Pringadi Abdi Surya
Menatap Aceh Dari Bibirmu
Bayangkan suatu pagi, langit dipenuhi ribuan jamur
Pesawat-pesawat melintas, dekat dengan darat
Televisi di ruangan jauh lebih gelisah dari hati
Yang baru saja dikhianati
"Setetes darah tak akan menetes di bumi Aceh"
Tapi sejak itu kami mulai terbiasa
Mendongeng tentang saudara kami yang hilang
Kenangan saat makan kambing
Pada sebuah sore yang kini binasa
Orang kampung yang tidak mengerti apa-apa
Selain tani, dan secangkir kopi bahagia
Didudukkan di depan anak-anaknya
Bayangkan suatu pagi, dirimu adalah salah satu
Dari anak-anak itu
Tidak ada film kartun lucu
Di depanmu, ayahmu dituduh pemberontak
Sebelum ia sempat menghabiskan
Secangkir kopi yang belum mendingin itu
Tak perlu mengerti apa-apa
Pikiran tak pernah begitu penting
Tak masalah memisahkan pikiran itu
Dari raganya.
Salman Yoga, dkk. | 77
Bayangkan suatu pagi, bukan kami
Yang melihat langit dipenuhi jamur.
Kau menyaksikannya sendiri
Saat hendak berjemur
Di ruang keluarga, televisi menyala
Pembaca berita berkata,
Apa yang lebih menyakitkan
Dari sebuah perpisahan?
78 |Seperti Belanda
Putra Gara
Negeri Para Syuhada
Negeri para syuhada kami,
Terkoyak bersama ironi
Politisi telah mengkebiri
Dalam warna golongan
Dalam bualan di kedai-kedai
Negeri para syuhada kami,
Kehilangan indentitas diri
Dalam kemunafikan
Dalam kepura-puraan
Negeri para syuhada kami,
Akankah tinggal mimpi?
PG /Lhok'e, /4/16
Salman Yoga, dkk. | 79
Inong Balee
Tak perlu bersedih, Ummi
Negeri ini tak pernah mengajarkan kita tumpah air mata
Darah telah membekukan rasa pedih
Mari kita mamah
Bukankah kematian hanya masalah menunggu waktu saja
Tak perlu kita catat memang
Berapa banyak yang pergi dimoncong senjata
Bukankah itu bertanda, negeri ini telah melahirkan banyak syuhada
Tak perlu bersedih, Ummi
Kami anak-anak negeri ini
Selalu ada untuk menjaga
Karena Ummi adalah darah tumpah kami
PG /Pidie, /01/14/NAD
80 |Seperti Belanda
Rahmad Sanjaya
Perempuan Bersayap Senja
Kerap dia terus menerobos masuk ke relung-relung terdalam
Melampaui makna alam dan singgasana musim
Dia adalah mimpi yang tak terurai dengan kata
atau kalimat verbal
yang sering di ungkapkan para penulis
dalam tiap cerita fiksi atau non fiksi
nyatalah hadirnya meski tak tampak
semua kita merasakan kehadirannya
tiap gumaman waktu di milyaran hari yang kita lewati
dia begitu mengalun meski tak lagi bicara
dia begitu lembut mengibaskan sayap-sayapnya ke kalbu kita
dia begitu cantik menemani senyum kita
dia seperti bidadari yang terus menemani kemanapun kita pergi
jauh dari nuansa masa silam dia selalu mengingatkan
saat bibirnya bergerak mengisyaratkan pada kita arti hidup
dia ajarkan kita melangkah dengan kasihnya yang tak terbatas
kerelaannya menjaga, tak berbatas langit dan samudera
sepenuh jiwa raga sayap-sayap kokohnya mendekap kita dari rasa
dingin
dan kepiluan terkadang dia hadir menjadi penyejuk jiwa disaat badai
mengelana di bias hati kita
dialah perempuan bersayap itu
dia ibarat syair Hamzah Fansuri yang terus berlabuh di segenap jiwa
mengalir dalam segenap aorta
tak henti dan tak akan mati sampai ajal menjelang
dari singgasana hati yang paling dalam, dia menjelma kekuatan
merubah dahaga dunia menjadi penyejuk kehidupan
penata seluruh denyut nadi dalam derap langkah
mengatur degub jantung hingga berirama
segala warna dia berikan
Salman Yoga, dkk. | 81
tak putus dan tak pernah putus
Bahkan dialah bekal menuju surgaNya
di darahku mengalir cita-citanya
di nafasku terukir keabadiannya
dia lah wanita yang ku kenal lahir batin
yang selalu kupanggil ibu
Banda Aceh, Mei 2015
82 |Seperti Belanda
Raudah Jambak
Antara Kanun, Helsinky, dan Corona
Rak-rak buku sejarah mulai menjaga jarak
Keyakinan mulai jumpalitan
Ka
Nun
Nun
Ka
Ka Ka Ka Ka Ka
Nun Nun Nun Nun Nun
"Ah, Aneuk loen!"
Peta-peta sejarah mulai menganut adaptasi kebiasaan baru
"Mana Helsinky?"
"Lagi menikmati kue pancung!"
"Ah, Aneuk loen!"
Dan seperti kata penyair
Corona bukan penjajah
Ia adalah simbol pengingat hidup
atau meredup
"Jarak!"
"Adaptasi!'
"Bom!"
"Waktu!"
"Ah, Aneuk loen!"
Salman Yoga, dkk. | 83
Pada Kanun
cemas anak-anak kami
menghitung tahun
Pada Helsinky
gagap anak-anak kami
membaca peta
Pada Corona
melaju anak-anak kami
di bawah nestapa
"Ah, Aneuk loen!"
Komunitashomepoetry, 2020
84 |Seperti Belanda
Rida K Liamsi
Di Tebing Laut Tawar
Di tebing Laut Tawar kita ternyata bisa nentaksikan hari bangkit
dengan wsrna pagi yang berseri, neski ombak yang mendesir, dan
angin gunung yang layap, seakan tetap mengugat :
Sejarah apa yang ingin kalian tulis , fengan bedil dan bau mesiu ?
