Siak, maka putra kerajaan Langkat yang bernama Nobatsyah dan Raja Ahmad dibawa ke Siak untuk dinikahkan dengan putri-putri kerajaan Siak. Salah satu dari keturunan mereka yang bernama Tengku Musa dinobatkan menjadi raja Langkat berkedudukan di Tanjung Pura. Seperti kerajaan-kerajaan lainnya, kerajaan Langkat juga tidak luput dari perang saudara. Perang saudara yang sering disebutkan adalah antara Nobatsyah (Raja Bendahara) dengan Raja Ahmad. Setelah mereka dinikahkan di Siak, tidak berapa lama kemudian mereka dipulangkan dan menjadi penguasa Langkat secara bersamaan. Dapat diketahui bahwa sebelum 1865 struktur pemerintahan kerajaan Langkat masih sangat sederhana. Menurut laporan John Anderson selaku wakil pemerintahan Inggris di Penang ketika mengunjungi Langkat pada tahun 1823, Siak belum mengangkat Raja untuk Langkat namun telah memberikan gelar “Raja Muda” kepada Ahmad dan gelar “Bendahara” kepada Nobatsyah yang masing-masing memiliki istana yang berdekatan. Mungkin Siak membiarkan mereka berduel siapa yang menang akan diangkat menjadi raja. Tapi menurut Anderson bahwa pengikut Ahmad lebih banyak dan lebih
93 berwibawa. Akhirnya antara Nobatsyah dan Raja Ahmad terjadi peperangan dalam memperebutkan kekuasaan. Dalam perang saudara yang terjadi, Nobatsyah tewas sehingga Raja Ahmad tampil sebagai penguasa tunggal, yang kemudian diakui oleh Siak. Setelah Raja Ahmad berkuasa, maka ia memberi otonomi luas kepada kejeruan-kejeruan kecil di wilayah kekuasaan Langkat.23 Dalam pada itu, keturunan-keturunan mereka yang lain menguasai wilayah-wilayah di sekitar Langkat seperti kejeruan Stabat, Bingai, Selesai dan lain-lain. dengan demikian, kerajaan Langkat menjadi besar dan luas wilayahnya lebih disebabkan pada pembagian kekuasaan antara keturunanketurunan raja Langkat, masing-masing dari mereka mendapat otoritas untuk mengelola wilayahnya masing-masing. Setelah Raja Ahmad meninggal maka kemudian digantikan oleh putranya Tengku Musa yang ketika itu masih tinggal bersama Ibunya di Siak. Setelah pemerintahan sultan Musa, sistem pemerintahan di kesultanan Langkat dilaksanakan berdasarkan sistem otonomisasi wilayah. Kekuasaan sultan tidak mencampuri urusan-urusan wilayah yang ditaklukkannya, tetapi memberikan kebebasan kepada setiap kejeruan (kecamatan) untuk mengatur daerahnya sendiri. Namun untuk beberapa daerah strategis dan vital untuk sumber kekayaan kesultanan, seperti Bandar-bandar pelabuhan akan ditempatkan orang-orang perwakilan Sultan.24 Pada masa Kesultanan Langkat, wilayah teritorial terkecil yang berada dalam satu pemerintahan kejeruan disebut “Kampung”. Sedangkan “kejeruan” adalah pemerintahan yang membawahi beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang kepala kejeruan dengan gelar “datuk”. Datuk sebagai penguasa dalam satu kejeruan memerintah di daerahnya atas nama Sultan. Wilayah yang setingkat dengan kejeruan adalah wilayah pesisir sebagai pusat Bandar perhubungan air dan juga pusat perdagangan. Biasanya sebagai penguasa di daerah ini ditempatkan tokoh-tokoh dari 23Tim Peneliti Fakultas Sastra USU., h. 64-65 24Pemerintahan Propinsi Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara Dalam Lintasan Sejarah, Medan, 1995, h. 105.
94 pusat kesultanan sebagai wakil Sultan. Mereka yang menduduki jabatan ini adalah berstatus bangsawan, seperti “tengku”. Tetapi bisa juga dari golongan rakyat biasa atau orang kepercayaan Sultan yang bergelar Datuk Syahbandar.25 Pada tahun 1857, Belanda mengikat perjanjian persahabatan dengan Aceh sebagai dua bangsa yang merdeka. Dalam perjanjian tersebut diakui bahwa Deli, Langkat, dan Serdang berada di bawah pertuanan Aceh. Tetapi hanya beberapa bulan kemudian, pada hari Senin 1 Februari 1858 Belanda mengikat perjanjian dengan Siak (Tractaat Siak). Salah satu isi perjanjian tersebut disebutkan bahwa kerajaan Siak Sri Inderapura serta daerah taklukannya mengaku berada di bawah kedaulatan Belanda dan menjadi bagian dari Hindia-Belanda. Adapun bagian dari kerajaan Siak adalah meliputi: Negeri Tanah Putih, Bangko, Kubu, Bilah, Panai, Kualuh, Asahan, Batu Bara, Bedagai, Padang, Serdang, Percut, Perbaungan, Deli, Langkat dan Tamiang. Dengan politik Devide et Impera Belanda berhasil mengatasi penetrasi dan melemahkan kekuatan Aceh dan Siak serta menanamkan kekuasaannya secara nyata pada kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur, hingga pada tahun 1942 Jepang berhasi menduduki Indonesia (HindiaBelanda). Pada masa pemerintahan Jepang, raja-raja di Sumatera Timur ditugaskan untuk membantu pelaksanaan kebijaksanaan politik pemerintah Jepang, di mana raja atau sultan hanya bertugas mengurus persoalan adat istiadat saja.26 Dengan demikian raja-raja yang diangkat oleh pemerintah Belanda sebelumnya termasuk para pegawainya masih tetap menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan garis-garis yang telah ditetapkan Jepang. E. Dimensi Intelektual Berdasarkan data yang didapatkan bahwa sebelum tahun 1900, Kesultanan Langkat belum memiliki lembaga pendidikan formal. Pendidikan 25Ibid., h. 104-105. 26Tim Peneliti Fakultas Sastra USU., h. 29.
95 yang dilaksanakan masih dengan pendidikan non formal, yaitu dengan belajar kepada guru-guru agama ataupun ahli-ahli dalam bidang tertentu. Bagi keluarga kerajaan juga diberikan pendidikan yang seperti ini. Para guru-guru itu diundang ke istana untuk memberikan ceramah dan pengajaran kepada raja beserta keluarganya. Ketika itu dinamika intelektual khususnya dalam bidang pendidikan belum menjadi fokus perhatian para sultan. Nampaknya mereka masih sibuk dengan masalah politik yang terjadi, yaitu berkaitan dengan perluasan wilayah kekuasaan dan lain sebagainya. Hal tersebut menjadikan dinamika intelektual di Langkat tidak berkembang dengan baik dan kurang mendapat perhatian. Baru, setelah sultan Abdul Aziz menjadi sultan Langkat, lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (baca: madrasah) dapat berdiri dan menjadi pusat pendidikan agama bagi masyarakat Langkat. Kondisi Kesultanan Langkat saat itu dalam bidang pendidikan lebih mempelajari ilmu agama, apalagi saat itu agama Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara. Saat itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Melayu Langkat untuk menyerahkan anak-anaknya kepada guru untuk mengaji AlQur’an. Selain itu, anak laki-laki diwajibkan untuk belajar ilmu bela diri. Dengan berdirinya Madrasah Al-Masrullah tahun 1912, madrasah Aziziah pada tahun 1914 dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar pada kedua maktab tersebut, maka banyak pelajarpelajar yang datang dari dalam dan luar pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya.27 Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anakanak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk dapat belajar dan menuntut ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar di maktab 27A. Kadir Ahmadi, Sejarah Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah, Terbitan Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiah Li Thalabil Khairiyah, Tanjung Pura-Langkat, 1985, h. 14-15.
96 ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik (mantan wakil presiden RI). Dalam biografinya Adam Malik meyebutkan bahwa Madrasah AlMasrullah termasuk lembaga yang mempunyai bangunan bagus dan modern menurut ukuran zaman tersebut. Di mana masing-masing anak dari keluarga berada (kaya) mendapat kamar-kamar tersendiri. Sistem pendidikan yang dijalankan pada sekolah ini sama seperti sistem sekolah umum di Inggris, di mana anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk tinggal di kamar-kamar tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin. Fasilitas-fasilitas olah raga juga disediakan di sekolah tersebut seperti lapangan untuk bermain bola dan kolam renang milik Kesultanan Langkat.28 Ketiga lembaga pendidikan tersebut didirikan oleh sultan Abdul Aziz yang kemudian diberi nama dengan perguruan Jam’iyah Mahmudiyah. Pada tahun 1923 perguruan Jam’iyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang belajar, 12 ruang asrama, disamping berbagai fasilitas lainnya seperti 2 buah Aula, sebuah rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan sebagainya. Untuk meningkatkan mutu pendidikan pada perguruan Jam’iyah Mahmudiyah, maka tenaga pengajarnya sebagian besar merupakan guru-guru yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekkah, Medinah dan Mesir. Mereka semua dikirim atas biaya sultan setelah sebelumnya diseleksi terlebih dahulu, hingga sekitar tahun 1930 siswasiswa yang belajar di perguruan ini sekitar 2000 orang yang berasal dari berbagai macam daerah.29 Selanjutnya Sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan Sekolah Melayu, yang banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Mengenai gaji-gaji guru dan biaya perawatan bangunan semuanya ditanggung oleh pihak Kesultanan Langkat, dalam hal ini dapat dikatakan 28Adam Malik, Mengabdi Repoblik, (Adam dari Andalas), Cet. Ketiga, Gunung Agung, Jakarta, 1982, h. 2. 29A. Kadir Ahmadi, Sejarah Perkembangan., h. 16-17.
97 bahwa segala biaya yang berkaitan dengan fasilitas-fasilitas pendidikan di Langkat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan kerajaan. Memang pada awal tahun 1900-an Pemerintahan Belanda telah mendirikan sekolah Langkatsche School30 (baca: Sekolah Belanda). Namun penerimaan siswanya masih sangat terbatas, di masa itu yang diterima hanya anak-anak bangsawan dan dan anak pegawai Ambtenaar Belanda serta orang-orang kaya yang berharta, dalam bahasa pengantarnya lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Belanda. Selain itu didirikan juga ELS (Europese Logare School) dan untuk anak-anak keturunan Cina didirikan Holland Chinese School atau HCS. Bagi masyarakat yang ingin memperdalam ajaran agama melalui bukubuku Islam, dalam hal ini Tuan guru Babussalam Syekh Abdul Wahab Rokan telah menerbitkan dan mencetak buku-buku yang bertemakan masalahmasalah keislaman, antara lain: buku Aqidah Islam, Kitab Sifat Dua Puluh, Adab Az-Zaujain dan lain-lain, karena di Babussalam pada saat itu telah ada mesin cetak, yang dibeli guna untuk menerbitkan buku-buku yang ditulis oleh Syekh Abdul Wahab sendiri. Mesin cetak tersebut sebagian besar didanai oleh Sultan Musa. Berkaitan dengan masalah intelektual, Kesultanan Langkat memiliki seorang Amir Hamzah yang dikenal sebagai seorang penyair, sastrawan dan pahalawan Nasional. Ia lahir pada tanggal 28 Februari 1911 di Tanjung Pura, berasal dari keturunan Sultan Langkat, ayahnya yang bernama Tengku Pangeran Adil adalah cucu dari sultan Musa. Pendidikannya diawali setelah ia menamatkan sekolahnya di Tanjung Pura, Amir Hamzah dikirim orang tuanya ke MULO di Medan. Setelah satu tahun di Medan ia dipindahkan ke MULO Jakarta. Setelah tamat di MULO Jakarta, ia melanjutkan pendidikannya di A.M.S. Bagian ketimuran di Solo. Pada saat di Jawa ia banyak terlibat organisasi pergerakan kemerdekaan Indonesia yaitu Gerakan Indonesia Muda bersama dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan M. Yamin. Amir juga aktif menulis artikel di Majalah Timbul serta editor di majalah Pujangga Baru, di samping itu ia juga menjadi tenaga pengajar di 30T.M. Lah Husni., Buku Biografi., h. 5.
98 Taman Siswa dan Perguruan Muhammadiyah. Pada saat di Jawa ia banyak menerbitkan sajak-sajak yang terhimpun dalam Buah Rindu dan Nyanyian Sunyi. Menurut Shafwan Hadi Umri (ketua Dewan Kesenian Sumatera Utara) Amir Hamzah dalam sajak-sajaknya banyak terinspirasi dengan sajaksajak Li Tai Po (Tiongkok), Basho (Jepang), Rav-Das (India) dan Umar Khayyam di Persia. Melihat pergerakan Amir Hamzah di Jawa, maka Belanda meminta kepada sultan Mahmud yang saat itu berkuasa untuk menyuruh Amir Hamzah Pulang ke Langkat, dengan ancaman jika Amir Hamzah tidak menghentikan kegiatannya maka Kerajaan Langkat akan dihancurkan Belanda. Kesultanan Langkat yang pada saat itu telah dikendalikan oleh Pemerintahan Belanda tidak dapat berbuat banyak kecuali meminta Amir Hamzah pulang ke Langkat untuk menghentikan kegiatannya di Jawa. Amir Hamzah dengan terpaksa akhirnya menuruti permintaan pamannya Sultan Mahmud. Ketika tiba di Langkat ia diserahkan tugas sebagai ketua umum pengurus besar Maktab Jam’iyah Mahmudiyah. Di Langkat Amir Hamzah sempat menuliskan sajak-sajak seperti Insaf dan Sebab Dikau. Namun sajak-sajaknya lebih banyak bertemakan kebencian dan keputusasaan. Hingga pada tahun 1946 Amir Hamzah diculik dan dibunuh oleh pihak yang mengaku sebagai pejuang RI karena dituduh sebagai kaki tangan penjajah Belanda.
