The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Kamaruddin S.Pd.I, 2024-05-09 21:53:01

Sejarah Sosial Kesultanan Langkat

Sejarah Sosial Kesultanan Langkat

142 Jumlah dan Persentase Suku Bangsa di Indonesia Jika hal ini kita analisis maka akan terlihat bahwa komposisi jumlah suku Melayu terbilang kecil, namun bisa mendominasi tampilnya bahasa Melayu menjadi bahasa resmi Indonesia. Jumlah suku Melayu di Indonesia terbilang kecil, yaitu 5.365.399, setara dengan 2,27 % penduduk Indonesia, namun bahasanya diterima menjadi bahasa Nasional Indonesia, sementara ada suku yang jumlah penduduknya jauh lebih besar, seperti suku Jawa, Sunda, dan Batak, tapi tidak diakomodasi bahasanya untuk menjadi bahasa nasional seperti terlihat pada tabel di atas.


143 Dari aspek jumlah penduduk dihubungkan kepada jumlah bahasa yang dimiliki padanya ternyata tidak memiliki keseimbangan. Dari total 742 jumlah bahasa daerah yang ada di Indonesia ini ternyata untuk masyarakat penduduk pulau Jawa sebagai jumah penduduk terbanyak, yaitu 123 juta penduduk, hanya memiliki bahasa daerah yang tidak lebih dari 20 (dua puluh) bahasa. Berbeda halnya dengan daerah Papua Barat yang jumlah penduduknya hanya 2 (dua) juta saja, tetapi mempunyai bahasa yang cukup banyak, yaitu 271 bahasa. Indikasi yang muncul adalah semakin banyak penduduk akan semakin kecil jumlah bahasanya, tetapi semakin sedikit jumlah penduduk menjadi semakin banyak jumlah bahasanya. 3. Sastra Indonesia Dinamika perkembangan sastra Indonesia turut diramaikan oleh putra Kesultanan Langkat, Tengku Amir Hamzah. Ia dikenal dengan “Raja Penyair Melayu”. Dari aspek asal usul, beliau terlahir dari keturunan bangsawan Melayu. Oleh HB Jassin (1986), atas kepiawiannya dalam bidang sastra ini memberi julukan kepadanya dengan “Raja Penyair Pujangga Baru”. Diketahui bahwa sejak usia Amir Hamzah menginjak 19 tahun, tepatnya pada tahun 1930, puisinya sudah mulai diterbitkan di media.7 Sesuai latar belakang daerahnya, terkadang karya-karyanya dipandang terlalu Melayu. Para kritikus sastra memberi banyak tanggapan kepadanya, di antaranya pandangan tentang karya-karyanya dinilai kurang moderen akibat konten yang sarat dengan muatan melayu tersebut. Hal ini sangat terasa bila dibanding dengan sastrawan lain, seperti Chairil Anwar. Amir Hamzah, di mana dia sering terkooptasi dengan keMelayuannya, sementara ke-Indonesiaannya terkurangi.Teeuw (1979) memberi julukan kepadanya sebagai “penutup tradisi Melayu” kurang mendukung terhadap prestasinya untuk terkategori sebagai penyair modern. Berbeda halnya dengan apresiasi Chairil Anwar (1945) sendiri yang memandang “Melayunya” bahasa puisi Amir Hamzah bukan sebagai kekurangan kepadanya, tetapi justru sebagai kelebihan dan kekuatannya 7Kratz, E. Ulrich, New Poem By Amir Hamzah, (Indonesia Circle 21: 1980), hlm. 263


144 sebagai seorang penyair. Dia sangat kagum terhadap puisi-puisi Amir Hamzah tersebut. A.H. Johns juga merasakan dengan peka dan menaggapi secara sensitif tentang kemelayuan Amir Hamzah dalam karya-karyanya ini. Hal ini dituliskannya pada karyanya dengan judul; “Amir Hamzah, Malay Prince, Indonesia Poet”. Di sini dia dengan jelas membedakan Amir Hamzah yang seorang suku Melayu dengan seorang penyair yang berbahasa Melayu Indonesia.8 Dalam dinamika Pujangga Baru yang tercatat selama 9 (Sembilan) tahun, puncaknya adalah Amir Hamzah dengan menyodorkan prosa lyris, sajak-sajak lepas, 2 (dua) ikatan sajak; “Buah Rindu”, Nyanyian Sunyi”, Salinan dari banyak sastrawan timur yang kesohor, dipadukannya pada “Setanggi Timur”. Sebagai analisis dari teman segenerasinya, mereka mengatakan Amir Hamzah diperkirakan dipengaruhi oleh penyair-penyair sufi, dan Parsi. Khusus pada “Nyanyian Sunyi”, dia telah meneriakkan sajaksajak dengan bahasa yang murni dan baru, dengan ciri khasnya yang lebih bebas dan leluasa, kalimatnya padat, kritikannya tajam, sehingga bersinar cemerlang bagi munculnya gerakan bahasa puisi baru. Komposisi seperti ini menjadikan puisi-puisinya berbeda dengan tradisi bahasa puisi lama. Para pengamat puisi Amir Hamzah, di samping memberi masukan, juga menyadari betapa totalitasnya Amir Hamzah pada kedalaman rasa individualitasnya, dan kepekaan batin yang sangat sensitif, serta religiusitas yang dimilikinya. Hal ini dapat dicontohkan pada konten sifat religiusitas yang ditampilkan seperti ditulis oleh Md. Salleh Yaafar (1995) setelah menelitinya dengan pendekatan kebahasaan. Namun di sisi lain, terdapat perbedaan di antara ilmuan sastra ini, dalam pengkategorian puisi-puisi Amir Hamzah tersebut untuk dinyatakan sebagai puisi yang sarat menukil tentang “percintaan duniawi” semata, atau juga sebagai “percintaan seorang sufi dengan Tuhannya. Sehingga mendekatkan hubungan yang fana dan baqa sebagai sesuatu yang wajar serta dapat terjadi atau sesuatu 8Teeuw, A, Modern Indonesia Literature, (The Hague: 1979, Martinus Nijhoff (Terjemahan KITLV, 10), Edisi I, 1967), hlm. 103.


145 yang dikhotomis di luar nalar dan sulit untuk dipersentasikan.9 Amir Hamzah tidak dapat dipungkiri sebagai sastrawan besar yang telah mengukir prestasi pada pentas sejarah di masanya. 4. Penyumbang Tokoh Nasional dan Internasional Ada banyak tokoh nasional dan internasional yang pernah punya akses dengan Langkat, di antaranya adalah: a. Amir Hamzah Amir Hamzah Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada Amir Hamzah setelah Presiden mengeluarkan SK Nomor 106/TK/Tahun 1975 tanggal 3 November 1975, tentang Penetapan Gelar Pahlawan Nasional. Pada konsideran Menimbang disebutkan: Bahwa untuk menghargai tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai perjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan Bangsa, perlu menganugerahkan/menetapkan Gelar Pahlawan Nasional kepada mereka yang namanya tersebut dalam Lampiran Surat Keputusan ini. SK Presiden tersebut merujuk kepada Surat Menteri Sosial RI/Ketua Badan Pembina Pusat No. K. 286/BPPP/X/74 tanggal 25 Oktober 1974 dan surat No. L. 238/BPPP/IX/1975 tanggal 9 September 1975, tentang Usul 9Alisjahbana, Sutan Takdir, Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:1979, Dian Rakyat), hlm.12.


