The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Kamaruddin S.Pd.I, 2024-05-09 21:53:01

Sejarah Sosial Kesultanan Langkat

Sejarah Sosial Kesultanan Langkat

42 berkedudukan sampai sekarang. Sebagaimana halnya kerajaan-kerajaan lain, Kejayaan/Kesultanan Langkat tidak mucul tiba-tiba tetapi melalui proses panjang yang terbangun secara bertahap dan terkait dengan banyak aspek. Dalam paparan berikut, proses perjalanan panjang Kesultanan Langkat menuju puncak kejayaannya dibagi menjadi dua tahap, yaitu; Pertama, ada banyak hal baru yang diperoleh Sultan Musa pada masa kekuasaannya. Ia adalah raja pertama yang diberi gelar kehormatan sultan pada masa Kerajaan Langkat. Nama besar yang disandangnya ini sejalan dengan kemajuan pesat kerajaan yang diraih pada masanya, di mana hal ini berbeda dengan semua pendahulunya. Pemberian gelar sultan ini sekaligus memperlihatkan simbol keislaman yang melekat pada kerajaan Langkat ini. Penganugerahan gelar”Sultan” ini kepadanya adalah sebagai pemberian gelar pertama kalinya pada raja-raja Karajaan Langkat, yang sekaligus merubah peristilahnya menjadi “Kesultanan Langkat”, sedangkan pada masa sebelumnya adalah “Kerajaan Langkat”. Raja ketujuh ini miliki sederet gelar kehormatan. Ia dipanggil dengan gelar Sultan (Raja) Tengku Musa Abdul Jalil Rahmadsyah Al-Halidy AlMuazzamsyah Al-Haj raja Kerajaan Langkat, yang bergelar Pangeran Indra Diraja Amir yang dianugerahi pada tahun 1869. Ia memperoleh kekuasaan ini sebagai warisan dari ayahnya Raja Ahmad yang ketika itu berpusat dan berkedudukan di Gebang. Untuk kepentingan kesultanan yang lebih kuat dan strategis maka setelah Sultan Musa memangku jabatan, ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Tanjung Pura, yang pada masa itu dikenal dengan nama Kota Pati. Hampir semua raja Islam hanya berani memberi gelar tertinggi sultan kepada rajanya sebagai penguasa pada daerah tertentu yang sifatnya lokal. Sementara ada keyakinan yang terbentuk dalam sejarah islam bahwa gelar penguasa tertinggi Islam adalah khalifah, dan kepemimpinan yang disandang oleh khalifah adalah bersifat umum, yaitu untuk seluruh umat manusia di seluruh penjuru jagat raya ini. Hal ini tidak pernah ada lagi sampai sekarang ini sejak jatuhnya Kekhalifahan Turki Usmani di Turki. Sultan Musa telah membawa Kerajaan Langkat menuju masa


43 keemasannya. Berkat temuan dan rintisan ladang minyak pertama di Indonesia, dan usaha perkebunan yang berjalan dengan sukses pada masanya telah mengantarkan Kerajaan Langkat mejadi Kerajaan terkaya yang tiada tandingannya di Asia Tenggara. Ia telah mendirikan istana Darul Aman yang cukup megah di Kota Pati (sekarang bernama Tanjung Pura) sebagai singgasana kerajaan, sekaligus simbol kejayaan Kerajaan Langkat. Ia juga telah memiliki 4 (empat) buah kapal tanker (kapal besi) untuk pengangkut minyak yang senantiasa berlabuh di Pangkalan Berandan, dan Pangkalan Berandan dibuka menjadi sebuah kota perminyakan, di mana putra tertua Raja Gayo yang datang mohon suaka atas perseteruannya dengan adik kandungnya sendiri di Gayo dalam perebutan tahta kerajaan, maka Sultan Musa memberi kesempatan kepadanya untuk menjadi pengawas perminyakan dan ditunjukkah dia sebagai Datok Lepan. Berkat usaha perminyakan ini. Kejayaan Kerajaan/Kesultanan Langkat ini semakin dekat dan turut mengukir sejarah panjang, dan kesuksesan Kerayaan/ Kesultanan Islam di Sumatera Timur pada masa kolonial Belanda. Sultan Musa adalah raja pertama pembuat terobosan baru tentang sistem aturan putra mahkota yang dapat dipersiapkan menjadi raja. Semula semua putra mahkota yang berasal dari “Anak Non Graha”, yaitu ayahnya Tengku dan ibunya berasal dari anak Datuk sudah berhak menjadi raja tetapi pada masa Sultan Musa, persyaratannya ditingkatkan menjadi “Anak Graha”, yaitu calon raja harus berasal dari keturunan yang setara antara ayah dan ibunya, ayahnya keturunan Tengku, demikian juga ibunya adalah keturunan Tengku (kedua-duanya adalah keturunan Tengku). Dengan perpaduan dua keturunan yang istimewa ini maka lahirlah anaknya Tengku asli. Sejalan dengan kebijakan ini maka keturunannya yang berhak menjadi sultan adalah Sultan Abdul Aziz. Dia adalah anak yang lahir dari perkawinan Sultan Musa dengan Masrurah yang juga keturunan Tengku setelah terlebih dahulu Sultan Musa terlibat perang dengan mantan suaminya Raja Bingai dan suami Masrurah kalah/ wafat dalam peperangan tersebut, lalu Sultan Musa menikahinya. Sultan Musa adalah keturunan Tengku, demikian juga Masrurah adalah keturunan Tengku, jadi keduanya adalah keturunan


44 Tengku, maka Abdul Aziz adalah anak Tengku sempurna, dengan ini dia berhak menjadi raja. Karenanya, Sultan Musa akan mempersiapkan anaknya Abdul Aziz yang akan menggantikannya menjadi Raja/Sultan. Sultan Musa cukup lihai dan kuat untuk mengendalikan kesultanan. Sejak dari awal kekuasaannya dia sudah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan dari Gebamp ke Tanjung Pura, dan ini dilakukannya dalam rangka optimalisasi fungsi dan kiprah kerajaan dalam pengembangannya. Di bawah kekuasaan Sultan Musa, daerah kekuasaannya menjadi cukup luas, yaitu meliputi perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok. Tidak heran kalau Sultan Musa dipahami sebagai seorang yang sangat sukses dalam pemerintahannya. Sebagai raja yang bijaksana, ia sangat mengerti dalam menjalankan dan mengendalikan kesultanan. Para ulama dekat kepadanya, ia juga bersahabat dengan Belanda, dan ia didukung oleh rakyatnya. Maka, tidak heran kalau pada masa ini diperoleh ketenteraman dan kedamaian. Sebagai seorang sultan yang kuat, ia dinyatakan sultan yang rajin perang; ia sering melakukan peperangan dengan raja-raja lain di sekitarnya, di antaranya perang melawan Raja Bingei, dan ia dapat memenangkan peperangan tersebut. Peperangan dengan Raja Bingei telah dimenangkannya. Dahulu, Raja Bingei tunduk di bawah kekuasaannya, tetapi belakangan Raja Bingei merasa sudah kuat dan ingin memperkokoh eksistensinya. Lalu ia pun memberontak, dan Sultan Musa memerangi dan menaklukkannya kembali. Raja Bingei kalah dan meninggal di tangannya. Hal ini menjadi bukti tentang ketangguhan Sultan Musa dalam mengendalikan kerajaannya. Kekalahan Raja Bingei di tangan Sultan Musa tidak saja berakhir sampai di situ, tetapi dia meminang dan mengawini Masrurah (mantan istri Raja Bingei) tersebut. Dengan wafatnya Raja Bingei, lalu Sultan Musa pun melamar Masrurah, dan Masrurah menerima lamarannya dengan satu syarat permintaan, yaitu; “Kalau nanti suatu saat lahir anaknya laki-laki, maka Sultan harus mempersiapkan dan mengangkatnya menjadi raja. Permintaan pun ini dikabulkan oleh Sultan Musa, maka pernikahan yang meriah pun dilangsungkan.


45 Skema sederhana komposisi keluarga Sultan Musa adalah sebagai berikut:1 Pernikahan T. Amir HAmzah dan Tengku Kamalia B. Masa Puncak Kejayaan: Masa Kepemimpinan Sultan Abdul Aziz Ada dua alasan tentang pengangkatan Abdul Aziz menjadi sultan oleh ayahandanya Sultan Musa. Pertama, Abdul Aziz adalah anak yang terlahir dari kedua ayah dan ibunya bergelar Tengku (perkawinan Ghara). Sesuai 1Hasil wawancara dengan Zainal Ak. (Budayawan Kabupaten Langkat) pada hari Rabu tanggal 15 Agustus di rumahnya.


46 dengan kebijakan baru yang dibuat oleh Sultan Musa, maka ia memenuhi syarat untuk menjadi sultan. Kedua, Sultan Musa memiliki hak veto untuk mengangkat anak kandungnya yang mana ditentukan menjadi raja, ternyata ia menginginkan Abdul Aziz untuk diangkat menjadi raja. Sejak dari awal pernikahan Sutan Musa dengan Masrurah, Masrurah sudah mempersyaratkan terlebih dahulu tentang keinginannya untuk menjadikan anaknya yang akan lahir nanti dari perkawinan mereka, jika ternyata lakilaki harus dijadikan menjadi Raja. Dengan hal ini Sultan Musa bersikukuh dengan keinginannya untuk menjadikan anak kandungnya dari istri ketiga ini, yaitu Abdul Aziz menjadi Raja. Sehubungan dengan usianya yang sudah tua, Sultan Musa mengangkat anaknya Tengku Abdul Aziz sebagai penggantinya. Meskipun Abdul Aziz masih terbilang cukup muda, pada tahun 1892 Sultan Musa menyampaikan kehendaknya tersebut kepada seluruh keluarga dan rakyat kerajaan. Pada tahun tahun 1893 Sultan Musa secara resmi mengangkat anaknya Tengku Abdul Azis menjadi sultan dengan gelar Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahkmatsyah. Untuk selanjutnya Sultan Musa lebih memperbanyak ibadah, dalam hal ini memilih bersuluk di Pesantren Naqsabandiyah “Babussalam” yang didirikan oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan karena konon kabarnya bahwa Sultan Musa adalah saudara satu susu dengan Syekh Abdul Wahab itu, meskipun asalnya dari Siak. Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan


47 Mengingat usianya yang masih muda, Sultan Abdul Aziz belum dapat menjalankan pemerintahan secara sempurna. Sultan Abdul Aziz masih memerlukan pihak lain untuk menopang kekuasaannya, dalam hal ini ia dibantu oleh abang-abangnya, di antaranya; Tengku Sulung dan Tengku Hamzah. Berkat kerjasama ini, dan atas pantauan Sultan Musa maka kerajaan tetap berjalan dengan baik. Setelah waktu berjalan selama 3 (tiga) tahun, tepatnya pada tahun 1896, Sultan Abdul Azis pun dilantik secara resmi oleh Residen dan dinyatakan sudah mandiri. Sultan Abdul Aziz dipahami telah siap untuk mandiri melaksanakan tugas kesultanannya. Kebijakan awal yang dilakukannya adalah memberikan perhatian khusus terhadap daerah Pangkalan Berandan. Daerah ini dipandang semakin penting dengan adanya sumber minyak di sana, maka Sultan menganggap perlu menumbuhkan Luhak ketiga yang baru. Diambil dari Luhak Langkat Hilir daerah-daerah Besitang, Pulau Kampai, Pangkalan Berandan dan Lepan dan dijadikan masuk Luhak Teluk Haru dengan kedudukan Pangkalan Berandan dan ini dipimpin oleh putra dari Tengku Sulung. Tengku Sulung sendiri minta berhenti sebagai kepala Luhak Langkat Hulu dan ia digelar Mangkubumi. Sebagai gantinya di Langkat Hulu diangkat Tengku Adil putra dari Tengku Hamzah. Kondisi Kesultanan Langkat pada saat peralihan dari Sultan Musa (seorang ayah) kepada anaknya Sultan Abdul Aziz (1897 – 1927 M.) cukup maju. Situasi politik Kesultanan Langkat saat diawali oleh Sultan Abdul Aziz dalam pemerintahannya cukup terkendali, situasi Pendidikan baik, keagamaan cukup baik, bahkan kondisi ekonomi kuat. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi Kesultanan langkat berjalan dengan cukup meyakinkan. Kenyataan ini menjadi modal awal yang sangat berharga bagi Sultan Abdul Aziz untuk lebih memajukan kesultanan Langkat pada masa berikutnya. Puncak kejayaan Kesultanan Langkat diraih pada masa Sultan Abdul Aziz. Situasi yang cukup membanggakan yang diwariskan oleh pendahulunya disempurnakan oleh Sultan Abdul Aziz dengan sangat baik, tidak membutuhkan waktu yang cukup lama, Abdul Aziz telah dapat memoles


48 keberhasilan yang sudah dicapai sebelumnya, dan membuat stimulus kesuksesan sehingga kemajuan itu lebih berdaya guna dan berkesinambungan. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz, Asisten Residen berkedudukan di Tanjung Pura, dijabat oleh Asisten Residen yang disebut Controuler Luit Willer sampai tahun 1903 M. Hindia Belanda (Nederlandscheindie) yang dikuasai langsung oleh Belanda, diperintah secara sentralistis sesuai ketentuan yang diatur dalam Regering Reglement (RR) 1854 M. Secara administratif daerah Hindia Belanda dibagi atas beberapa tingkatan wilayah yang diperintah oleh Pangreh Praja Eropa.2 Meskipun kesuksesan ini bukan sebagai kesuksesan yang berdiri sendiri, tetapi kelanjutan yang sudah dipancangkan oleh ayahnya, akhirnya pohon Kesultanan Langkat ini tumbuh subur dan berbuah dengan sangat lebat dan menggiurkan. Kejayaan ini terlihat juga pada urusan keluarganya. Sultan Abdul Aziz memiliki istri yang banyak, yaitu 10 orang, dari istri-istrinya ini, Dia memiliki23 orang anak, kemudian dari mereka ini telah melahirkan 97 orang cucu. Anak keturunan yang banyak ini dia harapkan akan memperkokoh Kesultanan Langkat pada masa sesudahnya. Sultan Abdul Aziz adalah seorang sultan yang ahli dalam ilmu pemerintahan. Terpancar darinya kepribadian positif, perduli terhadap sesama, dan memerhatikan rakyatnya. Ia menjabat sebagai sultan dengan mengembangkan usaha-usaha yang telah dilakukan oleh ayahnya Sultan Musa, yaitu mengembangkan kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, dan keagamaan. Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Langkat mencapai puncak kejayaannya. Tidak heran kalau pada masa ini kejayaan Kesultanan Langkat tersohor ke seluruh dunia. Sultan Abdul Aziz mangkat pada tahun 1927 M. Wafatnya beliau sekaligus digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud sebagai Sultan pada masa sesudahnya. Era keemasan yang diraih oleh Sultan Abdul Aziz ini hanya berlangsung pada masanya, secara perlahan keemasan ini turut 2 Eko Hendramawan Sembiring, Sejarah Kota Tanjung Pura Tahun 1896-2014, Skripsi, hlm. 28-29.