99 BAGIAN KELIMA FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT MELAYU PADA MASA KESULTANAN LANGKAT A. Falsafah Adat Orang Melayu Falsafah sebagai sebuah nilai bagi seseorang atau kelompok masyarakat berfungsi menjadi alat atau cara untuk sebuah tindakan, oleh karenanya maka falsafah orang Melayu yang merupakan bangsa Austronesia di semenanjung Tanah Melayu1 memiliki nilai-nilai dasar universal. Orangorang Austronesia tersebut terdapat di Malaysia, Thailand, Filipina dan Madagaskar yang lazimnya berbahasa Melayu, mayoritas beragama Islam dan berkebudayaan Melayu.2 Umumnya mata pencaharian orang Melayu yakni menangkap ikan, tetapi ada juga yang bermata pencaharian lain, seperti berburu, berladang, berternak dan bermacam-macam kerajinan tangan3 , sebagaimana yang terjadi dalam sejarah Kesultanan Langkat. 1Usman Abdullah, Kata Sambutan Walikota Langsa dalam Acara Festival Rentak Budaya Melayu di kota Langsa, 29 September 2018. 2Ibid. 3Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 12
100 Istilah Melayu merupakan istilah yang dekat dengan alam oleh karenanya selain orang Melayu beragama Islam, alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Melayu, ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru. Yang dimaksud dengan adat sebenar adat adalah yang tidak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas biasanya ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu adat Melayu falsafahnya berdasarkan kepada ketentuanketentuan dalam alam, maka adat Melayu itu akan tetap ada selama alam ini ada.4 Secara umum falsafah adat orang Melayu yang sebahagian besar memiliki kesamaan nilai-nilai dasar yang universal bagi adat orang Melayu Langkat. Artinya melayu Langkat merupakan salah satu dari bahagian suku Melayu yang ada di Provinsi Sumatera Utara dan memiliki konsep falsafah hidup yang sama dengan suku melayu lainnya. Adapun nilai-nilai dasar yang universal itu antara lainnya hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam, dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.5 Pertama; Hidup dalam Falsafah Melayu. Tujuan hidup bagi orang Melayu adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Melayu mengatakan bahwa “hidup berjasa, mati berpusaka”. Jadi orang Melayu memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka pribahasa yang dikemukakan adalah: “Gajah mati meninggakan gading, Harimau mati meninggalkan belang, Manusia mati meninggakan nama”. Pengertian yang dapat ditarik pada falsafah tersebut, bahwa orang Melayu itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati. 4http://ijhadwalataksaloke.blogspot.com/2015/06/falsafah-hidup-masyarakatmelayu.html. diakses pada tanggal 13 Juni 2018. 5Ibid
101 Karena itu orang Melayu bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak cucunya dan masyarakatnya. Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat mencari materi tetapi juga kuat menunjuk mengajari anak cucunya sesuai dengan norma-norma adat yang berlaku. Ungkapan adat juga mengatakan; “Pulai bertingkat naik meninggalkan ruas dan buku, manusia bertingkat turun meninggakan nam dan pusaka”. Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya ataupun keluarganya.6 Kedua, Kerja dalam Falsafah Melayu. Sejalan dengan makna hidup bagi orang Melayu, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang dapat membuat orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakannya. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan “hilang warna karena penyakit, hilang bangsa karena tidak beremas’. Artinya harga diri seseorang akan hilang karena miskin, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya. Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya.7 Orang Melayu disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat, “ Kayu hutan bukan andalas, Elok dibuat untuk lemari, Tahan hujan berani berpanas, Begitu orang mencari rezeki”. Pesan yang dapat diambil dari falsafah ini adalah etos kerja. Artinya, anakanak muda yang punya tanggungjawab di kampung disuruh merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada kerabat dikampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan orang Melayu terkenal dirantau sebagai 6Ibid. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan Orang Melayu. Selanjutnya bahwa nilai hidup yang baik dan tinggi telah menjadi pendorong bagi orang Melayu untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis, kreatif dan inovatif 7Ibid. Banyaknya seremonial adat itu seperti perkawinan membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan.
102 makhluk ekonomi ulet.8 Ketiga, “Waktu dalam Falsafah Melayu”. Bagi orang Melayu waktu berharga merupakan pandangan hidup orang Melayu. Orang Melayu harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya serta bekal apa yang dibawa sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk sesuatu yang bermakna. Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Melayu. “Melihat contoh ke yang sudah”. “Bila masa lalu tak menggembirakan dia akan berusaha memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarah merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang. Membangkit batang terandam merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan adat berfatwa;”hemat sebelum habis,sediakan payung sebelum hujan”. Keempat.” Alam dalam Falsafah Melayu”. Pepatah adat menyebutkan: “Menyimak alam, mengkaji diri” Nilai ini mengajarkan agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan, haruslah diawali dengan penelitian yang cermat terhadap alam dan semua potensi yang ada (sumber daya alam), serta mengkaji pula kemampuan diri (sumber daya manusia). Melalui kajian inilah dibuat rancangan yang diharapkan dapat memenuhi harapan semua pihak. Orangtua-tua mengakatan: “menyimak alam luar dan dalam, mengkaji diri untuk mengukur kemampuan sendiri”; atau dikatakan: “mengkaji alam dengan mendalam, diri diukur dengan jujur”.9 Nilai tersebut memberi peluang terjalinnya hubungan kerjasama dengan berbagai pihak yang dianggap ahli dan berkemampuan, termasuk pemodal luar sepanjang tidak merugikan masyarakat dan menjatuhkan harkat, martabat, tuah dan marwahnya. Orangtua-tua mengatakan: bila 8Ibid. Etos kerja keras yang sudah merupakan nilai dasar bagi orang Melayu ditingkatkan lagi oleh pandangan ajaran Islam yang disabdakan Nabi saw: “‘i’mallidunyaka kaanaka tamuusu abada, wa’mal li akhiratika tamuutu ghada” Jadi masyarakat dituntut bekerja keras seakan-akan dia hidup untuk selama-lamanya, dia harus beramal terus seakan-akan dia akan mati besok. 9Ibid.
103 tidak mampu, cari yang mampu; bila tidak pandai, cari yang pandai; bila tidak tahu, cari yang tahu; atau dikatakan: untuk membangun yang berfaedah, jangan malu merendah (maksudnya, untuk mewujudkan pembangunan, jangan malu-malu menggunakan tenaga luar yang dianggap patut dan layak). Dengan demikian, pembangunan dapat berjalan tanpa memaksakan diri bila benar-benar tidak memiliki daya dan kemampuan. Perhatian orang Melayu terhadap alam sekitarnya sangat tinggi. Orang Melayu selalu menjaga keseimbangan dan harmonisasi alam tersebut, sehingga alam merupakan bagian dari tata kehidupan mereka. Seperti dalam ungkapan berikut: “kalau terpelihara alam lingkungan, banyak manfaat dapat dirasakan: ada kayu untuk beramu ada tumbuhan untuk ramuan ada hewan untuk buruan ada getah membawa faedah ada buah membawa berkah ada rotan penambah penghasilan”. Selanjutnya membangun jangan merusak, membina jangan menyalah. Nilai ini mengajarkan, agar dalam merancang dan melaksanakan pembangunan jangan sampai menyalahi ketentuan agama dan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial masyarakatnya. Agama dan budaya hendaklah dijadikan ruh, teraju, pucuk jala pumpunan ikan dalam merancang pembangunan. Karenanya, para perancang dan pelaksana pembangunan haruslah memahami seluk beluk agama dan budaya serta norma-norma sosial masyarakatnya, agar pembangunan itu benar-benar bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Orangtua mengingatkan: “bila membangun tidak senonoh, hasil tak ada masyarakat bergaduh”; atau dikatakan:
104 “apabila membina tidak semenggah, lambat laun menjadi musibah”.10 Ungkapan adat menegaskan: “adat membangun negeri, jangan lupakan diri; adat membangun desa, jangan lupakan agama; adat membangun masyarakat, jangan tinggalkan adat” Ungkapan lain mengatakan: dalam melaksanakan pembangunan, agama dimuliakan, budaya diutamakan, adat dikekalkan. Selanjutnya dikatakan: “apabila agama tidak dipakai, alamat masyarakat akan meragai (sengsara dunia akhirat); apabila budaya tidak dipandang, alamat negeri ditimpa malang; apabila adat tidak diingat, lambat laun sengsaralah umat.”11 Ungkapan adat juga mengatakan: “apabila pembangunan hendakkan berkah, agama jangan dipermudah; apabila membina hendak bermanfaat, jangan sekali meninggalkan adat. Ungkapan yang lain menjelaskan: “apabila alam sudah binasa, balak turun celaka tiba hidup melarat terlunta-lunta pergi ke laut malang menimpa pergi ke darat miskin dan papa 10Ibid 11Ibid
105 apabila alam menjadi rusak, turun temurun hidup kan kemak pergi ke laut di telan ombak pergi ke darat kepala tersundak hidup susah dada pun sesak periuk terjerang nasi tak masak siapa suka merusak alam, akalnya busuk hatinya lebam siapa suka membinasakan alam, akal menyalah hati pun hitam siapa suka merusak lingkungan, tanda hatinya sudah menyetan” B. Falsafah Hidup Melayu Langkat Perkembangan kerajaan Aru sebagai muasal dari terbentuknya kerajaan Kesultanan Langkat merupakan Kerajaan Melayu yang sangat maju di masanya. Kerajaan kesultanan Langkat terkenal sebagai Kerajaan Islam Melayu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bungaran bahwa penduduk Melayu Langkat yang berada di kawasan Sumatera Timur merupakan percampuran dari berbagai suku bangsa.12 Ketika pada abad ke-13 Kerajaan Aru masih berdiri, terjadi proses pengislaman ke daerah-daerah pedalaman, yaitu Karo, Simalungun, Padang Lawas. Sehingga sering disebut memeluk agama Islam sama dengan masuk Melayu.13 Seiring penjelasan tersebut, maka sudah dipastikan seluruh lini kehidupan kerajaan Kesultanan Langkat secara mendasar dan universal yang terbentuk dalam konsep falsafah hidup Melayu berasal dari nilai-nilai ajaran Islam. Falsafah hidup14 melayu Langkat yang terpelihara dalam 12Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12 13Ibid 14Falsafah berarti anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup. Lihat https://www.apaarti.com/ falsafah.html. diakses pada tanggal 18 September 2018.
106 budaya-melayu dapat dijadikan bukti dasar utama kemajuan Kesultanan Langkat. Oleh karenanya budaya melayu dalam kerajaan Kesultanan Langkat bersumberkan dari nilai-nilai ajaran Islam sebagai identitas yang sangat melekat. Bukti sejarah dapat dilihat dari dokumen kepemimpinan Sultan Musa tentang budaya-melayu yang tetap menjaga harmonisasi keragaman, artinya walaupun masyarakat Langkat majemuk akibat kunjungan berbagai suku dan agama namun tetap menjaga suasana dalam kerukunan. Kerukunan tersebut berasal dari resam,15 menurut Bungaran bahwa setiap pendukung kebudayaan Melayu, walaupun berada di manapun, pasti mempunyai resam (perasaan) yang sama.16 Resam ini tercermin di dalam setiap gerak kehidupan orang Melayu.17 Masa Kerajaan Langkat dari kepemimpinan Raja Syahdan hingga Raja Abdul Aziz kehidupan masyarakat dan pimpinan kerajaan senantiasa menjadikan budaya Melayu bersumberkan dari nilai-nilai ajaran Islam. Berkaitan dengan itu maka dapat dikatakan falsafah budaya-Melayu adalah berbahasa Melayu, beradat istiadat Melayu, dan beragama Islam. Pertumbuhan kerajaan Kesultanan Langkat tidak terlepas dari falsafah Melayu bersendikan hukum agama Islam atau sebuah ketentuan dan hukum harus bersandarkan Al-Qur’an. Agama Islam sebagai falsafah hidup budaya Melayu telah menjadikan Kesultanan Langkat maju dan mewarnai perkembangan zaman ketika itu. Menurut Haz bahwa dengan falsafah hidup Melayu kerajaan Langkat dikenal sebagai orang Melayu yang sangat cerdik, pintar dan manusia yang memiliki tata aturan diri bersopan-santun jika dibandingkan dengan warga negera lainnya.18 Umumnya falsafah hidup Melayu yang direpleksikan oleh masyarakat Melayu Langkat dimasa Kesultanan Langkat berasal dari proses pendidikan dalam keluarga atau proses pendidikan dalam lembaga pendidikan keagamaan semisal Jam’iyah Mahmudiyah. Selanjutnya Haz 15Resam itu artinya perasaan. 16Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12 17Ibid. 18Wawancara dengan Bapak Haz, tanggal 14 Juni 2018.
