Desing Peluru Mesiu
di tubuh hutan siron tak ada yang lelap
ingatannya terjaga merenungi pohon-pohon waktu:
tumbuh subur di ladang kecemasan.
ada yang merapal doa
sebelum tubuhnya bangkit dan menyala
dari gaduh desing peluru mesiu
lalu dari lubang senapan itu
kemanusiaan menjerit-jerit
dari bunyi ribuan kaki yang
berderit-derit lari dari kematian
sebab hari-hari dipenuhi elegi
meremas cemas di dada kiri
: jejak yang terbuang di terik siang
gunung - gunung dan hutan
menjadi saksi tewasnya rasa keadilan
benarkah kemerdekaan terlalu tinggi --untuk didaki?
di persimpangan kesedihan
orang-orang terkapar bersimbah darah
padahal perdamaian tak ada di ujung senapan
Agustus, 2020
Salman Yoga, dkk. | 27
Fakhrunnas MA Jabbar
Menghidu Sisa Mesiu dan Serdadu
puluhan tahun kelam
di mana-mana serdadu melepas mesiu
di rimba-rimba membungkam ucap merdeka
di mulut-mulut menganga tak sudah-sudah
puluhan tahun kelam
atas nama birahi jiwa
angkat senjata
melepas mesiu dendam
tak rela bumi dikeruk hingga ke ceruk dalam-dalam
pipa-pipa panjang disesaki gas hanya lewat begitu saja
rakyat tak rela
tanah rencong bergolak gerah
diperah jadi perasan
tak salah bila ingin merdeka
sebab merasa terjajah di negeri sendiri
begitulah sisa mesiu dan serdadu
tak cepat berlalu
Pekanbaru, Juli 2020
28 |Seperti Belanda
Tanah Rencong Ini
: t. iskandar johan
sebelum tsunami
jauh sebelum itu
kutapaki tanah rencong
memungut remah kenangan
di banyak pendakian dan tikungan
di belantara tak berpenghuni
atau buncah ombak di pantai-pantai sunyi
di belahan seulawah
di sebuah warung makanan
kunikmati secangkir kopi
kuhirup banyak kenangan
kurasakan debar serdadu masa lalu
menikam sejarah tanah rencong sesuka hati
begitulah perlawanan terjadi
tanah rencong diburu serdadu sendiri
atas nama kekuasaan
sejuta mesiu dihamburkan
tak hanya rimba dan meunasah
darag berceceran di kitab-kitab sejarah
tanah rencong berkabung lama
di ujung kisah ditabalkan
aceh merdeka tinggal cerita
Pekanbaru, Agustus 2020
Salman Yoga, dkk. | 29
Fikar W. Eda
Kopi Pmtoh
Kopi tanah Gayo
Dengan PMTOH
Sampai ke jawa
1957 pendiri Toke Hasan
Buka trayek Aceh - Medan
Angkutan jalan raya
Tahun delapan enam
Penerus Hamid Hasan
Putaran roda sampai Jawa
PMTOH bawa penumpang
PMTOH angkut barang
Nyeberang Solo dan Jogja
Kini generasi ketiga
PMTOH di tangan cucunda
Jumadi Hamid namanya
Dulu penumpang ramai
perjalanan santai
Derai canda tawa
Mereka para transmigran
Dari Aceh Tengah dan Barat Selatan
Kampung halaman jenguk keluarga
PMTOH bawa kopi
PMTOH bawa petani
Melintasi Trans Sumatera
PMTOH angkut kopi
30 |Seperti Belanda
rakyat angkat topi
Berkarung goni sampai ke Jawa
Kini penumpang kurang
PMTOH angkut barang
Tak perlu gamang zamannya beda
Tiap pekan lima ton kopi
Tiba di Jakarta, Bandung, Bekasi
Pelanggan menanti di Pulau Jawa
Ayo minum kopi
Datang ke tempat kami
Mari menari gembira
Aromanya harum
Mari kita minum
Senyum istri tercinta
Kopinya enak
Pahit dan lemak
Disuka gadis atau jejaka
Ini Kopi Gayo
Tidak bikin loyo
Semangat 45
Minum kopi sendiri
Seduh kopi sendiri
Manfaatnya berganda
Di kantor ngopi
Di sekolah ngopi
Di perapatan ngopi
Di penjara ngopi
Di ruang sidang kopi
Salman Yoga, dkk. | 31
Orang alim ngopi
Orang setengah alim ngopi
Preman ngopi
setengah preman ngopi
Koruptor ngopi
Setengah koruptor ngopi
Maling ngopi
Setengah maling ngopi
Seniman ngopi
Setengah seniman ngopi
Penyanyi ngopi
Setengah penyanyi ngopi
Laki ngopi
Bini ngopi
Setengah laki ngopi
Setengah bini ngopi
Orang gila ngopi
Setengah gila ngopi
Teguk kopi sebelum
Benar-benar gila
2019
32 |Seperti Belanda
Seperti Belanda
Seperti Belanda
mereka atur siasat
membuat kami takluk
bertekuk lutut
Seperti Belanda
mereka rebut hati kami
dengan cahaya janji
sambil mengutip kitab suci
Seperti Belanda
mereka suguhi kami anggur
hingga kami mendengkur
lalu dengan leluasa
mengeruk perut kami
gas alam, minyak, emas, hutan,
sampai akar rumput bumi
Seperti Belanda
mereka pun menghunus sangkur
dengan senapan siap tempur
rumah-rumah digempur
masjid, meunasah
dibuat hancur
Melebihi Belanda
mereka perkosa istri-istri kami
mereka tebas leher putra putri kami
mereka bunuh harapan dan cita-cita kami
Melebihi Belanda
itulah Jakarta!