Kami sudah mengusir penjajah dengan rencong , setelah mereka kami
biarkan menabsm teh di bukit-bukit kosong
Di tebing Laut Tawar , ternyata hari lewat dengan lebih hangat ,
karena yang kopi yang gurih, suara jaring yang ditebar, dan geliat ikan
yang menggelepar, telah menyisihkan berita televisi dan keletah surat
kabar. Di ouncak Takengon , genpa masih kerap menggamoar, tapi
pucuk pucuk pinud masih bisa berkelakar : Di sini Tuhan memang
lebih sabar !
Di tebing Laut Tawar , ketika bulan penuh , dan kabut mengendap ,
memang masih kerap terdengar bunyi panser dan peluru menyambar.
Sesekali di lobby hotel para tamu disuguhi kisah Tengku Bantaqiyah
Di Beutong Bawah. Tapi di gelap malam , para hansip masih ronda
dengan pentung dan rencong di pinggang. Dan di bibir pekebun teh
dan pelancong Eropa , malam malam menjadi lebih berona , “ Di sini
kemerdekaan milik semua , dan bedil disimpan di bawah jendela “
Di tebing Laut Tawar , warung nasi tetap menggulai rendang, “ Rasa
Aceh, resep Padang “ , dan sambil menonton Liga Italia , si buyung
melenggang : Ma baju Ronaldo tu?
Di tebing Laut Tawar, di bawah bayang bayang potret Cut Nyak Din
dan Teuku Umar, kita masih bisa berkelakar : Di sini keras nya
rencong masih bisa ditawar.
2005
Dari Kumpulan “ Perjalanan Kelekatu (2008)
Salman Yoga, dkk. | 85
Perjalanan
Inilah Besitang!
Tak ada suara senapang dan tak ada hardik menjelang sarapan
Tapi mengapa gelisah
Hutan karet dan sawit diam dalam kelam.
Ada sisa hujan
Dari pos jaga, wajah letih dan mata yang waspada saling menyapa
: Apa kabar Jakarta?
Di arah tikungan yang menajam
Di antara meja teh panas dan kue bolu
Ada puluhan bekas peluru seperti lukisan perahu
: Di sini kemarin, seorang letnan ditembak.
Tak sempat berteriak
Di sini maut singgah seperti jejak seekor biawak
Inilah Besitang!
Ada papan nama dan bendera bendera
Ada penjaja surat kabar dan kartu telepon genggam
Ada suara kereta dan truk yang lewat
Ada suara senapang dikokang
Ada nasehat : Malam memang bisa sangat kelam
2005
Dari kumpulan Perjalanan Kelekatu (2008)
86 |Seperti Belanda
Rosni Idham
Aku Terperangah
Kulihat markuri itu begitu benderang
Bahkan kedipnya sangat jenaka
Sertamerta gulita menyapa seluruh kota
Markuri itu telah kehilangan cahaya
Kepanikan melanda warga
Kepiluan merambah setiap jiwa
Jerit tangis menembus angkasa
Berlarian tak jelas arah
Aku terperangah
Aku tak mengerti maknanya
Aku terpacak kehilangan kata
Kutatap laut itu begitu tenang
Bahkan ikan-ikan kehilangan sandar
Sertamerta lidahnya menjulur ganas
Ia terbahak berwajah bringas
Meraup dan menggulung apa saja
Menerkam dan menelan ratusan ribu nyawa
Tak perduli gedung megah, mobil mewah
Bahkan ia tak hormat pada pejabat
Yang orang-orang tertunduk patuh pada titahnya
Ia tak kenal para isteri
Yang suaminya sarat pangkat
Ia tak hiraukan anak konglomerat
Yang darah dan dagingnya
Terbuat dari keju, kentucki, burger, spageti, omelet
Luluh lantak poranda dalam prahara
Kusimak langit itu begitu damai
Bahkan awan-awan bergerak enggan
Sertamerta langit dalam hujan air mata
Dan tak lagi jadi payung
Sebab bumi sedang berkabung
Salman Yoga, dkk. | 87
Langit tak lagi jadi peneduh
Sebab bumi telah porak dan bersetubuh
Bersusun lapis jasad tanpa nama
Tanpa kain kafan
Tanpa keranda
Tanpa pusara
Wahai………
Markuri itu begitu benderang
Laut itu begitu tenang
Langit itu begitu damai
Sertamerta ia berubah
Aku terperangah
Tsunami Meulaboh, 26 Desember 2004
88 |Seperti Belanda
Salman Yoga S
Renggali
untuk keseratus sekian taburan
doanya masih saja kembar dalam air yang dialirkan ke tanah merah
meski alfatikhah mengandung tujuh samudra
dalam aliran air yang dituangkan di pusara
kematian tetap saja seragam duka membentuk berkas warna
demikian liang lahat digali dan ditimbun kembali
mimpi dan cinta kian mekar ditangkai renggali sebagai ziarah
selalu iringan panjang dan ngeri
menghantar keranda ke penghujung bumi
janji menjadi bulat matahari, memanaskan
dilapisan ganjil kain kafan
dan aroma kapur barus menembus, membalut dan
menyusup ke rongga dada ibu yang terlentang
tangannya mengapit seperti tengah shalat khusuk
mulut diam dan kaku seperti membaca sani dalam hati
mata terpejam rapat enggan melihat dunia
ia pun bertanya pada nisan yang terpahat
apakah yang tengah terjadi?
siapakah sebenarnya yang menjadi pembenci;
betulkah tni, iakah gam, benarkah milisi?
atas catatan yang mana harus kutanam renggali
atas kematian dan pusara siapa kutabur renggali
sedang aku adalah turunan bunga suci
disunting dan dimekarkan dari kedamaian dan cinta sesama
Gayo, 2003
Salman Yoga, dkk. | 89
Selama Rencong Adalah Tanda Mata
Samuderalah sejarah
embunlah tulisan muda
menguap membebaskan inspirasi masa
dalam catatan membatu,
nurani
Samuderalah sejarah
matahari masih kerinduan
lempar dan titipkan ironi pada buku waktu
Samuderalah sejarah;
di kulit muka, tersipu tangis
runduk tua Cut Nyak Dien sesali pengkhianatan
ketika pajangan mengindah di menara gading
dan selama rencong adalah tanda mata kita adalah mayat
yang dikenang sebagai pengecut dan pahlawan
Aceh, 2003
90 |Seperti Belanda
Sanya Savira Aboebakar
Damai yang Dirindukan
Ketika gendang permusuhan telah ditabu
Sirna sudah rasa haru, mengubah semua menjadi biru
Adakah kata yang dapat mengembalikan makna persahabatan?