146 Penganugerahan/Penetapan Gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Agung Angyokrokusumo dkk (3 orang). Sebelum SK tersebut, tampaknya penting juga nilai sebuah surat dari Duta besar RI di Prancis dan Spanyol Letjen TNI A. Tahir kepada Sekjen Departeman Sosial/Ketua Harian Badan Pembina Pahlawan Pusat. Surat tanggal 24 Februari 1975 itu menjawab surat tertuju tanggal 31 Januari 1975. Isi balasan surat itu menyatakan Amir Hamzah bukan dan tidak pernah menjadi kaki tangan CVO. Daerah Langkat di mana Amir Hamzah tinggal adalah daerah de facto RI, dan belum dimasuki Belanda. Yang dimaksud CVO mungkin adalah Centrale Verkooporganisatie van Ondernemings land bouw producten, yang dibentuk dengan Ordonantie Staatsblad 1947 No. 140 tanggal 4 Agustus tahun 1947. Ini semacam organisasi yang menagih dan menyelesaikan utang dari Belanda. Sebagaimana dimaklumi, pada waktu itu saya adalah pemimpin perjuangan kemerdekaan di Sumut dan Komandan Tentara. Jadi dalam ingatan saya Tengku Amir Hamzah bukan seorang pengkhianat perjuangan, ujar Letjen A Tahir.10 Sampai tahun 2010, ada 156 orang yang dinyatakan sebagai pahlawan Nasional di Indonesia, maka salah satu dari mereka adalah Amir Hamzah. Hal ini terlihat pada daftar nama Pahlawan Nasional yang dirilis oleh Kementerian Sosial pada bulan Januari 2010, dan diakses pada tanggal tanggal 7 November 2012. Nama Amir Hamzah terdapat pada urutan ke 86, dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional sesuai Kepres Nomor: 106/TK/1975 yang ditetapkan pada tanggal 3 Nepember 1975.11 Sebagaimana layaknya Pahlawan Nasional, Nama Amir Hamzah dikenal bukan hanya di Langkat, dan Indonesia tetapi juga di Belanda dan tingkat internasional. Di samping Amir Hamzah telah turut membesarkan Kesultanan Langkat, ia juga turut meramaikan karya sastra Indonesia, dan juga Pergerakan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Semua ini 10https://narakata.com/2017/04/16/pernah-diusulkan-menjadi-pahlawan-nasionalamir-hamzah-diangkat-chairil-ditolak/, dan juga 11https://min.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_Nasional_Indonesia.,diakses pada tanggal 23 Agustus 2018.


147 membuat namanya dikenal banyak orang, sekaligus menjadikannya sebagai tokoh nasional. Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera. Ia lahir pada tanggal 28 Pebruari 1911 di kota kecil tanah Melayu yang bernama Tanjung Pura Kabupaten Langkat Sumatera Utara, ayahnya bernama Tengku Haji Adil dengan gelar Tengku Pangeran Bendhara Paduka Raja yang merupakan anak saudara Sultan Langkat yang tuan Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah. Semasa kecil Amir Hamzah belajar di Langkat, kemudian dilanjutkan ke Pulau Jawa. Pertama sekali, dia belajar di Sekolah Rendah, setelah itu yang dalam istilah Belanda disebut Hollands Inlandse School (HIS) di Tanjung Pura Langkat, setelah tamat dilanjutkannya ke Sekolah Menengah Tingkat Pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di kota Medan, belum tamat dari sekolah ini, dia pindah ke MULO yang ada di ibu kota, Jakarta. Sesudah menyelesaikan studinya di tempat tersebut, pada tahun 1930 dia melanjutkannya ke Sekolah Menengah Tingkat Atas Algemeene Middelbare School (AMS) di Kota Solo. Kemudian direncanakan akan dilanjutkan ke Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta, namun untuk yang terakhir ini belum sampai dilaksanakan karena dia segera pulang untuk memenuhi panggilan Sultan Langkat, karena dia akan dinikahkan dengan seorang putri sulung raja tersebut yang bernama Tengku Puteri Kamaliah. Dengan hal ini Amir Hamzah kembali meninggalkan Pulau Jawa. Semasa di Surakarta, Amir Hamzah menjalin hubungan cinta dengan seorang teman kelasnya Ilik Sundari. Kedua insan ini saling mencintai, bahkan sewaktu Amir Hamzah sudah berada di Jakarta pun dalam rencana melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi, mereka masih jalan terus dekat. Akhirnya percintaan ini kandas sewaktu Amir Hamzah pulang untuk memenuhi panggilan Sultan Langkat, tinggal menetap di Langkat, dan akhirnya menikah di sana. Amir Hamzah mulai berkarya sejak masih masa remaja. Banyak dari karyanya tidak mencantumkan tanggal, namun dapat diperkirakan bahwa yang paling awal itu adalah sewaktu dia berangkat pertama sekali ke pulau Jawa. Hal ini dikenal dan berpengaruh pada karyanya yang tercermin dari


148 latarbelakangnya; Melayu asli sebagai sukunya, Islam sebagai agamanya, Kekristenan yang hidup berdampingan dengannya dan ciri khas Sastra Timurnya. Ia telah menulis sekitar 50-an puisi, yang terdiri dari 18 buah kategori puisi prosa, dan selebihnya sebagai karya lain, termasuk di dalamnya beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 bersama teman-teman yang lain, ia turut berperan mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Lewat majalah ini, ia banyak mengaktualisasikan dirinya, Banyak dari puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi besar, yaitu; “Nyanyi Sunyi” pada tahun 1937 dan “Buah Rindu” pada tahun 1941. Semua karya ini dimuat pada Poedjangga Baroe, belakangan diterbitkan menjadi sebuah buku. Kepulangan Amir Hamzah sekaligus turut memperkokoh Kesultanan Langkat. Mengawali kariernya, ia mulai diberi jabatan Pembantu Setia Usaha di Pejabat Kesultanan Langkat di Tanjung Pura, setelah beberapa bulan mengabdi di sana dan mulai menimba ilmu dan pengalaman tentang pengelolaan dan siyasah Kesultanan Langkat maka dia pun dinikahkan dengan Tengku Puteri Kamaliah yang diselenggarakan dalam upacara adat kebesaran kerajaan yang cukup meriah, sekaligus pada saat itu beliau dianugerahi gelar kebangsawanan “Tengku Pangeran Indera Putera” secara langsung dikukuhkan oleh Sultan Langkat. Saat ini Amir Hamzah sudah mulai menjadi birokrat kesultanan. Karier Amir Hamzah dengan cepat melejit. Tak lama setelah melangsungkan pernikahan, Amir Hamzah pun diberi kepercayaan baru dan dilantik menjadi Wakil Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjung Pura, kemudian dinaikkan lagi jabatannya menjadi Kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan, dia senantiasa berada pada posisi jabatan penting, sampai pada jabatan terakhirnya sebagai Kepala Luhak Langkat Hulu. Kesultanan Langkat sangat mengapresiasi kehadirannya pada pengelolaan kesultanan. Karier Amir Hamzah cukup cemerlang, namun usianya tidak terlalu panjang. Setelah Indonesia merdeka terjadilah gerakan Revolusi Sosial yang merata di seluruh daerah Indonesia. Gerakan ini terindikasi ditunggangi oleh komunisme secara terselubung, mereka sukses menggaet