49 bergeser seiring bergantinya kepemimpinan kesultanan. Dengan demikian berakhirlah kisah golden age Kesultanan Langkat di tangan Sultan Mahmud dan sultan-sultan sesudahnya. Pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Aziz, Kesultanan Langkat mencapai puncak kemakmuran. Pada tahun 1897 M, Sultan Abdul Aziz membangun istana baru yang bernama “Darul Makmur” terletak di Kota Baru yang berlokasi di depan istana Sultan Musa.3 Untuk memajukan pemerintahannya Sultan Abdul Aziz menerapkan beberapa kebijakan. Kebijakan yang dibuat oleh Sultan Abdul Aziz pada dasarnya diadopsi dari kebijakan Sultan Musa, namun sebagian besar diperbarui sehingga kebijakan tersebut semakin berkembang. Kebijakankebijakan tersebut antara lain: 1. Kebijakan Politik Kantor Kerapatan di Binjai 19334 Kebijakan politik Sultan Abdul Aziz dapat dilihat dengan adanya hubungan kerjasama internal dan eksternal. Hubungan kerjasama internal 3Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm. 106. 4https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018.


50 yaitu hubungan kerjasama yang dijalin antara Kesultanan Langkat dengan kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kesultanan Langkat, seperti Kejeruan Bingai, Kejeruan Stabat, Kejeruan Bahorok, Kejeruan Selesai, Kedatukan Besitang, Kedatukan Terusan/Pantai Cermin, Kedatukan Hinai, Kedatukan Padang Tualang, Kedatukan Pulau Kampai, Kedatukan Sei Lepan, Kedatukan Salapian,Kedatukan Punggai, Kedatukan Secanggang, Kedatukan Sei Bingei, dan Kedatukan Salahaji.5 Pada awalnya hubungan Kesultanan Langkat dengan kerajaankerajaan kecil sudah baik. Oleh karena itu, Sultan Abdul Aziz menjalin kembali hubungan tersebut agar kerajaan-kerajaan tersebut tetap berada dalam kedaulatan Kesultanan Langkat dan dapat membantu pemerintahan Kesultanan Langkat. Hubungan kerjasama internal yang terjadi membuat masyarakat Langkat menjadi masyarakat yang majemuk. Tidak hanya berasal dari etnis Melayu, akan tetapi ada etnis Batak, Karo, Jawa, dan lain sebagainya di wilayah Kesultanan Langkat. Selain itu, dengan dibukanya perkebunan dan tambang minyak di wilayah Langkat, terjadilah urbanisasi secara besar-besaran ke wilayah Tanjung Pura (pusat pemerintahan Kesultanan Langkat) untuk menjadi buruh kontrak. Hubungan kerjasama eksternal yaitu menjalin hubungan baik dengan Belanda, dimulai dari kontrak politik Sultan Langkat dengan Belanda yakni mengizinkan Belanda menjalankan pemerintahan yang otonom dan menjalankan kekuasaan hukum berdasarkan bentuk aristokrasi Melayu sepenuhnya. Hal ini kemudian membuat sultan mengizinkan pihak Belanda untuk mendirikan kantornya di Tanjung Pura sehingga apabila terjadi kekacauan di wilayah Kesultanan Langkat maka pihak Belanda bersedia membantu sultan kapanpun sultan minta. Bentuk awal kerjasama itu diawali ketika Belanda ingin menguasai seluruh wilayah Nusantara termasuk Pulau Sumatera. Belanda menandatangani perjanjian dengan Raja Langkat pada tanggal 21 Oktober 1865 M.6 5M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-Langkat-Sumatera Utara, hlm. 24. 6Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm. 222.


51 2. Kebijakan Pendidikan Dalam bidang pendidikan Sultan Abdul Aziz membangun beberapa madrasah-madrasah untuk mempelajari ilmu agama, salah satu bukti peninggalannya saat ini yaitu Masjid Azizi yang dulunya merupakan tempat bermusyawarah dan tempat untuk melakukan kajian agama Islam. Selain itu ialah lembaga Jam’iyyah Mahmudiyyah yang masih berdiri hingga sekarang. Beberapa tokoh nasional banyak yang belajar di sana, salah satunya adalah Adam Malik (wakil presiden RI). Di samping pendidikan agama Islam, Sultan Abdul Aziz juga membangun sekolah umum bagi masyarakat Langkat, yaitu HIS (Hollandsch Inlandsche School) yang dibentuk berdasarkan kerjasama dengan Belanda dan Sekolah Melayu. HIS dan Sekolah Melayu pada umumnya hanya menyajikan materi-materi pelajaran umum. Pada tahun 1900 M, Sultan Abdul Aziz mendirikan Sekolah Rakyat 7 tahun “Langkatsche School”, gurunya didatangkan dari Nederland, yang bernama J.F. Itterson, tahun 1814 M digantikan oleh Hensius dibantu Mevrouw Hensius Zoniville dan W.F.Th. Eygelsheim, guru khusus bahasa Melayu B.R. Sojuangan, dan juga didirikan Sekolah Rakyat, 5 tahun dan 3 tahun di beberapa tempat. 3. Kebijakan Keagamaan Wilayah Langkat dijuluki sebagai kota Islam, karena mayoritas penduduknya menganut agama Islam, sehingga sangat kental akan budaya Islamnya. Dalam penerapan syariat Islam, Kesultanan Langkat memiliki guru-guru agama yang sekaligus dijadikan sebagai penasihat sultan untuk dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Dalam sistem kehidupan masyarakat Melayu, seluruh warganya terikat dengan Adat Resam Melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam. Kegiatan keagamaan Kesultanan Langkat dapat dilihat dengan adanya Masjid Azizi dan Tarekat Naqsabandiyah. Masjid Azizi dibangun dengan sangat megah dan menjadi simbol kebanggaan rakyat Kesultanan Langkat. Dengan dibangunnya Masjid Azizi yang megah pada waktu itu, kita dapat melihat kekayaan negeri Langkat pada masa pemerintahan Sultan Abdul Aziz berkuasa.


52 Dinamika keagamaan yang begitu kuat, dapat dilihat dengan keberadaan Kota Babussalam sebagai pusat kegiatan Tarekat Naqsabandiyah. Pusat tarekat tersebut muncul dan berkembang menjadi sebuah simbol keagamaan pada masa tersebut dan bahkan sampai saat ini. Tarekat Naqsabandiyah di Langkat didirikan dan dikembangkan oleh Syekh Abdul Wahab Rokan. Dalam kegiatan keagamaan seperti tarekat Naqsabandiyah, memberikan pengaruh yang cukup kuat, yakni membuat masyarakat mengerti akan hukum-hukum Islam.7 Selain itu, dengan ikut sertanya sultan dan beberapa pembesar kerajaan dalam kegiatan Tarekat tersebut membuat masyarakat juga ikut dalam kegiatan tarekat tersebut. Masyarakat menjadi simpati dan hormat kepada sultan, karena sultan dapat memberikan contoh yang baik untuk membawa masyarakat kepada ajaran Islam, sehingga pemikiran masyarakat Langkat saat itu tidak kolot dan fanatik terhadap hukum adat. Dengan kebijakan keagamaan yang telah dibentuk dan dikembangkan oleh Sultan Abdul Aziz, membuat Kesultanan Langkat menjadi masyhur dan semakin diminati oleh para pencari ilmu agama Islam (Tarekat Naqsabandiyah) dan para wisatawan yang ingin melihat kemegahan Masjid Azizi. Bahkan kemegahan Masjid Azizi tidak pernah luntur dan selalu menjadi konsumsi wisatawan yang ingin berkunjung ke wilayah Langkat saat ini. Selain itu, masyarakat Kesultanan Langkat dikenal sebagai masyarakat yang agamis dan berpedoman pada syariat Islam. 4. Kebijakan Ekonomi Stasiun Kereta di Besitang 7Di dalam tarekat, termasuk Tarekat Naqsabandiyah, perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dilakukan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan


53 Kebijakan ekonomi Kesultanan Langkat masa Sultan Abdul Aziz tidak lepas dari hubungan kerjasama eksternal dengan Belanda. Kekuasaan pemerintahan kolonial di Kesultanan Langkat telah merubah sistem dan berdampak pada kebijakan ekonomi. Dominasi pemerintahan kolonial dapat dilihat dari dibukanya perkebunan-perkebunan dan pertambangan minyak. Keberadaan perkebunan dan pertambangan minyak menambah pemasukan bagi Kesultanan Langkat melalui pembayaran izin konsesi yang dilakukan pemerintah Belanda dengan sultan dan bangsawan kerajaan. Bentuk kerjasama yang dilakukan oleh sultan dengan pihak Belanda maupun kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Kesultanan Langkat, membuahkan hasil dan semakin maju dengan pesat. Hal itu kemudian dapat membantu masyarakat yang kekurangan. Sultan juga membangun fasilitas-fasilitas umum untuk membantu masyarakat. Fasilitas-fasilitas itu diberikan secara gratis oleh sultan untuk rakyatnya, seperti Rumah Sakit dan pendidikan. Di samping itu, dengan banyaknya masyarakat dari etnis lain yang datang dan menetap di wilayah Kesultanan Langkat, membuat eksistensi masyarakat Melayu Langkat semakin menyempit, seperti dalam hal perdagangan digantikan oleh etnis Tionghoa. Dengan berkembang pesatnya perkebunan dan perminyakan di wilayah Kesultanan Langkat, hal ini kemudian membutuhkan tenaga kerja dari luar, seperti Cina, Penang, Singapura, India. Selain itu juga mendatangkan buruh-buruh dari Pulau Jawa.8 Terwujudnya Kerajaan Langkat dan Tanjung Pura sebagai negeri yang kaya raya ditopang oleh kegiatan ekonominya yang bergerak di bidang maritim dan agraris. Kerajaan Melayu ini juga terkenal sebagai daerah yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah yang dibina dengan cara taubat, uzlah (pengasingan diri), zuhud, takwa, kanaah (bagian dari sikap zuhud yaitu merasa cukup dengan apa yang dimiliki), dan taslim (berserah diri). Lihat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat, Biografi Ulama Langkat Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam), hlm. 24 dan Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm. 8. 8Sulaiman Zuhdi, Langkat Dalam Kilatan Selintas Jejak Sejarah dan Peradaban, hlm. 100.


