mengatasi hal ini, dapat dilakukan dengan brainstorming bersama orang lain atau
berkonsultasi dengan profesional. Pertanyaan yang sering muncul adalah
”Pilihan-pilihan apa saja yang kumiliki” ”Apakah langkah ini merupakan jalan
keluar bagiku?”
4. Mengevaluasi konskuensi dari masing-masing pilihan. Setiap keputusan yang
diambil akan menghasilkan suatu konskuensi, dan tidak akan ada artinya
keputusan tersebut diambil jika individu tidak berkomitmen terhadap
konskuensinya. Atas dasar hal tersebut, harus dianalisa konskuensi yang paling
sesuai dengan kebutuhan individu sehingga ia mampu menjalaninya. Pertanyaan
yang sering muncul adalah ” ”pilihan mana yang konskuensinya paling masuk
akal dan sesuai dengan kebutuhanku ?” ”Sejauh mana penyesalan yang akan
teradi jika aku mengambil tindakan dan tidak mengambil tindakan ?
5. Menentukan prioritas dan memiliki satu diantaranya. Setelah setiap konskuensi
pilihan selesai dianalisa, kita harus memilih salah satu diantara serangkaian
pilihan tersebut. Seringkali karena kesulitan dalam memilih dan tidak berani
menghadapi konskuensi dari pilihan, individu memilih menghindar dengan tidak
melakukan apapun. Pada dasarnya tidak melakukan apapun tetaplah sebuah
keputusan. Untuk mengatasi kesulitan ini, individu dapat menekankan pada
dirinya bahwa proses pengambilan keputusan bukanlah memilih antara benar
dan salah, akan tetapi memilih antara yang benar dan benar, tergantung pada
persepsi pribadi.
6. Menelaah ulang keputusan yang dipilih. Pada satu titik setelah keputusan diambil,
individu tetap harus menelaah ulang keputusan yang telah diambilnya. Frekuensi
dan kedalamannya tergantung dari seberapa besar keputusan tersebut
mempengaruhi kebutuhannya.
7. Mengambil tindakan terhadap keputusan yang dipilih. Setelah keputusan diambil,
sebuah tindakan harus dilakukan sebagai bentuk impelementasinya. Tidak akan
ada artinya proses pengambilan keputusan yang sudah dilalui apabila individu
tidak membuat suatu tindakan apapun.
Azas-azas Manajemen 144
Jannis & Mann (1997) memperkenalkan 5 (lima) tahapan dalam proses
pengambilan keputusan, yaitu:
1. Menilai Masalah
Tahap ini meliputi penilaian terhadap masalah. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara mencari informasi atau kejadian yang dapat memberikan pengaruh
positif atau negatif bagi tindakan yang akan diambil. Selain itu harus ditentukan
tujuan yang ingin dicapai dalam mengambil keputusan. Ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi penilaian masalah pada tahap ini: sumber masalah,
kejelasan masalah serta kepribadian dan mood individu ketika menilai masalah
tersebut. Pertanyaan yang sering muncul adalah ”Adakah risiko serius yang akan
muncul jika saya tidak melakukan perubahan?”
2. Mencari alternatif-alternatif yang ada
Setelah individu yakin terhadap setiap informasi yang berkaitan dengan
masalahnya, ia dapat memusatkan perhatian pada berbagai alternatif pilihan
yang ada. Hal ini juga dapat dilakukan dengan cara mencari masukan dan
informasi dari orang lain yang memiliki pengetahuan yang berhubungan dengan
masalahnya. Hal yang paling penting pada tahap ini adalah sikap terbuka dan
fleksibilitas sehingga individu tidak akan kekurangan alternatif yang
memungkinkan dipilih. Pertanyaan yang paling sering muncul adalah ”Apakah
saya telah melihat dan mempertimbangkan seluruh alternatif yang ada?”
3. Mempertimbangkan setiap alternatif
Pada tahap ini, individu mulai mengevaluasi setiap pilihan yang ada
berdasarkan konskuensinya dan kemungkinan untuk dapat dlakukan atau tidak.
Dasar pertimbangkan biasanya adalah adanya manfaat atau pengorbanan di masa
yang akan datang. Ketika ia menyadari adanya kemungkinan penyesalan di masa
yang akan datang, maka ia akan semakin berhati-hati dalam menimbang setiap
alternatif yang tersedia. Pada tahap ini biasanya akan muncul ketidakpuasan atas
tindakan yang mungkin sudah dilakukan, berusaha menghindar untuk melakukan
tindakan karena tidak ingin berkomitmen terhadap konskuensi yang akan
diambil dan responsif terhadap berbagai informasi baru yang memungkin pilihan
Azas-azas Manajemen 145
keputusan akan berubah. Pertanyaan akhir yang biasa muncul adalah ”Alternatif
apa yang terbaik bagi saya?”
4. Membuat Komitmen
Tahap ini adalah tahap yang penuh dengan ketegangan. Individu
dihadapkan pada berbagai pilihan yang sudah dianalisa dan ditelaah dan
diharuskan membuat suatu keputusan tentang pilihan mana yang akan diambil.
Hal ini hanya dapat diakhiri dengan membuat keputusan dan berkomitmen
terhadap keputusan tersebut. Seringkali individu memberitahu keputusannya
pada orang lain, terutama orang-orang yang berada dalam jaringan sosialnya.
Dengan demikian tahap ini sangat dipengaruhi oleh orang-orang atau kelompok
yang dianggap penting bagi si pengambil keputusan. Pertanyaan yang paling
sering muncul adalah ”Kapan saya dapat mengimplementasikan alternatif terbaik
dan membiarkan orang lain tahu keputusan saya?”
5. Konskuen terhadap komitmen meskipun memperoleh umpan balik yang negatif
Setiap keputusan yang diambil seseorang tentu saja memiliki risiko negatif.
Akan tetapi yang terpenting adalah tidak bereaski berlebihan terhadap kritik atau
kekecewaan yang mungkin akan muncul.
D. MODEL-MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Model adalah percontohan yang mengandung unsure yang bersifat
penyederhanaan untuk dapat ditiru ( jika perlu ). Pengambilan keputusan itu sendiri
merupakan suatu proses beruntun yang memerlukan penggunaan model secara tepat.
Pentingnya model dalam suatu pengambila keputusan, anatara lain sebagai berikut:
1. untuk mengetahui, apakah hubungan yang bersifat tunggal dari unsur-unsur itu
ada relevansinya terhadap masalah yang akan di selesaikan itu
2. Untuk memperjelas ( secara eksplisit ) mengenai hubungan signifikan diantara
unsure-unsur itu.
3. Untuk merumuskan hipotesis mengenai hakikat hubungan-hubungan antar
variable. Hubungan ini biasanya dinyatakan dalam bentuk matematika.
4. Untuk memberikan pengelolaan terhadap pengambilan keputusan.
Azas-azas Manajemen 146
Menurut Quade model kedalam dua tipe yaitu model kuantitatif dan model
kualitatif.
1. Model Kuantitatif
Model Kuantitatif ( dalam hal ini adalah model matematika ) adalah
serangkaian asumsi yang tepat yang dinyatakan dalam serangkaian hubungan
matematis yang pasti. Ini dapat berupa persamaan, atau analisis lainnya, atau
merupakan intruksi bagi computer yang berupa program-program untuk
computer.
Adapun ciri-ciri pokok model ini ditetapkan secara lengkap melalui asumsi-
asumsi dan kesimpulan berupa konsekuensi logis dari asumsi-asumsi tanpa
menggunakan pertimbangan atau instuis mengenai proses dunia nyata ( praktik )
atau permasalahan yang dibuat model untuk pemecahannya.
2. Model Kualitatif
Model kualitatif berdasarkan atas asumsi-asumsi yang ketepatannya agak
kurang jika dibandingkan dengan model kuantitatif dan ciri-cirinya digambarkan
melalui kombinasi dari deduksi-deduksi asumsi-asumsi tersebut dengan
pertimbangan yang lebih bersifat subjektif mengenai proses atau masalah yang
pemecahannya dibuatkan model.
Gullet dan Hicks memberikan beberapa klasifikasi model pengambilan keputusan
yang kerapkali digunakan untuk memecahkan masalah yang seperti itu ( yang hasilnya
kurang diketahui dengan pasti ).
a. Model Probabilitas
Model probabilitas pada umumnya model-model keputusannya merupakan
konsep probabilitas dan konsep nilai harapan memberi hasil tertentu ( the
concept of probability and expected ). Adapun yang dimaksud dengan probabillitas
adalah kemungkinan yang dapat terjadi dalam suatu peristiwa tertentu ( the
chance of particular event occurring ). Demikian juga halnya dengan probabilitas
statistic atau proporsi statistic dikembangkan melalui pengamatan langsung
Azas-azas Manajemen 147
terhadap populasi atau melalui sample dari populasi tersebut. Sample itu sendiri
merupakan bagian yang dianggap mewakili keseluruhan populasi.
b. Konsep tentang nilai harapan
Konsep ini dapat digunakan dalam pengambilan keputusan yang diambilnya
nanti menyangkut keputusan yang akan diambil dimasa yang akan datang.
Adapun nilai yang diharapkan ( nilai harapan ) dari setiap peristiwa yang terjadi
merupakan kemungkinan terjadinya peristiwa itu dikalikan dengan nilai
kondisional. Sedangkan nilai kondisionalnya adalah dimana terjadinya peristiwa
yang diharapkan masih diragukan.
c. Model Matriks
Selain model probabilitas dan nilai harapan ( probability and expected value )
pada juga model lainnya. Model lain tersebut misalnya adalah model matriks ( the
payoff matrix model ). Model matrik merupakan model khusus yang menyajikan
kombinasi antara strategi yang digunakan dan hasil yang diharapkan. Dalam hal
ini Gullet dan hincks mengatakan : the payoff matrix is a particularly convenient
method of displaying and summarizing the expected values alternative strategies.
d. model pohon keputusan
Model ini biasanya digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang
timbul dalam proyek yang sedang ditangani. Selanjutnya Welch dan Corner
memberikan definisi mengenai pohon keputusan ( decision tree ) sebagai
berikut:“the decision tree is a simple diagram showing the possible consequences of
alternative decisions. The tree includes the decision nodes chance modes, pays offs
for each combination, and the probabilities of each event.
Menurut Welch, ada 4 komponen dari pohon keputusan yaitu : simpul
keputusan, simpul kesempatan, hasil dari kombinasi, dan kemungkinan-
kemungkinan akibat dari setiap peristiwa yang terjadi. Hal yang kiranya penting
dalam pohon keputusan adalah pengambilan keputusan itu haruslah secara aktif
memilih dan mempertimbangkannya betul-betul alternative mana yang akan
dijadikan keputusan. Adapun langkah-langkah yang sekiranya perlu dilakukan
secara berturut-turut sebagai berikut :
Azas-azas Manajemen 148
1. Mengadakan identifikasi jaringan hubungan komponen-komponen yang ada
yang secara bersama-sama membentuk masalah tertentu yang nantinya
harus dipecahkan melalui diagram keputusan. Masalah tertentu inilah yang
merupakan masalah utama.