Jakarta, 1999
Salman Yoga, dkk. | 33
Gen's Gonzaga
Nangroe Aceh, Selepas Luruh
Di hari-hari kelam
Busuk daging, kurap, gudig, anyir darah
Sediakan makan burung-burung nasar
Selepas murka dasar samudera
Lalu tandas
Menggelimpangkan ribu-ribu harap
Sisanya memanggul bedil laras panjang
Menyandera nurani. Mati
Hari-hari berujung pilu
Darah beku
Luka mengering
Kamboja layu meratapi pusara tak bernama
Membangun ziarah doa
Sleman, Agustus 2020
34 |Seperti Belanda
Hasan Aspahani
Hari Ini Tak Ada Laporan Dari Aceh *
HALO! Ya, di sini Kutaraja.
TAPI hari ini tak ada peristiwa yang layak dilaporkan.
Tak ada. Memang, tadi ada suara berondongan senjata
yang mual-mual lalu muntah peluru. Ada juga suara orang
tertembak. Ya, semacam itulah. Tapi sesudah itu sungguh
hanya ada sepi. Sepi yang membekas pada lubang peluru yang
menembus huruf Z pada papan pengumuman ZONA DAMAI,
di tepi jalan yang lengang setelah dilalui panser dan tank,
sepi yang menggigil di redam jam malam.
HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja.
TAPI, hari ini masih tidak ada berita. Memang, tadi ada
lagi yang tertembak. Tentu saja luka. Tentu saja ada darah
panas yang tumpah. Tapi, setelah itu segera saja dingin
merembes ke tanah. Tewas? Mungkin saja. Tapi, nanti saja.
Kita pastikan jumlahnya. Memang tadi ada beberapa yang
terkapar lalu diselimuti dengan kain spanduk CoHA
(Kesepakatan Penghentian Permusuhan). Memang tak jelas lagi
terbaca tulisannya. Merah huruf merah darah terbancuh jadi
bercak-bercak bahang, lalu hanya amis yang mengeja udara.
HALO! Ya, masih di sini. Di Kutaraja...
Mei 2003
Salman Yoga, dkk. | 35
Hasbi Burman
67#Hallo Indonesia
Hallo Indonesia,
Di sini Hasbi Burman yang sedang meratap
Atap-atap yang bocor dan basah renyah
Kening ayumu menggoda
Anak lanang rindu harapan
Dan yang kehilangan
Segala-gala
Hallo Indonesia
Di sini kami para penyair
Yang tidak mendambakan kerusuhan
Menunggu jatah hidup
Di mana kami sedang berada
Indonesiaku
Engkaulah yang sedang berlayar
Membawa basa-basi
Kami bersamamu sedang membenah
Naluri-naluri besi
Kutaraja, Agustus 2005
36 |Seperti Belanda
Herman RN
Kenangan
(mengenang janji damai Aceh)
setelah bala kalian berjanji
membersih diri dengan salam
berjabat tangan di luar negeri
kota Helsinki suatu malam
nun di sana di balik kabut
berpagut larai mengurai dendam
agar malam tak lagi bercerabut
negeri kemelut dileraikan
tapi luka masih tertinggal
menggumpal jadi kenangan
menatap kepala-kepala sisa terpenggal
dan napas menyengal mohon ampunan
dapatkah itu semua diganti
dengan janji yang pernah terpatri
sementara di sini masih tersimpan
keresahan dan kematian yang terpaksakan
ini bukanlah sebuah keraguan
sekadar pertanyaan untuk direnungkan
berpasal ingatan dalam kenangan
sudah tahun belasan janji disumpahkan
kemana damai dimuarakan
jika keterbukaan masih sulit bagi tuan
Banda Aceh, Agustus 2020
Salman Yoga, dkk. | 37
Antara Gayo - Blang
Di antara celah bebatuan
Mengalir arus harapan
Membentang sejak Gayo hingga Blang
Pada Krueng Keutambe sampai Suak Belimbing
Pun Sungai Alas yang lumayan panjang
Sepanjang doa yang dipohonkan
Di kaki bukit Leuser nun menjulang
Mereka bercocok tani
Menanam mimpi masa depan
Memugar harapan kehidupan
Membelah batu kebuntuan
Untuk menyambung hidup sehari semalam
Ada tuntutan yang belum kering
Pascakemarau pemilihan kemarin
Ada permintaan yang belum lunas
Menjadi kecambah di antara rimbun kemiri dan gambas
Anak kecil butuh pendidikan
Bayi-bayi butuh asupan
Jalanan perlu perbaikan
Demi lancara roda kehidupan
Miris
Rimba hutan menjadi lahan
Dikapling mereka bernama tuan
Antara sungai Gayo hingga hutan Blang
Tersisa doa dan harapan
Sungai Ketambe, 05-15
38 |Seperti Belanda
Husnu Abadi
Doa Untuk Daud Beureueh
kalaulah ada doa yang ingin kuucapkan di tengah malam
adalah doa untuk Tuan
yang telah lama berjumpa
dengan zat yang Maha
doaku doa orang yang bersahaja
agar api negeri ini tidak padam oleh mata hijau para penguasa
agar kekayaan negeri ini tidak dihisap oleh naga-naga dari semua arah
angin
agar orang-orang papa
disapa sebagaimana mestinya
oleh para Sultan yang ada
Amien
Aceh- Riau, 1995-2020
Salman Yoga, dkk. | 39
Mengenang A. Hasymi
terasa baru kemarin
dua puluh lima tahun yang lalu
Ia berdiri dan berpikir
tentang negeri ini
maju dan beradab
moderen bermarwah dan berdaulat
mewarisi keagungan Sultan Iskandar Muda,
Ar Raniry dan SyahKuala.
terasa baru saja kemarin
tuan berkhutbah
untuk negeri ini
menjaga amanah
menjaga keshalihan
dan tetap berdiri tegak di antara banyak negeri
sebagai pusat peradaban
rasanya baru kemarin
tuan bersama kami
Banda Aceh- Pekanbaru, 1995 – 2020
40 |Seperti Belanda
Ihan Sunrise
1999
hufff
sulit sekali melupakanmu
sejak kutinggal hari itu dengan tergesa-gesa
sampai hari ini selalu membayangi
setiap jengkal yang pernah kupijakkan di tubuhmu
mengambang seperti bunga teratai di danau sepi
wangi tubuhmu setelah disiram hujan tak lekang dari hidungku
tanpa sadar aku sering mengendus-endus
ugh, wangimu tak pernah kutemukan di tempat lain
aku sudah beranjak jauh
tapi tanganmu selalu menggapai
menyeretku ke masa lalu yang canggung
bagaimana mungkin aku lupa
kutinggalkan kau yang tertatih dan merintih
kau bersimpuh: jangan pergi!