107 menegaskan bahwa untuk menjaga falsafah hidup Melayu19 di lembaga pendidikan Mahmudiyah mereka senantiasa mempelajari bahasa Melayu dan berusaha memperluas pengetahuan mereka dan juga memperdalami bahasa Arab.20 Falsafah hidup Melayu yang lahir dari nilai-nilai dasar universal ajaran Islam hingga menjadi konsepsi dalam kesatuan sosial masyarakat Melayu Langkat merupakan cara, alat dan tujuan Kesultanan Langkat dan masyarakatnya secara bersama memelihara dan mengutuhkan orientasi budaya Melayu. Oleh karenanya disadari bahwa falsafah hidup Melayu sejalan dengan fungsinya sebagai gagasan yang bersifat solutif terhadap respon dari kebutuhan dan tuntutan zaman Kesultanan Langkat hingga masyarakat Langkat kini. Pertumbuhan kerajaan Langkat dengan falsafah hidup Melayu bercirikan Islam merupakan jati diri yang tak dapat dipisahkan. Sehingga semangat menyebarkan Islam oleh Kerajaan Kesultanan Langkat dirasakan oleh kolega dagang-dagang lainnya.21 Menurut Zainal hubungan dagang Kesultanan Langkat hingga menjadi kerajaan yang terkaya Melayu dimasanya dikarenakan mereka sangat enerjik dan penuh keinginan untuk maju.22 Kebiasaan nenek moyang dari kesultanan Langkat dalam hal; berdagang dan berani mengarungi lautan, jarang terlibat dalam soal kriminal, sangat suka kepada tegaknya hukum melekatnya diri dari aspek kesenian membawa mereka sebagai suku atau kelompok masyarakat yang 19Falsafah sangat demikian penting sebagai perkembangan hidup budaya Melayu, dan mengenal Melayu berdasarkan falsafah hidupnya merupakan hal-hal yang tidak dapat dipisahkan. 20Wawancara dengan Bapak Haz, tanggal 14 Juni 2018. 21Perdagangan pada masa dahulu telah mengalami kemajuan dengan adanya pelabuhan-pelabuhan di pantai timur Sumatera. Pada tahun 1814-1815 seluruh Sumatera Timur mengekspor 2.846 pikul lada ke Penang, dan pada tahun 1822 mengekspor lada hingga mencapai 30.000 pikul. lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12 22Wawancara Zainal, tanggal 18 Juli 2018. Sebagai tambahan bahwa sewaktu masa kolonial dulu, ada beberapa komoditi yang menghasilkan banyak pemasukan bagi Sultan Langkat yaitu antara lain: Karet, Kelapa sawit, kopi dan minyak. Pada periode tahun 1920-1930-an permintaan untuk komoditi industri karet dan minyak meningkat, hal ini mengakibatkan naiknya harga karet dan minyak saat itu. Dengan otomatis maka Sultan
108 disegani oleh yang lainnya. Secara umum Melayu Langkat dan Melayu lainnya memiliki persamaan dalam hal falsafah hidup dan mereka memiliki kebudayaan pantai yang bercorak perkotaan dan kegiatannya dalam bidang perdagangan dan kelautan. Menurut Bungaran yang membedakan Melayu yang satu dengan yang lainnya hanya bidang bahasa, yakni dalam cara pengucapannya (dialek).23 Perbedaan dialek timbul karena adanya percampuran dengan bahasa-bahasa dari suku bangsa lain.24 Tetapi makna pengucapan demikian tidak membedakan arti dan prisinpil falsafah-falsafah Melayu yang berkembang di tengah-tengah masyarakatnya. Sejarah masyarakat melayu Langkat merupakan tempat masyarakat majemuk dari berbagai suku dan agama sehingga adaptasi dan asimilasisosial25 yang terjadi membawa ke arah perubahan masyarakat dari masyarakat tradisional berpindah ke masyarakat modern yang rasional, di kabupaten Langkat. Walaupun demikian halnya dalam kehidupan seharihari masyarakat Langkat masih menjaga dan memelihara terciptanya kerukunan sebagaimana warisan budaya melayu yang sudah berlangsung sejak dahulu. Artinya masyarakat Melayu Langkat tetap menjaga falsafah hidup Melayu dan tetap memposisikan diri mereka sebagai orang Melayu yang identik dengan budaya Islam. Budaya Melayu yang terdapat di Kabupaten Langkat dalam sejarahnya sangat memberikan inspirasi kepada generasi kini. Gambaran tersebut Langkat yang memegang konsesi tanah menjadi sangat kaya dari usaha kerjasama (kontrak) dengan perkebunan milik orang Eropa. Kilang minyak di pangkalan Brandan menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk pemasukan bagi Sultan Langkat. Lihat http://srilangkatku.blogspot.com/2014/02/sejarah-singkat-langkat.html. diakses pada tanggal 15 Juni 2018. Dikutip dari tulisan Tengku Luckman Sinar, Sejarawan Melayu Langkat. 23Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 11 24Ibid 25Asimilasi dapat terjadi apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Pertama, adanya kelompok manusia berbeda kebudayaan. Kedua, secara individu perindividu sebagai anggota kelompok tadi saling bergaul dan intensif dalam waktu yang lama. Ketiga, kebudayaan kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri. Lihat Abdullah Idi, Dinamika Sosiologis Indonesia: Agama dan Pendidikan dalam Perubahan Sosial (Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2015), h. 55
109 dapat diperhatikan banyaknya sejumlah falsafah-falsafah hidup Melayu dijadikan dasar utama mendukung kehidupan bersosial dan bernegara. Menurut Mutholib selaku Budayawan Langkat menuturkan bahwa Melayu itu bukan rupa, bukan kulit, bukan bahasa dan bukan orang, akan tetapi Melayu itu Alam, Melayu itu Dunia, Melayu itu Pemikiran Ketuhanan, Melayu itu budaya yang memerintah.26 Munculnya Kerajaan Melayu Langkat dengan corak falsafah hidup budaya Melayu dengan corak keIslaman, paling tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan dan kebudayaan Islam khususnya di daerah Langkat. Suku bangsa Melayu langkat mempunyai falsafah di dalam hidupnya, antara lainnya menurut Bungaran bahwa Melayu itu Islam, maka sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah. Melayu itu berbudaya, maka sifatnya nasionalis. Melayu itu beradat maka sifatnya regional dalam Bhineka Tunggal Ika. Melayu itu berturai maka sifatnya mengutamakan ketenteraman dan kerukunan. Melayu itu berilmu, maka sifatnya berkepribadian menuju keilmuan.27 Seiring penjelasan di atas maka falsafah hidup Melayu sebagai bagian pendukung pembangunan kejayaan Kesultanan Langkat tetap harus digali dan dipelihara keberadaannya dalam budaya Melayu Langkat terkini. C. Ciri-ciri Budaya Melayu dalam Falsafah Hidup Melayu pada Masa Kesultanan Langkat Hasil penuturan Zainal dan Haz, terkait dengan falsafah hidup melayu Langkat di masa Kesultanan Langkat yang terpelihara dalam budaya Melayu dapat diperhatikan pada ciri-ciri budaya melayu itu sendiri, di antaranya: 1. Peluang kesultanan Langkat mengatur sistem pemerintahannya dalam aspek keagamaan dan sosial-budaya berdampak kepada kebebasan Raja mengeluarkan kebijakan sesuai semangat nilai-budaya melayu Langkat. Gambaran tersebut dapat dilihat pada ciri-ciri budaya Melayu dalam falsafah hidup melayu bahwa seseorang disebut Melayu apabila 26Wawancara Bapak Mutholib di Medan, Tanggal 20 Juni 2018. 27Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 13
110 ia beragama Islam, berbahasa melayu dalam sehari-harinya, dan beradat istiadat Melayu. Sebagaimana falsafah tersebut berbunyi “adat Melayu itu bersendikan hukum syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Oleh karenanya masa Kesultanan Langkat hingga kini memahami orang melayu adalah etnis secara kultural bukan genealogis.28 2. Dibangunnya lembaga tarikat Babussalam oleh Raja Musa memperlihat bahwa falsafah hidup orang melayu itu harus berpijak pada yang Esa. Artinya setiap manusia Melayu dalam menjalankan kehidupan seharihari setelah berusaha ia tetap menerima takdir, pasrah dan selalu bertawakkal kepada Allah Swt. 3. Masyarakat melayu dimasa Kesultanan Langkat banyak melakukan interaksi sosial dengan kalangan orang di luar Langkat. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengalaman menuju perubahan yang lebih baik menjadi hal terpenting bagi masyarakat Langkat ketika itu, maka falsafah hidup yang selalu mementingkan penegakan hukum menjadi ciri khas melayu langkat. 4. Diseganinya kerajaan Melayu Langkat sebagai kerajaan Islam di Sumatera Timur oleh kalangan kolega dagang, disebabkan bahwa kesultanan Langkat memegang falsafah hidup yang mengharuskan setiap manusia melayu mengutamakan budi dan bahasa, hal ini menunjukkan sopan-santun dan tinggi peradaban orang Melayu. 5. Alasan dibangunnya lembaga pendidikan Mahmudiyah di masa Kesultanan Langkat menunjukkan bahwa falsafah hidup orang melayu harus mengutamakan pendidikan dan ilmu. 6. Falsafah hidup melayu sangat berkaitan erat dengan budaya-melayu, oleh karenanya ciri-ciri tersebut dapat diperhatikan pada setiap orang melayu jika bercakap tidak kasar, berbaju menutup aurat, menjauhkan pantangan larangan dan dosa dan biar mati dari pada menanggung malu dirinya atau keluarganya, karena bisa menjatuhkan marwah keturunannya sebaliknya tidak dengan kasar mempermalukan orang lain. 28Genealogis adalah persamaan keturunan darah.
111 7. Falsafah hidup masyarakat melayu di masa Kesultanan Langkat adalah kegiatan musyawarah dan mufakat sebagai sendi kehidupan sosial kemasyarakatan melayu Langkat. Gambaran tersebut dapat diperhatikan pada acara perkawinan, kematian, selamatan mendirikan rumah dan lain-lain. Falsafah musyawarah dan mufakat ini merupakan ciri khas yang harus dipelihara terlebih terhadap kalangan kerabat atau handai taulan. 8. Kemajemukan masyarakat Langkat dengan sejumlah keragaman suku dan etnis yang senantiasa berdampingan dengan rukun sangat dipengaruhi oleh falsafah hidup melayu yang ramah dan terbuka kepada tamu, keramahtamahan dan keterbukaan orang Melayu terhadap segala pendatang (tamu) terutama yang beragama Islam.29 D. Falsafah-Falsafah dalam Kesultanan Langkat Hidupnya falsafah-falsafah masyarakat Melayu dalam sejarah Kesultanan Langkat mengandung arti berlakunya kepercayaan masyarakat Melayu Langkat pada sisi kehidupan yang paling dasar dan universal. Sebab, dengan adanya falsafah-falsafah tersebut masyarakat dapat mencari solusi, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat dalam menjalankan kehidupan bagi masyarakat Melayu, baik dalam beragama, berbudaya, bersosial, maupun berpengetahun. Adalah sasuatu yang penting untuk memahami dan mengenal falsafah hidup masyarakat Melayu Langkat dalam sejarah Kesultanan Langkat karena falsafah hidup masyarakat Melayu merupakan pandangan hidup mereka terhadap dunianya. Pandangan hidup ini menjadi azas dalam keputusan yang mereka perbuat setiap harinya, dan juga untuk mencari tahu tujuan 29Hasil wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 12 Juni 2018, dan Bapak Haz pada tanggal 14 Juni 2018. Beliau menambahkan bahwa Melayu dalam arti kata yang sebenarnya yaitu kepribadian dari batinnya yang patut kita warisi bukan hanya bersandar akan tubuh fisikalnya saja yang menjadi takrif akan arti Melayu itu. Inilah fitrah kita orang Melayu mewarisi akan nilainya sebagai Melayu dari mereka keturunan kita yang hebat ketika dahulu.
112 dalam kehidupan masyarakat Melayu Langkat dalam kesehariannya.30 Sejarah merupakan guru yang membimbing dan mengarahkan masa depan, maka petuah-petuah yang ada dalam budaya Kesultanan Langkat dapat menjadi inspirasi masyarakat Langkat terkini. Keinginan mengetahui hal-hal tentang pengalaman bathin maka kesultanan Langkat menyediakan lembaga Babussalam sebagai sarananya. Lalu masyarakatnya diperintahkan atau dianjurkan mengerjakan sesuatu, maka kesultanan menyediakan aturan dari agama Islam sebagai solusinya. Selanjutnya bagaimana pengharapan masyarakat Melayu Langkat untuk masa yang akan datang, kesultanan Langkat menyediakan lembaga pendidikan Jamaiyah Mahmudiyah dan Masjid Azizi sebagai tempat mengadu. Demikianlah simbol-simbol filosofi sosial keagamaan sejarah masyarakat Melayu Langkat di masa Kesultanan Langkat. Seiring penjelasan di atas, maka sejarah Kesultanan Langkat dalam menjalankan pemerintahannya sangat terikat dengan falsafah hidup masyarakat Melayu Langkat. Oleh karena itu, ketika Hindia-Belanda memberikan kebebasan bagi Kesultanan Langkat menjalankan adat dan istiadat kehidupan berbudaya masyarakatnya merupakan pengakuan identitas yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kesultanan Langkat yang dikenal dengan adat-istiadat Melayu, bahasa Melayu, dan agama Islam merupakan simbol sejarah yang hingga kini patut untuk dilestarikan. Menurut Zainal bahwa ketiga hal tersebut (adat-sitiadat, bahasa Melayu, agama Islam) merupakan kepribadian orang Melayu Langkat.31 Artinya adat-istiadat Melayu Langkat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah menjadi dasar bagi setiap individu Melayu Langkat dalam kehidupan hariannya. Penjelasan di atas menyiratkan norma sopan-santun dan tata pergaulan orang Melayu, terlebih ketika acara-acara berlangsung di dalam Kerajaan Kesultanan Langkat mengenai ungkapan, pepatah, perumpamaan, pantun, syair. Seiring penjelasan tersebut, sudah menjadi inspirasi bagi masyarakat Langkat bahwa Adat Bersandikan Syarak dan Syarak Bersandikan Kitabullah 30Wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 18 Juli 2018. 31Wawancara Zainal, tanggal 12 Juli 2018 di Pangkalan Brandan.
