The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2021-12-23 02:08:38

Bunga Rampai Puisi Indonesia Seperti Belanda

by Penyair Indonesia

Keywords: sastra,puisi,Bunga Rampai Puisi Indonesia Seperti Belanda by Penyair Indonesia,Penyair Indonesia

Salman Yoga, dkk. | i

BUNGA RAMPAI PUISI INDONESIA

Seperti Belanda

Kurator:
Salman Yoga S

2020

Bunga Rampai Puisi Indonesia
Seperti Belanda
Penulis : Penyair Indonesia
Ilustrator : Idrus bin Harun
Tata Letak : Pringadi Abdi Surya

Penerbit : PT Phonna Teknologi Indonesia
Bekerja sama dengan LovRinz

Cetakan I, September 2020
ISBN : 978-623-289-355-9
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang memperoduksi ulang
seluruh atau sebagian isi buku
tanpa persetujuan penerbit/ penulis

Pengantar Inisiator

Ranup Sigapu, Tiga Serangkai

Melihat Aceh dari berbagai sudut pandang bahasa kepenyairan adalah
anugerah yang tidak bisa dilupakan. Apalagi, sudut pandang tersebut
mewarnai Aceh dalam fase ganas konflik, tsunami, hingga perdamaian.
Ingatan tiga masa ini menjadi perjalanan panjang tak berbatas.
Bahkan, sebelum 1953, misalnya saat bergolak, Aceh telah lebur dari
bab perang ke bab perang sejak Portugis, Amerika Serikat, Belanda,
hingga Jepang. Alhasil, masyarakat Aceh banyak mengalami traumatik
perang yang berdampak lambatnya pembangunan, rendahnya
pendapatan ekonomi dibandingkan daerah lain. Aceh banyak
ketertinggalan yang harus dikejar.
Saat konflik, misalnya, kota menjadi tumpuan pemuda-pemuda
kampung untuk menyelamatkan diri dengan bekerja apa saja yang halal
demi keberlangsungan hidup. Pasalnya, kampung tidak nyaman lagi
baik untuk lelaki dan, sangat melelahkan bagi perempuan muda. Lelaki
dan peremuan pada masa itu adalah sasaran kejam konflik.
Kampung saat itu menjadi seolah yang paling menakutkan, yang
menyebar kematian demi kematian ke seluruh pelosok. Ditambah,
watak dan perilaku orang Aceh yang hampir sebagiannya keras kepala,
menjadikan psikologi Aceh ikut hancur lantaran saat itu kampung
marak dengan operasi militer dan kekerasan.
Otomatis, kampung di Aceh mati suri. Meski pun ada sebagaian besar
yang terus berjuang mempertahankan hidup dengan tetap membuka
usaha mereka. Namun sebenarnya Aceh berada di antara dua mata
pedang, ke depan tertusuk perut, dan jika mundur punggungnya
terluka. Simalakama!

iv |Seperti Belanda

Begitulah masa konflik yang perih hingga kita mendengar Tragedi
Arakundoe (3 Februari 1999), Tragedi Simpang KKA (3 Mei 1999),
Tragedi Beutong Ateuh (23 Juli 1999), Tragedi Rumoh Geudong
selama era DOM dan lain-lain. Kejadian ini menjadi peringatan bahwa
perang menghancurkan peradaban Aceh.
Sebelumnya, Aceh juga telah koyak pada pagi 26 Desember 2004. Aceh
dihantam tsunami, di mana-mana derai air mata jatuh. Gunung-gunung
menjadi tempat pulang sementara untuk berlindung dari amuk laut
yang tiba-tiba mengerikan. Ratusan ribu warga melayang saat itu.
Rumah-rumah menjadi histeris karena pemiliknya tidak pernah
kembali alias meninggal dunia.
Kota yang semula bersih, menjadi luluh lantak seketika dalam hitungan
menit. Bahkan, kapal Pembangkit Listrik Tenaga Air Kapal berbobot
2.600 ton terseret sejauh 2,4 km ke darat setelah diamuk ganasnya laut.
Namun, kejadian itu pula yang akhirnya mempercepat Aceh membuka
babak baru kebangkitannya. Perundingan ini bisa diselesaikan dalam
waktu paling cepat di dunia. Dimulai dialog pada Januari 2005 dan
selesai pada Juli 2005 dan diteken pada Agustus 2005. Dialog tercepat
ini untuk menghormati korban musibah, menyelamatkan yang masih
terluka dan melanjutkan kehidupan secara wajar. Akhirnya, nilai
kemanusiaan adalah segala-galanya di dunia.
Dengan demikian, Aceh memasuki babak baru. Apalagi saat itu partai
lokal menjadi harapan baru bagi peradaban Aceh, ditambah dengan
adanya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menjadi acuan
perjalanan baru tersebut. Untuk pertama kali, Aceh dipimpin oleh
pihak yang pernah bertikai dengan Indonesia.
Tentu pelajaran yang pahit ini, menjadi catatan penting bagi
pemerintah untuk serius menangani pelbagai kejadian yang belum
diusut. Kejadian demi kejadian yang merenggut nyawa berakhir setelah
perdamaian tegak di Aceh, sejak MoU Helsinki ditandatangani di
Finlandia, 15 Agustus 2005.

Salman Yoga, dkk. | v

Catatan singkat ini tidak bermaksud mengungkit kembali paku yang
ditancapkan dalam kepala kami. Akan tetapi, untuk mewartakan
kepada generasi Aceh, bahwa Aceh pernah berada pada masa-masa
yang paling sulit, dan orang-orang tua Aceh telah mengemban tugas
mereka secara baik hingga damai direkah dan laju pembangunan Aceh
yang tertinggal dapat dikebut, baik dari sisi infrastruktur, ekonomi,
hingga penyelesaian masalah HAM yang belum merata dapat
diselesaikan.
Kami memberi judul Ranub Sigapu (sekapur sirih) yakni Tiga Serangkai
yang mencakup konflik-gempa disusul tsunami, dan perdamaian.
Menguliti Aceh kontemporer tidak terlepas dari tiga serangkai tersebut.
Perang, Bcncana lalu Bersemi Damai.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Fachry Ali yang telah
menulis prolog secara apik, dan Ibu Christine Hakim yang telah
menoreh epilog secara membumi sebagai “Tjoet Nja' Dhien” untuk
buku sederhana ini. Demikian juga kepada Salman Yoga di Gayo yang
telah bertindak sebagai relawan kurator bunga rampai ini
Selanjutnya kami ucapan Alhamdulillah kepada hamba Allah yang telah
mewakafkan rezekinya untuk mencetak buku ini untuk dikirim kepada
penyair dan lain-lain. Terima kasih juga kepada tokoh muda Aceh di
Jakarta Bapak Almuniza Kamal S.STP, M.Si. Buku ini dibagi gratis
kepada pembaca melalui pdf di internet sebagai bagian dari merawat
ingatan kolektif bahwa kita bisa berbuat secara maksimal secara
gotong-royong sebagai modal rakyat Indonesia. Selanjutnya, buku akan
dicetak dan dikirimkan kepada seluruh penulis di dalamnya.
Tentu saja, tanpa ada penyair yang telah sukarela mengirim puisi-puisi,
buku ini sama sekali tidak ada di tangan pembaca. Kami ucapkan terima
kasih kepada seluruh penyair yang telah menyumbangkan puisi-
puisinya dalam buku Bunga Rampai Puisi Indonesia, berjudul Seperti
Belanda. Tanpa keseriusan dan komitmen para penyair, mungkin buku
ini hanya akan menjadi wacana semata tanpa realisasi di masa pandemi
Covid-19.

vi |Seperti Belanda

Oh ya, dari 67 penyair dari seluruh Indonesia yang puisi-puisinya
mengentarkan jiwa pembaca, terdapat 17 penyair perempuan. Kami
bubuhkan penyair termuda di buku ini yakni seorang mahasiswi
Fakultas Kedokteran Unsyiah Banda Aceh yang puisinya dimuat di tiga
buku antologi puisi yakni Sanya Saviera Aboebakar berusia 19 tahun.
Hal ini kami putuskan lantaran dalam pembuatan antologi sederhana
ini kami ingin membuat regenerasi terhadap penulis, terutama penulis
Aceh. Regenerasi tersebut dianggap perlu untuk melecut tingkat
produktifitas penulis, agar lebih giat lagi melahirkan karya terbaru,
hingga mencapai estetika yang diakui pada saatnya nanti.
Akhirul kalam kalam, menutup sekapur sirih ini, izinkan kami mengutip
wasiat nenek moyang kami yakni:
"pat ranup nyang hana mirah,
pat peuneurah nyang hana bajoe,
pat tutoe nyang hana salah,
hana bak awai teuntee na bak dudoe."
Inti kalimat yang berkelok-kelok lidah itu adalah mohon maaf jika salah
bicara, salah menulis, dan sebagainya. Terakhir, mari kita syukuri 15
Tahun Perdamaian Aceh dan HUT RI ke-75 Tahun. Indonesia Maju!