149 hati rakyat dengan membawa slogan anti kolonial Belanda. Secara umum Belanda telah kalah, lebih jauh mereka berhasil juga menciptakan kebencian terhadap pihak-pihak yang bersahabat dengannya, dalam hal ini termasuklah sultan-sultan yang ada di Indonesia Timur. Dengan mudah gerakan ini menyatu bersama rakyat menggelinding dengan sangat kejamnya menghancurkan kesultanan dan semua simbol-simbol yang ada padanya. Gerakan ini dengan sangat mudah menghancurkan seluruh kesultanan yang ada di Indonesia Timur pada tanggal 3 Maret 1946. Dalam hal ini tidak terkecuali Kesultanan Langkat yang di dalamnya ada Amir Hamzah. Amir Hamzah pun meninggal dunia pada masa ini. Amir Hamzah wafat dengan sangat tragis. Tanggal 4 Maret 1946, terdengar nyaring himbauan kelompok pemuda sembari masuk istana, bendera kerajaan diturunkan, lagu “Darah Rakyat” menggema, secara serta merta mereka merusak ruangan istana kerajaan, sementara petinggi Kesultanan Langkat hanya terdiam membiarkan saja barisan gerakan yang mengatasnamakan rakyat itu berbuat semaunya. Dalam saat yang singkat, istana Kesultanan Langkat itu menjadi puing dan rata dengan tanah. Langkah berikutnya adalah penangkapan sultan, dan keluarga, termasuk Amir Hamzah. Mereka dituduh telah bersekongkol dengan penjajah Belanda, lalu mereka ditangkap satu persatu. Penangkapan ini terjadi pada tanggal 7 Maret 1946 oleh Laskar yang menamakan diri dengan Laskar Pesindo, Amir Hamzah diciduk dan diangkut dengan mobil pick up dan dibawa ke Jalan Bonjol Binjai, kemudian dibawa lagi ke Kuala Begumit. Untuk sementara waktu, di tempat inilah mereka dikumpulkan dan menjadi tahanan. Areal Kuala Begumit inilah menjadi saksi bisu tentang betapa kejamnya Tentara Rakyat Revolusi Sosial ini menghabisi nyawa Amir Hamzah. Pakaian Amir Hamzah dilucuti dan diganti dengan goni, dia dan tahanan lainnya disuruh menggali lubang yang akan menjadi kuburan mereka sendiri, satu persatu mereka ditutup matanya, dan tangannya diikat kuat ke belakang. Oleh algojo Mandor Iyang Wijaya, pelatih kesenian dan silat kuntau di Istana Langkat kesayangan Amir Hamzah bertindak menjadi eksekutor mereka, dan ia telah bersiap untuk menghabisi mereka semua.


150 Sebelum menjalani eksekusi Amir Hamzah memiliki dua permintaan yang seraya serta merta mereka kabulkan. Pertama, ia meminta supaya tutup matanya dibuka karena dia ingin menghadapi ajalnya dengan mata terbuka. Kedua, ia mohon diberi waktu untuk menunaikan salat terlebih dahulu. Usai permintaan ini dikabulkan, maka Amir Hamzah sang Pujangga legendaris itu pun telah tiada, karena ajal telah datang menjemputnya, kepalanya putus terpisah dari bandannya. Akhirnya dia menghembuskan nafas terakhir, dan tutup usia pada umur 35 tahun. Indikasi kuat memperlihatkan bahwa kuburan massal di tempat eksekusi adalah tempat bersemayamnya Amir Hamzah bersama para keluarga Kesultanan Langkat. Pada bulan Nopember 1949, ada inisiatif penggalian kembali kuburan massal di Kuala Begumit tersebut. Seorang dari mereka diperkirakan adalah kerangka Amir Hamzah, sebuah cincin emas bermata nilam, berwarna bunga kecubung, dan sebuah jimat yang terbuat dari benda timah milik Amir Hamzah yang ada padanya menjadi petunjuk kuat bahwa ini adalah benar kerangka Amir Hamzah. Sewaktu dilakukan pemeriksaan perkara di pengadilan, Mandor Iyang Wijaya mengaku perbuatannya telah melakukan pemancungan atas leher puluhan manusia di Kuala Begumit, di antara mereka termasuk Amir Hamzah. Selanjutnya kerangka Amir Hamzah pun dibawa ke Tanjung Pura, diurus secara layak berdasar agama Islam, dan dimakamkan di sebelah Masjid Azizi Tanjung Pura, Langkat, bersebelahan dengan makam ibu dan bapaknya. b. Adam Malik Adam Malik adalah seorang peraih gelar Pahlawan Nasional. Gelar ini diberikan kepadanya tanggal 6 Nopember tahun 1988 sesuai Keppres Nomor 107/TK/1998. Dalam rilis Kementerian sosial terdapat nama beliau pada urutan 105 dari 156 Pahlawan Nasional yang ada sampai tahun 2010. Meski bukan kelahiran Langkat, namun Adam Malik Batubara diperkirakan pernah belajar di Langkat. Dikabarkan bahwa Adam Malik adalah seorang yang pernah bersekolah di Langkat miliknya Sultan Langkat, dia diakui seorang santri yang cerdas dan memiliki akhlak mulia. Suatu


151 ketika sewaktu ia hendak menjadi Wakil Presiden, dia kampanye dan datang ke Langkat untuk menjumpai beberapa orang tokoh, termasuk guru-gurunya untuk meminta restu, di sana dia bertemu dengan Haji Abdurrahim (gurunya sewaktu bersekolah di sana pada Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah). Bukan hanya pada waktu itu saja, jauh sebelumnya pun ia sudah sering menjumpai Haji Abdurrahim tersebut. Ia termasuk pihak yang turut membela Imaduddin saat ditahan oleh Pihak yang berwajib atas perintah Pangkomkamtib Sudomo karena ceramah-ceramahnya yang dianggap menyimpang. Nama lengkapnya adalah H. Adam Malik Batubara, lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara pada 22 Juli 1917 M., dan wafat di Bandung, Jawa Barat pada 5 September 1984 M., pada usia 67 tahun. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, dan juga pernah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Atas pengabdiannya yang paripurna di negara ini, maka ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia lewat Keppres Nomor 107/TK/1998 pada tanggal 6 November 1998. Adam Malik adalah anak ketiga dari seorang pengusaha kaya Abdul Malik Batubara dengan ibunya Salamah Lubis. Semasa kecil, Adam Malik bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School di Pematang Siantar. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Sumatera Thawalib Parabek di Bukittinggi. c. Anak Cucu Keturunan Kesultanan Langkat (Tokoh Internasional) Salah seorang dari cucu Sultan Musa menjadi tokoh internasional. Dikabarkan bahwa Sultan Slangor Malaysia memiliki silsilah dari Sultan Musa, yaitu melalui perkawinana dari salah seorang cucu sultan Musa. Dahulu pernah terjadi, seorang dari Sultan Slangor meminang anak perempuan dari Sultan Aziz, lalu mereka menikah, dan dari sinilah lahir anak cucu dan keturunan Sultan Musa yang bertempat tinggal di Slangor. Anak cucu serta keturunan Sultan Musa yang hidup pada Kesultanan Slangor ini pun ada yang menjadi sultan pada Kesultanan Slangor tersebut untuk menggantikan kedudukan ayahnya.


152 Demikian juga halnya dengan Kesultanan Kedah, dan Perak. Lewat perkawinan anak cucu kedua kesultanan ini dengan anak cucu Kesultanan Langkat menjadikan keturunan Kesultanan Langkat ada pada Kesultanan Kedah dan Perak Malaysia. Sampai saat ini hubungan anak cucu Kesultanan Langkat dengan Malaysia tertutama Slangor, Kedah, dan Perak masih memiliki kedekatan. Sewaktu terjadi revolusi sosial di Langkat maka keturunan raja-raja Melayu Langkat ini banyak yang berlindung ke Malaysia. Sewaktu api gelora revolusi sosial membakar habis Kesultanan Langkat, banyak dari pihak keluarga yang melarikan diri ke Malaysia, mereka menetap dan berlindung di sana. Kesultanan Malaysia ini pun menerima dan melindungi mereka dengan baik. Sampai sekarang, mereka dan keturunan mereka berintegrasi pada Kerajaan yang ada di Malaysia. Indikasi pertemuan silsilah ini terlihat pada pertemuan budanyanya. Masjid besar yang ada di Kedah mirip dengan masjid raya Azizi yang ada di Tanjung Pura. Baik bentuk, demikian juga dengan karya seni yang ada pada masjid tersebut memperlihatkan kedua masjid ini susah dibedakan. Bedanya hanya pada menaranya, yaitu Masjid Azizi memiliki satu menara, sementara di Kedah ada empat menara, dan halaman masjid Azizi lebih luas dari masjid Kedah tersebut. Tidak heran di saat anak-anak Langkat di bawa ke sana maka mereka berkata bahwa masjid itu (masjid Kedah) adalah masjid mereka. Perkawinan menjadi momen pertukaran budaya kedua kesultanan tesebut. Sewaktu Sultan Aziz meminang anak raja Sultan Kedah, dan perkawinan pun berlangsung maka pada saat itu juga Sultan Kedah meminta gambar Masjid Azizi tersebut untuk keperluan rencana pembangunan masjid Kesultanan yang ada di Kedah. Karya seni masjid Azizi inipun diadopsi oleh Sultan Kedah dalam pembangunan masjid kerajaaan Kedah ini. Baik ornament, seni ukir, bentuk dan topokrasi kedua masjid ini pun terlihat sangat mirip. Integrasi ini terjadi tidak hanya sebatas perkawinan, tetapi juga migrasi. Meskipun hubungan keluarga Kesultanan Malaysia dengan Langkat sudah terasa tipis namun respon positif yang diperlihatkan Kesultanan Malaysia