113 telah menjadi dasar masyarakat Melayu Langkat menjalani kehidupan sosial mereka baik antara sesama masyarakat Melayu Langkat maupun masyarakat lainnya terlebih terhadap orang asing semisal bangsa HindiaBelanda, Cina, Delhi ketika dalam sejarah Kesultanan Langkat. Falsafah Adat Bersandikian Syarak, dan Syarak Bersandikan Kitabullah merupakan alasan yang sangat mendasar bahwa wilayah Langkat dijuluki sebagai Kota Islam. Ketika Falsafah tersebut terbentuk di tengah-tengah mayoritas penduduknya yang menganut agama Islam, dan sangat kental akan budaya Islamnya32 maka kehadiran Islam sebagai agama pada kenyataannya tidak hanya bersifat kerohanian saja melainkan juga membawa konsepsi konsepsi kemasyarakatan, kebudayaan, kesenian, dan bahkan politik-kenegaraan. Oleh karenyanya dalam sejarah Kesultanan Langkat dikenal dengan istilah penyebutan “Islam itu adalah Melayu dan Melayu itu adalah Islam”. Gambaran bukti sejarah tersebut merupakan keberhasilan kesultanan Langkat menciptakan dasar-dasar agama Islam sebagai budaya hidup sehari-hari masyarakat Melayu. Falsafah masyarakat Melayu di masa Kesultanan Langkat dapat ditarik sebuah pengantar kalimat yang sangat begitu memukau dituliskan oleh T.H.M Lah Husny,33 antara lainnya: 1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah. 2. Melayu itu berbudaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku. 3. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional (kedaerahan)dalam bhineka tunggal ika, dengan tepung tawar, balai pulut kuning dan lain-lain yang mengikat tua dan muda. 4. Melayu itu berturai, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib34 mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan 32M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera Utara (Jakarta Selatan: Najm, 2011), h. 107. 33Buku Butir Butir Adat Melayu Pesisir Sumatera Timur yang disusun oleh T.H.M. Lah Husny. 34Rukun tertib yang dimaksudkan puak melayu adalah keadilan dan kebenaran yang harus dapat dirasa dan dilihat.
114 dengan harga menghargai timbal balik, bebas tapi terikat dalam masyarakat. 5. Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebathinan (agama dan mistik), agar bermarwah dan disegani orang, untuk kebaikan umum.35 Kebijakan-kebijakan pemerintahan Kesultanan Langkat dengan mengambil falsafah kehidupan sosial budaya keberagamaannya dikarenakan beberapa hal antara lainnya: 1. Islam tidak bertentangan dengan masyarakat yang berperikemanusiaan dan yang ber-Tuhan di kalangan masyarakat Melayu Langkat 2. Budaya tidak bertentangan dengan masyarakat Melayu yang ingin beradab dan mengingkat lahiriah dan batiniah. 3. Adat tak bertentangan dengan peradaban masyarakat Melayu Langkat yang ada rasa kekeluargaan, bukan individualistis. 4. Berturai tak bertentangan dengan masyarakat Melayu Langkat yang tahu harga diri, yang ingin kebenaran, keadilan dan kemakmuran yang merata dalam kehidupan. 5. Berilmu tak bertentangan dengan masyarakat Melayu Langkat yang ingin maju untuk kepentingan diri dan masyarakatnya. Bukti tersebut dapat diperhatikan Masjid Azizi dan Lembaga pendidikan Mahmudiyah merupakan simbol pengabdian pada Allah, manusia dan lingkungan, untuk kebahagiaan diri sekarang dan pada nantinya. Sejumlah falsafah-falsafah kehidupan masyarakat Melayu pada masa Kesultanan Langkat tidak terlepas dari penerapan syariat Islam oleh Kesultanan. Kalangan guru-guru agama Islam selain dijadikan sebagai sosok yang mengeluarkan patuah-patuah dalam bentuk nasehat-nasehat kepada Sultan mereka juga dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Falsafah Melayu yang terdapat dalam pemerintahan Sultan Langkat juga hidup sebagai sistem kehidupan masyarakat melayu Langkat, seluruh 35Sebagaimana hal juga yang dituliskan oleh Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12-13.
115 warga yang berada dalam perlindungan Sultan Langkat terikat dengan adat Resam Melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam. Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan atau yang diatur dalam agama Islam berangsur-angsur akan dihilangkan. Jadi falsafah hidup yang tertuang dalam adat resam36 melayu adalah adat dan kebiasaan masyarakat melayu yang telah diislamisasi. Oleh karena itu, peran guru-guru agama cukup besar dalam menginternalisasi falsafah nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat Langkat. 36Artinya perasaan. Resam ini tercermin di dalam setiap gerak kehidupan orang Melayu. Lihat Bungaran Antonius Simanjuntak, Melayu Pesisir., h. 12.
116
117 BAGIAN KEENAM REVOLUSI SOSIAL DI KESULTANAN LANGKAT DAN KONTRIBUSI KESULTANAN LANGKAT UNTUK NKRI A. Latar Belakang Revolusi Sosial Dalam mewujudkan suatu negara baru bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi di wilayah bakal negara baru tersebut terdapat kerajaan-kerajaan yang telah lama berkuasa. Ketika kerajaan-kerajaan tersebut harus bergabung dan berada di bawah satu kekuasaan negara baru, sebagian di antaranya menyatakan tidak setuju. Akibatnya, muncullah revolusi sosial mengikis bentuk-bentuk kekuasaan lama dan menciptakan bentuk dan sistem baru. Peristiwa seperti ini pun terjadi setelah Negara Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Salah satu peristiwa revolusi sosial tersebut terjadi di Langkat. Langkat adalah salah satu wilayah yang disebutkan dalam peristiwa revolusi sosial. Di sana, banyak raja-raja dan diturunkan dan dibunuh. Raja yang ada di Langkat adalah bangsa Melayu. Revolusi sosial di Langkat adalah suatu proses perubahan yang tidak banyak diketahui oleh rakyat,
118 begitu pula dengan penyebabnya. Yang diketahui oleh rakyat hanyalah raja-raja yang diturunkan dari jabatannya. Akibat revolusi sosial di Sumatera Timur, 34 orang keluarga Sultan Langkat dibunuh dan bangsa Melayu yang terlibat dalam pemerintahan kesultanan menjadi sasaran dari peristiwa revolusi sosial.1 Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan di Sumatera mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret 1946, tidak terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik pandai, bahkan rakyat kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak dari kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Di Asahan, dikabarkan telah jatuh korban jiwa sebanyak 15 ribu orang, demikian juga pada tempattempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai tempat pembantaian paling parah. Dengan demikian berakhirlah riwayat kesultanan Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat. Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Demi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat diharapkan dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung terus, tapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi, karena kekuasaan tersebut telah diserkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Berlakukan situasi “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).” Dalam mewujudkan suatu Negara baru hasil perjuangan bangsa yang dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945, bukanlah hal yang mudah semudah apa yang direncanakan. Terlebih lagi di Negara tersebut telah ada dan telah beratus tahun tumbuh yakni negara-negara kerajaan yang 1Andika Bakti, “Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur Di Kesultanan Langkat Dalam Surat Kabar (Analisis Framing tentang Konstruksi Melayu Saat Revolusi Sosial Sumatera Timur di Kesultanan Langkat dalam Surat Kabar Pandji Ra’jat)”, https:// jurnal.usu.ac.id. Dilihat pada 12 September 2018.
119 telah lama berkuasa dan mempunyai wewenang secara otonomi sendiri. Tiba-tiba saja kerajaan-kerajaan ini harus dipaksakan untuk bergabung dan berada di bawah satu kekuasaan rakyat dalam satu negara republik, pastilah hal ini tidak disetujui oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Maka satusatunya jalan untuk mewujudkan hal tersebut diatas adalah dengan jalan revolusi dengan secara paksa mengikis habis bentuk-bentuk lama dan menciptakan bentuk dan sistem baru sesuai dari yang direncanakan. Seperti yang terjadi pada revolusi sosial di Sumatera Timur dan Langkat mempunyai Latar belakang sebagai berikut: 1. Adanya kendala yang dialami dalam mewujudkan Pengumuman Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 serta upaya pembentukan Pemerintah RI dengan Komite Nasionalnya di Sumatera Timur disesabkan Para Raja dan Sultan kerajaan menolak dan tidak mendukung sama sekali, kalau pun mendukung sifatnya kamuflase belaka. Hal ini dapat dibuktikan ketika Dr. M.Amir selaku anggota panitia persiapan Kemerdekaan Indonesia yang pada tanggal 3 September 1945, mengundang tokoh-tokoh Tyou SangiKai (badan Permusyaratan sejenis DPR ala Jepang) yang anggotanya adalah Para Raja dan Sultan se Sumatera Timur serta Amtenaren dimana mereka menolak untuk mendukung pemerintahan RI di Sumatera Timur, satu satunya sultan yang mendukung adalah Tengku Syarif Kasim Sri Indrapura Kerajaan Siak. 2. Informasi tentang gagalnya kebijakan yang ditempuh oleh Mr. T.M. Hasan dan Dr. M.Amir pada point di atas telah diketahui oleh pemuda dan Rakyat, sudah tidak menjadi rahasia umum lagi sehingga menimbulkan emosi terpendam bagi rakyat. 3. Setelah diumumkan secara resmi oleh Syou Tyouskan Kaka Gunseikanbu Tashuro Nakasima Gubnur Militer Jepang untuk Sumatera Timur dalam siding Tyou Sangi Kai pada tanggal 24 Agustus 1945 di Medan membentuk Panitia penyambutan (comite van onstvangst) dalam menyambut kedatangan tentara sekutu (tentara Inggris dan Belanda) untuk kembali menjajah Indonesia. Panitia ini di ketuai Sultan Mahmud Abdul Azis dan Dr. Mansyur sebagai wakil ketua.
120 4. Mr.T.Hasan telah menyadari kekeliuran selama ini untuk mewujudkan proklamasi 17 Agustus 1945 di Sumatera Timur dan pembentukan Pemerintahan RI Sumatera Timur serta pembentukan Komite Nasional tertunda sampai 30 hari. Dengan terbentuknya Barisan Pemuda yang merupakan tulang punggung pemerintah Ri di Sumatera Timur, maka tanggal 3 Oktober 1946 dengan resmi diumumkan Pemerintah RI Provinsi Sumatera dengan Gubernur dan wakil Mr.T.M.Hasan dan Dr. M. Amir. Dan hari itu juga ditetapkan pengangkatan staf gubernur para presiden se Sumatera, antara lain: Tengku Nya Arif residen Aceh, Luat Siregar residen Wali Kota Medan, Tengku Hafas residen Sumatera Timur, dr.F.L. Tobing Residen Tapanuli, Dr. M.Syafei Residen Sumatera Barat, Ir. Indra Cahaya Residen Bengkulu, Dr. Amiruddin residen Riau, Mr. Abbas residen Lampung, M.A. Ayarief residen Bangka Belitung dan Dr.A.K Gani residen Sumatera Selatan. Serta keesokan harinya tanggal 4 oktober 1945, Gubernur Sumatera untuk pertama sekali mengeluarkan pernyataan sebagai berikut: “ semangat rakyat Indonesia dewasa ini sesudah perang pasifik adalah sangat berbeda sekali dengan semangat sebelum perang pasifik”. 5. Keberadaan tentara Inggris dan Belanda dibawah komando Brigjen TED Kelly telah memperburuk suasana, dengan sengaja melakukan teror dan provokasi memancing terjadinya bentrok dan pertempuran di Kota Medan. Dengan hasutan Nica Raja-Raja dan Sultan SeSumatera Timur telah dibentuk pula organisasi PADI (Persatuan Anak Deli Islam) dengan ketuanya Dr.T.Mansyur, Raja Kaimsyah Sinaga, T.hafas dan OK.Ramli. Melalui PADI dibentuk pula pasukan ke 5 (vijfd kolone) yang dipersenjatai pihak NICA. Adanya Maklumat tanggal 1 Desember 1945 yang ditanda tangani bersama Mayjen H.M Chambers Panglima Inggris dan Jenderal Tanabe Panglima tentara Jepang di Sumatera dengan isi Maklumat yaitu: a. Segala tempat-tempat, kota-kota yang belum diduduki tentara Inggris mesti diserahkan kembali kepada tentara Jepang. b. Tentara Jepang akan menjaga pengawalan dan keamanan dengan jumlah tentara yang telah ditentukan.