Salam hangat,
Jakarta, Sabtu, 15 Agustus 2020
Pilo Poly & Murizal Hamzah
Inisiator Bunga Rampai Puisi Indonesia.

Salman Yoga, dkk. | vii

MOZAIK PUISI TENTANG ACEH
Pengantar Fachry Ali
I

Mungkin, untuk memahami seluruh spektrum mozaik puisi
─memperingati satu dasa warsa perdamaian Aceh dan tsunami─ elok
juga kita dendangkan puisi Soeryadarma Isman, “Membaca Aceh”,
sebagai pengawal tulisan pengantar ini:

Siapa menanam malam/akan menuai pekat
Siapa menanam risau/akan menuai galau
Puisi ini tampak “netral” atau bahkan terasa “berjarak”. Dalam hemat
saya, Soeryadarma melalui puisi itu hanya ingin memberi peringatan
bahwa setiap tindakan “pasti” menimbulkan akibat. Dan, terutama jika
kita lihat judulnya, bila tindakan itu diartikulasikan di Aceh. Tetapi,
pada saat yang sama, Soeryadarma menyadari the war is over (perang telah
berakhir). Maka, ia melihat ke depan ketika menutup puisinya itu
dengan:
Jadilah jarum satukan yang terpisah
(tertera pada kening kehidupan)
Akan tetapi, apakah jalan hidup telah melangkah tanpa meninggalkan
jejak?

II
Saya “merasa” jejak itu tetap ada, bahkan menolak pergi. Lihatlah apa
yang diungkapkan Sulaiman Juned. Dalam puisi “Aku Tabur Bunga di
Pusara Bernama Aceh”, Sulaiman menggoreskan ingatannya tentang
kekerasan di masa lampau di Aceh: “Aroma kematian terhidang di

viii |Seperti Belanda

perjamuan.” Kalimat puitikal Sulaiman Juned ini mengingatkan kita
kepada The Last Supper, perjamuan makan malam terakhir Yesus
Kristus dengan dua belas muridnya. Betapa pentingnya peristiwa
tersebut hingga untuk melukiskannya Leonardo Davinci (1452-1519)
memerlukan waktu tiga tahun (1495-98). Dan selanjutnya, dengan
menggunakan frasa aroma kematian Sulaiman Juned, sejarah agama
mencatat kematian Yesus Kristus di tiang salib ─the Man condemn to die
on Calvary, kata lagu Via Dolorosa yang mengabadikan kejadian ini.
Sama tergoresnya dalam ingatan peristiwa tahun 30 Masehi tersebut,
frasa aroma kematian terhidang di perjamuan dalam puisi Sulaiman Juned
ini adalah sebuah drama kehidupan yang secara riil pernah terjadi di
Aceh di masa perang. Bahkah mungkin, dalam perspektif subyektif
masyarakat Aceh, frasa tersebut lebih memperlihatkan kontrasnya.
Bisakah kita membayangkan “aroma kematian” hadir dalam
“perjamuan”? Maka, ingatan tentang masa lalu tetap dipelihara. Juga
dengan menggunakan kata “aroma”, puisi Mahdi Idris, “Arongan,
Suatu Pagi”, mengkonservasi ingatan itu kuat-kuat:

Boleh jadi, ini kenyataan mimpi yang kesekian kali/saat aroma pagi baru
muncul, seisi kampung menyeruak aroma peluru/Seorang buron
tertembak/Tapi para tentara membabi buta
Para lelaki ditelanjangi di depan meunasah/moncong senjata ditodongkan
ke dada
Puisi bersifat naratif-deskriptif ini menghidangkan kontras yang
dikonseptualisasikan Sulaiman Juned di atas, ketika Mahdi Idris
menutup syairnya dengan bait terakhir:
Rumah-rumah dihanguskan satu persatu//hari Meugang yang
seharusnya ceria, berubah neraka/Yang tak hentinya menjulurkan lidah
api
Senjata yang terkokang, peluru yang menembus tubuh dan para lelaki
lokal yang ditelanjangi ini dihadapkan dengan suasana Meugang, tradisi
memotong kerbau atau sapi dua atau satu hari yang menjadi pembuka

Salman Yoga, dkk. | ix

Idul Fitri. Keceriaan, dengan demikian, telah ditabrakkan dengan teror.
Sebuah kontras kelam yang kian mengawetkan ingatan. Dan dengan
judul “Bukit Tengkorak”, penyair yang sama menempa lebih dalam
struktur ingatan kelam itu:

Setelah belasan tahun, ada satu dua lelaki/sebagai penyaksi atas peritiwa
itu//di sana terkubur ratusan belulang/tengkorak-tengkorak
berserakan/di bawah gundakan tanah
Maka, tak perlu heran jika yang muncrat adalah kemarahan. Dengarlah
penyair perempuan Aceh Wina SW1 berkata dalam puisinya berjudul
“Giris”:
Negeri itu, kini cuma legenda/dongeng yang tak sempat diceritakan
menjelang tidur/karena tak pernah lagi ada peraduan/untuk berbaring
dengan tenang/sambil menunggui mimpi-mimpi/indah membungainya
Wina, yang menulis puisi ini pada 1999 dari Kyoto, ketika kecamuk
kekerasan di Aceh meraja lela, lalu menghardik keras:
Para pemimpin telah merenggut segalanya/dan menggantinya dengan
ketakutan/dan keresahan tak berujung

......
Para pemimpin yang terhormat/duduk dengan angkuh/ di atas tumpukan
bangkai rakyatnya
Sebagai akibatnya, dalam “Sejauh Jarak”-nya, Wina memberi
peringatan tentang konsekuensi kekerasan dan kelaliman itu:
Getarnya merambat sampai esok/menyisakan dendam pada setiap bayi
lahir
Dan rambatan “getar” ini tak berhenti justru atau ketika, kata penyair
perempuan Aceh D. Kemalawati dalam puisinya “Dengung di Atas
Batu”, luka itu sudah kering. Mengapa? Karena, D. Kemalawati
melanjutkan:

x |Seperti Belanda

Aku melihat bayangmu di sana/dengan luka baru di kepala
Seperti telah diperingatkan Wina di atas, D. Kemalawati menegaskan
rambatan pengaruh kekerasan itu. Dalam bait terakhir sajaknya ini, ia
menukik:

Belasan tahun lalu/kita akrab mendengar salak senjata/sekarang, di
anak sungai menyempit/batu-batu licin dilangkahi anak
tangga/mendengung jerit luka/anak-anak tak mengenal ceria
Dan tampaknya puisi D. Kemalawati itu adalah sebuah pesan tentang
transformasi masyarakat ke arah yang tak lagi dikenali. “Kuterima
tubuhku tanpa wujud,” tulis penyair Nasrullah Thaleb dalam “Beling”.
Frasa “tanpa wujud” yang diterimanya telah memperlihatkan dengan
sendirinya sebuah perubahan “tanpa peta”. Dalam struktur “tanpa
peta” itu, Nasrullah melangkah, berusaha menemukan sesuatu yang
pernah dikenal. Tetapi yang ditemukan adalah simbol kekerasan:
Berkilau di udara panas/antara mesiu yang mengumpat/dan punggung
senapan yang bau amis
Maka, pencarian Nasrullah sia-sia. Sebab:
Kucari-cari tanah rencongku pada masa lalu/yang hidup di musim
buruk/ia adalah rupa jaman yang tak lagi utuh
Dalam ketak-utuhan itulah tragedi terjadi. Dalam panggal bait
terakhirnya, Nasrullah menemukan tanah rencong itu tak lagi ideal:
Seumpama gelas yang pecah
Kemudian merenggang nyawa di lantai beling