Adakah tindakan yang dapat menyembuhkan luka di antara kita?
Atau masih bisakah kita berbagi kehangatan layaknya rasa
kemanusiaan?
Hapuskan
Sudahi
Cukuplah sampai di sini irama gemuruh di dada kita. Tak ingin lagi ku
mendengar suara yang membuat mataku menangis darah, telingaku
memerah dan berdenging, dan bahkan meremukkan hati rapuh
menjadi serpih
Dapatkah kita berdamai?
Damai yang sama-sama kita rindukan?
Ku tau, bukan hanya diriku yang sudah lelah Kau pun sama
Ku tau, bukan hanya aku yang terluka
Kau pun sama
Maka sekali ini saja, mari kita kembali bergandengan
menyatu
menegakkan jalan yang semestinya kita lalui
Tujuan kita adalah sama
Damai...
Salman Yoga, dkk. | 91
Soeryadarma Isman
Membaca Aceh
Siapa menanam malam
akan menuai pekat.
Siapa menanam risau
akan menuai galau.
Siapa menanam rindu
akan menuai cinta.
: jadilah jarum satukan yang terpisah
(tertera pada kening kehidupan)
Banda Aceh, Juli 2020
92 |Seperti Belanda
Sosonjan A. Khan
Aceh dan Kuingat Tsunami
Aku mengenangmu;
kota yang indah
penuh kehebatan sejarah
dari leluhur murni islam
suara azan mewangikan insan
dari empat pelusuk alam
namamu mulus disebut serambi kaabah
kebangaan kami dan kita semua.
Tapi dugaan pun tidak memilih siapa
atau memang kita yang tersilap
mengundang amarah langit
lalu dihantar amaran
yang bukan alang kepalang
membantai dengan gelombang
ganas gagah perkasa
begitu kami menjadi bagai
rumput-rumput kehilangan tanah
lalu hancur lebur ditelan murka.
Tuhan
walau berulang kali trajedi
ini pasti kerana kasih sayang
Yang Maha Agung
untuk mengembalikan kesedaran
dari leka
dan tidaklah kami ingin berburuk sangka
kecuali memperbetulkan kesilapan
dan meningkatkan ketakwaan.
2/8/2020
BSB
Brunei Darussalam.
Salman Yoga, dkk. | 93
Sulaiman Juned
Aku Tabur Bunga Di Pusara Bernama Aceh
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Pagi
yang bening menjadi kelam. Luka--duka
menari di samudera pikiran. Aku
tatap kota melesat dalam waktu berkalang maut
orang-orang menanggalkan hati satu demi satu. Ini
tubuh siapa punya memanggil-manggil Tuhan di setiap aliran
nadi. Kami ini jiwa--hati mencatat lara, tak bisa lari
tak bisa sembunyi. Orang-orang
berkelahi bersama ombak di kelap-kelip waktu. Orang-orang
lalu lalang diantara aroma manyat--meski teramat pahit. Nafas
pesakitan tersirat di wajah penderitaan. Aku
tabur bunga di pusara bernama Aceh
(kapan usai hikayat bertopeng ini, duhai)
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Pagi
yang bening jadi kelam. Gundah
gelisah--sakit--pilu menyatu dalam bingkaicita lara. Telah
aku kecup getir di kamar rahasia menghabiskan malam
dalam senyum beku--waktu. Mengirim
setangkai kembang meraih bulan--gerimis
masih berkelahi di halaman. Siapa
diantara kita terluka--padamu
pahatkan resah. Kabut--angin--api--air
mempersiang diri dalam sepi. Secangkir
kesedihan terceruk belati menggali terusan air mata
94 |Seperti Belanda
di kedalaman air mata kami. Seperti
Tuhan pada waktu subuh menabur gelombang
sembunyikan getir--cinta terbunuh udara kelabu
aroma kematian terhidang di perjamuan
menyekap pikiran erat berpangut
(aku beli keluh kesah itu selipkan di kain kafanmu)
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi.Sudah
waktunya kita pulang. Entah
bagaimana menerjemahkan kesucian
terhidang lewat nikmatnya sakit. Sesekali
aku pulang menyaksikan bungong jeumpa patah tunasnya
hanya pada bayang bercerita;
Maskirbi, baru saja kita Poh Cakra di keude kuphi tentang Aceh
agar menyelesaikan konflik dengan cinta--seni biar tak ada
yang mati sia-sia. Memahami luka dengan kasih sayang
bukan dendam. Nurgani Asyik terakhir kali kita keliling
Darussalam--Ulee Kareng serta minum kopi.
di Pantai Ulee Lhee sambil menikmati shanset turun
memeluk malam tempat kita berkelahi pikiran. Virsevenny
dimana kau simpan kanvasmu--melukiskan
ini kalbu terbelah. Selamat malam cinta
aku hanya mampu mengirimkan doa
jadikan tembang menemani perjalanan malammu. Di pusara
seluas samudera, tujuh bidadari menabur wangi mawar
antar ke pintu surga
(Hari ini kita berkabung, ditengur Tuhan untuk kenali dieri, Ah!)
.Banda Aceh-Padangpanjang, 2014-2020
Salman Yoga, dkk. | 95
Sulaiman Tripa
Hikayat Kopi Rindu
Kadang-kadang ingin menulis banyak surat untuk tuan
Terbingkai benang emas agar tampak terhormat
Untuk engkau yang tiada henti bicara keadilan
Bahkan dulu mengajari kami cara menjadi demonstran
Kini dilidahmu kulihat banyak bekas jilatan
Mungkin engkau sudah lupa
Setelah mendapat lalapan
Membuatmu membuang wajah saat tatapan
Darussalam, /2/2019
Ah
Aku belum mampu seperti kalian
Yang bersuara lantang
Memekik seperti gendang
Dengan kata-kata memecah hening
Aku hanya mampu bersuara pelan
Dengan kata-kata setengah tertelan
Darussalam, /10/2019
96 |Seperti Belanda
Sutardji Colzoum Bachri
Bah
airmata ini mata air hari
airmata ini dukakalian kami
airmata ini puncak sedih tak sudahsudah
airmata ini inidarah berubah
airmata ini buah segala bah
airmata ini buah hati tumpah
airmata ini guratan sejarah
airmata ini luap doa duafah
airmata ini matamata nurani
airmata ini tanahair kami
2005 – 2008
Salman Yoga, dkk. | 97
AGAR
ambilah hikmah dari pasang gelombang
carilah diri dalam laut lapang
rendamkan niatmu dikedalaman hakekat
bangkitkan jiwa dengan bara harkat
beningkan mata lewat cermin azali
tajamkan teliga asah fatihah
mantapkan langkah di kaki mufakat
luaskan dada seluas jagad
tutupi kepala dengan tudung akal
terangi hatimu dalam cahaya kekal
siapkan diri bagi jodoh arti
agar hidup bisa meninggi
lahirkan buah bagi bangsa ini
agar sedih tak jadi menjadi
2005 – 2007
Dua sajak yang dimuat dalam buku ini diambil dari kumpulan buku
“Atau Ngit Cari Agar” (2008).