121 c. Tentara Jepang melaksanakan perintah sipil. Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, jelas bahwa Inggris tidak mengakui kedaulatan RI, tentulah menimbulkan kemarahan Rakyat. Usaha terakhir dilakukan Gubernur Sumatera tanggal 3 Februari 1946 dengan mengundang para sultan, raja-raja dan Sibayak-Sibayak se Sumatera dan hasilnya tidak merubah paham politik raja-raja yang memihak kepada Nica. B. Terjadinya Revolusi Sosial Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Provinsi Sumatera dan Barisan Pemuda serta latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas, emosi dan kemarahan Rakyat tidak terbendung. Maka pada 3 Maret 1946 terjadilah apa yang disebut revolusi sosial di Sumatera Timur.186 Rakyat menuntut agar membubarkan pemerintahan istimewa (Sistem kerajaan di Sumatera Timur) serta mendirikan pemerintahan dari rakyat untuk rakyat. Revolusi sosial ini ditujukan kepada orang-orang dan golongan yang ternyata berkhianat kepada bangsa dan tanah air Indonesia, rakyat mulai menyerang istana Raja-raja Deli, Langkat, Asahan, Siantar, Tanah Karo dan lain-lain. Sementara itu Sultan Deli yang berada di Istana Maimun 2Sultan Langkat, Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmatsyah sempat memaparkan sejarah singkat Revolusi Sosial 1946. Revolusi Sosial Sumatera Timur merupakan gerakan sosial dalam melenyapkan kebaradaan Kesultanan dan Kerajaan Melayu. Revolusi ini dipicu gerakan kaum Komunis yang berusaha menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme dengan melibatkan sejumlah orang secara terorganisir. Dalam peristiwa itu, terjadi pembunuhan sejumlah Sultan dan keluarganya, golongan menengah pro republik dan pimpinan lokal administrasi Rebublik Indonesia. Seperti yang terjadi di Kesultanan Kualuh, salah satu Kerajaan Melayu yang berada di Tanjung Pasir, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) pada 3 Maret 1946 lalu. Sultan Kualuh, Tuanku Al Hadji Moehammad Sjah diseret saat sedang salat malam di rumahnya oleh sekelompok orang, kemudian di bawa ke kawasan Kuburan Cina, sebuah komplek perkuburan etnis Tionghoa. Kelompok orang bersenjata tajam juga membawa Tengku Mansyoer Sjah gelar Tengku Besar, putera Sultan Kualuh ke lokasi yang sama. Demikian juga Tengku Dirman Sjah, adik kandung Tengku Mansyoer Sjah. Ketiganya kemudian disiksa lalu ditinggalkan begitu saja dalam keadaan sekarat. Beruntung, pada pagi hari seorang nelayan yang sedang melintas menemukan ketiganya kemudian membawa ke para korban ke istana untuk mendapatkan perawatan. Sekitar pukul 11 siang, datang sekelompok orang berbeda menjemput ketiganya dengan alasan akan membawa ke rumah sakit. Sejarawan Melayu Tengku
122 dapat terlindungi dari amukan rakyat dengan digelarnya revolusi sosial dikerenakan Istana Maimun berada dalam pendudukan serdadu Inggris di Haris Abdullah Sinar dalam sebuah literatur mengatakan, para petinggi Kesultanan Kualuh tersebut dibunuh saat azan sedang berkumandang.”Saat hendak dibunuh, Tuanku sempat berkata; Bila kalian hendak membunuh kami, tunggulah Obang (azan) selesai dikumandangkan dan izinkan kami sembahyang sekejap,” pinta Tuanku saat itu. Permintaan tersebut tidak dikabulkan. Sultan Kualuh dan kedua puteranya tewas dibunuh. Peristiwa serupa juga terjadi di Kesultanan Panai, Kota Pinang, Negeri Padang Tebing Tinggi dan Kesultanan Bilah yang menewaskan Tuanku Hasnan. Kesultanan Langkat juga mengalami nasib serupa. Tidak sedikit perempuan keluarga Kesultanan diperkosa dihadapan orangtua dan keluarganya. Sedangkan lelaki dibantai dengan sadis. Akibatnya, Kesultanan Langkat banyak kehilangan petinggi kerajaan dan sejumlah pakar. Dalam peristiwa ini, seorang sastrawan Tengku Amir Hamzah, Pangeran Langkat Hulu dan Wakil Pemerintah Republik Indonesia saat itu, turut terbunuh. Peristiwa pembunuhan Tengku Amir Hamzah terjadi pada 7 Maret 1946. Dalam peristiwa itu, Tengku Amir Hamzah dan sejumlah petinggi Kesultanan Langkat dijemput paksa menggunakan truk terbuka oleh sekelompok orang kemudian di kumpulkan di Jalan Imam Bonjol, Binjai. Bersama tahanan lainnya, Tengku Amir Hamzah disiksa kemudian dibunuh di perladangan di kawasan Kuala Begumit oleh Mandor Iyang Wijaya yang tidak lain adalah pelatih kesenian silat kuntau Istana Langkat. Sebelum melakukan pembunuhan, algojo mengabulkan dua permintaan Tengku Amir Hamzah. Pertama; Tengku Amir Hamzah minta penutup matanya dibuka karena ingin menghadapi ajal dengan mata terbuka. Kedua; Tengku Amir Hamzah meminta waktu untuk salat sebelum hukuman dijatuhkan. Pembantaian dan pembunuhan juga terjadi di Negeri Padang, salah satu Kerajaan Melayu di Tebing Tinggi pada 3 Maret 1946. Dalam peristiwa ini, cucu Tengki Tebing Pangeran, Tengku Sortia, tewas ditangan sekelompok orang. Peristiwa terjadi saat Tengku Sortia sedang sholat di rumahnya di kawasan Tongkah, perkebunan tembakau milik kerajaan Negeri Padang, bersama isterinya Puang Maimunah. Perkebunan Tongkah berada diantara Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai (Sergai). Tengku Sortia diseret dari rumah kemudian dibunuh. Jasadnya dihanyutkan ke sungai tidak jauh dari rumahnya. Di malam yang sama, 3 Maret 1946, Kesultanan Asahan di Tanjung Balai juga mengalami nasib serupa. Sebelum azan Shubuh berkumandang, Tengku Muhammad Yasir menyambut sang ayah di rumahnya yang baru tiba dari istana setelah bersiaga akibat tersiar khabar akan terjadi penyerangan. Rumah Cucu Sultan Asahan X ini berada di lingkungan Istana Kesultanan Asahan, di lingkaran Kota Raja Indra Sakti yang ditengahnya terhampar lapangan hijau. Tengku Muhammad Yasir yang saat itu masih berusia 15 tahun, melihat sejumlah orang mengendap-endap kea rah istana saat membukakan pintu untuk ayahnya. Karena takut, Tengku Muhammad Yasir kemudian masuk ke dalam rumah bersama ayahnya. Pukul 6 pagi, Istana Kesultanan Asahan diserang sekelompok orang. Sultan Asahan saat itu, Tuanku Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, berhasil melarikan diri melalui pintu belakang istana. Satu jam kemudian, sekelompok orang datang ke rumah Tengku Muhammad Yasir dan membawa ayahnya. Tengku Muhammad Yasir tidak turut di bawa karena sedang menderita sakit pada bagian
123 mana pasukan sekutu menempatkan markas mereka di istana Maimun, sehingga gerakan revolusi sosial ini tidak sanggup menyerang Istana Maimun. Pada hari itu juga setelah digelarnya revolusi sosial wakil gubernur Sumatera tanggal 5 Maret 1946 mengeluarkan pernyataan sebagai berikut dengan tiba-tiba rakyat di seluruh Sumatera Timur telah bertindak menegakkan revolusi sosial yang maha hebat. 1. Tindakan rakyat yang menyapu bersih segala musuh-musuh Negara RI di dalam negeri saya ucapkan terima kasih dengan perasaan syukur, dengan harapan segala tindakan diperhitungkan laba dan ruginya dan dilakukan dengn prikemanusiaan untuk menghindarkan korban revulusi sosial sedikit mungkin. 2. Kepada rakyat diharapkan tetap aman dan bekerja ditempatnya masingmasing seperti biasa agar pemerintah RI berjalan lancar, saya yakin yang tidak berdosa kepada bangsa dan tanah air tidak akan mendapat gangguan dari pihak manapun. 3. Kepada bangsa asing untuk tidak mencampuri revolusi sosial bersikap tidak memihak dan loyal terhadap Negara RI. 4. Dalam situasi yang genting ini perlu diambil tindakan yang luar biasa, susunan dan cara kerja pemerintah Provinsi Sumatera akan dirubah sesuai dengan Undang-Undang dasar dan keinginan rakyat. Sehubungan dengan itu pemerintah keresidenan sumatera Timur, mulai hari ini 5 Maret 1946 dilaksanakan oleh M.Yunus Nasution sebagai Residen Sumatera Timur menggantikan T.hafas. dalam tugasnya M. Yunus Nasution dibantu oleh Badan Pekerja Komite Nasional Sumatera kaki yang mengalami pembusukan hingga mengeluarkan aroma tidak sedap. Pasca penangkapan ayahnya, Tengku Muhammad Yasir menyelamatkan diri ke rumah kakak sepupunya, Tengku Haniah. Ternyata, Tengku Muhammad Yasir tidak menemukan seorangpun lelaki di rumah itu. Semua telah ditangkap sekelompok orang. Dokumen Belanda memperkirakan, pembantaian di wilayah Kesultanan Asahan tahun 1946 menelan korban mencapai 1.200 orang. Belum lagi di sejumlah Kerajaan Melayu dan Kesultanan di Sumatera Timur lainnya. Banyak kerangka korban yang terkubur tak beraturan di Sungai Londir. Bahkan ada di dinding-dinding tanah. http://beritasumut.com/peristiwa/ Mengenang-70-Tahun-Revolusi-Sosial-Sumatera-Timur.