54 yang kaya akan tambang dan perkebunan. Aktivitas perdagangan yang pesat di Selat Malaka juga menjadi faktor pendorong bagi masyarakat Langkat untuk ikut andil dan berperan aktif dalam kegiatan perdagangan internasional tersebut.9 Di bidang agraris, komoditas yang dihasilkan adalah hasil hutan dan perkebunan, seperti kayu, rotan, kamper, sawit, pala, dan lain-lain. Komoditas lain yang juga dihasilkan di Langkat adalah lada putih. Aktivitas perekonomian Langkat pada masa itu tidak hanya berorientasi pada perdagangan di Selat Malaka, namun mereka juga telah menjalin kerja sama dalam hal perdagangan dengan Kerajaan Aceh. Aktivitas perdagangan tersebut terjadi di Sungai Wampu. Adapun sistem perkebunan, baru dijalankan ketika Belanda berekspansi ke Langkat. C. Bukti Kejayaan Kesultanan Langkat Banyak bukti kejayaaan Kesultanan Langkat di masa silam yang menjadi warisan dan situs budaya di kerajaan langkat yang bisa dilihat sampai saat ini. Beberapa bukti tersebut adalah; 1. Masjid Azizi Masjid ini dibangun oleh Sultan Abdul Aziz. Pembangunan masjid ini dilakukan oleh Abdul Aziz atas wasiat orang tuanya Sultan Musa yang belum sempat mengimplementasikan pembangunannya. Sejak semula 9Nurhairina, “Dampak Pemerintahan Kolonial Belanda terhadap Perubahan Ekonomi Kesultanan Langkat”, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, tidak


55 pembangunan masjid ini sudah direncanakan, dan akan berdampingan dengan Rumah Suluk Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan yang barusan dibangun di tempat ini, namun kerena sultan keburu wafat maka pembangunan masjid ini ditindaklanjuti oleh Sultan Abdul Aziz.10 Pembangunan masjid ini dilakukan oleh Sultan Abdul Aziz dengan biaya sendiri. Banyak pembesar kerajaan yang menawarkan untuk membantu pembangunan masjid ini, akan tetapi kerena sikap kemandirian Sultan Abdul Aziz dan mengingat wasiat orang tuanya, dan berkeyakinan bahwa ini adalah amanah orang tuanya yang harus diwujudkannya, maka kalau ada pihak yang ingin berpartisipasi untuk membantu secara finansial dia memberi kesempatan pada kegiatan lain dalam pembangunan sarana dan prasarana kemasyarakatan yang ada di Kesultanan Langkat yang segera aka ada lagi nantinya setelah pembangunan masjid ini selesai. Dengan hal ini dia menolak tawaraan para donatur-donatur tersebut. Salah satu kebanggaan masyarakat Langkat yang ada sampai saat ini adalah Masjid Azizi. Masjid Azizi ini dibangun pada masa Sultan Abdul Aziz, sesuai dengan Namanya Sultan Abdul Aziz maka dibuatlah nama masjid ini dengan Masjid Azizi. Masjid ini menjadi istimewa karena didesain oleh seorang arsitektur Jerman dengan menonjolkan masjid bergaya perpaduan Ottoman Turki dengan Hindia. Sebenarnya awal mula pembangunan masjid ini dalam tarap yang masih sederhana sudah dimulai pada masa Sultan Musa, namun selesai dan peresmiannya baru dilaksanakan pada masa Sultan Abdul Aziz pada tahun 1902 M. Masjid ini mampu menampung ribuan orang, dan menjadi lebih istimewa lagi, karena di samping kanan sebelah depan dibangun Menara setinggi 35 meter, dan juga sebuah perpustakaan yang bernama “Balai Pustaka Tengku Amir Hamzah”. Berbeda halnya dengan masjid pada umumnya, masjid ini menggunakan bahan-bahan bangunan dari luar negeri. Di samping desainernya orang luar, juga bahan-bahan yang diperlukan pun didatangkan diterbitkan, hlm. 24. 10https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018.


56 dari luar negeri. Hampir semua bahan bangunannya didatangkan dari luar negeri, terutama Itali sebagai negara maju saat itu, kapal-kapal sultan itu berkali-kali singgah di Penang, kemudian ke Pelabuhan Tanjung Pura (sekarang lokasi itu sudah menjadi perumahan, persisnya di depan kantor koramil) untuk membongkar bahan bangunan yang dibawa dalam rangka membangun masjid tersebut, akhirnya masjid ini selesai, berdiri kokoh dan megah, sampai sekarang masjid ini terlihat khas dan memiliki keistimewaan pada orisinilitasnya, masjid ini masih terjaga dengan baik. Kehadiran masjid ini dimaksudkan sebagai masjid induk termegah dan terbaik di seluruh Kesultanan Langkat, dan hal itu terbukti sampai saat ini. Belakangan terjadi kesulitan untuk mengganti bahan bangunan masjid tersebut. Setelah berjalan masa sampai waktu yang lama, suatu ketika ada yang jatuh ke lantai mengakibatkan marmarnya pecah maka sulit untuk mencari penggantinya, akhirnya terpaksalah dicarikan saja marmar biasa yang mirip dan ada di Indonesia ini lalu dipasang untuk mengisi tempat yang rusak tersebut. Terjadilah ketidak serasian lantai marmar masjid dengan penggantian marmar lokal yang tersedia dengan apa adanya tersebut. Perbandingan masjid Azizi Kesultanan Langkat lebih cantik dibanding dengan Masjid Nabawi Medinah. Suatu ketika Sofyan Saha berkhutbah di Masjid Azizi, dan dia menyampaikan dalam khotbahnya bahwa pada masa 100 tahun yang lalu masjid Azizi masih lebih cantik dibanding dengan masjid Madinah. Pada masa itu adalah masa kejayaan Kerajaan Langkat, hasil tambang minyak sudah melimpah di Langkat ini, dan masjid Azizi masih barusan dibangun dan menjadi pusat perhatian Sultan Langkat, sementara masjid Madinah belum ada perhatian yang besar dari pihak Pemerintah, dan ladang minyak belum dijumpai di Saudi pada masa ini, maka belum ada pembangunan besar-besaran untuk masjid Nabawi Madinah. Hal ini mengantarkan kesimpulan bahwa pada masa tersebut masjid Azizi lebih bagus dari masjid Nabawi di Madinah.11 11Hasil wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Jamaiyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2019.


57 Dalam rangka memperkokoh pemerintahan dalam bidang agama, maka selain masjid Azizi dibangun pula masjid-Masjid yang megah di setiap daerah penyangga kekuasaan. Pada saat ini dibangunlah masjid Stabat yang berjarak sekitar 18 Km. dari Pusat Kesultanan Langkat di Tanjung Pura, kemudian masjid Selesai di ibu kota Kecamatan Selesai (sekarang) yang berjarak sekitar 30 Km. dari Stabat, atau sekitar 48 Km. dari Tanjung Pura, demikian juga Masjid Babalan Kec. Babalan (Sekarang) di Pangkalan Brandan yang berjarak sekitar 45 Km. dari Stabat, atau 33 Km, dari Tanjung Pura. Demikian juga masjid Binjai, dan daerah-daerah penting lainnya di Kesultanan Langkat. 2. Tempat Pendidikan: Madrasah Jam’iyah Mahmudiyah Setelah selesai pembangunan masjid Azizi tersebut maka dilanjutkan lagi dengan pembangunan madrasah Jam’iyah Mahmudiah. Sehubungan dengan janjinya telah terlaksana, yaitu pembangunan masjid Azizi secara mandiri, maka Sultan Abdul Aziz memberi peluang kepada donator unuk turut memdukung pembangunan yang lain maka, untuk hal ini Dia merencanakan pembangunan madrasah Jam’iyah Mahmudiyah yang melibatkan donator. Sultan Abdul Aziz membangun madrasah ini dengan menggelontorkan dana sebesar 40 % dari total rencana dana keseluruhan. Sisa 60% diberi peluang kepada pihak yang ingin membantu untuk berwakaf dalam rangka penyelesaian madrasah tersebut. Sekolah Jam’iyah Mahmudiyyah (Foto diambil ketika wawancara ke Madrasah Jamaiyah Mahmuddiyah Tanjung Pura)


58 Madrasah Jam’iyah Mahmudiyah dibangun pada tahun 1912. Suatu ketika, di tahun 1937 dilaksanakanlah ulang tahun Jamaiyah yang ke-25 ataupun jebelium yang ke-5, berarti 1937 dikurangi 25 sama dengan 1912, dan inilah saat berdirinya Jam’iyah. Pada waktu itu yang menjadi sultan di kesultanan Langkat adalah Sultan Abdul Aziz, dan dia hadir dalam acara tersebut. Peristiwa ini bertepatan pada hari Jumat, dari Jamaiyah yang sesungguhnya bersebelahan, dia berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat, dia diantar oleh para siswa yang waktu itu sudah mencapai jumlah 1500 orang. Untuk memeriahkan jebelium atau ulang tahun tersebut maka diadakan tahlilan, bukan yang lain-lain. Sedang di masjid pada waktu itu tidak ada pengeras suara, tetapi di atas Menara itu ada empat orang tukang azan dengan suara yang kuat maka panggilan shalat itu kedengaran sampai jarak yang cukup jauh. Ini adalah gambaran tentang betapa besarnya perhatian sultan terhadap agama, sekaligus menempatkan dia sebagai tokoh agama dan tokoh Pendidikan yang sangat perduli.12 Pada masa ini pulalah di bangun Jam’iyah Mahmudiyah. Jamaiyah Mahmudiyah ini adalah nama terhadap Lembaga Pendidikan Agama yang didirikan oleh Sultan Abdul Aziz di Kesultanan Langkat. Jamaiyah ini telah berperan banyak dalam mencerdaskan anak bangsa bukan hanya di Langkat semata, tepi juga di Nusantara dan manca negara. Di sinilah tempatnya para santri menggali ilmu dari para ulama besar yang senantiasa berkarya. Selanjutnya untuk Pendidikan umum, Sultan Abdul Aziz membangun juga Lembaga Pendidikan Holland Indonesian School (HIS), dan juga Sekolah Melayu, Europese Logare School (ELS), serta untuk anak-anak keturunan Cina didirikan Holland Chinese School (HCS). Semua ini menjadi bukti sejarah tentang keperdulian Sultan Abdul Aziz terhadap Pendidikan semua pihak dengan tanpa memandang etnis dan agama para rakyatnya. Sebelum pemerintahan Sultan Abdul Aziz sekitar tahun 1900-an, Kesultanan Langkat belum memiliki Lembaga pendidikan formal sama sekali. Secara umum, pendidikan masih berjalan secara tidak formil dan tidak 12Sementara sekarang ini saja pun kondisi pelajar di Jamaiyah ini hanya berjumlah 1600 orang., hasil wawancara dengan Drs. Mukhlis, MA., mantan Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Jam’iyah Mahmudiyah, di kantornya pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2018.


59 terkordinir, Pendidikan lebih banyak dilakukan dengan mengundang guru ke istana dengan tanpa kurikulum yang jelas. Tradisi seperti ini berlngsung sampai pada masa awal kekuasaan Sultan Abdul Aziz. Salah satu kemajuan Pendidikan adalah dengan adanya pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Aziz. Ia mulai membangun lembaga pendidikan formal yang dinamakan maktab (madrasah) yang menjadi sarana pendidikan agama bagi masyarakat Langkat. Madrasah Al-Masrurah didirikan pada 1912, Madrasah Aziziah tahun 1914 dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921. Dengan adanya masdrasah-madrasah tersebut, Langkat menjadi tujuan pendidikan para santri. Bukan hanya masyarakat Langkat yang belajar di tempat ini, tetapi juga banyak santri yang datang dari luar daerah, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, bahkan dari luar negeri, seperti; Brunei, Malaysia, dan daerah lainnya. Pada awalnya madrasah (maktab) ini hanya disediakan untuk anakanak keturunan raja dan bangsawan saja, namun pada perkembangannya maktab ini memberikan kesempatan kepada siapa saja yang berminat untuk belajar dan menuntut ilmu di tempat ini. Beberapa tokoh Nasional yang pernah belajar di maktab ini antara lain adalah Tengku Amir Hamzah (Penyair Nasional) dan Adam Malik (politisi dan mantan Wakil Presiden RI). Al-Masrurah sebagai contoh, termasuk lembaga pendidikan modern terbaik pada masa itu. Al-Masrurah telah didesain sebagai Lembaga Pendidikan Modern, anak-anak diinapkan di tempat ini, setiap anak memiliki kamar sendiri, sistem pendidikan yang dijalankan di sini sama dengan sistem pendidikan umum di Inggris, di mana anak laki-laki usia 12 tahun mulai dipisahkan dari orang tua mereka untuk tinggal di kamar-kamar tersendiri dalam suasana yang penuh disiplin. Fasilitas olah raga tersedia, seperti lapangan bola, kolam renang, dan lain sebagainya telah disediakan secara memadai oleh Sultan. Belakangan ketiga lembaga pendidikan tersebut disatukan namanya menjadi Jam’iyah Mahmudiyah. Dalam rangka upaya peningkatan pendidikan di tempat ini, pada tahun 1923 Jam’iyah Mahmudiyah telah memiliki 22 ruang belajar, 12 ruang asrama, dan di luar fasilitasyang secara


60 langsung untuk kepentingan belajar, tersedia pula fasilitas pendukung lainnya seperti adanya 2 buah aula, sebuah rumah panti asuhan untuk yatim piatu, kolam renang, lapangan bola dan lain sebagainya. Dengan demikian dipahamai bahwa Jmaiyah Mahmudiah telah tampil sebagai lembaga pendidikan yang cukup representatif dan siap untuk mencerdaskan santrinya. Dari aspek mutu Jam’iyah ini dipandang unggul dibanding dengan lembaga pendidikan yang ada pada masa itu. Pada umumnya tenaga pengajar yang ada di sana adalah guru-guru yang pernah belajar ke Timur tengah seperti Mekah, Medinah, dan Mesir. Mereka semua dikirim atas biaya sultan setelah sebelumnya diadakan seleksi untuk itu. Sekitar tahun 1930, santri yang belajar di perguruan ini sudah mencapai sekitar 2000 orang, dan mereka berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan mancanegara. 3. Tarekat Naqsabandiyah di Basilam Persulukan Tarekat Naqsabandiyah di Besilam (Foto diambil ketika Melakukan Penelitian di Kampung Besilam) Raja-raja Sumatera Timur yang paling kuat keislamannya adalah Kesultanan Langkat. Di tempat ini bukan hanya dibangun masjid megah