tapi aku tetap pergi
tapi kami tetap pergi
meninggalkanmu dengan harap bisa bertemu kembali
nyatanya tidak
perpisahan yang begitu lara
bahkan tak sempat saling menoleh untuk yang terakhir kali
surat kaleng itu begitu menghantui
memaksa untuk berkemas sesegera mungkin
meninggalkan rumah yang dibangun dengan keringat dan air mata
meninggalkan kebun yang buah-buahnya mulai ranum
kami pergi dengan iring-iringan rasa takut yang memerindingkan bulu
kuduk
sejak saat itu, aku tahu, kau jadi sangat kesepian: Dusun Pelita
Salman Yoga, dkk. | 41
Irawan Sandhya Wiraatmaja
Seperti Kudengar Napasmu, Aceh
Seperti kudengar denyut napasmu perlahan
berembus di antara basah gerimis, air mata dan darah
tubuh yang lelah, mata yang samar-samar menatap belantara
kedalaman hutan meranggas, pohon-pohon dan semak belukar
Kaki-kaki yang berjejak di tanah memerah, gemetar dan menggigil
terus memanggil di depan barisan dalam cinta dan kepedihan
teriakan kebesaran Ilahi tak putus-putus bersambung
dengan degup jantung dan urat nadi yang bergolak
“Kaulah perempuan yang bermuka-muka cahaya
membayang dalam hunusan rencong, ledakan senapan dan asap mesiu
terus menyeru dalam takbir dan tasbih”
Seperti kulihat tubuhmu Aceh dalam pelukan Ibu Perbu
yang tertatih-tatih di antara nyanyian syair burung perahu
perempuan yang tumbuh sebagai bungong jeumpa, semerbak
mewangi
Dari atas bukit kilometer nol, kulihat ombak beriak-riak sampai
pesisir
menghampir pantai mencium batu, karang dan hamparan pasir
seperti kulihat Fansuri menulis puisi dengan pena sufi yang terukir.
Tanah yang dibaca dengan luka dan cinta, di belahan makrifah.
2020.
42 |Seperti Belanda
Aceh: Di Mana Tersimpan Air Mata
Dari berbukitan tanah Gayo
Menurun angin rerimbunan, mencium
Semerbak harum kopi
Di gelas yang sisa
Di antara potongan kata-kata
Yang senja
Masihkah tersimpan air mata
Dari laut matamu
Dalam kenangan yang terjaga
Menghampar ombak
Berjulang ke temaram langit
Yang kehilangan
Beranda, dan anak-anak
Memungut kerang
Masihkah ada suara memanggil
Napas lirih, berucap tasbih
Yang akan merindu
Kapal-kapal berlayar, memintas kaki sunyi
Berangkat dan kembali, mengayuh waktu
Melempar jala, ikan-ikan berloncatan dan gelisah
Di manakah tersimpan air mata
Anak- anak belajar dan mengaji
Dalam beranda kaca: seperti kulihat mawar
Yang terus tumbuh, sepanjang pagar dan kebun
Di antara senja, di teratak
Bapak dan ibu menulis kitab dengan napas zikir.
2015-2020.
Salman Yoga, dkk. | 43
Isbedy Stiawan ZS
Aceh, dan Apa Kabar Saudaraku?
hurgronje! kaulah kali pertama
memetak-metakkan tanah ini, bukit-bukit yang
sunyi jadi persembunyian
kami. kami jadi kahfi; keluar
takut kepala ini diarak ke kota
yang juga sepi, kecuali riuh
peluru. jika pun sembunyi
di bukit-bukit atau goa-goa,
kami mati karena lapar dan
kesepian! sejak itu tanah
kelahiran kami semakin menggoda
untuk dicabik. oleh perang
saudara, keserakahan kuasa
dan kekayaan bumi yang
direbut-paksa
ingin bangun negeri di atas
negeri yang ada. menata rumah
dalam rumah yang besar
di mana-mana letupan kalimat
amat menakutkan: ingin merdeka
tapi untuk kemerdekaan itu
harus perang dan saling membunuh
sesama saudara sendiri
seperti ladang-ladang ganja
yang dibakar
kebun-kebun kopi dimusnahkan. dari gayo
hingga ke bukit lainnya. dibawa ke jakarta
di bawa ke entah negara lain
44 |Seperti Belanda
tapi kami hanya peladang
yang meradang ketika panen
apa kabar saudaraku? aceh
yang bergolak sejak penjajah
tak habis-habis sampai merdeka
aceh, apa kabar?
terlalu mudah mengenalmu;
hurgronje, cut nyak, tsunami,
ataupun kegaduhan-kegaduhan bertumpuk lain
tapi, bagaimana pun, aceh
tetap pesona. serupa gadis
cantik bermata biru
membuat kami amat rindu
Lampung, 2020
Salman Yoga, dkk. | 45
Menyusuri Sisa-Sisa Kota
airmataku berurai jauh!