98 |Seperti Belanda
Syarifuddin Aliza
Introduksi
di ujung gapaian berhambur ironi
siapa yang mentertawai hari
di musim rancu berlalang-lalu
tanpa muka
tanpa hati
siapa meninggalkan musim
mengejar masa tak berpunya
di ujung gapaian terburai gelak
tak sesiapa mengajakmu melipur
sekian luka sekujur waktu
gerangan lalu bermata sebelah
siapa meninggalkan masa
mengejar cita di luar realita
teluk meulaboh, Juli 2019
Salman Yoga, dkk. | 99
Syarifuddin Arifin
Di Museum Tsunami
di museum tsunami
aku menyaksikan tuhan membasuh kesumat yang kusut masai
berbilang tahun api membara
membakar cinta
dan gelombang dahsyat itu menggulung segala yang dirawat dengan
kasih sayang
lalu hujan mengubur dendam sedalam-dalamnya
konflik pun jeda
lalu gencatan senjata, lonceng perdamaian bergema
para kombatan menyusun bedil tanpa peluru
serdadu masuk gampong dan berkata, kita sedarah
bersama mencuci hati yang dulu tersembilu
di museum tsunami terpajang kuburan massal tak bernisan
ribuan korban, ruhnya damai di alam sana
seakan bertanya;
masihkah mantan kombatan berebut jabatan?
Lhongraya, 2018.
100 |Seperti Belanda
Di Pondok Sepi, Gerbang Makam Teuku Umar
(bersama Abdul Hadi WM)
di gerbang makam pahlawan itu
setelah terseot menghela langkah
aku terkapar di pondok sepi
penuh kotoran burung yang bebas
hinggap dari dahan ke dahan
mengepak sambil bernyanyi
mematuk ulat atau cacing atau buah
tanpa curiga atas kehadiranku
"lihatlah burung-burung itu, alangkah cerianya. bebas menikmati alam
terbuka" katamu
lalu seperti menjemput masa lalu
membaca junjungan cut nyak dien itu
menghadang si puteh*
bersama ribuan burung yang terkapar membiarkan bulunya
berterbangan jadi syuhada
menyuburkan tanoh indatu **
sampai hari ini
terkapar di pondok sepi dan bermimpi
melahap kari kambing di rumah kenduri
makam pahlawan itu, terasa semakin sepi
Meulaboh, 2016
* sebutan orang Aceh terhadap Belanda
** negeri leluhur.
Salman Yoga, dkk. | 101
Teuku Dadek
Makam Pahlawan
Taman kedamaian
para syuhada tanpa pamrih
sekarang semakin redup
tidak ada pahlawan yang disemai
ketika helm jatuh, seorang prajurit mabuk
Tanah mu menerima jasad mereka yang berpangkat
Taman pahlawan
taman prajurit yang berpangkat
bukan taman mereka yang pahlawan
Taman yang bercampur bunga melati dengan bunga taik ayam
Meulaboh, April 2016
102 |Seperti Belanda
Teuku Rifnu
Dongeng Untuk Lala
Selamat pagi putriku
Kita hanya bermain..
bukan bencana, anakku
Kita hanya bermain..
Pejamkan matamu
Peluk aku
Aku akan bercerita, tentang istana boneka di atas sana.
Kita akan bermain
Bermain..
Buka matamu anakku
Hapus air mata, berikan senyummu
Lihat disana, kebun bunga semerbak harum, tinggalkan perih,
hilangkan sakitmu.
Kita dapat bermain
Bersama Tuhan dan penghuni surga..
Salman Yoga, dkk. | 103
Ulfatin Ch
Tanahmu Istimewa
Masih juga kudengar gemuruhmu, Aceh
riuh dihantar gelombang dan angin
gelombang dan angin yang mendesau bagai mesiu
bertahun-tahun yang lalu, bertahun-tahun silam
meraung dalam risau
Para pengungsi yang terusir dari kampungnya sendiri
memilih berdamai dengan angin dan hujan
angin dan hujan malam hari tanpa senapan juga makan
Inilah tanahmu yang istimewa, tapi ia tanahku juga
dukamu, dukaku juga
15 tahun yang lalu. Ya, 15 tahun sudah
Kita akan kenang kembali masa suram, kita ingat lagi luka
tapi kita tatap juga masa depan jaya
Kita ingat perjuangan Teuku Umar, Cut Nyak Din, dan Keumala
Hayati
yang perkasa. Kita ingat sejarahnya. Jangan dilupa
2020
104 |Seperti Belanda
Masih Ada Rumah
Masih ada rumah
setelah rumah kita dihantam gelombang
masih ada saudara
setelah saudara kita ditelan bencana
masih ada laut masih ada nelayan masih ada kata masih ada cinta
dan jendela untuk menengok bulan ketika purnama
Kita bayangkan
Betapa mudah dulu kita gambar bulan
di atas tanah yang kini retak
Betapa mudah dulu kita kembangkan layar
di atas perahu yang kini pecah
Betapa mudah dulu dan dulu sekali
betapa mudah kita lepas
kata-kata reformasi. Seperti ledakan bom teror
menghantam Merriot atau sebutir peluru
yang menghujam dada Nordin M Top
Maka kukatakan padamu
laut ini tak pecah
hanya retak di pinggirnya saja
terkikis gelombang besar, badai besar
gemuruhnya masih terdengar di sini
bagai nyanyian anak nelayan mendayung perahu
laju sampai jauh
2013
Salman Yoga, dkk. | 105
Vera Hastuti
Surau
Surau di ujung jalan kian sepi
Tinggal kayu rapuh sebagai penyangga
Atapnya di gerogoti rayap
Ketika hujan menabuh malam
Kuyup ia tergenang
Lembab dingin memeluk kabut
suram sajadah serupa sepinya malam
diam dalam beku
Surau di ujung jalan
Di seperempat malam
Ada rindu yang terpendam
Sajadah suram kugelar
Menggoda hati yang kelam
Untuk kembali fitrah
Bersama dosa
Yang melekat pada sekujur tubuh
Takengon, Januari 2020
106 |Seperti Belanda
Wannofri Samry
Sajak Dua Wanita
1/ Malahayati
Malahayati, puluhan tahun muncul dibenakku
bagaimana senjata keluar dari selendangmu
dan memanggil 2000an janda yang merana
setiap aku melintasi laut, ada dalam batinku,
kapalmu berlayar dalam kepalaku
alegori seorang ibu datang ke medan laga
aku mengenalmu pada sebuah kapal
yang beralayar di arus sejarah yang dalam
dalam gertak dan cekak, dalam ombak bergulung
kubaca nyali seorang perempuan yang menarik
kutemukan pesan kematian untuk penjajah
berlayarlah terus dalam alam keabadian
berlayarlah ke alam nyata, berbisik kepada gadis-gadis manja
gerakkan para dara, gerakkan para janda
kau bisikkan, “negeri ini sejengkalpun tak diraih percuma”.