61 dan madrasah Jam’iyah Mahmudiyah yang besar dengan bimbingan ulamaulama terkemuka yang ada pada waktu itu, tetapi dilengkapi juga dengan aspek religiusitas yang dapat menentramkan batin, maka dibangun pulalah pusat tarikat naqsabandiyah di Babussalam yang dikenal luas dan masih eksis sampai saat ini. Ketiga pilar ini menjadi fakta sejarah karya Sultan Abdul Aziz yang luar biasa dan sangat bermanfaat bagi umat sampai saat ini. Sebenarnya, pihak yang turut berjasa dalam menjadikan Kesultanan Langkat dengan identitas tarikat adalah Sultan Musa. Demikian kesohornya tarikat naqsabandi Babussalam Langkat, bukan hanya di Nusantara tetapi juga sampai ke manca negara, dan masih eksis sampai saat ini, maka sesungguhnya di masa awal, Sultan Musalah pihak yang membawa Tuan Guru Tarikat Naqsabandi Syekh Abdul Wahab Rokan ini dari Riau ke Langkat. Sultan Musa sangat dekat dengan Syekh Abdul Wahab Rokan (pembawa tarekat ini dari Riau). Dikabarkan bahwa kedekatan mereka ini tak obahnya mereka saudara kandung, mereka pernah mengadakan sumpah setia antar satu sama lainnya, mereka berikrar dengan ungkapan; “kalau engkau meninggal dunia terlebih dahulu maka saya yang akan mengurusi fardhu kifayahmu (memandikan, mengkafani, menyalatkan dan memakamkannya) demikian juga sebaliknya kalau saya yang meninggal dunia terlebih dahulu maka engkaulah yang mengurusi fardhu kifayah saya”. Keduanya setuju dan berketetapan hati untuk melaksanakannya, dan ternyata Sultan Musalah yang terlebih dahulu meninggal dunia, maka Syekh Abdul Wahab Rokan pun melaksanakan ikrar setianya. Sejarah awal tarekat Naqsabandiyah Babussalam memasuki Kesultanan Langkat adalah pada masa Sultan Musa (1840-1897 M.). Persahabatan yang baik antara Sultan Musa dengan Syekh Abdul Wahab Rokan (tokoh tarikat Naqsabandiyah) memberi peluang masuknya dan menetapnya ulama besar suluk ini mengembangkan ajarannya di Langkat. Perjalanan panjang Syekh Abdul Wahab Rokan dari Rokan, Riau, menelusuri pesisir pantai Timur Sumatera Siak, Tembusai di Riau hingga ke Kerajaan Kota Pinang, Bilah Panai, Asahan, Kualuh, Deli Serdang, akhirnya mengantarkannya ke Langkat. Sultan menyambut dan memberi tempat


62 kepadanya di Besilam. Sebelum ke Besilam, pertama sekali Sultan sudah memberi tempat kepadanya di Tanjung Pura. Semula Tuan Syekh ini sudah membangun Rumah Suluk di sebelah masjid azizi, tepatnya di tempat parkir masjid azizi yang ada sekarang. Di belakang tempat parkir itu dahulu adalah tempat pembakaran Al-Qur‘an (Al-Qur‘an yang usang dan tidak bisa dipakai lagi, karena khawarir akan berceceran maka dilakukan pembakaran), lalu dibuang ke sungai (dahulu di belakang tempat ini ada sungai besar yang menghubungkan satu kampung dengan kampung lain, termasuk Besilam. Dalam rangka kebersamaan ini, Sultan Musa sudah berencana untuk membangun masjid bersebelahan dengan Rumah suluk tersebut. Beliau berwasiat kepada anaknya tentang pembangunan masjid di tempat ini (tempat masjid Azizi sekarang), dia mengatakan; “kalau umurku tidak sampai nanti untuk mengimplementasikan hal ini maka tolong dibangun masjid di tempat ini”. Ternyata, umurnya pendek maka dapat dipastikan bahwa makam Sultan Musa yang ada di sebelah masjid sekarang adalah lebih dahulu ada dari pada masjid dibangun. Dalam memulai kiprahnya, Syekh Abdul Wahab membangun madrasah Babussalam. Untuk mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, dia berkeyakinan harus menciptakan keseimbangan hidup dunia dan akhirat. Dia tidak hanya menganjurkan berzikir dan bersuluk saja, tetapi dia juga membuka lahan pertanian, seperti perkebunan karet, jeruk manis dan lada hitam, juga menggalakkan peternakan, perikanan, bahkan dia juga mendirikan percetakan. Lebih jauh dari itu, Beliau juga ikut dalam perbincangan politik. Lewat tarekat ini, Dia berusaha mengajak umat melewati perjalanan sipiritual yang panjang dengan cara memperbanyak ibadah kepada Allah, instropeksi diri yang tinggi, sampai akhirnya bisa meraih maqam tertentu dalam pencapaian tarekat yang diinginkan, demikian juga Dia berusaha mengajak umat untuk meraih dunia secara maksimal dalam rangka bekal mendekatkan diri kepada Allah Swt., termasuk politik, di antaranya terlihat dari sikapnya mengutus dua orang puteranya ke musyawarah SI di Jawa Pada tahun 1913, kemudian ia mendirikan Syarikat Islam cabang Babussalam yang mana Dia (Syekh Abdul Wahab


63 Rokan) menjadi salah seorang pengurusnya. Raja kesultanan Langkat memberi apresiasi yang besar kepada suluk Besilam ini. Situasi yang berbeda pada pengangkatan pejabat di Kesultanan Langkat ini dibanding dengan pengangkatan pejabat pada tempat-tempat lainnya adalah adanya satu kesestian; “Setiap pejabat yang akan diangkat pada Kesultanan Langkat, apakah dia Datok atau jabatan-jabatan lainnya maka dia harus terlebih dahulu mengikuti suluk selama minimal 2 (dua) minggu (setengah bulan). Hal ini berlangsung terus sampai kesultanan ini berakhir, termasuk Amir Hamzah sebelum dilantik menjadi Raja Muda, dia sudah terlebih dahulu mengikuti suluk tersebut. Suluk tersebut menjadi terapi bathin yang sangat bermakna bagi setiap pejabat. Sultan mengatakan; “Kita tidak khawatir dengan mereka para pejabat yang sudah diangkat, mereka itu telah memiliki mental yang siap, dan mereka akan bekerja dengan baik, karena mereka telah memperoleh terapi batin yang memadai, yaitu kegiatan suluk yang dilaksanakan. Sultan yakin bahwa pembinaan mental lewat suluk ini menjadi terapi terbaik bagi setiap pejabat. Perjalanan spiritual lewat suluk tersebut menempatkan harga mati terhadap pendekatan diri kepada Allah Swt. Apa pun yang ada di alam ini harus ditempatkan statusnya sebagai sarana dalam rangka taqarrub ila Allah (pendekatan diri kepada Allah Swt.). Hilangnya pengaruhinteres lain yang dapat menodai hati umat manusia untuk mengejarkebutuhan sesaat, dan bersifat duniawi menjadi pemicu kinerja pejabat-pejabat tersebut untuk bekerja dengan ikhlas dan maksimal. 4. Kantor Pengadilan Kesultanan Langkat (Land Raad) Kerapatan Kadhi Kerajaan Langkat (Foto diambil ketika melakukan Penelitian di Tanjung Pura)


64 Land Raad adalah istilah untuk Lembaga Pengadilan Agama yang ada pada masa kolonial Belanda. Pada saat ini rakyat tidak hanya bercerita soal mendapatkan makan dan minum lagi, soal mencari pekerjaan, tidak juga soal mempertahankan hidup dari kesulitan ekonomi semata, tetapi sudah mulai bercerita soal kebenaran, Kebersamaan, Keadilan dan Penegakan hukum. Untuk keperluan ini maka Sultan Abdul Aziz membangun Land Raad untuk pertama kalinya pada Kesultanan Langkat ini yang bertempat di Tanjung Pura, tepatnya berseberangan jalan dengan masjid Azizi. Berdirinya Lembaga peradilan ini benar-benar menjadi indikasi tentang kemajuan Kesultanan Langkat telah dicapai pada masa Sultan Abdul Aziz. Sistem pemerintahan yang ada pada masa ini adalah Kesultanan yang dipahami cenderung memiliki karakter otoriter, di mana sultan ditempatkan sebagai sumber kebenaran. Berbeda halnya dengan apa yang berlaku saat ini, Sultan sebagai pegegang tampuk kekuasaan tertinggi melepas nilainilai kebenaran itu untuk diuji oleh pakarnya, diberi kebebasan kepada publik untuk dibedah dan dipertontonkan secara transparan. Akhirnya hukum diputus lewat Lembaga peradilan ini. 5. Ulama-Ulama Besar dan Ternama Pada masa Kesultanan Langkat ada banyak ulama besar yang dikenal dalam sejarah.Di antara mereka ada ulama yang telah lama belajar di Arab Saudi, baik karena disekolahkan oleh Sultan Langkat13 ataupun karena berangkat sendiriatas biaya mandiri. Di antara mereka itu adalah: a. Syekh Mohammad Ziadah Dia adalah ulama besar Kesultanan Langkat. Di samping kedudukannya sebagai mufti Kesultanan Langkat yang senantiasa berfatwa terhadap berbagai hal yang dipertanyakan kepadanya sesuai peristiwa dan situasi 13Ada tradisi Kesultanan Langkat untuk memajukan daerahnya dengan cara merekrut orang-orang pintar untuk belajar ke Timur Tengah, terutama mereka yang aktif mengajar di Jamai‘ah Mahmudiyah., Hasil wawancara dengan Zainal AK, di rumahnya di Pangkalan Berandan Langkat pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.


65 yang sedang di hadapi oleh umat, beliau juga menjabat sebagai Pimpinan Madrasah Masrurah (sekolah yang pertama sekali di bangun oleh Sultan yang diperuntukkan bagi anak perempuan), dan juga Kepala Jam’iyah Mahmudiyah (sekolah yang dibangun kemudian oleh Sultan dan diperuntukkan bagi anak laki-laki). Kiprahnya tersebut membuat Namanya dikenal sebagai ulama besar di Kesultanan langkat. Dari segi biografinya, Syekh Mohammad Ziadah dinyatakan lahir di Tanjung Pura Kabupaten Langkat pada tahun 1858 M. Dia lahir dari keluarga hartawan, ayahnya fanatik agama bernama H. Syamsuddin, ibunya juga demikian, bernama Hj. Safiyah. kedua sama-sma penduduk asli dan menetap di Tanjung Pura. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, sejak kecil Mohammad Ziadah diasuh oleh kedua orang tuanya. Bersama mereka dia banyak belajar secara tradisional dengan cara berhalaqah, dia belajar Al-Quran, fardhu ain dan sebaginya. Sewaktu umur beliau sudah mencapai 20 tahun, yaitu pada tahun 1878 M. dia melanjutkan studinya ke Mekkah sekaligus untuk menunaikan ibadah haji bersama para hujjaj lainnya. Usai menunaikan ibadah haji maka dia pun bermukin di sana, dia banyak belajar di masjidil haram dan tempat-tempat lainnya. Dikabarkan dia tinggal di sana semasa dengan ulama besar Indonesia syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, dan dia belajar di Mekkah ini selama 8 (delapan) tahun. Sejak masih di Mekkah, eksistensinya sebagai seorang ulama sudah mulai diapresiasi. Pada waktu-waktu tertentu, dia sudah mulai dipercaya untuk ikut mengajar di Masjidil Haram, dia menguasai banyak ilmu, di antaranya; Ilmu Tariqat Naqsabandiyah, Matan Alfiyah, Matan Zubad, dan Bahjat al-Tullab. Di samping mengajar, dia tetap belajar untuk memperdalam ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Setelah lama belajar di Mekkah, pada tahun 1886 dia pun menyimpulkan untuk pulang ke Tanjung Pura, Langkat. Ternyata Langkat pada waktu itu belum memiliki madrasah untuk tempat dia mengabdi, tapi ada banyak keluarga, dan sahabat beliau yang tinggal di Malaysia yang membutuhkannya, maka dia pun meninggalkan Tanjung Pura, dan berangkat ke Ipoh, Malaysia. Di sana dia disambut dengan hangat dan


66 berkiprah sebagai seorang ulama. Dia menetap di tempat ini selama empat tahun. Pada tahun 1890 M., Syekh Mohammad Ziadah kembali pulang kampung. Sewaktu Syekh Abdul Wahab Rokan Besilam (guru tarekat) memanggilnya pulang untuk turut berpartisipasi mengajar di Babussalam Besilam, maka dia pun memperkenankannya, lalu dia meninggalkan Malaysia dan memilih tinggal menetap di Tajung Pura langkat. Baru dua tahun dia mengajar di Besilam, lalu di tahun 1892 Sultan Abdul Azis pun memintanya untuk memimpin Madrasah Masrurah Tanjung Pura, belakangan di bangunlah Jamaiyah Mahmudiyah, dan dia juga diminta untuk memimpin madrasah ini. Pada masa Syekh Mohammad Ziadah, dia melakukan modernisasi terhadap sistem Pendidikan pada kedua madrasah ini. Di tempat ini sudah diajarkan Bahasa Arab, Ibnu Aqil (Kitab Nahu), Syarh al- Maqsud (Kitab Sharf), Fathul Mu’in (Kitab Fikih), Addasuqy (kitab Tauhid), Al Jalalain (Kitab Tafsir), Abi Jumrah (Kitab Hadis), Minhajul Abidin (Kitab Tasawuf), Warqat/ lathaif al-Isyarah (Usul Fikih), Assulam (Mantiq), dan Kitab Bayan Jawahir al-Maknun. Kemudian, dia mengatur krikulum dan membuat kelas sesuai tingkatan kemampuan siswa. Madrasah ini berkembang dengan pesat. Sampai suatu ketika santri kedua madrasah ini sudah mencapai 1600 orang, proses Pendidikan pun dibuat dua shift, yaitu ada kelas pagi dan ada pula kelas sore, dan santri pun berdatangan dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Para ulama terkemuka saat itu direkrut menjadi guru, termasuk mendatangkan mereka dari Timur Tengah, di antaranya; 1). Syekh Abdurrahman 2). Syekh Said Ahmad 3). Syekh Said Abu Bakar, dan juga 4). Syekh Ibrahim Al-Hindy. Sultan berkenan menggaji mereka ini dengan cukup mahal sehingga mereka betah untuk mengajar di madrasah ini. Akhirnya Syekh Mohammad Ziadah mengakhiri pengabdiannya. Dia wafat di rumahnya Jalan Sudirman Tanjung Pura pada usia 83 tahun, dia telah berkiprah mengembangkan agama pada Kesultanan Langkat selama 50 tahun, dan dia pun telah melahirkan ulama-ulama besar pula pada masa sesudahnya, di antaranya; Syekh Abdullah Afifuddin, Syekh Abdul Rahim, Syekh Abdul Hamid Azzahid, Ustadz Salim Fakhry, Tuan Kadhi Hasyim