2. Masalah utama itu kemudian dirinci kedalam masalah yang lebih kecil.
3. Masalah yang sudah mulai terinci itukenudian dirinci lagi kedalam masalah
yang lebih kecil lagi ( terinci lagi ). Begitu seterusnya, sehingga merupakan
diagram pohon yang bercabang-cabang. Itulah sebabnya mengapa
keputusan atau proses pengambilan keputusan yang dilakukan semcam itu
dinamakan diagram pohon.
e. Model Kurva Indiferen
Ada juga pengambila keputusan yang membutuhkan penilaian yang lebih
bersifat subjektif. Model yang kiranya cocok untuk keputusan yang demikian ini
menggunakan analisis kurva indiferen, kurva kemanfaatan dan preferensi.
Kurava indiferen ( indifference curve ) merupakan kurva ( berbentuk garis )
dimana setiap titik yang berada pada garis kurva tersebut mempunyai tingkat
kepuasan atau kemanfaatan yang sama. Kurva indiferen mempunyai 4 ciri
penting, yakni sebagai berikut :
1. Kurva indiferen membentuk lereng ( slope ) yang negative. Kemiringan yang
negatif menunjukkan fakta atau asumsi bahwa satu komoditas dapat diganti
dengan komoditas lainnya sedemikian rupa sehingga konsumen
mempunyai tingkat kepuasan yang tetap sama.
2. Jika ada dua kurva indeferen dalam suatu keadaan atau lingkungan, maka
keduanya tidak akan saling berpotongan.
3. Hasil yang diperoleh dari asumsi, ialah bahwa kurva indiferen ditarik
melalui setiap titik, sehingga membentuk garis kurva.
4. Kurva indiferen dibutuhkan bagi pengorbanan tertentu untuk mendapatkan
kepuasan yang optimal.
Azas-azas Manajemen 149
f. Model Simulasi Komputer
Menurut model ini, pengambilan keputusan diperlukan rancang bangun (
design ) yang biasanya menggunakan computer, yang mampu menirukan apa-apa
yang dilakukan oleh organisasi. Banyak variabel yang dapat dijadikan model,
namun biasanya sulit untuk dapat mengukur dengan tepat masing-masing
variabel independent, apakah ada huibungan dan pengaruh terhadap variabel
independent, kalau ada berapa besarnya. Dengan menggunakan computer, hal ini
lebih mudah lebih dihitung dan diketahui berapa besarnya pengaruh variabel
terhadap independent. Sebab dengan menggunakan bantuan computer
jangkauan pikiran ( forecasting-nya ) dan pemikirannya secara operasional
menjadi lebih luas dan penjang serta mampu memecahkan permasalahan yang
komplek.
Azas-azas Manajemen 150
Bab 11
KEKUASAAN, WEWENANG DAN TANGGUNG JAWAB
PEMIMPIN DALAM ORGANISASI
A. PENGERTIAN
1. Kekuasaan (Power)
Dalam pembicaraan umum, kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan,
kekuasaan raja, kekuasaan pejabat Negara. Sehingga tidak salah apanila dikatakan
kekuasaan adalah kemampuan untuk memengaruhi pihak lain menurut kehendak
yang ada pada pemegang kekuasaan tersebut. Robert Mc Iver mengatakan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik
secara langsung dengan jalan member perintah/ dengan tidak langsung dnegan
jalan menggunakan semua alat dan cara yang tersedia. Kekuasaan biasanya
terbentuk hubungan ada yang memerintah dan ada yang diperintah.
Konsep kekuasaan (power) erat sekali hubungannya dengan konsep
kepemimpinan. Dengan memperoleh kekuasaan, pemimpin memperoleh alat untuk
memengaruhi perilaku para pengikutnya. Pemimpin seharusnya tidak hanya
menilai perilakunya sendiri agar mereka dapat mengerti bagaimana mereka
memengaruhi orang lain, akan tetapi juga pemimpin harus mau dan mampu menilai
posisi mereka dan cara menggunakan kekuasaan.
Ada beberapa pandangan tentang pengertian kekuasaan:
o Kekuasaan adalah suatu kemungkinan yang membuat seorang actor didalam
suatu hubungan social berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan
keinginannya sendiri dan yang mampu menghilangkan rintangan. (Max Weber)
o Kekuasaan adalah suatu kemampuan untuk memengaruhi aliran energy dan dana
yang tersedia untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan
lainnya (Wafterd Nord).
Azas-azas Manajemen 151
o Kekuasaan dipergunakan hanya jika tujuan-tujuan tersebut paling sedikit
mengakibatkan perselisihan satu sama lain. Kekuasaan adaah suatu produksi dari
akibat yang diinginkan (Russel)
o Kekuasaan adalah kemampuan untuk mempergunakan kekuatan (Bierstedt).
Kekuasaan adalah suatu control atas orang lai yang berhasil (Wrona)
o Kekuasaan adalah jika orange mempunyai kekuasaan atas orang B, maka A bisa
meminta B untuk melaksanakan sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh B
terhadap A (Dahl)
o Kekuasaan sebagai suatu potensi dan suatu pengaruh (Rogers)
Kekuasaaan dapat berasal dari berbagai sumber. Bagaimana hal tersebut
diperoleh dalam satu organisasi tergantung pada seberapa luas dari jenjang kekuasaan
yang dicari. Kekuasaan dapat diperoleh dari antarpribadi, structural dan berdasarkan
situasi. McClelland mengemukakan bahwa kekuasaan dapat digunakan secara
bertanggung jawab, di samping untuk mengkaji kebutuhan berprestasi juga kebutuhan
akan kekuasaan. Sebagai keinginan untuk menimbulkan dampak pada orang lain. Jneis
dampak ini dapat ditunjukkan dengan tiga cara:
o Dengan tindakan yang kuat, member bantuan atau nasihat, dengan
mengendalikan seseorang
o Dengan tindakan yang menimbulkan emosi pada orang lain
o Denngan memerhatikan reputasi
Hasil penelitian menemukan bagaimana orang yang tinggi kebutuhan
kekuasaanyya umumnya: 1) mempunyai sifat bersaing dan agresif, 2) berminat memiliki
prestise, 3) lebih menyukai situasi tindakan, 4) menjadi anggota sebuah kelompok. Riset
tentang kebutuhan yang dilakukan McClelland dan rekannya ini menyimpulka n bahwa
para manajer yang paling efektif memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) memiliki kebutuhan kekuasaan yang tinggi
2) mereka menggunakan kekuasaan untuk tujuan organisasi
Azas-azas Manajemen 152
3) mereka mempraktikan gaya partisipatif atau ‘melatih’ jika berinteraksi
dengan para pengikutnya
4) mereka tidak mengonsentrasikan diri untuk mengembangkan hubungan
yang akrab dengan orang lain
2. Kewenangan (Authority)
Antara kekuasaan dan wewenang terdapat perbedaan, seperti menurut Max
Weber, kekuasaan meliputi kekuatan dan paksaan dan wewenang merupakan suatu
bagian dari kekuasaan. Wewenang tidak membawa implikasi kekuatan, tetapi lebih
mencakup pada penilaian yang tidak menentu pada bagian penerimaannya.
Wewenang adalah kekuasaan resmi yang dimilki seseorang karena keduduka nnya
dalam hirarki organisasi. Pengarahan atau perintah dari seorang manajer dalam
sebuah posisi wewenang dipatuhi karena mereka harus dipatuhi. Maka dari itu,
orang yang berada dalam posisi yang lebih tinggi mempunyai kekuasaan yang sah
atas bawahan yang berada di posisi yang lebih rendah.
Wewenang mempunyai sifat:
1. Terdapat pada posisi seseorang. Individu mempunyai wewenang karena posisi
yang ia pegang, bukan karena sifat, pribadi yang khusus.
2. Diterima oleh bawahan. Individu dalam posisi wewenang yang sah, menerapkan
wewenang dan dapat melaksanakannya karena ia mempunyai hak yang sah.
3. Kekausaan digunakan secara vertical dan mengalir dari atas kebawah dalam
susunan sebuah organisasi.
Terdapat dua pandangan mengenai kewenangan formal, yaitu pandangan
klasik(classical view) dan pandangan berdasarkan penerimaan (acceptance view).
Pandangan Klasik
Pandangan klasik mengenai kewenangan formal menerangkan bahwa
kewenangan pada dasarnya terlahir sebagai akibat adanya kewenangan yang
lebih tinggi dari kewenangan yang diberikan.
Pandangan Berdasarkan Penerimaan
Azas-azas Manajemen 153
Pandangan yang berdasarkan penerimaan (acceptance
view) memandang bahwa kewenangan formal akan cendrung dijalankan atau
diterima oleh bawahan tergantung dari beberapa persyaratan, antara lain :
1. Bawahan dapat memahami apa yang diinginkan atau
dikomunikasikan oleh pimpinan atau atasan.
2. Pada saat bawahan memutuskan untuk menjalankan apa yang
diperintahkan oleh atasannya dia yakin tidak bertentangan dengan
rencana pencapaian tujuan organisasi.
3. Bawahan yakin apa yang diperintahkan konsisten mendukung
nilai, misi maupun motif pribadi atau kelompok.
4. Bawahan mampu secara mental maupun fisik menjalankan apa
yang diperintahkan
3. Tanggung Jawab (Responsibility)
Tanggung jawab mengingatkan orang-orang untuk tidak saja
mempergunakan kewenangan yang dimiliki, tetapi juga melaporkan apa saja yang
telah dilakukan sehubungan dengan kewenangan yang telah diberikan kepadanya.
Kadangkala orang-orang melupakan esensi dari tanggung jawab sebagai bagian dari
jabatan atau tugas yang di emban ketika menduduki suatu bagian atau departemen
tertentu.
Oleh karena itu perlu disadari bahwa setiap bagian dalam organisasi
memiliki kewenangan sekaligus juga tanggung jawab dalam pencapaian tujuan
organisasi. Oleh karena itu berbagai prasyarat kemampuan tentunya dibutuhkan
untuk menduduki posisi-posisi tertentu dalam sebuah organisasi.
B. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDASARI KEKUASAAN, WEWENANG DAN TANGGUNG
JAWAB PEMIMPIN DALAM ORGANISASI
Menurut French dan Raven, sebagaimana dikutip oleh Stoner, Freeman dan
Gilbert (1995), terdapat lima faktor yang mendasari lahirnya sebuah
kekuasaan(sources of power). Kelima faktor tersebut adalah reward power, coercive
power, legitimate power, expert power, dan referent power. 154
Azas-azas Manajemen
1. Reward Power
Reward power atau kekuasaan untuk memberikan penghargaan adalah
kekuasaan yang muncul sebagai akibat dari seseorang yang posisinya
memungkinkan dirinya untuk . memberikan penghargaan terhadap orang-
orang yang berada di bawahnya. Sebagai contoh adalah kekuasaanyang dimiliki
oleh seorang manajer personalia atau manajer SDM. Disebabkan posisi dirinya
membawahi seluruh sumber daya manusiaorganisasi atau tenaga kerja dari
sebuah perusahaan misalnya, maka seorang manajer personalia memilikireward
power dikarenakan bagian yanglebih tinggi dari manajer personalia tersebut akan
menanyakan mengenai Kinerja tenaga kerja perusahaan melalui
manajer personalia tersebut. Akibatnya, manajer personalia memiliki kekuasaan
tersebut. Orangorang atau tenaga kerja yang berada di bawah manajer
personalia dengansendirinya memiliki semacam ketergantungan terhadap
manajer personalia, sehingga manajer personalia tersebut dapat, dikatakan
memiliki semacam kekuasaan yang dinamakan sebagai reward power karena
penghargaan terhadap Kinerja SDM dapat dikatakan sangat tergantung kepada
penilaian dari manajer personalia tersebut.