memandang matamu di sebuah gambar,
menikam pedang dan rencong
ada kekasih yang terluka demi mengusir si bedebah
Jari lentikmu yang cantik telah kau kawinkan dengan kemenangan
cornellis de houtman meregang nyawa di kaki-kaki para wanita
dan kau berlayar menghidupkan harapan, marwah berbangsa
mengirimkan kasih di kedalaman sejarah
: malahayati yang membebaskan ribuan para janda
seorang ibu yang hilang dalam catatan
sedang mengapakah kau di syorga?
Salman Yoga, dkk. | 107
1/ Cut Nya’ Dien
Aku anak perantau, pantang surut jika tak menang
terbujur lalu terbelintang patah, itu kata ayah
kau boleh maju, aku berada di bawah desing peluruh berapi
mencari dirimu yang akan merubuhkan pusaka kami
aku anak perantau, tak pernah menangis dalam susah
dalam nadiku darah negeri mengalir, menghanyutkan penista dan
pemerkosa
dalam ruang tubuhku tak ada tawar, degup hati sudah pasti
mata rencongku tak pernah kesepian, matanya tajam sebelum tuan
angkat kaki
di badannya zikir para sufi yang membuat semua menjadi dingin
tuan-tuan, aku janda ditinggal mati namun aku hidup untuk negeri
hutan yang sunyi bagiku tiada sepi dan nyeri
tuah selalu abadi setelah aku mati.
Padang, 2020
108 |Seperti Belanda
Dari Serambi
Di halaman serambi itu perempuan-perempuan menanam bunga
jauh di kedalaman waktu menjalar dalam ruang-ruang yang merdu
bunga-bunga yang cantik dari tangan sultanah dan para cut yang
bermata ibu
mekar disambut matahari wangi disambut ribuan bulan purnama
serambi ibu dari segala taman, hulu dari sungai-sungai merdeka
mengalirkan mata air, menyebarkan cahaya menyebarkan wangi ke
pulau-pulau yang terpisah
: kita tumbuh dari rahim yang sama dari urat yang sama
kita hidup dalam cahaya dan sinar sempurna
dari serambi akar-akar itu menjalar, wangi itu menyebar
jauh di kedalaman waktu, sebelum Soekarno dan Hatta berpidato di
pengangsaan
juga sebelum kartini mengirim surat cinta dan derita
sebelum kuli-kuli dipekerjakan di kebun–kebun
sebelum mandor diajarkan mencatat
kita sudah ada, hulunya ada di serambi
airnya mengalir ke berbagai negeri mengantarkan kesejukan
bunga tumbuh di serambi akarnya menjalar untuk negeri
membawa keindahan langit
serambi dan bunga-bunga yang kau tanam di halaman
akan tetap abadi, akarnya terus menjalar merajut pulau-pulau
menyebarkan senyum sultanah dan cut dalam mimpi.
Padang, 2020
Salman Yoga, dkk. | 109
Wayan Jengki Sunarta
Singgah di Banda Aceh
pernah aku singgah di Banda Aceh
kususuri senja, kurenungi kota
orang-orang melirik aneh
aku asing di mata mereka
aku mampir di kedai kopi
betapa nikmat kopi kuteguk
lirikan-lirikan aneh masih mengulitiku
apakah wajahku berubah jadi alien?