III
Akan tetapi, tampaknya Nasrullah Thayeb terus melangkah untuk
menemukan “ketetapan baru”. Dalam sajak lainnya berjudul “Di
Siron”, Nasrullah memberikan “wejangan” kepada orang-orang yang
telah tiada itu. Bait terakhir “Di Siron” Nasrullah seperti berbisik:

Salman Yoga, dkk. | xi

Di Siron aku menulis pesan di batu
Untuk orang-orang lalu
Pesan itu sederhana
Jangan terlalu banyak menangis
Kita tidak tahu dengan pasti maksud “larangan menangis”-nya ini.
Tetapi, dengan sedikit memberanikan diri, kita bisa menyatakan bahwa
Nasrullah mengajak melihat ke depan ─walau tentu dengan membuang
jauh-jauh sifat pelupa. Dan ajakan ini seakan-akan disambut penyair
Ahmadun Yosi Herfanda dengan memberi “nasehat ke pihak “sana”
dalam “Sudah Terlalu Banyak yang Pergi”:
Sudah terlalu banyak yang pergi. Cukuplah. Tak perlu/kau salakkan
senapan itu lagi/sarungkan pistolmu/lipat senapanmu ke dalam saku
Simpan saja granat dan ranjau darat/di mesium pencatat riwayat bara
api.
Dengan frasa lipat senapan ke dalam saku Ahmadun inilah, mungkin, kita
bisa meletakkan “tempat” puisi Fikar W. Eda, “Kopi PMTOH”.
Sepintas, Fikar seperti bertindak sebagai agen pemasaran sebuah
komoditas:
Orang alim ngopi
Orang setengah alim ngopi
Preman ngopi
Setengah preman ngopi
Koruptor ngopi
Setengah koruptor ngopi
Maling ngopi
Setengah maling ngopi
Seniman ngopi
Setengah seniman ngopi
Penyanyi ngopi
Setengah penyanyi ngopi

xii |Seperti Belanda

Di balik itu, saya kira, Fikar sedang memperlihatkan aksi masa lalu yang
“produktif” bagi Aceh. PMTOH adalah simbol “kejayaan masa lalu”.
Sebagai simbol, PMTOH bukanlah benda besar beroda empat yang
menggelindingkan orang dan barang dari satu ke lain tempat.
Melainkan, faktor yang mengintegrasikan perekonomian Aceh ke
daerah luar. “PMTOH bawa penumpang,” ujar Fikar dalam puisinya itu,
“Nyebrang Solo dan Yogya.” Dengan ini, Fikar tampaknya ingin
memperlihatkan ─setelah “larangan menangis” Nasrullah dan
“senapan terlipat dalam saku” Ahmadun─ ada sesuatu di masa lampau
yang menuntut gerak ekspansif dalam perekonomian Aceh di masa
kini. “Kopi”, sebagai komoditas andalan dari sebuah sudut wilayah
Aceh, dengan demikian, hanyalah bagian kecil dari potensi
perekonomian besar Aceh. Bukankah penyair Hasbi Burman ikut
berbicara tentang ini dalam “Halo Indonesia”-nya?:

Halo Indonesia
Di sini kami para penyair
Yang tidak mendambakan kerusuhan
Menunggu jatah hidup
Di mana kami sedang berada
Maka, “kalkulasi” (ekonomi) harus dibuat. Sambil mendoakan orang
tua Aceh yang kharismatik, Teungku Muhammad Daud Beureueh,
Husni Abadi membuat “kalkulasi” itu dalam puisi “Doa untuk Daud
Beureueh”:
Doaku doa orang bersahaja/agar api negeri ini tidak padam oleh mata
hijau para penguasa/agar kekayaan negeri ini tidak dihisap oleh naga-
naga dari semua arah angin
Di sinilah “statistik” harus melangkah ke depan. Iwan Kurniawan
menulis puisi “aneh” dengan judul yang sama “aneh”-nya: “Aceh
dalam Angka”. Isinya:

Salman Yoga, dkk. | xiii

1998
10.349.000.000.000
1999
10.254.000.000.000
2000
13.945.000,000.000
2001
16.416.000.000.000
2002
11.000.000.000.000
2004
13.200.000.000.000
Ketika mata terbentur dengan puisi ini, saya teringat film “Parental
Guidance” ─yang diputar kembali oleh HBO Family pada 7 Agustus
2020. Menjelang klimaks kisah film tersebut, ada sebuah adagen audisi
musik bagi para remaja. Sebuah insiden terjadi, karena peserta terakhir
mengundurkan diri dari kontestasi tersebut. Panggung kosong. Dan
mikrophon tak ada yang menguasai. Tiba-tiba, seorang bocah berumur
sebelas tahun muncul ke panggung. Hadirin terkejut. Dan sang bocah
bukan saja tak perduli, melainkan bertindak seakan-akan ia adalah
penyiar radio tentang pertandingan baseball yang, uniknya, berlangsung
pada 1951, di Amerika Serikat. Kendatipun aksi itu merupakan
penyimpangan radikal dari audisi musik, sang bocah justru mendapat
sambutan riuh penonton dan, bahkan, para juri. Puisi “Aceh dalam
Angka” Iwan Kurniawan di atas ─dalam demonstrasi puisi yang
termaktub dalam buku ini─ mirip dengan aksi anak berumur sebelas
tahun tersebut.
Akan tetapi, peristiwa Aceh adalah sebuah struktur besar dengan
kemampuan mengakomodasikan berbagai hal, termasuk puisi Iwan
Kurniawan. Ketika dikaitkan dengan puisi Husnu Abadi, keduanya
berjalan dengan satu napas. Bukankah harapan dan gagasan menahan
kekayaan Aceh dari pengerukan pihak luar memerlukan data yang lebih
faktual? Bukankah Iwan Kurniawan menyajikan semacam invented poem

xiv |Seperti Belanda

dengan memperlihatkan data “statistik” tentang modal Aceh yang
mengalir keluar?

IV
Akhirnya, para penyair berbicara juga tentang “masalah internal” dan
“eksternal” setelah Helsinki bersuara pada 15 Agustus 2005. Kali ini,
tatapan terpantulkan dalam struktur horizontal. Tak ada lagi “lawan”
di luar. Kini saatnya mata terkonsentrasi ke dalam. Maka Sulaiman
Tripa berbicara “ke dalam” dengan menggunakan “Hikayat Kopi
Rindu”-nya:

Kini dilidahmu kulihat banyak bekas jilatan/Mungkin engkau sudah
lupa/Setelah mendapat lalapan/Membuatmu membuang wajah saat
tatapan
Kita merasakan kata-kata Sulaiman ini lebih tertuju “ke dalam”. Dan
karena itu, pihak luar tak perlu ikut campur. Karena kerenggangan
hubungan sosial yang pernah terbuhul di masa lalu lebih merupakan
reproduksi “internal”, ketika “distribusi” yang tak merata
menimbulkan ketidakpuasan. Akan tetapi, pada saat yang sama, tetap
ada kerinduan pihak “eksternal” kepada Aceh ─yang terlepas dari
perang dan damai. Di sini, penyair Madura Zawawi Imron dalam “Aceh
Mendesah dalam Nafasku” mengungkapkan rindunya kepada Aceh:
Aku belum pernah berkunjung ke Aceh/Tapi aku pernah mencium
aroma pena Syekh Hamza Fansuri/ku pernah menikmati keindahan
senyum Teungku Ali Hasjmy
Ini adalah pandangan “murni” yang diproyeksikan kepada Aceh
dengan perspektif ide yang pernah dilontarkan Aceh melalui kedua
tokoh besar itu. Karenanya, Zawawi hadir dengan mengkesampingkan
aspek “ideologi” kontemporer Aceh. Maka, ia berusaha merengkuh
sesuatu yang amat dirindukannya:

Salman Yoga, dkk. | xv

.........
Tapi Aceh selalu datang ke dalam diriku
Setiap hari, pagi dan sore
Diantarkan koran dan televisi
Aceh yang menangis, Acehpun mengalir dalam sedu-sedanku
Mengalir dalam air mataku yang terus menderai
Bersama sungai terpanjang yang mengalir di balik langit
Berliku-liku di sela bintang gumintang
Mencari telaga Al-Kautsar
Konsep dan ide al-Kautsar tentu sangat interpretable jika diletakkan
tersendiri. Akan tetapi, untuk konteks Zawawi Imron, melalui bait-bait
di atas telah memperlihatkan apa arti Aceh bagi pengalaman spiritual
dan subyektifnya.
Jakarta, 9 Agustus 2020

xvi |Seperti Belanda

Kata Pengantar Kurator

Salman Yoga

Esensi puisi dan karya sastra lainnya adalah mengaktualisasikan buah
pikiran dengan mengkonfirmasikannya pada rasa, pada hati, pada
realitas sekaligus pada imajinasi dan estetika. Sebagai media komunikasi
puisi haruslah mengandung unsur pesan moral, bila memungkinkan
juga memuat informasi komunikasi tentang sesuatu yang anggap
penting oleh penulisnya. Bukan saja empati, kesaksian dan katarsis
sosial. Jadi tidak melulu komunikasi dengan diri sendiri atau yang paling
ironi menginformasikan kegalauan diri sendiri semata.
Tema yang diajukan sebagai semangat dari buku ini memang membuat
penyair berkarya dan berekspresi secara khusus, tetapi tidak dipungkiri
justru “tema” tersebut membuat interpretasi dan perspektif semakin
luas. Hal terakhir inilah yang kemudian saya sebut sebagai media
komunikasi informasi puisi yang bebas ruang dan waktu sebagaimana
tercermin dari pilihan-pilihan karya yang lolos kurasi. Hal tersebut
bukan tanpa alasan mengingat catatan yang paling klasik dalam sejarah
peradaban Aceh adalah karya sastra. Sejarah awalnya ditulis dan
diinformasikan melalui puisi-puisi panjang dengan pola persajakan dan
pengungkapan yang beragam, yang dalam sisipannya mengandung
pesan-pesan moral.
Awalnya saya megira para penulis puisi (penyair) akan berbicara lantang
bagaimana konflik Aceh telah merenggut nyawa, menyita keindahan
hingga menghapus waktu-waktu yang selayaknya indah. Tetapi puisi-
puisi yang muncul dalam proses kurasi justru melihat lebih jauh dan
beragam tentang Aceh dengan kurun waktu yang cukup panjang.
Dari puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini sesungguhnya dapat
dilihat sebuah kejayaan, kemamukran, perjuangan, kemudian konflik
hingga bencana Tsunami dan berakhir dengan perjanjian damai antara

Salman Yoga, dkk. | xvii

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Negara Republik Indonesia.
Di antara fase-fase tersebut ada hal lain yang tidak tanpak dalam
kepermukaan dan para penulis puisi melihatnya sebagai sesuatu yang
esensi. Yaitu tentang nilai-nilai kemanusiaan, cinta, harapan-harapan,
heroisme-pengkhianatan serta “keingkarjanjian” negara dan lain
sebagainya. Memang haru, tetapi ternyata semua belum sepenuhnya
“damai” di mata para penulis puisi, karena ingatan dan apresiasi-empati
mengaktualisasikan kembali apa yang selayaknya tidak terjadi di negeri
indah ini.
Pesan moral dan kesaksian puisi terhadap realitas tidak mengenal
penyair senior atau junior, meski secara umum kedua nilai tersebut
lebih matang dan kuat dari karya-karya penyair senior, dengan pilihan
diksi serta riset yang lebih spesifik.
Dengan alasan itu pula dari ratusan puisi yang masuk ke meja kurator
tidak seluruhnya dapat diakomodir. Kerja ekstra hati-hati dalam
pemilihan karya merupakan penyaringan dengan ketentuan fokus
dialektika haruslah setema, tetapi tidak sempit. Hasil karya para penulis
puisi yang berhasil dikurasi tidak terpisahkan dari hal tersebut, sehingga
terdapat sejumlah nama-nama baru dalam kancah kepenulisan puisi
berdampingan dengan nama-nama penyair besar Indonesia.
Takengon, Agustus 2020
Kurator:
Salman Yoga S

xviii |Seperti Belanda

Daftar Isi iv

Pengantar Inisiator vii
Mozaik Puisi tentang Aceh xvii
Fachry Ali
Kata Pengantar Kurator 1
Salman Yoga S 2
4
Daftar Isi 5
1. Abu Rahmat 6
Pada Bulan Antara Desember 8
2. Adam Zainal 9
Di Ladang Harapan 10
3. Aflaha Rizal 11
Kraft 12
4. Ahmadun Yosi Herfanda 13
Sudah Terlalu Banyak Yang Pergi 14
Ada Seseorang Yang Menunggu di Tikungan 15
5. Ali Syamsudin Arsi 19
Tajam Luka Rencong, Bila 20
Membelah Bumi Membuka Jarak
6. Arafat Nur
Kenangan Masa Kecil
Ada Sebuah Masa yang Sengaja Dihilangkan
7. Arika Aboebakar
Perempuan dan Serdadu
8. Ayi Jufridar
Memangkas Kenangan
Pagi Berdarah
9. Desi Ulvia
Tragedi Pinto Sa
10. D Kemalawati
Dengung di Atas Batu
11. D Zawawi Imron
Aceh Mendesah Dalam Nafasku

Salman Yoga, dkk. | xix

12. Dheni Kurnia 16
Ujung Barat Aceh 18
Mataku Selalu Terbuka 22
24
13. Debra H. Yatim 25
Garis Empu 26
27
14. Edrida Pulungan 28
Setelah Helsinki 29
Perempuan Pemetik Bungong Seulanga 30
33
15. Emi Suy 34
Makan Beras 35
Desing Peluru Mesiu 36
37
16. Fakhrunnas MA Jabbar 38
Menghidu Sisa Mesiu dan Serdadu 39
Tanah Rencong Ini : t. iskandar johan 40
41
17. Fikar W. Eda 42
Kopi Pmtoh 43
Seperti Belanda 44
46
18. Gen's Gonzaga
Nangroe Aceh, Selepas Luruh

19. Hasan Aspahani
Hari Ini Tak Ada Laporan Dari Aceh

20. Hasbi Burman
67#Hallo Indonesia

21. Herman RN
Kenangan (mengenang janji damai Aceh)
Antara Gayo - Blang

22. Husnu Abadi
Doa Untuk Daud Beureueh
Mengenang A. Hasymi

23. Ihan Sunrise
1999

24. Irawan Sandhya Wiraatmaja
Seperti Kudengar Napasmu, Aceh
Aceh: Di Mana Tersimpan Air Mata

25. Isbedy Stiawan ZS
Aceh, dan apa kabar saudaraku?
Menyusuri Sisas-Sisa Kota

xx |Seperti Belanda

Iwan Kurniawan 48
Aceh dalam Angka 49
27. J. Kamal Farza
Hujan Hari Nuzulul Quran 50
28. Jumari HS 51
Membayangkan Masa Lalu 52
Aceh 53
29. Kurnia Effendi 54
Sepucuk Tanda Mata 55
Setelah Jauh Pusaran Itu 57
30. Larasati Sahara 58
Derita Kami Menjelma Cahaya 59
31. LK Ara 60
Benteng Rikit Gaib 1904 61
Pesan Untuk Radio Rimba Raya 62
32. Mahdi Idris 62
Arongan, Suatu Pagi 63
Bukit Tengkorak 65
33. May Yusra Soelaiman 67
Sepanjang Perang 69
34. Mukti Sutarman Espe 70
Mari Melangkah 71
21 - 8 – 2005 72
35. Mustiar AR
Aceh
Mak
36. Nanang Farid Syam
Senja Pantai Lhoknga
Menghadapi Masa Lalu
37. Nasir Djamil
Jangan Biar Benalu Mematikan Pohon Damai
38. Nasrullah Thaleb
Beling
Di Siron
39. Nezar Patria
Kutaraja, 1874
Menyambut Umar