2.Coercive Power
Coercive power atau kekuasaan untuk memberikan hukuman adalah
kebalikan atau sisi negatif dari reward power. Kekuasaan ini merupakan
kekuasaan seseorang untuk memberikan hukuman atas Kinerja yang buruk
yang ditunjukkan oleh SDM atau tenaga kerja dalam sebuah organisasi. Setiap
pimpinan pada dasarnya memiliki reward sekaliguscoercive power ini. Oleh
karena itu, setiap pimpinan perlu untuk sangatberhati-hati dalam menggunakan
jenis kekuasaan ini, karena pada dasarnya setiap manusia tidak
ada yang menginginkan untuk menerima hukuman.
3. Legitimate Power
Legitimate power atau kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang
muncul sebagai akibat dari suatu legitimasi tertentu. Misalnya,
Azas-azas Manajemen 155
seseorang yangdiangkat menjadi pemimpin, secara otomatis dia meroniliki
semacam kekuasaan yang sah atau terlegitimasi. Demikian pula
seseorang yang diangkat menjadi manajer, direktur, dan hierarki pimpinan
lainnya.
4. Expert Power
Expert power atau kekuasaan yang berdasarkan keahlian atau
kepakaran adalah kekuasaan yang muncul sebagai akibat dari kepakaran atau
keahlian yang dimiliki oleh seseorang. Seorang dokter, misalnya, memiliki
semacam kekuasaan ini. Dikarenakan dirinya memiliki keahlian dalam
mendiagnosa suatu penyakit, maka secara sadar maupun tidak sadar, seorang
pasien yang berkonsultasi kepada dokter akan mengikuti apa saja yang
diusulkan atau dianjurkan oleh sang dokter sejauh hal tersebut bisa
membantu sang pasien untuk sembuh dari penyakitnya. Demikian pula
dengan pakar-pakar di bidang lainnya.
5. Referent Power
Referent power adalah kekuasaan yang muncul akibat adanya
karakteristik yang diharapkan oleh seseorang atau sekelompok orang
terhadap seseorang yang memiliki pengaruh terhadap seseorang atau
sekelompok orang tersebut. Ketika rakyat menginginkan sosok
pemitnpin yang jujur misalnya, maka ketika ada sosok calon presiden yang
dikenal sebagai seorang yang jujur dengan sendirinya sang calon presiden
tersebut memiliki apa yang dinamakan sebagai referent power tersebut
dikarenakan orang-orang tengah menginginkan karakteristik yang dimiliki
oleh sang calon presiden tersebut, yaitu kejujuran.
Setiap bagian dari struktur organisasi sebagaimana diterangkan di bagian
awal bab ini memiliki jenis kekuasaannya masing-masing, terutama di
bagian yang berada pada hierarki yang paling tinggi dalam suatu organisasi, seperti
Azas-azas Manajemen 156
direktur, presiden direktur, dan sejenisnya. Pada umumnya kekuasaan tersebut lebih
disebabkan karena legitimasi tertentu yang ditentukan oleh mekanisme dalam
organisasi. Kekuasaan tersebut meliputi kekuasaan untuk memerintah, mengoreksi,
atau punmengoordinasikan bagian yang berada di bawahnya. Namun, dikarenakan
kekuasaan pengertiannya sangat luas dan lebih banyak digunakan dalam istilah
politik, maka dalam organisasi, istilah kekuasaan cenderung jarang dipergunakan.
Sebagai gantinya istilah kewenangan atau authority lebih sering dipergunakan.
Azas-azas Manajemen 157
Bab 12
MANAJEMEN KONFLIK
A. PENGERTIAN
1. Pengertian konflik
Berbagai referensi ilmu sosial, khususnya ilmu politik, antropologi, sosiologi, dan
psikologi, banyak membahas aspek konflik sebagai materi kajian tentang konflik.
Menurut Santosa (2001), jika ditelaah dari isi dan substansi berbagai definisi tentang
konflik, ada dua yang harus dimengerti, yakni apa dan bagaimana pandangan tentang
konflik dari para ahli teori pengertian konflik dari empat sudut pandang para ahli teori
politik, antropologi, manajemen, dan ekonomi politik serta berbagai definisi para
ilmuwan sosial lainnya:
a. Konflik dari perspektif politik.
Politik merupakan konflik dalam mencari atau mempertahankan
sumber-sumber yang dianggap penting. Dalam memperjuangkannya, sering
kali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan
pertentangan yang bersifat fisik di antara berbagai pihak yang berupaya
mendapatkan nilai-nilai dan mereka yang berupaya mempertahankan apa
yang selama ini telah didapatkan. Ilmuwan politik yang menelaah kekuasaan
(powers) umumnya berpendapat bahwa politik merupakan upaya
bagaimana memperoleh, merebut, dan mempertahankan kekuasaan dengan
cara damai atau melalui konflik.
b. Konflik dari perspektif antropologi
Dalam International Encyclopedia of The Social Sciences Vol. 3 (hlm.
236-241), diuraikan mengenai pengertian konflik dari aspek antropologi.
Konflik timbul sebagai akibat dari persaingan antara dua pihak atau lebih.
Tiap-tiap pihak dapat berupa perorangan, keluarga, kelompok kekerabatan,
satu komunitas, satu lapisan kelas sosial pendukung ideologi tertentu, satu
Azas-azas Manajemen 158
organisasi politik, satu suku bangsa, atau satu pemeluk agama tertentu
(Nader, t.t.). Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam konflik
meliputi bermacam bentuk dan ukuran. Selain itu, dapat pula dipahami
bahwa pengertian konflik secara antropologis tidak berdiri sendiri,
melainkan secara bersama-sama dengan pengertian konflik menurut aspek-
aspek lain turut ambil bagian dalam memunculkan konflik sosial dalam
kehidupan kolektif manusia (Chang, 2001).
c. Konflik dari perspektif manajemen
Menurut Webster (1966) dalam Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin,
istilah conflict dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan,
atau perjuangan, yaitu konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu
kemudian berkembang menjadi ketidaksepakatan.yang tajam atau oposisi
atas berbagai kepentingan.
Ilmuwan manajemen, Stoner dan Freeman (1989: 391),
mendefinisikan konflik sebagai “disagreement between individuals or groups
within the organization stemming from the need to share scarce resources or
engage in interdependent work activities or from differences in status, goals, or
cultures”.
d. Konflik dari perspektif ekonomi politik
Ahli ekonomi politik seperti Kreitner dan Kinicki (1995: 283),
mengatakan bahwa konflik tidak lebih sebagai all kinds of opposition or
antagonistic interaction. It based on scarcity of power, resources or social
position, and differing value systems. Demikian definisi dari para ilmuwan
sosial yang memiliki latar belakang ilmu yang berbeda. Lebih lanjut,
dikemukakan berbagai definisi konflik menurut para ahli teori.
Berikut ini dikemukakan berbagai definisi konflik untuk lebih memperkaya
khazanah definisi konflik.
Azas-azas Manajemen 159
1. The condition of objective incompatibility between values or goals, as the bahavior
of deliberately interfering with another’s goal achievement, and emotional in
terms of hostility (Luthans, 1985: 386).
2. A process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of B by
some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or her goals
or furthering his or her interests (Robbins, 1996:428).
3. Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin memaknai konflik sebagai persepsi
mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest) atau suatu
kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai
secara simultan. Konflik dapat terjadi pada berbagai macam keadaan dan
berbagai tingkat kompleksitas.
4. Konflik merupakan sebuah hal yang dinamis. Maksudnya, aktivitas individu,
keluarga, pemerintahan, bisnis, dan proses industrialisasi senantiasa
berinteraksi dalam proses kontak sosial sebagai satu kesatuan sistem. Konflik
bisa diperluas jika dapat dipandang sebagai media dan energi potensial untuk
proses aktualisasi agar terbentuk perilaku kooperatif (konsensus), baik dalam
tingkat personal maupun institusional. Hal ini mengingat konflik dalam semua
situasi selalu mengandung unsur positif dan negatif sebagaimana pendapat
Lewis Coser (1956: 23). Unsur negatif itu adalah konflik tidak dapat mencapai
komitmen antarpihak untuk sebuah konsensus atau kesepakatan. Intinya,
konflik hanya untuk konflik yang merupakan suatu hal kontraproduktif karena
itu negatif. Sementara itu, sifat positif konflik adalah antarpihak terjadi
komitmen atau kesepakatan untuk sebuah resolusi dan solusi yang bisa
berwujud pernyataan bersama (declaration) dalam kesepahaman
(understanding) tentang suatu hal yang menjadi sumber konflik.
5. Konflik adalah pertentangan antarbanyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah,
serta bagian yang menyatu sejak kehidupan ada (Johnson dan Duinker, 1993:
17). Konflik merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan dapat bersifat positif
ataupun negatif. Aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu
mengidentifikasikan sebuah proses pengelolaan dan sumber daya yang tidak
Azas-azas Manajemen 160
bekerja secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas,
dan menjelaskan kesalahpahaman.
Berikut ini dikemukakan pendapat tentang timbulnya konflik dari para ahli teori.
a. Asley M dalam Peter du Toit (2000) bahwa konflik timbul saat beberapa
pihak percaya bahwa aspirasi mereka tidak apat diraih bersama-sama dan
merasa ada perbedaan dalam tata nilai, kebutuhan atau kepentingan. Peter
du Toit (2000) mengatakan bahwa definisi tersebut dapat dipakai untuk
memahami unsur yang berbeda dari konflik:
1) konflik hanya akan terjadi jika ada hubungan antarorang yang
terlibat,
2) paling tidak ada dua pihak yang terlibat,
3) keyakinan dan persepsi tentang kebutuhan dan kepentingan dapat
memicu konflik,
4) konflik yang melibatkan penggunaan kekuasaan dengan maksud
tertentu dapat menggunakan tindakan mobilisasi sumber daya untuk
memaksa pihak lain bertindak/tidak bertindak dengan cara tertentu,
5) keputusan untuk menggunakan kekuasaan dapat memiliki beberapa
tujuan, dan
6) dua alasan penggunaan sumber daya, yaitu melindungi status quo
dan mencegah terjadinya perubahan atau mencoba membawa
perubahan yang akan membantu mereka memuaskan kebutuhan
dankepentingan mereka.
b. A. M. Ruslan (2001) mengatakan bahwa konflik dapat dipandang sebagai
sesuatu yang bersifat negatif ataupun positif. Konflik dipandang sebagai
sesuatu yang bersifat negatif bila diartikan percekcokan, perselisihan, atau
pertentangan. Sementara itu, yang memandang konflik sebagai sesuatu yang
bersifat positif menyatakan bahwa konflik adalah bagian dari pergerakan
masyarakat dan konflik akan selalu ada dalam kehidupan manusia.