dengan tubuh ceking dan rambut gondrong
mungkin mereka duga aku intel menyamar
atau milisi turun gunung
sungguh tak mudah menjadi diri sendiri
di negeri yang saling mencurigai
di negeri yang menyimpan rapi
dendam dan sakit hati
2020
110 |Seperti Belanda
Tugu Kilometer Nol Indonesia
dari nol kilometer
menuju hatimu
tak ada yang tahu
berapa jauh jarak hidupku
mampu terukur
di negeriku
kawan dan lawan
seperti dua sisi
mata pedang
di sini kedamaian
sumringah indah
seperti lautan dan hutan
bercahaya dalam kalbu
dari nol kilometer
menuju hatiku
kau akan tahu
betapa dekat
jarak hidup kita
2016
Salman Yoga, dkk. | 111
Willy Ana
Pidie Jaya
Angin subuh mengayun
dengan goncangan
Mengubah dengkur
menjadi pekikan
Menjilat habis
terkikis
6,5 SR itu
datang dengan gigi-gigi tajam
Menyibak luka lama
jadi kembali berdarah
Matahari menjadi air mata
bersama doa-doa subuh
Membelah pagi
membelah mimpi
Depok, Desember 2016
112 |Seperti Belanda
Wina SW1
Sejauh Jarak
Sejauh jarak pun tertempuh
jeritan tanpa suara dari bumi berdarah
tetap saja menggeunta
meretakkan sukma
getarnya merambat sampai esok
menyisakan dendam pada
setiap bayi lahir
semua bicara tentang perdamaian
(sementara peluru terus saja ditembakkan ke dada
rakyat yang papa)
semua mendengar
semua melihat
semua merasa
semua…
ikut menaikkan bendera duka cita
dan mengirim tanda berkabung
namun, tak satu jua pun
mengembalikan yang terampas
tak usah bicara lagi tentang luka
tentang nasib anak-anak kami
tentang perempuan-perempuan kami
tentang bapak-bapak kami
tentang saudara-saudara kami
yang tergusur dari tanahnya sendiri
Salman Yoga, dkk. | 113
sejauh jarak pun tertempuh
jeritan tanpa suara dari bumi tanah rencong
tetap saja membelah hari
namun tak jua mampu
menyentuh matahari
agar bersembunyi sejenak
biar hujan mengguyur duka
yang terlanjur mengering
bukan luka dan darah
yang menghadirkan perih
mengiris batin dan membuat air mata
tak lagi bersisa
ketegaan sang pemuka dan saudara sekandung
yang dengan sadar mengirimkan mimpi buruk
dan merampas esok
setelah segala kerelaan dan kejayaan
kami persembahkan
sejauh jarak pun tertempuh
jeritan tanpa suara dari bumiku
terus saja menggumamkan doa-doa
dan kepasrahan pada-Nya
Illahi Rabbi, sang penguasa agung
yang tak pernah abaikan suara
insan-Nya
sejauh jarak pun tertempuh
jeritan tanpa suara dari tanah aceh
masih terdengar jelas
entah sampai kapan
Kyoto, Juli 1999
114 |Seperti Belanda
Zaim Rofiqi
Untuk Aceh, Untuk Indonesia
Dalam perjalanan,
lama sudah bercakap
75 tahun (dan mungkin terus).
Ada yang dikatakan,
ada yang ditanyakan.
Seperti teman lama
kadang padu, kadang beradu,
tapi yang aku tak tahu
kenapa tak juga kau sebut namamu?
Kita teruskan perjalanan
dan aku mencoba bersabar.
Namun tetap saja:
matahari hanya memberi hitam
cair bayangan yang tak kukenal,
juga lukisan-lukisan lain yang menakutkan
Salman Yoga, dkk. | 115
Zulfaisal Putera
Takakan Bisa Kulunasi Utangku Padamu
Bila ditanya kepadaku
apa yang membuatku malu kepadamu
maka jangan Kau harap
aku sanggup menjawabnya
bahkan mataku pun
takakan kuat menatapmu
seperti ada pisau api
yang menoreh sampai ke ulu hati
tersebab malu itu
sudah berpuluh puluh tahun
membatu
di negeriku
Tentu aku terus mengingat
di lapangan Blang Padang
di depan rakyatmu
berapi api, mengetuk hatimu
“Aku meminta kepadamu
hai pemuda-pemuda,
pemudi-pemudi,
ulama-ulama,
saudara-saudara,
anak-anakku dari angkatan perang,
segenap pegawai,
segenap rakyat jelata
yang berkumpul di sini,
di seluruh daerah Aceh,
marilah kita terus berjuang,” *)
itulah awal segala
ketika dirimu
bergerak mengalungkan tekad
membantu negeriku
116 |Seperti Belanda
Aku takakan lupa
1949, 1950, 1959
seluruh rakyatmu
meluruh gelang, kalung, dan uang
bahkan hidupmu
yang kemudian menjadi gelombang utang
yang menjadi udara
untuk menerbangkan
sebuah pesawat Dakota
alat berjuang negeriku
mengusir sekutu
dan cahaya kuning di pucuk Monas
yang menjadi pusat peradaban
ibukota negeriku
Sekarang, obligasi obligai di tanganmu
takpernah bisa kutanggapi
kecuali janji untuk mengganti
yang takpernah jadi jadi
Aku tahu dirimu takpernah lupakan itu
walau takakan bisa
kulunasi utangku padamu
dan maluku padamu
Daud Beureueh,
serta jutaan rakyatmu
adalah malu pemimpin negeriku
yang sudah berpuluh puluh tahun
membatu
di negeriku
Banjarmasin, Agustus 2020
*) Pidato Soekarno di lapangan Blang Padang, 18 Juni 1948
Salman Yoga, dkk. | 117
Perempuan Aceh, adalah Benar
Aku pelajari dirimu
dari cerita matahari
yang dititipkan pada samudera
hingga tercatat
Siti Islam dalam Hikayat Siti Islam
Siti Khazanah dalam Hikayat Abdurrahman
hingga Putri Sa’ila dalam naskah Burma Intisa
bahwa Kau
adalah perempuan halus budi
tapi berjiwa baja
Kau memangul cinta
tapi juga menyangga senjata
untuk sebuah
harga diri tanah rencong
Aku saksikan dirimu
pada layar langit
yang dipantulkan ke bumi
aku yakini
sebutan “de leidster het verzet”
dan “grandes dames”
adalah benar
bahwa telah terbit
Putri Lindung Bulan,
Puteri Pahang,
Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu,
Ratu Safiatuddin,
Ratu Naqiatuddin,
Ratu Zakiatuddin, dan
Ratu Keumalat Syah
adalah benar
bahwa telah menjadi lecut
Laksamana Keumalahayati,
Teungku Fakinah,
Cut Nyak Dhien,
118 |Seperti Belanda
Cut Meutia,
Pocut Meurah Intan,
Pocut Baren, dan
Teungku Fakinah
yang ditakuti musuh
adalah benar
Maka takadalah keraguanku
menerima sirih darimu
seperti dalam Ranup Lampuan
wahai perempuan Aceh
sanubariku memandangmu
bahwa telah menjelma
makhluk paling cantik
berkulit bening telaga
berhidung kuntum melur belum kembang
berdagu lebah bergantung
bermata bintang timur
dan berlampai bagai pimping di lereng
adalah benar
sesungguhnya
kau bidadari sorga
yang dijelmakan Tuhan
di serambi-Nya
Perempuan Aceh
sejarahmu seterang siang
seredup malam
bahwa Kau
menjadi imam
sekaligus makmum
yang takbisa diabaikan
sepanjang sejarah Nanggroe
adalah benar
Aku cemburu padamu!