Salman Yoga, dkk. | xxi

40. Ni Wayan Idayati 73
Kota dalam Ingatan: Tsunami 2004 74
75
41. Pilo Poly 77
Kohler 79
Van Swieten 80
81
42. Pringadi Abdi Surya 83
Menatap Aceh dari Bibirmu 85
86
43. Putra Gara 87
Inong Balee 89
Negeri Para Syuhada 90
91
44. Rahmad Sanjaya 92
Perempuan Bersayap Senja
93
45. Raudah Jambak 94
Antara Qanun, Helsinky, dan Corona 96
97
46. Rida K. Liamsi 98
Di Tebing Laut Tawar
Perjalanan

47. Rosni Idham
Aku Terperangah

48. Salman Yoga S
Renggali
Selama Rencong Adalah Tanda Mata

49. Sanya Savira Aboebakar
Damai Yang Dirindukan

50. Soeryadarma Isman
Membaca Aceh

51. Sosonjan A. Khan
Aceh dan Kuingat Tsunami

52. Sulaiman Juned
Aku Tabur Bunga Di Pusara Bernama Aceh

53. Sulaiman Tripa
Hikayat Kopi Rindu

54. Sutarji Calzoum Bachri
Bah
Agar

55. Syarifuddin Aliza

xxii |Seperti Belanda

Introduksi 99
56. Syarifuddin Arifin
100
Di Museum Tsunami 101
Di Pondok Sepi, Gerbang Makam Teuku Umar 102
57. Teuku Dadek 103
Makam Pahlawan 104
58. Teuku Rifnu Wikana 105
Dongeng Untuk Lala 106
59. Ulfatin Ch 107
Tanahmu Istimewa 109
Masih Ada Rumah 110
60. Vera Hastuti 111
Surau 112
61. Wannofri Samry 113
Sajak Dua Wanita 111
Dari Serambi 116
62. Wayan Jengki Sunarta 118
Singgah di Banda Aceh 120
Tugu Kilometer Nol Indonesia
63. Willy Ana 121
Pidie Jaya 123
64. Wina SW1 124
Sejauh Jarak 140
65. Zaim Rofiqi 140
Untuk Aceh, Untuk Indonesia 141
66. Zulfaisal Putera
Takakan Bisa Kulunasi Utangku Padamu
Perempuan Aceh, adalah Benar
67. Zulfikar Kirbi
Mengingat Alm. Tgk.Abdullah Syafi'e

Epilog
Puisi Emha Ainun Nadjib
Biodata Penulis Puisi
Tentang Kurator
Tentang Penyusun
Tentang Epilog

Salman Yoga, dkk. | xxiii



Abu Rahmat

Pada Bulan Antara Desember
Pada bulan antara desember
Luka menganga semakin
Menyayat bahkan yang belum sempat bernanah
Pada bulan antara desember
Sebelum tibanya sakit yang meradang
Asa kebencian memuncah ubun
Pada diri menghadap marah
Pada bulan antara desember
Sedih menjadi air mata paling sesak
Lantaran orang-orang hanya mampu menyaksikan mayat yang
bersimbah
Gedung yang runtuh
Bumi yang terbelah
Pohon yang lenyap
Air bah membahterakan tanah kelahiran
Pada bulan antara desember
Hingga ujung mengakhiri tahun-tahun berlalu
Kenangan tak hanya membekas
Lebih daripada melekat dalam jiwa
Pada bulan sebelum kematian benar-benar merenggut jutaan jiwa
Nyanyian moncong senjata telah menusuk batin,
Hingga yang bercerai tubuh seakan menyimpan dendam
Selain itu, engkau takkan mengerti arti lebih dari kebencian yang
secara perlahan tertanam di palung kalbu.
Lhokseumawe, Agustus 2020

Salman Yoga, dkk. | 1

Adam Zainal

Di Ladang Harapan
Di Gunong Goh, aku mendengar gema takbir
dibawa semilir angin sampai ke lorong-lorong kampung
deru suara telapak sepatu lark serdadu
tak pernah pupus di benak ini
sampai bertahun lama; suara dentuman bedil padam
Padam dalam kitab Keuramat MOU, bangsaku.
Bau amis darah dan tangisan, meraung bagai hujan
deras di bulan Juni
ribuan nyawa melayang, saban hari dan malam
bahkan tak mengenal waktu, seakan para serdadu
adalah malaikat pencabut nyawa kala itu!
Musim kemarau datang, Nanggroe kami kini
bagai bumi tak bertuan.
Dari DOM, Darurat Militer, kami dikurung dalam sangkar
dengan berbagai aturan dan kebijakan Negara
yang sampai kini tak pernah merasa berdosa
pada ayah kami yang dibunuh dengan sengaja.
Lihatlah kini, kawan.
ketika kami mengejar masa depan, tanpa ayah kami;
Kami berjuang, dan berkutat dengan hidup,
tanpa kasih sayang dari ayah kami
yang dibunuh dengan sengaja, oleh negara
melalui pion-pion dadunya.
Lihatlah kami, kawan.
yang kini sudah menjadi pemuda, sisa ludahan
amunisi Negara; sisa bedil dan penindasan.
yang hidup tanpa didampingi ayah kami,
saudara-saudara kami, ibu dan abang-abang kami
yang sudah menghadap tuhan, akibat dibunuh oleh Negara.

2 |Seperti Belanda

Kini tinggal-lah kenang, dalam benak dan ingatan kami
pada jutaan tragedi kejam, pembantaian, dan pembunuhan
yang dilakukan oleh Negara di rambah hitam tanah kami.
Dosa bisa dimaafkan, barangkali; kata mereka
yang tak pernah ditindas, dan berkutat dalam perang.
tiada dendam yang patut dilupakan, dan tiada
pembunuhan yang patut dimaafkan
selama keadilan itu belum datang; bila semua itu belum usai.
Bahkan, ketika itu, aku juga mendengar suara syair; syair-syair
kebangkitan.
Hikayat Prang Sabi dilantunkan dengan penuh khidmat,
oleh para pejuang, di hutan rimba Nanggroe kami
yang sampai kini dianggap layaknya dadu
oleh tuan-tuan di Jakarta.
Hingga damai ini datang, wajah Aceh berubah
dari pucat pasi dan kusam, menjadi cerah.
dibalut harapan, janji Bendera; lambang Nanggroe
pun sepetak tanah ladang untuk para kombatan GAM
bercocok tanam, menanam angan harapan dan janji sejahtera.
Lima belas tahun sudah berlalu, masih ku-ingat janji
di hari itu
Agustus 2005 silam, di Helsinki, Finlandia
para peutuha duduk semeja, bernegosiasi dengan
bandit-bandit Jakarta,
di depan para saksi, delegasi dan kolega.
Bireuen, Mei 2020.