Pandangan positif ini berangkat dari keyakinan bahwa konflik berakar dalam
Azas-azas Manajemen 161
watak manusia. Dalam masyarakat, telah terbentuk suatu struktur dominasi
dan subordinasi sehingga ketidakadilan bisa berkembang dan meluas.
Struktur ini pula yang tidak memungkinkan terjadinya distribusi sumber
daya secara adil.
c. Menurut Mitchell et al. (2003), akar konflik yang sering muncul meliputi
empat aspek, yakni: perbedaan pengetahuan dan pemahaman, perbedaan
nilai, perbedaan kepentingan, serta persoalan pribadi atau latar belakang
sejarah.
d. Santosa (2004: 7) membagi timbulnya konflik dalam tiga tahap berikut:
1) konflik tahap satu (peristiwa biasa)
Konflik tahap satu dapat timbul dalam interaksi social sehari-hari baik
dalam kepentingan bisnis, perkantoran, keluarga maupun
pertemanan yang masing-masing berbeda dalam agama
(interpersonal ). Sifat konflik dicirikan oleh sikap emosi personal
karena perbedaan pandangan ajaran/paham yang diperoleh dari
pemimpinnya. Oleh karena itu, hal tersebut tidak begitu mengancam
dan paling mudah dikelola untuk rujuk kembali. Biasanya dilakukan
melalui dialog untuk mencari kesepahaman walau dalam perbedaan
ajaran. Keuntungan yang dipetik adalah sebuah integrasi gagasan.
2) Konflik tahap dua (tantangan)
Konflik ini bisa terjadi karena eskalasi konflik tahap satu yang tak
terselesaikan sehingga menjadi konflik intragrup, seperti umat agama
yang sama. Konflik dipahami sebagai unsur kompetisi antarkelompok
yang ditandai “sikap kalah-menang” dan yang dimotori oleh
pemimpin kelompoknya. Kemenangan menjadi faktor penentu sikap
pribadi pemimpin kelompok untuk membela dan mempertahankan
diri. Tataran konflik tahap dua ini perlu dipahami sebagai jenis konflik
realistis atau nonrealistis (isu-isu). Penyelesaian konflik melalui
institusi dilakukan dengan pendekatan intervensi mediator (ada
campur tangan). Perdamaian atau rekonsiliasi adalah hasil yang bisa
Azas-azas Manajemen 162
dirasakan. Jika pihak yang berkonflik tidak berhasil mencapai
kesepakatan damai, eskalasi konflik meningkat ke konflik tahap tiga.
3) Konflik tahap tiga (pertentangan)
4) Konflik tahap tiga bisa terjadi intragrup atau antargrup yang berbeda
paham keagamaan dan kesukuan. Tujuan konflik adalah mengubah
sikap keinginan kelompok untuk menang serta menjadi keinginan
untuk mencederai dan merusak bahkan saling membunuh (seperti
peristiwa Sambas dan Ambon). Motivasinya adalah menghilangkan
kelompok lain. Sikap emosionalnya adalah konflik telah meningkat
dan harus ada korban. Pengelolaan konflik tahap ini memerlukan
energi dan media yang besar. Tidak satu pun orang yang mampu
memberikan prognosis mujarab sehingga konsensus tidak dapat
dicapai. Arbitrase (hukum positif) pun tidak dapat digunakan untuk
upaya penyelesaian konflik jenis ini karena sentimen telah menjadi
kedendaman.
Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap peran
konflik dalam organisasi yang disebut oleh Robbin (1996: 431) sebagai the conflict
paradoks, yaitu pandangan bahwa di satu sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan
organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi
menjadi dua bagian berikut.
1. Pandangan tradisional (the traditional view)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu
yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan
istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu
hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan,
keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap
terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (the human relation view)
Azas-azas Manajemen 163
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu
peristiwa yang wajar dan terjadi dalam kelompok atau organisasi. Konflik
dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam
kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat
antaranggota. Oleh karena itu, konflik harus menjadi suatu hal yang
bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata
lain, konflik harus menjadi motivasi untuk melakukan inovasi atau
perubahan dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (interactionist view)
Dalam pandangan ini, pimpinan justru mendorong terjadinya konflik
karena adanya anggapan bahwa kelompok yang tampaknya kooperatif,
tenang, dan damai cenderung memiliki sifat apatis, statis, dan minim daya
tangkap.
2. Pengertian Manajemen Konflik
Berikut ini dijelaskan berbagai definisi manajemen konflik dari
berbagai ahli.
a. Secara konseptual, pengertian manajemen konflik (conflict management)
dapat didefinisikan sebagai proses, seni, ilmu, dan segala sumber daya yang
tersedia dalam individu, kelompok, ataupun organisasi untuk mencapai
tujuan mengelola konflik (Santosa, 2000: 6). Manajemen konflik merupakan
serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku ataupun pihak luar dalam suatu
konflik. Manajemen konflik termasuk suatu pendekatan yang berorientasi
pada proses yang mengarahkan bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku)
dari pelaku ataupun pihak luar dan bagaimana mereka memengaruhi
kepentingan (interests) serta interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang
berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang
akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara
pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga.
Azas-azas Manajemen 164
b. Menurut Ross (1993), manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang
diambil para pelaku atau pihak ketiga dalam mengarahkan perselisihan pada
hasil tertentu yang dapat berupa penyelesaian konflik dan menghasilkan
ketenangan, hal positif, kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik
dapat melibatkan bantuan diri sendiri, kerja sama dalam memecahkan
masalah (dengan atau tanpa bantuan pihak ketiga), atau pengambilan
keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan yang berorientasi pada
proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi (termasuk
perilaku) para pelaku serta bagaimana mereka memengaruhi kepentingan
dan penafsiran terhadap konflik.
c. Wirawan (2010: 23) mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses
pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga yang menyusun strategi konflik
dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan
resolusi yang diinginkan. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa manajemen konflik
merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku ataupun pihak luar
dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan
yang berorientasi pada proses yang mengarahkan bentuk komunikasi
(termasuk tingkah laku) dari pelaku ataupun pihak luar dan bagaimana
mereka memengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak
luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya
adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena
komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan
terhadap pihak ketiga.
d. Menurut Lynne Irvine (1988), the strategy which organizations and individual
employ to identify and manage differences, thereby reducing the human and
financial costs of unmanaged conflict, while harnessing conflict as a source of
innovation and improvement. Menurut wikimedia, conflict manajement refers
to the long-term manajement of intractable conflicts. It is the variety of ways by
which people handle grievances- standing up for what they consider to be right
and against what they consider being wrong. Those ways include such diverse
Azas-azas Manajemen 165
phenomenon as gossip, ridicule, lynching, terrorism, warfare, feuding, genocide,
law, mediation, and avoidance
e. Criblin (1982: 219) mengemukakan, manajemen konflik merupakan teknik
yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik. Hal ini
dilakukan dengan menentukan peraturan dasar dalam bersaing. Tosi et al.
(1990) berpendapat bahwa conflict management mean that a manager takes
an active role in addressing conflict situations and intervenes if needed.
Manajemen konflik dalam organisasi menjadi tanggung jawab pimpinan
(manajer), baik manajer tingkat lini (supervisor), manajer tingkat menengah
(middle manager), maupun manajer tingkat atas (top manager). Oleh karena
itu diperlukan peran aktif untuk mengarahkan situasi konflik agar tetap
produktif. Manajemen konflik yang efektif dapat mencapai tingkat konflik
yang optimal, yaitu menumbuhkan kreativitas anggota, menciptakan inovasi,
mendorong perubahan, dan bersikap kritis terhadap perkembangan
lingkungan.
3. Proses konflik
Konflik merupakan proses yang dinamis, bukannya kondisi statis. Konflik
memiliki awal, dan melalui banyak tahap sebelum berakhir. Ada banyak pendekatan
yang baik untuk menggambarkan proses suatu konflik antara lain menurut Luthans
(2006:140) sebagai berikut:
a. Antecedent Conditions or latent Conflict.
Merupakan kondisi yang berpotensi untuk menyebabkan, atau
mengawali sebuah episode konflik. Terkadang tindakan agresip dapat
mengawali proses konflik. Atecedent conditions dapat tidak terlihat, tidak
begitu jelas di permukaan. Perlu diingat bahwa kondisi-kondisi ini belum
tentu mengawali proses suatu konflik. Sebagai contoh, tekanan yang didapat
departemen produksi suatu perusahaan untuk menekan biaya bisa menjadi
sumber frustasi ketika manager penjualan ingin agar produksi ditingkatkan
untuk memenuhi permintaan pasar yang mendesak. Namun demikian,
Azas-azas Manajemen 166
konflik belum tentu muncul karena kedua belah pihak tidak berkeras
memenuhi keinginannya masing-masing. Disinilah dikatakan konflik bersifat
laten, yaitu berpotensi untuk muncul, tapi dalam kenyataannya tidak terjadi.
b. Perceived Conflict.
Agar konflik dapat berlanjut, kedua belah pihak harus menyadari
bahwa mereka dalam keadaan terancam dalam batas-batas tertentu.Tanpa
rasa terancam ini, salah satu pihak dapat saja melakukan sesuatu yang
berakibat negatif bagi pihak lain, namun tidak disadari sebagai ancaman.
Seperti dalam kasus dia atas, bila manager penjualan dan manager produksi
memiliki kebijaksanaan bersama dalam mengatasi masalah permintaan
pasar yang mendesak, bukanya konflik yang akan muncul melainkan
kerjasama yang baik. Tetapi jika perilaku keduanya menimbulkan
perselisihan, proses konflik itu akan cenderung berlanjut.
c. Felt Conflict.
Persepsi berkaitan erat dengan perasaan. Karena itulah jika orang
merasakan adanya perselisihan baik secara aktual maupun potensial,
ketegangan, frustasi, rasa marah, rasa takut, maupun kegusaran akan
bertambah. Di sinilah mulai diragukannya kepercayaan terhadap pihak lain,
sehingga segala sesuatu dianggap sebagai ancaman, dan orang mulai berpikir
bagaimana untuk mengatasi situasi dan ancaman tersebut.
d. Manifest Conflict.
Persepsi danperasaan menyebabkan orang untuk bereaksi terhadap
situasi tersebut. Begitu banyak bentuk reaksi yang mungkin muncul pada
tahap ini adalah berbagai argumentasi, tindakan agresif, atau bahkan
munculnya niat baik yang menghasilkan penyelesaian masalah yang
konstruktif.
e. Conflict Resolution or Suppression.