67 ‘Isya, dan yang lainnya. Syekh Mohammad Ziadah pun berangkat dengan damai untuk selamanya.14 b. Syekh H. Abdullah Afifuddin al-Khalidi Beliau adalah ulama terkemuka di Langkat. Dia lahir pada tanggal 3 Maret 1895 di Kabupaten Langkat, termasuk dari keturunan Tuk Ungku Syekh Yusuf Al - Khalidi. Semasa kecil, dia belajar di Madrasah Mahmudiyah Tanjung Pura, disini dia memperoleh ilmu pengetahuan dari; Syekh Muhammad Nur Abdul Karim (Mufti Langkat), Haji Muhammad Noor Ismail (Qadhi Langkat) dan juga Tuan Guru Besilam. Belakangan Sultan Langkat memberangkatkannya untuk studi ke Mekah, kemudian dia juga pergi ke al-Azhar di Mesir. Dia banyak belajar ilmu falak kepada Syekh Al ‘Ala Al Falaki. Di antara teman-temannya semasa adalah Syekh Idris Al Marbawi, Syekh Junid Thoha,dan Syekh Nassir Al Jauhari. Dianya adalah seorang ulama yang pandangannya diterima oleh masyarakat dan kesultanan Langkat, dan dia telah berada pada banyak tempat untuk mewakili ulama Langkat, misalnya pertemuaan Ulama Tanah Melayu dan Sumatera di Singapura pada masa penjajahan Jepang, bahkan dia banyak berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.15 c. Syekh H. Abdul Hamid Zahid Dia ini adalah ulama langkat yang disekolahkan Sultan Langkat ke Mesir. Semula, orang yang hendak disekolahkan Sultan tersebut adalah abang dari Abdul Hamid Zahid, tetapi karena abangnya ini sudah hendak melangsungkan pernikahan maka ayahnya Abdul Hadi tidak mengizinkan beliau untuk pergi sekolah ke tempat yang jauh, yaitu Mesir, lalu digantikan dengan adiknya Abdul Hamid Zahid. Setelah dia berangkat ke Mesir maka 14http://tenteraislam.blogspot.com/2012/09/mengenal-ulama-terkemuka-sumateratimur.html., di down-load pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018. 15http://shahrirkamil.blogspot.com/2015/08/Syekh-abdullah-afifuddin-langkat.html., di down-load pada hari Selasa, tangal 28 Agustus 2018., juga Hasil wawncara dengan cucunya Yaumul Khair, di Jamaiyah Mahmudiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018, juga Hasil wawancara dengan Zainal AK, di Rumahnya Pangkalan Berandan pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.


68 dia menetap di sana selama 10 tahun, sampai suatu ketika di sana dia diberi gelar Zahid. Sepulangnya dari Mesir maka dia aktif mengajar di Jam’iyah dan di tengah masyarakat. Belakangan dia dijeput oleh Daud Brueh dari Aceh untuk dibawa kesana bersamanya, akhirnya dia ikut dan menetap di Aceh sampai suatu ketika karena sakit lalu dia wafat dan dimakamkan di Banda Aceh.16 6. Sumber Minyak Bumi Sumber utama kejayaan Kesultanan Langkat adalah minyak. Pertama kali ditemukan minyak ada di Langkat ini adalah pada tahun 1860 saat itu dikatakan bahwa kadar minyak ada dalam perut bumi Langkat. Di atas keawaman Kesultanan Langkat terhadap pengolahan minyak ini maka dia bermitra dengan Belanda, lalu Belanda bertindak sebagai pihak yang akan mengekplorasi, lalu ditemukanlah minyak bumi tersebut di Telaga Said Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat. Tempat ini terletak di posisi sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota Sumatera Utara. Penemu sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker, dia seorang ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco Maatschappij, perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu. Penemuan sumber minyak ini merupakan hasil penjejakan yang dilakukan secara sungguh-sungguh. Tindak lanjut berikutnya diawali oleh Zijlker dengan cara menghubungi teman dan para ahli di Belanda untuk mengumpulkan dana dan persiapan guna melakukan eksplorasi lebih lanjut. Setelah permodalan terpenuhi, perizinan pun diurus kepada kesultanan Langkat, maka pada tanggal 8 Agustus 1883 persetujuan dari Sultan Musa sebagai Sultan Langkat pun sudah di tangan. Tak membuang waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun dilakukan oleh Zijlker. Untuk pertama kalinya, pada tanggal 17 November 1884 Zijlker telah berhasil memperoleh minyak. Ekplorasi pertama ini telah dapat 16 Hasil wawancara dengan cucunya Usmanidar (guru di Jamaiyah) di Jamaiyah pada hari Rabu tanggal 15 Agustus 2018.


69 menghasilkan minyak bumi, namun jumlahnya masih sangat sedikit meskipun telah menghabiskan waktu yang agak lama. Dia hanya berhasil memperoleh minyak bumi lebih kurang 200 liter, semburan gas pertama kali ini dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan untuk mendapatkan minyak yang banyak. Zijlker dan rekannya dengan sungguh-sungguh bekerja terus walau dengan cara berpindah-pindah tempat, kemudian mereka mencoba lagi di Desa Telaga Said. Di lokasi kedua ini juga masih mengalami kendala karena struktur tanah yang keras, akan tetapi kesulitan ini berakhir saat pengeboran sudah mencapai kedalaman 22 meter, maka minyak pun berhasil diperoleh sekitar 1.710 liter pada waktu yang lebih singkat, yaitu 48 jam kerja. Terakhir sewaktu pengeboran sudah mencapai kedalaman 31 meter, minyak pun langsung mengalir deras sehingga diperoleh 86.402 liter. Pada tanggal 15 Juni 1885, sewaktu pengeboran terus dilanjutkan sampai pada kedalaman 121 meter maka muncullah semburan kuat gas dari dalam tanah yang berisi minyak mentah dan material lainnya. Sumur, dengan identifikasi kesuksesan pertama ini disebut namanya dengan Telaga Tunggal I. Inilah sejarah penemuan minyak pertama di Indonesia, dan keberhasilan dunia sejak 26 tahun sebelumnya (pada tanggal 27 Agustus 1859) di Titusville, negara bagian Pensylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company. Akhirnya pengelolaan minyak ini dikelola oleh Beteshti Petrolium Maskapai (BPM), yaitu Perusahaaan Perminyakan Belanda. Berkat penemuan ladang minyak ini menjadikan Kesultanan Langkat menjadi kaya raya. Kesultanan Langkat memperoleh pembagian kerjasama yang luar biasa banyak atas semburan minyak yang sungguh banyak ini. Dengan sumur minyak yang ada tersebut menjadikan Kesultanan Langkat ini menjadi jauh lebih kaya dibanding dengan Kesultanan Melayu lainnya yang ada di Sumatera Timur, seperti Kesultanan Siak, Kesultanan Kutai Kartanegara, Kesultanan Bulungan, dan kesultanan lainnya di Indonesia. Kesultanan Langkat menjadi salah satu kerajaan terkaya di Indonesia. Lewat hasil minyak bumi tersebut, Kesultanan Langkat telah berhasil membangun fasilitas Kerajaan. Sultan sudah berhasil membangun banyak masjid, di antaranya; Masjid Azizi Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat dan


70 Masjid Raya Binjai, demikian juga membangun sekolah dan madrasah, membayar gaji Nazir masjid, dan guru-guru, dan hakim, bahkan operasional dan pemeliharaan Gedung-gedung pemerintahan dan publik. Termasuk juga ke dalam hal ini, biaya hari-hari besar Islam, seperti bulan Ramadhan, Sultan memberi bantuan ke masjid-masjid, dan memberi sedekah kepada masyarakat kurang mampu. Semua ini dibiayai oleh kesultanan sendiri yang diambil dari dana bagi hasil minyak. 7. Bidang Pertanian Selain dari minyak, Kesultanan Langkat juga mengembangkan usaha pertanian. Kesultanan Langkat dikenal sebagai kerajaan yang memiliki usaha perkebunan yang dapat diandalkan. Di antara usaha perkebunan tersebut adalah sebagai berikut; a. Tembakau Jacobus Nienhuys adalah perintis pertama usaha perkebunan di Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat. Bersadar hasil survey yang dilakukan oleh Pengusaha Belanda Jacobus, dia menyimpulkan bahwa tanah di Indonesia Timur sangat cocok untuk usaha perkebunan, terutama tembakau. Untuk kepentingan mendapatkan areal perkebunan yang luas maka dia melobi Sultan Mahmud, lalu pada tahun 1863, dia telah berhasil memperoleh izin mengusahakan tanah perkebunan seluas 4.000 bau (bouw) dari Sultan Mahmud sebagai penguasa Kesultanan Langkat. Jacobus berhasil dalam usahanya. Setelah dia mengolah lahan tersebut dan menanaminya dengan tembakau ternyata hasilnya melampaui dari apa yang diperkirakan sebelumnya, dia berhasil memproduksi daun tembakau pembungkus cerutu yang halus, dan ini sangat mahal harganya di pasaran dunia. Sewaktu dia sudah mengirim ke Rotterdam Belanda, kemudian dijual di pasaran Eropa, ternyata harganya mencapai 48 sen gulden per ½ kilogram. Harga itu naik terus di pasaran Eropah, hingga pada tahun 1865, harganya mencapai 149 sen gulden per ½ kilogram. Van der Wal memberi kalkulasi nilai tinggi terhadap tembakau dari Sumatera Timur, harganya mencapai 4 (empat) kali lipat dari harga daun tembakau


71 Kuba, dan lebih 4 (empat) kali lipat dari harga tembakau Pulau Jawa.17 Keberhasilan usaha Jacobus ini mempengaruhi pengusaha Belanda lainnya, bahkan pengusaha-pengusaha Eropa dan belahan dunia lainnya untuk berbondong-bondong datang ke Sumatera Timur. Tanpa terkecuali pengusaha; Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss, mulai melirik usaha perkebunan di Sumatera Timur, mereka ingin berinvestasi di Kesultanan Langkat ini dalam rangka mendapatkan keuntungan yang besar dari aspek perkebunan. Hal ini terdukung juga oleh politik ekonomi liberal yang sudah diterapkan kolonial Belanda dan harapan keuntungan pajak sewa tanah yang besar dari Sultan yang akan memberi izin usaha. Kehadiran pengusaha lainnya ke Sumatera Timur ini telah menambah lebih semaraknya lagi usaha perkebunan tembakau di daerah ini. Kal J. Pelzer mengatakan, menginjak tahun 1920-an, usaha perkebunan di Sumatera Timur telah mencapai jumlah yang sangat fantastis luas, dan sangat mencengangkan, perkebunan ini berpusat di sekitar Kota Medan, kemudian terhampar luas pada areal sejauh mata memandang sampai 100 kilometer ke arah timur-laut yang tinggal berbatasan dengan Aceh, demikian juga terhampar luas lagi 100 kilometer ke arah selatan di sekitar pegunungan kecil di balik kota Pematang Siantar, lebih dari itu lagi, terhampar luas lebih dari 200 kolimeter ke arah tenggara, yaitu ke arah dataran tinggi di sekitar Prapat, dan juga Asahan. Realitas ini memperlihatkan betapa daerah Sumatera Timur telah menjadi lautan perkebunan yang sungguh mencengangkan. b. Karet Salah satu usaha pertanian yang dikembangkan oleh Kesultanan Langkat adalah karet. Lewat tangan J. Nienhuys yang datang ke Deli di tahun 1863 adalah sebagai kedatangan pihak Belanda untuk pertama kalinya menetap di Deli dalam rangka mengelola perusahaan perkebunan tembakau, dan selanjutnya dalam rangka memperluas perusahaannya 17William Joseph O’Malley, “Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar” dalam Anne Booth, William J.O’Malley, dan Anna Wiedemann (Ed.), Sejarah Ekonomi Indonesia, Terjemahan (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1988), 24-25


72 sampai ke Sumatera Timur. Sekitar tahun 1872, Pemerintah Belanda telah membuka perkebunan tembakau di areal Kesultanan Langkat. Dengan pelaksanaan perkebunan di areal Kesultanan Langkat ini maka pajak lahan perkebunan tembakau oleh Belanda ini telah memberi kontribusi besar bagi Kesultanan Langkat.18 c. Kelapa dan kelapa sawit Andalan pertanian lainnya adalah kelapa dan kelapa sawit. Seperti halnya pada perkebunan karet maka pada perkebunan kelapa dan kelapa sawit ini pun, pihak Kesultanan Langkat tetap saja menjadi pihak yang mengutip pajak perkebunan dari Pemerintah Belanda. Perkebunan kelapa dan kelapa sawit ini telah meberi kontribusi berharga bagi kemajuan Kesultanan Langkat. d. Lada Pada tahun 1823, Gubernur Inggris yang berkedudukan di Pulau Penang telah mengutus John Anderson untuk pergi ke Pesisir Sumatera Utara, dan dari catatannya disebutkan bahwa di sana ada sebuah kampung bernama Ba Bingai (Binjai) dengan penghasilan lada yang cukup bagus dan jumlahnya banyak. Sebenarnya sejak tahun 1822 Binjai telah dijadikan salah satu lokasi Bandar/Pelabuhan Kesultanan Langkat, dimasa ini hasil pertanian lada yang ada pada daerah sekitarnya diekspor melalui Pelabuhan ini, dan lada ini berasal dari perkebunan di sekitar Ketapangai (Pungai) sekarang disebut Kelurahan Kebun Lada/Damai. Sejalan dengan hal tersebut, John Anderson yang bertindak sebagai wakil Pemerintah Inggris yang berdomisili di Pineng memberi laporan yang memuat bahwa Kerajaan Langkat adalah suatu kerajaan yang kaya raya. Dia memiliki lada terbaik dunia, dan ekspornya telah mencapai 800.000,- kg atau setara dengan 20.000 pikul untuk satu tahun. 18http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di download pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.