ingin membuat lumbung
untuk menabung agar tak
berubah laut yang menerjang
kota kita kedua kali. sampai
benar-benar tak bersisa
selain rumah-Mu dan orang-orang
yang selalu menghadapkan
wajahnya ke kakbah
aku menyusuri sisa-sisa kota
yang baru dilantakkan air raya
kota kita yang menulis banyak
cerita. sejarah yang dijarah
cut nyak yang berdiri di depan,
berhadap-hadapan dengan
kompeni. meski tak masuk
kitab sang ibu emansipasi
tak apa. dari sini pula pesawat
terbang disumbangkan untuk
jakarta, meski kota ini
tak tercatat kemudian
pantai ulee, perahu di bubungan,
taman pemakaman sehabis tsunami
akan selalu berkisah
alangakah perih bagi langkahku
menyisir ulang peristiwa
pedih itu. kota yang kacau,
kita yang berlarian cari
persembunyian
saat bah itu menerjang
46 |Seperti Belanda
kala itu tiada Nuh
yang telah siaga
dengan perahunya
di atas bukit jauh
aku menyusuri kotakota
kita yang terasa sunyi
malam hari. mencari secangkir
kopi ditemani bibirmu berwarna
menghabisi malam tenang
tanpa gaduh peluru
dan jeritan orang
sebelum dijemput maut
kota kita
kita kini menjaganya
2018-2020
Salman Yoga, dkk. | 47
Iwan Kurniawan
Aceh dalam Angka
1998
10.349.000.000.000
1999
10.254.000.000.000
2000
13.945.000.000.000
2001
16.416.000.000.000
2002
11.000.000.000.000
2004
13.200.000.000.000
dom off-budget otonomi yayasan penggergajian Taman Nasional
Bukit Tigapuluh pasar gelap penyelundupan pelacuran narkotika
preman judi pembajakan perdagangan senjata reformasi damai
Sumber: Damien Kingsbury dan Lesley McCulloch (2006). Military
business in Aceh. Dalam Anthony Reid (ed), Verandah of violence:
the background to the Aceh problem, Singapore University Pres
48 |Seperti Belanda
J. Kamal Farza
Hujan Hari Nuzulul Quran
Hujan di hari nuzulul quran,
adalah siraman keberkahan,
basahi bumi Jakarta yang mengering,
basahi jiwa-jiwa yang gelisah
di bulan penuh makfirah.
Hujan di hari nuzulul quran,
pertanda baik buat seluruh insan,
Dia sedang membersihkan bumi,
dari penyakit, wabah dan prahara
kita harus bersiap diri menuju hari,
kesucian, kemenangan dan kemuliaan
Wahai semua yang di bumi
bersiaplah. Bersihkan diri bersihkan hati,
bersihkan segala iri, bersihkan semua yang kumal
dan kotor
bersiaplah menjemput kemenangan kita,
atas segala sabar, segala pasrah, segala gundah.
hari kemenangan akan tiba
dan kita adalah juara-juaranya!
Wahai segala yang wahai
singkirkan selimutmu, ayo bersihkan diri
menuju hari kesucian
hari yang benar-benar bersih
dari semua bala, dari semua nestafa!
Jakarta, Mei 2020
Salman Yoga, dkk. | 49
Jumari HS
Membayangkan Masa Lalu
di gasebuo ukir itu aku menemukan
Hening di guratan kayu jati
Aku tertunduk membayangkan masa lalu tentang pantangan
Sapi-sapi tak boleh disembelih di kota ini, dan
Ketakutan itu menjulang seperti menara dan gapura-gapura
Yang memperindah masjid tempatku bersembahyang
Atau mesyukuriMu.
Aceh
Kau adalah hutan-hutan membelukar dan lautan
Yang indah menyimpan damai, tak ada kebencian
Saudara-saudara adalah cahaya bertengger di langit zaman
Tak ubahnya bintang-bintang
Pertikaian hanya ujung kehancuran
Demikian, airmata menetes kata sendu sebab kasih sayang
Sunyi yang penuh rindu.
Kudus, Juli 2020
50 |Seperti Belanda
Kurnia Effendi
Sepucuk Tanda Mata
Aku berdiri di depan mereka, di depan
berpasang mata yang menggambarkan masa lalu
Jauh bertahun silam, mereka anak-anak
yang tak terlindung tabir malam
Alarm hanya untuk dua hal: hilang dari tatapan,
lenyap dari suara. Sekerat demi sekerat bulan
diterkam rahang ketakutan
Aku duduk dengan kegelisahan yang ditularkan
dari berpasang mata yang tidak menaruh dendam
selain rasa bersalah yang menikam-nikam
Ke mana selama ini aku berada? Dalam teror yang
mengisi masa kecil dan hal lazim saat seorang ayah
dijemput untuk tak kembali lagi pada hari yang
tak ingin mereka kenang lagi
Aku berbaring dengan kepungan seribu taring
Tatapan mata terus menagih perihal masa depan
“Damai seperti apa yang hendak kami raih? Keindahan
serupa apa yang sedang kalian rencanakan?”