Banjarmasin, Agustus 2020
Salman Yoga, dkk. | 119
Zulfikar Kirbi
Mengingat
Alm. Tgk.Abdullah Syafi'e*
ketika itu
di negeri serba salah
sungai-sungai memerah
berbau amis air mata
ketika itu
tak sangka tembaga melesat nyala
bersarang di dada
dari bedil saudaranya sendiri
hari ini
menyiram dan menabur bunga
melur, seulanga, jeumpa
keupula, mawar, melati, kemboja
mewangi tanah kuburan Ayah Lah
malam ini
berbatas pohon jarak
kubaca Al-fatihah
Banda Aceh, Desember 2013
120 |Seperti Belanda
Aceh dalam Pelukan Ibu Pertiwi
Christine Hakim
Tuhan sudah menulis cerita kehidupan di alam semesta ini jauh
sebelum langit dan bumi diciptakan. Begitu pula dinamika kehidupan
di Tanah Rencong tercinta. Dari zaman keemasan Kesultanan
Samudera Pasai, hingga masa konflik dan tsunami. Ketentuan Tuhan
yang Maha Esa tidak bisa kita untuk menolaknya, kecuali menerima
dengan ikhlas ujian tersebut sebagai bentuk pertautan kita kepada-Nya.
Kita masih mengingat, 16 Desember 2004 lalu, setelah sekian lama
berkubang konflik, dengan puluhan ribu korban baik lelaki dan
perempuan, Aceh kembali berduka. Pesisir Aceh saat itu kena musibah
tsunami yang mengakibatkan 230 ribu masyarakat meninggal dunia dan
280 ribu lainnya diberitakan hilang.
Fase konflik ke musibah ini tentu memberikan pelajaran penting dalam
perjalanan peradaban Aceh. Aceh pada masa konflik, dan masa
musibah membuat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) beserta Pemerintah
Republik Indonesia (RI) saat itu berdamai untuk sementara waktu,
hingga mencapai titik kesepakatan damai 15 Agustus 2005, beberapa
bulan setelah tsunami.
15 tahun setelahnya, yakni 15 Agustus 2020 perdamaian itu masih kuat
mengakar. Aceh masih menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia.
Tetap masih dalam pangkuan ibu Pertiwi.
Pada akhirnya buku ini mengingatkan kita seperti yang ditulis penyair
Ahmadun Yosi Herfanda dalam puisinya, sudah terlalu banyak yang pergi,
cukuplah. Tak perlu kau salahkan senapan itu lagi, begitulah harapan kita.
Harapan yang besar dalam dada ini juga demikian bunyinya.
Perdamaian, adalah barang baru dan megah yang harus dipertahankan
dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai pulau Rote.
Salman Yoga, dkk. | 121
Buku puisi di tangan Anda ini, adalah buku puisi menyambut 15 Tahun
Perdamaian Aceh, yang saya sebut sebagai pencatat riwayat bara api.
Di dalamnya, terdapat banyak puisi yang menginterpretasikan berbagai
kejadian di Aceh, mulai dari masa konflik, musibah maha dahsyat
Tsunami, hingga masa perdamaian.
Puisi-puisi yang ditulis tersebut mencermikan kesedihan, kegembiraan
hingga kepada cahaya harapan. Artinya, begitu banyak harapan baru
yang akan membawa Aceh tetap dalam perdamaian sampai kapanpun.
Olehnya, saya ucapkan selamat kepada panitia dan kepada para penyair
yang sudah menyumbangkan karya mereka untuk dapat disertakan
dalam buku ini. Semoga buku ini bisa menjadi cermin buat kita untuk
mengintrospeksi diri dan membuat kita tetap rendah hati. Karena
Tuhan tidak suka kepada orang yang sombong.
15 Agustus 2020.
122 |Seperti Belanda
Emha Ainun Nadjib
Indonesia Berterima Kasih Kepada Aceh
_________
Indonesia berterima kasih kepadamu, Aceh
karena kesetiaanmu untuk berbagi
berbagi cinta, berbagi keringat dan air mata
untuk merakit pulau-pulau kebersamaan yang mesra
Indonesia berhutang budi padamu, Aceh
Sebab engkau bukakan pintu dengan senyuman
kau robohkan pagarmu, kau rekahkan sawah dan ladang
untuk bercocok tanam hari depan seluruh negeri
Cinta selalu menuntut pengorbanan
dan engkau memberikannya
sesekali cinta juga meminta nyawa
dan engkau mengorbankannya
rangkian cinta, harapan janji, tangis dan darah
tak segan-segan engkau mengkongsikannya
Indonesia memohon maaf padamu, Aceh
jika ada sibukan Indonesia yang mengaku Indonesia
Indonesia berterimakasih padamu
Indonesia menundukan muka dan berkata:
"Aceh tak perlu kaubanggakan darimu, sebb akulah yng wajib bangga
atas dirimu"
Banda Aceh, 14 Juli 1992.
Sajak ini dibacakan oleh Emha Ainun Nadjib di Gedung Sosial Banda
Aceh dalam salah satu event Festival Baiturrahman, tahun 1992.
Salman Yoga, dkk. | 123
Biodata Penulis
Abu Rahmat, adalah nama pena dari Rahmatsyah, S.Pd. Beberapa
karyanya pernah menghiasi media cetak, elektronik juga termaktub
pada event sastra daerah, nasional dan tingkat Asia. Selain menulis
puisi, ia pernah terlibat pada beberapa pementasan teater, muspus, film
pendek fiksi dan dokumenter. Buku Puisinya adalah Lukisan Senja dan
Amnesia. Saat ini menetap di Lhokseumawe.
Adam Zainal, lahir di Bireuen 1991. Dia menulis novel, puisi, dan juga
seorang jurnalis. Saat ini bekerja dan menetap di Aceh.
Aflaha Rizal, bernama lengkap dengan Aflaha Rizal Bahtiar, lahir di
Bogor 1997. Merupakan mahasiswa semester akhir Komunikasi, di
Universitas Pancasila. Puisinya terpublikasi di media online, Radar
Selatan, Koran Tempo, dan Mata Puisi 2020. Karya yang telah
diterbitkan berupa kumpulan cerpen secara indie: Cuaca Sama (2016),
Cuaca Sama II (2017), dan Kenangan Tidak Terbuka (2019). Cerpen
terbarunya sedang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Inter
Sastra. Mengikuti pada Festival Sastra Bengkulu 2019 sebagai penulis
terbaik.