153 terhadap masyarakat Langkat membuat arus migrasi masyarakat Langkat ke Malaysia terbilang banyak. Sekarang ini ada banyak sekali masyarakat asal Langkat yang berdomisili dan menetap di Malaysia (terutama Slangor, Kedah dan Perak). Ada upaya untuk memberi kemudahan bagi masyarakat Langkat yang ada di Slangor oleh pihak kesultanan. Sewaktu informan (Zainak AK) pergi ke Slangor, oleh sekretaris kesultanan dikatakan, “Tolong carikan dulu tanah di Langkat sekitar 100 Ha. atau lebih, dengan posisi dekat dengan garis pantai. Zainal AK. menjawab, Tuanku, untuk apa tanah seluas itu di Langkat. Dia menjawab, kita akan buat perkebunan, yang akan kita tanami dengan pohon naga, harga buah naga ini di Malaysia cukup mahal, dan yang paling luas punya kebun naga ini di Malaysia adalah sekretaris kerajaan yang meminta dicarikan tanah 100 ha. di Langkat ini, lalu dia mengatakan; “Kasihan dengan orang Langkat ini, mereka yang banyak bekerja di kebun naga miliknya orang Langkat, jadi kalau kebun ini kita buat di Langkat maka mereka tidak perlu jauh-jauh meninggalkan istri, anak, dan keluarganya untuk datang ke Malaysia ini”. Inilah gambaran perhatian yang diberikan oleh Kesultanan yang ada di Malaysia kepada masyarakat Langkat. Dahulu masih ada kunjungan antar kedua keturunan kesultanan ini. Misalnya setahun sekali, dalam rangka ziarah mereka datang ke Langkat, bahkan suatu ketika mereka sengaja membawa tim sepak bola ke Langkat untuk mengadakan pertandingan persahabatan dengan Persatuan Sepak bola Langkat (PSL) di Langkat. Hal ini selalu dilakukan, namun sekarang tradisi itu sudah hilang, dan komunikasi pun mulai terputus. Hubungan batin antar Kesultanan ini masih tetap terasa sampai sekarang ini, namun wujud implementasinya sudah mulai hilang. 5. Peci Hitam sebagai Pakaian Nasional Khusus peci hitam dinyatakan sebagai pakaian Nasional adalah berupa andil dari Kesultanan Langkat. Sewaktu Sumpah Pemuda telah dipermaklumkan secara umum ke publik, Soekarno waktu itu masih berada dalam semangat dan hiruk pikuk pergerakan perjuangan kemerdekaan di sekitar Jakarta dan Solo, maka pada waktu itu diperbincangkan juga tentang


154 “Pakaian Nasional”. Muncul tanggapan bahwa, blankon tak cocok, sorban tak cocok, waktu itu Amir Hamzah memakai peci hitam, dia sedang berada di sekitar Bung Karno, lalu Bung Karno tertarik dengan peci hitam yang dipakai oleh Amir Hamzah, terus Bung Karno menunjuk peci hitam yang dipakai Amir Hamzah tersebut dan mempertegasnya sebagai pakaian Nasional yang diikuti dengan penerimaan komunitas yang ada di sana. Meskipun sederhana, namun peci hitam ala Langkat tersebut telah diakui oleh bangsa Indonesia sebagai pakaian Nasional.12 Boleh saja ada banyak bentuk peci hitam, akan tetapi peci hitam ala Kesultanan Langkat lah yang dinyatakan sebagai peci hitam Pakaian Nasional tersebut. Meskipun sesama peci hitam, namun dalam kenyataan, peci hitam ini bervariasi bentuknya, hal ini bisa dilihat dari aspek tinggi dan rendahnya, juga bisa dilihat dari bulat dan ovalnya, bahkan bisa dilihat dari segi pekat hitam, atau pudar warnanya. Peci hitam Kesultanan Langkat itu memiliki kekhasan tersendiri. Belakangan, Bung Karno mensosialisasikan peci hitam pakaian nasional tersebut. Di samping menyampaikan kepada rekan-rekan sesana kaum pergerakan pada pertemuan tersebut, peci hitam yang berasal dari Kesultanan Melayu Langkat ini pun di pakai oleh Bung Karno. Tradisi ini juga diikuti oleh yang lain, maka dikenal sampai sekarang bahwa peci hitam itu adalah pakaian Nasional Indonesia. Saat pelaksanaan Kongres Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1928, Soekarno memakai peci hitam dan menganjurkan kepada partainya untuk mengenakannya. Dalam pidatonya dia menyampaikan; “… Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia merdeka.” Sejak itu, Soekarno selalu mengenakan peci hitam saat tampil di depan publik. Hal ini sejalan dengan tulisan George Quinn dalam The Learner’s 12Hasil wawancara dengan Fachruddin Ray di rumahnya pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2018.


155 Dictionary of Today’s Indonesia yang mendeskripsikan peci hitam, lalu mencontohkannya kepada Soekarno. “Soekarno sat in the courtroom wearing white trousers, a white jacket and a black cap (Soekarno duduk di depan sidang pengadilan, memakai celana putih, jas putih, dan peci hitam).”13 Peci hitam sebagai pakaian nasional Indonesia tersebut sudah terpublikasi di kancah internasional. Hal ini terlihat pada pemberian hadiah kehormatan oleh Presiden Republik Indonesia kepada Kepala Negara Asing berupa Peci Hitam. Misalnya, sewaktu Presiden Republik Indonesia mengadakan kunjungan kenegaraan ke Afganistan pada hari Senin tanggal 29 Januari 2018, setelah terlebih dahulu sudah mendapatkan hadiah berupa kopiah khas Afganistan, Presiden Joko Widodo pun balik memberikan hadiah kehormatan kepada Presiden Afganistan berupa songkok atau Peci Hitam khas Indonesia.14 6. Peninggalan Sejarah Peninggalan sejarah Kesultanan Langkat yang berfungsi sebagai kontribusi budaya dan pelajaran sejarah bagi generasi bangsa yang masih bisa ditemukan sampai saat ini di antaranya adalah: a) Museum Langkat Museum ini berdiri pada tahun 1905 pada masa kesultanan Langkat. Dahulu, museum ini berfungsi sebagai Gedung Kerapatan atau Gedung Pengadilan. Sebagaimana layaknya Gedung Pengadilan, maka di tempat inilah persengketaan diajukan, dipaparkan, dan diuji kebenarannya berdasarkan argumentasi dan keabsahan data pendukungnya, akhirnya hakim menyimpulkan dan memberi keputusan terhadap setiap persoalan 13Ditemukan pada memoar, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis Cindy Adams., lihat https://travel.kompas.com/read/2014/06/09/1554590/ Presiden.Soekarno. Hadir.di.Madame. Tussauds.Hongkong., didown-load pada hari Minggu tanggal 2 September 2018. 14http://jabar.tribunnews.com/2018/01/30/jokowi-hadiahkan-peci-simbol-pejuangansukarno-ke-presiden-afghanistan., didown-load pada hari Minggu tanggal 2 September 2018.