Salman Yoga, dkk. | 3

Aflaha Rizal

Kraft
Siang itu orang-orang berkumpul di hadapan moncong
senjata: para penjaga pengaman negara. Aku pikir
para penjaga pengaman negara, sungguh, tidak mengenal
puisi dan hujan yang kerap mengotori bajumu itu. Selain
menembak.
Siang itu orang-orang berteriak di hadapan moncong
senjata: wajah legam yang siap sebelum rentetan
peluru menghapus mereka satu per satu.
Siang itu darah menggenang. Banyak sekali.
Warna merah seperti bajumu, atau tomat yang
kau makan di meja siang hari. Bedanya mereka
menumbuh air mata, sedang warna merah di
bajumu dan tomat itu menumbuh kesenangan.
Siang itu orang-orang mati, selepas tembakan
senjata itu. Aku tak tahu, mengapa kesedihan
dan penderitaan begitu kejam di dunia ini.
2020

4 |Seperti Belanda

Ahmadun Yosi Herfanda

Sudah Terlalu Banyak Yang Pergi
Sudah terlalu banyak yang pergi. Cukuplah. Tak perlu
Kau salakkan senapan itu lagi. Sarungkan pistolmu
Lipat senapanmu ke dalam saku. Sudah beribu anak kehilangan
ayah ibu. Sudah beribu istri menjanda karena peluru
menembus dada suami. Belum lagi yang pergi karena tsunami
ibu bapak anak-anak orang tua pergi tak kembali, tanpa kabar
dan pesan yang mendahului
ada kuburan massal di tepi jalan itu. juga di tikungan yang dulu
kau lalui sambil bersiul di senja itu. Entah berapa ribu jasad terbaring
di situ. Pastilah mencatatkan kehilangan yang begitu pilu. Maka,
sudahlah. Tak perlu lagi ada yang pergi dengan sia-sia, baik oleh
amukan ombak, retakan tanah, maupun salak senapan. Kita sudah
terlalu banyak kehilangan, dan sebagian besar sia-sia.
Sudah terlalu banyak yang tak kembali. Tetaplah engkau di sini
Mencintai tanah rencong yang damai, dalam harmoni pantai ueluelue
Loknga terhampar diam dalam gerak saman. Masjid agung
berdiri tenang dalam keagungan. Aku sungguh ingin mencintai
dengan semangat untuk berbagi
: Bukankah lebih baik berangkulan

Dari pada saling bermusuhan
Bukankah lebih baik saling percaya
Dari pada saling curiga
Bukankah lebih baik saling memaafkan
Dari pada saling memeram dendam
Sudah terlalu banyak yang pergi. Cukuplah.
Tak perlu kau salakkan senapan itu lagi
Simpan saja granat dan ranjau darat
Di museum pencatat riwayat bara api.
Jakarta, 2017/2020

Salman Yoga, dkk. | 5

Ada Seseorang
Menunggu di Tikungan
Ada seseorang menunggu di tikungan
Di sudut kota Takengon ketika senja
Tampak ia mencoba menajamkan telinga
sambil mengamati truk yang lewat
membawa puluhan tentara
“Masih terdengarkah salak senapan
Atau ledakan granat di kejauhan?”
Ia lupa, hari itu pasca-tsunami
Pakta perdamaian telah ditandatangani
Semua orang bersenjata telah dilucuti
Kecuali serdadu, tentu!
Ada seseorang menunggu di tukungan
Lengan baju lorengnya bertulis GAM
Ia seperti menunggu seseorang
Menunggu perintah dari komandannya
Mata elangnya menatap jalan lengang
Menatap truk tentara lenyap di kejauhan
Ia tidak membawa senapan
Sebilah rencong terselip di pinggangnya
Taka ada aba-aba gerakan
Tak ada perintah penurunan bendera
Tak ada komando pengamanan kota
Ia lantas bertanya pada dirinya,
“Masih perlukah aku menyandang senapan?”
Ada seseorang menunggu di tikungan
Alun-alun yang mulai berbinar cahaya
Anak-anak pun mulai berdatangan
Bermain balon dan layang-layang aneka warna
Tiba-tiba hatinya berkata gembira
“Negeri ini telah merdeka!
Kenapa aku masih menyandang senjata?”

6 |Seperti Belanda

Tikungan pun menjadi ramai
Pedagang kaki lima aneka selera
Tak ada lagi yang menunggu aba-aba
Ia pun melucuti diri dengan hati berbunga!
Aceh, 2017/2020

Salman Yoga, dkk. | 7

Ali Syamsudin Arsi

Tajam Luka Rencong, Bila
penari luka limbung bukan kopi tumbuh di akar ganja kita sudah
sepakat dengan lafal-lafal pembuka jalan menuju cahaya
ada lembar sobek di sisi hidup ada tetes darah di punggung nyeri ada
ruang kosong di tengah rimbun daun di tengah rimba hutan di tengah
julang gunung-gunung di hamparan bumi samudera atas langit
bernaung membuka payung-payung sebelum hujan air mata dari
desing peluru dan kata-kata
tajam luka
berzikir di tajam luka
tajam luka
bertasbih di tajam luka
tajam luka
bertahmid di tajam luka
samudera bukan hanya buih memutih di atas permukaan ilusi badai
gempuran ombak desau resah bersahut gelombang riuh pecah percik-
percik hilang tangkap atas derita luka yang selalu saja saling membuka
sebab bumi kopi bumi penari bumi serambi
tajam luka, bila
rencong patah terbungkam kata
/asa, kindai seni kreatif, Agustus 2020

8 |Seperti Belanda

Membelah Bumi Membuka Jarak
sudah sekian waktu pesona retak dipertontonkan selalu saja ada yang
hilang dari alam raya entah ke mana lesapnya hingga tiang-tiang patah
gemeretak debu-debu terbang mencabik-cabik bumi terbelah sudah
sekian waktu bunyi letusan menghentikan gerak pertumbuhan hutan
kayu-kayu lusuh terbakar bersisa bongkah-bongkah pikuk
terjerembab di kubang-kubang di lubang-lubang, “Hey, hentikan
pertikaian, kita sudah saling merdeka, ini bumi kita garap bersama
saling setia saling menjaga, saling membuka saling membaca saling
bicara,” desir daun bersahutan di rimba raya tayangan demi tayangan
berbalas-membalas di atas pentas para penari lurus tubuh ke atas naik
tinggi ke haribaan illahi seketika sujud menautkan kening wajah
kepada tanah kepada takdir dan ketentuan Sang Maha Pencipta
sudah sekian waktu
membelah bumi membuka jarak
kini pahit kopi masih tersisa
/asa, kindai seni kreatif, Agustus 2020

Salman Yoga, dkk. | 9

Arafat Nur

Kenangan Masa Kecil
Masa kecilku adalah kenangan yang
mengerikan. Aku menerobos sendiri jalan
kelam yang membuatku kehilangan arah
pulang sehingga berkali-kali tersesat ke rumah
orang. Di bawah jurang, aku menyeru-nyeru
nama Tuhan, tetapi tidak ada sahutan.
Dunia yang kutemui dipenuhi orang-orang
beringas yang mengacungkan senjatanya ke
wajahku sebagai sapaan ramah-tamah tanpa
salam, selayak kawanan lanun dan rompak
yang sengaja datang untuk merampas harta
dan menista tanah suci kami dengan amat
kejinya.
Dengan seruan cinta, mereka memenggal
kepala para lelaki, mengotori para perempuan,
dan lantas melenyapkan sejumlah wali Tuhan.
Rumah-rumah para wali dan rumah-rumah
Tuhan sepi sunyi, sebab iblis dan setan sedang
bekerja sangat keras melenyapkan kami
semua sebagai musuh abadi mereka.
Aku ingin masa kecil yang indah. Mereka telah
merampas semuanya sehingga masa laluku
adalah seringai kejam mereka yang sulit
terhapuskan. Kini aku tersesat di rumah orang,
diseret ke jurang, dan Tangan Tuhan begitu
jauhnya, sedangkan tangan pendekku tak
kuasa menggapai, selain yang dapat kuraih
dan kugenggam adalah kotoran bangsa yang
berazaskan Ketuhanan yang Maha Esa.