Ahmadun Yosi Herfanda, lahir di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah
1958. Penyair religius-sufistik ini adalah salah seorang penggagas dan
pencanang forum Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) – forum
penyair yang diadakan secara bergilir di Negara-negara Asia Tenggara,
dan salah seorang konseptor serta deklarator Hari Puisi Indonesia
(HPI) yang dirayakan tiap tahun sejak 2014. Selain puisi, ia juga banyak
menulis cerpen dan esei sastra. Sejak 2010, mantan redaktur sastra
Harian Republika ini mengajar Creative Writing dan Story Telling pada
Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Serpong. Ia sering menjadi
pembicara dan pembaca puisi dalam berbagai forum sastra nasional
dan internasional di dalam dan luar negeri.
Ali Syamsudin Arsi, lahir di kampung Tubau, Hulu Sungai Tengah,
Prov Kalsel. Menerbitkan 7 buku ‘Gumam Asa’: Negeri Laut pada
Sekeping Papan, 2009), Tubuh di Hutan-hutan (2009), Istana Daun Retak,
124 |Seperti Belanda
2010), Bungkam Mata Gergaji, (2011), Desau (2013), Cau Cau Cua Cau
(2014), dan Jejak Batu Sebelum Cahaya (2015). Ia juga menerbitkan
kumpulan puisi, esai, pantun berkait, cerpen. Editor beberapa buku
kumpulan puisi. Tergabung di banyak buku kumpulan puisi. 1999
penerima penghargaan sastra dari Bupati Kotabaru, Gubernur Kalsel
2005, Kepala Balai Bahasa Kalsel, 2007, tiga kali berturut-turut
penghargaan sastra dari Walikota Banjarbaru, Acarya Sastra peringkat
1 Badan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. Tahun 2015
diundang UWRFi 2016, BWC. Mendirikan Lembaga Kindai Seni
Kreatif. Tahun 2020, ia menerbitkan buku kumpulan puisi Stadium
Tanah Ibu. Sejak 2005 aktif mengembangkan metode Tulisan Berpindah
Tangan. Email: [email protected].
Arafat Nur, adalah penulis puisi dan prosa mendapatkan berbagai
penghargaan bergengsi tingkat nasional. Sebagian karyanya telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit di Amerika. Buku-
bukunya diterbitkan Gramedia Pustakan Utama dan mengalami cetak
ulang, yaitu Lampuki (2019), Tempat Paling Sunyi (2015-2019), Tanah
Surga Merah (2017), dan Bulan Kertas (2017). Buku puisinya yang telah
terbit adalah Keajaiban Paling Hebat di Dunia (2017) dan Hatiku Sakit
Sekali (2020).
Arika Husnayanti Aboebakar SpOG (k), lahir di Medan 7 April
1976. Menulis puisi bagi dr Ika (panggilan akrab dirinya) dapat
merelaksasi dirinya di sela-sela aktivitasnya sebagai dokter spesialis
obgyn agar lebih berwarna. Perempuan berdarah Aceh ini menulis
buku Kisah tercecer, Perempuan dalam Dunia, 6,5 SR, dan Pernak pernik
Pidie. Intinya kelahiran Medan 7 April 1976 ini sangat mencintai
seni.
Ayi Jufridar, lahir di Bireuen, Aceh 1972. Menulis novel, cerpen, opini,
dan puisi di berbagai media di daerah dan nasional. Puisinya antara lain
masuk dalam antologi Aceh Dalam Puisi (2003), Maha Duka Aceh (2005),
Lagu Kelu (2005), Secangkir Kopi (2013), Jejak Hang Tuah Dalam Puisi
(2018), Sesapa Mesra Selinting Cinta (2019), Dari Negeri Poci 9 (2019), dan
Segara Sakti Rantau Bertuah (2019). Diundang ke UWRF 2012, BWCF
Salman Yoga, dkk. | 125
2018, serta Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) 2019. Di luar kegiatan
kepenulisan mengajar di Universitas Malikussaleh.
Desi Ulvia, lahir di Medan 1997. Puisi dan opini dimuat di
Radarindonesianews, Acehtrend, beritakila dan infonanggroe. Pada
tahun 2018, dia pernah mewakili UIN Ar-Raniry ikut dalam Kerja
Budaya di Takengon, Aceh Tengah. Bukunya adalah Dalam Mahabbah
Rindu.
Dheni Kurnia, lahir di Airmolek, Indragiri Hulu, Riau. Wartawan dan
Penyair. Pernah menjadi Pengurus PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia) Pusat (2014-2019) dan Ketua PWI Riau (2008-2018).
Menyelesaikan Studi di Fakultas Keguruan Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia Universitas Riau. Dua buku puisinya menjadi Buku Terbaik
Hari Puisi Indonesia 2018 (BUNATIN) dan 16 Besar HPI 2017 (Roh
Pekasih). Buku puisinya "Olang 2" mendapat penghargaan khusus dari
Universitas Sultan Azlan Syah (USAS) Perak, Malaysia. Olang 2 sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul; Eagle Ghost
2019.
D Kemalawati, lahir 1965 di Meulaboh, Aceh. Ia adalah salah seorang
penyair modern Indonesia, Pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh,
Pemenang Hadiah Sastra Pemerintah Aceh. Alumnus Fakultas
Pedagogis Universitas Syiah Kuala, bekerja sebagai guru matematika di
sekolah menengah. Antara pendiri Lembaga Kebudayaan dan
Masyarakat Lapena 1998, Pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh
2016. Mengambil bagian dalam bengkel puisi Dimas Arika Mihardja.
D Zawawi Imron, lahir di desa Batang-batang, Kabupaten Sumenep.
Mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair
10 Kota di Taman Ismail Marzuki 1982. Tamat Sekolah Rakyat dan
melanjutkan di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan
sajaknya Bulan Tertusuk Ilallang mengilhami Garin Nugroho untuk
film judul yang sama. Kumpulan sajaknya Nenek Moyangku Airmata
terpilih sebagai buku puisi terbaik, hadiah Yayasan Buku Utama pada
1985. 1990 kumpulan sajak Celurit Emas dan Nenek Moyangku
Airmata terpilih sebagai buku puisi di Pusat Pembinaan dan
126 |Seperti Belanda