156 yang diajukan kepadanya. Gedung ini menjadi saksi tentang keperdulian Kesultanan Langkat terhadap penegakan hokum dan keadilan. Mengingat fungsi Gedung Pengadilan ini sudah tidak maksimal lagi maka dirubah menjadi museum. Gedung ini sudah tidak difungsikan lagi sebagaimana layaknya Gedung Pengadilan yang dibutuhkan saat ini, dan pada tahun 2003 oleh Pemda setempat, gedung ini dirintis untuk menjadi Musem Daerah. Dengan cara ini Gedung ini tetap fungsuinal dalam bentuk penggunaan yang lain. Museum mini ini terletak di jalan Tengku Amir hamzah yang tidak seberapa jauh dari Masjid Azizi. Bentuk museum ini adalah bulat, dan di dalamnya terdapat ruangan-ruangan kecil berbentuk segi tiga, yang dahulunya digunakan sebagai tempat untuk orang-orang yang melakukan kesalahan sebelum dijatuhi hukumannya. Keberadaan gedung ini dalam kiprahnya terus diusahakan untuk melengkapi benda-benda khazanah peninggalan sejarah, dan juga beberapa benda-benda budaya dari beberapa etnis dari Kabupaten Langkat, seperti, Melayu, Karo, dan Jawa. Gedung ini memiliki luas sekitar 1500 M. Setelah Indonesia merdeka, Gedung ini sudah pernah direnovasi, namun dalam rangka mempertahankan nilai-nilai kesejarahan maka renovasi tersebut dilakukan dengan tetap mempertahankan bentuk keasliannya. b) Gerbang Kerajaan Darul Aman Gerbang Kerajaan Darul Aman adalah bagian yang masih tersisa dari istana Kesultanan Langkat yang sungguh megah tersebut. Saat terjadinya Revolusi Sosial, gedung ini dihancurkan oleh massa secara membabi buta beserta menangkap dan membunuh secara sadis seluruh penghuninya. Secara keseluruhan Gedung ini musnah tanpa tersisa kecuali secuil yang terkait dengannya, di antaranya adalah Gerbang Kerajaan Darul Aman. Gerbang Kerajaan Darul Aman ini ada dua. Gerbang Pertama terletak di pinggir jalan, di depan rumah penduduk. Gerbang Kedua, letaknya di pinggir jalan juga, tapi sekarang sudah dialihfungsikan menjadi gerbang sekolah Madrasah Aliyah Negeri 2 Tanjung Pura. Gedung istana Kesultanan Darul Aman ini telah hancur pada tahun 1946 saat terjadinya Revolusi


157 Sosial di Langkat. c) Parit Istana Selain dari gerbang seperti dikemukakan di atas, di depannya ada parit istana Darul Aman. Dari dahulu sampai sekarang ini, tempat ini berfungsi sebagai parit, hanya saja dahulu sebagai parit/ saluran pembuangan air yang sesungguhnya pembuangan air kerajaan Darul Aman, dan hal ini terlihat jelas dari bentuknya yang memiliki ukiran yang khas Melayu Langkat, dengan bangunannya yang kokokh. d) Dapur Kerajaan Darus Salam Tidak jauh dari tempat ini, juga ditemukan dapur kerajaan Darus Salam (Kesultanan Langkat). Di tempat ini terlihat tembok-tembok yang panjang, dan tembok inilah yang difungsikan sebagai dapur pada masa kerajaan Darul Aman. Sekarang tembok ini tidak terurus dan tidak berfungsi lagi, tetapi hanya dijadikan oleh masyarakat sebagai tempat menaman sayur-sayuran. Sekarang tempat ini berada di belakang salah satu Sekolah Dasar di Tanjung Pura, dahulu tempat ini berupa pemukinan di mana masyarakat kerajaan Darus Salam bermukim, sekarang telah berdiri SD Negeri Nomor: 050729 Tanjung Pura.


158


159 BAGIAN KETUJUH PENUTUP Awal terbentuknya Kesultanan Langkat bermula dari Kerajaan Aru yang berpusat di Besitang. Rajanya bernama Dewa Syahdan yang kekuasaannya diperkirakan antara tahun 1500 sampai 1580 M. Kerajaan Aru I merupakan kerajaan Islam yang telah berdiri pada pertengahan abad ke-13, dan merupakan kerajaan yang cukup masyhur pada masa itu. Masa kejayaan Kesultanan Langkat dicapai pada masa kekuasaan Sultan Musa. Kekayaan Kesultanan Langkat adalah ladang minyak, yang merupakan yang pertama di Indonesia, termasuk perkebunan. Kedua sumber tersebut menjadikan Kesultanan Langkat tergolong kesultanan terkaya di Asia Tenggara hingga pada masa kolonial Belanda. Agama Islam merupakan pedoman dan dasar pengambilan keputusan dan kebijakan di Kesultanan Langkat. Oleh karena itu pula Kesultanan Langkat menjadi identik dan atau disebut Kesultanan Melayu. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, walaupun di sana-sini masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme, dan lain sebagainya. Dalam kehidupan sosial keagamaan, ibadah-ibadah praktis dapat ditemukan dinamika masyarakat Langkat, seperti salat


160 berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama, yang banyak bertemakan akidah dan tasawuf. Tarekat Naqsabandiyah merupakan salah satu tarekat yang berkembang di Langkat. Sejalan dengan itu, terdapat pula beberapa pengajian keagamaan yang dibentuk oleh istri sultan, yaitu Maslurah. Sedangkan pusat peribadatan di wilayah Langkat adalah Masjid Azizi. Suasana keislaman menjadi warna Kesultanan Langkat; terlihat hidupnya tradisi Islam, terkikisnya bid’ah, dan terlaksananya hukum Allah serta tidak ada pula stratifikasi ras. Hal ini dikarenakan masyarakat Langkat yang memegang teguh ajaran-ajaran syariat Islam. Dalam masyarakat dikenal kelas sosial yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan rajaraja yang dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti tengku, sultan dan datuk. Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih melekat pada masyarakat. Bahkan sisa-sisa pelapisan sosial lama masih nampak dalam masyarakat melayu saat ini. Misalnya masih ditemukan sekelompok orang yang berasal dari keturunan sultan-sultan dulu, mereka biasanya dipanggil dengan gelar tengku. Lalu, bekas pegawai kesultanan dengan keturunannya biasanya dipanggil dengan gelar Datuk. Sedangkan keturunan tengku dan datuk kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan. Dengan adanya pelapisan sosial pada masyarakat, maka keturunan raja dan aristokrat di Langkat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup makmur dibandingkan dengan rakyat biasa. Mereka masing-masing diberi jabatan dan diberi kekuasaan untuk mengatur atau mengelola kejeruan-kejeruan (kecamatan) di daerah Langkat. Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat golongan bangsawan Langkat dapat hidup berkecukupan dalam bidang materi. Ini berbeda dengan golongan rakyat biasa yang harus membayar pajak (upeti/blasting) dari hasil pertanian dan perkebunannya kepada kesultanan. Namun ada dari rakyat biasa yang dapat hidup mewah dan berkecukupan dan biasanya mereka adalah tuan-tuan tanah atau orangorang kepercayaan sultan. Dalam bidang pendidikan, Kesultanan Langkat lebih memilih untuk mengajarkan ilmu agama, apalagi saat itu agama Islam sudah masuk ke