10 |Seperti Belanda

Ada Sebuah Masa
Yang Sengaja Dihilangkan
Ada sebuah masa yang sengaja dihilangkan
atas nama tidak tahu apa-apa, demi
mengembalikan cinta suci pada kubangan
nista mahkota agung yang diletakkan di kakus
kantor arsip pemerintah.
Di sini senjata pernah bergetar hebat,
menyalak kencang, dan bekerja sangat keras
menguras seluruh peluru yang memenuhi
gudang, demi menciptakan keriuhan pesta
darah tanpa henti, agar seluruh penghuni
tanah ini lenyap dan kemudian bumi pun
senyap, sebagaimana awal Tuhan
menciptakan kesunyian yang paling dalam.
Kehancuran pun segera datang
yang dianggap sebagai puing-puing
keberhasilan paling gemilang burung elang
yang tidak pernah bisa terbang. Kematian
adalah lambang hidup kumpulan manusia
bodoh beringas yang tidak bisa berkembang
selain hanya senang dan bangga untuk
menghancurkan sesama, lalu mengeruk habis
semua hasil kekayaan milik orang tanpa sisa,
tanpa sedikit pun pernah merasa berdosa.
Selanjutnya adalah manusia hidup dalam
kerukunan dan kakacauan secara seimbang
dan berdampingan, sebab musuh telah
menjadi teman dan teman telah menjadi
musuh. Dunia pun sudah diperindah dengan
lumuran tinja dan kemih berwarna ceria:
Sering-seringlah pergi ke jamban agar
kebahagiaanmu senantiasa terjaga selamanya.

Salman Yoga, dkk. | 11

Arika Aboebakar

Perempuan dan Serdadu
Ketika perempuan berjalan dengan nafas perjuangan
Arang tak pernah melintangi waktu untuk menutupi arahnya di titik
itu
Ketika perempuan terluka karena kehilangan
Mungkin kekuatan menjadi satu dengan semangat yang menderu
memecah haru dengan serdadu
Sang laskar perempuan menapaki gunung melatih raga dan ingin
berdiri di garda
Tidak ada getir
Tidak ada air mata
Menyulap diri, merekam kisah dengan gaung yang menepis satu
persatu hembusan angin kencang pernah goyahkan kisah lalu
Tidak janji
Tidak ingin dipuji
Serdadu terus mengadu
Berawal waktu dalam peristiwa bisu "perang teluk haru"
Laskar perempuanku berdiri kukuh walau kisah telah melewati
kelakuanmu yang tak pernah membeku...
Sigli, Agustus 2020

12 |Seperti Belanda

Ayi Jufridar

Memangkas Kenangan
Sejak Jeffrey Eugenedes menggelar kelamin ganda
di panggung Ubud yang basah
moncong kenangan gelisah mengekori bayangmu
saat itu kenangan tentangmu mulai tergerai
setiap helainya menyimpan kilau masa lalu
dengan ujung merah terbelah
didera luka dari lelaki pemikul mimpi
sejak kalian memuja rembulan
dahan-dahanya sudah patah oleh cahaya
engkau mengingkarinya dengan cairan kopi
yang menguar di antara harumnya kenangan
tapi masa lalu tetap tegak berduri
melukai mimpi yang masih tersisa
tatkala senapan menyalak di ladang sunyi,
engkau menjadi muda dalam cahaya
setelah kenangan engkau pangkas
sejengkal dari puncak kepala
dengan aroma yang tetap panjang terurai
sampai ke rahim asa
Lorong Asa, April 2019

Salman Yoga, dkk. | 13

Pagi Berdarah
Dari setetes darah
Pagi memanjang untuk sebuah penantian
Menderas pula kekhawatiran
Membanjiri surga kita
Samudra bagi tetesan waktu
Jarum jam berhenti di pinggir riak
Ketenangan sudah menyentuh langit
Menggeser angin ke tepi
Ke tepi-tepi tak bernama
Mesin mengoyak pagi
Tangisan abadi telat tiba
Lorong Asa, 2014

14 |Seperti Belanda

Desi Ulvia

Tragedi Pinto Sa*
Aku menolak lupa
Atas apa yang menimpa kita
Tragedi pinto sa
Begitu melekat dalam ingatan
Sisa kenangan mengalir deras
Sederas air bah sungai Tiro yang tak pernah dijamah musim kemarau
Seolah menyulam luka tiada habisnya dari masa ke masa
Menjadi pengingat selama hayat dikandung badan
Bila gelap telah tiba
Keganasan pun bermunculan
Seolah menerawang, raga mana yang hendak menjadi bulan-bulanan
Seolah memberi isyarat, siapa lagi yang akan dijemput kematian
Bila gelap telah tiba
Lolongan kengerian terdengar dari sudut-sudut desa
Ibu meraung kehilangan anaknya
Anak menangis kehilangan ayahnya
Dan istri bersedih kehilangan suaminya
Tak ada yang kembali meski terang sudah menyapa
Tak ada yang kembali usai dijemput paksa
Entah itu tua atau muda
Semua raib dilumat kengerian pos pinto sa.
Tiro, 2020
*Tragedi pinto sa atau dikenal juga dengan tragedi pos pinto sa adalah
sebuah tragedi yang terjadi di Tiro saat Aceh berstatus Daerah
Operasi Militer (DOM)

Salman Yoga, dkk. | 15

Dheni Kurnia

Ujung Barat Aceh
Di ujung barat
Matahari tak pernah tenggelam
Selalu garang dengan cahaya
Membakar semua yang terpendam
Hingga ke akarnya
Di ujung barat
Mesjid tak pernah tertutup
Selalu kumandangkan kalimah
Pujian pada maha pencipta
Hingga nafas berakhir
Di ujung barat aceh
Matahari tepat di atas kepala
Membakar puncak mesjid
Menghanguskan amuk dan murka
Keangkuhan rata dengan tanah
Aku memandang langit
Yang panas bagai api
Aku memandang puncak mesjid
Yang tetap tegar berdiri
Di ujung barat aceh
Di ujung barat
Matahari adalah pertanda perang
Mesjid adalah cahaya iman
Keduanya menyatu utuh
Dalam syahadat tubuh
Di ujung barat
Matahari melahirkan konflik
Tapi mesjid lahirkan pahlawan

16 |Seperti Belanda

Anti kemapanan dan sekulerisme
Yang menyatu di nadi darah
Di ujung barat aceh
Semua kekerasan jadi budaya
Semua yang berjihad jadi pahlawan
Adat menjadi pertikaian
Istiadat menjadi pakaian
Aku merasakan angin
Bak badai menyerang
Yang tunggang jadi langgang
Yang di atas menjadi injakan
Di ujung barat aceh
Banda Aceh, Mei 1992

Salman Yoga, dkk. | 17

Mataku Selalu Terbuka
Mataku selalu terbuka
Bagi siapa saja
Naiklah ke lawang rumah
Yang tak pernah terkunci
Tersenyumlah
Dan katakan; Aceh negaraku
Aku bukan kaum neokolonial
Yang rakus dan penyumpah
Merampas segala yang tersisa
Membunuh segala yang bernyawa
Mengibarkan bendera amarah
Dan menginjak-injak keadilan
Mataku selalu terbuka
Bagi mereka yang berniat baik
Bawalah pesan damai
Yang lama menjadi tradisi
Berbaiksangkalah
Dan katakan; Aceh tanah airku
Aku bukanlah pecinta perang
Atau anti negara kesatuan
Hidupku matiku dan darahku
Berlafaz amar makruf nahi mungkar
Aku hanya tak suka
Jika coba menutup mataku
Mataku selalu terbuka
Tak pernah terpejam walau sesaat
Aku tahu semua yang berniat
Aku tahu semua yang berkhianat
Karena negaraku adalah Aceh
Karena tanah airku adalah Aceh
Banda Aceh, Mei 1992

18 |Seperti Belanda

D Kemalawati

Dengung di Atas Batu
Luka itu sudah kering
Kau pun sudah melangkah
Di sebelahmu ada sungai jernih
Aku melihat bayangmu berenang di sana
Dengan luka baru memenuhi kepala
Belasan tahun lalu
Kita akrab mendengar salak senjata
Sekarang, di anak sungai menyempit
Batu-batu licin dilangkahi anak tangga
Mendengung jerit luka
Anak-anak tak mengenal ceria
Banda Aceh, Maret 2020