73 8. Hasil Hutan dan tambang Hasil hutan juga menjadi penyumbang besar bagi kejayaan Kesultanan Langkat. Selain dari hasil pertanian, juga ditemui hasil hutan dan tambang yang cukup banyak jumlahnya. Misalnya, rotan, damar, gambir, lilin, kayu pewarna, kanper, dan buah-buahan, bahkan terdapat pula tambang emas.19 D. Masa Kemunduran Kesultanan Langkat Masa kemunduran dan masa berakhirnya Kesultanan Langkat berada di tangan Sultan Mahmud. Tahun 1926 adalah awal mula berkuasanya Sultan Mahmud pada Kerajaan Langkat. Saat ini Sultan Abdul Aziz secara resmi telah menobatkan dan mempermaklumkan bahwa putranya Tengku Mahmud menjadi Sultan Langkat. Sejak saat ini terjadilah peralihan kekuasaan dari kepemimpinan Sultan Abdul Aziz kepada anak kandungnya Tengku Mahmud (Sultan Mahmud). Sultan Mahmud ternyata tidak sebijak ayahandanya Sultan Abdul Aziz. Dia kurang mampu mengayomi masyarakat, manajemen kerajaan berjalan monoton di tangannya, dia hanya meneruskan tradisi dan kebijaksanaan yang sudah berlangsung lama pada masa ayahnya Sultan Abdul Aziz. Penanganan kerajaan yang kurang progressif dan inovatif seperti ini mengakibatkan kerajaan tidak berjalan kearah yang lebih maju lagi, tapi justru kelesuan dan kemunduran yang diperoleh. Salah satu kebijakan yang lahir dari Sultan Mahmud adalah memindahkan pusat kerajaan ke Binjai. Semula, sejak masa kekuasaan Sultan Musa sampai kepada Sultan Abdul Aziz pusat kekuasaan kerajaan ini berada di Tanjung Pura, dengan berbagai pertimbangan yang ada, maka Sultan Mahmud memindahkannya ke Binjai. Untuk keperluan ini, maka di Binjai dibangunlah Singgasana/ istana baru yang berdiri kokoh dan megah hingga terjadinya revolusi sosial pada tahun 1946. Sejak saat ini pusat kekuasaan Sultan Mahmud berada di Binjai. Pada masa kekuasaan Jepang Kerajaan Langkat ini sudah mulai lemah. Masuknya Jepang ditandai dengan melemahnya kewibawaan kesultanan. 19http://digilib.unimed.ac.id/18328/6/8.%203103121062%20BAB%20I.pdf., di download pada hari Selasa tanggal 28 Agustus 2018.


74 Hak-hak istimewa mereka dianulir, tanah-tanah yang semula dikuasai Kesultanan beralih ke tangan Jepang, lokasi perkebunan mulai ditanami dengan padi dan jagung. Lewat manajemen Jepang, jelas keadaan ini membawa angin segar bagi kaum buruh, dan petani perkebunan. Banyak dari mereka ini adalah Jawa, Toba, dan Karo, bahkan orang-orang Cina pun turut mengambil lahan perkebunan, menguasai dan menganggap hal itu adalah miliknya sendiri. Ada beberapa banyak yang mempercepat terjadinya revolusi sosial. Pertama, meskipun Jepang melarang kegiatan politik, namun kondisi pemahaman nasionalisme yang sudah mulai dewasa membuat Jepang semakin bertoleransi dengan hal-hal yang bersifat ke-Indonesiaan, dan ini sangat membantu dalam sosialisasi nasionalisme. Kedua, saat Jepang telah minggat dari Indonesia maka terjadilah kekosongan kekuasaan. Pada bulan Oktober 1945, informasi proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah kedengaran di Sumatera Timur. Kekosongan kekuasaan ini menjadi celah terbukanya peluang munculnya pergolakan. Semua pihak merasa berhak untuk mengendalikan kekuasaan. Ketiga, pemimpin pergerakan dan sebagian masyarakat memandang bahwa pihak kesultanan yang secara akrab bersama dengan pihak kolonial Belanda dipahami sebagai penghalang perjuangan nasionalisme Indonesia, dan ini harus segera ditumpas. Keempat, masyarakat bawah yang selama ini merupakan objek eksploitasi kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan pihak kaum bangsawan/ kesultanan memandang bahwa ini adalah saat yang tepat untuk melepaskan dendam kesumatnyanya yang tertekan selama ini. Kelima, banyaknya organisasi politik yang bermunculan di daerah-daerah, seperti; Serikat Islam, tahun 1918, PKI tahun 1952, dan Gerindo tahun 1937, serta yang lainnya. Semua ini berkumulasi dan saling bersinergi dalam mengerakkan Revolusi Sosial tersebut. Sultan Mahmud terkenal dengan orang yang bersahabat dengan Belanda. Dia malah sudah menjadi kebelanda-belandaan, dikabarkan justru dia suka bersenang-senang, berfoya-foya, dan dia punya hubungan intim dengan perempuan Belanda. Secara fisik Belanda pada masa ini tidak mengancam eksistensi kekuasaan Kesultanan Langkat, namun kilas balik


75 pemahaman yang muncul dari persahabatan tersebut menimbulkan kebencian dari banyak masyarakat. Muncul polarisasi pendapat menyangkut nasib Sumatera Timur saat itu. Di antara opini yang berkembang adalah “pihak Belanda akan datang lagi”. Dugaan akan hal ini menjadi semakin kuat karena pasukan terjun payung sekutu membawa spanduk publikasi yang memperkokoh keyakinan bahwa asumsi ini benar. Suatu hal yang lebih fatal lagi dikabarkan bahwa panitia penyambutan akan datangnya Belanda tersebut sudah terbentuk, dan mereka itu adalah terdiri dari para Sultan. Kedatangan pihak sekutu juga turut menambah semakin hangatnya situasi politik Sumatera Timur. Tidak heran kalau pihak bangsawan (para keluarga Sultan) dipandang berpihak kepada kaum kolonialis dalam rangka mengambil kembali kekuasaan yang sudah pernah mereka miliki sebelumnya. Situasi ini mengantarkan pihak birokrat Melayu semakin terperosok ke dalam posisi yang sulit. Di sisi lain, terdapat polarisasi kelompok nasionalis pejuang kemerdekaan kepada dua pihak, yaitu; Pertama, Kelompok moderat yang terbilang lebih mengupayakan pendekatan kooperatif untuk bisa menyadarkan kaum kesultanan Melayu sehingga di antara sesama anak bangsa akan secara bersama sama memperjuangkan dan membangun Indonesia yang baru saja diproklamirkan. Kedua, kelompok radikal yang lebih mengedepankan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah, mereka ini terdiri dari pada umumnya kelompok generasi muda. Kompleksitas kepentingan inilah yang turut memicu pergolakan tersebut. Sultan Mahmud ini memang terbilang lemah. Dia sakit-sakitan, sehingga dia kurang mampu untuk mengendalikan kerajaan, sehubungan dengan ini Dia mengangkat dr. Amir (orang Padang) sebagai dokter pribadinya, maka pada tahun 1930, dalam rangka memperkokoh eksistensi Dr. Amir sebagai dokter pribadinya dibangunlah Rumah Sakit Tanjung Pura yang ada sekarang, lalu diangkatlah dr. Amir sebagai Kepala Rumah Sakit tersebut untuk pertama kalinya. Sebagai dokter pribadi, belakangan dr. Amir ini sangat dekat dengan Sultan Mahmud. Kedekatannya dengan Sultan Mahmud membuatnya


76 mengetahui banyak hal tentang Sultan Mahmud, sampai-sampai dia mengetahui hal yang pribadi dari Sultan Mahmud. Kedekatan ini menjadi modal baginya untuk lebih banyak berperan pada Kesultanan Langkat. Keaktifan dr. Amir dalam dunia politik membuatnya menjadi pejabat teras di Propinsi Sumatera. dr. Amir diangkat menjadi Wakil Gubernur Sumatera dari Gubernur pertamanya saat itu adalah Tengku Muhammad Hasan. Kedudukan strategis ini membuatnya memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan politik di Sumatera, termasuk untuk Sumatera Timur dan Kesultanan Langkat. Situasi mencekam telah terjadi di Tanjung Balai Asahan. Saat itu adalah pagi hari di tanggal 3 Maret 1946, ribuan masa telah berkerumun dengan semangat bela negaranya. Terdengar kabar bahwa sebentar lagi Belanda akan mendarat di tempat ini, namun tetap saja tidak pernah muncul. Sesaat kemudian, kerumunan massa ini secara cepat dan tiba-tiba menjadi berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Mereka memang dihadang oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) namun karena jumlah mereka yang sedikit, massa berhasil menerobos brikade dan melampiaskan dendam kesumat serta kebencian mereka terhadap simbol-simbol kesultanan tersebut. Besoknya, semua kelompok pria dari bangsawan Melayu Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh, di antara mereka itu adalah para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku. Kemudian, pada tanggal 8 Maret 1946, Revolusi Sosial menjalar dan berlanjut lagi, bahkan terus memakan korban yang dahsyat. Sultan Bilah dan Sultan Langkat ditangkap lalu dibantai dan terbunuh. Berita yang sangat memilukan memperdengarkan bahwa telah terjadi pekosaan terhadap dua orang putri Sultan Langkat pada malam jatuhnya istana tersebut di tangan kelompok Revolusi Sosial pada tanggal 9 Maret 1946, dan dieksekusinya secara sadis pujangga Nasional kebanggaan bangsa Indonesia Tengku Amir Hamzah. Semua ini mengakhiri riwayat Kesultanan Langkat dalam seketika.19 19Universitas Islam Sumatera Utara, Patologi Sebuah Revolusi: Catatan Anthony Reid tentang Revolusi Sosial di Sumatera Timur, dalam Sudut Sejarah, tulisan, Wara Sinuhaji, Staf Pengajar Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU, Edisi No. 23/ Tahun XI/Januari 2007Maret 19461, hlm. 59-60.


77 Perayaan di Kerajaan Langkat 20 20 https://visit langkat.wordpress.com/2014/10/02/sejarah-kerajaan-langkat/. Diakses tanggal 30 Agustus 2018.


78


79 BAGIAN KEEMPAT KESULTANAN LANGKAT DALAM BERBAGAI DIMENSI A. Dimensi Keagamaan 1. Masuknya Islam di Kesultanan Melayu Islam di kerajaan Melayu tidak terlepas dari proses Islamisasi yang berlangsung di kepulauan Indonesia. Berdasarkan hasil seminar masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963 disimpulkan bahwa Islam masuk pada abad 1 Hijrah atau abad 7-8 Masehi di pantai Sumatra tepatnya di Perlak, Aceh Timur, sedangkan kerajaan Islam pertama berada di Samudra Pasai, Aceh Utara.1 Beberapa faktor penyebab diterima dan masuknya Islam di Indonesia: pertama: peranan yang dibawa oleh para saudagar yang berasal dari Gujarat, Bengal dan Arab yaitu dengan menempatkan diri mereka sebagai penduduk lokal bersikap dan mengikuti kebiasaan penduduk lokal seperti menikah dengan pribumi sehingga dengan peranan tersebut mereka masuk dan merubah hukum adat penduduk pribumi dan mengenalkan metode 1M. Daud Ali, The Position of Islamic Law in the Indonesian Legal System, dalam Islam and Society in Southeast Asia, edited by Taufiq Abdullah, et. all, (Singapore: ISEAS, 1983), hlm. 187.