124 Timur dan Badan Persatuan Perjuangan (Volksvront) serta membantu Mr. Luat Siregar dalam menyusun kembali pemerintah RI di daerahdaerah. Revolusi sosial sudah menjalar mulai dari Langkat sampai ke Kualuh dan Rantau Perapat, pasukan Jepang yang berada di daerah memang tidak mencampuri sama sekali.Gejolak revulusi sosial diawali tanggal 3 Maret 1946 pukul 20.00 wib dengan menculik beberapa tokoh feodalis Kerajaan Langkat yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa semuanya diculik bahkan beberapa orang dibunuh di antaranya adalah Sekretaris Sultan Langkat Datuk M.Jamil yang sangat radikal memihak pada Pemerintahan Kolonial Belanda, ketika akan dibawa ia mencoba membela diri serta menghadang rombongan yang akan memasuki istana, akhirnya Datuk Jamil tewas dibunuh. Dalam penyerangan yang mengatas namakan rakyat ini dipelopori oleh tokoh Partai Komunis PKI Langkat yaitu Usman Parinduri, Marwan, Sanusi dan Arifin Enesri serta dilapisi baris kedua dari tokoh Pesindo Langkat, sementara itu pihak Partai MASYUMI Langkat memang tidak ikut campur tangan sama sekali, malam itu juga partai Masyumi yang dikoordinir oleh Pimpinannya Syekh H.Abdullah Afifuddin dan Syekh Abdurrahim Abdullah berkumpul di Masjid Azizi sebanyak lebih 300 orang anggota Masyumi berkurung di Masjid Azizi untuk tidak mencampuri kegiatan revolusi sosial ini yang di gelar malam itu. Sebab antara Masyumi dengan PKI memang bersebrangan jalan dan bersebrangan ideologi. Masyumi adalah partai Islam yang berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasul dan memang dilarang untuk merampok apalagi membunuh orang-orang yang memang belum tentu bersalah. Sementara PKI adalah Partai Komunis memang tidak mengenal agama sama sekali dengan dapat demikian menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi ataupun kelompok. Yang sangat menyedihkan serta menyayat hati adalah sifat kebinatangan dari beberapa tokoh PKI ini di antaranya Usman Parinduri dan Marwan dalam melakukan penyerangan di Istana Sultan Langkat di samping mengambil kesempatan merampok atau menjarah perhiasan emas milik permaisuri dan putri Sultan Mahmud bahkan memperkosa dua orang putri Sultan Mahmud. Inilah makna dan hikmah dari revolusi sosial
125 di atas suatu perjuangan suci dalam menegakkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang menjiwai proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 3 Maret 1946 pukul 20.00 malam itu juga dilakukan penangkapan kepada Sultan Mahmud Abdul Azis selaku Sultan Langkat beserta keluarganya di istana Sultan Langkat di Tanjung Pura, Sultan Mahmud serta putra mahkotanya T.Musa dan permaisurinya dilakukan tahanan rumah, sementara para pembesar kerajaan dan pengawal diculik bahkan dibunuh di tempat, sehingga banyak memakan korban di pihak kerabat istana Sultan Langkat termasuk Mr. Darus Umar seorang komponis kerajaan Langkat yang hingga kini tidak tahu di mana pusaranya. Beberapa hari kemudian tanggal 6 Maret 1946 Sultan Mahmud beserta permaisuri dan putra Mahkotanya T. Musa diculik oleh tokoh PKI ini dan dibawa ke Batang Serangan, karena kantor perkebunan Batang Serangan ini merupakan Markas PKI. Serta beberapa hari kemudian Sultan Mahmud beserta permaisuri dan putra mahkotanya T.Musa dijemput oleh kelompok Volkvront dan dibawa ketahanan Brastagi. Perampokan dan Penjarahan harta benda milik Sultan dari istananya di Tanjung Pura tidak mengherankan lagi, tokoh pergerakan yang mengatas namakan amarah rakyat tentulah mencari kepentingan dan keuntunga pribadi di dalam suatu kesempatan yang sangat berarti bagi mereka. Apakah wajar dari satu kesalahan beberapa pembesar negeri Kesultanan Langkat yang tidak mendukung berdirinya sebuah Negara republik hasil keringat dari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, lalu orang yang berada di sekitarnya yang memang tidak mengerti sama sekali ikut menjadi korban penculikan, pembunuhan, dan pemerkosaan. Apakah demikian rencana sebuah revolusi digelar, orang-orang yang tidak bersalah ikut rantan menjadi korban. Namun itulah resiko dari suatu revolusi. Sementara itu Bung Karno dalam suatu kesempatan pernah berpidato “revolusi kita adalah revolusi nasional dan bukan revolusi sosial yang saling menghancurkan”. Setelah beberapa hari terjadinya revolusi sosial di istana Sultan Langkat dengan korban keluarga besar Sultan Mahmud, maka oleh Volkfront Langkat di antaranya, Amar Hanadiah, Ibnu Ja’Far Syekh. H. Abdullah Afifuddin, Syekh H. Abdurrahim, Mahmuddin, dan lain lain mengevaluasi dari
126 keuntungan pribadi seperti Arifin Esneri, Usman Parinduri, Marwan, dan Sanusi ditangkap oleh Volkfront. Kepada Arifin Esneri ditugaskan jika kesalahan ingin dimaafkan lakukan hukum tembak kepada pelaku pemerkosa putri Sultan Langkat. Oleh Arifin Esneri membujuk ketiga temannya Usman Parinduri dan Marwan untuk bersama ke Batang Serangan dalam melaksanakan satu tugas, tanpa ada kecurigaan keduanya mengikuti ajakan Arifin Esneri, sesampai di Tanjung Selamat keduanya dibunuh oleh Arifin Esneri dengan tembakan pistol. Tengku Amir Hamzah semasa hidupnya ketika masih menjadi mahasiswa di Jakarta dikenal oleh Sastrawan teman seangkatannya sebagai raja Penyair Pujangga Baru. Di dalam dunia penyair dan sastrawan beliau termasuk angkatan tahun 20-an, karena kemampuan beliau mempermainkan kata dengan kalimat sastranya dalam karya puisi yang diciptakan yang terkadang puisinya dianggap misteri, namun ada yang beranggapan Amir Hamzah beraliran sufi. Dalam aktivitasnya ketika menuntut ilmu di Pulau Jawa, beliau termasuk orang pergerakan dalam menuju Indonesia merdeka, ketika pulang ke kampung halaman di negeri Langkat diawal kemerdekaan beliau diangkat menjadi asisten residen wilayah Langkat dalam sebuah Negara Republik Indonesia. Namun sayang seperti pepatah Melayu mengatakan tuah ada celaka menanti, fitnah menerpa dirinya ia pun dituduh sebagai pengkhianat bangsa yang akhirnya hidup diterpa hukuman pancung tanpa terlebih dahulu diadili dalam suatu Mahkamah Pengadilan benar ia bersalah atau tidak. Tengku Amir Hamzah dengan panggilan kecilnya Tengku Bungsu lahir di Tanjung Pura pada tanggal 11 Februari 1911 dari pasangan ayah dan bundanya T. Pangeran Adil dan T. Mah Jiwa. Amir Hamzah masih keturunan dan pewaris dari tahta Kerajaan Langkat. Kakek kandungnya adalah Tengku Hamzah atau Tengku Sulung putra tertua dari Tengku Musa (Sultan Musa). Sejak kecil ia telah diajarkan tentang nilai luhur budaya adat Melayu dan nilai Islam. Ia mulai menapaki jenjang pendidikan di HIS Tanjung Pura, kemudian melanjutkan ke MULO Medan hanya satu tahun lalu meneruskannya ke MULO Jakarta. Usai dari Mulo Jakarta Amir Hamzah melanjutkan pendidikan AMS ketimuran Solo. Selama berada di Solo beliau aktif dalam pergerakan
127 kebangsaan menuju Indonesia merdeka, ketika itu pergerakan kebangsaan ini masih bersifat kedaerahan seperti adanya Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Java, Jong Batavia, Jong Sumatera, Jong Bataksbon, dan lain sebagainya. Atas kesadaran dan kesepakatan mereka bersama organisasi kedaerahan tersebut dilebur menjadi satu dengan nama gerakan Indonesia Muda. Ketika dilaksanakan kongres Indonesia Muda di Solo tanggal 29 Desember 1930 sampai 2 Januari 1931, Amir Hamzah terpilih sebagai ketua delegasi Solo. Setelah menamatkan pendidikan AMS di Solo, beliau melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Jakarta yaitu di Sekolah Hakim Tertinggi Recht Hoge School (RHS) Jakarta tahun 1932. Ketika di Jakarta inilah Amir Hamzah mulai aktif dalam kancah politik bersama kaum pergerakan dan tokoh Pemuda Nasional seperti Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Rustam Efendi, Syafruddin Prawiranegara, Armin Pane serta Sutan Takdir Ali Syahbana teman satu kamarnya rumah kontrakan di jalan Sabang Jakarta. Tahun pertama pendidikannya di RHS ibunya meninggal dunia, namun tidak menurunkan semangatnya untuk belajar. Sambil kuliah ia juga aktif menulis di Majalah Timbul dan Majalah Pujangga Baru bersama teman dekatnya Sutan Takdit Ali Syahbana, Armin Pane dan Achdiat Kartamiharja. Di samping tulisan sastra dan puisi ia juga menulis artikel politik yang mengarah pada kritikan tajam terhadap pemerintahan Belanda, namun dalam tulisan ia selalu menggunakan nama samaran. Ketika pendidikannya berada tahun ketiga ayahnya T. Pangeran Adil wafat, biaya perkuliahan pun terputus, terpaksa Amir Hamzah menjadi guru honorer di Perguruan Taman Siswa dan Perguruan Muhammadiyah Jakarta demi menunjang biaya perkuliahan. Pada hal sekolah-sekolah Belanda yang ada di Jakarta menawarkan padanya untuk menjadi guru dan akan diberi beasiswa melanjutkan studi ke Nederland. Namun Amir Hamzah menolaknya, ia lebih senang menjadi guru di sekolah kebangsaan negeri seperti Taman Siswa dan Perguruan Muhammadiyah. Beberapa bulan setelah wafat ayahnya T Pangeran Adil, oleh Sultan Langkat mengambil alih tanggung jawab biaya perkuliahan Amir Hamzah. Gerak gerik aktivitas politik organisasi pergerakan dan tulisan
128 tajamnya di majalah Timbul dan Pujangga Baru, diketahui oleh pemerintahan Belanda lalu melaporkan hal tersebut kepada Tengku Mahmud Abdul Azis selaku sultan Langkat agar Amir Hamzah ditegur dan dinasehati. Kemudian Sultan Langkat mengirim surat agar Amir Hamzah pulang sejenak halamannya di Tanah Langkat. Sesampai di Kerajaan Langkat di hadapan kerabat Kesultanan Amir mendapat teguran keras dari Sultan Mahmud yang merupakan pamannya sendiri, ia diberi dua pilihan terus kuliah dan dibiayai oleh sultan serta menghentikan aktivitas politiknya atau terus berpolitik dan Kerajaan Langkat mendapat masalah dengan pemerintahan Belanda. Pilihan yang sangat berat bagi Amir Hamzah yang akhirnya ia kembali ke Jakarta meneruskan kuliah namun secara sembunyisembunyi ia terus aktif berpolitik dalam menentang Pemerintahan Belanda. Ia selalu berkonsultasi mencurahkan perasaan dan hati yang sedang dilanda keresahan untuk menghentikan perjuangan karena rintangan Sultan Langkat ini terutama kepada kekasihnya sendiri yaitu Ilik Sundari seorang gadis Solo juga ikut dalam dunia pergerakan. Gerak-gerik Amir Hamzah selama di Jakarta tetap diawasi oleh pemerintahan Belanda dan mengirim surat teguran kers kepada Sultan Langkat yang akhirnya Amir Hamzah terpaksa panggil Pulang dan menghentikan kuliahnya yang belum selesai. Amir Hamzah pun dinikahkan dengan putri Sultan Mahmud yaitu Tengku Kamaliah sehingga dengan terpaksa aktivitas politiknya terkubur, karena ia harus menetap di Tanjung Pura. Amir pun mendapat jabatan baru sebagai Raja Muda dengan gelar Tengku Pangeran Indra Putra Kesultanan Langkat. Sejak itu pula semangatnya hilang jiwanya seakan mati lalu terhimpunalah puisi puisinya dalam kumpulan puisi masing-masing buah rindu, nyanyi sunyi, dan setanggi Timur. Ketika Amir Hamzah dipaksa pulang ke Langkat menghentikan kuliah dan cita-cita politiknya menuju Indonesia merdeka lalu dipaksa menikah dengan putri pamannya adalah orang yang dianggap berjasa dalam hidupnya, maka sejak itu pula dirinya terbelenggu, dia pasrahkan jiwanya dan jasadnya untuk kepentingan paman sekaligus mertuanya Sultan Mahmud. Dirinya bagai boneka yang dipermainkan, ia benar-benar frustasi, perjuangan mencapai Karier kehidupan, perjuangannya mencapai
129 kemerdekaan, dan perjuangannya mencapai cinta dengan gadis Solo Ilik Sundari harus hancur begitu saja, yang terpikir di hatinya adalah kematian dan maut. Oleh sebab itu ketika tanggal 24 Oktober 1945 tim khusus pemerintahan republik yang dipimpim oleh DR. M. Amir Wakil Gubernur Sumatera melakukan perundingan mengangkat Amir Hamzah sebagai asisten residen wilayah Langkat, ia juga pasrah tanpa banyak protes, karena ini bukan kemauannya sang mertua. Lebih lengkap perundingan tersebut menghasilkan kesepakatan: 1. Bahwa Kesultanan Langkat di bawah perlindungan dan naungan pemerintahan Republik Indonesia, yaitu Gubernur Provinsi Sumatera. 2. Tengku Amir Hamzah diangkat dan ditetapkan menjadi asisten dari pemerintah RI untuk wilayah Langkat berkedudukan di Kota Binjai. Maka tanggal 26 oktober 1945 oleh Gubernur Sumatera dikelurakanlah surat keputusan penetapan dan pengangkatan Amir Hamzah sebgai asisten residen wilayah Langkat dan tanggal 29 Oktober 1945 dilaksanakan pelantikannya di Istana Sultan Langkat di Tanjung Pura. Belum tiga bulan jabatan itu dipikulnya, pada tanggal 31 Desember 1945 Amir Hamzah mendapat teguran keras dari residen Sumatera Timur M. Yunus Nasution yang mengantikan T. Hafas bahwa Amir dituduh masih menjalin hubungan dengan pemerintahan Belanda (Nica) yang ada di Medan, antara lain tuduhan tersebut: 1. Tanggal 1 Desember 1945 T. Amir Hamzah bersama Datuk M. Jamil sekretaris Sultan Langkat menemui Dr. AJ Oranje Van Der Beck residen Hindia Belanda (Nica) “ comite van ontvangst” oranje boven Sumatera Timur bertempat di Hotel Boer (Darma Deli) Medan. 2. Tanggal 7 Desember 1945 pukul 07.00 wib di depan istana Sultan Langkat di Binjai, sudah terpasang spanduk yang berisikan selamat datang buat pemerintahan NICA. 3. Pembentukan pasukan ke-5 yang dipimpin oleh Raja Ngena Sitepu Kepala Polisi Luhak Langkat Hulu Kerajaan Langkat serta persenjataan mendapat bantuan oleh Ch.Ovan Der Plank kepal polisi istimewa Balanda Sumatera Timur Medan. M. Yunus Nasution selaku residen Sumatera Timur memberi