Salman Yoga, dkk. | 19

D Zawawi Imron

Aceh Mendesah Dalam Nafasku
Aku belum pernah berkunjung ke Aceh
Tapi aku pernah mencium
aroma pena Syekh Hamzah Fansuri
Aku pernah menikmati
keindahan senyum Teungku Ali Hasjmy
Aku belum pernah menginjakkan kaki kek Aceh
tapi Aceh selalu datang ke dalam diriku
Setiap hari, pagi dan sore
diantarkan koran dan televisi
Aceh menangis, Aceh pun mengalir dalam sedu-sedanku
mengalir dalam air mataku yang terus menderai
bersama sungai terpanjang yang mengalir ke balik langit
berlika-liku di sela bintang gemintang
mencari Telaga Al-Kautsar
Jikalau Aceh terluka, Aceh berdenyut nadiku
Aceh mendesah dalam nafasku, Aceh berdetak dalam jantungku
memukul-mukul jiwaku, memacu doaku
Dan Aceh kusebut di sela-sela zikirku
Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Muhaimin, Ya Salam, Ya Lathif, Ya Rauf
Jika Engkau menjatuhkan hujan ke bumi
Turunkan derai hujan bersama Damai-Mu
Biar Kasih-Mu meresap basah ke dalam hati
melembutkan segenap nurani
Hidupkan sejuk kami kepada Aceh
dengan cinta yang saleh
Ya Allah Yang Maha Penyayang,
Engkau mengurus Muhammad dengan wajah cemerlang
Dengan lidah yang indah
Dengan tatapan pandang yang lembut ramah

20 |Seperti Belanda

Dengan tanah menabur sejuk
menghapus gelisah dan hati yang bernanah
Dengan cinta yang mekar seperti mawar dan melati yang merekah
Agar kehidupan terasa rahmat
dengan langkah-langkah kerja yang menderap
menuju damai yang mantap
Tugas Rasul-Mu terus dilanjutkan para ahli waris
pengemban amanah, menjadi mata rantai sejarah
Dan sampai juga ke Tanah Rencong:
Fajar Iman yang damai terbit dari Perlak dan Pasai
untuk bumi Nusantara
Di lintas Jawa ada Walisongo, Syekh Yusuf dari Makassar
dan Sultan Khairun di Ternate
Semua sering terbayang selintas mendengar azan
yang mengalun mendamaikan kalbu
Hayya 'alashalah, hayya 'alal falah
Mari bersujud damai dalam salat
Mari meraup bahagia yang penuh damai
Damai di bawah naungan Allah
Aku belum pernah datang ke Aceh
Tapi Aceh selalu berdetak dalam jantungku
dalam keindahan mimpiku. Aceh mengalir mengajak zikir
Mengalir ke dalam damai ke alam cinta
Di dalam belaian Kasih Sayang Allah.
September, 1999

Salman Yoga, dkk. | 21

Debra H. Yatim

GARIS EMPU
Ada tempat gelap lagi cair
di mana segalanya perempuan
rabuk dan payau
dan subur dan rahasia
dan butuh tsunami
baru kusadari.
Menengok pada ubinmu berwarna nyaris tak patut, merah dadu
di tengah remukan Dusun Tenggiri, Chaira
lalu, ke sana sedikit di belakang Masjid, ubin santun biru
yang dulu ditapaki Nya’wa
dan Nenek sebelumnya.
Cuma ini yang sisa yang dapat kupandang darimu.
Mayang kami bersama terurai liar
di perairan Ulee Lheue.
Seluruh sejarah perempuan
dari ibu dan nenek, dan moyang sebelumnya
bermula dengan berat dalam rahim dan linu di pinggang
karena mengandung kemanusiaan
dan berakhir dengan berat di hati karena mengandung
tumpah-ruah tikai kaum lelaki.
Dan di antaranya pegal di selangkang
karena mengapit ‘tuk tegak menunggang kuda betina
menggenggam kuat suraunya
sejajar Nya’ Dhien.
Sekujur kisah awal sejarah
ketika perempuan berkuasa
juga di Aceh purba,
dan lebih penting kisah yang dipilin
oleh kau, perempuan kebanyakan
para engkau, para saya, perempuan ‘biasa’

22 |Seperti Belanda

yang jadi benang dan pakan dari perkerabatan
dan memintalnya jadi kain panjang sejarah manusia
dan menyelempangkannya di kitar kepala ‘tuk meredam
gelora mayang perempuan yang membahana
sampai
setelah suatu hari lahir dari laut, perempuan
Aceh secara rahasia
pulang lagi dengan ramah
kembali ke dasar samudera
ke haribaan Ibunya.
Saya bangga terlahir dari darah nelayan, Chaira.
Berdiri di atas ubin merah dadumu saya
melihat garis keturunan darimana kuberasal,
dan kau berarak lewat:
Nenek, Nya’ Yatim, Nya’wa, Makcucut, kau sendiri, dan Raha.
Terima kasih untuk darahmu yang mengalir di dalamku, Chaira.
Terima kasih untuk darahku yang juga bagian darimu.
Ulee Lheue – Feb. 2005

Salman Yoga, dkk. | 23

Edrida Pulungan

Setelah Helsinki
Matahari pagi menyembul di balik kabut langit Helsinki
Seperti penantian harapan baru merekah di negeri serambi
Pada sebuah Mansion di Kota Vantaa dengan deretan pepohonan
hijau, kicauan burung serta sungai jernih mengalir
Mengurai narasi damai pada meja perundingan
Demi damai yang dicari
Akankah harmoni bersemi di tanah rencong bumi Aceh
Jarak ribuan kilometer ditempuh dengan penantian menahun
Setelah luka, bara, benci dan dendam tumbuh di ladang-ladang kami
Siapa yang masih memeluk luka kemarin
Telah mengusap pedih dengan airmata tabah
Memeluk damai, rukun dan kompak seperti tarian saman ratoeh jaroe
Perlahan namun riuh dalam semangat kebersamaan
Sukacita terasa mulai dari warung kopi, sekolah dan masjid-masjid
Gigil masih terasa sejak lima belas tahun berlalu
Tanah berselimut salju seperti pijakan jejak
Torehkan pesan perdamaian yang masih dieja ulang
Aceh terlahir berkali-kali dan menjadi inspirasi damai pada semesta
Jakarta, Agustus 2020

24 |Seperti Belanda

Perempuan Pemetik Bungong Seulanga
Jerit pilu menahun
Apakah engkau dengarkan isak tangis kami tuan
Meski tak berguna untuk mengutuk dan meronta
Aku perempuan yang masih mengihitung puluhan luka
Pada perih belati yang di tusuk berkali-kali
Ibu, Bapak, suami dan anakku telah pergi
Ditembak dini hari
Apa salah kami tuan
Aku perempuan bara yang terlahir dari rahim keberanian
Hidup mati berkali-kali
Kubacakan narasi luka yang kubungkus tawa
Hei Tuan dengarkan aku
Aku taburi ladang dan sawahku dengan bungong seulanga
Harumnya akan melebur dengan tanah
Menghilangkan bau amis darah
Mengapa kuasa dan ambisi jadi panglima bagi meraka
Sementara kami menenun sejarah cinta negeri puluhan tahun lamanya
Namun telah kusembuhkan luka dengan bismillah
Ikhlas di bilik jiwa menunggu harapan baru tiba hingga berganti masa
Damai dikirimkan senja menebar harum wangi untuk Aceh sejahtera
bahagia
Jakarta, Agustus 2020

Salman Yoga, dkk. | 25

Emi Suy

Makan Beras
pagi menguning dari pucuk reranting,
daun-daun waktu gugur berserak,
halaman ingatan dipenggal jarak,
dan dari televisi kami khusuk menyimak:
mereka berlarian ke hutan
menenangkan kecemasan
menyembunyikan ketakutan
: sebelum peluru menembus dada
mereka hendak memasak nasi
pada saat datang serangan bertubi-tubi
beras basah dibawanya berlari
berlindung dari desiu peluru
saat lapar datang menyergap
mereka makan beras
yang gagal jadi nasi
detik berdetak jarum jam menjahit luka
rasa takut bermukim di degup jantung,
di detak tahun-tahun purba. sungguh bau
amis darah berjejak dan asin keringat
menyengat negeri yang ngeri
Agustus, 2020

26 |Seperti Belanda


Click to View FlipBook Version