80 baru tentang ajaran dan hukum Islam. Kedua, peranan para missionaris sufi tidak hanya sebagai guru/da’i tetapi mereka juga berfungsi sebagai pedagang, dan ahli politik, dan dengan cara ini mereka berinterksi dengan penduduk pribumi, melalui pola interaksi mereka menyebarkan misi agamanya dengan metode yang lebih dekat dan sesuai dengan kepercayaan penduduk Indonesia pada saat itu. Ketiga, nilai-nilai ajaran Islam yang diajarkan para da’i dan pedagang sesuai dengan sikap masyarakat dan diterima oleh masyarakat, seperti sikap toleransi.2 Sedangkan menurut Arnold mudahnya interakasi Islam ke Indonesia adalah karena penyebaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai penetration pacifique, dan tidak menggunakan peperangan dan kekerasan “no gun was fired nor was any sword drawn for the propagation of Islam in Indonesia soil”.3 Adapun mengenai masuknya agama Islam ke Kerajaan Melayu Langkat adalah pada abad XVII. Melalui kekuasaan Raja Aceh yaitu Sultan Iskandar Muda di Samudra Pasai yang pada saat itu menguasai hampir seluruh wilayah kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur.4 Para sultan-sultan yang berasal dari kerajaan Aceh tersebut adalah penganut mazhab Syafi’iyah.5 Islamisasi yang berlangsung di kerajaan-kerajaan Melayu,6 sama halnya dengan proses Islamisasi di seluruh Indonesia, pengaruhnya tak 2Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, second edition, (United Kingdom, Cambridge University Perss, 2002), hlm. 383-384. 3Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam: a history of the propagation of the Muslim faith, (London: Constable, 1913), hlm. 363. 4Jhon D Mc Meelain, Langkat Brief History, hlm. 1. 5Seperti Hamzah al-Fansuri, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai seorang yang disebut Fukaha Syafi’iyah yang menyebarkan Islam pada pertengahan abad XIV M, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin Ar-raniri (w.1068H/1658M) yang menulis kitab Sirat al-Mustqim sebuah kitab yang berstandarkan pada fikih Syafi’iyah,dan Abd Rauf Singkel (1042-1105 H). Peonah Daly, Hukum Perkawinan Islam: suatu studi perbandingan dalam kalangan ahlus-Sunnah dan negara-negara Islam, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 12. 6Menurut MB. Hooker terdapat beberapa persamaan hukum yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, termasuk Melayu yang ada di Perak, Pahang, dan Johor dan melayu-melayu di pesisir pantai lainnya. Contohnya dalam hal pemerintahan yang berbentuk kerajaan dan turun temurun, juga adanya kesamaan pakaian yang berwarana kuning, sangat menghargai hak-hak orang lain, menghargai kaum wanita dan orang tua,


81 hanya pada agama saja (ibadah), tetapi juga paling nampak pada bagian perkawinan dan kekeluargaan (hukum kekeluargaan). Pada masa itu selalu terdapat pegawai-pegawai khusus yang mempunyai keahlian dalam hal mengurusi agama Islam yang berkaitan dengan urusan masjid dan perkawinan.7 Kondisi ini menurut penulis disebabkan pada proses awal islamisasi di Indonesia, para dai dan ulama yang mengembangkan Islam tidak hanya mengajarkan dimensi spiritual seperti tauhid dan ibadah tetapi juga mencakup hubungan kemanusiaan, seperti perkawinan dan kewarisan, yaitu melalu asimilasi dan interaksi sosial antara saudagar dan masyarakat pribumi sehingga melahirkan aturan baru yang berbeda dengan aturan masyarakat pribumi (baca: adat) seperti dalam hukum kekeluargaan (perkawinan dan kewarisan). Hukum Islam khususnya mazhab Sunni-Syafi’i, di dalam pelaksanaannya di Kerajaan Melayu, dikembangkan serta dipedomani sebagai hukum Kerajaan Melayu dan menjadi literatur yang dipergunakan dalam memutuskan di pengadilan adalah fikih dengan mazhab Syafi’i. Berkaitan dengan ini Azra menilai bahwa tradisi politik yang ingin di bentuk dan dikembangkan oleh raja-raja Melayu adalah tradisi politik Sunni, yang menekankan kesetiaan rakyat pada penguasa, dan kepatuhan penguasa pada prinsip-prinsip hukum Islam dan nilai-nilai akhlak. Berbagai kitab undang-undang yang ditulis pada masa-masa awal Islam di Nusantara yang menjadi panduan hukum bagi negara dan masyarakat, memang bersumber dari kitab-kitab karya para ulama Sunni di berbagai pusat keilmuan dan kekuasaan Islam di Timur Tengah. Kitab undang-undang sehingga bagi yang melanggar akan mendapatkan hukuman mati ataupun ditangkap, adanya pungutan pajak dan lain-lain. Lebih lanjut menurutnya hal ini dimungkinkan pertama, karena berhubungan dengan kondisi geografis daerah hunian masyarakat Melayu yang selalu berada di sekitar pantai (related to specific area), dan kedua, karena adanya kajian yang berasal dari teks-teks keislaman (recitations of Islamic provisions in the texts). MB. Hooker, The Challenge of Malay Adat Law in The Realm of Comparative Law, The International and Comparative Law Querterly, Vol. 22, No. 3 (Juli.1973), hlm. 493-495. 7Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan, hlm. 21.


82 Melayu-yang biasanya ditulis oleh perintah raja atau sultan-menunjukkan ajaran-ajaran Syari’ah sebagai bagian integral dalam pembinaan tradisi politik di kawasan ini.8 Kedudukan sebagai pemuka agama (tokoh agama) secara langsung dijabat oleh sultan/raja. Sehingga kedudukan dan tugas sultan/raja bukan saja sebagai kepala pemerintahan dan kepala adat, tetapi juga pemimpin Islam, ulil amri atau julukan yang sering ialah khalifatullah. Dalam menangani setiap persoalan hukum Islam yang muncul di masyarakat, Sultan didampingi seorang ulama dengan sebutan Tuan Haji Cut/Kadi atau Mufti. Posisi Tuan Haji Cut/Kadi atau Mufti hampir setingkat dengan Sultan, sehingga jika Sultan meninggal dan belum didapat penggantinya, maka Tuan Haji/Cut atau Kadi bertindak dan menjalankan semua fungsi kerajaan menggantikan posisi sultan/raja.9 Lev, dalam penelitiannya membuktikan bahwa hampir di seluruh daerah-daerah yang menerima dan memberlakukan hukum Islam dengan kuat terdapat Pengadilan Islam yang mengunakan hukum Islam sebagai rujukannya. Hanya saja bentuk dan keadaan Pengadilan Agama tersebut berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Di beberapa daerah, seperti Aceh dan Jambi di Sumatera, Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lain, hakim-hakim Islam diangkat oleh para penguasa setempat. Sedang di daerah-daerah lain seperti Sulawesi Utara, dan beberapa daerah di Sumatera Utara, seperti Tapanuli, Gayo dan Alas di Aceh, serta Sumatera Selatan, tidak ada kedudukan tersendiri bagi Pengadilan Agama, tetapi pemuka-pemuka agama melakukan peradilan.10 Sebagai contoh dikerajaan Melayu Deli, didapat lima ulama (baca: lembaga pengadilan) bertugas sebagai sumber pemberi putusan hukum pada masyarakat, kelima ulama tersebut yaitu: Kadi/mufti selaku kepala/ 8Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), hlm. 101. 9T. Luckman Sinar, Sejarah Medan, hlm. 35. 10Daniel S Lev, Islamic courts in Indonesia A Study in the Political Bases of Legal Institutions, (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1972), hlm. 10.


83 ketua, kemudian Imam, Kalif, Bilal dan Penghulu Masjid. 11 Kelima alim ulama inilah yang berhak dan berwenang untuk memutuskan dan menentukan segala hal yang berhubungan dengan masalah keagamaan dan hukum Islam yang meliputi: pelaksanaan (ibadah), hukum perdata; (perkawinan dan perceraian, kematian dan warisan (mawaris), dan tata cara bergaul (muamalah). Demikian pula untuk urusan hukum pidana. Hal ini disebabkan sumber putusan pidana maupun perdata berasal dari sumber yang sama yaitu hukum syari’ah (hukum Islam). Adanya kelima ulama kampung tersebut memudahkan masyarakat untuk meminta dan mendapat kepastian hukum. Jika masyarakat ingin memperoleh suatu putusan yang bersifat keagamaan, maka ia menemui penghulu masjid yang telah ditunjuk, dan jika ia tidak puas, maka ia bisa mengajukan kepada Bilal, dan seterusnya. Berdasarkan data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa-masa awal pelaksanaan hukum Islam di kerajaan Melayu Langkat, hukum Islam ala mazhab Sunni-Syafi’i telah tumbuh, berkembang dan bahkan menjadi sebuah kekuatan dan “dasar” hukum bagi kerajaan Melayu serta dipedomani oleh seluruh masyarakat Muslim di daerah ini. 2. Kondisi Keagamaan di Kesultanan Langkat Masjid Azizi Tanjung Pura (Foto diambil ketika melakukan penelitian di Kota Tanjung Pura) 11T. Luckman Sinar, Sejarah Medan, hlm. 37.


84 Dengan berdirinya Tarekat Naqsabandiyah dan beberapa pengajian keagamaan yang dibentuk oleh istri sultan, yaitu Maslurah, dan adanya pusat peribadatan di wilayah Langkat yaitu Masjid Azizi, maka terlihatlah hidupnya sunnah-sunnah Islam, menghilangkan bid’ah-bid’ah, mengembangkan hukum-hukum Allah serta menghilangkan stratifikasi ras.12 Hal ini dikarenakan masyarakat Langkat yang memegang teguh ajaranajaran syariat Islam. Kerajaan Langkat terutama setelah berpusat di Tanjung Pura, menjadikan agama Islam sebagai pedoman dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, walaupun di sana-sini masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme dan lain sebagainya. Dalam hal ini, ibadah-ibadah praktis selalu dapat ditemukan dalam dinamika masyarakat Langkat, seperti shalat berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama yang banyak bertemakan akidah dan tasawuf. Selanjutnya untuk mendukung hal tersebut, maka sultan-sultan Langkat membangun fasilitas-fasilitas peribadatan, masjid-masjid yang megah dan indah bentuknya seperti Masjid Azizi di Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat dan Binjai serta beberapa madrasah yang dibangun untuk pendidikan rohani rakyat.13 Mengenai gaji-gaji guru dan pegawai (nazir) masjid, demikian juga untuk pemeliharaan gedung-gedung tersebut semuanya ditanggung oleh pihak kerajaan.14 12Stratifikasi ras merupakan suatu pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise. Pembedaan ras disini berkaitan dengan suku yang menonjol dalam Kesultanan Langkat yaitu suku Melayu. Dengan adanya pendidikan Islam sultan membuat suatu kebijakan untuk menghilangkan sistem stratifikasi ras tersebut agar masyarakat dapat belajar sesuai dengan kemampuannya, dan tidak dibedakan berdasarkan ras maupun status ekonominya. M. Kasim Abdurrahman, Studi Sejarah Masjid Azizi Tanjung Pura-LangkatSumatera Utara, hlm. 33. 13T.M Lah Husni, Biografi-Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamzah, Penerbit Husni, Medan, 1971, h. 4. 14Ibid., h. 5


85 Berkaitan dengan hari-hari besar Islam, seperti pada bulan Ramadhan, maka Kesultanan Langkat memberikan bantuan-bantuan ke masjid-masjid berupa makanan-makanan dan minuman bagi masyarakat yang melaksanakan shalat tarawih, witir dan tadarus serta memberikan bantuan berupa sedekah kepada masyarakat-masyarakat yang kurang mampu ketika menjelang Idul Fitri hal ini menjadikan masyarakat selalu menaruh simpati kepada para sultan, karena pihak kerajaan begitu aktif dalam memberikan bantuan-bantuan yang bersifat keagamaan. Dalam penerapan syariat Islam, kesultanan Langkat memiliki guruguru agama yang sekaligus dijadikan sebagai penasihat sultan untuk dimintai pendapatnya berkaitan dengan permasalahan hukum Islam. Dalam sistem kehidupan masyarakat melayu, seluruh warganya terikat dengan adat dan pola melayu. Adat ini sebagian besar dipengaruhi oleh agama Islam. Maksudnya, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan yang diajarkan atau yang diatur dalam agama Islam berangsur-angsur akan dihilangkan. Jadi adat resam melayu adalah adat dan kebiasaan masyarakat melayu yang telah diislamisasi. Di sini, peran guru-guru agama cukup besar dalam menginternalisasi nilai-nilai Islam kedalam masyarakat Langkat. Dinamika keagamaan yang begitu kuat, dapat dilihat dengan keberadaan Babussalam sebagai pusat kegiatan Tarekat Naqsabandiyah. Yaitu pada masa Sultan Musa berkuasa di Tanjung Pura. Pusat tarekat tersebut muncul dan berkembang menjadi sebuah simbol keagamaan pada masa tersebut dan bahkan sampai saat ini. Pendiri Tarekat Naqsabandiyah di Langkat adalah Syekh Abdul Wahab Rokan.15 Syekh ini lahir dari keluarga yang taat beragama, ia mengaji di berbagai surau di Riau daratan dan pergi belajar ke Mekkah untuk menyambung pelajarannya di sana selama 15 Almarhum Syekh Abdul Wahab Rokan Al-khalidi Naqsabandi adalah pendiri Tariqat Naqsabandiyah di desa Besilam (babussalam) nama kecilnya adalah Abu al-Qasim. Dilahirkan pada tanggal 10 rabiul Akhir 1230 Hijriah atau pada 28 September 1811 di kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kabupaten Kampar, Riau. Nama rokan di ambil dari asal daerahnya yaitu Rokan Tengah. Menurut riwayat usia beliau kurang lebih 115 tahun. Wafat pada tanggal 21 Jumadil Awal 1345 Hijriah (27 Desember 1926). Untuk mengetahui dengan jelas, lihat; Ahmad Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Cetakan III, Medan, 1983