Tak ada jiwa lebih bijak ketimbang tanah-tanah yang
menghampar dan kerinduan untuk ditanami seperti
hutan lain, dengan benih niat baik. Menunggu rimbun: mereka
anak-anak bangsa, mencintai negeri yang sama
Jakarta, Juli 2020
Salman Yoga, dkk. | 51
Setelah Jauh Pusaran Itu
- dari Laut Lepas Kita Pergi
Ismail masih memandang kelokan jalan
Kelokan yang memisahkan tali darah
Ia akan menyusun ingatan dalam sejarah
Sebelum daya dan harga dalam dirinya menyerah
Tiada gelap yang abadi meski yang dihadapi
semata kuburan mahaluas. Kematian nyaris tanpa batas
Tiada masa yang berhenti seperti halnya foto sekali jadi
Ia dipilih menjadi tokoh untuk menyibak hari nanti
Biarlah Meutia bermain dengan boneka dan entah
di serambi sebelah mana. Ia tinggalkan Emak yang
memasak di dasar laut atau pulau tak bernama
Tahun-tahun berkeramas membersihkan cemas
Ini pagi penuh musik burung kenari, pada bukit
ladang kopi. Harum semerbak surgawi
Ini pagi menyala tungku-tungku yang mengantar
aroma kari. Membesarkan harapan dan kata hati
Jakarta, Juli 2020
52 |Seperti Belanda
Larasati Sahara
Derita Kami Menjelma Cahaya
Kami cukup sabar
Menerima segala luka, segala duka, dari ranting tajam amarah tak
seharusnya
Tanpa aduh dan keluh, selain mengusap air mata dan darah
Sambil mengutip duri-duri pedih di jejak langkah
Menjadikannya lentera. Kami merapal doa-doa
Negeri kami menanam kasih dan cinta
Dari awal mula kemudian kami tak lagi miliki apa-apa
Semestinya, sudah cukup benci ditebar; negeri kami sentosa dan
damai
Seperti air kali mengalir setelah hari-hari muram
Malam diselimuti kabut, padang rumput dan batu-batu kedinginan
dipupur ketakutan
Tapi itu sebelum pagi hari ini, berlembar luka telah menjadi sejarah
Kini, kami kembali dengan riang membaca puisi dan barjanji
Makan malam di Anjong Mon Mata dengan kuah beulangeng racikan
tangan ma tuha
Pagi-pagi kami pergi ke desa, melihat kemuliaan Tuhan
Senja hari kami menuju kota, memuliakan nama-Nya
Kemudian kami kembali dari mana kami pergi, bola mata kami
bersinar, ketakutan sirna
Setangkup damai kami simpan
Dalam bilik dada dan ingatan
Kasih dan cinta kami bercahaya
Bersambut salam dan segenggam ranup lampuan
Dari tangan aneuk dara yang menjaga wangi seulanga
Dari pintu-pintu rumah seuramo meukah
Cunda, 170817
Salman Yoga, dkk. | 53
LK. Ara
Benteng Rikit Gaib 1904
Di lembar buku tua itu
kutemu gambarmu
kampung yang senyap
hanya tumpukan mayat-mayat
dan tiang bambu yang lurus dan layu
seperti tersedu
benteng Rikit Gaib telah rubuh
pagar bambu berduri runtuh
para pejuang negeri
telah dihabisi
oleh Van Daalen dengan keji
lelaki perempuan
orang tua anak anak bahkan
dibunuh secaya kejam
tanpa perikemanusiaan
Van Daalen memang mengirim utusan
Meminta pejuang agar suka perdamaian
Tapi pimpinan pejuang
Aman Linting
dan Reje Kemala Darna
Menolak saat itu juga
Karena di dada sudah ditanam
Pohon berbuah tabah
Lebih baik mati syahid daripada menyerah
Banda Aceh, /1/2012
54 |Seperti Belanda
Pesan
Untuk Radio Rimba Raya
Jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi menyampaikan pesan
Jangan kirim pesan lagi padaku
Karena aku tak dapat lagi mengirim pesan
Lihatlah, lidahku telah kelu
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Dulu memang pernah
Bisikmu kusampaikan ke balik gunung
Keseberang lautan ke negeri-negeri jauh
Dulu memang pernah
Detak hatimu
Cita-cita merdeka mu
Kukirim kesetiap hati sahabat-sahabatmu
Atau musuh-musuhmu
Di desa, di kota, bahkan di laut dan di rimba
Dulu memang pernah ada
Ucapan merdeka yang kau sampaikan bagai bisik
Kujeritkan sekeras-kerasnya
Hingga bergema menyentuh cakrawala
Bergelegar menjadi guntur
Merobek-robek angkasa
Hingga musuh gentar tak berdaya
Dan sahabat-sahabatmu mendegar ucapan itu
Bangkit
Bangkit, lalu berlawan habis-habisan
Semangatnya telah menjadi baja
Walau di tangan hanya bambu runcing saja
Dulu memang pernah
Saat malam menjelang pagi
Dengan suara menggigil karena dingin
Salman Yoga, dkk. | 55
Kusampaikan pesanmu
Tiktok tiktok hallo Sudarsono
Tiktok tiktok hallo Palar
Kirimi kami mentega
Kirimi kami susu
Kirimi kami beras
Kemudian datanglah kiriman
Dan yang datang adalah senjata
Lalu dibagi pada setiap tentara
Lalu mereka menembak musuh
Tepat di jidatnya
Dulu memang pernah
Ketika kita hampir tidak punya daya
Ketika suara di pusat negeri ini dibungkam
Kami bangkit menyuarakan nurani bangsa
Hallo dunia
Hallo dunia
Negeri kami masih ada
Negeri kami merdeka
Tapi sekarang jangan sampaikan pesan lagi padaku
Karena tak dapat lagi kusampaikan pesan apa pun
Lidahku kaku
Mulut tertutup
Tubuh tinggal bayang
Tinggal bayang
Dari ingatanmu pun
Mungkin akan hilang
Takengon, Januari 1986
56 |Seperti Belanda
Mahdi Idris
Arongan, Suatu Pagi
Boleh jadi, ini kenyataan mimpi ke sekian kali
saat aroma pagi baru muncul, seisi kampung
menyeruak aroma peluru. Seorang buron tertembak
tapi para tentara membabi buta.
Para lelaki ditelanjangi di depan meunasah,
moncong senjata ditodongkan ke dada.
“Anggap saja, ini pagi pembalasan
atas perlindungan kalian terhadap pemberontak,”
kata seorang serdadu.
Rumah-rumah dihanguskan satu persatu.
hari Meugang yang seharusnya ceria, berubah neraka
yang tak hentinya menjulurkan lidah api.
Ketika senja turun menangkup kampung Arongan,
para serdadu makin garang.
Tanah Luas, 2020
Salman Yoga, dkk. | 57
Bukit Tengkorak
Kala hujan baru saja menghantam ekornya di lembah
Bukit Tengkorak, para lelaki telah tiba di lubang kematian,
mengantar jiwa raga yang telah ia jaga separuh hidupnya,
atau yang baru saja menginjak aqil-baligh
turut diangkut truk tentara atas nama pemberontak.
Mulut boleh saja mengulum zikir, tapi ia harus membayar
dengan luka sayatan dan tembakan di dada. Atau terkubur
hidup-hidup, melawan gumpal tanah gembur
yang disodorkan eskavator. Dan doa-doa terdengar riuh
di puncak bukit sunyi.