Conflict resolution atau hasil suatu konflik dapat muncul dalam
berbagai cara. Kedua belah pihak mungkin mencapai persetujuan yang
mengakhiri konflik tersebut. Mereka bahkan mungkin mulai mengambil
Azas-azas Manajemen 167
langkah-langkah untuk mencegah terulangnya konflik di masa yang akan
datang. Tetapi terkadang terjadi pengacuan (suppression) dari konflik itu
sendiri.Hal ini terjadi jika kedua beJah pihak menghindari terjadintya reaksi
yang keras, atau mencoba mengacuhkan begitu saja ketika terjadi
perselisihan. Konflik juga dapat dikatakan selesai jika satu pihak berhasil
mengalahkan pihak yang lain.
f. Conflict Alternatif.
Ketika konflik terselesaikan, tetap ada perasaan yang tertinggal.
Terkadang perasaan lega dan harmoni yang terjadi, seperti ketika
kebijaksanaan baru yang dihasilkan dapat menjernihkan persoalan di antara
kedua belah pihak dan dapat meminimasik konflik-konflik yang mungkin
terjadi di masa yang akan datang. Tetapi jika yang tertinggal adalah perasaan
tidak enak dan ketidakpuasan, hal ini dapat menjadi kondisi yang potensial
untuk episode konflik yang selanjutnya. Pertanyaan kunci adalah apakah
pihak-pihak yang terlibat lebih dapat bekerjasama, atau malah semakin jauh
akibat terjadinya konflik.
B. FUNGSI MANAJEMEN KONFLIK
Menurut W. Hendricks (2000) dalam manajemen konflik, diperlukan langkah
diagnostis pendekatan konflik dengan menggunakan diagram lima gaya. Dalam diagram,
kualitas perhatian terhadap diri sendiri dan aktor lainnya merupakan penentuan gaya
konflik. Miall et al. (2002) membagi konflik menjadi dua, yakni konflik simetris (konflik
kepentingan antara pihak yang relatif sama) dan konflik tidak simetris (konflik tidak
seimbang: mayoritas dan minoritas atau majikan dan bawahan). Penyelesaian konflik
tidak simetris adalah yang kuat akan selalu menang dan pihak yang lemah selalu kalah.
Satu-satunya cara adalah mengubah strukturnya. Pihak ketiga harus menggabungkan
kekuatan dengan pihak yang lemah untuk menghasilkan pemecahan. Jika perlu,
berkonfrontasi dengan pihak yang kuat. Ini bermakna mentransformasi hubungan yang
tidak seimbang dan tidak damai ke hubungan damai dan dinamis. Konflik dalam tubuh
organisasi tidak selamanya harus dimaknai permusuhan atau pertikaian.
Azas-azas Manajemen 168
Dalam kajian sosiologis, konflik itu juga bisa bermakna kompetisi, tegangan
(tension), atau sekadar ketidaksepahaman. Itu pula sebabnya kehadiran konflik tidak
selamanya harus dimaknai sebagai kekuatan yang menghancurkan (a necessarily
destructif force) Gibson et al. (1997: 437) menyatakan bahwa fungsi manajemen konflik,
selain dapat menciptakan kerja sama, dapat pula melahirkan inovasi dan kreasi. Hal ini
terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan yang
sama, tidak berjalan sendiri-sendiri, dan saling bekerja sama satu sama lain. Akan tetapi
konflik dapat menjadi masalah yang serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli bentuk
dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut apabila tidak ditempatkan sebagai fungsi
manajemen. Konflik tersebut mungkin tidak membawa “kematian” bagi organisasi,
tetapi pasti dapat menurunkan kinerja organisasi yang bersangkutan. Jika konflik
tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian, hal itu pertanda tidak
berfungsinya manajemen organisasi. Oleh karena itu, keahlian untuk mengelola konflik
sangat diperlukan bagi setiap pimpinan atau manajer organisasi. Pada konteks inilah,
terlihat fungsi leadership dalam menjalankan manajemen organisasi. Tepatnya, konflik
dinamika lahir maka konflik kreativitas muncul. Bahkan, menurut sosiolog asal Jerman,
George Mills, konflik adalah penggerak sejarah sekaligus sumber perubahan. Oleh
karena itu, konflik besar sumbangannya dalam mencegah kebekuan sosial. The changes
caused by conflict prevent society from stagnating (Mills, 1956).
Menurut Minnery (1980: 220), manajemen konflik merupakan proses. Hal ini
sama dengan kegiatan perencanaan sebagai suatu proses. Proses manajemen konflik
merupakan bagian yang rasional dan bersifat iteratif. Artinya bahwa pendekatan model
manajemen konflik perencanaan kota secara terus-menerus mengalami penyempurnaan
hingga mencapai model yang representatif dan ideal.
Manajemen konflik dalam organisasi meliputi beberapa fungsi berikut.
a. Fungsi akomodasi, yakni penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari
atau ditekan/didiamkan).
b. Fungsi klarifikasi, yakni identifikasi dan diskursus karakteristik serta struktur
konflik.
Azas-azas Manajemen 169
c. Fungsi evaluasi konflik, yakni manfaat atau outcome manajemen konflik (jika
bermanfaat, dilanjutkan dengan proses berikutnya; jika tidak, hal itu tidak
dilanjutkan).
d. Fungsi menentukan aksi tindakan, yakni tindakan apa yang dipersyaratkan
untuk mengelola konflik. Fungsi penentuan peran, yakni fungsi
pengorganisasian manajemen konflik, bagaimana menentukan peran perencana
sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik. Keseluruhan
fungsi-fungsi tersebut berlangsung dalam proses dan konteks pengelolaan
konflik, baik bagi aktor, mediator, maupun antar pihak yang ikut andil
mengelola konflik sebagai partisipan atau pihak ketiga.
Berdasarkan fungsinya, Robbins (1996: 430) membagi konflik menjadi dua
macam, yaitu konflik fungsional (functional conflict) dan konflik disfungsional
(dysfunctional conflict).
Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok
dan memperbaiki kinerja kelompok.
Konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan
kelompok. Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu konflik
fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin
fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain.
Konflik dapat fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional pada waktu
yang lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bu kan
pada kinerja individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja
kelompok walaupun kurang memuaskan, konflik tersebut dikatakan fungsional.
Begitu juga sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu, tetapi
menurunkan kinerja kelompok, konfliktersebut disfungsional.
Azas-azas Manajemen 170
Aspek-Aspek Manajemen Konflik
Robbins (2002: 215) berpendapat mengenai beberapa aspek gayamanajemen
konflik yang sering dilakukan oleh seseorang, antara lain sebagai berikut:
1. Competing atau kompetisi, yaitu merupakan gaya yang berorientasi pada
kekuasaan, dimana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang
dimilikinyauntuk memenangkan konflik dengan lawannya.
2. Kolaborasi atau pemecah masalah, yaitu merupakan gaya mencari solusi
integratif jika kepentingan kedua belah pihak terlalu penting untuk
dikompromikan. Gaya ini cenderung lebih suka menciptakan situasi yang
memungkinkan agar tujuan dapat dicapai. Mencari solusi agar dapat diterima
semua pihak, tujuan pribadi juga tercapai sekaligus hubungan dengan orang lain
menjadi lebih baik.
3. Penghindaran, yaitu merupakan gaya yang cenderung memandang konflik tidak
produktif dan sedikit menghukum. Aspek negatif dari gaya ini adalah melempar
masalah pada orang lain dan mengesampingkan masalah atau bahasa lainnya
adalah menarik diri atau bersembunyi untuk menghindari konflik
4. Akomodasi atau penolong ramah, yaitu merupakan gaya yang sangat
mengutamakan hubungan dan kurang mementingkan kepentingan pribadi.
Orang yang menggunakan gaya ini cenderung kurang tegas dan
cukupkooperatif, mengabaikan kepentingan sendiri demi kepentingan orang
lain.
5. Kompromi atau pendamai penyiasat, yaitu merupakan gaya yang lebih
berorientasi pada jalan tengah karena setiap orang punya sesuatu untuk
ditawarkan dan sesuatu untuk diterima. Nilai gaya ini terlalu rendah dan tidak
terlalu tinggi.
Sementara itu, Rahim (dalam Wirawan, 2010: 144) membedakan aspek gaya
manajemen konflik kepada lima bagian yaitu:
a. Dominasi (dominating) atau dengan istilah kompetisi. Individu dengan gaya ini
hanya memenuhi tujuan pribadi tanpa memikirkan kebutuhan lawannya.
Azas-azas Manajemen 171
b. Integrasi (integrating) atau sering disebut dengan kolaborasi. Pihak yang
terlibat konflik berusaha menciptakan resolusi konflik(penyelesaian konflik)
secara maksimal dengan memenuhi tujuan dirinya sendiri dan tujuan lawan
konfliknya atau dalam kata lain dapat disebut imbang antara kepentingan
dirinya dan lawannya.
c. Kompromi (compromising). Yaitu berada diantara dua persimpangan dimana
gaya ini berusaha memenuhi sebagian tujuannya dan tujuan lawan konfliknya
tanpa berupaya memaksimalkannya
d. Menghindar (avoiding). Pihak yang terlibat konflik menolak untuk berdiskusi
mengenai konflik yang terjadi.
e. Menurut (obliging).Yaitu pihak yang terlibat konflik mengkombinasikan
perhatiannya terhadap lawannya dengan perhatian yang rendah terhadap
dirinya sendiri.
C. JENIS-JENIS KONFLIK
Pada hakikatnya konflik terdiri atas lima bentuk, yaitu 1) konflik dalam diri
individu, 2) konflik antarindividu, 3) konflik antaranggota dalam satu kelompok, 4)
konflik antarkelompok, 5) konflik antarbagian dalam organisasi dan konflik
antarorganisasi.
1. Konflik dalam diri individu.
Konflik ini merupakan konflik internal yang terjadi pada diri seseorang
(intrapersonal conflict). Konflik ini akan terjadi ketika individu harus memilih
dua atau lebih tujuan yang saling bertentangan, lalu bimbang mana yang harus
dipilih untuk dilakukan. Handoko (1995: 349) mengemukakan bahwa konflik
dalam diri individu terjadi apabila seorang individu menghadapi ketidakpastian
tentang pekerjaan yang diharapkan, apabila berbagai permintaan pekerjaan
saling bertentangan, atau apabila diharapkan untuk melakukan pekerjaan yang
lebih dari kemampuannya. Menurut Winardi (2004: 169), terdapat tiga tipe
konflik pada tingkat individu.
Azas-azas Manajemen 172
a. Konflik mendekat-mendekat (approach-approach conflict). Konflik ini
meliputi situasi yang membuat seseorang harus memilih antara dua
macam alternatif positif yang memiliki daya tarik yang sama. Contohnya,
individu harus memilih menerima sebuah promosi yang sangat dihargai
dalam organisasi atau menerima pekerjaan baru yang menarik dan
ditawarkan oleh perusahaan lain.
b. Konflik menghindari-menghindari (avoidance-avoidance conflict) Sebuah
situasi yang mengharuskan seseorang untuk memilih dua macam
alternatif negatif yang sama dan tidak memiliki daya tarik. Contohnya, kita
menghadapi pilihan: ditransfer pekerjaan ke kota lain yang berada di
lokasi yang tidak menyenangkan atau di-PHK oleh organisasi tempat kita
bekerja.
c. Konflik pendekatan-menghindari (approach-avoidance conflict) Konflik
ini meliputi sebuah situasi yang membuat seseorang harus mengambil
keputusan dengan konsekuensi positif ataupun negatif. Contohnya,
seseorang diberi tawaran promosi yang menjanjikan gaji lebih besar,
tetapi mengandung tanggung jawab yang makin meningkat dan tidak
disukai.