130 peringatan keras kepada Amir Hamzah dan diberi waktu memperbaiki sikap, jika masih tetap melakukan hubungan dengan pemerintah Belanda maka kedudukan sebagai asisten residen wilayah Langkat akan dicopot. Sebenarnya Amir Hamzah mencoba untuk memperbaiki, namun dibelakang beliau ada satu figur yang sangat mempengaruhi aktivitasnya di samping Sultan Langkat adalah Datuk M. Jamil yang sangat kontra pada republik dan terus menjilat pada NICA. Amir Hamzah adalah sosok manusia yang sedikit tertutup, sehingga prinsipnya sulit untuk dimengerti. Terlebih lagi ketika dia harus pulang ke Langkat dipaksa menikah dengan T. Kamaliah sementara cintanya masih bersemi dengan seorang gadis Solo bernama Iil Sundari, sehingga jiwa dan semangatnya sebagai seorang repbuliken dalam perjuangannya di Jakarta kandas di tengah jalan terlebih lagi karier pendidikannya tidak mencapai hasil puncak. Sebab itu pula jiwanya seakan mati, hidupnya ia pasrahkan pada kepentingan politik Sultan Langkat, ketegasan dan tekadnya punah. Di saat Amir Hamzah mendapat peringatan dari residen Sumatera Timur, dia tidak membantah sama sekali yang terpikir di hati dan jiwanya adalah mati dan memanggil maut. Situasi politik di Langkat ketika itu semakin genting, Amir Hamzah dianggap tidak mampu bertindak tegas sebagai seorang bupati (asisten residen), peringatan keras yang pernah diberikan kepadanya dianggap seakan tidak diindahkan. Maka tanggal 3 Maret 1945, ketika ia bersama istri dan anak tunggalnya T. Tahura Alautiah yang masih kecil akan pulang ke Tanjung Pura sembari menunggu mobil jemputan, sekira pukul 17.00 wib sebuah kendaraan menjemputnya di rumah Binjai yang semula dianggap adalah mobil jemputan. Namun setelah dilihatnya beberapa pemuda pergerakan, ia pun berpesan kepada istrinya agar anak mereka dipelihara dengan penuh kasih dan apa yang terjadi jangan timbulkan kedendaman. Jauh sebelumnya Amir Hamzah telah mempunyai firasat akan terjadi sesuatu pada dirinya, karenanya ia selalu menulis rangkaian puisinya yang selalu mengundang maut dan keputusasaan, bagi mereka yang mengertilah yang mampu menerjemahkan puisinya penuh misteri itu. Beberapa pemuda tersebut dengan paksa membawa Amir Hamzah sementara istri dan anaknya tidak dibawa serta. Saat itu pula Amir Hamzah
131 di bawa ke markas pemuda di Binjai untuk selanjutnya dipindahkan ke sebuah tempat di kebun Lada Binjai. Dan beberapa hari kemudian ia dipindahkan sebgai tawanan ke sebuah gudang di Perkebunan Tembakau Kuala Begumit arah pedalaman Binjai. Dua hari setelah Amir Hamzah diculik yakni tanggal 5 maret 1945 pukul 16.00 diadakan rapat kilat yang dihadiri Komite Nasional, tokoh Volksvront dan dihadiri juga utusan dari Kesultanan Langkat rapat dipimpin oleh M.Yunus Nasution Residen Sumatera Timur dan M. Saleh Umar residen diperbantukan Gubernur Sumatera, maka rapat pun mengambil keputusan sebagai berikut: 1. Memecat dan memberhentikan dengan tidak hormat Tengku Amir Hamzah dari jabatannya selaku asisten residen Republik Indonesia wilayah Langkat. 2. Menghapuskan daerah keistimewaan Kerajaan Langkat dari Negara RI. Maka sebagai penggantinya untuk sementara diangkatlah M. Nasib Nasution yang sangat ambisi menggantikan jabatan Amir Hamzah ketika itu masih menjabat ketua Komite Nasional Langkat Hulu yakni pada hari itu juga tanggal 5 Maret 1946. Beberapa hari kemudian karena situasi politik yang semakin memanas untuk sementara kepemimpinan pemerintah daerah diambil alih oleh militer oleh panglima divisi IV/TRI maka diganti M.Nasib Nasution ketika itu menjabat pelaksana Bupati Langkat dengan mayor Wiji Alfisah komandan Batalyon 1 TRI di 25 Maret 1945 yang merupakan keputusan Sidang KNI Sumatera Timur di Medan maka Mayor Wiji Alfisah digantikan oleh Adnan Nur Lubis Sebagai Bupati Langkat berada di wilayah Aceh, sehingga tidak aktif melaksanakan aktivitasnya sebagai bupati oleh residen Sumatera Timur mengangkat Sutan Naposo Parlindungan sebagai Pelaksana Bupati tahun 1948. Dalam tahun yang sama Matseh ditunjuk sebagai pejabat Bupati Langkat disebabkan Sutan Naposo Parlindungan meninggal dunia. Beberapa hari kemudian di tahun 1948 diangkatlah H.OK. Salamuddin sebagai bupati definitif oleh gubernur militer daerah Langkat, Tanah Karo, dan Aceh. Barangkali tuduhan yang begitu tajam dihadiahkan kepada Amir Hamzah sebagai seorang pengkhianat bangsa memang tidak pada
132 tempatnya. Semenjak remaja ketika ia melangakah ke tanah Jawa, kemudian merantau ke Solo sampai kembali kuliah ke Jakarta, ia telah berbuat banyak dalam pergerakan kebangsaan. Di kota Solo ia menggabungkan diri di organisasi Indonesia muda, bahkan ketika dilaksanakan konfrensi bahasa di Solo untuk menentukan bahasa persatuan Indonesia maka Amir Hamzah salah seorang peserta yang mengusulkan Bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan yang digunakan hingga sampai saat ini. Ketika kuliah di Jakarta Amir Hamzah bergabung dengan organisasi pergerakan bersama bung Karno, Bung Hatta, Sutan Syahrir. Prof. M. Yamin, Sutan Takdir Ali Syahbana, Rustam Efendi, Armen Pane dan lain-lain. Ketika biaya kuliahnya terhenti disebabkan meninggalnya kedua orang tuanya demi untuk menanggulangi biaya perkuliahannya ia melamar menjadi guru di Taman Siswa dan perguruan Muhammadiyah, di mana kedua perguruan ini tempatnya tokoh-tokoh pergerakan, lalu kenapa ia harus menolak ketika perguruan sekolah Belanda mengajaknya bergabung bahkan ia ditawarkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Negara Belanda. Sambil kuliah dan mengajar Amir Hamzah menulis artikel di Majalah Timbul dan Pujangga Baru, penanya sangat tajam dalam mengkritik pemerintahan Hindia Belanda sehingga Belanda meminta Sultan Langkat untuk menghentikan segala aktivitas politik Amir Hamzah yang akhirnya Amir Hamzah dipaksa pulang ke Langkat serta dinikahkan dengan putri Sultan Mahmud. Diawal Kemerdekaan ia diangkat menjadi asisten residen wilayah Langkat, Amir Hamzah dalam melaksanakan tugasnya selalu mendapat tekanan baik dari Sultan Mahmud sang mertua yang sangat dipengaruhi oleh Datuk M. Jamil maupun dari pemerintahan republik terutama tokoh penting PKI, PNI dan Gerindo sehingga pada bulan Februari 1946 secara diam-diam ia telah membuat pengunduran diri dari jabatan asisten residen belakangan ia di fitnah sebagai kaki tangan Belanda dan pengkhianat bangsa. Disebabkan Adnan Nur Lubis sangat berambisi menggantikan Amir Hamzah atas persetujuan KNI Langkat. Tanggal 19 Maret 1946 diperhitungkan pukul 23.15 Wib Amir Hamzah bersama 18 orang tokoh aristocrat Melayu dan tokoh-tokoh pasukan ke V yang ditangkap tanggal 3 Maret 1946 lalu ditawan bersama-sama Amir Hamzah dijemput dari tawanan di gudang perkebunan
133 tembakau Kuala Begumit dibawa ke suatu tempat lebih kurang 1 km jaraknya ke arah Stabat. Maka diperhitungkan dini hari pukul 1.15 wib tanggal 20 Maret 1946 Amir Hamzah bersama 18 orang pada Datuk dan Tengku lainnya dieksekusi dipancung mati di sebuah lubang. Lalu dikuburkan tidak jauh dari lubang tersebut. Beberapa hari sebelum terjadi eksekusi terhadap diri Amir Hamzah Bung Hatta mengrimkan surat kepada Gubernur Sumatera agar Amir Hamzah dapat diselamatkan. Namun sayang surat tersebut terlambat sampai dan ketika itu juga Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan tidak berada di Medan. Beberapa bulan setelah kematian Amir Hamzah, Bung Karno melakukan kunjungan kerja di Medan, begitu Bung Karno tiba di Medan langsung bertanya kepada T.M Hasan dan Dr. Amir “mana Amir Hamzah”, T. M. Hasan diam tak menjawab hanya pandangannya tertuju pada Dr. Amir yang hanya tertunduk diam. Beberapa tahun kemudian kerangka Amir Hamzah dipindahkan dan dimakamkan di pekuburan Masjid Azizi Tanjung Pura. Salah seorang sahabatnya yakni Maria Ulfah saat menjadi Menteri Sosial di Tahun 1947 lalu berkunjung ke Medan. Dalam kunjungan tersebut diundang pula para janda dan kebetulan hadir T. Kamalilah istri Amir Hamzah”, spontan Maria Ulfah kembali bertanya “ apa janda Amir Hamzah, maksud Janda itu apa.” Suami saya dijemput pada tanggal 3 Maret 1946 dan tidak pernah kembali, kabarnya ia dibunuh,” keduanya saling berpelukan dan bertangisan. Kemudian dengan sedikit kesal bercampur emosi Maria Ulfah menjelaskan “rasa-rasanya tidak mungkin ada orang yang sampai hati membunuh Amir, saya tahu betul bagaimana perjuangannya di Jakarta, saya salah satu di antara para sahabat seperjuangannya, dia sangat cinta kepada rakyat yang mana saja, tingkah dan sikapnya tidak sedikitpun menunjukkan ke feodalannya dia ditunjuk sebagai asisten residen Langkat atas saran Bung Karno kepada Gubernur Sumatera T.M Hasan ketika itu.” Riskannya seorang Amir Hamzah seorang berjiwa repbuliken menjabat sebagai asisten residen Langkat justru diculik dan diekskusi oleh orang-orang yang berjiwa republik dengan cara yang sangat kejam mati dengan leher dipancung, tanpa terlebih dahulu diadili di depan mahkamah hakim dalam satu persidangan, ada
134 apa sebenarnya yang terjadi, apakah ada unsur iri hati atau unsur balas dendam dari seorang atau sekelompok dengan mengatasnamakan rakyat lalu menggelar suatu aktivitas dengan dalih revolusi sosial, lalu menculik, merampok, membunuh, dan memperkosa, siapa sesungguhnya di belakang revolusi sosial. Berakhirnya Kesultanan Langkat di tangan revolusi sosial adalah dalam suasana yang sangat memilukan. Hampir semua kerajaan di Sumatera mengalami kekacauan yang luar biasa pada bulan Maret 1946, tidak terkecuali sultan, keluarga sultan, para petinggi kerajaan, cerdik pandai, bahkan rakyat kesultanan Islam dibantai habis-habisan. Banyak dari kerajaan tersebut hanya tinggal nama semata, dan puing-puing sisa keberadaan sejarah dan kejayaan masa silam. Di Asahan, dikabarkan telah jatuh korban jiwa sebanyak 15 ribu orang, demikian juga pada tempattempat lainnya, di Langkat dinyatakan sebagai tempat pembantaian paling parah. Dengan demikian berakhirlah riwayat kesultanan Sumatera timur, termasuk Kesultanan Langkat. Ada beberapa pihak yang menjadi otak Revolusi Sosial yang terjadi di Sumatera Timur. Pendeta Juandaha Raya Purba Dasuha, menyebutkan dalam artikelnya yang berjudul “Revolusi Sosial Berdarah di Simalungun Tahun 1946”, menyebutkan bahwa otak dibalik serangkaian pembantaian bengis yang luar biasa terjadi di SumateraTimur adalah mereka yang tergabung dalam “Markas Agung yang dilaksanakan Volksfront dengan pimpinan utamanya Sarwono Sastro Sutardjo, Zainal Baharuddin, M. SalehUmar, Nathar Zainuddin, dan Abdul Karim MS. Mereka inilah orangorang yang bekerja di balik layar. Laskar yang berperan dalam aksi ini adalah Pesindo, Napindo, Ken Ko Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Barisan Merah (PKI), Kaikyo Seinen Teishintai (Hizbullah), dan didukung oleh buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani.” Dengan demikian maka gerakan ini cukup tangguh untuk meluluhlantakkan semua kerajaan Islam di Sumatera Timur. Tahun 1946 adalah sejarah kelam Kesultanan Langkat. Masyarakat Langkat membumihanguskan Kerajaan Langkat dan membunuh orangorang yang dianggap antek-antek penjajah. Dalam hal ini keluarga kerajaan
135 tak luput dari pembunuhan tersebut. Ada dua hal yang membuat masyarakat membakar istana-istana kesultanan Langkat, pertama; mereka beranggapan bahwa Kesultanan Langkat telah mendukung pemerintahan Belanda, dalam usaha penjajahan di Indonesia. Kedua; membakar istanaistana kesultanan Langkat, agar pemerintah Belanda tidak menggunakannya dalam mempertahankan diri dari para pejuang kemerdekaan, begitu juga para pejuang membakar sumur minyak di Pangkalan Berandan tahun 1947 karena khawatir akan dikuasai oleh Belanda. Kurang dapat dipastikan tentang keikutsertaan Dr. Amir dibalik terjadinya revolusi sosial tersebut. Dr. Amir memang diketahui sebagai orang yang konsern dengan paham sosialis, tidak begitu jelas tentang keberpihakannya dalam peristiwa ini, ada literatur yang mengatakan bahwa Dr. Amir berperan dalam mengatur perjalanan Teuku Mohamad Hassan sebagai gubernur Sumatera keluar dari Sumatera Timur untuk mempermudah usaha penghancuran kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Berbeda halnya dengan literatur lain yang mengatakan sebaliknya, justru hal itu yang membuat Dr. Amir terpaksa hengkang dari Sumatera Timur ke beberapa tempat, seperti Sabang, Gorontalo, Palu,Makassar, dan Belanda.3 Sebagai seorang politisi, Dr. Amir ini berambisi juga untuk menjadi gubernur. Dipahami bahwa dia berkeinginan untuk menggulingkan Gubernur aktif Tengku Muhammad Hasan, untuk hal ini dimanfatkannya ketua PKI Sumatera Timur Luat Siregar untuk membikin kerusuhan. Kemudian ada logika dan momen empuk yang bisa dimanfaatkan untuk mempengaruhi orang banyak, yaitu Sultan dan keluarganya sudah berkawan dekat dengan Belanda selama ini, sementara Belanda adalah bangsa penjajah yang harus diusir dari Indonesia ini. Sikap sultan ini dipahami melawan kehendak rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan hal ini keterlibatan Dr. Amir dipertanyakan dalam gerakan revolusi sosial ini. 3Tulisan Dr. J. J. van de Velde mengenai Amir kurun 1945-1946 ini dikirimkan oleh Tengku Mansoer Adil Mansoer. http://www.lenteratimur.com/author/tengku-mansoeradil-mansoer di Belanda dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu/Indonesia oleh Anna Kharisma dari Sastra Belanda Universitas Indonesia.