Setelah belasan tahun, ada satu dua lelaki
sebagai penyaksi atas peristiwa itu,
di sana terkubur ratusan belulang;
tengkorak-tengkorak berserakan
di bawah gundukan tanah.
Tanah Luas, 2020
58 |Seperti Belanda
May Yusra Soelaiman
Sepanjang Perang
jauh malam bapaknya pulang sambil menyusup
antara ilalang panjang dan kegelapan
tubuhnya menguar bau hutan
mata lelahnya mencari peristirahatan
sebab jelang pagi ia harus kembali
ke semak rimbun yang meninggi
angin memiuh menghantar serta para arwah
pergi mengecup kening anak istri di ranjang sepi
tak ada kunjung kuburan masa lebaran
sebab tubuh telah jadi renik
di dasar sungai,
di belantara hutan,
ditikam geligi binatang buas,
atau terbakar di kobaran api
sepanjang perang
malam datang terlalu cepat
dan tepat embun jatuh,
mata terbuka mencari pertanda
'Dimana Bapak berada, pulangkah ia semalam bersama para arwah?'
Punteuet, Agustus 2020
Salman Yoga, dkk. | 59
Mukti Sutarman Espe
Mari Melangkah
sudah kita lupakan suara-suara itu
suara-suara yang dahulu
mengganggu tidurmu dan tidurku
derap sepatu lars, desing peluru
dan jerit aduh tubuh-tubuh rubuh
sudah kita hapus kenangan buruk itu
kenangan atas darah yang tumpah
darah saudara seayah sebunda
yang pernah menggenangi tanah air kita
sudah
pertikaian sudah selesai
di helsinki
2 tangan sudah bergandengan
mata rencong balik ke sarungnya
burung garuda kembali ke sarangnya
apalagi yang mesti dipertentangkan
sedang di hadapan tergelar beribu impian
yang menantang segera diwujudkan
sudah
mari melangkah bersama
ke depan
searah setujuan
hingga gerbang kemuliaan
gan saling memuliakan
adakah yang lebih indah dari hidup
dengan saling memuliakan
mari
sebab jantung kita ada di satu dada
Indonesia
60 |Seperti Belanda
21 - 8 – 2005
hari itu
di lapangan blang padang
kusaksikan wajah-wajah sumringah
mereka yang kemarin berbeda pandang
kini duduk bersemuka
semeja
mereka yang kemarin sembunyi di hutan-hutan
mereka yang kemarin mencari ke hutan-hutan
kini berpeluk mesra selayaknya dua saudara
“ini kuserahkan 1.023 pucuk senjataku,” kata yang sembunyi
“ini kuberi pengakuan atas daulat asamu,” ujar yang mencari
kembang-kembang perdu dan rerumputan tergugu
tak kuasa menahan syukur haru
karena atas nama apa pun juga
tak ada perang yang membuat bahagia
apa yang bisa didapat selain kebinasaan
bila yang satu dan yang lain saling menghancurkan
dan 10.000 nyawa yang melayang itu
demi apa dan untuk siapa
tak ada perang yang membuat bahagia
di lapangan blang padang
hari itu
udara tumpat wangi setanggi
di atasnya dengan hikmat matahari mencatat
berlangsungnya perdamaian bermartabat
dua putra bangsa yang lama berselisih pendapat
Kudus, 2020
Salman Yoga, dkk. | 61
Mustiar Ar
Aceh
Kusaksikan orang-orang memamah bangkai
Saudara sekandung
Demi hidup demi sebuah jabatan
Ia menguliti kulit kepala bapakku, dan
Ia menari begitu gemulai
Di altar kedukaan kita
Meulaboh, 1976
MAK
Orang-orang itu. Menjarah asoe lampoh
Dan mengangkutnya ke kampung halaman
: Lada
Cengkeh
Buah pala, juga biji nikel dan batu hitam
Kita mematuk tanah kering berdebu
"Neuk, tangan emak tergari kini"
Juli 1990
62 |Seperti Belanda
Nanang Farid Syam
Senja Pantai Lhoknga
Sore di Lhoknga terasa sunyi dan damai
Debur ombak pantai Lampuuk bergulung gulung melukis garis waktu
Aku terbayang bujang gadisnya
Gadeh gadoh menyongsong magrib di meunasah-meunasah
Hari berganti hari diseret garis waktu
Demi masa
Darussalam yang indah dan damai menyisakan cerita masalalu yang
lebam
Crah Beukah!
Semua ada sebab musababnya
Kami mungkin dikenal suka marah
tetapi kami menyukai damai
sebab damai adalah hukum tertinggi di dunia,
Kami manusia penuh semangat,
Begitu ajaran nenek dan guru kami,
Kami disebut fanatik tetapi tertutup,
Bisa jadi, demi menjaga marwah pendahulu bangsa kami
Sihet bek meunyo roo bahle habeeh,
Seperti air dalam gelas, jangan miring tetapi jika tertumpah biarlah
habis, makanya,
Jangan usik prinsip kami tanpa ada sebab musabab,
Jangan salahkan kami apabila kena batunya
Kami bisa mengorbankan apa saja, untuk menjaga dan
mempertahankannya
Salman Yoga, dkk. | 63
Meunyo mupakat lampih jirat tapeu gala,
Ajak runding kami bermusyawarah mencapai mupakat,
Jangan ragu, kemudian kami siap sedia mengorbankan apa saja harta
pun nyawa.
Dalam darah kami mengalir ajaran Tengku-Tengku yang mulia
Percayalah...
"Meunyo mangat hatee jitem matee"!
Apabila hati senang dan setuju sedia mati
Meuleubeh....