2. Konflik antarindividu
Konflik antarindividu (interpersonal conflict) bersifat substantif,
emosional, atau keduanya. Konflik ini terjadi ketika ada perbedaan tentang isu
tertentu, tindakan, dan tujuan. Dalam konflik ini, hasil bersama sangat
menentukan.
3. Konflik antaranggota dalam satu kelompok
Setiap kelompok dapat mengalami konflik substantif atau efektif. Konflik
substantif terjadi karena adanya latar belakang keahlian yang berbeda dan ketika
anggota dari suatu komite menghasilkan kesimpulan yang berbeda atas data ya ng
sama. Sementara itu, konflik efektif terjadi karena tanggapan emosional terhadap
suatu situasi tertentu.
4. Konflik antarkelompok
Azas-azas Manajemen 173
Konflik intergroup terjadi karena adanya saling ketergantungan,
perbedaan persepsi, perbedaan tujuan, dan meningkatnya tuntutan terhadap
keahlian.
5. Konflik antarbagian dalam organisasi
Tentu saja yang mengalami konflik adalah orang. Akan tetapi, dalam hal
ini, orang tersebut “mewakili” unit kerja tertentu. Menurut Mulyasa (2004: 244),
konflik ini terdiri atas hal-hal berikut.
a. Konflik vertikal terjadi antarkelompok dalam tingkatan sosial yang
berbeda atau terjadi antara pimpinan dan bawahan yang tidak sependapat
tentang cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu. Misalnya, konflik yang
terjadi antara pemerintah dan rakyat, antara buruh dan majikan, serta
pemberontakan atau gerakan separatis/makar terhadap kekuasaan
negara.
b. Konflik horizontal terjadi pada kelompok yang tingkatan sosialnya sama
atau terjadi antarpegawai yang memiliki hierarki yang sama dalam
organisasi. Misalnya, antaretnis, antaragama, atau antaraliran.
c. Konflik lini-staf sering terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang
keterlibatan staf dalam proses pengambilan keputusan oleh manajer lini.
Misalnya, konflik antara kepala sekolah dan tenaga administrasi.
d. Konflik peran terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu peran.
Misalnya, kepala sekolah merangkap jabatan sebagai ketua dewan
pendidikan.
6. Konflik antarorganisasi
Konflik antarorganisasi terjadi karena mereka memiliki saling
ketergantungan pada tindakan suatu organisasi yang menyebabkan dampak
negatif terhadap organisasi lain. Misalnya, konflik yang terjadi antara perguruan
tinggi dengan salah satu organisasi masyarakat.
Azas-azas Manajemen 174
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat konflik, Stoner dan Freeman (1989: 393)
membagi konflik dalam enam macam.
1. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual) terjadi jika seseorang
harus memilih tujuan yang saling bertentangan atau karena tuntutan tugas yang
melebihi batas
kemampuannya.
2. Konflik antarindividu (conflict among individuals) terjadi karena perbedaan
kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dan individu yang
lain.
3. Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups)
terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok
tempat ia bekerja.
4. Konflik antarkelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the
same organization) terjadi karena masing-masing kelompok memiliki tujuan yang
berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
5. Konflik antarorganisasi (conflict among organizations) terjadi jika tindakan yang
dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya.
Misalnya, dalam perebutan sumber daya yang sama.
6. Konflik antarindividu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in
different organizations) terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu
organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya,
seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan
atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
Menurut Agus S. (2009), konflik dibedakan di antara dua sumbu sasaran dan
perilaku sebagai berikut.
1. Tanpa konflik: dalam kesan umum adalah lebih baik, tetapi setiap masyarakat
atau kelompok yang hidup damai, jika ingin keadaan ini terus berlangsung,
mereka harus hidup bersemangat dan dinamis. Memanfaatkan konflik perilaku
dan tujuan serta mengelola konflik secara kreatif.
Azas-azas Manajemen 175
2. Konflik laten: sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar dapat
ditangani secara efektif.
3. Konflik terbuka: berakar dalam dan sangat nyata sehingga memerlukan berbagai
tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya
4. Konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal/tidak memiliki akar serta
muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran. Hal ini dapat diatasi
dengan meningkatkan komunikasi.
D. METODE PENGELOLAAN KONFLIK
Beberapa pendekatan untuk mengelola konflik
a. Problem Solving. Pendekatan ini disebut juga dengan win-win solution. Dalam model
ini para pelaki bertemu untuk mendiskusikan permasalahn dan isu-isu yang
berkaitan dengan konflik. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan kebutuhan-
kebutuhan dari masing-masing kelompok. Konflik dijadikan sebagai masalah
bersama dan kedua pihak harus berusaha mencari solusi yang kreatif. Pendekatan
ini dapat digunakan jika: kedua kelompok yang bertikai saling memilki
tingkatnkepercayaan satu dengan yang lainnya, kedua pihak memiliki komitmen
yang tinggi untuk menyelesaikan konflik, serta bila investasi dalam organisasi
sangat bernilai tinggi.
b. Superordinate Goals. Pengalihan pada tujuan yang lebih tinggi dapat menjadi metode
pengurangan konflik yang efektif, dengan cara mengalihkan perhatian pihak-pihak
yang terlibat dari ujuan mereka yang berbeda menjadi tujuan bersama pada tingkat
yang lebih tinggi.
c. Expansion of Resources. Apabila konflik muncul karena kelangkaan sumber daya,
maka untuk memecahkan masalah, diperlukan upaya perluasan sumber daya.
Namun, sumber daya organisasi yang terbatas, tidak mudah juga diperluas.
d. Avoidance. Manajer melakukan penghindaran, seolah-olah tidak ada konflik. Ini
bertujuan untuk mengulur waktu dan menunda, menunggu lebih banyak informasi
guna mengambil tindakan yang tepat.
Azas-azas Manajemen 176
e. Smoothing. Teknik ini menekankan kepentingan bersama (common interest) dan
tujuan bersama (common goal). Tugas manajer untuk berupaya memperkecil
perbedaan diantara kedua belah pihak yg bertikai, menitikberatkan bahwa jika
tidak bekerja sama maka tujuan organisasi akan terhambat dan jangan sampai
berpihak kepada satu kelompok.
f. Compromise. Metode ini merupakan pendekatan tradisional, di mana dalam
menyelesaikan konflik menggunakan pendekatan tidak ada yang menang atau yang
kalah, sebab masing-masing kelompok memberikan konsesi dan pengorbanan
untuk saling memuaskan.
g. Authoritative Command. Dasar pendekatanya adalah eksekutif mempunyai
wewenang untuk memaksa bawahannya menghentikan konflik. Pendekatan ini
sering tidak menjawab isu utama. Saat itu konflik teratasi, tapi sewaktu-waktu bisa
saja muncul.
h. Intergroup Training. Kelompok yang bertikai diminta mengikuti seminar/lokakarya
di luar tempat kerja dengan fasilitator (tanpa diketahui) yang mengatur interaksi
kedua kelompok itu. Pengalaman yang diperoleh diharapkan memperbaiki sikap
dan hubungan. Jenis intervensi ini relatif butuh waktu dan biaya besar, serta perlu
fasilitator yang trampil.
i. Third Party Mediation. Teknik ini menggunakan seorang konsultan sebagai pihak
ketiga yang diundang untuk memediasi kelompok yang bertikai, ataupun dengan
menggunakan jasa arbiter. Manajemen harus mampu meredam persaingan yang
sifatnya berlebihan (yang melahirkan konflik yang bersifat disfungsional) yang
justru merusak spirit sinergisme organisasi tanpa melupakan continous re-
empowerment.
Sedangkan dalam Dawn M. Baskerville, 1993:65 disebutkan ada 6 tipe
pengelolaan konflik yang dapat dipilih dalam menangani konflik yang muncul yaitu :
7. Avoiding; gaya seseorang atau organisasi yang cenderung untuk menghindari
terjadinya konflik. Hal-hal yang sensitif dan potensial menimbulkan konflik
sedapat mungkin dihindari sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.
Azas-azas Manajemen 177
8. Accomodating; gaya ini mengumpulkan dan mengakomodasikan pendapat-
pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang terlibat konflik, selanjutnya dicari
jalan keluarnya dengan tetap mengutamakan kepentingan pihak lain atas dasar
masukan-masukan yang diperoleh.
9. Compromising; merupakan gaya menyelesaikan konflik dengan cara melakukan
negosiasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik, sehingga kemudian
menghasilkan solusi (jalan tengah) atas konflik yang sama-sama memuaskan
(lose-lose solution).
10. Competing; artinya pihak-pihak yang berkonflik saling bersaing untuk
memenangkan konflik dan pada akhirnya harus ada pihak yang dikorbankan
(dikalahkan) kepentingannya demi tercapainya kepentingan pihak lain yang
lebih kuat atau yang lebih berkuasa (win-lose solution).
11. Collaborating; dengan cara ini pihak-pihak yang saling bertentangan akan sama-
sama memperoleh hasil yang memuaskan, karena mereka justru bekerja sama
secara sinergis dalam menyelesaikan persoalan, dengan tetap menghargai
kepentingan pihak lain. Singkatnya, kepentingan kedua pihak tercapai
(menghasilkan win-win solution).
12. Conglomeration (mixtured type); cara ini menggunakan kelima style bersama-
sama dalam penyelesaian konflik.
Perlu kita ingat bahwa dalam memilih style yang akan dipakai oleh seseorang
atau organisasi di dalam pengelolaan konflik akan sangat bergantung dan dipengaruhi
oleh persepsi, kepribadian/karakter (personality), motivasi, kemampuan (abilities) atau
pun kelompok acuan yang dianut oleh seseorang atau organisasi. Dapat dikatakan
bahwa pilihan seseorang atas gaya mengelola konflik merupakan fungsi dari kondisi
khusus tertentu dan orientasi dasar seseorang atau perilakunya dalam menghadapai
konflik tersebut yang juga berkaitan dengan nilai (value) seseorang tersebut. Pada level
subkultur (subculture), shared values dapat dipergunakan untuk memprediksi pilihan
seseorang pada gaya dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Subkultur
Azas-azas Manajemen 178
seseorang diharapkan dapat mempengaruhi perilakunya sehingga akan terbentuk
perilaku yang sama dengan budayanya (M. Kamil Kozan, 2002:93-96)
E. METODE DAN STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK
Metode-metode Manajemen Konflik
1. Metode Stimulasi Konflik
Metode ini dilakukan dengan keyakinan bahwa konflik juga memiliki dampak
positif dalam organisasi. Metode ini beranggapan konflik dapat menimbulkan
dinamika dan pencapaian cara-cara yang lebih baik dalam pelaksanaan kegiatan
kerja suatu kelompok. Manajer perlu merangsang timbulnya persaingan dan
konflik yang dapat mempunyai efek penggembelangan. Adapun cara-cara yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Memasukkan dan menempatkan orang luar kedalam kelompok
b. Menyusun kembali organisasi
c. Menawarkan bonus, membayar insentif dan penghargaan untuk
pendorong persaingan
d. Memilih manajer-manajer yang tepat
e. Memberikan perlakuan yang berbeda dengan
f. biasanya.