136 Kedekatan sultan dengan Belanda ini dijadikan alasan untuk mempersamakan sultan dengan Belanda. Sewaktu Wilhelmina (Ratu Belanda) datang ke Medan, raja-raja ini senang, dan sultanlah sebagai ketua panitia penyambutan. Meskipun peristiwa ini terjadi sebelum Indonesia merdeka, namun ingatan orang masih segar tentang peristiwa tersebut, dan komunitas ini menjadikannya sebagai konsumsi politis untuk menuduh sultan-sultan ini adalah orang yang tidak menginginkan kemerdekaan, karena dia dituduh sebagai pihak pendukung Belanda untuk tetap menjajah Indonesia. Pengkondisian seperti ini membuat posisi kesultanan ini dalam keadaan sulit, dan tidak bisa membela diri, bahkan tidak memiliki kesempatan untuk membela diri.4 Foto Revolusi Sosial di Kesultanan Langkat5 C. Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan KeIndonesia-an Kontribusi Kesultanan Langkat dalam Penguatan Ke-Indonesiaan dapat disebutkan beberapa hal sebagai berikut: 4Hasil wawancara dengan Zainal AK di rumahnya pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018 di rumahnya. 5http://beritasumut.com/peristiwa/Mengenang-70-Tahun-Revolusi-Sosial-SumateraTimur
137 1. Proklamasi Kemerdekaan Tidak benar tentang adanya pandangan segelintir orang yang mengatakan bahwa Kesultanan Langkat berpihak kepada Belanda dalam mempertahankan penjajahannya di Indonesia. Sejarah memperlihatkan bahwa Kesultanan Langkat memang dekat dengan pihak kolonial Belanda, namun kedekatan tersebut tidak dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan Kesultanan Langkat kepada Belanda supaya mereka tetap menjajah Indonesia. Kedekatan tersebut hanyalah sebatas kerjasama dagang dalam bidang perminyakan dan perkebunan yang terbangun dalam kurun waktu yang cukup lama selama ini. Kedekatan tersebut adalah suatu keharusan yang harus dilaksanakan, dengan pertimbangan; a. Tidak dapat dipungkiri bahwa Belanda sudah berkuasa di Indonesia ini sejak masa yang lama (3 1/2 abad), dan mereka adalah negara kuat, karenanya tidak mudah untuk mengusir dan mengalahkan mereka. b. Indonesia saat itu belum berdiri, sementara kekuasaan yang ada adalah terdiri dari kekuasaan kerajaan-kerajaan yang otonom tersebar di seluruh daerah Indonesia, maka pihak kerajaanlah yang dapat bertindak waktu itu untuk memikirkan kesejahteraan rakyatnya. c. Rakyat Indonesia waktu itu masih berada dalam ketertinggalan dan kebodohan, karenanya tidak mampu untuk mengolah sendiri hasil tambang dan hasil buminya, karenanya diperlukan kerja sama dengan pihak lain. d. Belanda saat itu adalah negara yang sudah maju, pemilik ilmu pengetahuan yang tinggi dan pemilik alat-alat teknologi yang canggih, karenanya mereka mampu mengolah sumber daya alam yang ada di Indonesia ini, seperti perminyakan dan pertanian. e. Belanda pantas diterima sebagai mitra dalam mengelola sumber daya alam Indonesia dengan ketentuan bagi hasil yang berimbang, karenanya pihak Kesultanan memperoleh keuntungan yang dipergunakan untuk kepentingan kesultanan dan kemakmuran rakyatnya. f. Atas pertimbangan tersebut maka pantas dibangun kemitraan, dalam rangka kerjasama yang langgeng, dan saling menguntungkan.
138 Kemitraan Belanda dengan Kesultanan Langkat tidak terkait dengan masalah politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Belanda ke Indonesia adalah dalam rangka politik, yaitu untuk melakukan penjajahan, menguras hasil kekayaan Indonesia semaksimal mungkin untuk dibawa kenegaranya, dan menguasai Indonesia. Berbeda halnya dengan Kesultanan Langkat sebagai orang Indonesia yang lahir, hidup, besar, dan akan mati serta dimakamkan di Indonesia, pastilah cinta terhadap tanah tumpah darahnya sendiri. Kesultanan Langkat memiliki nasionalisme yang kuat, dan hal itu diterjemahkan dalam nuansa kebaikan dan kemajuan Kesultanan Langkat yang berbeda dengan tafsiran segelintir orang yang tidak sepaham dengannya. Pihak Kesultanan Langkat sependapat dengan rakyat Indonesia dalam menperjuangkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada peristiwa-peristiwa beriku: a. Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Indonesia Pada saat terjadi Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah RI. Demi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat diharapkan dan telah lama ditunggu kehadirannya tersebut, kesultanan langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung terus, tapi sejak saat ini dia tidak memiliki kekuasaan lagi, karena kekuasaan tersebut telah diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Berlaku situasi “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).” b. Kesultanan Langkat Membantu Pemerintah Indonesia Di samping dukungan moril, Kesultanan Langkat memberi dukungan materil kepada Pemerintah Indonesia. Sultan Mahmud sebagai sultan yang secara resmi menjabat pada Kesultanan Langkat saat itu membantu Pemerintah Indonesia sebanyak 10.000 Gulden untuk keperluan modal dalam perjuangan. Meskipun Indonesia sudah dimerdekakan, namun upaya perjuangan yang besar masih sangat dibutuhkan karena suasana belum
139 kondusif, dan pihak Belanda pun masih banyak berkeliaran di Indonesia, bahkan isu akan kembalinya Belanda pun masih muncul. Bantuan ini sangat bermanfaat bagi Pemerintah untuk memperkokoh perjuangannya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru diproklamirkan. 2. Bahasa Indonesia Jauh sebelum Indonesia merdeka rakyat Indonesia telah memiliki perasaan dan sikap nasionalisme yang sama. Meskipun Indonesia terdiri dari kepulauan yang terpisah-pisah antara satu sama lain, bahkan berjauhan, juga memiliki pluralitas suku bangsa dan agama yang jumlahnya cukup banyak dan berbeda-beda, namun rakyat Indonesia bersatu dalam komitmen kebersamaan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini terlihat secara jelas pada komitmen; tanah air, bangsa, dan Bahasa Sumpah Pemuda yang diikrarkan tanggal 28 Oktober 1928, sebagai berikut; Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengakui bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Salah satu dari 3 (tiga) poin Sumpah Pemuda tersebut, yakni poin ketiga adalah tentang bahasa. Secara jelas terlihat dalam redaksinya berbunyi; “Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Meskipun bangsa Indonesia memiliki jumlah bahasa suku masing-masing yang berbeda dan jumlahnya cukup banyak, namun rakyat Indonesia bersatu pada bahasa, yaitu menjadikan Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia. Kesultanan Langkat dipahami memiliki andil besar dalam penetapan Bahasa Melayu untuk dinyatakan sebagai Bahasa Indonesia secara resmi. Dalam kenyataan yang ada sampai saat ini Bahasa Melayu ini dinyatakan
140 sebagai Bahasa Nasional bangsa Indonesia. Meskipun para pejuang kemerdekaan itu banyak dari berbagai penduduk Nusantara dan sangat sedikit yang berasal dari dari Langkat, proklamator kemerdekaan RI. Bukan suku Melayu, Presiden RI. Tidak pernah dari suku melayu, suku terbanyak di Indonesia ini juga bukan suku Melayu, tapi Bahasa yang dinyatakan sebagai Bahasa resmi Negara Indonesia itu adalah Bahasa Melayu. Meskipun perannya tidak diketahui secara jelas, saat proses Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 itu berjalan, Amir Hamzah ikut bergabung di sana. Amir Hamzah dinyatakan baru berusia 16 tahun atau 17 tahun. Artinya ia memang masih dalam usia belia sebagai seorang pemuda yang sudah mulai ikut dalam pergerakan-pergerakan yang ada di Pulau Jawa, dia pada waktu itu memiliki status sebagai pelajar, dan sedang berada atau menetap di Solo. Sewaktu diadakan “Kongres Bahasa”, Amir Hamzah diketahui sebagai ketua panitia karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai “Ketua Indonesia Muda” di Solo. Diperkirakan Amir Hamzah sebagai seorang sastrawan turut menyarankan supaya bahasa Melayu itu dinyatakan sebagai bahasa Indonesia, dan kawan-kawannya, seperti Armin Pane, Sanusi Pane, Rustam Efendi, dan yang lainnya, turut mendukung sarannya tersebut. Berikutnya dipahami bahwa bahasa Melayu ini sudah dikenal dan memasyarakat di kalangan bangsa Indonesia. Seiring dengan selat Malaka sebagai lalu lintas pelayaran internasional yang terbilang sibuk dari sejak jaman kolonial Belanda di Indonesia, maka bahasa yang digunakan di sini adalah bahasa Melayu, misalnya Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan sebagainya. Dari aspek penggunaannya dapat dikatakan bahwa bahasa Melayu itu sebagai penyumbang bahasa yang signifikan secara nasional. Waktu itu bahasa Melayu (Indonesia) lebih top dibanding dengan bahasa Jawa, atau Bahasa-bahasa suku lainnya di Indonesia, maka dalam perbincangan kongres Bahasa tersebut pun mudah menggolkannya. Di samping kesadaran penggunaan bahasa Melayu ini lebih memasyarakat di Indonesia maka peran Amir Hamzah turut mempengaruhi pensuksesan ide dan tercapainya kesepakatan bahwa bahasa Melayu itu menjadi bahasa Indonesia. Jumlah orang pada komunitas tersebut lebih
141 banyak orang Jawa, dan jumlah penduduk pun lebih banyak orang Jawa, konsentrasi pergerakan perjuangan pun lebih terlihat ada di Pulau jawa, bahkan jumlah tokoh-tokoh Indonesia Muda pun lebih banyak orang Jawa, namun peran Amir Hamzah sebagai seorang ahli bahasa ini dipahami memiliki nilai tambah untuk meyakinkan publik dalam mensukseskan ide bahasa Indonesia resmi tersebut. Jika penetapan Bahasa Melayu ini menjadi bahasa Indonesia dianalisis, maka hal ini bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, di antaranya; Berdasar Sensus Penduduk (SP) tahun 2010, dinyatakan ada sebanyak 1.320 suku bangsa di Indonesia. Penduduk Indonesia yang tersebar luas sejak dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote (Sabang sebagai daerah terbarat, Merauke sebagai daerah paling Timur, Miangas sebagai daerah terdepan dan Pulau Rote sebagai daerah terluar Indonesia) dengan pluralitas penduduk dalam aspek suku bangsa ini telah bersepakat membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sungguh luar biasa ternyata kebhinekaan Indonesia telah teruji sampai saat ini. Pluralitas suku bangsa ini menjadi sangat menakjubkan lagi di saat diketahui bahwa di dalamnya juga terdapat keanekaragaman bahasa. Indonesia ternyata adalah negara kedua dengan jumlah bahasa daerahnya terbanyak di dunia, yaitu 742 bahasa, sementara negara terbanyak pertama ditempati oleh Papua Nugini dengan bahasa daerah sebanyak 867 bahasa. Sungguh benar bahwa bahasa daerah Indonesia itu cukup kaya, meskipun ada kemiripan antara satu sama lain, yang pasti semunya dapat dibedakan dan dapat diidentifikasi. Sekedar contoh, penyebutan bahasa Daerah dalam suku bangsa yang ada di Indonesia ini dapat dikemukakan pada ungkapan “Apa Kabar ?”6 Dari aspek jumlah penduduk jumlah suku bangsa dihubungkan kepada jumlah bahasa baerah serta persentasenya terlihat tidak ada perimbangan antara satu sama lain di Indonesia. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut; 6Peu Haba? Boa Kaba? Kengken Kabare? Ahado Kabar? Aga Kareba? Berembe Kabare? Teembe Bawo Mui? Kayapa Habar? Hapa Bilita? Walolo Habari? Umba Susi Kareba? Narai Kabar? Piye Kabare? Dha~ramma Kabara? Kune Kebar? Kumaha Damang? Nuapa Karena? On Me?