Sejak zaman Tuan Senuet datang
Belanda penipu ngaku Abdul Gaffar
Kami sudah puas dengan tipu tipu dan adu domba ala devide et
impera
Snouck Horgronje,
Menanam gunjing antara sesama kami orang Aceh sampai banjir
darah
Sungguh kami sudah puas,
Darah darah kami telah lama mengairi blang padang
Itulah yang menyuburkan tunas-tunas baru yang kalian tak akan
pernah tahu tumbuh besar seperti apa nantinya
Tauhid kami jelas tak bisa ditawar
Jangan ajari kami tentang cinta
sebab jantung kami terus memompakan Asma Allah Sang Mahacinta
Senja menghilang di pelupuk mata Lhoknga kembali menghidupkan
berjuta kenangan
Depok, akhir Juli 2020
64 |Seperti Belanda
Menghadapi Masa Lalu
Yang Terhormat,
Tuan dan Puan
Sudah lama kami ingin bersurat,
Buku hidup kami telah penuh tulisan yang kalian gores dari tinta
darah
Sebagian dari kami telah lelap dalam syahid
Sebagian lagi masih mencari kebenaran dan keadilan
Sebagian lagi tidak tahu apa-apa
Karena cerita dimiliki pemegang kuasa
Kami sadar, tidak mudah memang
menjadi orang Aceh
Kami ingin menggapai masa depan
Tapi masa lalu terus menggelayuti kami
Anak-anak kami besar sebagai korban
Keluarga dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran dan
keadilan, Alih-alih bicara pemulihan,
Hak hidup kami masih sering dilanggar
Kewajiban entah milik siapa
menurut hukum atau kuasa angkara
Kami masih menunggu dan berharap
otoritas lokal dan nasional Indonesia untuk mengakui dan
memperbaiki apa yang telah mereka lakukan
Pada semua korban dan keluarganya, apa yang dialami pada masa
konflik
Sungguh kami tak pernah lelah berharap
Tak kurang kurang yang menyuarakan keluh kesah hidup kami,
Aktifis Lembawa swadaya masyarakat, pengurus organisasi
masyarakat, pengacara, anggota dewan, pejabat pemerintah setempat,
Salman Yoga, dkk. | 65
jurnalis, media lokal, nasional, bahkan internasional turut serta
Kami ini korban
Korban berkali kali
Tapi tak sungkan kami menyatakan apresiasi pada proses rekonsiliasi,
perdamaian dan keamanan menjadi kunci
Saat yang sama kami juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya
tindakan bagi penjahat yang membumi hanguskan cinta rakyat Aceh
pada NKRI
Sungguh kami tak ingin,
Sungguh kami tak ingin mengulangi
Situasi konflik seperti apapun
dapat memunculkan benih-benih ketidakpuasan yang bisa tumbuh
menjadi aksi kekerasan baru
Cukup sudah...
Depok, Akhir Juli 2020
66 |Seperti Belanda
Nasir Djamil
Jangan Biar Benalu Mematikan Pohon Damai
Kala itu hanya pemilik senjata yang berkuasa
Kala itu rakyat jelata hanya bisa menahan pedih saat disiksa
Kala itu setiap orang mengundang curiga
Siapapun dia, baik pendatang maupun yang didatangi...
Angin yang bertiup kencang
Hutan lebat yang mirip tempat persembunyian
Air sungai yang mengalir
Menjadi saksi bisu para korban yang bernasib sial
Kehidupan saat itu seperti tanpa ujung
Mencekam dan gundukan ketakutan seperti badan jalan yang
menghalangi laju kenderaan
Struktur sosial mengalami keretakan yang hebat
Mengalahkan retak bangunan yang dihantam gempa
Masing-masing diri berusaha menyelamatkan raga dan nyawanya.
Ada yang bergabung dengan para laskar Bulan Bintang
dan tidak sedikit yang menjadi kaki tangan para serdadu
Entah fatwa siapa yang membolehkan membunuh antarsesama
Entah perintah siapa yang membolehkan membakar, menculik, dan
merampok
saat itu banyak berkeliaran manusia manusia yang kemudian disebut
orang tak dikenal (OTK)
Kadang mereka memakai baju loreng dan memanggul senjata
Kadang mereka memberhentikan kenderaan umum yang membawa
penumpang.
Jika namanya sangat asing ditelinga dan gugup saat ditanya,
tak ayal dan tak lama sang pemilik nama akan hilang seperti lenyap
ditelan bumi.
Salman Yoga, dkk. | 67
oooh betapa hidup saat itu seperti tanpa arti
itulah perang yang dikehendaki
yang satu berteriak kencang dan menggema bahwa NKRI harga mati
di atas bukit terdengar suara bahwa perang adalah misi suci untuk
membebaskan negeri dari penjajah Jawa.
Akhirnya Tuhan murka dan mendatangkan bala tentaranya
Tuhan tidak ingin hamba-hambaNya yang tak berdosa merenggang
nyawa sia-sia.
Akhirnya gelombang air laut dan bumi pun menampakkan
kekuasaannya.
Keduanya membuat kedua belah pihak yang berperang terhenyak dan
sadar.
akhirnya mereka pun berdamai
kini damai masih belum bersemi dengan indah
benalu benalu yang tumbuh di pohon perdamaian
perlahan tapi pasti mengisap sari pati perdamaian
menanam pohon damai memang sulit
tapi memeliharanya lebih sulit lagi
ooooh Pemilik alam semesta
berilah kami kesempatan
berilah kami kemauan
berilah kami hati yang lapang
berilah kami pengetahuan
berilah kami keikhlasan dan kejujuran
untuk menata bumi serambi mekkah menjadi baldatun thayyibatun
waRabbun ghafur
Jakarta, 2020
68 |Seperti Belanda
Nasrullah Thaleb
Beling
Beling..
kuterima tubuhku tanpa wujud
yang dikirim waktu
atas tanah dan air.
Beling..
berkilau di udara panas
antara mesiu yang mengupat
dan punggung senapan yang bau amis.
Kucari-cari tanah rencongku pada masa lalu
yang hidup di musim buruk
ia adalah rupa jaman yang tak lagi utuh
seumpama gelas yang pecah
kemudian merenggang nyawa di lantai
beling.