2. Metode pengurangan konflik. Artinya adalah mengurangi konflik dengan
mendinginkan suasana tetapi tidak menangani masalah-masalh penyebab konflik.
Metode ini dilakukan dengan cara:
a. Mengadakan kontak sosial yang menyenangkan antara kelompok-
kelompok dengan makan bersama atau liburan bersama.
b. Mengganti tujuan yang menimbulkan konflik dengan tujuan yang lebih
biasa dierima kedua kelompok.
c. Mempersatukan kedua kelompok yang berkonflik untuk menghadapi
musuh atau ancaman yang sama. Cara ini bisa dilakukan dengan
memberikan informasi positif tentang kelompok yang berhadapan
dengan mereka sehingga mereka akan bernegosiasi untuk menghadapi.
Azas-azas Manajemen 179
3. Metode Penyelesaian Konflik
Metode-metode yang digunakan dalam penyelesaian konflik adalah sebagai
berikut:
1) Dominasi dan penekanan, cara-caranya adalah dengan perincian dibawah ini:
Memaksakan atau kekerasan yang bersifat penekanan otokratik.
Ketaatan harus dilakukan oleh pihak yang kalah kepada otoritas lebih
tinggi atau kekuatan lebih besar.
Meredakan atau menenangkan, metode ini lebih terasa diplomatik dan
manajer membujuk salah satu pihak untuk mengalah dalam upaya
menekan dan meminimasi ketidak sepahaman. Cara ini berisiko ada
pihak yang merasa ada yang di anakmaskan oleh manajer.
Menghindari, cara ini menuntut manajer untuk tidak ada pada satu posisi
tertentu. Manajer berpura-pura bahwa tidak terjadi konflik dan
mengulur-ulur waktu sampai mendapat lebih banyak informasi tentang
hal tersebut. Apabila manajer memilih cara ini maka tidak akan ada
pihak yang merasa puas.
Penyelesaian melalui suara terbanyak, menyelesaikan konflik dengan
melakukan pemungutan suara. Resikonya pihak yang akan merasa
dirinya lemah tanpa kekuatan dan mengalami frustasi.
2) Kompromi
Dalam metode ini manajer mencoba untuk mencari jalan tengah
dengan meyakinkan para pihak yang berkonflik untuk mengorbankan
sasaran-sasaran tertentu. Hal ini dilakukan untuk memperoleh sasaran-
sasaran lain yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Cara-cara
yang biasanya dilakukan adalah sebagai berikut:
Pemisahan, pihak-pihak yang sedang berkonflik di pisahkan
sampai menemukan solusi atas masalah mereka.
Arbitrasi atau pewasitan, adanya peran orang ketiga biasanya sang
manajer diminta pendapatnya untuk menyelesaikan masalah
Azas-azas Manajemen 180
Kembali ke peraturan-peraturan yang berlaku ketika tidak
ditemukan titik temu antara kedua belah pihak.
Ada juga yang melakukan tindakan penyuapan yang dilakukan oleh
salah satu pihak kepada pihak lain yang terlibat konflik untuk
mengakhiri konflik.
3) Pemecahan masalah integratif
Metode ini dilakukan secara bersama untuk terbuka demi
ditemukannya sebuah pemecahan yang dapat diterima oleh kedua belah
pihak. Metode ini menggunakan 3 pendekatan metode, sebagai berikut:
Konsensus. Dalam metode ini tidak akan ada pihak yang menang
karena kedua belah pihak sengaja dipertemukan untuk mencapai
solusi terbaik bukan yang hanya menyelesaikan masalah dengan
cepat.
Konfrontasi. Semua pihak yang berkonflik mengeluarkan
pandangan mereka masing-masing secara langsung dan terbuka.
Hal ini dilakukan untuk menemukan alasan-alasan terjadinya
konflik untuk dicari penyelesaiannya secara terbuka. Metode ini
membutuhkan kepemimpinan yang terampil untuk memperoleh
solusi yang rasional.
Penentu tujuan-tujuan yang lebih tinggi
Strategi Penyelesaian Konflik
Untuk memanajemen konflik yang dialami individu, ada beberapa strategi yang
dapat dilakukan, menurut Devitto (1997: 270-274) strategi itu antara lain sebagai
berikut:
1. Penghindaran dan Melawan secara aktif.
Penghindaran berkaitan dengan menghindar secara fisik yang nyata, misalkan
meninggalkan ruangan. Akan tetapi daripada menghindar dari pokok persoalan
lebih baik berperan aktif pada konflik yang dihadapi. Menjadi pembicara dan
Azas-azas Manajemen 181
pendengar yang aktif dan bertanggung jawab terhadap setiap pemikiran dan
perasaan.
2. Memaksa dan berbicara.
Kebanyakan remaja perempuan tidak menghadapi pokok persoalan melainkan
memaksakan posisinya pada orang lain, baik secara fisik maupun emosional.
Alternatif yang nyata adalah berbicara dan mendengar, keterbukaan, empati,
dan sikap positif.
3. Menyalahkan dan empati.
Remaja perempuan juga lebih cenderung menyalahkan orang lain untuk
menutupi perilaku sendiri. Hal seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah.
Akan lebih baik untuk mencoba berempati, memahami cara orang lain menilai
sesuatu sebagai sesuatu hal yang berbeda.
4. Mendiamkan dan memfasilitasi ekspresi secara terbuka.
Salah satu strategi remaja perempuan menghadapi konflik dengan cara
mendiamkan orang lain. Cara ini juga tidak menyelesaikan konflik. Pastikan
bahwa setiap orang diizinkan mengekspresikan dirinya secara bebas dan
terbuka, tanpa ada yang merasa lebih rendah dan lebih tinggi.
5. Gunnysucking dan focus pada masa sekarang.
Gunnysucking merupakan istilah yang berarti menyimpan keluhan- keluhan
yang ada sehingga dapat muncul pada waktu yang berbeda. Jika hal itu
dilakukan maka masalah tidak akan dapat selesai, akan muncul dendam dan
perasaan bermusuhan. Fokuskan konflik di sini dan sekarang dan padaorang
yang dimaksud bukan pada yang lain.
6. Manipulasi dan spontan.
Menghindari konflik terbuka dan berusaha menyembunyikan konflik dengan
tetap berperilaku menyenangkan, namun lebih baik ekspresikan perasaan
secara spontan karena solusi konflik bukan masalah siapa yang kalah dan
menang tapi pemahaman dari kedua belah pihak.
7. Penerimaan pribadi.
Mengekspresikan perasaan positif pada orang lain.
Azas-azas Manajemen 182
8. Melawan “di bawah dan di atas ikat pinggang”.
Membawa konflik pada area dimana lawan bisa memahami dan dapat
mengatasi.
9. Argumentatif dan agresi verbal.
Kesediaan menjelaskan secara argumentatif mengenai sudut pandang dalam
konflik tanpa harus menyerang harga diri dari lawan.
Mouton dan Blake (dalam Wirawan 2010: 138) dengan memakai istilah gaya
manajemen konflik mengatakan ada Lima jenis karakter gaya manajemen konflik,
diantaranya:
b. Memaksa (forcing). Ketika seorang remaja perempuan mengalami sebuah
konflik maka ia akan cenderung menggunakan gaya manajemen konflik
memaksa (forcing), yang mana ketika memanajemeni konflik berupaya
memaksakan kehendaknya untuk meningkatkan kebahagiaan dan mengabaikan
orang lain jika menghadapi situasi konflik.
c. Konfrontasi (confrontation). Ketika seorang anak/remaja perempuan
mengalami konflik ia cenderung menentang dengan orangtuanya dalam
memanajemeni konflik, karena anak/remaja perempuan merasa kalau dialah
yang benar.
d. Kompromi (compromising). Dalam manajemen konflik seorang anak/remaja
yang mengalami konflik ia cenderung akan berkompromi/bermusyawarah
dengan teman sebaya atau orangtuanya untuk menemukan penyelesaian konflik
itu sendiri
e. Menarik diri (withdrawal). Menarik diri dalam gaya manajemen konflik
biasanya terjadi pada remaja perempuan yang bersikap secara pasif, seolah -
olah tidak terjadi konflik dan tidak mau menghadapi konflik. Sikap menarik diri
ini biasanya dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan remaja perempuan
yang menyebabkan ia tidak berani untuk mengungkapkan pendapatnya.
Azas-azas Manajemen 183
Menurut Stevenin dalam Handoko(2001: 48), terdapat lima langkah meraih
kedamaian dalam konflik. Apapun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini bersifat
mendasar dalam mengatasi kesulitan:
a. Pengenalan. Kesenjangan antara keadaan yang ada atau yang teridentifikasi dan
bagaimana keadaan yang seharusnya.Satu-satunyayang menjadi perangkap adalah
kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada
masalah padahalsebenarnya tidak ada).
b. Diagnosis.Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan telah diuji
mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna.
Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
c. Menyepakati suatu solusi.Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang
memungkinkan dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian
yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan
dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
d. Pelaksanaan.Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Namun hati-
hati, jangan biarkan pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah pada
kelompok tertentu.
e. Evaluasi.Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru.Jika
penyelesaiannya tampak tidak berhasil, embalilah ke langkah –langkah sebelumnya
dan cobalah lagi.
Sementara itu Mangkunegara (2009) mengatakan para manajer dan karyawan
memiliki beberapa strategi dalam menangani dan menyelesaikan konflik. Strategi
tersebut antara lain adalah:
a. Menghindar. Menghindari konflik dapat dilakukan jika isu atau masalah yang
memicu konflik tidak terlalu penting atau jika potensi konfrontasinya tidak
seimbang dengan akib at yang akan ditimbulkannya. Penghindaranmerupakan
strategi yang memungkinkan pihak-pihak yang berkonfrontasi untuk menenangkan
diri. Manajer perawat yang terlibat didalam konflik dapat menepiskan isu dengan
Azas-azas Manajemen 184
mengatakan “Biarlah kedua pihak mengambil waktu untuk memikirkan hal ini dan
menentukan tanggal untukmelakukan diskusi”.
b. Mengakomodasi. Memberi kesempatan pada orang lain untuk mengatur strategi
pemecahan masalah, khususnya apabila isu tersebut penting bagi orang lain. Hal ini
memungkinkan timbulnya kerjasama dengan memberi kesempatan pada mereka
untuk membuat keputusan. Perawat yang menjadi bagian dalam konflik dapat
mengakomodasikan pihak lain dengan menempatkan kebutuhan pihak lain di
tempat yang pertama.
c. Kompetisi. Gunakan metode ini jika anda percaya bahwa anda memilikilebih banyak
informasi dan keahlian yang lebih dibanding yang lainnya atau ketika anda tidak
ingin mengkompromikan nilai-nilai anda.Metode ini mungkin bisa memicu konflik
tetapi bisa jadi merupakan metode yang penting untuk alasan- alasan keamanan.
d. Kompromi atau Negosiasi. Masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu
pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, serta meminimalkan
kekurangan semua pihak yang dapat menguntungkan semua pihak.
e. Memecahkan Masalah atau Kolaborasi. Pemecahan sama-samamenang dimana
individu yang terlibat mempunyai tujuan kerja yang sama. Perlu adanya satu
komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling
memperhatikan satu sama lainnya.