161 wilayah Nusantara. Saat itu, sudah menjadi tradisi masyarakat Melayu Langkat untuk menyerahkan anak-anaknya kepada guru untuk mengaji AlQur’an. Selain itu, anak laki-laki diwajibkan untuk belajar ilmu bela diri. Dengan berdirinya Madrasah Al-Masrurah tahun 1912, Madrasah Aziziah tahun 1914, dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921, maka Langkat menjadi salah satu dari tempat yang dituju oleh pencari-pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat, banyak juga pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan luar Pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya. Kesultanan Langkat berakhir dengan adanya revolusi sosial pada 1946. Hampir semua kerajaan di Sumatera mengalami kekacauan pada Maret 1946. Revolusi sosial hampir menyasar semua kalangan kesultanan, mulai dari sultan, keluarga sultan, para petinggi kesultanan, cerdik pandai, hingga rakyat kesultanan menjadi korban dan banyak yang meninggal dunia. Ada dua hal yang membuat masyarakat membakar istana-itana kesultanan Langkat, Pertama, mereka beranggapan bahwa Kesultanan Langkat telah mendukung pemerintahan Belanda, dalam usaha penjajahan di Indonesia; dan kedua, agar pemerintah Belanda tidak menggunakannya untuk mempertahankan diri dari para pejuang kemerdekaan. Selain itu, para pejuang membakar sumur minyak di Pangkalan Berandan tahun 1947 karena khawatir akan dikuasai oleh Belanda. Pada saat terjadi proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Kesultanan Langkat mendukung sepenuhnya terhadap Pemerintah Republik Indonesia. Kesultanan Langkat menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Indonesia. Gelar Kesultanan pada Kesultanan Langkat memang tetap ada dan berlangsung terus, tetapi tidak lagi memiliki kekuasaan karena kekuasaannya telah diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dalam konteks ini, berlaku bagi Kesultanan Langkat sebagai “Kesultanan tanpa Kekuasaan (Raja tanpa kerajaan dan rakyat).” Membuka kembali sejarah Kesultanan Langkat dan mengkajinya bukan saja sebagai upaya merekonstruksi masa lalu tetapi juga dapat menyajikan data, informasi, dan pelajaran berharga bagi generasi-generasi di masa


162 mendatang. Informasi mengenai kerajaan-kerajaan dalam lintasan sejarah di Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu warisan budaya yang sangat beragam dan mengandung inspirasi berlimpah. Sehubungan dengan itu, adalah suatu keharusan bagi berbagai kalangan untuk memeliharanya. Pengungkapan sejarah dan informasi ini akan membawa warna yang sangat menarik bagi daerah Langkat mengenai khazanah sejarahnya, warisan budayanya, dinamika sosial keagamaaannya, termasuk politik dan ekonominya. Hal ini setidaknya dapat secara khusus dijadikan pelajaran bagi masyarakat Kabupaten Langkat dan masyarakat umum lain terkait kehidupan sosial-keagamaan Islam untuk masa yang akan datang. Dalam konteks ini, Pemerintah Daerah, baik Kabupaten Langkat maupun Provinsi Sumatera Utara perlu melakukan upaya pelestarian, pemeliharaan, dan pemanfaatan warisan sejarah dan khazanah kebudayaan agama tersebut bagi pembangunan bangsa dan penguatan karakter generasi yang akan datang. Kepada Pemerintah Kabupaten Langkat sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang memiliki sejarah kerajaan dengan corak keIslaman yang sangat kuat, yakni Kesultanan Langkat-dikenal masyarakat luas sebagai Kerajaan Melayu-diperlukan program strategis dan upaya sistematis untuk menjadikan kajian sejarah kesultanan ini menjadi menarik, bukan bagi para pengkaji sejarah tetapi juga bagi masyarakat umum. Kajian sejarah Kesultanan Langkat dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, seperti antropologi, sosiologi, linguistik, arkeologi, filologi, dan juga keagamaan. Kepada Pemerintah Daerah, baik tingkat Kabupaten Langkat maupun Provinsi Sumatera Utara diperlukan usaha serius dan terus menerus untuk melestarikan dan memelihara warisan sejarah dan khazanah kebudayaan Islam yang terdapat dalam sejarah Kesultanan Langkat. Berbagai peninggalannya seperti seni arsitektur Islam yang terdapat di masjid, madrasah, serta bangunan-bangunan pemerintahan di Kesultanan Langkat perlu segera dijadikan menjadi situs budaya dan agama bagi Indonesia. Terlebih jika dilihat fakta sosial-keagamaan saat ini bahwa materi dan corak keIslaman yang melekat pada Kesultanan Langkat berdampak besar pengaruhnya terhadap masyarakat Melayu Kabupaten Langkat secara khusus, dan masyarakat luas lainnya secara umum.[]


163 Abdurrahman, M. Kasim. Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-LangkatSumatera Utara (Jakarta Selatan: Najm, 2000) Agustono, Budi. “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1993. Ahmadi, Abdul Kadir. Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat, (Tanjung Pura-Langkat: Pustaka Babusalam, 1992) h. 12 Ahmadi, Kadir. Sejarah Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah, Terbitan Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiah Li Thalabil Khairiyah, Tanjung Pura-Langkat, 1985 Aka, Zainal Arifin. Riwayat Tengku Amir Hamzah: Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai, Langkat: Dewan Kesenian Langkat, 2002 ——————————, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan, Mitra Medan, 2002). Ali, M. Daud. The Position of Islamic Law in the Indonesian Legal System, dalam Islam and Society in Southeast Asia, edited by Taufiq Abdullah, et. all, (Singapore: ISEAS, 1983) Alisjahbana, Sutan Takdir. Amir Hamzah Penyair Besar Antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyi Sunyi, (Jakarta:1979, Dian Rakyat. Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam: a history of the propagation of the Muslim faith, (London: Constable, 1913). Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999. Basarshah II, Sultan Serdang Tuanku Luckman Sinar. Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Yayasan Kesultanan Serdang. Medan, 2006) Bruinessen, Martin Van. Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan, Bandung, 1992 DAFTAR PUSTAKA


164 Daly, Peonah. Hukum Perkawinan Islam: suatu studi perbandingan dalam kalangan ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) Hasjim, Tengkoe. Riwajat Toean Sjeh Abdoel Wahab Toean Goeroe Besilam dan Keradjaan Langkat (Medan: H. Mij. Indische Drukkerij, t.t.), Hooker, MB. The Challenge of Malay Adat Law in The Realm of Comparative Law, The International and Comparative Law Querterly, Vol. 22, No. 3 (Juli.1973) Husin, Djohar Arifin. Sejarah Kesultanan Langkat (Medan: t.p, 2013), h. 16.; Zainal Arifin, Langkat dalam Sejarah dan Perjuangan Kemerdekaan (Medan: Mitra Medan, 2013), h. 26. Lihat Zainal Arifin, Jama’iyah Mahmudiyah Setelah 100 Tahun (Medan: Mitra Medan, 2013) Husni, T.M Lah. Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamzah, Penerbit Husni, Medan, 1971 Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies, second edition, (United Kingdom, Cambridge University Perss, 2002), hlm. 383-384. Lev, Daniel S. Islamic courts in Indonesia A Study in the Political Bases of Legal Institutions, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1972) Malik, Adam. Mengabdi Repoblik, (Adam dari Andalas), Cet. Ketiga, Gunung Agung, Jakarta, 1982, h. 2. O’Malley, William Joseph. “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anne Booth, William J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.), Sejarah Ekonomi. Perret, Daniel. “Kolonialisme dan Etnisitas” (2010), yang merujuk pada R. Djajadiningrat dalam buku “Atjehsch-Nederlandsch Woordenboek” (1934), mengatakan bahwa dalam bahasa Aceh “Haro” atau “Karu” berarti suasana bergejolak dan rusuh di sebuah wilayah. Rustam, Laporan Penelitian: Syekh Abdullah Afifuddin Langkat (Studi Pemikiran dan Perkembangan Gerakan (Medan, LP2M IAIN SU)