Aceh Utara, Juli 2020
Salman Yoga, dkk. | 69
Di Siron
Di Siron aku menulis pesan
yang kususun begitu saja pada lipatan waktu
pesan yang lahir bagi kesunyian
juga perih yang lama merekat di ingatan
Di Siron kau menziarahi nama-nama kematian
tempat bayangan berbaring
kemudian merapal doa
pada batu yang berjejer di keningku
Di hatimu rindu tak berbunyi
sekalipun gaduh memanggil
merindang hujan di mata
selepas angin membawa pulang mendung
tanpa kata
begitu saja
Di siron aku menulis pesan di batu
untuk orang-orang lalu
pesan itu sederhana
jangan terlalu banyak menangis
Aceh Utara, Juli 2020.
70 |Seperti Belanda
Nezar Patria
Kutaraja, 1874
Di Kuala, ada lagu serdadu kumpeni
“Jayalah Willem, sebelum pagi”
Pada laras senapan yang ria
Ayat-ayat sembunyi
di arus kali,
Lidah naga menari
Dari Kuala, ya dari Kuala
Kapal-kapal bergerak,
Dari mulut kanon
bau mesiu merambat
Di Kutaraja, ada doa bergema
“Tuwanku, kami bersiap mati.
Jiwa merdeka, berkalung kenanga"
Langit gelap
dalam mimpi yang kedap.
Bulan runcing,
berlari di ujung lembing
Pedang kelewang bersijingkat,
dalam khianat.
Siapa menukar sangkur
dengan dusta sungai anggur?
Di jantung Kutaraja
pada subuh hitam itu,
Kumpeni ria bernyanyi
“Jayalah Willem, sebelum pagi”.
2010
Salman Yoga, dkk. | 71
Menyambut Umar
Aku mendengar kau tiba di kota ini, bagai seekor macan
menyendiri. Ada rindu diiris lolongan anjing malam, terbenam
alunan serunai ditiup seseorang
Penjaga kota setengah mengantuk mengeja katamu
"Besok pagi, yakinlah kita masih minum kopi"
setelah perang, suara itu berdiam di lorong waktu
Orang-orang berderap saat wangi arabika meruap
bumi muntah gas dan minyak mendidih
lalu semua menguap dalam tipuan yang sedih
Kau berbisik, "Aku Umar, seorang teuku. Adakah kau tahu?"
tak seorang warga bangkit menyiapkan kenduri
tak ada kabar seorang johan telah kembali
Tak ada kanak-kanak menggambar wajahmu
pada poster sisa pemilu di tembok kota
pada sebuah survei siapa pemimpin kita
Orang-orang melukis kusut rambutmu
saat rebah diterjang peluru
dan selalu percaya di kota ini
tak ada lagi pahlawan bangun pagi
2017
72 |Seperti Belanda
Ni Wayan Idawati
Kota dalam Ingatan
: Tsunami 2004
ulurkan, ulurkan tanganmu, Dik
mari rentangkan angan dan kenangan
berlayar kita ke pulau seberang
sungguh hanya kata
yang kekal dalam cerita
kisah dan ingatan dari seberang
antara kapal-kapal yang hilang
kota yang menyisakan curam bayang
disapu gelombang
dari negeri yang jauh
tanpa surat atau dering telepon
pukul tujuh gelombang datang
sungguh hanya kata
yang kekal dalam cerita
dalam lembar ingatan
ulurkan, ulurkan tanganmu Dik
2020
Salman Yoga, dkk. | 73
Pilo Poly
Kohler
Mereka datang berkali-kali ke negeri ini,
Ke negeri penuh Rahmat, dan penuh
Kasih sayang dan kuat.
Mereka datang dengan mata yang lain,
Dengan bahasa yang baku, dan kuning
Lampu kapal menerpa angin laut selat malaka.
Meminta, dan memohon, agar sultan
Takluk, agar yang terkutuk tetap terkutuk.
Tapi Sultan kami, Sultan tanah Serambi,
Puak dari yang paling Melayu, di bawah
Kadhi Malikul Adil, menabuh malam dan
Mengirim sinyal perang.
Di gunung-gunung, hingga lembah tak
Tercium, orang datang berduyun-duyun,
Ingin menghalau si pembawa tenun.
Penjajah-penjajah itu, yang berlabuh dari Batavia dalam Citadel van
Antwerpen,
Datang dengan kehidupan, tapi bawa pulang kematian.
Di tanah ini, yang tandus adalah kejahatan,
Yang baik ditanam berkali-kali. Dan Kohler,
Di depan Baiturahman melesat ke
Kematiannya sendiri.
Jakarta, Mei 2020
74 |Seperti Belanda
Van Swieten
Setelah tombak dan kepahitan
Aku menangkap masa lalu,
Yang menulis dirinya lewat suara
hikayat dan Seurune Kalee
Seluruh kepergian, adalah
matahari, tangkai bunga
yang akan tumbuh dan
mengajarkan perihnya melupakan.
Di pelabuhan, malam menjadi
Lebih tua dan kegelisahan
Merayap di dinding-dinding
esok hari, hingga waktu
Yang tak dianggap peristiwa.
Siapakah yang duluan
Pulang, kecuali Van Swieten, yang
Melempar fitnah dari barat
Ke negeri Pahang, dari Pidie ke
Aceh Besar, lalu ke Johor, ke
Tumpuk bawahan Sultan,
Dan terlempar jauh ke masa kini,
Dalam bentuk idiom.
"bek tajak u Meulaboh,
bak taduek-duek takue putoh.
Dipeugah keu ureung Pidie kriet, bue ie dikira. Keu ureung Aceh
Rayeuk, dipeugah Peuraja-raja droe," katanya, dulu setelah
Gerbang niaga dibuka dan sambut-
Menyambut digembala dari hari
Ke hari lainnya, dari malam ke
Malamnya lagi berkali-kali.
Salman Yoga, dkk. | 75
Yang jahat, tak lama akan tumbuh,
Yang baik, akan ditanam berkali-kali.
Hingga Swieten pargi, tak sanggup
Api membakar sultan kami, kecuali
Larik pengkhianatan.
Jakarta, Mei 2020
76 |Seperti Belanda