86 lima atau enam tahun pada tahun 1860-an.Tarekat Naqsabandiyah ini akhirnya membawa pengaruh yang besar di kawasan Sumatera dan semenanjung Malaysia. Menurut Martin Van Bruinessen, hanya dengan sendirian saja, ia telah mampu menandingi dengan apa yang dicapai para syekh di Minangkabau seluruhnya.16 Syekh Abdul Wahab adalah murid dari syekh Sulaiman Zuhdi di Mekkah. Sekembalinya ke tanah air, ia aktif mengajar agama dan tarekat di beberapa kerajaan, seperti wilayah Langkat, Deli Serdang, Asahan Kualuh, Panai di Sumatera Utara, dan Siak Sri Inderapura, Bengkalis, Tambusai, Tanah Putih Kubu di Propinsi Riau. Sampai kini murid-muridnya tersebar luas di propinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Slawesi Selatan. Khalifah-khalifah beliau yang giat mengembangkan tarekat Naqsabandiyah di luar negeri, telah berhasil mendirikan rumah-rumah suluk dan peribadatan, di Batu Pahat, Johor, Pulau Pinang, Kelantan, dan Thailand.17 Setelah mengunjungi berbagai tempat, akhirnya syekh Abdul Wahab memutuskan untuk tinggal dan menetap di kampung Besilam daerah Langkat. setelah terlebih dahulu diminta oleh sultan Musa, maka Syekh Abdul Wahab ditempatkan di sekitar kota Tanjung Pura, setelah beberapa hari syekh tersebut memohon kepada sultan Musa untuk diberikan sebidang tanah untuk perkampungan agar ia dapat beribadah dan mengajarkan ilmu agama dengan leluasa, sultan menyetujuinya dan keesokan harinya berangkatlah sultan Musa beserta Syekh Abdul Wahab dan beberapa orang lainnya menyusuri sungai Batang Serangan, hingga dapatlah sebuah tempat yang cocok. Tempat ini akhirnya diberi nama oleh Syekh Abdul Wahab dengan nama kampung Babussalam. Belakangan daerah ini terkenal dengan nama kampung Besilam.18 Beberapa waktu kemudian yaitu pada tanggal 164Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan, Bandung, 1992, h. 135 17Ahmad Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsabandiah, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2005, h. 12 18A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Rokan, Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Cetakan III, Medan, 1983, h. 61


87 15 Syawal 1300 H. (1876) berangkatlah Syekh Abdul Wahab beserta keluarga dan murid-muridnya pindah ke Babussalam. Dengan berdirinya Babussalam, maka kegiatan keagamaan yang bercirikan tarekat mulai berkembang di kerajaan Langkat, pengaruh yang kuat bagi perkembangan Tarekat Naqsabandiyah, adalah turut sertanya sultan Langkat dalam kegiatan tarekat tersebut, beserta beberapa pembesar kerajaan, sehingga masyarakat yang memiliki simpati terhadap sultan, ikut serta dalam kegiatan tersebut, di samping dengan nama besar syekh Abdul Wahab, sebagai ulama terpandang membuat masyarakat Langkat, maupun yang berada di luar kawasan Langkat seperti dari daerah Batu bara, Tapanuli, Riau dan beberapa daerah lain berdatangan untuk mengaji dan bersuluk. Beberapa dari mereka akhirnya menetap di daerah Langkat. Berdasarkan pemaparan dapat terlihat bahwa kondisi keagamaan Kesultanan Langkat saat itu menjadikan agama Islam sebagai pedoman dan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam dalam berbagai dinamika kehidupannya telah mencerminkan perilaku keislaman yang kuat, meskipun masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, animisme dan lain sebagainya. Dalam hal ini, ibadah-ibadah praktis selalu dapat ditemukan dalam dinamika masyarakat Langkat, seperti shalat berjamaah, mengaji di langgar, dan pengajian-pengajian agama yang banyak bertemakan akidah dan tasawuf. Kondisi keagamaan saat itu menjadikan Kesultanan Langkat terkenal sebagai kota Islam. Hal ini disebabkan oleh Sultan Musa yang saat itu menjabat sebagai sultan suka memelihara alim ulama. B. Dimensi Sosial dan Budaya Di masa Kesultanan Langkat, dalam masyarakat dikenal pelapisan masyarakat atau kelas-kelas sosial yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan rajaraja yang dikenali dengan gelar-gelar tertentu, seperti tengku, sultan dan datuk. Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih melekat pada


88 masyarakat. Bahkan sisa-sisa pelapisan sosial lama masih nampak dalam masyarakat melayu saat ini. Misalnya masih ditemukan sekelompok orang yang berasal dari keturunan sultan-sultan dulu, mereka biasanya dipanggil dengan gelar Tengku. Lalu, bekas pegawai kesultanan dengan keturunannya biasanya dipanggil dengan gelar Datuk. Sedangkan keturunan tengku dan datuk kebanyakan dipanggil dengan gelar Wan. Gambar: Museum Tanjung Pura, pada masa kesultanan, tempat ini merupakan pengadilan pidana di kerajaan (Foto diambil ketika melakukan penelitian di Kota Tanjung Pura) Dengan adanya pelapisan sosial pada masyarakat, maka keturunan raja dan aristokrat di Langkat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup makmur dibandingkan dengan rakyat biasa. Mereka masingmasing diberi jabatan dan diberi kekuasaan untuk mengatur atau mengelola kejeruan-kejeruan (kecamatan) di daerah Langkat. Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat golongan bangsawan Langkat dapat hidup berkecukupan dalam bidang materi. Ini berbeda dengan golongan rakyat biasa yang harus membayar pajak (upeti/blasting) dari hasil pertanian dan perkebunannya kepada kesultanan. Namun ada dari rakyat biasa yang dapat hidup mewah dan berkecukupan dan biasanya mereka adalah tuantuan tanah atau orang-orang kepercayaan sultan. Dalam bidang kebudayaan, sebagaimana yang telah disinggung diatas bahwa mayoritas masyarakat Langkat sudah beragama Islam dan ajaranajaran Islam tersebut terlihat jelas dalam kebudayaan dan adat istiadat


89 masyarakat melayu Langkat. Misalnya dalam membicarakan suatu permasalahan dalam sebuah kampung, biasanya akan dimusyawarahkan di masjid. Begitu juga dengan acara-acara lainnya seperti acara turun ke sawah, kerja bakti, ataupun menyelesaikan suatu perselisihan maka sebelumnya telah ada kesepakatan antara warga setempat. Musyawarah tersebut biasanya akan dihadiri oleh Penghulu (kepala kampung), Pengetua adat dan Imam Masjid. Sebagian dari adat-adat Melayu tersebut juga diatur oleh pihak kesultanan, di antaranya mengaji Al-Qur’an, tepian mandi, syair dan hikayat, hiburan dan kesenian, pakaian dalam pergaulan, mengirik padi, mendirikan rumah dan lain sebagainya. Misalnya dalam mengaji Al-Qur’an, setiap orang tua yang mempunyai anak wajib mengajari anaknya membaca Qur’an sampai tamat (khatam). Jika orang tua mempunyai anak batas usia masuk mengaji, harus membawa anaknya kepada seorang guru mengaji sambil membawa pulut setalam, beras secupak, minyak lampu sebotol dan sepotong rotan.19 Begitu juga dengan urusan mandi dan mencuci di sungai yang disebut tepian mandi. Peraturan yang berlaku adalah bahwa para wanita mandi di daerah hulu, sedangkan pihak laki-laki mandi di daerah hilir, hal ini diatur agar kaum wanita khususnya para gadis tidak bertemu dengan pihak lakilaki ketika hendak mandi. dan lain sebagainya. Pengamalan ajaran Islam yang begitu kuat pada masyarakat Melayu lama, ternyata belum bisa menepis kepercayaan-kepercayaan bersifat animisme dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya kepercayaan yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada dalam dunia ini mempunyai jiwa atau roh. Jiwa orang yang sudah mati yaitu roh, mampu mempengaruhi kehidupan manusia yang masih hidup. Karena itu harus dipuja supaya tidak mengganggu. Selain itu kepercayaan terhadap hantu dan jin, serta pohon-pohon kayu besar, batu-batu besar dan tanaman-tanaman yang banyak bermanfaat seperti pohon kelapa dan enau memiliki roh.Sehingga dalam masyarakat Melayu lama banyak di temukan upacara-upacara yang 19Abdul Kadir Ahmadi, Sekilas Layang Adat Perkawinan Melayu Langkat, Tnjung PuraLangkat, 1992, h. 12.


90 sering dilaksanakan dan memiliki pengaruh dengan kepercayaan Hindu dan Animimisme seperti; upacara tepung tawar pada saat hendak melaksanakan pernikahan, ibadah haji dan lain sebagainya, jika seseorang baru terkena musibah atau bencana, maka ia harus memakai pilis, hal ini dilakukan agar mengembalikan semangatnya dan terhindar dari gangguangangguan hantu dan jin-jin dan seterusnya20 Kepercayaan-kepercayaan ini pada umumnya telah ditemukan pada masa masyarakat Melayu lama sepanjang pesisir pulau Sumatera baik di daerah Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara, Siak dan seterusnya. Dalam hal ini masyarakat Melayu pada umumnya masih sering melaksanakan upacaraupacara tersebut khususnya dalam acara-acara pernikahan, kelahiran anak, menempati rumah baru, membuka hutan untuk dijadikan perladangan dan lain sebagainya. Adanya asimilasi antara kepercayaan-kepercayaan praIslam dengan ajaran-ajaran Islam sendiri telah menimbulkan budaya dan adat-istiadat tersendiri bagi masyarakat Melayu, khususnya bagi komunitas Melayu pesisir Sumatera. C. Dimensi Ekonomi Saat itu kondisi perekonomian kesultanan Langkat meningkat dengan ditemukannya sumber minyak di wilayah Langkat, namun kondisi perkebunan menurun, akibat pembaruan buruh kontrak dan pekerja. Hak atas tanah dibatasi dan masyarakat mendapat konsesi yang sedikit. Royalty yang didapatkan saat itu dibagi menjadi tiga, yaitu untuk sultan, Belanda, dan pekerja. Pemerintahan Kesultanan Langkat termasuk kepada kerajaan yang makmur, ini terlihat dari bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kerajaan ini seperti istana-istana yang megah, lembaga pendidikan dan masjid yang berdiri dengan indah dan kokoh. Menurut Laporan John Anderson selaku wakil pemerintahan Inggris di Penang bahwa pada tahun 1823 kerajaan Langkat merupakan sebuah kerajaan yang kaya. Ekspor ladanya bermutu sangat baik, mencapai 20.000 pikul (+ 800.000 kg) dalam 20T. Lukman Sinar, Sari sejarah.., h. 190


91 setahun. Hasil-hasil lainnya dari Langkat seperti rotan, lilin, buah-buahan hutan, gambir, emas (dari Bahorok), gading, tembakau dan beras.21 Sumber penghasilan kesultanan Langkat, terutama berasal dari hasil pertanian, pajak perkebunan asing (Deli Maatschappij yang sekarang menjadi PTPN), perdagangan dan hasil pertambangan minyak bernama “De Koniklijke” (Koniklijke Nederlandsche Maatschappij Tot Exploitatie Petroleumbronnen In Nederlandsche-Indie) atau juga dikenal dengan nama BPM (Bapapte Petroleum Maatschappij) sehingga Kesultanan Langkat terkenal sebagai kerajaan yang kaya.22 Kekayaan kerajaan turut dinikmati oleh rakyatnya, ini dibuktikan bahwa setiap tahun sultan mengeluarkan zakat atau sedekah dengan mengumpulkan seluruh rakyat di masjid atau istana pada malam 27 Ramadhan. Kepada mereka diberikan uang sebesar f 2,50 per-orang. Ketika itu jumlah ini cukup untuk membeli beras sebanyak 50 kati serta memberikan bantuan-bantuan lainnya seperti minyak lampu yang digunakan untuk penerangan di bulan Ramadhan. D. Dimensi Politik Berkaitan dengan masalah politik, Kesultanan Langkat tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya. Ada dua kerajaan besar yang selalu disebut-sebut dalam sejarah kerajaan Langkat yaitu kerajaan Aceh dan kerajaan Siak. Selain itu, tidak dapat dikesampingkan juga mengenai pemerintahan kolonial Belanda yang pada akhirnya berhasil menguasai kerajaan-kerajaan Melayu yang ada di sepanjang pesisir timur pulau Sumatera, termasuk kerajaan Langkat pada pertengahan abad ke19. Akhirnya menjelang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, penjajahan Jepang juga berhasil menguasai kerajaan Langkat, hingga pada tahun 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang menjadi akhir masa pemerintahan Kesultanan Langkat dan digantikan menjadi wilayah 21Tim Peneliti Fakultas Sastra USU (J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum Ritonga, A. Samad Zaino, Jeluddin Daud), Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Stabat, 1995, , h. 23 22Ibid., h. 36


Click to View FlipBook Version