165 Said, A. Fuad. Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Cetakan III, Medan, 1983 ——————-, Hakikat Tarikat Naqsabandiah, Pustaka Al-Husna Baru, Jakarta, 2005 Samantho, Ahmad Y. Oman Abdurrahman et.all. Peradaban Atlantis Nusantara: Berbagai Penemuan Spektakuler yang Makin Meyakinkan Keberadaannya (Jakarta, Ufuk Press: 2011. Simanjuntak, Bungaran Antonius. Melayu Pesisir dan Batak Pengunungan: Orientasi Nilai Budaya (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2010. Sinar, T. Luckman Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera Utara, paper dalam seminar dakwah Islam se-Sumatera Utara, tgl. 29-31 Maret 1981. Lihat juga harian Analisa tgl. 10 April 1981. —————————-, Bangun Dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Di Sumatera Timur, (Medan: Penerbit Yayasan Kesultanan Serdang, 2006) —————————, Sari Sejarah Serdang, Lembaga Pnelitian Fakultas Hukum USU, 1971 —————————-, Sejarah Medan Tempo Doeloe (Medan: Perwira, 2005) Teeuw, A, Modern Indonesia Literature, (The Hague: 1979, Martinus Nijhoff (Terjemahan KITLV, 10), Edisi I, 1967). Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Stabat, 1995. Tim Survai, Monografi Kebudayaan Melayu Di Kabupaten Langkat, (Proyek Pengembangan Permuseuman Sumatera Utara: Medan 1980). Ulrich, Kratz, E. New Poem By Amir Hamzah, (Indonesia Circle 21: 1980) Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000 Zuhdi, Sulaiman. Langkat dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban (Stabat, Stabat Medio, 2013)


166 Informan: Wawancara dengan Bapak Basri di selesai, tanggal 15 Juli 2018. Wawancara dengan Bapak Haz tanggal 19 April 2018. Wawancara dengan Bapak Zainal tanggal 7 Juli 2018. Wawancara dengan Bapak Zainal tanggal 7 Juli 2018. Wawancara dengan Bapak Zainal, tanggal 22 Agustus 2018 di Tanjung Pura. Wawancara dengan cucunya Usmanidar (guru di Jamaiyah) di Jamaiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018. Wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Jamaiyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2019. wawancara dengan Fachruddin Ray di rumahnya pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2018. Wawancara dengan Haz, tanggal 18 Juli 2018. wawancara dengan Zainal AK di rumahnya pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018 di rumahnya. Wawancara dengan Zainal AK, di rumahnya di Pangkalan Berandan Langkat pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018. wawancara dengan Zainal Ak. (Budayawan Kabupaten Langkat) pada hari Rabu tanggal 15 Agustus di rumahnya. Wawancara dengan Zainal tanggal 5 Juni 2018. wawancara dengan Zainal, tanggal 18 Agustus 2018 di Stabat. Wawancara dengan Zainal, tanggal 28 Juli 2018. Wawancara dengan Zainal, tanggal 3 Juni 2018. Wawancara dengan Zainal, tanggal 3 Juni 2018. Wawancara Ray, tanggal 2 Juni 2018.


167 Website: http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018. http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018. http://www.lenteratimur.com/author/tengku-mansoer-adil-mansoer/> di Belanda dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu/Indonesia oleh Anna Kharisma dari Sastra Belanda Universitas Indonesia. https://min.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_Nasional_Indonesia., diakses pada tanggal 23 Agustus 2018. http://archive.lenteratimur.com/2011/06/aru-dahulu-langkat-kemudian/. Diakses pada tanggal 2 Juli 2018 http://tenteraislam.blogspot.com/2012/09/mengenal-ulama-terkemukasumatera-timur.html., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018. https://visitlangkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/ . Diakses tanggal 30 Agustus 2018. http://shahrirkamil.blogspot.com/2015/08/syeikh-abdullah-afifuddinlangkat.html., di down-load pada hari Selasa, tangal 28 Agustus 2018., juga Hasil wawncara dengan cucunya Yaumul Khair, di Jamaiyah Mahmudiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018, juga Hasil wawancara dengan Zainal AK, di Rumahnya Pangkalan Berandan pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018. http://datokzulanhar.blogspot.com/2016/10/pohon-langkat.html. diakses pada tanggal 18 Juli 2018. https://narakata.com/2017/04/16/pernah-diusulkan-menjadi-pahlawannasional-amir-hamzah-diangkat-chairil-ditolak/, dan juga http://jabar.tribunnews.com/2018/01/30/jokowi-hadiahkan-peci-simbolpejuangan-sukarno-ke-presiden-afghanistan., didown-load pada hari Minggu tanggal 2 September 2018.


168


169 INDEKS A A.H. Johns 144 Abdul Aziz 48 Aceh 33, 36, 68 Aceh Tamiang 33, 44 Aceh Timur 79 Adam Malik 51, 59, 96, 150 Aeliko Janszoon Zijlker 68 Al-Masrurah 59 Amir Hamzah 97, 130, 140 Asia Tenggara 43 Austronesia 99 B Bahorok 33, 44 Belanda 38, 76 Bendahara Raja Badiuzzaman 27 Besilam 62 Besitang 19, 20, 159 Beteshti Petrolium Maskapai 69 Binjai 44, 130 C Cina 35 D Darul Aman 157 Datuk 160 Dewa Sakti 24, 27, 28


170 Dewa Syahdan 19, 20, 24, 159 Dr. Amir 75 E Europese Logare School 58, 97 F Fachruddin Ray 2 Falsafah Melayu 100, 115 G Gerindo 74 H Haji Musa Alhamdainsyah 33 Heuristik 12 Hindia Belanda 48 Historiografi 13, 14 Holland Chinese School 58, 97 Holland Indonesian School 58 Hukum Islam 6 I Islam Melayu 5, 6 J Jacobus Nienhuys 70 Jamaiyah Mahmudiyah 58, 61, 112 John Anderson 72, 90 K Kabupaten Langkat 2, 4 Kal J. Pelzer 71


171 Kampung Babussalam 7 Kejeruan Hitam 29 Kejeruan Tuah Hitam 92 Kerajaan Aceh 80 Kerajaan Aru 19, 20, 21, 22, 105, 159 Kerajaan Langkat 42, 84 Kesultanan 148 Kesultanan Asahan 7 Kesultanan Langkat 2, 5, 6, 8, 9, 10, 27, 40, 47, 69, 70, 137, 143, 152, 159, 161 Kesultanan Melayu 159 Kolonial Belanda 74, 159 Kuala Begumit 150 Kublai Khan 21 Kuta Buluh 19 L Laksemana Cheng Ho 23 Langgar 85 Langkat 29, 31, 33, 36, 54, 61, 88, 109, 117, 140 Langkatsche School 97 Laskar Pesind 149 M Madrasah 34, 59, 66 Madrasah Al-Masrurah 161 Madrasah Aziziah 161 Madrasah Jamaiyah Mahmudiyah 58 Madrasah Mahmudiyah 161 Malikulsaleh 21 Marco Polo 21 Masjid 3 Masjid Azizi 7, 51, 52, 55, 84, 112, 114, 124, 133, 150


172 Masjid Raya Stabat 85 MASYUMI 124 Matoa 18 Melayu 4, 5, 6, 17, 50, 75, 90, 99, 143 Melayu Deli 82 Melayu Langkat 112 MULO 97, 147 N Nasionalisme 74 Nobatsyah 30, 32, 92 Nusantara 2, 50, 60, 161 O Observasi 14 P Partai Nasional Indonesia (PNI) 154 Peci hitam 155 Perguruan Jama’iyah Mahmudiyah 96 PKI 124, 132, 135 PNI 132 R Raja Ahmad 27, 30, 31, 38, 42, 92 Raja Bingei 44 Raja Kahar bin Panglima Dewa Syahdan 27 Raja Kejuruan Hitam 27 Raja Kerajaan Haru 19 Raja Langkat 50 Raja Musa 34, 37, 110 Raja Syahdan 106 Republik 130