Azas-azas Manajemen 185
Bab 13
PENGAWASAN MANAJEMEN
A. PENGERTIAN
Pengertian pengawasan cukup beragam, di bawah ini adalah contoh
keberagaman pengertian tersebut :
1) Menurut Sondang P. Siagian pengawasan adalah proses pengamatan dari pada
pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan
yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan .
2) Mc. Farland memberikan definisi pengawasan (control) sebagai berikut;“Control
is the process by which an executive gets the performance of his subordinate to
correspond as closely as posible to chossen plans, orders objective, or policies”.
(Pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil
pelaksanaan pekerjaan yang dilakukna oleh bawahannya sesuai dengan rencana,
tujuan, kebijakan yang telah ditentukan)
3) Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan
tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai
dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut.Controlling is the process of
measuring performance and taking action to ensure desired results
(Schermerhorn, 2002: 12)
4) Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang
terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan. The process of ensuring
that actual activities conform the planned activities. (Stoner, Freeman & Gilbert,
2005: 114)
5) Menurut Winardi (1998: 78) pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik
untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem
umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar
Azas-azas Manajemen 186
yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu
penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang
diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan atau
pemerintahan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai
tujuan perusahaan atau pemerintahan.
Pengawasan harus berpedoman terhadap hal-hal berikut (Maringan.2004:61)
a. Rencana (Planning) yang telah ditentukan
b. Perintah (Orders) terhadap pelaksanaan pekerjaan (Performance)
c. Tujuan
d. Kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya
Maksud dan Tujuan Pengawasan
a. Maksud Pengawasan
Dalam rangka pelaksanaan pekerjaan dan untuk mencapai tujuan dari
pemerintah yang telah direncanakan maka perlu ada pengawasan, karena dengan
pengawasan tersebut serta tuuan akan dicapai yang dapat dilihat dengan
berpedoman rencana (planning) yang ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah
sendiri (Situmorang, 1998: 22). Pengawasan diadakan dengan maksud untuk:
a) Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak
b) memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat pegawai dan mengadakan
pencegahan agar tidak terulang kembali keslahan yang sama atau munculnya
kesalahan yang baru
c) Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana
terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang telah direncanakan d)
Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat
pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak.
e) Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan
dalam planning yaitu standard.
Azas-azas Manajemen 187
Sedangkan menurut Arifin Abdul Rachman (2001: 23), maksud dari
pengawasan adalah:
a) Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan
b) Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan
instruksi serta prinsip-prinsip yang telah ditetapkan
c) untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan
dan kegagalan, sehingga dapat dilakukan perubahan-perubahan untuk
memperbaiki serta mencegah pengulangan kegiatan yang salah.
d) Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan apakah tidak
dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut, sehingga mendapat
efisiensi yang lebih besar
Menurut Arifin Abdul Rachman (2001: 23) pengawasan mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1) Menjamin ketetapan pelaksanaan sesuai dengan rencana, kebijakan dan
perintah
2) Menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatanMencegah pemborosan dan
penyelewengan
3) Menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang atau jasa yang
dihasilkan
4) Membina kepercayaan masayrakat terhadap kepemimpinan organisasi
Ada beberapa kendala dalam pengawasan, yaitu:
1) Adanya sementara pejabatan yang “Salah kaprah” terhadap tugas
pengawasan yang dilaksanakannya
2) Adanya iklim budaya seolah-olah pengawasan hanya semata-mata mencari
kesalahan
3) Adanya perasaan enggan melaksanakan pengawasan
Azas-azas Manajemen 188
4) Adanya perasaan “ewuh pekewuh” dalam melaksanakan pengawasan. Hal ini
disebabkan karena seolah-olah nampak adanya kontroversi dalam
melaksanakan tugas termasuk pengawasan.
5) Masih kurangnya penguasaan atasan terhadap substansi masalah yang
diawasi
6) Pimpinan “kecipratan” atau terlibat sendiri dalam penyimpangan atau
bahkan adanya kolusi (persekongkolan) antara atasan dan bawahan.
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya
penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat
dilakukan adalah:
a. Mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
b. Menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
c. Mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.
Pada dasarnya ada beberapa jenis pengawasan yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Pengawasan Intern dan Ekstern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang
atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang
bersangkutan.” Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara
pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau
pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal pada
setiap kementerian dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang ada di
Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Kementerian
Dalam Negeri.
Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit
pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini
di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang merupakan
lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil laporan
Azas-azas Manajemen 189
pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah
sepantasnya di antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses
pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi demikian tidak
mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara
obyektif aktivitas pemerintah.
2. Pengawasan Preventif dan Represif
Pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai, “pengawasan yang
dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan,
sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan.” Lazimnya, pengawasan
ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya
penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan dan
merugikan negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan
agar sistem pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang
dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih bermanfaat dan bermakna
jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga penyimpangan yang
kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal.
Di sisi lain, pengawasan represif adalah “pengawasan yang dilakukan
terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan.” Pengawasan model
ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, di mana anggaran yang
telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya penyimpangan.
3. Pengawasan Aktif dan Pasif
Pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk “pengawasan
yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan.” Hal ini berbeda
dengan pengawasan jauh (pasif) yang melakukan pengawasan melalui
“penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggung jawaban yang
disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran.” Di sisi lain,
Azas-azas Manajemen 190
pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran formil menurut hak
(rechmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah
sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa, dan hak itu terbukti
kebenarannya.” Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan kebenaran materil
mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid) adalah “pemeriksaan
terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu
pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang serendah
mungkin.”Pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan
pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran
(doelmatigheid). Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara,
pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya “korupsi,
penyelewengan, dan pemborosan anggaran negara yang tertuju pada
aparatur atau pegawai negeri.” .
Tahap-Tahap dalam Proses Pengawasan
Pertama kali orang harus menentukan standar pengawasan pada pusat-pusat
yang strategis, oleh karena orang tidak dapat mengecek segalanya. Harus dibedakan
hal apa yang dapat diawasi, hal apa yang tidak dapat diawasi. Kemudian diadakan
pengecekan dan laporan kegiatan kerja. Dalam beberapa hal manajemen perlu
meninjau hasil kerja karyawan. Laporan tertulis harus dibuat untuk pimpinan
secara tepat dan teratur, terutama tentang adanya penyimpangan-penyimpangan.
Langsung diadakan pemeriksaan segera mana atau apa yang salah. Ini semua perlu
tindakan korektif. Dianalisa apakah sebab-sebab nya itu datang dari luar, ataukah
salah organisasi sendiri dalam memilih karyawan, atau mungkin rencananya sendiri
yang harus diubah, atau soal motivasi.
Tahap 1 : Penetapan standar
Tahap pertama dalam pengawasan adalah penetapan standar pelaksanaan.
Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan
sebagai “patokan” untuk penilaian hasil-hasil. Tujuan, sasaran, kouta dan target
pelaksanaan dapat digunakan sebagai standar. Bentuk standar yang lebih khusus
Azas-azas Manajemen 191
antara lain target penjualan, anggaran, bagian pasar (market-share), marjin
keuntungan, keselamatankerja, dan sasaran produksi
Tahap 2 : Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
Penetapan standar adalah sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk
mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu, tahap kedua dalam
pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanaan kegiatan secara tepat
Tahap 3 : Pengukuran Pelaksanaan Kegiatan
Setelah frekuensi pengukuran dan sistem monitoring ditentukan,
pengukuran pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang-ulang dan terus-
menerus.
Tahap 4:Pembandingan pelaksanaan dengan standar dan analisa
penyimpangan
Tahap kritis dari proses pengawasan adalah pembandingan pelaksanaan
nyata dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan.
Walaupun tahap ini paling mudah dilakukan, tetapi kompleksitas dapat terjadi pada
saat mengintrepretasikan adanya penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan
harus di analisa untuk menentukan mengapa standar tidak dapat dicapai
Tahap 5 : Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan
Bila hasil analisa menunjukkan perlunya tindakan koreksi, tindakan ini harus
diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagai bentuk. Standar mungkin
diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan bersamaan. (T. Hani
Handoko, Manajemen, Edisi 2, BPFE Yogyakarta, 2013, hlm. 363)
Metode Pengawasan
a. Pengawaasan Langsung
Pengawasan Langsung adalah apabila aparat pengawasan/pimpinan
organisasi melakukan pemeriksaan langsung pada tempat pelaksanaan
pekerjaan, baik dengan sistem inspektif, verifikatif, maupun dengan sistem
investigatif. Metode ini dimasudkan agar segera dapat dilakukan tindakan
Azas-azas Manajemen 192
perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan sistem
pengawasan langsung oleh atasannya disebut built in control.
b. Pengawasan Tidak Langsung
Pengawasan Tidak Langsung adalah apabila aparat pengawasan/pimpinan
organisasi melakukan pemeriksaan pelaksanaan pekerjaan hanya melalui
laporan-laporan yang masuk kepadanya. Laporan-laporan tersebut dapat berupa
uraian kata-kata deretan angka-angka atau statistik yang berisi gambaran atas
hasil kemajuan yang telah tercapai sesuai dengan pengeluaran biaya/ anggaran
yang telah direncanakan. Kelemahan dari pengawasan tidak langsung ini tidak
dapat segera mengetahui kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaannya, sehingga
dapat menimbulkan kerugian yang lebih banyak.
c. Pengawasan Formal
Pengawasan Formal adalah pengawasan yang secara formal dilakukan
oleh unit/ aparat pengawasan yang bertindak atas nama pimpinan organisasinya
atau atasan dari pimpinan organisasi itu. Dalam pengawasan ini biasaya telah
ditentukan prosedur, hubungan, dan tata kerjanya.
d. Pengawasan Informal
Pegawasan informal adalah pengawasan yang tidak melalui saluran formal
atau prosedur yang telah ditentukan. Pengawasan informal ini biasanya
dilakukan oleh pejabat pimpinan dengan melalui kunjungan yang tidak resmi
(pribadi), atau secara incognito. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan
kekakuan dalam hubungan antara atasan dan bawahan.
Dengan cara demikian pimpinan menghendaki keterbukaan dalam
memperoleh informasi dan sekaligus usul/saran perbaikan dan
penyempurnaannya dari bawahannya. Untuk masalah-masalah yang dihadapi
oleh bawahannya yang tidak mungkin dipecahkan sendiri, maka pimpinan dapat
memberikan jalan keluar pemecahannya. Sebaliknya bawahan juga merasa
bangga karena diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya secara langsung
terhadap pimpinannya. Jelasnya bahwa pengawasan informal mendekatkan
Azas-azas Manajemen 193