173 Revolusi Sosial 118, 135, 157 S Samudera Pasai 21 Sejarah sosial 9 Selat Malaka 22 Seneca Oil Company 69 Serikat Islam 74 Siak 30, 31, 36, 38 Stabat 31, 32, 57 Sulaiman Zuhdi 6 Sultan Abdul Aziz 43, 54, 55 Sultan Bilah 76 Sultan Iskandar Muda 80 Sultan Langkat 67, 76, 132 Sultan Mahmud 128 Sultan Mahmud Abdul Azis 120 Sultan Mansyur Shah 22 Sultan Musa 5, 15, 33, 36, 37, 41, 42 Sumatera Timur 2, 5, 7, 22, 37, 43, 60, 70, 75, 80, 91, 94, 110, 119, 123, 135 Sumatera Utara 1, 16 Syekh Abdul Wahab Rokan 52, 55, 61, 97 Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy 65 Syekh Mohammad Ziadah 65, 66 Syekh Sulaiman Zuhdi 86 T Tahlilan 58 Tamiang 22, 33 Tanjung Balai Asahan 76 Tanjung Pura 57, 65, 73, 84, 157 Tarekat Naqsabandiyah 51, 52, 84, 87, 160


174 Tengku 160 Tengku Abdul Azis 38 Tengku Amir Hamzah 59, 76, 96 Tengku Luckman Sinar 21 Tengku Mahmud 73 Tengku Muhammad Hasan 76, 135 Tengku Musa 32, 92 Tengku Musa Abdul Jalil Rahmadsyah Al-Halidy Al-Mu 42 Tengku Puteri Kamaliah 148 Tengku Syarif Kasim 119 Tentara Republik Indonesia 76 Teuku Mohamad Hassan 135 Timur Tengah 81 Tionghoa 21, 53 Tradisi 6 Tuan guru Babussalam syekh Abdul Wahab Rokan 97 Tuan Guru Besilam 37 Tuanku Zainal Abdidin 30 V Van der Wal 70 Volkfront 126 Volksvront 131 Z Zainal Arifin AKA 18 Zijlker 68


175 BIODATA PENULIS Pagar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Medan. Selain Guru Besar ia juga menjabat sebagai Ketua LP2M di kampus tersebut. Fatimah Zuhrah, lahir 28 Februari 1976 di Dolok Masihul, Sumatera Utara. Saat ini merupakan peneliti pada LP2M UIN-SU Medan, pernah mengukuti Short Course Research Methodology di Leiden University, tahun 2015. Kursus yang lain juga pernah diikuti pada tahun 2013 di Vreijt University, Amsterdam, dan di Melbourne University 2005-2006 tentang Training on Strengthening Research Capacity Building. Tahun 2005 ia berkesempatan ke negeri Kanggoru untuk mengikuti Introductory Academic Program, Partnership in Educatian and Training di Australian National University (ANU), Canberra. Shiyamu Manurung, merupakan peneliti pada LP2M UIN-SU Medan, kelahiran 8 Agustus 1979 di Desa Penggalangan, Sumatera Utara. Selain peneliti, ia juga mengajar di beberapa kampus swasta di Medan yaitu, STAI Al-Hikmah Tebing Tinggi, STAI Panca Budi Medan, Dosen STAI Abdur Rauf Singkil, serta Dosen di Universitas Al-Muslim di Pematang Lhoksukon Aceh. Ia juga aktif mengisi pengajian di Majlis Taklim di Kota Medan sampai saat ini. Masmedia Pinem, M.Ag., lahir di Kabanjahe, Tanah Karo, Sumatera Utara 8 Mei 1973. Putra kedua dari empat bersaudara ini merupakan peneliti di Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama sejak 2010. Pendidikan Dasarnya di Kampungnya, SMP lanjut ke Pondok Pesantren Darul Arqom Kerasaan, Simalungun. Setelah selesai dari Pondok melanjutkan Aliyah ke Ranah Minang, tepatnya di KMM Kauman Padangpanjang, 1989-1992, sekolah yang pernah dipimpin oleh tokoh besar bangsa ini yaitu Prof. Dr. Buya HAMKA. Pascatamat Aliyah, sempat pontang-panting di Jakarta selama setahun menjadi kuli kasar yaitu ‘kernet bus’ Jakarta-Bandung.


176 Tahun 1993 melanjutkan kuliah Perbandingan Agama di Universitas Muhammadiyah Surakarta, selesai tahun 1998. Selesai kuliah sambil mengajar di Pondok Shobron UMS, sembari kuliah S2 di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 2000-2003. Blessing indisguisse setelah PNS, bisa kuliah S3 dengan biaya mandiri di tahun 2013 di Universitas Padjadjaran Bandung, alhamdulillah selesai tahun 2018. Selain meneliti, saat ini ia juga menjadi tenanga pengajar di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Dede Burhanudin, lahir di Garut, 4 Mei 1967. Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta, sebelumnya peneliti Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat. Studi di KOKAR/SMKI (Konservatori Karawitan/ Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Bandung tahun 1987. UNINDRA Jakarta Tahun 1993 S-1 Sejarah, th 2006 Magister di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta di Fakultas Ilmu pendidikan dan keguruan konsentrasi seni Kontemporer keagamaan. Tahun 2018 menyelesaikan pendidikan doktoral di FIB/Filologi UNPAD Disertasi membahas Citra Perempuan Dalam Wawacan Nyi Zaojah: Edisi Teks dan analisa Nilai-nilai Keislaman. Karya tulis yang sudah dipublikasikan antara lain: Dendang Syarir-syair Rhoma Irama, Pustaka Izfam, Jakarta, 2012, Carios Babad Sumedang, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2012, Tembang dalam Tradisi Orang Sunda: Kajian Naskah Guguritan Haji Hasan Mustapa, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2013, Rumah Ibadah bersejarah, Puslitbang Lektur Khasanah Keagamaan, Jakarta, 2013, Karya Ulama di Lembaga Pendidikan Keagamaan di Sulawesi Tengah, dkk, Buletin Al-Turas 2014, Ensiklopedi Pemuka Agama Nusantra, Puslitbang Lektur Khazanah Keagamaa, Jakarta, 2016, Inskripsi Keagamaan Nusantara di Palu Sulawesi Tengah, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2016, Klenteng Kuno Boen Bio di Surabaya (Nilai dan Makna Ajaran Khonghucu) Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta , tahun 2017, Vihara Dhanagun dan Komunikasi Budaya di Kota Bogor, Jawa Barat, Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, 2018, The Religious Meaning Of Islamic Inscription In Kota Tinggi Cemetery, Siak, Riau Province. Heritage Of Nusantara: International Journal Of Religious Literature, Jakarta, 2017, , Potret Khazanah Keagamaan Pattani dan Indonesia, Lintas Budaya


177 PT. RANESS MEDIA RANCAGE (2020)121-133, Tradisi Ziarah Dalam Katolik (JKBH) Jurnal Kajian Budaya Humaniora Vol 2, No 1, (2020) 1-9, Kiprah K.H. Hasyim Mujadi Dalam Khazanah Kagamaan dan Bernegara Lintas Budaya PT. RANESS MEDIA RANCAGE (2020) 29-48, dll. Asep Saefullah, lahir di Kuningan pada Oktober 1971. Pendidikan S1 dan S2 diselesaikan di IAIN (skr. UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; S1 Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), tamat 1997, dan S2 Prodi. Sejarah Peradaban Islam (SPI), tamat 2000. Pada tahun 2000, selama enam bulan, mengikuti Program “Pembibitan Calon Dosen IAIN/STAIN Se-Indonesia Angkatan XIII” di IAIN (skr. UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. S3-nya diselesaikan di Fakiltas Ilmu Budaya (FIB) UNPAD Bandung-Jatinangor, Kosentrasi Filologi pada 2018.


178 REVIEWER LITBANG DIKLAT PRESS 1. Prof. H. Abd. Rachman Mas’ud, Ph.D 2. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar 3. Prof. Dr. Ridwan Lubis 4. Prof. Dr. Oman Fathurrahman 5. Prof. Dr. Imam Tholhah 6. Prof. Dr. H. Moh. Isom, M.Ag 7. Dr. Choirul Fuad Yusuf 8. Prof. Dr. M. Adlin Sila, M.A. 9. Dr. H. Agus Ahmad Safei 10. Dr. Kustini 11. Arif Zamhari, Ph.D 12. Dr. Anik Farida 13. Dr. Fakhriati


Click to View FlipBook Version